Bidadari Biru 1
Gento Guyon 11 Bidadari Biru Bagian 1
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Kegelapan masih menyelimuti kawasan hu-
tan di kaki bukit. Di langit tak terlihat bintang, sedangkan cahaya bulan yang
sekejap tadi sempat menerangi kawasan bukit juga sebuah kuil
yang berada di bagian puncaknya kini tertutup
sekelompok awan. Suasana di sekitar bukit dan
kuil terasa sunyi mencekam. Kesunyian tak ber-
langsung lama, mendadak sontak terdengar suara
ledakan berdentum yang disertai guncangan ke-
ras dan semburan api yang memporak-
porandakan kuil dan bukit itu. Dari salah satu le-reng bukit di sebelah timur
satu sosok terlempar tinggi di udara akibat ledakan yang luar biasa hebat. Sosok
serba hitam menjerit ketakutan. Tu-
buhnya jungkir balik, berputar tidak tentu arah, kemudian jatuh menyangsang di
atas cabang pohon berduri. Sekali lagi sosok yang hanya mema-
kai celana hitam ini menjerit saat tubuhnya ter-
hempas di atas duri. Sakitnya luar biasa, dia
menggeliat, meringis sedangkan matanya me-
mandang ke puncak bukit dimana Kuil Setan
yang porak poranda tampak dikobari api.
Sambil merintih tak berkeputusan sosok
hitam yang biasa dipanggil dengan sebutan Me-
medi Santap Segala berusaha menggapai cabang
lainnya. Ternyata tidak semudah yang dia
bayangkan. Karena cabang yang hendak diraih-
nya dan dijadikan tempat berpegangan juga dipe-
nuhi duri. Tapi dia juga merasa tak punya pilihan lain. Sehingga dengan nekad
dia meraih cabang di atasnya.
Wuuuut! Sekali dia menggerakkan tubuh-
nya maka pemuda ini melayang dan jatuh di ba-
wah pohon. Pada saat dirinya jatuh dengan kaki
lebih dulu sampai di atas tanah inilah dia merasa menginjak sesuatu.
"Astaga apa pula ini lembek-lembek?" batin pemuda ini. Dalam kagetnya dia
memandang ke bawah. Wajah hitam Memedi Santap Segala lang-
sung berubah pucat ketika dia mendapatkan satu
kenyataan bahwa posisi jatuhnya persis di atas
punggung satu sosok berpakaian merah. Cepat
sekali dia melompat menjauhi punggung orang.
Tapi pada waktu yang bersamaan satu tangan
dengan gerakan tak terlihat menyambar ke arah
kaki kanannya. Di lain waktu kaki Memedi San-
tap Segala sudah kena dicekal orang. Sosok ber-
pakaian merah lakukan gerakan aneh pada tan-
gannya yang mencekal. Si pemuda merasakan tu-
buhnya seperti dilempar ke atas lalu dibanting ke bawah. Bruk!
Laksana dihempaskan Memedi Santap Se-
gala jatuh menelungkup. Si pemuda idiot meme-
lintir sambil dekap selangkangannya. "Aduh bi-
yung, mengapa begini amat sakitnya. Oalah...
toobaat...!" rintihnya sambil memelintir dan menggerung tak karuan.
Belum lagi Memedi Santap Segala sempat
berdiri tegak, si baju merah yang tadi mencekal
dan membantingnya kini sudah berdiri tegak di
hadapan pemuda itu. Ternyata dia adalah seorang
pemuda tampan berambut hitam lebat, beralis
tebal hidung mancung, dagu bersegi. Selain pa-
kaiannya yang serba merah, dia juga memakai
ikat kepala warna merah. Ketika memandang ke
arah Memedi Santap Segala, tatap matanya men-
corong tajam menyembunyikan kecongkakan se-
kaligus kelicikan.
"Tubuh ditumbuhi bulu, muka hitam, hi-
dung amblas ke dalam, perut buncit puser bo-
dong. Semua kejelekan yang ada di muka bumi
ini rupanya ada dalam dirimu. Manusia menyeru-
pai kunyuk hitam siapa dirimu ini" Apakah kau
turunan manusia atau turunan monyet" Jika
manusia mengapa begitu tak mengenal sopan ja-
tuhkan diri di punggung orang?" hardik pemuda berpakaian merah penuh teguran.
Mendengar ucapan seperti itu, sebenarnya
Memedi Santap Segala jadi tersinggung juga ma-
rah, namun mengingat dirinya tadi memang ber-
salah maka dia menjawab. "Aku Memedi Santap Segala. Aku mohon maaf, karena jatuh
tak sengaja menginjak punggungmu. Semua itu bukan ke-
salahanku, tapi kesalahan bukit sialan disana.
Kalau dia meletus memberitahu sebelumnya ten-
tu aku bisa menyelamatkan diri, tidak jatuh seng-sara seperti tadi!"
Jika pemuda ini bicara seperti itu di depan
Gento atau orang lain, mungkin orang sudah ter-
tawa atau paling tidak tak kuasa menahan se-
nyum. Tapi kali ini sosok yang berada di depan-
nya adalah seorang pemuda angkuh, berjiwa
sombong, licik dan memandang orang lain lebih
rendah derajatnya. Sehingga dia merasa tidak
pantas untuk tersenyum jangankan lagi tertawa.
Malah setelah kaget mendengar Memedi Santap
Segala ada menyinggung tentang bukit meledak,
sepasang matanya membulat besar. Dia sendiri
yang saat itu berada di sebelah selatan puncak
bukit juga sempat terlempar dan jatuh di tempat
itu dalam keadaan menelungkup.
Dalam hati dia berpendapat tak mungkin
pemuda bermuka monyet itu berada di Kuil Setan
jika tidak punya satu kepentingan.
Si baju merah yang bukan lain adalah Lira
Watu Sasangka alias Panji Anom Penggetar Jagad
atau yang dikenal dengan julukan Baginda Bega-
wan Muda murid Begawan Panji Kwalat terse-
nyum dingin mendengar penjelasan Memedi San-
tap Segala. "Monyet hitam, kau berada disana tentu ti-
dak secara kebetulan saja bukan. Kau pasti
mempunyai tujuan atau maksud maksud terten-
tu." Ujar Lira Watu Sasangka sambil memandang dengan tatapan mata menyelidik.
"Jika kau sayangkan nyawamu sebaiknya
jangan mencoba menipu atau memberi jawaban
dusta." Memedi Santap Segala terdiam sejenak, berfikir sambil menduga-duga siapa
adanya pemuda ini. Melihat pada tatapan mata dan caranya
bicara pemuda itu pastilah bukan orang yang
mempunyai tujuan baik. Karena itu dengan hati-
hati Memedi Santap Segala menjawab. "Aku pemuda yatim piatu. Orang tua tak punya
rumah apalagi. Waktu itu aku sedang berburu. Sejak pa-
gi hingga malam sampai paginya lagi aku tak
mendapatkan buruan terkecuali burung-burung
emprit. Karena terlalu kecil burung itu ku santap dengan bulu-bulunya." kata
Memedi Santap Segala dengan serius.
Orang secerdik Lira Watu Sasangka mana
kena dibohongi. Dia menyeringai. Sekali tangan-
nya bergerak, maka rambut pemuda itu sudah
kena dijambaknya.
"Manusia kunyuk! Berani sekali kau meni-
puku" Apa kau kira aku kena dibohongi. Ha ha
ha! Katakan, apa yang kau cari di Kuil Setan" Berani kau membohongi ku,
kupatahkan batang le-
hermu." geram pemuda itu sambil mempererat
cekalannya hingga membuat Memedi Santap Se-
gala jadi meringis kesakitan.
"Cepat katakan! Jawab dengan sejujurnya
sekali lagi Lira Watu Sasangka alias Panji Anom
Penggetar Jagad dengan sikap mengancam. Men-
dapat ancaman seperti itu Memedi Santap Segala
tidak menjadi gentar. Malah keberaniannya sea-
kan terbangkitkan kembali.
"Aku hanya mencari majikanku. Majikanku
hilang di tempat itu." jawab si pemuda.
Dessss! Satu jotosan keras mendarat di perut bun-
cit Memedi Santap Segala. Dia menjerit keras, kakinya terangkat, tubuhnya
tersentak tapi tak
sempat terpelanting karena rambut panjangnya
masih berada dalam cengkeraman lawannya.
"Manusia jahanam! Inilah kesempatan te-
rakhir bagimu. Jika kau masih ingin panjang
umur sebaiknya cepat mengaku!" Seiring dengan ucapannya itu, diam-diam Panji
Anom kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Hawa panas
mengalir deras ke bagian telapak tangan pemuda
itu. Hanya dalam waktu sekedipan mata tangan
kanannya telah berubah menjadi merah kehita-
man. "Kau lihat tanganku" Dengan tangan ini aku bisa membunuhmu semudah
membalikkan telapak tangan." Lalu Panji Anom Penggetar Jagad angkat tangannya.
"Tunggu... jangan bunuh aku. Aku... aku
mau mengaku...!" kata Memedi Santap Segala
dengan suara terbata-bata. Panji Anom tersenyum
penuh kemenangan. Dia menunggu sejenak la-
manya, sampai kemudian Memedi Santap Segala
berucap. "Aku dan majikanku Batuk Labalang da-
tang ke Kuil Setan untuk mencari satu senjata
hebat bernama Bintang Penebar Petaka. Tapi...
tapi kami terpisah karena aku terjebak dalam se-
buah lubang. Sampai sekarang aku tak tahu ma-
jikanku berada dimana?"
"Mendengar logat bicaramu, juga sebutan
datuk pada nama depan majikanmu. Agaknya ka-
lian bukan orang sini." sergah Panji Anom.
"Benar. Kami bukan orang daerah sini.
Kami datang dan tanah Andalas" jelas Memedi Santap Segala. Perlahan cekalan pada
rambutnya mengendur, tangan pemuda itu yang telah beru-
bah memerah juga diturunkan.
"Kau pendatang asing, tidak selayaknya
berkata dusta di hadapanku. Sekarang kau harus
berkata jujur padaku, dimana senjata Bintang
Penebar Petaka berada?" tanya si pemuda.
Mendengar pertanyaan seperti itu kagetlah
Memedi Santap Segala dibuatnya.
Dalam hati dia membatin. "Orang ini men-
cari senjata yang sama. Aku sudah tahu dia me-
miliki tenaga dalam yang tinggi. Aku yakin dia
bukan manusia sembarangan. Tak mungkin aku
mengatakan senjata itu berada di tanganku. Se-
perti Datuk Labalang, dia juga bukan manusia
yang dapat kupercaya. Tak akan kuserahkan sen-
jata ini padanya, tidak juga pada Datuk Labalang.
Terkecuali aku benar-benar bertemu dengan
orang yang tepat!" gumamnya. Setelah terdiam sejenak lamanya, Memedi Santap
Segala kemudian
berucap. "Mengenai senjata yang kau tanyakan, aku terus-terang belum
menemukannya. Mungkin junjunganku Datuk Labalang yang menemu-
kannya." "Ha ha ha. Jika benar apa yang kau kata-
kan sekarang aku ingin tahu dimana junjungan-
mu si Datuk keparat itu?" tanya Panji Anom
Penggetar Jagad.
Memedi Santap Segala jadi terkesiap. "Itu
satu hal yang tak mungkin untuk kulakukan!" se-ru si puser bodong tercekat.
"Keparat terkutuk. Kau mengatakan tak
mungkin, wajah monyetmu nampak ketakutan.
Pasti telah terjadi sesuatu antara kau dengannya.
Bukankah begitu?" dengus Panji Anom. Dia memandang tajam pada pemuda di
depannya. Tatap
matanya dingin menusuk. "Tiga kali kau berbohong padaku. Sekarang tidak ada
keampunan ba- gimu." Selesai bicara begitu Panji Anom tudingkan jari telunjuknya ke arah
Memedi Santap Se-
gala. Sambil tudingkan telunjuk, mulut berkomat-
kamit. Setelah itu dia berseru. "Berputarlah tubuhmu secepat gasing berputar!"
seruan itu ternyata bukanlah seruan biasa, karena pada detik
itu juga Memedi Santap Segala merasakan tu-
buhnya langsung berputar seakan ada satu keku-
atan yang tidak terlihat telah memutarnya. Tak
mau konyol dirinya terbawa pengaruh ucapan
orang, Memedi Santap Segala kerahkan tenaga
luar dalam untuk bertahan. Salah satu kakinya
dihentakkan di atas tanah. Hingga kaki itu am-
blas terbenam ke dalam tanah, walau pun begitu
tetap saja pemuda berkulit hitam ini tak dapat
berbuat banyak. Kini tubuhnya malah mulai te-
rangkat mengambang tidak menyentuh tanah. Di
saat satu kekuatan yang tidak terlihat itu mulai memulas tubuh Memedi Santap
Segala. Pada kesempatan itu pula dia lepaskan satu pukulan
menggeledek ke arah lawannya.
"Seranganmu hanya mengenai angin. Kau
tetap berputar seperti gasing sesuai dengan apa
yang kuinginkan!" teriak Panji Anom Penggetar Jagad. Kenyataannya memang itulah
yang terjadi kemudian. Pukulan yang dilepaskan oleh si pe-
muda, karena saat itu tubuhnya telah bergerak
laksana gasing, hingga arah pukulan jadi melen-
ceng. "Wuakh.... pemuda tengik. Kau menggunakan ilmu iblis untuk mencelakai
orang lain. Sungguh aku akan membalas segala apa yang
kau lakukan terhadapku ini!" teriak Memedi Santap Segala yang saat itu merasakan
seolah dunia ini ikut berputar dan kepalanya sakit berdenyut, perut mual dan mata berkunang-
kunang. "Ha ha ha! Dalam keadaan begini, setiap
perkataanku adalah sabda. Perkataan iblis yang
mempunyai sambung rasa dengan lidah. Tidak
ada yang bakal selamat dari ilmu Kontak Suara
yang kumiliki, terkecuali mereka yang mau me-
matuhi perintah dan kehendakku!" dengus Panji Anom sinis.
"Kau iblis laknat!" maki Memedi Santap Segala. Dalam kesempatan itu dia mencoba
masuk- kan jari tangannya ke balik saku celana guna
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil Batu Rembulan. Tapi tangannya sea-
kan tak bertenaga sama sekali. Dalam keadaan
begitu rupa dia memang telah kehilangan keseim-
bangan tubuh tenaga juga kesadaran. Hanya ke-
beranian yang masih membara di hatinya. Itulah
sebabnya dia terus berusaha mengumpulkan se-
genap tenaga dan sisa kekuatan. Akan tetapi se-
gala keinginannya untuk melakukan satu tinda-
kan agaknya tak dapat terlaksana karena pada
waktu itu Panji Anom telah menggerakkan tan-
gannya ke arah sebatang pohon. "Hei tubuh buruk hina, hempaskanlah dirimu ke
batang pohon itu!" seru pemuda itu. Seiring dengan ucapannya maka sosok Memedi Santap Segala
yang tadinya berputar di udara kini melesat ke arah pohon se-
suai dengan apa yang diucapkan oleh Panji Anom
Penggetar Jagad. Bersusah payah Memedi Santap
Segala mencoba mengendalikan diri. tapi daya
luncur tubuhnya yang demikian hebat tak dapat
dibendung. Tak ayal lagi laksana dihempaskan
tubuh pemuda itu menghantam pohon.
Braak! Pohon hancur, tumbang disertai suara ber-
gemuruh berisik menyakitkan telinga. Si puser
bodong merintih, pinggangnya yang terhempas ke
pohon laksana remuk dan menimbulkan rasa sa-
kit yang luar biasa.
2 Pemuda itu mencoba bangkit, tapi tak
mampu. Malah dari mulutnya menyembur darah
kental. Dalam hal ilmu kesaktian, Memedi Santap
Segala bukan manusia berkepandaian rendah. Ji-
ka dia dapat diperlakukan demikian rupa oleh la-
wan, berarti kekuatan yang dimiliki lawannya ti-
dak dapat dianggap main-main. Apalagi bila men-
gingat lawan memiliki ilmu Kontak Suara. Dengan
ilmunya yang aneh itu dia dapat melakukan apa
saja. "Sekarang kau dalam keadaan hampir tidak berdaya. Kini tiba giliran bagiku
untuk mene-lanjangi dirimu. Kau pasti menyembunyikan sen-
jata itu. Jika senjata memang tidak ada padamu,
akan kukorek jantung dan juga biji matamu...!"
dengus Panji Anom penuh ancaman.
Ancaman yang dilakukan murid Begawan
Panji Kwalat sama sekali tidak membuat Memedi
Santap Segala jadi khawatir apalagi takut. Yang
dia takutkan bagaimana jika lawan menemukan
senjata Bintang Penebar Petaka yang terselip di
dalam kantong bekal makanannya"
"Andai saja aku dapat mengambil Batu
Rembulan dari dalam saku celanaku, mungkin
keadaannya akan menjadi lain. Tapi bagaimana
aku bisa mengambil batu sakti itu, atau memper-
gunakan Bintang Penebar Petaka, sedangkan
menggerakkan tangan saja aku sudah tak sang-
gup?" keluh pemuda itu. Satu-satunya usaha yang dapat dilakukannya adalah
menghimpun tenaga dalam sedikit demi sedikit. Tapi pada waktu yang bersamaan
pula mendadak terdengar suara
menggelegar yang datang dari arah sebelah kiri
dimana Memedi Santap Segala tergeletak.
"Makhluk kunyuk pembantu sialan. Dicari
kemana-mana tidak tahunya kau ketiduran dis-
ini! Mana senjata itu" Jangan coba-coba membo-
hongi majikanmu ini lagi. Aku bisa membunuh-
mu!" kata satu suara keras penuh teguran.
"Satu lagi manusia edan datang kesini!" keluh Memedi Santap Segala yang rupanya
memang mengenal suara itu.
Hanya beberapa saat setelah gema suara
lenyap. Di tempat itu muncul kakek angker den-
gan tubuh tinggi seperti galah. Berkulit hitam,
berdaster dan berkerudung hitam. Bila Memedi
Santap Segala tercekat melihat kehadiran kakek
tinggi berwajah angker ini maka sebaliknya Panji Anom sempat dibuat terheran-
heran. Seumur hidup rasanya dia belum pernah melihat ada orang
memiliki badan setinggi itu. Sejenak dia memper-
hatikan si kakek dan sosok pemuda yang telah
dihempaskannya ke batang pohon. Nampak jelas
pemuda itu sangat ketakutan sekali.
"Aku yakin kakek ini orangnya yang di-
maksudkan oleh muka kunyuk itu. Jika senjata
ada ditangan orang tua ini tentu dia tidak mena-
nyakan senjata itu padanya. Gila! Berani benar
dia mendustai diriku." geram Panji Anom. "Dua
manusia bangsat itu akan ku sikat semuanya. Bi-
ar mereka tahu siapa aku yang sebenarnya?" gumam si pemuda dalam hati.
Di depannya sana bersikap seakan tidak
menghiraukan si baju merah, si kakek setinggi
galah yang bukan lain adalah Datuk Labalang
melangkah cepat mendekati Memedi Santap Sega-
la. Begitu sampai di depan pemuda, si kakek
langsung membungkukkan badan, tangannya
yang panjang terjulur. Sekali sentak Memedi San-
tap Segala yang sudah dalam keadaan terluka ini
terangkat naik. Matanya mendelik, nafasnya me-
gap-megap karena lehernya dalam keadaan terce-
kik. "Anak setan, kecil ku besarkan. Sejak dulu setiap ucapanmu selalu
kupercaya. Kini, setelah
kau kubawa jauh mengarungi lautan mengapa ti-
ba-tiba otakmu jadi miring dan jalan fikiran mu
jadi berubah?" hardik Datuk Labalang. "Dimana senjata itu kau sembunyikan" Cepat
katakan padaku!" "Da... Datuk. Ku mohon lepaskan dulu ce-kikan itu. Aku... aku
bisa mati kehabisan nafas
Datuk." kata Memedi Santap Segala dengan lidah terjulur, tangan menggapai udara
dan kaki melejang-lejang.
"Biarpun kau mampus disini, siapa yang
mau perduli." dengus sang Datuk, malah kini dia semakin mempererat jepitannya di
leher pemuda itu. "Katakan cepat dimana senjata itu kau sem-
bunyikan. Atau kau lebih suka aku membunuh-
mu sekarang ini"!"
"Lep... lepaskan dulu Datuk. Sebelum aku
terangkan padamu dimana senjata itu apakah
kau tidak merasa perlu mengusir orang itu. Dia
memaksaku untuk menyerahkan senjata hingga
aku dibuatnya begini rupa. Jika kau tak membu-
nuhnya bisa jadi dia akan merampas senjata yang
hendak kuberikan padamu!" ujar Memedi Santap Segala. Mendengar ucapan pemuda itu
Datuk Labalang menoleh ke arah Panji Anom. Sejak tadi
sebenarnya dia memang sudah melihat kehadiran
pemuda itu. Dia bahkan sempat melihat bagai-
mana Panji Anom membanting Memedi Santap
Segala ke batang pohon hanya dengan bicara dan
tudingkan jari telunjuknya.
Kini setelah melihat si baju merah masih
berdiri di tempatnya Datuk Labalang membentak.
"Mengapa kau tetap berada disini" Cepat me-
nyingkir!" perintah Datuk Labalang.
Panji Anom Penggetar Jagad tersenyum si-
nis. Sejenak lamanya dia pandangi orang tua
itu. Sampai kemudian terdengar suara tawanya
yang melengking tinggi hingga membuat Datuk
Labalang diam-diam jadi kaget.
"Orang tua setinggi galah. Dirimu tak pan-
tas menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan kehendakku. Dalam soal senjata,
engkau yang sudah tua bangka tidak pantas un-
tuk memilikinya. Sebaiknya pergilah kau secara
tenang. Jika kau membangkang aku tidak akan
segan untuk mengirimmu ke neraka!" kata pemu-da itu tegas.
Selama malang melintang di dunia persila-
tan belum pernah ada orang yang berani bicara
seperti itu di depan sang Datuk. Apa yang dikatakan Panji Anom membuat sang
Datuk tersing- gung. Wajah si kakek berubah menghitam, sepa-
sang mata mencorong tajam, sedangkan pelipis
bergerak-gerak.
"Berani kau bicara seperti itu pada Datu
Penguasa Tujuh Telaga. Tak ada keampunan ba-
gimu. Kau harus kubuat mampus detik ini juga."
teriak Datuk Tinggi. Sebelum gema suaranya le-
nyap di udara, tubuh jangkung sang Datuk mem-
bungkuk. Tangan kanan terjulur menggapai ke
arah kepala dengan gerakan mengemplang, se-
dangkan tangan kiri yang terkepal menjotos ke
bagian dada pemuda itu.
Mendapat serangan ganas dan sangat ber-
bahaya ini tentu Panji Anom tidak tinggal diam.
Apalagi dia mengetahui serangan itu selain
sangat cepat juga ganas sekali karena disertai suara gemuruh angin dingin berbau
busuk pertanda dalam serangan itu terkandung racun yang amat
jahat. Tanpa fikir panjang Panji Anom melompat
ke samping. Sedangkan tangannya yang satu di-
gerakkan ke atas dan satunya lagi dihantamkan
sejajar ke arah tangan lawan yang menghantam
ke arah dada. Dari telapak tangan Panji Anom
membersit sinar hitam menggidikkan, mengan-
dung hawa panas luar biasa. Karena Panji Anom
memang berniat mengadu tenaga dalamnya den-
gan lawan. Maka bentrokan keras tak dapat di-
hindari lagi. Plaak! Plaak! Dua kali benturan berturut-turut terjadi.
Panji Anom mengeluh tertahan, tubuhnya terdo-
rong mundur sejauh tiga langkah ke depan. Dua
tangannya yang sempat beradu dengan tangan
lawan terasa dingin luar biasa, menimbulkan sa-
kit berkepanjangan. Di depannya sana Datuk La-
balang sempat mengernyit, tubuhnya limbung
dan menghuyung, tangan seperti kesemutan.
"Hemm, ternyata dia memiliki tenaga dalam
yang sangat tinggi. Aku harus dapat menjatuh-
kannya secepat mungkin. Jika tidak aku sendiri
yang dibuatnya celaka!" pikir Datuk Labalang.
"Ha ha ha. Ternyata walaupun sudah mau
mampus tenagamu masih hebat juga tua bangka!
Sekarang terimalah balasan dariku!" teriak Panji Anom. Seiring dengan
teriakannya itu si pemuda
melompat ke depan, satu tendangan dilancarkan-
nya disusul dengan satu pukulan yang sangat ke-
ras mengarah ke bagian perut. Demikian cepat
serangan balasan yang dilakukan oleh pemuda
ini. Sehingga Datuk Labalang hanya dapat meng-
gerakkan tangannya untuk menangkis serangan
kaki lawan. Buuk! Satu hantaman yang keras membuat Da-
tuk Labalang terjajar. Bagian yang terkena puku-
lan terasa sakit bukan main. Bahkan daster hi-
tamnya tampak berlubang di bagian perut. Ini
pertanda serangan yang dilakukan Panji Anom
juga merupakan serangan yang sangat memati-
kan. Sambil menahan rasa sakit yang mendera
perutnya, Datuk Labalang melirik ke arah daster-
nya. Betapa kaget orang tua ini dibuatnya ketika melihat pakaiannya hangus. Rasa
kaget bercampur marah yang bergelora menyesakkan dada
membuat sang Datuk menjadi gelap mata. Den-
gan mata mendelik kakek ini berteriak. "Aku Datuk Labalang, Datu Penguasa Tujuh
Telaga. Jika hari ini aku dapat dipencundangi oleh bocah in-
gusan sepertimu, alangkah sangat memalukan
sekali!" "Lalu kau mau menunjukkan semua ke-pandaianmu di hadapanku" Ha ha ha.
Tidak usah ragu. Aku baginda mu ini siap menghada-
pinya?" tentang Panji Anom dengan sikap jumawa penuh kesombongan. Dia kemudian
melanjutkan ucapannya. "Sebelum kau melakukan sesuatu,
sekarang sebaiknya kau terbanglah dulu di uda-
ra. Bertingkah seperti burung yang baru bisa terbang dan bantingkan diri di atas
batu!" teriak Panji Anom yang rupanya telah mengerahkan il-mu Kontak Suara.
Bersamaan ucapan pemuda itu, Datuk La-
balang merasakan mendadak tubuhnya bergetar
hebat, kaki tangan serta bagian tubuh lainnya
seolah seperti disentakkan ke atas. Sang Datuk
sunggingkan satu seringai aneh. Dia kerahkan
tenaga dalam ke bagian kaki. Sehingga walaupun
Panji Anom mengulangi kata-katanya yang am-
puh itu lawan tetap tidak bergerak sebagaimana
yang dia inginkan. Murid Begawan Panji Kwalat
manusia yang selalu memandang orang lain lebih
rendah derajatnya itu tersentak kaget.
"Keparat jahanam, dia sama sekali tak ter-
pengaruh oleh Ilmu Kontak Suara ku. Kalau begi-
tu aku harus menghantamnya dengan pukulan
Kutukan Mendera Bumi!" batin si pemuda. Baru saja Panji Anom memutar kedua
tangannya di depan dada, pada saat itu pula meledaklah tawa
Sang Datuk. "Dengan ilmu iblis itu kau hendak mem-
permalukan aku sebagaimana halnya yang telah
kau lakukan pada pembantu tolol. Ilmu itu tak
bisa mempengaruhi diriku karena kau kalah tua
dan kalah dalam hal hawa murni. Kudengar ko-
non gurumu yang mewariskan ilmu keji itu pa-
damu. Heemm, seandainya gurumu saat ini bera-
da disini, sampai botak sekalipun dia tak akan
dapat mencelakai aku dengan cara seperti itu. Ha ha ha...!" kata Datuk Labalang
sambil tertawa tergelak-gelak.
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak menyangka lawan mengetahui siapa
gurunya, Panji Anom sempat dibuat tercekat. Be-
lum lagi hilang rasa kejutnya, di depan sana terdengar suara menggemuruh laksana
badai topan yang melanda. Panji Anom memandang ke depan.
Pada saat itu dia melihat tujuh cahaya putih laksana balok es berputar sebat ke
arahnya. Ketujuh cahaya putih itu berbentuk bulat seperti batang
kelapa nampak berputar menyerang Panji Anom
dari segala penjuru arah.
"Kurang ajar! Ilmu apa yang digunakan
oleh tua bangka ini?" rutuk si pemuda. Tanpa membuang waktu lagi dia segera
hentakkan salah
satu kakinya. Seiring dengan itu tubuhnya mele-
sat ke depan. Serangan sinar putih berbentuk bu-
lat berhawa dingin luar biasa ini akhirnya saling bentrok satu sama lain.
Sedangkan salah satu di-antaranya langsung melejit ke atas mengejar pe-
muda itu. 3 Satu ledakan berdentum menggema di
udara. Di atas sana Panji Anom menjerit keras ketika pahanya kena dihantam
pukulan Datuk La-
balang. Bagian ujung celananya sampai sebatas
pangkal paha hancur berkeping-keping, selain itu kaki yang terkena hantaman
lawannya nampak
melepuh menggembung besar. Panji Anom yang
merasakan kakinya laksana disiram air mendidih
jatuh dengan tubuh termiring-miring. Sakit yang
diakibatkan pukulan itu saja sudah sangat luar
biasa sekali. Tapi Panji Anom Penggetar Jagad lebih merasa sakit hati lagi
ketika melihat bagai-
mana celananya jadi robek hancur seperti dica-
cah. Sambil menggerung bagaikan harimau kela-
paran, Panji Anom Penggetar Jagad himpun selu-
ruh tenaga dalamnya. Begitu seluruh tenaga dis-
alurkan ke bagian kedua tangan. Sekujur tubuh
pemuda ini, mulai dari wajah, kedua tangan hing-
ga ke ujung kaki langsung berubah menjadi me-
rah kebiru-biruan. Dua matanya yang juga telah
menjadi biru memandang tajam ke arah lawan.
Sepasang bibir sunggingkan senyum sinis meng-
gidikkan. "Tiga Petaka Mendera Bumi.... satu ilmu
pukulan yang menurut guruku belum ada dua-
nya. Aku ingin tahu apakah Begawan Panji Kwa-
lat bicara yang sesungguhnya atau berkata dusta.
Kau calon korban pertama jika apa yang dikata-
kan guruku memang merupakan satu kenya-
taan!" ujar Panji Anom. Dengan penuh keponga-han dan disertai satu teriakan
menggeledek pe-
muda itu menerjang ke arah lawannya. Satu tan-
gan dihantamkan lurus ke arah lawan. Sedang-
kan tangan kirinya yang terkepal dihantamkan ke
bumi. Saat itu juga dari bagian bawah tanah ter-
dengar suara menggelegar laksana gejolak gu-
nung yang hendak meletus. Kemudian setelah itu
permukaan tanah nampak bergolak hebat menge-
rikan. Lalu terlihatlah satu belahan memanjang
yang mana dari bagian tanah yang terbelah itu
menyembur lidah api. Lidah api tidak langsung
menjilat tubuh lawan, begitu juga tanah yang
membelah tidak menelan tubuh sang Datuk.
Jilatan lidah api yang mencuat ke permu-
kaan langsung menyambar tubuh Panji Anom.
Dimulai dari kedua ujung kaki, terus merayap ke
sekujur tubuh, hingga ke ujung rambut dan tan-
gannya. Semua yang terjadi pada Panji Anom ber-
langsung sangat singkat sekali. Sehingga lidah api yang menjalar disekujur
tubuhnya menjadi satu
tenaga yang Maha dahsyat.
Datuk Labalang sempat terperangah, mata
mendelik mulut ternganga seakan tak percaya
dengan penglihatannya sendiri. Namun karena
menyadari ilmu aneh yang digunakan lawannya
bukan ilmu yang dapat dianggap remeh, maka
laksana walet menyambar dia menghantam men-
dahului lawannya.
Hawa panas menyambar, sinar biru berkib-
lat, menderu ke arah Panji Anom dengan sangat
cepat sekali. Tapi pada detik itu pula dari bagian tangan Panji Anom yang
terkepal melesat berturut-turut lima larik sinar maut berwarna merah
berkelok-kelok laksana ular yang berlari cepat.
Des! Des! Buuuuum! Satu ledakan berdentum menggelegar di
udara. Datuk Labalang menjerit keras, namun
suara jeritannya seolah tenggelam ditelah gemu-
ruh suara ledakan tadi. Datuk Labalang untuk
sesaat lamanya lenyap, tenggelam dalam kobaran
api. Dia jatuhkan diri dan bergulingan di atas tanah. Api yang membakar
pakaiannya membuat
tubuhnya jadi menghitam. Masih beruntung tidak
jauh dari tempat terjadinya perkelahian hebat ini terdapat sebuah sungai. Ke
arah sungai itulah
sang Datuk selamatkan dirinya. Beberapa saat
tubuh sang Datuk timbul tenggelam diseret arus.
Panji Anom yang merasa berada dalam kemenan-
gan tidak membiarkan lawannya meloloskan diri
begitu saja. Dia langsung mengejar, siapkan satu pukulan yang tak kalah hebatnya
dari pukulan Tiga Petaka Mendera Bumi. Tapi begitu dia sam-
pai di tebing kali sosok kakek setinggi galah lenyap tak kelihatan. Pemuda ini
meskipun masih merasa penasaran tapi tetap yakin jiwa sang Da-
tuk pasti tidak ketolongan mengingat sekujur tu-
buhnya mengalami luka bakar yang sangat parah.
Jika pun Datuk Labalang dapat bertahan hidup,
paling tidak dia akan menderita cacat seumur hi-
dup. Panji Anom begitu ingat dengan senjata Bin-
tang Penebar Petaka pada akhirnya bersikap tidak perduli dengan lenyapnya Datuk
Labalang yang mungkin tenggelam ditelan derasnya arus sungai.
Dia kembali ke tempat terjadinya perkelahian he-
bat tadi. Saat itu tanah yang terbelah akibat menyembur nya lidah api dari dalam
bumi yang me- rupakan salah satu pembangkit tenaga sakti pe-
muda ini sudah bertaut kembali. Yang terlihat
hanya sebuah garis menghitam selebar telapak
tangan berkelok sepanjang penglihatan mata.
Panji Anom sunggingkan satu seringai be-
gitu melihat bekas lintasan lidah api yang menjadi sumber dari kekuatan
saktinya. Akan tetapi tak
berapa lama kemudian dia cepat memandang ke
arah mana Memedi Santap Segala terbaring.
Mendadak sontak tubuh si pemuda bergetar, wa-
jahnya memucat, kedua alisnya yang tebal ber-
taut ketika menyadari Memedi Santap Segala te-
lah lenyap entah kemana. Dengan tatapan mata
liar dan nafas sesak karena menahan kegeraman
Panji Anom Penggetar Jagad memandang ke se-
tiap penjuru sudut. Sampai sejauh itu orang yang dicarinya tidak terlihat. Semua
ini membuat kemarahan Panji Anom semakin meluap-luap.
Dengan kedua tangan terkepal dia mengge-
ram. "Manusia kunyuk keparat. Dia rupanya sengaja melarikan diri di saat aku
berkelahi dengan tua bangka tadi. Dia sudah terluka, tak mungkin
dapat melarikan diri dariku. Awas... jika sampai kutemukan, akan kubeset
kulitnya." desis Panji Anom. Pemuda itu kemudian melampiaskan ke-marahannya
dengan melepaskan pukulan ke arah
semak belukar di samping pohon besar yang
tumbang. Sinar hitam berkiblat, semak belukar
rambas, lalu terdengar suara ledakan menggele-
gar. Debu pasir dan reranting pohon bertaburan
di udara dalam keadaan dikobari api. Untuk be-
berapa saat lamanya suasana di tempat itu beru-
bah menjadi gelap. Ketika kegagalan sirna dan
suasana menjadi terang kembali Panji Anom su-
dah tak terlihat lagi berada di situ.
*** Memedi Santap Segala memang sangat
menyadari, cepat atau lambat salah seorang dari
mereka yang terlibat perkelahian sengit itu pada akhirnya akan keluar sebagai
pemenang. Sedangkan yang satunya jika tidak terbunuh paling tidak terluka parah.
Siapapun yang memenangkan perkelahian hebat itu bagi Memedi Santap Segala ti-
dak begitu penting karena masing-masing dari
mereka sama-sama ingin merebut senjata Bintang
Penebar Petaka dari tangannya.
Hal seperti itu tidak boleh terjadi. Senjata
maut itu tidak akan dibiarkannya jatuh di tangan salah seorang diantara mereka.
Karena itulah ketika perkelahian sengit terjadi Memedi Santap Segala yang
mengalami luka dalam di bagian pung-
gung dengan segenap sisa kekuatan yang dia mi-
liki berusaha melarikan diri dari mereka. Akan tetapi pemuda ini tentu tidak
dapat pergi jauh ka-
rena dia hanya dapat berjalan biasa tanpa mam-
pu mengerahkan ilmu lari cepatnya. Setelah se-
kian lama bersusah payah melarikan diri sekali-
gus menghindar dari tangan-tangan serakah yang
menghendaki senjata Bintang Penebar Petaka, dia
merasa kehabisan tenaga dan kelelahan sendiri.
Sampai di suatu tempat yang terlindung
dari kelebatan semak belukar dan reranting pe-
pohonan Memedi Santap Segala menyelinap dan
berdiam disitu, sambil mencoba mengatur nafas
dan berfikir apa yang harus dilakukan selanjut-
nya. "Untuk menyerahkan senjata ini pada
orang yang berhak menerimanya, atau mungkin
orang yang pantas kutitipi senjata ini aku harus
benar-benar memiliki kekuatan yang penuh. Tu-
buhku harus sehat, tidak sakit sebagaimana se-
karang. Mungkin sekarang aku harus menyem-
buhkan luka dalamku melalui pengerahan tenaga
dalam. Jika itu dapat kulakukan dan hasilnya se-
suai dengan yang kuharapkan aku yakin bukan
saja dapat menemukan orang yang cocok untuk
kutitipi senjata ini, tapi aku juga pasti mampu
menghindar dari Datuk Labalang atau juga Panji
Anom." batin Memedi Santap Segala.
Akhirnya tanpa fikir panjang lagi Memedi
Santap Segala yang saat itu duduk bersila segera pejamkan mata. Begitu mata
terpejam dia mulai
kerahkan hawa murninya yang bersumber dari
bagian pusernya yang bodong. Puser yang menon-
jol keluar sepanjang ibu jari itu berkerut atau
bergoyang ke kanan ke kiri ke atas dan ke bawah.
Cukup lama juga si pemuda berusaha mengerah-
kan tenaga saktinya untuk disalurkan ke bagian
punggung. Namun semua usaha yang dilakukan-
nya tidak membawa hasil sebagaimana yang diha-
rapkan. Padahal saat itu sekujur tubuhnya telah
bersimbah keringat, nafas megap-megap dan se-
kujur tubuh telah pula bersimbah keringat.
Memedi Santap Segala gelengkan kepala.
"Aneh... mengapa aku tak bisa menggunakan tenaga saktiku" Jangan-jangan Panji
Anom telah mengambil tenaga saktiku secara licik, atau ba-
rangkali sumber tenaga dalamku telah berubah
menjadi angin, menjadi kentut. Jika itu sampai
terjadi, aduh matilah aku." Memedi Santap Segala
tepuk keningnya sendiri. Sementara itu akibat
pengerahan tenaga dalam membuat luka di ba-
gian pinggangnya jadi semakin bertambah sakit.
Si pemuda meringis.
Dia terdiam sesaat, berfikir mencari jalan
keluar. Sampai kemudian terlintas sesuatu di da-
lam benaknya. "Batu Rembulan... batu itu telah banyak
memberi bantuan ketika aku terperangkap di da-
lam lubang batu. Sekarang aku harus mengguna-
kan batu sakti itu." batin si pemuda. Tangannya kemudian bergerak ke bagian saku
celananya. Dia meraba kian kemari, hatinya berdebar pera-
saan jadi cemas. Akhirnya dia merasa lega ketika mendapati batu itu masih berada
di tempatnya. Batu putih sebesar dan berbentuk seperti
telur ayam dan menyimpan kekuatan sakti itu di-
ambilnya. Memedi Santap Segala memperhatikan
batu tersebut beberapa jenak. Setelah itu batu di-genggamnya erat-erat. Mulut
komat-kamit seben-
tar disertai desis aneh. Baru setelah suara desisan lenyap terdengar pemuda ini
berucap. "Batu Rembulan batu sakti, batu kesayanganku. Kepadamu aku mohon satu
pertolongan sekali lagi.
Dengan kesaktian yang kau miliki, harap kau
bantu aku sembuhkan luka di bagian pinggang-
ku!" kata si pemuda. Sesaat dia menunggu, detik demi detik berlalu. Tapi tidak
terjadi reaksi atau perubahan apapun. Batu dalam genggaman tangannya tidak
menghangat, juga tidak memancar-
kan cahaya putih ke kuning-kuningan. Melihat
kenyataan ini tentu saja Memedi Santap Segala
jadi terheran-heran. "Tak biasanya Batu Rembulan ini tidak memberi reaksi atas
semua perin- tahku. Mengapa sekarang jadi begini" Mungkin
ada satu kesalahan, mungkin kesaktian batu ini
sedang tertidur hingga dia tidak mendengar aba-
aba dariku." Fikir Memedi Santap Segala.
Karena masih juga merasa penasaran, ma-
ka dia segera berucap kembali dengan suara ke-
ras, hingga jika ada orang disekitarnya tentu
orang itu dapat mendengarnya dengan jelas.
"Batu Rembulan batu sakti.... Bantulah
aku." Selesai berkata Memedi Santap Segala kembali menunggu. Seperti tadi batu
sakti ditan-gannya tidak menunjukkan perubahan apapun.
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Batu Rembulan batu sakti...!" Untuk yang ketiga kalinya dia mengulangi, namun
sebelum dia sempat melanjutkan ucapannya mendadak
saja terdengar suara kentut besar yang kemudian
disusul dengan suara tawa yang seakan datang
dari atas langit.
Memedi Santap Segala jadi kaget bukan
main, wajah hitamnya sempat berubah memucat.
Tanpa sadar dia dongakkan kepala memandang
ke langit dimana suara tawa tadi terdengar.
"Mungkin dewakah yang mentertawaiku
tadi" Tobat... apa yang harus kulakukan?" desis Memedi Santap Segala. Dia tiba-
tiba merasa sadar telah melakukan suatu kesalahan. Jika dia
membutuhkan satu pertolongan mengapa tidak
memintanya pada Tuhan" Mengapa harus pada
batu" Benda yang sesungguhnya merupakan ba-
gian terkecil dari sekian banyak ciptaan Tuhan.
Mungkin Tuhan jadi marah, hingga Dia mengam-
bil kekuatan yang dimiliki batu tersebut.
Ingat akan semua itu membuat Memedi
Santap Segala menggigil. Pada saat itu suara tawa telah lenyap. Memedi Santap
Segala tak berani
memandang ke langit. Dia jadi malu dan takut
pada Gusti Allah.
Di saat pemuda itu diliputi berbagai pera-
saan itulah satu suara terdengar mengguntur.
"Bocah yang kulitnya seperti pantat kuali.
Kau tak mungkin dapat sembuh dari luka itu.
Kau bisa lumpuh, menderita seumur hidup dan
bisa juga mati jadi roh gentayangan. Manusia sa-
lah kaprah kau harus melakukan sesuatu, ha-
rus...!" Memedi Santap Segala jadi tertegun. Menyangka yang baru saja bicara
tadi dewa, maka
dia rangkapkan kedua tangan sambil menjura
hormat. Suara yang seakan datang dari atas langit
perdengarkan suara tawa mengekeh.
"Ampun dewa. Sesungguhnya aku ini orang
bodoh...!"
"Kau memang tolol, lihat saja sendiri tam-
pangmu mirip sekali dengan monyet." sergah suara itu sambil tetap tertawa-tawa.
"I... iya, tampangku memang seperti mo-
nyet. Mengapa begini, apakah kau bisa mengganti
buruk rupaku dengan rupa yang lain?" tanya
Memedi Santap Segala polos.
"Hust, wajah yang seperti itu adalah wajah
langka. Kelak akan banyak orang yang mencari-
mu. Ha ha ha." sahut suara itu.
"Oh sedihnya diriku. Siapakah dirimu"
Apakah kau malaikat?" tanya Memedi Santap Segala dengan suara bergetar dan wajah
masih ter- tunduk. "Bukan...!" menyahuti suara itu sambil tertawa-tawa.
"Mungkin kau dewa?"
"Juga bukan." sahut si suara.
"Apakah kau setan?" tanya Memedi Santap Segala lagi.
"Ya, aku setan. Aku bapak setan. Ha ha
ha." Si pemuda lugu yang memiliki daya fikir rendah ini terbelalak dengan mulut
menganga lebar. "Sewan... eh, setan"! Aku paling takut pada setan." desis Memedi
Santap Segala alias Makhluk Tangan rembulan.
"Manusia tolol, kau takut pada Setan, bu-
kan pada Tuhan. Sungguh aku akan memperce-
pat kematianmu sekarang juga!" bentak suara itu sinis. "Oh jangan, aku masih
ingin hidup. Siapapun adanya dirimu ini aku ingin kau mengatakan
padaku apa yang harus kulakukan!" ujar si pemuda.
"Ha ha ha. Kau ingin aku memberimu ja-
lan?" "I... iya." jawab si pemuda tersendat.
"Kalau begitu sebaiknya kau membunuh
diri!" Laksana terbang nyawa Memedi Santap Segala mendengar anjuran suara itu.
Dia berfikir ji-ka suara itu memang setan adanya, tentu dia ti-
dak salah memberi jalan menyesatkan. Karena
hal-hal seperti itu memang pekerjaan setan. Tapi haruskah dia membantah"
"Kau ragu untuk menjawab, mulutmu ter-
katub diam membisu, ataukah kau punya usul
lain." sentak suara itu.
"Betul... aku ingin hidup, aku ingin sela-
mat!" jawab Memedi Santap Segala dengan terbata-bata.
"Tidak ada jalan selamat bagimu terkecuali
kau mau menelan Batu Rembulan di tanganmu
dan menyerahkan Bintang Penebar Petaka yang
tersimpan di salah satu kantong perbekalan mu
padaku!" tegas suara itu.
4 Laksana disambar petir Memedi Santap
Segala langsung terkulai di tanah, tengkuk tidak terasa seperti tengkuk lagi,
tapi telah berubah
menjadi dingin laksana es. Apa yang dikatakan
oleh suara itu bagi Memedi Santap Segala dia
anggap sebagai suatu nasehat gila. Bagaimana
mungkin dia bisa menelan Batu Rembulan ke-
sayangannya. Sedangkan selain batu itu beruku-
ran cukup besar juga satu-satunya benda berhar-
ga yang dia miliki.
Masih dengan keadaan rebah di atas ta-
nah, Memedi Santap Segala ajukan pertanyaan.
"Apakah tidak ada cara lain untuk menyembuhkan diriku?"
"Manusia tolol, melihat pada tubuhmu kau
pantas mendapat julukan memedi, karena tu-
buhmu hitam legam. Lalu apa artinya santap se-
gala" Bukankah itu berarti kau memakan segala
sesuatunya. Apa saja kau sikat. Lalu apa artinya jika harus menelan sebuah batu
demi kesembu-hanmu sendiri" Tapi semua terserah padamu, ji-
ka kau tak mau turuti. Kujamin tak sampai se-
tengah jam di depan nyawamu benar-benar am-
blas. Ha ha ha," kata suara itu disertai tawa terkekeh-kekeh.
Takut apa yang dikatakan orang menjadi
kenyataan, Memedi Santap Segala buru-buru be-
rucap. "Aku... aku tak punya. pilihan lain. Tapi seperti katamu, batu ini akan
kutelan. Terus-terang aku takut mati, karena mungkin aku ba-
nyak dosa. Tapi aku butuh air!" ujar si pemuda.
"Tidak ada air, apakah kau mau minum air
kencingku. Ha ha ha!" sahut suara itu sambil keluarkan tawa membahak.
"Setan keparat, dia rupanya bangsanya se-
tan gila. Ada saja yang dikatakannya." rutuk Memedi Santap Segala. Sejenak dia
menjadi ragu apakah harus menelan Batu Rembulan atau ba-
talkan niatnya. Namun dia takut menjadi sesuatu
yang tidak diingini. Dalam kesempatan itu ter-
dengar suara lagi.
"Cepat lakukan!"
Memedi Santap Segala akhirnya patuhi apa
yang dikatakan suara tadi. Batu Rembulan dide-
katkan ke mulut, sedangkan mulut dibuka lebar-
lebar. Batu sebesar telur lalu dimasukkan ke da-
lam mulutnya. Setelah itu tenggorokan lakukan
gerakan menelan.
"Egkh...!" Memedi Santap Segala keluarkan suara seperti tercekik. Matanya
mendelik, tenggorokannya naik turun berusaha menelan, tapi ka-
rena batu itu cukup besar, sehingga hampir tak
dapat melewati bagian tenggorokannya. Kini Me-
medi Santap Segala jadi sulit bernafas, tangannya menggapai kian kemari,
sedangkan kedua kaki
melejang-lejang seperti orang yang meregang ajal.
Penderitaan si pemuda tidak hanya sampai
disitu saja, karena begitu batu berada di dalam
tenggorokan, maka dibagian itu terasa panas se-
perti terbakar. Rasa panas menjalar ke sekujur
tubuh, menimbulkan mulas di perut dan rongga
dada laksana terbakar. Selagi Memedi Santap Se-
gala dalam keadaan tak mampu menelan atau
mengeluarkan Batu Rembulan dari dalam mulut-
nya, maka pada waktu itu pula satu bayangan
serba hitam berkelebat dari arah belakangnya.
Bayangan itu menyambar ke arah si pemuda. Di
lain waktu Memedi Santap Segala merasakan ada
tangan dingin menekan ubun-ubun, sedangkan
sarung tangan yang lainnya menghantam bagian
perut. Kleer! Hantaman dan pijitan membuat Batu
Rembulan amblas ke dalam perut si pemuda.
Akibatnya bagian perut terasa seperti diremas
dan dibakar dari bagian dalam.
"Uwalah, tobaaat...!" teriak si pemuda sambil mengusap perutnya sambil julurkan
lidah. Di depan Memedi Santap Segala sosok
tinggi besar luar biasa berpakaian serba hitam
dengan dada tak terkancing, bermuka bulat, hi-
dung pesek berpipi tembem dengan kening lebar
tertawa terkekeh-kekeh. Perutnya yang besar ber-
goyang keras. Memedi Santap Segala meskipun kaget me-
lihat kehadiran sosok tinggi besar ini namun te-
rus bergulingan di atas tanah.
"Setan alas. Walah... tubuhku, perutku se-
perti dipanggang. Batu Rembulan benar-benar
menyiksaku!" teriak si pemuda, marah, kesal juga kebingungan.
"Apakah kau membutuhkan air untuk
membuat dingin perutmu?" tanya sosok gendut besar yang bukan lain adalah kakek
Gentong Ketawa. Memedi Santap Segala sama sekali tidak
menyahut. Pemuda itu masih saja bergulingan.
Diam-diam si kakek gendut dengan bobot lebih
dari dua ratus kati ini memperhatikan Memedi
Santap Segala. Begitu pandangan matanya mem-
bentur sosok di depannya, si gendut jadi terke-
siap. Sosok yang tadinya hitam macam arang kini
telah mengalami perubahan hebat di sekujur tu-
buhnya. Memedi Santap Segala tidak lagi berkulit hitam, melainkan sekujur
tubuhnya telah berubah menjadi merah kekuning-kuningan. Satu
proses aneh terus berlangsung pada dirinya. Tu-
buh yang semula berwarna kuning kini telah be-
rubah menjadi sebening kristal. Sehingga bagian
dalam tubuhnya terlihat dengan jelas. Mulai dari tengkorak kepala yang terbalut
kulit dan daging, tenggorokan, pernafasan, lambung, hati dan isi
perut lainnya semua membayang. Seakan di da-
lam tubuh Memedi Santap Segala Batu Rembulan
memancarkan cahaya ke sekujur tubuhnya. Tapi
yang lebih hebat lagi dan sempat si kakek gendut jadi terkagum-kagum kedua
tangan Memedi Santap Segala memancarkan sinar terang laksana
bulan purnama. "Hebat.... kini kau tidak ubahnya seperti
dewa yang menerangi kegelapan. Kau tak pantas
lagi mempunyai nama Memedi, kau lebih pantas
disebut Makhluk Tangan Rembulan. Kukatakan
makhluk karena ku sebut kau sebagai manusia
kurang cocok, bila kukatakan monyet juga tidak
pantas. Ha ha ha...! Sekarang lihatlah dirimu, kau perhatikan baik-baik. Kini
kau tampak lebih gagah, lebih putih bahkan lebih bersinar. Tidak bulukan, kusam
sebagaimana tadi."
Memedi Santap Segala yang merasa bagian
dalam perutnya tidak terasa panas sebagaimana
tadi kini duduk dan perhatikan diri sendiri. Dia terkejut melihat apa yang
terjadi. "Sungguh sulit kupercaya. Bagaimana tu-
buhku bisa berubah bening seperti ini?" desis si pemuda. Heran juga puas melihat
kedua tangannya, kini dia memperhatikan dada dan perutnya.
Begitu melihat ke bagian itu dia langsung mende-
kap wajahnya. "Bagian dalam perutku kini mengapa jadi
kelihatan. Aku... aku takut...!" rintih si pemuda.
"Manusia tolol, kini kau memiliki satu ke-
saktian hebat, mengapa jadi takut melihat perut
sendiri?" dengus si gendut Gentong Ketawa.
Orang tua itu kemudian melanjutkan. "Batu
Rembulan telah menyatu dalam dirimu, sekarang
apakah kau tidak hendak mengatakan padaku
untuk apa lagi kau membawa senjata Bintang Pe-
nebar Petaka yang menjadi incaran banyak
orang?" kata Gentong Ketawa.
Diam-diam Memedi Santap Segala jadi ter-
heran-heran juga terkejut mendengar ucapan
Gentong Ketawa.
"Bagaimana kau bisa mengetahui senjata
itu ada padaku, orang tua?" tanya Memedi Santap Segala. "Ha ha ha. Bukankah aku
setan?" sahut si kakek gendut. "Tapi terus-terang saja aku memang mengikutimu,
bahkan sejak kau mendapat
perlakuan bagus dari Panji Anom."
"Hah, kalau begitu kau juga melihat kakek
tinggi, Datuk Labalang junjunganku?" tanya si
pemuda. "Aku melihat hantu jelek berpakaian seper-
ti banci dimandikan dalam lautan api oleh Panji
Anom. Setelah puas mandi api, dia baru kemu-
dian berenang dalam sungai. Bagaimana nasib
kakek jelek itu selanjutnya aku tidak tahu!"
Memedi Santap Segala gelengkan kepala.
Dia sempat terdiam beberapa saat lamanya. Da-
tuk Labalang selama jadi majikannya memang tak
pernah menyakiti dirinya. Hanya orang tua itu
sering melakukan kejahatan pada orang lain. Dia
khawatir, jika orang tua itu sampai memiliki senjata Bintang Penebar Petaka,
kejahatan yang dilakukannya semakin menjadi-jadi. Karena alasan
inilah Memedi Santap Segala tidak bersedia mem-
berikan senjata yang telah ditemukannya.
"Anak muda, walaupun Batu Rembulan ki-
ni telah menyatu dengan dirimu, ini bukan berarti kau sanggup menghadapi mereka.
Setiap saat jiwamu terancam. Jika kau mau menuruti apa
yang aku sarankan kurasa aku bersedia memban-
tumu." ujar si gendut.
"Apa yang harus kulakukan. Apakah eng-
kau juga menginginkan senjata ini?" tanya si pemuda curiga, namun dia juga
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat berfikir se-
telah merasa dirinya ditolong mungkinkah orang
tua ini dapat dipercaya"
"Aku tidak kemaruk dengan segala macam
senjata. Kalau kau tak keberatan, mungkin kita
dapat menemui guruku untuk meminta petun-
juknya." ujar si gendut.
"Aneh... orang setua dirimu masih punya
guru?" ucap Memedi Santap Segala heran.
Gentong Ketawa anggukkan kepala lalu ter-
tawa tergelak-gelak. "Guru aku punya, murid aku juga punya. Mungkin anak istri
yang tidak kumiliki! Ha ha ha."
Si pemuda yang kini tubuhnya telah beru-
bah sebening kaca dan tembus pandang ini ak-
hirnya mengangguk setuju.
"Baiklah, aku percaya padamu. Aku akan
ikut denganmu, jika kau ternyata menipuku. Aku
tak akan segan untuk membunuhmu!" ancam
Memedi Santap Segala.
Si kakek gendut menanggapinya dengan
tawa mengekeh. Bagaimanapun saat ini masih
cukup banyak persoalan yang harus diselesaikan
nya. Sejak terpisah dengan Gento Guyon di pun-
cak bukit sebelah timur Kuil Setan dia masih be-
lum bisa mengetahui bagaimana nasib muridnya.
Lalu bagaimana si kakek gendut yang semula be-
rada di dalam sebuah ruangan di Kuil Setan itu
kini bisa keluar dari Kuil Setan" Padahal saat itu ketika puncak bukit meledak,
Kuil Setan juga ikut meledak.
*** Sejenak kita ikuti dulu apa yang terjadi be-
berapa saat sebelum terjadi ledakan dahsyat pada bagian puncak bukit juga Kuil
Setan. Ketika itu
Gentong Ketawa bersama gurunya si kakek pen-
dek cebol Kuntet Mangku Bumi bergelar Dewa
Kincir Samudera sedang memeriksa kamar-kamar
maut yang jumlahnya cukup banyak. Di dalam
setiap ruangan mereka menemukan tulang belu-
lang serta tengkorak yang bergeletakan di setiap sudut. Belasan ruangan telah
mereka teliti, namun Gentong Ketawa tidak menemukan murid-
nya berada di salah satu ruangan itu.
"Kita harus memeriksa ruangan yang di-
tempati oleh Iblis Berjubah Merah. Jika cucu mu-
ridku telah dicelakainya, aku bersumpah akan
membuat tulang belulang setan gentayangan itu
jadi debu." guman si kakek. Lalu orang tua ini dengan tergesa-gesa memasuki
sebuah ruangan besar dimana di seberang ruangan terdapat se-
buah pintu batu berwarna merah.
"Apakah dia tinggal di sebelah sana?" tanya si kakek gendut sambil memandang ke
arah si kakek berambut putih yang tingginya tak sampai
sebatas pinggang itu.
Si pendek cebol yang usianya lebih dari se-
ratus tahun ini anggukkan kepala. Tanpa bicara
lagi orang tua ini angkat tangan kanannya ke atas kepala. Begitu diangkat tangan
langsung menge-pulkan asap tebal berwarna putih. Dibelakangnya
si kakek gendut besar tersenyum.
"Si cebol guruku ini rupanya hendak
menghancurkan pintu batu. Huh, apakah tidak
ada cara lain. Jika pintu hancur tidak mengapa, tapi bagaimana jika seluruh
ruangan ini ikut runtuh" Bukan hanya dia saja, akupun bisa ikut ter-
kubur hidup-hidup disini." Fikir si gendut dalam hati. Akan tetapi belum lagi
Dewa Kincir Samudera sempat melepaskan pukulan mautnya. Pada
saat itu terjadi satu guncangan keras yang disertai dengan ledakan disana sini.
Gentong Ketawa tercekat, Dewa Kincir Sa-
mudera terkejut. Terlebih-lebih ketika merasakan lantai yang dipijaknya
menunjukkan tanda-tanda
hendak amblas ke bawah.
Lalu suara gemuruh terdengar dari segala
penjuru arah. Hawa di dalam ruangan dimana
mereka berada semakin bertambah panas.
Wuus! Wuus! Api entah dari mana datangnya menyem-
bur menjilat-jilat dari setiap pintu yang terkuak lebar. "Gila tapi juga hebat,
pukulan belum dilepaskan tapi api sudah menyembur dari semua
arah. Ilmu apa yang guru pergunakan?" celetuk Gentong Ketawa. Orang tua ini
tertawa tergelak-gelak, walau sesungguhnya jauh di lubuk hati si
gendut merasa kaget juga tegang menyaksikan
semua kejadian yang tak pernah disangka-sangka
ini. "Tua bangka konyol, cepat kita tinggalkan
ruangan ini. Aku menaruh firasat darah murid
kesayangan Yang Agung alias Iblis Berjubah Me-
rah tertumpah membasahi puncak bukit ini. Se-
baiknya kita keluar, jika tidak kita bisa mampus."
teriak Dewa Kincir Angin. Kemudian dengan san-
gat cepat sekali si kakek pendek cebol memutar
langkah. Sekali berkelebat dengan diikuti Gentong Ketawa mereka telah
meninggalkan ruangan.
Ruangan demi ruangan mereka lewati, na-
mun baru saja mereka sampai di depan pintu
kuil. Pada waktu bersamaan terjadi ledakan ber-
dentum. Kuil Setan meledak dahsyat disertai sua-
ra gemuruh api dan terpentalnya batu-batu besar
ke segala penjuru arah. Gentong Ketawa dan gu-
runya ikut terlempar. Tubuh mereka melambung
tinggi. Karena tubuh si gendut lebih berat, maka jatuhnya tak begitu jauh dari lembah bukit. Sedangkan Dewa
Kincir Samudera karena tubuhnya
lebih kecil dan ringan maka dia terlempar jauh
dan jatuh entah kemana.
Ketika si gendut jatuh, jatuhnya tepat di
atas kerimbunan pohon, hingga membuat tubuh-
nya menyerangsang, lalu meluncur turun ke ba-
wah disertai suara bergedebukan saat si kakek jatuh di atas batu. Batu amblas,
si kakek mengge-
liat. Dalam kegelapan menjelang pagi dia mengge-
rutu. "Untung ada batu, jadi tubuhku yang terasa pegal kini seperti diurut." Si
kakek kemudian bangkit berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya beberapa kali. Saat
itu suasana telah mulai terang tanah sedangkan udara dingin terasa demikian
mencucuk. Untuk pertama kalinya Gentong Ke-
tawa memandang ke arah bukit. Puncak bukit
sudah tidak nampak lagi, setelah meledak kini
bukit tersebut sudah hampir rata sama sekali.
"Mudah-mudahan guruku tak ketinggalan
di kuil itu. Aku tak tahu dia jatuh dimana" Pera-
saanku mengatakan dia dalam keadaan selamat.
Biarlah tubuhnya pendek asalkan umurnya pan-
jang." batin si gendut. Dia mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Selagi si
gendut berfikir dan teringat pada muridnya Gento Guyon. Pada waktu
bersamaan mendadak terdengar suara bentakan-
bentakan keras tak jauh dari tempat dimana dia
berada. "Matahari belum lagi terlihat." berkata si gendut sambil memandang ke langit
sebelah timur. Saat itu yang terlihat hanya rona merah di-
mana matahari akan munculkan diri. "Orang-
orang gila mana lagi yang berkelahi di pagi buta begini?"
Karena hati si kakek gendut dipenuhi rasa
ingin tahu, maka dia kemudian menyelinap diba-
lik semak belukar sampai akhirnya berhenti di sa-tu tempat dan mengintai dari
balik pohon besar.
Gentong Ketawa tertegun begitu melihat seorang
pemuda berpakaian serba merah berwajah tam-
pan gagah namun congkak tengah menyerang
seorang kakek tua berdaster dan berkerudung hi-
tam. Yang membuat orang tua ini jadi terheran-
heran adalah mengenai keadaan fisik si kakek
bertampang seram itu. Tubuh si daster hitam
tinggi bukan main, begitu tingginya sampai ham-
pir menyamai pohon-pohon yang terdapat di keli-
lingnya. Melihat hebatnya serangan-serangan yang
dilancarkan oleh kedua belah pihak, si gendut
dapat memastikan mereka pastilah dua orang
yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi siapa pe-
muda berpakaian merah itu" Setiap pukulan yang
dilancarkannya mengandung hawa keji. Masih
sangat muda tapi ilmunya sangat tinggi. Si kakek terdiam sambil berfikir. Dia
lalu tepuk keningnya.
"Mungkin pemuda ini Lira Watu Sasangka,
alias Panji Anom Penggetar Jagad, murid kakek
lumpuh Begawan Panji Kwalat. Bocah keblinger
ini tentu mewarisi ilmu kesaktian dari gurunya."
batin si gendut.
Sementara perkelahian semakin bertambah
sengit dan menghebat, Gentong Ketawa alihkan
perhatiannya ke lain tempat masih disekitar tem-
pat terjadinya perkelahian.
"Astaga. Pemuda hitam rupa seperti ku-
nyuk itu siapa adanya. Kulihat dia dalam kea-
daan terluka. Aku tak salah mendengar, tadi aku
sempat mendengar ada orang menyebut-nyebut
tentang senjata Bintang Penebar Petaka. Semula
suara itu datang dari langit. Mana mungkin ada
dewa berebut senjata. Bisa jadi senjata yang dica-ri selama ini ada di tangan
pemuda hitam itu.
Eeeh... dia hendak pergi. Ternyata dia cukup cerdik. Mempergunakan kesempatan
untuk menye- lamatkan diri selagi orang sibuk berkelahi!" desis si gendut. Dia tersenyum
sambil mengusap-usap
keningnya. Pada waktu itu timbul keinginannya
untuk mengikuti Memedi Santap Segala, namun
pada waktu yang bersamaan Panji Anom menge-
rahkan ilmu pukulan Tiga Petaka Bumi. Gentong
Ketawa sempat tercekat ketika melihat bagaimana
bumi jadi rengkah terbelah. Di balik rengkahan
bunuh api menyembur dan langsung tersedot ke
dalam tubuh Panji Anom. Melalui tenaga yang be-
rasal dari semburan api dari dalam tanah inilah
dia menghabisi lawannya.
Ketika Datuk Labalang terbakar dan lang-
sung ceburkan diri ke dalam kali itulah Gentong
Ketawa tinggalkan tempat itu dengan perasaan
tegang bercampur ngeri.
"Pemuda tadi tak bisa dianggap remeh. Aku
harus memberi tahu apa yang kulihat di pagi ini
pada Gento, agar kelak dia dapat bersikap hati-
hati." guman si gendut, lalu dia mengejar ke arah lenyapnya Memedi Santap
Segala. 5 Udara di pagi itu terasa dingin mencucuk,
burung-burung berkicauan menyanyikan senan-
dung yang merdu. Kuil Setan yang berada di pun-
cak bukit tidak tampak lagi, lenyap sama rata
dengan tanah akibat ledakan dahsyat yang terjadi malam tadi. Dari tempat pemuda
itu terjatuh, dia hanya melihat kepulan asap hitam, bergulung-gulung menjulang
tinggi menggapai angkasa. Si
gondrong tampan bertelanjang dada ini kerjabkan
matanya, otak berusaha berfikir, mengingat-ingat segala sesuatu yang telah
terjadi. Mendadak kepalanya jadi pening.
Si gondrong memijit keningnya, mata ter-
pentang memandang ke sekeliling tempat itu. Kini dia baru sadar dan ingat segala
sesuatu yang telah terjadi.
"Ledakan itu telah melemparkan aku se-
jauh ini" Kemana gadis cantik berpakaian dan
bertubuh serba hijau itu?" sambil berkata begitu si pemuda tampan yang tiada
lain adalah Gento
Guyon ini bangkit berdiri. Tubuhnya agak ter-
huyung, kepala terus mendenyut, sedangkan ba-
gian tubuhnya yang lain terasa sakit seperti re-
muk. Sekali lagi dia kitarkan pandangan ma-
tanya. Samar-samar murid Gentong Ketawa ini
melihat satu sosok tubuh dalam keadaan rebah
miring memunggungi dirinya. Pakaian tipisnya
yang berwarna hijau acak-acakan. Tak percaya
dengan penglihatannya sendiri Gento mengusap
matanya. Sepasang matanya yang bulat kini terbela-
lak sedangkan, mulut membuka lebar. "Gila... tak kusangka ledakan yang terjadi
membuat aku dan
dia tercampak sampai ke sini. Apa yang terjadi
dengannya" Apa mungkin dia terluka karena le-
dakan itu?" Gento membatin dalam hati. Namun dia cepat mendatangi. Dua tombak
lagi dia sampai di belakang si gadis, langkah Gento mendadak terhenti. Dia
mendengar suara batuk, bila memandang ke depannya gadis itu menggeliat.
Karena gadis itu tak kunjung bangun, Gen-
to bermaksud memberikan satu pertolongan. Se-
kali lagi Gento jadi bimbang. Dia takut jika pertolongan yang dilakukannya malah
mengundang kemarahan bagi gadis berwajah secantik bidadari
itu. Sampai akhirnya si gadis berpakaian serba
hijau dan berkulit hijau ini bangkit sendiri. Bersikap seperti tidak ada orang
lain di tempat itu si gadis yang bukan lain adalah Dwi Kemala Hijau
ini langsung bersila, mata terpejam dan nafas di-hembuskan dengan teratur.
Rupanya dia bermak-
sud menghimpun tenaga dalam dan mengatur pe-
redaran darahnya yang sempat menjadi kacau.
Beberapa saat berlalu, si gadis masih tetap
duduk bersila dengan mata terpejam. Gento ber-
diri tegak ditempatnya. Dalam hati dia berkata.
"Sejak pertama kali melihatku, dia memperlihatkan satu perhatian. Entah apa yang
diingin- kan oleh gadis berkulit hijau ini. Aku sebenarnya merasa curiga, walaupun
kulihat sikapnya begitu
baik kepadaku. Tapi siapa tahu hatinya menyim-
pan maksud jahat hendak mencelakai aku. Apa-
pun tujuannya aku tidak boleh lengah."
"Bagaimana keadaanmu Gento" Apapun
dugaanmu tentang diriku, semua itu tidak berala-
san sama sekali." suara si gadis yang merdu me-mecahkan keheningan suasana
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hingga membuat Gento jadi berjingkrak kaget.
"Bagaimana dia bisa mengetahui apa yang
ku fikirkan" Apakah mungkin dia seorang du-
kun?" kata Gento dalam hati.
"Nah, kau bicara lagi. Sudah kukatakan
semua dugaanmu tidak beralasan sedikitpun.
Aku bukan orang jahat," ujar Dwi Kemala Hijau
sambil buka matanya. Dia lalu memutar tubuh-
nya hingga kini menghadap ke arah Gento. Si ga-
dis julurkan kedua kaki, sedangkan punggungnya
disandarkan pada sebuah batu yang berada dis-
itu. Cukup lama Dwi Kemala Hijau memperha-
tikan pemuda didepannya. Gento jadi salah ting-
kah, namun tetap sunggingkan senyum.
Beberapa saat kemudian si pemuda mem-
buka mulut, ajukan satu pertanyaan.
"Gadis hijau secantik bidadari. Siapa sebe-
narnya dirimu?"
Dwi Kemala Hijau sunggingkan seulas se-
nyum. Sungguh senyum itu membuat laki-laki
yang memandangnya tadi belingsatan.
"Aku sebenarnya seorang bidadari kayan-
gan." Menerangkan si gadis dengan suara merdu dan enak didengar. Berlagak sok
tahu Gento Guyon yang sempat kaget mendengar jawaban si
gadis berkata. "Aku memang sudah menduga gadis secantikmu pasti berasal dari
Kayangan. Di dunia ini mana ada gadis secantik dirimu. Tapi...
sebenarnya kayangan itu ada di mana?"
Mendengar pertanyaan Gento yang polos,
dengan tenang gadis cantik itu menjawab.
"Kayangan adalah suatu tempat yang sangat indah. Belum pernah dilihat oleh
seorang pun pen-
duduk bumi. Tempat itu penuh kedamaian. Tidak
ada sengketa, tidak ada darah yang tertumpah
disana akibat nafsu amarah. Hanya tempatnya
sangat jauh melewati laut menyeberangi awan.
Tak seorangpun yang sanggup mencapai tempat
itu. Terkecuali penduduk tetap di sana dan orang-orang yang dikehendaki." jelas
Dwi Kemala Hijau.
Murid Gentong Ketawa manggut-manggut.
Apapun dan dimanapun tempat itu Gento tidak
perduli. Karena saat itu dia tak mau dipusingkan dengan segala sesuatu yang
sulit diterima akal.
"Mungkin suatu saat aku bisa sampai ke
tempat itu. Aku akan menggunakan seribu bu-
rung merpati. Ha ha ha." kata si pemuda sambil tertawa lebar. "Kemala Hijau,
sebenarnya aku heran mengapa Kuil Setan bisa meledak?" Gento Guyon sengaja
mengalihkan pembicaraan.
"Meledaknya Kuil itu tentu ada sangkut
pautnya dengan kematian Maut Tanpa Suara...!"
"Bagaimana mungkin kematian pemuda itu
ada hubungannya dengan Kuil Setan?" potong
murid Gentong Ketawa terheran-heran.
Dwi Kemala Hijau tersenyum lagi. Dia me-
narik nafas perlahan, untuk kemudian meng-
hembuskannya kembali. Setelah itu dia mene-
rangkan. "Maut Tanpa Suara adalah murid ke-
sayangan Yang Agung atau yang lebih dikenal
dengan julukan Iblis Berjubah Merah. Maut Tan-
pa Suara adalah penerus dan orang yang kelak
diharapkan dapat menggantikan gurunya. Seba-
gai orang yang mewarisi kuil maut itu, darahnya
tidak boleh tertumpah di tempat yang akan men-
jadi singgasananya. Terkecuali darah orang lain.
Jika hal ini sampai terjadi, sebagaimana ikrar
sumpah pada saat Kuil Setan didirikan, maka
Kuil Setan akan runtuh." kata Dwi Kemala Hijau.
Gento sesungguhnya kurang begitu paham
dengan keterangan gadis itu. Akan tetapi baginya kehancuran kuil setan merupakan
sesuatu yang sangat diharapkan. Dari pada kelak dikemudian
hari akan timbul bencana lagi di tempat itu. Kini Gento teringat akan keberadaan
si gadis di Kuil
Setan. Sehingga dengan tatapan curiga dia ajukan pertanyaan. "Semua penjelasanmu
yang ada hubungannya dengan kematian Maut Tanpa Suara
dan kehancuran Kuil Setan, terus-terang memang
sulit kupercaya. Kau sendiri konon kudengar ma-
sih merupakan murid Yang Agung, lalu sebelum
tewas Maut Tanpa Suara ada mengatakan sesua-
tu. Matanya memandangku tidak senang, jika tak
mau kukatakan cemburu. Agaknya selain kalian
mempunyai hubungan sebagai saudara sepergu-
ruan mungkin diantara kalian sudah terikat da-
lam satu pertalian cinta kasih!" berkata begitu murid si gendut Gentong Ketawa
hendak sembur-kan tawa. Tapi ketika dilihatnya wajah si gadis
berubah menjadi hijau tua sedangkan matanya
mendelik besar memandang penuh rasa marah
pada Gento, maka pemuda ini langsung dekap
mulutnya dengan tangan kanan.
"Aku bangsanya bidadari tidak pernah be-
rucap kasar apalagi memaki. Tapi jika kau bicara sembarangan, aku tak akan segan
menampar mulutmu!" kata Dwi Kemala Hijau ketus.
"Ha ha ha. Gadis secantikmu jika sedang
marah ternyata membuat wajahmu semakin ber-
tambah cantik. Jika kau sering marah-marah di-
depanku, bisa jadi lama-kelamaan aku jatuh cinta padamu." celetuk Gento disertai
tawa terbahak-bahak. Mendengar ucapan si pemuda Dwi Kemala
Hijau jadi tersipu dan cepat palingkan wajahnya
ke jurusan lain.
"Aku ingin membicarakan sesuatu yang
sangat penting padamu, pemuda konyol mata ke-
ranjang. Jika kau terus bergurau, aku akan pergi dari sini!" kata Dwi Kemala
Hijau. Selesai berkata begitu si gadis jauhkan tubuhnya dari batu yang
dijadikan tempat bersandar. Tak lama kemudian
dia bangkit berdiri dan siap melangkah pergi.
"Ah tak kusangka selain cantik ternyata dia besar ambeknya." batin Gento. Dia
dengan cepat julurkan tangan menangkap pergelangan gadis
itu. "Tunggu dulu, jangan marah begitu. Aku ter-kadang memang suka usil. Tapi
bukan berarti aku tak bisa bersikap serius. Seandainya kau
punya sesuatu yang hendak kau bicarakan, bica-
ralah. Aku siap mendengarkannya." berkata Gento beberapa saat kemudian,
sementara cekalan-
nya pada lengan si gadis masih belum dile-
paskannya. Dan gadis jelita berpakaian tipis
menggoda ini sama sekali tidak marah. Dia mena-
rik tangannya perlahan, lalu duduk ditempatnya
kembali. "Untuk kau ketahui, Maut Tanpa Suara se-
benarnya bukan saudara seperguruanku, dia juga
bukan kekasihku. Jika kemudian dia menaruh
rasa cinta kepadamu, itu salahnya sendiri. Dia
sesungguhnya pantas memanggil bibi kepadaku.
Karena aku yang merawatnya sejak dia kecil."
"Keteranganmu itu membuat aku yang bo-
doh ini menjadi semakin tolol. Eeh... apakah kau tidak bisa menjelaskannya
segamblang mungkin
kepadaku?" sergah Gento memotong ucapan Dwi Kemala Hijau.
Gadis itu menganggukkan kepala. Dia ber-
fikir sejenak lamanya, baru kemudian berucap
kembali. "Aku sesungguhnya seorang utusan ketua Bidadari dari Kayangan. Di
tempat tinggalku
orang sering memanggilku dengan sebutan Bida-
dari Biru. Pada suatu saat, salah satu senjata
kami, yaitu Bintang Penebar Petaka raib dari
tempat penyimpanan senjata. Setelah dilakukan
penyelidikan ternyata ada seorang berkepandaian
tinggi menyusup ke Kayangan dan mencuri senja-
ta itu. Si pencuri itu bukan lain adalah Iblis Berjubah Merah. Ketua para
bidadari kemudian
mengutusku untuk mengambil senjata dan mem-
bunuh Iblis Berjubah Merah. Aku hampir dapat
menjalankan tugas dengan baik, manusia tengko-
rak itu kuhantam dengan satu pukulan sakti se-
hingga dia menderita cidera berat. Tapi dia me-
muslihati aku dengan berpura-pura menyerahkan
senjata yang dicurinya. Begitu aku mendekat, se-
cara pengecut dia memukulku dengan satu puku-
lan beracun yang membuat tubuhku berubah se-
bagaimana yang kau lihat. Aku bukan saja gagal
menjalankan tugas, tapi akhirnya aku menjadi
seorang pelayan bagi seorang bocah yang berna-
ma Maut Tanpa Suara." kata Dwi Kemala Hijau sedih. Gento merasa ikut terharu
mendengar penjelasan gadis itu. Iblis Berjubah Merah selama dia ditawan di salah
satu ruangan dalam Kuil Setan
sekalipun dia belum pernah berjumpa. Walaupun
begitu agaknya manusia yang satu itu harus dile-
nyapkan. "Dwi... setiap saat kau punya kesempatan
untuk meloloskan diri. Kau pasti sudah mengeta-
hui seluk-beluk kuil itu, juga termasuk segala ra-hasia yang tersimpan di
dalamnya. Lalu mengapa
kau tetap tertahan di situ?" tanya Gento heran.
Mendengar pertanyaan Gento Guyon, Dwi
Kemala Hijau tersenyum sedih. "Apa yang kau katakan memang tak dapat ku bantah.
Hanya kau harus ingat Gento. Aku tak mungkin dapat me-
ninggalkan Kuil Setan tanpa senjata itu. Lagipula tubuhku dalam keadaan
keracunan Iblis Berjubah Merah hanya memberiku kesembuhan sela-
ma satu hari dalam satu purnama. Selebihnya
aku dalam keadaan sakit, padahal untuk kembali
ke Kayangan membutuhkan waktu lebih dari satu
hari. Aku bisa tewas dalam perjalanan. Selain itu aku tak mungkin kembali
menghadap ketua para
bidadari dengan berhampa tangan. Kembali ke
sana tanpa senjata itu sama saja mempermalu-
kan diri sendiri." jelas Dwi Kemala Hijau seakan mengadukan nasibnya pada Gento.
"Kalau begitu sampai sekarang kau masih
berada dalam ancaman racun?" tanya Gento.
"Kenyataannya memang begitu. Terkecuali
aku bisa merampas penawar racun yang tersim-
pan di dalam saku jubah manusia tengkorak itu."
"Kalau misalnya obat penawar bisa kita
dapatkan, apakah tubuhmu tetap hijau seperti
sekarang ini?" tanya si pemuda sambil mengulum senyum.
"Kami para bidadari tidak ada yang berkulit hijau. Kulit kami putih bersih."
"Lalu apakah setelah kesehatanmu pulih
kembali, kau segera kembali ke Kayangan?" tanya Gento lagi.
"Tidak mungkin bisa kulakukan terkecuali
Bintang Penebar Petaka dapat kubawa serta. Pa-
dahal saat ini aku tidak tahu apakah ketika Kuil Setan meledak senjata itu masih
berada di satu tempat penyimpanannya atau sudah di bawa oleh
seseorang."
"Masalahnya jika Bintang Penebar Petaka
berada di dalam kuil di saat kuil itu meledak. Berarti kecil kemungkinannya
bagimu untuk men-
dapatkannya. Akan tetapi jika memang dicuri oleh seseorang, maka ada harapan
bagi kita untuk
merebutnya dari tangan si pencuri." ujar Gento.
"Jika memang benar kau mau membantu-
ku dan berhasil mendapatkan senjata itu kemba-
li. Aku atas nama seluruh bidadari Kayangan pas-
ti sangat berterima kasih sekali." sahut Dwi Kemala Hijau disertai seulas
senyum. "Aku lebih senang jika kau tidak kembali
ke Kayangan. Jadi kita bisa berteman selamanya.
Ha ha ha."
Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru tersi-
pu malu. "Keinginanmu akan kupertimbangkan
nanti. Tapi harap jangan salahkan aku jika nanti ada seorang gadis lain yang
marah padamu." ujar Dwi Kemala Hijau sambil tersenyum.
"Eeh... gadis yang mana?" tanya Gento jadi salah tingkah.
"Gadis yang berpakaian putih itu."
Gento Guyon tertawa lebar. "Dia hanya
seorang teman. Dia tidak akan marah tapi malah
menganjurkan agar aku memiliki banyak teman
wanita. Ha ha ha."
"Dasar pemuda buaya. Hayo kita pergi!" ka-ta si gadis. Setelah bangkit berdiri
dia langsung melangkah menuju ke arah barat. Gento Guyon
masih dengan terkekeh-kekeh segera mengikuti.
6 Khawatir akan keselamatan muridnya, ka-
kek berwajah tirus berpipi cekung sekujur tu-
buhnya dibaluri kapur putih akhirnya meninggal-
kan bukit kapur yang terletak di tengah hutan
Banyubiru. Dengan Ilmu kesaktiannya yang ting-
gi, sosok kurus kering macam jerangkong dan
lumpuh kaki hanya dalam waktu setengah hari
telah sampai di sekitar kawasan Kuil Setan. Melihat keadaan bukit dimana Kuil
Setan berada yang
hancur berantakan, si kakek yang melakukan
perjalanan dengan tubuh mengambang di udara,
jadi terkejut bukan main.
Dia kemudian melambungkan tubuhnya
lebih tinggi, sehingga dari satu ketinggian dia dapat melihat keadaan Kuil yang
telah porak poran-
da. "Apa yang telah terjadi di tempat ini" Di
sekitar bukit ini seperti baru saja terjadi bencana alam yang hebat. Huh...
segala malapetaka apapun yang menimpa dunia ini aku tak perduli.
Mengenai keselamatan muridku itu yang aku
khawatirkan. Apakah dia sudah mendapatkan
senjata itu. Atau dia belum mendapatkannya?" fikir si kakek angker. Setelah
berfikir sejenak lamanya si kakek
berpakaian hitam yang sekujur tubuhnya diliputi
kapur akhirnya bergerak melayang ke bawah. Se-
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarak dua tombak diatas permukaan tanah, tu-
buhnya yang meluncur tadi kini seakan tertahan,
seolah ada satu kekuatan yang menahannya
hingga nampak mengambang begitu rupa.
"Tak ada tanda-tanda kehidupan kulihat
disini. Mungkinkah semua orang yang menghuni
Kuil Setan tewas?" fikir si kakek yang bukan lain adalah Begawan Panji Kwalat.
Dia lalu teringat
pada Si Tangan Sial. Si malang bertangan sakti
yang diperalatnya untuk mendapatkan senjata
Bintang Penebar Petaka. Beberapa waktu yang la-
lu dia kehilangan kontak sambung rasa dengan Si
Tangan Sial. Ini merupakan suatu pertanda bah-
wa jarum Penggendam Roh yang ditanam di tu-
buh Si Tangan Sial telah dilepaskan oleh seseo-
rang. Sedangkan kemungkinan lain Si Tangan Si-
al tewas terbunuh.
"Apapun yang terjadi dengannya aku tidak
perduli. Dia hanya merupakan alat bagiku untuk
mencapai tujuan. Seandainya gagal, kematiannya
tidak pernah merisaukan hatiku.!" kata Begawan Panji Kwalat disertai senyum
sinis. Tak lama kemudian, si kakek tua segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Akan tetapi belum jauh dia bergerak pada saat yang bersamaan dari arah
sampingnya menderu hawa dingin yang langsung menyambar
ke arah sang Begawan.
Wuues! Hempasan yang keras bukan saja meng-
hantam tubuh si kakek, tapi juga mendera kekua-
tan tak terlihat yang mendukungnya kemanapun
dia pergi. Dalam kagetnya walaupun dengan mudah
Begawan Panji Kwalat dapat menghindari seran-
gan gelap itu, namun kekuatan gaib yang mem-
buatnya mampu bergerak mengambang laksana
terbang jadi pupus. Tak ayal lagi orang tua ini jatuh bergedebukan.
Rasa sakit akibat terjatuh tadi memang ti-
dak seberapa, yang membuatnya terkejut juga he-
ran, bagaimana orang bisa mengetahui bahkan
mampu menghancurkan sumber kekuatan gerak-
nya. Dalam hati Begawan Panji Kwalat merasa
yakin siapapun adanya penyerang itu pasti memi-
liki ilmu kepandaian yang sangat tinggi luar bi-
asa. Dengan cepat sekali sang Begawan segera
putar kepala, memperhatikan setiap sudut se-
dangkan hatinya merutuk habis-habisan. Sunyi!
Tidak ada sesuatupun yang terlihat.
"Hemm, di siang bolong begini tidak mung-
kin ada hantu atau arwah gentayangan. Apa yang
terjadi padaku pasti karena ulah seseorang. Na-
mun sangat disayangkan dia begitu pengecut un-
tuk tunjukkan diri!" dengus Begawan Panji Kwalat dengan suara sengaja
dikeraskan. "Kau mencari siapa, Begawan" Seorang Be-
gawan seharusnya berada di tempat-tempat suci,
menyepi mendekatkan diri pada sang Maha Pen-
cipta. Tidak seperti yang kau lakukan, bergen-
tayangan di delapan penjuru angin, menebar ke-
rusakan membuat angkara. Apa yang kau cari di
dunia ini" Jika hidup hanya untuk menumpuk
dosa, lebih baik membunuh diri saja!" kata satu suara bernada ketus dan sinis
hingga membuat telinga Begawan Panji Kwalat jadi merah. Orang
itu sempat berjingkrak. Kedua tangan ditekankan
di atas tanah. Lalu...
Wuuus! Mendadak sontak sosok Begawan itu me-
lambung di udara. Begitu berada di atas keting-
gian dia memutar tubuhnya, mata kembali me-
mandang ke sekeliling tempat itu. Rasa kaget si
Begawan bukan kepalang ketika dia melihat satu
sosok pendek cebol berpakaian serba putih duduk
bersila di atas sebuah batu dengan posisi me-
munggungi. Wajah sosok kerdil ini memang be-
lum terlihat oleh Begawan Panji Kwalat. Akan te-
tapi dia sudah dapat memperkirakan siapa
adanya orang yang satu ini.
"Kuntet Mangku Bumi, bergelar Dewa Kin-
cir Samudera. Konon dia telah mampus ditelan
hiu belasan tahun yang silam. Bagaimana seka-
rang dia bisa muncul di tempat ini"!" batin Begawan Panji Kwalat. Dia menyadari
tokoh sakti yang satu ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sekali, bahkan konon
pukulan Kincir Samudera yang
dimilikinya mampu menghancurkan pulau ka-
rang, menimbulkan gelombang hebat juga men-
gundang badai. Tapi orang seperti Begawan Panji
Kwalat mana mengenai rasa takut apalagi jerih.
Sama seperti muridnya dia juga adalah orang
yang suka memandang rendah orang lain serta
menganggap orang tidak memiliki arti apapun di-
hadapannya. "Orang tua laknat, kaukah tadi yang bica-
ra?" bentak si Jerangkong ketus.
Si pendek cebol di atas batu yang bukan
lain memang Dewa Kincir Samudera tertawa pen-
dek, namun terasa dingin angker.
"Di tempat ini hanya ada kita berdua. Jika
bukan aku yang bicara apakah kau menyangka
yang menyapamu tadi adalah setan laknat"!" sahut si pendek cebol di atas batu.
Mendengar jawaban Dewa Kincir Samude-
ra, paras sang Begawan yang berselimut kapur
tebal nampak menegang. Sepasang matanya men-
corong merah menyala. Walaupun begitu dia ti-
dak langsung mengumbar amarahnya. Dalam
menghadapi manusia seperti Dewa Kincir Samu-
dera dia harus menggunakan akal jalankan mus-
lihat. Begawan Panji Kwalat kemudian tersenyum.
Senyumnya aneh, karena senyum itu seperti pe-
rempuan yang hendak melahirkan.
"Dewa Kincir Samudera, nama besarmu
bukan hanya melambung di delapan penjuru du-
nia persilatan. Namamu dikenal meluas sampai
ke empat penjuru lautan. Yang membuatku he-
ran, gerangan apa yang membuatmu sampai ke
tempat celaka ini" Apakah kau juga ikutan men-
gincar senjata Bintang Penebar Petaka. Ha ha
ha...." kata Begawan Panji Kwalat. Mendengar ucapan Begawan Panji Kwalat, si
kakek pendek cebol tertawa tergelak-gelak. Sebagaimana tadi,
tawa si kakek langsung lenyap. Kini dia memba-
likkan badan, hingga langsung berhadap-hadapan
dengan sang Begawan.
Melihat Begawan itu dalam keadaan men-
gapung, Dewa Kincir Samudera sempat ker-
nyitkan keningnya.
"Kulihat ilmunya semakin maju pesat. Te-
rakhir aku mendengar kabar dia menciptakan il-
mu Kontak Suara. Satu ilmu aneh yang bisa
membuat lawannya jungkir balik dan celaka
hanya dengan melalui ucapan saja." pikir Dewa Kincir Samudera. Setelah
Pendekar Kembar 7 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Wanita Gagah Perkasa 7
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Kegelapan masih menyelimuti kawasan hu-
tan di kaki bukit. Di langit tak terlihat bintang, sedangkan cahaya bulan yang
sekejap tadi sempat menerangi kawasan bukit juga sebuah kuil
yang berada di bagian puncaknya kini tertutup
sekelompok awan. Suasana di sekitar bukit dan
kuil terasa sunyi mencekam. Kesunyian tak ber-
langsung lama, mendadak sontak terdengar suara
ledakan berdentum yang disertai guncangan ke-
ras dan semburan api yang memporak-
porandakan kuil dan bukit itu. Dari salah satu le-reng bukit di sebelah timur
satu sosok terlempar tinggi di udara akibat ledakan yang luar biasa hebat. Sosok
serba hitam menjerit ketakutan. Tu-
buhnya jungkir balik, berputar tidak tentu arah, kemudian jatuh menyangsang di
atas cabang pohon berduri. Sekali lagi sosok yang hanya mema-
kai celana hitam ini menjerit saat tubuhnya ter-
hempas di atas duri. Sakitnya luar biasa, dia
menggeliat, meringis sedangkan matanya me-
mandang ke puncak bukit dimana Kuil Setan
yang porak poranda tampak dikobari api.
Sambil merintih tak berkeputusan sosok
hitam yang biasa dipanggil dengan sebutan Me-
medi Santap Segala berusaha menggapai cabang
lainnya. Ternyata tidak semudah yang dia
bayangkan. Karena cabang yang hendak diraih-
nya dan dijadikan tempat berpegangan juga dipe-
nuhi duri. Tapi dia juga merasa tak punya pilihan lain. Sehingga dengan nekad
dia meraih cabang di atasnya.
Wuuuut! Sekali dia menggerakkan tubuh-
nya maka pemuda ini melayang dan jatuh di ba-
wah pohon. Pada saat dirinya jatuh dengan kaki
lebih dulu sampai di atas tanah inilah dia merasa menginjak sesuatu.
"Astaga apa pula ini lembek-lembek?" batin pemuda ini. Dalam kagetnya dia
memandang ke bawah. Wajah hitam Memedi Santap Segala lang-
sung berubah pucat ketika dia mendapatkan satu
kenyataan bahwa posisi jatuhnya persis di atas
punggung satu sosok berpakaian merah. Cepat
sekali dia melompat menjauhi punggung orang.
Tapi pada waktu yang bersamaan satu tangan
dengan gerakan tak terlihat menyambar ke arah
kaki kanannya. Di lain waktu kaki Memedi San-
tap Segala sudah kena dicekal orang. Sosok ber-
pakaian merah lakukan gerakan aneh pada tan-
gannya yang mencekal. Si pemuda merasakan tu-
buhnya seperti dilempar ke atas lalu dibanting ke bawah. Bruk!
Laksana dihempaskan Memedi Santap Se-
gala jatuh menelungkup. Si pemuda idiot meme-
lintir sambil dekap selangkangannya. "Aduh bi-
yung, mengapa begini amat sakitnya. Oalah...
toobaat...!" rintihnya sambil memelintir dan menggerung tak karuan.
Belum lagi Memedi Santap Segala sempat
berdiri tegak, si baju merah yang tadi mencekal
dan membantingnya kini sudah berdiri tegak di
hadapan pemuda itu. Ternyata dia adalah seorang
pemuda tampan berambut hitam lebat, beralis
tebal hidung mancung, dagu bersegi. Selain pa-
kaiannya yang serba merah, dia juga memakai
ikat kepala warna merah. Ketika memandang ke
arah Memedi Santap Segala, tatap matanya men-
corong tajam menyembunyikan kecongkakan se-
kaligus kelicikan.
"Tubuh ditumbuhi bulu, muka hitam, hi-
dung amblas ke dalam, perut buncit puser bo-
dong. Semua kejelekan yang ada di muka bumi
ini rupanya ada dalam dirimu. Manusia menyeru-
pai kunyuk hitam siapa dirimu ini" Apakah kau
turunan manusia atau turunan monyet" Jika
manusia mengapa begitu tak mengenal sopan ja-
tuhkan diri di punggung orang?" hardik pemuda berpakaian merah penuh teguran.
Mendengar ucapan seperti itu, sebenarnya
Memedi Santap Segala jadi tersinggung juga ma-
rah, namun mengingat dirinya tadi memang ber-
salah maka dia menjawab. "Aku Memedi Santap Segala. Aku mohon maaf, karena jatuh
tak sengaja menginjak punggungmu. Semua itu bukan ke-
salahanku, tapi kesalahan bukit sialan disana.
Kalau dia meletus memberitahu sebelumnya ten-
tu aku bisa menyelamatkan diri, tidak jatuh seng-sara seperti tadi!"
Jika pemuda ini bicara seperti itu di depan
Gento atau orang lain, mungkin orang sudah ter-
tawa atau paling tidak tak kuasa menahan se-
nyum. Tapi kali ini sosok yang berada di depan-
nya adalah seorang pemuda angkuh, berjiwa
sombong, licik dan memandang orang lain lebih
rendah derajatnya. Sehingga dia merasa tidak
pantas untuk tersenyum jangankan lagi tertawa.
Malah setelah kaget mendengar Memedi Santap
Segala ada menyinggung tentang bukit meledak,
sepasang matanya membulat besar. Dia sendiri
yang saat itu berada di sebelah selatan puncak
bukit juga sempat terlempar dan jatuh di tempat
itu dalam keadaan menelungkup.
Dalam hati dia berpendapat tak mungkin
pemuda bermuka monyet itu berada di Kuil Setan
jika tidak punya satu kepentingan.
Si baju merah yang bukan lain adalah Lira
Watu Sasangka alias Panji Anom Penggetar Jagad
atau yang dikenal dengan julukan Baginda Bega-
wan Muda murid Begawan Panji Kwalat terse-
nyum dingin mendengar penjelasan Memedi San-
tap Segala. "Monyet hitam, kau berada disana tentu ti-
dak secara kebetulan saja bukan. Kau pasti
mempunyai tujuan atau maksud maksud terten-
tu." Ujar Lira Watu Sasangka sambil memandang dengan tatapan mata menyelidik.
"Jika kau sayangkan nyawamu sebaiknya
jangan mencoba menipu atau memberi jawaban
dusta." Memedi Santap Segala terdiam sejenak, berfikir sambil menduga-duga siapa
adanya pemuda ini. Melihat pada tatapan mata dan caranya
bicara pemuda itu pastilah bukan orang yang
mempunyai tujuan baik. Karena itu dengan hati-
hati Memedi Santap Segala menjawab. "Aku pemuda yatim piatu. Orang tua tak punya
rumah apalagi. Waktu itu aku sedang berburu. Sejak pa-
gi hingga malam sampai paginya lagi aku tak
mendapatkan buruan terkecuali burung-burung
emprit. Karena terlalu kecil burung itu ku santap dengan bulu-bulunya." kata
Memedi Santap Segala dengan serius.
Orang secerdik Lira Watu Sasangka mana
kena dibohongi. Dia menyeringai. Sekali tangan-
nya bergerak, maka rambut pemuda itu sudah
kena dijambaknya.
"Manusia kunyuk! Berani sekali kau meni-
puku" Apa kau kira aku kena dibohongi. Ha ha
ha! Katakan, apa yang kau cari di Kuil Setan" Berani kau membohongi ku,
kupatahkan batang le-
hermu." geram pemuda itu sambil mempererat
cekalannya hingga membuat Memedi Santap Se-
gala jadi meringis kesakitan.
"Cepat katakan! Jawab dengan sejujurnya
sekali lagi Lira Watu Sasangka alias Panji Anom
Penggetar Jagad dengan sikap mengancam. Men-
dapat ancaman seperti itu Memedi Santap Segala
tidak menjadi gentar. Malah keberaniannya sea-
kan terbangkitkan kembali.
"Aku hanya mencari majikanku. Majikanku
hilang di tempat itu." jawab si pemuda.
Dessss! Satu jotosan keras mendarat di perut bun-
cit Memedi Santap Segala. Dia menjerit keras, kakinya terangkat, tubuhnya
tersentak tapi tak
sempat terpelanting karena rambut panjangnya
masih berada dalam cengkeraman lawannya.
"Manusia jahanam! Inilah kesempatan te-
rakhir bagimu. Jika kau masih ingin panjang
umur sebaiknya cepat mengaku!" Seiring dengan ucapannya itu, diam-diam Panji
Anom kerahkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Hawa panas
mengalir deras ke bagian telapak tangan pemuda
itu. Hanya dalam waktu sekedipan mata tangan
kanannya telah berubah menjadi merah kehita-
man. "Kau lihat tanganku" Dengan tangan ini aku bisa membunuhmu semudah
membalikkan telapak tangan." Lalu Panji Anom Penggetar Jagad angkat tangannya.
"Tunggu... jangan bunuh aku. Aku... aku
mau mengaku...!" kata Memedi Santap Segala
dengan suara terbata-bata. Panji Anom tersenyum
penuh kemenangan. Dia menunggu sejenak la-
manya, sampai kemudian Memedi Santap Segala
berucap. "Aku dan majikanku Batuk Labalang da-
tang ke Kuil Setan untuk mencari satu senjata
hebat bernama Bintang Penebar Petaka. Tapi...
tapi kami terpisah karena aku terjebak dalam se-
buah lubang. Sampai sekarang aku tak tahu ma-
jikanku berada dimana?"
"Mendengar logat bicaramu, juga sebutan
datuk pada nama depan majikanmu. Agaknya ka-
lian bukan orang sini." sergah Panji Anom.
"Benar. Kami bukan orang daerah sini.
Kami datang dan tanah Andalas" jelas Memedi Santap Segala. Perlahan cekalan pada
rambutnya mengendur, tangan pemuda itu yang telah beru-
bah memerah juga diturunkan.
"Kau pendatang asing, tidak selayaknya
berkata dusta di hadapanku. Sekarang kau harus
berkata jujur padaku, dimana senjata Bintang
Penebar Petaka berada?" tanya si pemuda.
Mendengar pertanyaan seperti itu kagetlah
Memedi Santap Segala dibuatnya.
Dalam hati dia membatin. "Orang ini men-
cari senjata yang sama. Aku sudah tahu dia me-
miliki tenaga dalam yang tinggi. Aku yakin dia
bukan manusia sembarangan. Tak mungkin aku
mengatakan senjata itu berada di tanganku. Se-
perti Datuk Labalang, dia juga bukan manusia
yang dapat kupercaya. Tak akan kuserahkan sen-
jata ini padanya, tidak juga pada Datuk Labalang.
Terkecuali aku benar-benar bertemu dengan
orang yang tepat!" gumamnya. Setelah terdiam sejenak lamanya, Memedi Santap
Segala kemudian
berucap. "Mengenai senjata yang kau tanyakan, aku terus-terang belum
menemukannya. Mungkin junjunganku Datuk Labalang yang menemu-
kannya." "Ha ha ha. Jika benar apa yang kau kata-
kan sekarang aku ingin tahu dimana junjungan-
mu si Datuk keparat itu?" tanya Panji Anom
Penggetar Jagad.
Memedi Santap Segala jadi terkesiap. "Itu
satu hal yang tak mungkin untuk kulakukan!" se-ru si puser bodong tercekat.
"Keparat terkutuk. Kau mengatakan tak
mungkin, wajah monyetmu nampak ketakutan.
Pasti telah terjadi sesuatu antara kau dengannya.
Bukankah begitu?" dengus Panji Anom. Dia memandang tajam pada pemuda di
depannya. Tatap
matanya dingin menusuk. "Tiga kali kau berbohong padaku. Sekarang tidak ada
keampunan ba- gimu." Selesai bicara begitu Panji Anom tudingkan jari telunjuknya ke arah
Memedi Santap Se-
gala. Sambil tudingkan telunjuk, mulut berkomat-
kamit. Setelah itu dia berseru. "Berputarlah tubuhmu secepat gasing berputar!"
seruan itu ternyata bukanlah seruan biasa, karena pada detik
itu juga Memedi Santap Segala merasakan tu-
buhnya langsung berputar seakan ada satu keku-
atan yang tidak terlihat telah memutarnya. Tak
mau konyol dirinya terbawa pengaruh ucapan
orang, Memedi Santap Segala kerahkan tenaga
luar dalam untuk bertahan. Salah satu kakinya
dihentakkan di atas tanah. Hingga kaki itu am-
blas terbenam ke dalam tanah, walau pun begitu
tetap saja pemuda berkulit hitam ini tak dapat
berbuat banyak. Kini tubuhnya malah mulai te-
rangkat mengambang tidak menyentuh tanah. Di
saat satu kekuatan yang tidak terlihat itu mulai memulas tubuh Memedi Santap
Segala. Pada kesempatan itu pula dia lepaskan satu pukulan
menggeledek ke arah lawannya.
"Seranganmu hanya mengenai angin. Kau
tetap berputar seperti gasing sesuai dengan apa
yang kuinginkan!" teriak Panji Anom Penggetar Jagad. Kenyataannya memang itulah
yang terjadi kemudian. Pukulan yang dilepaskan oleh si pe-
muda, karena saat itu tubuhnya telah bergerak
laksana gasing, hingga arah pukulan jadi melen-
ceng. "Wuakh.... pemuda tengik. Kau menggunakan ilmu iblis untuk mencelakai
orang lain. Sungguh aku akan membalas segala apa yang
kau lakukan terhadapku ini!" teriak Memedi Santap Segala yang saat itu merasakan
seolah dunia ini ikut berputar dan kepalanya sakit berdenyut, perut mual dan mata berkunang-
kunang. "Ha ha ha! Dalam keadaan begini, setiap
perkataanku adalah sabda. Perkataan iblis yang
mempunyai sambung rasa dengan lidah. Tidak
ada yang bakal selamat dari ilmu Kontak Suara
yang kumiliki, terkecuali mereka yang mau me-
matuhi perintah dan kehendakku!" dengus Panji Anom sinis.
"Kau iblis laknat!" maki Memedi Santap Segala. Dalam kesempatan itu dia mencoba
masuk- kan jari tangannya ke balik saku celana guna
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengambil Batu Rembulan. Tapi tangannya sea-
kan tak bertenaga sama sekali. Dalam keadaan
begitu rupa dia memang telah kehilangan keseim-
bangan tubuh tenaga juga kesadaran. Hanya ke-
beranian yang masih membara di hatinya. Itulah
sebabnya dia terus berusaha mengumpulkan se-
genap tenaga dan sisa kekuatan. Akan tetapi se-
gala keinginannya untuk melakukan satu tinda-
kan agaknya tak dapat terlaksana karena pada
waktu itu Panji Anom telah menggerakkan tan-
gannya ke arah sebatang pohon. "Hei tubuh buruk hina, hempaskanlah dirimu ke
batang pohon itu!" seru pemuda itu. Seiring dengan ucapannya maka sosok Memedi Santap Segala
yang tadinya berputar di udara kini melesat ke arah pohon se-
suai dengan apa yang diucapkan oleh Panji Anom
Penggetar Jagad. Bersusah payah Memedi Santap
Segala mencoba mengendalikan diri. tapi daya
luncur tubuhnya yang demikian hebat tak dapat
dibendung. Tak ayal lagi laksana dihempaskan
tubuh pemuda itu menghantam pohon.
Braak! Pohon hancur, tumbang disertai suara ber-
gemuruh berisik menyakitkan telinga. Si puser
bodong merintih, pinggangnya yang terhempas ke
pohon laksana remuk dan menimbulkan rasa sa-
kit yang luar biasa.
2 Pemuda itu mencoba bangkit, tapi tak
mampu. Malah dari mulutnya menyembur darah
kental. Dalam hal ilmu kesaktian, Memedi Santap
Segala bukan manusia berkepandaian rendah. Ji-
ka dia dapat diperlakukan demikian rupa oleh la-
wan, berarti kekuatan yang dimiliki lawannya ti-
dak dapat dianggap main-main. Apalagi bila men-
gingat lawan memiliki ilmu Kontak Suara. Dengan
ilmunya yang aneh itu dia dapat melakukan apa
saja. "Sekarang kau dalam keadaan hampir tidak berdaya. Kini tiba giliran bagiku
untuk mene-lanjangi dirimu. Kau pasti menyembunyikan sen-
jata itu. Jika senjata memang tidak ada padamu,
akan kukorek jantung dan juga biji matamu...!"
dengus Panji Anom penuh ancaman.
Ancaman yang dilakukan murid Begawan
Panji Kwalat sama sekali tidak membuat Memedi
Santap Segala jadi khawatir apalagi takut. Yang
dia takutkan bagaimana jika lawan menemukan
senjata Bintang Penebar Petaka yang terselip di
dalam kantong bekal makanannya"
"Andai saja aku dapat mengambil Batu
Rembulan dari dalam saku celanaku, mungkin
keadaannya akan menjadi lain. Tapi bagaimana
aku bisa mengambil batu sakti itu, atau memper-
gunakan Bintang Penebar Petaka, sedangkan
menggerakkan tangan saja aku sudah tak sang-
gup?" keluh pemuda itu. Satu-satunya usaha yang dapat dilakukannya adalah
menghimpun tenaga dalam sedikit demi sedikit. Tapi pada waktu yang bersamaan
pula mendadak terdengar suara
menggelegar yang datang dari arah sebelah kiri
dimana Memedi Santap Segala tergeletak.
"Makhluk kunyuk pembantu sialan. Dicari
kemana-mana tidak tahunya kau ketiduran dis-
ini! Mana senjata itu" Jangan coba-coba membo-
hongi majikanmu ini lagi. Aku bisa membunuh-
mu!" kata satu suara keras penuh teguran.
"Satu lagi manusia edan datang kesini!" keluh Memedi Santap Segala yang rupanya
memang mengenal suara itu.
Hanya beberapa saat setelah gema suara
lenyap. Di tempat itu muncul kakek angker den-
gan tubuh tinggi seperti galah. Berkulit hitam,
berdaster dan berkerudung hitam. Bila Memedi
Santap Segala tercekat melihat kehadiran kakek
tinggi berwajah angker ini maka sebaliknya Panji Anom sempat dibuat terheran-
heran. Seumur hidup rasanya dia belum pernah melihat ada orang
memiliki badan setinggi itu. Sejenak dia memper-
hatikan si kakek dan sosok pemuda yang telah
dihempaskannya ke batang pohon. Nampak jelas
pemuda itu sangat ketakutan sekali.
"Aku yakin kakek ini orangnya yang di-
maksudkan oleh muka kunyuk itu. Jika senjata
ada ditangan orang tua ini tentu dia tidak mena-
nyakan senjata itu padanya. Gila! Berani benar
dia mendustai diriku." geram Panji Anom. "Dua
manusia bangsat itu akan ku sikat semuanya. Bi-
ar mereka tahu siapa aku yang sebenarnya?" gumam si pemuda dalam hati.
Di depannya sana bersikap seakan tidak
menghiraukan si baju merah, si kakek setinggi
galah yang bukan lain adalah Datuk Labalang
melangkah cepat mendekati Memedi Santap Sega-
la. Begitu sampai di depan pemuda, si kakek
langsung membungkukkan badan, tangannya
yang panjang terjulur. Sekali sentak Memedi San-
tap Segala yang sudah dalam keadaan terluka ini
terangkat naik. Matanya mendelik, nafasnya me-
gap-megap karena lehernya dalam keadaan terce-
kik. "Anak setan, kecil ku besarkan. Sejak dulu setiap ucapanmu selalu
kupercaya. Kini, setelah
kau kubawa jauh mengarungi lautan mengapa ti-
ba-tiba otakmu jadi miring dan jalan fikiran mu
jadi berubah?" hardik Datuk Labalang. "Dimana senjata itu kau sembunyikan" Cepat
katakan padaku!" "Da... Datuk. Ku mohon lepaskan dulu ce-kikan itu. Aku... aku
bisa mati kehabisan nafas
Datuk." kata Memedi Santap Segala dengan lidah terjulur, tangan menggapai udara
dan kaki melejang-lejang.
"Biarpun kau mampus disini, siapa yang
mau perduli." dengus sang Datuk, malah kini dia semakin mempererat jepitannya di
leher pemuda itu. "Katakan cepat dimana senjata itu kau sem-
bunyikan. Atau kau lebih suka aku membunuh-
mu sekarang ini"!"
"Lep... lepaskan dulu Datuk. Sebelum aku
terangkan padamu dimana senjata itu apakah
kau tidak merasa perlu mengusir orang itu. Dia
memaksaku untuk menyerahkan senjata hingga
aku dibuatnya begini rupa. Jika kau tak membu-
nuhnya bisa jadi dia akan merampas senjata yang
hendak kuberikan padamu!" ujar Memedi Santap Segala. Mendengar ucapan pemuda itu
Datuk Labalang menoleh ke arah Panji Anom. Sejak tadi
sebenarnya dia memang sudah melihat kehadiran
pemuda itu. Dia bahkan sempat melihat bagai-
mana Panji Anom membanting Memedi Santap
Segala ke batang pohon hanya dengan bicara dan
tudingkan jari telunjuknya.
Kini setelah melihat si baju merah masih
berdiri di tempatnya Datuk Labalang membentak.
"Mengapa kau tetap berada disini" Cepat me-
nyingkir!" perintah Datuk Labalang.
Panji Anom Penggetar Jagad tersenyum si-
nis. Sejenak lamanya dia pandangi orang tua
itu. Sampai kemudian terdengar suara tawanya
yang melengking tinggi hingga membuat Datuk
Labalang diam-diam jadi kaget.
"Orang tua setinggi galah. Dirimu tak pan-
tas menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak
sesuai dengan kehendakku. Dalam soal senjata,
engkau yang sudah tua bangka tidak pantas un-
tuk memilikinya. Sebaiknya pergilah kau secara
tenang. Jika kau membangkang aku tidak akan
segan untuk mengirimmu ke neraka!" kata pemu-da itu tegas.
Selama malang melintang di dunia persila-
tan belum pernah ada orang yang berani bicara
seperti itu di depan sang Datuk. Apa yang dikatakan Panji Anom membuat sang
Datuk tersing- gung. Wajah si kakek berubah menghitam, sepa-
sang mata mencorong tajam, sedangkan pelipis
bergerak-gerak.
"Berani kau bicara seperti itu pada Datu
Penguasa Tujuh Telaga. Tak ada keampunan ba-
gimu. Kau harus kubuat mampus detik ini juga."
teriak Datuk Tinggi. Sebelum gema suaranya le-
nyap di udara, tubuh jangkung sang Datuk mem-
bungkuk. Tangan kanan terjulur menggapai ke
arah kepala dengan gerakan mengemplang, se-
dangkan tangan kiri yang terkepal menjotos ke
bagian dada pemuda itu.
Mendapat serangan ganas dan sangat ber-
bahaya ini tentu Panji Anom tidak tinggal diam.
Apalagi dia mengetahui serangan itu selain
sangat cepat juga ganas sekali karena disertai suara gemuruh angin dingin berbau
busuk pertanda dalam serangan itu terkandung racun yang amat
jahat. Tanpa fikir panjang Panji Anom melompat
ke samping. Sedangkan tangannya yang satu di-
gerakkan ke atas dan satunya lagi dihantamkan
sejajar ke arah tangan lawan yang menghantam
ke arah dada. Dari telapak tangan Panji Anom
membersit sinar hitam menggidikkan, mengan-
dung hawa panas luar biasa. Karena Panji Anom
memang berniat mengadu tenaga dalamnya den-
gan lawan. Maka bentrokan keras tak dapat di-
hindari lagi. Plaak! Plaak! Dua kali benturan berturut-turut terjadi.
Panji Anom mengeluh tertahan, tubuhnya terdo-
rong mundur sejauh tiga langkah ke depan. Dua
tangannya yang sempat beradu dengan tangan
lawan terasa dingin luar biasa, menimbulkan sa-
kit berkepanjangan. Di depannya sana Datuk La-
balang sempat mengernyit, tubuhnya limbung
dan menghuyung, tangan seperti kesemutan.
"Hemm, ternyata dia memiliki tenaga dalam
yang sangat tinggi. Aku harus dapat menjatuh-
kannya secepat mungkin. Jika tidak aku sendiri
yang dibuatnya celaka!" pikir Datuk Labalang.
"Ha ha ha. Ternyata walaupun sudah mau
mampus tenagamu masih hebat juga tua bangka!
Sekarang terimalah balasan dariku!" teriak Panji Anom. Seiring dengan
teriakannya itu si pemuda
melompat ke depan, satu tendangan dilancarkan-
nya disusul dengan satu pukulan yang sangat ke-
ras mengarah ke bagian perut. Demikian cepat
serangan balasan yang dilakukan oleh pemuda
ini. Sehingga Datuk Labalang hanya dapat meng-
gerakkan tangannya untuk menangkis serangan
kaki lawan. Buuk! Satu hantaman yang keras membuat Da-
tuk Labalang terjajar. Bagian yang terkena puku-
lan terasa sakit bukan main. Bahkan daster hi-
tamnya tampak berlubang di bagian perut. Ini
pertanda serangan yang dilakukan Panji Anom
juga merupakan serangan yang sangat memati-
kan. Sambil menahan rasa sakit yang mendera
perutnya, Datuk Labalang melirik ke arah daster-
nya. Betapa kaget orang tua ini dibuatnya ketika melihat pakaiannya hangus. Rasa
kaget bercampur marah yang bergelora menyesakkan dada
membuat sang Datuk menjadi gelap mata. Den-
gan mata mendelik kakek ini berteriak. "Aku Datuk Labalang, Datu Penguasa Tujuh
Telaga. Jika hari ini aku dapat dipencundangi oleh bocah in-
gusan sepertimu, alangkah sangat memalukan
sekali!" "Lalu kau mau menunjukkan semua ke-pandaianmu di hadapanku" Ha ha ha.
Tidak usah ragu. Aku baginda mu ini siap menghada-
pinya?" tentang Panji Anom dengan sikap jumawa penuh kesombongan. Dia kemudian
melanjutkan ucapannya. "Sebelum kau melakukan sesuatu,
sekarang sebaiknya kau terbanglah dulu di uda-
ra. Bertingkah seperti burung yang baru bisa terbang dan bantingkan diri di atas
batu!" teriak Panji Anom yang rupanya telah mengerahkan il-mu Kontak Suara.
Bersamaan ucapan pemuda itu, Datuk La-
balang merasakan mendadak tubuhnya bergetar
hebat, kaki tangan serta bagian tubuh lainnya
seolah seperti disentakkan ke atas. Sang Datuk
sunggingkan satu seringai aneh. Dia kerahkan
tenaga dalam ke bagian kaki. Sehingga walaupun
Panji Anom mengulangi kata-katanya yang am-
puh itu lawan tetap tidak bergerak sebagaimana
yang dia inginkan. Murid Begawan Panji Kwalat
manusia yang selalu memandang orang lain lebih
rendah derajatnya itu tersentak kaget.
"Keparat jahanam, dia sama sekali tak ter-
pengaruh oleh Ilmu Kontak Suara ku. Kalau begi-
tu aku harus menghantamnya dengan pukulan
Kutukan Mendera Bumi!" batin si pemuda. Baru saja Panji Anom memutar kedua
tangannya di depan dada, pada saat itu pula meledaklah tawa
Sang Datuk. "Dengan ilmu iblis itu kau hendak mem-
permalukan aku sebagaimana halnya yang telah
kau lakukan pada pembantu tolol. Ilmu itu tak
bisa mempengaruhi diriku karena kau kalah tua
dan kalah dalam hal hawa murni. Kudengar ko-
non gurumu yang mewariskan ilmu keji itu pa-
damu. Heemm, seandainya gurumu saat ini bera-
da disini, sampai botak sekalipun dia tak akan
dapat mencelakai aku dengan cara seperti itu. Ha ha ha...!" kata Datuk Labalang
sambil tertawa tergelak-gelak.
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak menyangka lawan mengetahui siapa
gurunya, Panji Anom sempat dibuat tercekat. Be-
lum lagi hilang rasa kejutnya, di depan sana terdengar suara menggemuruh laksana
badai topan yang melanda. Panji Anom memandang ke depan.
Pada saat itu dia melihat tujuh cahaya putih laksana balok es berputar sebat ke
arahnya. Ketujuh cahaya putih itu berbentuk bulat seperti batang
kelapa nampak berputar menyerang Panji Anom
dari segala penjuru arah.
"Kurang ajar! Ilmu apa yang digunakan
oleh tua bangka ini?" rutuk si pemuda. Tanpa membuang waktu lagi dia segera
hentakkan salah
satu kakinya. Seiring dengan itu tubuhnya mele-
sat ke depan. Serangan sinar putih berbentuk bu-
lat berhawa dingin luar biasa ini akhirnya saling bentrok satu sama lain.
Sedangkan salah satu di-antaranya langsung melejit ke atas mengejar pe-
muda itu. 3 Satu ledakan berdentum menggema di
udara. Di atas sana Panji Anom menjerit keras ketika pahanya kena dihantam
pukulan Datuk La-
balang. Bagian ujung celananya sampai sebatas
pangkal paha hancur berkeping-keping, selain itu kaki yang terkena hantaman
lawannya nampak
melepuh menggembung besar. Panji Anom yang
merasakan kakinya laksana disiram air mendidih
jatuh dengan tubuh termiring-miring. Sakit yang
diakibatkan pukulan itu saja sudah sangat luar
biasa sekali. Tapi Panji Anom Penggetar Jagad lebih merasa sakit hati lagi
ketika melihat bagai-
mana celananya jadi robek hancur seperti dica-
cah. Sambil menggerung bagaikan harimau kela-
paran, Panji Anom Penggetar Jagad himpun selu-
ruh tenaga dalamnya. Begitu seluruh tenaga dis-
alurkan ke bagian kedua tangan. Sekujur tubuh
pemuda ini, mulai dari wajah, kedua tangan hing-
ga ke ujung kaki langsung berubah menjadi me-
rah kebiru-biruan. Dua matanya yang juga telah
menjadi biru memandang tajam ke arah lawan.
Sepasang bibir sunggingkan senyum sinis meng-
gidikkan. "Tiga Petaka Mendera Bumi.... satu ilmu
pukulan yang menurut guruku belum ada dua-
nya. Aku ingin tahu apakah Begawan Panji Kwa-
lat bicara yang sesungguhnya atau berkata dusta.
Kau calon korban pertama jika apa yang dikata-
kan guruku memang merupakan satu kenya-
taan!" ujar Panji Anom. Dengan penuh keponga-han dan disertai satu teriakan
menggeledek pe-
muda itu menerjang ke arah lawannya. Satu tan-
gan dihantamkan lurus ke arah lawan. Sedang-
kan tangan kirinya yang terkepal dihantamkan ke
bumi. Saat itu juga dari bagian bawah tanah ter-
dengar suara menggelegar laksana gejolak gu-
nung yang hendak meletus. Kemudian setelah itu
permukaan tanah nampak bergolak hebat menge-
rikan. Lalu terlihatlah satu belahan memanjang
yang mana dari bagian tanah yang terbelah itu
menyembur lidah api. Lidah api tidak langsung
menjilat tubuh lawan, begitu juga tanah yang
membelah tidak menelan tubuh sang Datuk.
Jilatan lidah api yang mencuat ke permu-
kaan langsung menyambar tubuh Panji Anom.
Dimulai dari kedua ujung kaki, terus merayap ke
sekujur tubuh, hingga ke ujung rambut dan tan-
gannya. Semua yang terjadi pada Panji Anom ber-
langsung sangat singkat sekali. Sehingga lidah api yang menjalar disekujur
tubuhnya menjadi satu
tenaga yang Maha dahsyat.
Datuk Labalang sempat terperangah, mata
mendelik mulut ternganga seakan tak percaya
dengan penglihatannya sendiri. Namun karena
menyadari ilmu aneh yang digunakan lawannya
bukan ilmu yang dapat dianggap remeh, maka
laksana walet menyambar dia menghantam men-
dahului lawannya.
Hawa panas menyambar, sinar biru berkib-
lat, menderu ke arah Panji Anom dengan sangat
cepat sekali. Tapi pada detik itu pula dari bagian tangan Panji Anom yang
terkepal melesat berturut-turut lima larik sinar maut berwarna merah
berkelok-kelok laksana ular yang berlari cepat.
Des! Des! Buuuuum! Satu ledakan berdentum menggelegar di
udara. Datuk Labalang menjerit keras, namun
suara jeritannya seolah tenggelam ditelah gemu-
ruh suara ledakan tadi. Datuk Labalang untuk
sesaat lamanya lenyap, tenggelam dalam kobaran
api. Dia jatuhkan diri dan bergulingan di atas tanah. Api yang membakar
pakaiannya membuat
tubuhnya jadi menghitam. Masih beruntung tidak
jauh dari tempat terjadinya perkelahian hebat ini terdapat sebuah sungai. Ke
arah sungai itulah
sang Datuk selamatkan dirinya. Beberapa saat
tubuh sang Datuk timbul tenggelam diseret arus.
Panji Anom yang merasa berada dalam kemenan-
gan tidak membiarkan lawannya meloloskan diri
begitu saja. Dia langsung mengejar, siapkan satu pukulan yang tak kalah hebatnya
dari pukulan Tiga Petaka Mendera Bumi. Tapi begitu dia sam-
pai di tebing kali sosok kakek setinggi galah lenyap tak kelihatan. Pemuda ini
meskipun masih merasa penasaran tapi tetap yakin jiwa sang Da-
tuk pasti tidak ketolongan mengingat sekujur tu-
buhnya mengalami luka bakar yang sangat parah.
Jika pun Datuk Labalang dapat bertahan hidup,
paling tidak dia akan menderita cacat seumur hi-
dup. Panji Anom begitu ingat dengan senjata Bin-
tang Penebar Petaka pada akhirnya bersikap tidak perduli dengan lenyapnya Datuk
Labalang yang mungkin tenggelam ditelan derasnya arus sungai.
Dia kembali ke tempat terjadinya perkelahian he-
bat tadi. Saat itu tanah yang terbelah akibat menyembur nya lidah api dari dalam
bumi yang me- rupakan salah satu pembangkit tenaga sakti pe-
muda ini sudah bertaut kembali. Yang terlihat
hanya sebuah garis menghitam selebar telapak
tangan berkelok sepanjang penglihatan mata.
Panji Anom sunggingkan satu seringai be-
gitu melihat bekas lintasan lidah api yang menjadi sumber dari kekuatan
saktinya. Akan tetapi tak
berapa lama kemudian dia cepat memandang ke
arah mana Memedi Santap Segala terbaring.
Mendadak sontak tubuh si pemuda bergetar, wa-
jahnya memucat, kedua alisnya yang tebal ber-
taut ketika menyadari Memedi Santap Segala te-
lah lenyap entah kemana. Dengan tatapan mata
liar dan nafas sesak karena menahan kegeraman
Panji Anom Penggetar Jagad memandang ke se-
tiap penjuru sudut. Sampai sejauh itu orang yang dicarinya tidak terlihat. Semua
ini membuat kemarahan Panji Anom semakin meluap-luap.
Dengan kedua tangan terkepal dia mengge-
ram. "Manusia kunyuk keparat. Dia rupanya sengaja melarikan diri di saat aku
berkelahi dengan tua bangka tadi. Dia sudah terluka, tak mungkin
dapat melarikan diri dariku. Awas... jika sampai kutemukan, akan kubeset
kulitnya." desis Panji Anom. Pemuda itu kemudian melampiaskan ke-marahannya
dengan melepaskan pukulan ke arah
semak belukar di samping pohon besar yang
tumbang. Sinar hitam berkiblat, semak belukar
rambas, lalu terdengar suara ledakan menggele-
gar. Debu pasir dan reranting pohon bertaburan
di udara dalam keadaan dikobari api. Untuk be-
berapa saat lamanya suasana di tempat itu beru-
bah menjadi gelap. Ketika kegagalan sirna dan
suasana menjadi terang kembali Panji Anom su-
dah tak terlihat lagi berada di situ.
*** Memedi Santap Segala memang sangat
menyadari, cepat atau lambat salah seorang dari
mereka yang terlibat perkelahian sengit itu pada akhirnya akan keluar sebagai
pemenang. Sedangkan yang satunya jika tidak terbunuh paling tidak terluka parah.
Siapapun yang memenangkan perkelahian hebat itu bagi Memedi Santap Segala ti-
dak begitu penting karena masing-masing dari
mereka sama-sama ingin merebut senjata Bintang
Penebar Petaka dari tangannya.
Hal seperti itu tidak boleh terjadi. Senjata
maut itu tidak akan dibiarkannya jatuh di tangan salah seorang diantara mereka.
Karena itulah ketika perkelahian sengit terjadi Memedi Santap Segala yang
mengalami luka dalam di bagian pung-
gung dengan segenap sisa kekuatan yang dia mi-
liki berusaha melarikan diri dari mereka. Akan tetapi pemuda ini tentu tidak
dapat pergi jauh ka-
rena dia hanya dapat berjalan biasa tanpa mam-
pu mengerahkan ilmu lari cepatnya. Setelah se-
kian lama bersusah payah melarikan diri sekali-
gus menghindar dari tangan-tangan serakah yang
menghendaki senjata Bintang Penebar Petaka, dia
merasa kehabisan tenaga dan kelelahan sendiri.
Sampai di suatu tempat yang terlindung
dari kelebatan semak belukar dan reranting pe-
pohonan Memedi Santap Segala menyelinap dan
berdiam disitu, sambil mencoba mengatur nafas
dan berfikir apa yang harus dilakukan selanjut-
nya. "Untuk menyerahkan senjata ini pada
orang yang berhak menerimanya, atau mungkin
orang yang pantas kutitipi senjata ini aku harus
benar-benar memiliki kekuatan yang penuh. Tu-
buhku harus sehat, tidak sakit sebagaimana se-
karang. Mungkin sekarang aku harus menyem-
buhkan luka dalamku melalui pengerahan tenaga
dalam. Jika itu dapat kulakukan dan hasilnya se-
suai dengan yang kuharapkan aku yakin bukan
saja dapat menemukan orang yang cocok untuk
kutitipi senjata ini, tapi aku juga pasti mampu
menghindar dari Datuk Labalang atau juga Panji
Anom." batin Memedi Santap Segala.
Akhirnya tanpa fikir panjang lagi Memedi
Santap Segala yang saat itu duduk bersila segera pejamkan mata. Begitu mata
terpejam dia mulai
kerahkan hawa murninya yang bersumber dari
bagian pusernya yang bodong. Puser yang menon-
jol keluar sepanjang ibu jari itu berkerut atau
bergoyang ke kanan ke kiri ke atas dan ke bawah.
Cukup lama juga si pemuda berusaha mengerah-
kan tenaga saktinya untuk disalurkan ke bagian
punggung. Namun semua usaha yang dilakukan-
nya tidak membawa hasil sebagaimana yang diha-
rapkan. Padahal saat itu sekujur tubuhnya telah
bersimbah keringat, nafas megap-megap dan se-
kujur tubuh telah pula bersimbah keringat.
Memedi Santap Segala gelengkan kepala.
"Aneh... mengapa aku tak bisa menggunakan tenaga saktiku" Jangan-jangan Panji
Anom telah mengambil tenaga saktiku secara licik, atau ba-
rangkali sumber tenaga dalamku telah berubah
menjadi angin, menjadi kentut. Jika itu sampai
terjadi, aduh matilah aku." Memedi Santap Segala
tepuk keningnya sendiri. Sementara itu akibat
pengerahan tenaga dalam membuat luka di ba-
gian pinggangnya jadi semakin bertambah sakit.
Si pemuda meringis.
Dia terdiam sesaat, berfikir mencari jalan
keluar. Sampai kemudian terlintas sesuatu di da-
lam benaknya. "Batu Rembulan... batu itu telah banyak
memberi bantuan ketika aku terperangkap di da-
lam lubang batu. Sekarang aku harus mengguna-
kan batu sakti itu." batin si pemuda. Tangannya kemudian bergerak ke bagian saku
celananya. Dia meraba kian kemari, hatinya berdebar pera-
saan jadi cemas. Akhirnya dia merasa lega ketika mendapati batu itu masih berada
di tempatnya. Batu putih sebesar dan berbentuk seperti
telur ayam dan menyimpan kekuatan sakti itu di-
ambilnya. Memedi Santap Segala memperhatikan
batu tersebut beberapa jenak. Setelah itu batu di-genggamnya erat-erat. Mulut
komat-kamit seben-
tar disertai desis aneh. Baru setelah suara desisan lenyap terdengar pemuda ini
berucap. "Batu Rembulan batu sakti, batu kesayanganku. Kepadamu aku mohon satu
pertolongan sekali lagi.
Dengan kesaktian yang kau miliki, harap kau
bantu aku sembuhkan luka di bagian pinggang-
ku!" kata si pemuda. Sesaat dia menunggu, detik demi detik berlalu. Tapi tidak
terjadi reaksi atau perubahan apapun. Batu dalam genggaman tangannya tidak
menghangat, juga tidak memancar-
kan cahaya putih ke kuning-kuningan. Melihat
kenyataan ini tentu saja Memedi Santap Segala
jadi terheran-heran. "Tak biasanya Batu Rembulan ini tidak memberi reaksi atas
semua perin- tahku. Mengapa sekarang jadi begini" Mungkin
ada satu kesalahan, mungkin kesaktian batu ini
sedang tertidur hingga dia tidak mendengar aba-
aba dariku." Fikir Memedi Santap Segala.
Karena masih juga merasa penasaran, ma-
ka dia segera berucap kembali dengan suara ke-
ras, hingga jika ada orang disekitarnya tentu
orang itu dapat mendengarnya dengan jelas.
"Batu Rembulan batu sakti.... Bantulah
aku." Selesai berkata Memedi Santap Segala kembali menunggu. Seperti tadi batu
sakti ditan-gannya tidak menunjukkan perubahan apapun.
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Batu Rembulan batu sakti...!" Untuk yang ketiga kalinya dia mengulangi, namun
sebelum dia sempat melanjutkan ucapannya mendadak
saja terdengar suara kentut besar yang kemudian
disusul dengan suara tawa yang seakan datang
dari atas langit.
Memedi Santap Segala jadi kaget bukan
main, wajah hitamnya sempat berubah memucat.
Tanpa sadar dia dongakkan kepala memandang
ke langit dimana suara tawa tadi terdengar.
"Mungkin dewakah yang mentertawaiku
tadi" Tobat... apa yang harus kulakukan?" desis Memedi Santap Segala. Dia tiba-
tiba merasa sadar telah melakukan suatu kesalahan. Jika dia
membutuhkan satu pertolongan mengapa tidak
memintanya pada Tuhan" Mengapa harus pada
batu" Benda yang sesungguhnya merupakan ba-
gian terkecil dari sekian banyak ciptaan Tuhan.
Mungkin Tuhan jadi marah, hingga Dia mengam-
bil kekuatan yang dimiliki batu tersebut.
Ingat akan semua itu membuat Memedi
Santap Segala menggigil. Pada saat itu suara tawa telah lenyap. Memedi Santap
Segala tak berani
memandang ke langit. Dia jadi malu dan takut
pada Gusti Allah.
Di saat pemuda itu diliputi berbagai pera-
saan itulah satu suara terdengar mengguntur.
"Bocah yang kulitnya seperti pantat kuali.
Kau tak mungkin dapat sembuh dari luka itu.
Kau bisa lumpuh, menderita seumur hidup dan
bisa juga mati jadi roh gentayangan. Manusia sa-
lah kaprah kau harus melakukan sesuatu, ha-
rus...!" Memedi Santap Segala jadi tertegun. Menyangka yang baru saja bicara
tadi dewa, maka
dia rangkapkan kedua tangan sambil menjura
hormat. Suara yang seakan datang dari atas langit
perdengarkan suara tawa mengekeh.
"Ampun dewa. Sesungguhnya aku ini orang
bodoh...!"
"Kau memang tolol, lihat saja sendiri tam-
pangmu mirip sekali dengan monyet." sergah suara itu sambil tetap tertawa-tawa.
"I... iya, tampangku memang seperti mo-
nyet. Mengapa begini, apakah kau bisa mengganti
buruk rupaku dengan rupa yang lain?" tanya
Memedi Santap Segala polos.
"Hust, wajah yang seperti itu adalah wajah
langka. Kelak akan banyak orang yang mencari-
mu. Ha ha ha." sahut suara itu.
"Oh sedihnya diriku. Siapakah dirimu"
Apakah kau malaikat?" tanya Memedi Santap Segala dengan suara bergetar dan wajah
masih ter- tunduk. "Bukan...!" menyahuti suara itu sambil tertawa-tawa.
"Mungkin kau dewa?"
"Juga bukan." sahut si suara.
"Apakah kau setan?" tanya Memedi Santap Segala lagi.
"Ya, aku setan. Aku bapak setan. Ha ha
ha." Si pemuda lugu yang memiliki daya fikir rendah ini terbelalak dengan mulut
menganga lebar. "Sewan... eh, setan"! Aku paling takut pada setan." desis Memedi
Santap Segala alias Makhluk Tangan rembulan.
"Manusia tolol, kau takut pada Setan, bu-
kan pada Tuhan. Sungguh aku akan memperce-
pat kematianmu sekarang juga!" bentak suara itu sinis. "Oh jangan, aku masih
ingin hidup. Siapapun adanya dirimu ini aku ingin kau mengatakan
padaku apa yang harus kulakukan!" ujar si pemuda.
"Ha ha ha. Kau ingin aku memberimu ja-
lan?" "I... iya." jawab si pemuda tersendat.
"Kalau begitu sebaiknya kau membunuh
diri!" Laksana terbang nyawa Memedi Santap Segala mendengar anjuran suara itu.
Dia berfikir ji-ka suara itu memang setan adanya, tentu dia ti-
dak salah memberi jalan menyesatkan. Karena
hal-hal seperti itu memang pekerjaan setan. Tapi haruskah dia membantah"
"Kau ragu untuk menjawab, mulutmu ter-
katub diam membisu, ataukah kau punya usul
lain." sentak suara itu.
"Betul... aku ingin hidup, aku ingin sela-
mat!" jawab Memedi Santap Segala dengan terbata-bata.
"Tidak ada jalan selamat bagimu terkecuali
kau mau menelan Batu Rembulan di tanganmu
dan menyerahkan Bintang Penebar Petaka yang
tersimpan di salah satu kantong perbekalan mu
padaku!" tegas suara itu.
4 Laksana disambar petir Memedi Santap
Segala langsung terkulai di tanah, tengkuk tidak terasa seperti tengkuk lagi,
tapi telah berubah
menjadi dingin laksana es. Apa yang dikatakan
oleh suara itu bagi Memedi Santap Segala dia
anggap sebagai suatu nasehat gila. Bagaimana
mungkin dia bisa menelan Batu Rembulan ke-
sayangannya. Sedangkan selain batu itu beruku-
ran cukup besar juga satu-satunya benda berhar-
ga yang dia miliki.
Masih dengan keadaan rebah di atas ta-
nah, Memedi Santap Segala ajukan pertanyaan.
"Apakah tidak ada cara lain untuk menyembuhkan diriku?"
"Manusia tolol, melihat pada tubuhmu kau
pantas mendapat julukan memedi, karena tu-
buhmu hitam legam. Lalu apa artinya santap se-
gala" Bukankah itu berarti kau memakan segala
sesuatunya. Apa saja kau sikat. Lalu apa artinya jika harus menelan sebuah batu
demi kesembu-hanmu sendiri" Tapi semua terserah padamu, ji-
ka kau tak mau turuti. Kujamin tak sampai se-
tengah jam di depan nyawamu benar-benar am-
blas. Ha ha ha," kata suara itu disertai tawa terkekeh-kekeh.
Takut apa yang dikatakan orang menjadi
kenyataan, Memedi Santap Segala buru-buru be-
rucap. "Aku... aku tak punya. pilihan lain. Tapi seperti katamu, batu ini akan
kutelan. Terus-terang aku takut mati, karena mungkin aku ba-
nyak dosa. Tapi aku butuh air!" ujar si pemuda.
"Tidak ada air, apakah kau mau minum air
kencingku. Ha ha ha!" sahut suara itu sambil keluarkan tawa membahak.
"Setan keparat, dia rupanya bangsanya se-
tan gila. Ada saja yang dikatakannya." rutuk Memedi Santap Segala. Sejenak dia
menjadi ragu apakah harus menelan Batu Rembulan atau ba-
talkan niatnya. Namun dia takut menjadi sesuatu
yang tidak diingini. Dalam kesempatan itu ter-
dengar suara lagi.
"Cepat lakukan!"
Memedi Santap Segala akhirnya patuhi apa
yang dikatakan suara tadi. Batu Rembulan dide-
katkan ke mulut, sedangkan mulut dibuka lebar-
lebar. Batu sebesar telur lalu dimasukkan ke da-
lam mulutnya. Setelah itu tenggorokan lakukan
gerakan menelan.
"Egkh...!" Memedi Santap Segala keluarkan suara seperti tercekik. Matanya
mendelik, tenggorokannya naik turun berusaha menelan, tapi ka-
rena batu itu cukup besar, sehingga hampir tak
dapat melewati bagian tenggorokannya. Kini Me-
medi Santap Segala jadi sulit bernafas, tangannya menggapai kian kemari,
sedangkan kedua kaki
melejang-lejang seperti orang yang meregang ajal.
Penderitaan si pemuda tidak hanya sampai
disitu saja, karena begitu batu berada di dalam
tenggorokan, maka dibagian itu terasa panas se-
perti terbakar. Rasa panas menjalar ke sekujur
tubuh, menimbulkan mulas di perut dan rongga
dada laksana terbakar. Selagi Memedi Santap Se-
gala dalam keadaan tak mampu menelan atau
mengeluarkan Batu Rembulan dari dalam mulut-
nya, maka pada waktu itu pula satu bayangan
serba hitam berkelebat dari arah belakangnya.
Bayangan itu menyambar ke arah si pemuda. Di
lain waktu Memedi Santap Segala merasakan ada
tangan dingin menekan ubun-ubun, sedangkan
sarung tangan yang lainnya menghantam bagian
perut. Kleer! Hantaman dan pijitan membuat Batu
Rembulan amblas ke dalam perut si pemuda.
Akibatnya bagian perut terasa seperti diremas
dan dibakar dari bagian dalam.
"Uwalah, tobaaat...!" teriak si pemuda sambil mengusap perutnya sambil julurkan
lidah. Di depan Memedi Santap Segala sosok
tinggi besar luar biasa berpakaian serba hitam
dengan dada tak terkancing, bermuka bulat, hi-
dung pesek berpipi tembem dengan kening lebar
tertawa terkekeh-kekeh. Perutnya yang besar ber-
goyang keras. Memedi Santap Segala meskipun kaget me-
lihat kehadiran sosok tinggi besar ini namun te-
rus bergulingan di atas tanah.
"Setan alas. Walah... tubuhku, perutku se-
perti dipanggang. Batu Rembulan benar-benar
menyiksaku!" teriak si pemuda, marah, kesal juga kebingungan.
"Apakah kau membutuhkan air untuk
membuat dingin perutmu?" tanya sosok gendut besar yang bukan lain adalah kakek
Gentong Ketawa. Memedi Santap Segala sama sekali tidak
menyahut. Pemuda itu masih saja bergulingan.
Diam-diam si kakek gendut dengan bobot lebih
dari dua ratus kati ini memperhatikan Memedi
Santap Segala. Begitu pandangan matanya mem-
bentur sosok di depannya, si gendut jadi terke-
siap. Sosok yang tadinya hitam macam arang kini
telah mengalami perubahan hebat di sekujur tu-
buhnya. Memedi Santap Segala tidak lagi berkulit hitam, melainkan sekujur
tubuhnya telah berubah menjadi merah kekuning-kuningan. Satu
proses aneh terus berlangsung pada dirinya. Tu-
buh yang semula berwarna kuning kini telah be-
rubah menjadi sebening kristal. Sehingga bagian
dalam tubuhnya terlihat dengan jelas. Mulai dari tengkorak kepala yang terbalut
kulit dan daging, tenggorokan, pernafasan, lambung, hati dan isi
perut lainnya semua membayang. Seakan di da-
lam tubuh Memedi Santap Segala Batu Rembulan
memancarkan cahaya ke sekujur tubuhnya. Tapi
yang lebih hebat lagi dan sempat si kakek gendut jadi terkagum-kagum kedua
tangan Memedi Santap Segala memancarkan sinar terang laksana
bulan purnama. "Hebat.... kini kau tidak ubahnya seperti
dewa yang menerangi kegelapan. Kau tak pantas
lagi mempunyai nama Memedi, kau lebih pantas
disebut Makhluk Tangan Rembulan. Kukatakan
makhluk karena ku sebut kau sebagai manusia
kurang cocok, bila kukatakan monyet juga tidak
pantas. Ha ha ha...! Sekarang lihatlah dirimu, kau perhatikan baik-baik. Kini
kau tampak lebih gagah, lebih putih bahkan lebih bersinar. Tidak bulukan, kusam
sebagaimana tadi."
Memedi Santap Segala yang merasa bagian
dalam perutnya tidak terasa panas sebagaimana
tadi kini duduk dan perhatikan diri sendiri. Dia terkejut melihat apa yang
terjadi. "Sungguh sulit kupercaya. Bagaimana tu-
buhku bisa berubah bening seperti ini?" desis si pemuda. Heran juga puas melihat
kedua tangannya, kini dia memperhatikan dada dan perutnya.
Begitu melihat ke bagian itu dia langsung mende-
kap wajahnya. "Bagian dalam perutku kini mengapa jadi
kelihatan. Aku... aku takut...!" rintih si pemuda.
"Manusia tolol, kini kau memiliki satu ke-
saktian hebat, mengapa jadi takut melihat perut
sendiri?" dengus si gendut Gentong Ketawa.
Orang tua itu kemudian melanjutkan. "Batu
Rembulan telah menyatu dalam dirimu, sekarang
apakah kau tidak hendak mengatakan padaku
untuk apa lagi kau membawa senjata Bintang Pe-
nebar Petaka yang menjadi incaran banyak
orang?" kata Gentong Ketawa.
Diam-diam Memedi Santap Segala jadi ter-
heran-heran juga terkejut mendengar ucapan
Gentong Ketawa.
"Bagaimana kau bisa mengetahui senjata
itu ada padaku, orang tua?" tanya Memedi Santap Segala. "Ha ha ha. Bukankah aku
setan?" sahut si kakek gendut. "Tapi terus-terang saja aku memang mengikutimu,
bahkan sejak kau mendapat
perlakuan bagus dari Panji Anom."
"Hah, kalau begitu kau juga melihat kakek
tinggi, Datuk Labalang junjunganku?" tanya si
pemuda. "Aku melihat hantu jelek berpakaian seper-
ti banci dimandikan dalam lautan api oleh Panji
Anom. Setelah puas mandi api, dia baru kemu-
dian berenang dalam sungai. Bagaimana nasib
kakek jelek itu selanjutnya aku tidak tahu!"
Memedi Santap Segala gelengkan kepala.
Dia sempat terdiam beberapa saat lamanya. Da-
tuk Labalang selama jadi majikannya memang tak
pernah menyakiti dirinya. Hanya orang tua itu
sering melakukan kejahatan pada orang lain. Dia
khawatir, jika orang tua itu sampai memiliki senjata Bintang Penebar Petaka,
kejahatan yang dilakukannya semakin menjadi-jadi. Karena alasan
inilah Memedi Santap Segala tidak bersedia mem-
berikan senjata yang telah ditemukannya.
"Anak muda, walaupun Batu Rembulan ki-
ni telah menyatu dengan dirimu, ini bukan berarti kau sanggup menghadapi mereka.
Setiap saat jiwamu terancam. Jika kau mau menuruti apa
yang aku sarankan kurasa aku bersedia memban-
tumu." ujar si gendut.
"Apa yang harus kulakukan. Apakah eng-
kau juga menginginkan senjata ini?" tanya si pemuda curiga, namun dia juga
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat berfikir se-
telah merasa dirinya ditolong mungkinkah orang
tua ini dapat dipercaya"
"Aku tidak kemaruk dengan segala macam
senjata. Kalau kau tak keberatan, mungkin kita
dapat menemui guruku untuk meminta petun-
juknya." ujar si gendut.
"Aneh... orang setua dirimu masih punya
guru?" ucap Memedi Santap Segala heran.
Gentong Ketawa anggukkan kepala lalu ter-
tawa tergelak-gelak. "Guru aku punya, murid aku juga punya. Mungkin anak istri
yang tidak kumiliki! Ha ha ha."
Si pemuda yang kini tubuhnya telah beru-
bah sebening kaca dan tembus pandang ini ak-
hirnya mengangguk setuju.
"Baiklah, aku percaya padamu. Aku akan
ikut denganmu, jika kau ternyata menipuku. Aku
tak akan segan untuk membunuhmu!" ancam
Memedi Santap Segala.
Si kakek gendut menanggapinya dengan
tawa mengekeh. Bagaimanapun saat ini masih
cukup banyak persoalan yang harus diselesaikan
nya. Sejak terpisah dengan Gento Guyon di pun-
cak bukit sebelah timur Kuil Setan dia masih be-
lum bisa mengetahui bagaimana nasib muridnya.
Lalu bagaimana si kakek gendut yang semula be-
rada di dalam sebuah ruangan di Kuil Setan itu
kini bisa keluar dari Kuil Setan" Padahal saat itu ketika puncak bukit meledak,
Kuil Setan juga ikut meledak.
*** Sejenak kita ikuti dulu apa yang terjadi be-
berapa saat sebelum terjadi ledakan dahsyat pada bagian puncak bukit juga Kuil
Setan. Ketika itu
Gentong Ketawa bersama gurunya si kakek pen-
dek cebol Kuntet Mangku Bumi bergelar Dewa
Kincir Samudera sedang memeriksa kamar-kamar
maut yang jumlahnya cukup banyak. Di dalam
setiap ruangan mereka menemukan tulang belu-
lang serta tengkorak yang bergeletakan di setiap sudut. Belasan ruangan telah
mereka teliti, namun Gentong Ketawa tidak menemukan murid-
nya berada di salah satu ruangan itu.
"Kita harus memeriksa ruangan yang di-
tempati oleh Iblis Berjubah Merah. Jika cucu mu-
ridku telah dicelakainya, aku bersumpah akan
membuat tulang belulang setan gentayangan itu
jadi debu." guman si kakek. Lalu orang tua ini dengan tergesa-gesa memasuki
sebuah ruangan besar dimana di seberang ruangan terdapat se-
buah pintu batu berwarna merah.
"Apakah dia tinggal di sebelah sana?" tanya si kakek gendut sambil memandang ke
arah si kakek berambut putih yang tingginya tak sampai
sebatas pinggang itu.
Si pendek cebol yang usianya lebih dari se-
ratus tahun ini anggukkan kepala. Tanpa bicara
lagi orang tua ini angkat tangan kanannya ke atas kepala. Begitu diangkat tangan
langsung menge-pulkan asap tebal berwarna putih. Dibelakangnya
si kakek gendut besar tersenyum.
"Si cebol guruku ini rupanya hendak
menghancurkan pintu batu. Huh, apakah tidak
ada cara lain. Jika pintu hancur tidak mengapa, tapi bagaimana jika seluruh
ruangan ini ikut runtuh" Bukan hanya dia saja, akupun bisa ikut ter-
kubur hidup-hidup disini." Fikir si gendut dalam hati. Akan tetapi belum lagi
Dewa Kincir Samudera sempat melepaskan pukulan mautnya. Pada
saat itu terjadi satu guncangan keras yang disertai dengan ledakan disana sini.
Gentong Ketawa tercekat, Dewa Kincir Sa-
mudera terkejut. Terlebih-lebih ketika merasakan lantai yang dipijaknya
menunjukkan tanda-tanda
hendak amblas ke bawah.
Lalu suara gemuruh terdengar dari segala
penjuru arah. Hawa di dalam ruangan dimana
mereka berada semakin bertambah panas.
Wuus! Wuus! Api entah dari mana datangnya menyem-
bur menjilat-jilat dari setiap pintu yang terkuak lebar. "Gila tapi juga hebat,
pukulan belum dilepaskan tapi api sudah menyembur dari semua
arah. Ilmu apa yang guru pergunakan?" celetuk Gentong Ketawa. Orang tua ini
tertawa tergelak-gelak, walau sesungguhnya jauh di lubuk hati si
gendut merasa kaget juga tegang menyaksikan
semua kejadian yang tak pernah disangka-sangka
ini. "Tua bangka konyol, cepat kita tinggalkan
ruangan ini. Aku menaruh firasat darah murid
kesayangan Yang Agung alias Iblis Berjubah Me-
rah tertumpah membasahi puncak bukit ini. Se-
baiknya kita keluar, jika tidak kita bisa mampus."
teriak Dewa Kincir Angin. Kemudian dengan san-
gat cepat sekali si kakek pendek cebol memutar
langkah. Sekali berkelebat dengan diikuti Gentong Ketawa mereka telah
meninggalkan ruangan.
Ruangan demi ruangan mereka lewati, na-
mun baru saja mereka sampai di depan pintu
kuil. Pada waktu bersamaan terjadi ledakan ber-
dentum. Kuil Setan meledak dahsyat disertai sua-
ra gemuruh api dan terpentalnya batu-batu besar
ke segala penjuru arah. Gentong Ketawa dan gu-
runya ikut terlempar. Tubuh mereka melambung
tinggi. Karena tubuh si gendut lebih berat, maka jatuhnya tak begitu jauh dari lembah bukit. Sedangkan Dewa
Kincir Samudera karena tubuhnya
lebih kecil dan ringan maka dia terlempar jauh
dan jatuh entah kemana.
Ketika si gendut jatuh, jatuhnya tepat di
atas kerimbunan pohon, hingga membuat tubuh-
nya menyerangsang, lalu meluncur turun ke ba-
wah disertai suara bergedebukan saat si kakek jatuh di atas batu. Batu amblas,
si kakek mengge-
liat. Dalam kegelapan menjelang pagi dia mengge-
rutu. "Untung ada batu, jadi tubuhku yang terasa pegal kini seperti diurut." Si
kakek kemudian bangkit berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya beberapa kali. Saat
itu suasana telah mulai terang tanah sedangkan udara dingin terasa demikian
mencucuk. Untuk pertama kalinya Gentong Ke-
tawa memandang ke arah bukit. Puncak bukit
sudah tidak nampak lagi, setelah meledak kini
bukit tersebut sudah hampir rata sama sekali.
"Mudah-mudahan guruku tak ketinggalan
di kuil itu. Aku tak tahu dia jatuh dimana" Pera-
saanku mengatakan dia dalam keadaan selamat.
Biarlah tubuhnya pendek asalkan umurnya pan-
jang." batin si gendut. Dia mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Selagi si
gendut berfikir dan teringat pada muridnya Gento Guyon. Pada waktu
bersamaan mendadak terdengar suara bentakan-
bentakan keras tak jauh dari tempat dimana dia
berada. "Matahari belum lagi terlihat." berkata si gendut sambil memandang ke langit
sebelah timur. Saat itu yang terlihat hanya rona merah di-
mana matahari akan munculkan diri. "Orang-
orang gila mana lagi yang berkelahi di pagi buta begini?"
Karena hati si kakek gendut dipenuhi rasa
ingin tahu, maka dia kemudian menyelinap diba-
lik semak belukar sampai akhirnya berhenti di sa-tu tempat dan mengintai dari
balik pohon besar.
Gentong Ketawa tertegun begitu melihat seorang
pemuda berpakaian serba merah berwajah tam-
pan gagah namun congkak tengah menyerang
seorang kakek tua berdaster dan berkerudung hi-
tam. Yang membuat orang tua ini jadi terheran-
heran adalah mengenai keadaan fisik si kakek
bertampang seram itu. Tubuh si daster hitam
tinggi bukan main, begitu tingginya sampai ham-
pir menyamai pohon-pohon yang terdapat di keli-
lingnya. Melihat hebatnya serangan-serangan yang
dilancarkan oleh kedua belah pihak, si gendut
dapat memastikan mereka pastilah dua orang
yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi siapa pe-
muda berpakaian merah itu" Setiap pukulan yang
dilancarkannya mengandung hawa keji. Masih
sangat muda tapi ilmunya sangat tinggi. Si kakek terdiam sambil berfikir. Dia
lalu tepuk keningnya.
"Mungkin pemuda ini Lira Watu Sasangka,
alias Panji Anom Penggetar Jagad, murid kakek
lumpuh Begawan Panji Kwalat. Bocah keblinger
ini tentu mewarisi ilmu kesaktian dari gurunya."
batin si gendut.
Sementara perkelahian semakin bertambah
sengit dan menghebat, Gentong Ketawa alihkan
perhatiannya ke lain tempat masih disekitar tem-
pat terjadinya perkelahian.
"Astaga. Pemuda hitam rupa seperti ku-
nyuk itu siapa adanya. Kulihat dia dalam kea-
daan terluka. Aku tak salah mendengar, tadi aku
sempat mendengar ada orang menyebut-nyebut
tentang senjata Bintang Penebar Petaka. Semula
suara itu datang dari langit. Mana mungkin ada
dewa berebut senjata. Bisa jadi senjata yang dica-ri selama ini ada di tangan
pemuda hitam itu.
Eeeh... dia hendak pergi. Ternyata dia cukup cerdik. Mempergunakan kesempatan
untuk menye- lamatkan diri selagi orang sibuk berkelahi!" desis si gendut. Dia tersenyum
sambil mengusap-usap
keningnya. Pada waktu itu timbul keinginannya
untuk mengikuti Memedi Santap Segala, namun
pada waktu yang bersamaan Panji Anom menge-
rahkan ilmu pukulan Tiga Petaka Bumi. Gentong
Ketawa sempat tercekat ketika melihat bagaimana
bumi jadi rengkah terbelah. Di balik rengkahan
bunuh api menyembur dan langsung tersedot ke
dalam tubuh Panji Anom. Melalui tenaga yang be-
rasal dari semburan api dari dalam tanah inilah
dia menghabisi lawannya.
Ketika Datuk Labalang terbakar dan lang-
sung ceburkan diri ke dalam kali itulah Gentong
Ketawa tinggalkan tempat itu dengan perasaan
tegang bercampur ngeri.
"Pemuda tadi tak bisa dianggap remeh. Aku
harus memberi tahu apa yang kulihat di pagi ini
pada Gento, agar kelak dia dapat bersikap hati-
hati." guman si gendut, lalu dia mengejar ke arah lenyapnya Memedi Santap
Segala. 5 Udara di pagi itu terasa dingin mencucuk,
burung-burung berkicauan menyanyikan senan-
dung yang merdu. Kuil Setan yang berada di pun-
cak bukit tidak tampak lagi, lenyap sama rata
dengan tanah akibat ledakan dahsyat yang terjadi malam tadi. Dari tempat pemuda
itu terjatuh, dia hanya melihat kepulan asap hitam, bergulung-gulung menjulang
tinggi menggapai angkasa. Si
gondrong tampan bertelanjang dada ini kerjabkan
matanya, otak berusaha berfikir, mengingat-ingat segala sesuatu yang telah
terjadi. Mendadak kepalanya jadi pening.
Si gondrong memijit keningnya, mata ter-
pentang memandang ke sekeliling tempat itu. Kini dia baru sadar dan ingat segala
sesuatu yang telah terjadi.
"Ledakan itu telah melemparkan aku se-
jauh ini" Kemana gadis cantik berpakaian dan
bertubuh serba hijau itu?" sambil berkata begitu si pemuda tampan yang tiada
lain adalah Gento
Guyon ini bangkit berdiri. Tubuhnya agak ter-
huyung, kepala terus mendenyut, sedangkan ba-
gian tubuhnya yang lain terasa sakit seperti re-
muk. Sekali lagi dia kitarkan pandangan ma-
tanya. Samar-samar murid Gentong Ketawa ini
melihat satu sosok tubuh dalam keadaan rebah
miring memunggungi dirinya. Pakaian tipisnya
yang berwarna hijau acak-acakan. Tak percaya
dengan penglihatannya sendiri Gento mengusap
matanya. Sepasang matanya yang bulat kini terbela-
lak sedangkan, mulut membuka lebar. "Gila... tak kusangka ledakan yang terjadi
membuat aku dan
dia tercampak sampai ke sini. Apa yang terjadi
dengannya" Apa mungkin dia terluka karena le-
dakan itu?" Gento membatin dalam hati. Namun dia cepat mendatangi. Dua tombak
lagi dia sampai di belakang si gadis, langkah Gento mendadak terhenti. Dia
mendengar suara batuk, bila memandang ke depannya gadis itu menggeliat.
Karena gadis itu tak kunjung bangun, Gen-
to bermaksud memberikan satu pertolongan. Se-
kali lagi Gento jadi bimbang. Dia takut jika pertolongan yang dilakukannya malah
mengundang kemarahan bagi gadis berwajah secantik bidadari
itu. Sampai akhirnya si gadis berpakaian serba
hijau dan berkulit hijau ini bangkit sendiri. Bersikap seperti tidak ada orang
lain di tempat itu si gadis yang bukan lain adalah Dwi Kemala Hijau
ini langsung bersila, mata terpejam dan nafas di-hembuskan dengan teratur.
Rupanya dia bermak-
sud menghimpun tenaga dalam dan mengatur pe-
redaran darahnya yang sempat menjadi kacau.
Beberapa saat berlalu, si gadis masih tetap
duduk bersila dengan mata terpejam. Gento ber-
diri tegak ditempatnya. Dalam hati dia berkata.
"Sejak pertama kali melihatku, dia memperlihatkan satu perhatian. Entah apa yang
diingin- kan oleh gadis berkulit hijau ini. Aku sebenarnya merasa curiga, walaupun
kulihat sikapnya begitu
baik kepadaku. Tapi siapa tahu hatinya menyim-
pan maksud jahat hendak mencelakai aku. Apa-
pun tujuannya aku tidak boleh lengah."
"Bagaimana keadaanmu Gento" Apapun
dugaanmu tentang diriku, semua itu tidak berala-
san sama sekali." suara si gadis yang merdu me-mecahkan keheningan suasana
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hingga membuat Gento jadi berjingkrak kaget.
"Bagaimana dia bisa mengetahui apa yang
ku fikirkan" Apakah mungkin dia seorang du-
kun?" kata Gento dalam hati.
"Nah, kau bicara lagi. Sudah kukatakan
semua dugaanmu tidak beralasan sedikitpun.
Aku bukan orang jahat," ujar Dwi Kemala Hijau
sambil buka matanya. Dia lalu memutar tubuh-
nya hingga kini menghadap ke arah Gento. Si ga-
dis julurkan kedua kaki, sedangkan punggungnya
disandarkan pada sebuah batu yang berada dis-
itu. Cukup lama Dwi Kemala Hijau memperha-
tikan pemuda didepannya. Gento jadi salah ting-
kah, namun tetap sunggingkan senyum.
Beberapa saat kemudian si pemuda mem-
buka mulut, ajukan satu pertanyaan.
"Gadis hijau secantik bidadari. Siapa sebe-
narnya dirimu?"
Dwi Kemala Hijau sunggingkan seulas se-
nyum. Sungguh senyum itu membuat laki-laki
yang memandangnya tadi belingsatan.
"Aku sebenarnya seorang bidadari kayan-
gan." Menerangkan si gadis dengan suara merdu dan enak didengar. Berlagak sok
tahu Gento Guyon yang sempat kaget mendengar jawaban si
gadis berkata. "Aku memang sudah menduga gadis secantikmu pasti berasal dari
Kayangan. Di dunia ini mana ada gadis secantik dirimu. Tapi...
sebenarnya kayangan itu ada di mana?"
Mendengar pertanyaan Gento yang polos,
dengan tenang gadis cantik itu menjawab.
"Kayangan adalah suatu tempat yang sangat indah. Belum pernah dilihat oleh
seorang pun pen-
duduk bumi. Tempat itu penuh kedamaian. Tidak
ada sengketa, tidak ada darah yang tertumpah
disana akibat nafsu amarah. Hanya tempatnya
sangat jauh melewati laut menyeberangi awan.
Tak seorangpun yang sanggup mencapai tempat
itu. Terkecuali penduduk tetap di sana dan orang-orang yang dikehendaki." jelas
Dwi Kemala Hijau.
Murid Gentong Ketawa manggut-manggut.
Apapun dan dimanapun tempat itu Gento tidak
perduli. Karena saat itu dia tak mau dipusingkan dengan segala sesuatu yang
sulit diterima akal.
"Mungkin suatu saat aku bisa sampai ke
tempat itu. Aku akan menggunakan seribu bu-
rung merpati. Ha ha ha." kata si pemuda sambil tertawa lebar. "Kemala Hijau,
sebenarnya aku heran mengapa Kuil Setan bisa meledak?" Gento Guyon sengaja
mengalihkan pembicaraan.
"Meledaknya Kuil itu tentu ada sangkut
pautnya dengan kematian Maut Tanpa Suara...!"
"Bagaimana mungkin kematian pemuda itu
ada hubungannya dengan Kuil Setan?" potong
murid Gentong Ketawa terheran-heran.
Dwi Kemala Hijau tersenyum lagi. Dia me-
narik nafas perlahan, untuk kemudian meng-
hembuskannya kembali. Setelah itu dia mene-
rangkan. "Maut Tanpa Suara adalah murid ke-
sayangan Yang Agung atau yang lebih dikenal
dengan julukan Iblis Berjubah Merah. Maut Tan-
pa Suara adalah penerus dan orang yang kelak
diharapkan dapat menggantikan gurunya. Seba-
gai orang yang mewarisi kuil maut itu, darahnya
tidak boleh tertumpah di tempat yang akan men-
jadi singgasananya. Terkecuali darah orang lain.
Jika hal ini sampai terjadi, sebagaimana ikrar
sumpah pada saat Kuil Setan didirikan, maka
Kuil Setan akan runtuh." kata Dwi Kemala Hijau.
Gento sesungguhnya kurang begitu paham
dengan keterangan gadis itu. Akan tetapi baginya kehancuran kuil setan merupakan
sesuatu yang sangat diharapkan. Dari pada kelak dikemudian
hari akan timbul bencana lagi di tempat itu. Kini Gento teringat akan keberadaan
si gadis di Kuil
Setan. Sehingga dengan tatapan curiga dia ajukan pertanyaan. "Semua penjelasanmu
yang ada hubungannya dengan kematian Maut Tanpa Suara
dan kehancuran Kuil Setan, terus-terang memang
sulit kupercaya. Kau sendiri konon kudengar ma-
sih merupakan murid Yang Agung, lalu sebelum
tewas Maut Tanpa Suara ada mengatakan sesua-
tu. Matanya memandangku tidak senang, jika tak
mau kukatakan cemburu. Agaknya selain kalian
mempunyai hubungan sebagai saudara sepergu-
ruan mungkin diantara kalian sudah terikat da-
lam satu pertalian cinta kasih!" berkata begitu murid si gendut Gentong Ketawa
hendak sembur-kan tawa. Tapi ketika dilihatnya wajah si gadis
berubah menjadi hijau tua sedangkan matanya
mendelik besar memandang penuh rasa marah
pada Gento, maka pemuda ini langsung dekap
mulutnya dengan tangan kanan.
"Aku bangsanya bidadari tidak pernah be-
rucap kasar apalagi memaki. Tapi jika kau bicara sembarangan, aku tak akan segan
menampar mulutmu!" kata Dwi Kemala Hijau ketus.
"Ha ha ha. Gadis secantikmu jika sedang
marah ternyata membuat wajahmu semakin ber-
tambah cantik. Jika kau sering marah-marah di-
depanku, bisa jadi lama-kelamaan aku jatuh cinta padamu." celetuk Gento disertai
tawa terbahak-bahak. Mendengar ucapan si pemuda Dwi Kemala
Hijau jadi tersipu dan cepat palingkan wajahnya
ke jurusan lain.
"Aku ingin membicarakan sesuatu yang
sangat penting padamu, pemuda konyol mata ke-
ranjang. Jika kau terus bergurau, aku akan pergi dari sini!" kata Dwi Kemala
Hijau. Selesai berkata begitu si gadis jauhkan tubuhnya dari batu yang
dijadikan tempat bersandar. Tak lama kemudian
dia bangkit berdiri dan siap melangkah pergi.
"Ah tak kusangka selain cantik ternyata dia besar ambeknya." batin Gento. Dia
dengan cepat julurkan tangan menangkap pergelangan gadis
itu. "Tunggu dulu, jangan marah begitu. Aku ter-kadang memang suka usil. Tapi
bukan berarti aku tak bisa bersikap serius. Seandainya kau
punya sesuatu yang hendak kau bicarakan, bica-
ralah. Aku siap mendengarkannya." berkata Gento beberapa saat kemudian,
sementara cekalan-
nya pada lengan si gadis masih belum dile-
paskannya. Dan gadis jelita berpakaian tipis
menggoda ini sama sekali tidak marah. Dia mena-
rik tangannya perlahan, lalu duduk ditempatnya
kembali. "Untuk kau ketahui, Maut Tanpa Suara se-
benarnya bukan saudara seperguruanku, dia juga
bukan kekasihku. Jika kemudian dia menaruh
rasa cinta kepadamu, itu salahnya sendiri. Dia
sesungguhnya pantas memanggil bibi kepadaku.
Karena aku yang merawatnya sejak dia kecil."
"Keteranganmu itu membuat aku yang bo-
doh ini menjadi semakin tolol. Eeh... apakah kau tidak bisa menjelaskannya
segamblang mungkin
kepadaku?" sergah Gento memotong ucapan Dwi Kemala Hijau.
Gadis itu menganggukkan kepala. Dia ber-
fikir sejenak lamanya, baru kemudian berucap
kembali. "Aku sesungguhnya seorang utusan ketua Bidadari dari Kayangan. Di
tempat tinggalku
orang sering memanggilku dengan sebutan Bida-
dari Biru. Pada suatu saat, salah satu senjata
kami, yaitu Bintang Penebar Petaka raib dari
tempat penyimpanan senjata. Setelah dilakukan
penyelidikan ternyata ada seorang berkepandaian
tinggi menyusup ke Kayangan dan mencuri senja-
ta itu. Si pencuri itu bukan lain adalah Iblis Berjubah Merah. Ketua para
bidadari kemudian
mengutusku untuk mengambil senjata dan mem-
bunuh Iblis Berjubah Merah. Aku hampir dapat
menjalankan tugas dengan baik, manusia tengko-
rak itu kuhantam dengan satu pukulan sakti se-
hingga dia menderita cidera berat. Tapi dia me-
muslihati aku dengan berpura-pura menyerahkan
senjata yang dicurinya. Begitu aku mendekat, se-
cara pengecut dia memukulku dengan satu puku-
lan beracun yang membuat tubuhku berubah se-
bagaimana yang kau lihat. Aku bukan saja gagal
menjalankan tugas, tapi akhirnya aku menjadi
seorang pelayan bagi seorang bocah yang berna-
ma Maut Tanpa Suara." kata Dwi Kemala Hijau sedih. Gento merasa ikut terharu
mendengar penjelasan gadis itu. Iblis Berjubah Merah selama dia ditawan di salah
satu ruangan dalam Kuil Setan
sekalipun dia belum pernah berjumpa. Walaupun
begitu agaknya manusia yang satu itu harus dile-
nyapkan. "Dwi... setiap saat kau punya kesempatan
untuk meloloskan diri. Kau pasti sudah mengeta-
hui seluk-beluk kuil itu, juga termasuk segala ra-hasia yang tersimpan di
dalamnya. Lalu mengapa
kau tetap tertahan di situ?" tanya Gento heran.
Mendengar pertanyaan Gento Guyon, Dwi
Kemala Hijau tersenyum sedih. "Apa yang kau katakan memang tak dapat ku bantah.
Hanya kau harus ingat Gento. Aku tak mungkin dapat me-
ninggalkan Kuil Setan tanpa senjata itu. Lagipula tubuhku dalam keadaan
keracunan Iblis Berjubah Merah hanya memberiku kesembuhan sela-
ma satu hari dalam satu purnama. Selebihnya
aku dalam keadaan sakit, padahal untuk kembali
ke Kayangan membutuhkan waktu lebih dari satu
hari. Aku bisa tewas dalam perjalanan. Selain itu aku tak mungkin kembali
menghadap ketua para
bidadari dengan berhampa tangan. Kembali ke
sana tanpa senjata itu sama saja mempermalu-
kan diri sendiri." jelas Dwi Kemala Hijau seakan mengadukan nasibnya pada Gento.
"Kalau begitu sampai sekarang kau masih
berada dalam ancaman racun?" tanya Gento.
"Kenyataannya memang begitu. Terkecuali
aku bisa merampas penawar racun yang tersim-
pan di dalam saku jubah manusia tengkorak itu."
"Kalau misalnya obat penawar bisa kita
dapatkan, apakah tubuhmu tetap hijau seperti
sekarang ini?" tanya si pemuda sambil mengulum senyum.
"Kami para bidadari tidak ada yang berkulit hijau. Kulit kami putih bersih."
"Lalu apakah setelah kesehatanmu pulih
kembali, kau segera kembali ke Kayangan?" tanya Gento lagi.
"Tidak mungkin bisa kulakukan terkecuali
Bintang Penebar Petaka dapat kubawa serta. Pa-
dahal saat ini aku tidak tahu apakah ketika Kuil Setan meledak senjata itu masih
berada di satu tempat penyimpanannya atau sudah di bawa oleh
seseorang."
"Masalahnya jika Bintang Penebar Petaka
berada di dalam kuil di saat kuil itu meledak. Berarti kecil kemungkinannya
bagimu untuk men-
dapatkannya. Akan tetapi jika memang dicuri oleh seseorang, maka ada harapan
bagi kita untuk
merebutnya dari tangan si pencuri." ujar Gento.
"Jika memang benar kau mau membantu-
ku dan berhasil mendapatkan senjata itu kemba-
li. Aku atas nama seluruh bidadari Kayangan pas-
ti sangat berterima kasih sekali." sahut Dwi Kemala Hijau disertai seulas
senyum. "Aku lebih senang jika kau tidak kembali
ke Kayangan. Jadi kita bisa berteman selamanya.
Ha ha ha."
Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru tersi-
pu malu. "Keinginanmu akan kupertimbangkan
nanti. Tapi harap jangan salahkan aku jika nanti ada seorang gadis lain yang
marah padamu." ujar Dwi Kemala Hijau sambil tersenyum.
"Eeh... gadis yang mana?" tanya Gento jadi salah tingkah.
"Gadis yang berpakaian putih itu."
Gento Guyon tertawa lebar. "Dia hanya
seorang teman. Dia tidak akan marah tapi malah
menganjurkan agar aku memiliki banyak teman
wanita. Ha ha ha."
"Dasar pemuda buaya. Hayo kita pergi!" ka-ta si gadis. Setelah bangkit berdiri
dia langsung melangkah menuju ke arah barat. Gento Guyon
masih dengan terkekeh-kekeh segera mengikuti.
6 Khawatir akan keselamatan muridnya, ka-
kek berwajah tirus berpipi cekung sekujur tu-
buhnya dibaluri kapur putih akhirnya meninggal-
kan bukit kapur yang terletak di tengah hutan
Banyubiru. Dengan Ilmu kesaktiannya yang ting-
gi, sosok kurus kering macam jerangkong dan
lumpuh kaki hanya dalam waktu setengah hari
telah sampai di sekitar kawasan Kuil Setan. Melihat keadaan bukit dimana Kuil
Setan berada yang
hancur berantakan, si kakek yang melakukan
perjalanan dengan tubuh mengambang di udara,
jadi terkejut bukan main.
Dia kemudian melambungkan tubuhnya
lebih tinggi, sehingga dari satu ketinggian dia dapat melihat keadaan Kuil yang
telah porak poran-
da. "Apa yang telah terjadi di tempat ini" Di
sekitar bukit ini seperti baru saja terjadi bencana alam yang hebat. Huh...
segala malapetaka apapun yang menimpa dunia ini aku tak perduli.
Mengenai keselamatan muridku itu yang aku
khawatirkan. Apakah dia sudah mendapatkan
senjata itu. Atau dia belum mendapatkannya?" fikir si kakek angker. Setelah
berfikir sejenak lamanya si kakek
berpakaian hitam yang sekujur tubuhnya diliputi
kapur akhirnya bergerak melayang ke bawah. Se-
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarak dua tombak diatas permukaan tanah, tu-
buhnya yang meluncur tadi kini seakan tertahan,
seolah ada satu kekuatan yang menahannya
hingga nampak mengambang begitu rupa.
"Tak ada tanda-tanda kehidupan kulihat
disini. Mungkinkah semua orang yang menghuni
Kuil Setan tewas?" fikir si kakek yang bukan lain adalah Begawan Panji Kwalat.
Dia lalu teringat
pada Si Tangan Sial. Si malang bertangan sakti
yang diperalatnya untuk mendapatkan senjata
Bintang Penebar Petaka. Beberapa waktu yang la-
lu dia kehilangan kontak sambung rasa dengan Si
Tangan Sial. Ini merupakan suatu pertanda bah-
wa jarum Penggendam Roh yang ditanam di tu-
buh Si Tangan Sial telah dilepaskan oleh seseo-
rang. Sedangkan kemungkinan lain Si Tangan Si-
al tewas terbunuh.
"Apapun yang terjadi dengannya aku tidak
perduli. Dia hanya merupakan alat bagiku untuk
mencapai tujuan. Seandainya gagal, kematiannya
tidak pernah merisaukan hatiku.!" kata Begawan Panji Kwalat disertai senyum
sinis. Tak lama kemudian, si kakek tua segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
Akan tetapi belum jauh dia bergerak pada saat yang bersamaan dari arah
sampingnya menderu hawa dingin yang langsung menyambar
ke arah sang Begawan.
Wuues! Hempasan yang keras bukan saja meng-
hantam tubuh si kakek, tapi juga mendera kekua-
tan tak terlihat yang mendukungnya kemanapun
dia pergi. Dalam kagetnya walaupun dengan mudah
Begawan Panji Kwalat dapat menghindari seran-
gan gelap itu, namun kekuatan gaib yang mem-
buatnya mampu bergerak mengambang laksana
terbang jadi pupus. Tak ayal lagi orang tua ini jatuh bergedebukan.
Rasa sakit akibat terjatuh tadi memang ti-
dak seberapa, yang membuatnya terkejut juga he-
ran, bagaimana orang bisa mengetahui bahkan
mampu menghancurkan sumber kekuatan gerak-
nya. Dalam hati Begawan Panji Kwalat merasa
yakin siapapun adanya penyerang itu pasti memi-
liki ilmu kepandaian yang sangat tinggi luar bi-
asa. Dengan cepat sekali sang Begawan segera
putar kepala, memperhatikan setiap sudut se-
dangkan hatinya merutuk habis-habisan. Sunyi!
Tidak ada sesuatupun yang terlihat.
"Hemm, di siang bolong begini tidak mung-
kin ada hantu atau arwah gentayangan. Apa yang
terjadi padaku pasti karena ulah seseorang. Na-
mun sangat disayangkan dia begitu pengecut un-
tuk tunjukkan diri!" dengus Begawan Panji Kwalat dengan suara sengaja
dikeraskan. "Kau mencari siapa, Begawan" Seorang Be-
gawan seharusnya berada di tempat-tempat suci,
menyepi mendekatkan diri pada sang Maha Pen-
cipta. Tidak seperti yang kau lakukan, bergen-
tayangan di delapan penjuru angin, menebar ke-
rusakan membuat angkara. Apa yang kau cari di
dunia ini" Jika hidup hanya untuk menumpuk
dosa, lebih baik membunuh diri saja!" kata satu suara bernada ketus dan sinis
hingga membuat telinga Begawan Panji Kwalat jadi merah. Orang
itu sempat berjingkrak. Kedua tangan ditekankan
di atas tanah. Lalu...
Wuuus! Mendadak sontak sosok Begawan itu me-
lambung di udara. Begitu berada di atas keting-
gian dia memutar tubuhnya, mata kembali me-
mandang ke sekeliling tempat itu. Rasa kaget si
Begawan bukan kepalang ketika dia melihat satu
sosok pendek cebol berpakaian serba putih duduk
bersila di atas sebuah batu dengan posisi me-
munggungi. Wajah sosok kerdil ini memang be-
lum terlihat oleh Begawan Panji Kwalat. Akan te-
tapi dia sudah dapat memperkirakan siapa
adanya orang yang satu ini.
"Kuntet Mangku Bumi, bergelar Dewa Kin-
cir Samudera. Konon dia telah mampus ditelan
hiu belasan tahun yang silam. Bagaimana seka-
rang dia bisa muncul di tempat ini"!" batin Begawan Panji Kwalat. Dia menyadari
tokoh sakti yang satu ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sekali, bahkan konon
pukulan Kincir Samudera yang
dimilikinya mampu menghancurkan pulau ka-
rang, menimbulkan gelombang hebat juga men-
gundang badai. Tapi orang seperti Begawan Panji
Kwalat mana mengenai rasa takut apalagi jerih.
Sama seperti muridnya dia juga adalah orang
yang suka memandang rendah orang lain serta
menganggap orang tidak memiliki arti apapun di-
hadapannya. "Orang tua laknat, kaukah tadi yang bica-
ra?" bentak si Jerangkong ketus.
Si pendek cebol di atas batu yang bukan
lain memang Dewa Kincir Samudera tertawa pen-
dek, namun terasa dingin angker.
"Di tempat ini hanya ada kita berdua. Jika
bukan aku yang bicara apakah kau menyangka
yang menyapamu tadi adalah setan laknat"!" sahut si pendek cebol di atas batu.
Mendengar jawaban Dewa Kincir Samude-
ra, paras sang Begawan yang berselimut kapur
tebal nampak menegang. Sepasang matanya men-
corong merah menyala. Walaupun begitu dia ti-
dak langsung mengumbar amarahnya. Dalam
menghadapi manusia seperti Dewa Kincir Samu-
dera dia harus menggunakan akal jalankan mus-
lihat. Begawan Panji Kwalat kemudian tersenyum.
Senyumnya aneh, karena senyum itu seperti pe-
rempuan yang hendak melahirkan.
"Dewa Kincir Samudera, nama besarmu
bukan hanya melambung di delapan penjuru du-
nia persilatan. Namamu dikenal meluas sampai
ke empat penjuru lautan. Yang membuatku he-
ran, gerangan apa yang membuatmu sampai ke
tempat celaka ini" Apakah kau juga ikutan men-
gincar senjata Bintang Penebar Petaka. Ha ha
ha...." kata Begawan Panji Kwalat. Mendengar ucapan Begawan Panji Kwalat, si
kakek pendek cebol tertawa tergelak-gelak. Sebagaimana tadi,
tawa si kakek langsung lenyap. Kini dia memba-
likkan badan, hingga langsung berhadap-hadapan
dengan sang Begawan.
Melihat Begawan itu dalam keadaan men-
gapung, Dewa Kincir Samudera sempat ker-
nyitkan keningnya.
"Kulihat ilmunya semakin maju pesat. Te-
rakhir aku mendengar kabar dia menciptakan il-
mu Kontak Suara. Satu ilmu aneh yang bisa
membuat lawannya jungkir balik dan celaka
hanya dengan melalui ucapan saja." pikir Dewa Kincir Samudera. Setelah
Pendekar Kembar 7 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Wanita Gagah Perkasa 7