Pencarian

Bidadari Cadar Putih 1

Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lin-
dungan undang-undang
Joko Sableng telah Terdaftar pada Dept. Kehakiman
R.I. Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
dibawah nomor 012875
Pengarang: ZHAENAL FANANI SATU DARI tempatnya tegak, Iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat serta Ni Luh Padmi sama-sama melihat satu
sosok tubuh yang bukan saja membuat Ratu Pemikat
surutkan langkah satu tindak, namun membuat pe-
rempuan bertubuh sintal ini tekap mulutnya agar se-
ruan kagetnya tidak terdengar.
Walau Ratu Pemikat adalah orang yang paling
tampak terkejut, tapi Ni Luh Padmi tak kalah kaget-
nya. Nenek ini pentangkan mata dengan mulut ter-
kancing. Lalu memandang silih berganti pada Lumba-
lumba dan orang yang baru muncul dengan dada di-
buncah berbagai duga dan tanya. "Apa hubungan pemuda bernama Lumba-lumba dengan
orang itu" Apa-
kah orang itu selalu mengikuti langkahku sejak pertemuan beberapa hari yang
lalu" Atau adakah kehadi-
rannya di sini hanya satu kebetulan"! Tapi.... Bukankah ucapan-ucapan kedua
orang itu hampir mirip"
Mereka berdua seakan tahu siapa adanya orang meski
baru bertemu sekali! Malah ucapan orang itu menjadi
kenyataan.... Jangan-jangan mereka berdua memang
dua sahabat."
Yang bersikap tenang-tenang saja adalah Iblis
Rangkap Jiwa meski sepasang matanya mendelik ang-
ker dengan tubuh sedikit bergetar menindih hawa
amarah menghadapi pukulannya dengan mudah di-
pangkas orang. Namun tiba-tiba paras wajah Iblis
Rangkap Jiwa berubah setelah sesaat melihat seksama
siapa adanya orang yang baru saja membuat pukulan-
nya tersapu amblas. Tulang dahi laki-laki berkepala
gundul Ini bergerak-gerak.
"Melihat ciri-cirinya, jangan-jangan orang ini adalah Hem .. Tapi ciri orang
belum menjamin dialah
orangnya! Lagi pula baru kali ini aku jumpa. Siapa ta-hu apa yang selama ini
kudengar lain dengan kenya-
taan!" Berpikir begitu, Iblis Rangkap Jiwa cepat buka mu-
lut perdengarkan bentakan.
"Orang tak dikenal! Cepat sebutkan diri!"
Mendengar bentakan Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pe-
mikat. dan Ni Luh Padmi serentak sama berpaling pa-
danya. Kedua orang perempuan ini sama merasa sedi-
kit heran. "Apakah dia tidak mengenalnya" Padahal orang itu rasanya sudah tidak asing lagi
bagi kalangan rimba
persilatan! Ratu Pemikat membatin. Di lain pihak Ni
Luh Padmi diam-diam juga berkata sendiri dalam hati.
"Kudengar Iblis Rangkap Jiwa berusia hampir dua ratus lebih. Tapi mengapa tidak
mengenal orang itu"!"
Di seberang sana, orang yang baru muncul henti-
kan suara tawanya. Namun dia tak segera menjawab
bentakan Iblis Rangkap Jiwa. Malah seolah tak men-
dengarkan bentakan orang, orang ini yang ternyata
seorang kakek bertubuh besar mengenakan pakaian
gombrong warna hijau dengan rambut disanggul dan
sepasang matanya berwarna putih yang tidak lain ada-
lah Gendeng Panuntun adanya hadapkan wajah ke
arah Lumba-lumba. Tangan kanannya sejurus mengu-
sap cermin bulat yang ada di depan perutnya.
"Sahabat muda! Apa yang tengah kau lakukan di
sini"! Mataku memang putih, tapi itu tidak menghe-
rankan. Yang aneh kudengar kau menangis lalu terta-
wa! Apa yang baru kau tangisi, apa pula yang mem-
buatmu tertawa"!" Bertanya Gendeng Panuntun lalu tengadah seolah menunggu
jawaban orang. Lumba-lumba putuskan tawanya. Tapi pemuda
berperangai perempuan ini tidak segera buka mulut
menjawab pertanyaan Gendeng Panuntun. Sebaliknya
buka kesepuluh jari tangannya yang diletakkan di de-
pan wajah. Kejap lain bukannya dia mengintip wajah
Gendeng Panuntun, melainkan mengintip paras wajah
Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi. Lalu kedua tangan-
nya dirapatkan dan digerakkan pulang balik mengusap
sepasang matanya yang tidak mengeluarkan air mata!
"Kita lanjutkan saja perjalanan kita...!" mendadak Ratu Pemikat ajukan usul
dengan suara pelan.
Iblis Rangkap Jiwa tidak menyahut. Malah berpal-
ing pun tidak. Laki-laki berkepala gundul Ini tegak
dengan mata tak berkesip pandangi Gendeng Panun-
tun dan Lumba-lumba.
Seperti diketahui, ketika Iblis Rangkap Jiwa, Ratu
Pemikat, dan Ni Luh Padmi turun dari puncak bukit
hendak lakukan rencana yang mereka susun, menda-
dak di bawah bukit ketiganya berjumpa dengan seo-
rang pemuda berperangai perempuan dan sebutkan di-
ri de-dengan nama Lumba-lumba.
Iblis Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, serta Ni Luh
Padmi sempat terkesima mendapati Lumba-lumba da-
pat mengetahui satu persatu siapa diri mereka adanya dengan tepat dan benar.
Sejak awal, Iblis Rangkap Ji-wa dan Ratu Pemikat sudah menaruh curiga pada
Lumba-lumba. Tapi tidak demikian halnya dengan Ni
Luh Padmi. Nenek ini semula tidak menaruh curiga
apa-apa pada Lumba-lumba. Kalaupun pada akhirnya
dia merasa curiga justru setelah mendengar perbin-
cangan Lumba-lumba. Meski begitu rasa curiga si ne-
nek tidak sedalam rasa curiga Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat.
Pada akhirnya, Iblis Rangkap Jiwa yang tidak sa-
bar melihat sikap lumba-lumba segera lancarkan se-
rangan. Sementara Ni Luh Padmi segera pula sentak-
kan tangan kanan untuk memangkas pukulan Iblis
Rangkap Jiwa yang mengarah pada Lumba-lumba, ka-
rena Ni Luh Padmi merasa tidak ada gunanya meladeni
dan membuat urusan dengan pemuda berperangai pe-
rempuan itu. Saat itulah mendadak muncul Gendeng
Panuntun yang langsung dapat mementalkan sekali-
gus membuyarkan pukulan Iblis Rangkap Jiwa yang
mengarah pada Lumba-lumba serta pukulan tangan
kanan Ni Luh Padmi yang hendak memangkas puku-
lan Iblis Rangkap Jiwa.
Ni Luh Padmi segera arahkan pandangannya pada
Ratu Pemikat begitu mendengar usul perempuan ber-
tubuh bahenol ini. "Heran.... Bukankah dia tadi yang bersikeras hendak membunuh
pemuda bernama Lumba-lumba itu"! Tapi mengapa dengan kemunculan ma-
nusia buta itu niatnya mendadak berubah"! Ada yang
tidak beres! Wajah perempuan itu juga tampak beru-
bah membayangkan rasa takut, ada apa ini"! Apakah
antara dia dengan manusia buta itu ada ganjalan"!"
Sementara di seberang depan sana, begitu Gendeng
Panuntun tidak mendengar adanya sahutan jawaban
dari Lumba-lumba, kakek bermata buta ini perdengar-
kan tawa perlahan sebelum akhirnya berujar.
"Sahabat muda! Apa kubilang. Inilah akibat kalau kau tidak turuti ucapan orang
tua! Bukankah sudah
kukatakan, jangan lancang berjalan sendiri! Akhirnya bukan saja kau tersesat
jalan, malah menangis tertawa di hadapan orang!"
Lumba-lumba sejenak hentikan usapan-usapan
kedua tangannya pada sepasang matanya. Kepalanya
bergerak menoleh ke arah Gendeng Panuntun. Sejurus
sepasang mata Lumba-lumba membulat besar. Tapi
cuma sekejap. Saat lain kepalanya kembali meman-
dang ke depan. Bersamaan itu kedua tangannya kem-
bali mengusap-usap sepasang matanya pulang balik.
Saat itu juga kembali terdengar tangisnya. Namun tak lama kemudian terdengar
ucapannya di sela suara
tangisnya. "Maaf, Sahabat Tua! Aku tidak menyangka kalau
akan begini ceritanya! Padahal aku tidak berbuat hal yang memalukan! Aku hanya
berniat jalan-jalan.... Tak ada maksud lain! Herannya orang-orang di sana itu
ti-ba-tiba hendak membunuhku! Apa salahku..."! Apa
dosaku..."!"
"Sahabat muda. Ini bukan tempat dan waktu yang layak untuk membicarakan urusan
salah dan dosa!
Karena aku merasa orang yang ada di depan sana itu
tidak kenal yang namanya salah dan dosa. Padahal se-
harusnya mereka maklum, putusnya nyawamu bukan
jalan yang bisa menyelesaikan urusan yang sedang
mereka hadapi...."
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun dan Lum-
ba-lumba, Iblis Rangkap Jiwa segera berpaling pada
Ratu Pemikat yang baru saja memberi usul dan belum
sempat dijawabnya.
Sesaat Iblis Rangkap Jiwa pandangi raut wajah Ra-
tu Pemikat. "Wajahnya berubah. Sikapnya lain.
Hem...." batin Iblis Rangkap Jiwa lalu bertanya. "Kau mengenal manusia buta
itu?" "Dialah Gendeng Panuntun! Kita harus cepat lanjutkan perjalanan! Jangan ladeni
orang itu! Jika tidak, rencana yang sudah kita atur akan berantakan!"
Iblis Rangkap Jiwa arahkan pandangannya pada
Gendeng Panuntun. "Dugaanku tidak meleset" katanya dalam hati. Tapi mungkin
karena selama ini hanya
mendengar nama Gendeng Panuntun tanpa sekali pun
pernah bertemu muka, maka laki-laki berkepala gun-
dul ini Memperdengarkan tawa perlahan seraya berka-
ta. "Apa yang bisa diperbuat manusia buta itu pada ki-ta!?"
"Kita tak perlu berdebat di sini! Nanti akan kuceritakan!" sahut Ratu Pemikat
hendak berkelebat.
Sepertinya kau sangat ketakutan sekali dengan
manusia buta itu! Aku jadi penasaran!" desis Iblis Rangkap Jiwa.
Ucapan Iblis Rangkap Jiwa membuat gerakan Ratu
Pemikat tertahan. Perempuan ini urungkan niat dan
berkata. "Dengar! Aku tahu benar siapa adanya Gendeng Panuntun! Walau kau
memiliki kepandaian ting-
gi, aku masih ragu apakah kau mampu menghada-
pinya!" Meski dadanya panas mendengar ucapan Ratu Pe-
mikat, namun saat itu juga Iblis Rangkap Jiwa terse-
nyum dan berkata.
"Ucapanmu membuatku ingin membuktikan kebe-
narannya!"
Iblis Rangkap Jiwa serta-merta gerakkan kedua
tangannya terangkat ke atas. Karena maklum dari tin-
dakan Gendeng Panuntun yang sanggup memangkas
pukulannya dan pukulan Ni Luh Padmi, Iblis Rangkap
Jiwa langsung kerahkan setengah dari tenaga dalam
yang dimilikinya.
Namun sebelum kedua tangannya benar-benar
lancarkan pukulan, Ratu Pemikat telah melompat dan
tegak di hadapan Iblis Rangkap Jiwa sambil melotot tajam dan berucap.
"Kalau kau benar-benar ingin buktikan ucapanku, silakan! Tapi aku tidak akan
ikut campur tangan! Aku akan teruskan langkah sesuai rencana kita!"
Tidak menunggu sambutan dari Iblis Rangkap Ji-
wa, Ratu Pemikat menoleh pada Ni Luh Padmi yang
sedari tadi diam dan hanya simak percakapan Iblis
Rangkap Jiwa dengan Ratu Pemikat.
"Kau bagaimana, Nek"! Ikut nasihatku atau hen-
dak ikut-ikutan campur tangan urusan tak berguna
ini"!"
Ni Luh Padmi tidak segera menjawab pertanyaan
orang. Nenek ini sebenarnya masih dilanda kebimban-
gan. Di satu sisi dia ingin menuruti usul Ratu Pemikat, namun di sisi lain dia
ingin tahu lebih banyak soal
Gendeng Panuntun. Karena si nenek telah buktikan
kebenaran ucapan Gendeng Panuntun pada perte-
muannya beberapa hari berselang. Dia juga ingin tahu lebih dalam soal Kitab
Hitam. Kemunculan Gendeng
Panuntun di sekitar Bukit Selamangleng bukan tidak
mungkin masih ada hubungannya dengan kitab itu.
Meski dari mulut Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pemi-
kat, si nenek telah tahu jika Kitab Hitam telah dimiliki Malaikat Penggali
Kubur. Begitu ditunggu agak lama, Ni Luh Padmi belum
juga memberi jawaban, Ratu Pemikat berujar.
"Baik! Aku telah beri peringatan! Kalian jangan menyesal kalau terjadi apa-apa!"
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat berkelebat.
"Tunggu!" tahan Ni Luh Padmi. "Aku tidak bermak-sud ikut campur tangan urusan
ini! Malah dengan
pemuda perempuan itu sejak tadi aku enggan meli-
batkan diri! Tapi...."
"Pengecut busuk!" Iblis Rangkap Jiwa membentak memotong ucapan Ni Luh Padmi
dengan sentakkan
kepalanya menghadap si nenek. Sepasang matanya
membeliak besar-besar seolah hendak loncat keluar
dari rongganya. "Kau bicara enggan terlibat! Nyatanya kau telah memotong
pukulanku! Apa sebenarnya yang
ada dalam benakmu"!"
"Aku tak ingin urusan kita tertunda hanya gara-
gara pemuda perempuan itu! Siapa tahu dia salah seo-
rang utusan yang tengah menyelidik"! Kalau kita terlibat, apalagi sampai
membunuhnya, langkah kita se-
lanjutnya tidak akan mulus!"
Iblis Rangkap Jiwa menyeringai dingin. "Alasanmu tidak masuk akal! Kau lihat
sendiri. Mungkinkah pemuda macam dia seorang utusan"! Apalagi tugas yang
diemban nya pasti berhubungan dengan dunia persila-
tan! Seharusnya dia membekal ilmu! Tapi kau tahu
sendiri, pemuda perempuan itu bukannya membekal
ilmu, melainkan membekal mata untuk menangis!"
"Kau jangan memandang orang dari apa yang terlihat di depan mata!" ucap Ni Luh
Padmi membela diri.
Nenek ini masih berpegang teguh pada dugaannya jika
Lumba-lumba menyimpan ilmu walau saat Iblis Rang-
kap Jiwa lancarkan pukulan dia tidak membuat gera-
kan menangkis atau berkelebat selamatkan diri.


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hem.... Jadi kau mengira pemuda itu membekal
ilmu" Ilmu apa..."!" Iblis Rangkap Jiwa tertawa bergelak. Namun tiba-tiba dia
renggut lenyap suara ta-
wanya. Saat lain dia telah membentak. "Katakan dengan jujur. Siapa kau
sebenarnya"!"
Ni Luh Padmi terkesiap dengan pertanyaan Iblis
Rangkap Jiwa. "Apa maksud ucapanmu".'"
"Kau seolah mengenal pemuda perempuan itu! Kau
juga memotong pukulan yang kulancarkan padanya!
Jangan-jangan kau sendiri utusan yang sedang menye-
lidik itu...! Dan dia adalah gendakmu yang menyusul!"
Tampang Ni Luh Padmi seketika berubah merah
padam. Rahangnya terangkat dengan mata membela-
lak. Malah sempat menyeruak seruan tertahan dari
mulutnya saking terkejutnya mendengar ucapan Iblis
Rangkap Jiwa. "Kau jangan menuduh tidak karuan!" bentak Ni Luh Padmi tak kalah kerasnya.
Mungkin agar tidak dikira ciut nyalinya, si nenek angkat juga kedua tangannya.
Malah nenek bertampang angker ini maju satu
tindak. Iblis Rangkap Jiwa tak tinggal diam. Dia ikut ber-
gerak maju satu tindak. Mata masing-masing orang
berperang pandang.
Mendapati Iblis Rangkap Jiwa dan Ni Luh Padmi
hendak saling lancarkan pukulan, Ratu Pemikat yang
hendak berkelebat pergi urungkan niat. "Bagaimanapun juga aku masih butuh tenaga
mereka! Silakan me-
reka hendak saling bunuh asalkan urusan ini telah selesai!" Ratu Pemikat
membatin, lalu berkata.
"Kita telah bersahabat! Tidak ada gunanya saling serang! Lebih baik kita
lanjutkan perjalanan kita. Kelak urusan dengan Lumba-lumba dan manusia buta
itu pasti akan kita lanjutkan! Dia berdua tidak akan bisa lari jauh dari mata
kita!" Seolah tak sabar, habis berkata Ratu Pemikat me-
lompat ke arah Ni Luh Padmi seraya berbisik. "Jangan masukkan di hati apa yang
baru diucapkan! Kita cepat tinggalkan tempat ini!"
Ratu Pemikat tarik kedua tangan si nenek hingga
luruh ke bawah. Meski kedua tangannya sudah luruh,
namun sepasang mata si nenek ini tidak juga beranjak dari sepasang bola mata
Iblis Rangkap Jiwa. Jelas kalau dadanya masih panas dan darahnya menggelegak.
"Nek... Ada yang akan kukatakan padamu...," ujar Ratu Pemikat sambil menarik Ni
Luh Padmi menjauh.
"Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan!" jawab si nenek. Meski tubuhnya ikut
seretan tangan Ra-
tu Pemikat, tapi kepala nenek ini tetap berpaling pada Iblis Rangkap Jiwa yang
tetap tegak di tempatnya den-
gan mata juga sedang memandang ke arahnya.
"Aku pernah sekali jumpa dengan manusia buta
itu! Bahkan aku sempat bicara banyak dengannya!"
lanjut Ni Luh Padmi. "Anehnya, semua ucapannya benar dan jadi kenyataan!"
Ratu Pemikat anggukkan kepala. "Syukur kalau
kau telah tahu. Dengan begitu aku yakin kau akan
ikuti saranku...."
"Sebenarnya aku tidak akan ikut saranmu! Aku
masih hendak menanyakan sesuatu padanya!"
"Nek! Tunda dahulu rencanamu! Sekarang bukan-
lah saat yang baik untuk ajukan tanya! Percayalah, kelak kau akan jumpa lagi
dengannya!"
Ni Luh Padmi sentakkan kepalanya memandang
pada Ratu Pemikat. Cekalan tangan Ratu Pemikat pa-
da lengannya ditepiskan. Si nenek hentikan langkah
seraya berkata.
"Bagaimana kau bisa memastikan begitu"!"
"Dia salah seorang yang hendak kita undang untuk menghadiri pertemuan yang kita
susun...."
"Tapi mengapa kau tidak mengatakan namanya
waktu berunding tadi..."!"
Ratu Pemikat terdiam. "Apakah aku harus berterus terang?" katanya dalam hati.
Setelah terdiam agak la-ma akhirnya Ratu Pemikat berkata juga.
"Aku tadinya merasa khawatir kalau Gendeng Pa-
nuntun hadir, urusan jadi berantakan tidak karuan!
Kau tahu, selain pandai mengatakan apa yang hendak
terjadi, dia juga berilmu sangat tinggi! Aku khawatir apa yang jadi tujuanmu dan
maksudku akan terhalang
gara-gara kemunculannya pada pertemuan kita nanti!"
"Apakah dia sahabat Pendeta Sinting keparat itu"!"
"Aku tidak tahu persis. Yang jelas, selama ini Gendeng Panuntun bersahabat
dengan Pendekar 131! Pa-
dahal Pendekar 131 adalah murid Pendeta Sinting! Ti-
dak tertutup kemungkinan terjalin juga persahabatan
antara Gendeng Panuntun dengan Pendeta Sinting!"
"Aku tidak peduli! Siapa pun yang menghalangi
tindakanku, akan kulumat sekalian!"
"Itu memang yang harus kau lakukan. Tapi...."
Ucapan Ratu Pemikat terputus karena di belakang sa-
na tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Manusia buta! Kau telah ikut campur urusan Iblis Rangkap Jiwa! Itu adalah hal
bodoh yang kau lakukan!"
Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi sama berpaling ke
arah Iblis Rangkap Jiwa. Laki-laki berkepala gundul ini ternyata telah melompat
dan kini tegak hanya sejarak lima langkah di hadapan Gendeng Panuntun dengan
kedua tangan siap kirimkan pukulan.
"Aku sudah bilang. Bukannya aku ikut campur
tangan. Aku hanya tidak tega mendengar suara tangi-
san...," enak saja Gendeng Panuntun menjawab. "Kalau itu kau anggap sebagai
tindakan bodoh, harap
maafkan tindakanku tadi...."
Iblis Rangkap Jiwa tertawa mengekeh. "Itu adalah tindakan bodoh kedua kalinya
yang kau lakukan!"
"Bagaimana bisa begitu"!" tanya Gendeng Panuntun sambil arahkan wajahnya
menghadap Ni Luh
Padmi dan Ratu Pemikat.
"Jawabannya akan kau lihat sendiri!" hardik Iblis Rangkap Jiwa. Saat itu juga
sosoknya berkelebat ke
depan Kedua tangannya bergerak lakukan hantaman
ke arah kepala Gendeng Panuntun.
"Celaka! Manusia iblis itu benar-benar cari gara-gara!!" gumam Ratu Pemikat.
"Aku percaya Iblis Rangkap Jiwa memiliki kepandaian tinggi yang sulit dicari
tandingannya. Tapi yang dihadapinya kali ini orang
aneh. Selain berilmu tidak lebih rendah dari Iblis
Rangkap Jiwa, dia juga memiliki ilmu yang jarang di-
miliki orang lain..,."
"Bagaimana kau begitu tahu betul dengan manusia bermata buta itu"!" tanya Ni Luh
Padmi meski dirinya sedikit banyak telah tahu pada pertemuannya beberapa hari
berselang. "Kita lihat saja nanti...," ucap Ratu Pemikat seraya terus perhatikan tindakan
Iblis Rangkap Jiwa.
Di depan sana, sesaat Gendeng Panuntun tidak
membuat gerakan apa-apa. Kakek bermata buta ini
seolah tenang-tenang saja menghadapi pukulan yang
kini mengarah pada kepalanya dan dilakukan oleh seo-
rang tokoh yang memiliki ilmu tinggi.
Sejengkal lagi kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa
menghentak kepala Gendeng Panuntun, tiba-tiba si
kakek membuat gerakan luar biasa hebat yang tidak
diduga sama sekali oleh orang yang saat itu tengah
melihat. *** DUA GENDENG Panuntun bukannya gerakkan kepala
yang kini terancam pukulan kedua tangan Iblis Rang-
kap Jiwa untuk menghindar, justru kakek bermata bu-
ta ini sentakkan kepalanya ke arah kiri songsong tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa.
Bukkkk! Gerakan tidak terduga yang dilakukan Gendeng
Panuntun membuat hantaman tangan kiri Iblis Rang-
kap Jiwa terpotong di tengah jalan sebelum mengenai
sasaran. Hal ini sangat berpengaruh sekali pada Iblis Rangkap Jiwa. Karena
sebenarnya sebuah pukulan
akan lenyap kekuatannya jika pukulan itu dipotong
terlebih dahulu sebelum mengenai sasaran. Apalagi ji-ka pukulan itu dilancarkan
oleh anggota badan yang
saling berkaitan.
Begitu halnya yang terjadi pada Iblis Rangkap Jiwa.
Hingga begitu kepala Gendeng Panuntun menyong-
song, tangan kiri Iblis Rangkap Jiwa terpental ke belakang. Tangan kanannya yang
saat itu juga tengah lan-
carkan pukulan memang masih berkelebat angker.
Namun pentalan tangan kirinya yang di songsong ke-
pala Gendeng Panuntun membuat sosoknya sedikit
tertarik ke belakang. Hingga sambaran tangan kanan-
nya mau tak mau ikut juga tertarik ke belakang. Ini
menjadikan tangan kanannya hanya menyambar uda-
ra kosong sejengkal di depan wajah Gendeng Panun-
tun! Iblis Rangkap Jiwa hanya sesaat terkesiap. Di kejap lain sosoknya telah
kembali melesat ke depan. Kali Ini rupanya dia tidak mau membuat kesalahan yang
sama. Hingga jarak setengah depa, dia telah lancarkan pukulan jarak jauh
mengandung tenaga dalam tinggi!
Satu gelombang dahsyat membawa kabut hitam
menderu cepat kearah Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun tampak kerjapkan sepasang
Matanya yang putih. Bersamaan dengan itu tangan
kanannya bergerak mengusap cermin di depan perut-
nya sambil tarik tubuh atasnya ke belakang, hingga
cermin bulatnya menghadap lurus ke atas. Wuuuss!
Dari cermin bulat di depan perut Gendeng Panun-
tun berkiblat satu cahaya putih. Pada saat yang sama mendadak deruan gelombang
kabut hitam sentakan
kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa seolah tertahan di
udara. Lalu laksana kilat terdorong lurus keatas mengikuti lesatan cahaya putih
yang mencuat dari cermin
bulat Gendeng Panuntun!
Blaar! Blaarrr!
Kira-kira sepuluh tombak di atas udara, gelombang
kabut hitam yang terdorong cahaya putih keluarkan
suara ledakan dua kali berturut-turut. Gelombang ka-
but hitam dan cahaya putih ambyar bertabur dan le-
nyap di udara. Di bawah sana, Iblis Rangkap Jiwa terlihat terjajar
sampai tiga langkah. Sepasang mata laki-laki berkepa-la gundul ini mendelik
angker mendapati apa yang ba-
ru saja terjadi. Sementara di seberang sana, Gendeng Panuntun hanya bergoyang-
goyang. "Sobatku Iblis Rangkap Jiwa.... Percuma urusan
tak berguna ini kita teruskan. Kurasa masih ada sesuatu lebih penting yang harus
kau lakukan! Bukankah
begitu...?"
Sambil ajukan tanya, wajah Gendeng Panuntun
bergerak menghadap ke arah Ratu Pemikat dan Ni Luh
Padmi. "Orang buta itu telah tahu rencana kita!" desis Ra-tu Pemikat. "Kalau kita tidak
segera meninggalkan tempat ini, kita akan mendapat celaka!"
Sebenarnya apa yang diucapkan Ratu Pemikat jauh
dari apa yang terpendam dalam benaknya. Karena se-
benarnya perempuan ini khawatir kalau apa yang ten-
gah direncanakan dengan diam-diam diketahui dan
dibeberkan Gendeng Panuntun di hadapan Iblis Rang-
kap Jiwa dan Ni Luh Padmi. Kalau hal itu benar-benar jadi kenyataan, maka
hilanglah apa yang menjadi im-piannya.
Ni Luh Padmi kembali dibuncah rasa bimbang.
"Apa yang harus kulakukan sekarang" Ucapan perempuan ini ada benarnya! Tapi
sebenarnya ada yang per-
lu kutanyakan pada laki-laki buta itu!"
"Ratu Pemikat...l Bukankah lebih baik kita selesaikan laki-laki buta itu
sekarang juga" Dengan begitu
pada pertemuan kelak apa yang akan kita kerjakan ti-
dak terlalu berat!"
Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Dia bukan tan-
dingan kita! Ada seseorang yang mungkin bisa mela-
wannya! Itu pun tidak kujamin orang itu bakal bisa
mengalahkannya! Tapi kita masih punya waktu ba-
nyak. Selang waktu itu akan kita rencanakan bagai-
mana cara melumpuhkan Gendeng Panuntun!"
"Hem.... Yang kau maksud Malaikat Penggali Ku-
bur"!"
"Benar! Pemuda itu kini membekal Kitab Hitam
yang memiliki kekuatan luar biasa dahsyat! Malah de-
mikian hebatnya kitab itu, hingga kita bertiga harus bertekuk lutut dan jadi
pembantunya!"
Kepala NI Luh Padmi mengangguk. Bukan setuju
dengan ucapan Ratu Pemikat melainkan membatin.
"Jadi kitab itu benar-benar luar biasa! Sebaiknya aku tidak buat urusan dengan
orang lain dahulu sebelum
Kitab Hitam berada di tanganku..
Setelah berpikir begitu, Ni Luh Padmi buka suara.
"Lalu bagaimana dengan Iblis Rangkap Jiwa" Apa-
kah akan kita tinggal sendirian di sini"!"
"Itulah yang saat ini sedang ku pikirkan! Sebenarnya aku tidak ingin melihat dia
celaka sebelum pertemuan itu berlangsung!"
Mendengar ucapan Ratu Pemikat membuat Ni Luh
Padmi perdengarkan suara tawa perlahan. "Kau
mengkhawatirkan jiwanya. Apakah kau benar-benar
tertarik padanya"!"
Tampang Ratu Pemikat sesaat tampak merah. Na-
mun saat lain perempuan ini balik perdengarkan tawa
sambil berucap.
"Aku masih sanggup menggaet pemuda tampan!
Kalau aku begitu khawatir dengan keselamatan Iblis
Rangkap Jiwa semata-mata hanya karena tenaganya
kubutuhkan saat pertemuan nanti! Jika semuanya su-
dah selesai, kedua tanganku pun tak segan mencabut
nyawanya!"
"Hai...! Ternyata kau memendam ganjalan juga
dengan manusia gundul itu!" seru Ni Luh Padmi mendengar keterus terangan Ratu
Pemikat. "Aku terpaksa berterus terang padamu, Nek! Tapi kalau hal itu kau bocorkan pada
Iblis Rangkap Jiwa,
aku pun tak keberatan membuatmu berkalang tanah!"
Kini berbalik raut muka Ni Luh Padmi yang jadi
merah padam menindih gejolak amarah mendengar


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapan Ratu Pemikat. Namun teringat akan keadaan
dirinya dan juga urusan Kitab Hitam, nenek ini coba
menindih hawa kemarahannya.
"Kalian berbisik-bisik apa"!" mendadak satu suara mengejutkan Ratu Pemikat dan
Ni Luh Padmi. Kedua
perempuan ini segera berpaling ke arah datangnya su-
ara yang ternyata keluar dari mulut Gendeng Panun-
tun. "Cepat ajak temanmu ini untuk pergi dari sini!"
Gendeng Panuntun lanjutkan ucapannya.
Belum sampai ada yang buka suara atau membuat
gerakan lakukan ucapan Gendeng Panuntun, menda-
dak terdengar bentakan keras.
"Aku tak akan pergi tanpa nyawamu putus!" Yang keluarkan bentakan bukan lain
adalah Iblis Rangkap
Jiwa. Habis membentak, Iblis Rangkap Jiwa hentakkan
kedua kakinya. Sosoknya melesat laksana terbang ke
arah Gendeng Panuntun. Kedua tangannya serentak
lancarkan pukulan jarak jauh. Dan seolah ingin bukti-
kan ucapannya, laki-laki berkepala gundul itu te-
ruskan kelebatannya dengan kedua kaki membuat ge-
rakan menendang.
Gendeng Panuntun tengadah sambil menggumam
tak jelas. Tangan kanannya kembali bergerak mengu-
sap cermin bulatnya. Namun, tiba-tiba kakek bermata
buta ini urungkan niat. Tangan kanannya ditarik pu-
lang dan disentakkan ke tanah. Wuuttt...! Sosok be-
sarnya melesat ke belakang. Saat itulah mendadak sa-
tu sinar kuning berkelebat membawa gelombang dah-
syat dan hawa luar biasa panas!
"Aku rasanya pernah mengenali pukulan yang baru saja dilancarkan pemuda yang
sebutkan diri sebagai
Lumba-lumba itu!" gumam Ratu Pemikat begitu ma-
tanya melihat bagaimana pemuda berperangai perem-
puan yang sebutkan diri Lumba-lumba tarik kedua
tangannya dan sepasang matanya dan mendorong ke
arah gelombang kabut hitam yang tengah dilancarkan
Iblis Rangkap Jiwa pada Gendeng Panuntun.
Ni Luh Padmi kernyitkan dahi. "Apa kau bilang"
Kau pernah mengenali pukulan itu"!"
"Betul! Tapi...." Ratu Pemikat tidak lanjutkan ucapannya di mulut. Dia hanya
membatin. "Apakah dua orang bisa memiliki pukulan sama"! Atau jangan-jangan
dia!" Ni Luh Padmi sendiri seolah tidak menunggu jawa-
ban Ratu Pemikat. Karena dia sendiri tampaknya se-
dang mengingat-ingat. "Hem.... Rasanya aku juga pernah bertemu dengan orang yang
memiliki pukulan sa-
ma dengan yang dilancarkan pemuda perempuan itu!
Astaga...! Bukankah pukulan itu pernah dilancarkan
oleh pemuda geblek murid Pendeta Sinting pada bebe-
rapa hari yang lalu" Bagaimana ini" Apakah dia juga
muridnya Pendeta Sinting"!"
Blammm! Di depan sana mendadak terdengar ledakan keras
membuat tanah di sekitar tempat itu berguncang. Ge-
lombang hitam berlesatan ke sana kemari bentrok
dengan sinar kuning yang memang dilancarkan oleh
Lumba-lumba. Iblis Rangkap Jiwa jadi naik pitam. Apalagi kini
mengetahui kalau orang yang diduga tidak memiliki
kepandaian apa-apa, tiba-tiba mampu memangkas
pukulannya. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. La-
lu teruskan kelebatannya. Bukan mengarah pada
Gendeng Panuntun yang telah berkelebat ke belakang
hindarkan diri, namun lurus ke arah Lumba-lumba
yang masih duduk berlutut.
"Hai...! Apa yang kau...." Hanya itu ucapan yang sempat terlontar dari mulut
Lumba-lumba, karena
saat itu tendangan kedua kaki Iblis Rangkap Jiwa te-
lah ada di depan hidungnya!
Karena tak ada waktu lagi untuk menghindar, pada
akhirnya Lumba-lumba harus menangkis tendangan
orang dengan angkat kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk! Terdengar suara bentrokan dua kali. Namun rupa-
nya Lumba-lumba tertipu, karena tendangan kedua
kaki Iblis Rangkap Jiwa hanya merupakan tipuan be-
laka. Serangan yang sesungguhnya justru melesat dari kedua tangannya saat
tendangannya ditangkis Lumba-lumba!
Lumba-lumba tampak melengak kaget melihat ba-
gaimana kedua tangan Iblis Rangkap Jiwa berkelebat
laksana kilat menyambar ke arah kepalanya.
"Mati aku!" teriak Lumba-lumba. Meski kedua tangannya yang baru saja bentrok
dengan tendangan Iblis Rangkap Jiwa cepat diangkat, namun sudah sangat
terlambat untuk memangkas pukulan kedua tangan
Iblis Rangkap Jiwa.
Saat itulah mendadak Gendeng Panuntun goyang
kan pantatnya. Satu cahaya putih melesat dari cermin bulatnya.
Karena terlalu bernafsu untuk membunuh Lumba-
lumba, Iblis Rangkap Jiwa tidak menyadari kalau saat itu cahaya yang melesat
dari cermin Gendeng Panuntun sedang berkelebat. Lelaki berkepala gundul ini ba-
ru sadar tatkala kedua tangannya terasa panas luar
biasa dan kejap lain tangannya mental balik ke bela-
kang! Saat yang sangat terbatas itu tidak disia-siakan
olah Lumba-lumba. Kedua tangannya yang tadi hen-
dak memangkas pukulan Iblis Rangkap Jiwa segera
didorong ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
"Jahanam!" maki Iblis Rangkap Jiwa. Kedua tangan dan sosoknya hendak bergerak.
Namun kali ini dia
yang terlambat. Hingga sebelum laki-laki ini sempat membuat gerakan apa-apa,
tubuhnya mencelat tersapu gelombang yang keluar dari dorongan kedua tangan
Lumba-lumba. "Dugaanku tidak jauh meleset! Lumba-lumba me-
miliki ilmu...," ujar Ni Luh Padmi perlahan dengan pandangi sosok Iblis Rangkap
Jiwa yang tampak terkapar di atas tanah dengan mulut keluarkan cairan
darah. Ratu Pemikat terkesima. Wajahnya berubah pucat.
Kalau menghadapi Gendeng Panuntun sendirian saja
dia sudah menduga tak bakal sanggup, bagaimana
mungkin menghadapi Gendeng Panuntun dan seorang
pemuda perempuan yang ternyata memiliki ilmu yang
tidak bisa dipandang sepele.
Berpikir sampai ke sana, Ratu Pemikat kembali
menarik kedua tangan Ni Luh Padmi. "Nek! Kau masih sayang jiwamu" Kau masih
inginkan nyawa Pendeta
Sinting"!"
Pertanyaan beruntun Ratu Pemikat membuat dahi
Ni Luh Padmi berkerut. Namun sebelum si nenek ta-
nyakan maksud ucapan Ratu Pemikat, perempuan
bertubuh sintal ini telah jawab sendiri ucapannya.
"Kau hanya akan sia-siakan nyawa kalau tetap berada di sini! Dan itu berarti
bara dendammu tidak
akan berlanjut!"
"Lalu apakah kau tidak mengkhawatirkan Iblis
Rangkap Jiwa lagi"!"
"Dia telah lakukan apa yang dia maul Berarti din juga siap menanggung akibatnya!
Aku tak akan pedulikan lagi jiwanya kalau hal itu akan korbankan nya-
waku sendiri!"
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat lepaskan ceka-
lannya pada tangan Ni Luh Padmi. Saat lain tanpa bu-
ka suara lagi, Ratu Pemikat berkelebat tinggalkan tempat itu.
Ni Luh Padmi menoleh pulang balik ke arah berke-
lebatnya Ratu Pemikat dan ke arah sosok Iblis Rang-
kap Jiwa yang masih terkapar di atas tanah. "Hem....
Benar juga ucapan perempuan itu! Jalanku masih
panjang, aku juga tidak mau korbankan nyawa dengan
sia-sia!" Si nenek kini hadapkan wajahnya pada Lumba-
lumba dan Gendeng Panuntun. Lumba-lumba tampak
bangkit lalu usap-usap sepasang matanya meski jelas
tidak ada air mata yang menetes. Di sebelah belakang, Gendeng Panuntun tampak
tengadahkan kepala lalu
melangkah menghampiri Lumba-lumba. Anehnya, se-
raya melangkah, wajah si kakek menghadap lurus ke
arah Ni Luh Padmi, membuat si nenek berdebar-debar.
"Nek.... Selamat jumpa lagi...," ujar Gendeng Panuntun begitu dekat dengan
Lumba-lumba. "Bagaima-na kabarmu" Kuharap kau baik-baik saja...."
"Sahabat tua.... Terima kasih kau telah memberi bantuan padaku hingga nyawaku
tetap tak kurang suatu apa!" kata Lumba-lumba. Seperti halnya Gendeng Panuntun,
Lumba-lumba berucap dengan wajah
menghadap lurus ke arah Ni Luh Padmi, membuat si
nenek makin tambah tidak enak perasaan.
"Sahabat tua! Kau tampaknya mengenal nenek
cantik itu! Siapa gerangan dia..." Ucapanmu menun-
jukkan bahwa kau sudah sering kali jumpa dengan-
nya. Apakah dia salah seorang sahabatmu"!"
"Lebih dari sekadar sahabat...," ujar Gendeng Panuntun.
"Jadi dia kekasihmu..."!" sahut Lumba-lumba.
"Lebih dari sekadar kekasih...."
"Waduh.... Jadi apamu dia"!" kata Lumba-lumba sudah tak bisa berpikir lagi.
"Dia bukan apa-apaku...!" jawab Gendeng Panuntun membuat Lumba-lumba jadi makin
bingung. "Hem.... Dikatakan sahabat, lebih. Disebut kekasih, lebih. Ditanya apanya, bukan
apa-apanya!" gumam Lumba-lumba. "Ah.... Ucapanmu menjadikan aku bingung!"
"Sahabat muda! Kau tak usah bingung. Begitulah
memang .kenyataannya. Bukankah begitu, Nek"!" kata Gendeng Panuntun jawab
gumaman Lumba-lumba sekaligus ajukan persetujuan pada Ni Luh Padmi.
Yang ditanya tidak menjawab. Sebaliknya putar diri
lalu berkelebat.
"Nek...!" seru Gendeng Panuntun. "Kalau kau masih mau turutkan kataku, kau masih
punya waktu dan
kesempatan!"
Ni Luh Padmi gerakkan tubuh memutar dan
urungkan niat berkelebat. Sejurus matanya meman-
dang pada Lumba-lumba dan Gendeng Panuntun.
"Meski ucapanmu tepat, jangan harap aku akan
urungkan niat!"
"Hem.... Karena kau tertarik juga dengan kitab
itu?" tanya Gendeng Panuntun. Kakek ini perdengarkan tawa dahulu sebelum
akhirnya melanjutkan. "Jika aku jadi kau, pengalaman akan kujadikan pelajaran
berharga. Saat ini kau telah terjerat, namun kau masih
punya kesempatan untuk bebaskan diri.... Dan kukira
itulah satu-satunya jalan terbaik yang harus kau tempuh!"
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun, niat semu-
la Ni Luh Padmi yang hendak menanyakan perihal Ki-
tab Hitam jadi terlupa karena dadanya mulai dirasuki hawa kemarahan. Hingga si
nenek segera membentak
dengan suara keras.
"Kau jangan coba-coba mengguruiku! Aku punya
seribu satu jalan! Dan aku tahu bagaimana bebaskan
diri sekaligus tanpa sia-siakan kesempatan!"
"Nek.... Kalau aku jadi dirimu, aku akan urungkan niat. Karena selain hanya akan
datangkan beban lebih parah, juga hanya akan sia-siakan nyawa...."
"Betul!" sahut Lumba-lumba yang sejurus tadi hanya diam mendengarkan. "Kalau
perlu, kau cepat-cepat saja cari pendamping hidup jika belum punya
pen-damping! Dengan begitu, sisa-sisa hari tuamu bisa terisi dengan keindahan.
Apalagi yang jadi pendam-pingmu adalah seorang pemuda! Aku yakin, dengan
modal kecantikanmu, tidak sulit bagimu menggaet hati seorang pemuda! Tapi ingat,
aku tidak coba menggurui mu. Ini semua karena...."
"Percuma kalian bicara!" kata Ni Luh Padmi menu-kas ucapan Lumba-lumba. Paras
wajah nenek ini telah
berubah merah padam. Mulutnya sunggingkan se-
nyum seringai. "Aku tak akan urungkan langkah walau satu tindak! Aku juga tidak
akan mundur meski harus
berhadapan dengan setan sekali pun! Dan kalau kalian berdua manusia-manusia yang
ingin bukti, datanglah
ke Kedung Ombo pada purnama depan!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi pentangkan
sepasang matanya. Tangan kanannya yang menggeng-
gam tusuk konde besar berwarna hitam bergerak men-
garah lurus pada Gendeng Panuntun dan Lumba-
lumba. "Kau Dan kaul Akan buktikan sendiri. benar tidaknya semua ucapan kalian dan
ucapanku!"
Tanpa menunggu sahutan lagi dari mulut Gendeng
Panuntun maupun Lumba-lumba, Ni Luh Padmi ber-
kelebat. Namun sebelum benar-benar berkelebat ting-
galkan tempat itu, mata si nenek sempat melirik sekilas pada Iblis Rangkap Jiwa
yang ternyata telah bangkit terbungkuk-bungkuk seraya usap darah yang men-
galir dari mulutnya.
Sesaat setelah sosok Ni Luh Padmi lenyap, menda-
dak tempat itu dibuncah dengan suara bentakan ke-
ras. "Kalian boleh maju bersama-sama! Kalian boleh memilih bagian mana dari
tubuhku yang kalian sukai!
Ha.... Ha.... Ha...!"
Gendeng Panuntun tidak bergeming dari tempat-
nya bahkan tidak gerakkan wajah menghadap ke arah
sumber datangnya bentakan yang tidak lain diperden-
garkan oleh Iblis Rangkap Jiwa. Lain halnya dengan
Lumba-lumba. Begitu terdengar bentakan, kepala pe-
muda berperangai perempuan ini langsung bergerak
cepat menghadap ke arah Iblis Rangkap Jiwa.
Paras wajah Lumba-lumba tampak berubah den-
gan kedua tangan bergerak pulang batik gemulai ke
depan ke belakang pertanda kalau dadanya sedang di-
landa gelisah. "Sahabat muda!" kata Gendeng Panuntun. "Kita harus tinggalkan tempat ini. Kurasa
percuma saja kita ladeni ucapan manusia itu! Kita hanya akan sia-siakan tenaga!"
"Tapi.... Dia tidak akan berdiam diri...," ujar Lumba-lumba. Sepasang matanya
terus perhatikan Iblis
Hang kap Jiwa yang mulai tampak melangkah perla-
han. Gendeng Panuntun sesaat terdiam. Tapi di kejap
lain kakek bermata putih ini goyangkan pantatnya dua kali berturut-turut.
Dua cahaya putih melesat laksana kilat yang me-
nyambar ke arah hamparan tanah di depan sana. Ta-
nah langsung bertabur ke udara sebelum keluarkan
debuman membahana dan akibatkan getaran keras


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laksana ada gempa hebat.
Iblis Rangkap Jiwa sekonyong-konyong hentikan
langkah. Namun mungkin untuk buktikan ucapannya,
laki-laki berkepala gundul ini sengaja tidak membuat gerakan apa-apa. Malah
dengan sunggingkan senyum
dingin, dia pentangkan kedua tangannya di atas ping-
gang kiri kanan dengan kedua kaki terkembang seakan
menyongsong pukulan orang!
Di lain pihak, begitu dua kilatan cahaya putih ber-
kiblat ke depan, Gendeng Panuntun berujar pelan. "Ki-ta pergi sekarang!"
Lumba-lumba yang sejenak tampak terkesiap den-
gan apa yang baru saja dilakukan Gendeng Panuntun
cepat berpaling. Tapi pemuda itu tersentak. Sosok
Gendeng Panuntun ternyata sudah lenyap dari tem-
patnya semula. "Memang sudah saatnya aku harus pergi.... Seo-
rang diri menghadapi manusia iblis itu hanya akan datangkan malapetaka!" gumam
Lumba-lumba. Lalu putar diri dan serta-merta jejakkan kaki berkelebat.
Di seberang sana, begitu dua cahaya putih meng-
gebrak tanah dua jengkal di hadapan Iblis Rangkap
Jiwa, laki-laki berkepala gundul ini perdengarkan tawa bergelak panjang. Namun
tiba-tiba dia renggutkan suara tawanya. Tulang dahinya bergerak dengan rahang
terangkat. Saat lain kedua kakinya bergerak silih berganti terangkat dan
menghentak ke atas tanah.
"Jahanam! Mereka menipuku! Menipuku!" teriak Iblis Rangkap Jiwa begitu sadar apa
yang baru saja dilakukan lawan dari arah seberang sana.
Pada awalnya Iblis Rangkap Jiwa memang perden-
garkan tawa bergelak panjang begitu mendapati puku-
lan yang dilancarkan Gendeng Panuntun hanya meng-
gebrak tanah dua jengkal di depannya. Namun begitu
maklum bahwa pukulan itu memang sengaja dilancar-
kan ke tanah di hadapannya, Iblis Rangkap Jiwa naik
pitam. Namun semuanya sudah terlambat. Karena ke-
tika hamburan tanah sirna, sosok Gendeng Panuntun
dan Lumba-lumba sudah tidak terlihat lagi!
Iblis Rangkap Jiwa sejenak memandang liar berke-
liling. "Hem.... Aku tak dapat menentukan ke mana kedua laki-laki itu pergi.
Yang pasti aku dapat menentukan ke mana kedua perempuan itu minggat! Aku ha-
rus segera menyusul!"
Dengan hentakkan sekali lagi kaki kanannya sak-
ing jengkel, Iblis Rangkap Jiwa berlari cepat. Yang ter-tinggal hanyalah
hamburan tanah ke udara akibat
hentakan kakinya!
*** TIGA MESKI merasa yakin kalau arah yang diambil satu
jurusan dengan Gendeng Panuntun, dan walau sudah
kerahkan segenap tenaga luar dan dalam yang dimili-
kinya, namun Lumba-lumba merasa heran. Bukan sa-
ja dia tidak berhasil menyusul Gendeng Panuntun,
namun dia menemui kegagalan menangkap kelebatan
sosok kakek bermata putih itu. Hingga mungkin mera-
sa tak ada gunanya memaksakan diri, akhirnya pemu-
da berperangai perempuan ini hentikan larinya.
Lumba-lumba putar kepalanya berkeliling lalu
mendongak. Saat itu dia tidak tahu sedang berada di
daerah mana. Yang diketahui jelas, saat itu suasana
sudah gelap dan beberapa kerlip bintang sudah meng-
hampar di pelataran langit.
"Malaikat Penggali Kubur...," desis Lumba-lumba seraya tetap mendongak. "Tidak
disangka sama sekali kalau pemuda itu yang akhirnya mendapatkan Kitab
Hitam.... Kurasa ucapan Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu
Pemikat tidak dusta! Tapi bagaimana pemuda itu tahu
seluk beluk kitab itu..." Ah. Itu sudah terjadi! Tak ada gunanya dipikirkan
lagi! Yang masih menjadi tanda
tanya, bagaimana Ratu Pemikat, Iblis Rangkap Jiwa,
dan nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi bisa ber-
gabung jadi satu"! Lalu ucapan Ni Luh Padmi tentang
undangannya ke Kedung Ombo pada purnama depan.
Ada apa sebenarnya ini"! Undangan itu tentu bukan
main-main! Sebenarnya aku hendak menanyakan pe-
rihal undangan itu pada Gendeng Panuntun. Tapi ka-
kek itu rupanya sedang tidak mau ditanyai! Buktinya
dia lenyap tanpa bekas laksana ditelan bumi... Hem....
Titik terang telah kudapat! Aku harus segera bergerak!"
Lumba-lumba angkat kedua tangannya. Kali ini ge-
rakan kedua tangannya tidak lagi lemah gemulai. Tapi mendadak gerakan kedua
tangan Lumba-lumba tertahan di udara. Kejap lain pemuda berperangai perem-
puan ini sunggingkan senyum dan terus gerakkan ke-
dua tangannya. Namun gerakan kedua tangannya
kembali berubah lemah gemulai. Malah kali ini tampak sengaja dipulang-balikkan
ke depan ke belakang dengan pantat sedikit digoyang-goyang. Bersamaan itu da-ri
mulutnya terdengar suara nyanyian.
"Kelelawar sayapnya hitam. Terbang rendah di gelap malam. Kelelawar sayapnya
hitam. Tanda hari be-
ranjak malam. Kelelawar bulunya hitam. Sama hitam
dengan bulu...."
"Hik.... Hik.... Hik...!" satu suara cekikikan tiba-tiba terdengar, membuat
Lumba-lumba kontan hentikan
nyanyian. Anehnya begitu Lumba-lumba putuskan
nyanyiannya, suara tawa cekikikan juga diputus!
Belum sampai Lumba-lumba gerakkan kepala ber-
paling. Satu sosok tubuh berkelebat. Dan di hadapan
Lumba-lumba tahu-tahu telah tegak satu sosok tubuh
dengan kedua tangan berkacak pinggang dan mata tak
berkesip menusuk tajam.
Lumba-lumba teruskan gerakan kedua tangannya
pulang balik ke depan dengan lemah gemulai dan pan-
tat bergoyang-goyang. Pemuda ini hanya sekilas me-
mandang ke arah orang yang tahu-tahu muncul yang
ternyata adalah seorang gadis muda berparas cantik
jelita dengan hidung sedikit mancung dan rambut di-
kuncir tinggi. Gadis ini mengenakan jubah warna me-
rah menyala. Di depan sana, si gadis berjubah merah dan tidak
lain adalah Putri Sableng adanya pentangkan sepasang matanya. Wajahnya jelas
membayangkan kegeraman.
Entah apa yang membuat gadis itu tiba-tiba merasa
geram. Yang pasti dan aneh, justru kejap lain gadis
berjubah merah ini perdengarkan tawa cekikikan pan-
jang. Tapi cuma sejurus. Saat lain Putri Sableng renggutkan suara tawanya, dan
terdengarlah suara benta-
kannya. "Mengapa kau tidak menepati janji?"
Sepasang mata Lumba-lumba mengerjap berulang
kali. Malah kini kedua tangannya bergerak mengusap-
usap sepasang matanya lalu dibeliakkan lebar-lebar
dengan tangan kiri kanan menarik kulit di bawah mata kiri kanannya!
"Apakah dia telah tahu..."!" Diam-diam Lumba-lumba membatin. Pemuda ini unjukkan
tampang ke- heranan lalu buka mulut.
"Rasanya kita...."
"Jangan pura-pura pakai rasanya segala!" bentak Putri Sableng memutus ucapan
Lumba-lumba. Membuat pemuda berperangai perempuan ini kancingkan
mulut rapat. "Ayo jawab! Mengapa kau tidak tepati janji"!"
"Aku tidak pernah mengucapkan janji apa-apa pa-
damu! Kita baru kali ini jumpa! Jangan kau mengada-
ada cari urusan!" Lumba-lumba balas membentak
dengan tak kalah kerasnya.
"Hem.... Begitu"!"
"Betul begitu!" jawab Lumba-lumba. Mendengar sahutan Lumba-lumba, bukannya
membuat Putri Sableng tambah dongkol, sebaliknya gadis berjubah merah ini malah
tertawa panjang seraya diam-diam membatin. "Kau masih juga tak mau mengaku!
Baik...." "Limba-limba! Aku tanya padamu. Jika kau jawab
jujur, kau akan selamat. Kalau tidak, aku akan te-
ruskan urusan Iblis Rangkap Jiwa yang tertunda! Kau
paham"!"
Meski unjukkan rasa heran, namun saat lain ju-
stru Lumba-lumba buka mulut seraya tertawa pendek.
"Aku Lumba-lumba! Bukan Limba-limba! Kau bicara pada orang yang salah! Jadi maaf
saja aku tidak bisa melayanimu!"
"Hem.... Begitu..."!"
"Benar. Begitu!" sahut Lumba-lumba sebelum Putri Sableng sempat teruskan
ucapannya. "Kalau kau cari Limba-limba, aku bisa menunjukkan di mana dia
berada!" "Sialan! Peduli setan kau Limba-limba atau Lumba-lumba! Yang pasti aku yakin
kaulah orang yang harus
jawab pertanyaanku!"
"Hem.... Begitu"!" tanya Lumba-lumba.
"Ya! Begitu!" jawab Putri Sableng menirukan sahutan Lumba-lumba. "Di mana
beradanya seorang pe-
muda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng"!"
"Ah.... Kalau itu yang kau tanyakan aku akan menjawab. Tapi harap katakan dahulu
siapa gerangan kau
adanya!" "Aku murid Pendeta Sinting! Tugasku membawa
hidup atau mati pemuda itu!"
"Hemm.... Aku tanya siapa namamu! Bukan tanya
kau murid siapa!"
"Aku Malaikat Penggali Kubur!" Kata Putri Sableng.
Tangan kanan gadis berparas cantik ini menunjuk da-
danya. "Aku telah membekal Kitab Hitam! Jangan kau berani berucap dusta jika
tidak ingin mati konyol! Kau dengar dan mengerti"!"
"Jangkrik.... Jangan-jangan dia telah tahu diriku
dan sempat melihat apa yang tadi terjadi di bawah bukit...," ujar Lumba-lumba
dalam hati. "Hem.... Tak ada gunanya lagi samaranku ini...."
Lumba-lumba tidak menyahut ucapan Putri Sab-
leng yang sebutkan diri sebagai Malaikat Penggali Kubur. Sebaliknya dia balikkan
tubuh. Tangan kanan ki-
rinya bergerak terangkat melepas gelungan rambutnya
yang tinggi. Tangannya kemudian bergerak sigap me-
lepas kancing-kancing pakaian perempuan panjang
yang dikenakannya. Saat lain Lumba-lumba gerakkan
kedua tangannya. Pakaian panjang perempuan yang
dikenakannya melorot jatuh. Di balik pakaian panjang itu kini tampaklah satu
sosok tubuh kekar berbalut
pakaian putih-putih dengan rambut sedikit panjang
acak-acakan. Lumba-lumba ambil pakaian panjang yang tergele-
tak di bawahnya seraya meloncat. Dan masih tetap
memunggungi Putri Sableng, Lumba-lumba gerakkan
tangannya yang memegang pakaian pada wajahnya.
Sementara di belakang sana, Putri Sableng mengawasi
tindakan Lumba-lumba dengan tawa tertahan.
Lumba-lumba tidak menunggu lama. Kejap lain ju-
ga dia bergerak balikkan tubuh. Di hadapan Putri Sableng kini tegak seorang
pemuda berparas tampan men-
genakan pakaian putih-putih. Rambut agak acak-
acakan sebatas bahu. Tangan kanannya terangkat
dengan jari kelingking masuk ke lobang telinga!
"Kau hendak teruskan tugasmu membawaku hidup
atau mati menghadap Pendeta Sinting"!" tanya Lumba-lumba yang kini telah
tanggalkan pakaian panjangnya
dan berubah menjadi seorang pemuda tampan dan
bukan lain adalah Pendekar 131.
Putri Sableng tidak menjawab. Sebaliknya dia aju-
kan tanya. "Mengapa kau tidak tepati janjimu untuk menung-
guku dl tempat yang telah kita tentukan" Kenapa,
he"!"
"Pada awalnya aku menunggumu. Namun sesuatu
telah merubah niatku! Dan selanjutnya kau kurasa te-
lah tahu apa yang terjadi!"
"Jangan bicara ngawur! Siapa tahu apa yang telah terjadi"!"
"Hem.... Bukankah kau telah tahu kalau Kitab Hitam nyatanya telah jatuh ke
tangan Malaikat Penggali Kubur" Itu pertanda jelas kalau selama ini kau selalu
mengikuti ke mana aku pergi!"
Putri Sableng tertawa panjang. "Kau masih juga bicara tak karuan! Siapa selalu
mengikuti ke mana kau
pergi"! Aku tahu hal itu justru dari orang lain!"
"Coba katakan siapa orang itu"!"
Putri Sableng gelengkan kepala. "Itu tidak penting!
Yang jelas kita sekarang sudah tahu di mana gerangan adanya kitab itu! Aku
sekarang tanya padamu. Apa
yang ada dalam benakmu begitu tahu kitab itu telah
jatuh ke tangan Malaikat Penggali Kubur"!"
Pendekar 131 terdiam sesaat mendengar perta-
nyaan Putri Sableng. Tapi sesaat kemudian, murid
Pendeta Sinting ini gelengkan kepala sambil berucap.
"Aku belum tahu apa yang harus kulakukan sekarang!
Yang jelas, aku telah mendapat undangan dari seorang nenek yang sebutkan diri Ni
Luh Padmi. Aku menduga
undangan itu masih ada hubungannya dengan Kitab
Hitam dan Malaikat Penggali Kubur!"
"Dugaan harus punya alasan. Apa alasanmu sam-
pai menduga kalau undangan nenek itu ada hubun-
gannya dengan Malaikat Penggali Kubur"!"
"Pada pertemuan pertama kali, nenek itu jelas tidak tahu urusan Kitab Hitam. Dia
datang dari jauh je-
las bertujuan hanya untuk mencari guruku! Tapi pada
pertemuan kedua kalinya, ada keanehan. Dia telah
bergabung dengan Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Ji-
wa! Dari ucapan-ucapannya, jelas terbayang kalau dia sekarang paham benar
tentang kitab itu dan tidak tertutup kemungkinan dia juga menginginkan kitab
itu!" Putri Sableng sejenak mendengarkan dengan sek-
sama. Namun tiba-tiba gadis cantik ini palingkan kepala dengan tangan kiri
terangkat. Kejap lain dia berkelebat.
Joko terpaksa palingkan kepala dengan dahi berke-
rut. Saat itulah dari seberang terdengar suara bentakan Putri Sableng.
"Lancang benar kau berani mencuri dengar pembi-
caraan orang! Cepat keluar!"
Maklum akan apa yang hendak terjadi, laksana
terbang, murid Pendeta Sinting berkelebat dan tegak
dua langkah di samping Putri Sableng dengan mata
liar terpentang memandang berkeliling.
Karena ditunggu agak lama tidak juga muncul se-


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang, Joko sorongkan kepala seraya berbisik.
"Kau yakin kalau memang ada orang di sekitar
tempat ini"!"
Putri Sableng bukannya menjawab dengan buka
suara, melainkan angkat tangan kanan kirinya. Lalu di sentakkan ke arah di
sebelah kanannya.'
"Waduh.... Tahan!" terdengar suara seruan dari arah mana tangan kanan kiri Putri
Sableng hendak lancarkan pukulan. Lalu dari arah kegelapan di balik satu batang pohon muncul
satu sosok tubuh yang melangkah terbungkuk-bungkuk.
Ketegangan di wajah murid Pendeta Sinting sirna
seketika. Di sebelahnya Putri Sableng turunkan kedua tangannya dengan sepasang
mata memperhatikan ta-
jam pada sosok yang baru muncul.
"Siapa kau"! Jawab cepat!" bentak Putri Sableng.
"Putri.... Jangan...." Ucapan Joko terputus. Karena bersamaan itu Putri Sableng
putar diri menghadap lalu membentak keras.
"Ini urusanku! Jangan ikut bicara!"
"Betul! Ini urusanku! Jangan ikut bicara!" mendadak orang yang baru muncul
berkata seperti apa yang
diucapkan Putri Sableng, membuat gadis berjubah me-
rah Ini berpaling dengan mata membelalak dan mulut
terkancing. Orang yang baru muncul dari kegelapan meman-
dang sejurus pada murid Pendeta Sinting. Lalu beralih pada Putri Sableng. Untuk
beberapa lama orang ini
memandangi si gadis dengan geleng-gelengkan kepala
dan mulut menguncup.
"Kalau kau tidak menjawab dan main-main, jangan menyesal!" hardik Putri Sableng.
Kembali gadis ini angkat kedua tangannya.
Di depan sana, orang yang baru muncul dan ter-
nyata adalah seorang pemuda berparas tampan sung-
gingkan senyum. Sosok bagian atas tubuhnya bergerak
sedikit membungkuk membuat sikap menjura. Pemu-
da yang ternyata tidak memiliki tangan ini lalu gerak-gerak-kan kedua bahunya
seraya berkata.
"Bukannya aku tidak mau menjawab dan bukan-
nya pula aku main-main.... Aku hanya masih terkesi-
ma, bagaimana sahabatku itu bisa menggaetmu"! Pa-
dahal kalau dibanding dengan wajahku, siapa pun
akan mengatakan aku lebih tampan! Apa ini karena
nasibku yang kurang beruntung"!"
"Nasibmu bukan saja kurang beruntung! Tapi je-
lek!" sahut Putri Sableng.
"Hai.... Apa kau bilang" Nasibku bukan saja ku-
rang beruntung, tapi jelek" Bagaimana bisa begitu"!"
"Karena kau tidak cepat jawab pertanyaanku!" bentak Putri Sableng.
"Waduh.... Baik, baik, baik! Aku akan jawab pertanyaanmu.... Apa tadi yang kau
tanyakan"!"
"Dewa Orok! Cepat jawab! Jangan terus bergurau!"
Teriak murid Pendeta Sinting sambil melangkah hen-
dak mendekat. Namun langkah kaki Joko tertahan ka-
rena saat itu Putri Sableng melompat dan tegak me-
munggungi di hadapannya dengan mulut perdengar-
kan suara bentakan.
"Kau telah dengar ucapanku! Jangan berani ikut
campur! Ini urusanku!"
"Gadis cantik...!" kata pemuda bertangan buntung yang tidak lain memang Dewa
Orok adanya. "Aku....
Aku.... Aku.... Aku adalah...."
"Dia adalah Dewa Orok!" sahut murid Pendeta Sinting seakan tak sabar melihat
Dewa Orok tidak segera
sebutkan diri. "Ah.... Betul!" ujar Dewa Orok timpali ucapan Pen-dekar131.
Putri Sableng unjukkan tampang angker dengan
mata tak berkesip pandangi Dewa Orok dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Dia adalah sahabatku...," Joko lanjutkan ucapannya lalu menyisi dan melompat ke
hadapan Dewa Orok
Sejurus murid Pendeta Sinting perhatikan Dewa
Orok "Ada yang tidak beres dengan dirinya...," gumam Joko lalu bertanya.
"Kulihat tampangmu kali ini lain. Adakah ini memang kau sengaja"!"
Dewa Orok gerakkan kepala ke atas ke bawah pan-
dangi dirinya sendiri. "Heran. Bagaimana kau bisa bilang tampangku lain"! Coba
lihat sekali lagi! Jangan-
jangan pandanganmu yang sekarang jadi lain!,"
Murid Pendeta Sinting turuti ucapan Dewa Orok.
Sepasang matanya dibeliakkan pandangi sekujur tu-
buh pemuda di hadapannya. Sementara mendapati
orang menuruti ucapannya, Dewa Orok sejurus tegak
dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu dia miringkan
tubuh ke kanan kiri. Kejap lain dia balikkan tubuh
dengan bahu digoyang-goyang.
"Bagaimana"! Ada yang berubah..."!" tanya Dewa Orok sambil terus tegak membalik.
Joko tidak menjawab, membuat Dewa Orok kemba-
li putar tubuhnya menghadap murid Pendeta Sinting
sambil terus senyum-senyum.
"Mana dotmu"!" tanya Pendekar 131.
Senyum di bibir Dewa Orok pupus. Tampangnya
seketika berubah. Malah tanpa buka mulut lagi, pe-
muda bertangan buntung ini melangkah perlahan
hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu! Hendak ke mana kau"!" tahan Joko seraya melompat dan tegak menghadang
di depan Dewa Orok. Dewa Orok gelengkan kepalanya perlahan. "Aku
tak tahu harus pergi ke mana.... Yang pasti aku akan mencari barang yang kau
tanyakan tadi!"
"Hem.... Apakah dotmu diambil orang"!"
Dewa Orok anggukkan kepala dengan wajah tam-
bah murung. Dia kembali hendak melangkah, tapi ge-
rakannya tertahan tatkala Putri Sableng ikut melompat lalu tegak di samping Joko
seraya buka mulut.
"Kulihat wajahmu sangat murung. Apakah begitu
berharganya dotmu itu"!"
Dewa Orok arahkan pandangannya pada Putri Sab-
leng. "Kau pernah bersuami"!"
Pertanyaan Dewa Orok membuat Putri Sableng
memberengut. Dewa Orok tidak pedulikan perubahan
tampang si gadis. Malah dia lanjutkan pertanyaannya.
"Kau pernah punya seorang kekasih"!"
"Dia belum pernah bersuami. Dan kurasa dia juga belum punya seorang kekasih!"
Yang memberi jawaban adalah murid Pendeta Sinting.
"Sayang.... Jika begitu aku tidak bisa menjawab pertanyaannya!" kata Dewa Orok
sambil arahkan pandangannya pada jurusan lain.
"Apa hubungan hilangnya dotmu dengan gadis ini
pernah bersuami atau punya seorang kekasih"!" tanya Joko masih penasaran dengan
jawaban Dewa Orok.
"Bagaimana kalau seorang istri ditinggal sang suami. Bagaimana perasaan
seseorang yang ditinggal ke-
kasih hati yang dicintainya. itulah perasaanku saat ini!
Itulah harga hilangnya dotku pada diriku...."
"Tapi bukankah kau masih bisa cari dot lain"!" ujar Joko.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Dot lain memang
banyak dan tak sulit mencarinya! Tapi apakah kau te-
ga meninggalkan istri atau seorang kekasih untuk cari istri dan kekasih baru,
walau hal itu tidak sulit"!"
Murid Pendeta Sinting angkat bahu. "Lalu apakah kau tahu siapa orangnya yang
mengambil dotmu?"
"Seorang perempuan berparas cantik bertubuh sintal berdada montok berpinggul
besar bertutur ramah berkulit putih berhidung mancung berbibir merah
bermata bulat bergelar Ratu Pemikat!" kata Dewa Orok nyerocos hingga begitu
ucapannya selesai, mulutnya
megap-megap. Putri Sableng dan murid Pendeta Sinting sama te-
gak dengan kaki laksana dipacak dan wajah berubah
tegang. "Bagaimana kau bisa terpikat dengan perempuan
Itu hingga dotmu pun tak bisa kau pertahankan"!"
tanya murid Pendeta Sinting.
"Ceritanya panjang. Nanti kalau ada waktu akan
kuceritakan pada kalian! Sekarang aku harus pergi
dahulu....?"
Dewa Orok kembali melangkah. Namun baru saja
mendapat empat langkah, pemuda bertangan buntung
ini berpaling dan berkata.
"Kalau kalian sempat bertemu dengan perempuan
cantik itu, harap kalian tidak melibatkan diri! Sampaikan saja salamku padanya!"
"Kalau kau tidak sempat bertemu dengan perem-
puan cantik itu, datanglah pada purnama depan ke
Kedung Ombo!" seru Joko karena Dewa Orok sudah
melangkah agak jauh.
Langkah kaki Dewa Orok terhenti. "Ini sebuah undangan untukku"!" kata Dewa Orok
tanpa berpaling.
"Terserah hendak kau katakan apa. Yang pasti firasatku mengatakan perempuan
berparas cantik ber-
tubuh sintal berdada montok berpinggul besar bertu-
tur ramah berkulit putih berhidung mancung bermata
bulat bergelar Ratu Pemikat itu akan ada di sana!"
"Ah.... Terima kasih. Tapi kemungkinan besar aku tidak bisa menghadiri undangan
itu...." "Kau percaya bisa bertemu Ratu Pemikat sebelum
purnama depan"!" tanya Joko.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Aku tidak bisa me-
mastikan! Tapi sampai kapan pun aku akan menca-
rinya!" Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya meski
saat itu dia berada tegak membelakangi orang, hingga pemuda bertangan buntung
ini terlihat menunggangi
murid Pendeta Sinting dan Putri Sableng. Saat lain bahunya bergerak. Sosoknya
berkelebat lenyap ditelan
kegelapan di depan sana.
Sesaat setelah sosok Dewa Orok lenyap, murid
Pendeta Sinting berujar tanpa berpaling. "Menurutmu, apakah ucapan Dewa Orok
tidak berdusta"!"
Tidak terdengar suara jawaban. Joko tidak peduli,
dia terus lanjutkan ucapannya. "Menurutmu, untuk apa Ratu Pemikat mengambil dot
milik Dewa Orok"!"
Karena tidak juga terdengar suara jawaban, murid
Pendeta Sinting palingkan wajah. Dia tersentak sendi-ri. Ternyata Putri Sableng
sudah tidak ada lagi di tempat itu!
"Dasar sableng! Pergi tidak bilang-bilang...," gumam murid Pendeta Sinting
seraya putar kepalanya
berkeliling. Saat itulah sepasang matanya menangkap keleba-
tan satu sosok tubuh. Menduga jika orang itu adalah
Putri Sableng, Joko cepat berkelebat.
"Tunggu!"
Orang yang berkelebat tidak pedulikan teriakan
Joko. Malah makin percepat kelebatannya dan men-
gambil arah sama dengan Dewa Orok.
"Bukan.... Bukan gadis sableng itu!" desis Joko begitu dapat menangkap agak
jelas sosok yang berkele-
bat cepat di depan sana.
Murid Pendeta Sinting lipat gandakan ilmu perin-
gan tubuhnya agar dapat berkelebat menyusul. Tapi
karena keadaan gelap dan Joko tidak mengetahui dae-
rah sekitar tempat itu, pada akhirnya Joko kehilangan jejak. Namun dia masih
dapat memastikan kalau orang
yang berkelebat seakan menyusul Dewa Orok adalah
orang perempuan yang mengenakan pakaian putih
panjang. *** EMPAT TATKALA malam hampir berujung dan memasuki
satu kawasan dataran berbatu, Ratu Pemikat memper-
lambat larinya. Di sebelah belakang, Ni Luh Padmi
yang berkelebat menyusul ikut perlambat larinya.
Pada satu tempat, mendadak sontak Ratu Pemikat
hentikan larinya dengan tangan kiri terangkat memberi isyarat pada Ni Luh Padmi.
Meski tak tahu ada apa,
tapi si nenek hentikan juga larinya dan tegak dua
langkah di belakang Ratu Pemikat.
"Celaka!" Tiba-tiba Ratu Pemikat keluarkan suara dengan mata mementang besar
memandang tak berkesip pada satu arah.
NI Luh Padmi kerutkan dahi lalu melompat dan te-
gak sejajar dengan Ratu Pemikat. Sesaat nenek yang
tangannya menggenggam tusuk konde besar berwarna
hitam ini berpaling ke arah Ratu Pemikat. Lalu meno-
leh ke arah jurusan mana Ratu Pemikat kini sedang
memandang. Sejarak enam langkah dari tempatnya berdiri, NI
Luh Padmi melihat sebuah lobang menganga di atas
tanah yang di bagian samping kanan kirinya tampak
batu-batu besar. Di sekitar lobang, terlihat hamburan tanah malah sebagian
menutup permukaan batu-batu
yang ada di kanan kiri lobang.
"Rasanya bukan perbuatan tangan manusia sem-
barangan! Dan waktunya belum lama berselang!" gumam si nenek.
"Benar!" sahut Ratu Pemikat tanpa berpaling. "Tapi bagaimana dia bias melakukan
ini?" "Menurut ceritamu di puncak bukit, apakah di sini
tempatnya pemuda buntung itu kau tanam"!" tanya Ni
Luh Padmi. Ratu Pemikat tidak jawab pertanyaan si nenek. Pe-
rempuan bertubuh sintal ini melangkah mendekati lo-
bang. Lalu memperhatikan berkeliling. "Mustahil!"
"Apanya yang mustahil"!" ujar Ni Luh Padmi setelah kini melangkah dan berdiri di
samping Ratu Pemi-
kat. "Kau lihat. Daerah ini jauh dari keramaian. Lobang ini juga tidak terlihat
kalau tidak dari jarak jauh. Lebih dari itu, pemuda bertangan buntung itu ku
tanam dalam keadaan tertotok! Apakah tidak mustahil jika pe-
muda itu bisa lolos"!"
"Hem.... Bukankah kau tadi setuju dengan uca-
panku kalau ini bukan perbuatan manusia sembaran-
gan"! Aku yakin, bukan pemuda buntung itu yang me-
lakukannya. Ada tangan lain yang lakukan ini!"
"Keparat! Siapa bangsat yang lakukan ini"!" teriak Ratu Pemikat. Saking
jengkelnya, kaki kanannya disentakkan ke tanah hingga tanah itu membentuk lo-
bang dan salah satu batu di kanan lobang tampak ber-


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

getar. Getaran batu belum berhenti, mendadak satu so-
sok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di salah satu batu di sebelah kiri lobang
tegak seseorang.
Ratu Pemikat dan Ni Luh Padmi cepat angkat tan-
gan masing-masing. Namun begitu melihat siapa
adanya orang yang tegak di atas batu, serta-merta kedua perempuan ini sama-sama
luruhkan tangan mas-
ing-masing. Ni Luh Padmi angkat kepalanya sejenak
memandang orang di atas batu, lalu alihkan pandan-
gan ke jurusan lain. Namun tidak demikian halnya
dengan Ratu Pemikat. Perempuan ini buru-buru alih-
kan pandangan dengan wajah berubah.
"Mana anjing buntung itu"!" tanya orang di atas
batu yang ternyata bukan lain adalah Iblis Rangkap
Jiwa. Saat di atas puncak Bukit Selamangleng, Iblis
Rangkap Jiwa, Ratu Pemikat, dan Ni Luh Padmi me-
Panji Wulung 11 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Mencari Bende Mataram 14
^