Pencarian

Bunga Penyebar Maut 3

Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut Bagian 3


merah. Pakaiannya pun berkesan
mewah. Berbeda dengan Gerah Wojo yang hanya men-
genakan pakaian serba hitam dengan baju longgar tak
pernah dikancingkan bagian depannya. Ia menyelipkan
sebilah golok di pinggangnya yang bergagang hitam
membentuk kepala burung gagak.
Karena hanyut dengan percakapan batinnya
yang mengecam dan meremehkan Kencana Ratih, Lili
tak menyadari bahwa ia sudah mendekat ke arah ba-
haya. Untung saja waktu itu Gerah Wojo yang sudah
bersembunyi di balik pohon besar itu segera mengeta-
hui bahwa penguntitnya adalah seorang gadis cantik
yang punya daya tarik luar biasa itu.
Goloknya dimasukkan kembali ke sarungnya
dengan pelan-pelan. Lalu ketika Lili tinggal beberapa
langkah mencapai pohon besar itu, Gerah Wojo segera
melompat keluar dari persembunyiannya, dan meng-
hentakkan suara keras yang sengaja membuat Lili ter-
kejut, "Huaaa...!"
Lili terpekik dengan suara tertahan. Ia melang-
kah mundur dalam satu lompatan kecil sambil meme-
gangi dadanya karena merasa jantungnya hampir co-
pot. Suara sentakan keras tersebut juga membuat
Ubayana berpaling ke belakang. Begitu melihat Gerah
Wojo berhadapan dengan seorang gadis cantik, Ubaya-
na buru-buru menghampirinya sambil tersenyum-
senyum kegirangan.
"Rupanya dia seorang gadis cantik bak bidada-
ri, Gerah Wojo!"
"Benar, Ubayana. Mungkin dia menguntit kita
karena dia naksir kamu. Ha, ha, ha, ha...!"
Lili cepat kuasai diri dan bersikap tenang. Ma-
tanya memandang angkuh dengan dagu sedikit naik.
Kedua tangannya dikebelakangkan, dan kakinya berdi-
ri sedikit merenggang dalam kuda-kuda tegak. Ia
membiarkan kedua lelaki itu memandanginya dengan
sorot pandangan mata dan senyuman nakal.
Gerah Wojo sempat menjilat bibirnya sendiri
dengan mata liarnya yang berkesan rakus. Tangannya
mengusap-usap jenggot pendek yang keriting itu sam-
bil berkata kepada Ubayana,
"Mimpi apa kau semalam, sehingga perjalanan
kita diikuti oleh bidadari secantik dia, ha"! He, he,
he...!" Ubayana juga berbisik, walau bisikan mereka didengar oleh Lili,
"Menurutmu, cantik mana dia dengan Galuh Ajeng, putri sang Adipati itu?"
"Oh, kalau menurut selera mataku, ya cantik
gadis ini! Tapi kalau menurut selera matamu, mungkin
cantik Galuh Ajeng! Sudahlah, kau tetap bersama Ga-
luh Ajeng saja, aku akan menikmati keindahan cinta
bersama gadis ini saja!"
"Gerah Wojo, mengapa kau tak berikan kesem-
patan padaku lebih dulu" Bukankah kau dapat bagian
kekayaan dari hadiah yang akan kita peroleh setelah
menyerahkan bunga itu?"
"Hmm... jadi... jadi kau ingin juga dengan gadis
itu?" "Aku sangat bergairah memandang kecantikan-
nya, kemulusan kulit lehernya dan... dan kurasa kulit
tubuh yang lainnya pun akan lebih mulus serta lebih
lembut lagi, Gerah Wojo!"
"Memang! Memang lebih mulus dan lebih lem-
but, bahkan lebih hangat dari sepiring ketan di pagi
hari. He, he, he, he...!"
Ubayana mau mendekat, tapi ia ragu-ragu. Ma-
lahan sempat berbisik kepada Gerah Wojo,
"Dia menyandang pedang di punggung! Keliha-
tannya dia berilmu juga, Gerah Wojo!"
"Aku juga beranggapan begitu. Tapi aku yakin
ilmunya tak setinggi ilmuku! Dia hanya bisa tebaskan
pedangnya tanpa arah yang pasti."
"Kalau begitu, cobalah kau dulu yang mendeka-
tinya. Kalau sekiranya membahayakan, tinggalkan saja
daripada kita mati sebelum mendapatkan bunga itu!"
"Tenanglah di sini! Aku akan mendekatinya."
Lalu, Gerah Wojo melangkah dekati Lili. Kira-
kira tinggal dua langkah lagi ia menyentuh Lili, tangan Lili sudah lebih dulu
berkelebat bagai membuang sesuatu. Ternyata tenaga dalam yang cukup besar ia le-
paskan dalam gerakan tangan yang gemulai. Wuuut...!
Buuhg...! Tubuh Gerah Wojo bagai dihantam
sebatang kayu pohon kelapa. Tubuh itu terpental jauh
ke belakang dan terguling-guling. Ubayana segera le-
barkan mata dan menjadi tegang karenanya.
"Gadis ini benar-benar berilmu tinggi," pikir Ubayana. "Hanya dengan
mengelebatkan tangannya
begitu saja, Gerah Wojo yang badannya seperti kerbau
bisa tunggang-langgang dibuatnya. Edan! Murid siapa
dia" Dapat ilmu dari mana" Agaknya gadis ini tak bisa
dibuat main-mainan!"
Gerah Wojo bangkit dan berjalan cepat kembali
ke tempatnya. Wajahnya memerah karena marah, pa-
kaiannya kotor, pundaknya robek sampai di bagian
kulit tubuh dan keluarkan darah sedikit, rambutnya
yang panjang sepundak bercampur dengan tanah dan
daun kering. Wajah Gerah Wojo menjadi berang dan
berkesan angker.
"Gerah Wojo, tinggalkan saja gadis itu! Dia ber-
bahaya!" Ubayana mencegah gerakan Gerah Wojo. Tapi tubuh Ubayana disingkirkan
begitu saja sambil Gerah
Wojo berkata, "Gadis itu harus kuberi pelajaran, supaya dia
tahu bahwa aku orang Perguruan Macan Terbang...!
Keparat dia!"
Tetapi sebelum Gerah Wojo mencapai jarak em-
pat langkah di depan Pendekar Rajawali Putih itu, tiba-tiba seberkas sinar
berkelebat bagaikan menghantam
sekujur tubuh Gerah Wojo. Sinar itu adalah sinar jing-
ga dan begitu menghantam langsung membakar tubuh
Gerah Wojo. Wuuuss...! Blaaar...!
"Gerah Wojo...!" teriak Ubayana.
"Auh...! Aaah...! Tolong...! Tolong aku, Ubaya-
naaa...!" Gerah Wojo dibakar oleh api yang berkobar-
kobar. Ubayana bergegas mengambil dedaunan apa sa-
ja dan dijadikan alat pemadam yang digebuk-gebukkan
ke tubuh Gerah Wojo. Tapi kobaran api itu justru se-
makin bertambah besar. Teriakan Gerah Wojo kian
menggema ke mana-mana. Ketika ia jatuh dan bergul-
ing-guling, kobaran api makin besar lagi dan tetap
membungkus tubuhnya. Ubayana ketakutan, meman-
dangi Lili sebentar, karena menyangka api itu kiriman
dari Lili, kemudian ia cepat melarikan diri ke arah datangnya tadi. Ia pulang
dengan wajah tegang.
"Wisnu Patra...," gumam Lili dalam hatinya.
"Pasti si Dewa Tampan itu ada di sini! Rupanya dia selalu membayang-bayangi ku
terus!" Seperti korban yang sudah-sudah, Gerah Wojo
pun akhirnya mati dalam keadaan menjadi arang ka-
rena nyala apinya tidak dipadamkan oleh Wisnu Patra.
Sementara itu, Lili yakin bahwa Wisnu Patra tidak
akan muncul menemuinya. Maka ia pun segera guna-
kan akalnya. Lili kembali ke arah semula untuk mengejar
Ubayana. Pemuda itu dalam waktu singkat telah ter-
susul dan dihadang oleh Lili. Ubayana terkejut melihat gadis cantik itu sudah
berada di dekatnya. Langkahnya menjadi serba salah, dan pada waktu itu Lili
membentak, "Kau tak akan bisa lari, Tikus! Hadapi aku ka-
lau kau memang seorang lelaki yang jantan!"
"Ak... aku... aku...."
"Heaaat...!" Lili melompat dengan satu tendangan ke arah dada Ubayana. Tendangan
itu sengaja ti-
dak dalam gerakan cepat, sehingga Ubayana bisa me-
nangkisnya, lalu menghentakkan tangannya ke dada
Lili. Hentakan itu tidak ditangkis oleh Lili, melainkan hanya dihadang oleh
perutnya. Tak seberapa berat pukulan Ubayana menandakan pemuda itu benar-benar
berilmu rendah. Tetapi Lili berlagak jatuh dan terkapar pingsan. Ubayana
mendekat dengan perasaan bangga,
tapi ketika itu ia mendengar suara Lili berkata pelan
dalam geram, "Kalau kau tak lari kau akan mati terbakar se-
perti tadi!"
Mendengar ucapan yang menyerupai bisikan
itu, Ubayana menjadi takut, kemudian segera larikan
diri cepat-cepat. Sementara itu, Lili tetap membiarkan diri terkapar di tanah
dan kepalanya tergolek ke samping bagaikan pingsan.
Ternyata akalnya itu berhasil memancing ke-
munculan Wisnu Patra. Pemuda tampan yang mem-
punyai mata teduh itu muncul dari persembunyian-
nya. Ia cepat-cepat mendekati Lili dengan wajah ce-
mas. Ia menyentak-nyentakkan pundak Lili sambil
berseru, "Lili....! Lili...!" suaranya terdengar tegang.
Taab...! Tangan itu dipegang oleh Lili kuat-kuat. Mata Lili pun membuka.
Claap...! Wajah pemuda tampan itu
tercengang. Lili tersenyum dan pemuda tampan tersi-
pu. Sadarlah ia bahwa dirinya telah terkecoh oleh per-
mainan Lili yang dipujinya cukup licik itu.
Lili cepat bangkit sambil masih pegangi lengan
Wisnu Patra sedangkan pemuda itu berlagak acuh tak
acuh dengan sikapnya yang kecele tadi. Matanya me-
mandangi daun-daun pohon sambil menahan rasa geli
dan malu ditertawakan oleh Lili.
"Sial! Akhirnya dia berhasil juga menang-
kapku!" pikir si Dewa Tampan itu. Kemudian, ia segera mendengar suara Lili
bertanya, "Mengapa kau lari dariku, Dewa Tampan?" "
Tidak apa-apa!"
"Kau bohong! Rupanya ketampanan mu itu
menyimpan segudang kebohongan yang menyebalkan!"
"Kau sudah tahu aku pembohong, mengapa
kau harapkan bertemu denganku lagi?"
"Karena kau membuat hatiku penasaran!"
Wisnu Patra mendengus sambil kipaskan tan-
gannya pertanda tidak mau peduli dengan kata-kata
Lili itu. Tapi Lili segera mengejarnya ketika Wisnu Patra melangkah hendak
meninggalkannya.
"Wisnu Patra, katakan dulu apa yang ada da-
lam hatimu sebenarnya! Mengapa kau menjadi kaget
dan takut setelah kusebutkan bahwa diriku bergelar
Pendekar Rajawali Putih"!"
"Aku tak sanggup!"
Lili menarik lengan Wisnu Patra sehingga si
Dewa Tampan itu berhenti dari langkahnya. Lili men-
desaknya dengan kata-kata,
"Kau harus sanggup! Kau harus bisa menje-
laskan padaku!"
Wisnu Patra diam, menarik napas panjang-
panjang. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada pe-
lan, "Aku tak mau melihatmu kecewa."
"Aku siap untuk menerima apa saja tanpa ha-
rus kecewa!"
"Baiklah," kata Wisnu Patra akhirnya menyerah juga. Ia berjalan mendekati tempat
yang teduh, di bawah sebuah pohon berbuah ungu. Di sana ia berkata
dalam keadaan berdiri dan satu tangannya bersandar
pada batang pohon tersebut.
"Aku mempunyai ibu seorang peramal, na-
manya: Arum Bumi."
"Arum Bumi?" gumam Lili. "Sepertinya aku pernah mendengar nama Arum Bumi itu!
Kapan dan di mana, aku lupa!"
"Kau pasti mendengarnya dari mulut gurumu,
yaitu Dewi Langit Perak!" kata Wisnu Patra, dan kata-kata itu membuat Lili
tercengang. "Dari mana kau tahu bahwa guruku Dewi Lan-
git Perak?"
"Ibuku adalah sahabat baik gurumu!"
"Ooo..., ya, ya, ya.... Guru memang pernah ber-
cerita tentang peramal sakti yang bernama Arum Bu-
mi. Tapi waktu itu aku masih berusia antara empat be-
las tahun."
"Kita pun pernah saling jumpa pada usia seki-
tar empat belas tahun. Pertemuan itu terjadi saat pe-
makaman kakekku di Bukit Renta."
Lili berkerut dahi mengingat-ingat peristiwa itu.
Tapi ingatannya terasa lemah, terutama sejak ia ba-
nyak menyerap ilmu dari gurunya. Maka Lili pun ber-
kata, "Aku tidak ingat lagi."
"Aku pun kala itu tidak banyak perhatikan ka-
mu. Aku hanya melihatmu sebagai gadis yang angkuh
dan sombong."
"Lalu, karena masa lalu kita itu kau jadi takut
padaku?" "Bukan karena itu. Singkat cerita, antara ibuku
dan gurumu tidak menghendaki persahabatannya
menjadi putus ataupun renggang. Mereka bersepakat
untuk menjalin hubungan persaudaraan yang lebih
erat lagi. Maka ketika kita berusia kurang lebih sepu-
luh tahun, ibuku bermaksud ingin menjodohkan aku
denganmu."
"Haah..."!" Lili terkejut bukan kepalang tanggung. Hampir saja tubuhnya
terlonjak ketika itu.
"Pada waktu itu, gurumu juga setuju bahwa an-
tara kita kelak akan saling dijodohkan, dikawinkan
dan hidup sebagai suami-istri. Perjanjian itu dipegang teguh oleh ibuku, sampai
aku menjadi dewasa. Aku
yang tidak tahu menahu tentang perjanjian itu, mem-
punyai seorang kekasih yang bernama Rias Rembulan,
teman seperguruanku sendiri. Kami sepakat untuk
saling hidup bersama. Tapi Ibu melarangku mengawini


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu." "Apa alasannya?"
"Pertama, karena menurut ramalan Ibu, jika
aku kawin dengan Rias Rembulan, maka usiaku akan
pendek. Kedua, Ibu selalu ingat perjanjian dengan De-
wi Langit Perak untuk menjodohkan aku dengan murid
Dewi Langit Perak itu. Kabar terakhir kudengar murid
itu bergelar Pendekar Rajawali Putih, dan Dewi Langit
Perak menghilang entah ke mana! Ibu menyuruhku
mencari Pendekar Rajawali Putih dan mengawi-
ninya...!"
"Ooh..."!" mata Lili terbelalak lagi dengan tubuh gemetar.
"Aku memberontak dengan keputusan Ibu. Aku
menentangnya mati-matian dan tetap akan mengawini
Rias Rembulan. Tapi...," wajah Wisnu Patra tertunduk murung. Mata Lili tetap
memandanginya dengan hati
berdebar-debar. Wisnu Patra menyambung ucapannya,
"Tapi belakangan kudapatkan Rias Rembulan
mati dengan tubuh memerah. Ia terkena Racun Gu-
nung Neraka. Dan... dan aku tahu beberapa orang
yang memiliki Racun Gunung Neraka itu, antara lain
adalah ibuku sendiri. Tapi aku tak punya bukti kuat,
sehingga tak berani menuduh ibuku-lah sebagai pem-
bunuh Rias Rembulan. Aku sangat kecewa sekali. Aku
seperti kehilangan separo dari hidupku. Sementara itu, Ibu mendesak ku mencari
Pendekar Rajawali Putih dan
mengawininya dengan segera. Aku jadi benci dengan
Pendekar Rajawali Putih. Aku tahu, Ibu melakukan
tindakan keji membunuh Rias Rembulan supaya aku
kawin dengan Pendekar Rajawali Putih. Aku jadi ingin
membunuh Pendekar Rajawali Putih itu! Dan hatiku
bertekad untuk mencarinya lalu membunuhnya seba-
gai penebus kematian Rias Rembulan. Kepalanya ingin
kupenggal dan kulemparkan ke pangkuan ibu...."
Kaki dan tangan Lili kian gemetar mendengar
kata-kata itu. Wisnu Patra sendiri masih tetap tun-
dukkan kepala. Lili segera mundur dua tindak dengan
jantung berdetak-detak dan hati gundah gulana. Sece-
patnya Wisnu Patra dongakkan wajah dan pandangi
Lili, kemudian ia lanjutkan kata-katanya,
"Ketika aku melihatmu dalam keadaan tak ber-
daya, timbul rasa iba dalam hatiku. Aku menolongmu,
dan aku mendekatimu. Saat itu hatiku bergetar memu-
ji kecantikanmu dan terpikat senyuman mu. Hatiku te-
lah terjerat dengan cepat. Namun ketika kau sebut
nama gelarmu sebagai Pendekar Rajawali Putih, jerat
itu bagai kusut tak tentu arah. Antara benci ingin me-
menggal kepalamu dan menyerahkan kepada Ibu, atau
memelukmu dan menyerahkan ke dasar hatiku. Aku
tak tahu! Aku... aku benar-benar bingung menghadapi
kenyataan ini. Separo hatiku mengecam kekerasan
yang ada di dalam sifat ibuku, separo hatiku mengata-
kan, bahwa ternyata pilihan Ibu tidak mengecewakan
hatiku...."
Wisnu Patra kembali menunduk. Lama ia
membisu seribu bahasa. Lama juga Lili hanya bisa
memandanginya. Setelah itu, barulah terdengar suara
Lili berkata lirih,
"Mengapa kau selalu menghabisi nyawa lawan-
ku dengan ilmu api mu itu" Bukankah aku orang yang
ingin kau bunuh?"
"Aku... aku tak tahu! Aku tak bisa jelaskan
mengapa aku tak izinkan orang lain menyentuh tu-
buhmu"! Aku sakit hati jika melihat kau diserang
orang lain. Padahal... aku sedang mempertimbangkan
bagaimana cara memenggal kepalamu!"
"Mengapa tak kau lakukan sekarang saja" Ku-
lepaskan pedangku dan cabut pedangmu, lalu penggal-
lah kepalaku, Wisnu Patra!"
Pemuda itu geleng-gelengkan kepala. Tampak
gundah sekali hatinya. Akhirnya ia segera melesat per-
gi. Berlari dengan cepat meninggalkan gadis cantik
yang meresahkan hatinya itu.
"Wisnu, mau ke mana kau!" seru Lili.
"Mencari bunga Teratai Hitam! Sebaiknya aku
menikah dengan putri Adipati saja!" seru Wisnu Patra sambil lanjutkan larinya.
"Tunggu! Tunggu aku, Wisnu...!" Lili bergegas menyusulnya.
* * * 8 TEKAD Kencana Ratih untuk merebut bunga
Teratai Hitam itu sudah benar-benar membulat di ha-
tinya. Namun pada saat ia berhasil menemui paman-
nya, kala itu sang paman sedang terdesak oleh seran-
gan seorang lelaki kurus bermata cekung yang usianya
sekitar empat puluh tahun lebih. Lelaki kurus itu be-
rambut panjang dengan ikat kepala kulit ular dan pa-
kaiannya serba merah. Kumisnya tipis tapi berbentuk
runcing ke bawah.
Terdengar Leak Parang berseru, "Batalkan saja
niatmu, Sampar Tulang! Bunga ini akan hancur jika
nyawaku lepas dari raga! Sia-sia saja kau melawanku,
Sampar Tulang!"
"Tak ada perbuatan yang sia-sia bagi Sampar
Tulang!" seru orang kurus bermata cekung itu. Ia masih menggenggam senjatanya
berupa sabit kembar.
Sabit bergagang panjang yang digenggam kedua tan-
gan itu dimainkan terus di sekeliling tubuhnya sambil
langkahnya bergerak mengitari Leak Parang.
Sementara itu, tubuh Nyai Kubang Darah ter-
nyata sudah terkapar di bawah gugusan batu cadas.
Rupanya Nyai Kubang Darah dalam keadaan terluka di
beberapa bagian tubuhnya. Luka itu beracun dan tu-
buh Nyai Kubang Darah pun menjadi berbintik-bintik
seperti sedang dimakan racun ganas dari aliran da-
rahnya. Jika orang yang bernama Sampar Tulang itu
bisa melukai Nyai Kubang Darah di beberapa bagian
tubuhnya, maka sudah pasti ia juga bisa melukai Leak
Parang yang hanya menggunakan satu tangan dalam
bertarung. Tangan yang satunya memegangi bunga te-
ratai itu dengan sangat hati-hati.
Kencana Ratih tidak langsung menghamburkan
diri ke pertarungan, tapi ia diam di suatu tempat ter-
sembunyi dan menunggu kesempatan untuk meram-
pas bunga itu dari tangan Leak Parang. Namun tiba-
tiba punggungnya dicekal oleh tangan seseorang yang
membuat Kencana Ratih cepat berpaling untuk siap-
siap menghantamkan tinjunya. Tetapi niat itu tertahan
karena yang datang adalah Yoga.
"Diam saja di sini!" kata Kencana Ratih. "Biarkan Paman bertarung melawan Sampar
Tulang. Kita cari kelengahan Paman dan kita sambar bunga itu be-
gitu Paman lengah!"
Sambil menatap ke arah pertarungan sengit an-
tara Leak Parang dengan Sampar Tulang, Yoga berkata
dalam nada membisik,
"Agaknya orang itu cukup tangguh dan gera-
kannya sangat cepat. Dia mempunyai dua sabit yang
berbahaya. Pamanmu bisa mati karena sabit mautnya
itu! Dengar saja suara kibasan sabitnya yang tak ada
henti-hentinya itu."
Wuung, wuung, wuung, wuung, wuung...!
Suara kibasan sabit yang dipermainkan menge-
lilingi tubuh Sampar Angin itu memang tiada henti-
hentinya. Seakan ia membuat benteng pertahanan
yang sukar diterobos oleh Leak Parang. Bahkan ketika
Leak Parang melepaskan pukulan jarak jauh berca-
haya kuning, pukulan itu bagaikan benda yang dapat
dipenggal oleh kedua sabit maut tersebut. Ledakan
terdengar beberapa kali tapi tidak membuat Sampar
Tulang terpental, melainkan justru Leak Parang yang
terpental beberapa kali. Sedangkan Sampar Tulang te-
rus maju mendesak lawannya sambil menunggu ke-
lengahan lawan untuk satu lompatan yang dapat
membawa maut bagi Leak Parang.
Yoga memandang tubuh Nyai Kubang Darah
yang terkapar. Ia berkerut dahi memperhatikan luka di
tubuh Nyai Kubang Darah dan bintik-bintik merah di
sekujur wajah dan tubuh Nyai Kubang Darah. Lalu ia
berkata pelan kepada Kencana Ratih,
"Sebentar lagi Nyai Kubang Darah akan mati ji-
ka tidak cepat ditolong! Pasti dia dalam keadaan seka-
rat saat ini!"
"Biarkan saja! Dia bukan urusanmu!"
Tapi Yoga tidak bisa membiarkan keadaan se-
seorang seperti itu. Ia segera melompat keluar dari
persembunyiannya, lalu cepat mencabut pedang pusa-
ka dari punggungnya. Blaar...! Petir mengawali keheba-
tan pedang pusaka itu. Leak Parang merasa sedikit le-
ga melihat Yoga tampil kembali. Sampar Tulang terke-
sima sekejap melihat pedang membara merah yang
pada gagangnya terdapat ukiran kepala burung saling
bertolak belakang. Kemudian Yoga berkata,
"Kalau kau usik bunga itu, kau akan mati di
tanganku! Sebaiknya lekas pergi dan jangan mengusik
bunga itu lagi!"
"Kau pikir aku mudah takut oleh gertakan se-
perti itu, Bocah Tolol! Majulah kalau kau mau mampus
di ujung sabit kembar ku ini!" tantang Sampar Tulang.
Rupanya Yoga tak berhasil mengambil jalan
damai dengan Sampar Tulang. Tak ada pilihan lain ba-
gi Pendekar Rajawali Merah kecuali melayani perta-
rungan tersebut. Maka, ia biarkan Sampar Tulang
mendekatinya dengan sabit berkelebat cepat memben-
tengi tubuhnya. Tapi ketika dalam jarak satu tombak
orang itu mendekati Yoga, maka pedang yang meman-
carkan warna merah itu pun berkelebat menebas dari
kanan atas ke kiri bawah dan dari kiri bawah naik ke
pertengahan atas lagi.
Wuuut, wuuut...!
Biaar...! Craas...!
Tebasan pertama melesatkan sinar merah yang
dapat ditangkis dengan kibasan sabit kembar hingga
timbulkan ledakan. Tebasan kedua juga pancarkan si-
nar merah, namun lolos dari tangkisan dan akhirnya
tubuh Sampar Tulang pun tumbang ke belakang da-
lam keadaan robek bagian pinggang sampai ke dahi
kanan. Robekan itu cukup dalam, namun tidak kelua-
rkan darah sedikit pun.
Bruuk...! Sampar Tulang tidak bernyawa lagi.
Yoga memandanginya dengan napas terhempas lega.
Leak Parang berkata, "Terima kasih, Yo. Sekali
lagi kau telah selamatkan bunga ini dari tangan mere-
ka!" Kencana Ratih pun muncul dari persembu-
nyiannya, langsung berseru kepada pamannya,
"Kurang baik bagaimana lagi Yoga kepada Pa-
man! Berapa kali nyawa Paman diselamatkan olehnya,
dan berapa kali Paman punya hutang nyawa kepa-
danya?" Leak Parang diam dengan mata memperhatikan Kencana Ratih. Mata itu
memandang tajam, sepertinya
memendam kemarahan yang besar. Tetapi Yoga segera
alihkan perhatian mereka ke Nyai Kubang Darah. Ia
berkata kepada Leak Parang,
"Paman, keadaan Nyai sangat berbahaya! Se-
baiknya kita bawa dia ke tempat aman untuk diobati
luka-lukanya!?"
Leak Parang menghempaskan napas panjang
dengan rasa prihatin melihat keadaan Nyai Kubang
Darah. Kemudian ia berkata kepada Yoga,
"Sabit itu beracun. Tapi melihat jenis racunnya,
aku masih bisa menyembuhkan luka-luka Nyai Ku-
bang Darah itu! Aku tahu cara melenyapkan racun
itu!" "Jika begitu, Paman harus segera bertindak sebelum Nyai menjadi semakin
parah lagi!"
"Benar katamu, Yoga!" Leak Parang segera de-
kati Yoga dan berkata lagi dengan nada tegasnya,
"Bawa bunga ini!" Ia mengulurkan bunga tersebut kepada Yoga. Mata Yoga hanya
memandang dalam
keraguan menerimanya. Leak Parang berkata,
"Bawalah! Pergilah sana, dan sembuhkan saha-
batmu itu dengan bunga tersebut! Aku akan membawa
pulang Kubang Darah ke pondokku. Dia harus ku ra-
wat dan kuselamatkan dari racun itu!"
Tangan Leak Parang lebih menyodorkan lagi
bunga tersebut. Akhirnya Yoga pun menerimanya den-
gan ucapan kata,
"Terima kasih, Paman!"
Leak Parang tidak menjawab. Ia segera dekati
Nyai Kubang Darah, lalu mengangkat tubuh yang ter-
luka itu. Ia memanggul tubuh calon istrinya, namun
sebelum pergi ia sempat berkata kepada Yoga,
"Kalau ada sisanya, tolong sembuhkan pula sa-
habatku di kadipaten itu! Dia juga sangat membutuh-
kannya!" "Saya rasa... memang itulah satu-satunya jalan
tengah yang harus kita ambil, Paman!"
Kembali Leak Parang hanya menatap sebentar,
kemudian segera sentakkan kaki dan melesat pergi
sambil membawa tubuh kekasihnya. Dalam waktu se-
kejap, Leak Parang telah lenyap dari pandangan mata
Yoga. Hati Pendekar Rajawali Merah itu sempat terha-
ru melihat kebijakan orang setua Leak Parang itu.
Kencana Ratih mendekatinya sambil sungging-
kan senyum ceria. Yoga memandangi lesung pipit itu
tanpa berkedip. Kemurungan di wajah Yoga telah sir-
na. Keceriaan di wajah tampan itu kembali memikat
hati setiap wanita yang memandangnya.
"Akhirnya kau dapatkan juga dia!" ucap Kenca-na Ratih sambil merapatkan badan ke
samping Yoga. Keduanya sama-sama pandangi bunga hitam yang


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebarkan aroma wangi itu.
"Yang membuatku lega bukan hanya karena
mendapatkan bunga ini, tapi berhasil menghindari per-
tarungan melawan pamanmu!"
"Aku pun demikian. Tadi aku sudah bertekad
membunuh Paman jika bunga itu gagal kurebut. Seka-
rang aku menyesal sekali mempunyai rencana jahat
seperti tadi!"
"Sudahlah! Lupakan tentang itu. Sekarang aku
harus lekas-lekas pergi menemui sahabatku yang se-
dang sakit dan sangat membutuhkan bunga ini! Kura-
sa bunga ini tidak semuanya akan terpakai. Masih ada
sisa yang bisa dipakai menyembuhkan sang Adipati...."
Grusaaak...! Terdengar ranting dan daun dite-
rabas gerakan tubuh manusia. Yoga berpaling ke kiri,
Kencana Ratih berbisik,
"Lekas. bawa lari bunga itu! Akan ku hadang
dia di sini!"
Mereka sama-sama yakin, bahwa seseorang se-
dang menuju ke tempat itu untuk merebut bunga Te-
ratai Hitam. Yoga pun segera melompat larikan diri,
sedangkan Kencana Ratih mencabut pedangnya,
menghadang orang yang akan muncul dari balik re-
rimbunan semak itu.
Ternyata orang itu bukan manusia bodoh. Ia ti-
dak hampiri Kencana Ratih. Ia justru mengejar Yoga
karena ia tahu Yoga yang membawa bunga tersebut.
Melihat sekelebatan bayangan mengejar Yoga, Kencana
Ratih pun segera memburunya sambil berseru, "Hal, berhenti...!"
Pendekar Rajawali Merah merasa dirinya se-
dang dikejar seorang. Kencana Ratih gagal mengha-
dang orang tersebut. Maka, sambil tetap berlari cepat, Yoga berusaha memasukkan
bunga itu ke balik bajunya. Dengan begitu, tangannya yang tinggal satu itu
pun bisa digunakan untuk mencabut pedang jika ter-
paksa harus melakukan pertarungan.
Wuuut..! Wuuk, wuuk, wuuk...!
Rupanya pengejar Yoga kali ini orang berilmu
tinggi. Dengan sangat ringannya ia mampu melenting
di udara dan bersalto tiga kali, memotong arah pela-
rian Yoga, ia bahkan hinggap di dahan dan melan-
jutkan pelariannya, sampai akhirnya ia berhasil men-
daratkan sepasang kakinya di depan langkah Yoga.
Jleeeg...! Yoga terhenti, matanya sedikit menyipit me-
mandangi pemuda tampan yang berpakaian kuning
dan bersenjatakan pedang perunggu di punggungnya.
Mereka saling diam, saling pandang, dan saling perha-
tikan sampai beberapa saat lamanya. Ketika Kencana
Ratih tiba di tempat itu, kedua matanya menjadi terbe-
lalak memandang dua pemuda tampan yang masing-
masing mempunyai daya tarik yang hampir seimbang.
Kencana Ratih terperangah dan segera masukkan pe-
dang ke sarungnya. Hatinya pun membatin,
"Aih, gila! Mereka sama-sama berbadan tegak
dan kekar. Mereka sama-sama gagah dan menawan.
Tapi apakah mereka sama-sama berilmu tinggi"! Oh,
aku tak boleh ikut campur jika sudah begini!"
Setelah puas saling pandang, Pendekar Rajawa-
li Merah mendahului bicara dengan menyapa, "Siapa kau, Sobat"!"
"Wisnu Patra!" jawab si Dewa Tampan itu den-
gan ucapan yang tegas dan jelas. Seakan sangat bang-
ga dengan namanya sendiri.
Yoga manggut-manggut dengan tenang. Wisnu
Patra juga kalem dan tenang. Tapi matanya tajam me-
mandang, penuh kewaspadaan, sama dengan panca-
ran mata Yoga juga. Lalu, Wisnu Patra berkata,
"Dua tiga orang yang kutemui di perjalanan
mengatakan, bunga Teratai Hitam ada di tangan Leak
Parang. Kaukah yang bernama Leak Parang, Sobat"!"
"Bukan! Namaku; Yoga!"
"O, jadi sudah pindah tangan sekarang!" ucap Wisnu Patra sambil manggut-manggut.
Suaranya sedikit lebih berat dari suara Yoga.
"Dan kau ingin mengambilnya dariku?" "Ya!"
jawab Wisnu Patra dengan tegas. "Aku akan memper-
tahankannya!" "Aku akan melukaimu!"
"Aku akan membalas!" jawab Yoga dengan tak
kalah tegas. "Kalau begitu, bersiaplah menghadapiku, Yoga!"
"Sejak tadi aku sudah siap, Wisnu Patra!"
Di dalam hati Kencana Ratih ada cemas, ada
tepuk sorak, ada tegang, dan ada pula girang. Baru
kali ini dia melihat pertarungan yang dilakukan oleh
dua orang yang sama-sama punya ketampanan dan
daya pikat yang seimbang. Baru kali ini dia melihat
dua orang yang sama-sama berani, sama-sama tegas
dalam mengambil keputusan, serta sama-sama bersi-
kap meyakinkan.
Wisnu Patra lebih dulu menjajal ilmu Yoga den-
gan sentakkan telapak tangan miring yang keluarkan
sinar jingga dari ujung jari tengahnya itu. Zlaaap...!
Sinar itu berkelebat cepat ke arah Yoga.
Tetapi Yoga juga segera sentakkan telapak tan-
gannya, dan dari pangkal tangan itu melesat sinar me-
rah tua berbentuk seperti bola kecil. Ziaaap...! Sinar merah tua itu membentur
sinar jingganya Wisnu Patra.
Glegaaar...! Dentuman keras mengguncang bumi. Daun-
daun berguguran. Kencana Ratih tersentak ke bela-
kang dan oleng membentur batang pohon tidak terlalu
keras. Tetapi ketika asap tebal dari benturan dua sinar tadi menghilang, tampak
dua sosok pemuda tampan
masih berdiri di tempatnya tanpa bergeser sedikit pun.
"Wow...! Ini baru seru namanya!" ucap hati
Kencana Ratih dengan mata berbinar-binar.
Di pihak Wisnu Patra membatin, "ilmunya cu-
kup tinggi juga! Jurus itu bisa dihancurkan dengan si-
nar merah tuanya. Sayang di balik bajunya ia me-
nyimpan bunga teratai itu, kalau tidak, sudah kule-
paskan 'Lidah Bara' yang pasti akan membakar tu-
buhnya sampai mati!"
Sedangkan Yoga hanya membatin, "Kurasa ju-
rus selanjutnya lebih hebat lagi dari jurus pertamanya tadi! Aku tak boleh
lengah sedikit pun. Hentakan gelombang dari ledakan tadi terasa panas di
kulitku. Jika bukan berilmu tinggi, tak mungkin sekuat itu daya
panas yang ku rasakan."
Wisnu Patra segera mencabut pedang perung-
gunya. Sraang...! Clap! Ada sinar putih yang berkelebat naik dari gagang pedang
merayap di permukaan pedang sampai melesat lewat ujung pedang dan hilang di
angkasa. Jelas itu sebuah tanda bahwa pedang pe-
runggu berwarna kehitam-hitaman itu bukan semba-
rang pedang biasa, melainkan punya kesaktian dan
kekuatan tersendiri yang belum diketahui oleh Yoga.
Yoga pun tak mau kalah, ia mencabut pedang
pusaka dari punggungnya. Blaaar...! Petir menggelegar
kuat di angkasa. Wisnu Patra sempat mendongak ke
atas sebentar. Lalu matanya terkesiap melihat pedang
lawan bercahaya merah dan mempunyai percikan-
percikan bunga api yang selalu bergerak mengelilingi
pedang tersebut.
"Heaaat...!" Wisnu Patra berlari sambil menggenggam pedangnya dengan dua tangan,
siap dite- baskan ke arah leher lawannya.
"Hiaaah...!" Yoga pun berseru dalam satu sentakan kaki dan tubuhnya melayang
maju dengan ce-
pat. Pedangnya pun segera ditebaskan ke arah lawan-
nya. Namun pedang itu berhasil ditangkis oleh Wisnu
Patra dengan gerakan cepat sekali, traaang...! Blaaar...!
Kini keduanya sama-sama terpental beda arah.
Benturan Pedang Lidah Guntur dengan pedang pe-
runggu itu menghasilkan satu ledakan yang cukup
dahsyat. Gelombang ledakannya menyentak ke seluruh
penjuru, melemparkan dua pemuda tampan yang se-
dang bertarung itu.
Sebatang pohon tak terlalu besar tiba-tiba tum-
bang akibat gelombang ledakan tadi. Dua bongkah ba-
tu besar retak, sebagian hancur. Tubuh Kencana Ratih
terhempas dan jatuh di sela-sela dua pohon yang ber-
jajar. Nyaris terjepit di sana. Ia buru-buru bangkit,
mengibaskan kepalanya yang merasa pusing dan pan-
dangan matanya yang kabur, lalu segera kembali men-
dekati arena pertarungan dengan perasaan kagum ser-
ta tegang. "Keduanya ternyata sama-sama hebat!" ucap-
nya lirih dalam nada membisik. Kencana Ratih tak
berkedip memandangi kedua pemuda tampan yang
sama-sama berusaha bangkit dari kejatuhannya tadi.
Kini keduanya telah kembali bersiap dalam jarak seki-
tar tujuh langkah.
Wuuut...! Jleeg...!
Tiba-tiba sesosok tubuh melompat dari atas
pohon dan mendarat di pertengahan jarak kedua pe-
muda tampan itu. Sesosok tubuh yang baru saja da-
tang itu tak lain adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih.
"Hentikan! Hentikan pertarungan ini!" sentak Lili dengan berang.
"Lili, minggirlah! Ini urusan lelaki!" kata Wisnu Patra. "Guru, izinkan aku
melawan dia!" ucap Yoga, membuat Wisnu Patra terperanjat karena mendengar
Yoga memanggil Lili dengan sebutan guru.
Lili berkata kepada Yoga, "Kau tidak boleh me-
lukai dia, Yo!"
"O, jadi sekarang kau sudah punya orang baru
di hatimu, hah?"
Lili bingung menjelaskannya. Ia gundah sekali.
Terdengar suara Wisnu Patra berseru,
"Lili, siapa dia itu" Kau agaknya kenal baik
dengannya!"
"Ya. Dia adalah Pendekar Rajawali Merah!"
"Hahh..."!" Wisnu Patra tercengang kaget. Ia pernah mendengar Juga tentang
kehebatan ilmu Pendekar Rajawali Merah dari gurunya. Ia tahu, bahwa
Pendekar Rajawali Merah pastilah murid dari suami
Dewi Langit Perak. Sedangkan Dewi Langit Perak dan
suaminya yang berjuluk Dewa Geledek itu, pernah di-
dengar cerita kesaktiannya dari guru Wisnu Patra sen-
diri. "Tapi tak mungkin aku kalah dengannya," pikir Wisnu Patra. Lalu, ia
berkelebat menyerang Yoga dengan melompati Lili.
"Hiaaahh...!"
"Heaah...!" Yoga pun siap melompati Lili. Tetapi sebelum keduanya sama-sama
bergerak maju, Pendekar Rajawali Putih cepat sentakkan kedua tangannya
membentang ke kiri dan kanan bagai hempasan sayap
seekor rajawali yang sedang murka. Wuuuhgg...!
Sentakan kedua tangan itu melepaskan tenaga
besar yang menghantam tubuh kedua pemuda tampan
itu. Lalu, keduanya terlempar ke belakang dan saling
berjumpalitan. Kencana Ratih berseru, "Hei, mengapa kau ikut
campur urusan mereka"! Biarlah urusan lelaki diurus
sesama lelaki! Kau ini perempuan atau lelaki, hah"!"
"Tutup mulutmu, Gadis Jalang!" bentak Lili.
"Kurang cukupkah kau membawa lari kekasih orang,
hah"!" Panas hati Kencana Ratih mendengarnya. Ia menghampiri Lili dengan langkah
cepat dan berseru,
"Jaga mulutmu baik-baik, Perempuan Sinting!"
Wisnu Patra yang sudah bangkit kembali itu
berseru, "Lili, minggirlah. Biar ku bakar tubuh gadis itu dari sini!"
Yoga yang juga sudah bangkit berjalan cepat
dekati Kencana Ratih sambil memandang si Dewa
Tampan itu, "Berani kau melukai dia, kuhancurkan kepala-
mu!" Lili cepat berseru kepada Yoga, "Bagus sekali pembelaan mu! Kau benar-benar
seorang kekasih yang
setia, Yoga," sambil ia mencibir sengit kepada Yoga.
"Guru, jangan bicara begitu! Antara kita te-
tap...." "Cukup! Kau tak perlu merayu ku lagi!" sentak Lili.
"Karena kau sudah ada yang merayunya lagi,
begitu maksudmu"! Dia itukah orangnya"! Kau berani
bertaruh apa kalau aku bertarung melawannya pasti
kau akan kehilangan dia seumur hidupmu, tahu"!"
Suasana menjadi ricuh sesaat. Mereka saling
mengumbar kecemburuan antara yang satu dengan
yang satunya. Lili sendiri sebenarnya dalam kebim-
bangan; ia harus berpihak kepada siapa. Kencana Ra-
tih pun bimbang, haruskah ia tetap membela Yoga,
sementara dia mulai tahu bahwa Yoga mencintai Lili,
dan itu berarti Wisnu Patra belum tentu mencintai Lili juga. Seandainya benar
begitu, pasti salah satu dari
kedua pemuda tampan ini akan kalah dan mundur da-
ri percintaan mereka itu.
Suasana ricuh terhenti setelah tiga orang ber-
tubuh tinggi besar seperti raksasa itu muncul dari ba-
lik semak-semak yang diterabasnya. Mereka adalah
Gandaloka dan kedua anak buahnya yang berwajah
dingin itu. "Akhirnya kita bertemu di sini, Nona Lili!"
"Ayodya!" sentak Wisnu Patra. "Agaknya di sini-lah tempat kita saling
melampiaskan dendam lama itu!
Sekaranglah saatnya kau harus menebus kematian
guruku karena tanganmu itu! Heaat...!"
Gandaloka, Ayodya, dan Loga saling menyebar
mengurung Wisnu Patra. Saat itu Lili berbisik pada
Yoga, "Lekas tinggalkan tempat ini. Mereka datang ingin membawamu agar menikah
dengan ratu mereka,
atau kau mati di tangan mereka! Larilah, aku akan
menahan mereka di sini. Cepat...!"
* * * 9 PUNCAK Gunung Rimba Gading dilapisi kabut
dan hawa dingin. Sebuah gua yang ada di puncak gu-
nung itu tertutup oleh sebongkah batu besar. Batu itu
adalah pintu lubang gua Dan jika bukan orang berilmu
tinggi yang menempati gua itu, tak akan bisa mengges-


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

er batu besar tersebut.
Di dalam gua tersebut terdapat seorang gadis
yang sebenarnya cukup cantik. Sayang gadis itu ada
dalam pasungan karena terkena Racun Edan dari la-
wannya yang bernama Merak Betina, teman sepergu-
ruan Lembayung Senja yang sekarang menjadi pengi-
kut Lili karena ingin mencuri-curi jurus maut yang
dimiliki Pendekar Rajawali Putih.
Mahligai, si gadis gila itu, sejak terkena Racun
Edan membuatnya menjadi liar, buas, dan rakus. Ia
tidak bisa makan apa-apa kecuali daging mentah. Ka-
lau tak dipasung, ia akan lepas dan bisa-bisa bibinya
sendiri, yang juga sebagai gurunya itu, dimakannya
hidup-hidup. Sendang Suci, bibi dari Mahligai itu, me-
rasa prihatin sekali melihat nasib keponakannya men-
derita Racun Edan yang hanya bisa disembuhkan den-
gan bunga Teratai Hitam itu. Sekalipun demikian, Ta-
bib Perawan atau Sendang Suci, masih tetap sayang
dan setia merawat Mahligai. Harapan Sendang Suci
hanya ada pada satu orang, yaitu Pendekar Rajawali
Merah yang punya kesanggupan mencari Teratai Hitam
itu. Maka ketika Yoga datang ke Gunung Rimba
Gading, hati Sendang Suci pun bersorak menyambut-
nya. Bukan hanya karena Yoga berhasil membawa
bunga Teratai Hitam, melainkan karena rasa rindu
yang selama ini terpendam di dasar hati, melonjak le-
pas bahkan sampai ia memeluk erat pendekar tampan
yang tangannya buntung karena pedang Sendang Suci
itu, (Baca episode: "Ratu Kembang Mayat" dan "Utusan Pulau Keramat").
"Kerinduan ini tidak pernah ku rasakan selama
hidupku. Kerinduan ini ternyata ada pada hatiku, Yo-
ga. Baru sekarang aku menderita rindu, terutama se-
jak ku kenal dirimu!"
"Bibi, lepaskanlah perasaan itu," kata Yoga.
"Yang utama adalah, sembuhkan Mahligai terlebih du-lu."
"Oh, kau sangat memperhatikan keponakanku,
Yo! Aku sering iri jika kau terlalu besar memberi per-
hatian kepadanya!"
"Hanya orang sakit yang membutuhkan perha-
tian lebih. Bibi bukan orang sakit. Kuharap Bibi bisa
membedakan perhatianku terhadap Mahligai dan ter-
hadap Bibi sendiri."
Perempuan separo baya yang masih tampak
cantik dan kencang tubuhnya itu tersenyum meman-
dang Yoga. Perempuan yang masih perawan itu pun
segera melepaskan tangannya yang sejak tadi meling-
kar di leher Yoga sambil mencurahkan rasa rindunya.
"Apa yang terjadi d! bawah sana pada saat bun-
ga ini kau dapatkan?" tanya Sendang Suci.
"Banyak sekali, Bibi! Satu kabar yang perlu Bibi
ketahui, Gua Bidadari telah kuhancurkan."
"Kau yang menghancurkannya?"
"Ya. Aku dan Pendekar Rajawali Putih. Dan...
kenalkah Bibi dengan tokoh tua yang bernama Leak
Parang?" "O, ya! Aku kenal. Semasa mudanya dia adalah
kekasih Punding Ayu, yang sekarang berjuluk Nyai
Kubang Darah."
Maka, Yoga pun menceritakan tentang perjala-
nan bunga Teratai Hitam itu hingga sampai ke tangan-
nya. Kemudian, Tabib Perawan itu berkata,
"Demi adilnya, biarlah separo dari bunga ini
untuk sang Adipati. Pemakaiannya sebenarnya tak ha-
rus utuh satu bunga. Cukup sedikit saja sudah bisa
melenyapkan Racun Edan itu. Tetapi, semula aku
bermaksud menyimpan sisanya, karena bunga ini
hanya ada satu di muka bumi. Tak akan ada di tempat
lain." "Kalau begitu, aku harus segera membawa se-
bagian bunga itu ke kadipaten, Bibi. Supaya Leak Pa-
rang pun tidak kecewa, aku harus segera selamatkan
jiwa sang Adipati."
"Mengapa harus terburu-buru pergi?" ucap
Sendang Suci dengan nada kecewa. "Sebenarnya aku
masih ingin bicara panjang-lebar denganmu di tempat
sunyi ini."
"Kurasa Bibi sudah bisa kembali ke pondok, di
Bukit Berhala itu. Lili sudah tidak menaruh curiga
tentang siapa orang yang ada di balik topeng merah
itu. Jika Bibi kembali ke Bukit Berhala, saya bisa sering-sering kunjungi Bibi
ke sana." Kemudian, Yoga juga menceritakan tentang pa-
kaian topeng merah yang ditemukan oleh salah satu
anak buahnya Bidadari Manja, yang kemudian mati di
tangan Malaikat Gelang Emas. Bicara tentang topeng
merah, Yoga menjadi ingat tentang Kembang Mayat,
yang dulu dibabat habis dan perguruannya dibumi-
hanguskan oleh Sendang Suci itu.
"Kembang Mayat sekarang menjadi ratu, Bi."
"Ratu..?"
"Ya. Dia jatuh ke jurang pada saat bertarung
dengan Bibi. Tapi seorang pendeta dari Pulau Kana
menyelamatkannya. Dia dibawa ke Pulau Keramat
atau Pulau Kana itu untuk dijadikan ratu. Tetapi ada
satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu ia harus kawin.
Kembang Mayat memilih aku sebagai calon mempelai
prianya...."
"Jahanam...!" Sendang Suci menggeram dengan
wajah menjadi semburat merah karena menahan ma-
rah. "Tempo hari, enam utusan Pulau Kana itu da-
tang mencariku, lalu yang lima bisa kubunuh, yang sa-
tu kembali. Sekarang, mereka datang lagi dengan jum-
lah tiga orang, tujuannya mau memaksaku agar ikut
ke Pulau Keramat dan menikah dengan Kembang
Mayat. Jika aku menolak, mereka ditugaskan untuk
membunuhku!"
"Siapa yang menugaskan?"
"Kembang Mayat sendiri."
"Biar aku yang menghadapi mereka!" sergah
Sendang Suci. "Tidak. Bibi tidak boleh terlibat lag!."
"Akan ku buntungi para utusan itu biar Kem-
bang Mayat datang melabrak ku dan pertarungan yang
membawa keberuntungan baginya itu akan terulang
lagi!" "Jangan, Bi! Para utusan itu sekarang sedang ditangani oleh Lili."
"Apakah Lili cukup mampu mengalahkan me-
reka bertiga" Aku tahu, para penghuni Pulau Keramat
itu orang-orang bertubuh tinggi-besar, seperti raksasa.
Dan mereka juga punya ilmu tinggi!"
"Aku percaya, Lili mampu mengatasinya. Seka-
rang Bibi tenang saja di sini. Sembuhkan dulu Mahli-
gai, setelah Mahligai sembuh. kapan Bibi mau kembali
ke Bukit Berhala, aku akan dampingi! Sekarang aku
harus cepat temui sang Adipati, Bi!"
Pada waktu Yoga ingin keluar dari dalam gua,
ia sempat melihat sekelebat bayangan yang buru-buru
meninggalkan pintu gua. Rupanya percakapannya tadi
ada yang mendengarkan secara diam-diam. Yoga tidak
katakan hal itu kepada Sendang Suci, takut membuat
murka Sendang Suci meledak-ledak. Bahkan Yoga pun
tetap pergi tinggalkan gua tersebut dengan diiringi
pandangan mata Sendang Suci yang menyimpan kasih
di dalam hatinya.
Lewat dari tebing pertama, Yoga sengaja mem-
per lambat langkahnya, karena ia merasa ada seseo-
rang yang mengikutinya. Orang tersebut ternyata kini
terang-terangan mengikuti langkah Yoga. Ketika Yoga
berpaling ke belakang, ternyata Kencana Ratih yang
mengikutinya sejak dari tempat pertarungannya den-
gan Wisnu Patra itu. Pada waktu itu, Yoga tidak men-
getahui bahwa Kencana Ratih menguntitnya sampai ke
Gunung Rimba Gading. Dan kini agaknya semua per-
cakapannya dengan Sendang Suci sudah banyak dike-
tahui oleh Kencana Ratih. Karena itu, Kencana Ratih
berwajah cemberut dan merasa kesal hatinya ketika
Yoga menyapa dengan senyum keramahannya,
"Mengapa tak ikut masuk ke dalam gua saja
tadi" Kurasa itu lebih baik daripada kau mencuri-curi
begitu." "Aku tidak mau mengganggu kemesraan mu!"
ketus Kencana Ratih dalam menjawabnya.
"Ah, itu sebuah kemesraan yang wajar-wajar
saja. Bukan kemesraan seorang kekasih!"
"Apanya yang wajar"! Kemesraan itu menya-
kitkan hatiku, tahu"!" Kencana Ratih mulai ngotot, ja-lannya sambil mundur dan
matanya tetap menatap
Yoga dengan tajam.
"Bayangkan betapa tidak sakit hatiku, Yo....
Susah payah aku membantumu mendapatkan bunga
teratai itu, susah payah aku merengek dan mengan-
cam paman ku, ternyata bunga itu untuk seorang ga-
dis. Pasti gadis itu mencintaimu, karena bibinya sendi-ri juga mencintaimu!"
"Aku hanya menolong dia sebatas pertolongan
seorang sahabat!"
"Kalau kau mau menolong, tak perlu berkata-
kata mesra dengan bibinya! Kalau dia bukan gadis
simpananmu, tak mungkin kau pertaruhkan nyawa
untuk mendapatkan bunga Teratai Hitam itu! Puih...!
Kalau aku tahu orang yang akan kau tolong adalah
orang yang mencintaimu, aku tak akan sudi memban-
tumu! Sama saja aku menghidupkan musuh-musuhku
dan para saingan ku jika begin! caranya! Puih...! Me-
nyesal! Menyesal sekali aku jadinya!" sentak Kencana Ratih sambil berulang-ulang
meludah benci. Pendekar Rajawali Merah hentikan langkah.
Kencana Ratih juga berhenti, tapi gerakan tubuhnya
tak tenang, menandakan ia sangat gusar setelah meli-
hat siapa orang yang dicarikan obat oleh Yoga.
"Kencana, dengar...!" Yoga berusaha meraih
pundak gadis itu, tapi gadis itu menepiskannya. "Kencana, kau adalah seorang
perempuan. Kau tentunya
punya perasaan cinta atau sayang kepada lawan jenis
mu. Apakah orang lain berhak melarang cinta itu tum-
buh di dalam hatimu" Demikian halnya dengan mere-
ka. Rasa-rasanya tak adil jika aku melarang mereka
agar jangan mencintai ku, mereka punya hak. Seribu
wanita boleh mencintai ku, tapi hanya satu yang boleh
ku pilih menjadi istriku!"
"Siapa..."!" sergah Kencana Ratih. Ia berpaling menatap Yoga dengan tajam,
menunggu penuh harap
jawaban yang akan terlontar dari mulut Yoga. Tetapi
pendekar tampan itu hanya sunggingkan senyumnya
dan berkata, "Aku ingin langsung ke kadipaten. Apakah kau
mau ikut juga?"
"Jawab dulu, siapa orang yang akan kau pilih
menjadi istrimu nanti" Mahligai. Lili. Tabib Perawan
itu, atau aku?"
"Mudah-mudahan kita tiba di kadipaten sebe-
lum hari menjadi gelap!"
"Yoga!" sentak Kencana Ratih sambil hentak-
hentakkan kakinya dengan rasa jengkel sekali. "Jawab dulu pertanyaanku itu!"
Yoga hanya tersenyum tenang dan semakin
menawan sikapnya. Lalu tangannya berkelebat me-
rangkul Kencana Ratih dan mengajaknya berjalan ber-
sama. Kali ini Kencana Ratih tidak dapat menolak, ka-
rena rangkulan itu bagai memeluk hatinya yang digun-
cang rasa penasaran.
"Suatu saat, kalau sudah waktunya tiba, aku
akan tentukan pilihan ku sendiri. Sekarang masih ba-
nyak tugas yang harus kukerjakan demi kehidupan
sesama manusia. Kalau aku mengutamakan pribadiku
sendiri, sudah dari kemarin aku menikah dengan wa-
nita siapa saja, yang mungkin tidak akan membuat ki-
ta saling bertemu dan berdekatan seperti ini! Jadi ku-
rasa, siapa istriku, itu tak penting. Yang penting ba-
gaimana kita hidup dalam suasana damai di antara se-
sama...." Kadipaten bersuasana damai. Tapi belakangan
ini suasana damai itu dirusak oleh tingkah laku seseo-
rang yang sempat melukai sang Adipati, hingga sang
Adipati menderita sakit karena racun berbahaya. Ra-
cun itu tidak sama dengan Racun Edan yang diderita
Mahligai, namun ramuan pengobatannya mempunyai
kesamaan, yakni harus memakai bunga Teratai Hitam.
Kini Yoga datang menghadap pihak kadipaten
dengan membawa separo bunga Teratai Hitam.
Sayangnya, hanya Yoga yang boleh masuk ke ruang
paseban, sementara Kencana Ratih menunggu di luar
benteng. Penasihat Adipati yang menyambut kedatan-
gan Yoga bersama istri adipati itu sendiri. Tak lama
kemudian, muncul seorang gadis berpakaian ksatria
warna ungu muda, rambutnya digulung sebagian, si-
sanya jatuh terkulai lembut di depan dada kanannya
Gadis itulah yang bernama Galuh Ajeng, putri sang
Adipati yang rela menikah dengan lelaki siapa pun
yang datang membawa bunga Teratai Hitam.
Galuh Ajeng mempunyai mata bulat indah dan
berbulu lentik itu menatap tak berkedip wajah pende-
kar bertangan satu itu. Ia memandang kagum dan ha-
tinya berdebar-debar setelah ibunya memberitahukan,
Yoga itulah orang yang datang dengan membawa bun-
ga Teratai Hitam tersebut
Seorang tabib yang dipanggil khusus merawat
sakitnya sang Adipati, membenarkan bahwa bunga itu
memang asli bunga Teratai Hitam. Maka, sang Penasi-
hat Adipati pun berkata kepada Yoga,
"Kaulah yang memenangkan sayembara ini, Yo-
ga! Jadi, kaulah yang berhak menerima semua hadiah
yang telah kami janjikan, satu di antaranya akan di-


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawinkan dengan Putri Galuh Ajeng!"
Yoga kembali menatap Galuh Ajeng. Gadis be-
rusia antara dua puluh tiga tahun itu tersipu malu
dengan wajah semburat merah karena malu. Ibunya
menyapa Galuh Ajeng,
"Apakah kau keberatan menikah dengan pen-
dekar tampan ini, Anakku?"
"Ibu. jangan tanyakan hal itu kepadaku, tapi
tanyakanlah kepada dia, apakah dia mau menerimaku
menjadi istrinya?"
Istri adipati pun bertanya kepada Yoga, "Ba-
gaimana Yoga?"
"Mohon seribu maaf, Gusti Ayu... kedatangan
saya kemari hanya untuk menyampaikan bunga itu,
supaya sang Adipati tertolong jiwanya. Sama sekali
saya tidak menghendaki hadiah apa pun. Karena anta-
ra saya dengan Paman Leak Parang mempunyai hu-
bungan baik dan saling menolong!"
Wajah Galuh Ajeng mulai pudar dari kece-
riaannya Ibunya berkata kepada Yoga, "Jadi, kau tidak berminat menikah dengan
putri ku ini?"
"Sekali lagi, mohon seribu maaf, Gusti Ayu!
Saya hanya menolong dan tanpa pamrih apa-apa!"
Galuh Ajeng kian murung. Tak tahan ia berha-
dapan dengan Yoga yang secara tidak langsung telah
menolak dirinya. padahal dirinya sudah telanjur me-
lonjak girang karena memang terpikat oleh ketampa-
nan Yoga. Galuh Ajeng pun cepat-cepat tinggalkan per-
temuan itu dengan
wajah cemberut. Semua mata mengikuti arah
kepergian Galuh Ajeng. Kemudian, terdengar suara
Penasihat Adipati berkata,
"Apakah kau sudah punya istri?"
"Belum, Eyang."
"Apakah Putri Galuh Ajeng kurang cantik bagi-
mu?" "Tidak, Eyang. Putri Galuh Ajeng sangat cantik bagi saya. Tapi tidak
seharusnya ia menikah hanya karena sayembara. Kecantikan itu terlalu mahal dan
ku- rang tepat jika hanya dijadikan barang hadiah saja.
Biarkan Putri Galuh Ajeng menemukan sendiri keka-
sihnya, supaya hidupnya bahagia bersama orang yang
dipilih dan dicintainya."
"Bagaimana dengan hadiah-hadiah lainnya,
apakah juga akan kau tolak?"
"Hadiah yang sanggup saya terima hanyalah
kesembuhan dari sang Adipati sendiri! Selain itu, saya tidak ingin menerimanya."
Kalau saja mereka tahu, mereka akan bisa
memaklumi. Yang ada dalam benak Yoga adalah Lili,
karena wajah Galuh Ajeng punya kemiripan dengan Li-
li. Hati Pendekar Rajawali Merah tergugah untuk kem-
bali memperhatikan Lili, sang Guru angkat yang sela-
ma ini kurang diperhatikan itu. Apalagi Yoga tahu, Lili sekarang sudah punya
teman baru, yaitu Wisnu Patra.
Yoga tidak ingin Wisnu Patra mengambil Lili dari ha-
tinya. Sebab itulah, Yoga menolak dikawinkan dengan
Galuh Ajeng, walaupun itu merupakan tanda kehor-
matan atas jasa Yoga yang menyelamatkan sang Adi-
pati. Di luar benteng, Yoga sudah ditunggu oleh
Kencana Ratih. Hati Kencana Ratih pun saat itu ber-
debar-debar, merasa takut kalau-kalau Yoga terpikat
oleh kecantikan putri adipati itu. Tetapi ketika Yoga
keluar dari benteng dalam keadaan sendirian, Kencana
Ratih menjadi lega dan tersenyum ceria.
Kencana Ratih sebenarnya ingin berlari me-
nyambut kemunculan Yoga. Tetapi langkahnya terhen-
ti ketika empat prajurit kadipaten segera mengurung
Yoga, lalu muncul lagi dua prajurit bersenjata pedang, dan satu lagi perwira
istana yang segera berkata,
"Kau kutangkap dan harus dipenjarakan sam-
pai menunggu keputusan hukuman dari sang Adipati!"
"Kenapa" Apa salahku"!" kata Yoga kebingun-
gan. "Penolakan mu terhadap perkawinan dengan
Putri Galuh Ajeng dianggap merendahkan martabat is-
tana dan menghina keluarga sang Adipati!"
"Kurasa ini salah anggapan! Ku mohon...."
"Seret dia! Masukkan penjara dulu!" perintah perwira itu.
Kencana Ratih tertegun bengong melihat Yoga
digiring masuk kembali ke dalam benteng istana. Ia in-
gin menolong Yoga, namun jelas tak mungkin ia bisa
kalahkan banyaknya pasukan kadipaten.
"Celaka! Aku harus menghubungi Paman Leak
Parang dan meminta bantuannya untuk membebaskan
Yoga!" kata hati Kencana Ratih, lalu ia segera larikan diri secepatnya.
Di perjalanan ia justru berpapasan dengan
Pendekar Rajawali Putih yang sedang mengejar Ganda-
loka. Dua teman Gandaloka berhasil dibunuh oleh
Wisnu Patra, tapi Wisnu Patra terdesak oleh serangan
Gandaloka dan segera melarikan diri, sementara Gan-
daloka mengejar, Lili membayang-bayanginya agar jan-
gan sampai Wisnu Patra terbunuh oleh Gandaloka. Te-
tapi begitu bertemu dengan Kencana Ratih, Lili segera
kerutkan dahi dan bertanya,
"Mana Yoga?"
"Dia ditangkap oleh orang-orang kadipaten ka-
rena menolak dikawinkan dengan Galuh Ajeng!"
"Kurang ajar! Bantu aku menyerang mereka!"
Mampukah Lili membebaskan Yoga, jika hanya
dibantu oleh Kencana Ratih" Bagaimana dengan Leak
Parang, maukah dia menolong Pendekar Rajawali Me-
rah" SELESAI Ikuti kisah selanjutnya:
MEMPELAI LIANG KUBUR
E-Book by Abu Keisel Sejengkal Tanah Sepercik Darah 11 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Riwayat Lie Bouw Pek 4
^