Pencarian

Prasasti Tonggak Keramat 1

Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat Bagian 1


PRASASTI TONGGAK KERAMAT Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: Prasasti Tonggak Keramat
128 hal. 1 ARUS sungai deras gemuruh karena mengalir
dari tempat tinggi ke tempat rendah. Bebatuan yang
tergeletak berserakan di sungai itu bagaikan gundukan benda angker di awal
petang. Agaknya sebentar lagi
sang petang akan tiba, karena matahari senja semakin menampakkan diri di langit
barat. Tetapi cuaca dan cahaya remang belum mem-
buat dua sosok itu berhenti berlatih di atas bebatuan sungai. Seorang pemuda
tampan mengenakan baju se-lempang dari kulit beruang coklat yang membungkus
baju putih lengan panjang di dalamnya, masih terus
lakukan gerakan-gerakan cepat. Pemuda bercelana
merah dengan ikat pinggang hitam itu melenting di
udara ketika sebatang balok menghantam kakinya.
Wuuttt...! Kemudian balok itu disodokkan ke atas oleh se-
orang gadis cantik berpakaian merah jambu. Sodokkan
itu membuat tubuh si pemuda tampan nyaris menjadi
sasaran ujung kayu balok itu kalau saja tangannya
yang buntung sebatas siku itu tidak segera menahan
ujung balok tersebut. Ujung tangan yang buntung itu
bagal menyentak menghantam ujung balok dengan
kuatnya. Kraak...! Kayu balok jati itu pecah meman-
jang menjadi empat bagian.
Kejap berikutnya ketika pemuda bertangan
buntung satu itu berdiri dengan tegak, empat pecahan kayu balok itu dilemparkan
lurus ke arah dadanya.
Keempat patahan kayu balok Itu dilemparkan lurus ke
arah dadanya. Keempat pecahan kayu balok itu segera
dihantam dengan tangan buntungnya dalam satu ge-
rakkan berkelebat cepat. Wuuttt...! Praassk...!
Keempat belahan kayu itu hancur remuk men-
jadi seratan-seratan tipis. Pemuda bertangan buntung tak lain adalah Pendekar
Rajawali Merah itu segera
bersalto ke belakang, karena gadis cantik itu lemparkan sebongkah batu besar
memakai ayunan kakinya.
Wuuttt! Tangan buntungnya diangkat ke depan dan da-
lam satu sentakkan otot yang kuat, ujung tangan bun-
tung itu keluarkan selarik sinar merah. Zlaap...! Sinar merah itu menghantam
batu besar dan batu itu pun
pecah seketika menjadi serbuk hitam yang bertaburan.
Blaaarr...! Gadis yang cantiknya seperti bidadari itu henti-
kan serangannya. Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu sunggingkan senyum bangga
dan berkata, "Jurus 'Sinar Buntung'-ku sudah dapat dian-
dalkan! Jadi sekarang jangan coba-coba menyerangku
dengan gunakan batu!"
"Tapi 'Rajawali Sangkal' yang kau gunakan tadi
belum cukup bagus, Yoga! Kayu balok itu mestinya pe-
cah menjadi sepuluh belahan, tapi mengapa hanya
menjadi empat"! itu tandanya kau kurang bisa kenda-
likan napas kirimu dengan baik! Harus kau latih lagi itu, Yo!" "Ya. Baik, Guru
Li! Akan ku latih lagi pengenda-lian napas kiriku!"
"Besok pagi kuharap kau sudah bisa pecahkan
kayu balok itu menjadi sepuluh belahan!"
"Besok"! Tapi, Guru Li...."
Wuusss...! Guru Li, yang sebenarnya adalah Li-
li, Pendekar Rajawali Putih itu segera melesat pergi tinggalkan Yoga sendirian.
Yoga pun bergegas ingin
mengejar Lili untuk lanjutkan kata-katanya, tapi ia
menjadi ragu dan batalkan niat, sebab ia tahu apa
maksud kata-kata Lili, bahwa ia harus berlatih sampai esok pagi untuk bisa
kendalikan penggunaan napas
kirinya. Guru angkatnya itu cukup keras dalam melatih ilmu kanuragan Yoga, ia
bukan saja gadis yang kecan-tikannya melebihi bidadari, melainkan juga gadis
yang cerdas dan berwatak keras. Jurus 'Rajawali Sangkal'
dan jurus 'Sinar Buntung' itu adalah ciptaannya. Ju-
rus itu di ciptakan oleh Pendekar Rajawali Putih, karena ia tak ingin pemuda
tampan bertangan buntung se-
belah kiri itu menderita kekalahan jika menghadapi
lawannya. Selain jurus-jurus tersebut, ada beberapa
jurus lagi yang diberikan oleh Lili kepada Yoga, di ma-na Lili memperoleh dari
Kitab Jagat Sakti milik raksa-sa Betara Kala itu, (Baca serial Jodoh Rajawali
dalam episode: "Sumur Perut Setan").
Lili menduga bahwa Yoga bisa membaca tulisan
Sangkala yang ada dalam kitab tersebut. Ternyata Yo-
ga tidak belajar tulisan Sangkala dari gurunya, yaitu Dewa Geledek yang punya
nama asli Empu Dirgantara
Itu. Akibatnya, Yoga tidak bisa pelajari sendiri Kitab Jagat Sakti tersebut. Ia
hanya menerima pelajaran itu dari guru angkatnya yang juga satu-satunya gadis di
dalam hati Yoga.
"Gadis Itu memang punya watak keras dan te-
gas. Tapi Justru karena wataknya itulah aku menjadi
sulit melupakan dirinya walau hanya dalam sekejap,"
pikir Yoga sambil kembali teruskan latihannya.
Sebetulnya antara Pendekar Rajawali Merah
dan Pendekar Rajawali Putih punya ketinggian ilmu
yang sama. Tetapi ada beberapa ilmu yang tidak dimi-
liki Yoga, namun ada pada Lili. Dan ada pula ilmu
yang tidak dimiliki Lili, namun ada pada Yoga. Jika
dua pendekar itu bertemu dan lakukan serangan ber-
sama, lawan setangguh apa pun akan tumbang di-
buatnya. Apalagi sekarang Lili sudah kuasai sebagian jurus-jurus maut yang ada
di dalam Kitab Jagat Sakti,
dan Yoga mendapat tambahan kekuatan dari arwah
gurunya saat di dalam kapal yang membawanya ke Pu-
lau Kana itu, sehingga keduanya pun sebenarnya
punya kehebatan ilmu yang sukar di tandingi.
Sekalipun demikian, Yoga sering mengalah jika
dianggap ilmunya rendah oleh Lili. Gadis itu selalu ingin merasa lebih unggul di
depan Yoga. Karena cinta
ada di dalam hati Yoga, maka Yoga pun tidak segan-
segan menganggap Lili sebagai guru angkatnya. Se-
mentara itu, beberapa ilmu yang pernah diberikan oleh Yoga kepada Lili, tidak
pernah membuat Lili merasa
menjadi murid Yoga. Hal itu pun membuat Yoga tetap
menyukai gadis murid Dewi Langit Perak itu.
Ketika matahari mulai membakar bumi, gadis
yang menyandang pedang perak di punggungnya itu
datang ke sungai berbatu-batu dan berhenti tak jauh
dari tubuh yang terjungkir. Lili geleng-gelengkan kepala melihat Yoga dalam
keadaan kaki di atas dan kepala di bawah. Tangan kirinya yang buntung itu
digunakan sebagai alat bertumpu di atas batu, sedangkan tangan kanannya yang utuh itu
justru merapat lurus di pinggang kanan. Tubuh itu tegak dalam keadaan terjungkir
begitu, tanpa gerak sedikit pun.
Hal yang membuat Lili geleng-geleng kepala
adalah, bahwa ternyata Yoga pada saat itu tertidur
dengan nyenyak. Mungkin karena kecapekan berlatih
mengendalikan napas kirinya, sehingga Yoga tidur da-
lam keadaan berjungkir batik begitu dengan tangan
buntungnya yang dipakai menyangga tubuhnya. Tentu
saja jika bukan berilmu tinggi, tak mungkin tidur dalam keadaan seperti itu bisa
dilakukan. Untuk membangunkan Pendekar Rajawali Me-
rah yang tertidur, Lili segera lemparkan sebongkah ba-tu sebesar gentong ke arah
Yoga. Batu itu tidak diangkatnya, melainkan dihempaskan dengan gerakan tan-
gan menghentak yang mengeluarkan tenaga angin cu-
kup kuat. Wuuttt...! Batu itu pun melayang dengan
cepat ke arah Yoga.
Tiga langkah sebelum batu itu menyentuh tu-
buh Yoga, pemuda tampan itu terbangun karena rasa-
kan hembusan angin yang datang ke arahnya. Begitu
melihat sebongkah batu melayang hendak menghan-
curkan tubuhnya, tangan buntung itu menyentak pe-
lan dan tubuh Yoga cepat bersalto, lalu dengan kaki
kanan bertumpu pada tanah dan kaki kirinya masih
menapak, batu itu di sodoknya dengan tangan bun-
tungnya itu. Dess...! Proosss...!
Batu sebesar gentong pecah menjadi serpihan
kecil. Kekuatan sodok itu cukup besar menurut peni-
laian Lili. Tetapi gadis itu segera melemparkan sebatang potion kelapa yang
telah tumbang. Ia melempar-
kannya dengan kaki kanan, dan batang kelapa itu me-
luncur cepat hendak menghantam Yoga. Namun kem-
bali tangan buntung Yoga menyodok ujung batang ke-
lapa tersebut. Duub...! Braass...!
Batang kelapa itu pecah terbelah menjadi dua
puluh bagian. Yoga tersenyum kepada guru angkatnya.
Rupanya sang guru angkat masih belum puas. Ketika
ia temukan kayu gelondongan dari pohon jati yang
tumbang, ia kembali lemparkan kayu balok jati itu.
Namun Yoga berhasil sodok kembali ujung kayu itu,
sehingga menjadi pecah terbelah. Jumlah belahannya
ada dua puluh tiga belahan.
"Bagaimana menurutmu, Guru Li" Apakah aku
belum cukup mampu kendalikan napas kiriku untuk
jurus 'Rajawali Sangkal'?"
"Seharusnya kau buat kayu jati itu menjadi
serpihan lembut dalam satu kali sodok!" kata Lili sambil melangkah tenang
mendekati murid angkatnya.
Yoga menghempaskan napas dan geleng-geleng
kepala. "Dia memang tidak pernah mau memujiku. Selalu saja aku dianggapnya
kurang hebat! Ah, dasar perempuan keras kepala, tak mungkin ia mau akui kele-
bihan dan kehebatanku! Kalau bukan karena ia me-
nyimpan cinta lebih besar padaku, tak mungkin ia
mau meremehkan kehebatanku!" pikir Yoga sambil
pandangi gadis itu bergerak mendekat.
"Istirahatlah," kata Lili, kali ini memandang dengan lembut. "Pertengahan siang
nanti kita berang-kat menemui Resi Gumarang."
Yoga sempat menjadi sedikit heran dan ber-
tanya, "Untuk apa menemui Resi Gumarang" Kau tidak kenal dengannya. Aku yang
pernah bertemu den-
gan sahabat Eyang Guru Dewa Geledek itu!"
"Kau pernah cerita padaku tentang beliau. Bu-
kankah kau pernah bilang bahwa beliau bisa meramal
nasib seseorang?"
"Lantas apa maumu?"
"Aku ingin kita sama-sama tahu tentang masa
depan kita, apakah aku layak menjadi istrimu atau tidak?" Yoga tertawa kecil.
"Tanyakan saja padaku, dan akan kujawab; terlalu amat layak, Guru Li!"
Gadis itu berlagak kesal, namun menahan
keindahan di dalam hatinya. Ia ingin katakan sesuatu, tapi tiba-tiba terdengar
suara denting pedang beradu tak jauh dari tempat mereka berada. Pendekar
Rajawali Putih kerutkan dahi dan pasang pendengaran tajam, hal itu pun dilakukan
oleh Yoga. Lalu keduanya saling pandang dan Lili cepat ucapkan kata seperti
bergu-mam, "Suara pertarungan"!"
"Ya. Tapi siapa yang bertarung itu"! Sepertinya ada suara pekikan perempuan."
"Memang. Sebaiknya biar kuperiksa siapa yang
bertarung itu."
"Aku ikut, Guru!"
"Tidak. Kau cepat kembali ke pondok dan beris-
tirahatlah dl sana."
"Mengapa aku tak boleh ikut?"
"Ada perempuan di pertarungan itu," jawabnya ketus yang membuat Yoga hanya
tertawa mendengar
nada cemburunya Lili. Gadis itu cepat melesat pergi
menuju ke arah datangnya suara pertarungan. Yoga
nekad mengikutinya dari belakang. Ia tak mau kembali ke pondok, yang merupakan
tempat istirahat sementara bagi mereka itu. Pondok tersebut hanyalah sebuah
gubuk reot yang ditemukan mereka dua hari yang lalu, milik pencari kayu hutan
yang tak diketahui ke mana
perginya. Suara pertarungan itu hilang ketika mereka se-
dang berusaha melacaknya. Lili yang melihat Yoga ak-
hirnya mengikutinya tak jadi marah karena ia telanjur dibuat penasaran oleh
suara pertarungan yang hilang
itu. Mereka mencari hingga menerobos semak-semak,
sampai akhirnya ia temukan sesosok tubuh terbujur di bawah pohon.
Mereka sama-sama terkejut melihat sesosok
tubuh itu ternyata sudah tidak bernyawa. Bagian perut sampai leher terbelah oleh
senjata tajam. Hal yang
membuatnya lebih terkejut lagi adalah wajah mayat itu segera dikenali sebagai
wajah orang yang selama ini
dekat dengan mereka.
"Lembayung Senja..."!" sentak suara Lili dengan mata dan mulut terperangah.
Lembayung Senja adalah gadis yang beberapa
waktu lalu mengikuti Lili ke mana pun Lili pergi. Lembayung Senja bekas murid
perguruan Belalang Liar
yang sudah hancur itu, dan ia amat mengagumi jurus-
jurusnya Lili, sehingga berteman baik dengan Lili dengan harapan dapat
mempelajari jurus-jurus Lili. (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode:
"Misteri Topeng Merah" dan "Ratu Kembang Mayat").
Tentu saja hati Pendekar Rajawali Putih menja-
di panas melihat teman dekatnya mati terbunuh dalam
keadaan mengerikan begitu. Yoga pun menahan kema-
rahan sebab Yoga juga teman baik Lembayung Senja.
"Siapa pembunuhnya"!" geram Lili dengan napas tertahan dan mata menyipit dendam
memandang ke arah sekeliling.
"Seharusnya ia ada di pondoknya si Tua Usil!"
tambah Yoga. Sorot mata Lili yang memancarkan dendam
kemarahan itu menemukan sesosok tubuh bersem-


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunyi di balik pohon. Bayangannya terlihat jatuh di
tanah datar. Serta-merta Lili sentakkan tangannya dan menghancurkan pohon itu
dengan sinar putih keperakan yang melesat dari telapak kirinya. Claap...!
Blaarrr...! Yoga kaget melihat apa yang dilakukan Lili. Le-
bih terkejut lagi melihat sesosok tubuh terpental keluar dari balik pohon
tersebut. Wuuttt...! Brusss...!
Orang itu jatuh di semak-semak dalam keadaan ter-
banting menyedihkan. Lili segera mengejar ke semak-
semak, lalu meraih lengan orang itu dan melempar-
kannya seperti melemparkan boneka saja. Wrrr...!
Buuuhg...! "Aauuh...!" orang itu menyeringai kesakitan, jatuh dl depan kaki Yoga. Kalau
Yoga mau, sekali injak orang itu past! mati. Tapi Yoga punya firasat lain,
sehingga ia tak mau lakukan apa-apa kepada orang ber-
tubuh sedikit kurus itu.
"Bangun!" sentak Lili yang menghampiri lelaki bercelana abu-abu dengan rompi
merah kumal. "Iyy... iya... saya akan bangun! Tap... tapi jangan lemparkan saya lagi seperti
tadi. Jangan sakiti
saya, Tuan dan Nyonya"!"
Rupanya lelaki itu sudah cukup umur. Usianya
sekitar lima puluh tahun. Mungkin juga lebih. Sebab
rambutnya sudah tumbuh uban dan membuat rambut
itu menjadi abu-abu, campuran uban dengan rambut
hitam. Potongan rambutnya lucu, seperti tempurung
separo lingkaran; berponi rata sebatas dahi sampai ke bagian belakangnya.
Lelaki itu punya mata bundar dan wajah tolol.
Hidungnya sedikit bulat, tanpa kumis dan jenggot. Ku-litnya cenderung hitam
dengan kulit wajah tampak be-
kas jerawat masa mudanya. Ukuran tubuhnya pun tak
seberapa tinggi, tapi juga tidak termasuk cebol. Ia kenakan ikat pinggang dari
kain hitam, namun tidak terlihat membawa senjata apa pun.
Ketika ia dipandangi oleh Yoga dan Lili, ia tam-
pak ketakutan, namun mencoba untuk tersenyum ra-
mah, sehingga wajah itu menjadi tak beraturan raut-
nya. Ketika Yoga dan Lili mengelilinginya pelan-pelan, lelaki itu ikut memutar
tubuh pelan-pelan dengan kaki gemetaran.
"Siapa kau?" tanya Yoga dengan suara tidak terlalu membentak.
"Nam...nam... nam...."
Plook...! Lili menamparnya karena jengkel dan
tak sabar. Lelaki yang lebih pendek dari Lili itu tersentak ke samping. Kemudian
ia melintangkan tangannya
ke depan, menghadang agar tak ditampar lagi sambil
berkata penuh rasa takut,
"Ja... ja... jangan tampar saya. Saya tidak bersalah:..!"
"Sebutkan namamu! Jangan hanya bisa nam-
nam saja!"
"liy... iya saya sebutkan nama saya, Bibi."
Yoga segera dekati Lili dan berbisik, "Jangan
kasar-kasar kepadanya. Kasihan."
"Dia yang membunuh Lembayung Senja!" ge-
ram Lili. Lelaki tua itu mendengarnya dan segera me-
nyahut, "Bukan saya! Sangat bukan. Berani sumpah disambar petir atau bidadari,
saya tidak membunuhnya, Nyai! Saya bukan pembunuh!"
'Tapi bilang Nyonya, lalu Bibi, sekarang Nyai...!
Kalau bicara di depanku yang benar!" gertak Lili kembali sambil cemberut marah.
"Iya. Yang benar," kata orang itu. Mengangguk-angguk penuh rasa takut. Ia tak
berani memandang
Lili ataupun Yoga, sehingga hanya bisa tundukkan ke-
pala saja. Tangannya memainkan ujung rompi kumal-
nya seperti anak kecil yang dimarahi oleh orang tua-
nya. "Siapa namamu tadi?" tanya Yoga agak kalem.
"Nama saya... Cola Colo."
"Apa itu Cola Colo"!"
"Nama saya," orang itu menepuk dadanya, "Itu nama saya, Paman!" Wajahnya tampak
melompong bodoh saat berkata demikian. *
"Agaknya kita berhadapan dengan orang gila,
Guru." "Dia hanya pura-pura gila!"
'Tidak. Tidak pura-pura kok!" sahut Cola Colo.
"Saya memang tidak pura-pura gila, karena saya memang bukan orang gila, Nona!"
Sikapnya yang seperti bocah dan bodoh itu
membuat Lili menjadi geram dan segera mencengke-
ram rompi Cola Colo kuat-kuat dan menarik tubuh itu
dengan mata mendelik dan menghardik,
"Jangan berpura-pura, Bocah Bodoh! Kau telah
membunuh temanku yang bernama Lembayung Senja
itu!" "Iya," jawab Cola Colo. Maka, wajahnya pun segera dihantam dengan pangkal
telapak tangan Lili.
Deeuh...! Brruk...!
"Auuh...!" Cola Colo mengerang kesakitan dengan wajah menyeringai. Matanya
terpejam kuat sambil
pegangi mulutnya yang sakit.
"Jadi benar kau yang membunuh Lembayung
Senja?" tanya Yoga.
"Bukan, Paman. Sumpah...!" sambil duduk ia angkat kedua tangannya dengan kedua
jempol dite-gakkan. "Sumpah sekali. Bukan saya yang membunuh perempuan itu."
"Mengapa kau tadi menjawab: Iya kepadaku?"
bentak Lili. "Maksud saya, iya... memang benar saya suka
dipanggil Bocah Bodoh oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab itu."
Yoga segera menarik lengan Lili, membawanya
agak jauh dari Bocah Bodoh itu. Di samping mayat
Lembayung Senja, Yoga berbisik kepada Lili,
"Kurasa bukan dia pelakunya."
"Tak ada orang lain di sini kecuali dia."
'Tapi dia kelihatan bodoh. Saat kau pukul tadi,
ia terhempas sebegitu jauh. Kalau dia berilmu, dia pasti tidak akan terlempar.
Kalau dia tidak berilmu, dia tidak mungkin bisa kalahkan Lembayung Senja!
Kulihat dia juga tidak membawa senjata apa-apa."
"Lantas siapa lagi orangnya kalau bukan dia
yang membunuh Lembayung Senja"! Untuk apa dia
ada di sini jika memang dia tidak bertarung melawan
Lembayung Senja?"'
"Mungkin dia punya teman, dan temannya itu
yang melakukannya!"
"Kalau begitu, akan ku paksa dia supaya mu-
lutnya berkata jujur!"
"Jangan, Guru. Biar aku saja yang mengorek
keterangan darinya. Kau terlalu mengumbar kemara-
han. Kalau dia tidak bersalah, kasihan dia sudah kau buat kesakitan terus!'
"Hah!"Lili menghempaskan napas kesal. "Bicaralah sana!"
Akhirnya Lili mengalah sambil wajahnya masih
cemberut bercampur sedih. Ia kembali memeriksa ma-
yat Lembayung Senja, sementara itu Yoga mendekati
Bocah Bodoh yang masih diam di situ tak mau larikan
diri. Bocah Bodoh itu ketakutan ketika Yoga mendekat.
Ia merapatkan tubuh dengan pohon berakar pipih se-
tinggi pundaknya.
"Kemari kau!" perintah Yoga dengan tegas. Bocah Bodoh geleng-gelengkan kepala.
Bahkan berkata,
'Takut." "Aku tak akan menyakitimu! Kemarilah...!"
Akhirnya Bocah Bodoh itu mendekat dengan
masih pandangi Yoga penuh rasa takut, kalau tiba-tiba dihantam oleh. Yoga. Yoga
pun segera bersikap kalem
dan bertanya, "Benarkah bukan kamu yang membunuh te-
man kami itu?"
Cola Colo, si Bocah Bodoh itu, kembali geleng-
kan kepala dengan mulut melongo.
"Pasti temanmu yang melakukannya!"
Bocah Bodoh geleng kepala lagi.
"Lalu siapa kalau bukan kau dan bukan te-
manmu?" 'Tidak tahu."
"Apa kerjamu di balik pohon tadi?"
"Saya takut melihat mayat itu. Lalu saya sem-
bunyi. Lalu kalian datang. Setelah itu saya diserang.
Saya sedih, mengapa saya disakiti orang. Padahal Ibu berpesan saya tak boleh
sakiti orang, tapi mengapa
orang sakiti saya"!" Bocah Bodoh tundukkan kepala dengan wajah menyedihkan.
"Sudah lama kau sembunyi di balik pohon itu?"
"Belum. Saya dengar suara orang berteriak. Ja-
lan saya jadi belok kemari. Saya lihat mayat itu sudah tergeletak. Saya takut
mayat itu bangkit dan menyerang saya. Saya sembunyi di...."
"Ya, ya, ya... aku sudah dengar penjelasan mu
yang itu."
"Terima kasih," kata Bocah Bodoh sambil kembali tundukkan wajah. Yoga
memperhatikan beberapa
saat, Lili pun memandanginya dari tempat mayat Lem-
bayung Senja tergeletak. Kemudian Yoga bertanya ke-
pada Bocah Bodoh,
"Siapa ibumu?"
"Nyai Sembur Maut," jawab Bocah Bodoh.
'Tokoh sakti yang pernah kudengar namanya
dalam percakapan di sebuah kedai," sahut Lili dengan jelas. Bocah Bodoh
menimpali, "Iya. Benar. Ibu adalah tokoh sakti. Saya ditu-
gaskan oleh Ibu untuk mencari Prasasti Tonggak Ke-
ramat di Lembah Maut. Tapi saya bingung di mana le-
tak Lembah Maut itu. Lalu, dalam perjalanan saya
mendengar suara orang bertarung, saya belok kemari,
saya melihat ada mayat, saya sembunyi di pohon ka-
rena saya...."
"Cukup, cukup...!" potong Yoga yang merasa bosan mendengar penjelasan yang
diulang-ulang itu.
"Apa itu Prasasti Tonggak Keramat?" tanya Lili, kini ia dekati Bocah Bodoh yang
sebenarnya sudah
cukup umur itu.
"Prasasti Tonggak Keramat adalah tugu dari ba-
tu berukuran sebatas perut saya. Tugu itu ada telapak
tangan guru ibu saya, dan tugu itu namanya Tonggak.
Tonggak itu adalah prasasti peninggalan mendiang gu-
runya ibu dan...."
"Cukup!" sentak Lili. Bicaramu melingkar-
lingkar tak karuan, memusingkan kepala!"
"Iya. Pusing juga saya jadinya. Aduh...." Bocah Bodoh geleng-geleng kepala,
seakan ikut bingung sendiri memikirkan perkataannya.
Pada waktu itu, sekelebat bayangan datang
menerabas semak. Bayang itu tak lain milik seorang lelaki tua, gigi kanannya
ompong satu, rambutnya putih tipis, kumisnya juga putih tipis, pakaiannya coklat
muda. Orang tua itu terengah-engah, dan ketika meli-
hat mayat Lembayung Senja, ia terperanjat kaget dan
berseru, "Lembayung Senja..."! Oh, kenapa dia" Kena-
pa?" "Mati," jawab Bocah Bodoh yang belum tahu siapa orang itu.
"Kau yang membunuhnya"!" bentak orang ter-
sebut yang tak lain adalah si Tua Usil.
"Kamu tua-tua bisanya cuma menuduh orang!
Tanyakan sama Paman dan Bibi itu!" sentak Bocah Bodoh. "Siapa pembunuhnya, Nona
Li"!" wajah Tua Usil, si Manusia, Kabut itu menjadi sedih. Yoga menjelaskan
perkara sebenarnya, lalu Tua Usil bercerita tentang kerinduan Lembayung Senja
yang lama ditinggal-
kan oleh Lili dan Yoga. Lembayung Senja bermaksud
mencari dua pendekar rajawali itu. Tapi tak disangka nasibnya menjadi seperti
itu. Tua Usil hampir menangis memandangi mayat Lembayung Senja.
Pada saat Yoga dan Lili mendengarkan cerita
Tua Usil itulah, diam-diam Bocah Bodoh pergi dari mereka.
Ketika mereka temukan Bocah Bodoh sudah hi-
lang dari tempatnya, mereka terkejut. Tua Usil segera berkata,
"Aku yakin, dialah pembunuhnya, Nona Li!"
'Tidak. Bukan dia pembunuhnya!" kata Yoga
sambil termenung. "Dia hanya bocah tua yang bodoh dan ditugaskan mencari
Prasasti Tonggak Keramat."
"Apa itu Prasasti Tonggak Keramat?" tanya si Tua Usil.
"Itulah yang perlu kita ketahui. Aku lebih tertarik dengan prasasti tersebut!"
kata Yoga. "Lantas, bagaimana dengan mayat Lembayung
Senja?" tanya Tua Usil dengan nada bingung.
"Kuburkan dia." kata Lili. "Setelah itu, ikutlah mengejar Bocah Bodoh itu! Aku
masih curiga padanya!" "Sayakah yang harus menguburkan mayat Lembayung Senja
ini, Nona Li"'
"Ya. Kamu!" jawab Lili dengan tegas dan matanya memandang tajam karena masih
menahan ma- rah atas kematian temannya itu.
"Kuburkanlah, jangan banyak tanya. Nona Li
sedang marah," kata Yoga kepada Tua Usil.
"Baiklah," kata Tua Usil. "Yang penting habis ini aku benar-benar bisa dapat
pelajaran bagaimana
caranya berdiri di atas ilalang."
* * * 2 SINAR matahari semakin merayap menuju ke
pertengahannya. Sinar matahari itu yang membuat si-
lau mata lelaki berpakaian hitam, sehingga tak sempat melihat kelebatan kaki
berbetis mulus yang menendang ke arah punggung kanannya. Buuuhg...! Tendan-
gan itu cukup kuat, sehingga lelaki berambut pendek
dengan ikat kepala putih itu terjungkal ke depan dan berguling-guling tiga kali.
Dalam sekejap ia sudah berdiri lagi, menghadap ke arah penyerangnya.
Lelaki berkumis lebat melengkung ke bawah de-
ngan dagu bersih tanpa jenggot itu, sedikit terkejut melihat penyerangnya adalah
seorang dara jelita yang berwajah imut-imut. Dara jelita itu berpakaian biru
muda dengan kain jubah longgarnya berwarna kuning
tipis dari bahan sejenis sutera. Di pinggang dara jelita itu terselip sebilah
pedang yang dililit kain merah rata pada sarungnya.
Ciri-ciri pedang itulah yang membuat lelaki be-
rusia sekitar empat puluh tahun itu teringat pada sua-tu peristiwa yang pernah
dialaminya tiga tahun yang
lalu. Karenanya, lelaki itu segera menegur dengan geram kemarahan kepada dara
jelita tersebut,
"Jahanam busuk! Rupanya kau orang Pergu-
ruan Camar Sakti itu"!"
"Camar Sakti"!" dara jelita itu berkerut dahi, berpikir sebentar dengan
kendurkan urat tangan yang
siap memukul, setelah itu baru berkata kembali,
"O, ya! Benar. Aku dari Perguruan Camar Sak-
ti."

Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa kau menyerangku, hah"!"
Gadis, itu berkerut dahi lagi, berpikir sebentar,
lalu berkata, "Iya. Benar. Aku menyerangmu karena aku ingat kau yang membunuh
Sanca Wiba. Aku ingat,
kau membunuhnya sekitar tiga tahun yang lalu. Aku
ingat, kau yang bernama Jalak Hutan. Aku ingat... semua yang aku ingat!"
"Persetan dengan ingatanmu! Heaah...!" Jalak
Hutan segera melompat dalam satu serangan kaki
yang siap menghancurkan kepala dara jelita itu. Teta-pi, tangan halus berkulit
putih bersih itu menangkisnya dengan telapak tangan terbuka. Plak...! Lalu
telapak kaki yang membentur telapak tangannya itu dido-
rong dengan gerakan tak terlalu keras. Weesss...!
Tetapi hasilnya sangat di luar dugaan. Jalak
Hutan yang pantasnya menjadi ayah gadis itu segera
terpental kuat. ia bagaikan dilemparkan oleh tenaga
raksasa. Tubuhnya melayang dengan cepat dan mem-
bentur sebatang pohon berdahan pendek. Buuhg...!
Gadis berambut poni dengan dua pita merah di
kanan kiri itu tertawa cekikikan. Ia segera bersem-
bunyi di balik pohon sambil melongok-longok lawan-
nya yang sedang menggeliat untuk bangkit dengan wa-
jah menyeringai menahan rasa sakit. Dara jelita itu
berkata di sela tawa kecilnya dari balik pohon.
"Hi hi hi...! Malu, ah! Orang tua kok jatuh dengan hanya disentakkan oleh tangan
gadis kecil seperti aku" Ih, memalukan!"
Jalak Hutan menahan kemarahan, kendati su-
dah bisa berdiri dengan masih menahan rasa sakit di
tulang belakang. Ia membatin,
"Bocah sinting dia itu! Menganggap memalukan
tapi mengapa dia sendiri yang bersembunyi di balik pohon, sepertinya dia yang
merasa malu" Uuh. Setan
alas! Jangan-jangan tulang punggungku patah" Sen-
takkan tangannya sangat hebat. Aku seperti diterjang badai secara tiba-tiba.
Jelas ilmu si centil itu cukup tinggi. tapi aku harus bisa membalas kekalahan ku
ini!" Wuuttt...! Jalak Hutan sentakkan dua tangannya. Gelombang angin besar
menghantam pohon yang
dipakai untuk mengintip dara jelita itu. Kraaakkkk...
brukkik! Pohon itu pun tumbang.
"Modar kau, Kuntilanak!" teriak Jalak Hutan, sambil matanya memandang ke arah
pohon yang tumbang, mencari-cari gerakan tubuh yang terhimpit po-
hon tersebut. "Siapa yang modar" Hi hi hi hi...!"
Jalak Hutan terkejut, karena dara jelita itu ta-
hu-tahu sudah ada di belakangnya dalam jarak hanya
dua tindak. Ketika Jalak Hutan berpaling ke belakang, tahu-tahu pandangan
matanya menjadi gelap seketika
karena telapak tangan dara jelita itu menghantam te-
pat di wajahnya. Plookkk...!
"Kena lagi. Hi hi hi...!" dara jelita itu melonjak kegirangan. Tawanya yang
kecil itu berkepanjangan.
Jalak Hutan sadar setelah kepalanya dikibas-
kibaskan, pandangan matanya mulai terang. Tampak
kaget si Jalak Hutan melihat keadaan dirinya ternyata sudah terkapar di tanah
dekat pohon yang ditumbang-kannya tadi. Ia pun membatin dalam hatinya,
"Setan belang! Ternyata aku tadi terpental jauh sampai di sini"! Wuuhhh... panas
sekali wajahku seperti habis terbakar. Jangan-jangan wajahku menjadi
hangus. Wajah Jalak Hutan tidak hangus, hanya meme-
rah dengan bentuk telapak tangan membekas dari mu-
lut sampai pertengahan keningnya. Itulah bekas tela-
pak tangan dara jelita tersebut.
"Jalak Hutan," sapa dara jelita itu. "Aku suka mempermainkan lawanku lebih dulu
sebelum kubunuh. Ku harap kau sudi menerima permainan ku ini.
Hi hi hi...!"
"Urungkan niatmu membunuhku, Setan betina!
Kau akan menyesal karena kau akan kehilangan nya-
wa sendiri jika berusaha membunuhku!"
'Tidak mungkin ku urungkan. Kau telah mem-
bunuh saudara perguruanku; Sanca Wiba itu. Kau ta-
hu, Sanca Wiba hampir menjadi kekasihku. Dia se-
dang menunggu saat yang tepat untuk utarakan cin-
tanya padaku. Tapi ia telanjur kau bunuh, sehingga
kata-kata yang keluar hanya, aaah...! Dan ia pun mati di tanganmu!" dara itu
menirukan pekik orang yang mau mati. Ia berjalan dengan lompatan kecil dua kali.
Kemudian ia berkata lagi dengan gayanya yang
genit, "Aku sekarang sudah perdalam ilmu. Sebab itu aku berani menuntut balas
pada pembunuh calon kekasihku dulu, yaitu kau! Kau harus kubunuh, supaya
arwahnya Sanca Wiba merasa puas dalam kematian-
nya." "Baiklah kalau itu maumu. Akan kubuat kau menyusul Sanca Wiba secepatnya,
Landak Kurap!"
"O, namaku bukan Landak Kurap, Pak Tua!
Namaku adalah Gadis Linglung. Eh, itu nama julukan
saja. Kalau nama aslinya, tak akan kuberitahukan ke-
pada lelaki peot macam kamu, Jalak Dungu! Hi hi
hi...!" Gadis Linglung tertawa-tawa sambil meraih ranting hijau dan dipermainkan
dengan lenggak-lenggok manjanya. Jalak Hutan semakin muak melihat
gaya Gadis Linglung itu, lalu ia segera berseru,
'Terimalah jurus 'Alam Kubur'-ku ini, Gadis
Linglung! Heaaah...!"
Jalak Hutan menyodokkan telapak tangannya
ke depan dengan gerakan dari bawah. Sodokan itu
membuat selarik sinar melesat dari telapak tangan kanan-kiri. Dua sinar hijau
itu melesat cepat menghan-
tam perut Gadis Linglung. Jruub...! Grussakkk...! Gadis Linglung terlempar ke
belakang dan jatuh di se-
mak-semak. "Mampus kau!" geram Jalak Hutan.
"Mampus apanya?" ucap suara di belakang Jalak Hutan.
Jalak Hutan berpaling cepat karena kaget. Ter-
nyata Gadis Linglung sudah ada di belakangnya. Pa-
dahal tadi Jalak Hutan melihat Gadis Linglung terlempar di semak-semak. Belum
sempat mata Jalak Hutan
berkedip melihatnya, tapi ternyata gadis itu sudah ada di belakangnya.
Untung Jalak Hutan segera ingat peristiwa tadi,
begitu ia berpaling dengan cepat tangannya pun berkelebat menangkis pukulan
telapak tangan dara jelita
Itu. Plak...! Wuuttt...! Jalak Hutan kirimkan tendangan miringnya ke arah wajah
Gadis Linglung, tapi hanya
dihindari dengan kepala miring, kaki itu meleset dari sasarannya. Trakkk...!
"Aoow...!" Jalak Hutan lompat ke belakang dengan gerakan bersalto. Tulang
kakinya dihantam den-
gan tebasan tangan yang kerasnya menyamai sebatang
besi itu. Jalak Hutan meringis lagi kesakitan. Wajahnya menjadi merah karena
menahan rasa sakit yang
luar biasa. "Perempuan gembul! Perawan kesurupan! Wa-
nita kadas!" sumpah serapah meluncur dari mulut Jalak Hutan. Makian beruntun itu
ditertawakan Gadis
Linglung. Jalak Hutan makin panas hati dan mulai
timbul niatnya untuk benar-benar membunuh Gadis
Linglung. Maka, ia pun segera mencabut goloknya.
Sreet...! "Sudah waktunya aku membunuhmu!" geram Jalak Hutan. Maka, dengan satu
sentakan kaki ringan, tubuhnya telah melesat bagaikan terbang ke arah Gadis
Linglung. Wuuttt...! Goloknya ditebaskan dari atas ke bawah. Gadis Linglung
hanya melompat ke sana
kemari dan tidak mau menyerang atau menangkis. Ja-
lak Hutan tambah penasaran sehingga tebasan jurus
goloknya kian ditingkatkan. Permainan golok itu san-
gat cepat, kadang bagaikan melilit di tubuhnya sendiri,
lalu tahu-tahu mengibas ke kiri, arah sasaran leher
lawan. Pada satu kesempatan, Jalak Hutan berhasil
mengecohkan gerakan hindar Gadis Linglung. Pada
saat itu, tubuh Gadis Linglung yang menghindar ke
kanan disambut pukulan telapak tangan kiri Jalak Hu-
tan dengan telak. Buuuhg...!
Wuutt, brruk...! Gadis Linglung terpental ketika
rusuk kanannya dihantam lawan. Tubuhnya menjadi
tersandar di kaki pohon. Ia meringis kecil, dan tiba-tiba Jalak Hutan datang
melayang dengan golok siap
ditebaskan. "Tahan...!" teriak sebuah suara yang membuat Jalak Hutan jadi hentikan niat
membelah tubuh Gadis
Linglung. Ia segera memandang ke arah suara yang
berseru itu. Pada saat ia memandang ke arah lain itulah, kaki Gadis Linglung
menendang dalam satu lom-
patan kecil. Duuhg...! Dagu Jalak Hutan terkena tendan-
gan. Bukan hanya kepalanya saja yang terdongak, tapi tubuhnya terpental ke
belakang. Sreet...! Gadis Linglung mencabut pedangnya.
Ketika tangannya bergerak naik untuk menebaskan
pedang ke arah Jalak Hutan, tahu-tahu sebutir batu
melesat menghantam punggung tangannya. Teesss...!
"Auh!" Gadis Linglung terpekik, pedangnya
sempat jatuh dan terlepas dari tangannya itu, namun
segera di sambar memakai tangan kiri. Clap...! Pedang kembali tergenggam
olehnya. Matanya segera memandang ke arah melesatnya batu kecil akibat tendangan
kaki lembut tadi.
Di sana telah berdiri pemuda tampan yang
mengejutkan hati Gadis Linglung, dan seorang dara
ayu seusia dengannya. Mereka tak lain adalah Yoga
dan Lili, sementara di belakangnya berdiri si Tua Usil.
"Maaf, aku bukan ingin mencampuri urusan-
mu, Jalak Hutan. Aku hanya ingin tanyakan seseorang
yang berambut abu-abu. Apakah kau melihat dia lewat
kemari"!" tanya Pendekar Rajawali Merah.
'Tidak," jawab Jalak Hutan. "Sebaiknya segera-lah pergi, aku ingin bunuh gadis
itu!" "Tunggu! Jangan pergi dulu!" ucap Gadis Linglung tiba-tiba dengan mata tak
berkedip memandangi
Yoga. Hal itu membuat Lili menjadi cemburu dan sege-
ra dekati gadis itu sambil berkata,
"Apa yang kau lihat, hah"!"
"Dewa turun ke bumi!" jawab Gadis Linglung.
Yoga hanya tersenyum geli mendengar jawaban itu.
Gadis Linglung yang namanya sempat didengar oleh
Yoga dan Lili saat terjadi percakapan dengan Jalak Hutan, kini sedang terbengong
dengan mulut sedikit me-
lompong dan mata tetap tak berkedip ke arah Yoga.
Plaakk...! Lili segera menamparnya sambil ber-
kata, "Aku tak suka lihat gadis bermata nakal begitu!"
Gadis Linglung menggeragap dan baru menya-
dari dirinya. Ia bahkan bertanya, "Apa yang menyambar pipi ku tadi" Seekor
lalatkah"!"
Tua Usil yang sudah bergerak ke belakang Ga-
dis Linglung mencolek pundak gadis itu hingga me-
nengok ke arahnya. Tua Usil pun berkata,
"Bukan lalat yang menyambar pipimu, Gadis
Linglung, melainkan kau habis ditampar oleh Nona Lili di depanmu itu!"
"Kurang ajar!" geram Gadis Linglung kepada Li-li. Kemudian ia ganti menampar
Lili, tapi Lili segera merundukkan kepala. Wuuttt...! Tamparan itu meleset
dan terus ke belakang mengenai pipi Tua Usil.
Plokkk...! Tua Usil pejamkan mata kuat-kuat menahan
tamparan tersebut. Lalu melangkah menyingkir sambil
menggerutu kesakitan,
"Apes amat aku ini...."
Yoga tertawa geli, lalu segera dekati Lili dan
menarik pelan lengan Lili sambil berkata,
"Sudahlah. Kita pergi saja. Jangan terlibat terlalu dalam."
Lili menuruti ajakan itu sambil bersungut-
sungut. Jalak Hutan segera berkata,
"Yoga, aku sendiri sedang mencari keponakan-
ku; si Mutiara Naga! Sudah empat hari aku membu-
runya. Dia lari dari rumah untuk mencarimu! Sebab
dia rindu sekali padamu."
Lili segera berkata menyahut, "Eh, jaga bicara-
mu, Jalak Hutan! Jangan sebut-sebut rindu bagi pe-
rempuan lain!"
"Aku bicara yang sebenarnya, Lili!"
'Tak perlu kau bicara soal kerinduan kepona-
kanmu itu kepada Yoga. Dia tidak berhak merindukan
Yoga! Kalau kau mau cari dia, pergilah sana. Cari dia sampai ketemu dan kasih
tahu agar jangan punya rindu pada Yoga!"
"Guru, sudahlah...!" bujuk Yoga pelan.
"Hih hi hi hi...!" Gadis Linglung tertawa. "Dewa Tampan itu memanggilmu Guru"!
Apa tak salah?"
Wuttt...! Kaki Lili menendang miring. Hampir
saja kenai kepala gadis itu karena kecepatannya nyaris tak tertangkap mata Gadis
Linglung. Beruntung gerakkan kepala yang miring pun cepat dilakukan oleh Ga-
dis Linglung, sehingga tendangan itu tidak kenai sasaran. "Gadis Linglung," kata
Jalak Hutan. "Terpaksa urusan kita ditunda dulu sampai di sini! Aku harus
kerjakan sesuatu yang lebih penting lagi. Kalau kau
masih penasaran padaku, datanglah ke pondokku!
Akan kulayani dendammu!"
Wuuttt...! Tanpa menunggu jawaban dari Gadis
Linglung atau dari siapa pun, Jalak Hutan sentakkan
kaki dan melompat pergi tinggalkan tempat tersebut.
"Kau tak ingin mengejarnya"!" pancing Lili supaya mata Gadis Linglung tidak
tertuju pada Yoga lagi.
"Kupikir ada benarnya kata-kata Jalak Hutan.
Aku sendiri punya urusan yang lebih penting sebelum
membunuhnya!"
"Kita pergi sekarang juga, Yo!" Lili dan Yoga segera bergerak, Tua Usil
mengikutinya sambil masih
usap-usap pipinya yang panas akibat kena tamparan
Gadis Linglung tadi. Namun, tiba-tiba Gadis Linglung berseru,
'Tunggu sebentar! Aku ingin tanya kepada ka-
lian, tahukah kalian jalan menuju Lembah Maut"!"
Lili dan Yoga saling pandang, karena mereka
ingat kata-kata Bocah Bodoh tentang prasasti di Lem-
bah Maut itu. Lalu, Yoga segera ajukan tanya kepada
Gadis Linglung,
"Untuk apa kau mau ke sana?"
"Untuk... untuk...?" Gadis Linglung tertegun bengong, memikirkan sesuatu yang
lupa diingatnya.
"Iya, ya..." Untuk apa aku ke sana" Ya, ampuuun...
kenapa aku jadi lupa tujuanku semula" Setan! Ini pas-ti gara-gara bertemu dengan
Jalak Hutan itu, rencana-ku jadi lupa sekali."
Ucapan itu membuat Yoga dan Lili saling berke-


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rut dahi, demikian pula si Tua Usil. Bahkan si Tua Usil sempat berkata,
"Mungkin kau ke sana mau gantung diri?"
"Ooo, iya! Benar! Aku ke sana mau cari Prasasti Tonggak Keramat!" kata Gadis
Linglung yang membuat si Tua Usil bersungut-sungut dan menggerutu,
"Apa hubungannya kata-kata gantung diri den-
gan Prasasti Tonggak Keramat"! Uuh... dasar gadis
edan!" Yoga segera berkata, "Gadis Linglung, sayang sekali kami sendiri tidak
tahu di mana letaknya Lembah Maut itu. Kami sendiri sedang mencari seseorang
yang sedang menuju ke Lembah Maut! Tapi kalau bo-
leh kami ingin tahu, ada apa dengan Prasasti Tonggak Keramat di sana" Mengapa
kau ingin mencari prasasti
itu?" Gadis itu manggut-manggut sambil berjalan mondar-mandir memikirkan
sesuatu, setelah itu berhenti melangkah dan berkata,
"Entahlah. Aku lupa apa yang akan kucari di
Sana. Tapi nanti pasti aku akan ingat kembali kalau
sudah ku temukan prasasti itu! Selamat tinggal, Dewa Tampan Yoga...!"
Claap...! "Setan kucir!" geram Lili. "Dia pikir hanya dirinya yang bisa hilang dalam
sekejap begitu"!"
'Tak usah hiraukan dia, Guru!"
"Aku tidak suka dengan gadis itu!" gerutu Lili.
"Aku pun juga!" kata Yoga tapi matanya men-gedip kepada si Tua Usil. Manusia
kabut itu hanya
menyeringai geli dengan disembunyikan.
Mendadak mereka dikejutkan oleh pekikan ke-
cil di kejauhan. Sekali pun letaknya jauh, namun me-
reka mendengarnya dengan jelas.
"Suara lelaki menjerit!" kata Tua Usil kepada Yoga. Lili menyahut,
"Jangan-jangan si Bocah Bodoh; Cola Colo
itu"!" "Aku ingin memeriksanya, Guru!" Yoga segera pergi lebih dulu, Lili pun
akhirnya mengikuti Yoga bersama si Tua Usil.
Mereka terkejut setelah mengetahui siapa yang
menjerit tadi. Ternyata Jalak Hutan yang menjerit. Ta-
pi sekarang ia sudah tak dapat menjerit lagi, karena sudah terkapar tak bernyawa
dengan luka robek dari
perut sampai ke lehernya. Tentu saja darah mengalir
banjir di sekitar mayat Jalak Hutan.
Mereka merasa aneh melihat kematian Jalak
Hutan. Luka robek sama dengan luka robek yang ada
di mayat Lembayung Senja. Lebih aneh lagi, mereka
melihat Bocah Bodoh itu ada di dekat mayat tersebut, memperhatikan dengan mata
tegang. Ketika Yoga datang bersama Lili dan Tua Usil, Bocah Bodoh itu sege-ra
gemetar ketakutan, wajah tuanya tampak pucat.
"Pasti kau yang melakukannya, Cola Colo!" geram Lili.
"Buk... bukan saya, Nona! Sumpah seribu kata,
saya tidak membunuh orang ini! Saya dengar suara je-
ritan, lalu saya datangi tempat ini karena ingin tahu apa yang terjadi. Belum
lama saya tiba di sini, belum puas saya pandangi mayat itu, Nona datang bersama
rombongan. Saya... saya tak sempat lari bersembunyi!"
"Omong kosong!" bentak Lili. "Yang ku tuntut bukan kematian orang ini, tapi
kematian Lembayung
Senja. Dua kali kematian seperti ini selalu kulihat dirimu ada di sini, Bocah
Bodoh!" Lili melangkah dengan mata memandang tajam.
Bocah Bodoh ketakutan sekali. Ia melangkah
mundur, geleng-geleng kepala sambil berkata dengan
suara gemetar. "Bukan saya, Nona! Sungguh...! Sumpah dis-
ambar perawan saya berani, Nona! Bukan saya yang
membunuhnya...! Ibu saya wanti-wanti tidak boleh
saya membunuh siapa pun, kecuali kepepet. Tadi saya
tidak kepepet, jadi saya tidak membunuh siapa pun!
Demi langit dan bumi, jangan sampai bertemu biar ki-
ta tidak hancur binasa, Nona!"
"Guru...!" panggil Yoga mengingatkan. Tapi Lili
menjadi semakin dongkol karena menganggap Bocah
Bodoh itu hanya berpura-pura. Maka dengan cepat Lili menendang tubuh Bocah
Bodong itu. Duuhg...!
Wuusss...! Bocah Bodoh terlempar jauh dan terguling-
guling tak karuan. Ia menjerit kesakitan. Namun sege-ra bangun dan cepat larikan
diri dengan rasa ketaku-
tan. "Aku akan kejar dia. Penasaran sekali aku pa-
danya!" kata Lili. "Tua Usil, kau ikut aku! Yoga, pergilah ke Lembah Maut dan
cari tahu ada apa di Prasasti Tonggak Keramat itu!"
* * * 3 TETAPI Yoga memilih mengejar Bocah Bodoh.
Karena ia berpendapat, Bocah Bodoh itu belum tentu
bersalah. Jika Lili marah sampai kehilangan kendali, Bocah Bodoh itu bisa
dibunuhnya atau setidaknya dilukai. Karenanya, Lili dan Tua Usil menuju ke
Lembah Maut, sebab Tua Usil konon pernah melewati daerah
tersebut, sedangkan Yoga memburu Bocah Bodoh,
yang saat itu belum tentu lari ke arah Lembah Maut
Bocah Bodoh lari tanpa arah, karena hanya semata-
mata ingin hindari amukan Lili saja.
Dalam perjalanannya, Yoga sempat berkata da-
lam hatinya, 'Tak kulihat dia membawa senjata apa
pun. Sedangkan kematian Lembayung Senja dan Jalak
Hutan itu mempunyai luka panjang yang sepertinya
bekas tebasan pedang. Rasa-rasanya tak mungkin Bo-
cah Bodoh yang lakukan hal itu. Tapi mengapa dia se-
lalu ada di tempat kejadian" Benarkah hanya sesuatu
yang bersifat kebetulan saja" Atau barangkali memang dia yang membunuh Lembayung
Senja dan Jalak Hutan" Jika benar dia yang melakukan, lantas dia laku-
kan dengan cara bagaimana" Sedangkan tubuhnya
kuperhatikan selalu bersih tanpa setitik darah pun.
Jika misalnya ia lakukan dengan tangannya, setidak-
nya tangannya pasti berlumur darah. Hmm...! Orang
tua yang sikapnya seperti bocah itu sangat mencurigakan dan aneh. Jangan-jangan
di balik kebodohannya
itu ia sembunyikan kekejian yang melebihi binatang"!"
Cukup lama Yoga berlari mengejar Bocah Bo-
doh itu, tapi ia tidak temukan seseorang pun di perjalanan. Mungkinkah gerakan
lari Yoga terlalu cepat sehingga mendahului Bocah Bodoh"
Karena berpikiran begitu, maka Yoga pun sege-
ra hentikan langkah. Ia mencoba menunggu kedatan-
gan Bocah Bodoh di bawah gugusan tanah cadas yang
menggunung bagaikan bukit kecil itu. Namun baru sa-
ja ia mempertimbangkan kemungkinan lain tentang
Bocah Bodoh itu, tiba-tiba ada seberkas sinar berkelebat menghantam dadanya.
Wuuttt...! Yoga cepat me-
nahan kelebatan sinar kuning menyilaukan itu dengan
satu tangannya yang menyala merah bara.
Blaarrr... Yoga terpental ke belakang dan jatuh terkapar.
Secepatnya ia bangkit dan pandangi sekeliling tempat.
Ia sama sekali tak menyangka kalau sinar putih me-
nyilaukan itu mempunyai kekuatan yang cukup tinggi,
sehingga ia tak kuat menahan dengan kerahan tenaga
dalam melalui telapak tangan kanannya.
"Mungkinkah Bocah Bodoh mempunyai kekua-
tan sehebat tadi"!" pikir Pendekar Rajawali Merah. Matanya masih memandang
tegang sekeliling. Tak ada
orang, tak ada gerakkan, kecuali daun ditiup angin
siang. Tetapi tiba-tiba Yoga merasakan gelombang panas mendekatinya dari
belakang. Ia pun cepat sentak-
kan kaki dan melompat ke samping kiri. Sambil me-
lompat ia berbalik dan melepaskan pukulan jarak jauh melalui kibasan dua jari
tangan kanannya. Zlaap...!
Sinar merah menghantam kelebatan sinar kuning ber-
gelang-gelang. Blaarrr...! Ledakan cukup dahsyat kembali terjadi akibat tabrakan
dua sinar tersebut.
Ledakan itu bukan saja membuat beberapa
daun gugur, namun juga membuat bayang-bayang di
depan mata Yoga menjadi semakin jelas. Bayang-
bayang itu membentuk sesosok tubuh tinggi besar,
berperut gendut. Mata lebar di wajah angker itu segera dikenali oleh Yoga. Orang
yang kini tampakkan diri da-ri alam siluman itu tak lain adalah Malaikat Gelang
Emas, musuh utamanya yang juga menjadi musuh
mendiang gurunya, si Dewa Geledek.
Malaikat Gelang Emas, tokoh sesat yang paling
ditakuti untuk masa itu. Dengan baju abu-abu dan ju-
bah hitam dilapisi kain merah satin pada tepiannya,
sosok kesesatan hidupnya terlihat nyata. Rambutnya
botak separo, sisanya terurai panjang diikat dengan
ikat kepala merah mempunyai simbol swastika di ten-
gahnya. Orang beralis mata tebal ke atas itu menggeram penuh nafsu membunuh
kepada Pendekar Rajawali
Merah. Ia berkata tak bersahabat.
"Sekarang kau tak akan bisa lolos dari tangan-
ku, Kerbau Buntung!"
Yoga bersikap tenang, walau hatinya sedikit
cemas karena ia tahu kesaktian orang itu lebih tinggi darinya. Namun hati kecil
Yoga segera berkata, bahwa dia belum tentu kalah melawan Malaikat Gelang Emas,
karena dia pun mempunyai ilmu yang bertambah ting-
gi dibandingkan masa-masa pertama turun gunung.
Dengan tegar Yoga berkata, "Apa maumu, Ma-
nusia Sesat"!"
"Menumbuk mu sampai menjadi abu!" jawab-
nya dalam geraman. "Kecuali kau mau serahkan Pedang Lidah Guntur itu, maka akan
kubebaskan kau dari ancaman mati tanganku, Kerbau Buntung!"
"Pusaka Pedang Lidah Guntur ini adalah nya-
waku! Kalau kau bisa ambil nyawaku, maka kau bisa
ambil pedang ini!"
"Keparat! Berani betul kau bicara menantang di
depanku! Heaah...!"
Malaikat Gelang Emas hantamkan pukulan ke
depan, Dalam jarak empat tindak di depan Yoga, puku-
lan itu mengeluarkan cahaya kuning emas yang me-
lingkar. Gelang-gelang emas yang sangat ampuh itu
melesat menghantam tubuh Yoga. Tetapi dengan cepat,
Yoga segera cabut pedangnya dan petir pun menggele-
gar di angkasa sebagai tanpa tercabutnya Pedang Li-
dah Guntur dari sarungnya.
Claappp...! Pedang Lidah Guntur yang memba-
ra merah Itu keluarkan sinar merah dari ujungnya. Sinar merah itu menghantam
sinar kuning yang berben-
tuk gelang-gelang. Blegaarrr...! Ledakan amat dahsyat terjadi dan membuat tubuh
Yoga terpental ke belakang. Namun ia masih bisa jaga keseimbangan dan
mendarat dengan kedua kaki tegak di tanah.
Malaikat Gelang Emas hanya mundur setindak
waktu terjadi ledakan amat dahsyat itu. Untuk mem-
percepat kerjanya, Malaikat Gelang Emas segera te-
barkan sesuatu dengan tangan bergerak menebar.
Wuusss! Sinar hijau berbentuk rajutan jala menebar
lebar, keluar dari telapak tangan kanannya. Sinar hijau itu segera menyergap
tubuh Yoga. Tetapi Yoga se-
gera kibaskan pedangnya ke udara dengan gerakan
cepat dan berulang-ulang. Kilatan cahaya merahnya
membentuk jaring-jaring bersinar yang segera me-
layang cepat ke depan. Jaring-jaring sinar merah bertemu dengan jala hijau.
Zroobb...! Blaarrr...!
Wuusss...! Angin badai berhembus sangat ken-
cang, menyebar dari hasil ledakan tadi. Tubuh Yoga
semakin terlempar karena hembusan yang luar biasa
kuatnya, hingga menumbangkan dua pohon besar
jauh di belakang Pendekar Rajawali Merah. Beberapa
bongkah batu cadas pun hancur remuk menjadi pasir
putih kecoklatan. Sedangkan Malaikat Gelang Emas
terhuyung-huyung ke belakang hampir jatuh tumbang.
Ketika keduanya sama-sama berdiri, Malaikat
Gelang Emas yang bertubuh seperti seekor gajah itu
melesat bagaikan terbang ke arah Yoga. Kini ia keluarkan senjata yang terselip
di pinggang belakangnya,
berupa gelang-gelang dari logam emas yang bergerigi dengan lebar garis tengah
dua jengkal. Pada waktu itu, Yoga pun segera gunakan jurus
'Petir Selaksa' yang mampu bergerak menyerang lawan
dengan cepatnya. Zlaappp...! Pedangnya diarahkan ke
tubuh lawan. Tetapi ketika tiba di pertengahan jarak, mereka beradu senjata
beberapa kali. Gelang-gelang
emas dua buah itu digunakan untuk menangkis kiba-
san pedang Yoga yang selalu memancarkan sinar me-
rah itu. Trang! trang! trang...! Bluusss...!
Pedang Pendekar Rajawali Merah berhasil
menghujam di perut Malaikat Gelang Emas, tapi ia se-
perti menghujam angin. Tak ada rasa yang bisa dira-
sakan, tak ada sentuhan yang bisa disentuh. Tetapi
sebaliknya, gelang-gelang emas itu berhasil dihantamkan ke tubuh Yoga. Hanya
saja, Yoga cepat merun-
dukkan kepala. Wuursss...! Gelang-gelang itu meleset dari sasaran. Namun kaki
Malaikat Gelang Emas sege-
ra menghentak ke depan dan telak sekali dada Yoga
terkena tendangan kaki besar tersebut. Buuhg...!
Wuusst...! Tubuh Yoga terpental jauh dan ter-
guling-guling. Ia lekas bangkit karena Malaikat Gelang Emas bagaikan angin yang
sedang mengejarnya. Dada
Yoga terasa sangat panas, namun ditahannya. Ia me-
nebaskan pedang ke depan. Wuuttt...! Bias sinar me-
rah yang melesat itu akan merobek lawan tanpa ter-
sentuh ujung pedang. Tapi, kali ini sinar merah itu bagaikan merobek angin tanpa
arti. Tubuh Malaikat Ge-
lang Emas masih menyerbu dalam gerakan seperti an-
gin menghembus.
Trang...! Brraasss...!
Yoga menghindari gelang bergerigi yang memer-
cikkan sinar kuning pada waktu ditebaskan. Lalu, me-
nangkis gelang yang satu dengan pedangnya. Benturan
dua senjata pusaka itu menimbulkan ledakan yang
mementalkan tubuh Yoga. Blarrr...!
Pendekar Rajawali Merah terbentur dinding teb-
ing bukit cadas kecil itu. Cukup keras benturan tersebut, sehingga membuat
kepala Yoga terasa amat pus-
ing. "Celaka! Aku sama saja bertarung melawan
bayangan"!" pikir Yoga sebelum Malaikat Gelang Emas menyerangnya kembali.
"Sebaiknya kugunakan jurus baruku dari Lili; jurus 'Sinar Buntung'!"


Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan kiri Yoga yang buntung sebatas sikut
disentakkan ke depan dengan tubuh sedikit meliuk ke
kiri. Claappp...! Selarik sinar merah melesat menghantam tubuh Malaikat Gelang
Emas yang sedang bersiap
melepaskan lemparan gelang-gelang emasnya.
Blarrr...! Tubuh Malaikat Gelang Emas terhempas ke be-
lakang tiga tindak, tapi tak terluka sedikit pun. Bahkan sekarang ia bersiap
untuk lemparkan senjata ge-
lang bergerigi tersebut.
"Hentikan!" tiba-tiba sebuah suara berseru dari atas bukit kecil.
Wuuttt...! Pemilik suara itu melompat dari atas
bukit dan bersalto dua kali. Kemudian dengan sigap
kakinya menapak tanah di depan Yoga, tepat mengha-
dap Malaikat Gelang Emas yang membuat tokoh sesat
sulit dilukai itu urung lemparkan senjatanya.
"Kencana Ratih..."!" desis Yoga dengan rasa kaget melihat gadis keponakan Leak
Parang itu sudah
ada di depannya.
Malaikat Gelang Emas segera kendurkan mur-
kanya dan pandangi Kencana Ratih. Gadis berbaju me-
rah longgar yang bertubuh sekal itu juga menatap ma-
ta Malaikat Gelang Emas. Tatapan mata itu membuat
Malaikat Gelang Emas menjadi bermata redup. Kian
lama wajahnya kian menyimpan kesedihan, lalu mu-
lutnya berucap kata,
"Asmarani..."! Kaukah itu..."!" "Dia menyebut nama itu lagi?" pikir Yoga. "Dulu
juga dia pernah menjadi takut kepada Kencana Ratih dan menyebut nama
Asmarani." (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode:
"Gerombolan Bidadari Sadis").
Cepat-cepat senjata gelang-gelangnya disembu-
nyikan di pinggang belakang. Malaikat Gelang Emas
undurkan langkah tiga tindak sambil masih meman-
dang iba kepada Kencana Ratih, dan Kencana Ratih
memandang penuh tantangan. Kejap berikutnya, Ma-
laikat Gelang Emas terlihat balikkan badan dan pergi, lalu menghilang dengan
ilmu 'Bayang Siluman'-nya itu.
"Sekali lagi kau mengganggunya, kubunuh kau!" teriak Kencana Ratih seakan ia
yakin betul bahwa Malaikat
Gelang Emas mendengar suaranya.
Kencana Ratih segera menghembuskan napas
lega setelah Malaikat Gelang Emas pergi. Kemudian, ia
segera balikkan badan dan memandang Yoga yang se-
dang memasukkan pedang pusaka ke sarungnya.
Srekkk...! "Ya...," ucap gadis berlesung pipi itu dengan lembut. Ia segera hampiri Yoga,
lalu memeluk pendekar tampan pemikat hati wanita itu.
"Aku rindu padamu, Yo...!" bisikan Kencana Ratih semakin lembut.
Yoga segera alihkan percakapan dengan ber-
tanya, "Dia menyebut mu Asmarani" Siapa sebenarnya Asmarani itu" Apakah itu nama
aslimu?" "Bukan," jawab Kencana Ratih sambil mele-
paskan pelukannya. Ia pandangi Yoga beberapa saat,
sepertinya sedang melepas rindunya yang selama ini
tertahan dan tak mampu lagi disembunyikan. Yoga
sendiri menjadi kikuk menerima pelukan itu, dan
kembali mengalihkan suasana dengan bertanya,
"Benarkah namamu bukan Asmarani?"
"Sungguh, nama itu bukan namaku. Aku per-
nah ceritakan pengalaman pertemuanku dengan Ma-
laikat Gelang Emas kepada Paman Leak Parang. Kuse-
butkan pula nama Asmarani yang diucapkan Malaikat
Gelang Emas itu Lalu, Paman Leak Parang menje-
laskan padaku, bahwa Asmarani adalah nama anak-
nya Malaikat Gelang Emas."
"Dan kau anaknya Malaikat Gelang Emas?"
Gadis itu sunggingkan senyum berlesung pipit
yang amat digemari oleh hati Yoga. Namun Yoga me-
nahan keindahan yang mendebarkan itu dengan tari-
kan napas lembutnya.
"Asmarani sudah meninggal," kata Kencana Ratih. "Menurut Paman, wajah Asmarani
memang serupa sekali dengan wajahku, potongan tubuhnya juga sama
dengan potongan tubuhku. Tapi dia punya tahi lalat
kecil di sudut mata kirinya. Anak itu mati akibat salah
sasaran, terkena senjata ayahnya sendiri. Padahal Malaikat Gelang Emas sangat
sayang kepada Asmarani,
sehingga kematian Asmarani itu membuatnya menyes-
al sepanjang masa. Sekarang anak itu dimakamkan di
bawah kerimbunan pohon jambu, di kaki bukit Serul-
ing." "Ooo...," Yoga manggut-manggut. "Jadi, dia bukan takut kepadamu, namun tak
tega jika dia harus
menyerangmu?"
"Begitulah kira-kira. Tapi menurut dugaan pa-
man, Malaikat Gelang Emas selalu dihantui oleh roh
anaknya sendiri yang seolah-olah ingin menuntut ba-
las atas kematiannya."
"Kasihan dia sebenarnya," gumam Yoga lirih.
Tapi karena Kencana Ratih mendengarnya, maka ia
menyahut, "Lebih kasihan diriku."
"Kenapa?"
"Tersiksa rindu," jawab Kencana Ratih dengan pelan. "Sahabat yang baik, wajar
jika punya rindu kepada sahabat yang jauh," kata Yoga di sela senyuman-nya yang
amat dikagumi oleh Kencana Ratih serta be-
berapa gadis cantik lainnya itu.
"Aku tak mau lagi jauh darimu, Yo! Aku tak
sanggup menahan rindu yang amat menyiksa itu. Aku
harus selalu dekat denganmu, ke mana pun kau pergi,
aku harus ikut, Yo!"
"Urusanmu berbeda dengan urusanku, Kenca-
na Ratih."
"Aku tidak peduli. Pokoknya aku harus selalu
bersamamu. Aku tidak mau berpisah darimu, Yo!"
"Kau tak boleh begitu. Kau tahu siapa aku, ten-
tu kau akan sering merasa dongkol dan lebih tersiksa jika ke mana-mana selalu
bersamaku, Kencana Ratih."
"Kenapa kau menolak kehadiranku dl hatimu,
Yo" Kau... kau sepertinya benar-benar tak mau hirau-
kan diriku yang mencintaimu, Yo!"
"Karena... di hatiku sudah ada Lili, guru ang-
katku itu!"
"Hmmm. Lili!" ketus Kencana Ratih dengan
cemberut, ia diam sambil membelakangi Yoga. Pemuda
tampan itu melangkah ke batu dan segera duduk di
sana sambil tersenyum melihat kecemberutan Kencana
Ratih. Lalu, gadis itu berpaling memandang Yoga dan
berkata, "Kalau kau mencintai Lili, kenapa kau tidak se-
lalu bersamanya?"
"Dia punya tugas lain; pergi ke Lembah Maut
untuk selidiki ada apa dengan sebuah prasasti di sana yang bernama Prasasti
Tonggak Keramat!"
"Lembah Maut..."!" gumam Kencana Ratih. "Kalau begitu aku harus segera
menyusulnya ke sana!"
"Untuk apa"!" Yoga agak tegang.
"Akan ku tantang ia bertarung sampai mati. In-
gin ku buktikan, siapa yang berhak mencintai kau; dia atau aku!"
Kencana Ratih pergi pada saat Yoga terperanjat
kaget. Sebenarnya Yoga ingin mencegah, tapi ia lebih tertarik melihat sekelebat
bayangan yang melintas di semak seberang. Yoga pun segera mengejar bayangan
itu. * * * 4 BAYANGAN yang dikejar Yoga menghilang de-
ngan cepatnya. Yoga kehilangan jejak. Tapi firasatnya yang sering menjadi tajam
itu, mengatakan bahwa ia
harus ke arah barat. Pendekar Rajawali Merah sering
merasa heran pada dirinya. Sejak ia dalam keadaan
tak sadar bagaikan mimpi ditemui bayangan gurunya,
firasatnya menjadi tajam terhadap hal-hal yang dl luar dugaannya. Kadang ia
ingin menentang kata batin
atau perintah hati nuraninya itu, tapi ia selalu tidak bisa melakukan tantangan
itu. Dan yang repot lagi, ia selalu menjadi penasaran oleh firasatnya sendiri.
Sebab itulah, Yoga menuruti apa kata hati nu-
raninya itu, bahwa ia harus melangkah ke arah barat.
Padahal menurut perhitungan otaknya, tak mungkin
bayangan yang tadi dilihatnya itu bergerak menuju ke barat, sebab arah barat
Manusia Harimau Jatuh Cinta 4 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Pedang Dan Kitab Suci 15
^