Pencarian

Tangan Rembulan 2

Gento Guyon 10 Tangan Rembulan Bagian 2


tam legam dengan sekujur tubuh di tumbuhi bulu
berperut besar berpuser bodong. Kejut Maut Tan-
pa Suara bukan alang kepalang. Dia sama sekali
tidak menyangka acara pengorbanan yang baru
dipersiapkan menjadi kacau. Lebih kaget lagi me-
lihat Ambini kini sudah dapat pula membebaskan
diri dari pengaruh totokan.
"Dwi Kemala Hijau, cepat bantu mereka.
Para tetamu sialan ini harus dijatuhi hukuman
seberat-beratnya karena mereka telah mengacau-
kan acara pengorbanan!" teriak si buruk rupa sangat marah sekali.
Si gadis dalam menghadapi suasana seperti
itu menjadi ragu-ragu. Sebaliknya pada saat yang sana terdengar sosok serba
hijau yang baru saja
menyelamatkan Gento dari serangan maut sudah
berkata. "Acara gila ini harus dihentikan! Aku tak ingin melihat ada pertumpahan
darah lagi terjadi disini!" kata laki-laki bercelana hitam komprang yang sekujur
tubuhnya berwarna kehijauan.
7 Ucapan laki-laki serba hijau yang bukan
lain adalah Iblis Racun Hijau ini ternyata cukup berpengaruh. Membuat Maut Merah
menahan serangan kampaknya yang tertuju ke arah Ambini.
Maut Kuning juga berdiri tertegun, sedangkan
Maut Biru walaupun siap menyerang Datuk Laba-
lang kembali tapi tetap terpacak di tempatnya.
Di depan sana Maut Tanpa Suara meman-
dang tajam ke arah Iblis Racun Hijau. Walaupun
suasana di halaman Kuil Setan tidak begitu te-
rang, namun dia dapat mengenali siapa adanya
orang tua yang mulai rambut hingga ke ujung ka-
ki berwarna hijau ini. Dia adalah tokoh sesat berhati baik yang masih terhitung
sahabat Yang Agung juga sahabatnya sendiri.
"Paman Racun Hijau. Mengapa kau men-
campuri urusan kami?" bentak Maut Merah pe-
nuh teguran. Si orang tua tertawa mengekeh. Dia melirik
ke arah Gento Guyon sambil kedipkan mata ki-
rinya. "Bocah konyol, keadaan begini genting. Aku sendiri tidak mungkin sanggup
menghadapi mereka berlima. Jika kau masih bisa semburkan lu-
dah, maka semburkan ludahmu ke seluruh be-
nang yang melilit tangan dan kakimu. Benang itu
akan hancur dengan sendirinya.!" kata Iblis Racun Hijau yang ternyata masih
kenali si gondrong.
"Sukur kau mau datang menolong dan
mau memberi tahu kelemahan benang sakti yang
hampir membuatku celaka ini. Terima kasih pa-
man biang racun." Sahut Gento sambil terse-
nyum. Diam-diam pemuda ini kumpulkan air lu-
dah di rongga mulut. Tak lama kemudian mulut-
nya menyembur. Ludah berhamburan, begitu air
ludah membasahi benang biru. Terdengar suara
mendesis seperti besi panas yang dicelupkan ke
dalam air. Libatan benang yang mengikat tubuh-
nya raib berubah menjadi kepulan asap biru.
Maut Biru tersentak kaget dan keluarkan suara
menggerung begitu melihat lawan mengetahui ke-
lemahan benang saktinya.
Maut Tanpa Suara yang melihat semua ini
kini jadi tahu kalau Iblis Racun Hijau tidak berdiri di pihaknya. Sekali lagi
sambil memandang kea rah Iblis Racun Hijau dia berteriak. "Paman Iblis Racun
Hijau, masih belum terlambat bagimu untuk meninggalkan tempat ini. Jika kau
tidak mencampuri urusan kami, aku menganggap per-
sahabatan kita tetap berjalan sebagai mana yang
kita harapkan. Tapi jika kau membangkang dan
tetap keras kepala bukan hanya aku saja namun
guruku Yang Agung pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha. Diantara kita tetap bersahabat
jika kau mau membatalkan acara pengorbanan
gila ini.!" kata Iblis Racun Hijau. Mendengar jawaban laki-laki berkulit serba
hijau itu mendidih-lah darah Maut Tanpa Suara. Sementara itu sejak
tadi diam-diam Iblis Racun Hijau berusaha mem-
bebaskan totokan di tubuh Gento melalui tiupan
dengan mulut. "Tinggalkan batu ranjang kematian. Kau ti-
dak bisa menghadapi mereka karena sebagian be-
sar kesaktian yang kau miliki saat ini dalam keadaan membeku." kata orang tua
itu melalui ilmu menyusupkan suara. Gento hanya mengangguk-kan kepala. Hembusan
yang dilakukan Iblis Ra-
cun Hijau membuat totokan di beberapa bagian
tubuhnya lenyap seketika.
Kini Gento dapat bergerak dan bangkit dari
ranjang batu yang sangat dingin luar biasa.
"Aku tak mungkin pergi meninggalkan
tempat ini! Kau telah menolongku paman Racun
Hijau." "Bocah edan, saat ini tidak ada waktu ber-
debat bagi kita." teriak orang tua itu. Dalam kesempatan yang sama Maut Tanpa
Suara berteriak
pula memberi aba-aba pada pengawal Kuil Setan.
"Kalian bertiga, bunuh keparat serba hijau
itu!" perintah si buruk berbaju merah.
Maut Biru, Maut Merah dan Maut Kuning
kini serentak berbalik menghadap ke arah Iblis
Racun Hijau. Tiga mahluk berkepala empat ini se-
rentak keluarkan pekikan menggeledek. Tubuh
mereka secara bersamaan pula melesat, berkele-
bat kea rah Iblis Racun Hijau. Dua belas tangan
terjulur. Empat dari dua belas tangan tiga mah-
luk itu lakukan gerakan menghantam kepala,
empat lagi menyambar ke bagian dada dan yang
lainnya mencabik ke bagian perut. Dua belas se-
rangan maut ini tentu saja sangat berbahaya se-
kali. Karena salah satu dari mahluk ini bila melakukan serangan saja sudah
menimbulkan kesuli-
tan besar bagi lawannya, apalagi kini ketiganya
maju secara bersamaan. Tapi anehnya Iblis Ra-
cun Hijau yang mendapat serangan hebat ini ti-
dak nampak gugup, apalagi menciut nyalinya. Ke-
tika dia melihat badai serangan datang dari tiga arah sekaligus, Iblis Racun
Hijau langsung hantamkan salah satu kakinya ke atas tanah. Tanah
amblas disertai letupan keras menggelegar. Men-
dadak bersamaan dengan itu pula tubuh Iblis Ra-
cun Hijau lenyap. Dua belas serangan tangan
mengenai tempat kosong. Bukan hanya ketiga
penyerangnya saja yang di buat kaget, tapi semua
yang melihat kejadian itu ikut terperangah.
"Dia punya ilmu Panglemunan!" desis Gen-to Guyon yang kini sudah berdiri tak
jauh di sebelah Ambini dengan tubuh terhuyung-huyung aki-
bat kehilangan tenaga dalamnya.
"Sebaiknya kita bantu orang tua yang itu!"
ujar Ambini "Aku memang sedang berfikir untuk mela-
kukannya." kata si pemuda. "Tapi seperti yang dikatakannya, kurasa aku telah
kehilangan tenaga
dalamku. Aku merasa sulit sekali menggerakkan
tubuhku. Semuanya terasa lemas tak bertenaga."
keluh murid si gendut Gentong ketawa.
"Kurasa hal yang sama pun terjadi padaku,
karena aku juga tadi sempat dibaringkan di atas
ranjang kematian." ujar Ambini. Diam-diam si gadis coba salurkan tenaga dalamnya
ke bagian tangan. Dia jadi terkejut karena tenaga dalam
yang dimiliki ternyata tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan.
Sementara itu Iblis Racun Hijau yang men-
dadak saja raib, lenyap dari serangan lawan-
lawannya dalam keadaan tidak terlihat semua
orang yang ada di tempat itu kini berputar di uda-ra. Dua tangan di hantamkan ke
bagian kepala Maut Kuning, Merah dan Biru secara berturut-
turut. Des! Des! Des!
Hantaman keras membuat ketiga lawan
meraung hebat. Mereka terhempas, dua kepala
yang menghadap kedepan yang lembek itu pecah
menyemburkan darah. Tapi begitu tubuh mereka
menyentuh tanah dan salah satu tangan menyen-
tuh kepala yang pecah. Masing-masing kepala
yang sudah tidak utuh itu kini bertaut kembali.
Tiga mahluk aneh ini kembali bangkit, pada saat
itu Iblis Racun Hijau begitu jejakkan kaki ke tanah, ujudnya kembali terlihat.
Dia gelengkan ke-
pala. Rasa kejutnya bukan olah-olah, belum lagi
hilang rasa kaget yang menyelimuti diri orang tua ini, sekarang ketiga mahluk
berkepala empat itu
sudah menyerangnya kembali dengan kecepatan
berlipat ganda. Enam tangan yang menghadap
searah dada menyambar ganas ke arah Iblis Ra-
cun Hijau. Berturut-turut sinar biru, merah dari kuning berkiblat. Laki-laki tua
yang diserang menggerung dahsyat, tubuhnya berputar lalu mu-
lutnya yang menggembung besar menyembur.
Pruuuh! Laksana kilat pula cairan hijau berhambu-
ran dari mulut Iblis Racun Hijau. Melihat apa
yang dilakukan oleh Iblis Racun Hijau, Maut Tan-
pa Suara berteriak ditujukan pada para penga-
walnya. "Racun Hijau"! Menghindar!"
Maut Merah, Kuning dan Biru sama sekali
tidak menggubris peringatan murid majikan me-
reka. Bukannya mundur, sebaliknya mereka me-
rangsak maju teruskan serangan
Tes! Tes! Tes! Enam sinar yang melesat dari jari tiga la-
wannya langsung lenyap begitu berbenturan den-
gan cairan racun yang disemburkan oleh Iblis Ra-
cun Hijau. Tiga mahluk berkepala empat itu menjerit
tertahan. Semburan cairan beracun itu ternyata
bukan saja hanya memusnahkan sinar berhawa
dingin yang mencair dari ujung jari mereka. Lebih mengerikan lagi semburan racun
lawan meng-hanguskan kuku-kuku mereka. Tanpa menghi-
raukan rasa sakit yang mereka derita, dengan ce-
pat mereka memutar tubuh. Dua tangan yang be-
rada di bagian punggung kini menyambar.
"Pergunakan Benang Sakti Penjerat Dewa!"
Maut Merah berteriak memberi aba-aba pada ka-
wannya. "Benang Sakti siap diluncurkan!" sahut Maut Kuning dan Biru bersamaan. Karena
ketika berteriak empat mulut berucap serentak, maka di
puncak bukit itu terdengar gelegar berkepanjan-
gan. Ambini merasakan dadanya bergetar hebat,
telinga berdenyut sakit dan pengang bukan main.
Gento Guyon tutupi kedua telinganya, namun dia
tidak dapat tinggal diam ketika melihat enam be-
nang merah, biru dan kuning laksana kawat baja
berturut-turut melabrak ke arah Iblis Racun Hi-
jau. "Pengecut...!" teriak Gento. Sambil melesat di udara dia hantamkan kedua
tangannya melepas pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Pukulan
ini warisan Tabib Setan. Walaupun Gento telah
kehilangan sebagian tenaga dalam yang dia miliki.
Tapi ketika dia menghantamkan kedua tangan ke
arah tiga mahluk berkepala empat, dari telapak
tangan pemuda ini melesat berturut-turut sinar
hitam dan merah disertai deru angin panas ber-
gulung-gulung. Des! Des! Des! Tiga hantaman telak ini membuat tiga
mahluk berkepala empat yang menyerang mereka
jadi terhuyung-huyung, hingga serangan enam
benang yang nyaris melibat tubuh Iblis Racun Hi-
jau meleset dari sasaran.
"Ha ha ha.. Terima kasih sobat sinting. Ji-
ka enam benang sialan itu sampai melibat tubuh-
ku, habislah sudah harapanku." celetuk Iblis Racun Hijau
"Terima kasihnya simpan saja dulu. Lihat,
mahluk keparat itu kini berbalik menyerangku!"
teriak Gento. Dia yang sudah jejakkan kakinya di atas tanah kembali lepaskan
pukulan Dewa Awan
Mengejar Iblis sambil menghindari serangan be-
nang yang meliuk menyambar ke bagian lehernya.
Bum! Berturut-turut tiga pukulan melabrak Maut
Merah, Kuning dan Biru. Kembali tubuh mahluk-
mahluk ini terhuyung. Bagian dada hangus go-
song, empat mulut dari ketiga mahluk ini sem-
burkan darah. Tapi mereka seakan tidak merasa-
kan sakit sama sekali sungguhpun saat itu mere-
ka menderita luka di bagian dalam.
"Sahabat Gento menjauh, aku akan me-
mandikan mereka dengan racunku!" teriak Iblis Racun Hijau.
Sambil melompat mundur Gento menyahu-
ti. "Racun Hijau, kau hendak memandikan orang, apakah dirimu sendiri sudah
mandi. Sejak kau
hadir dalam acara gila ini aku mencium bau bu-
suknya bangkai dan asamnya bau ketiakmu. Ha
ha ha!" "Dasar pemuda sinting sialan!" damprat Iblis Racun Hijau. Sekali lagi
orang tua ini semburkan mulutnya ke tiga arah. Tiga mahluk berkepa-
la empat menggerung, dua tangan di bagian bela-
kang berputar ke belakang lakukan tangkisan,
sedangkan tangan yang berada di bagian depan
terus gerakkan benang ke arah Iblis Racun Hijau.
Dengan mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu
meringankan tubuh orang tua ini mampu meng-
hindar dari libatan enam benang. Sementara
semburan cairan racun yang dilancarkan secara
bertubi-tubi kini menghantam tangan lawan-


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya yang dipergunakan untuk menangkis.
Bukan hanya itu saja sebagian cairan hijau yang
kena ditangkis bahkan bermuncratan membasahi
tubuh mereka. Ces! Ces! Ces! "Arkh...!"
Maut Biru dan Maut Merah menjerit keras,
tubuh mereka berkaparan. Tangan hangus berlu-
bang. Tubuh mereka juga dipenuhi lubang akibat
terkena percikan racun ganas yang disemburkan
Iblis Racun Hijau. Sebaliknya Maut Kuning masih
beruntung karena dia dapat selamatkan diri den-
gan melompat ke belakang. Di depan sana Maut
Biru dan Maut Kuning yang tubuhnya dipenuhi
lubang hitam mengerikan dan mengepulkan asap
berbau busuk dengan tertatih-tatih bangkit lagi.
"Mahluk sialan, bagaimana dalam keadaan
seperti itu masih dapat bertahan hidup?" membatin murid Gentong Ketawa
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini Gen-
to. Mereka bukan manusia seperti kita, tapi iblis yang menyaru seperti manusia!"
kata Ambini mengisiki. Rupanya dia merasa jerih melihat ke-
hebatan mahluk penjaga Kuil Setan itu
Gento gelengkan kepala. Dalam kesempa-
tan itu, selagi Iblis Racun Hijau merasa putus asa menghadapi kenyataan yang
ada, lapat-lapat Gento mendengar satu suara membisiki. "Untuk
membunuh mereka, hantam mulutnya, patahkan
bagian gigi depan!"
Gento Guyon terkejut, dia memandang ke
arah mana suara bisikan berasal. Rasa kagetnya
semakin bertambah ketika melihat satu kenya-
taan bahwa yang memberitahu kelemahan mah-
luk berkepala empat itu bukan lain adalah gadis
cantik berpakaian dan bertubuh serba hijau.
"Mengapa dia malah membantuku. Apakah ini
bukan satu tipuan?" batin si pemuda. Akan tetapi dia sudah tidak dapat berfikir
lebih jauh lagi. Karena pada saat itu Maut Kuning telah melabrak
ke arahnya. Sedangkan Maut Biru dan Maut Me-
rah dengan tubuh dipenuhi luka kembali menye-
rang Iblis Racun Hijau.
"Sobatku gondrong sinting. Aku harus ba-
gaimana, mahluk-mahluk keparat ini agaknya tak
mengenal mati. Tubuhnya sudah hancur begitu
tapi tidak mau mampus. Kalau terus menerus
semburkan ludah, mulutku bisa kering sariawan!"
keluh si orang tua.
"Agaknya kau harus minum air kencingku
atau air kencingmu dulu. Biar racunmu semakin
bertambah hebat. Tapi kalau tak mau pusing,
ikuti saran sobatmu ini. Hantam mulutnya han-
curkan giginya. Kujamin nyawa mereka amblas ke
neraka! Ha ha ha!" sahut Gento. Sambil tertawa bekakakan pemuda, ini membalas
serangan Maut Kuning. Karena dia sering bergerak, tanpa disada-ri pemuda ini tenaga dalamnya
yang sempat membeku akibat tersedot ranjang kematian kini
mulai berfungsi lagi. Sehingga ketika dia meng-
hantam ke mulut lawan, terdengar suara deru
angin laksana badai.
Maut Kuning terkesiap, empat tangannya
lindungi mulut sambil melompat mundur. Namun
Gento cukup cerdik. Begitu wajah di bagian de-
pan dilindungi, dia lalu berputar dan kini meng-
hantam wajah yang menghadap ke bagian bela-
kang. Demikian cepat serangan itu, hingga Maut
Kuning tidak sempat. menyelamatkan mulutnya
dari hantaman tangan pemuda ini.
Prok! Satu jeritan keras laksana merobek langit
kembali terdengar. Maut Kuning terhuyung darah
menyembur dari mulut yang kena hantaman. Se-
lagi sosok Maut Kuning limbung, Gento Guyon
melompat tangannya menyambar ke arah mulut.
Preet! Sekali lagi terdengar suara jeritan keras.
Maut Kuning terbanting. Ketika tubuh Maut Kun-
ing menyentuh tanah, sosoknya langsung hancur
meleleh, hangus menghitam hingga berubah jadi
seonggok debu. Gento bergidik ngeri, Ambini sen-
diri langsung tutupi wajahnya tak sanggup me-
nyaksikan kejadian aneh itu.
"Sobatku Racun Hijau, kau sudah melihat,
kau sama menyaksikan, tanpa gigi mereka tidak
punya daya tak mampu unjuk kekuatan. Seka-
rang tunggu apa lagi. Cepat habisi dua kunyuk
itu!" seru Gento sambil unjukkan gigi runcing milik lawan yang berhasil
dibetotnya. "Tenang saja, kau cuma dapat dua. Aku
akan mencabut habis semua gigi milik Maut Me-
rah dan Maut Biru." Selesai berucap Iblis Racun Hijau berkelebat, mulut terus
semburkan ludah
beracun, sedangkan dua tangan menyambar ke
arah mulut lawannya.
Jika Maut Biru sibuk hindari semburan
cairan beracun yang disemburkan lawannya sam-
bil merangsak kedepan lancarkan serangan den-
gan kedua tangan belakang yang dapat digerak-
kan ke depan. Sebaliknya Maut Merah yang su-
dah terluka parah berfikir lain. Dia kemudian malah memutar arah. Dengan cara
berlawanan se- bagaimana orang yang berjalan pada umumnya
Maut Merah tanpa terduga berkelebat pergi mela-
rikan diri dari tempat itu. Jika Gento tertawa ter-
gelak-gelak melihat cara Maut Merah melarikan
diri dengan punggung menghadap ke depan dan
dada menghadap ke belakang sambil lepaskan
pukulan saktinya. Sebaliknya Maut Tanpa Suara
menjadi sangat marah.
"Maut Merah terkutuk, jahanam pengecut!
Aku tak akan membiarkan dirimu mempermalu-
kan Yang Agung!" Laksana kilat tangan kanan Maut Tanpa Suara lepaskan satu
pukulan maut-nya. Sinar putih berkeluk-keluk laksana lintasan kilat menderu di
udara. Kuil Setan laksana di
guncang gempa. Puncak bukit sebelah selatan
longsor. Pukulan Gento yang diarahkan ke arah
Maut Merah saja sudah membuat puncak bukti
laksana dikobari api, apalagi kini Maut Tanpa Suara mengarahkan pukulannya pada
Maut Merah, dan juga pada Ambini serta Gento. Tak ayal lagi
Maut Merah tenggelam oleh kedua pukulan itu.
Terdengar suara ledakan laksana gunung
meletus. Api berkobar di ujung selatan bukit, ba-tu-batu dan pasir bertaburan di
udara. Suasana berubah gelap. Di saat kegelapan menyelimuti
puncak bukit, pada waktu itu pula terdengar satu jeritan. Semua orang tentu jadi
kaget karena jeritan bukan berasal dari selatan bukit dimana
Maut Merah melarikan diri, melainkan terdengar
begitu dekat dengan mereka. Ketika empat obor
yang sempat meredup terkena sambaran angin
pukulan kembali menerangi tempat itu. Semua
mata sama terpentang lebar. Ternyata yang men-
jerit tadi adalah Maut Biru. Iblis Racun Hijau ter-
tawa terkekeh-kekeh sambil unjukkan beberapa
buah gigi berlumuran darah pada semua orang
yang berada di puncak bukit itu.
"Gento... kau lihat. Aku berhasil menda-
patkan gigi lebih banyak. Sayang Maut Biru kebu-
ru hangus, sehingga aku tidak sempat mencabut
sisa giginya yang lain. Ha ha ha!" kata si orang tua sambil unjukkan belasan
gigi ditangannya
pada Gento. Melihat semua ini Gento tertawa menge-
keh. Sedangkan Ambini meski pun sempat dilan-
da ketegangan akibat hantaman pukulan Maut
Tanpa Suara jadi tersenyum.
Jika di saat Maut Tanpa Suara melepaskan
pukulan saktinya tadi Gento tidak cepat menarik
pinggangnya dan membawanya menghindar dari
pukulan lawan, mungkin saat ini dia hanya ting-
gal namanya saja.
Sebaliknya Maut Tanpa Suara yang sempat
memandang ke arah bekas ledakan semakin ber-
tambah geram karena ternyata Maut Merah ber-
hasil menyelamatkan diri. Kini dia berbalik
menghadap ke arah ranjang kematian yang bera-
da paling disudut kanan. Matanya mendelik besar
mulut ternganga seakan tak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri.
"Dwi Kemala Hijau," desis Maut Tanpa Suara. "Kau lihat, jahanam setinggi galah
itu ternyata hilang Raib dari tempatnya." kata pemuda itu sambil melangkah dua
tindak ke depan. "Aku tak tahu bagaimana caranya dia melepaskan diri. Ta-
di aku hanya melihat ada seseorang bertubuh hi-
tam berdiri di sampingnya. Mungkin pemuda itu
yang telah membawanya pergi!" sahut gadis secantik bidadari ini tenang.
Mendengar jawaban Dwi Kemala Hijau, pu-
catlah wajah Maut Tanpa Suara. Dia memandang
ke arah si gadis. Namun Dwi Kemala Hijau pa-
lingkan wajahnya ke arah Gento. Gento Guyon
jadi salah tingkah dan usap keningnya tiga kali.
"Pemuda muka kunyuk itu melarikan Da-
tuk keparat, kau disini sejak tadi hanya diam sa-ja" Tidak melakukan sesuatu
apapun juga tidak
membantu Pengawal Kuil Setan. Sejak tadi kau
kulihat malah sering melirik pada si gondrong keparat itu. Jangan-jangan....!"
Maut Tanpa Suara terdiam sesaat sambil berfikir. Sekarang mata
mendelik besar dengan tatapan seakan penuh ra-
sa tak percaya. "Aku tahu sekarang, kau pasti yang menunjukkan kelemahan para
pengawal Kuil ini pada musuh! Eeh... Dwi Kemala Hijau,
apa sebenarnya yang ada dalam benakmu?" hardik Maut Tanpa Suara.
Yang dibentak terdiam sambil tundukkan
kepala. Iblis Racun Hijau, murid si gendut Gen-
tong Ketawa dan Ambini saling pandang. Mereka
sendiri tak tahu kapan kakek setinggi galah pergi bersama pemuda berwajah monyet
besar. Tapi lebih tak mengerti lagi melihat sikap gadis cantik luar biasa yang
nampaknya berada di pihak mereka.
8 Untuk sementara kita tinggalkan dulu,
Gento dan Maut Tanpa Suara yang tengah terhe-
ran-heran melihat sikap Dwi Kemala Hijau yang
mendadak nampak berubah itu. Sementara itu
pada waktu yang bersamaan di sebelah timur
puncak bukit, di bawah keremangan cahaya bu-
lan sabit di malam ke sembilan terlihat satu sosok tubuh berjalan dengan
terseok-seok menjauh dari
halaman Kuil Setan. Sosok hitam bertelanjang
dada ini bukan berjalan melenggang. Karena di
atas bahunya dia memanggul satu sosok berpa-
kaian daster hitam dan berkerudung. Sosok tinggi panjang ini bukan lain adalah
Datuk Labalang.
Kakek setinggi galah yang tubuhnya dilibat be-
nang merah. Adapun pemuda yang memanggul-
nya dengan lidah terjulur karena lelah bukan lain adalah Memedi Santap Segala.
Seperti telah dituturkan sebelumnya begitu
Memedi Santap Segala menemukan senjata Bin-
tang Penebar Petaka, dia langsung keluar dari
ruangan tempat penyimpanan senjata. Setelah itu
tanpa menemui kesulitan dia langsung keluar da-
ri Kuil Setan karena pada saat itu pintu kuil dalam keadaan terbuka. Tapi betapa
kagetnya pe- muda ini begitu melihat seperti akan ada acara
pengorbanan di halaman kuil. Dia melihat ada ti-
ga sosok tergeletak tanpa daya di atas ranjang.
Saat itu Memedi Santap Segala yang telah berha-
sil mendapatkan Bintang Penebar Petaka yang di-
dapatnya secara tidak sengaja melihat Maut Me-
rah sudah mengayunkan kampak besar ke arah
leher seorang gadis cantik. Karena merasa tidak
mengenal, Memedi Santap Segala kurang begitu
perduli. Tapi di saat dia memandang ke ranjang
kematian yang terdapat di sudut paling kanan
dekat obor besar, kagetlah pemuda ini. Dia lalu
menghampiri sosok tinggi panjang yang bukan
lain adalah junjungannya sendiri Datuk Labalang.
Secara tak terduga pada saat itu muncul Iblis Racun Hijau hendak menolong
seorang pemuda gondrong. Kehadiran Iblis Racun Hijau cukup
menguntungkan bagi Memedi Santap Segala ka-
rena perhatian semua yang ada di puncak bukit
tertuju pada manusia hijau itu. Termasuk juga
Maut Biru yang hampir mencelakai Datuk Laba-
lang. Ketika kemudian terjadi perkelahian sengit dimana Maut Biru juga ikut
mengeroyok Iblis Racun Hijau, maka kesempatan itu dipergunakan
oleh Memedi Santap Segala alias Mahluk Tangan
Rembulan untuk membawa Datuk Labalang men-
jauhi dari puncak bukit. Usaha ini tidak mudah,
karena tubuh Datuk Labalang berat bukan main.
Beberapa kali si pemuda nyaris terjungkal, lang-
kahnya yang terburu-buru membuat kaki atau
kepala Datuk Labalang tersangkut pada semak
belukar atau batang pepohonan. Semua ini mem-
buat Datuk Labalang sering mendamprat tidak
putus-putusnya.
"Memedi Santap Segala, manusia kampret
tak berperasaan. Kau kira diriku ini batang kayu"
Kepalaku kau benturkan ke batang kayu, muka
kau goreskan ke semak-semak. Tidak dapatkah
kau memilih jalan yang lebih baik lagi!" semprot si kakek yang kakinya terkadang
terpaksa terseret
akibat terlalu panjang menjuntai.


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Datuk.... aku takut orang mengejar kita.
Pula tubuhmu begini panjang, selain itu beratnya minta ampun. Melarikan dirimu
dalam malam yang gelap begini aku tidak ubahnya seperti ma-
kan biji kedondong Datuk. Di telan susah ditarik keluar juga susah. Selain tubuh
Datuk yang panjang bukan main, seperti yang kukatakan tadi be-
ratnya bukan kepalang. Mungkin Datuk kebanya-
kan dosa, tobat Datuk sebelum maut datang men-
jemput!" Ketika bicara begitu Memedi Santap Segala,
sedikitpun tidak tersenyum juga tidak tertawa.
Malah kini semakin mempercepat langkahnya. Ti-
dak perduli walau terkadang tubuhnya terhuyung
ke kiri dan ke kanan.
"Budak hitam terkutuk, beraninya kau
menggurui diriku"!" hardik Datuk Labalang.
Entah sengaja atau tidak, setiap kakek se-
tinggi galah ini mendamprat, pasti kepala atau
kaki Datuk Labalang terbentur pada batang kayu
dan rerantingan pohon hingga membuat kakek
berbadan kurus tinggi ini jadi semakin uring-
uringan. "Pemuda tukang makan, turunkan aku dis-
ini aku ingin memutuskan benang-benang celaka
itu sekarang!" perintah si kakek.
"Sekarang Datuk...?" tanya Memedi Santap Segala. Agak dia ragu, namun tetap
hentikan langkahnya. "Ya sekarang. Cukup turunkan!" perintah Datuk Labalang.
"Disini, Datuk" Di semak-semak ini?" tanya pemuda itu lagi.
"Bangsat bertanya melulu. Kupecahkan
kepalamu!" dengus Datuk Labalang semakin bertambah kesal.
Memedi Santap Segala tersenyum. "Orang
tua tak tahu diri. Menggerakkan tangan saja tidak mampu, konon mau memecahkan
kepalaku!" rutuk si pemuda. Dia kemudian enak saja jatuhkan
sosok Datuk Labalang di atas ranting semak. Be-
gitu jatuh Datuk ini menjerit kesakitan sambil
menyumpah. "Pembantu kurang ajar, mengapa kau ja-
tuhkan aku di atas reranting semak berduri?"
"Datuk ini bagaimana" Tadi aku hendak
mengatakan tempat ini dipenuhi semak berduri.
Tapi kau tetap ngotot." Sahut Memedi Santap Segala tenang.
Datuk Labalang menggerutu dan memaki-
maki pembantunya yang bodoh. Dia gerakkan
tangannya bermaksud menampar, tapi ketika sa-
dar tangannya dalam keadaan terikat Datuk La-
balang terpaksa telan keinginannya. Dalam ke-
sempatan itu si pemuda membuka suara, "Datuk, kulihat benang ini bukan benang
biasa. Sudah- kah Datuk berusaha memutuskannya?"
"Bagus, kalau kau tahu benang terkutuk
ini bukan benang sembarangan, sekarang coba
katakan padaku apa yang harus kulakukan" Aku
telah berusaha memutuskannya tapi aku tak
sanggup. "ujar Datuk Labalang berterus terang.
Memedi Santap Segala, dalam gelap ke-
ningnya berkerut seakan tengah berfikir keras.
Datuk Labalang cemberut. Dia tahu pembantunya
ini tidak bisa memikirkan apa-apa. Otaknya tum-
pul, daya fikir tidak berkembang. Mungkin cara
berfikir pemuda itu hanya dua tingkat di atas
monyet. Tapi ternyata si kakek setinggi galah salah
menduga karena pada saat itu Memedi Santap
Segala berucap. "Konon orang yang telah dibaringkan di atas ranjang kematian
sebagian tenaga saktinya jadi membeku. Tapi itu tidak selamanya, begitu ia
terlepas dari ranjang itu, jika masih ada nyawa dan nafasnya dia dapat
menggunakan tenaga dalamnya kembali. Selain itu Datuk aku
pasti bisa memutuskan benang merah yang meli-
lit tubuhmu." ujar si pemuda. Mendengar ucapan si pemuda, Datuk Labalang
berjingkrak kaget
sambil delikkan matanya. Kembali dia memaki.
"Pembantu sialan. Bicara seenak perutmu. Aku yang memiliki kesaktian begitu
tinggi saja tak
mampu memutuskan benang-benang ini, konon
dirimu!" "Datuk apa yang kuucapkan semuanya be-
nar. Kalau Datuk tak percaya coba Datuk seka-
rang kerahkan tenaga dalam yang Datuk miliki."
ujar Memedi Santap Segala dengan mulut penuh
makanan. Melihat pemuda itu nampaknya ber-
sungguh-sungguh, Datuk Labalang diam-diam
mencoba kerahkan tenaga dalam yang berpusat
di bagian pusar. Mula-mula nafas ditarik perla-
han, perut dikencangkan. Dalam gelap Datuk La-
balang yang lebih dikenal dengan gelar Datuk
Penguasa Tujuh Telaga dari tanah Andalas itu
terkejut besar ketika merasakan hawa panas
mengalir deras dari bagian pusarnya ke sekujur
tubuh. Sejenak lamanya wajah kakek setinggi ga-
lah berubah cerah, namun dilain kejab ketika dia teringat sesuatu wajahnya
sontak berubah mu-rung kembali.
"Apa yang kau katakan ternyata benar
adanya, pembantuku. Tenaga dalamku pulih
kembali, pengaruh ranjang kematian punah. Tapi
apa gunanya" Walaupun aku memiliki tenaga da-
lam dua kali lipat dari yang ada sekarang ini, kurasa aku tak bisa memutuskan
benang merah yang melibat tubuhku!" keluh Datuk Labalang putus asa.
"Kau tidak bisa, tapi aku sanggup melaku-
kannya Datuk. Tapi... tapi aku takut Datuk nan-
tinya jadi marah padaku!"
"Eeh, apa maksudmu" Kalau kau bisa me-
mutus benang laknat ini mengapa tak kau laku-
kan" Jika kau sanggup menolong mengapa harus
marah, malah aku harus berterima kasih pada-
mu!" "Datuk, ketika kita menjauh kesini, aku sempat mendengar orang hijau itu
mengatakan agar gondrong sinting menggunakan air ludah-
nya. Aku tahu seumur hidup Datuk tidak pernah
meludah, mulut Datuk kering. Kalau Datuk mau
sekarang aku bersedia meludahi benang itu!" ujar Memedi Santap Segala.
"Air ludahmu tentu berbau busuk karena
kau memakan makanan apa saja." dengus Datuk Labalang.
"Dua minggu setelah terkena air ludahku
baunya memang tidak akan hilang, tapi saya kira
sudah tidak ada jalan lain. Lebih baik badan jadi bau Datuk. Daripada pelarian
kita diketahui oleh orang-orang dari Kuil Setan. Jika Datuk sampai
tertangkap lagi, mana berani saya... aku memberi pertolongan."
Mendengar penjelasan pembantunya, mau
tak mau Datuk Labalang harus bersedia meneri-
ma kenyataan yang ada. Dengan bersungut-
sungut kakek tinggi itu berkata. "Manusia salah kaprah, bicara beraku bersaya.
Cepat lakukan tu-gasmu. Awas jika ternyata nanti kau tak mampu
memutuskan benang ini, lidahmu pasti kubetot
lepas dan mulutmu kubeset menjadi dua bagian!"
akan si kakek berdestar dan berkerudung hitam.
Memedi Santap Segala usap mulutnya sen-
diri. Membayangkan apa yang dikatakan Sang
Datuk dia jadi miris. Karena dia sadar orang tua itu tak pernah bergurau dengan
ucapannya. "Datuk, ku mohon jangan menakuti aku
dengan ancaman seberat itu. Aku hanya berusa-
ha, namun ketentuan ditangan Tuhan. Jika Da-
tuk tak suka, biarlah aku pergi." Sambil berkata begitu Memedi Santap Segala
beranjak dari tempatnya. Namun Datuk Labalang buru-buru men-
cegahnya "Sudah lakukan saja, ancaman ku tidak berlaku lagi bagi dirimu." Si
pemuda kembali ke tempat duduknya di samping Datuk Labalang.
Dia kemudian kumpulkan ludah didalam mulut,
setelah mulutnya gembung besar baru kemudian
dia menyembur"
Pruuuh! Empat kali semburan dilakukannya bertu-
rut-turut. Begitu air ludah menyentuh benang
yang melibat tangan kaki dan badan Datuk Laba-
lang, terdengar suara letupan empat kali bertu-
rut-turut. Benang merah sakti hangus gosong
mengepulkan asap hitam. Melihat kenyataan yang
terjadi Memedi Santap Segala berjingkrak kegi-
rangan, sedangkan Datuk Labalang segera bang-
kit sambil mengusap-usap pergelangan tangan
dan kakinya yang baru terbebas dari ikatan be-
nang itu. Sejenak lamanya dia pandangi sang
pembantu, matanya yang mencorong tajam me-
mancarkan rasa terima kasih yang mendalam. Di
saat dirinya merasa terbebas dari libatan benang itu, barulah kini si kakek
ingat dan bertanya dalam hati bagaimana pembantunya Memedi Santap
Segala bisa membebaskan diri dari jebakan maut
beberapa hari yang lalu.
"Kau telah berbuat pahala besar, pemban-
tuku. Tapi yang membuat aku heran, bagaimana
kau bisa membebaskan diri dari lubang jebakan
itu?", tanya sang Datuk. Sambil ajukan pertanyaan orang tua itu melirik ke arah
kegelapan di sebelah kirinya dimana dia melihat ada sosok tubuh mendekam di
balik pohon besar. Sosok itu
telah berada di sana sejak tadi.
Memedi Santap Segala terdiam cukup la-
ma. Bukan pertanyaan junjungannya yang dia ri-
saukan. Melainkan dia tengah berfikir haruskan
dia melaporkan apa yang ditemukannya di dalam
ruangan penyimpanan senjata pusaka. Padahal
kedatangan Datuk itu bersamanya ke tanah Jawa
semata-mata adalah untuk mencari senjata yang
kini tersimpan di dalam kantong perbekalannya.
Memedi Santap Segala jadi bimbang, dia
sadar Datuk Labalang bukan manusia baik, ilmu
kesaktiannya tinggi. Jauh sebelum berangkat ke
tanah Jawa dia pernah mengatakan akan meng-
habisi sedikitnya tiga tokoh golongan putih den-
gan senjata yang dicarinya. Jika tiga tokoh selatan itu dibunuh dengan senjata
Bintang Penebar
Petaka, berarti Datuk Labalang berkuasa penuh
di daerah selatan dan timur Andalas. Ini sangat
berbahaya, karena Datuk Labalang manusia an-
gin-anginan yang sulit ditebak maksud dan kein-
ginannya. "Memedi Santap Segala, mengapa kau di-
am" Jawab pertanyaanku!" suara Datuk Labalang memecah keheningan.
"Eeh, Datuk. Saya.... aku...dapat lolos dari dalam jebakan maut itu atas bantuan
Batu Rembulan. Batu Rembulan yang menjebol pintu, tem-
bus ke ruangan lain hingga aku dapat menyela-
matkan diri." sahut si pemuda hitam berpuser bodong.
"Hanya itu saja, kau tak melihat atau me-
nemukan dimana senjata yang kita cari?" tanya si kakek setinggi galah disertai
pandangan menyelidik. "Tid... tidak Datuk. Tidak ada sesuatupun yang kutemukan!"
jawab Memedi Santap Segala gugup. "Nafasmu tersengal, suaramu gugup. Jika tidak
ada yang kau sembunyikan apakah saat ini
kau sedang menderita sakit?" pancing si kakek.
"Betul Datuk, aku sakit. Aku lagi tidak
enak badan...."
Belum lagi suara Memedi Santap Segala le-
nyap, mendadak saja terdengar satu suara ber-
kumandang tak jauh dari tempat itu disertai tawa tergelak-gelak.
"Otaknya tolol, wajah lugu. Tapi dia adalah seorang pendusta besar. Ha ha ha!"
Jika si pemuda menjadi kaget, sebaliknya
Datuk Labalang yang sudah mengetahui kehadi-
ran orang hanya tersenyum sinis sambil meman-
dang kearah datangnya suara
9 Sejenak dengan wajah pucat Memedi San-
tap Segala pandangi sosok tua berdestar dan ber-
kerudung hitam. Datuk Labalang tahu dirinya di-
perhatikan, namun dia bersikap seakan tidak ta-
hu. Tenang saja kakek setinggi galah ini berucap ditujukan pada orang yang baru
bicara tadi. "Ta-mu dalam gelap, sudah kuketahui kedatanganmu
sejak tadi. Mendekam disitu mencuri dengar
pembicaraan orang bukan tindakan terpuji, kalau
kau punya keperluan denganku atau salah seo-
rang diantara kami sebaiknya cepat datang kema-
ri!" Sosok yang mendekam dibalik pohon
bangkit berdiri, lalu dengan gerakan cepat sekali dia berkelebat. Dilain saat
sosok berpakaian merah bertangan hitam itu telah berdiri tegak di hadapan Datuk
Labalang. Beberapa jenak lamanya
saling berpandang, namun pandangan sosok ber-
tangan hitam itu kini lebih banyak tertuju ke arah Memedi Santap Segala.
"Tadi kau mengatakan pembantuku ini te-
lah mengucapkan satu kedustaan yang besar.
Pertama katakan siapa namamu dan apa maksud
dari ucapanmu!" kata Datuk Labalang tegas.
"Aku Si Tangan Sial, sengaja datang ke Kuil Setan untuk menjalankan perintah
seseorang. Aku ditugaskan mencari senjata Bintang Penebar
Petaka. Senjata itu telah kuketahui letak penyim-
panannya, sayang aku tak sanggup mengambil-
nya. Tak lama kemudian muncul pemuda muka
kunyuk itu. Entah ilmu kepandaian apa yang dia
miliki. Kulihat dengan mudah tanpa halangan dia
mampu mengambil senjata itu. Lalu aku mengi-
kutinya. Mulai dari dalam Kuil, keluar dan sam-
pai kesini. Sekarang cepat serahkan senjata itu
padaku!" kata Si Tangan Sial dengan mata mene-rawang kosong dan wajah
menggerimit menahan
sakit. Hanya sekali lihat Datuk Labalang tahu kalau laki-laki dihadapan itu
sesungguhnya sedang
mengalami penderitaan hebat. Entah apa bentuk
penderitaan itu si kakek tak tahu. Dia bahkan tak peduli. Kini sang Datuk
memandang ke arah Memedi Santap Segala. Pemuda yang dipandang ce-
pat sekali tundukkan kepala. Dalam hati dia


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membatin. "Tak mungkin ku serahkan senjata
pada Datuk Labalang, juga tidak pada Tangan Si-
al. Aku sendiri menginginkan senjata ini, tapi bila senjata ini sampai jatuh ke
tangan orang yang salah dia bisa menjadi malapetaka. Kurasa aku ha-
rus kembali ke puncak bukit untuk mencari
orang yang pantas mengamankan senjata ini."
"Memedi Santap Segala, pembantuku yang
paling setia." ujar Datuk Labalang dengan suara lemah lembut. "Seumur hidup kau
belum pernah berbohong padaku. Sekarang kuharapkan segala
kejujuranmu, benarkah kau telah menemukan
senjata Bintang Penebar Petaka?"
"Benar Datuk!" sahut si pemuda.
Datuk Labalang tersenyum. "Kau hebat.
Hanya apakah kau tahu siapa kau?"
"Sa.. saya tahu Datuk. Engkau adalah jun-
junganku, orang yang segala perintahnya harus
ku patuhi."
"Kalau sudah tahu, jika sadar senjata yang
kucari ada padamu sekarang coba serahkan sen-
jata itu padaku" perintah si kakek setinggi galah.
"Datuk.... aku... aku bukan tak mau se-
rahkan senjata padamu. Tapi sebaiknya Datuk
singkirkan dulu orang itu Datuk. Jika Datuk su-
dah dapat menyingkirkannya, senjata pasti kuse-
rahkan padamu," janji Memedi Santap Segala.
Datuk Labalang tergelak-gelak. Perasaannya saat
itu gembira bukan kepalang.
"Ha ha ha. Kau mau aku berbuat apa pa-
danya" Membunuh atau melubangi dadanya?" ka-ta Datuk Labalang.
"Mengenai itu urusan Datuk sendiri. Terse-
rah Datuk mau berbuat apa. Menunggu kau me-
ringkusnya, sekarang perutku lagi mulas Datuk,
aku mau buang hajat besar, tidak jauh dari sini.
Permisi dan terima kasih!" Tanpa menunggu jawaban majikannya, terbirit-birit
Memedi Santap Segala tinggalkan tempat itu menuju ke balik se-
mak-semak belukar.
"Jangan kau coba minggat apalagi meng-
hindar dariku!" seru Datuk Labalang mengin-
gatkan. Sebagai jawaban dari balik semak belukar terdengar suara kentut besar.
Sang Datuk menyumpah dalam hati. Kini dia percaya pemban-
tunya itu memang benar-benar hendak buang ha-
jat. Karena sudah menjadi kebiasaannya setiap
hendak buang hajat Mahluk Tangan Rembulan
selalu mengawalinya dengan kentut yang luar bi-
asa kerasnya. Yakin pemuda itu tidak akan mem-
buat ulah, maka kini Datuk Labalang langsung
menghadap ke arah Si Tangan Sial.
"Manusia bertangan hitam, melihat rupa-
mu melalui sinar bulan sabit ini aku tahu dirimu tengah menderita sakit yang
sangat hebat. Orang
menyuruhmu, kau menjalankan perintahnya
dengan sangat terpaksa karena kulihat engkau
sangat menderita. Jika kau mau aku bisa-
meyembuhkanmu atau mencari dimana sumber
penyakit itu tertanam. Tapi dengan satu syarat....
jika aku mampu menyembuhkan penyakitmu, ha-
rap kau jangan lagi kemaruk untuk mendapatkan
senjata Bintang Penebar Bencana. Penawaranku
hanya berlaku satu kali, tidak pernah ku ulang.
Kau boleh mempertimbangkannya." kata Datuk
Labalang. Di depan sana Si Tangan Sial memang
sempat tertarik. Tapi begitu rasa sakit menyerang bahunya kiri kanan juga di
bagian belakang leher, maka dia tak dapat berfikir normal. Apalagi ketika itu
dia sempat ada suara orang mengancam. "Kau turuti perintahnya, maka
penderitaanmu tidak
hanya sampai disini saja. Kau akan kubuat men-
jadi gila, hilang akal hilang kewarasan seumur-
umur." Kata suara itu.
Bersamaan dengan itu pula hawa dingin
menyengat menyerang bagian belakang kepala
dan terus menjalar naik ke dalam otak. Si Tangan Sial meraung keras, matanya
seketika berubah
merah laksana bara. Di depan sana Datuk Laba-
lang sempat tercengang. Namun segera mengeta-
hui kalau lawan dikendalikan dari jarak jauh oleh seorang. Ilmu hitam semacam
ini banyak terdapat
di tanah Andalas hingga membuat Datuk Laba-
lang tidak begitu heran.
Baru saja kakek setinggi galah berkeru-
dung hitam dan berdestar panjang menjela ber-
warna sama ini hendak mengatakan sesuatu. Di
saat bersamaan Si Tangan Sial telah berkelebat
ke arahnya, kirimkan satu jotosan ke bagian wa-
jah. Belum lagi jotosan sampai pada sasaran si-
nar hitam berhawa dingin laksana es melesat
mendahuluinya menghantam wajah si kakek. Ini
merupakan tanda lawan mengerahkan tenaga da-
lam penuh ketika lancarkan serangan tadi. Men-
dapat serangan hebat dan sangat mematikan ini,
Datuk Labalang miringkan kepala sambil men-
dengus. Dua tangannya menangkis sambil beru-
saha menangkap pergelangan tangan lawan yang
meluncur deras ke arahnya.
Tangan lawan meluncur di samping kepala
Datuk Labalang. Begitu melihat tangan melewati
kepalanya, tangan kiri sang Datuk langsung ber-
gerak laksana kilat menangkapnya.
Tangan yang menjotos muka tadi kena di-
tangkap, tapi sang Datuk menjerit kesakitan dan
langsung lepaskan cekalannya pada pergelangan
tangan lawannya. Betapa tidak orang tua itu me-
rasakan telapak tangannya laksana terbakar, me-
lepuh di beberapa bagian dan langsung menghi-
tam. "Gila! Bagaimana dia mampu melepaskan pukulan berhawa dingin, sementara
tangannya sendiri terasa panas bukan main" batin Datuk Labalang
"Tangan Sial. Berarti kedua tangan orang
ini mengandung satu kesaktian aneh. Aku ingin
melihat apakah bagian tubuhnya yang lain juga
sama berbahayanya dengan bagian tangan" gu-
mam si kakek. Orang tua ini sudah tak dapat berfikir pan-
jang lagi karena pada waktu itu Si Tangan Sial telah menggempurnya dengan
serangan ganas ber-
tubi-tubi yang terarah di lima bagian tubuhnya
paling mematikan. Mendapat serangan maut ini
Datuk Labalang masih dengan berdiri tegak lang-
sung kebutkan lengah daster hitamnya. Segulung
angin laksana topan menderu. Di udara terdengar
ledakan menggelegar. Si kakek setinggi galah ke-
luarkan seruan kaget, sedangkan tubuhnya ter-
gontai-gontai. Didepanya sana Si Tangan Sial
sampai tersurut sejauh dua tombak wajahnya pu-
cat, bibirnya bergetar. Selain kedua tangan sak-
tinya, bagian tubuh yang lain seperti disiram air panas. Akan tetapi seakan tak
merasakan sakit
apapun laki-laki itu sambil melompat ke depan
kirimkan satu pukulan jarak jauh yang cukup
berbahaya Sinar hitam kembali menderu, dua tangan
yang ikut meluncur seakan berubah besar seperti
pohon kelapa, mencari sasaran di bagian perut
dan kaki lawannya. Datuk Labalang memang
sempat tercekat, mata mendelik besar seolah tak
percaya dengan penglihatannya sendiri. Tapi hal
itu hanya berlangsung sesaat, karena detik ke-
mudian dia sudah melompat di udara, berjumpa-
litan begitu rupa hingga kini posisinya berada di belakang lawan. Serangan tinju
besar yang mengarah di bagian perut memang luput, tapi tulang
betis Datuk Labalang kena dihantam oleh lawan-
nya. Si kakek menjerit tertahan, tapi dia masih meneruskan serangannya ke bagian
punggung. Desss! Si Tangan Sial jatuh tersungkur, Dibela-
kangnya Datuk Labalang yang baru jejakkan kaki
nampak terhuyung. Kakinya seperti putus ketika
dia melihat ke bagian kaki, celana di bagian depan betis robek besar hangus
terbakar dan masih
mengepulkan asap berbau sangit. Lebih dari itu
kulit dibalik celana juga nampak menghitam.
Terpincang-pincang sambil menyeringai
kesakitan Datuk Labalang alias Datuk Penguasa
Tujuh Telaga melompat ke depan. Saat itu Si Tan-
gan Sial akibat terkena pukulan di belakang
punggung semburkan darah dan masih belum
bangkit dari tempatnya. Sambaran keras meng-
hantam bagian pinggang orang tua bertangan
sakti ini. Sambil mengerang Si Tangan Sial begitu
merasakan sambaran angin dingin menerpa ba-
gian punggung segera menggulingkan badan se-
lamatkan diri. Gerakan yang dilakukan sayang
kalah cepat dengan gerakan lawan. Di lain kejap
Si Tangan Sial merasakan sekujur tubuhnya be-
rubah menjadi kaku dan dia tak kuasa mengge-
rakkan tubuhnya lagi.
"Jahanam terkutuk pengecut! Lepaskan to-
tokan ini, aku ingin mengadu jiwa denganmu
sampai mati!" teriak laki-laki itu.
Sebagai jawabannya Datuk Labalang men-
ginjak kaki kiri lawan dengan satu hentakan yang keras. Si Tangan Sial meraung
terlolong-lolong
Datuk Labalang tersenyum sinis, tangan-
nya kembali berkelebat, menyambar pakaian la-
wannya. Bret! Breet! Terdengar suara robeknya pakaian. Baju di
bagian punggung Tangan Sial robek besar sehing-
ga punggungnya dalam keadaan polos. Datuk La-
balang pentang mata lebar memperhatikan pung-
gung lawan. Dia lalu menyeringai begitu melihat
kedua bahu lawan sampai di bagian leher meng-
gembung besar berwarna merah seperti bisul
yang hendak meletus.
"Tiga barang laknat yang membuatmu ber-
tindak seperti sapi gila telah kutemukan. Aku tak tahu apa nama benda ini, namun
aku yakin inilah jarum Penggedam Roh. Jika benar dugaanku,
seperti yang sering kudengar berarti urusan se-
makin bertambah besar. Konon pemilik jarum
maut yang membuat orang kehilangan akal fiki-
ran ini adalah Begawan Panji Kwalat!" kata Datuk Labalang.
"Jahanam apa yang hendak kau lakukan?"
teriak Si Tangan Sial kasar.
"Ha ha ha. Seperti yang telah kukatakan,
jika penyakitmu dapat kusembuhkan sebaiknya
kau tak usah repot mengurus senjata, lebih baik kau urus dirimu sendiri!" Sekali
lagi begitu selesai berkata Datuk Labalang gerakkan tangannya ke
bagian bahu, berturut-turut jarum yang terbenam
di bagian bahu kiri kanan juga di bagian belakang leher dicabutnya.
"Akrkh...!"
Si Tangan sial mengeluh tertahan. Perla-
han dia merasakan belakang bagian tubuhnya
yang terasa dingin dan menimbulkan sakit yang
hebat di saat dia mencoba berpikir kini mulai lenyap. Kesadaran orang tua ini
kembali pulih. Dan dia nampak bingung tidak ubahnya seperti orang
yang baru terjaga dari mimpi buruk berkepanjan-
gan. "Oh dimanakah aku!" desis orang tua malang ini
"Kau berada di neraka, maka tidurlah
kembali. Semoga kali ini kau mendapatkan se-
buah mimpi yang indah." selesai bicara begitu Datuk Labalang acungkan
telunjuknya di tengkuk Si
Tangan Sial. Sinar biru melesat menyambar ba-
gian tengkuk orang. Begitu tengkuknya terkena
sambaran sinar biru, Si Tangan Sial merasakan
matanya sangat berat. Mata itu dengan cepat ter-
pejam, kepala terhempas. Dalam waktu tak sebe-
rapa lama Si Tangan sial sudah mendengkur.
"Manusia bodoh." dengus Si Datuk sambil tinggalkan lawannya. Dia kemudian
berlari ke arah mana tadi Memedi Santap Segala mengata-
kan ingin buang hajat. Tapi begitu sampai di balik semak belukar dia jadi kaget
karena dia tidak melihat pembantunya ada di sana.
Datuk Labalang mulai berteriak-teriak
memanggil pembantunya. Tidak ada jawaban.
Sunyi. Memedi Santap Segala lenyap.
"Tangan Rembulan, kau... kau berada di-
mana?" teriak si kakek. Setelah menunggu beberapa saat lamanya ternyata tak ada
sahutan atau jawaban apapun. "Jahanam keparat. Aku kena
dibodohi orang tolol, dia melarikan diri!" maki Datuk Labalang. Dia terdiam,
mata nyalang mencari
kian kemari. Sampai kemudian terfikir olehnya
akan sesuatu. "Benarkah dia telah menipuku"
Bagaimana jika dia diculik orang mengingat ba-
nyak orang yang menginginkan senjata itu. Ah...
mengapa selama ini aku berkenan memelihara
manusia setolol itu"!" rutuk Datuk Labalang sambil tinggalkan tempat itu untuk
mencari pembantunya.
10 Kembali ke puncak bukit di bagian hala-
man Kuil Setan. Ketika bulan sabit telah berada
di atas kepala. Pada saat itu Iblis Racun Hijau, Gento Guyon juga Ambini sudah
berdiri berdeka-tan satu sama lain. Sedangkan didepan sana Dwi
Kemala Hijau yang sejak tadi tundukkan kepala
tanpa sadar melangkah menjauh dari saudara se-
perguruannya sendiri.
Sekian saat lamanya tempat itu diliputi ke-
sunyian. Dalam kesunyian itu yang terdengar
hanya suara deru angin yang tidak ubahnya se-


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perti suara setan yang membisikkan kejahatan di
hati setiap manusia.
"Dwi Kemala Hijau, kau tak mau menjawab
pertanyaanku" Aku tahu kaulah yang telah mem-
buat kehancuran bagi pengawal kuil ini. Mengapa
kau lakukan kekejian itu Kemala" Mengapa kau
bertindak seakan-akan berada di pihak musuh?"
suara Maut Tanpa Suara itu terdengar memecah
keheningan. Untuk pertama kalinya gadis cantik yang
wajahnya mirip bidadari itu palingkan muka, ma-
tanya yang bening memandang ke arah Maut
Tanpa Suara. Di bawah siraman cahaya bulan
sabit mulut bagus Dwi Kemala Hijau membuka
berucap. "Maut Tanpa suara, sesungguhnya aku bukan kerabat Kuil Setan. Aku
adalah penghuni
negeri Kayangan. Satu tempat yang sangat jauh
dari sini. Sekarang ini aku ingin kembali ke negeri ku, tidak ada jalan kembali
jika aku tidak mendapat bantuan seseorang. Seseorang yang ku-
maksudkan adalah pemuda gondrong yang ber-
nama Gento Guyon!" berkata begitu Dwi Kemala Hijau menunjuk ke arah Gento hingga
membuat murid kakek Gendut Gentong Ketawa itu jadi ter-
cekat, bingung dan usap hidungnya.
Di sampingnya Maut Tanpa Suara ber-
jingkrak kaget. Mata mendelik memandang tajam
pada si gondrong. "Bantuan apa yang bisa kau harapkan dari pemuda gondrong edan
itu" Apakah kau mengira Yang Agung akan melepaskan-
mu begitu saja" Ha ha ha." tanya Maut Tanpa Suara disertai tawa mengejek.
"Aku tahu Yang Agung tidak akan melepas
ku. Karena sejak dulu pun ketika diriku tersesat ke negeri ini dia telah
menjebakku, dia memaksa
agar aku jadi pengikutnya dengan kedok pura-
pura dijadikan murid. Saat itu dirimu belum ada
di kuil ini Maut Tanpa Suara, mungkin ketika itu kau masih menjadi angin,
mungkin saat itu kau
masih berada di dalam tulang rusuk ayah ibu-
mu." ujar si gadis.
Mendengar ucapan Dwi Kemala Hijau Gen-
to tak dapat menutupi rasa kagetnya. Dia tak bisa memperkirakan berapa usia
gadis serba hijau ini
sekarang. Ambini gelengkan kepala. Sedangkan
Iblis Racun Hijau hanya tersenyum sambil ke-
dipkan matanya pada Gento.
"Mungkin saat itu saudara seperguruanmu
si muka buruk itu masih berada di dalam perut
kuda, Kemala. Lalu dia jadi kentut dan begitu
kentut keluar terhirup oleh ibunya. Ibunya ke-
mudian hamil dan lahirlah anak manusia seba-
gaimana yang ada didepan kita. Ha ha ha!" celetuk si gondrong disertai tawa
berderai. Wajah buruk Maut Tanpa Suara berubah
mengelam. Walaupun kemarahannya pada Gento
telah memuncak demikian hebat, namun dia ma-
sih mencoba bersabar diri dengan berkata dituju-
kan pada Dwi Kemala Hijau.
"Apapun keinginanmu, terlebih-lebih yang
menyangkut masa lalumu apa hubungan den-
gannya" lagi pula kau tidak mungkin kembali ke
negerimu. Yang Agung pasti tak akan memberi
izin, begitu juga aku!" kata pemuda itu tegas.
"Mengenai apa yang harus kulakukan atau
pertolongan apa yang kuharapkan darinya kau
tak perlu tahu. Yang Agung boleh saja melarang,
kau bisa saja menghalangi. Tapi aku tidak perdu-
li.!" "Kemala, rupanya kau tak tahu bahwa se-
lama ini aku....!" Maut Tanpa Suara tidak teruskan ucapannya
Gento tersenyum lebar. "Gadis cantik, aku
tahu kelanjutan dari ucapan saudara sepergu-
ruanmu itu. Dia pasti hendak mengatakan sebe-
narnya selama ini menaruh harapan dan cinta
padamu. Cuma karena disini ada kami dia jadi
malu, bukankah begitu paman Racun Hijau?"
"Aku sependapat. Jika dia cinta pada gadis
secantik ini boleh saja. Tapi rasanya dia harus
mengikis wajahnya yang buruk biar jadi bagusan
sedikit. Jika dia tetap dalam keadaan seperti itu, rasanya tidak sepadan antara
si buruk dan si
cantik berdampingan hidup bersama. Mending
gadis ini menjadi kekasihku karena kami sama-
sama memiliki kulit hijau. Ha ha ha." sahut Iblis Racun Hijau
"Kalau kalian jadi menikah apa jadinya
nanti dengan warna kulit anakmu" Ha ha ha...!"
kata Gento menimpali.
Ambini jadi cemberut, sedangkan Dwi Ke-
mala Hijau jadi tersipu-sipu. Iblis Racun Hijau
tertawa ngakak. Di depan sana wajah Maut Tanpa
Suara sebentar memucat sebentar memerah. Tu-
buhnya menggigil, pelipis bergerak-gerak, rahang menggembung pertanda bahwa
kemarahannya sudah sulit dikendalikan.
"Manusia kurang ajar. Malam ini kalian
akan terkubur di puncak bukit ini secara sia-sia."
teriak Maut Tanpa Suara. Dia kemudian berpaling
ke arah Dwi Kemala Hijau. "Kau tidak pernah pergi kemana pun apalagi bersama
kunyuk gondrong itu!" seru Maut Tanpa Suara. Bersamaan dengan ucapannya itu
laksana kilat secara tak
terduga Maut Tanpa Suara berkelebat ke arah si
gadis dan langsung lancarkan satu totokan di ba-
gian dada Dwi Kemala Hijau. Tapi rupanya gadis
ini telah bersikap waspada sejak tadi, sehingga
begitu dia merasakan ada sambaran angin dingin
menghantam ke bagian dada dia langsung me-
lompat mundur sambil melancarkan serangan ba-
lasan berupa tendangan menggeledek ke bagian
perut. Dari bagian kaki si gadis menderu hawa
dingin yang disertai dengan berkiblatnya sinar hijau yang langsung menghantam ke
arah sasaran. Lawan tertawa mengejek, lalu dorongkan tangan
kanannya menyambut tendangan lawan. Dengan
tangan kiri dia balas menghantam. Dwi Kemala
Hijau yang tahu kehebatan dan tenaga sakti yang
dimiliki lawannya tidak menjadi surut ketika me-
lihat lawan bukan saja hanya menangkis. Tapi
sambil menangkis dia juga balas menghantam.
Tak dapat dihindari lagi benturan keras
terjadi. Si gadis menggerakkan kepala ke bela-
kang. Sehingga jotosan tangan kiri lawan luput
namun akibat benturan antara kaki dan tangan
kanan lawannya membuat Dwi Kemala Hijau ter-
huyung dan hampir terjatuh. Selagi dirinya dalam keadaan seperti itu lawan telah
berkelebat ke arahnya sambil lancarkan satu pukulan mengge-
ledek. Si gadis nampaknya kali ini tidak dapat
menghindar walaupun dia sudah mencoba berke-
lit dengan memutar badan ke samping
Buuk! "Hukh...!"
Gusrak! Satu tendangan yang dilakukan Maut Tan-
pa Suara tepat mendarat di bagian perut gadis
serba hijau, hingga membuat gadis ini terpelant-
ing roboh dengan perut terasa pecah, panas seo-
lah mau meledak. Darah menetes dari sudut bibir
Dwi Kemala Hijau. Belum lagi gadis ini sempat
bangkit berdiri lawan telah menyerangnya kemba-
li sambil hantamkan kakinya ke arah kepala gadis itu. Melihat ganasnya serangan
yang datang itu
tentu membuat Gento Guyon tak dapat tinggal di-
am. Sambil berteriak keras dia menghantamkan
kedua tangannya secara berturut-turut.
"Katanya cinta, mengapa sekarang berubah
jadi benci" Konon sayang, mengapa sekarang ma-
lah hendak dibunuh?" Suara si pemuda yang
menggeledek tenggelam dalam gemuruh suara
pukulan yang dilepaskannya sendiri. Melihat se-
rangan datang dari arah sampingnya, Maut Tanpa
Suara terpaksa batalkan serangan, kini dia berbalik sambil memapaki serangan
ganas yang dilan-
carkan Gento Guyon.
Ketika tangan kanan Maut Tanpa Suara
dihantamkan ke depan selarik sinar merah men-
deru di udara. Hawa panas dan hawa dingin da-
tang silih berganti. Satu benturan keras tak dapat dihindari lagi.
Terdengar suara ledakan berdentum. Kuil
Setan laksana di guncang gempa. Dua sosok tu-
buh sama terpental ke belakang. Di sebelah kiri
dekat obor besar Gento terkapar, nafas megap-
megap dada terasa sesak bukan main sedangkan
dari mulut dan hidungnya darah nampak me-
netes. Di depan sana tak jauh dari Kuil Setan,
Maut Tanpa Suara jatuh terhenyak sambil dekap
dadanya. "Pemuda gondrong itu ternyata tak da-
pat dianggap enteng. Entah ilmu pukulan apa
yang dia miliki, yang jelas aku merasakan sekujur tulang-tulang tubuhku laksana
bertanggalan!" rutuk Maut Tanpa Suara. Tapi tanpa menghiraukan
sakit dibagian dadanya pemuda itu bangkit lagi.
Rasa dendamnya pada Gento demikian besar ka-
rena dia menganggap pemuda itu telah menarik
perhatian Dwi Kemala Hijau. Kini selagi Gento dalam keadaan terlentang dia ingin
menghabisinya. Melihat gelagat yang tidak baik ini Ambini
tidak tinggal diam. Dia langsung melompat ke
arah Gento dengan sikap melindungi. Akan tetapi
pada saat itu ternyata Maut Tanpa Suara, sesuai
dengan julukannya tanpa mengucapkan sepatah
katapun sudah berkelebat ke arahnya. Satu ten-
dangan diarahkan pada Gento, satu hantaman
keras menderu ke bagian bahu Ambini. Serangan
yang dilakukan Maut Tanpa Suara ini bukan se-
rangan biasa karena lawan telah mengerahkan
seluruh kesaktian sekaligus tenaga dalam yang
dia miliki. Melihat ganasnya serangan sambil bergulingan Gento berteriak.
"Ambini menyingkir!"
Entah mendengar atau tidak, yang jelas
Ambini tidak bergeser dari tempatnya. Sementara
Gento telah bergulingan ke samping hingga luput
dari hantaman kaki lawan. Sebaliknya Ambini ke-
rahkan seluruh tenaga dalamnya ke bagian tan-
gan. Kedua tangan lalu didorongkan ke depan
menyambut hantaman lawannya.
Buuuk! Deees! Hantaman yang luar biasa kerasnya itu
ternyata tak dapat dibendung oleh Ambini. Tinju
lawan menerobos pertahanannya hingga meng-
hantam bagian ulu hati.
Ambini memekik kesakitan, tubuhnya ter-
pelanting lalu jatuh terbanting dengan wajah pu-
cat laksana mayat.
"Ambini....!" jerit Gento yang menyangka gadis itu tewas seketika. Laksana kilat
dia berlari mendapatkan Ambini. Dia melihat dari mulut gadis itu mengucurkan
banyak darah. Gento segera
memeriksa denyut nadi gadis yang telah meno-
longnya itu. Gento segera mengetahui Ambini
menderita luka hebat di bagian dalam. Dia cepat
tempelkan tangannya ke perut gadis itu, tenaga
dalam disalurkan ke dada si gadis. Hingga Ambini kemudian merintih dan terbatuk-
batuk. Ketika batuk darah lebih banyak keluar.
"Gento...!" rintih si gadis. Murid Gentong Ketawa memberi isyarat agar Ambini
jangan bicara. Dari balik kantung celananya pemuda ini
mengambil sebuah pil berwarna hitam pemberian
Tabib Setan. Pil itu kemudian dimasukkanya ke
dalam mulut Ambini. Ketika obat mujarab itu
memasuki tenggorokannya, Ambini merasakan
dadanya yang panas laksana terbakar kini beru-
bah sejuk. "Tetaplah kau berada disini. Kau belum bo-
leh bergerak!" kata Gento. Setelah itu dia bangkit, kemudian membalikkan badan,
hingga menghadap ke arah lawan. Namun pada saat itu lawan
sedang menghadapi gempuran hebat dari Iblis
Racun Hijau dan juga Dwi Kemala Hijau. Ternyata
ketika melihat Gento dan Ambini terpukul roboh,
Iblis Racun Hijau sudah tak dapat tinggal diam
lagi. Kini mendapat serangan bertubi-tubi dari
dua lawan sekaligus Maut Tanpa Suara nampak
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan yang di-
lancarkannya tidak mengenai sasaran. Semua ini
membuat Maut Tanpa Suara menjadi sangat ma-
rah "Bangsat-bangsat pengecut beraninya main keroyok!" teriak pemuda berpakaian
serba merah itu sengit. Dia kemudian salurkan tenaga dalamnya ke bagian tangan.
Tak berselang lama kedua
tangan itu telah berubah biru berkilauan.
"Hati-hati dia hendak menggunakan ajian
Telapak Setan!" seru Dwi Kemala Hijau lantang.
Gento yang saat itu hendak mengambil tindakan
urungkan niat karena bagaimanapun dia tak mau
bertindak pengecut dengan melakukan keroyo-
kan, sungguhpun demikian dia tetap bersikap
waspada menjaga segala kemungkinan yang tidak
diingini. Pada waktu itu begitu mendengar peringa-
tan Dwi Kemala Hijau. Iblis Racun Hijau hanya
tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku tahu inilah ilmu yang paling hebat
yang dimiliki oleh penguasa Kuil Setan. Malam ini aku ingin merasakan
kehebatannya!" teriak Iblis Racun Hijau lantang. Sambil berucap begitu Iblis
Racun Hijau tunggingkan pantatnya menghadap
ke langit. Dua tangan ditempelkan ke permukaan


Gento Guyon 10 Tangan Rembulan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah. Tenaga dalam dikerahkan, lalu disalurkan
ke bagian kedua belah tangannya. Tak berapa la-
ma kemudian dengan tubuh membungkuk dan
tangan diacungkan ke arah lawan tubuhnya ber-
kelebat. "Heaaa. ..!"
Satu teriakan keras bergema di udara. Dari
sebelah kirinya Dwi Kemala Hijau juga lepaskan
satu pukulan menggeledek. Angin panas seperti
puting beliung bergemuruh di udara. Maut Tanpa
Suara yang yakin akan kehebatannya sendiri
sambil berteriak lantang langsung menghantam
ke dua arah sekaligus.
Wuut! Wuuut! Untuk yang kesekian kalinya Kuil Setan
laksana di guncang gempa.
Tiga sosok tubuh yang saling lancarkan se-
rangan hebat dengan mengerahkan segenap ke-
saktian yang mereka miliki nampak tenggelam da-
lam kepulan pasir dan debu yang berterbangan di
udara. Di salah satu sudut diluar tempat terjadi pertempuran hebat, Gento yang
sempat terhuyung jadi gelengkan kepala, "Mereka rupanya sudah menjadi gila untuk
membunuh hingga
mengeluarkan seluruh kekuatan yang mereka mi-
liki!" gumam Gento.
Bummm! Buuum! Tak urung pemuda ini terpaksa jatuhkan
diri sama rata dengan tanah ketika ledakan ber-
dentum menggema di tempat itu. Satu jeritan ter-
dengar, namun suara jeritan seolah lenyap di tin-dih suara gemuruh hebat akibat
ledakan. 11 Beberapa saat kemudian ketika suara ge-
muruh lenyap, dan debu, batu yang bertaburan di
udara juga sirna. Maka Gento dapat melihat satu
lubang hitam menganga di samping halaman Kuil
Setan. Tak jauh di depannya terlihat Iblis Racun Hijau tergeletak dalam keadaan
terlentang. Sekujur tubuhnya yang hijau pucat kotor berselimut
debu, tangan bengkak menggembung sedangkan
kening benjol besar. Perut orang tua ini berkedut-kedut, sedangkan nafas kembang
kempis. Jauh di
depan sana, di sebelah kiri Gento, Dwi Kemala Hijau nampak terduduk. Sebagian
pakaian di ba- gian perut robek besar. Hingga terlihat kulit perutnya yang mulus kehijauan.
Melihat darah yang
mengalir dari mulut gadis ini, nampak jelas saat itu dia menderita luka dalam
cukup parah. Sedangkan tak jauh dari lubang besar aki-
bat ledakan terlihat satu sosok hitam hangus
yang masih mengepulkan asap berbau busuk,
menyengat. Itulah mayat Maut Tanpa Suara yang
tewas akibat tak sanggup membendung pukulan
yang dilancarkan kedua lawannya. Sekali lagi
Gento gelengkan kepala.
Kini perhatiannya kembali tertuju ke arah
Iblis Racun Hijau. Melihat keadaan orang tua itu kini dia tertawa tergelak-
gelak. "Sungguh saat ini keadaan tubuhmu seper-
ti seorang bocah yang baru tercebur ke dalam air comberan. Paman Racun Hijau,
kau mau terus rebahan disitu, apa perlu kutolong"!" tanya Gento disertai senyum mengejek.
"Bocah edan sial!" damprat Iblis Racun Hijau. Dengan tertatih-tatih dan nafas
megap- megap orang tua yang sekujur tubuhnya berwar-
na hijau ini bangkit berdiri. "Keadaanku jadi tak karuan begini rupa, gara-gara
menolongmu. Jika
kau dan gadis itu kubiarkan sejak tadi kau sudah merat dari dunia ini. Aku...
aku sendiri merasa
tubuhku menjadi gerah. Aku harus kembali ke
tempat asalku. Aku harus berendam di Telaga Hi-
jau," kata Iblis Racun Hijau. Dia lalu menoleh ke arah Ambini. "Gadis yang
terluka itu harus ku-bawa. Mungkin dia akan kuberi racun karena ob-
at mu kurang mujarab!"
Mendengar ucapan orang tua itu Gento
tentu saja jadi kaget. Dia memandang pada Am-
bini dan Iblis Racun Hijau silih berganti "Paman Racun Hijau. Kau hendak membawa
Ambini mau kau apakan rupanya dia?" tanya si pemuda. "La-gipula urusan disini belum
selesai. Ambini me-
mang sudah dapat kita selamatkan, tapi guruku
entah dimana saat ini. Selain itu senjata Bintang Penebar Petaka juga masih
belum ketahuan berada di mana." ujar pemuda itu lagi.
Iblis Racun Hijau gelengkan kepala "Uru-
san senjata dan juga mengenai dirimu itu menjadi tanggung jawabmu sendiri. Aku
terus terang saja
tidak dapat berada di luar telaga Hijau lebih lama.
Karena tubuhku bisa kering, jika kering aku jadi sulit bernafas. Bahkan tubuhku
bisa meledak. Sekarang aku harus pergi, sampaikan salamku
pada gurumu jika dia panjang umur. Tapi jika dia meninggal nanti pasti akan
kukirim karangan
bunga dan panggang ayam ke pusarannya! Nah
bocah edan, selamat berjuang. Ha ha ha!" berkata begitu dengan kecepatan laksana
kilat dia berkelebat menyambar Ambini.
"Hei, kodok.... apa-apaan ini....!" teriak Gento. Dia tidak tinggal diam. Dengan
cepat pula pemuda ini menghalangi. Sayang kakinya terge-lincir hingga membuatnya
terjatuh. Ketika dia
bangkit kembali dilihatnya Iblis Racun Hijau telah raib. Jauh di bagian lereng
bukit sayup-sayup
terdengar suara tawa Iblis Racun Hijau yang dis-
elingi oleh jerit Ambini yang memanggil-manggil
nama Gento. Dalam kebingungan pemuda ini hendak la-
kukan pengejaran. Tapi ketika dia hendak laksa-
nakan niatnya satu suara menegur.
"Biarkan saja gadis itu. Dia tak akan dis-
akiti oleh Iblis Racun Hijau!" kata satu suara. Kaget, Gento langsung menoleh.
Kejutnya bukan ke-
palang ketika menyadari orang yang baru bicara
tadi ternyata adalah Dwi Kemala Hijau.
"A... apa maksudmu" Apakah kau mau
mengajakku pelesiran" Aku pasti mau jika uru-
sanku telah selesai. Apalagi walaupun tubuhmu
hijau tapi wajahmu secantik ini! Ha ha ha." kata Gento sambil tertawa terbahak-
bahak "Gento, jaga kau punya mulut. Saat ini ada
sesuatu yang amat penting ingin kubicarakan
denganmu!" kata Dwi Kemala Hijau tegas.
Baru saja murid kakek Gentong Ketawa
hendak membuka mulut keluarkan ucapan. Pada
saat itu secara tiba-tiba terdengar suara bergemuruh hebat yang berasal dari
bagian bawah perut
bukit juga dari bagian dalam Kuil Setan. Bersa-
maan itu pula terdengar suara raungan aneh
yang begitu keras menggeledek.
Kemudian terdengar suara ratap bercam-
pur amarah. "Jahanam terkutuk! Bintang Penebar Bencana raib, salah seorang murid
jadi penghia-nat dan satunya lagi tewas. Darahnya tertumpah
membasahi puncak bukit. Kuil Setan tak dapat
ku pertahankan keutuhannya. Aku akan gen-
tayangan. Semua orang yang mengusik ketenan-
ganku pasti kubunuh!" teriak suara itu.
Suara gemuruh makin bertambah menghe-
bat. Guncangan yang terjadi di puncak bukit ma-
kin menggila. Kuil Setan retak disana sini.
"Gento.... cepat kita menyingkir dari tempat ini. Tadi yang bicara itu adalah
Iblis Berjubah Merah.... dia adalah Yang Agung....!" teriak Dwi Kemala Hijau.
Wajahnya yang cantik itu jadi beru-
bah hijau pucat, mata mendelik memandang ke
arah Kuil. Jelas sekali pada saat itu dia dilanda
ketegangan luar biasa
"Lari... hendak lari kemana" Apakah ini
yang namanya Kiamat"!" sahut Gento yang masih tercengang seolah tidak percaya.
"Sesuatu telah kita lakukan, darah pene-
rusnya telah tertumpah. Tempat ini segera mele-
dak!" teriak Dwi Kemala Hijau. Gadis ini kemudian berlari ke arah Gento,
menyambar tangan
pemuda itu lalu bermaksud segera meninggalkan
tempat itu. Akan tetapi di saat yang sama menda-
dak terjadi ledakan menggelegar laksana gunung
meletus. Bukit meledak melontarkan apa saja
yang ada di sekitarnya.
"Akhh...!" Gento dan Dwi Kemala Hijau sa-ma-sama berteriak ketika merasakan
seakan ada satu tangan raksasa melontarkan mereka ke lan-
git kelam. Dalam gelap tubuh mereka entah ter-
campak ke mana. Sementara itu puncak bukit
meledak, maka Kuil Setan juga ikut meledak dis-
ertai semburan api yang berasal dari bagian
ruangan dalam kuil. Ledakan-ledakan keras terus
terdengar mengiriskan hati yang mendengarnya.
Bersamaan dengan meledaknya Kuil Setan, diba-
gian sebelah timur kuil dua sosok tubuh terpental di udara. Satu diantara dua
sosok yang terlempar keluar dari dalam kuil itu yang satu berbadan
gemuk besar luar biasa, sedangkan satunya lagi
sangat pendek, kecil bukan main. Dua sosok ini
kemudian melayang ke arah kegelapan dan le-
nyap bersama lenyapnya suara jeritan mereka.
Sementara pada saat yang sama pula dekat pintu
kuil yang hancur menjadi puing-puing satu ca-
haya merah laksana api nampak melesat mening-
galkan Kuil yang hancur serta puncak bukit yang
kini sudah sama rata dengan tanah. Cahaya me-
rah itu kemudian lenyap di sebelah timur bukit
yang hancur. Ledakan-ledakan keras masih terus ter-
dengar sesekali diselingi dengan suara lolong
aneh serta pekik mengerikan seperti suara arwah
gentayangan yang sedang menjalani penyiksaan
yang hebat. Malam terus berlalu, bulan sabit lenyap
tenggelam di ufuk barat. Kuil Setan sudah tidak
terlihat lagi. Hanya asap hitam mengepul, mem-
bubung tinggi ke angkasa menyambut datangnya
sang fajar. -TAMAT- NANTIKAN EPISODE MENDATANG!!!
BIDADARI BIRU Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Laron Pengisap Darah 5 Pedang Pelangi Jay Hong Ci En Karya Tong Hong Giok Petualang Asmara 8
^