Bidadari Biru 2
Gento Guyon 11 Bidadari Biru Bagian 2
memperhatikan orang
tua lumpuh kaki itu sejenak, si kakek pendek ce-
bol berkata. "Dalam usiaku yang sudah setua ini, aku tak butuh dengan segala
macam senjata. Malah melihat kemunculanmu aku jadi menduga
kau sendiri yang ingin mendapatkan senjata itu."
Tanpa malu-malu, Begawan Panji Kwalat
menjawab. "Penglihatanmu ternyata masih awas juga. Sungguh tak kusangka. Terus-
terang aku memang mencari senjata itu untuk keperluan
muridku. Sayang ketika aku sampai disini, bukit
dan Kuil Setan telah runtuh. Apakah mungkin
keruntuhan itu ada hubungannya dengan kehadi-
ranmu disini?"
Wajah angker si kakek cebol nampak beru-
bah mengelam. Mulutnya terkatub, rahang berge-
rak mengeluarkan suara gemeletukan, sedangkan
kedua matanya mencorong memandang pada Be-
gawan Panji Kwalat,
"Begawan, pandai sekali kau mencari lantai
terjungkit. Melempar kesalahan pada orang yang
sudah tidak perduli dengan segala bentuk kese-
rakahan. Setelah kita bertemu disini, apakah ti-
dak sebaiknya kita cari kata sepakat untuk sama-
sama kembali ke tempat kediaman masing-
masing. Aku sudah rindu akan birunya laut dan
gemuruh suara ombak. Tunggu apa lagi, mari kita
pergi!" ujar Dewa Kincir Samudera. Apa yang dikatakan orang tua itu sebenarnya
hanya satu sindiran saja. Akan tetapi manusia seperti Bega-
wan Panji Kwalat mana mau perduli. Dengan te-
nang dia berkata. "Aku baru saja sampai disini.
Aku rindu pada muridku, Panji Anom Penggetar
Jagad. Bagaimana mungkin aku bisa pergi jika
belum bertemu dengannya. Atau kau ingin aku
mengantarmu kembali ke laut lepas. Jika kau
berkehendaki begitu, sekarang juga aku bersedia
mengirimmu ke neraka!" kata Begawan Panji
Kwalat. Dewa Kincir Samudera tersenyum sinis.
Dia tetap duduk di tempatnya yaitu menjelepok di atas batu. Pada saat itulah
Begawan Panji Kwalat keluarkan satu seruan.
"Duduk dengan baik dalam posisi me-
nungging!" kata si kakek lumpuh. Karena sang Begawan mengerahkan ilmu Kontak
Suara, begitu dia selesai berkata maka tubuh si kakek pendek
cebol langsung terangkat. Di udara. Hanya yang
membuat sang Begawan jadi kaget batu besar
yang dijadikan tempat duduk Dewa Kincir Samu-
dera ikut pula terangkat, seakan batu yang beratnya ratusan kati itu menempel
dengan punggung
orang tua itu. Dalam keadaan terjungkir, Dewa Kincir
Samudera berucap. "Sungguh batu ini amat setia padaku. Aku menungging dia ikut
pula menungging. Padahal dia sama sekali tidak diperintah melakukan seperti yang
aku lakukan. Ha ha ha!" ka-ta si kakek cebol disertai tawa tergelak-gelak.
Melihat kenyataan ini Begawan Panji Kwa-
lat jadi tertegun. Tapi kemudian terlintas sesuatu didalam benaknya.
"Batu menempel di bokong bangsat cebol
itu. Dia pasti hendak mempermalukan aku. Seka-
rang apa salahnya aku pendam dia dengan batu
yang didudukinya mumpung posisinya dalam
keadaan terjungkir." fikir si kakek. Kini dia kembali keluarkan satu seruan.
"Batu setia, pendam dia di dalam tanah.!"
Laksana kilat seakan ada satu kekuatan
dahsyat yang menekan dari bagian atas, batu me-
luncur deras ke bawah sementara Dewa Kincir
Samudera terus menempel di bagian bawah batu
dengan kepala menghadap ke tanah.
Wuuut! Praak! Batu meluncur deras ke bawah dan seba-
gian batu besar itu amblas terpendam di dalam
tanah. Bersamaan dengan jatuhnya batu terden-
gar pula suara berderak seperti hancurnya tulang belulang yang tertindih batu.
Siapapun orangnya
tak mungkin selamat tertimpa batu sebesar itu.
Apalagi orang tua kerdil pendek tadi. Begawan
Panji Kwalat tersenyum. "Tidak pernah kusangka akan semudah itu untuk
melenyapkan manusia
yang sangat ditakuti oleh kalangan dunia persilatan. Ilmu Kontak Suara yang
kumiliki memang
sangat hebat tiada duanya. Dengan ilmu itu mu-
ridku pasti bisa menguasai dunia persilatan." ka-ta si kakek.
Di luar sepengetahuannya, batu besar tadi
nampak bergerak-gerak. Setelah itu di atas batu
entah sejak kapan Dewa Kincir Samudera sudah
duduk diatasnya sambil uncang-uncang kaki.
Dengan sikap acuh dia menyeletuk. "Ilmu
Kontak Suara memang hebat. Tidak mengheran-
kan bila si kuntet Dewa Kincir Samudera amblas
terpendam terhimpit batu jadi ikan pepes. Dan
kini tinggal arwahnya yang gentayangan, duduk
di atas batu sambil uncang-uncang kaki. Ha ha
ha!" kata si kakek cebol sambil tertawa.
Terkejutlah Begawan Panji Kwalat melihat
kenyataan ini. Sungguh dia tidak menyangka la-
wan masih sanggup meloloskan diri dari maut.
Tapi dia dengan jelas melihat Dewa Kincir
Samudera amblas ke dalam tanah terhimpit batu.
Bagaimana sekarang dia bisa duduk disana sea-
kan tidak ada satu kejadian apapun yang menim-
panya" "Tak mungkin. Segalanya sangat sulit untuk kupercaya!" desis kakek itu.
"Begawan, rupanya masa kecilmu tidak
bahagia sehingga setelah menjadi tua bangka se-
perti sekarang kau masih juga senang membuat
lelucon dengan ilmu sampah. Ha ha ha!" berkata Dewa Kincir Segara sambil
tertawa. "Pendek cebol keparat, menyungkurlah su-
jud di hadapanku!" teriak Begawan Panji Kwalat mencoba menjatuhkan lawan dengan
ilmu Kontak Suara, tapi kali ini lawannya tidak bergeming sedikitpun. Memang Dewa Kincir
Samudera sempat
merasakan tubuhnya seperti dihempaskan ke de-
pan, tapi dia tetap bertahan. Malah dengan suara lantang dia berkata. "Dudukmu
masih belum benar. Dengan mengambang di udara seperti itu
kau menyalahi aturan menyalahi kodrat. Aku si
tua kecil akan memberimu tempat dudukan batu,
anggap saja seperti kursi bagus yang ada di singgasana raja.!" berkata begitu si
kakek cebol lakukan gerakan jungkir balik menjauh dari batu. Be-
gitu sampai di belakang batu dia lalu meniup ba-
tu besar itu. Puuuh! Laksana kilat batu bulat sebesar kerbau
itu melesat deras ke arah Begawan Panji Kwalat.
Bukan meluncur ke bagian kaki, batu ini me-
layang menghantam kepala sang Begawan.
"Bangsat keparat!" maki kakek tua itu
sambil lakukan gerakan berjumpalitan sehingga
batu menghantam tempat kosong.
7 Kini setelah selamat dari hantaman batu,
dengan tubuh masih mengambang di atas tanah,
Begawan Panji Kwalat cepat balikkan badan. Be-
gitu dia menghadap ke arah lawan, tangan kiri
diputar diatas kepala sebanyak tiga kali. Begitu diputar angin menderu dari
jemari tangannya
mencuat tiga bola api sebesar kelapa.
"Ini bingkisan sebagai pengantar kema-
tianmu!" teriak Begawan Panji Kwalat sambil me-lontarkan tangannya ke arah
lawan. Setelah itu
dengan tangannya yang lain dia menghantam la-
wan dengan satu pukulan lain yang memancar-
kan sinar putih panjang laksana pedang.
Lima bola api berturut-turut menghantam,
kepala, dada, perut dan kedua kaki si kakek ce-
bol. Sedangkan pukulan kedua membabat ping-
gang dan dada orang tua ini. Mendapat serangan
ganas yang berlangsung cepat dan datang secara
berturut-turut itu, Dewa Kincir Samudera gerak-
kan tangan kirinya menepis sinar yang membabat
rusuk dan pinggangnya.
Tups! Tups! Begitu terkena sambaran angin dari tangan
si kakek sinar putih tadi langsung hancur berpentalan ke segala penjuru arah.
Sedangkan sebelum
itu mulut si kakek meniup bola-bola api yang me-
nyerang lima bagian tubuhnya.
Puuh! Lima bola api berpentalan di udara. Bega-
wan Panji Kwalat lipat gandakan tenaga dalam-
nya. Lalu mengarahkan bola api yang sempat te-
rombang-ambing di udara itu ke arah lawan. Se-
kali lagi bola-bola api meluncur deras ke arah si kakek cebol dengan kecepatan
berlipat ganda.
Di depan sana si kakek cebol guru si gen-
dut Gentong Ketawa menyeringai. Diam-diam dia
mengerahkan inti kekuatan yang mengandung
hawa dingin luar biasa sambil berkata. "Matahari memang belum terlalu panas.
Walaupun begitu
tubuhku sudah kepanasan. Kau orang gila dari
mana membuat bola api dengan panas begini ru-
pa. Rasanya aku tak terima, sebaiknya biar ku
padamkan saja!" teriak si kakek.
Begitu selesai bicara si cebol lambaikan
tangannya lima kali berturut-turut. Dari tangan si
kakek hawa dingin bercampur uap putih menderu
dan melabrak habis bola-bola api di depannya.
Blok! Tess! Tess! Tess!
Lima bola api langsung padam. Masih pe-
nasaran dan tak percaya dengan kenyataan yang
terjadi Begawan Panji Kwalat kembali kirimkan
bola-bola api ke arah lawannya.
"Tua bangka edan, rupanya kau masih
mau main-main dengan api itu. Biar kutelan bola
panas itu sedangkan sisanya kukembalikan pa-
damu!" seru Dewa Kincir Samudera. Bersamaan dengan itu orang tua pendek ini
melesat di udara, mulut dibuka lebar. Hingga dua bola api langsung amblas ke
dalam mulutnya, sedangkan tiga lainnya langsung disentil dengan telunjuk, hingga
ki-ni ketiga bola api itu berbalik dan meluncur cepat ke arah pemiliknya dengan
kecepatan berlipat
ganda. Begawan Panji Kwalat memang sempat di-
buat kaget, tapi dengan cepat dia berkelit meng-
hindar. Dua bola api berhasil dihindarinya, se-
dangkan yang satunya lagi begitu dihantam, ma-
lah melejit keras dan menyambar ke bagian wa-
jah. Jika si kakek yang mengambang di udara itu
tidak cepat miringkan tubuhnya sambil runduk-
kan kepala niscaya bagian kepalanya hangus di-
hantam bola api.
Tak urung walaupun dia dapat selamatkan
wajahnya, namun rambutnya yang dipenuhi ka-
pur sempat terbakar. Begawan Panji Kwalat sam-
bil memaki-maki nampak sibuk memadamkan api
yang membakar rambutnya. Pada saat itu dua bo-
la yang luput mengenai sasaran kini menghantam
semak belukar hingga mengeluarkan suara leda-
kan keras. Belum lagi sang Begawan sempat melaku-
kan sesuatu, kini lawannya menghantam orang
tua itu tepat di bagian kepala.
Sedapat mungkin si Begawan menepis se-
rangan lawan. Tapi secepat apapun tangkisan
yang dilakukannya ternyata dia kalah cepat.
Plaaak! Begawan Panji Kwalat terpelanting ke bela-
kang. Tapi walaupun begitu dia tak sampai jatuh
ke tanah. Karena tubuhnya tetap mengambang.
Dalam keadaan rebah di udara sang Begawan le-
paskan pukulan sambil menendang lawannya
dengan kakinya yang lumpuh.
Wuuut! Wuuut! Dua pukulan kembali me-
labrak perut seru Dewa Kincir Samudera, se-
dangkan tendangan kaki si Begawan ternyata
mengandung satu kekuatan yang begitu me-
nyambar ke arah lawannya membuat orang tua
ini laksana diterpa badai. Tak pelak lagi Dewa
Kincir Samudera jatuh tunggang langgang. Si ka-
kek dekap perutnya yang terasa mulas bukan
main. Dia kemudian lakukan gerakan berputar,
dua tangan dihantamkan ke empat penjuru arah.
Angin kencang menderu-deru, hawa panas
menghampar hingga keadaan di sekitar tempat
itu berubah panas laksana di neraka.
Begawan Panji Kwalat keluarkan suara
menggerung. Dia melesat ke arah lawan, menero-
bos pertahanan, menembus sinar maut yang me-
mancar dari tangan lawan sedangkan kedua tan-
gan langsung dihantamkan ke tubuh seru Dewa
Kincir Samudera.
Satu benturan keras terjadi membuat dua
orang itu sama-sama terpental sejauh tiga tom-
bak. Begawan Panji Kwalat yang kali ini terpelanting nampak megap-megap,
nafasnya terasa me-
nyesal darah menyembur dari mulutnya. Di de-
pannya sana Dewa Kincir Samudera nampak ter-
huyung, wajahnya pucat laksana kapas.
"Ha ha ha, kau akhirnya duduk juga di
atas tanah. Kau lihatlah, dari mulutmu keluar
kecapnya. Begawan, menurutku lebih baik kau
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ke Banyubiru, sampai disana kau gali
sebuah kubur untuk dirimu sendiri!" kata Dewa Kincir Samudera disertai tawa
terkekeh-kekeh.
Kakek berbadan jerangkong di depan sana
menggerung marah. Dua tangannya langsung di-
letakkan ke tanah. Setelah itu tubuhnya kembali
melesat ke udara, mengambang seperti semula
dalam keadaan duduk.
"Dewa keparat, jangan kau merasa setelah
dapat menjatuhkan aku bahwa itu satu keme-
nangan bagimu. Kau lihatlah kenyataan yang ha-
rus kau hadapi!" teriak Begawan Panji Kwalat.
Bersamaan dengan teriakannya itu si kakek men-
gangkat tangannya lurus sejajar dengan kepala.
Tak lama kemudian tangan si kakek telah beru-
bah membiru. Sinar terang memancar dari tela-
pak tangan si kakek. Setelah itu dia arahkan ke-
dua tangan yang terkepal itu pada lawannya.
"Tinju Langit Mendera Bumi!" desis Dewa Kincir Samudera menyebut pukulan yang
dilepaskan oleh Begawan Panji Kwalat. Dalam kaget-
nya kakek cebol ini mendadak mendengar suara
bergemuruh dahsyat, belum lagi tinju lawannya
sempat melabrak tubuh si kakek, dia merasakan
hawa panas laksana memanggang tubuhnya. Si
kakek cebol lipat gandakan tenaga dalamnya yang
kemudian langsung dialirkan ke bagian kedua
tangan. Tubuh si kakek kemudian berputar, ber-
samaan dengan itu pula tangannya ikut diputar
pula. Angin dingin menderu-deru membentuk
lingkaran melingkupi tubuh si kakek. Angin ber-
campur awan putih yang mirip dengan buih om-
bak ini lalu melesat meninggalkan tubuh si ka-
kek, bergerak lurus menyambut serangan lawan
hingga akhirnya beradu di udara. Beberapa saat
berlangsung, terjadi adu tenaga sakti. Sosok Be-
gawan Panji Kwalat akibat tekanan hebat dari te-
naga lawannya kini tubuhnya bergerak turun
mendekati tanah. Di depan sana kedua kaki si
kakek mulai amblas ke dalam tanah sedikit demi
sedikit. Dari telapak kaki mengepul uap tipis bagaikan es yang mencair terkena
panas. Sedang- kan tubuh pendeknya nampak bergetar hebat,
wajah tegang luar biasa. Tapi dia terus memutar
kedua tangan, sedikit demi sedikit. Hingga pada
akhirnya terjadi ledakan menggelegar. Begawan
Panji Kwalat terjungkat ke belakang sambil men-
jerit tertahan. Debu, pasir dan batu-batu ber-
hamburan di udara, hingga membuat suasana
menjadi gelap. Dari jatuhnya si Begawan tadi, jelas orang
tua itu menderita luka dalam yang cukup parah.
Sedangkan Dewa Kincir Samudera yang baru saja
menggunakan jurus Kincir Berputar di atas laut
ini segera tarik kakinya yang amblas sampai se-
batas lutut. Begitu kedua kakinya dapat ditarik
keluar dari dalam tanah, dia segera siapkan pu-
kulan ditangan kanan untuk menjaga segala ke-
mungkinan yang tidak diingini. Hanya dia jadi
sangat kecewa karena begitu suasana berubah
menjadi terang kembali, lawan telah lenyap entah kemana.
Si kakek pendek cebol seka keringat yang
membasahi wajahnya. Dia melangkah mendekati
ke arah mana lawannya terjatuh tadi. Disana dia
melihat ceceran darah.
Dewa Kincir Samudera tengadahkan wajah
memandang ke langit. Mulutnya yang tertutup
kumis tebal berwarna putih berucap. "Bagaimana pun ilmu Begawan salah kaprah itu
sangat tinggi. Tenaga dalamnya mungkin dua tingkat di bawah-
ku. Tapi jika dia menggunakan ilmu Kontak Sua-
ra, aku khawatir muridku Gentong Ketawa dan
cucu muridku Gento Guyon kena dikerjainya" fikir si kakek. Beberapa saat lamanya
dia terdiam. Sejak Kuil Setan meledak dia tak tahu bagaimana
nasib muridnya si gendut Gentong Ketawa. Ba-
gaimana pun sebelum meninggalkan tempat itu
dia ingin tahu bagaimana keadaan muridnya. Ka-
rena itu si kakek cebol berkata. "Sebaiknya kucari tahu dulu bagaimana keadaan
si gendut. Apakah
dia dalam keadaan selamat atau sudah konyol.
Aku tahu walaupun Begawan Panji Kwalat sudah
terluka, dia pasti tetap mencari senjata itu."
Tanpa menunggu lebih lama lagi Dewa Kin-
cir Samudera akhirnya tinggalkan tempat itu.
8 Malam itu cuaca demikian cerah. Bulan ke-
tiga belas nampak terang, memancarkan ca-
hayanya yang kuning keemasan. Bintang-bintang
bertaburan di angkasa. Menambah keindahan di
suasana malam yang sejuk dan damai.
Di sebuah dangau yang sudah tidak terpa-
kai, Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru rebah
menelentang di atas balai-balai yang sudah tua
hanya dengan berbantalkan kedua lengannya
sendiri. Sepasang matanya yang bening meman-
carkan daya pesona memandang lurus ke langit
melalui atap dangau yang berlubang besar. Me-
mandang pada keindahan bulan dia jadi ingat
akan negerinya. Suatu negeri yang jauh, yaitu negeri kayangan.
Biasanya pada malam bulan purnama se-
perti sekarang ini, bersama para bidadari lainnya
mereka bermain di taman bunga yang indah me-
nebarkan bau harum semerbak. Mereka bebas
bercengkerama, bergurau atau melakukan apa
saja dalam suasana yang damai.
Agaknya semua kebahagiaan itu hanya
akan menjadi kenangan selamanya. Karena sam-
pai saat ini dirinya masih terpuruk di tanah Jawa.
Dia tidak mungkin menempuh perjalanan pan-
jang mengarungi lautan awan, sementara dirinya
saat ini menderita keracunan. Selain itu Bintang Penebar Penebar Petaka juga
entah berada di tangan siapa. Tanpa senjata itu bagaimana dia bera-
ni menghadap ketua para bidadari. Kembali ke
Kayangan adalah suatu hal yang memalukan jika
dia tidak dapat menjalankan tugas yang dibeban-
kan kepalanya dengan baik. Semua gadis-gadis
Kayangan pasti akan menjauhinya.
Ingat akan semua, Dwi Kemala Hijau tiba-
tiba menjadi amat sedih. Sekarang ini dia hidup
dalam kesunyian, di negeri asing dimana setiap
saat bahaya bisa muncul secepat angin berhem-
bus. Masih beruntung pada akhirnya dia bisa ber-
temu dengan Gento Guyon. Pemuda kocak yang
secara disadari atau tidak oleh pemuda itu selalu menghiburnya dengan ucapan-
ucapan yang lucu.
"Aku lebih senang jika kau tidak kembali
ke Kayangan. Jadi kita bisa berteman selamanya!"
Kata-kata yang diucapkan pemuda itu kini kem-
bali terngiang di telinganya. Dwi Kemala Hijau
tersenyum. Dia tak tahu apakah ucapan si pemu-
da hanya bermaksud iseng atau bersungguh-
sungguh yang jelas sejak pertama kali bertemu
dengan Gento, dia merasa ada satu getaran aneh
di hatinya yang selama ini belum pernah dia ra-
sakan. Sejak melihat Gento pula timbul harapan
baginya untuk menyelamatkan diri dari cengke-
raman Yang Agung alias Iblis Berjubah Merah.
"Gento.... akupun tidak dapat memastikan
apakah aku dapat kembali ke negeriku. Pintu
Awan hanya terbuka sekali dalam setahun, aku
juga tidak bisa keluar masuk dari pintu itu sesu-ka hati. Selain itu perjalanan
ke sana membutuh-
kan tenaga yang cukup besar. Seandainya Bin-
tang Penebar Petaka bisa kudapatkan kembali,
keadaan tubuhku kurasa belum pulih benar. Aku
butuh waktu yang lama agar dapat sembuh total.
Karena aku yakin racun yang mendekam di tu-
buhku kini bukan saja hanya telah menyebar ke
seluruh pembuluh darah dan daging, tapi juga
sudah sampai meresap ke dalam tulang. Gento....
Gento Guyon.... mungkin aku ingin bersahabat
denganmu, bisa jadi lebih dari sekedar itu. Tapi apakah masih ada kejujuran di
negerimu yang penuh dengan angkara murka ini?" guman Dwi
Kemala Hijau. Bila fikiran seseorang larut dalam memi-
kirkan sesuatu, bukan hanya fikirannya saja yang menerawang. Tapi kewaspadaannya
juga jadi ber-kurang. Hal seperti itu terjadi pada diri si gadis.
Dia sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi ada
sepasang mata yang terus mengintai, mengawa-
sinya dari jarak yang tidak begitu jauh dengan
rongga matanya yang merah seperti memancar-
kan api. "Kucari kemana-mana, tak tahunya murid
murtad itu ada di sini!" satu suara mengumandang penuh rasa tidak senang.
Tak berapa lama menunggu, sosok berju-
bah merah itu akhirnya berkelebat meninggalkan
kegelapan di balik pohon. Laksana hembusan an-
gin sosok berjubah merah mendekati dangau.
Sampai di depan mulut dangau berlantai
tinggi, sosok serba merah dengan kepala tertutup topi jubah hentikan langkah.
"Dia rupanya tidak sadar aku berada disini.
Entah apa yang difikirkannya. Barangkali dia tengah berfikir hukuman apa
gerangan yang akan
kujatuhkan kepadanya!" batin sosok ini.
Di dalam dangau entah sengaja atau tidak,
atau mungkin pula mengira orang yang ditunggu
telah kembali, Dwi Kemala Hijau palingkan wa-
jahnya ke arah pintu dangau yang terkuak lebar.
Mendadak si gadis jadi tercekat, jantungnya sea-
kan berhenti berdenyut, tengkuk terasa dingin,
mata mendelik besar sedangkan mulut ternganga
seperti melihat setan.
"Bagaimana iblis rongsokan ini bisa sampai
kemari" Aku tidak melihat tanda-tanda kehadi-
rannya. Apa yang harus kulakukan ini." batin Dwi Kemala Hijau. Ingat dengan
segala malapetaka
yang mungkin terjadi, si gadis jadi ingat pula pa-da Gento. "Gento... dimana
kau" Jika kau mencari binatang buruan, seharusnya kau sudah kem-
bali." keluh gadis itu sementara matanya tak pernah lepas dari memandang ke arah
sosok berju- bah merah yang hanya berupa tengkorak kepala
tanpa mata, tulang leher, rusuk, lengan juga tu-
lang kaki. "Dwi Kemala Hijau, begitu aku memberi
nama karena tubuhmu berwarna hijau keracu-
nan." kata sosok yang tubuhnya hanya berupa tulang belulang tanpa kulit tanpa
daging. Kemudian mulut yang tidak terbalut kulit ini membuka,
memperlihatkan gigi-giginya yang putih kehita-
man. Lalu terdengar satu suara sayup-sayup di-
kejauhan. "Tidak pernah ku menyangka kau akhirnya mengkhianati diriku. Kau bukan
saja membiarkan murid kesayanganku Maut Tanpa
Suara tewas dibantai orang, tapi kau juga ikut
melepaskan satu pukulan hingga membuat pe-
muda itu menemui ajalnya. Padahal kau menge-
tahui antara Kuil Setan dan Maut Tanpa Suara
berada dalam satu jiwa, terikat dengan perjanjian, jika salah satunya binasa
atau hancur maka yang
lainnya juga akan mengalami hal yang sama. Se-
karang apa pertanggung jawabmu atas petaka
yang telah terjadi"!" tanya Yang Agung dingin.
Dwi Kemala Hijau cepat bangkit dari tem-
pat dia merebahkan diri. Dia sadar betul siapa
orang yang dihadapinya. Sosok tengkorak yang
memakai jubah merah ini bukan lagi dapat dis-
ebut sebagai manusia, tapi iblis yang mempergu-
nakan seperangkat tulang belulang sebagai alat
untuk melakukan apa yang dia inginkan. Selain
itu, bahaya lain yang mengancam jiwanya juga
harus difikirkan. Jika dia sanggup membunuh
Yang Agung, selama obat penawar racun tidak bi-
sa dia dapatkan, cepat atau lambat dirinya pasti akan mengalami kebinasaan.
Karena itu dengan suara tenang dia men-
jawab. "Yang Agung, apapun yang terjadi pada calon pewarismu, semua itu sudah
menjadi suratan
sang takdir. Jika takdir sudah berkehendak begi-
tu, tak seorang pun dapat menolaknya. Aku sen-
diri mungkin hanya sebagai alat kepanjangan
tangan Gusti Allah yang tanpa sadar harus mele-
paskan pukulan demi untuk membela diri!" kata si gadis.
Tulang belulang dibalik jubah nampak ber-
getar, sedangkan gerahamnya yang hanya berupa
tulang bergemeletukan pertanda Yang Agung be-
rusaha menahan marah.
"Begitu mudahnya kau bicara memutar ba-
lik kenyataan bahkan membawa kebesaran Tu-
han. Padahal mengingat keadaanmu seharusnya
kau berada di pihakku, bukan malah membela
para keparat itu"!" hardik Yang Agung.
Dwi Kemala Hijau tundukkan kepala, na-
mun tetap tak kehilangan kewaspadaannya.
"Yang Agung, terus-terang aku tak dapat
tinggal di Kuil Setan. Sejak semula kau sudah ta-hu, bahwa kedatanganku ke tanah
Jawa karena mengemban satu amanat. Ketua para bidadari
memberiku perintah agar aku mengambil senjata
milik kami yang kau curi. Apakah semua ini ma-
sih belum jelas juga bagimu, Yang Agung?" tanya Dwi Kemala Hijau.
Jawaban yang diberikan gadis bidadari ini
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentu membuat kemarahan Yang Agung semakin
memuncak. Tetapi sebelum dia memutuskan se-
suatu, sosok yang hanya berupa tengkorak kepala
dan tulang belulang ini ajukan satu pertanyaan.
"Jika kau sudah bicara tentang pendirianmu, apakah ini berarti kau telah
mendapatkan senjata Bintang Penebar Petaka dan kini siap untuk me-larikannya?"
"Terus-terang senjata itu tidak ada padaku.
Pula aku tidak tahu dimana tempat penyimpa-
nannya." jawab Dwi Kemala Hijau.
Sepasang rongga mata menghitam tanpa
biji mata itu memandang ke arah Bidadari Biru.
Tak lama kemudian dia berkata.
"Aku percaya kau tidak berdusta. Inilah ke-
jujuran pertama yang kau tunjukkan padaku se-
telah Kuil Setan Hancur. Tapi apa yang kau kata-
kan sejak pertama tadi adalah suatu kedustaan
belaka. Mungkin aku masih bisa mengampuni di-
rimu jika kau ikut denganku. Bukan hanya itu
saja, aku berjanji akan memberikan obat pemu-
nah racun yang mendekam di tubuhmu!" ujar
Yang Agung. Dwi Kemala Hijau tersenyum. "Iblis yang
satu ini mana bisa dipercaya. Apapun alasan ser-
ta janji yang dia katakan aku tetap pada pendi-
rianku. Kebetulan sekali Bintang Penebar Benca-
na tidak ada di tangannya, jadi sekarang aku
hanya tinggal menyelesaikan satu urusan yaitu
merampas obat penawar racun yang berada di
saku kanan jubahnya itu." batin si gadis bidadari.
"Bagaimana" Apa lagi yang kau fikirkan"
Lekas kau Ikut denganku!" teriak Yang Agung sudah tidak sabar lagi.
Dwi Kemala Hijau gelengkan kepala. "Aku
tak ingin lagi ikut denganmu Yang Agung." tegas si gadis.
"Hmm, rupanya kau tak takut jiwamu akan
melayang dengan percuma" Ketahuilah, jika da-
lam waktu tiga puluh hari mendatang kau tidak
kuberi obat penawar, aku jamin kau akan mene-
mui ajal secara menggenaskan. Mula-mula tu-
buhmu yang bagus dan wajahmu yang cantik itu
akan mengalami kerusakan. Kerusakan disertai
dengan rasa sakit yang sangat luar biasa. Setelah itu kulitmu yang mulus
terkelupas, dagingmu
bertanggalan. Setelah daging terkikis habis baru kau akan mati secara
menggenaskan. Ha ha ha!"
Penjelasan Yang Agung membuat tengkuk
Dwi Kemala Hijau menjadi dingin. Apa yang dika-
takannya bukan gertakan belaka, si gadis bidada-
ri tahu betul akan kenyataan ini, karena dia sendiri pernah melihat beberapa
tawanan menderita
hebat sebagaimana yang dikatakan oleh Yang
Agung. Hanya Dwi Kemala Hijau telah membu-
latkan tekadnya, dia tetap pada pendirian semula.
"Apapun yang terjadi pada diriku, aku siap
menanggung segala akibatnya. Jadi kuharap kau
tak usah memaksaku, Yang Agung." Pada akhir-
nya Dwi Kemala Hijau menjawab tegas.
Lenyaplah sudah kesabaran iblis Berjubah
Merah ini. Tiba-tiba dia acungkan telunjuknya
sambil berteriak. "Kuajak baik-baik kau tak mau.
Rupanya kau mau aku mengirimmu ke neraka?"
Suara Yang Agung lenyap ditelan gemuruhnya
angin dingin yang langsung menyambar tubuh
Dwi Kemala Hijau. Dalam waktu tak sampai se-
kedipan mata saja, si gadis merasakan tubuhnya
terbetot ke depan seolah tertarik oleh satu kekuatan yang bukan saja menyedotnya
ke depan tapi juga membuat tubuhnya laksana beku. Hanya se-
saat saja Dwi Kemala Hijau kehilangan keseim-
bangan. Tak lama kemudian dengan kecepatan
sulit dipercaya gadis bidadari ini langsung kerahkan tenaga ke bagian kaki. Dia
berteriak keras
sambil melompat ke samping, dalam keadaan me-
lompat si gadis pukulkan ke dua tangannya me-
mapaki serangan lawan.
Breees! Satu benturan terjadi di udara, tapi aki-
batnya si gadis jadi memekik tertahan karena te-
naga serangan yang dilancarkan Dwi Kemala Hi-
jau berbalik menghantam dirinya sendiri. Jika
gadis itu tidak cepat jatuhkan diri hingga sama
rata dengan lantai dangau niscaya tubuhnya
hangus karena pukulan yang dia lepaskan men-
gandung hawa panas membakar.
Di depan sana Yang Agung keluarkan sua-
ra tawa aneh. Dwi Kemala Hijau dengan wajah
pucat berkeringat cepat bangkit. Di belakangnya
terdengar suara ledakan keras. Dinding dangau
dibelakang si gadis tenggelam dikobari api. Api
bahkan semakin membesar menjalar ke bagian
atap sampai akhirnya melumat habis seluruh
bangunan dangau. Tak mau terpanggang hidup-
hidup Dwi Kemala Hijau melompat keluar ting-
galkan dangau. Belum lagi kedua kakinya menje-
jak ke tanah dua larik sinar merah menyambar
perutnya. Melihat serangan maut ini, si gadis bidadari langsung lakukan gerakan
berjumpalitan di udara. Sementara kedua tangannya langsung
dihantamkan ke arah Yang Agung.
Segulung angin menderu melabrak apa sa-
ja yang dilaluinya hingga membuat tempat itu jadi porak poranda.
"Pukulan yang hebat. Tapi bagiku tak ada
artinya!" dengus Yang Agung. Sambil bicara sosok berupa tulang belulang ini
angkat telapak tangannya yang berwarna putih tanpa daging. Puku-
lan yang dilepaskan Dwi kemudian tersedot am-
blas ke dalam telapak tangan Yang Agung.
"Masih ada lagi?" tanya Yang Agung penuh tantangnya.
Untuk yang kesekian kalinya Dwi Kemala
Hijau dibuat tak percaya dengan penglihatannya
sendiri. Dia gelengkan kepala dan bingung apa
hendak dilakukannya. Selagi dia tertegun menco-
ba mencari jalan untuk menjatuhkan lawan di
depan sana Yang Agung sudah berkelebat ke
arahnya dengan dua tangan tulang terpentang
siap meringkus. Di saat seperti itu si gadis jadi te-
ringat akan selendang sakti yang selalu dipergunakan untuk mengarungi udara.
Tanpa fikir pan-
jang dia langsung menarik selendang biru yang
tersimpan di balik pakaian hijaunya. Tepat kedua tangan lawan nyaris menyentuh
tubuhnya, maka pada saat itu pula si gadis kebutkan selendang
birunya. Preet! Selendang meluncur deras di udara, mem-
babat kedua tangan tulang lawan laksana mata
pedang. Yang Agung terkesiap, batalkan niat me-
ringkus si gadis, melompat mundur sambil me-
maki panjang pendek.
9 Angin dingin yang keluar dari sambaran
selendang membuat Yang Agung agak tergontai,
jubah merahnya berkibar. Tubuh yang hanya ter-
diri dari serangkaian tulang belulang itu berde-
rak-derak seperti hendak bertanggalan satu sama
lain. Tengkorak berjubah ini tentu saja terkejut bukan main dan selama ini tak
pernah menyangka gadis itu memiliki satu senjata berupa selen-
dang yang mampu menggoyahkan dirinya.
"Jika dia tidak cepat kutangkap, bisa jadi
aku yang dibuatnya celaka!" batin Yang Agung alias Iblis Berjubah Merah.
Dia kemudian membentak keras, satu pu-
kulan jarak jauh dilepaskannya. Begitu sinar biru menderu di udara, si gadis
langsung menyambut-nya dengan kebutan selendang birunya. Ketika
ujung selendang membentur sinar biru itu, maka
terdengar satu ledakan menggelegar di udara, me-
robek kesunyian dan membuat Dwi Kemala Hijau
terhuyung. Rupanya pukulan yang dilepaskan
Yang Agung itu kiranya hanya tipuan belaka, ka-
rena ketika lawan kebutkan selendang birunya
dan tubuh si gadis terhuyung. Maka pada saat itu pula Yang Agung melesat cepat
ke arah lawan. Jari-jari tulangnya menghantam ke dada si gadis.
Dwi Kemala Hijau jadi terkesiap melihat se-
rangan yang tidak disangka-sangka ini. Tapi dia
cepat miringkan tubuhnya, serangan yang dilan-
carkan ke arah dada tidak mengenai sasaran yang
diharapkan tapi menghantam bagian bahunya.
Dessss! "Akh...!" Dwi Kemala Hijau menjerit tertahan. Tubuhnya jatuh terhempas,
bergulingan di atas tanah. Bagian bahunya yang terkena tusu-
kan terasa sakit luar biasa dan seperti remuk di bagian dalam. Termiring-miring
dia bangun lagi,
selendang di tangan kanan kini dipindahkan ke
tangan kiri. Belum lagi gadis ini siap dengan posisinya, kembali Yang Agung
lakukan serangan ga-
nas dan cepat luar biasa. Dalam keadaan seperti
itu, dimana selain lawan menyerang dengan
mempergunakan kedua kaki dan juga tangan tu-
langnya. Tentu saja Dwi Kemala Hijau sangat ke-
repotan sekali. Dalam jarak sedekat itu dia tidak
lagi sempat mempergunakan selendang saktinya.
Untuk menangkis serangan ganas yang datang
secara berbarengan itu terlalu besar resiko yang harus ditanggungnya, tak ada
pilihan lain Dwi
Kemala Hijau gerakkan tangan ke belakang. Sete-
lah itu diapun berjumpalitan.
Hanya serangan tangan tulangnya saja
yang dapat dihindari si gadis. Sedangkan tendan-
gan kaki kiri Yang Agung tepat menghantam tu-
lang rusuk Dwi Kemala Hijau di sebelah kanan.
Sekali lagi gadis ini menjerit tertahan, tu-
buhnya terbanting, tulang rusuk seperti patah
dan terasa dingin laksana beku. Dalam keadaan
terbaring menelungkup gadis bidadari itu menge-
rang. Di depan sana Yang Agung tertawa tergelak-
gelak. "Kini siapa yang menjadi pelindung ku selain diriku" Setelah kau dalam
keadaan begini,
apakah sekarang kau masih tak mau ikut den-
ganku?" tanya Yang Agung.
"Aku tetap tidak ikut denganmu, apapun
yang terjadi!" tegas Dwi Kemala Hijau.
"Begitu" Ternyata kau manusia keras kepa-
la. Pengampunan dari kesalahan yang kau laku-
kan telah aku berikan. Kutawarkan obat pemu-
nah racun untukmu, namun rupanya kematian
bagimu lebih menyenangkan. Padahal orang tua
yang sudah lama terkubur saja kalau bisa masih
ingin meminta dihidupkan lagi. Ha ha ha... seka-
rang juga permintaanmu akan kululuskan!" seru Yang Agung. Tengkorak kepala yang
tertutup topi jubah itu nampak bergoyang-goyang. Sepasang
rongga mata yang besar menghitam kemudian
memancarkan cahaya merah redup, sehingga
tampak angker menggidikkan. Rupanya Yang
Agung tengah menggunakan kekuatan rongga
matanya untuk menghabisi lawannya. Sementara
itu Dwi Kemala Hijau sendiri kini sudah memba-
likkan tubuh, namun tak sanggup untuk berdiri.
Ketika dia melihat rongga mata yang menghitam
itu kini telah memancarkan sinar merah, dia sa-
dar lawan hendak menghabisinya dengan serang-
kaian serangan Mata Iblis yang bersumber dari
kekuatan mata. Untuk itu si gadis berusaha se-
dapat mungkin untuk menjauh. Tapi jangankan
bangkit berdiri, sedangkan bergerak pun sulit bukan main.
"Agaknya aku sudah ditakdirkan mati den-
gan cara seperti ini!" rintih Dwi Kemala Hijau.
Selagi gadis bidadari ini merasa tidak ber-
daya dan tak mampu melakukan apapun, pada
waktu itu pula dari rongga mata Yang Agung me-
lesat dua larik sinar merah pipih laksana mata
tombak. Sinar itu melesat laksana kilat ke arah
Dwi Kemala Hijau. Agaknya nasib buruk si gadis
benar-benar segera terjadi jika pada saat itu dari balik kegelapan tidak muncul
satu bayangan yang
langsung berkelebat sambil hantamkan tangan-
nya ke arah sinar itu.
Dari telapak tangan sosok yang baru da-
tang berturut-turut menderu sinar hitam dan me-
rah berhawa dingin bukan main. Dua pukulan
saling bertubrukan di udara.
Blaaar! Satu ledakan berdentum laksana merobek
langit. Yang Agung terhuyung-huyung ke bela-
kang. Sosok baru datang yang ternyata Gento
Guyon adanya jatuh terduduk dengan kaki terli-
pat. "Tobaaat...! Rongsokan tulang belulang itu membuat nafasku jadi sesak dan
kepala serasa mau meledak." kata Gento yang di bahu kirinya tergantung dua ekor ayam hutan
hasil buruan. Terseok-seok Gento Guyon berlari menda-
patkan Dwi Kemala Hijau. Sementara di sebelah
depannya sana Yang Agung nampak seperti terte-
gun. Sekujur tubuhnya yang hanya berupa tulang
belulang berderak keras. Seakan tak percaya den-
gan kenyataan yang terjadi dia berseru.
"Pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis, ada
hubungan apa kau dengan Tabib Setan?" tanya Yang Agung.
Gento Guyon yang baru saja membawa si
gadis bidadari ke tempat yang aman segera mem-
balikkan badan menghadap langsung ke arah
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang Agung. Begitu melihat keadaan Yang Agung,
Gento jadi melengak kaget. Tapi tak lama kemu-
dian dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Tak kusangka aku akan berhadapan den-
gan tulang belulang rongsokan begini rupa." kata Gento "Eeh, kau tadi bertanya
apa" Tentang Tabib Edan jika tak salah aku mendengar. Hubungan
ku dengan tabib itu sebenarnya tidak ubahnya
seperti hubungan kucing dengan anjing. Aku kuc-
ing dia anjingnya. Sedangkan mengenai pukulan
itu memang aku dapat warisan darinya. Kau
punya hubungan apa pula dengan Tabib Setan
itu" Apakah dia masih terhitung saudaramu.
Atau kau ingin agar tabib itu mengobatimu hing-
ga tulang-tulangmu jadi gemuk" Ha ha ha."
"Aku tidak punya hubungan apapun den-
gan bangsat gila itu. Malah dia yang membuat di-
riku jadi begini rupa. Jika bertemu aku pasti
akan membunuhnya. Kebetulan sekali kau men-
gaku murid tabib edan itu. Jadi kalaupun saat ini aku tidak dapat bertemu
dengannya, kurasa dengan membunuhpun sudah menjadi kepuasan ba-
giku!" dengus Yang Agung.
"Ha ha ha. Tulang rongsokan, mungkin apa
yang kau katakan itu hanya mimpi belaka. Kau
harus tahu disekitar sini banyak serigala berke-
liaran. Aku punya satu rencana bagus untukmu!"
ujar Gento. Belum lagi dia sempat melanjutkan
ucapannya, Yang Agung yang sebenarnya me-
mang tidak mengerti akan maksud ucapan pemu-
da itu tanpa banyak bicara lagi segera berkelebat ke arah lawannya. Serangkaian
serangan ganas dilancarkannya, sehingga setiap tangan tulang itu menyambar deru angin yang
ditimbulkannya membuat Gento jadi terhuyung ke belakang. Be-
tapapun ganasnya serangan itu namun tak satu-
pun serangan lawan mengenai tubuh Gento. Den-
gan gerakan terhuyung-huyung, dan jemari dira-
patkan seperti tangan congcorang pemuda ini da-
pat menghindari setiap serangan yang datang.
Melihat serangan ganasnya selalu dapat
dihindari oleh lawannya, maka Yang Agung jadi
penasaran. Dia lalu merobah jurus serangannya.
Jika pertama tadi dia mengandalkan kedua tan-
gannya, maka sekarang Yang Agung juga pergu-
nakan kaki tulangnya. Mendapat serangan gencar
sedemikian rupa, maka Gento yang ketika itu
menggunakan jurus Congcorang Mabuk hanya
dalam waktu singkat mulai terdesak mundur.
"Huup...!"
Gento berkelit ke samping ketika satu ten-
dangan melesat menghantam pinggangnya. Ten-
dangan luput, tapi tangan tulang Yang Agung
meneruskannya dengan serangan susulan.
Dess! Satu pukulan mendera di bagian dada
membuat pemuda ini jatuh terjengkang dengan
mulut menyemburkan darah. Dwi Kemala Hijau
yang dalam keadaan terluka menjadi cemas meli-
hat pemuda. "Gento... hantam di bagian rongga ma-
tanya!" teriak gadis itu memberi aba-aba.
Walaupun pemuda gondrong ini menden-
gar teriakan Dwi Kemala Hijau, tapi dia tidak menanggapi. Apalagi saat itu lawan
memburunya sambil melepaskan satu tendangan ke perut pe-
muda itu. Murid si gendut Gentong Ketawa ini lang-
sung gulingkan diri ke samping. Tendangan lu-
put, terus menderu dan menghantam semak be-
lukar di belakang Gento.
Wuuus! Byaaaaar! Semak belukar rambas gosong, seperti di-
terabas pedang yang menyala. Lagi-lagi Yang
Agung dibuat tercengang melihat serangannya
gagal mengenai sasaran. Mempergunakan kesem-
patan itu, Gento yang sudah bangkit berdiri langsung melesat ke depan. Satu
tangannya dihan-
tamkan ke bagian tengkorak kepala, sedangkan
tangan yang satunya lagi berkelebat ke bagian
kantong jubah. Semua apa yang dilakukan Gento
ini berlangsung sangat cepat dan mustahil dapat
dilakukan oleh seorang pendekar biasa. Mendapat
serangan seperti itu, Yang Agung menyangka tan-
gan lawan hendak menghantam bagian rongga
matanya. Sehingga dia cepat menghindar dengan
menarik kepala ke belakang. Dia lupa akan mak-
sud tujuan Gento yang sebenarnya. Gento sendiri
kemudian melompat mundur sambil masukkan
sesuatu yang diambilnya dari jubah lawan ke da-
lam kantung celana hitamnya.
"Iblis Berjubah Merah!" hardik si pemuda dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Nama serta julukanmu bagus amat. Tapi aku lebih suka
memanggilmu tulang rongsokan santapan seriga-
la. Jika kau bermaksud melampiaskan dendam-
mu pada Tabib Setan, mengapa kau tidak cepat
membunuhku" Ha ha ha!"
"Hati-hati kau bicara, kau tak mungkin
menghancurkannya bila bulan di atas sana masih
menampakkan diri." satu suara seperti ngiangan
nyamuk terdengar ditelinga Gento. Tak perlu me-
noleh, murid si gendut ini tahu siapa yang bicara.
Pasti Dwi Kemala Hijau. Tanpa sadar Gento men-
dongak ke langit, saat itu dia melihat awan putih berarak bergerak mendekati
bulan. Sekali lagi
Gento Tersenyum
"Tak usah menunggu bulan tertutup awan.
Aku punya rencana lain untuknya!" batin Gento dalam hati.
Di depannya sana Yang Agung ternyata
terpancing oleh ucapan Gento. Sambil keluarkan
suara menggerung dia berteriak menggeledek.
"Bocah keparat, rupanya kau ingin agar aku cepat-cepat mengirimmu ke neraka"
Baiklah kein- ginanmu itu segera kukabulkan!" Usai bicara, sepasang tangan tulang Yang Agung
diputar sebat hingga menimbulkan suara angin menderu diser-
tai berkiblatnya hawa dingin yang amat sangat.
Melihat sambaran angin yang ditimbulkannya,
Gento sadar, lawan mempergunakan pukulannya
yang paling berbahaya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, itulah sebabnya
dia tak mau berla-ku ayal. Tanpa fikir panjang pemuda itu langsung persiapkan
dua pukulan sekaligus.
Tangan kiri melepaskan pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis, sedangkan di tangan kanan
dia siapkan pukulan Selaksa Duka. Di depan sa-
na lawan berkelebat sambil hantamkan kedua
tangan sekaligus, Gento berteriak keras, lalu melompat ke depan, tangan didorong
ke depan. Tan- gan kiri memancarkan cahaya merah hitam ber-
hawa dingin, sedangkan dari tangan kanan men-
deru cahaya seputih perak berhawa panas luar
biasa. Hawa panas dan hawa dingin memenuhi
udara di sekitar tempat terjadinya perkelahian
hebat dan seru ini hingga membuat Dwi Kemala
Hijau yang berada di luar kalangan pertempuran
jadi menggigil.
Benturan keraspun tak dapat dihindari la-
gi. Suara jeritan dari kedua belah pihak yang sa-ma-sama terpelanting ke
belakang tenggelam oleh
suara gemuruh ledakan.
Ledakan itu menimbulkan akibat yang
sangat mengerikan sekali. Semak belukar diseke-
lilingnya hancur dan hangus. Pohon-pohon ber-
tumbangan, tanah dan batu berhamburan. Di ba-
lik rerumputan yang hangus Gento terkapar. Na-
fas megap-megap, tubuhnya laksana beku. Dari
sudut bibirnya darah kental menetes. Sungguh-
pun rasa sakit mendera di sekujur tubuhnya,
pemuda ini masih berusaha duduk. Ketika batu
dan debu yang bertaburan di udara lenyap, maka
pada saat itulah Gento melihat Yang Agung me-
langkah ke arahnya dengan langkah mengundang
maut. Gento jadi tercekat, tak percaya seakan
Yang Agung tidak mengalami akibat apapun.
Hanya tulang tangan kirinya saja yang tanggal.
"Setan.... bagaimana dia bisa tetap berta-
han. Padahal akibat benturan tadi sudah mem-
buat tubuhku seperti tercerai berai. Edan...
mungkin sekaranglah saatnya!" berkata begitu
Gento telan pil mujarab pemberian Tabib Setan.
Setelah menelan pil itu dadanya terasa panas se-
perti terbakar. Tapi tak lama kemudian sekujur
tubuhnya terasa sejuk dan menjadi segar kemba-
li. Tak menunggu lebih lama murid Gentong
Ketawa ini keluarkan suara teriakan keras.
Tidak lama setelah itu tanpa fikir panjang
lagi Gento segera himpun tenaga dan menyalur-
kannya ke arah kedua belah tangannya. Tangan
itu kemudian bergetar dan berubah memutih
sampai ke bagian pangkal lengan. Selanjutnya
dengan kecepatan laksana kilat Gento menyerbu
ke depan, dua tangan diarahkan ke bagian dada.
Serangan ini sebenarnya hanya tipuan saja kare-
na begitu tangannya yang tinggal hanya bagian
sebelah kanan itu menangkis, maka dua tangan
Gento segera dibelokkan ke atas ke arah dua
buah rongga mata lawannya.
Braaaak! Buuum! Terdengar suara tengkorak kepala berderak
disertai dengan ledakan menggeledek. Sosok Yang
Agung yang bagian tubuhnya terdiri dari tulang
belulang itu berpentalan ke seluruh penjuru arah.
Bagian kepala yang meledak hancur bertaburan
dikobari api. Sedangkan jubahnya terlepas me-
layang ditiup angin entah kemana. Gento menarik
nafas, dengan tubuh termiring-miring dia berlari mendekati Dwi Kemala Hijau. Si
gadis yang sedang terluka langsung dibawanya pergi menjauh
dari tempat itu.
10 Di satu lapangan kecil Gento Guyon henti-
kan larinya. Nafas mengengah tapi tubuhnya yang
terluka sudah tidak terasa sakit lagi akibat obat mujarab pemberian Tabib Setan
yang mempunyai daya sembuh yang sangat kuat sekali. "Hebat ju-ga tabib itu, dia mewarisi aku
obat yang bentuk-
nya seperti tahi kambing, tapi agak bau pesing.
Boleh jadi salah satu campuran ramuannya air
kencing tabib itu sendiri. Gila! Tapi walau bagaimanapun aku harus berterima
kasih." fikir Gento sambil gelengkan kepala dan tersenyum sendiri.
Di bawah sebatang pohon di pinggir lapan-
gan pemuda ini kemudian menurunkan Dwi Ke-
mala Hijau. Diam-diam ketika berada dalam pon-
dongan si pemuda rupanya si gadis perhatikan
Gento yang tersenyum-senyum seperti orang ku-
rang waras, hingga membuatnya jadi tidak enak
sendiri. "Gento apa yang kau tertawakan?" tanya Dwi Kemala Hijau sambil memijit-mijit
perutnya. Si pemuda gelengkan kepala. "Aku hanya
ingat seorang sahabat, musuh juga guruku. Dia
memberiku obat hebat hingga luka dalam yang ku
derita dapat sembuh dengan cepat." jawab pemuda itu. Dia lalu menceritakan
tentang hubungan-
nya dengan Tabib Setan. Mengenai riwayat Tabib
Setan dapat diikuti dalam Episode Tabib Setan.
"Sungguh dia manusia aneh, tapi memiliki
ilmu pengobatan yang sangat luar biasa. Obat
yang kau berikan padaku juga sudah begitu ba-
nyak membantu memulihkan kesehatan ku." ujar si gadis dengan tatapan penuh rasa
terima kasih. "Oh ya, mengapa kau tadi membawa aku pergi, padahal kita belum tahu apakah Yang
Agung benar-benar hancur atau malah sebaliknya dia tetap hidup dengan
kekuatannya yang baru!"
"Aku yakin dia tak dapat hidup lagi. Lagi-
pula banyak sekali kawanan serigala kelaparan
berkeliaran di sekitar tempat itu. Karena itu aku terpaksa membawamu pergi
karena aku sangat
khawatir sekali, kawanan serigala itu akan me-
nyerang kita begitu mereka selesai menyantap se-
luruh tulang-tulang polos tanpa darah dan dag-
ing. Ha ha ha." Gento menjawab sambil tertawa terkekeh.
Ucapan Gento itu membuat Dwi Kemala
Hijau jadi tercekat. Semula dia menyangka Gento
tak sanggup menghadapi lawannya, tapi secara
tak terduga ternyata pemuda ini mampu meng-
hancurkan Yang Agung.
"Bagaimana keadaanmu sendiri Gento?"
tanya si gadis. "Rasanya aku hampir tak percaya kau dapat melakukannya." kata
Dwi Kemala Tawa pemuda itu makin bertambah lebar.
Setelah tawanya terhenti dia berkata. "Segala sesuatunya memang sangat
kusangsikan, seperti
katamu aku percaya dia pasti memiliki satu ke-
lemahan. Maka aku akhirnya menyatukan tenaga,
menggabungkan beberapa pukulan, lalu kuhan-
tam bagian titik kelemahan Yang Agung." jawab Gento. Diam-diam gadis bidadari
itu semakin merasa kagum melihat kelebihan serta kecerdasan
yang dimiliki Gento. Sekejap dia pandangi pemu-
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
da itu. Si gadis kemudian berkata dalam hati.
"Terkadang dia suka bertingkah konyol, sering ja-hil, tapi aku sama sekali tak
pernah menyangka
dibalik ulahnya dia memiliki kesaktian tinggi!"
"Adakah kau memikirkan sesuatu" Apa
mengenai racun yang mendekam dalam tubuh-
mu, atau kau memikirkan diriku?" tanya Gento sambil tertawa.
Diingatkan akan racun yang berada dalam
tubuhnya, wajah Dwi Kemala Hijau mendadak ja-
di berubah. "Celaka, obat pemunah racun itu ada pada
Yang Agung di bagian kantong jubahnya. Bagai-
mana ini kita harus mengambilnya!" kata si gadis bingung.
Tenang saja Gento menjawab. "Jubah itu
kulihat entah terbang kemana, kalau mau dicari
tak tahu kemana aku harus mencarinya. Tapi kau
tak usah cemas karena aku punya obat yang
lain.!" "Obat pemunah, obat penawar darimana kau mendapatkannya?" tanya si gadis
heran. Gento Guyon merogoh saku celananya. La-
lu dari dalam celana dia keluarkan sesuatu yang
diambilnya dari jubah Yang Agung. Ketika telapak tangan dibuka sepasang mata
Gento terbelalak
lebar. "Mustahil, tak dapat kupercaya. Bagaimana obat bisa berubah menjadi
gigi"!" desis si pemuda bingung sekaligus kaget. "Ini pasti giginya Yang agung
bisa berada di dalam kantong jubah?" Tak percaya Gento dengan mempergunakan
tangan kiri merogoh kantung celananya lagi. Dia pun jadi tersenyum dan menarik nafas
lega ketika dia menemukan sebuah tabung kecil dari bambu. Gigi-
gigi yang ada ditelapak tangan kanannya lang-
sung dibuang. Tapi Dwi Kemala Hijau langsung
memungut tiga dari gigi yang dicampakkan.
Terheran-heran Gento ajukan pertanyaan.
"Buat apa kau ambil giginya iblis itu" Ini obat pemunah racun yang sebenarnya!"
kata Gento, la-lu dia angsurkan tangannya serahkan tabung
bambu sebesar telunjuk pada si gadis. Dwi Kema-
la Hijau gelengkan kepala.
Sambil tersenyum dan telan dua benda
yang bentuknya seperti gigi si gadis menjawab.
"Obat yang tersimpan dalam tabung bambu itu sesungguhnya adalah racun yang
mematikan. Aku tahu bagaimana akal licik Yang Agung. Dia
sengaja membuat obat dengan bentuk sedemikian
rupa untuk mengecoh orang. Sesuatu yang kita
anggap sebagai barang tak berguna, itulah obat
yang kita cari, begitu juga sebaliknya." kata Dwi Kemala Hijau.
Gento terdiam, seakan tak percaya dengan
penjelasan si gadis bidadari. Pemuda ini kemu-
dian menatap seraut wajah yang memiliki kecan-
tikan sangat luar biasa itu. Tapi Gento kemudian berjingrak kaget sambil
berseru. "Kemala, wajahmu!" "Hah, ada apa dengan wajahku?" tanya Dwi Kemala
Hijau. Saat itu dia merasakan tubuhnya
terasa dingin. Semakin lama hawa dingin menye-
rangnya dengan hebat.
"Kemala... kau... jangan-jangan kau salah
memakan obat"!" seru Gento ketika melihat tubuh Dwi Kemala Hijau tergelimpang
meringkuk seperti udang kering.
Dengan tubuh menggigil dan gigi bergeme-
letukan si gadis masih berusaha menjawab. "Yang terjadi ini adalah reaksi antara
racun dan obat pemunahnya. Aku... aku tak akan apa-apa...!"
Walaupun Dwi Kemala Hijau sudah beru-
saha menjelaskan, namun Gento masih tetap tak
percaya. Apalagi ketika melihat tubuh si gadis
mulai kejang-kejang. Kini tumbuh dalam fikiran-
nya untuk membuka tabung bambu dan mema-
sukkan obat yang ada didalamnya ke dalam mu-
lut si gadis. Tapi dia meragu, andai isi tabung
memang obat pemunah racun, semuanya tidak
akan menjadi persoalan. Tapi jika racun memati-
kan sebagaimana yang dikatakan gadis bidadari
itu, tentu akibatnya semakin fatal bagi gadis itu sendiri.
Selagi Gento diselimuti rasa bingung untuk
menentukan keputusan di saat yang sama ter-
dengar suara tawa menggeledek bergema di uda-
ra. Suara tawa kemudian lenyap, selanjutnya ter-
dengar pula suara orang berkata. "Jika kau bingung memikirkan nasib gadisnya,
sedang yang sa-
tunya lagi menggelepar di atas tanah. Dari pada
bingung mengapa tidak diserahkan saja gadis se-
cantik bidadari itu kepadaku" Gadis secantik dia, jangankan untuk mengobati,
membawanya ke sorga penuh nikmat aku sendiri sanggup. Ha ha
ha!" "Sialan, siapa lagi kadal buntung yang berani mencari penyakit itu?" rutuk
Gento dalam hati. Pemuda ini lalu kitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru
arah. Sementara itu sa-
tu perubahan besar telah terjadi pada diri Dwi
Kemala Hijau. Sekujur tubuhnya yang berwarna
hijau kini kembali ke warna aslinya. Putih halus dan berkilauan. Bukan hanya itu
saja, wajahnya yang cantik mempesona kini semakin bertambah
memikat. Karena orang yang tertawa dan bicara tadi
tidak kunjung munculkan diri, maka Gento kem-
bali pandangi Dwi Kemala Hijau. Gadis itu ternya-ta sudah tidak merintih-rintih
seperti tadi, yang membuatnya terkejut sekujur tubuhnya yang hijau sekarang
telah berubah menjadi putih.
"Aku tak percaya jika tidak melihatnya
sendiri." batin murid si gendut Gentong Ketawa.
Baru saja dia hendak ajukan satu pertanyaan.
Pada saat itulah dia melihat satu bayangan merah berkelebat ke arahnya.
Hanya dalam waktu yang singkat di depan
Gento kini telah berdiri seorang pemuda berpa-
kaian merah beralis tebal. Rambutnya yang gon-
drong diikat sehelai kain berwarna merah. Di ba-
gian dada bajunya terdapat sulaman bergambar
bumi dengan satu lintasan putih berkelok-kelok
seperti kilat yang menyambar. Di punggung ba-
junya juga terdapat gambar yang sama hanya
ukuran dan bentuknya lebih besar.
Gento Guyon sejenak lama memandang ke
depan. Saat itu cahaya bulan cukup terang. Se-
hingga Gento dapat melihat wajah pemuda itu
dengan jelas. Dia masih begitu muda, usianya
mungkin terpaut beberapa tahun dari Gento. Wa-
jahnya tampan, tapi menyimpan kelicikan dan
keangkuhan. Memandang pemuda itu cukup lama, Gen-
to jadi ingat dengan Iblis Racun Hijau. Ciri-ciri yang sama pernah dijelaskan
orang tua itu ketika dia dan gurunya bertemu dengan Iblis Racun Hijau di telaga
dekat kediaman manusia beracun
itu. "Mungkin inilah orangnya yang bernama Lira Watu Sasangka, bergelar Panji
Anom Penggetar Jagad alias Baginda Begawan Muda. Dia begi-
tu bernafsu untuk mendapatkan senjata Bintang
Penebar Petaka. Apakah senjata itu kini telah di-dapatkannya?" fikir Gento.
"Yang satu bertelanjang dada, rambut gon-
drong, wajah konyol. Orang dengan ciri-ciri seper-ti manusia edan ini aku tak
mengenalnya. Kalau
yang satunya lagi pastilah Dwi Kemala Hijau. Tapi mengapa wajah dan kulit
tubuhnya kini berubah
putih" Jangan-jangan guru salah dalam memberi
penjelasan tentang penghuni Kuil Setan ini."
membatin pemuda berpakaian merah ini dalam
hati. "Sudah puas kau memandang wajahku
yang cakep ini" Kalau sudah puas katakan apa
kepentinganmu datang kesini?" tanya Gento.
Si pemuda tersenyum mengejek. Dia ke-
mudian kembali alihkan pandangannya pada Dwi
Kemala Hijau yang kini sudah bangkit dan duduk
disamping Gento. Melihat sikap orang yang acuh
tak acuh bahkan terkesan memandang sebelah
mata Gento pun jadi kesal.
"Setan... pertanyaanku kutunjukkan pa-
damu. Rupanya kau tertarik pada gadis saha-
batku ini?" dengus Gento bersungut-sungut. Dia kemudian menambahkan. "Jika kau
tertarik padanya, aku jamin sahabatku pasti mau... mau
muntah melihatmu" ha ha ha."
Sepasang mata yang penuh keangkuhan
dan angkara murka ini nampak berkilat tajam.
Mulut terkatup rapat, tapi Gento dapat mengeta-
hui kalau sesungguhnya si baju merah menjadi
tersinggung mendengar ucapannya.
"Pemuda edan salah kaprah, seribu gadis
cantik seperti dia dengan mudah dapat kucari.
Siapa bilang aku tertarik padanya. Jikapun aku
punya hasrat mungkin hanya sekedar untuk ber-
senang-senang. Setelah aku bosan pasti dia ku-
bunuh!" sahut si pemuda yang bukan lain adalah Lira Watu Sasangka alias Panji
Anom Penggetar Jagad. Tawa Gento makin melebar. Dia melirik ke
arah Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru, sete-
lah itu baru alihkan perhatiannya pada Panji
Anom. Dengan senyum bermain dibibir seakan
tak menghiraukan ucapan Panji Anom mulutnya
berucap. "Aku percaya dengan semua ucapanmu.
Orang dengan tampang sepertimu tentu dengan
mudah mendapatkan perempuan, tapi aku jamin
bukan perempuan yang baik tapi pelacur mura-
han. Tampangmu saja sudah sama persis dengan
hidung belang.!"
Mengelam wajah pemuda itu mendengar
ucapan Gento. Bola matanya mendelik besar se-
perti hendak melompat keluar. Hawa amarah te-
lah membuat dada si pemuda terasa sesak. Hing-
ga tubuhnya jadi bergetar. Dengan suara lantang
dia menghardik. "Pemuda edan sinting, aku Panji Anom paling pantang dihina. Agar
kau tahu saat ini aku tidak mencari perempuan...!"
"Mungkin kau mencari nenek tua yang su-
dah bau tanah, begitu!" celetuk Gento sengaja membuat pemuda itu jadi marah.
"Keparat terkutuk. Kau buka telingamu,
pasang pendengaran dengan baik. Saat ini aku
sedang mencari senjata Bintang Penebar Petaka.!"
menerangkan Panji Anom dengan perasaan geram
sekali. Mendengar ucapan Panji Anom Dwi Kemala
Hijau maupun Gento Guyon diam-diam jadi ka-
get. Tapi Gento sendiri malah manggut-manggut.
"Oh rupanya kau mencari senjata itu, aku
tahu dimana senjata yang kau cari itu berada."
"Kalau kau tahu lekas kau katakan pada
baginda mu ini!" perintah Panji Anom tak sabar.
"Konon menurut yang kudengar senjata itu
kini berada di satu tempat penyimpanan di nera-
ka. Jika kau mau aku bersedia mengantarmu ke
neraka. Hak hak ha!"
"Pemuda bangsat terkutuklah dirimu!" ma-ki Panji Anom semakin gusar bukan main.
Tak menunggu lebih lama Panji Anom langsung ber-
niat melakukan serangkaian serangan ganas ke
arah Gento. Namun pada waktu itu terdengar sa-
tu suara dari sebelah kirinya. "Kau inginkan senjata Bintang Penebar Bencana,
Panji Anom" Sen-
jata itu sampai kini masih berada di tanganku."
Kemudian ada suara lain menimpali. "Baginda kenapa jadi bingung" Kami mencari
baginda kemana-mana untuk serahkan senjata. Tak dinyana
kiranya Baginda juga sedang mencari kami. Ak-
hirnya kita jadi seperti orang linglung karena sa-ma sibuk mencari-cari. Ha ha
ha!" Jika Gento tak mengenal suara orang yang
bicara pertama tadi, sebaliknya dia tentu saja
mengenali orang yang bicara kemudian. Pemuda
ini tersenyum. "Gendut... kau pergi kemana saja" Apa si-
buk merubuhkan Kuil Setan. Atau malah gen-
tayangan mencari janda. Ha ha ha."
"Murid edan bicara seenaknya sendiri. Satu
janda saja sulit kucari apalagi, apalagi seribu gadis seperti yang dikatakan
murid si kakek lum-
puh Begawan Panji Kwalat. Ha ha ha."
"Mungkin yang dimaksudkannya kambing
perawan." kata suara yang bicara pertama tadi.
"Tak kusangka dia muridnya Begawan Pan-
ji Keparat...!" sahut Gento.
"Kau salah sebut bocah edan. Kwalat... bu-
kan keparat...!"
"Apa saja bagiku sama saja. Eeh... gendut
apakah kau tak mau kemari" Terus mendekam
disitu seperti ayam mau bertelur. Atau kau se-
dang memadu kasih dengan insan sejenis" Ha ha
ha!" "Bocah edan, mulutmu perlu ku guyur dengan air kencingku!" damprat suara
itu. Walau mulutnya mendamprat namun dia tetap tertawa
hehahehe. Sedetik kemudian dari sebelah kiri
Panji Anom berkelebat dua sosok bayangan. So-
sok yang satu dan berada paling depan sekujur
tubuhnya seperti bercahaya. Sedangkan kedua
tangannya lebih terang dari bagian badan. Se-
dangkan sosok yang berada di belakangnya ber-
badan tinggi besar bukan main. Walaupun tu-
buhnya besar luar biasa, namun ketika jejakkan
kaki di samping pemuda muka monyet yang ba-
gian dalam tubuhnya terpampang dengan jelas,
sama sekali kakinya tidak menimbulkan suara.
Jika Gento dan Dwi Kemala Hijau terheran-
heran juga merasa geli melihat pemuda berbadan
sebening kaca ini. Sebaliknya Panji Anom yang
mengenali pemuda itu sempat berjingkrak kaget
dan melompat mundur. Mulut ternganga mata di-
pentang. Bibirnya mendesis menggumamkan ka-
ta-kata yang tidak jelas.
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sulit kupercaya, bagaimana manusia lu-
tung itu kini telah berubah seperti itu. Beberapa hari yang lalu kulitnya hitam
legam. Sekarang bagaimana bisa menjadi putih sebening kaca?" fikir Panji Anom.
Dia lalu alihkan perhatiannya pada si gendut. "Gendut besar ini memanggil murid
pada pemuda gondrong edan itu. Jadi mereka murid
dan guru. Selain tubuh, kulihat mereka banyak
memiliki persamaan. Gurunya sinting, muridnya
edan. Sungguh ini merupakan suatu kenyataan
yang menyedihkan!" batin Panji Anom disertai seringai sinis.
11 Di depan sana seakan tak menghiraukan
Panji Anom lagi si gendut Gentong Ketawa ajukan
satu pertanyaan pada sang murid. "Gento, bagaimana kau bisa mendapatkan gadis
cantik ini?"
Yang ditanya mesem-mesem sambil men-
gusap keningnya yang keringatan. Sebentar dia
melirik pada Dwi Kemala Hijau, sebelah mata di-
kedipkan satu kali baru kemudian menjawab.
"Semua ini anugerah. Yang semula musuh bisa kujadikan teman, mana cantik lagi.
Dan kau sen- diri bagaimana bisa bertemu dengan pemuda ber-
badan bagus seperti ini, ndut" Tubuhnya bening
isi bagian dalam kelihatan. Rupanya peruntun-
ganmu sedang bagus, ya"! Ha ha ha."
"Ha ha ha, kalau kau melihat sebelum ini.
Rasanya singkong bakar masih kalah gosong." jawab Gentong Ketawa.
Setelah Gento memperkenalkan Dwi Kema-
la Hijau pada gurunya, kakek Gentong Ketawa
berkata. "Peruntunganmu rupanya sedang bagus.
Bisa berkenalan dengan gadis cantik dan seorang
bidadari pula. Tidak seperti aku!" kata si kakek bersungut-sungut.
"Ya, peruntunganmu buruk sekali orang
tua. Apalagi jika kau tak mau menyerahkan sen-
jata itu padaku, bukan hanya kau dan muka ku-
nyuk itu saja yang akan kubunuh. Tapi muridmu
juga gadis itu tak akan lolos dari kematian!" Panji Anom yang sedari tadi hanya
diam saja kini ikut
bicara. Kini Gento dan Dwi Kemala Hijau meman-
dang ke arah Gentong Ketawa. Merasa diperhati-
kan seperti itu, si kakek jadi salah tingkah. "Senjata Bintang Penebar Petaka
bukan ada padaku,
tapi dia yang memegangnya." sambil berkata begitu dia menunjuk ke arah Memedi
Santap Segala. "Guru, bukan aku menuduh mu." ujar
Gento. "Tapi ketahuilah senjata itu milik Kayangan. Bidadari Biru ditugaskan
untuk mengambil-
nya kembali." tegas si pemuda. Lalu dia menceritakan tentang segala sesuatunya
yang terjadi pa-
da Dwi Kemala Hijau. Begitu Gento selesai menu-
turkan segala sesuatunya, maka Memedi Santap
Segala memberi jawaban.
"Jika senjata ini milik Kayangan dan kau
ditugaskan untuk mengambilnya, maka sekarang
juga aku bersedia menyerahkannya padamu. Aku
tidak kemaruk dengan segala macam senjata!" ka-ta Memedi Santap Segala. Selesai
bicara pemuda ini lalu mengeluarkan senjata dari balik salah sa-tu kantong perbekalannya.
Begitu senjata berada
di tangannya, maka terlihatlah sebuah benda
berbentuk bintang empat sudut dengan delapan
sisi tajam, sementara di tengah-tengah bintang
itu terdapat sebuah lubang bulat. Selagi Gento
dan gurunya dibuat tercengang melihat senjata
yang diserahkan Memedi Santap Segala pada Dwi
Kemala Hijau, maka pada saat itu pula terdengar
satu teriakan. "Senjata itu harus menjadi milikku. Dia tak boleh berada di tangan siapapun!"
Bersamaan dengan itu pula terdengar suara deru angin dahsyat yang langsung
menyambar ke arah si gadis
bidadari. Menyadari ada serangan dahsyat men-
dera dirinya, Dwi Kemala Hijau yang telah meme-
gang senjata langsung melompat mundur sela-
matkan diri. Sedangkan Memedi Santap Segala ja-
tuhkan diri sambil bergulingan untuk menghin-
dari pukulan orang.
Gentong Ketawa dan muridnya walaupun
sempat kaget, namun cepat memandang ke bela-
kang. Begitu mengetahui yang menyerang Dwi
Kemala Hijau tadi bukan lain adalah Panji Anom,
maka Gento berseru. "Manusia tidak bermalu, ingin mengangkangi milik orang.
Lebih baik kau bawa pulang oleh-oleh dariku ini!" berkata begitu Gento hantamkan tangan
kanannya melepaskan
pukulan Iblis Tertawa Dewa Menangis.
"Aku yang tua juga masih ingin berbaik ha-
ti untuk menambahkan bingkisan untukmu!"
Dengan sebat sambil tertawa-tawa, Gentong Ke-
tawa hantamkan dua tangannya yang besar seka-
ligus ke arah Panji Anom.
Sinar merah panas dan hawa dingin men-
deru di udara. Pukulan yang dilepaskan Gento sa-
ja sudah menimbulkan akibat yang sangat luar
biasa. Apalagi gurunya ikut pula melepaskan pu-
kulan mautnya. Akibat yang ditimbulkannya ten-
tu sangat hebat sekali. Angin menderu laksana
gemuruh suara ombak yang menyerang dari dua
arah menggulung Panji Anom hingga membuat
pemuda itu yang telah mencoba melepaskan pu-
kulan untuk menangkis serangan lawan jadi ja-
tuh terpelanting. Panji Anom terkapar, pakaian-
nya di bagian dada dan juga bagian celananya ro-
bek besar, Pemuda itu merasakan dadanya ber-
denyut hebat. Tapi tanpa menghiraukan bagian
kaki dan dadanya yang sakit luar biasa dia cepat bangkit berdiri. Wajah murid
Begawan Panji Kwalat ini nampak merah kelam. Belum lagi dia sem-
pat bicara. Dwi Kemala Hijau sudah berucap.
"Menghadapi diriku, mungkin aku bukan tandingan mu. Tapi kudengar kau
menginginkan senjata
ini. Karena itu kau harus berusaha menda-
patkannya sendiri!" seru si gadis. Dia kemudian berpaling pada Gento, juga
gurunya si gendut
Gentong Ketawa dan Memedi Santap Segala. "Paman, Gento dan kau si badan kaca.
Sebaiknya kalian menyingkir di tempat yang aman. Dia in-
ginkan senjata ini, karena itu dia berurusan langsung dengan diriku!"
"Ha ha ha! Aku tak keberatan menonton
pertunjukan gratis." kata Gentong Ketawa sambil tertawa-tawa dia melompat
mundur, lalu duduk
menjelepok di pinggir lapangan.
"Aku sependapat dengan guruku. Tapi kau
harus hati-hati, Dwi Kemala." kata Gento pula.
Lalu dia ikutan duduk seperti gurunya, tapi tetap bersikap waspada.
"Aku lebih baik berdiri disini. Terlalu lama duduk pantatku bisa kapalan."
celetuk Memedi Santap Segala, hingga membuat Gento dan gurunya tak kuasa menahan
tawa. Di depan sana, si gadis telah lintangkan
senjata Bintang Penebar Bencana di depan dada.
Bibir gadis ini berkemak-kemik, seakan membaca
mantra. Beberapa saat setelah itu, senjata di tangannya terlihat memancarkan
sinar merah redup
disertai membersitnya hawa dingin yang bukan
alang kepalang.
"Siapapun dirimu, Panji Anom. Kau pasti
tak bakal sanggup menghadapi senjata ini,
meskipun kau memiliki ilmu setinggi langit." teriak Dwi Kemala Hijau.
Panji Anom Penggetar Jagad sunggingkan
senyum sinis. "Aku adalah orang yang tidak kena digertak, tidak pula kena
ditakut-takuti!" dengus Panji Anom. Begitu selesai bicara pemuda ini pan-tangkan
kedua tangannya lurus ke depan. Setelah
itu tubuhnya melesat ke depan. Dalam satu se-
rangan kilat ini, Panji Anom bermaksud meram-
pas senjata di tangan si gadis. Tapi sejarak dua tindak lagi tangan si pemuda
hampir menyentuh
senjata Bintang Penebar Petaka. Tiba-tiba saja
seakan ada satu kekuatan dahsyat yang keluar
dari senjata itu menyambar ke arah Panji Anom,
mendorongnya dengan satu tenaga yang sangat
besar luar biasa.
Bruuk! Panji Anom tak kuasa mengendalikan diri
menjaga keseimbangan, tubuhnya jatuh terbant-
ing. Gentong Ketawa tertawa mengekeh. Sedang-
kan Gentong Guyon langsung menyeletuk. "Ho-
hoho, senjata belum diambil kok sudah jatuh du-
luan. Memalukan!"
Mendengar ejekan Gento, kedua pipi Panji
Anom menggembung besar. Darahnya serasa
menggelegak. Dia segera bangkit berdiri, lepaskan satu pukulan ke arah Gento,
lalu laksana kilat
tubuhnya melesat kembali ke arah Dwi Kemala
Hijau. Di sebelah sana murid dan guru bergulin-
gan dengan arah berlawanan untuk selamatkan
diri. Di tempat mereka duduk tadi terjadi satu ledakan menggelegar. Ketika murid
dan guru ini kembali duduk dalam jarak terpisah jauh, mereka
jadi melengak kaget begitu melihat bekas ledakan menimbulkan satu lubang besar.
"Senjata harus menjadi milikku!" teriak Panji Anom. Ketika itu Panji Anom sudah
begitu dekat dengan lawannya. Tapi tanpa terduga Dwi
Kemala Hijau putar senjata itu di bagian tengah-
nya yang berlubang, lalu melemparkannya di
udara. Begitu terlempar senjata Bintang Penebar
Petaka langsung berputar laksana baling-baling,
mengeluarkan suara bergemuruh hebat disertai
deru hawa panas yang membuat tempat itu lak-
sana terbakar dilamun api.
Panji Anom terkesiap melihat kenyataan
ini, apalagi ketika melihat senjata itu mendadak menukik ke bawah dan menyerang
dirinya laksana seekor elang yang menyambar.
Tak ada pilihan lain, pemuda ini langsung
jatuhkan diri. Begitu tubuhnya rebah hingga sa-
ma rata dengan tanah, maka dia melepaskan pu-
kulan Kutukan Mendera Bumi. Sinar biru berha-
wa panas berkiblat di udara menghantam senjata
maut yang terus menderu tajam ke arahnya. Satu
letusan disertai berpijarnya bunga api terjadi di udara, hingga membuat suasana
di sekitarnya semakin terang benderang.
Benturan itu ternyata hanya membuat sen-
jata Bintang Penebar Petaka hanya bergetar saja, selanjutnya terus meluncur
menghantam ke arah
perut lawan. "Senjata iblis keparat!" maki Panji Anom.
Diapun kemudian menggulingkan dirinya ke
samping. Tapi tak urung baju di bagian perut pe-
muda itu robek besar terkena sambaran senjata
Kayangan. Sambil memaki, Panji Anom bangkit berdi-
ri. Wajahnya berubah pucat laksana mayat.
Otaknya berfikir keras bagaimana caranya agar
dia dapat menangkap senjata itu tanpa menim-
bulkan petaka bagi dirinya sendiri. Dalam kea-
daan seperti itu dia lalu ingat akan sesuatu. Tan-pa menghiraukan Gento dan
gurunya yang berte-
puk tangan sambil memuji kehebatan senjata
Kayangan, Panji Anom tiba-tiba jejakkan salah
satu kakinya hingga membuat tubuhnya melesat
tinggi di udara. Dalam keadaan seperti itu dia
bermaksud menangkap senjata dari arah atas.
Itulah sebabnya begitu sampai pada satu keting-
gian Panji Anom langsung meluncur ke bawah be-
rusaha menangkap bagian tengah senjata yang
terus berputar mendesing tak ada henti.
Apa yang terjadi kemudian membuat Panji
Anom terkejut. Tak ubahnya seperti memiliki ma-
ta dan perasaan saja senjata tiba-tiba berbalik
arah dan kini bagian sisinya menghadap ke atas
menerabas tangan Panji Anom.
"Jahanam terkutuk!" teriak Panji Anom
yang tangannya hampir saja putus terbabat sen-
jata. Gagal menangkap senjata, dia lakukan gera-
kan berjumpalitan dan jatuhkan diri di atas ta-
nah. Wajahnya seperti bukan wajah lagi. Akan te-
tapi telah berubah sepucat kertas. Belum lagi hilang rasa kagetnya, senjata itu
kini meluncur berputar lalu menderu ke arah Panji Anom. Tak
mau mati konyol. Panji Anom lepaskan pukulan
Prahara Mendera Bumi.
Wuut! Wuuus! Dua tangan langsung dihantamkan ke arah
senjata. Hawa dingin melesat laksana kilat dan
tepat mengenai senjata itu.
Traang! Terdengar suara berdentrang. Senjata
hanya oleng sesaat, lalu kembali meluncur meng-
hantam dada Panji Anom. Karena jaraknya begitu
dekat, sementara pemuda ini sendiri seakan tak
percaya melihat kenyataan yang terjadi. Tak ayal lagi dadanya kena disambar
senjata itu. Craas! Panji Anom menjerit keras, baju di bagian
dada hancur, dadanya terluka cukup dalam, bah-
kan salah satu rusuknya nyaris putus. Sementara
dari arah belakang Bintang Penebar Petaka kem-
bali menderu membabat ke bagian pinggang. Pada
saat seperti itu, dimana dirinya merasa hampir
putus asa karena tak mampu menangkap. senjata
tersebut. Mendadak sontak satu bayangan berke-
lebat menyambar Panji Anom. Demikian cepatnya
hal itu terjadi sampai Gento dan gurunya tak
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat melakukan sesuatu. Memedi Santap Sega-
la sambil berteriak keras sempat lepaskan salah
satu pukulannya.
"Hendak dibawa kemana dia"!" teriak pe-
muda itu. "Manusia-manusia calon celaka, suatu hari
kalian semua akan mendapat balasan dariku!"
kata satu suara di kejauhan.
Pukulan Memedi Santap Segala hanya
mengenai angin. Di sebelah kanan mereka Dwi
Kemala Hijau gerakkan tangannya ke arah senja-
ta, hingga senjata itu kini berputar menuju ke
arahnya. Tep! Dengan mudah senjata itu dapat ditangkap
kembali oleh si gadis bidadari. Sementara itu
Gento dan si gendut saling pandang. Wajah mere-
ka masih memperlihatkan rasa kagum, tapi juga
kecewa karena Panji Anom berhasil diselamatkan
oleh seseorang.
"Dia merupakan satu momok dan rintan-
gan besar bagimu dimasa yang akan datang!" guman si gendut.
"Seharusnya kita tangkap dan pesiangi tu-
buhnya sejak tadi. Tapi aku sendiri jadi ragu, takut senjata itu malah salah
sasaran dan melumat
habis diriku. Kalau engkau yang jadi korban,
mungkin aku cuma satu hari berduka cita, sete-
lah itu aku buat pesta, pukul beduk pukul gen-
dang. Agar lebih meriah dalam pesta ku gelar aca-ra tarian. Ha ha ha."
"Murid setaaan!" damprat si gendut sambil pelototkan mata dan kepalkan tinjunya.
"Gento, kuucapkan terima kasih besar pa-
da dirimu juga pada gurumu." kata Dwi Kemala
Hijau. "Terlebih-lebih pada Memedi Santap Segala yang mencuri senjata itu dari
tempat penyimpanan di Kuil Setan." kata Gentong Ketawa. Dia lalu menunjuk ke
arah pemuda bertubuh bening. Tapi
yang ditunjuk telah lenyap entah kemana. Sesaat
si gendut mencari-cari. Dia lalu geleng kepala.
"Ah sahabat kita itu agaknya tahu dia, dia
buru-buru pergi sebelum diusir. Ha ha ha." celetuk si gendut sambil tertawa
hingga membuat pe-
rut gendutnya terguncang keras.
"Maafkan guruku ini Dwi Kemala Hijau.
Dia memang begitu, bila di depan gadis suka jadi salah tingkah jadi bicaranya
suka melantur!" ujar si pemuda. Dwi Kemala Hijau tersenyum. "Tidak mengapa,
tanpa kalian dan pemuda tadi tentu
senjata ini sulit kudapatkan. Aku akan mengingat semua itu, mengenangnya dalam
hati sampai akhir hayatku!"
"Eeh, tapi apakah kau akan kembali ke
Kayangan?" tanya Gento dengan perasaan tidak enak dilanda keresahan.
Sekali lagi si gadis tersenyum, hingga
membuat Gento jadi semakin tidak enak. "Aku akan pergi ke suatu tempat. Pada
waktunya aku akan kembali ke Kayangan untuk mengembalikan
senjata ini pada ketua para bidadari." Dwi Kemala Hijau dengan lembut. "Selamat
tinggal Gento, selamat tinggal paman." ujar si gadis. Sebelum pergi dia masih
menyempatkan diri melirik ke arah
Gento. Si pemuda kedipkan matanya.
Sekali berkelebat Dwi Kemala Hijau lenyap
dari pandangan mata. Gento tertegun meman-
dang ke arah lenyapnya si gadis. Satu tangan ke-
mudian menepuk bahunya.
"Dia memang cantik, tapi kurasa tak pan-
tas untukmu karena dirinya adalah seorang bida-
dari." kata Gentong Ketawa seakan mengerti perasaan muridnya.
Gento bukannya terkejut mengetahui si
gendut seolah tahu apa yang ada dalam pera-
saannya, dia tertawa panjang sambil berkelebat
tinggalkan tempat itu. Akan tetapi tawa itu begitu sumbang dan mengandung rasa
kehilangan. "Murid edan, rupanya kau mulai kasma-
ran" Kencing saja belum lempang. Ha ha ha ha."
seru Gentong Ketawa, lalu segera mengejar mu-
ridnya. TAMAT EPISODE SELANJUTNYA :
KI ANJENG LAKNAT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Imbauan Pendekar 9 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Misteri Rumah Berdarah 2
memperhatikan orang
tua lumpuh kaki itu sejenak, si kakek pendek ce-
bol berkata. "Dalam usiaku yang sudah setua ini, aku tak butuh dengan segala
macam senjata. Malah melihat kemunculanmu aku jadi menduga
kau sendiri yang ingin mendapatkan senjata itu."
Tanpa malu-malu, Begawan Panji Kwalat
menjawab. "Penglihatanmu ternyata masih awas juga. Sungguh tak kusangka. Terus-
terang aku memang mencari senjata itu untuk keperluan
muridku. Sayang ketika aku sampai disini, bukit
dan Kuil Setan telah runtuh. Apakah mungkin
keruntuhan itu ada hubungannya dengan kehadi-
ranmu disini?"
Wajah angker si kakek cebol nampak beru-
bah mengelam. Mulutnya terkatub, rahang berge-
rak mengeluarkan suara gemeletukan, sedangkan
kedua matanya mencorong memandang pada Be-
gawan Panji Kwalat,
"Begawan, pandai sekali kau mencari lantai
terjungkit. Melempar kesalahan pada orang yang
sudah tidak perduli dengan segala bentuk kese-
rakahan. Setelah kita bertemu disini, apakah ti-
dak sebaiknya kita cari kata sepakat untuk sama-
sama kembali ke tempat kediaman masing-
masing. Aku sudah rindu akan birunya laut dan
gemuruh suara ombak. Tunggu apa lagi, mari kita
pergi!" ujar Dewa Kincir Samudera. Apa yang dikatakan orang tua itu sebenarnya
hanya satu sindiran saja. Akan tetapi manusia seperti Bega-
wan Panji Kwalat mana mau perduli. Dengan te-
nang dia berkata. "Aku baru saja sampai disini.
Aku rindu pada muridku, Panji Anom Penggetar
Jagad. Bagaimana mungkin aku bisa pergi jika
belum bertemu dengannya. Atau kau ingin aku
mengantarmu kembali ke laut lepas. Jika kau
berkehendaki begitu, sekarang juga aku bersedia
mengirimmu ke neraka!" kata Begawan Panji
Kwalat. Dewa Kincir Samudera tersenyum sinis.
Dia tetap duduk di tempatnya yaitu menjelepok di atas batu. Pada saat itulah
Begawan Panji Kwalat keluarkan satu seruan.
"Duduk dengan baik dalam posisi me-
nungging!" kata si kakek lumpuh. Karena sang Begawan mengerahkan ilmu Kontak
Suara, begitu dia selesai berkata maka tubuh si kakek pendek
cebol langsung terangkat. Di udara. Hanya yang
membuat sang Begawan jadi kaget batu besar
yang dijadikan tempat duduk Dewa Kincir Samu-
dera ikut pula terangkat, seakan batu yang beratnya ratusan kati itu menempel
dengan punggung
orang tua itu. Dalam keadaan terjungkir, Dewa Kincir
Samudera berucap. "Sungguh batu ini amat setia padaku. Aku menungging dia ikut
pula menungging. Padahal dia sama sekali tidak diperintah melakukan seperti yang
aku lakukan. Ha ha ha!" ka-ta si kakek cebol disertai tawa tergelak-gelak.
Melihat kenyataan ini Begawan Panji Kwa-
lat jadi tertegun. Tapi kemudian terlintas sesuatu didalam benaknya.
"Batu menempel di bokong bangsat cebol
itu. Dia pasti hendak mempermalukan aku. Seka-
rang apa salahnya aku pendam dia dengan batu
yang didudukinya mumpung posisinya dalam
keadaan terjungkir." fikir si kakek. Kini dia kembali keluarkan satu seruan.
"Batu setia, pendam dia di dalam tanah.!"
Laksana kilat seakan ada satu kekuatan
dahsyat yang menekan dari bagian atas, batu me-
luncur deras ke bawah sementara Dewa Kincir
Samudera terus menempel di bagian bawah batu
dengan kepala menghadap ke tanah.
Wuuut! Praak! Batu meluncur deras ke bawah dan seba-
gian batu besar itu amblas terpendam di dalam
tanah. Bersamaan dengan jatuhnya batu terden-
gar pula suara berderak seperti hancurnya tulang belulang yang tertindih batu.
Siapapun orangnya
tak mungkin selamat tertimpa batu sebesar itu.
Apalagi orang tua kerdil pendek tadi. Begawan
Panji Kwalat tersenyum. "Tidak pernah kusangka akan semudah itu untuk
melenyapkan manusia
yang sangat ditakuti oleh kalangan dunia persilatan. Ilmu Kontak Suara yang
kumiliki memang
sangat hebat tiada duanya. Dengan ilmu itu mu-
ridku pasti bisa menguasai dunia persilatan." ka-ta si kakek.
Di luar sepengetahuannya, batu besar tadi
nampak bergerak-gerak. Setelah itu di atas batu
entah sejak kapan Dewa Kincir Samudera sudah
duduk diatasnya sambil uncang-uncang kaki.
Dengan sikap acuh dia menyeletuk. "Ilmu
Kontak Suara memang hebat. Tidak mengheran-
kan bila si kuntet Dewa Kincir Samudera amblas
terpendam terhimpit batu jadi ikan pepes. Dan
kini tinggal arwahnya yang gentayangan, duduk
di atas batu sambil uncang-uncang kaki. Ha ha
ha!" kata si kakek cebol sambil tertawa.
Terkejutlah Begawan Panji Kwalat melihat
kenyataan ini. Sungguh dia tidak menyangka la-
wan masih sanggup meloloskan diri dari maut.
Tapi dia dengan jelas melihat Dewa Kincir
Samudera amblas ke dalam tanah terhimpit batu.
Bagaimana sekarang dia bisa duduk disana sea-
kan tidak ada satu kejadian apapun yang menim-
panya" "Tak mungkin. Segalanya sangat sulit untuk kupercaya!" desis kakek itu.
"Begawan, rupanya masa kecilmu tidak
bahagia sehingga setelah menjadi tua bangka se-
perti sekarang kau masih juga senang membuat
lelucon dengan ilmu sampah. Ha ha ha!" berkata Dewa Kincir Segara sambil
tertawa. "Pendek cebol keparat, menyungkurlah su-
jud di hadapanku!" teriak Begawan Panji Kwalat mencoba menjatuhkan lawan dengan
ilmu Kontak Suara, tapi kali ini lawannya tidak bergeming sedikitpun. Memang Dewa Kincir
Samudera sempat
merasakan tubuhnya seperti dihempaskan ke de-
pan, tapi dia tetap bertahan. Malah dengan suara lantang dia berkata. "Dudukmu
masih belum benar. Dengan mengambang di udara seperti itu
kau menyalahi aturan menyalahi kodrat. Aku si
tua kecil akan memberimu tempat dudukan batu,
anggap saja seperti kursi bagus yang ada di singgasana raja.!" berkata begitu si
kakek cebol lakukan gerakan jungkir balik menjauh dari batu. Be-
gitu sampai di belakang batu dia lalu meniup ba-
tu besar itu. Puuuh! Laksana kilat batu bulat sebesar kerbau
itu melesat deras ke arah Begawan Panji Kwalat.
Bukan meluncur ke bagian kaki, batu ini me-
layang menghantam kepala sang Begawan.
"Bangsat keparat!" maki kakek tua itu
sambil lakukan gerakan berjumpalitan sehingga
batu menghantam tempat kosong.
7 Kini setelah selamat dari hantaman batu,
dengan tubuh masih mengambang di atas tanah,
Begawan Panji Kwalat cepat balikkan badan. Be-
gitu dia menghadap ke arah lawan, tangan kiri
diputar diatas kepala sebanyak tiga kali. Begitu diputar angin menderu dari
jemari tangannya
mencuat tiga bola api sebesar kelapa.
"Ini bingkisan sebagai pengantar kema-
tianmu!" teriak Begawan Panji Kwalat sambil me-lontarkan tangannya ke arah
lawan. Setelah itu
dengan tangannya yang lain dia menghantam la-
wan dengan satu pukulan lain yang memancar-
kan sinar putih panjang laksana pedang.
Lima bola api berturut-turut menghantam,
kepala, dada, perut dan kedua kaki si kakek ce-
bol. Sedangkan pukulan kedua membabat ping-
gang dan dada orang tua ini. Mendapat serangan
ganas yang berlangsung cepat dan datang secara
berturut-turut itu, Dewa Kincir Samudera gerak-
kan tangan kirinya menepis sinar yang membabat
rusuk dan pinggangnya.
Tups! Tups! Begitu terkena sambaran angin dari tangan
si kakek sinar putih tadi langsung hancur berpentalan ke segala penjuru arah.
Sedangkan sebelum
itu mulut si kakek meniup bola-bola api yang me-
nyerang lima bagian tubuhnya.
Puuh! Lima bola api berpentalan di udara. Bega-
wan Panji Kwalat lipat gandakan tenaga dalam-
nya. Lalu mengarahkan bola api yang sempat te-
rombang-ambing di udara itu ke arah lawan. Se-
kali lagi bola-bola api meluncur deras ke arah si kakek cebol dengan kecepatan
berlipat ganda.
Di depan sana si kakek cebol guru si gen-
dut Gentong Ketawa menyeringai. Diam-diam dia
mengerahkan inti kekuatan yang mengandung
hawa dingin luar biasa sambil berkata. "Matahari memang belum terlalu panas.
Walaupun begitu
tubuhku sudah kepanasan. Kau orang gila dari
mana membuat bola api dengan panas begini ru-
pa. Rasanya aku tak terima, sebaiknya biar ku
padamkan saja!" teriak si kakek.
Begitu selesai bicara si cebol lambaikan
tangannya lima kali berturut-turut. Dari tangan si
kakek hawa dingin bercampur uap putih menderu
dan melabrak habis bola-bola api di depannya.
Blok! Tess! Tess! Tess!
Lima bola api langsung padam. Masih pe-
nasaran dan tak percaya dengan kenyataan yang
terjadi Begawan Panji Kwalat kembali kirimkan
bola-bola api ke arah lawannya.
"Tua bangka edan, rupanya kau masih
mau main-main dengan api itu. Biar kutelan bola
panas itu sedangkan sisanya kukembalikan pa-
damu!" seru Dewa Kincir Samudera. Bersamaan dengan itu orang tua pendek ini
melesat di udara, mulut dibuka lebar. Hingga dua bola api langsung amblas ke
dalam mulutnya, sedangkan tiga lainnya langsung disentil dengan telunjuk, hingga
ki-ni ketiga bola api itu berbalik dan meluncur cepat ke arah pemiliknya dengan
kecepatan berlipat
ganda. Begawan Panji Kwalat memang sempat di-
buat kaget, tapi dengan cepat dia berkelit meng-
hindar. Dua bola api berhasil dihindarinya, se-
dangkan yang satunya lagi begitu dihantam, ma-
lah melejit keras dan menyambar ke bagian wa-
jah. Jika si kakek yang mengambang di udara itu
tidak cepat miringkan tubuhnya sambil runduk-
kan kepala niscaya bagian kepalanya hangus di-
hantam bola api.
Tak urung walaupun dia dapat selamatkan
wajahnya, namun rambutnya yang dipenuhi ka-
pur sempat terbakar. Begawan Panji Kwalat sam-
bil memaki-maki nampak sibuk memadamkan api
yang membakar rambutnya. Pada saat itu dua bo-
la yang luput mengenai sasaran kini menghantam
semak belukar hingga mengeluarkan suara leda-
kan keras. Belum lagi sang Begawan sempat melaku-
kan sesuatu, kini lawannya menghantam orang
tua itu tepat di bagian kepala.
Sedapat mungkin si Begawan menepis se-
rangan lawan. Tapi secepat apapun tangkisan
yang dilakukannya ternyata dia kalah cepat.
Plaaak! Begawan Panji Kwalat terpelanting ke bela-
kang. Tapi walaupun begitu dia tak sampai jatuh
ke tanah. Karena tubuhnya tetap mengambang.
Dalam keadaan rebah di udara sang Begawan le-
paskan pukulan sambil menendang lawannya
dengan kakinya yang lumpuh.
Wuuut! Wuuut! Dua pukulan kembali me-
labrak perut seru Dewa Kincir Samudera, se-
dangkan tendangan kaki si Begawan ternyata
mengandung satu kekuatan yang begitu me-
nyambar ke arah lawannya membuat orang tua
ini laksana diterpa badai. Tak pelak lagi Dewa
Kincir Samudera jatuh tunggang langgang. Si ka-
kek dekap perutnya yang terasa mulas bukan
main. Dia kemudian lakukan gerakan berputar,
dua tangan dihantamkan ke empat penjuru arah.
Angin kencang menderu-deru, hawa panas
menghampar hingga keadaan di sekitar tempat
itu berubah panas laksana di neraka.
Begawan Panji Kwalat keluarkan suara
menggerung. Dia melesat ke arah lawan, menero-
bos pertahanan, menembus sinar maut yang me-
mancar dari tangan lawan sedangkan kedua tan-
gan langsung dihantamkan ke tubuh seru Dewa
Kincir Samudera.
Satu benturan keras terjadi membuat dua
orang itu sama-sama terpental sejauh tiga tom-
bak. Begawan Panji Kwalat yang kali ini terpelanting nampak megap-megap,
nafasnya terasa me-
nyesal darah menyembur dari mulutnya. Di de-
pannya sana Dewa Kincir Samudera nampak ter-
huyung, wajahnya pucat laksana kapas.
"Ha ha ha, kau akhirnya duduk juga di
atas tanah. Kau lihatlah, dari mulutmu keluar
kecapnya. Begawan, menurutku lebih baik kau
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali ke Banyubiru, sampai disana kau gali
sebuah kubur untuk dirimu sendiri!" kata Dewa Kincir Samudera disertai tawa
terkekeh-kekeh.
Kakek berbadan jerangkong di depan sana
menggerung marah. Dua tangannya langsung di-
letakkan ke tanah. Setelah itu tubuhnya kembali
melesat ke udara, mengambang seperti semula
dalam keadaan duduk.
"Dewa keparat, jangan kau merasa setelah
dapat menjatuhkan aku bahwa itu satu keme-
nangan bagimu. Kau lihatlah kenyataan yang ha-
rus kau hadapi!" teriak Begawan Panji Kwalat.
Bersamaan dengan teriakannya itu si kakek men-
gangkat tangannya lurus sejajar dengan kepala.
Tak lama kemudian tangan si kakek telah beru-
bah membiru. Sinar terang memancar dari tela-
pak tangan si kakek. Setelah itu dia arahkan ke-
dua tangan yang terkepal itu pada lawannya.
"Tinju Langit Mendera Bumi!" desis Dewa Kincir Samudera menyebut pukulan yang
dilepaskan oleh Begawan Panji Kwalat. Dalam kaget-
nya kakek cebol ini mendadak mendengar suara
bergemuruh dahsyat, belum lagi tinju lawannya
sempat melabrak tubuh si kakek, dia merasakan
hawa panas laksana memanggang tubuhnya. Si
kakek cebol lipat gandakan tenaga dalamnya yang
kemudian langsung dialirkan ke bagian kedua
tangan. Tubuh si kakek kemudian berputar, ber-
samaan dengan itu pula tangannya ikut diputar
pula. Angin dingin menderu-deru membentuk
lingkaran melingkupi tubuh si kakek. Angin ber-
campur awan putih yang mirip dengan buih om-
bak ini lalu melesat meninggalkan tubuh si ka-
kek, bergerak lurus menyambut serangan lawan
hingga akhirnya beradu di udara. Beberapa saat
berlangsung, terjadi adu tenaga sakti. Sosok Be-
gawan Panji Kwalat akibat tekanan hebat dari te-
naga lawannya kini tubuhnya bergerak turun
mendekati tanah. Di depan sana kedua kaki si
kakek mulai amblas ke dalam tanah sedikit demi
sedikit. Dari telapak kaki mengepul uap tipis bagaikan es yang mencair terkena
panas. Sedang- kan tubuh pendeknya nampak bergetar hebat,
wajah tegang luar biasa. Tapi dia terus memutar
kedua tangan, sedikit demi sedikit. Hingga pada
akhirnya terjadi ledakan menggelegar. Begawan
Panji Kwalat terjungkat ke belakang sambil men-
jerit tertahan. Debu, pasir dan batu-batu ber-
hamburan di udara, hingga membuat suasana
menjadi gelap. Dari jatuhnya si Begawan tadi, jelas orang
tua itu menderita luka dalam yang cukup parah.
Sedangkan Dewa Kincir Samudera yang baru saja
menggunakan jurus Kincir Berputar di atas laut
ini segera tarik kakinya yang amblas sampai se-
batas lutut. Begitu kedua kakinya dapat ditarik
keluar dari dalam tanah, dia segera siapkan pu-
kulan ditangan kanan untuk menjaga segala ke-
mungkinan yang tidak diingini. Hanya dia jadi
sangat kecewa karena begitu suasana berubah
menjadi terang kembali, lawan telah lenyap entah kemana.
Si kakek pendek cebol seka keringat yang
membasahi wajahnya. Dia melangkah mendekati
ke arah mana lawannya terjatuh tadi. Disana dia
melihat ceceran darah.
Dewa Kincir Samudera tengadahkan wajah
memandang ke langit. Mulutnya yang tertutup
kumis tebal berwarna putih berucap. "Bagaimana pun ilmu Begawan salah kaprah itu
sangat tinggi. Tenaga dalamnya mungkin dua tingkat di bawah-
ku. Tapi jika dia menggunakan ilmu Kontak Sua-
ra, aku khawatir muridku Gentong Ketawa dan
cucu muridku Gento Guyon kena dikerjainya" fikir si kakek. Beberapa saat lamanya
dia terdiam. Sejak Kuil Setan meledak dia tak tahu bagaimana
nasib muridnya si gendut Gentong Ketawa. Ba-
gaimana pun sebelum meninggalkan tempat itu
dia ingin tahu bagaimana keadaan muridnya. Ka-
rena itu si kakek cebol berkata. "Sebaiknya kucari tahu dulu bagaimana keadaan
si gendut. Apakah
dia dalam keadaan selamat atau sudah konyol.
Aku tahu walaupun Begawan Panji Kwalat sudah
terluka, dia pasti tetap mencari senjata itu."
Tanpa menunggu lebih lama lagi Dewa Kin-
cir Samudera akhirnya tinggalkan tempat itu.
8 Malam itu cuaca demikian cerah. Bulan ke-
tiga belas nampak terang, memancarkan ca-
hayanya yang kuning keemasan. Bintang-bintang
bertaburan di angkasa. Menambah keindahan di
suasana malam yang sejuk dan damai.
Di sebuah dangau yang sudah tidak terpa-
kai, Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru rebah
menelentang di atas balai-balai yang sudah tua
hanya dengan berbantalkan kedua lengannya
sendiri. Sepasang matanya yang bening meman-
carkan daya pesona memandang lurus ke langit
melalui atap dangau yang berlubang besar. Me-
mandang pada keindahan bulan dia jadi ingat
akan negerinya. Suatu negeri yang jauh, yaitu negeri kayangan.
Biasanya pada malam bulan purnama se-
perti sekarang ini, bersama para bidadari lainnya
mereka bermain di taman bunga yang indah me-
nebarkan bau harum semerbak. Mereka bebas
bercengkerama, bergurau atau melakukan apa
saja dalam suasana yang damai.
Agaknya semua kebahagiaan itu hanya
akan menjadi kenangan selamanya. Karena sam-
pai saat ini dirinya masih terpuruk di tanah Jawa.
Dia tidak mungkin menempuh perjalanan pan-
jang mengarungi lautan awan, sementara dirinya
saat ini menderita keracunan. Selain itu Bintang Penebar Penebar Petaka juga
entah berada di tangan siapa. Tanpa senjata itu bagaimana dia bera-
ni menghadap ketua para bidadari. Kembali ke
Kayangan adalah suatu hal yang memalukan jika
dia tidak dapat menjalankan tugas yang dibeban-
kan kepalanya dengan baik. Semua gadis-gadis
Kayangan pasti akan menjauhinya.
Ingat akan semua, Dwi Kemala Hijau tiba-
tiba menjadi amat sedih. Sekarang ini dia hidup
dalam kesunyian, di negeri asing dimana setiap
saat bahaya bisa muncul secepat angin berhem-
bus. Masih beruntung pada akhirnya dia bisa ber-
temu dengan Gento Guyon. Pemuda kocak yang
secara disadari atau tidak oleh pemuda itu selalu menghiburnya dengan ucapan-
ucapan yang lucu.
"Aku lebih senang jika kau tidak kembali
ke Kayangan. Jadi kita bisa berteman selamanya!"
Kata-kata yang diucapkan pemuda itu kini kem-
bali terngiang di telinganya. Dwi Kemala Hijau
tersenyum. Dia tak tahu apakah ucapan si pemu-
da hanya bermaksud iseng atau bersungguh-
sungguh yang jelas sejak pertama kali bertemu
dengan Gento, dia merasa ada satu getaran aneh
di hatinya yang selama ini belum pernah dia ra-
sakan. Sejak melihat Gento pula timbul harapan
baginya untuk menyelamatkan diri dari cengke-
raman Yang Agung alias Iblis Berjubah Merah.
"Gento.... akupun tidak dapat memastikan
apakah aku dapat kembali ke negeriku. Pintu
Awan hanya terbuka sekali dalam setahun, aku
juga tidak bisa keluar masuk dari pintu itu sesu-ka hati. Selain itu perjalanan
ke sana membutuh-
kan tenaga yang cukup besar. Seandainya Bin-
tang Penebar Petaka bisa kudapatkan kembali,
keadaan tubuhku kurasa belum pulih benar. Aku
butuh waktu yang lama agar dapat sembuh total.
Karena aku yakin racun yang mendekam di tu-
buhku kini bukan saja hanya telah menyebar ke
seluruh pembuluh darah dan daging, tapi juga
sudah sampai meresap ke dalam tulang. Gento....
Gento Guyon.... mungkin aku ingin bersahabat
denganmu, bisa jadi lebih dari sekedar itu. Tapi apakah masih ada kejujuran di
negerimu yang penuh dengan angkara murka ini?" guman Dwi
Kemala Hijau. Bila fikiran seseorang larut dalam memi-
kirkan sesuatu, bukan hanya fikirannya saja yang menerawang. Tapi kewaspadaannya
juga jadi ber-kurang. Hal seperti itu terjadi pada diri si gadis.
Dia sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi ada
sepasang mata yang terus mengintai, mengawa-
sinya dari jarak yang tidak begitu jauh dengan
rongga matanya yang merah seperti memancar-
kan api. "Kucari kemana-mana, tak tahunya murid
murtad itu ada di sini!" satu suara mengumandang penuh rasa tidak senang.
Tak berapa lama menunggu, sosok berju-
bah merah itu akhirnya berkelebat meninggalkan
kegelapan di balik pohon. Laksana hembusan an-
gin sosok berjubah merah mendekati dangau.
Sampai di depan mulut dangau berlantai
tinggi, sosok serba merah dengan kepala tertutup topi jubah hentikan langkah.
"Dia rupanya tidak sadar aku berada disini.
Entah apa yang difikirkannya. Barangkali dia tengah berfikir hukuman apa
gerangan yang akan
kujatuhkan kepadanya!" batin sosok ini.
Di dalam dangau entah sengaja atau tidak,
atau mungkin pula mengira orang yang ditunggu
telah kembali, Dwi Kemala Hijau palingkan wa-
jahnya ke arah pintu dangau yang terkuak lebar.
Mendadak si gadis jadi tercekat, jantungnya sea-
kan berhenti berdenyut, tengkuk terasa dingin,
mata mendelik besar sedangkan mulut ternganga
seperti melihat setan.
"Bagaimana iblis rongsokan ini bisa sampai
kemari" Aku tidak melihat tanda-tanda kehadi-
rannya. Apa yang harus kulakukan ini." batin Dwi Kemala Hijau. Ingat dengan
segala malapetaka
yang mungkin terjadi, si gadis jadi ingat pula pa-da Gento. "Gento... dimana
kau" Jika kau mencari binatang buruan, seharusnya kau sudah kem-
bali." keluh gadis itu sementara matanya tak pernah lepas dari memandang ke arah
sosok berju- bah merah yang hanya berupa tengkorak kepala
tanpa mata, tulang leher, rusuk, lengan juga tu-
lang kaki. "Dwi Kemala Hijau, begitu aku memberi
nama karena tubuhmu berwarna hijau keracu-
nan." kata sosok yang tubuhnya hanya berupa tulang belulang tanpa kulit tanpa
daging. Kemudian mulut yang tidak terbalut kulit ini membuka,
memperlihatkan gigi-giginya yang putih kehita-
man. Lalu terdengar satu suara sayup-sayup di-
kejauhan. "Tidak pernah ku menyangka kau akhirnya mengkhianati diriku. Kau bukan
saja membiarkan murid kesayanganku Maut Tanpa
Suara tewas dibantai orang, tapi kau juga ikut
melepaskan satu pukulan hingga membuat pe-
muda itu menemui ajalnya. Padahal kau menge-
tahui antara Kuil Setan dan Maut Tanpa Suara
berada dalam satu jiwa, terikat dengan perjanjian, jika salah satunya binasa
atau hancur maka yang
lainnya juga akan mengalami hal yang sama. Se-
karang apa pertanggung jawabmu atas petaka
yang telah terjadi"!" tanya Yang Agung dingin.
Dwi Kemala Hijau cepat bangkit dari tem-
pat dia merebahkan diri. Dia sadar betul siapa
orang yang dihadapinya. Sosok tengkorak yang
memakai jubah merah ini bukan lagi dapat dis-
ebut sebagai manusia, tapi iblis yang mempergu-
nakan seperangkat tulang belulang sebagai alat
untuk melakukan apa yang dia inginkan. Selain
itu, bahaya lain yang mengancam jiwanya juga
harus difikirkan. Jika dia sanggup membunuh
Yang Agung, selama obat penawar racun tidak bi-
sa dia dapatkan, cepat atau lambat dirinya pasti akan mengalami kebinasaan.
Karena itu dengan suara tenang dia men-
jawab. "Yang Agung, apapun yang terjadi pada calon pewarismu, semua itu sudah
menjadi suratan
sang takdir. Jika takdir sudah berkehendak begi-
tu, tak seorang pun dapat menolaknya. Aku sen-
diri mungkin hanya sebagai alat kepanjangan
tangan Gusti Allah yang tanpa sadar harus mele-
paskan pukulan demi untuk membela diri!" kata si gadis.
Tulang belulang dibalik jubah nampak ber-
getar, sedangkan gerahamnya yang hanya berupa
tulang bergemeletukan pertanda Yang Agung be-
rusaha menahan marah.
"Begitu mudahnya kau bicara memutar ba-
lik kenyataan bahkan membawa kebesaran Tu-
han. Padahal mengingat keadaanmu seharusnya
kau berada di pihakku, bukan malah membela
para keparat itu"!" hardik Yang Agung.
Dwi Kemala Hijau tundukkan kepala, na-
mun tetap tak kehilangan kewaspadaannya.
"Yang Agung, terus-terang aku tak dapat
tinggal di Kuil Setan. Sejak semula kau sudah ta-hu, bahwa kedatanganku ke tanah
Jawa karena mengemban satu amanat. Ketua para bidadari
memberiku perintah agar aku mengambil senjata
milik kami yang kau curi. Apakah semua ini ma-
sih belum jelas juga bagimu, Yang Agung?" tanya Dwi Kemala Hijau.
Jawaban yang diberikan gadis bidadari ini
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tentu membuat kemarahan Yang Agung semakin
memuncak. Tetapi sebelum dia memutuskan se-
suatu, sosok yang hanya berupa tengkorak kepala
dan tulang belulang ini ajukan satu pertanyaan.
"Jika kau sudah bicara tentang pendirianmu, apakah ini berarti kau telah
mendapatkan senjata Bintang Penebar Petaka dan kini siap untuk me-larikannya?"
"Terus-terang senjata itu tidak ada padaku.
Pula aku tidak tahu dimana tempat penyimpa-
nannya." jawab Dwi Kemala Hijau.
Sepasang rongga mata menghitam tanpa
biji mata itu memandang ke arah Bidadari Biru.
Tak lama kemudian dia berkata.
"Aku percaya kau tidak berdusta. Inilah ke-
jujuran pertama yang kau tunjukkan padaku se-
telah Kuil Setan Hancur. Tapi apa yang kau kata-
kan sejak pertama tadi adalah suatu kedustaan
belaka. Mungkin aku masih bisa mengampuni di-
rimu jika kau ikut denganku. Bukan hanya itu
saja, aku berjanji akan memberikan obat pemu-
nah racun yang mendekam di tubuhmu!" ujar
Yang Agung. Dwi Kemala Hijau tersenyum. "Iblis yang
satu ini mana bisa dipercaya. Apapun alasan ser-
ta janji yang dia katakan aku tetap pada pendi-
rianku. Kebetulan sekali Bintang Penebar Benca-
na tidak ada di tangannya, jadi sekarang aku
hanya tinggal menyelesaikan satu urusan yaitu
merampas obat penawar racun yang berada di
saku kanan jubahnya itu." batin si gadis bidadari.
"Bagaimana" Apa lagi yang kau fikirkan"
Lekas kau Ikut denganku!" teriak Yang Agung sudah tidak sabar lagi.
Dwi Kemala Hijau gelengkan kepala. "Aku
tak ingin lagi ikut denganmu Yang Agung." tegas si gadis.
"Hmm, rupanya kau tak takut jiwamu akan
melayang dengan percuma" Ketahuilah, jika da-
lam waktu tiga puluh hari mendatang kau tidak
kuberi obat penawar, aku jamin kau akan mene-
mui ajal secara menggenaskan. Mula-mula tu-
buhmu yang bagus dan wajahmu yang cantik itu
akan mengalami kerusakan. Kerusakan disertai
dengan rasa sakit yang sangat luar biasa. Setelah itu kulitmu yang mulus
terkelupas, dagingmu
bertanggalan. Setelah daging terkikis habis baru kau akan mati secara
menggenaskan. Ha ha ha!"
Penjelasan Yang Agung membuat tengkuk
Dwi Kemala Hijau menjadi dingin. Apa yang dika-
takannya bukan gertakan belaka, si gadis bidada-
ri tahu betul akan kenyataan ini, karena dia sendiri pernah melihat beberapa
tawanan menderita
hebat sebagaimana yang dikatakan oleh Yang
Agung. Hanya Dwi Kemala Hijau telah membu-
latkan tekadnya, dia tetap pada pendirian semula.
"Apapun yang terjadi pada diriku, aku siap
menanggung segala akibatnya. Jadi kuharap kau
tak usah memaksaku, Yang Agung." Pada akhir-
nya Dwi Kemala Hijau menjawab tegas.
Lenyaplah sudah kesabaran iblis Berjubah
Merah ini. Tiba-tiba dia acungkan telunjuknya
sambil berteriak. "Kuajak baik-baik kau tak mau.
Rupanya kau mau aku mengirimmu ke neraka?"
Suara Yang Agung lenyap ditelan gemuruhnya
angin dingin yang langsung menyambar tubuh
Dwi Kemala Hijau. Dalam waktu tak sampai se-
kedipan mata saja, si gadis merasakan tubuhnya
terbetot ke depan seolah tertarik oleh satu kekuatan yang bukan saja menyedotnya
ke depan tapi juga membuat tubuhnya laksana beku. Hanya se-
saat saja Dwi Kemala Hijau kehilangan keseim-
bangan. Tak lama kemudian dengan kecepatan
sulit dipercaya gadis bidadari ini langsung kerahkan tenaga ke bagian kaki. Dia
berteriak keras
sambil melompat ke samping, dalam keadaan me-
lompat si gadis pukulkan ke dua tangannya me-
mapaki serangan lawan.
Breees! Satu benturan terjadi di udara, tapi aki-
batnya si gadis jadi memekik tertahan karena te-
naga serangan yang dilancarkan Dwi Kemala Hi-
jau berbalik menghantam dirinya sendiri. Jika
gadis itu tidak cepat jatuhkan diri hingga sama
rata dengan lantai dangau niscaya tubuhnya
hangus karena pukulan yang dia lepaskan men-
gandung hawa panas membakar.
Di depan sana Yang Agung keluarkan sua-
ra tawa aneh. Dwi Kemala Hijau dengan wajah
pucat berkeringat cepat bangkit. Di belakangnya
terdengar suara ledakan keras. Dinding dangau
dibelakang si gadis tenggelam dikobari api. Api
bahkan semakin membesar menjalar ke bagian
atap sampai akhirnya melumat habis seluruh
bangunan dangau. Tak mau terpanggang hidup-
hidup Dwi Kemala Hijau melompat keluar ting-
galkan dangau. Belum lagi kedua kakinya menje-
jak ke tanah dua larik sinar merah menyambar
perutnya. Melihat serangan maut ini, si gadis bidadari langsung lakukan gerakan
berjumpalitan di udara. Sementara kedua tangannya langsung
dihantamkan ke arah Yang Agung.
Segulung angin menderu melabrak apa sa-
ja yang dilaluinya hingga membuat tempat itu jadi porak poranda.
"Pukulan yang hebat. Tapi bagiku tak ada
artinya!" dengus Yang Agung. Sambil bicara sosok berupa tulang belulang ini
angkat telapak tangannya yang berwarna putih tanpa daging. Puku-
lan yang dilepaskan Dwi kemudian tersedot am-
blas ke dalam telapak tangan Yang Agung.
"Masih ada lagi?" tanya Yang Agung penuh tantangnya.
Untuk yang kesekian kalinya Dwi Kemala
Hijau dibuat tak percaya dengan penglihatannya
sendiri. Dia gelengkan kepala dan bingung apa
hendak dilakukannya. Selagi dia tertegun menco-
ba mencari jalan untuk menjatuhkan lawan di
depan sana Yang Agung sudah berkelebat ke
arahnya dengan dua tangan tulang terpentang
siap meringkus. Di saat seperti itu si gadis jadi te-
ringat akan selendang sakti yang selalu dipergunakan untuk mengarungi udara.
Tanpa fikir pan-
jang dia langsung menarik selendang biru yang
tersimpan di balik pakaian hijaunya. Tepat kedua tangan lawan nyaris menyentuh
tubuhnya, maka pada saat itu pula si gadis kebutkan selendang
birunya. Preet! Selendang meluncur deras di udara, mem-
babat kedua tangan tulang lawan laksana mata
pedang. Yang Agung terkesiap, batalkan niat me-
ringkus si gadis, melompat mundur sambil me-
maki panjang pendek.
9 Angin dingin yang keluar dari sambaran
selendang membuat Yang Agung agak tergontai,
jubah merahnya berkibar. Tubuh yang hanya ter-
diri dari serangkaian tulang belulang itu berde-
rak-derak seperti hendak bertanggalan satu sama
lain. Tengkorak berjubah ini tentu saja terkejut bukan main dan selama ini tak
pernah menyangka gadis itu memiliki satu senjata berupa selen-
dang yang mampu menggoyahkan dirinya.
"Jika dia tidak cepat kutangkap, bisa jadi
aku yang dibuatnya celaka!" batin Yang Agung alias Iblis Berjubah Merah.
Dia kemudian membentak keras, satu pu-
kulan jarak jauh dilepaskannya. Begitu sinar biru menderu di udara, si gadis
langsung menyambut-nya dengan kebutan selendang birunya. Ketika
ujung selendang membentur sinar biru itu, maka
terdengar satu ledakan menggelegar di udara, me-
robek kesunyian dan membuat Dwi Kemala Hijau
terhuyung. Rupanya pukulan yang dilepaskan
Yang Agung itu kiranya hanya tipuan belaka, ka-
rena ketika lawan kebutkan selendang birunya
dan tubuh si gadis terhuyung. Maka pada saat itu pula Yang Agung melesat cepat
ke arah lawan. Jari-jari tulangnya menghantam ke dada si gadis.
Dwi Kemala Hijau jadi terkesiap melihat se-
rangan yang tidak disangka-sangka ini. Tapi dia
cepat miringkan tubuhnya, serangan yang dilan-
carkan ke arah dada tidak mengenai sasaran yang
diharapkan tapi menghantam bagian bahunya.
Dessss! "Akh...!" Dwi Kemala Hijau menjerit tertahan. Tubuhnya jatuh terhempas,
bergulingan di atas tanah. Bagian bahunya yang terkena tusu-
kan terasa sakit luar biasa dan seperti remuk di bagian dalam. Termiring-miring
dia bangun lagi,
selendang di tangan kanan kini dipindahkan ke
tangan kiri. Belum lagi gadis ini siap dengan posisinya, kembali Yang Agung
lakukan serangan ga-
nas dan cepat luar biasa. Dalam keadaan seperti
itu, dimana selain lawan menyerang dengan
mempergunakan kedua kaki dan juga tangan tu-
langnya. Tentu saja Dwi Kemala Hijau sangat ke-
repotan sekali. Dalam jarak sedekat itu dia tidak
lagi sempat mempergunakan selendang saktinya.
Untuk menangkis serangan ganas yang datang
secara berbarengan itu terlalu besar resiko yang harus ditanggungnya, tak ada
pilihan lain Dwi
Kemala Hijau gerakkan tangan ke belakang. Sete-
lah itu diapun berjumpalitan.
Hanya serangan tangan tulangnya saja
yang dapat dihindari si gadis. Sedangkan tendan-
gan kaki kiri Yang Agung tepat menghantam tu-
lang rusuk Dwi Kemala Hijau di sebelah kanan.
Sekali lagi gadis ini menjerit tertahan, tu-
buhnya terbanting, tulang rusuk seperti patah
dan terasa dingin laksana beku. Dalam keadaan
terbaring menelungkup gadis bidadari itu menge-
rang. Di depan sana Yang Agung tertawa tergelak-
gelak. "Kini siapa yang menjadi pelindung ku selain diriku" Setelah kau dalam
keadaan begini,
apakah sekarang kau masih tak mau ikut den-
ganku?" tanya Yang Agung.
"Aku tetap tidak ikut denganmu, apapun
yang terjadi!" tegas Dwi Kemala Hijau.
"Begitu" Ternyata kau manusia keras kepa-
la. Pengampunan dari kesalahan yang kau laku-
kan telah aku berikan. Kutawarkan obat pemu-
nah racun untukmu, namun rupanya kematian
bagimu lebih menyenangkan. Padahal orang tua
yang sudah lama terkubur saja kalau bisa masih
ingin meminta dihidupkan lagi. Ha ha ha... seka-
rang juga permintaanmu akan kululuskan!" seru Yang Agung. Tengkorak kepala yang
tertutup topi jubah itu nampak bergoyang-goyang. Sepasang
rongga mata yang besar menghitam kemudian
memancarkan cahaya merah redup, sehingga
tampak angker menggidikkan. Rupanya Yang
Agung tengah menggunakan kekuatan rongga
matanya untuk menghabisi lawannya. Sementara
itu Dwi Kemala Hijau sendiri kini sudah memba-
likkan tubuh, namun tak sanggup untuk berdiri.
Ketika dia melihat rongga mata yang menghitam
itu kini telah memancarkan sinar merah, dia sa-
dar lawan hendak menghabisinya dengan serang-
kaian serangan Mata Iblis yang bersumber dari
kekuatan mata. Untuk itu si gadis berusaha se-
dapat mungkin untuk menjauh. Tapi jangankan
bangkit berdiri, sedangkan bergerak pun sulit bukan main.
"Agaknya aku sudah ditakdirkan mati den-
gan cara seperti ini!" rintih Dwi Kemala Hijau.
Selagi gadis bidadari ini merasa tidak ber-
daya dan tak mampu melakukan apapun, pada
waktu itu pula dari rongga mata Yang Agung me-
lesat dua larik sinar merah pipih laksana mata
tombak. Sinar itu melesat laksana kilat ke arah
Dwi Kemala Hijau. Agaknya nasib buruk si gadis
benar-benar segera terjadi jika pada saat itu dari balik kegelapan tidak muncul
satu bayangan yang
langsung berkelebat sambil hantamkan tangan-
nya ke arah sinar itu.
Dari telapak tangan sosok yang baru da-
tang berturut-turut menderu sinar hitam dan me-
rah berhawa dingin bukan main. Dua pukulan
saling bertubrukan di udara.
Blaaar! Satu ledakan berdentum laksana merobek
langit. Yang Agung terhuyung-huyung ke bela-
kang. Sosok baru datang yang ternyata Gento
Guyon adanya jatuh terduduk dengan kaki terli-
pat. "Tobaaat...! Rongsokan tulang belulang itu membuat nafasku jadi sesak dan
kepala serasa mau meledak." kata Gento yang di bahu kirinya tergantung dua ekor ayam hutan
hasil buruan. Terseok-seok Gento Guyon berlari menda-
patkan Dwi Kemala Hijau. Sementara di sebelah
depannya sana Yang Agung nampak seperti terte-
gun. Sekujur tubuhnya yang hanya berupa tulang
belulang berderak keras. Seakan tak percaya den-
gan kenyataan yang terjadi dia berseru.
"Pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis, ada
hubungan apa kau dengan Tabib Setan?" tanya Yang Agung.
Gento Guyon yang baru saja membawa si
gadis bidadari ke tempat yang aman segera mem-
balikkan badan menghadap langsung ke arah
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang Agung. Begitu melihat keadaan Yang Agung,
Gento jadi melengak kaget. Tapi tak lama kemu-
dian dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Tak kusangka aku akan berhadapan den-
gan tulang belulang rongsokan begini rupa." kata Gento "Eeh, kau tadi bertanya
apa" Tentang Tabib Edan jika tak salah aku mendengar. Hubungan
ku dengan tabib itu sebenarnya tidak ubahnya
seperti hubungan kucing dengan anjing. Aku kuc-
ing dia anjingnya. Sedangkan mengenai pukulan
itu memang aku dapat warisan darinya. Kau
punya hubungan apa pula dengan Tabib Setan
itu" Apakah dia masih terhitung saudaramu.
Atau kau ingin agar tabib itu mengobatimu hing-
ga tulang-tulangmu jadi gemuk" Ha ha ha."
"Aku tidak punya hubungan apapun den-
gan bangsat gila itu. Malah dia yang membuat di-
riku jadi begini rupa. Jika bertemu aku pasti
akan membunuhnya. Kebetulan sekali kau men-
gaku murid tabib edan itu. Jadi kalaupun saat ini aku tidak dapat bertemu
dengannya, kurasa dengan membunuhpun sudah menjadi kepuasan ba-
giku!" dengus Yang Agung.
"Ha ha ha. Tulang rongsokan, mungkin apa
yang kau katakan itu hanya mimpi belaka. Kau
harus tahu disekitar sini banyak serigala berke-
liaran. Aku punya satu rencana bagus untukmu!"
ujar Gento. Belum lagi dia sempat melanjutkan
ucapannya, Yang Agung yang sebenarnya me-
mang tidak mengerti akan maksud ucapan pemu-
da itu tanpa banyak bicara lagi segera berkelebat ke arah lawannya. Serangkaian
serangan ganas dilancarkannya, sehingga setiap tangan tulang itu menyambar deru angin yang
ditimbulkannya membuat Gento jadi terhuyung ke belakang. Be-
tapapun ganasnya serangan itu namun tak satu-
pun serangan lawan mengenai tubuh Gento. Den-
gan gerakan terhuyung-huyung, dan jemari dira-
patkan seperti tangan congcorang pemuda ini da-
pat menghindari setiap serangan yang datang.
Melihat serangan ganasnya selalu dapat
dihindari oleh lawannya, maka Yang Agung jadi
penasaran. Dia lalu merobah jurus serangannya.
Jika pertama tadi dia mengandalkan kedua tan-
gannya, maka sekarang Yang Agung juga pergu-
nakan kaki tulangnya. Mendapat serangan gencar
sedemikian rupa, maka Gento yang ketika itu
menggunakan jurus Congcorang Mabuk hanya
dalam waktu singkat mulai terdesak mundur.
"Huup...!"
Gento berkelit ke samping ketika satu ten-
dangan melesat menghantam pinggangnya. Ten-
dangan luput, tapi tangan tulang Yang Agung
meneruskannya dengan serangan susulan.
Dess! Satu pukulan mendera di bagian dada
membuat pemuda ini jatuh terjengkang dengan
mulut menyemburkan darah. Dwi Kemala Hijau
yang dalam keadaan terluka menjadi cemas meli-
hat pemuda. "Gento... hantam di bagian rongga ma-
tanya!" teriak gadis itu memberi aba-aba.
Walaupun pemuda gondrong ini menden-
gar teriakan Dwi Kemala Hijau, tapi dia tidak menanggapi. Apalagi saat itu lawan
memburunya sambil melepaskan satu tendangan ke perut pe-
muda itu. Murid si gendut Gentong Ketawa ini lang-
sung gulingkan diri ke samping. Tendangan lu-
put, terus menderu dan menghantam semak be-
lukar di belakang Gento.
Wuuus! Byaaaaar! Semak belukar rambas gosong, seperti di-
terabas pedang yang menyala. Lagi-lagi Yang
Agung dibuat tercengang melihat serangannya
gagal mengenai sasaran. Mempergunakan kesem-
patan itu, Gento yang sudah bangkit berdiri langsung melesat ke depan. Satu
tangannya dihan-
tamkan ke bagian tengkorak kepala, sedangkan
tangan yang satunya lagi berkelebat ke bagian
kantong jubah. Semua apa yang dilakukan Gento
ini berlangsung sangat cepat dan mustahil dapat
dilakukan oleh seorang pendekar biasa. Mendapat
serangan seperti itu, Yang Agung menyangka tan-
gan lawan hendak menghantam bagian rongga
matanya. Sehingga dia cepat menghindar dengan
menarik kepala ke belakang. Dia lupa akan mak-
sud tujuan Gento yang sebenarnya. Gento sendiri
kemudian melompat mundur sambil masukkan
sesuatu yang diambilnya dari jubah lawan ke da-
lam kantung celana hitamnya.
"Iblis Berjubah Merah!" hardik si pemuda dengan bibir menyunggingkan senyum.
"Nama serta julukanmu bagus amat. Tapi aku lebih suka
memanggilmu tulang rongsokan santapan seriga-
la. Jika kau bermaksud melampiaskan dendam-
mu pada Tabib Setan, mengapa kau tidak cepat
membunuhku" Ha ha ha!"
"Hati-hati kau bicara, kau tak mungkin
menghancurkannya bila bulan di atas sana masih
menampakkan diri." satu suara seperti ngiangan
nyamuk terdengar ditelinga Gento. Tak perlu me-
noleh, murid si gendut ini tahu siapa yang bicara.
Pasti Dwi Kemala Hijau. Tanpa sadar Gento men-
dongak ke langit, saat itu dia melihat awan putih berarak bergerak mendekati
bulan. Sekali lagi
Gento Tersenyum
"Tak usah menunggu bulan tertutup awan.
Aku punya rencana lain untuknya!" batin Gento dalam hati.
Di depannya sana Yang Agung ternyata
terpancing oleh ucapan Gento. Sambil keluarkan
suara menggerung dia berteriak menggeledek.
"Bocah keparat, rupanya kau ingin agar aku cepat-cepat mengirimmu ke neraka"
Baiklah kein- ginanmu itu segera kukabulkan!" Usai bicara, sepasang tangan tulang Yang Agung
diputar sebat hingga menimbulkan suara angin menderu diser-
tai berkiblatnya hawa dingin yang amat sangat.
Melihat sambaran angin yang ditimbulkannya,
Gento sadar, lawan mempergunakan pukulannya
yang paling berbahaya disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, itulah sebabnya
dia tak mau berla-ku ayal. Tanpa fikir panjang pemuda itu langsung persiapkan
dua pukulan sekaligus.
Tangan kiri melepaskan pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis, sedangkan di tangan kanan
dia siapkan pukulan Selaksa Duka. Di depan sa-
na lawan berkelebat sambil hantamkan kedua
tangan sekaligus, Gento berteriak keras, lalu melompat ke depan, tangan didorong
ke depan. Tan- gan kiri memancarkan cahaya merah hitam ber-
hawa dingin, sedangkan dari tangan kanan men-
deru cahaya seputih perak berhawa panas luar
biasa. Hawa panas dan hawa dingin memenuhi
udara di sekitar tempat terjadinya perkelahian
hebat dan seru ini hingga membuat Dwi Kemala
Hijau yang berada di luar kalangan pertempuran
jadi menggigil.
Benturan keraspun tak dapat dihindari la-
gi. Suara jeritan dari kedua belah pihak yang sa-ma-sama terpelanting ke
belakang tenggelam oleh
suara gemuruh ledakan.
Ledakan itu menimbulkan akibat yang
sangat mengerikan sekali. Semak belukar diseke-
lilingnya hancur dan hangus. Pohon-pohon ber-
tumbangan, tanah dan batu berhamburan. Di ba-
lik rerumputan yang hangus Gento terkapar. Na-
fas megap-megap, tubuhnya laksana beku. Dari
sudut bibirnya darah kental menetes. Sungguh-
pun rasa sakit mendera di sekujur tubuhnya,
pemuda ini masih berusaha duduk. Ketika batu
dan debu yang bertaburan di udara lenyap, maka
pada saat itulah Gento melihat Yang Agung me-
langkah ke arahnya dengan langkah mengundang
maut. Gento jadi tercekat, tak percaya seakan
Yang Agung tidak mengalami akibat apapun.
Hanya tulang tangan kirinya saja yang tanggal.
"Setan.... bagaimana dia bisa tetap berta-
han. Padahal akibat benturan tadi sudah mem-
buat tubuhku seperti tercerai berai. Edan...
mungkin sekaranglah saatnya!" berkata begitu
Gento telan pil mujarab pemberian Tabib Setan.
Setelah menelan pil itu dadanya terasa panas se-
perti terbakar. Tapi tak lama kemudian sekujur
tubuhnya terasa sejuk dan menjadi segar kemba-
li. Tak menunggu lebih lama murid Gentong
Ketawa ini keluarkan suara teriakan keras.
Tidak lama setelah itu tanpa fikir panjang
lagi Gento segera himpun tenaga dan menyalur-
kannya ke arah kedua belah tangannya. Tangan
itu kemudian bergetar dan berubah memutih
sampai ke bagian pangkal lengan. Selanjutnya
dengan kecepatan laksana kilat Gento menyerbu
ke depan, dua tangan diarahkan ke bagian dada.
Serangan ini sebenarnya hanya tipuan saja kare-
na begitu tangannya yang tinggal hanya bagian
sebelah kanan itu menangkis, maka dua tangan
Gento segera dibelokkan ke atas ke arah dua
buah rongga mata lawannya.
Braaaak! Buuum! Terdengar suara tengkorak kepala berderak
disertai dengan ledakan menggeledek. Sosok Yang
Agung yang bagian tubuhnya terdiri dari tulang
belulang itu berpentalan ke seluruh penjuru arah.
Bagian kepala yang meledak hancur bertaburan
dikobari api. Sedangkan jubahnya terlepas me-
layang ditiup angin entah kemana. Gento menarik
nafas, dengan tubuh termiring-miring dia berlari mendekati Dwi Kemala Hijau. Si
gadis yang sedang terluka langsung dibawanya pergi menjauh
dari tempat itu.
10 Di satu lapangan kecil Gento Guyon henti-
kan larinya. Nafas mengengah tapi tubuhnya yang
terluka sudah tidak terasa sakit lagi akibat obat mujarab pemberian Tabib Setan
yang mempunyai daya sembuh yang sangat kuat sekali. "Hebat ju-ga tabib itu, dia mewarisi aku
obat yang bentuk-
nya seperti tahi kambing, tapi agak bau pesing.
Boleh jadi salah satu campuran ramuannya air
kencing tabib itu sendiri. Gila! Tapi walau bagaimanapun aku harus berterima
kasih." fikir Gento sambil gelengkan kepala dan tersenyum sendiri.
Di bawah sebatang pohon di pinggir lapan-
gan pemuda ini kemudian menurunkan Dwi Ke-
mala Hijau. Diam-diam ketika berada dalam pon-
dongan si pemuda rupanya si gadis perhatikan
Gento yang tersenyum-senyum seperti orang ku-
rang waras, hingga membuatnya jadi tidak enak
sendiri. "Gento apa yang kau tertawakan?" tanya Dwi Kemala Hijau sambil memijit-mijit
perutnya. Si pemuda gelengkan kepala. "Aku hanya
ingat seorang sahabat, musuh juga guruku. Dia
memberiku obat hebat hingga luka dalam yang ku
derita dapat sembuh dengan cepat." jawab pemuda itu. Dia lalu menceritakan
tentang hubungan-
nya dengan Tabib Setan. Mengenai riwayat Tabib
Setan dapat diikuti dalam Episode Tabib Setan.
"Sungguh dia manusia aneh, tapi memiliki
ilmu pengobatan yang sangat luar biasa. Obat
yang kau berikan padaku juga sudah begitu ba-
nyak membantu memulihkan kesehatan ku." ujar si gadis dengan tatapan penuh rasa
terima kasih. "Oh ya, mengapa kau tadi membawa aku pergi, padahal kita belum tahu apakah Yang
Agung benar-benar hancur atau malah sebaliknya dia tetap hidup dengan
kekuatannya yang baru!"
"Aku yakin dia tak dapat hidup lagi. Lagi-
pula banyak sekali kawanan serigala kelaparan
berkeliaran di sekitar tempat itu. Karena itu aku terpaksa membawamu pergi
karena aku sangat
khawatir sekali, kawanan serigala itu akan me-
nyerang kita begitu mereka selesai menyantap se-
luruh tulang-tulang polos tanpa darah dan dag-
ing. Ha ha ha." Gento menjawab sambil tertawa terkekeh.
Ucapan Gento itu membuat Dwi Kemala
Hijau jadi tercekat. Semula dia menyangka Gento
tak sanggup menghadapi lawannya, tapi secara
tak terduga ternyata pemuda ini mampu meng-
hancurkan Yang Agung.
"Bagaimana keadaanmu sendiri Gento?"
tanya si gadis. "Rasanya aku hampir tak percaya kau dapat melakukannya." kata
Dwi Kemala Tawa pemuda itu makin bertambah lebar.
Setelah tawanya terhenti dia berkata. "Segala sesuatunya memang sangat
kusangsikan, seperti
katamu aku percaya dia pasti memiliki satu ke-
lemahan. Maka aku akhirnya menyatukan tenaga,
menggabungkan beberapa pukulan, lalu kuhan-
tam bagian titik kelemahan Yang Agung." jawab Gento. Diam-diam gadis bidadari
itu semakin merasa kagum melihat kelebihan serta kecerdasan
yang dimiliki Gento. Sekejap dia pandangi pemu-
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
da itu. Si gadis kemudian berkata dalam hati.
"Terkadang dia suka bertingkah konyol, sering ja-hil, tapi aku sama sekali tak
pernah menyangka
dibalik ulahnya dia memiliki kesaktian tinggi!"
"Adakah kau memikirkan sesuatu" Apa
mengenai racun yang mendekam dalam tubuh-
mu, atau kau memikirkan diriku?" tanya Gento sambil tertawa.
Diingatkan akan racun yang berada dalam
tubuhnya, wajah Dwi Kemala Hijau mendadak ja-
di berubah. "Celaka, obat pemunah racun itu ada pada
Yang Agung di bagian kantong jubahnya. Bagai-
mana ini kita harus mengambilnya!" kata si gadis bingung.
Tenang saja Gento menjawab. "Jubah itu
kulihat entah terbang kemana, kalau mau dicari
tak tahu kemana aku harus mencarinya. Tapi kau
tak usah cemas karena aku punya obat yang
lain.!" "Obat pemunah, obat penawar darimana kau mendapatkannya?" tanya si gadis
heran. Gento Guyon merogoh saku celananya. La-
lu dari dalam celana dia keluarkan sesuatu yang
diambilnya dari jubah Yang Agung. Ketika telapak tangan dibuka sepasang mata
Gento terbelalak
lebar. "Mustahil, tak dapat kupercaya. Bagaimana obat bisa berubah menjadi
gigi"!" desis si pemuda bingung sekaligus kaget. "Ini pasti giginya Yang agung
bisa berada di dalam kantong jubah?" Tak percaya Gento dengan mempergunakan
tangan kiri merogoh kantung celananya lagi. Dia pun jadi tersenyum dan menarik nafas
lega ketika dia menemukan sebuah tabung kecil dari bambu. Gigi-
gigi yang ada ditelapak tangan kanannya lang-
sung dibuang. Tapi Dwi Kemala Hijau langsung
memungut tiga dari gigi yang dicampakkan.
Terheran-heran Gento ajukan pertanyaan.
"Buat apa kau ambil giginya iblis itu" Ini obat pemunah racun yang sebenarnya!"
kata Gento, la-lu dia angsurkan tangannya serahkan tabung
bambu sebesar telunjuk pada si gadis. Dwi Kema-
la Hijau gelengkan kepala.
Sambil tersenyum dan telan dua benda
yang bentuknya seperti gigi si gadis menjawab.
"Obat yang tersimpan dalam tabung bambu itu sesungguhnya adalah racun yang
mematikan. Aku tahu bagaimana akal licik Yang Agung. Dia
sengaja membuat obat dengan bentuk sedemikian
rupa untuk mengecoh orang. Sesuatu yang kita
anggap sebagai barang tak berguna, itulah obat
yang kita cari, begitu juga sebaliknya." kata Dwi Kemala Hijau.
Gento terdiam, seakan tak percaya dengan
penjelasan si gadis bidadari. Pemuda ini kemu-
dian menatap seraut wajah yang memiliki kecan-
tikan sangat luar biasa itu. Tapi Gento kemudian berjingrak kaget sambil
berseru. "Kemala, wajahmu!" "Hah, ada apa dengan wajahku?" tanya Dwi Kemala
Hijau. Saat itu dia merasakan tubuhnya
terasa dingin. Semakin lama hawa dingin menye-
rangnya dengan hebat.
"Kemala... kau... jangan-jangan kau salah
memakan obat"!" seru Gento ketika melihat tubuh Dwi Kemala Hijau tergelimpang
meringkuk seperti udang kering.
Dengan tubuh menggigil dan gigi bergeme-
letukan si gadis masih berusaha menjawab. "Yang terjadi ini adalah reaksi antara
racun dan obat pemunahnya. Aku... aku tak akan apa-apa...!"
Walaupun Dwi Kemala Hijau sudah beru-
saha menjelaskan, namun Gento masih tetap tak
percaya. Apalagi ketika melihat tubuh si gadis
mulai kejang-kejang. Kini tumbuh dalam fikiran-
nya untuk membuka tabung bambu dan mema-
sukkan obat yang ada didalamnya ke dalam mu-
lut si gadis. Tapi dia meragu, andai isi tabung
memang obat pemunah racun, semuanya tidak
akan menjadi persoalan. Tapi jika racun memati-
kan sebagaimana yang dikatakan gadis bidadari
itu, tentu akibatnya semakin fatal bagi gadis itu sendiri.
Selagi Gento diselimuti rasa bingung untuk
menentukan keputusan di saat yang sama ter-
dengar suara tawa menggeledek bergema di uda-
ra. Suara tawa kemudian lenyap, selanjutnya ter-
dengar pula suara orang berkata. "Jika kau bingung memikirkan nasib gadisnya,
sedang yang sa-
tunya lagi menggelepar di atas tanah. Dari pada
bingung mengapa tidak diserahkan saja gadis se-
cantik bidadari itu kepadaku" Gadis secantik dia, jangankan untuk mengobati,
membawanya ke sorga penuh nikmat aku sendiri sanggup. Ha ha
ha!" "Sialan, siapa lagi kadal buntung yang berani mencari penyakit itu?" rutuk
Gento dalam hati. Pemuda ini lalu kitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru
arah. Sementara itu sa-
tu perubahan besar telah terjadi pada diri Dwi
Kemala Hijau. Sekujur tubuhnya yang berwarna
hijau kini kembali ke warna aslinya. Putih halus dan berkilauan. Bukan hanya itu
saja, wajahnya yang cantik mempesona kini semakin bertambah
memikat. Karena orang yang tertawa dan bicara tadi
tidak kunjung munculkan diri, maka Gento kem-
bali pandangi Dwi Kemala Hijau. Gadis itu ternya-ta sudah tidak merintih-rintih
seperti tadi, yang membuatnya terkejut sekujur tubuhnya yang hijau sekarang
telah berubah menjadi putih.
"Aku tak percaya jika tidak melihatnya
sendiri." batin murid si gendut Gentong Ketawa.
Baru saja dia hendak ajukan satu pertanyaan.
Pada saat itulah dia melihat satu bayangan merah berkelebat ke arahnya.
Hanya dalam waktu yang singkat di depan
Gento kini telah berdiri seorang pemuda berpa-
kaian merah beralis tebal. Rambutnya yang gon-
drong diikat sehelai kain berwarna merah. Di ba-
gian dada bajunya terdapat sulaman bergambar
bumi dengan satu lintasan putih berkelok-kelok
seperti kilat yang menyambar. Di punggung ba-
junya juga terdapat gambar yang sama hanya
ukuran dan bentuknya lebih besar.
Gento Guyon sejenak lama memandang ke
depan. Saat itu cahaya bulan cukup terang. Se-
hingga Gento dapat melihat wajah pemuda itu
dengan jelas. Dia masih begitu muda, usianya
mungkin terpaut beberapa tahun dari Gento. Wa-
jahnya tampan, tapi menyimpan kelicikan dan
keangkuhan. Memandang pemuda itu cukup lama, Gen-
to jadi ingat dengan Iblis Racun Hijau. Ciri-ciri yang sama pernah dijelaskan
orang tua itu ketika dia dan gurunya bertemu dengan Iblis Racun Hijau di telaga
dekat kediaman manusia beracun
itu. "Mungkin inilah orangnya yang bernama Lira Watu Sasangka, bergelar Panji
Anom Penggetar Jagad alias Baginda Begawan Muda. Dia begi-
tu bernafsu untuk mendapatkan senjata Bintang
Penebar Petaka. Apakah senjata itu kini telah di-dapatkannya?" fikir Gento.
"Yang satu bertelanjang dada, rambut gon-
drong, wajah konyol. Orang dengan ciri-ciri seper-ti manusia edan ini aku tak
mengenalnya. Kalau
yang satunya lagi pastilah Dwi Kemala Hijau. Tapi mengapa wajah dan kulit
tubuhnya kini berubah
putih" Jangan-jangan guru salah dalam memberi
penjelasan tentang penghuni Kuil Setan ini."
membatin pemuda berpakaian merah ini dalam
hati. "Sudah puas kau memandang wajahku
yang cakep ini" Kalau sudah puas katakan apa
kepentinganmu datang kesini?" tanya Gento.
Si pemuda tersenyum mengejek. Dia ke-
mudian kembali alihkan pandangannya pada Dwi
Kemala Hijau yang kini sudah bangkit dan duduk
disamping Gento. Melihat sikap orang yang acuh
tak acuh bahkan terkesan memandang sebelah
mata Gento pun jadi kesal.
"Setan... pertanyaanku kutunjukkan pa-
damu. Rupanya kau tertarik pada gadis saha-
batku ini?" dengus Gento bersungut-sungut. Dia kemudian menambahkan. "Jika kau
tertarik padanya, aku jamin sahabatku pasti mau... mau
muntah melihatmu" ha ha ha."
Sepasang mata yang penuh keangkuhan
dan angkara murka ini nampak berkilat tajam.
Mulut terkatup rapat, tapi Gento dapat mengeta-
hui kalau sesungguhnya si baju merah menjadi
tersinggung mendengar ucapannya.
"Pemuda edan salah kaprah, seribu gadis
cantik seperti dia dengan mudah dapat kucari.
Siapa bilang aku tertarik padanya. Jikapun aku
punya hasrat mungkin hanya sekedar untuk ber-
senang-senang. Setelah aku bosan pasti dia ku-
bunuh!" sahut si pemuda yang bukan lain adalah Lira Watu Sasangka alias Panji
Anom Penggetar Jagad. Tawa Gento makin melebar. Dia melirik ke
arah Dwi Kemala Hijau alias Bidadari Biru, sete-
lah itu baru alihkan perhatiannya pada Panji
Anom. Dengan senyum bermain dibibir seakan
tak menghiraukan ucapan Panji Anom mulutnya
berucap. "Aku percaya dengan semua ucapanmu.
Orang dengan tampang sepertimu tentu dengan
mudah mendapatkan perempuan, tapi aku jamin
bukan perempuan yang baik tapi pelacur mura-
han. Tampangmu saja sudah sama persis dengan
hidung belang.!"
Mengelam wajah pemuda itu mendengar
ucapan Gento. Bola matanya mendelik besar se-
perti hendak melompat keluar. Hawa amarah te-
lah membuat dada si pemuda terasa sesak. Hing-
ga tubuhnya jadi bergetar. Dengan suara lantang
dia menghardik. "Pemuda edan sinting, aku Panji Anom paling pantang dihina. Agar
kau tahu saat ini aku tidak mencari perempuan...!"
"Mungkin kau mencari nenek tua yang su-
dah bau tanah, begitu!" celetuk Gento sengaja membuat pemuda itu jadi marah.
"Keparat terkutuk. Kau buka telingamu,
pasang pendengaran dengan baik. Saat ini aku
sedang mencari senjata Bintang Penebar Petaka.!"
menerangkan Panji Anom dengan perasaan geram
sekali. Mendengar ucapan Panji Anom Dwi Kemala
Hijau maupun Gento Guyon diam-diam jadi ka-
get. Tapi Gento sendiri malah manggut-manggut.
"Oh rupanya kau mencari senjata itu, aku
tahu dimana senjata yang kau cari itu berada."
"Kalau kau tahu lekas kau katakan pada
baginda mu ini!" perintah Panji Anom tak sabar.
"Konon menurut yang kudengar senjata itu
kini berada di satu tempat penyimpanan di nera-
ka. Jika kau mau aku bersedia mengantarmu ke
neraka. Hak hak ha!"
"Pemuda bangsat terkutuklah dirimu!" ma-ki Panji Anom semakin gusar bukan main.
Tak menunggu lebih lama Panji Anom langsung ber-
niat melakukan serangkaian serangan ganas ke
arah Gento. Namun pada waktu itu terdengar sa-
tu suara dari sebelah kirinya. "Kau inginkan senjata Bintang Penebar Bencana,
Panji Anom" Sen-
jata itu sampai kini masih berada di tanganku."
Kemudian ada suara lain menimpali. "Baginda kenapa jadi bingung" Kami mencari
baginda kemana-mana untuk serahkan senjata. Tak dinyana
kiranya Baginda juga sedang mencari kami. Ak-
hirnya kita jadi seperti orang linglung karena sa-ma sibuk mencari-cari. Ha ha
ha!" Jika Gento tak mengenal suara orang yang
bicara pertama tadi, sebaliknya dia tentu saja
mengenali orang yang bicara kemudian. Pemuda
ini tersenyum. "Gendut... kau pergi kemana saja" Apa si-
buk merubuhkan Kuil Setan. Atau malah gen-
tayangan mencari janda. Ha ha ha."
"Murid edan bicara seenaknya sendiri. Satu
janda saja sulit kucari apalagi, apalagi seribu gadis seperti yang dikatakan
murid si kakek lum-
puh Begawan Panji Kwalat. Ha ha ha."
"Mungkin yang dimaksudkannya kambing
perawan." kata suara yang bicara pertama tadi.
"Tak kusangka dia muridnya Begawan Pan-
ji Keparat...!" sahut Gento.
"Kau salah sebut bocah edan. Kwalat... bu-
kan keparat...!"
"Apa saja bagiku sama saja. Eeh... gendut
apakah kau tak mau kemari" Terus mendekam
disitu seperti ayam mau bertelur. Atau kau se-
dang memadu kasih dengan insan sejenis" Ha ha
ha!" "Bocah edan, mulutmu perlu ku guyur dengan air kencingku!" damprat suara
itu. Walau mulutnya mendamprat namun dia tetap tertawa
hehahehe. Sedetik kemudian dari sebelah kiri
Panji Anom berkelebat dua sosok bayangan. So-
sok yang satu dan berada paling depan sekujur
tubuhnya seperti bercahaya. Sedangkan kedua
tangannya lebih terang dari bagian badan. Se-
dangkan sosok yang berada di belakangnya ber-
badan tinggi besar bukan main. Walaupun tu-
buhnya besar luar biasa, namun ketika jejakkan
kaki di samping pemuda muka monyet yang ba-
gian dalam tubuhnya terpampang dengan jelas,
sama sekali kakinya tidak menimbulkan suara.
Jika Gento dan Dwi Kemala Hijau terheran-
heran juga merasa geli melihat pemuda berbadan
sebening kaca ini. Sebaliknya Panji Anom yang
mengenali pemuda itu sempat berjingkrak kaget
dan melompat mundur. Mulut ternganga mata di-
pentang. Bibirnya mendesis menggumamkan ka-
ta-kata yang tidak jelas.
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sulit kupercaya, bagaimana manusia lu-
tung itu kini telah berubah seperti itu. Beberapa hari yang lalu kulitnya hitam
legam. Sekarang bagaimana bisa menjadi putih sebening kaca?" fikir Panji Anom.
Dia lalu alihkan perhatiannya pada si gendut. "Gendut besar ini memanggil murid
pada pemuda gondrong edan itu. Jadi mereka murid
dan guru. Selain tubuh, kulihat mereka banyak
memiliki persamaan. Gurunya sinting, muridnya
edan. Sungguh ini merupakan suatu kenyataan
yang menyedihkan!" batin Panji Anom disertai seringai sinis.
11 Di depan sana seakan tak menghiraukan
Panji Anom lagi si gendut Gentong Ketawa ajukan
satu pertanyaan pada sang murid. "Gento, bagaimana kau bisa mendapatkan gadis
cantik ini?"
Yang ditanya mesem-mesem sambil men-
gusap keningnya yang keringatan. Sebentar dia
melirik pada Dwi Kemala Hijau, sebelah mata di-
kedipkan satu kali baru kemudian menjawab.
"Semua ini anugerah. Yang semula musuh bisa kujadikan teman, mana cantik lagi.
Dan kau sen- diri bagaimana bisa bertemu dengan pemuda ber-
badan bagus seperti ini, ndut" Tubuhnya bening
isi bagian dalam kelihatan. Rupanya peruntun-
ganmu sedang bagus, ya"! Ha ha ha."
"Ha ha ha, kalau kau melihat sebelum ini.
Rasanya singkong bakar masih kalah gosong." jawab Gentong Ketawa.
Setelah Gento memperkenalkan Dwi Kema-
la Hijau pada gurunya, kakek Gentong Ketawa
berkata. "Peruntunganmu rupanya sedang bagus.
Bisa berkenalan dengan gadis cantik dan seorang
bidadari pula. Tidak seperti aku!" kata si kakek bersungut-sungut.
"Ya, peruntunganmu buruk sekali orang
tua. Apalagi jika kau tak mau menyerahkan sen-
jata itu padaku, bukan hanya kau dan muka ku-
nyuk itu saja yang akan kubunuh. Tapi muridmu
juga gadis itu tak akan lolos dari kematian!" Panji Anom yang sedari tadi hanya
diam saja kini ikut
bicara. Kini Gento dan Dwi Kemala Hijau meman-
dang ke arah Gentong Ketawa. Merasa diperhati-
kan seperti itu, si kakek jadi salah tingkah. "Senjata Bintang Penebar Petaka
bukan ada padaku,
tapi dia yang memegangnya." sambil berkata begitu dia menunjuk ke arah Memedi
Santap Segala. "Guru, bukan aku menuduh mu." ujar
Gento. "Tapi ketahuilah senjata itu milik Kayangan. Bidadari Biru ditugaskan
untuk mengambil-
nya kembali." tegas si pemuda. Lalu dia menceritakan tentang segala sesuatunya
yang terjadi pa-
da Dwi Kemala Hijau. Begitu Gento selesai menu-
turkan segala sesuatunya, maka Memedi Santap
Segala memberi jawaban.
"Jika senjata ini milik Kayangan dan kau
ditugaskan untuk mengambilnya, maka sekarang
juga aku bersedia menyerahkannya padamu. Aku
tidak kemaruk dengan segala macam senjata!" ka-ta Memedi Santap Segala. Selesai
bicara pemuda ini lalu mengeluarkan senjata dari balik salah sa-tu kantong perbekalannya.
Begitu senjata berada
di tangannya, maka terlihatlah sebuah benda
berbentuk bintang empat sudut dengan delapan
sisi tajam, sementara di tengah-tengah bintang
itu terdapat sebuah lubang bulat. Selagi Gento
dan gurunya dibuat tercengang melihat senjata
yang diserahkan Memedi Santap Segala pada Dwi
Kemala Hijau, maka pada saat itu pula terdengar
satu teriakan. "Senjata itu harus menjadi milikku. Dia tak boleh berada di tangan siapapun!"
Bersamaan dengan itu pula terdengar suara deru angin dahsyat yang langsung
menyambar ke arah si gadis
bidadari. Menyadari ada serangan dahsyat men-
dera dirinya, Dwi Kemala Hijau yang telah meme-
gang senjata langsung melompat mundur sela-
matkan diri. Sedangkan Memedi Santap Segala ja-
tuhkan diri sambil bergulingan untuk menghin-
dari pukulan orang.
Gentong Ketawa dan muridnya walaupun
sempat kaget, namun cepat memandang ke bela-
kang. Begitu mengetahui yang menyerang Dwi
Kemala Hijau tadi bukan lain adalah Panji Anom,
maka Gento berseru. "Manusia tidak bermalu, ingin mengangkangi milik orang.
Lebih baik kau bawa pulang oleh-oleh dariku ini!" berkata begitu Gento hantamkan tangan
kanannya melepaskan
pukulan Iblis Tertawa Dewa Menangis.
"Aku yang tua juga masih ingin berbaik ha-
ti untuk menambahkan bingkisan untukmu!"
Dengan sebat sambil tertawa-tawa, Gentong Ke-
tawa hantamkan dua tangannya yang besar seka-
ligus ke arah Panji Anom.
Sinar merah panas dan hawa dingin men-
deru di udara. Pukulan yang dilepaskan Gento sa-
ja sudah menimbulkan akibat yang sangat luar
biasa. Apalagi gurunya ikut pula melepaskan pu-
kulan mautnya. Akibat yang ditimbulkannya ten-
tu sangat hebat sekali. Angin menderu laksana
gemuruh suara ombak yang menyerang dari dua
arah menggulung Panji Anom hingga membuat
pemuda itu yang telah mencoba melepaskan pu-
kulan untuk menangkis serangan lawan jadi ja-
tuh terpelanting. Panji Anom terkapar, pakaian-
nya di bagian dada dan juga bagian celananya ro-
bek besar, Pemuda itu merasakan dadanya ber-
denyut hebat. Tapi tanpa menghiraukan bagian
kaki dan dadanya yang sakit luar biasa dia cepat bangkit berdiri. Wajah murid
Begawan Panji Kwalat ini nampak merah kelam. Belum lagi dia sem-
pat bicara. Dwi Kemala Hijau sudah berucap.
"Menghadapi diriku, mungkin aku bukan tandingan mu. Tapi kudengar kau
menginginkan senjata
ini. Karena itu kau harus berusaha menda-
patkannya sendiri!" seru si gadis. Dia kemudian berpaling pada Gento, juga
gurunya si gendut
Gentong Ketawa dan Memedi Santap Segala. "Paman, Gento dan kau si badan kaca.
Sebaiknya kalian menyingkir di tempat yang aman. Dia in-
ginkan senjata ini, karena itu dia berurusan langsung dengan diriku!"
"Ha ha ha! Aku tak keberatan menonton
pertunjukan gratis." kata Gentong Ketawa sambil tertawa-tawa dia melompat
mundur, lalu duduk
menjelepok di pinggir lapangan.
"Aku sependapat dengan guruku. Tapi kau
harus hati-hati, Dwi Kemala." kata Gento pula.
Lalu dia ikutan duduk seperti gurunya, tapi tetap bersikap waspada.
"Aku lebih baik berdiri disini. Terlalu lama duduk pantatku bisa kapalan."
celetuk Memedi Santap Segala, hingga membuat Gento dan gurunya tak kuasa menahan
tawa. Di depan sana, si gadis telah lintangkan
senjata Bintang Penebar Bencana di depan dada.
Bibir gadis ini berkemak-kemik, seakan membaca
mantra. Beberapa saat setelah itu, senjata di tangannya terlihat memancarkan
sinar merah redup
disertai membersitnya hawa dingin yang bukan
alang kepalang.
"Siapapun dirimu, Panji Anom. Kau pasti
tak bakal sanggup menghadapi senjata ini,
meskipun kau memiliki ilmu setinggi langit." teriak Dwi Kemala Hijau.
Panji Anom Penggetar Jagad sunggingkan
senyum sinis. "Aku adalah orang yang tidak kena digertak, tidak pula kena
ditakut-takuti!" dengus Panji Anom. Begitu selesai bicara pemuda ini pan-tangkan
kedua tangannya lurus ke depan. Setelah
itu tubuhnya melesat ke depan. Dalam satu se-
rangan kilat ini, Panji Anom bermaksud meram-
pas senjata di tangan si gadis. Tapi sejarak dua tindak lagi tangan si pemuda
hampir menyentuh
senjata Bintang Penebar Petaka. Tiba-tiba saja
seakan ada satu kekuatan dahsyat yang keluar
dari senjata itu menyambar ke arah Panji Anom,
mendorongnya dengan satu tenaga yang sangat
besar luar biasa.
Bruuk! Panji Anom tak kuasa mengendalikan diri
menjaga keseimbangan, tubuhnya jatuh terbant-
ing. Gentong Ketawa tertawa mengekeh. Sedang-
kan Gentong Guyon langsung menyeletuk. "Ho-
hoho, senjata belum diambil kok sudah jatuh du-
luan. Memalukan!"
Mendengar ejekan Gento, kedua pipi Panji
Anom menggembung besar. Darahnya serasa
menggelegak. Dia segera bangkit berdiri, lepaskan satu pukulan ke arah Gento,
lalu laksana kilat
tubuhnya melesat kembali ke arah Dwi Kemala
Hijau. Di sebelah sana murid dan guru bergulin-
gan dengan arah berlawanan untuk selamatkan
diri. Di tempat mereka duduk tadi terjadi satu ledakan menggelegar. Ketika murid
dan guru ini kembali duduk dalam jarak terpisah jauh, mereka
jadi melengak kaget begitu melihat bekas ledakan menimbulkan satu lubang besar.
"Senjata harus menjadi milikku!" teriak Panji Anom. Ketika itu Panji Anom sudah
begitu dekat dengan lawannya. Tapi tanpa terduga Dwi
Kemala Hijau putar senjata itu di bagian tengah-
nya yang berlubang, lalu melemparkannya di
udara. Begitu terlempar senjata Bintang Penebar
Petaka langsung berputar laksana baling-baling,
mengeluarkan suara bergemuruh hebat disertai
deru hawa panas yang membuat tempat itu lak-
sana terbakar dilamun api.
Panji Anom terkesiap melihat kenyataan
ini, apalagi ketika melihat senjata itu mendadak menukik ke bawah dan menyerang
dirinya laksana seekor elang yang menyambar.
Tak ada pilihan lain, pemuda ini langsung
jatuhkan diri. Begitu tubuhnya rebah hingga sa-
ma rata dengan tanah, maka dia melepaskan pu-
kulan Kutukan Mendera Bumi. Sinar biru berha-
wa panas berkiblat di udara menghantam senjata
maut yang terus menderu tajam ke arahnya. Satu
letusan disertai berpijarnya bunga api terjadi di udara, hingga membuat suasana
di sekitarnya semakin terang benderang.
Benturan itu ternyata hanya membuat sen-
jata Bintang Penebar Petaka hanya bergetar saja, selanjutnya terus meluncur
menghantam ke arah
perut lawan. "Senjata iblis keparat!" maki Panji Anom.
Diapun kemudian menggulingkan dirinya ke
samping. Tapi tak urung baju di bagian perut pe-
muda itu robek besar terkena sambaran senjata
Kayangan. Sambil memaki, Panji Anom bangkit berdi-
ri. Wajahnya berubah pucat laksana mayat.
Otaknya berfikir keras bagaimana caranya agar
dia dapat menangkap senjata itu tanpa menim-
bulkan petaka bagi dirinya sendiri. Dalam kea-
daan seperti itu dia lalu ingat akan sesuatu. Tan-pa menghiraukan Gento dan
gurunya yang berte-
puk tangan sambil memuji kehebatan senjata
Kayangan, Panji Anom tiba-tiba jejakkan salah
satu kakinya hingga membuat tubuhnya melesat
tinggi di udara. Dalam keadaan seperti itu dia
bermaksud menangkap senjata dari arah atas.
Itulah sebabnya begitu sampai pada satu keting-
gian Panji Anom langsung meluncur ke bawah be-
rusaha menangkap bagian tengah senjata yang
terus berputar mendesing tak ada henti.
Apa yang terjadi kemudian membuat Panji
Anom terkejut. Tak ubahnya seperti memiliki ma-
ta dan perasaan saja senjata tiba-tiba berbalik
arah dan kini bagian sisinya menghadap ke atas
menerabas tangan Panji Anom.
"Jahanam terkutuk!" teriak Panji Anom
yang tangannya hampir saja putus terbabat sen-
jata. Gagal menangkap senjata, dia lakukan gera-
kan berjumpalitan dan jatuhkan diri di atas ta-
nah. Wajahnya seperti bukan wajah lagi. Akan te-
tapi telah berubah sepucat kertas. Belum lagi hilang rasa kagetnya, senjata itu
kini meluncur berputar lalu menderu ke arah Panji Anom. Tak
mau mati konyol. Panji Anom lepaskan pukulan
Prahara Mendera Bumi.
Wuut! Wuuus! Dua tangan langsung dihantamkan ke arah
senjata. Hawa dingin melesat laksana kilat dan
tepat mengenai senjata itu.
Traang! Terdengar suara berdentrang. Senjata
hanya oleng sesaat, lalu kembali meluncur meng-
hantam dada Panji Anom. Karena jaraknya begitu
dekat, sementara pemuda ini sendiri seakan tak
percaya melihat kenyataan yang terjadi. Tak ayal lagi dadanya kena disambar
senjata itu. Craas! Panji Anom menjerit keras, baju di bagian
dada hancur, dadanya terluka cukup dalam, bah-
kan salah satu rusuknya nyaris putus. Sementara
dari arah belakang Bintang Penebar Petaka kem-
bali menderu membabat ke bagian pinggang. Pada
saat seperti itu, dimana dirinya merasa hampir
putus asa karena tak mampu menangkap. senjata
tersebut. Mendadak sontak satu bayangan berke-
lebat menyambar Panji Anom. Demikian cepatnya
hal itu terjadi sampai Gento dan gurunya tak
Gento Guyon 11 Bidadari Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat melakukan sesuatu. Memedi Santap Sega-
la sambil berteriak keras sempat lepaskan salah
satu pukulannya.
"Hendak dibawa kemana dia"!" teriak pe-
muda itu. "Manusia-manusia calon celaka, suatu hari
kalian semua akan mendapat balasan dariku!"
kata satu suara di kejauhan.
Pukulan Memedi Santap Segala hanya
mengenai angin. Di sebelah kanan mereka Dwi
Kemala Hijau gerakkan tangannya ke arah senja-
ta, hingga senjata itu kini berputar menuju ke
arahnya. Tep! Dengan mudah senjata itu dapat ditangkap
kembali oleh si gadis bidadari. Sementara itu
Gento dan si gendut saling pandang. Wajah mere-
ka masih memperlihatkan rasa kagum, tapi juga
kecewa karena Panji Anom berhasil diselamatkan
oleh seseorang.
"Dia merupakan satu momok dan rintan-
gan besar bagimu dimasa yang akan datang!" guman si gendut.
"Seharusnya kita tangkap dan pesiangi tu-
buhnya sejak tadi. Tapi aku sendiri jadi ragu, takut senjata itu malah salah
sasaran dan melumat
habis diriku. Kalau engkau yang jadi korban,
mungkin aku cuma satu hari berduka cita, sete-
lah itu aku buat pesta, pukul beduk pukul gen-
dang. Agar lebih meriah dalam pesta ku gelar aca-ra tarian. Ha ha ha."
"Murid setaaan!" damprat si gendut sambil pelototkan mata dan kepalkan tinjunya.
"Gento, kuucapkan terima kasih besar pa-
da dirimu juga pada gurumu." kata Dwi Kemala
Hijau. "Terlebih-lebih pada Memedi Santap Segala yang mencuri senjata itu dari
tempat penyimpanan di Kuil Setan." kata Gentong Ketawa. Dia lalu menunjuk ke
arah pemuda bertubuh bening. Tapi
yang ditunjuk telah lenyap entah kemana. Sesaat
si gendut mencari-cari. Dia lalu geleng kepala.
"Ah sahabat kita itu agaknya tahu dia, dia
buru-buru pergi sebelum diusir. Ha ha ha." celetuk si gendut sambil tertawa
hingga membuat pe-
rut gendutnya terguncang keras.
"Maafkan guruku ini Dwi Kemala Hijau.
Dia memang begitu, bila di depan gadis suka jadi salah tingkah jadi bicaranya
suka melantur!" ujar si pemuda. Dwi Kemala Hijau tersenyum. "Tidak mengapa,
tanpa kalian dan pemuda tadi tentu
senjata ini sulit kudapatkan. Aku akan mengingat semua itu, mengenangnya dalam
hati sampai akhir hayatku!"
"Eeh, tapi apakah kau akan kembali ke
Kayangan?" tanya Gento dengan perasaan tidak enak dilanda keresahan.
Sekali lagi si gadis tersenyum, hingga
membuat Gento jadi semakin tidak enak. "Aku akan pergi ke suatu tempat. Pada
waktunya aku akan kembali ke Kayangan untuk mengembalikan
senjata ini pada ketua para bidadari." Dwi Kemala Hijau dengan lembut. "Selamat
tinggal Gento, selamat tinggal paman." ujar si gadis. Sebelum pergi dia masih
menyempatkan diri melirik ke arah
Gento. Si pemuda kedipkan matanya.
Sekali berkelebat Dwi Kemala Hijau lenyap
dari pandangan mata. Gento tertegun meman-
dang ke arah lenyapnya si gadis. Satu tangan ke-
mudian menepuk bahunya.
"Dia memang cantik, tapi kurasa tak pan-
tas untukmu karena dirinya adalah seorang bida-
dari." kata Gentong Ketawa seakan mengerti perasaan muridnya.
Gento bukannya terkejut mengetahui si
gendut seolah tahu apa yang ada dalam pera-
saannya, dia tertawa panjang sambil berkelebat
tinggalkan tempat itu. Akan tetapi tawa itu begitu sumbang dan mengandung rasa
kehilangan. "Murid edan, rupanya kau mulai kasma-
ran" Kencing saja belum lempang. Ha ha ha ha."
seru Gentong Ketawa, lalu segera mengejar mu-
ridnya. TAMAT EPISODE SELANJUTNYA :
KI ANJENG LAKNAT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Imbauan Pendekar 9 Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Misteri Rumah Berdarah 2