Pencarian

Bidadari Cadar Putih 2

Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Bagian 2


mang sepakat untuk menuju tempat di mana Iblis
Rangkap Jiwa dan Ratu Pemikat menanam tubuh De-
wa Orok. Mereka ingin buktikan ucapan Ratu Pemikat
yang menduga jika Dewa Orok pasti sudah mampus.
Atau kalaupun masih bertahan hidup, mereka akan
memberi imbalan setimpal pada pemuda bertangan
buntung itu, karena Dewa Orok telah memberikan ke-
terangan palsu pada Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu Pe-
mikat. Dewa Orok mengatakan kalau Pendekar 131 be-
rada di sebuah kuil di pantai timur. Namun saat Iblis Rangkap Jiwa dan Ratu
Pemikat sampai di tempat
yang dikatakannya, kedua orang ini tidak menemukan
orang yang dicari.
Namun perjalanan mereka bertiga rupanya terha-
lang. Karena di bawah bukit, mereka sempat berjumpa
dengan seorang pemuda berperangai perempuan yang
sebutkan diri Lumba-lumba yang ternyata adalah mu-
rid Pendeta Sinting yang sedang menyamar.
Saat Iblis Rangkap Jiwa hendak menghabisi Lum-
ba-lumba, mendadak muncul Gendeng Panuntun. Ra-
tu Pemikat yang telah maklum dan paham benar siapa
adanya Gendeng Panuntun segera saja berkelebat per-
gi. Ni Luh Padmi sejenak masih sempat berbincang
malah si nenek masih utarakan undangannya pada
purnama depan. Sementara Iblis Rangkap Jiwa masih
hendak teruskan niatnya, namun Gendeng Panuntun
dan Lumba-lumba keburu pergi.
Karena sudah sepakat, maka tak sulit bagi Iblis
Rangkap jiwa menduga ke mana Ratu Pemikat dan Ni
Luh Padmi berkelebat mendahului. Hingga begitu Ratu
Pemikat dan Ni Luh Padmi baru saja sampai di kawa-
san batu di mana tadinya Dewa Orok ditanam, Iblis
Rangkap Jiwa sudah pula muncul di tempat itu.
Begitu mendapati Dewa Orok tidak tampak batang
hidungnya, malah tempat di mana pemuda bertangan
buntung itu ditanam terlihat porak-poranda, Iblis
Rangkap Jiwa naik pitam. Karena dengan lolosnya De-
wa Orok, urusannya dengan Malaikat Penggali Kubur
akan tambah sulit.
"Jahanam! Mengapa tidak buka mulut menjawab!
Mana anjing buntung itu"!" bentak Iblis Rangkap Jiwa dengan mata melotot pada
Ratu Pemikat. Meski merasa bersalah dalam urusan ini, namun
mendapati dirinya dibentak begitu rupa, Ratu Pemikat tidak tinggal diam.
Perempuan bertubuh bahenol ini
angkat kepalanya pandangi Iblis Rangkap Jiwa yang
berkacak pinggang di atas batu.
"Matamu tidak buta! Apa kau lihat aku membawa
anjing buntung itu"!" kata Ratu Pemikat dengan suara tak kalah kerasnya.
"Hem...." Iblis Rangkap Jiwa menyeringai sambil arahkan pandangannya ke tempat
bekas lobang di
mana tadi Dewa Orok ditanam. Lalu beralih pada Ratu
Pemikat. Iblis Rangkap Jiwa angkat tangan kirinya. Te-lunjuknya lurus mengarah
pada Ratu Pemikat. "Kau...!
Ini gara-gara ulahmu yang memberi usul agar kau me-
nunda urusan dengan anjing buntung itu! Sekarang
kau lihat apa yang terjadi! Bukan saja dugaanmu me-
leset, tapi anjing buntung itu telah lolos dan pasti dalam keadaan hidup!" Iblis
Rangkap Jiwa sejurus hentikan ucapannya. Kepalanya bergerak alihkan pandan-
gan, "Kau harus bertanggung jawab!"
Ratu Pemikat sesaat terdiam mendengar ucapan
Iblis Rangkap Jiwa. Ucapan Iblis Rangkap Jiwa me-
mang tidak salah. Karena Ratu Pemikat yang memberi
usul agar urusan dengan Dewa Orok sementara waktu
ditunda. Namun Ratu Pemikat tidak mau begitu saja dis-
alahkan. Perempuan berparas cantik ini segera angkat bicara.
"Enak saja kau alihkan tanggung jawab pada orang lain! Saat itu aku memang yang
memberi usul! Tapi
kau setuju! Kalau tidak, mengapa kau biarkan anjing
buntung itu tetap hidup, padahal membunuhnya saat
itu semudah meludah ke tanah!"
"Keparat! Kau mulai pintar putar balik masalah!"
Ratu Pemikat tertawa pendek meski diam-diam da-
da perempuan ini dibuncah perasaan gundah dan geli-
sah. Bagaimanapun juga Iblis Rangkap Jiwa bukanlah
tandingannya. Kalau laki-laki berkepala gundul ini tidak segera reda hawa
amarahnya, tidak tertutup ke-
mungkinan nyawanya sendiri yang akan jadi korban.
Karena dia tahu, dengan lolosnya Dewa Orok dari tan-
gan Iblis Rangkap Jiwa, nyawa laki-laki ini berada di ujung tanduk. Karena tugas
utama yang harus dija-lankan adalah membunuh Dewa Orok. Jika gagal, si
pemberi perintah yang bukan lain adalah Malaikat
Penggali Kubur tidak akan mengampuni nyawa Iblis
Rangkap Jiwa. (Tentang urusan Malaikat Penggali Ku-
bur dengan Iblis Rangkap Jiwa silakan baca serial Jo-ko Sableng dalam episode :
"Warisan Laknat").
"Iblis Rangkap Jiwa...!" ujar Ratu Pemikat. "Semua sudah terjadi. Kau marah
sampai langit terangkat dan laut terkikis, tak akan ada gunanya! Yang penting
sekarang, bagaimana usaha kita untuk menemukan
kembali pemuda bertangan buntung itu!"
"Enak saja kau buka mulut! Kau tahu, tinggal sisa berapa hari purnama depan"
Apakah kau bisa memas-
tikan dapat menemukan pemuda buntung itu sebelum
purnama" Padahal masih banyak yang harus kita la-
kukan! Dan kau juga tahu, jika sampai purnama de-
pan aku tidak dapat selesaikan urusan dengan anjing
buntung itu, maka...." Iblis Rangkap Jiwa tidak lanjutkan ucapannya. Kaki
kanannya bergerak. Braakkk!
Batu di mana dia tengah berdiri tegak hancur be-
rantakan. Sosok Iblis Rangkap Jiwa sudah melompat
terlebih dahulu sebelum batu itu hancur terkena hen-
takan kakinya. Dia kini tegak di atas batu sebelah kanan lobang.
"Keparat benar! Kalau sudah begini, apa yang harus kulakukan"!" desis Iblis
Rangkap Jiwa. Sepasang matanya kembali memandang pada Ratu Pemikat. Gejolak hawa
amarahnya kini timbul kembali. "Gara-gara perempuan sundal itu, urusanku jadi
berantakan! Hemmm.... Dia harus bertanggung jawab!"
"Ratu Pemikat! Untuk sementara rencana yang kita susun di puncak bukit terpaksa
kita batalkan!"
Ratu Pemikat sentakkan kepala berpaling pada Ib-
lis Rangkap Jiwa. "Urusan dengan anjing buntung itu adalah urusan kecil! Ada
urusan lebih besar yang harus kita lakukan! Apakah kau akan korbankan urusan
besar hanya demi urusan dengan pemuda bertangan
buntung itu"!"
"Setan! Dengar! Urusan dengan anjing buntung itu lebih besar bagiku dibanding
urusan pertemuan pada
purnama depan! Karena itulah, nyawamu tidak akan
kulepas kalau sampai urusan dengan anjing buntung
itu tidak segera selesai!"
Walau dadanya makin dibuncah dengan rasa geli-
sah dan gundah, namun Ratu Pemikat tak mau un-
jukkan tampang ketakutan. Dia tengadahkan kepala
sambil berujar.
"Lalu apa rencanamu sekarang"!"
"Aku tak punya rencana apa-apa! Yang pasti, kau harus dapat temukan kembali
manusia buntung itu!
Hidup atau mati! Dan harus kau temukan sebelum
purnama depan! Kalau kau gagal, nyawamu sebagai
gantinya!"
Ni Luh Padmi yang sedari tadi diam mendengarkan
maju satu tindak. Kepalanya berpaling pada Iblis
Rangkap Jiwa, lalu beralih pada Ratu Pemikat. Mulut-
nya terbuka perdengarkan suara.
"Menurutku.... Apa tidak lebih baik kita teruskan rencana sambil kita cari jejak
pemuda bertangan buntung itu! Dengan begitu, tujuan kita masing-masing tidak
sampai terbengkalai! Sisa waktu sampai purnama
depan memang tidak lama, namun kurasa masih cu-
kup untuk mengambil keputusan yang tepat!"
Iblis Rangkap Jiwa menoleh pada si nenek. "Kau
tahu apa urusan ini"!"
Ni Luh Padmi rangkapkan kedua tangannya di de-
pan dada. Kepalanya menggeleng. "Aku memang tak tahu persis. Namun setidaknya
aku bisa meraba. Bukankah dengan lolosnya pemuda bertangan buntung
itu, jiwamu terancam oleh Malaikat Penggali Kubur?"
Ni Luh Padmi tidak menunggu sahutan Iblis Rang-
kap Jiwa. Seraya alihkan pandangannya pada jurusan
lain, si nenek lanjutkan ucapannya. "Menuruti cerita kalian berdua, saat ini
kurasa urusan dengan Pendekar 131 lebih utama bagi Malaikat Penggali Kubur dari
pada urusan dengan pemuda bertangan buntung itu!"
Ni Luh Padmi berpaling pada Ratu Pemikat.
"Ratu Pemikat! Sesuai rencana, kau pergi ke arah Timur. Namun kau punya tugas
ganda. Selain rencana
yang kita sepakati, kau juga punya tugas mencari dan menemukan pemuda bertangan
buntung itu. Kalau-
pun tidak berhasil kau temukan, kau harus atur ba-
gaimana caranya Malaikat Penggali Kubur bisa mene-
rima apa yang telah terjadi! Ingat, bagaimanapun ting-ginya ilmu yang dimiliki
Malaikat Penggali Kubur, tidak mungkin dia bisa hadapi beberapa orang tokoh yang
hendak kita hadirkan pada malam purnama nanti!
Percayalah. Setidaknya Malaikat Penggali Kubur masih butuh tenaga tambahan! Dan
dia tidak akan bertindak
bodoh membunuh Iblis Rangkap Jiwa hanya karena lo-
losnya pemuda buntung itu!"
Mendapati ada benarnya ucapan si nenek, hawa
kemarahan Iblis Rangkap Jiwa sedikit mereda. Namun
laki-laki ini masih belum merasa tenang karena Ratu
Pemikat belum menyahut ucapan Ni Luh Padmi.
Sementara di lain pihak, mendengar ucapan Ni Luh
Padmi, Ratu Pemikat merasa sedikit lega apalagi tatka-la dilirik nya Iblis
Rangkap Jiwa tunjukkan tampang setuju dengan ucapan si nenek. Namun diam-diam
perempuan cantik ini masih merasa ada ganjalan. Kare-
na kalau dia gagal menemukan Dewa Orok dan harus
mempertanggung jawabkan di hadapan Malaikat Peng-
gali Kubur, dia tahu apa yang harus diterima.
"Pemuda itu memang tampan dan kekar.... Tapi dia memperlakukan aku laksana
pelacur! Hem.... Apa boleh buat.... Dari pada harus cari urusan baru, ucapan
nenek itu layak kuikuti...."
Membatin begitu, setelah cukup lama tidak ada
yang buka suara, Ratu Pemikat memecah kesunyian.
"Baik! Urusan dengan pemuda bertangan buntung di hadapan Malaikat Penggali Kubur
serahkan padaku!
Sekarang kita teruskan rencana kita semula!"
"Hem.... Tapi jika kau memutar balik lidah di hadapan Malaikat Penggali Kubur,
nyawamu lah yang
pertama kali ku cabut sebelum pertemuan purnama
depan nanti berlangsung!" ancam Iblis Rangkap Jiwa.
Ratu Pemikat seakan tidak mendengar ancaman
Iblis Rangkap Jiwa. Dia arahkan pandangannya pada
Ni Luh Padmi. "Nek.... Kau ke arah barat. Dua hari sebelum purnama, kita jumpa
di puncak Bukit Selaman-
gleng!" Tanpa menunggu jawaban orang, Ratu Pemikat
berkelebat tinggalkan tempat itu. Ni Luh Padmi sesaat mengawasi kelebatan Ratu
Pemikat. Tanpa berpaling
pada Iblis Rangkap Jiwa, si nenek berujar. "Kau ke arah selatan! Dan kita jumpa
di tempat yang kita tentukan! Bukit Selamangleng dua hari sebelum purna-
ma!" Seperti halnya Ratu Pemikat, tanpa menunggu ja-
waban orang, Ni Luh Padmi segera berkelebat tinggal-
kan tempat itu mengambil jurusan berlawanan dengan
Ratu Pemikat. Berada sendirian, Iblis Rangkap Jiwa sejenak tam-
pak menarik napas panjang. Walau telah mendapat
kepastian dari Ratu Pemikat soal urusannya dengan
Dewa Orok, namun laki-laki ini tampaknya belum bisa
lenyapkan rasa gelisah.
"Apakah mungkin Malaikat Penggali Kubur bisa
menerima" Kalau tidak, bagaimana nanti dengan diri-
ku" Ah.... Ini gara-gara aku begitu mudah percaya
rayuan perempuan itu! Kalau tidak, aku tidak akan
harus bingung begini rupa! Tapi semua sudah telanjur!
Kalaupun Malaikat Penggali Kubur tidak bisa meneri-
ma, apa harus dikata! Beratus tahun aku menunggu!
Aku tak mau penantian ku sia-sia! Malaikat Penggali Kubur boleh berilmu tinggi
dengan membekal Kitab Hitam. Tapi aku tidak akan undur satu langkah! Kitab
Hitam harus dapat kurebut! Purnama depan tidak la-
ma lagi, sambil berjalan ke arah selatan, cukup bagiku
merencanakan apa yang harus kuperbuat sebelum
purnama berlangsung! Bahkan kalau bisa, Kitab Hitam
harus sudah berada di tanganku sebelum purnama
nanti!" Iblis Rangkap Jiwa sunggingkan senyum. Kaki ka-
nannya bergerak sekali. Laksana terbang sosoknya
berkelebat melewati dataran berbatu yang mulai terang karena bias sang surya
telah muncul di hamparan langit sebelah timur.
*** LIMA KITA tinggalkan dahulu Iblis Rangkap Jiwa yang
menuju arah selatan seperti apa yang sebelumnya
menjadi kesepakatan antara dia, Ratu Pemikat, dan Ni Luh Padmi. Juga kita
tinggalkan Ni Luh Padmi yang
berkelebat ke arah barat. Kita ikuti kelebatan Ratu
Pemikat yang menuju arah timur.
Kira-kira seratus tombak dari kawasan dataran
berbatu, Ratu Pemikat hentikan larinya. Saat itu suasana mulai terang. Ratu
Pemikat dapatkan dirinya di
sebuah pinggiran danau luas. Pemandangan di tempat
itu sangat indah. Sejauh mata memandang, tampak
alur berwarna hijau jajaran pohon dan tumbuhan yang
melingkari danau.
Tapi pemandangan itu tidak membuat Ratu Pemi-
kat tertarik. Pikirannya masih kacau dan gelisah. Seraya tegak, sesekali
perempuan ini menghela napas dalam dan panjang. "Apa yang harus kulakukan
sekarang"! Menuruti kesepakatan pergi ke arah timur men-
cari jejak Pendekar 131" Ataukah aku harus tunda
dahulu ke arah timur dan menemui Malaikat Penggali
Kubur dahulu?"
Ratu Pemikat memandang ke arah tengah danau


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berair jernih. Lama perempuan ini tegak mema-
tung. Tapi beberapa saat kemudian, kepalanya tenga-
dah. "Sebaiknya aku menemui Malaikat Penggali Kubur
dahulu!" Ratu Pemikat bergumam memutuskan. "Dengan jelasnya urusan Dewa Orok di
mata Malaikat Penggali Kubur, setidaknya pertemuan pada purnama
nanti tidak akan ada hal lain yang mengganjal! Aku
tahu bagaimana mengatakan urusan Dewa Orok den-
gan Iblis Rangkap Jiwa pada Malaikat Penggali Kubur!
Dan Kurasa dia masih berada di tempat yang dulu....
Aku tahu apa resikonya menemui dia...." Dada perempuan Ini bergerak turun naik
dengan cepat. "Sayang.... Seandainya dia berlaku sedikit lembut, aku akan melayaninya dengan
senang hati.... Tapi daripada harus dijamah laki-laki keparat gundul itu, lebih
baik aku pasrah dengan pemuda itu, meski dia
bersikap kasar...."
Ratu Pemikat putar diri setengah lingkaran. Kejap
lain perempuan ini telah berkelebat cepat.
Saat matahari mulai condong ke arah barat, dan
ketika memasuki kawasan sepi yang ditumbuhi rang-
gasan semak belukar tinggi, Ratu Pemikat sedikit
memperlambat larinya. Dan perempuan ini baru henti-
kan langkahan kakinya saat sejarak delapan tombak di hadapannya tampak sebuah
goa agak besar.
"Mudah-mudahan dia masih berada di sini...," Ratu Pemikat arahkan pandangannya
berkeliling sebelum
akhirnya memandang tak berkesip pada goa di depan
sana. "Dia tak pernah mengatakan akan berada di mana
sebelum purnama mendatang. Tapi tempat ini adalah
terakhir kalinya dia ada bersamaku! Di tempat ini dia memperlakukan diriku
laksana binatang rendah!" Ratu Pemikat berkata sendiri dalam hati. Ingat akan
kejadian beberapa waktu yang lalu mau tak mau membuat
tengkuk perempuan bertubuh bahenol ini merinding.
"Apa dia akan berbuat sama"! Ah.... Semua sudah
ku putuskan! Apa yang nanti terjadi, aku harus siap!
Ini adalah kesempatan bagiku. Kalau sampai aku tidak bisa menemuinya, aku bakal
mendapat celaka...!
Memperturutkan kata hati, ingin rasanya aku lang-
sung membunuhnya saat dia lengah. Tapi selama Ki-
tab Hitam masih berada di tangannya, apakah mung-
kin hal itu bias kulakukan" Aku pernah mencobanya.
Tapi.... Bukan saja mengalami kegagalan, tapi mem-
buat dia memperlakukan aku seperti barang mainan
tak berguna! Hem.... Aku harus dapat akal"
Ratu Pemikat sipitkan sepasang matanya dengan
dahi berkerut. Jelas kalau perempuan ini tengah me-
mikirkan sesuatu.
Namun belum sampai Ratu Pemikat dapat mene-
mukan apa yang harus dilakukan, satu suara terden-
gar. "Hem.... Kau datang pada saat yang tepat! Berhari-hari aku sepi sendiri!"
Satu sosok tubuh berkelebat keluar dari dalam
goa. Dan tahu-tahu di hadapan Ratu Pemikat telah te-
gak seorang pemuda berwajah tampan mengenakan
pakaian hitam. Sepasang matanya berkilat tajam. Ra-
hangnya kokoh. Rambutnya panjang hitam lebat.
"Malaikat Penggali Kubur!" desis Ratu Pemikat mengenali si pemuda. Perempuan ini
tersentak ketika
dia sadar kalau belum mendapatkan jalan apa yang
harus diperbuatnya, apalagi begitu mendengar ucapan
si pemuda yang bukan lain memang Malaikat Penggali
Kubur adanya. Namun dalam keadaan begitu, Ratu
Pemikat masih bisa merasa agak lega karena pada ak-
hirnya dia dapat bertemu dengan Malaikat Penggali
Kubur. Malaikat Penggali Kubur pandangi sekujur tubuh
perempuan di hadapannya dengan mata terpentang
besar dan bibir sunggingkan senyum aneh. Yang di-
pandang hanya sekilas balas memandang sebelum ak-
hirnya alihkan pandangan ke mulut goa dengan mulut
terkancing. "Sebelum kau hangat hari-hari sepi ku, aku ingin
tanya kau datang menemuiku jauh sebelum hari yang
ku tentukan! Pasti kau membawa kabar! Katakan pa-
daku!" "Sesuai perkataan mu, aku bertemu dengan Iblis Rangkap Jiwa. Dan tak lama
kemudian muncul nenek
bernama Ni Luh Padmi...." Sejenak Ratu Pemikat hentikan keterangannya.
Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Lanjutkan
keteranganmu! Katakan apa yang kau lakukan bersa-
ma Iblis Rangkap Jiwa sebelum jumpa dengan nenek
tua bangka itu! Karena selang waktunya beberapa ha-
ri! Apa kalian habiskan bersenang-senang berdua atau ada hal lain yang kalian
kerjakan!"
Tampang Ratu Pemikat berubah merah padam.
Namun sadar dengan siapa kali ini berhadapan, Ratu
Pemikat coba menindih perasaan lalu berkata.
"Kami berdua berhasil menemukan seorang pemu-
da bertangan buntung bergelar Dewa Orok! Menurut
yang kudengar dari iblis Rangkap Jiwa, kau menu-
gaskan laki-laki itu untuk membunuh Dewa Orok! Be-
tul"!"
"Jangan ajukan tanya! Teruskan saja keterangan-
mu!" sentak Malaikat Penggali Kubur tetap dengan kepala tengadah.
"Aku dan Iblis Rangkap Jiwa berhasil melumpuh-
kan Dewa Orok! Pemuda buntung itu kami tanam da-
lam keadaan tertotok pada satu tempat yang kami ya-
kin tak mungkin diketahui orang!"
"Kalian tidak membunuh Dewa Orok yang kau ka-
takan pemuda buntung itu"!"
Ratu Pemikat sesaat terdiam. Malaikat Penggali
Kubur gerakkan kepala menghadap Ratu Pemikat.
"Walau kami tidak membunuhnya, tapi kami yakin.
pemuda itu akan mampus! Dewa Orok kami tanam da-
lam keadaan tertotok di tempat sepi! Bagaimanapun
tinggi ilmu yang dimiliki, dia...."
"Jahanam! Kalian bertindak sembrono!" bentak Malaikat Penggali Kubur memotong
keterangan Ratu Pe-
mikat. "Dia memang tidak akan bisa lolos, tapi kalau ada tangan lain yang
menyelamatkannya"!"
Dada Ratu Pemikat bergetar keras. Kepalanya ter-
sentak laksana digaet tangan setan. Namun perem-
puan ini cepat sadar. Dia buru-buru tutupi rasa kejutnya dengan gelengkan kepala
sambil cepat menyahut.
"Meski sebenarnya aku tidak terlibat secara langsung urusan ini, namun aku tahu
siapa Dewa Orok!
Jadi kau tak usah khawatir! Aku dan Iblis Rangkap
Jiwa telah memperhitungkan semuanya! Perhitungan
kami tidak mungkin meleset!"
"Apa yang kalian perhitungkan"!"
"Dia tidak akan bertahan sampai satu hari!"
"Hem.... Begitu"! Apa kalian juga sudah berhitung, bagaimana kalau tangan
penyelamat itu datang begitu
kalian pergi"!"
"Sudah kubilang. Tempat itu rasanya sulit dijang-kau kaki manusia! Belum lagi
kawasannya berbatu!
Dan waktu kami tinggalkan, hari sudah menjelang ma-
lam!" ujar Ratu Pemikat dengan dada makin gelisah meski bibirnya sunggingkan
senyum. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur menatap
lekat-lekat pada Ratu Pemikat dengan mulut terkanc-
ing rapat. Di pihak lain, dipandangi begitu rupa, perempuan bertubuh sintal jadi
makin tidak enak. Malah diam-diam tengkuknya tambah dingin. "Apa yang dipi-
kirkannya"!" membatin Ratu Pemikat. "Dia seolah tahu apa yang telah terjadi....
Apakah dia sebenarnya telah...."
"Ratu Pemikat!" kata Malaikat Penggali Kubur memutus kata hati Ratu Pemikat.
"Kata-kata bukanlah sesuatu yang bermakna bagi Malaikat Penggali Kubur!
Aku tak peduli kau sudah berhitung berapa kali ten-
tang urusan Dewa Orok. Tapi ada sesuatu yang lebih
daripada itu! Tunjukkan bukti kalau kalian telah melumpuhkan manusia itu!"
Ucapan Malaikat Penggali Kubur membuat dada
Ratu Pemikat mereda. Karena sebenarnya ucapan itu-
lah yang ditunggu-tunggu. Hingga begitu Malaikat
Penggali Kubur selesai dengan ucapannya, tangan ka-
nan Ratu Pemikat bergerak menyelinap ke balik pa-
kaiannya. Saat tangan itu kembali ditarik, tampaklah sebuah bundaran karet mirip
dot bayi. Karena selama ini Malaikat Penggali Kubur belum
pernah bertemu dengan Dewa Orok, membuat pemuda
itu sempat beliakkan mata melihat apa yang ada di
tangan kanan Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat melangkah maju. Bundaran karet se-
gera diulurkan pada Malaikat Penggali Kubur. Namun
perempuan ini merasa sedikit heran. Malaikat Penggali Kubur bukannya merasa
gembira dan segera mengambil bundaran karet, sebaliknya memandang Ratu Pe-
mikat dengan rahang sedikit mengembung.
"Kau jangan bercanda! Apa hubungan bundaran
karet rongsokan itu dengan Dewa Orok"!" bentak Malaikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat mengernyit. "Bagaimana ini" Apa
benda ini belum membuatnya merasa yakin"!"
"Kau belum jawab! Apa hubungan benda itu den-
gan Dewa Orok"!" untuk kedua kalinya Malaikat Penggali Kubur membentak. Malah
kali ini sambil sentak-
kan tangan kanannya ke bawah. Hingga saat itu juga
terdengar deruan keras.
"Ah, jangan-jangan dia belum pernah jumpa den-
gan Dewa Orok! Buktinya dia tidak tahu benda ini...,"
akhirnya Ratu Pemikat dapat menarik kesimpulan. La-
lu seraya tersenyum, dia angkat bicara.
"Kau belum pernah bertemu dengan Dewa Orok...?"
Malaikat Penggali Kubur tidak buka mulut menja-
wab. Hal ini membuat Ratu Pemikat tambah yakin
akan kebenaran kesimpulannya. Hingga tanpa me-
nunggu Malaikat Penggali Kubur buka mulut, dia ber-
kata. "Dewa Orok adalah seorang pemuda berparas tam-
pan. Dia tidak memiliki tangan alias buntung. Lebih
dari itu, dia selalu mengulum bundaran karet mirip
dot bayi. Itulah sebabnya mengapa dia bergelar Dewa
Orok! Kau paham sekarang...?"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. Tangan ka-
nannya bergerak ke depan. Tahu-tahu bundaran karut
telah berada di tangannya.
Untuk beberapa saat Malaikat Penggali Kubur per-
hatikan bundaran karet di tangannya. Kejap lain dia
selinapkan bundaran karet ke balik pakaiannya.
"Sekarang aku ingin dengar bagaimana dengan tu-
gasmu!" "Semua berjalan sesuai rencana yang kususul dengan iblis Rangkap Jiwa! Kau
tinggal menunggu! Dua
hari sebelum hari pertemuan berlangsung, kau akan
mendapat kabar!"
Wajah Malaikat Penggali Kubur berubah menyi-
ratkan kegembiraan. "Bagus! Kapan pertemuan itu akan berlangsung?"
"Seperti ucapanmu, pertemuan itu akan berlang-
sung pada purnama ini!"
Mungkin saking gembiranya, Malaikat Penggali
Kubur melompat ke depan. Tangan kanannya mencek-
al lengan Ratu Pemikat. "Kau telah bertemu dengan Pendekar 131"!"
Meski tampak gemetar, tapi Ratu Pemikat akhirnya
menjawab juga dengan suara dibuat tegar. "Itu telah menjadi tugas yang harus
kulakukan! Kau tak perlu
banyak bertanya dahulu. Yang jelas, purnama depan,
kau akan bertemu dengan Pendekar 131! Malah tidak
tertutup kemungkinan akan hadir pula beberapa tokoh
golongan putih!"
Malaikat Penggali Kubur lepaskan cekalannya pada
lengan Ratu Pemikat. Kepalanya mendongak. Lalu ter-
dengar suara tawanya menggembor keras membahana.
"Bagus! Bagus! Tidak salah aku memilihmu sebagai pembantuku! Apa yang telah kau
lakukan adalah sebuah pekerjaan luar biasa!" kata Malaikat Penggali Kubur begitu
suara tawanya lenyap. Pemuda murid
Bayu Baja ini kembali arahkan pandangannya pada
Ratu Pemikat. Lalu bertanya. "Apa hanya untuk memberitahukan kabar gembira itu
kau datang jauh sebe-
lum waktunya"! Atau ada hal lain yang ingin kau sam-
paikan"!"
"Seperti kukatakan tadi, beberapa hari setelah per-temuanku dengan Iblis Rangkap
Jiwa, tiba-tiba mun-
cul seorang nenek yang sebutkan diri Ni Luh Padmi...."
Ratu Pemikat menatap tajam dahulu pada Malaikat
Penggali Kubur sebelum melanjutkan. "Urusan purnama depan bukan urusan kecil.
Aku tak mau usaha-
ku berantakan! Aku harus hati-hati. Termasuk pada
nenek itu. Apakah benar dia salah seorang yang juga
kau beri tugas"!"
"Aku senang mendengar ucapanmu. Berarti kau
orang yang tidak mudah percaya! Tapi perihal nenek
itu, kau tak usah menduga yang tidak-tidak! Dia me-
mang salah seorang yang kubebani tugas!"
Malaikat Penggali Kubur alihkan pandangan. "Tapi kalau dia bertindak macam-
macam, kau kuberi kebe-basan untuk membuatnya mampus terlebih dahulu!
Bukan hanya tua bangka itu saja. Kau juga kuberi ke-
wenangan untuk membunuh Iblis Rangkap Jiwa kalau
kau rasa itu perlu!"
"Hem.... Manusia ini benar-benar licik! Dia ingin mencabut nyawa orang tanpa
harus banyak bersusah
payah!" membatin Ratu Pemikat. Lalu tersenyum dan berkata.
"Menurutku.... Tenaga kedua orang itu masih kau butuhkan! Kehadiran beberapa
tokoh lain pada purnama depan tidak bisa dipandang enteng....!"
Rahang Malaikat Penggali Kubur mendadak te-
rangkat mengembung. Pelipis kanan kirinya bergerak
gerak. Tangan kanannya terangkat mengepal. Saat
bersamaan, mulutnya semburkan ucapan keras.
"Kitab Hitam telah berada di tanganku! Berarti kekuatan dunia ada dalam
genggamanku! Tanpa seorang
pembantu pun, tanganku sanggup mengalirkan darah
meski darah setan sekali pun!"
Tangan kanan Malaikat Penggali Kubur yang men-


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gepal bergerak membuka keluarkan suara berkerete-
kan. Perlahan-lahan pemuda ini tarik sedikit tangan-
nya ke perut. Lalu bergerak mengusap-usap. Saat ber-
samaan tubuhnya membalik memunggungi mulut goa.
Terdengar deruan pelan tanpa adanya cahaya atau
sinar yang berkiblat. Tidak juga terlihat adanya sambaran gelombang dahsyat.
Namun saat itu juga rang-
gasan semak belukar laksana disapu gelombang luar
biasa dahsyat. Semak belukar terabas rata hingga tanah di ba-
wahnya ikut tersapu bertaburan ke udara. Beberapa
pohon berderak dan langsung tumbang lalu ikut tersa-
pu ke udara menjadi serpihan-serpihan! Tanah di tem-
pat itu bergetar hebat laksana dilanda gelombang gem-pa! Malah di belakang sana,
mulut goa longsor. Bahkan Ratu Pemikat harus kerahkan tenaga dalam kua-
sai diri agar sosoknya tidak terhuyung-huyung!
Malaikat Penggali Kubur putar diri menghadap Ra-
tu Pemikat. "Apa yang baru kau lihat akan dialami beberapa orang yang hadir
purnama depan?"
"Hem.... Kitab itu benar-benar luar biasa...," kata Ratu Pemikat dalam hati.
"Seandainya kitab itu...."
"Masih ada yang hendak kau utarakan"!" tanya Malaikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat tidak segera buka mulut. Perempuan
Ini sepertinya masih terkesima dengan apa yang baru
saja disaksikan. Malaikat Penggali Kubur tersenyum
aneh. "Kalau memang tidak ada hal lain yang akan kau
utarakan, rasanya sudah saatnya kau menghangatkan
tubuhku!" Ratu Pemikat tersadar. Dia hendak melompat
mundur. Namun tangan Malaikat Penggali Kubur ber-
gerak mendahului. Hingga belum sampai Ratu Pemikat
membuat gerakan, kedua tangan Malaikat Penggali
Kubur sudah melingkar erat pada pinggangnya. Saat
bersamaan, wajah pemuda itu sudah bergerak merun-
duk ke leher putih jenjangnya. Sejenak Ratu Pemikat
terlibat meronta hendak lepaskan diri. Namun begitu
wajah Malaikat Penggali Kubur terus ke bawah dan
menelusup ke belahan dadanya, mau tak mau mem-
buat perempuan bertubuh sintal ini menggeliat dan
mulai dilanda gejolak.
Apalagi pada saat yang sama, kedua tangan Malai-
kat Penggali Kubur sudah pula merambat ke pinggul.
Hingga pada akhirnya Ratu Pemikat hanya diam pa-
srah. Malah tak lama kemudian dari mulutnya terden-
gar desahan panjang dengan mata setengah terpejam.
Kedua tangannya pun mulai bergerak melingkar pada
tengkuk si pemuda!
Ratu Pemikat lupa bahwa dirinya punya ilmu
'Penyalur Suara' dan rangsangan yang dapat membuat
orang tenggelam dalam gejolak dan mengatakan apa
yang ditanyakannya. Bahkan Ratu Pemikat tidak ingat
apa rencananya semula yang akan dilakukan kalau
Malaikat Penggali Kubur terlena dalam gejolak naf-
sunya! Untuk beberapa lama, kedua orang itu tenggelam
dalam gejolak masing-masing. Malaikat Penggali Kubur terus telusuri anggota
tubuh di pelukannya dengan
mata berkilat-kilat dan dada naik turun keras. Sementara Ratu Pemikat mulai
membalas seraya mendesah
panjang. Tiba-tiba kedua tangan Malaikat Penggali Kubur
bergerak sekali. Ratu Pemikat tersentak kaget. Karena perempuan ini rasakan
tubuhnya melayang ke udara
Dan belum tahu apa yang akan dilakukan orang, tiba-
tiba terdengar Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak. Lalu berkata.
"Ada tempat yang lebih bagus! Dan kau pasti tidak akan lupa tempat itu!"
Ucapan Malaikat Penggali Kubur belum selesai,
pemuda murid Bayu Bajra ini telah melesat ke atas
menyongsong tubuh Ratu Pemikat. Saat turun kembali
ke tanah, sosok Ratu Pemikat telah telentang dalam
tadahan kedua tangannya!
Malaikat Penggali Kubur sorongkan kepala men-
cium bibir Ratu Pemikat. Lalu seraya terus berpagu-
tan, dia melangkah ke arah mulut goa.
Baru saja kaki kanan Malaikat Penggali Kubur me-
lewati mulut goa, mendadak terdengar suara orang ba-
tuk-batuk kecil beberapa kali.. Jelas kalau suara batuk itu dibuat-buat.
Malaikat Penggali Kubur hentikan gerakan kaki ki-
rinya yang hendak melewati mulut goa. Wajahnya dita-
rik dari wajah Ratu Pemikat. Dan laksana disambar gelombang, kepala si pemuda
menyentak berpaling ke
belakang. Sesaat sepasang mata Malaikat Penggali Kubur
membesar. Hawa amarah yang sesaat terpancar dari
raut wajahnya sirna. Bibirnya kini sunggingkan se-
nyum. Dan tanpa diduga sama sekali, kedua tangan-
nya yang membawa sosok Ratu Pemikat disentakkan
ke depan. Karena tidak tahu apa yang dilakukan orang dan
tidak menyangka, Ratu Pemikat hanya diam saja. Yang
ada dalam pikiran perempuan itu, Malaikat Penggali
Kubur hanya akan berbuat sama seperti di luar tadi.
Namun hingga sosoknya hampir terjerembab di atas
tanah dan Malaikat Penggali Kubur tidak membuat ge-
rakan apa-apa untuk menahan, Ratu Pemikat baru
tersadar. Namun terlambat. Sebelum dia membuat ge-
rakan untuk selamatkan diri dari menghantam lantai
goa. sosoknya telah terkapar!
Sambil berseru tertahan, Ratu Pemikat cepat ber-
gerak bangkit. Namun sepasang matanya tidak lagi
melihat Malaikat Penggali Kubur.
Dengan terus menyumpah habis-habisan, Ratu
Pemikat melangkah ke mulut goa. Sepasang mata pe-
rempuan ini menyipit dengan dahi berkerut. Di luar
sana terlihat Malaikat Penggali Kubur melangkah per-
lahan mendekati seorang laki-laki berusia lanjut yang tegak dengan kepala
berpaling pada jurusan lain.
*** ENAM St JARAK delapan langkah di hadapan orang, Ma-
laikat Penggali Kubur hentikan langkah. Sesaat kepala pemuda ini menatap lurus
ke arah orang di hadapannya yang masih tampak tegak dengan mata meman-
dang pada jurusan lain.
Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya
ke jurusan mana orang di hadapannya memandang.
Lalu pemuda ini bungkukkan sedikit tubuhnya. Saat
itu juga terdengar suaranya. "Guru...!"
Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur yang
ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut be-
rambut putih panjang digeraikan menutupi bahu dan
sebagian punggungnya sesaat menghela napas pan-
jang. Kakek yang wajahnya telah dihias beberapa keriput dan bermata sayu serta
mengenakan pakaian pu-
tih ini lalu gerakkan kepala sedikit. Sepasang matanya yang sayu melirik.
Mulutnya membuka.
"Gumara.... Bersyukur kau masih mengenaliku...."
Malaikat Penggali Kubur luruskan tubuh. Wajah-
nya berubah merah padam. Ucapan kakek berpakaian
putih yang dipanggilnya guru membuat dadanya tidak
enak. Namun Malaikat Penggali Kubur coba tutupi pe-
rasaan dengan sunggingkan senyum dan berkata.
"Guru... sama sekali tidak kuduga kalau kau muncul di sini!"
Kakek berpakaian putih yang bukan lain memang
guru Malaikat Penggali Kubur yang dalam rimba persi-
latan dikenal dengan nama Bayu Bajra luruskan kepa-
la menghadap Malaikat Penggali Kubur.
"Gumara...! Kuharap kemunculanku yang katamu
tidak kau duga sama sekali tidak mengganggumu.. .
kata sang guru dengan sebut nama asli Malaikat Peng-
gali Kubur yang memang bernama Gumara. (Tentang
Malaikat Penggali Kubur baca serial Joko Sableng da-
lam episode : "Malaikat Penggali Kubur").
Ucapan Bayu Bajra makin membuat Malaikat
Penggali Kubur sesak dadanya. Dia sebenarnya ingin
berpaling ke arah mulut goa. Namun gerakannya ter-
tahan ketika Bayu Bajra telah menyambung ucapan-
nya. "Kalau kemunculanku mengganggu, kutunggu kau di...."
Belum sampai sang guru lanjutkan ucapannya,
Malaikat Penggali Kubur telah memotong. "Guru...! Ke-datanganmu pasti dengan
satu keperluan! Apa pun
akan kusingkirkan untuk menghormatimu!"
Bayu Bajra memandang lurus melewati pundak
Malaikat Penggali Kubur ke arah mulut goa di mana
Ratu Pemikat tampak berdiri tegak.
Malaikat Penggali Kubur gerakkan kepala berputar
dan ikut memandang ke mulut goa. Tapi cuma seje-
nak. Kejap lain pemuda ini telah hadapkan kembali
wajahnya ke arah sang guru.
"Guru.... Dia hanya lah seorang sahabat! Dan kuharap kau tidak menaruh...."
Bayu Bajra angkat tangan kanannya membuat Ma-
laikat Penggali Kubur putuskan ucapan. Sang guru
anggukkan kepala perlahan.
"Gumara.... Jangan kau berprasangka yang bukan-
bukan padaku. Kau sudah dewasa. Dan kukira kau
masih ingat pada ucapanku sebelum kau kulepas un-
tuk mengetahui dunia luar!"
Malaikat Penggali Kubur kancingkan mulut tidak
menyahut Bayu Bajra alihkan pandangannya pada
sang murid, Untuk beberapa lama guru dan murid ini saling
pandang dengan mulut sama terkancing namun hati
sama-sama berkata sendiri. Bayu Bajra tampak meng-
hela napas dengan berkata sendiri dalam hati.
"Sifatnya tidak juga berubah. Kalau dia tampak
hormat, mungkin hanya karena memandang aku per-
nah mengajarinya ilmu. Tapi.... Untuk apa hal itu ku-sesali" Aku sudah
memutuskan untuk mengangkatnya
sebagai murid. Bahkan aku juga telah memutuskan
untuk memberitahukan tentang mimpiku padanya....
Apa dia benar-benar telah mendapatkan apa yang ku
impikan itu" Lalu mengapa dia tidak muncul mene-
muiku..." Aku khawatir anak ini berpijak pada jalan
yang salah.... Tindak-tanduknya mengungkapkan sea-
kan kekhawatiranku tidak jauh meleset. Hem...."
Di lain pihak, diam-diam Malaikat Penggali Kubur
juga sedang membatin. "Apa dia telah tahu kalau aku telah mendapatkan Kitab
Hitam" Bagaimana dia tiba-tiba bisa muncul di sini" Hem.... Hari ini aku tidak
bernasib baik! Bagaimanapun juga dia pasti punya
prasangka buruk padaku! Sialan betul! Gara-gara pe-
rempuan itu.... Tapi apa hubungannya" Dia sudah
mengatakan kalau aku sudah dewasa dan berhak me-
nentukan jalan sendiri dan masa depan!"
"Gumara...," kata Bayu Bajra pada akhirnya setelah agak lama keduanya saling
berdiam diri. "Meski kau telah kulepas, namun sesungguhnya aku tetap
mengkhawatirkan dirimu. Kau tahu, siang malam aku
selalu memikirkanmu. Apalagi setelah kepergianmu te-
rakhir kali untuk membuktikan benar tidaknya apa yang
pernah menjadi mimpiku.... Kalau kau tak merasa ke-
beratan, mau kau ceritakan bagaimana dengan semua
yang kau lakukan selama ini...?"
"Terima kasih kalau kau memang terus mengkha-
watirkan aku, Guru! Tapi mulai saat ini kuharap kau
hilangkan rasa khawatir itu! Dan lebih dari itu aku ju-ga berterima kasih
padamu. Karena ternyata mimpimu
bukan hanya sekadar kembang tidur!" Lalu Malaikat Penggali Kubur menceritakan
tentang perjalanannya
hingga sampai mendapatkan Kitab Hitam. Namun ten-
tu saja Malaikat Penggali Kubur tak bodoh untuk men-
ceritakan semuanya dengan apa adanya. Dia sengaja
menyimpan apa yang dirasa kurang baik. (Lebih jelas-
nya tentang perjalanan Malaikat Penggali Kubur, silakan baca serial Joko Sableng
dalam episode : "Warisan Laknat").
Bayu Bajra angguk-anggukkan kepala begitu Ma-
laikat Penggali Kubur mengakhiri ceritanya. "Hem....
Aku merasa bersyukur mendengar ceritamu. Tapi ada
yang lebih penting yang hendak kukatakan padamu,
Gumara!" Malaikat Penggali Kubur sesaat tampak terkesiap.
Dadanya berdebar keras. Dadanya dibuncah dengan
berbagai duga dan tanya.
"Gumara.... Kau tak usah terlalu tegang begitu ru-pa! Aku hanya ingin
mengatakan, bahwa kau harus
mensyukuri apa yang telah kau peroleh. Kitab itu bu-
kan benda sembarangan meski aku belum melihatnya.
Dan membawa benda seperti itu bukanlah hal yang
enak. Karena siapa pun juga mungkin ingin memili-
kinya! Untuk itulah kau harus berhati-hati! Bukan sa-ja berhati-hati menjaga
barang berharga itu, namun
kau harus lebih hati-hati mempergunakannya! Karena
sebagian manusia ada yang berhati-hati menjaga ba-
rang berharga, namun tidak berhati-hati mempergu-
nakannya! Kau paham maksudku bukan...."
Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Kete-
gangan di wajahnya perlahan-lahan sirna. "Guru....
Aku akan memperhatikan ucapanmu!"
Bayu Bajra tersenyum lebar. Sepasang matanya
kembali beralih memandang kearah mulut goa. Namun
kali ini si kakek sudah tidak lagi melihat Ratu Pemikat.
"Gumara.... Hatiku kini sudah bisa tenang. Dan
kuharap kau tidak merubah ketenangan hatiku sam-
pai nanti aku menutup mata! Kau tahu..." Apa yang
selalu kuminta adalah hidup tenang sampai akhir
hayat...."
"Hem.... Ucapan-ucapannya seolah dia tahu apa
sesungguhnya yang terjadi! Apa dia punya firasat aku akan mengusik
ketenangannya" Apa dikira aku masih
hendak merepotkan dirinya" Hem.... Dia tidak tahu.
Dengan membekal Kitab Hitam, aku tidak butuh lagi


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uluran tangannya! Kitab Hitam mampu mengatasi se-
galanya!" Malaikat Penggali Kubur membatin dalam hati. Lalu berujar.
"Guru tak usah cemas dan gelisah. Sejak saat ini, muridmu tidak akan lagi
mengusik ketenanganmu! Tidak akan merepotkanmu!"
Mendengar ucapan Gumara alias Malaikat Penggali
Kubur, sang guru tertawa pelan sambil gelengkan ke-
pala. "Kau jangan salah menangkap kata-kataku, Gumara.... Aku maklum. Dengan
membekal kitab sakti,
kau pasti tidak butuh bantuan. Tapi bukan itu mak-
sudku. Aku akan menjadi tidak tenang kalau kau ma-
sih sembunyikan sesuatu di balik semua ceritamu ta-
di...." "Jadi Guru masih menduga aku bercerita tidak jujur"! Masih menyangka aku tidak
berterus terang den-
gan apa yang telah kujalani"!"
Kembali Bayu Bajra gelengkan kepala. Masih sam-
bil tersenyum kakek ini berkata. "Gumara.... Kau satu satunya muridku. Adalah
tidak pada tempatnya kalau
aku tidak percaya pada semua ceritamu. Tapi jangan
kau berharap aku bisa menjawab apa yang baru saja
kau tanyakan. Karena jawabannya ada pada dirimu
sendiri...."
Habis berkata begitu, Bayu Bajra dongakkan kepa-
la. Dan tanpa pedulikan Malaikat Penggali Kubur yang hendak buka mulut, si kakek
berkata. "Gumara.... Mungkin sudah saatnya aku harus
meninggalkanmu! Aku dan kau tentu masih punya se-
suatu yang harus dilakukan!" Bayu Bajra putar diri.
"Guru...! Ada sesuatu yang harus kuberitahukan
padamu!" seru Malaikat Penggali Kubur menahan gerakan gurunya. Dan tanpa
menunggu pertanyaan sang
guru, Malaikat Penggali Kubur sudah lanjutkan uca-
pannya. "Pada purnama depan, ada satu pertemuan besar!
Kuharap Guru bisa hadir!"
Bayu Bajra berpaling. "Gumara.... Sejak mengang-katmu menjadi murid, aku sudah
mengambil keputu-
san untuk mengundurkan diri dari segala hal yang ada
kaitannya dengan dunia persilatan! Dan tentu belum
lenyap dari ingatanmu apa yang baru kuucapkan tadi.
Aku ingin hidup tenang sampai menutup mata...."
"Tapi.... Kurasa ini adalah pertemuan yang akan membuatmu lebih tenang!"
Bayu Bajra gelengkan kepala. "Dalam sejarah rim-ba persilatan, tak ada sebuah
pertemuan yang telah di atur lebih dahulu yang tidak berakhir dengan aliran
darah! itu sudah menjadi kepastian, Gumara! Jadi jangan berharap banyak aku bisa
hadir nantinya! Bahkan
kalau kau mau turuti nasihatku, urungkan niatmu
untuk ikut terlibat dalam pertemuan itu!"
Malaikat Penggali Kubur pandangi gurunya berla-
ma-lama tanpa ucapkan sepatah kata. Yang dipandan-
gi anggukkan kepala lalu berujar.
"Gumara.... Firasatku mengatakan, kitab yang ada padamu adalah sebuah kitab
sakti yang sulit dicari
tandingannya. Dengan begitu, tanpa kau unjuk diri dalam pertemuan itu, kuyakin
kau masih akan menjadi
orang yang disegani. Apalagi kalau kau tidak salah
menggunakannya!"
Habis berkata begitu, Bayu Bajra luruskan kepala
ke depan. "Muridku.... Dalam keadaan seperti saat ini, siapa pun juga yang
menjadi dirimu pasti ingin unjuk diri agar diakui! Tapi percayalah. Keinginan
yang menggoda dan menggiurkan itu sesungguhnya awal
dari sebuah malapetaka! Dan sebenarnya, hal seperti
itulah yang membuatku selalu gelisah dan tidak te-
nang.... Tapi sudahlah.... Semuanya terserah padamu.
Kau pasti bisa memilih mana jalan yang terbaik dan
patut kau lakukan! Aku harus pergi...."
Malaikat Penggali Kubur pandangi kelebatan gu-
runya dengan mulut terkancing. Namun begitu sosok
Bayu Bajra lenyap, pemuda ini mendengus keras sam-
bil hentakkan kaki kanannya.
"Persetan dengan segala ucapannya! Kitab Hitam
telah berada di tangan! Impian sudah di depan mata!
Hanya manusia tolol yang lepaskan hasil setelah dicari bertahun-tahun! Dan aku
bukan manusia tolol!"
"Siapa dia"!" satu suara merdu terdengar.
Tanpa berpaling, Malaikat Penggali Kubur tahu
siapa adanya orang. Dan tanpa gerakkan kepala pula
dia menjawab. "Orang tua tolol yang bicara sok pintar!"
Orang yang tadi perdengarkan suara dan bukan
lain adalah Ratu Pemikat, perdengarkan tawa perla-
han. "Kau akan ikuti yang dikatakannya"!"
"Aku tak akan bisa tidur nyenyak selama Pendekar 131 keparat itu masih bisa
bernapas! Aku tak akan
dapat makan enak selagi manusia bermata buta Gen-
deng Panuntun itu masih bisa buka mulut dan berja-
lan di atas bumi! Aku tak akan bisa melangkah tenang sebelum amanat maut dari
Liang lahat kutuntaskan!
Dan lebih baik mampus daripada hidup tanpa bisa
menggenggam dunia persilatan!"
"Kitab sakti telah berada di tanganmu. Apa yang kau inginkan pasti akan
berhasil! Hem.... Kalau boleh tanya, jikalau semua rencanamu berhasil, apa
pertama-tama yang akan kau lakukan"!"
Malaikat Penggali Kubur tidak menjawab. Dia putar
tubuh. Dipandanginya sosok bahenol di hadapannya
dengan bibir tersenyum. Lalu masih tanpa buka suara, sosoknya berkelebat dengan
tangan bergerak.
Ratu Pemikat menjerit. Namun laksana direnggut
setan, jeritannya terputus. Karena saat itu juga Malaikat Penggali Kubur telah
menyambar tubuhnya dengan
mulut menutup rapat ke mulut si perempuan.
*** TUJUH MATAHARI baru saja merangkak ketika tiba-tiba
terdengar suara tawa bergelak bersahut-sahutan dari
tengah kawasan semak belukar yang ditumbuhi ilalang
merangas tinggi dan jajaran pohon rindang Namun ada
sedikit keanehan. Suara gelakan tawa Itu terdengar
dari tengah kawasan semak belukar, tapi dalam seke-
jap, laksana disapu gelombang dahsyat, suara gelakan tawa telah jauh berada di
ujung kawasan yang berba-tasan dengan jalan menuju sebuah dusun. Lalu ilalang
tepat di ujung kawasan tampak bergerak menyibak di
dua tempat. Saat lain, muncullah dua sosok tubuh!
Meski jelas masih dapat dikenali kalau kedua
orang yang baru muncul adalah dua orang laki-laki,
namun orang tidak akan dapat mengenali siapa geran-
gan mereka adanya. Karena dua orang laki-laki ini sa-ma membedaki raut wajah
masing-masing dengan
arang hitam. Malah rambut masing-masing orang juga
diberi arang sebagian hingga rambutnya yang panjang
awut-awutan berwarna dua. Hitam dan sebagian putih.
Dari wajah keduanya yang tampak putih hanyalah ba-
gian kiri kanan bola mata! Keduanya mengenakan pa-
kaian putih-putih.
Orang sebelah kanan melangkah terbungkuk-
bungkuk dengan tongkat di tangan kiri. Sementara
orang di sebelah kiri melangkah tersaruk-saruk. Anehnya, orang di sebelah kiri
ini melangkah dengan mun-
dur! Kepalanya tengadah sedangkan kedua tangannya
berputar-putar ke belakang ke depan.
Sekonyong-konyong orang yang melangkah mun-
dur hentikan gelakan tawanya. Saat bersamaan, ka-
kinya juga terhenti. Orang yang melangkah terbung-
kuk-bungkuk dan memegang tongkat mendadak juga
hentikan langkah. Gelakannya serta-merta diputus pu-
la. Orang yang melangkah mundur gerakkan tangan
kirinya lurus ke arah orang yang memegang tongkat
Saat bersamaan, orang yang memegang tongkat angkat
tongkatnya dan ditunjukkan lurus ke arah orang yang
tadi melangkah mundur.
Sepi sejenak. Namun saat lain serentak kedua
orang ini sama buka mulut perdengarkan tawa terba-
hak-bahak dengan tangan kiri dan tongkat menunjuk
pada wajah orang di hadapannya masing-masing! Lalu
masih dengan terbahak-bahak keduanya teruskan
langkah! Yang satu terbungkuk-bungkuk dengan tong-
kat menunjuk pada wajah orang, sementara satunya
tersaruk-saruk mundur dengan tangan kiri juga me-
nunjuk pada wajah orang.
Kira-kira lima belas tombak, kedua orang aneh itu
hentikan langkah masing-masing. Masih dengan tun-
jukkan tangan kiri ke wajah orang di hadapannya,
orang yang melangkah mundur buka suara.
"Tahu begini yang harus kuperbuat, menyesal aku ikut terlibat! Mengerti harus
begini yang kuhadapi, tak mungkin aku mau menyanggupi!"
Mendengar ucapan orang yang bernada menyesal,
orang yang memegang tongkat luruskan tubuh. Den-
gan tongkat masih lurus menunjuk orang dia angkat
bicara. "Kuperingatkan kau! Sekali lagi kau berkata me-
nyesal, aku tak segan membuat langkahmu tinggal se-
jengkal!" Mendengar ancaman orang, orang yang tadi me-
langkah mundur tertawa panjang. "Inilah dunia aneh orang gila Sudah ditolong
tapi masih bicara ancaman segala! Kalau tidak memandang sahabat. Sudah kema-
rin kemarin aku minggat!"
"Aku tahu...," ujar orang yang memegang tongkat.
"Kau tak akan meninggalkanku meski berucap begitu.
Karena kau menyimpan udang di balik batu!"
Warna putih pada sebagian mata orang yang tadi
melangkah mundur tampak bergerak-gerak dan kelo-
pak matanya mementang, pertanda jika orang ini se-
dang melotot angker. Mulutnya komat-kamit sejenak.
Lalu terdengar suaranya keras.
"Sialan kau! Sudah mati-matian aku berusaha
membantu. Tapi nyatanya kau bicara menuduh tak
menentu! Coba katakan, udang apa yang kusimpan di
balik batu! Agar hati ini tidak terus dihantui perasaan ini dan itu! Kalau kau
tidak dapat beri jawaban, saat ini juga aku tega meninggalkanmu sendirian!"
Orang yang memegang tongkat putar tongkat di
tangannya ke udara berputar satu kali. Terdengar sua-ra desingan halus. Rambut
orang yang tadi melangkah
mundur tampak berkibar-kibar laksana diterpa angin
kencang. "Hem.... Jadi kau ingin aku membongkar apa da-
lam benakmu"!" Orang yang memegang tongkat terta-wa dahulu sebelum meneruskan.
"Apa kau nanti tidak akan merasa malu bila benar-benar kukatakan" Harap
hal itu kau pikirkan!"
"Aku bukan orang gila seperti dugaan orang terha-dapmu! Kalau akhir-akhir ini
aku berbuat gila-gilaan seperti ini, itu hanya karena kasihan padamu! Jadi
jangan menasihatiku dengan bermacam dalih! Itu akan
menambah dadaku jadi mendidih!"
Orang yang memegang tongkat buka kelopak sepa-
sang matanya besar-besar. Mulutnya bergerak mem-
buka. Namun saat lain, mendadak orang ini katupkan
mulut rapat-rapat. Di hadapannya, orang yang tadi
melangkah mundur mendongak dengan mulut komat-
kamit menggumam tak jelas.
"Ada pencuri!" mendesis orang yang memegang tongkat.
"Betul! Ada pencuri! Dia ada di sebelah kiri! Tidak jauh dari tempat kita
berdiri! Dia sengaja sembunyikan diri. Apa sebenarnya yang dia cari"!" menyahut
orang yang tadi melangkah mundur.
"Hai! Bukan satu, tapi dua orang!" orang yang memegang tongkat kembali mendesis. Kini kepalanya
ikut-ikutan tengadah. Tongkat di tangan kirinya di-
angkat menunjuk ke langit.
"Walah.... Betul! Dua orang! Satunya lagi ada jauh di belakang! Aku mencium
wanginya aroma kembang!
Pasti satunya itu orang yang selalu diibaratkan dicari oleh kumbang! Dan kalau
tindakannya menyimpang,
orang selalu menyebutnya jalang!"
"Perempuan!" kata orang yang memegang tongkat.
'Tidak salah!" sahut orang yang tadi melangkah
mundur. "Tapi yang ada di dekat kita berbau bengka-rung. Pasti dia jenis orang
yang punya burung! Hik
Hik.... Hik...! Suruh dia unjuk muka. Agar nanti tidak terjadi malapetaka!
Karena kita ini utusan dari neraka.
Meski kita tidak gampang jatuhkan murka!"
Orang yang pegang tongkat hujamkan tongkat di
tangannya ke tanah. Meski terlihat pelan, tapi saat itu juga sekitar tempat itu
terasa bergetar!
"Anak manusia! Kau telah dengar ucapan. Cepat
keluar!" Terdengar deheman. Lalu ilalang di sebelah kiri
orang bertongkat bergerak-gerak. Dan terlihatlah satu sosok tubuh muncul dari
ranggasan ilalang.
Orang yang tadi melangkah mundur dan orang
yang pegang tongkat terus tengadahkan kepala mas-
ing-masing seolah tidak pedulikan kemunculan orang
yang kini telah tegak berdiri sejarak lima langkah di samping mereka.
"Bagus! Sebut nama, gelar, asal, serta alasan!" kata orang yang tadi melangkah
mundur. Orang yang baru keluar dari ranggasan ilalang se-
saat kerjapkan mata pandangi satu persatu orang di
sampingnya dengan mulut menguncup dan mata ter-
beliak. Orang yang pegang tongkat angkat tongkatnya dan
ditunjukkan pada orang yang baru muncul dengan ke-
pala tetap tengadah memandang langit.
"Nama, gelar, asal, dan alasan! Katakan cepat!"
"Hem.... Yang kalian tanyakan nama asli" Nama
palsu" Nama asal-asalan"'." bertanya orang yang baru muncul seraya ikut-ikutan
mendongak. Orang yang tadi melangkah mundur balikkan tu-
buh. Lalu mundur mendekati orang yang memegang
tongkat dengan kepala tetap tengadah. Begitu tegak
terjajar, orang ini berujar.
"Yang enak mana" Nama asli, nama palsu atau
nama asal-asalan"!"
Orang pemegang tongkat mendengus pelan "Se-
butkan nama asli, gelar asli, asal asli, serta alasan as-li!" "Ah.... Ah....


Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang kalau itu yang kalian tanyakan...."
"Sayang bagaimana"!" hardik orang yang tadi melangkah mundur,
"Aku tidak punya nama asli, gelar asli, asal asli, dan alasan asli! Untuk semua
yang kalian tanyakan,
aku hanya punya yang asal-asalan! Bagaimana"!"
"Jangan bicara sembarangan!" membentak orang pemegang tongkat.
"Siapa bicara sembarangan"!" sahut orang yang ba-ru muncul.
"Jangan berani berucap dusta!" Kali ini yang membentak orang yang tadi melangkah
mundur. "Siapa berucap dusta"!" jawab Orang yang baru muncul.
Orang yang tadi melangkah mundur gerakkan ke-
palanya sedikit ke kanan namun masih tetap dalam
posisi tengadah. Lalu berbisik.
"Bagaimana ini" Apa kau yakin orang di hadapan
kita itu manusia betulan"! Aku khawatir kalau manu-
sia itu manusia asal-asalan!"
"Jangan kau bicara asal-asalan! Kuyakin dia ma-
nusia betulan!"
"Kalau begitu, urus dia! Aku akan urus yang berbau kembang!" ujar orang yang
tadi melangkah mundur. Dia cepat gerakkan kaki untuk melangkah mun-
dur. Namun gerakannya tertahan oleh tongkat orang
yang saat itu juga dilintangkan menghalangi.
"Kita sudah sepakat. Semua urusan kita hadapi
bersama-sama! Jadi jangan kau mau enak sendiri!
Urusan orang di hadapan kita, kita selesaikan dahulu.
Lalu baru kita beralih pada urusan satunya!"
Orang yang tadi melangkah mundur perdengarkan
suara keluhan. Lalu enak saja dia letakkan pantatnya pada tongkat orang yang
menghalangi gerakan kakinya. Lalu kakinya diangkat ongkang-ongkang.
Orang yang pegang tongkat seakan tidak merasa,
bahkan tongkatnya sama sekali tidak bergeming meski
diduduki orang sambil ongkang-ongkang.
Orang yang pegang tongkat yang diduduki orang
yang tadi melangkah mundur angkat tangan kanannya
menunjuk pada orang di hadapannya. "Kau tak mau katakan nama asli, gelar asli,
asal asli, dan alasan asli.
Aku tanya, suaramu kedengarannya menunjukkan
kau seorang laki-laki. Apa kau memang laki-laki"!"
"Hem.... Benar! Aku laki-laki asli!"
"Dari sentuhan, aku biasanya bisa menebak. Coba kau ulurkan tanganmu!"
Orang yang diperintah sesaat pandangi orang den-
gan senyum seringai. Lalu tiba-tiba terdengar suara
bentakannya. "Kalian jangan menghina!"
"Apa kau bilang" Siapa menghina"! Aku hanya in-
gin tahu keaslianmu dengan menyentuh tanganmu!"
Hening beberapa saat. Lalu orang yang duduk ong-
kang-ongkang kaki di atas tongkat berseru memecah
kebisuan. "Bagaimana menurutmu" Apa dia laki-laki asli"!"
"Hem.... Rupanya kita kali ini berhadapan dengan laki-laki tidak asli!"
"Ucapanmu masih bernada bimbang!"
"Bagaimana tidak bimbang. Dia masih belum ulur-
kan tangan!"
"Kalian manusia-manusia gila yang tidak punya
perasaan! Bagaimana aku harus ulurkan tangan"! Aku
tidak memiliki tangan!"
Kepala masing-masing orang yang wajahnya dibe-
daki arang tebal hitam sama-sama bergerak saling
menghadap meski masih dengan mendongak.
"Lalu apa kau punya kaki"!" tanya si pemegang tongkat.
"Kedua kakiku utuh!"
"Burungmu juga masih utuh"!" Yang ajukan tanya adalah si orang yang melangkah
mundur. "Edan!" maki orang yang ditanya. Namun orang ini tidak tunjukkan tampang marah.
Malah seraya sunggingkan senyum, dia melangkah ke arah ranggasan ila-
lang. Kakinya bergerak menyambar. Saat kakinya ba-
lik, pada masing-masing jepitan jari kakinya tampak
sebuah ilalang.
Orang yang pada kanan kiri kakinya menjepit ila-
lang yang ternyata adalah seorang pemuda berparas
tampan dan memang tidak memiliki tangan alias bun-
tung ini sekali lagi membuat gerakan. Tahu-tahu so-
soknya telah berada sejarak dua langkah di hadapan
kedua orang yang wajahnya dibedaki arang hitam. Bu-
kan hanya itu saja, ternyata pemuda bertangan bun-
tung ini kini telah tegak dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah!
Si pemuda bertangan buntung gerakkan kaki kiri
nya. Ilalang yang ada pada jepitan kakinya diarahkan pada lobang telinga orang
yang duduk di atas tongkat
"Sialan! Hentikan! Aku geli! Urusan belum selesai kau sudah ajak bercanda!" kata
orang yang duduk di atas tongkat menduga kalau yang lakukan adalah
orang yang memegang tongkat.
"Tutup mulutmu! Siapa mengajak kau bercanda"!"
ujar si pemegang tongkat.
Pemuda bertangan buntung arahkan kaki kanan-
nya pada si pemegang tongkat. Lalu ilalang yang ada
pada Jepitan jari kaki kanannya diarahkan pada lo-
bang telinga orang.
Karena sudah agak dongkol dituduh dan juga ka-
rena tersentak kaget, si pemegang tongkat ganti me-
maki sambil tarik tongkatnya yang diduduki orang.
"Sialan kau! Tua bangka masih juga main-main seperti anak-anak!"
Karena ditarik tanpa terlebih dahulu berkata, mau
tak mau orang yang duduk di atas tongkatnya terke-
siap. Sosoknya meluncur jatuh ke bawah. Namun se-
jengkal lagi pantatnya menghantam tanah, tiba-tiba
kedua kaki orang ini bergerak lurus ke depan. Saat
bersamaan, sekonyong-konyong luncuran sosoknya
terhenti sejengkal di atas tanah dengan kaki berselonjor ke depan!
Saat itulah, karena sosoknya kini berada di bawah,
dan kepalanya tengadah, orang ini bisa melihat apa
yang dilakukan si pemuda bertangan buntung. Aneh-
nya orang ini bukannya marah atas tindakan si pemu-
da, melainkan segera perdengarkan ledakan tawa ke-
ras membahana! "Sialan! Permainanmu tidak lucu! Mengapa kau
tertawa"!" hardik orang pemegang tongkat dengan kepala masih tetap tengadah.
"Apa dunia ini sudah terbalik" Atau mataku yang salah tangkap"!" ujar orang yang
tadi melangkah mundur.
"Kau bicara apa"!" tanya orang pemegang tongkat.
"Langit tetap di atas, berarti dunia tidak terbalik!"
"Tapi aku melihat burung orang itu terbalik! Betul!
Terbalik menghadap ke atas! Lain dengan punya kita
berdua! Aneh.... Coba kau lorotkan tubuhmu ke ba-
wah!" Si pemegang tongkat turuti ucapan orang. Perla-
han-lahan dia lorotkan tubuh hingga duduk menggelo-
soh. Tiba-tiba orang ini berseru.
"Walah.... Ucapanmu benar! Ada orang punya bu-
rung terbalik menghadap ke atas! Bagus juga ya..."l"
Si pemuda bertangan buntung dan bukan lain De-
wa Orok adanya, bergerak satu kali. Wuttt! Kini sosoknya telah tegak dengan kaki
di bawah kepala di atas.
"Hai.... Lihat! Burungnya bisa berputar-putar!" teriak orang yang tadi melangkah
mundur. 'Ah.... Bukan berputar-putar, tapi jungkir balik!"
ujar si pemegang tongkat.
"Aneh.... Aneh.... Aneh...," gumam orang yang tadi melangkah mundur.
"Benar. Aneh.... Aneh.... Aneh...," timpal si pemegang tongkat. Sambil terus
tengadah, kedua orang
berwajah hitam ini gelengkan kepala masing-masing.
"Hai! Mengapa kita dibuat terlena dengan burung orang yang bisa jungkir balik.
Bukankah kita punya
urusan"!" kata orang yang tadi melangkah mundur Se-cepat kilat orang ini
sentakkan kedua kakinya yang se-lonjor di atas udara ke tanah. Kejap lain
sosoknya telah tegak dengan kepala lurus ke depan. Di samping-
nya, si pemegang tongkat juga gerakkan tangan kiri
yang memegang tongkat. Tubuhnya terangkat tegak
Untuk beberapa saat kedua orang berwajah hitam
tatapi pemuda di hadapannya dengan seksama. Di se-
berang depan, Dewa Orok balas memandang silih ber-
ganti pada dua orang di hadapannya.
"Mengapa kau sembunyi-sembunyi ikuti kami"!"
Tiba-tiba orang pemegang tongkat sudah keluarkan
bentakan "Itu urusanku! Yang pasti, aku tidak mengikuti kalian! Dan yang lebih pasti
lagi, aku mencari seseorang!"
kata Dewa Orok.
Kedua orang berwajah hitam saling pandang se-
saat. "Siapa yang kau cari"!" tanya orang yang tadi melangkah mundur.
"Itu urusanku! Yang pasti bukan kalian! Dan yang lebih pasti lagi, harap kalian
jangan mencari masalah denganku!"
Kedua orang berwajah hitam kembali saling pan-
dang. Lalu sama anggukkan kepala masing-masing. Si
pemegang tongkat buka mulut.
"Hari ini kau bernasib mujur, Bocah Sontoloyo! Karena alasanmu masuk akal!"
"Dan yang pasti, urusan kita hampir sama!. Menca-ri seseorang!" timpal orang
yang tadi melangkah mundur. "Lebih pasti lagi, bukan kau orang yang kami ca-ri!"
Dewa Orok bungkukkan sedikit tubuhnya mem-
buat gerakan seperti orang menjura hormat. "Terima kasih kalian mau mengerti!
Aku harus segera pergi...."
Kedua orang berwajah hitam tidak ada yang me-
nyahut. Mereka berdua hanya melihat pada si pemuda.
Dewa Orok sunggingkan senyum, lalu anggukkan ke-
pala dan balikkan tubuh. Namun untuk beberapa saat
pemuda itu tidak juga segera pergi.
"Kau menunggu temanmu itu"!" tanya si pemegang tongkat.
Dewa Orok gelengkan kepala. "Boleh aku tahu, sia-pa orang yang kalian cari"!"
"Itu urusan kami! Jangan banyak bertanya-tanya!"
jawab si pemegang tongkat.
Dewa Orok tidak hiraukan ucapan orang. Sekali la-
gi dia buka mulut bertanya.
"Orang yang kalian cari dari kalangan persilatan"!"
"Kau dengar, itu urusan kami!" hardik si pemegang tongkat.
Lagi-lagi Dewa Orok tidak hiraukan ucapan orang
yang mulai agak jengkel. Dia kembali buka mulut.
"Aku dengar berita, pada purnama depan akan ada sa-tu pertemuan besar di Kedung
Ombo! Kalau orang
yang kalian cari dari kalangan orang persilatan, datang sajalah kalian ke tempat
yang kukatakan tadi! Siapa
tahu orang yang kalian cari muncul di sana!"
Habis berkata begitu, Dewa Orok berkelebat pergi.
Sementara kedua orang berwajah hitam kembali saling
berpandangan. "Aku mengenalnya!" kata orang pemegang tongkat.
"Aku juga!" sahut orang yang tadi melangkah mundur. "Sepertinya ucapan pemuda
itu tidak mengada ada!" kata si pemegang tongkat.
"Kau terlalu banyak pertimbangan! Jujur atau tidak, yang penting kita buktikan
saja nanti! Sekarang kita masih punya urusan dengan si kembang yang tadi
berada agak jauh di belakang bukan"!"
Si pemegang tongkat angkat tangan kanannya "Kau cari arah sana, aku dari arah
sini!" Belum selesai ucapan si pemegang tongkat, orang
yang tadi melangkah mundur sudah berkelebat. Hing-
ga mau tak mau membuat orang pemegang tongkat se-
gera pula ikut berkelebat mengambil arah berlawanan
sambil mengomel.
"Dasar tua bangka tak tahu diri! Kalau urusannya dengan perempuan, sudah
menyelonong pergi tanpa
diperintah"
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba dari arah ilalang
meranggas muncul sosok orang yang tadi melangkah
mundur. Dia melangkah mundur dengan kepala ten-
gadah. Mulutnya komat-kamit menggumam tak jelas.
Dan tak lama kemudian, dari arah mana tadi si
orang yang melangkah mundur keluar, muncul sosok
yang membawa tongkat. Orang ini melangkah ter-
bungkuk-bungkuk.
"Kita kehilangan buruan!" ujar orang yang melangkah mundur seraya hentikan
langkah. Orang yang memegang tongkat tidak sambuti uca-
pan orang. Dia terus melangkah terbungkuk-bungkuk.
Begitu dekat dengan orang satunya, dia berhenti dan
berkata. "Persetan dengan perempuan yang hilang itu! Ka-
rena aku yakin dia bukan orang yang kita cari!"
"Setan! Bagaimana kau bisa bilang begitu"!"
"Karena kalau memang dia, tidak mungkin dia lari!
Sebab sesungguhnya bukan kita yang mencari dia, ta-
pi aku yang dicarinya!"
"Hem.... Tapi apakah kau menduga dia akan mun-
cul pada pertemuan purnama depan seperti ucapan
pemuda bertangan buntung tadi"!"
Si pemegang tongkat sejurus tatapi orang di hada-
pannya. "Kita tak perlu banyak berpraduga. Yang penting, kita buktikan saja
nanti!" "Kalau dia tidak muncul"!" tanya orang yang tadi melangkah mundur.
"Kau hanya akan buang-buang pikiran kalau men-
duga-duga sesuatu yang belum terjadi!"
Entah merasa dongkol dengan sahutan orang,
orang yang melangkah mundur kibaskan tangan ka-
nan kirinya. Lalu berucap.
"Tapi perlu kau ingat! Aku menemanimu berbuat
gila-gilaan ini hanya sampai purnama depan. Setelah
itu silakan kau berbuat gila-gilaan sendiri!"
Mendengar ucapan orang, si pemegang tongkat en-
teng saja menyahut.
"Kau rupanya lupa. Tanpa aku berbuat gila-gilaan begini, orang sudah menuduh dan
menduga aku orang
gila dan sinting! Dan perlu juga kau ingat! Aku juga tidak butuh tenagamu
setelah purnama nanti!"
Habis berkata begitu, si pemegang tongkat gerak-
kan kakinya. Sosoknya pun mulai bergerak melangkah
terbungkuk-bungkuk.
Orang yang tadi melangkah mundur sesaat bergu-
mam, namun saat lain kakinya juga bergerak mundur.
Saat itu juga sosoknya tersaruk-saruk mundur berja-
Suling Emas Dan Naga Siluman 9 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Pedang Pelangi 23
^