Pencarian

Kidung Maut Bulan Purnama 3

Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama Bagian 3


tidak menemukan bangsat
penghuninya! Walau begitu, satu hal yang pasti, tempat itu memang kuyakini
tempat persembunyian jahanam itu! Dan dia pergi belum lama!"
"Bagaimana kau bisa yakin"!"
Ni Luh Padmi sunggingkan senyum seringai. "Aku tahu siapa jahanam itu lebih
daripada orang lain!"
"Kalau kau sudah tahu jahanam bangsatnya tidak ada, mengapa tidak segera
kembali"!"
"Aku telah lama mencari. Begitu tempatnya sudah kutemukan, apakah aku harus
begitu saja pergi meski
bangsat keparatnya tidak kutemukan"! Dia kutunggu
sampai beberapa hari dengan harapan dia akan pulang!"
"Tapi kau mengalami kecewa besar, bukan"!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab. Namun beberapa
saat kemudian dia anggukkan kepala. "Dia tidak muncul sampai aku memutuskan
pergi kemari!"
"Hem.... Aku bisa saja menerima alasanmu! Tapi di hadapan Malaikat Penggali
Kubur, bisa saja lain!"
"Maksudmu"!"
"Kusarankan padamu. Kalau kau masih inginkan nyawa Pendeta Sinting, kau harus
minta maaf pada Malaikat
Penggali Kubur! Soal apa nanti alasanmu, itu urusanmu!"
Paras wajah si nenek berubah. Ratu Pemikat tersenyum lebar. Lalu berujar.
"Tanpa kukatakan, kau tahu bukan di mana kau harus berdiri"!"
Kepala Ni Luh Padmi berpaling memandang berkeliling.
"Siapa yang berjubah hitam dan berjubah merah itu"!"
"Kalau mereka berada di sana, siapa pun mereka
adanya, yang pasti mereka adalah manusia-manusia
musuh golongan putih!"
"Dua orang di puncak batu cadas putih itu"!"
"Mereka hanya manusia tersesat jalan!"
"Dan kau sendiri, mengapa...."
"Jangan banyak bertanya!" potong Ratu Pemikat lalu hadapkan tubuh ke hamparan
pasir yang membentang
memisah dua kawasan berbatu. "Mumpung hari belum gelap, kuharap kau segera
memilih tempat!"
Dengan dada dipenuhi tanda tanya dan kegelisahan, si nenek meloncat dari batu
lalu melangkah melintasi
hamparan pasir yang membentang di depan Kedung
Ombo. Saat itulah dari puncak batu cadas putih terdengar
gumaman. "Kenapa matamu melotot begitu rupa! Dia hanya nenek-nenek! Dan percuma kau minta
tolong padanya!" Yang perdengarkan suara ternyata Raden Mas Antar Langit.
Raden Mas Antar Bumi tidak menyahut. Malah sepasang
matanya makin membelalak besar.
"Kau tertarik padanya"!" kembali Raden Mas Antar Langit buka suara. Tapi yang
ditanya tetap kancingkan mulut, membuat Raden Mas Antar Langit berpaling silih
berganti pada temannya lalu pada Ni Luh Padmi yang
melintas di bawah sana.
"Laki-laki seusiamu memang saat-saatnya tumbuh
perasaan cinta untuk ketiga kalinya.... Tapi kurasa kau terlalu sembrono kalau
menjatuhkan pilihan pada si nenek itu! Masih banyak gadis muda dan cantik yang
kuyakini bisa kau gaet! Apalagi wajahmu tidak mengecewakan....
Buktinya kau tahu sendiri. Walau kau berhias begitu rupa, gadis berjubah merah
itu tadi tak sabar ingin berkenalan...."
"Sontoloyo! Kalau kau tak bisa diam, kulemparkan kau ke bawah sana!" hardik
Raden Mas Antar Bumi dengan kepala masih bergerak mengikuti langkahan kaki Ni
Luh Padmi. "Ah.... Sebagai teman, aku cuma mengingatkan! Lagi pula aku akan ikut bangga
kalau kau bisa berdampingan dengan seorang gadis cantik dan muda! Hik....
Hik...! Bukan dengan nenek-nenek yang dihias bagaimanapun juga tidak membuat
mata betah memandang, sebaliknya membuat
pantat gatal!"
"Setan! Setan! Diam kau!" bentak Raden Mas Antar Bumi, membuat Ni Luh Padmi yang
melintas di bawah
mereka berdua dongakkan kepala.
"Hai...!" kata Raden Mas Antar Langit sambil lambaikan tangan saat dilihatnya si
nenek tengadah memandang.
Raden Mas Antar Bumi serta-merta gerakkan tangan.
Bukan ikut-ikutan melambai, melainkan tarik pulang
tangan temannya yang baru saja melambai. Di bawah
sana, Ni Luh Padmi kerutkan dahi sesaat, namun kejap lain si nenek telah
lanjutkan langkah.
"Apa yang kau lakukan"! Kau cemburu aku lambaikan tangan pada nenek itu"!" tanya
Raden Mas Antar Langit.
"Kau ini aneh. Belum kenal sudah cemburu buta!"
Raden Mas Antar Bumi tidak juga menyahut. Dia hanya
pandangi si nenek yang kini telah tegak di atas batu tidak jauh dari tempat Dewi
Siluman. Sementara Dewi SilUman sendiri seolah acuh dengan kehadiran orang di
dekatnya. Hanya Iblis Rangkap Jiwa yang tampak telengkan kepala ke arah Ni Luh Padmi. Pada
awalnya laki-laki berkepala
gundul ini sudah hendak berkelebat saat dilihatnya Ni Luh Padmi muncul. Namun
niatnya diurungkan setelah
dilihatnya Ratu Pemikat sempat bercakap-cakap dengan Ni Luh Padmi.
Baru saja Ni Luh Padmi tegak di atas batu, tiba-tiba semua orang di tempat itu
tersentak kaget. Entah kapan datangnya, tiba-tiba dari bawah julangan batu cadas
putih di depan kedung, satu sosok tubuh berkelebat!
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
DELAPAN --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
UKAN hanya kemunculan orang yang membuat
semua orang tersentak kaget, mereka juga sama
B membatin dan bertanya-tanya. Karena orang yang
mendadak muncul terus berlari menyeberangi hamparan
pasir yang membelah kawasan berbatu. Orang ini baru
hentikan larinya saat satu langkah lagi tepat di bibir kedung!
Seakan tahu dirinya menjadi pusat pandang beberapa
mata, orang ini putar tubuh membelakangi kedung. Ternyata dia adalah seorang
kakek. Rambutnya yang kaku di-potong pendek hingga terlihat tegak-jabrik. Raut
wajahnya penuh keriputan. Sepasang matanya terpuruk masuk ke
rongga yang cukup dalam. Kalau rambutnya yang putih di-potong pendek, tidak
demikian halnya dengan kumisnya yang juga telah berwarna putih. Kumis kakek ini
dibiarkan panjang hingga menutupi hampir janggutnya! Pada kedua cuping hidungnya
yang agak mancung tampak melingkar
dua buah anting-anting dari benang warna merah. Kakek ini mengenakan pakaian
berwarna biru gelap.
Meski si kakek di bibir kedung telah unjuk tampang,
namun semua orang yang ada di tempat itu jelas sama
menampakkan isyarat kalau tidak seorang pun yang
mengenal. Beberapa saat Kedung Ombo senyap. Tidak ada suara
yang terdengar menyeruak. Hanya beberapa mata yang
tampak saling melontar pandang. Sementara si kakek yang menjadi pusat pandang
orang mulai lakukan gerakan.
Kepalanya berpaling ke kiri.
Sesaat si kakek di bibir kedung memandang pada Ni
Luh Padmi yang tegak paling kanan. Lalu beralih pada Dewi Siluman yang kini
tampak pentangkan mata. Kejap lain si kakek mendongak sedikit arahkan
pandangannya pada
Iblis Rangkap Jiwa yang tegak kacak pinggang di bawah gubuk hitam. Lalu
pandangannya beralih pada Putri
Sableng. Pada si gadis berjubah merah ini, si kakek
memandang agak lama sebelum akhirnya arahkan
pandangan pada puncak batu cadas putih di mana terlihat kepala Raden Mas Antar
Langit dan Raden Mas Antar
Bumi. Si kakek anggukkan kepala sedikit lalu berpaling ke kanan. Pada kawasan
berbatu di mana Ratu Pemikat
berada. Begitu pandangannya sampai pada Ratu Pemikat, si
kakek bukan segera buka mulut. Melainkan putar
pandangannya kembali. Kini berbalik arah. Mulai dari Ratu Pemikat dan berakhir
pada Ni Luh Padmi. Kejap lain si kakek tengadah melihat langit yang mulai
menggelap karena matahari sejengkal lagi terbenam.
Kesepian di sekitar Kedung Ombo tiba-tiba disentak
dengan beberapa gumaman dan pandangan heran
beberapa mata. Karena si kakek di bibir kedung tiba-tiba sentakkan kedua
kakinya. Sosoknya melesat lima tombak ke udara. Membuat gerakan satu kali, lalu
meluncur deras ke dalam kedung!
Byuuurr! Air tenang Kedung Ombo berkecipak sampai satu
tombak ke udara. Lalu tampak gelombang bergerak
dahsyat laksana dihempas angin luar biasa kencang.
Malah sebagian air kedung muncrat melewati bibir kedung.
Gumaman yang sejenak tadi terdengar tiba-tiba lenyap.
Kini hanya beberapa pasang mata yang memandang pada
tengah kedung. Semua orang seolah tak sabar apa
sebenarnya yang dilakukan orang. Mereka menunggu
dengan dada dibuncah berbagai tanya.
Namun semua orang di sekitar Kedung Ombo pada
akhirnya harus mengalami kecewa besar. Karena hingga ditunggu agak lama, kakek
yang ceburkan diri ke dalam kedung tidak muncul lagi!
Rasa terkesima semua orang belum lenyap, tiba-tiba
satu suara terdengar
"Aneh..,. Dari mana mendung ini berasal"! Baru saja langit terang benderang!"
Hampir berbarengan semua kepala di tempat itu
bergerak mendongak. Ucapan yang baru saja terdengar
dari puncak batu cadas putih memang benar adanya.
Karena begitu matahari tenggelam, tiba-tiba langit yang sejenak tadi tanpa
tertutup awan sedikit pun berubah.
Entah dari mana dan kapan datangnya, tiba-tiba langit disemaraki dengan gulungan
awan hitam, membuat
suasana yang mulai gelap sudah berubah pekat! Malah
kalau tidak pelototkan mata, orang yang ada di sekitar Kedung Ombo tidak akan
mampu melihat lainnya!
Anehnya, gulungan awan hitam itu hanya menggantung
tepat di atas Kedung Ombo!
"Wah ... Kebetulan! Mumpung gelap, aku akan bisa leluasa berjalan! Kita mandi
sekarang!" kata seseorang dari puncak batu cadas putih.
"Kalau kau ingin mandi sekarang, silakan! Melihat kakek yang tadi mencebur dan
tidak muncul lagi, aku urungkan niat saja! Biar aku mengemban kutuk begini
daripada mati tidak karuan!" menyahut satunya.
"Mengapa kau takut dengan kakek itu! Dia memang sengaja bunuh diri!"
"Peduli setan bunuh diri atau tidak! Yang jelas dia tidak muncul lagi. Dan aku
tak mau mengalami nasib seperti dia!"
"Ah.... Kau selalu saja menakut-nakutiku! Lantas apa yang harus kita lakukan
sekarang"!"
"Kurasa ada yang tidak beres di tempat ini! Kalau benar malam ini di sini ada
pasar jodoh, mengapa yang datang nenek-nenek juga"! Dan kau tahu sendiri. Wajah-
wajah mereka terlihat tegang kaku! Belum lagi ada kakek yang tiba-tiba bunuh
diri! Kita pulang saja! Bukankah malam purnama tidak hanya malam ini"! Lagi pula
kulihat sang rembulan tidak akan muncul! Mandi sampai semalaman
pun tidak akan mampu menghilangkan kutuk kita kalau
rembulan tidak nongol! Ayo, kita pulang!" "
"Enak saja kau bicara!" sahut suara satunya.
"Bagaimana aku bisa pulang kalau tidak mengenakan celana?"
"Bukankah sudah gelap"! Tak mungkin orang dapat melihat senjata saktimu!
Kalaupun orang sempat melihat, kau tak usah khawatir, yang melihat pasti akan
tunggang langgang terlebih dahulu! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Betul juga. Kalau lari tunggang langgang menjauh aku tidak kerepotan! Biasanya
yang melihat lari tunggang langgang mendekatiku! Hik.... Hik.... Hik...!"
Ketegangan di Kedung Ombo laksana sirna karena di
tempat itu kini disemaraki suara ledakan tawa bersahut-sahutan.
"Hai, kalian yang ada di puncak batu cadas putih!" tiba-tiba satu teriakan
terdengar. "Jadi itukah yang kalian katakan tadi aral melintang"!"
"Ah.... Itu suara gadis cantik berjubah merah!" gumam salah seorang di puncak
batu cadas putih. Orang yang bergumam ini lantas berteriak menyambuti suara
teriakan yang baru saja terdengar.
"Benar! Itulah aral rintangannya. Dan kami tak mampu memperbaikinya! Bagaimana
kalau kau pinjamkan
celanamu pada temanku ini"!"
"Menyesal sekali! Aku tidak mengenakan celana!" sahut teriakan dari bawah.
"Jadi di balik jubah merahmu itu kau tidak mengenakan apa-apa lagi"!"
"Sialan!" satu teriakan keras terdengar. Yang ini meski suara perempuan namun
jelas lain dari teriakan yang tadi terdengar. "Kalian yang ada di puncak batu
cadas putih! Dengar, yang bicara kali ini aku si jubah merah! Kalau yang tadi si jubah hitam!
Jadi kalian jangan macam-macam
mengatakan aku tidak mengenakan apa-apa lagi di balik jubah merahku ini! Bisa
kulepas lidah kalian masing-masing! Kalian dengar" Kalau kalian ingin teruskan
bicara dengan si jubah hitam itu, silakan! Tapi awas! Jangan kau sebut-sebut
lagi si jubah merah!"
"Waduh.... Maafkan kalau kami salah sangka! Maklum suasana sangat gelap! Baik,
aku akan teruskan bicara dengan si jubah hitam...," teriak orang dari puncak
batu cadas putih. Lalu sesaat kemudian terdengar lagi teriakan dari puncak batu
cadas putih. "Hai, Jubah Hitam! Karena kita belum saling kenal, tak keberatan bukan kalau
kusebut saja si Jubah Hitam"!"
"Tak apa-apa.... Silakan kalian terus bicara!" terdengar suara sahutan dari
bawah. Yang ini jelas suaranya lain dengan suara orang yang baru mengatakan
dirinya si jubah merah.
"Kuulangi lagi pertanyaanku tadi. Jadi di balik jubah hitammu itu kau tidak
mengenakan apa-apa lagi"!" kata suara dari puncak batu cadas putih.
"Di sini banyak telinga! Aku malu mengatakannya...,"
terdengar sahutan dari bawah.
"Kau tak usah malu mengatakannya, Jubah Hitam!
Anggap saja semua telinga di sini tidak bisa mendengar!
Dan anggap di sini hanya ada kita bertiga...! Asyik
bukan..."!"
"Asyik memang asyik! Tapi rasanya aku tidak kuasa mengatakan...."
"Ah.... Kau pasti bisa mengatakannya! Bukankah tidak ada telinga yang
mendengar"! Lagi pula aku akan menjaga rahasia ini untuk kita bertiga!
Katakanlah...."
Hening sejenak. Lalu dari arah bawah terdengar lagi
teriakan mendayu.
"Aku memang... tidak mengenakan apa-apa lagi! Tapi kalian jangan menduga yang
tidak-tidak! Itu memang
sudah kebiasaanku dari mulai kecil! Aku geli kalau
mengenakan pakaian di balik jubah hitamku ini...."
Dari puncak batu cadas putih terdengar gumaman. Lalu dari arah bawah terdengar
suara tawa cekikikan ditahan-tahan. Tak lama kemudian, dari puncak batu cadas
putih terdengar teriakan.
"Jubah hitam...! Aku yakin di balik cadarmu itu ter-sembunyi seraut wajah cantik
nan jelita bak bidadari.... Aku mendapat firasat ada yang tidak beres di tempat


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini. Bagaimana kalau kita pergi saja dari sini"!"
"Ah.... Kau pandai merayu.... Aku mungkin tidak secantik yang kau kira! Tapi
dibanding dengan gadis berjubah
merah itu, mungkin kau masih memilihku! Kalau kau ingin mengajakku pergi dari
sini, kira-kira kau akan ajak aku ke mana"!"
"Ke mana kau suka aku akan memenuhinya!"
"Ah, senang hatiku mendengarnya.... Kita pergi
sekarang"!"
"Benar! Kita berangkat sekarang saja!"
"Gila! Bagaimana kau ini"! Kau tidak boleh pergi dari sini!" satu suara di
puncak batu cadas putih menahan.
"Kau ini tidak mau rezeki besar! Ada perempuan cantik yang di balik jubah
hitamnya tidak mengenakan apa-apa mengajak pergi kau tolak! Dasar orang sinting!
Apa kau hendak menunggu nenek-nenek tadi"!"
"Sialan! Kau benar-benar sialan! Aku tidak menolak rezeki! Tapi bagaimana dengan
senjata saktiku ini"! Mau ditaruh di sakumu, hah"!"
"Astaga! Aku lupa!" ujar suara satunya. "Gara-gara si gundul itu dua rezeki
besar harus terbuang percuma!"
"Hai.... Kalian yang ada di puncak batu cadas putih!
Bagaimana! Kapan kita berangkat"! Aku sudah tidak
sabar...."
"Jubah Hitam. Kau tidak keberatan bukan kalau
temanku ini jalan bersama tanpa memakai celana"!"
Terdengar suara cekikikan. Lalu disusul teriakan
mendayu-dayu. "Aku tidak keberatan...."
"Nah. Kau telah dengar sendiri! Dia tidak keberatan jalan bersama meski kau
tidak mengenakan celana!
Tunggu apa lagi"!"
"Sontoloyo! Aku ini bangsa manusia biasa, bukan bangsa iblis sepertimu! Yang
bisa jalan dengan perempuan walau tanpa mengenakan celana!" sahut suara satunya.
"Hem.... Rupanya kau lupa! Walau kau bangsa manusia, bukankah kau masuk golongan
manusia sinting"! Dalam
golongan manusia sinting sepertimu, apakah masih tabu jalan bersama perempuan
tanpa mengenakan celana"!"
"Sesinting-sintingnya bangsa manusia, dia tidak akan punya kelakuan seperti
bangsa iblis golonganmu!"
"Hai.... Mengapa kalian bertengkar"!" terdengar suara teriakan dari bawah.
"Kalian tidak usah terlalu mem-persoalkan celana! Bukankah bajumu masih bisa kau
buat penutup kalau kau mau"! Meski sebenarnya aku lebih
senang kau jalan tanpa mengenakan celana! Hik.... Hik....
Hik...!" "Jahanam keparat! Mulut kotormu harus dipecah!" Tiba-tiba terdengar teriakan
dahsyat. Suara itu jelas suara seorang perempuan dan lain dari suara-suara
perempuan yang tadi terdengar.
"Ada apa ini" Siapa memaki siapa"!" terdengar suara dari puncak batu cadas
putih. "Aneh memang! Tapi ada yang lebih aneh lagi! Lihat ke langit!" sahut suara
satunya. Dalam pekatnya suasana, samar-samar masih terlihat
semua kepala tengadah ke atas. Dan berpasang-pasang
mata tampak membelalak. Di atas sana, gulungan awan
hitam yang sejenak tadi menutup hamparan langit tepat di atas Kedung Ombo
laksana disapu gelombang angin
kencang. Gulungan awan hitam ambyar dan bertaburan.
Anehnya, tepat di mana tadi awan hitam bergulung-gulung menutup langit di atas
Kedung Ombo, kini tampak sang rembulan yang pancarkan sinar terang! Hingga
kepekatan di sekitar kawasan Kedung Ombo sirna seketika! Ke mana pandangan
diarahkan terlihat jelas.
Kedua orang berwajah hitam di puncak batu cadas putih kini tampak tegak di bibir
batu. Hanya yang satu kini bertelanjang dada. Bajunya ditarik ke bawah lalu
diikatkan demikian rupa hingga menyerupai pakaian panjang bagian bawah!
Raden Mas Antar Bumi yang bertelanjang dada dan
Raden Mas Antar Langit tampak tersenyum-senyum. Dan
ketika dilihatnya si jubah hitam yang bukan lain adalah Dewi Siluman, melihat ke
arah mereka, kedua orang ini sama angkat kedua tangan masing-masing lalu
melambai-lambai.
Namun senyum keduanya mendadak terpenggal. Gerak
lambaian tangannya terhenti. Karena di bawah sana
mendadak Dewi Siluman bergerak bangkit. Kepala
perempuan bercadar hitam ini mendongak. Lalu terdengar suara garang.
"Kalian jahanam berdua! Kalian akan tunggu giliran setelah kucabut lidah kotor
gadis jubah merah keparat itu!"
Habis berteriak begitu, Dewi Siluman langsung
berkelebat memutari batu membukit sebelum akhirnya
berhenti hanya sejarak lima langkah dari tempat tegaknya Putri Sableng!
"Tak kusangka kalau wajahmu yang cantik tidak sesuai dengan mulutmu!"
Putri Sableng memandang orang di hadapannya dengan
angkat kedua alis matanya. Belum sampai gadis berjubah merah ini buka mulut,
Dewi Siluman telah mendahului.
"Jangan kau kira aku tidak tahu! Bukankah yang
mengaku sebagai si Jubah Hitam adalah mulutmu juga"!"
Kedua tangan Dewi Siluman telah terangkat.
"Suasana gelap! Jangan kau menuduh seenakmu! Aku tidak mengaku sebagai si Jubah
Hitam! Di sini banyak orang dan mereka juga ada yang perempuan!" sahut Putri
Sableng. Gadis ini ikut-ikutan angkat tangannya.
"Waduh.... Gawat! Gawat!" terdengar suara dari puncak batu cadas putih.
"Bagaimana bisa jadi begini"! Padahal aku sudah siap berangkat!"
Sementara itu, melihat apa yang terjadi di seberang, Ratu Pemikat buru-buru
berteriak. "Harap dapat kuasai diri!
Urusan kecil ini bisa kita selesaikan setelah urusan malam ini tuntas!"
"Kalau di antara kalian ada yang mulai lakukan
penyerangan, aku tak segan membunuh kalian berdua!"
bentak Iblis Rangkap Jiwa lalu tangannya disentakkan ke bawah.
Wuuttt! Satu gelombang dahsyat melesat deras ke arah Dewi
Siluman dan Putri Sableng.
Dewi Siluman dan Putri Sableng cepat melompat
mundur. Brakk! Brakkk! Byurr! Byuurr! Dua batu di mana Dewi Siluman dan Putri Sableng tadi tegak, pecah berkeping-
keping. Pasir hitam berhamburan.
Namun begitu pasir luruh kembali, baik Dewi Siluman
maupun Putri Sableng tetap tegak saling berhadapan
meski agak sedikit jauh. Kedua tangan masing-masing
orang tetap terangkat. Malah sesaat kemudian, Putri
Sableng telah buka mulut.
"Jangan-jangan yang perdengarkan suara tadi adalah kau sendiri! Lalu begitu
suasana terang dan kau belum sempat pergi, kau merasa malu! Hik.... Hik....
Hik...! Mengapa harus malu" Anggap saja semua mata di sini
buta! Lihat, dua orang di puncak batu cadas itu sudah siap berangkat!"
Dewi Siluman perdengarkan gerengan dahsyat. Kedua
tangannya bergetar. Namun sebelum perempuan bercadar hitam ini gerakkan tangan
kirimkan pukulan, terdengar deruan keras dari puncak batu di mana Iblis Rangkap
Jiwa berada. Kejap lain satu gelombang hitam menggebrak ke arah Dewi Siluman.
Karena tak ada kesempatan lagi bagi Dewi Siluman
untuk selamatkan diri menghindar, akhirnya dia sentakkan kedua tangannya ke atas
memangkas pukulan yang
dilepas Iblis Rangkap Jiwa.
Bummmm! Terdengar ledakan keras. Pasir-pasir di sela batu
bertaburan. Batu-batu di kawasan sebelah kiri kedung bergetar.
Sosok Dewi Siluman tampak hendak terhuyung jatuh
dari atas batu pijakannya. Namun perempuan ini segera lipat gandakan tenaga
dalamnya hingga huyungannya
terhenti. Kepalanya serentak mendongak.
Iblis Rangkap Jiwa menyeringai. "Kalau tidak melihat kau berada di pihak kami,
sudah kupecahkan batok kepalamu sejak kau muncul tadi! Kembali ke tempatmu
semula!" Dewi Siluman tak bergeming dari tempatnya. Malah
perempuan ini telah angkat kedua tangannya siap
lepaskan pukulan.
Iblis Rangkap Jiwa mendelik angker. Serta-merta laki-laki berkepala gundul ini
angkat pula kedua tangannya.
"Tahan serangan!" Yang menahan ternyata adalah Putri Sableng.
Dewi Siluman mendengus dengan mata berkilat melirik
ke arah gadis berjubah merah.
Putri Sableng cekikikan, lalu angkat bicara.
"Kulihat ada orang datang dari seberang!"
Mungkin merasa ucapan Putri Sableng hanya untuk
mengelabui, Dewi Siluman tidak gerakkan kepala ke arah mana kini Putri Sableng
memandang. Sementara semua
kepala di situ sudah bergerak ke satu arah jauh di belakang Ratu Pemikat berada.
"Ah.... Rupanya yang muncul kali ini kita kenal!" satu suara dari puncak batu
cadas terdengar. Dewi Siluman arahkan pandangannya melirik ke arah Iblis Rangkap
Jiwa. Ketika dilihatnya laki-laki itu telah tarik pulang kedua tangannya yang tadi
hendak lepaskan pukulan ke arahnya dan kini memandang lurus ke depan, membuat
perempuan bercadar dan berjubah hitam ini segera meloncat dan
tegak di atas batu sejajar lurus dengan tempat tegaknya Putri Sableng. Dengan
begitu, kalau Putri Sableng hendak berbuat macam-macam, dia segera dapat
mengetahuinya. Begitu tegak sejajar lurus dengan Putri Sableng, masih dengan kedua tangan
terangkat, dia putar tubuh
menghadap hamparan pasir di depan kedung. Saat itulah sepasang matanya memang
menangkap satu sosok tubuh
melangkah cepat dari arah belakang Ratu Pemikat!
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
SEMBILAN --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
EMASUKI kawasan berbatu di sebelah kanan
kedung, orang yang melangkah mendadak
M berhenti. Lalu melompat naik pada salah satu
batu. Kepalanya lurus memandang ke depan. Karena yang berada di kawasan itu
adalah Ratu Pemikat, maka mau tak mau orang ini untuk beberapa saat memandang
tajam ke arah si perempuan. Tiba-tiba raut wajah orang ini berubah.
Dari mulutnya terdengar gumaman. Di lain pihak, Ratu Pemikat tampak sunggingkan
senyum, lalu palingkan ke hamparan pasir di depan kedung. Terdengar suara
perempuan ini. "Selamat jumpa lagi, Pendekar 131! Bagaimana
kabarmu"!" sambil berkata Ratu Pemikat terdengar tertawa bernada mengejek.
Orang yang baru disapa sesaat terdiam. Namun kejap
lain orang ini telah menyahut. "Selamat jumpa lagi, Ratu...!
Bagaimana kabarmu"!"
"Sudah kuduga kalau kau akan muncul malam ini! Hik....
Hik.... Hik...! Dan ini adalah babak terakhir dari peristiwa tempo hari!" ujar
Ratu Pemikat tanpa berpaling lagi. Malah perempuan ini berujar seraya memandang
hamparan langit yang terang benderang.
Orang yang berada di belakang Ratu Pemikat ikut-ikutan mendongak.
"Aku pun sudah menduga kalau kau akan muncul
malam ini! Hik.... Hik.... Hik...! Dan ini adalah awal dari lanjutan peristiwa
tempo hari!" Nada bicara dan ucapan orang ini seakan menirukan ucapan dan nada
ucapan Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat sudah hendak buka mulut lagi, namun
sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba dari arah seberang, tepatnya dari tempat
Iblis Rangkap Jiwa berada terdengar teriakan keras membahana.
"Anjing buntung! Malam ini nyawamu tidak akan lolos lagi!"
Orang yang berada di belakang Ratu Pemikat arahkan
pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Orang ini ternyata adalah seorang pemuda
berparas tampan. Hanya saja dia tidak memiliki tangan! Pemuda ini bukan lain
adalah Dewa Orok.
Kalau saat kemunculannya Ratu Pemikat sempat
menyapanya dengan Pendekar 131, itu karena pada saat Ratu Pemikat dan Dewa Orok
berjumpa beberapa hari yang lalu, Dewa Orok memperkenalkan diri sebagai Pendekar
131. Dewa Orok tidak menduga kalau Ratu Pemikat
sebenarnya sudah mengenal betul siapa Pendekar 131.
Dan kalau Iblis Rangkap Jiwa tampak membayangkan
kemarahan, ini tidak lain karena laki-laki gundul ini memang punya urusan
tersendiri dengan Dewa orok.
Seperti diketahui, Malaikat Penggali Kubur memerintahkan pada Iblis Rangkap Jiwa
untuk membunuh Dewa Orok
sebagai tebusan nyawanya. Pada satu kesempatan, Iblis Rangkap Jiwa bersama Ratu
Pemikat memang berhasil
melumpuhkan Dewa Orok, namun saat itu Ratu Pemikat
memberi usul agar nyawa Dewa Orok diperpanjang dahulu.
Lalu mereka berdua meninggalkan Dewa Orok di satu
tempat sepi dalam keadaan tertotok dan tertanam setelah sebelumnya Ratu Pemikat
mengambil bundaran karet yang biasa dibuat mainan Dewa Orok. Pada akhirnya Ratu
Pemikat, lebih-lebih Iblis Rangkap Jiwa harus menelan kecewa, karena ternyata
Dewa Orok bisa lolos. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : Muslihat Sang Ratu").
Meski Ratu Pemikat tampak tertawa dan Iblis Rangkap
Jiwa perdengarkan bentakan keras, namun dalam dada
masing-masing orang ini timbul ganjalan yang tidak enak.
Ini karena baik Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa telah mengatakan pada
Malaikat Penggali Kubur kalau Dewa
Orok mereka yakini pasti sudah tewas, walau kedua orang ini tahu persis jika
Dewa Orok selamat dari cengkeraman-nya.
Kalau Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat tampak
memendam ganjalan tidak enak dan sama-sama berpikir
apa yang harus dikatakannya nanti kalau Malaikat Penggali Kubur datang, Dewa
orok sendiri sebenarnya dilanda rasa gundah. Seperti diketahui, sebelum Ratu
Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa meninggalkannya dalam keadaan tertanam
dan tertotok, Ratu Pemikat telah ambil bundaran karetnya.
Malah Dewa Orok tidak tahu kalau bundaran karet itu kini telah diserahkan Ratu
Pemikat pada Malaikat Penggali Kubur sebagai bukti kalau mereka telah membunuh
Dewa Orok. Padahal, justru di bundaran karet mirip dot bayi itulah kekuatan Dewa
Orok. Tanpa adanya bundaran karet, kekuatan Dewa Orok tidak ada apa-apanya. Dia
hanya dapat kerahkan ilmu peringan tubuh tanpa bisa kerahkan tenaga dalam.
"Sebelum Malaikat Penggali Kubur muncul, lebih baik pemuda buntung itu
kuselesaikan dahulu!" pikir Iblis Rangkap Jiwa. Dan sebenarnya apa yang menjadi
pikiran Iblis Rangkap Jiwa, terlintas juga pada Ratu Pemikat.
Sementara itu, di atas puncak batu bercadas putih, tiba-tiba Raden Mas Antar
Langit sudah lambaikan kedua
tangannya pada Dewa Orok sambil berteriak.
"Hai, Sobat lama! Senang bisa jumpa lagi denganmu!
Mana perempuan yang bersamamu dulu"!"
Mungkin karena tidak memiliki tangan untuk balas
melambai, Dewa Orok akhirnya membuat gerakan satu
kali. Wuuutt! Sosoknya melesat dua tombak ke udara.
Membuat gerakan jungkir balik satu kali lalu meluncur lagi ke bawah. Ketika
sosoknya kembali ke atas batu, pemuda bertangan buntung ini telah tegak dengan
kedua kaki di atas dan kepala di bawah sebagai tumpuan tubuhnya!


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Orok gerakkan kedua kakinya melambai-lambai.
Lalu terdengar suaranya.
"Hai, Sobat lama! Gembira sekali bisa jumpa lagi dengan kalian! Perempuan tempo
hari itu terpaksa kutinggal, karena terlalu cerewet! Aku ingin tanya pada
kalian. Karena kulihat kalian datang lebih dahulu!"
"Silakan, silakan! Kau hendak tanya apa"!" kata Raden Mas Antar Langit.
"Ada apa sebenarnya di tempat ini"! Aku merasa
indahnya suasana tidak seirama dengan pemandangan
sekitar! Ada beberapa mata memandang beringas men-
delik! Ada juga wajah-wajah gelisah dan tegang! Hatiku jadi ikut-ikutan
berdebar!"
Raden Mas Antar Bumi yang bertelanjang dada
menyahut teriakan Dewa Orok.
"Kau tak usah berdebar-debar! Ini tempat pasar jodoh!
Kau boleh memilih perempuan mana yang kau suka dan
cocok di hatimu! Ketegangan wajah-wajah mereka karena mereka tak sabar ingin
segera dipilih!"
"Aku boleh memilih mana yang kusuka dan cocok di hatiku"!" ulang Dewa Orok. "Aku
tidak mengenal mereka.
Mau di antara kalian memperkenalkan mereka"!"
Raden Mas Antar Bumi arahkan telunjuknya pada Ni Luh Padmi yang tegak dan sedari
tadi kancingkan mulut. Lalu orang ini mulai bersuara.
"Dia adalah seorang nenek berwajah cantik jelita dari tanah seberang. Dia
dikenal dengan nama Ni Luh Padmi....
Ukuran tubuhnya akan kukatakan nanti setelah aku
memperkenalkan mereka satu persatu!"
Paras muka si nenek kontan berubah. Bukan hanya
karena ucapan orang, lebih dari itu karena orang telah tahu siapa dirinya!
Raden Mas Antar Bumi tidak perhatikan perubahan
wajah si nenek. Dia gerakkan telunjuknya dan kini mengarah pada Putri Sableng.
"Yang itu aku belum sempat tanyakan siapa namanya meski tadi aku sempat
bercakap-cakap! Tapi kurasa dia tidak keberatan kalau kusebut Ratu...."
Raden Mas Antar Bumi tidak jadi lanjutkan ke-
terangannya. Sementara paras muka Putri Sableng tampak memberengut sambil
perdengarkan gumaman. Sepasang
matanya mendelik besar-besar.
"Ah, kalau Ratu kurasa kurang cocok!" lanjut Raden Mas Antar Bumi. "Kusebut saja
Gadis Malam.... Wajahnya tidak usah diragukan lagi! Demikian pula segalanya!"
Meski Putri Sableng terlihat makin mendelik, namun
sesaat kemudian gadis berjubah merah ini telah per-
dengarkan tawa cekikikan!
Raden Mas Antar Bumi kini arahkan telunjuknya pada
Dewi Siluman. Yang ditunjuk sudah perdengarkan
dengusan. Namun mau tak mau dia menunggu juga.
"Yang itu aku tadi mendengar dia sebutkan diri dengan Dewi Siluman. Tapi aku
lebih suka memanggilnya si Jubah Hitam! Yang ini punya keistimewaan
tersendiri.... Dia...."
Raden Mas Antar Bumi tidak teruskan bicaranya.
Melainkan berpaling pada temannya dan berkata. "Kau saja yang beri keterangan!"
Raden Mas Antar Langit angkat bahunya. Melihat sekilas pada Dewi Siluman di
bawah sana. Yang dipandang
tampak mendongak dengan mata berkilat-kilat dan tubuh bergetar.
Raden Mas Antar Langit menelan ludah dahulu lalu buka mulut.
"Si Jubah Hitam itu.... Tidak mengenakan apa-apa lagi di balik jubah hitamnya!"
Raden Mas Antar Langit tahan suara tawanya yang
hampir saja meledak. Tapi tidak demikian halnya dengan Putri Sableng. Gadis ini
langsung saja tertawa cekikikan!
Dewi Siluman tak dapat lagi tahan kesabaran. Kedua
tangannya yang sedari tadi sudah terangkat segera saja disentakkan ke atas.
Wuuttt! Wuuutt!
Terdengar dua suara deruan. Saat bersamaan terlihat
dua gelombang menghampar di atas pasir lalu menggebrak ganas ke puncak batu
cadas putih! Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi
buru-buru rebahkan diri sejajar dengan batu cadas di mana mereka berada.
Brakk! Brakkk! Bibir puncak batu cadas putih pecah berantakan di dua tempat. Pecahan batu cadas
sejenak tampak bertabur di atas hamparan pasir yang membentang membelah
kawasan berbatu.
"Kau cari gara-gara saja!" gumam Raden Mas Antar Langit.
"Bukan cari gara-gara. Sobat lama kita ingin tahu. Apa salahnya kita memberi
keterangan"!" sahut Raden Mas Antar Bumi.
Kedua orang ini lantas merangkak ke bibir batu cadas putih dan mungkin takut
diserang lagi, keduanya hanya menampakkan kepala masing-masing. Sementara di
bawah sana, Dewi Siluman tampak bantingkan kaki
kanannya. Sebenarnya perempuan ini hendak lepaskan
pukulan lagi, tapi setelah melihat jaraknya terlalu jauh, dia urungkan niat.
Apalagi dilihatnya kedua orang di puncak batu kini arahkan pandangannya pada
Ratu Pemikat yang tegak tidak jauh dari Dewa Orok.
"Sobat lama!" kata Raden Mas Antar Bumi. "Kulanjutkan keterangan yang kau minta.
Perempuan di depanmu itu
kalau tidak salah bergelar...." Raden Mas Antar Bumi dekatkan telinganya pada
mulut Raden Mas Antar Langit.
Lalu mengangguk-angguk. Saat lain dia lanjutkan ucapannya. "Dia bergelar Dewi
Asmara alias Ratu Penjilat!"
"Dewi Asmara alias Ratu Pemikat!" seru satunya.
"Ah. Betul! Aku tadi salah ucap. Yang betul Dewi Asmara alias Ratu Pemikat!"
teriak Raden Mas Antar Bumi mem-betulkan ucapannya. "Soal wajah dijamin! Bentuk
tubuh tak usah dibilang lagi! Cuma ada sedikit sayangnya...."
"Kau bilang cuma sedikit ada sayangnya. Apa itu"!" seru Dewa Orok.
"Dia lebih senang pada celana butut laki-laki daripada tubuh laki-laki itu
sendiri! Hik.... Hik.... Hik...!"
Ratu Pemikat tampak kernyitkan dahi mendengar
ucapan orang. Dia sama sekali tidak menduga kalau kedua orang itu bukan saja
mengetahui siapa saja yang ada di situ, namun juga tahu siapa dia sebenarnya!
Ini lebih meyakinkan si perempuan kalau alasan yang dikemukakan dua orang
berwajah hitam tadi hanyalah dusta belaka!
Namun Ratu Pemikat tidak mau terus menduga-duga
siapa adanya kedua orang berwajah hitam. Karena saat itu pikirannya sedang
dibuncah dengan urusan bagaimana
menyelesaikan Dewa Orok sebelum Malaikat Penggali
Kubur muncul. Sementara di puncak batu bergubuk hitam, Iblis
Rangkap Jiwa makin gelisah. Ia sesekali menghela napas dengan mata mendelik pada
Dewa Orok di seberang sana.
Dalam hati dia berharap Ratu Pemikat cepat bertindak.
Laki-laki berkepala gundul ini tidak berani langsung turun tangan. Dia khawatir
orang di tempat itu akan curiga.
Sementara Ratu Pemikat sendiri tampaknya harus
berpikir dua kali untuk menghadapi Dewa Orok.
Pengalamannya tempo hari waktu jumpa dengan Dewa
Orok membuat perempuan ini bimbang. Saat itu kalau saja Iblis Rangkap Jiwa tidak
segera muncul, niscaya dia akan kesulitan menghadapi Dewa Orok. Malah dia waktu
itu sudah dalam keadaan terjepit!
Melihat Ratu Pemikat belum juga lakukan sesuatu, Iblis Rangkap Jiwa tampaknya
hilang kesabaran. Dia buka
mulut hendak ucapkan perintah. Namun mulutnya men-
dadak terkancing kembali saat sepasang matanya melihat satu sosok tubuh
berkelebat menuju kawasan Kedung
Ombo dari sebelah belakang batu cadas putih di depan kedung.
Iblis Rangkap Jiwa dapat melihat dahulu sosok yang
berkelebat karena dia berada pada ketinggian puncak batu yang membukit.
"Jangan-jangan dia!" desis Iblis Rangkap Jiwa dengan mata dibeliakkan.
Sosok yang berkelebat terus berlari cepat. Karena kedua orang berwajah hitam
juga berada pada ketinggian, maka mereka berdua adalah orang kedua yang melihat
munculnya orang. Hingga keduanya serentak palingkan
kepala ke belakang, karena orang yang berlari datang dari jurusan belakangnya.
"Hem.... Apa saja yang dilakukan sontoloyo ini hingga sampai datang terlambat?"
gumam Raden Mas Antar Bumi.
"Dia tidak merasa kalau orang sudah berdebar-debar takut dia tidak muncul! Dasar
sontoloyo sableng!"
"Ah.... Kau sepertinya tidak tahu urusan anak muda saja!" sahut Raden Mas Antar
Langit. "Tapi seharusnya dia tahu! Ini urusannya! Bukan urusan orang-orang tua seperti
kita!" bisik Raden Mas Antar Bumi dengan nada keras.
"Tapi sebenarnya kau punya urusan juga di sini, bukan"!"
"Urusannya berbeda!" bentak Raden Mas Antar Bumi.
"Betul! Tapi tempatnya sama! Lalu di mana bedanya"!"
"Dasar iblis bodoh! Tak tahu membedakan urusan dan tempat!" rungut Raden Mas
Antar Bumi. Meski dicaci, Raden Mas Antar Langit tampak senyum-senyum. Orang ini
lantas bertanya. "Kau yakin orang yang disebut-sebut mendapatkan Kitab Hitam itu
akan muncul di sini"!"
"Itu lain dengan urusanku! Jadi aku tak mau menduga-duga!"
Raden Mas Antar Langit masih tampak senyum-senyum
meski mendapat jawaban ketus dari Raden Mas Antar
Bumi. "Terus-terusan bicara dengan manusia sinting, bisa-bisa aku akan ikut
sinting!" gumam Raden Mas Antar Langit.
Raden Mas Antar Bumi sebenarnya ingin membentak
lagi, tapi diurungkan tatkala dilihatnya orang yang berkelebat telah berada di
bawahnya. Kalau tadi Raden Mas Antar Bumi sempat memaki orang
yang berkelebat, kini dia tampak gerakkan tangannya
melambai-lambai lalu berteriak.
"Hai...! Harap sebutkan diri sebelum memasuki kawasan pasar jodoh ini!"
Mungkin karena terkejut mendengar teriakan orang,
orang yang berkelebat di bawah sana serta-merta hentikan larinya. Lalu
berkelebat dan tegak bersandar pada bagian bawah batu cadas putih yang
menjulang. Dia sengaja
memilih tempat agak menjorok. Karena dengan demikian, dia dapat melihat dengan
leluasa tempat di sebelah kanan kiri kedung.
Orang yang baru muncul dan tegak di pojok batu cadas putih menjulang tengadahkan
kepala. Lalu longokkan
kepala ke depan. Berpaling ke kawasan berbatu sebelah kanan kedung. Cuma sesaat.
Lalu palingkan kepala ke
kawasan berbatu sebelah kiri kedung. Orang ini angkat tangan kirinya. Bukan
memberi isyarat, melainkan hendak masukkan jari kelingkingnya ke dalam lobang
telinganya! Sesaat kemudian orang ini tampak terjingkat-jingkat
dengan wajah meringis!
"Kelakuannya tidak berubah!" desis Raden Mas Antar Bumi. Orang ini terlihat
hendak berteriak lagi. Namun satu suara telah terdengar mendahului.
"Pendekar 131! Akhirnya kau muncul juga! Ha.... Ha....
Ha...!" Yang berteriak ternyata adalah Iblis Rangkap Jiwa.
"Murid jahanam sinting itu!" Ni Luh Padmi ikut-ikutan berteriak. "Kali ini
jangan harap kau bisa lari lagi sebelum kau katakan di mana guru keparatmu
berada!" Orang yang mainkan jari kelingking pada lobang
telinganya dan bukan lain memang Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng cepat tarik kepalanya. Lalu perlahan-lahan dia mengintip
dari bibir batu cadas putih.
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
SEPULUH --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
DA keanehan...," gumam Pendekar 131. "Mengapa gadis berjubah merah itu berada
bersama Dewi A Siluman di bawah naungan Iblis Rangkap Jiwa"!
Jangan-jangan dia kaki tangan Malaikat Penggali Kubur!"
Kepala murid Pendeta Sinting berpaling ke kiri ke kawasan berbatu di sebelah
kanan kedung. "Dewa Orok. Mengapa pemuda ini ada bersama Ratu Pemikat"! Dan
perempuan itu, kenapa mengambil tempat berseberangan dengan Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh
Padmi"!"
Kepala Joko mengedar berkeliling. "Malaikat Penggali Kubur belum tampak batang
hidungnya! Bagaimana ini..."!
Apakah benar kalau pemuda itu yang telah mendapatkan Kitab Hitam"! Jangan-jangan
keterangan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa hanya mengada-ada saja...!"
Karena belum bisa menjawab apa yang membuncah
dalam hatinya, murid Pendeta Sinting tampak tengadahkan kepala memandang langit.
Sang rembulan tampak bersinar cemerlang. Tidak ada segumpal awan pun yang
melintang di sana.
Saat itulah tiba-tiba satu benda putih menutupi pe-
mandangan Joko meluncur dari atas. Bersamaan dengan
itu terdengar teriakan dari puncak batu cadas putih.
"Apa yang kau lakukan di situ"! Di sini bukan tempat orang melamun!"
Joko buru-buru melompat menghindar. Benda putih yang melayang turun yang
ternyata adalah pecahan batu cadas menghantam tanah berpasir. Tanah berpasir
muncrat lalu tampak lobang menganga besar!
"Siapa kalian"! Apa pula yang kalian kerjakan di situ"!"
Joko balik bertanya sambil mendongak.
"Sialan! Disuruh sebutkan diri malah bertanya!" teriak orang dari puncak batu
cadas putih. "Hai, Sobat lama berdua di atas puncak batu putih!"
Yang berseru adalah Dewa Orok. Pemuda ini masih tegak dengan kaki di atas kepala
di bawah. Kedua kakinya
bergerak meiambai-lambai. "Yang di bawah kalian itu adalah sahabatku!"
"Hem.... Siapa namanya"!" teriak salah seorang dari puncak batu cadas putih.
"Kalau dia belum sempat merubah nama, dia adalah pemuda yang dikenal dengan
sebutan Joko Sableng! Murid tunggal manusia setengah edan yang disebut-sebut
orang dengan Pendeta Sinting!"
Kedua orang berwajah hitam di atas puncak batu cadas putih saling pandang. Lalu
salah seorang kembali
berteriak. "Sobat lama! Selama ini kita hanya saling kenal wajah tanpa tahu nama
masing-masing! Mumpung di sini, mau kau katakan siapa namamu"!
"Ah.... Betul! Selama ini kita hanya saling kenal wajah tanpa tahu nama masing-
masing! Aku mau saja katakan
siapa namaku.... Tapi sebenarnya aku sungkan!"
"Ini pasar jodoh! Kau tak usah sungkan-sungkan!"
"Aku sebenarnya adalah Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng...!"
Dari arah seberang terdengar suara tawa cekikikan.
Ratu Pemikat tampak sunggingkan senyum dingin.
Sementara kedua orang di atas puncak batu cadas putih kembali saling pandang.
"Kalian tidak percaya"!" teriak Dewa Orok. Pemuda bertangan buntung ini membuat
gerakan satu kali.
Sosoknya melesat ke udara. Begitu turun lagi, si pemuda telah tegak di atas batu
dengan kaki di bawah kepala di atas. Pemuda bertangan buntung itu busungkan
dada. Kepalanya didongakkan. Lalu putar tubuhnya dua kali.
"Apa potonganku kurang meyakinkan kalau disebut Pendekar"!"
"Gila! Yang hadir ternyata bukan hanya orang-orang yang punya kepentingan! Tapi
juga orang-orang gila!" gumam murid Pendeta Sinting.
Sementara itu, melihat kemunculan Pendekar 131, Dewi Siluman tampak tidak sabar.
Laksana hendak terbang,
perempuan bercadar hitam ini berkelebat.
Namun baru saja sosoknya mencapai hamparan pasir di
depan kedung, satu gelombang dahsyat melesat meng-


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hantam dataran pasir yang membelah dua kawasan, mem-
buat gerakan Dewi Siluman tertahan. Malah perempuan ini harus segera melompat
mundur. Jika tidak, niscaya
gelombang tadi akan menghantam tubuhnya.
Dewi Siluman kepalkan kedua tangannya lalu berpaling ke atas dari mana gelombang
tadi berasal. Di atas sana, Iblis Rangkap Jiwa tampak berkacak pinggang tanpa
memandang ke arah Dewi Siluman yang saat itu
memandangnya. "Jangan ada yang berani membuat gerakan tanpa per-setujuanku! Lagi pula kita
masih menunggu kedatangan seseorang!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.
"Itu urusanmu! Aku punya urusan sendiri dengan
pemuda itu!" Dewi Siluman balas membentak.
"Persetan kau punya urusan dengan pemuda itu atau tidak! Tapi kalau kau keras
kepala, terpaksa aku membunuhmu terlebih dahulu!"
Meski selama ini belum mengenal Iblis Rangkap Jiwa,
namun melihat beberapa kali pukulan yang sempat dilepas si laki-laki berkepala
gundul itu, membuat Dewi Siluman maklum kalau Iblis Rangkap Jiwa tidak bisa
dipandang sembarangan. Tapi tampaknya Dewi Siluman tidak begitu saja diam. Dia
cepat angkat bicara.
"Siapa orang yang kau tunggu"!"
Iblis Rangkap Jiwa palingkan kepala. "Matamu nanti akan melihat sendiri! Tak
usah banyak tanya!"
"Hem.... Mungkin yang ditunggu itu adalah orang yang disebut-sebut sebagai
pemegang Kitab Hitam! Perturutkan hati, ingin rasanya aku mengadu jiwa dengan
laki-laki gundul itu! Tapi...." Dewi Siluman berpikir sejenak. Kejap lain
perempuan ini melangkah mundur lalu melompat ke atas sebuah batu.
Sementara itu, melihat kemunculan murid Pendeta
Sinting, Ratu Pemikat tampak lebarkan senyum meski jelas wajahnya masih
membayangkan rasa gelisah. Dia belum
bisa memutuskan apa yang harus diperbuat dengan Dewa Orok.
"Pendekar 131! Mengapa kau masih berada di situ"!"
ujar Ratu Pemikat.
Dewa Orok yang tadi sebutkan diri sebagai Pendekar
131 segera hendak berkelebat. Tapi gerakannya tertahan tatkala tiba-tiba Ratu
Pemikat balikkan tubuh dan membentak. "Aku tahu siapa kau! Jangan bertingkah
macam-macam!"
Dewa Orok tergagu diam. Dia saling pandang dengan
murid Pendeta Sinting lalu sama-sama tertawa!
"Walah.... Pemuda itu menipu kita!" terdengar suara dari puncak batu cadas
putih. "Yang Pendekar 131 ternyata bocah yang cengengesan itu!"
Dewa Orok mendongak. Begitu dilihatnya kedua kepala
di bibir batu cadas putih tertawa-tawa, pemuda bertangan buntung itu makin
keraskan suara tawanya!
Ratu Pemikat tidak pedulikan Dewa Orok, dia kembali
putar tubuh menghadap murid Pendeta Sinting. "Aku hendak bicara denganmu! Bisa
kau kemari"!"
Murid Pendeta Sinting berpikir sejurus. Lalu perlahan-lahan melangkah ke kawasan
batu di mana Ratu Pemikat dan Dewa Orok berada.
Belum sampai langkahan kaki Joko mencapai kawasan
berbatu sebelah kanan kedung, tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki-kaki
kuda berpacu cepat. Semua
kepala berpaling ke arah kawasan berbatu cadas putih di depan kedung. Karena
suara derap langkah kaki kuda
berasal dari sana. Namun semua orang di tempat itu
dibuat bertanya-tanya dan heran.
Dari arah belakang kawasan berbatu cadas putih, ter-
lihat seekor kuda berlari cepat laksana kesetanan. Namun bukan kecepatan larinya
kuda yang membuat semua orang terkesima. Karena ternyata kuda kesetanan itu
berlari tanpa penunggang! Anehnya kuda itu berlari kencang dan lurus menuju
kedung seakan dikendalikan oleh seorang penunggang!
Semua orang tidak ada yang membuat gerakan atau
angkat bicara. Semua seolah menunggu. Sementara kuda tanpa penunggang itu terus
berlari. Dalam beberapa saat saja binatang itu telah berada di bawah puncak batu
cadas putih menjulang di depan kedung. Kejap kemudian telah berada di hamparan
pasir yang membentang membelah
kawasan berbatu. Anehnya, kuda itu terus berlari melintasi hamparan pasir.
Hamparan pasir tampak muncrat ke udara. Lalu ter-
dengar ringkihan keras. Kuda tanpa penunggang terus
berlari lurus menuju kedung. Semua orang sudah menduga kalau kuda itu bakal
tercebur ke dalam kedung. Karena jarak antara kuda dengan bibir kedung tinggal
dua tombak lagi, sementara si binatang laksana kesetanan terus berlari.
Sejengkal lagi kaki depan kuda tanpa penunggang ter-
perosok masuk ke dalam kedung, tiba-tiba satu sapuan gelombang dahsyat melesat
dari arah sebelah kiri kedung.
Kedua kaki depan kuda tanpa penunggang yang telah
berada di atas air kedung tertahan sekejap. Di kejap lain kedua kaki depannya
terangkat tinggi. Dari mulutnya terdengar ringkihan keras. Sosoknya berputar.
Lalu mencelat balik ke belakang sejauh lima tombak sebelum akhirnya terkapar di
atas pasir. Untuk kesekian kalinya dari
moncongnya yang berbusa terdengar ringkihan keras membahana. Namun laksana
direnggut setan, ringkihan kuda terputus. Sosoknya diam tak bergerak-gerak lagi!
"Air Kedung Ombo hanya pantas dihiasi bangkai
manusia-manusia sesat yang tidak tunduk pada perintah-ku!" terdengar teriakan
keras menyambuti putusnya ringkihan kuda.
"Malaikat Penggali Kubur!" satu seruan menyeruak dari puncak batu di mana gubuk
hitam berada. Semua kepala kini berpaling ke puncak batu sebelah kiri kedung yang ditancapi
gubuk hitam. Kalau tadi di sana hanya tampak Iblis Rangkap Jiwa, kini di sebelah
laki-laki berkepala gundul itu terlihat tegak berkacak pinggang seorang pemuda
mengenakan jubah putih. Parasnya
tampan namun membayangkan keberingasan. Dagunya
kokoh dengan sepasang mata tajam. Rambutnya hitam
lebat dan panjang sebahu.
Si pemuda gerakkan kedua tangannya singkapkan
bagian bawah jubahnya. Di balik jubah putihnya terlihat rangkapan pakaian hitam.
Si pemuda yang bukan lain
adalah Malaikat Penggali Kubur arahkan kepalanya
memandang satu persatu pada orang yang berada di
bawah. "Iblis Rangkap Jiwa!" bentak Malaikat Penggali Kubur.
"Kau telah mengorek keterangan tua bangka perempuan yang menggenggam tusuk konde
butut itu"!" Yang dimaksud Malaikat Penggali Kubur tidak lain adalah Ni Luh
Padmi. Seperti diketahui, si nenek tidak muncul di puncak Bukit Selamangleng pada saat
yang ditentukan.
Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Sebenarnya laki-laki berkepala gundul
ini masih terkesiap dengan kemunculan Malaikat Penggali Kubur sementara di sisi
lain dia belum bisa menyelesaikan urusannya dengan Dewa
Orok. "Telingamu tidak tuli! Jangan kau buat kesabaranku habis!" ujar Malaikat
Penggali Kubur dengan nada keras.
"Dia baru saja muncul! Dan belum sempat aku
mengorek keterangannya, kau telah datang!" kata Iblis Rangkap Jiwa seraya
melirik jauh ke seberang.
"Siapa gadis berjubah merah itu"!" tanya Malaikat Penggali Kubur.
"Dia bernama Putri Sableng! Dia siap kerahkan tenaga untuk membantu kita!"
Malaikat Penggali Kubur tersenyum aneh. Kepalanya
kini terarah pada Dewi Siluman. Untuk beberapa saat
pemuda murid Bayu Bajra ini perhatikan dengan seksama.
"Hem.... Dewi Siluman! Ternyata kau belum mampus di Pulau Biru! Malam ini kau
akan tahu siapa orang yang pernah kau buat bulan-bulanan dahulu!" kata Malaikat
Penggali Kubur dalam hati.
Seperti diketahui, antara Malaikat Penggali Kubur dan Dewi Siluman sempat
beberapa kali jumpa. Dan mereka
terakhir kali bertemu saat terjadi peristiwa di Pulau Biru.
(Tentang pertemuan Malaikat Penggali Kubur dengan Dewi Siluman silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode :
"Neraka Pulau Biru").
"Siapa perempuan berjubah hitam itu"!" tanya Malaikat Penggali Kubur pura-pura
tidak kenal. "Dia Dewi Siluman! Dia juga siap berada di pihak kita!"
kata Iblis Rangkap Jiwa.
Sementara itu, untuk sesaat tadi Dewi Siluman seolah masih tidak percaya dengan
pandangan matanya. Malah
perempuan ini sempat mengerjap lalu melotot untuk
meyakinkan. Dan begitu Malaikat Penggali Kubur berpaling ke arahnya, dia baru
merasa yakin. "Malaikat Penggali Kubur.... Hem.... Jadi dia manusianya yang mendapatkan Kitab
Hitam itu! Tidak terbersit sama sekali jika dia manusianya! Melihat pukulannya
yang menahan gerakan binatang malang itu, rupanya dia jauh meningkat dibanding waktu
di Pulau Biru! Ini mungkin akibat kitab itu...." Diam-diam Dewi Siluman
membatin. Malaikat Penggali Kubur terus arahkan pandangannya
menyeberang. Dia sempat belalakkan mata tatkala melihat dua kepala berwajah
hitam berambut awut-awutan di bibir puncak batu cadas putih.
"Siapa kedua setan hitam di puncak batu cadas putih itu"!"
Iblis Rangkap Jiwa sesaat arahkan pandangannya pada
puncak batu cadas. Sebenarnya dada Iblis Rangkap Jiwa sudah berdebar keras.
Karena tak lama lagi akan tiba pada sosok Dewa Orok. Hingga mungkin karena
pikirannya tercurah pada urusan Dewa Orok, Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab
pertanyaan Malaikat Penggali Kubur.
Laki-laki berkepala gundul ini buru-buru buka mulut saat Malaikat Penggali Kubur
berpaling ke arahnya dengan
mata berkilat. "Mereka adalah Raden Mas Antar Langit dan Raden Mas Antar Bumi! Menurut
pengakuan mereka, kedatangan
mereka malam ini karena ingin menghilangkan kutuk pada diri mereka dengan mandi
di kedung pada malam
purnama!" Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Lalu arahkan
pandangannya lagi ke puncak batu cadas putih. Saat
bersamaan, kedua orang berwajah hitam sama angkat
tangan masing-masing melambai-lambai. Dan sesaat
kemudian salah satu dari kedua orang ini terdengar angkat bicara berteriak.
"Hai, Teman lama...! Beda benar penampilanmu saat ini!
Bagaimana kabarmu...?"
Malaikat Penggali Kubur mendelik angker. Rahangnya
terangkat mengembung. Dari mulutnya terdengar desisan.
"Apa mereka mengenalku"! Siapa mereka sebenarnya"!"
Ucapannya tidak disambuti orang, salah seorang yang
tadi berteriak yang ternyata adalah Raden Mas Antar Langit berpaling pada Raden
Mas Antar Bumi. Saat yang sama
Raden Mas Antar Bumi tampak buka mulut. Raden Mas
Antar Langit berbisik. Lalu tampak Raden Mas Antar Bumi yang bertelanjang dada
mengangguk-angguk. Lalu orang ini berseru.
"Hai.... Kau adalah teman dari temanku ini! Sebagai teman dari temanku, berarti
kau adalah temanku juga!
Kunasihatkan.... Tempatmu bukan di situ! Campur aduk dengan Iblis Rangkapan!
Tapi di sini, bersama dengan temanku...!"
Malaikat Penggali Kubur masih kancingkan mulut tidak sambuti seruan orang.
Sebaliknya Iblis Rangkap Jiwa
tampak menggerendeng panjang mendengar dirinya
disebut Iblis Rangkapan. Dan dia makin geram tatkala dari arah bawah terdengar
suara tawa cekikikan.
"Mulut mereka harus dirobek!" teriak Iblis Rangkap Jiwa.
Laki-laki berkepala gundul ini sudah hendak berkelebat.
Namun tangan kanan Malaikat Penggali Kubur bergerak
menghalangi. "Aku masih butuh keterangan! Jangan pergi dahulu!" ujar Malaikat
Penggali Kubur, membuat Iblis Rangkap Jiwa waswas. Sedikit banyak Iblis Rangkap
Jiwa dapat menduga keterangan apa sebenarnya yang hendak
ditanyakan Malaikat Penggali Kubur.
Mendapati orang belum juga menyambuti ucapan,
Raden Mas Antar Langit sekali lagi berteriak masih dengan lambaikan tangan.
"Hai, Teman lama.,.! Sebagai bukti kalau kau adalah teman lamaku, aku akan
katakan siapa kau!" Raden Mas Antar Langit sengaja memutus ucapannya. Sementara
Malaikat Penggali Kubur tampak makin mendelik.
"Aku yakin, kau adalah pemuda kesohor bergelar
Malaikat Penggali Kubur. Kau adalah murid tunggal Bayu Bajra! Betul bukan"!"
"Hem.... Aku yakin, alasan kedatangan mereka hanya omong kosong! Tapi apa
peduliku"! Kitab Hitam di
tanganku! Siapa pun mereka adanya, mereka juga harus ikut mampus di sini!"
Membatin Malaikat Penggali Kubur.
Lalu tanpa pedulikan lambaian orang, Malaikat Penggali Kubur arahkan
pandangannya pada murid Pendeta Sinting yang masih tegak di atas pasir. Pelipis
kanan kirinya bergerak-gerak. Giginya beradu perdengarkan suara ber-gemeletak.
Jelas kalau pemuda murid Bayu Bajra ini
sedang menindih hawa kemarahan.
"Pendekar 131! Akhirnya tiba juga saat kematianmu!
Kau boleh membekal beberapa kitab sakti! Tapi Kitab
Hitam akan memusnahkannya!" desis Malaikat Penggali Kubur. Kalau saja dia tidak
inginkan keterangan lagi dari Iblis Rangkap Jiwa, pemuda ini rasanya sudah
melayang turun.
Sementara itu, melihat kemunculan Malaikat Penggali
Kubur, murid Pendeta Sinting sejenak tadi masih ter-
kesima. Meski selama ini telah mendengar kalau yang
mendapatkan Kitab Hitam adalah Malaikat Penggali Kubur, namun sebenarnya dia
masih belum yakin benar. Dia
belum habis pikir, bagaimana Malaikat Penggali Kubur berhasil mendapatkan Kitab
Hitam, padahal menurut yang
diketahuinya, Kitab Hitam berada di sekitar Bukit
Selamangleng yang dijaga Iblis Rangkap Jiwa. Sementara Iblis Rangkap Jiwa adalah
manusia berilmu tinggi yang dikenal tidak mempan terhadap pukulan. Lebih dari
itu, dari mana Malaikat Penggali Kubur bisa mengetahui
tentang Kitab Hitam.
Tapi begitu melihat kemunculan Malaikat Penggali
Kubur dan melihat bagaimana dia dapat mengendalikan
kuda yang diyakini murid Pendeta sinting dikendalikan Malaikat Penggali Kubur,
serta mengetahui bagaimana
pukulan yang dilepas Malaikat Penggali Kubur mampu
menahan gerakan kuda yang hendak tercebur dalam
kedung, mau tak mau membuat Joko harus menepis
kebimbangannya. Apalagi ketika dilihatnya bagaimana Iblis Rangkap Jiwa tampak
ketakutan begitu Malaikat Penggali Kubur datang.
Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya pada
Ratu Pemikat. Lalu tampak anggukkan kepala. Di sebelahnya Iblis Rangkap Jiwa
sudah tampak gemetar. Dan jauh di seberang, Ratu Pemikat tampaknya dapat
menangkap ganjalan tidak enak. Tapi yang dirasakannya jauh lebih ringan daripada Iblis
Rangkap Jiwa. Karena dia berada jauh di seberang. Dan tak mungkin Malaikat
Penggali Kubur akan turun tangan sebelum menangani Iblis Rangkap Jiwa yang
berada di sebelahnya.
Akhirnya apa yang dicemaskan Iblis Rangkap Jiwa terjadi juga saat Malaikat
Penggali Kubur ajukan tanya dengan mata memandang pada Dewa Orok.
"Siapa manusia buntung di belakang Ratu Pemikat itu"!"
Iblis Rangkap Jiwa terdiam. Dalam pikirannya selintas masih terbersit
pertanyaan, apakah Malaikat Penggali Kubur memang tidak mengenali Dewa Orok atau
kenal tapi pura-pura bertanya. Namun belum sampai Iblis Rangkap Jiwa menarik
kesimpulan, Malaikat Penggali Kubur telah ulangi lagi pertanyaannya.


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Rangkap Jiwa masih tidak menjawab. Namun saat
lain laki-laki berkepala gundul ini telah melangkah dua tindak dan tiba-tiba
jatuhkan diri di hadapan Malaikat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur hanya menyeringai. Dengan
sikap Iblis Rangkap Jiwa, si pemuda sudah maklum, karena dari keterangan Ratu
Pemikat tempo hari, dia sudah dapat mengenali Dewa Orok meski belum sempat
bertemu muka. Namun sejauh ini Malaikat Penggali Kubur belum buka
mulut. Dia seolah menunggu Iblis Rangkap Jiwa buka
suara. "Harap maafkan. Ternyata dugaanku tempo hari salah!"
"Hem.... Dugaan apa"!" tanya Malaikat Penggali Kubur dingin.
"Ternyata Dewa Orok yang kutanam dalam keadaan
tertotok bisa lolos...."
"Hem.... Lalu"!"
"Malam ini aku akan tamatkan riwayatnya!" Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur
bergerak. Plaaakkk! Satu tamparan keras mendarat di wajah Iblis Rangkap Jiwa. Karena tidak
menduga, dan tamparan itu bukan tamparan biasa, maka kepala Iblis Rangkap Jiwa
tampak tersentak keras ke samping.
Dari arah puncak batu cadas putih terdengar suara tawa bersahut-sahutan. Lalu
terdengar suara orang. "Ternyata temanmu itu garang juga. Dan herannya ternyata
Iblis Rangkapan itu hanya pandai berteriak-teriak. Kasihan juga.... Kulihat
kepalanya tadi miring ke samping.... Hik....
Hik.... Hik...!"
Ternyata suara tawa bukan saja terdengar dari puncak batu cddas putih. Melainkan
dari bagian bawah terdengar juga suara orang cekikikan begitu kepala Iblis
Rangkap Jiwa tersentak akibat tamparan Malaikat Penggali Kubur.
Suara-suara tawa dan tawa cekikan membuat dada Iblis Rangkap Jiwa panas.
Wajahnya mengelam dengan tubuh
bergetar. Diam-diam dalam hati laki-laki ini membatin.
"Apa sekarang saja kurebut kitab itu"!" Sepasang matanya melirik ke arah dada
Malaikat Penggali Kubur.
Tapi Iblis Rangkap Jiwa terlihat masih bimbang.
Di lain pihak, Malaikat Penggali Kubur diam-diam juga membatin. "Meski aku telah
membekal Kitab Hitam, namun aku tidak mau bersusah-payah malam ini. Manusia
Iblis ini masih kuperlukan tenaganya! Lagi pula ada beberapa orang yang belum
kukenal di tempat ini!"
Habis membatin begitu, Malaikat Penggali Kubur
dongakkan kepala. Lalu menghardik.
"Mengapa kau masih di sini"!"
Iblis Rangkap Jiwa terkesiap. Belum sampai dia buka
mulut, Malaikat Penggali Kubur telah menghardik lagi.
"Habisi manusia buntung itu!"
Iblis Rangkap Jiwa pandangi tampang Malaikat Penggali Kubur dengan tatapan
dingin. Lalu dia bergerak mundur.
SELESAI Segera ikuti lanjutan kisah ini!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng dalam episode: BARA DI KEDUNG OMBO
Created by Scan & DjVu : ardiansontol
Edit teks : fujidenkikagawa
Convert to Pdf : syauqy_arr
Seruling Samber Nyawa 10 Kabut Di Bumi Singosari Karya Arief Sujana Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 8
^