Pencarian

Makhluk Kutukan Neraka 1

Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Bagian 1


1 Pondok sederhana di tengah hutan bakau
yang terletak di penanjung Teluk Rembang itu ma-
sih sepi. Sedangkan sang surya mulai mengganti-
kan kegelapan malam. Pintu pondok yang terbuat
dari jalinan daun nipah juga dalam keadaan tertu-
tup rapat. Sesekali kesunyian diwarnai dengan su-
ara deburan ombak laut Jawa.
Ternyata kesunyian tidak berlangsung lama
karena dari arah pantai di sebelah selatan teluk
terdengar suara langkah orang berlari cepat menu-
ju pondok panggung yang terlindung daun dan re-
ranting pepohonan. Tak berapa lama semak belu-
kar tersibak. Tiga bayangan serba hijau berkelebat mendekati pondok, lalu
jejakkan kaki dan berhenti di depan pintu pondok.
Ketiga bayangan itu ternyata tiga orang ga-
dis berpakaian serba hijau berambut panjang dige-
lung, berkulit putih bersih wajah cantik segar kemerahan. Di bagian pinggang
masing-masing ter-
gantung sebuah cambuk yang dijalin melingkar
seperti lingkaran.
Di depan pondok ketiga gadis jatuhkan diri
berlutut. Salah seorang diantaranya yang berba-
dan tinggi langsing segera berucap mewakili dua
temannya. "Nyi Sekar Langit. Kami tiga pengasuh datang menghadap ingin
menyampaikan satu kabar penting."
Sesaat suara si tinggi langsing lenyap. Dari
dalam pondok terdengar desah nafas tersendat.
Lalu ada suara merdu seorang perempuan me-
nanggapi. "Nyi Besinga kabar yang kau bawa pertanda baik atau hanya sekedar
penambah rasa ke-
cewa" Kau ingin menyampaikan kedatangan orang
yang kutunggu, atau kehadiran orang lain yang
sangat tidak kusukai?"
Gadis berbadan tinggi langsing menjadi gu-
gup. Dia melirik ke arah dua gadis cantik lainnya yang bersimpuh di sebelah
kiri. Kedua gadis yang
dilirik juga menampakkan wajah bingung, namun
serentak mengangguk. Si tinggi yang dipanggil Nyi Besinga dongakkan kepala
memandang ke atas
pondok, lalu menjawab. "Yang datang adalah orang yang Nyi Sekar tunggu.
Kesaktian yang Nyi Sekar
kirimkan pada orang dimaksud nampaknya sudah
sampai pada alamat yang dituju. Kalau Nyi Sekar
berkenan saat ini juga kami bisa membawanya
kemari!" ujar Nyi Besinga.
"Hi hi hi. Aku senang, semoga aku bisa
meminta petunjuk darinya. Semoga dengan keha-
dirannya aku dapat memusnahkan ilmu laknat
yang telah menyatu dengan darah dan dagingku.
Hidup dalam keadaan seperti ini memang sangat
menyiksa perasaan dan mengoyak batin." kata suara di dalam pondok semakin
mengeluh. Dia lalu
melanjutkan ucapannya. "Sekarang bawa dia kemari. Aku ingin lihat dan bertemu
langsung den- gan Pendekar Sakti 71 itu!"
"Nyi Sekar Langit. Perintahmu akan kami
laksanakan. Kami mohon pamit dan segera kem-
bali lagi kesini!" kata Nyi Besinga. Dari dalam pondok tertutup terdengar suara
gumanan tidak jelas.
Tiga gadis berpakaian serba hijau menjura dalam,
bangkit berdiri dan membalikkan badan. Sekali
mereka jejakkan kaki, tubuh mereka melesat di
udara, lalu cepat berkelebat melewati pucuk-
pucuk pepohonan dan lenyap dari pandangan ma-
ta. Tak lama setelah tiga gadis pengasuh le-
nyap, di dalam pondok orang yang suaranya mer-
du berfikir. "Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Selain ilmunya tinggi, berwajah
cakap, tentu dia pemuda yang memiliki pengalaman luas. Sesuai pe-
tunjuk dalam semediku, hanya dia yang dapat
mengembalikan diriku seperti keadaan semula.
Orang segagah dia apakah mau bertemu diriku,
menolong diri ini dari pengaruh ilmu gila celaka"
Kuharap dia punya kemuliaan hati yang agung.
Mau menolong tanpa memandang siapa dan ba-
gaimana orang yang hendak ditolong!"
Hanya beberapa saat kemudian diluar sana
tiba-tiba terdengar suara bergemuruh hebat seper-
ti hembusan angin topan. Pucuk-pucuk pepoho-
nan bergoyang keras, di atas ketinggian angin berputar laksana badai puting
beliung. Menyertai
berputarnya angin itu terlihat cahaya putih yang
terus bergerak turun menuju ke depan pondok.
Tak jauh dibelakang pusaran angin putih tiga ga-
dis berpakaian hijau nampak mengikuti.
Mendekati permukaan tanah pusaran angin
yang membungkus cahaya putih kekuatannya
makin melemah. Tiga gadis tudingkan jari telun-
juknya ke arah cahaya putih besar. Tiga jari telunjuk serentak digerakkan ke
bawah dengan satu
sentakan keras.
Bruk! Terdengar suara bergedebukan seperti ada
benda berat yang terbungkus cahaya putih terja-
tuh. Lalu ada suara orang mengeluh kesakitan.
"Aduh sakitnya. Kepalaku pusing, perutku
mual. Aku seperti dibawa angin topan, walah seka-
rang aku sampai dimana mengapa pemandangan-
ku gelap amat!"
Dari dalam pondok terdengar satu suara,
memberi perintah ditujukan pada tiga dara jelita
pengasuhnya. "Nyi Besinga, Nyi Arianti dan Nyi Artawanti, kalian bertiga cepat
buka tabir putih yang telah mengusung tamu kita...!"
"Perintah dilaksanakan...!" Tiga dara jelita menyahut berbarengan. Mereka
kemudian mendekat ke arah pancaran cahaya putih yang ujudnya
seperti karung yang di ikat pada bagian mulutnya.
Setelah itu tangan kiri kanan diangkat diatas ke-
pala. Dari bagian tangan masing-masing menda-
dak sontak membersit udara biru yang memiliki
ketajaman laksana mata pedang. Sinar melesat
menghantam cahaya putih.
Reet! Breet! Breet!
Terdengar seperti suara robeknya karung.
Hantaman tiga sinar biru membuat cahaya putih
dalam ujud seperti karung lenyap. Begitu sinar lenyap tiga gadis keluarkan
seruan kaget, berlompa-
tan mundur sambil dekap mulutnya masing-
masing. "Ah...!"
"Apa yang terjadi" Mengapa kalian seperti
orang yang melihat hantu?" Dari dalam pondok terdengar teguran.
"Ka... kami bukan melihat hantu, Nyi Sekar.
Kami melihat orang!" sahut Nyi Arianti.
Memang saat itu ketiga gadis jelita setelah
pecahnya cahaya putih melihat satu pemandangan
luar biasa. Pemandangan itu berupa hadirnya seo-
rang laki-laki setengah baya dengan dahi lebar
berbadan gemuk besar lebih dari dua ratus kati.
Laki-laki yang baru terbebas dari sungkupan ca-
haya putih berpakaian hitam tidak terkancing, pe-
rut gendut luar biasa berpipi tembem, bukit hi-
dung nyaris rata dengan pipinya.
Orang tua itu bertampang lucu, wajahnya
basah mandi keringat. Kini setelah terbebas dari sungkupan cahaya putih si kakek
nampak seperti orang bingung. Matanya yang sipit celingukan
mencoba mengenali daerah di sekitarnya. Si kakek
jadi kaget begitu tatap matanya membentur tiga
sosok gadis jelita yang berdiri disekelilingnya.
"Ha ha ha. Semula aku jadi bingung dan ta-
kut karena jatuh kesasar di tengah rimba belanta-
ra pantai ini. Tak disangka ternyata nasibku mu-
jur. Aku bisa bertemu dengan tiga bidadari cantik."
celetuk si kakek sambil memperhatikan ketiga ga-
dis pengasuh itu dengan tatapan penuh rasa ka-
gum. "Nyi Besinga. Apakah kalian sudah dapat memastikan orang yang datang adalah
pendekar yang kumaksudkan?" tanya orang dalam pondok
dengan suaranya yang merdu.
Si kakek yang tadinya hendak tertawa da-
lam kagetnya segera memandang ke arah pondok
panggung tinggi.
"Nyi Sekar Langit. Kami tidak dapat memas-
tikannya. Orang yang datang memenuhi panggi-
lanmu mungkin cuma orang gila gemuk berlemak.
Kami lihat dia tersenyum melulu. Saya sendiri cu-
riga, jangan-jangan ilmu sakti yang kau kirimkan
untuk menjemput orang salah comot, telah terjadi
satu kekeliruan!" jawab Nyi Besinga.
Mendengar orang menyebutnya orang gila
berlemak, si kakek jadi tidak tahan untuk tidak
bertanya. Sehingga sambil tersenyum dan me-
ngusap keningnya yang lebar si kakek membuka
mulut berucap. "Tiga bidadari cantik. Siapakah orang yang mendekam di dalam
pondok rombeng itu" Apakah bidadari cantik seperti kalian juga.
Atau cuma hantu kesasar yang malu tunjukkan
diri. Ha ha ha!"
Tiga pengasuh sama delikkan mata dan siap
angkat tangan jatuhkan pukulan. Si kakek unjuk-
kan wajah ketakutan, lalu lindungi kepala dari
hantaman orang.
"Ampun jangan bunuh aku!" seru si kakek.
Nyi Besinga yang berdiri di sebelah kirinya
mendengus. "Tidak mau mati jangan berani bicara sembarangan!"
"Nyi Besinga, tunda kematiannya. Aku ingin
melihat bagaimana tampang orang yang bicara
ngaco itu!" kata orang di dalam pondok.
"Tampangku begini adanya. Siapapun yang
melihatku pasti jatuh cinta. Ha ha ha." Enak saja si kakek menyahuti.
Dari dalam pondok terdengar suara tawa
pendek disertai dengus mencemo'oh. Tak lama
kemudian ada suara menggemuruh, pondok ber-
goyang keras seperti hendak roboh. Si kakek gen-
dut besar dongakkan kepala memandang ke atas
pondok. Hembusan angin lenyap, pintu pondok ter-
buka. Satu kepala terjulur keluar. Orang yang ke-
palanya terjulur keluarkan seruan tertahan, seba-
liknya si kakek gendut besar juga ikut berseru.
"Ah...!"
Si gendut palingkan wajahnya ke arah lain.
Mukanya pucat. Dia yang semula menduga orang
di dalam pondok adalah seorang gadis yang tak
kalah jelita. Ternyata dugaannya meleset, karena
perempuan yang julurkan kepala tadi tidak lebih
hanya berupa seorang nenek renta. Wajahnya di-
penuhi keriput, kedua pipi carut marut seperti bekas terluka. Sepasang mata
cekung, bibir hitam
kulitnya juga hitam.
Sebaliknya nenek bersuara merdu itu juga
tak kalah kecewanya. Semula dia merasa yakin
orang yang datang adalah seorang pemuda gagah
tampan berambut gondrong sebagaimana yang di-
lihatnya dalam semedi. Tidak dinyana lain yang
diharap lain pula yang datang.
Kini berdiri tegak di depan pintu pondok.
Nenek berpakaian serba hijau itu memandang ke
arah si kakek dengan tatap matanya yang aneh.
"Tidak kusangka apa yang kubayangkan ti-
dak sesuai dengan kenyataan yang kulihat. Sung-
guh aku kecewa"!" kata nenek itu dengan wajah
murung. "Sama. Aku juga membayangkan begitu
mendengar suara yang merdu kukira orang yang
bicara adalah gadis yang sangat jelita. Tidak ta-
hunya cuma seorang nenek butut yang tubuhnya
dipenuhi kerut merut. Ha ha ha! Sungguh aku ke-
cewa!" kata si gendut besar menirukan ucapan si nenek. "Orang tua gendut
sinting. Jangan berani bicara sembarangan kau pada ketua kami. Ku-sumpal nanti
mulutmu!" hardik Nyi Artawanti.
Gadis jelita ini melangkah menghampiri si gendut.
Tapi dari atas pintu pondok terdengar seruan si
nenek. "Wanti tahan! Membuat dia menjadi apa sa-ja yang kita sukai adalah suatu
persoalan mudah.
Namun aku merasa perlu mengajukan beberapa
pertanyaan pada kakek gendut itu!"
Nyi Artawanti walaupun merasa kesal meli-
hat segala tingkah dan ucapan si gendut, namun
agaknya dia sangat menghormat dan patuh pada
nenek di atas pondok, sehingga tanpa banyak bi-
cara diapun surut mundur ke belakang.
Di atas pondok si nenek lakukan satu gera-
kan. Kemudian laksana kilat tubuhnya melesat
dan tahu-tahu berdiri tegak di depan si gendut.
Melihat cara orang dalam bergerak tadi, ka-
kek ini sadar siapapun adanya nenek jelek itu dia pasti orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Tapi dasar sudah menjadi watak dan tabiatnya, tetap
saja dia tertawa sambil menyeletuk. "Kukira ada bidadari yang datang
menghampiriku. Tidak tahunya cuma bidadari kesasar yang baru pulang
dari kubangan kerbau!"
Wuuuut! Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi si
gendut. Yang ditampar golengkan kepala dan ma-
sih tetap mengumbar tawa. Nenek yang menampar
jadi melengak kaget. Tamparannya tadi bukan
tamparan biasa. Batu karang sekalipun pasti han-


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cur terkena tamparannya. Tapi kakek ini sungguh
luar biasa. Tamparannya membekas pun tidak. Si
gendut bahkan tetap duduk mengejelepok diatas
tanah. Jangankan tersungkur, bergemingpun ti-
dak. Hebatnya lagi seakan tak merasakan tam-
paran orang si gendut tetap saja tertawa. Begitu
tawanya mereda si kakek gendut berucap. "Ku-
bayangkan yang menamparkan tadi salah satu da-
ri tiga gadis jelita. Tidak tahunya yang punya ulah si butut lagi... butut
lagi...!" Wajah hitam si nenek nampak mengelam,
sorot matanya memancarkan rasa tidak suka. Se-
dangkan tiga gadis jelita yang menjadi pengasuh si nenek nampak tidak sabar lagi
ingin melabrak si
gendut. "Gendut gila, jika mau bercanda aku tidak
melarang. Tapi bercanda bukan pada waktu dan
tempatnya bisa membuat jiwamu melayang per-
cuma disini!" Si nenek baju hijau menghardik.
Si gendut mendadak katupkan mulutnya.
Tawa ditahan hingga membuat kedua pipinya kiri
kanan menggelembung besar.
Sejenak dia pandangi nenek jelek di depan-
nya. Dia gelengkan kepala berulang-ulang.
"Aneh...!" katanya. "Bukannya aku suka menghina orang, kalau dilihat kau dengan
tiga gadis itu ke-cantikannya seperti langit dengan bumi. Pantasnya kau yang
menjadi pengawal mereka, bukan sebaliknya. Agaknya dunia ini sudah terbalik,
hingga otak manusia juga jadi ikutan terbalik."
2 Nyi Besinga bukan main gusar mendengar
ucapan orang tua itu. Tapi dia hanya bertegak di-
am ditempatnya tanpa berani mengambil tindakan.
Sebaliknya si nenek entah mengapa kini malah
menyeringai. "Sesuai petunjuk wangsit yang kuterima se-
harusnya orang yang datang bukan seperti dirimu.
Kau siapa?" tanya si nenek. Dalam hati dia jadi bicara sendiri. "Mungkinkah
telah terjadi kekeliruan pada ilmuku" Mungkin kekuatan yang kukerahkan untuk
menjemput orang yang kuhendaki da-
tang pada orang yang salah. Atau apakah orang
tua ini yang bergelar Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon." Di depannya si kakek tersenyum. Si gendut
ini mengusap mukanya setelah itu baru menjawab.
"Aku Gentong Ketawa, kau sendiri siapa. Kau bicara tentang segala macam wangsit
dan menyalah- kan kehadiranku. Apa kau mengira aku suka be-
rada di tempat ini. Huh... gara-gara angin celaka itu jadinya aku sampai
terpisah dengan bocah
edan itu!" dengus si kakek.
Si nenek terdiam, dia memandang ke arah
si gendut Gentong Ketawa. Dengan mimik serius
dia berucap. "Gentong Ketawa. Namamu asing benar kedengarannya di telingaku.
Jelas kau bukan
orang yang kumaksudkan. Ilmu kekuatan yang
kukerahkan untuk menjemput seseorang seperti
kukatakan salah mengambil orang."
"Nyi Sekar, jadi orang tua ini tidak berguna untuk menyembuhkan keadaan diri Nyi
Sekar juga termasuk kami bertiga. Bagaimana kalau Nyi Se-
kar pergunakan ilmu Mencari Arah Membawa Tu-
juan sekali lagi. Barangkali kali ini tidak akan terjadi kekeliruan!" usul Nyi
Besinga. "Ilmu itu hanya bisa dipergunakan satu kali
dalam satu bulan purnama. Untuk menggunakan-
nya lagi baru dapat dilakukan satu purnama yang
akan datang. Selama hidup, belum pernah terjadi
kekeliruan. Aku yakin ada kendala, ada rintangan.
Mungkin ada orang berkepandaian luar biasa me-
nahan pendekar itu, atau mungkin ilmuku tak
sanggup mengatasi ilmunya. Sehingga usahaku ti-
dak membawa hasil yang kuharapkan, sebaliknya
ilmuku telah gentayangan tak karuan lalu mem-
bawa orang tua gendut ini kesini!" kata si nenek nampak kecewa.
Si gendut yang merasa pertanyaannya tidak
dihiraukan orang berkata. "Nenek jelek, kau tak mau menjawab siapa kau adanya.
Malah anak buahmu mengatakan aku orang tua tidak bergu-
na. Baiklah, sekarang aku pergi. Terus-terang aku sendiri bingung bagaimana ada
angin topan tiba-
tiba memulas diriku dan mencampakkan aku
sampai sejauh ini. Kalau terjadi satu kesalahan
sebagaimana yang kau katakan. Maka aku bisa
mengambil kesimpulan, aku kesasar ke tempat ini
semata-mata karena kesalahanmu. Seharusnya
aku menuntutmu agar mengembalikan aku ke
tempat dimana aku berada, namun mengingat kau
sudah tua aku jadi tidak tega. Aku tidak bisa ber-lama-lama disini, walau kuakui
tiga gadis jelita ini merupakan satu pemandangan bagus. Tapi bila
melihat tampangmu mataku jadi sepat juga."
Selesai berkata si kakek bangkit berdiri, se-
telah itu dia balikkan badan dan siap melangkah
pergi. Tapi pada saat itu si nenek yang bernama
Nyi Sekar Langit goyangkan bahu kirinya. Begitu
bahu diguncang, si kakek Gentong Ketawa menda-
dak merasakan seperti ada tekanan yang sangat
berat mengganduli kedua kakinya. Si kakek gerak-
kan kakinya, anehnya kaki tidak dapat diangkat
tidak pula dapat digerakkan. Tentu saja kenyataan yang terjadi ini membuatnya
kaget. "Gila, bagaimana kaki sendiri bisa ngadat
begini. Aku yakin pasti nenek jelek ini yang telah mengerjai aku. Jika tidak
kubalas belum tahu rasa dia!" kata si kakek dalam hati.
Diam-diam si gendut yang bukan lain ada-
lah guru dari Pendekar Sakti 71 Gento Guyon ini
salurkan tenaga saktinya ke bagian kaki. Karena
kaki tak dapat digerakkan maka si kakek goyang-
kan pinggulnya. Begitu pinggul bergoyang dari ba-
gian pusatnya melesat satu tenaga berhawa dingin
luar biasa yang langsung menuju ke arah kaki,
kemudian menjalar ke tanah dan....
Desss! Si nenek memekik kaget begitu merasakan
bagaimana serangan si kakek yang dilakukan se-
cara sembarangan itu menghantam kedua kakinya
hingga mendadak si nenek merasa kakinya menja-
di lumpuh. Jika nenek itu tidak cepat-cepat alir-
kan tenaga dalam ke bagian kaki dapat dipastikan
dia sudah jatuh terjengkang. Walaupun si nenek
pada akhirnya dapat menguasai diri sekaligus
memunahkan hawa dingin yang menyerang ka-
kinya. Gebrakan yang dilakukan oleh si gendut se-
lanjutnya sungguh sesuatu yang sulit dipercaya.
Tiba-tiba saja tubuh nenek itu seperti dicampak-
kan ke udara, seakan ada satu kekuatan yang dari
bagian dalam tanah yang telah mendorongnya ke
atas dengan kecepatan luar biasa sekali.
"Ketua...!" Tiga gadis jelita sama keluarkan seruan tertahan. Sebaliknya si
nenek begitu tubuhnya terlempar di udara masih sempat berjum-
palitan demikian rupa. Kemudian jatuh tegak se-
cara menakjubkan. Tak disangka begitu kaki men-
jejak tanah si nenek diam-diam melakukan seran-
gan balik tak kalah sengitnya.
Gendut Gentong Ketawa yang baru saja da-
pat menggerakkan kakinya mendadak dekap ba-
gian bawah perutnya. Wajah mengerenyit mena-
han sakit, mata terpejam. Dari mulutnya terdengar rintih tak berkeputusan.
"Celaka biyung... mengapa mendadak perutku jadi mulas begini. Menda-
dak aku jadi ingin buang hajat dan pengin kenc-
ing. Walah biyung aku sudah tidak tahan. Aku in-
gin pamit sebentar ke belakang. Awas jangan ada
yang mengintip!" kata si kakek. Dengan terbungkuk-bungkuk si gendut melangkah
lebar menuju ke balik semak yang terdapat di samping pondok.
Tapi langkah si kakek jadi tertahan karena
Nyi Besinga bergerak menghalangi. "Berani mampus kau hendak mengotori lingkungan
tempat tinggal ketua kami?"
Si gendut tertawa lebar walaupun hatinya
sebenarnya kesal mengingat rasa mulas sudah tak
dapat ditahannya lagi.
"Rupanya kau tidak rela aku berhajat di
tempat tersembunyi. Rupanya kau ingin aku anu
di sini...!" si gendut mengomel. Lalu dia kibaskan tangan kirinya ke depan.
Segulung angin menderu.
Nyi Besinga terkesiap begitu merasakan mendadak
tubuhnya seperti diangkat oleh satu kekuatan
yang tak terlihat ke tempat dimana tadi dia berdiri.
Grosak! Begitu berhasil memindahkan gadis ini den-
gan cara yang aneh hingga mengundang kagum
bagi dua gadis temannya si gendut menerobos ma-
suk ke balik semak belukar.
"Ketua... gendut itu sudah keterlaluan,
mengapa ketua tidak mengambil tindakan?" Dengan wajah pucat Nyi Besinga
mengajukan protes.
Tenang saja si nenek berwajah dipenuhi ca-
rut-marut menjawab. "Aku telah menghukumnya.
Perutnya kubuat mulas, bukan mulas biasa tapi
yang dapat membuat seluruh isi perutnya terkuras
keluar. Biar dia tahu rasa, biar dia sadar aku tak mau dipermainkan!"
Dari balik semak belukar Gentong Ketawa
merintih. "Sial, segala yang tidak perlu sudah di-buang, mengapa mulasnya tidak
juga hilang. Ku-
rang ajar, semua ini bukan cuma kebetulan. Ada
orang yang mengerjai aku. Awas pasti akan kuba-
las." ancam si kakek.
Tiga gadis jelita tertawa tertahan mendengar
ucapan si kakek. Sebaliknya Nyi Sekar Langit ci-
birkan mulut sambil mendongak ke langit. Tapi
mendadak terdengar suara menggemuruh hebat
hingga membuat si nenek tercekat dan membuat
tiga gadis pengasuh keluarkan seruan kaget, "Nyi Sekar... dia mengirimkan bala
kemari"!"
"Kalian sembunyi cari perlindungan!" teriak si nenek.
Tiga gadis tertegun di tempatnya. Saling
berpandangan dan serentak gelengkan kepala.
"Tidak Nyi....'" kata Nyi Arianti."Kami sudah bosan menjadi manusia pengecut,
kami juga sudah bosan bersembunyi. Jika sekarang segalanya
harus terjadi, kami akan menyabung nyawa demi
Nyi Sekar!"
"Nyi Sekar. Apa yang dikatakan Nyi Arianti
memang benar. Kau adalah orang satu-satunya
yang paling baik pada kami selama ini. Karena itu marilah kita tanggung susah
dan senang bersama-sama!" ujar Nyi Besinga. Si nenek merasa terharu mendengar
ucapan para pengasuhnya.
"Kalian memutuskan begitu. Tidak menga-
pa. Kalau mau membantu, sebaiknya kalian jaga
tua gendut yang sedang buang hajat itu, jangan
sampai dia meloloskan diri. Sebagai tamu kesasar
kuharap dia tidak menjadi sasaran serangan
membabi buta!"
"Nyi Sekar, dia bukan orang yang Nyi ingin-
kan. Kalau sampai menjadi korban utusan manu-
sia jahanam itu tak ada yang menangisi!" kata Artawanti.
"Kerjakan apa yang aku perintahkan!" teriak si nenek.
Tiga gadis tak berani membantah. Di balik
semak bakau walaupun si kakek mendengar suara
menggemuruh di angkasa sana, tapi dasar kakek
konyol enak saja dia berucap. "Hebat... raja sekalipun kalau sedang ke belakang
tidak pernah dijaga, tapi aku dikawal oleh tiga gadis cantik. Kalau aku tidak
punya kelebihan, mana mungkin tiga gadis
jelita diperintahkan mengawal diriku. Ha ha ha."
Suara gelak tawa si kakek mendadak ter-
henti ketika dia merasakan ada sambaran angin
keras yang disertai kelepak sayap raksasa yang
mendera bagian pucuk pohon. Tiga gadis juga ter-
masuk si nenek sama dongakkan wajahnya dan
sama pula memandang ke sana.
"Makhluk Kutukan Neraka!" teriak Nyi Besinga. Seketika wajah ketiga gadis
mendadak be- rubah pucat, tubuh menggigil mata terbelalak le-
bar. Nyi Besinga berseru. "Cari tempat persembunyian!"
Walaupun si nenek berkata begitu, tapi dia
tetap tegak ditempatnya. Sementara tiga gadis jeli-ta nampak ragu melihat
pimpinan mereka tetap
berdiri di depan pondok.
Si gendut Gentong Ketawa begitu mendon-
gak ke atas mendadak hilang mulasnya. Sama se-
perti tiga gadis pengasuh orang tua ini juga me-
nunjukkan rasa kaget yang luar biasa. Tapi sambil tarik celananya ke atas dia
cepat bangkit berdiri.
Sekali lagi dia memandang ke atas. Saat itu dia
melihat satu bayangan hitam besar seperti raksa-
sa, terbang berputar-putar diatas pondok dengan
kepakan sayapnya yang lebar panjang dan hitam.
Si kakek belum dapat memastikan makhluk rak-
sasa apa adanya yang terbang diatas sana. Tapi
kepakan sayap makhluk raksasa itu membuat
pondok porak poranda, pepohonan disekitar pon-
dok bertumbangan. Dan dia kemudian melihat sa-
tu bayangan biru berkelebat menyambar ke arah-
nya. Si kakek lalu merasa tubuhnya tersentak, lalu melayang mengikuti bayangan
biru yang menarik
lengannya. Di atas pondok yang porak poranda mak-
hluk hitam raksasa keluarkan suara pekikan keras
menggeledek. Dua sayap raksasa mengepak, angin
berhembus melabrak apa saja. Membuat batu dan


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasir berpentalan, daun-daun berhamburan di
udara. Sosok si kakek lenyap, tiga gadis pengasuh juga lenyap. Begitu juga
halnya dengan si nenek.
Kemudian di udara sana, di tengah suara
deru angin akibat kepakan sayap makhluk raksasa
terdengar pula suara tawa menggeledek.
"Sekar Langit! Kau tidak mungkin terus
menerus menghindar dariku. Kelak pada suatu
saat akan hilang kesabaranku. Atau kau rela hi-
dup dalam keadaan buruk rupa seperti itu. Atau
kau ingin kembali seperti sediakala. Waktumu
hanya tinggal satu purnama lagi. Setelah itu jika kau tidak mau menyerah,
segalanya akan kulakukan secara paksa. Kau harus percaya, tidak ada
orang yang dapat menolongmu. Tidak ada satu
kuasa dan kesaktian apapun yang mampu men-
gembalikanmu dalam keadaan seperti semula. Ha
ha ha!" Sunyi, tidak ada jawaban.
Di atas terdengar satu teriakan. "Makhluk
Kutukan Neraka, tinggalkan tempat ini. Kita kem-
bali ke Singgasana Abadi!"
"Kreaaaakkk...!"
Makhluk Raksasa yang belum jelas mak-
hluk apa adanya dan biasa dipanggil Makhluk Ku-
tukan Neraka itu melesat tinggi ke angkasa, berputar-putar dan bergerak semakin
tinggi, kemudian
lenyap dari pandangan mata.
3 Di sebelah selatan kaki gunung Muria ter-
dapat empat patung batu duduk dalam ujud se-
perti manusia. Masing-masing patung batu ini
mempunyai keunikan tersendiri. Patung pertama
berupa seorang pemuda seusia lima belas tahun,
patung ini wajahnya menengadah ke langit, tatap
matanya kosong seperti menerawang atau mela-
mun. Sedangkan patung yang kedua yang berada
di sebelah kiri merupakan seorang gadis jelita,
rambut panjang terurai. Hampir setiap saat dari
mata patung mengalir cairan bening seperti air
mata. Cairan itu hampir tiada henti menetes se-
panjang hari. Sedangkan patung ketiga dan ke
empat. berupa patung laki-laki dan perempuan be-
rusia sekitar empat puluhan. Agaknya patung ini
merupakan pasangan suami istri.
Tak ada yang tahu persis apakah ke empat
patung yang nampaknya terdiri dari orang tua dan
anak ini patung batu sungguhan atau penjelmaan
dari satu keluarga tertentu. Yang jelas pada saat-saat tertentu di saat bulan
purnama di kaki gu-
nung dimana ke empat patung ini berada selalu
terdengar suara tangis atau suara orang tua yang
memarahi anaknya. Uniknya lagi, masing-masing
tangan patung menyentuh bahu patung yang be-
rada di depannya. Sehingga keadaannya tidak jauh
berbeda dengan orang yang sedang mengerahkan
tenaga dalam secara berantai.
Walaupun banyak orang menganggap ba-
gian sebelah selatan kaki gunung Muria sebagai
suatu tempat yang angker. Namun siang itu dima-
na panas matahari terasa terik membakar seorang
kakek tua berpakaian serba putih berambut dan
berjenggot putih melakukan perjalanan menyisir
daerah itu. Sesekali si kakek yang memanggul
bambu sebesar lengan mirip pancingan ini menye-
ka keringat yang membasahi wajahnya. Di ujung
bambu yang biasa dipergunakan orang untuk
memancing itu tergantung seekor binatang aneh,
sejenis binatang langka yang tidak mungkin dite-
mukan di tanah Jawa.
Binatang berbulu putih ini di bagian pung-
gungnya ditumbuhi sisik keras berwarna putih se-
besar ibu jari. Kepalanya lancip seperti kepala lan-dak, daun telinga besar
panjang dibagian atas ke-
pala mencuat satu tanduk berwarna hitam runc-
ing. Sedangkan gigi bergerigi, panjang badan tidak lebih dari tiga jengkal,
sedangkan panjang ekornya lebih dari lima jengkal, berkaki empat berkuku sa-tu
seperti ladam kuda.
Binatang aneh dan langka yang tergantung
diujung bambu si kakek hampir tidak pernah ber-
henti melenguh. Suaranya memang mirip kerbau,
tapi terlalu lirih dan pelan.
Sambil terus melangkah, si kakek berpa-
kaian serba putih dengan sumpit besar tergantung
dipinggang kiri ini sering melirik ke arah ujung
bambu dimana binatang aneh tadi tergantung.
Seakan dia takut binatang itu hilang atau melo-
loskan diri walaupun dia tahu ke empat kaki bina-
tang dalam keadaan terikat.
Sampai disatu tempat si kakek yang bukan
lain adalah Tabib Setan adanya hentikan langkah.
Bambu sepanjang tiga depa dimana pada bagian
ujungnya tergantung binatang langka tadi diletak-
kannya diatas tanah. Binatang aneh meronta dan
keluarkan suara lenguh seperti kerbau. Si kakek tersenyum sambil mengipas
wajahnya dengan jalinan daun lontar kering. Lalu mulut si kakek men-
decap, tenggorokan turun naik membayangkan
makanan yang lezat. Masih dengan mulut mengu-
rai senyum si kakek berucap. "Aku belum bertemu dengan bocah Edan itu. Nanti
bila sudah bertemu,
kau akan kurubah menjadi makanan yang sedap.
Bocah itu nantinya bukan saja menjadi sehat. Tapi berkat dagingmu, tenaga dalam
dan kesaktiannya
bisa semakin bertambah hebat. Bagaimanapun
aku ingin dia menjadi yang terbaik diantara yang
paling baik. Sayang sekali aku merasa kesulitan
untuk menemukannya!" keluh Tabib Setan. Untuk lebih jelasnya siapa adanya Tabib
aneh ini (baca episode Tabib Setan).
Beberapa saat lamanya si kakek terdiam,
berfikir sambil mengusap jenggot putihnya yang
panjang menjulai. Apa yang difikirkan si kakek
mendadak lenyap, gerakannya mengipas dengan
daun lontar jadi terhenti begitu dia mendengar
sayup-sayup isak tangis seseorang. Si kakek pen-
tang telinganya dengan menggunakan ujung kipas.
Suara tangis yang didengarnya tadi mendadak le-
nyap. Yang terdengar saat itu justru suara desir
angin yang membuat pucuk dan daun pohon ber-
gesekan menimbulkan suara aneh di telinga.
"Umurku memang sudah tua, tapi telingaku
belum rusak. Jelas tadi kudengar isak tangis. Tangis seorang perempuan. Mengapa
mendadak le- nyap?" batin Tabib Setan. Si kakek kitarkan pandangan matanya. Walaupun saat itu
panas terik membakar, namun karena tempat di sekitar kaki
gunung terlindung daun pepohonan yang rindang
jadi membuat suasana di tempat itu menjadi agak
gelap. "Mungkin memang telingaku yang salah
mendengar. Aku tak melihat apa-apa. Sebaiknya
sekarang kuteruskan saja perjalananku." Tabib Se-
tan kemudian melangkah sambil memikul bambu
di bahu kirinya. Tapi baru beberapa tindakan dia
melangkah, saat itu pula gerakannya kembali ter-
henti begitu telinganya menangkap suara tangis
yang lebih keras, tangis perempuan. Si kakek me-
mandang ke arah terdengarnya tangis. Sekali ka-
kek ini berkelebat dia sampai di bawah pohon di
kaki gunung. "Hah... sungguh tak masuk akal!" Seko-
nyong-konyong Tabib Setan tahan gerakan ka-
kinya sekaligus berseru kaget. Dengan mata ter-
pentang lebar si kakek memandang ke depannya
dimana dia melihat empat patung duduk berjejer
dengan posisi saling memunggungi, sedangkan
masing-masing tangan patung memegang erat ba-
hu patung yang berada di depannya.
"Aneh, sungguh luar biasa. Juru ukir mana
yang telah membuat satu lelucon hebat ini. Ta-
pi...!" Mulut si kakek mendadak terkancing rapat.
Ada sesuatu yang tidak wajar dilihatnya terjadi
pada diri patung. Salah satu dari patung yang be-
rupa seorang gadis nampak menangis. Kemudian
yang berada di depannya memandang ke langit
dengan tatap matanya yang seolah penuh keham-
paan. Sedangkan duanya lagi yang berupa seorang
laki-laki dan perempuan setengah baya ekspresi
wajahnya seperti menahan rasa sakit yang luar bi-
asa. "Patung aneh, manusia beneran atau cuma batu yang dibentuk seperti manusia.
Sungguh aku tidak percaya jika tidak melihatnya sendiri."
"Kami bukan patung. Kami manusia seba-
gaimana dirimu. Bukankah kau Tabib Setan, tabib
aneh penyembuh dari segala macam penyakit. Ju-
ru obat yang namanya kesohor di delapan penjuru
mata angin. Tabib Setan tolonglah kami. Tolong
dengan obatmu yang mujarab itu, jika tidak kami
berempat, ibu, bapak dan anak bisa mati membe-
ku menjadi batu!" kata salah satu dari patung dalam rupa seorang gadis.
Seperti mendengar gelegar petir di siang ha-
ri begitulah rasa kaget di hati tabib yang dulunya banyak melakukan kejahatan
ini. Seumur hidup
rasanya baru kali ini dia melihat dan mendengar
ada patung bisa menangis dan bicara.
Seakan tidak percaya dengan apa yang di-
dengarnya. Setelah letakkan bambu dan gantung-
kan binatang langka yang dibawanya Tabib Setan
melangkah menghampiri. Dia bungkukkan badan,
tangan kanan dijulurkan, jemari tangan mengelus
sekaligus menyeka air mata yang bergulir di pipi
gadis patung. "Kakek tabib, jangan kau berani lancang
menyentuh pipi anakku. Seperti yang dikatakan-
nya kami bukan patung sungguhan, tapi manusia
yang disirap dengan ilmu aneh yang membuat se-
seorang menjadi seperti yang kau lihat!" Patung laki-laki setengah baya yang
duduk di bagian paling belakang berseru keras. Saking kagetnya si kakek
berjingkrak mundur. Mulutnya mengguman
tak berkeputusan seperti orang latah.
"Gusti... Gusti. Terlalu banyak keanehan
terjadi di dunia ini. Ada manusia berubah menjadi patung. Siapa yang punya ulah,
siapa pula yang
bersalah?" batin sang tabib. "Jika ada manusia punya kehebatan setinggi itu,
tidak dapat kubayangkan betapa dia dapat berbuat apa saja!"
"Tabib, berikan obat Perampas Kebebasan
Pelancar Darah. Konon kau memiliki obat sakti itu.
Hanya dengan obat yang kau miliki kami dapat
membebaskan diri dari pengaruh pukulan Waton
Atos Loro." kata gadis patung.
"Bagaimana kau tahu aku Tabib Setan" Ba-
gaimana kalian bisa tahu aku memiliki obat Pe-
rampas Kekebalan Pelancar Darah?" tanya Tabib Setan bertambah kaget.
"Orang yang telah memperlakukan kami se-
perti yang kau lihat mengatakan begitu pada ka-
mi!" sahut gadis patung.
"Aku Tabib Setan, dugaanmu memang be-
nar. Tapi apakah kau tidak tahu siapa dan bagai-
mana watak tabib sepertiku. Seandainya aku
memberikan racun, tentu jiwa kalian tidak keto-
longan. Ha ha ha."
"Tabib Setan. Kami sudah pasrah, jika sete-
lah meminum obatmu kami berempat mati. Biar-
lah, kami anggap itu sebagai suatu kesialan!" jawab patung perempuan setengah
baya, "Seumur hidup, aku cuma sekali mencipta-
kan obat yang kalian minta. Satu obat membutuh-
kan waktu satu tahun untuk membuatnya. Aku
pun bahkan terpaksa mempertaruhkan nyawa un-
tuk mendapatkan ramuan yang kubutuhkan. Se-
karang kalian enak saja memintanya. Aku minta
maaf karena tidak dapat memberi. Kalian cari ta-
bib lain. Masih banyak tabib yang lain, mengapa
kalian meminta pada Tabib Setan.?"
Untuk pertama kalinya setelah mendengar
jawaban sang tabib patung sosok pemuda belasan
tahun yang matanya menengadah ke langit ikut
pula berucap. "Dunia ini penuh kemegahan. Segala cipta milik yang mana kuasa.
Buat apa jadi ma-
nusia pelit, karena apa yang kita miliki sesung-
guhnya hanya pinjaman Gusti Allah. Tabib... kami
ini para pesakitan. Mengapa kau tidak memberi-
kan obatnya" Apa yang kau cari tabib dalam perja-
lananmu ini" Musuh atau sahabat, saudara atau
orang yang kau rindu?"
"Hah... jadi mereka ini bukan patung. Apa
yang harus kulakukan! Aku tak mengenal mereka.
Tapi jika tidak kutolong, andai bocah edan itu
sampai mendengarnya pasti dia marah besar. Ke-
mudian seumur hidup dia tidak mau lagi menjum-
pai aku. Bisa celaka aku!" fikir si kakek. Sejenak Tabib Setan melirik ke arah
patung gadis menangis. Si kakek melihat saat itu tangis si gadis makin
menghebat. Walaupun patung gadis itu sama sekali tidak bergerak, namun dia dapat
merasakan penderitaan gadis itu.
"Tabib Setan, jika kau tidak mau menolong
cepatlah pergi. Jangan sampai kau menjadi korban
perempuan itu!" kata gadis patung. Nada suaranya membayangkan rasa cemas luar
biasa. "Eeh, aneh. Biasanya perempuan jadi kor-
ban laki-laki, mengapa sekarang bisa jadi terba-
lik?" tanya si kakek.
"Orang tua, kami tak mau melibatkan diri-


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu dalam persoalan ini. Lekas kau tinggalkan
tempat ini!" kata patung perempuan setengah
baya. "Aku bukan raja tega. Jika kalian bertemu denganku belasan tahun yang
silam. Bisa jadi
permintaan kalian itu akan berakhir dengan kema-
tian. Sekarang segalanya telah berubah. Kalian telah bertemu dengan Tabib Setan
yang baik. Obat
akan kuberikan, tapi berhubung obat yang kalian
minta hanya satu. Maka obat itu akan kubagi
menjadi empat bagian. Masing-masing dari kalian
akan mendapatkan seperempatnya.
Kemudian tanpa merasa curiga sang tabib
mengeluarkan sebuah buntalan kecil yang diam-
bilnya dari kantong perbekalan. Dari buntalan ke-
cil dia mengeluarkan batang padi yang biasa di-
pergunakan untuk menyimpan obat itu. Begitu ba-
tang padi dijungkirkan, maka ditelapak tangan Ta-
bib Setan bergulir sebuah benda bulat berwarna
hitam kecoklatan. Benda yang besarnya tidak lebih dari ujung kelingking itu
dibagi empat. Setelah itu obat yang telah terpecah jadi empat bagian
dimasukkannya ke masing-masing mulut patung ma-
nusia. Tabib Setan kembali ke tempatnya semula.
Hanya beberapa saat setelah sang tabib mema-
sukkan obat ke mulut ke empat patung. Pada saat
itu pula terdengar suara mendesis seperti air men-didih. Ke empat patung
bergetar disertai menge-
pulnya asap putih tebal yang seakan keluar dari
sekujur badan patung. Empat patung mendadak
lenyap diselimuti asap tebal yang bergulung-
gulung ke udara.
Melihat semua keanehan ini Tabib Setan
kerutkan keningnya. Cuping hidungnya kembang
kempis mengendus tebaran asap yang sebagian
bergerak ke arah dirinya.
Belum lagi hilang rasa heran di hati si ka-
kek, mendadak sontak dari balik kepulan asap
tebal terdengar suara tawa panjang sekaligus tan-
gis keras, setelah itu dengan kecepatan laksana kilat pula dari balik asap tebal
menderu tiga pasang tangan yang disertai berkelebatnya tiga sosok tubuh ke arah
si kakek. Walaupun perasaan kaget orang tua ini tak
menyangka mendapat serangan secepat itu bukan
kepalang, tapi dia masih sanggup melompat mun-
dur kemudian jejakkan kakinya sejauh satu tom-
bak. Tapi tak urung salah satu serangan yang
mendera dirinya masih mengenai bagian dadanya.
Terhuyung-huyung si kakek mencoba men-
gembalikan keseimbangannya. Dengan mata men-
delik dia memandang ke depan di mana empat pa-
tung berujud manusia tadi berada.
Asap tebal saat itu telah lenyap. Tabib Setan
melengak kaget begitu menyadari empat sosok pa-
tung tadi lenyap. Sebaliknya sebagai ganti di tempat itu di atas satu ketinggian
pohon dimana pa-
tung-patung manusia tadi berada berdiri tegak
dengan sikap mengancam empat manusia aneh
berwajah angker berpakaian hitam. Dua dianta-
ranya adalah seorang pemuda dan laki-laki seten-
gah baya, sedangkan yang dua lagi, satu dianta-
ranya berupa seorang gadis dan seorang pemuda
setengah baya. Rambut panjang awut-awutan, alis
matanya hitam tebal, sedangkan disudut bibir me-
reka mencuat sepasang taring yang runcing dan
tajam. Yang lebih mengerikan lagi ketika ke empat orang ini menyeringai dan
julurkan lidahnya. Lidah itu ternyata bercabang dua berwarna merah
kehijauan. Melihat semua ini dalam kagetnya si kakek
tak mampu bicara atau bergerak dari tempatnya.
Kenyataan yang dia lihat merupakan sesuatu yang
sulit dipercaya.
4 Di depannya sana diatas reranting cabang
pepohonan secara mengagumkan empat sosok
yang tadinya berupa patung batu berdiri tegak.
Hebatnya lagi walau mereka berempat dan hanya
menginjak ranting kecil, ranting yang dijadikan pi-jakan sama sekali tidak
bergoyang apalagi patah.
Seakan tubuh mereka tidak memiliki bobot sama
sekali. "Hi hi hi.... kau telah berbuat jasa besar pa-da keluarga Empat Kerabat
Siluman, Tabib Setan.
Jika bukan karena obatmu mungkin kami akan
menjadi patung benaran dalam dua bulan menda-
tang. Kau telah menolong, jasamu akan kami ke-
nang. Tapi kami terpaksa membunuhmu, karena
kami tidak suka tabib hebat sepertimu memberi-
kan pertolongan pada manusia!" kata si gadis berpakaian hitam transparan
disertai tangis dan tawa.
Tiga kepala mendongak ke langit, tiga pa-
sang mata menatap teriknya surya. Secara seren-
tak tiga mulut mengumbar tawa.
Untuk sejenak lamanya Tabib Setan dibuat
terperangah, tapi akal pikiran sang tabib tak tenggelam dalam lamunan. Begitu
dia mendengar siapa
adanya ke empat laki-laki dan perempuan itu
mendadak langkahnya jadi surut. Wajah pucat,
tubuh bergetar sedangkan tengkuk tidak rasa
tengkuk lagi melainkan telah berubah dingin lak-
sana es. Tabib Setan sering mendengar tentang Em-
pat Kerabat Siluman itu. Belasan tahun mereka
hidup gentayangan, malang melintang di laut sela-
tan. Kejahatan yang mereka lakukan tidak terhi-
tung. Konon mereka juga pernah meracuni sumber
air minum penduduk gunung Kidul hingga mene-
waskan ribuan penduduk. Manusia seperti Empat
Kerabat Siluman ini tidak segan melakukan apa
saja yang terpenting mereka mendapat imbalan
tinggi. Yang membuat Tabib Setan merasa heran
siapa yang telah membuat mereka seolah menjadi
patung batu" Jelas Empat Kerabat Siluman ta-
dinya dalam keadaan terluka parah. Setidaknya
tubuh mereka nyaris membeku menjadi batu aki-
bat pukulan Waton Atos Loro sebagaimana penga-
kuan mereka sendiri.
Kini silih berganti Tabib Setan memandang
orang diatas pohon. Walau baru kali ini mereka
pertama kali bertemu tapi melihat penampilan me-
reka Tabib Setan dapat memperkirakan siapa na-
ma masing-masing. Dasar si kakek memiliki sifat
sulit ditebak, jika tadinya terkejut maka sekarang
jadi tertawa tergelak-gelak. "Hari masih begini siang. Aneh, mengantuk tidak
mabuk apalagi. Dalam keadaan otak melek dan fikiran waras bagai-
mana pandanganku bisa menipu" Kalau tak salah,
bukankah gadis cantik yang menangis adalah ma-
nusia siluman yang berjuluk Kerabat Menangis"
Kemudian pemuda yang bengong menatap langit
bergelar Kerabat Melamun. Kalau tak salah pula,
yang tua bulukan berambut jabrik bergelar Tua.
Dan perempuan itu pasti istrinya si jabrik biasa
dipanggil Kerabat Perempuan. Hemm... sepanjang
hidup baru kali ini Tabib Setan kena tipu oleh para siluman jahat. Kurang ajar,
aku benar-benar ketiwasan. Menyesal aku telah berikan obat Perampas
Kekebalan Pelancar Darah pada orang yang salah!"
kata si kakek. Laki-laki setengah baya berambut jabrik ter-
tawa bergelak. Begitu tawanya lenyap dia berucap.
"Terkadang manusia memang suka melakukan ke-
tololan. Tapi kau tak perlu risau, walaupun kau
segera menemui ajal ditangan kami. Aku Sesepuh
Tua akan mengenang budi baik jasa pertolongan
yang telah kau berikan." kata si rambut jabrik. Dia melirik ke arah gadis
berpakaian hitam transparan lalu anggukkan kepala.
Gadis bergelar Kerabat Menangis itu tahu
makna anggukkan kepala si laki-laki. Dengan te-
nang dan senyum bermain dimulut Kerabat Me-
nangis menjawab. "Aku akan lakukan perintah
ayah. Sesepuh Tua!"
Tabib Setan tersenyum. Dia sadar diantara
ke empat kerabat siluman itu tentu yang paling
berbahaya adalah pemuda belasan tahun yang
bergelar Kerabat Melamun. Walaupun tampang
pemuda remaja itu seperti orang bodoh putus ha-
rapan. Tapi berkat kebiasaannya memandang ma-
tahari, konon sekarang dia berhasil menguasai il-
mu aneh bernama Ilmu Sirap Pancaran Inti Mata-
hari. Dengan ilmunya itu dia dapat menjatuhkan
burung yang beterbangan di angkasa. Dengan il-
munya pula dia mampu membuat balok baja men-
jadi leleh. Walaupun dia memiliki ilmu hebat luar biasa, namun terkadang Tiga
Kerabat Siluman sulit mengharap bantuannya. Semua ini karena fiki-
ran, perasaan dan hati si pemuda sering melan-
glang jauh entah kemana.
"Tidak pernah ku menyangka habis meno-
long malah terkena pentung. Ingin kulihat apa
yang hendak dilakukan oleh gadis itu!" batin Tabib Setan. Diatas reranting pohon
Kerabat Menangis
sunggingkan senyum, sepasang mata dikedip-
kedipkan. "Tabib Setan, kau lihat kemari, pandang
wajahku baik-baik!" seru si gadis. Nyata sekali seruan Kerabat Menangis bukan
seruan biasa. Na-
mun dalam getaran suaranya berisi kekuatan
mantra-mantra hebat yang mengandung kekuatan
gaib yang melenakan.
Tabib Setan tanpa sadar seperti yang dipe-
rintahkan si gadis memandang ke arahnya. Sang
tabib tercengang begitu melihat gadis diatas pohon dalam pandangan matanya
mendadak berubah
cantik, kulit putih mulus. Yang membuat perasaan
sang tabib sempat bergetar gadis itu kini seperti
tidak memakai pakaian alias polos.
Apa yang terlihat begitu menantang, apalagi
Kerabat Menangis julurkan lidah basahi bibir dis-
ertai senyum memikat menggoda.
Sayang yang dihadapi gadis ini adalah seo-
rang Tabib Setan. Manusia Sakti yang bukan saja
dikenal tentang kehebatan ilmu pengobatannya.
Tapi juga orang tua yang memiliki kepandaian
tinggi, bahkan jurus dan pukulan saktinya pernah
diturunkan pada Pendekar Sakti 71 Gento Guyon.
Di luar semua itu Tabib Setan juga dikenal banyak memiliki ilmu gaib yang
bersumber dari kekuatan
setan. Hanya sesaat saja pemandangan menan-
tang itu terlihat olehnya. Begitu si kakek alirkan tenaga sakti yang kemudian
disalurkan ke bagian
kedua matanya. Apa yang dilihatnya tadi menda-
dak raib. Dalam pandangannya kini Kerabat Me-
nangis kembali seperti sediakala. Rambut terurai, pakaian hitam transparan.
Si kakek pun tertawa panjang. "Segala ilmu
siluman kau pamerkan didepanku. Apa kalian ti-
dak sadar, gelarku Tabib Setan. Sebagai tabib aku menguasai seribu macam ilmu
pengobatan. Sebagai setan aku menguasai berbagai jenis ilmu setan.
Kerabat Menangis, melihat kau menangis, aku jadi
tidak tega untuk melukaimu. Bagaimana jika ku-
tawarkan obat yang mampu menyembuhkan tan-
gismu! Ha ha ha!"
Bukan hanya Kerabat Menangis saja yang
dibuat kaget. Terkecuali Kerabat Melamun, maka
Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan tak kalah
kagetnya. Tapi kejut Kerabat Menangis tak ber-
langsung lama. Karena kejab kemudian dia sudah
berteriak. "Tabib Setan jaga auratmu!"
"Kurang ajar, agaknya aku merasa perlu
menghadapinya dengan ilmu setanku!" batin Tabib Setan. Sementara itu selesai
dengan teriakannya
Kerabat Menangis dengan kecepatan laksana kilat
melesat ke bawah. Dua tangan dipentang. Satu
bergerak lakukan cengkeraman ke bagian bawah
perut, sedangkan tangan kanan yang tiba-tiba
mencuat kuku panjang berwarna seputih perak
bergerak ke arah dada.
"Gadis kurang ajar. Menyerang dibagian ter-
larang, jika tidak kukerjai bisa runyam jadinya!"
teriak si tabib, dalam hati.
Melihat serangan yang datang begitu rupa
sang tabib menggerung. Diapun pentang tangan-
nya menangkis serangan lawan dan balas lakukan
serangan dengan cara yang sama.
Tangan kanan mencengkeram ke arah dada,
sedangkan tangan kiri mencengkeram ke bagian
bawah perut si gadis.
Jika serangan si gadis yang mengarah ke
bagian perut sang tabib dapat membahayakan ke-
selamatan tabib itu. Maka sebaliknya serangan
Tabib Setan yang mengarah kebagian dada si gadis
dapat membuat celaka gadis itu pula. Sekitar seu-
jung kuku lagi masing-masing serangan mengenai
sasarannya, tiba-tiba Kerabat Menangis sambil
menggerung mengumbar tangis batalkan seran-
gan. Lalu tubuhnya melesat ke udara, membum-
bung tinggi melewati pucuk pepohonan sambil
mengumbar sumpah serapah.
"Tabib kurang ajar!"
"Kau juga gadis mesum kurang ajar. Sudah
tau aku tua bangka bau tanah enak saja kau hen-
dak mencomot perabotan orang!" tak kalah sinis-nya si tabib mendengus. Si kakek
lalu dongakkan kepala memandang ke atas pohon. Terkecuali Tiga
Kerabat Siluman. Maka lawannya tadi lenyap sama


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Tabib Setan tertawa mengekeh. "Kau mengajak aku bertarung diatas awan
pun pasti ku- layani!" teriak Tabib Setan. Sekali orang tua ini menggenjot tubuhnya sosok si
kakek melesat tinggi di udara. Kemudian diatas pohon sosoknya le-
nyap dari pandangan. Melihat kemampuan yang
dimiliki oleh si kakek, Sesepuh Tua menoleh dan
berbisik pada istrinya, Kerabat Perempuan.
"Tabib itu ternyata memiliki ilmu setan. Ke-
rabat Melamun tak bisa diharap bantuannya. Ba-
gaimana jika kita keroyok saja tabib itu bersama-
sama." kata Sesepuh Tua.
"Aku setuju. Jika kita dapat membunuhnya,
kita pasti bisa mendapatkan ratusan jenis obat.
Selain itu konon kudengar dia memiliki sejenis kitab ilmu Pengobatan yang
hebat!" sahut Kerabat Perempuan.
Sementara itu di atas sana diantara pucuk
pepohonan, Kerabat Menangis dan Tabib Setan
tengah terlibat satu pertempuran sengit. Saat itu pertempuran yang berlangsung
cepat telah melewati belasan jurus. Dua sosok yang bertempur
berkelebat bagaikan setan gentayangan. Setiap ge-
rakan yang mereka lakukan berlangsung sangat
cepat hingga rasanya sangat sulit diikuti kasat ma-ta. Nampaknya Kerabat
Menangis memang bukan
lawan sang tabib. Sungguhpun dia berulang kali
melepaskan pukulan saktinya yang memancarkan
cahaya kebiru-biruan. Namun setiap pukulan yang
dilepaskannya dapat dihindari oleh si kakek. Ma-
lah pada jurus yang ketiga puluh, Tabib Setan
yang merasa jengkel akibat telah ditipu oleh Empat Kerabat Siluman itu segera
meraup sesuatu dari
balik kantong perbekalan sebelah kiri. Setelah itu sang tabib merubah gerakan
silatnya hingga lawan
menduga dia telah banyak kehilangan tenaga.
5 Melihat kenyataan ini Kerabat Menangis ti-
dak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Dia merang-
sak ke depan, dua tangannya yang telah teraliri
tenaga dalam dan nampak berubah merah kehi-
taman dihantamkannya ke dua bagian tubuh si
kakek. Seandainya lawan sampai kena dihantam
pukulan ini dapat dipastikan tubuhnya pasti han-
gus gosong. Tapi apa yang dilakukan si gadis memang
sesuatu yang sangat ditunggu oleh si kakek. Begi-
tu si gadis mendekat sambil menghantamkan dua
pukulan mautnya, maka Tabib Setan gerakkan
tangannya yang menggenggam sesuatu dengan ge-
rakan menyilang dari bawah ke atas.
Wuuuur! Pukulan si gadis melenceng dari sasaran
begitu serbuk putih bertabur di udara hingga
membuat pemandangan bukan saja hanya menja-
di gelap, tapi Kerabat Menangis merasa matanya
mendadak menjadi pedih dan sudut mata kucur-
kan darah. Melihat lawan kelabakan sambil menjerit
dekap matanya yang meneteskan darah sekali lagi
si kakek tidak sia-siakan kesempatan. Tangannya
berkelebat menghantam dengan pukulan 'Seribu
Setan Melolong Di Neraka'.
Buuuuk! "Huarkh...!"
Jerit si gadis disertai jatuhnya sosok Kera-
bat Menangis, melayang di atas cabang. Dari satu
cabang ke cabang lain. Tidak lama setelah suara
berkerosakan lenyap, terdengar suara bergedebu-
kan. Dengan gerakan berjumpalitan Tabib Setan
mengikuti jatuhnya Kerabat Menangis. Hingga dia
jejakkan kakinya tidak jauh disamping sosok Ke-
rabat Menangis yang mulai ujung rambut sampai
ke ujung kaki dalam keadaan matang seperti di-
panggang. Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan
menggerung melihat kenyataan yang tidak pernah
mereka duga ini.
"Anakku...!" jerit Kerabat Perempuan histeris.
"Tabib Setan jahanam! Kau telah membu-
nuh putriku Kerabat Menangis!" seru Sesepuh
Tua. Laksana kilat mereka melesat turun. Kerabat
Perempuan begitu jejakkan kaki langsung menu-
bruk anaknya sambil menangis menggerung. Se-
dangkan suaminya Sesepuh Tua berdiri berkacak
pinggang, dua matanya merah angker memandang
mendelik pada Tabib Setan.
Di atas cabang pohon sana seakan tidak
ada kejadian apa-apa, Kerabat Melamun yaitu
orang yang paling berbahaya dari tiga lainnya tetap memandang ke langit.
Geram setelah menyaksikan kematian Ke-
rabat Menangis, Sesepuh Tua kini palingkan wajah
memandang ke arah mana Kerabat Melamun be-
rada. Pada putranya yang paling muda ini dia
berteriak. "Anakku Kerabat Melamun, tabib tua ini telah membunuh saudaramu
Kerabat Menangis.
Tunggu apa lagi mari kita bunuh manusia keparat
satu itu!"
Masih berdiri bertengger di ujung reranting
pohon pemuda belasan tahun itu tetap tegak da-
lam posisinya. Dua tangan dilipat di depan dada,
wajah mendongak ke atas dan mata menerawang
memandang ke langit. Malah kemudian dengan
tersenyum pula Kerabat Melamun berucap. "Pe-
mandangan disini begini indahnya. Inilah satu ke-
hidupan yang penuh damai, tidak ada rasa dengki
mendengki, tidak ada dendam tidak ada kemara-
han. Setiap orang memperlakukan sesamanya se-
perti saudaranya sendiri. Kedamaian seperti ini
sangat kurindu!"
"Celaka, agaknya Kerabat Melamun mem-
bayangkan kehidupan di sorga. Saudaranya dibu-
nuh orang dia tetap tenang saja." umpat Sesepuh Tua. Tabib Setan tersenyum.
"Sesepuh Tua,
agaknya kau lupa kalau dalam setiap obatku ku-
campur dengan sejenis ramuan yang membuat se-
seorang jadi terlena. Anakmu makin asyik dalam
lamunannya. Biarpun petir mencerai beraikan
anggota tubuhnya, fikiran dan hatinya tetap mem-
bayangkan suatu keindahan yang sangat luar bi-
asa. Ha ha ha!"
Terdorong oleh hawa marah, Sesepuh Tua
hantamkan tangannya ke arah ranting yang dija-
dikan tempat berpijak oleh Kerabat Melamun.
Hawa panas menderu, sinar merah berkib-
lat, ranting pohon rambas dihantam pukulan,
hingga tubuh pemuda itu meluncur deras ke ba-
wah dan jatuh dalam keadaan berdiri.
Walaupun terjatuh sedemikian rupa. Kera-
bat Melamun tetap tidak bergeming. Seolah dirinya terlena dalam tidur yang
nyenyak. Melihat semua
ini Sesepuh Tua merutuk sejadi-jadinya.
Pada saat itu Kerabat Perempuan sudah
bangkit berdiri. Kedua pelupuk matanya bengkak
sebab, bola mata merah memancarkan duka dan
amarah. Kepada suaminya dia berkata. "Kakang mengapa mengharap bocah itu. Mari
kita bunuh Tabib gila ini."
Sesepuh Tua anggukkan kepala. Mendadak
tanpa terduga pasangan suami istri itu mengang-
kat dan menghempaskan kaki kirinya ke atas ta-
nah. Hantaman yang keras pada tanah menimbul-
kan getaran juga mengepulkan asap. Akibatnya
sungguh sangat luar biasa. Tubuh Tabib Setan
laksana dilontarkan terpelanting ke udara. Sang
tabib terkejut luar biasa. Selagi tubuhnya jungkir balik sedemikian rupa,
Sesepuh Tua dan Kerabat
Perempuan hantamkan kedua tangannya ke uda-
ra. Dua larik sinar kuning laksana mata pedang
saling bersilangan menderu dan menghantam sang
tabib. Tapi kakek ini begitu melihat dua bahaya
yang mengancam dengan menggunakan daya lun-
cur tubuhnya sendiri si kakek berjumpalitan.
Wuut! Dua serangan yang dilancarkan oleh kedua
lawannya tidak mengenai sasaran dan amblas le-
nyap dalam ketinggian. Sesepuh Tua merasa ge-
ram melihat kenyataan ini. Diapun melesat ke atas lalu menghantam si kakek
dengan satu pukulan
mengandung tenaga sakti berhawa dingin luar bi-
asa. Masih dalam keadaan meluncur di udara si
kakek yang merasakan sambaran hawa dingin
tanpa melihat, gerakkan dua tangan menyambuti.
Dess! Duuuuk! Dua benturan terjadi membuat keduanya
sama terpelanting, masing-masing terpental sejauh tiga tombak. Sesepuh Tua jatuh
terbanting dalam
keadaan menelungkup. Sedangkan Tabib Setan ja-
tuh punggung ke tanah. Orang tua ini menggeliat
kesakitan. Belum lagi si kakek sempat berdiri te-
gak dari arah sampingnya menderu angin dingin
membabat ke bagian pinggang. Ketika Tabib Setan
menoleh tercekatlah dia. Orang yang lancarkan
tendangan adalah Kerabat Perempuan. Hebatnya
saat melepaskan tendangan perempuan itu tetap
berdiri tegak ditempatnya. Dalam jarak sejauh li-
ma tombak, tendangan Kerabat Perempuan yang
masih sempat dihindari sang tabib mendera ba-
gian punggungnya. Tabib Setan-berteriak kesaki-
tan, sosoknya terlempar ke udara. Tapi di udara
tanpa menghiraukan rasa sakit di bagian pung-
gungnya dia melepaskan pukulan 'Para Setan Me-
nebar Angkara'.
Dua pukulan menderu, satu mengarah ke
arah Sesepuh Tua dan satunya lagi meluncur de-
ras ke arah Kerabat Perempuan.
Kedua suami istri ini sempat tercekat. Na-
mun tidak tinggal diam. Dengan cepat mereka ge-
rakkan tangan kanan menangkis pukulan lawan
dengan ilmu Tameng Siluman
Breng! Breng! Dua pukulan laksana membentur logam ke-
ras mengeluarkan suara berisik disertai bertebar-
nya bunga api di udara.
Kedua suami istri itu terdorong mundur,
kaki amblas sedalam sejengkal. Tapi walau pasan-
gan siluman ini mengalami guncangan di dalam
dada bahkan tangan yang dipergunakan untuk
menangkis laksana terpanggang. Kini sambil kelu-
arkan suara teriakan keras mereka menyerbu ke
depan. Sang tabib tercekat, walau begitu dia masih sempat mengumbar tawa.
Mendadak suara tawa
kakek ini lenyap begitu melihat cahaya putih me-
nyilaukan menderu secara bergulung-gulung me-
labrak dirinya dari dua arah. Hawa panas mene-
bar, Tabib Setan sontak merasa sekujur tubuhnya
laksana digarang diatas bara panas luar biasa.
Sambil berkomat-kamit tanpa beranjak dari
tempatnya berdiri Tabib Setan cangkapkan dua
tangannya diatas kepala, lurus sejajar dengan
ubun-ubun. Detik berikutnya sebelum dua sinar
maut itu menyentuh tubuh si kakek, mendadak
dari bagian bawah ketiak orang tua itu menderu
angin laksana topan prahara. Angin bersibak ter-
bagi dua. Satu menghantam ke samping kanan sa-
tunya lagi bergerak kesebelah kiri.
Hawa panas dan hawa dingin saling tindih
menindih. Kemudian terjadi satu ledakan yang ke-
ras luar biasa. Si kakek lesatkan diri ke udara, sedangkan kedua lawannya jatuh
terguling-guling.
Bentrokan tenaga sakti tadi membuat me-
reka mengalami cidera dibagian dalam. Sang Tabib
sendiri sempat mengalami guncangan hebat, tapi
kesempatan selagi dirinya mengapung di udara ti-
dak disia-siakannya. Tangan kiri kanan menyeli-
nap ke balik pakaiannya. Setelah itu tangan ditarik dan dihantamkan ke arah
Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan.
Melihat serangan ini Sesepuh Tua tidak
sempat lagi menghindar. Begitu puluhan benda
putih yang bukan lain adalah jarum perak beracun
menghantam tubuhnya Sesepuh Tua menjerit.
Sebaliknya Kerabat Perempuan sempat ber-
jibaku selamatkan diri setelah kebutkan ujung
lengan bajunya. Begitu dia lolos dari serangan senjata rahasia sang tabib. Tanpa
menghiraukan su-
aminya dan dengan membawa beban batin yang
berat Kerabat Perempuan sambar Kerabat Mela-
mun yang berdiri di sebelah kirinya.
Hanya dalam beberapa kali gerakan sosok
perempuan setengah baya itu telah lenyap dari
pandangan Tabib Setan. Kakek ini sendiri tidak
punya keinginan untuk mengejar.
Dia pandangi sosok Sesepuh Tua yang ter-
geletak dengan sekujur tubuh ditancapi senjata
rahasianya. Bagian yang terkena sambitan jarum
itu nampak menghitam, berlubang dan cepat seka-
li membusuk. Tabib Setan usap janggut panjang-
nya yang memutih. Seakan menyesali sang tabib
berucap. "Pada suatu keadaan jarum-jarum itu memiliki kehebatan untuk
menyembuhkan penyakit orang lain. Disisi lain, dengan sangat menyesal aku
terpaksa menggunakannya untuk memperta-hankan diri. Seharusnya semua ini tidak
perlu terjadi. Tapi terkadang pertolongan yang diberikan


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh seseorang malah menjadi racun bagi kehidu-
pannya sendiri. Empat Kerabat Siluman, aku ya-
kin dia bekerja untuk seseorang. Tentu dengan
imbalan yang sangat tinggi. Yang membuat aku ti-
dak habis mengerti, mengapa setelah kutolong me-
reka malah menghendaki nyawaku" Obat kuberi-
kan, nyawaku juga mereka minta sungguh keterla-
luan!" gerutu si kakek.
Orang tua ini kemudian mengambil bambu
pancingan. Dia melirik ke arah binatang langka
yang digantungkannya di cabang pohon rendah.
Mendadak wajah si kakek berubah pucat laksana
kertas. Mata terbelalak, mulut ternganga.
"Celaka.... Binatang itu. Akh.... siapa yang
telah mengambilnya" Siapa yang telah mencuri
Siklututjang" Akh... aku ketiwasan. Celaka, habis sudah harapanku, lenyap sudah
rencana pestaku
dengan bocah edan itu." kata si kakek kalang kabut. Tidak ubahnya seperti orang
yang telah ke- hilangan bungkahan emas permata Tabib Setan
mundar-mandir, matanya jelalatan mencari-cari.
Bagaimanapun Tabib Setan tidak ingin kehilangan
binatang langka yang dagingnya memiliki khasiat
luar biasa itu. Letih mencari kian kemari, si kakek terdiam. Berdiri termangu
sambil mengomel. "Sial betul hidup ini. Binatang itu kucari dengan susah payah,
bahkan beberapa kali aku hampir mengalami nasib celaka. Tak kunyana gara-gara
berkela- hi dengan Empat Kerabat Siluman, Siklututjang
diembat orang!" kata si kakek bingung. Selagi Tabib Setan mundar mandir dengan
perasaan bin- gung. Pada waktu bersamaan pula mendadak son-
tak terdengar suara seseorang. Tidak jelas apakah orang yang bicara laki-laki
atau perempuan karena orang itu menggunakan suara perut.
"Tabib Setan, kau telah melakukan kesala-
han dengan membebaskan Empat Kerabat Silu-
man dari pengaruh ilmu Waton Atos Loro. Kau
mencari kesulitan untuk dirimu sendiri. Karena itu kau harus siap menerima
hukuman. Jika kau menolak, binatang ini akan kubunuh. Kau tidak akan
pernah mendapatkan milikmu ini walau cuma se-
helai bulu atau kotorannya. Ha ha ha!" kata suara itu keras melengking.
Tabib Setan tercengang. "Hei jangan kau
bunuh Siklututjang. Aku tahu diri telah melaku-
kan satu kekeliruan. Aku mohon maaf dan berjanji
akan mencari Kerabat Perempuan dan Kerabat Me-
lamun!" jawab si kakek.
"Begitu. Jika kau berkata begitu, sekarang
ikuti aku untuk menjalani hukuman pertama!"
"Sial. Kau kira aku ini seorang bocah. Kalau binatang itu tidak kau kembalikan
padaku, kema-napun aku akan mengejarmu!" teriak Tabib Setan.
Dalam kemarahannya dia kemudian berkelebat
mengejar ke arah mana suara tadi terdengar. Di
kejauhan sana terdengar suara tawa mencemo'oh.
6 Malam gelap gulita, bulan yang seharusnya
munculkan diri tertutup sekelompok awan putih.
Di tepi sungai Oyo di sebelah tenggara Pati sesosok tubuh yang belum jelas apa
adanya tergeletak diatas keranda kayu yang dilintangkan di atas mulut kubur
menganga. Bagian liang kubur dalam keadaan gelap pekat. Sementara sosok yang
berada di atas kayu keranda terbuka baik bagian wajah
maupun tubuhnya sama sekali tidak terlihat kare-
na tertutup selembar kain putih yang diikat pada
bagian atas kepala juga bagian kain di ujung kaki.
Di lihat sepintas lalu sosok yang tergeletak diatas keranda tidak ubahnya
seperti pocong, atau mayat
yang siap dikuburkan.
Ada yang aneh, jika sosok diatas keranda
benar-benar jenazah orang yang sudah mati dan
siap dikuburkan, tentu ada pengantar dan pengir-
ing jenazah berada di sekitar lubang makam. Tapi
di tempat itu tidak ada orang lain. Tidak terlihat pelayat atau mengiring mayat.
Bahkan waktu sudah lewat tengah malam.
Di tempat itu tidak ada makam lain seba-
gaimana umumnya tanah pemakaman. Lubang
kubur itu satu-satunya, terletak membujur meng-
hadap ke kali. Di langit sekelompok awan yang mengha-
langi pantulan cahaya bulan bergeser. Perlahan
kegelapan di pinggir kali mulai diterangi cahaya
kuning temaram. Kesunyian terasa mencekam,
apalagi daerah disekitar sungai ditumbuhi dengan
pepohonan besar. Sehingga sepintas lalu tidak
ubahnya seperti hantu yang berdiri mengangkang.
Segala pemandangan ganjil yang terjadi di
tepian sungai itu semuanya terlihat jelas oleh seorang pemuda berambut gondrong
yang kebetulan berada di daerah sekitar situ. Si gondrong berte-
lanjang dada yang bukan lain adalah Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon menjadi heran juga curiga.
Tanpa pikir panjang si pemuda jejakkan kakinya
kemudian melesat ke atas pohon, jejakkan kaki
pada salah satu cabangnya dan mendekam disitu.
Dari balik kegelapan pohon diatas ketinggian sang pendekar terus memperhatikan
ke pinggir sungai
dimana sosok seperti pocong berada di situ, tergeletak diatas keranda kayu yang
terbuka. Perhatian si pemuda agak terganggu ketika
dia mendengar suara kelepak sayap kelelawar yang
melintas di atas pohon dimana dirinya berada. Ca-
haya bulan menjelang pagi kini bertambah terang,
sinarnya yang kuning keemasan memancar kese-
genap penjuru arah, menerangi tepian sepanjang
sungai berbatu termasuk juga sosok pocong yang
tergeletak diatas keranda.
Gento Guyon hampir saja melompat turun
dari tempat persembunyiannya ketika matanya
menangkap adanya satu gerakan pada sosok yang
dipocong. Seakan tidak percaya pemuda itu men-
gusap matanya tiga kali.
"Tidak salah penglihatanku, orang dibalik
kain putih itu bukan mayat atau jenazah seseo-
rang yang sudah meninggal. Aku yakin orang itu
pasti masih hidup." fikir si pemuda. Di hatinya mendadak muncul kebimbangan,
dalam benaknya muncul pula keraguan. "Jika manusia hidup perlu apa dia memocong diri" Ataukah
seseorang memo-congnya atau mungkin dia sedang menjalani sum-
pah pocong?"
Selagi benak si pemuda dipenuhi berbagai
macam pertanyaan. Pada saat itu terdengar suara
menggemuruh di langit. Suara bergemuruh yang
terdengar ternyata bukan saja datang dari langit, tapi juga dari dalam tanah
terdengar pula suara
yang sama. Murid kakek gendut yang berada di-
atas pohon tercengang. Di langit kilat menyambar
tiga kali berturut-turut ke arah sosok diatas ke-
randa. Dari dalam kubur cahaya putih mencuat
dan sama menghantam sosok keranda pula.
Terjadi satu keanehan. Bertemunya dua ca-
haya yang datang dari atas dan dari dalam lubang
kubur menganga menimbulkan pijaran-pijaran
aneh berupa cahaya putih, biru, merah kuning
dan hitam yang berkelok-kelok laksana cambuk
yang dilecutkan menjalari sekujur tubuh sosok da-
lam pocongan. Lima cahaya warna warni itu dengan gera-
kan bagai lipan merambat begitu sampai ke bagian
ujung bagian kepala langsung melesat ke udara
dan akhirnya lenyap setelah terjadi letupan lima
kali berturut-turut. Satu keanehan terjadi. Kain
putih yang membungkus sosok-sosok didalamnya
yang dalam keadaan terikat pada bagian kedua
ujungnya kini tidak putih lagi, melainkan telah berubah hitam, hangus menjadi
bubuk. Apa yang seharusnya terjadi maka terjadi-
lah. Dari dalam kain putih yang kini telah menghitam hangus terdengar suara tawa
panjang, lalu tangan dan kaki dibalik selubung kain bergerak.
Serpihan kain pocong bertaburan di udara. Kemu-
dian dibalik kain yang hancur Gento dapat melihat satu sosok tubuh seorang
perempuan berkulit
kuning langsat berusia sekitar empat puluhan. Pe-
rempuan itu berwajah cukup cantik, walau
usianya tidak lagi terbilang muda, berpakaian
kuning ringkas dalam keadaan menelentang ba-
gian dadanya nampak demikian menonjol. Perla-
han perempuan itu bangkit dan kemudian duduk
diatas keranda. Bibirnya yang kemerahan mengu-
rai senyum sedangkan sepuluh jari tangannya
yang berkuku panjang bersilangan di depan dada.
"Terkabul sudah apa yang menjadi ke-
inginanku. Dua puluh satu hari-hari telah kujalani Tapa Pocong. Kini satu ilmu
dahsyat telah kuda-
pat. Hik hik hik!" Perempuan diatas keranda berkata disertai tawa dingin
menyeramkan. Sesaat se-
telah itu suara tawanya lenyap. Wajah cantiknya
mendadak berubah bengis. Dua tangan dikepal-
kan, lalu diangkat ke atas, setelah itu sepuluh jari dijentikkan.
Wuuut! Dari sepuluh ujung jemari tangannya mem-
bersit sinar merah angker. Sepuluh sinar menderu
melesat menghantam sepuluh batu cadas yang
terdapat dipinggiran sungai.
Terjadi sepuluh letupan berturut-turut. Wa-
lau hanya berupa letupan kecil akibat yang ditim-
bulkannya sungguh sangat luar biasa. Sepuluh
batu yang menjadi sasaran serangan langsung
menyusut sebesar kepalan tangan, hangus meng-
hitam kepulkan asap.
Diatas pohon Gento yang melihat semua ini
jadi belalakkan mata dan keluarkan keringat din-
gin. "Perempuan ini siapakah" Kekuatan ujung jemarinya saja mampu membuat batu
sebesar kerbau jadi menciut. Bagaimana bila yang menjadi
sasarannya adalah manusia?" batin si pemuda.
Diatas keranda perempuan itu menyeringai.
Dia merasa puas atas apa yang telah didapatnya.
Dengan mata berbinar dia dongakkan wajah ke
langit. Kembali tawanya bergema. Sebaliknya Gen-
to jadi tercekat begitu melihat satu lubang men-
ganga mengerikan terdapat dibagian tenggorokan
perempuan itu. "Astaga, perempuan itu tenggorokannya su-
dah berlubang bagaimana masih dapat bertahan
hidup!" desis sang pendekar tercekat.
Di bawah sana perempuan baju kuning te-
rus saja tertawa. Seperti tadi tawa perempuan itu mendadak lenyap, wajah
cantiknya berubah bengis. Setengah menggeram dia berkata. "Perempuan keparat
itu" Perampas kekasih orang, penghancur
segala kebahagiaanku. Hemm... Dipati Durga. Kau
campakkan diriku setelah kau reguk sari maduku.
Kini enak saja kau lari pada perempuan lain.
Agaknya aku merasa perlu membunuh semua laki-
laki yang ada didunia ini!"
Di atas pohon Gento menyeletuk. "Kalau
semua laki-laki kau bunuh, lalu dia mau hidup
dengan siapa. Kalau tak ada laki-laki bagaimana
perempuan bisa bunting, bagaimana bisa mene-
ruskan keturunan. Agaknya perempuan itu manu-
sia yang sudah miring otaknya. Siapa perempuan
yang dibencinya itu" Ah... ada-ada saja!" Gento mengusap hidungnya sambil
menyeringai. Di luar sepengetahuan Gento ternyata ke-
hadirannya tercium oleh perempuan yang duduk
diatas keranda.
Si cantik setengah baya menyeringai. Tiba-
tiba dia sengaja berkata dengan suara keras. "Sekar Langit... kau tunggu
pembalasanku. Kau telah
membuat tenggorokanku berlubang begini rupa.
Kau merebut kekasihku, aku tidak terima! Rasa
sakit di hatiku baru terobati jika aku dapat me-
rampas nyawamu!"
Si baju kuning kembali menyeringai, kemu-
dian tangannya digerakkan ke atas. Dia lakukan
gerakan seolah hendak bangkit berdiri, namun pa-
da saat itu lubang kubur di bawahnya mendadak
bergetar hebat. Getaran dan guncangan dapat di-
rasakan oleh Gento. Di saat sang pendekar melihat semua kejadian yang berubah
tak menentu itu perempuan baju kuning keluarkan suara jeritan ke-
ras. Tubuh perempuan itupun kemudian jatuh
terbanting ke dalam lubang.
"Ahk... tolong...!" teriak si baju kuning. Sosok perempuan itu lenyap. Tapi
didalam kegelapan
lubang suara teriakannya terus terdengar, sedang-
kan suara bergemuruh laksana gempa tadi kini ti-
dak terdengar lagi. Bulan makin merendah disebe-
lah barat, pertanda malam tak lama lagi berganti
dengan pagi. Di atas pohon Gento nampak ragu
antara ingin memberikan pertolongan atau tidak.
Tapi jeritan perempuan tadi mengundang rasa iba
di hatinya. Apalagi kini si baju kuning mulai me-
nangis ketakutan.
"Tolong, siapapun yang mendengarkan sua-
raku ini tolonglah aku. Tanah dilubang kubur ini
terbelah, tubuhku terperosok ke dalamnya, terjepit diantara celah lubang aku
sudah tidak lagi mampu
bergerak." rintih si baju kuning dengan suara tersendat-sendat.
Gento menyengir. "Tadinya hendak membu-
nuh semua laki-laki. Kini tidak tahunya butuh
pertolongan laki-laki. Dasar tolol, bicara seenaknya sendiri!" gerutu si pemuda
bersungut-sungut.


Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak berselang lama, suara perempuan itu
makin melemah, Gento jadi tidak tega untuk
membiarkannya. Sehingga diapun melesat me-
ninggalkan cabang pohon dan terus bergerak tu-
run lalu jejakkan kakinya di tepi lubang kubur dimana keranda yang membelintang
diatasnya telah
roboh miring siap meluncur ke bawah.
Sang pendekar singkirkan keranda dari da-
lam mulut lubang kubur. Setelah itu dia julurkan
kepala melongok ke dalam. Tapi perempuan ber-
pakaian kuning tadi tidak terlihat karena suasana di lubang kubur itu dalam
keadaan gelap gulita.
"Akh... adakah seseorang diatas sana?" Perempuan itu keluarkan suara mengerang.
"Apa yang terjadi dengan dirimu, nisanak"
Apakah kau tidak dapat keluar sama sekali?"
tanya Gento. Dari dalam lubang kubur terdengar suara
erangan. "Tid... tidak. Tubuhku terjepit. Pinggang serasa remuk. Nampaknya aku
tidak dapat bertahan lebih lama lagi!" keluh si baju kuning.
"Jangan khawatir. Aku akan menolongmu.
Kau dengar. Aku akan ulurkan cabang pohon, kau
pegang ujung rantingnya aku akan menarikmu ke-
luar. Kau mengerti?" tanya si pemuda lagi.
Dengan suara tersendat-sendat perempuan
itu menjawab. "Ya... aku mengerti. Sebelumnya kuucapkan terima kasih atas
bantuanmu. Oh kau
baik sekali, dengan apa aku harus membalas budi
kebaikanmu"!"
"Tak usah kau fikirkan semua itu. Aku bah-
kan belum melakukan apapun."
Gento lalu mencari ranting pohon basah
yang dianggapnya kuat untuk menarik beban. Se-
telah apa yang diinginkannya dia dapatkan, kem-
bali pemuda itu dekati mulut lubang. Ranting dijulurkan, semakin lama semakin ke
dalam dan ter- nyata lubang itu memiliki kedalaman tidak lebih
dari dua kali tinggi manusia biasa.
Sementara di sudut utara sungai Oyo dalam
jarak hanya belasan tombak dari lubang makam.
Sepasang mata yang turut mengawasi segala apa
yang terjadi di makam sejak tadi kini menjadi he-
ran melihat apa yang dilakukan oleh sang Pende-
kar. Dia hendak mencegah, tapi niatnya urung da-
lam keraguan. Nampaknya sepasang mata itu begitu
mengkhawatirkan keselamatan Gento. Dibalik ke-
gelapan semak belukar beberapa kali dia sempat
menarik nafas. "Apa yang hendak dilakukannya" Apakah
dia tidak mendengar, tadi perempuan itu mau
membunuh setiap laki-laki yang dia jumpai. Cari
penyakit! Siapa tahu perempuan itu hanya meni-
pu. Siapa bisa menduga perempuan itu cuma ber-
pura-pura?" batinnya.
Di tepi lubang kubur Gento kini sudah
membungkuk, rupanya ranting kayu yang diam-
bilnya masih kurang cukup untuk menjangkau
orang yang hendak ditolongnya. Sampai tangan
yang memegang ranting ikut terjulur ke dalam lu-
bang. Barulah dia merasa ada tangan menggapai
bagian ujung ranting itu.
"To-lo-ng tarik ke atas...!" kata perempuan di dalam liang kubur.
Tanpa merasa curiga dengan tenaga kasar
Gento coba menarik pangkal ranting seperti yang
diminta oleh si perempuan di bawah sana. Perla-
han ranting bergerak naik. Tak lama kemudian sa-
tu kepala tersembul. Kemunculan bagian kepala
diikuti oleh bagian tubuh lainnya. Sampai kemu-
dian tanpa terduga perempuan berpakaian serba
kuning lakukan gerakan melentik ke udara tidak
ubahnya seperti udang. Di udara tubuhnya ber-
jumpalitan ke belakang Gento. Setelah itu....
Dess! Desss! Satu hantaman keras menderu punggung
sang pendekar hingga membuat tubuh si pemuda
tanpa ampun lagi meluncur deras ke bagian lu-
bang, lalu jatuh berdebum di dasar liang makam.
Apa yang terjadi tadi berlangsung sangat
cepat sekali, hingga Gento yang tidak pernah me-
nyangka akan dibokong orang tidak lagi mampu
berkelit atau menyelamatkan diri.
Jika Gento di bawah sana menggeliat kesa-
kitan dengan punggung serasa remuk. Sebaliknya
di tepi lubang kubur perempuan berpakaian kun-
ing tertawa terkikik-kikik.
"Dasar pemuda tolol, mau saja ditipu orang.
Untuk keluar dari liang kubur bekas tempat tapa-
ku bagiku sangat mudah. Tapi tidak demikian hal-
nya dengan dirimu. Aku telah menaburkan berba-
gai jenis racun berbahaya di dasar liang kubur itu.
Kau akan mati sengsara, terkubur di tempat ini se-lamanya. Hik hik hik." kata si
baju kuning. "Perempuan edan, siapa dirimu" Sebelum-
nya kita tidak pernah bertemu, mengapa kau men-
celakai aku?" tanya sang pendekar marah sekali.
"Hik hik hik. Seharusnya aku tidak mem-
perlakukan dirimu begitu rupa. Kau masih muda,
gagah dan tampan. Tapi aku sudah terlanjur
membenci semua laki-laki. Kau dengar, namaku
Nyi Ronggeng. Hanya itu yang kau perlu kau keta-
hui. Pemuda cakep, selamat berkubur dalam Pem-
baringan Abadi. Selamat bertemu di akherat." Perempuan itu menjelaskan disertai
tawa tergelak- gelak. "Manusia jahat. Bebaskan diriku! Tidak semua laki-laki berhati jahat
seperti yang kau sang-kakan. Aku sendiri walau sudah tahu wajahmu
seperti bokong kuda tapi merasa jatuh cinta pa-
damu pada pandangan pertama. Ha ha ha!" kata Gento lalu tertawa.
Wajah Nyi Ronggeng merah kelam. Senda
gurau Gento benar-benar membuat hati wanita itu
jadi tersinggung, membangkitkan amarah dan rasa
benci yang begitu mendalam pada laki-laki.
"Pemuda edan, katakan siapa namamu. Bi-
ar mudah bagiku untuk mengingatnya!" hardik si Nyi Ronggeng.
"Kau bertanya tentang nama, apakah ini be-
rarti cintaku bersambut. Aku sih senang saja, tapi kurasa sahabatku si Pairin
lebih cocok denganmu." "Jahanam siapa itu Pairin?"
"Pairin bandot tua tukang kawin, sudah bau
tanah. Kakek itu bekas suami Painam. Ha ha ha."
sahut Gento. "Jahanam! Benar-benar ingin cepat mam-
pus!" Sambil berteriak keras Nyi Ronggeng gerak-
kan tangannya ke atas. Setelah itu laksana kilat
tangannya melesat ke bawah menghantam ke ba-
gian dasar. Cahaya merah menggidikkan berkiblat di
dalam lubang terdengar ledakan berdentum dis-
elingi dengan jeritan menyayat sang pendekar.
Asap tebal mengepul dari bagian dasar lubang. Nyi Ronggeng tertawa. Sedangkan
dibalik semak belukar sosok yang terus mengawasi belalakkan mata
sambil dekap mulutnya agar jangan sampai kelua-
rkan pekikan yang mengundang perhatian Nyi
Ronggeng. "Oh Gusti Allah.... tewaskah dia...!" tanpa sadar pemilik sepasang mata itu
mengeluh. Sementara dia tidak berani unjukkan diri karena dia sudah sering
mendengar kehebatan yang dimiliki
oleh perempuan itu.
Di tepi liang kubur Nyi Ronggeng berdiri
berkacak pinggang. Sesaat julurkan kepala me-
mandang ke dalam lubang yang menganga hitam.
Setelah itu dia balikkan badan, lalu berkelebat
pergi. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara ta-wa Nyi Ronggeng disertai
ucapan. "Tidak akan ku-biarkan semua orang menghinakan diriku. Dengan
Ilmu Sesat Jiwa yang baru kudapat, akan kubu-
nuh dulu semua orang yang kubenci!"
7 Untuk sementara kita kembali pada si ka-
kek gendut Gentong Ketawa yang dibawa pergi ke
tempat aman oleh nenek tua berambut hitam ber-
nama Nyi Sekar Langit.
Sampai di suatu tempat masih di sekitar
daerah Teluk Rembang Nyi Sekar Langit memper-
lambat larinya sampai akhirnya berhenti di bawah
tebing karang. Dia lepaskan cekalannya pada len-
gan si kakek. Sementara tiga pengasuh nenek ini
yang tertinggal jauh di belakang berlari datang
menghampiri pada saat itu sambil mengusap tan-
gannya si gendut sambil menyengir berucap. "Tak kusangka badan gemuk begini bisa
melayang laksana terbang. Sungguh peruntunganku baik. Ber-
lari dituntun orang seperti o-rang buta. Andai yang membimbingku adalah salah
satu dari tiga gadis
itu betapa dunia ini hanya milikku sendiri, se-
dangkan yang lainnya membayar sewa padaku. Ha
ha ha." Mendengar ucapan si kakek Nyi Sekar Langit yang berdiri tegak di
depannya delikkan mata.
Tapi dia tidak tampakkan wajah marah. Malah
kemudian dia menanggapi.
"Rupanya kau menyukai daun muda. Ba-
gus... kau tinggal memilih salah satu dari tiga pengasuhku itu. Tapi ingat kelak
kau jangan salahkan aku." kata nenek bersuara merdu itu lalu memandang ke
jurusan lain. Sementara tiga gadis jelita pengasuh Nyi
Sekar Langit saat itu sudah berada dihadapan me-
reka. Masing-masing wajah ketiga gadis masih
menyiratkan rasa khawatir yang amat sangat, na-
fas mengengah peluh bercucuran membasahi wa-
Istana Kumala Putih 15 Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 12
^