Pencarian

Dewi Bunga Asmara 2

Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Bagian 2


"Benar! Tapi dengan kemunculannya, keamanan
kerajaan jadi kacau! Dan kalaupun pihak kerajaan
memburunya, itu untuk mengembalikan peta wasiat
pada pihak yang berhak. Dengan demikian, keamanan
bisa terjaga!"
"Ayah...."
"Mei Hua...." Panglima Muda Lie sudah memotong
sebelum Mei Hua lanjutkan ucapan. "Kuharap kau ti-
dak terlalu ingin tahu urusan ini! Selain tidak ada artinya bagimu, ini adalah
rahasia kerajaan! Aku masih
punya tugas yang harus kuselesaikan! Aku akan me-
ngantarmu pulang!"
Sebenarnya Mei Hua masih ingin buka mulut. Na-
mun Panglima Muda Lie sudah ulurkan tangan kanan-
nya. Saat lain dia telah menggandeng putrinya dan melangkah meninggalkan tempat
itu. *** LIMA LINGKARAN malam telah menguak hamparan bumi.
Udara dingin mulai menusuk menggantikan suasana
sengatan sang matahari. Dan perlahan-lahan sang
rembulan muncul.
Satu sosok bayangan tampak berkelebat melintas
dataran sepi, lalu berhenti tidak jauh dari hamparan ilalang tinggi. Beberapa
saat sosok ini putar kepala dengan mata dipentang besar. Lalu dongakkan kepala
melihat bundaran sang rembulan. Paras wajah orang
ini tiba-tiba berubah. Ada bayang kekecewaan dan ke-
sal di raut mukanya.
"Bulan sudah tidak utuh lagi! Malam ini adalah ma-
lam kesembilan belas! Berarti waktuku tinggal satu ha-ri lagi! Sementara jejak
pemuda berkebaya itu tidak bi-sa kudapatkan! Sialan betul! Tampaknya peta wasiat
itu tidak bisa kuraih...."
Orang yang bergumam itu alihkan pandang mata-
nya dari sinar bulan. Kini pandangannya jauh menelu-
suri kegelapan malam.
"Kalau aku tidak bisa mendapatkan peta wasiat itu,
orang lain pun tidak boleh mendapatkannya! Aku ha-
rus mengambil separo dari peta wasiat yang tersim-
pan.... Siapa tahu pemuda berkebaya itu adalah kaki
tangan pihak kerajaan! Aku menangkap tanda-tanda
buruk pada sikap Yang Mulia Baginda Ku Nang...."
Setelah berpikir begitu, orang ini yang ternyata adalah seorang laki-laki
berkepala gundul, mengenakan
pakaian kuning panjang yang di pundaknya menye-
lempang kain merah dan bukan lain adalah Guru Be-
sar Liang San, segera berkelebat.
Begitu mencapai sebuah aliran sungai kecil, Guru
Besar Liang San hentikan larinya. Dia tegak dengan
kepala mendongak. Telinganya dipasang baik-baik. Ke-
dua tangannya ditakupkan di depan dada. Kejap lain
dia putar kepala dengan mata tembusi pekatnya sua-
sana. Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San terus
memperhatikan sekeliling. Setelah yakin suasana a-
man, dia berkelebat. Tahu-tahu sosoknya telah tegak
di dekat sebuah gundukan batu padas.
Guru Besar Liang San putar pandangan sekali lagi
sebelum akhirnya jongkok. Dengan cepat tangan kiri-
nya bergerak ditempelkan pada batu padas. Namun o-
rang ini tidak segera melakukan sesuatu. Dia berhenti agak lama Paras mukanya
tampak tegang. Malah tangan kiri kanannya bergetar. Sepasang matanya mende-
lik. "Mudah-mudahan aku tidak kedahuluan!" gumam-
nya dalam hati dengan dada berdegup keras. Saat lain tangan kirinya digerakkan.
Batu padas terangkat.
Guru Besar Liang San menghela napas kala mata-
nya melihat sebuah kotak kulit di bawah batu padas
yang terangkat. Saat bersamaan bibirnya sunggingkan
senyum. Lalu dengan cepat tangan kanannya bergerak.
Kotak kulit diambil, lalu tangan kirinya kembali digerakkan. Batu padas kembali
bergerak menutup.
Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San mem-
perhatikan kotak kulit di tangannya. Setelah putar ke-
pala, tangan kanannya kembali bergerak kotak kulit.
Untuk kedua kalinya Guru Besar Liang San menghela
napas ketika pandang matanya menumbuk sebuah ge-
lang agak besar terbuat dari baja. Lingkaran gelang itu sebesar jari telunjuk
berwarna keputihan. Di bawah
gelang terlihat kain beludru berwarna merah.
Guru Besar Liang San ambil gelang di dalam kotak
kulit. Ditimang-timang sesaat dengan tangan tetap bergetar sebelum akhirnya
dimasukkan ke balik pakai-
annya. Kotak kulit ditutup lagi. Tangan kiri kembali mengangkat batu padas, lalu
kotak kulit yang telah
kosong diletakkan kembali seperti semula.
Setelah batu padas tertutup lagi, Guru Besar Liang
San beranjak bangkit. Tanpa putar kepala, dia segera berkelebat.
"Malam baru saja menjelang. Mengapa buru-buru
pergi"!" Mendadak satu suara terdengar.
Kejut Guru Besar Liang San bukan alang kepalang.
Darahnya laksana sirap. Dan laksana disentak setan,
kepalanya segera berpaling. Dia urungkan niat berke-
lebat. Tenaga dalamnya cepat dialihkan pada kedua
tangannya. Sepasang matanya dibeliakkan. Namun se-
jauh ini Guru Besar Liang San belum melihat siapa-
siapa, membuat tubuhnya bergetar dan wajahnya te-
gang. "Siapa pun adanya orang ini, dia harus mampus!"
gumam Guru Besar Liang San.
Baru saja dia bergumam, satu sosok tubuh melesat
dan tahu-tahu sejarak sepuluh langkah di hadapannya
telah duduk bersila satu sosok tubuh!
Dia adalah seorang kakek mengenakan jubah warna
putih tanpa leher. Paras wajahnya agak bulat dengan
mata sipit. Rambutnya panjang dikelabang dan diling-
karkan melilit pada lehernya. Pada daun telinga kiri-
nya tampak menggantung sebuah anting-anting agak
besar. Kakek ini hanya memiliki tangan dan kaki sebelah kiri.
Untuk beberapa saat Guru Besar Liang San picing-
kan mata. Saat lain mulutnya perdengarkan guma-
man. "Tiyang Pengembara Agung!"
Kakek di depan sana dan bukan lain memang
Tiyang Pengembara Agung, tersenyum lalu angkat sua-
ra. "Amitaba.... Selamat malam dan selamat berjumpa
Guru Besar Liang San.... Kuharap kau tidak terkejut
dengan keberadaanku di sini. Lebih-lebih harap tidak menduga yang bukan-
bukan...."
Untuk menutup rasa curiga orang, Guru Besar
Liang San angkat kedua tangannya di depan dada se-
raya berkata. "Amitaba.... Tidak sangka kalau malam ini kita bisa
bertemu. Namun sayang.... Malam ini aku tidak punya
waktu banyak. Aku harus segera pergi. Namun kalau
ada yang hendak kau katakan, aku senang untuk
mendengarkannya...."
"Ah.... Memang sayang kalau kau tidak punya wak-
tu banyak! Padahal karena lama tidak bertemu, aku
ingin berbincang lama denganmu...."
"Tiyang Pengembara Agung.... Kalau kau ingin ber-
bincang, kau bisa datang ke tempatku. Dan memang
ada beberapa hal yang ingin kubicarakan de-
nganmu...." Guru Besar Liang San arahkan pandang
matanya jauh melewati pundak Tiyang Pengembara A-
gung sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. "Aku me-
nunggumu di tempatku empat hari di depan! Sekarang
aku harus pergi!"
"Malam ini kau sangat lain dari biasanya.... Pasti
ada sesuatu. Sebagai sahabat, kau tak keberatan me-
ngatakannya padaku" Siapa tahu aku...."
Belum sampai ucapan Tiyang Pengembara Agung
selesai, Guru Besar Liang San telah memotong dengan
suara agak keras dan bergetar.
"Harap maafkan! Kau telah dengar aku tidak punya
waktu banyak! Lagi pula aku tidak punya satu masa-
lah apa pun! Kalaupun ada yang ingin kubicarakan
denganmu itu ada hubungannya dengan Perguruan
Shaolin. Dan rasanya kurang pantas membicarakan
soal shaolin di tempat ini!"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu sahutan
Tiyang Pengembara Agung, Guru Besar Liang San ber-
kelebat tinggalkan tempat itu.
Tiyang Pengembara Agung tidak berusaha men-
cegah kepergian Guru Besar Liang San. Hanya saja,
bersamaan dengan berkelebatnya sosok Guru Besar
Liang San, Tiyang Pengembara Agung angkat bicara.
"Guru Besar.... Manusia telah berencana dan ber-
tindak. Namun jarang manusia yang tahu, bahwa uru-
san rencana dan tindakan tidak terlampau sederhana
seperti prasangka manusia!"
Sebenarnya Guru Besar Liang San ingin berhenti
karena dia menangkap gelagat di balik ucapan Tiyang
Pengembara Agung. Namun karena tak mau kebera-
daannya di tempat itu diketahui orang lain lagi, dia teruskan kelebatannya meski
dalam hati dia mulai di-
buncah dengan kegelisahan.
Seperti diketahui, begitu berhasil mendapatkan ko-
tak kulit berisi separo peta wasiat dengan bantuan Baginda Ku Nang, Guru Besar
Liang San dan Yang Mulia
Baginda Ku Nang sepakat untuk menyimpan kotak ku-
lit di satu tempat yang hanya mereka berdua yang ta-
hu. Dan mereka berdua berjanji tidak akan me-
ngambil kotak kulit tanpa hadirnya salah satu dari ke-
duanya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode: "Kuil
Atap Langit").
*** Sementara itu di lain tempat, dua sosok tubuh tam-
pak tegak berdiri dengan sesekali kepala mereka ber-
paling ke kiri kanan dan ke belakang. Saat lain mereka saling lontar pandang.
Tapi mulut masing-masing
orang ini sama terkancing.
"Tampaknya orang yang kita tunggu tidak akan
muncul!" Akhirnya orang yang sebelah kanan angkat
suara karena sudah tidak sabar. Paras wajahnya pun
membayangkan rasa jengkel dan tidak senang. Dia
adalah seorang nenek berambut putih mengenakan
pakaian panjang warna hitam. Sepasang matanya sipit
tanpa ditingkah alis mata di atasnya. Di pundaknya
tampak menyelempang selendang warna hitam pan-
jang menjulai menyapu tanah. Nenek ini tidak lain
adalah Li Muk Cin atau yang lebih dikenal dengan ge-
laran Ratu Selendang Asmara.
"Kuharap kau bersabar! Ini urusan penting! Tak
mungkin dia tidak muncul!" orang sebelah kiri menya-
hut tanpa menoleh. Dia adalah orang laki-laki menge-
nakan pakaian warna hitam panjang sebatas lutut.
Rambutnya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut
wajahnya telah dipenuhi kerutan tanda dia telah berusia lanjut. Parasnya agak
bulat dengan mata sipit.
Kumis dan jenggotnya lebar serta hitam. Dan ternyata bukan hanya pakaian,
rambut, dan kumis serta jenggotnya yang hitam, sekujur tubuh kulit laki-laki ini
ju-ga berwarna hitam legam. Hingga yang kelihatan putih hanyalah larikan kecil
pada sepasang matanya! Laki-laki ini bukan lain adalah Bayangan Tanpa Wajah.
"Urusan penting itu sekarang tidak ada artinya lagi!
Dan rasanya percuma kita menunggunya! Ini hanya
akan mendatangkan masalah baru!" Ratu Selendang
Asmara kembali angkat suara.
"Kita memang gagal mendapatkan peta wasiat itu!
Tapi bagaimanapun juga aku harus mengatakannya!
Dengan begitu aku bisa lepas beban dan bebas bertin-
dak tanpa bayang-bayang kekhawatiran!"
"Kalau dia nanti meminta tebusan atas kegagalan-
mu ini"!" tanya Ratu Selendang Asmara.
Bayangan Tanpa Wajah tertawa dahulu sebelum
menjawab. "Aku tidak punya perjanjian apa-apa jika
gagal!" Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah ganti
Ratu Selendang Asmara yang tertawa dahulu sebelum
menyahut. "Kau sadar siapa orang yang akan kau hadapi"!"
Bayangan Tanpa Wajah menyeringai. "Dia memang
seorang raja penguasa negeri ini! Tapi aku tidak akan tinggal diam kalau dia
meminta sesuatu yang sebelumnya tidak ada sepakat!"
Suara Bayangan Tanpa Wajah belum habis, tiba-
tiba satu sosok tubuh berkelebat. Ratu Selendang As-
mara dan Bayangan Tanpa Wajah melihat seorang laki-
laki berusia lima puluh tahunan. Kumis dan jenggot-
nya panjang serta lebat dan telah berwarna putih.
Rambutnya yang juga telah putih dan panjang digerai-
kan di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir
agak tinggi. Kedua alisnya mata mencuat ke atas. Se-
mentara sepasang matanya tajam.
"Yang Mulia Baginda...." Bayangan Tanpa Wajah
bungkukkan sedikit tubuhnya. Sementara ekor mata-
nya melirik pada Ratu Selendang Asmara. Laki-laki
berwajah hitam ini tegang sesaat begitu melihat si nenek tetap diam dan tak
membuat gerakan apa-apa!
"Jahanam! Dia bisa bikin masalah!" ujar Bayangan
Tanpa Wajah melihat sikap acuh Ratu Selendang As-
mara. Dia segera berbisik. "Kuharap kau tidak memu-
lai suatu urusan dengan tanpa memberi hormat atas
kedatangannya! Kau tahu bukan siapa yang kini di
hadapan kita"!"
"Aku tahu siapa dia! Dia adalah Baginda Ku Nang!
Tapi aku tidak bisa memberi hormat pada pihak kera-
jaan! Aku orang rimba persilatan! Dan pihak kerajaan ada di luar jalur dunia
persilatan!" Ratu Selendang Asmara balas berbisik.
Kalau perturutkan kata hati, ingin rasanya Bayan-
gan Tanpa Wajah menggebuk muka si nenek. Namun
karena tahu keadaan, dia coba menahan diri dan ber-
kata.

Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ucapanmu benar! Namun kuharap saat ini kau sa-
dar, apa yang menjadi urusan masih ada hubungan-
nya dengan dunia persilatan! Kau lihat.... Dia tidak mengenakan pakaian
kebesaran seorang raja. Berarti
malam ini dia sebagai salah satu dari kaum dunia persilatan!"
"Aku tidak suka basa-basi.... Dan aku memang ti-
dak ingin dihormati!" Tiba-tiba orang yang baru mun-
cul dan ternyata adalah Yang Mulia Baginda Ku Nang
buka mulut. Dia memandang sesaat pada Ratu Selen-
dang Asmara dengan bibir sunggingkan senyum. Lalu
alihkan pandang matanya pada Bayangan Tanpa Wa-
jah. "Sahabat Bayangan Tanpa Wajah...," kata Baginda
Ku Nang. "Kita dahulu sepakat tanpa kehadiran orang
lain! Dan kuharap kesepakatan itu masih berlaku!"
Merasa ucapan Baginda Ku Nang ditujukan pada-
nya, Ratu Selendang Asmara tengadahkan kepala se-
dikit dan berkata.
"Aku tak bermaksud ikut campur! Kalaupun aku
berada di sini, itu karena dipaksa!"
Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan
Tanpa Wajah dengan mata mendelik angker. Tanpa
menunggu orang buka suara, nenek ini melangkah
menjauh. "Sahabat.... Kulihat wajahmu tidak ceria...." Bagin-
da Ku Nang berkata dengan mata memandang ke arah
Ratu Selendang Asmara yang terus melangkah.
"Maafkan, Yang Mulia.... Kami gagal mendapatkan
peta wasiat dan menangkap pemuda asing itu!"
Baginda Ku Nang tertawa. "Air mukamu telah mem-
beri jawaban sebelum kau berkata! Dan aku maklum
atas kegagalanmu meski aku sedikit merasa kecewa!"
"Pemuda asing itu bukan saja berilmu tinggi, na-
mun ada beberapa orang...."
"Bukan itu yang membuatku kecewa!" Baginda Ku
Nang memotong seraya gelengkan kepala. "Namun ke-
hadiranmu yang tidak seorang diri! Padahal kau tahu, urusan ini akan menjadi
bumerang bagi kerajaan jika
ada orang lain yang mencium!"
"Harap maafkan kami, Yang Mulia! Aku diharuskan
mencari seorang teman dalam menyelesaikan urusan
ini. Dan Yang Mulia tidak usah khawatir, Ratu Selen-
dang Asmara telah berjanji tidak akan membocorkan
keterlibatan pihak kerajaan dalam urusan satu ini...."
"Hem.... Mudah-mudahan ucapanmu benar!" ujar
Baginda Ku Nang meski dalam hati dia membatin. "Dia
telah menambah pekerjaan! Seharusnya hanya satu
orang yang kubunuh. Kini bertambah satu lagi! Tapi
untuk sementara ini mereka berdua akan kubiarkan
hidup dahulu! Tenaga mereka masih kubutuhkan. Se-
telah semuanya beres.... Kematian adalah imbalan
yang pantas bagi mereka berdua!"
"Sahabatku Bayangan Tanpa Wajah.... Aku berte-
rima kasih padamu atas jerih payahmu meski tidak
mendatangkan hasil. Namun kuharap kegagalan ini
bukan menjadi jalan putusnya hubungan kita...."
"Maksud Yang Mulia"!"
"Aku ingin kau bersama Ratu Selendang Asmara te-
rus melakukan pemburuan! Dan berhasil atau tidak,
esok malam, kalian kutunggu di Bukit Toyongga!"
"Yang Mulia...." Hanya itu yang sempat terucap dari
mulut Bayangan Tanpa Wajah. Karena saat yang sama
Baginda Ku Nang telah menukas.
"Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Walau kalian
nanti gagal, namun aku tetap akan memberi imbalan
atas apa yang telah kalian lakukan! Dan satu hal lagi, sebarkan berita kalau
akan ada pertemuan besar di
Bukit Toyongga pada besok malam! Sebarkan kabar
kalau pertemuan besar itu ada hubungannya dengan
peta wasiat!"
"Yang Mulia...."
Lagi-lagi belum sampai Bayangan Tanpa Wajah te-
ruskan ucapan, Baginda Ku Nang telah menyahut.
"Sahabatku.... Aku tahu. Peta wasiat itu kini berada di tangan dua orang....
Salah seorang pasti membutuhkan satunya! Dan kedua-duanya pasti tidak akan me-
nyia-nyiakan kesempatan ini! Selanjutnya pasti kau
sudah bisa menebak!"
Bayangan Tanpa Wajah menatap sejenak pada Ba-
ginda Ku Nang. Entah apa yang dipikirkan, yang jelas laki-laki berwajah hitam
ini sunggingkan senyum dengan kepala mengangguk.
Baginda Ku Nang dongakkan kepala memandang
bulan. "Sahabat Bayangan Tanpa Wajah.... Aku tak in-
gin menyita waktumu. Sebab waktumu hanya malam
ini sampai besok petang!"
Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang balikkan tu-
buh dan berkelebat tinggalkan tempat itu setelah melirik sesaat pada Ratu
Selendang Asmara yang tegak di
seberang sana. Sesaat setelah sosok Baginda Ku Nang tidak keli-
hatan, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat ke arah Ratu
Selendang Asmara.
"Aku tak mau turut campur lagi! Aku tahu siasat
apa yang akan dilakukannya!"
"Jangan bodoh! Ini kesempatan bagi kita! Aku juga
tahu apa yang terpikir dalam benaknya! Tapi kita juga orang yang tidak mudah
dikelabui, bukan"!"
"Apa maksudmu"!" tanya Ratu Selendang Asmara.
"Dia boleh punya siasat. Namun kita juga punya
rencana! Kita akan pura-pura mengikuti perintahnya
dengan menyebar berita. Dan begitu saat pertemuan
berlangsung, kita tunjukkan siapa kita!"
"Dia tidak mungkin datang sendiri!"
"Jangan kau lupa! Ini masalah rahasia kerajaan!
Kalaupun dia tidak datang sendiri, mungkin hanya be-
berapa orang yang dibawa! Dia tidak mungkin berani
ambil risiko dengan mengerahkan prajurit!"
Ratu Selendang Asmara tersenyum. "Hem.... Berarti
dia membuat lobang sendiri atas kuburnya!"
"Dan kita bisa menangguk keuntungan atas lobang
itu!" sahut Bayangan Tanpa Wajah seraya tertawa ber-
gelak panjang. "Tapi bagaimana mungkin kita bisa sebarkan berita
itu" Bukankah waktu kita hanya sedikit"!"
Masih dengan tertawa Bayangan Tanpa Wajah ber-
kata. "Kita buat undangan untuk beberapa tokoh yang
masih ada kaitannya dengan urusan ini! Setelah itu ki-ta tinggal menunggu seraya
membuat rencana!"
Habis berkata begitu, masih tertawa ngakak, Baya-
ngan Tanpa Wajah berkelebat yang kemudian diikuti
Ratu Selendang Asmara yang juga ikut-ikutan tertawa
panjang. *** ENAM PENDEKAR 131 duduk menggelosoh di bawah seba-
tang pohon dengan tampang lusuh. Beberapa kali ta-
ngan kiri kanannya bergerak pulang balik menggaruk
rambutnya yang acak-acakan. Dan sesekali tangan
kanannya dibuka ditadangkan di atas kening mengha-
dang silaunya matahari yang baru saja muncul dari
lintasan kaki langit di sebelah timur.
"Tampaknya tidak saja nasibku yang jelek hingga
terdampar di negeri orang.... Malah pesanan orang
yang sudah ada di tangan lenyap pula disambar orang!
Belum lagi di sini harus bertemu dengan beberapa o-
rang aneh dan tindakannya sukar diduga! Tahu begini
akibatnya.... Aku pilih tinggal di kampung halaman
sendiri. Di sana aku masih bisa melihat Putri Kayan-
gan, Dewi Seribu Bunga, Saraswati, Puspa...."
"Kasmaran memang aneh.... Meski telah menyebe-
rang laut, namun tak juga hilang dari kelopak mata!"
Satu suara mendadak terdengar membuat Joko pu-
tuskan gumaman.
Meski terkejut, namun murid Pendeta Sinting tidak
segera palingkan kepala. Diam-diam dia membatin.
"Siapa pun dia adanya, aku tak akan melayani! Keda-
tangannya mungkin hanya akan mempersulit urusan!
Anehnya.... Mengapa dia seolah tahu kalau aku tengah melamunkan...."
Belum lagi Joko sempat lanjutkan kata hatinya,
terdengar lagi suara.
"Harinya telah tiba. Kalau manusia masih juga teng-
gelam pada ketidakpastian, bukan hanya sia-sia perjalanan jauh, tapi malapetaka
akan datang!"
Ucapan orang membuat Pendekar 131 palingkan
kepala. Dia melihat seorang laki-laki berusia lanjut.
Paras wajahnya lonjong. Rambutnya putih dan pan-
jang serta jabrik. Sepasang matanya jereng besar. Pada mulutnya yang mungil
terdapat satu pipa cangklong
yang terus menerus kepulkan asap. Dia mengenakan
celana pendek warna putih kusam, pakaian atasnya
berupa rompi tanpa lengan. Di pundaknya menyelem-
pang sebuah ikat pinggang besar yang dihias beberapa pipa. Anehnya, setiap mulut
orang ini kepulkan asap
dari pipa di mulutnya, semua pipa yang menggantung
pada ikat pinggang di pundaknya ikut semburkan a-
sap! Hingga begitu asap mengepul, wajah orang ini
hanya terlihat samar-samar.
"Lagi-lagi orang aneh! Pasti membawa masalah ba-
ru! Tapi dia tahu kalau aku telah menyeberangi laut!
Dia juga sebut-sebut harinya telah tiba! Hari ini memang hari ganda sepuluh....
Apakah ini masih ada hu-
bungannya dengan peta wasiat itu"! Tapi apa yang bisa dia lakukan untukku"!"
Orang tua di depan sana kembali isap pipanya. Saat
lain sosoknya terlihat samar-samar karena tertutup
asap yang menyembur dari semua pipa yang ada pada
ikat pinggang di pundaknya. Joko menunggu orang be-
rucap lagi. Namun hingga agak lama, orang tua itu tidak perdengarkan suara.
Bahkan dia mulai bergerak
melangkah hendak tinggalkan tempat itu.
Beberapa saat Pendekar 131 tampak bimbang.
"Ah.... Tak ada salahnya kalau aku bertanya!" Akhir-
nya Joko memutuskan seraya beranjak bangkit dan
angkat suara. "Orang tua! Pasti kau seorang peramal!"
Orang tua di depan sana hentikan langkah. Dia je-
rengkan matanya yang besar menatap angker pada
murid Pendeta Sinting. Joko merinding dengan sen-
yum dipaksakan.
Mendadak orang tua di hadapan Joko tertawa ber-
gelak panjang. Murid Pendeta Sinting pupuskan sen-
yum dengan dahi berkerut. "Aneh.... Apakah ucapanku
ada yang lucu"!" Joko pentangkan mata beberapa saat.
Kerutan di keningnya makin membersit tatkala men-
dapati pipa di mulut orang tidak bergeming sama seka-li meski orangnya tertawa
ngakak! "Dari sikapnya, jelas dia bukan orang sembarang-
an!" Baru saja Joko membatin begitu, tiba-tiba orang tua
itu putuskan gelakan tawanya. Sepasang matanya
kembali menusuk tak berkesip pada Joko. Namun se-
jauh ini dia belum perdengarkan suara meski Joko
mencoba diam untuk memberi kesempatan.
"Orang tua! Benarkah kau seorang peramal"!" Kare-
na tak sabar akhirnya Joko kembali ajukan tanya.
"Hem.... Peramal"! Bagaimana kau bisa menduga
begitu, hah"!" Orang tua di hadapan Joko perdengar-
kan bentakan. "Ucapanmu tadi, Kek!" sahut Joko. "Kau seolah da-
pat membaca pikiran orang.... Kau juga seakan tahu
apa yang tengah dilakukan orang!"
"Hem.... Begitu"! Perlu kau tahu satu hal, Anak Mu-
da! Ucapanku tadi tidak ada sangkut pautnya dengan
dirimu! Apa yang kuucapkan adalah apa yang tengah
kualami!" "Hem.... Kalau ucapannya benar, apakah mungkin"!
Dia tadi sebut-sebut tentang kasmaran! Apakah mung-
kin orang seusia dia masih juga kasmaran"! Dan kalau juga benar, berarti dia
bukan asli orang negeri ini! Karena dia tadi juga sebut-sebut tentang
menyeberang laut!" Joko membatin. Lalu seraya menahan tawa dia
berkata. "Kek! Kau tengah kasmaran"!"
"Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu"!"
"Sialan! Mengapa dia balik bertanya"!" kata Joko
dalam hati. Dia memperhatikan orang sesaat sebelum
akhirnya berkata.
"Kek! Bukankah kau mengatakan apa yang kau
ucapkan adalah apa yang tengah kau alami! Sementa-
ra kau tadi sebut-sebut soal kasmaran! Berarti kau sekarang tengah jatuh cinta!"
"Hem.... Begitu"! Perlu kau tahu satu hal, Anak
Muda! Perihal cinta tidak boleh diutarakan pada orang lain! Itu porno! Kau tahu
porno, bukan"!"
"Hem.... Baiklah! Kalau membicarakan cinta kau
anggap porno, aku akan membicarakan hal satunya
lagi! Kau bukan asli orang negeri ini, bukan"!"
"Hem.... Bagaimana kau bisa menduga begitu"!"
Meski mulai agak jengkel dengan ucapan orang, na-
mun akhirnya Joko berkata juga. "Kek! Bukankah kau
tadi sebut-sebut tentang menyeberang laut"!"
"Hem.... Begitu"! Perlu kau tahu satu hal, Anak
Muda! Tabu membicarakan asal usul orang! Apalagi
pada orang yang belum dikenal!"
"Aku Joko Sableng!"
"Hem.... Begitu"!"
"Kau sendiri siapa, Kek?"
"Jangan tanya soal nama, Anak Muda! Itu tidak
pantas! Kau tahu, nama kadang-kadang bisa membuat
orang lupa diri!"
"Kalau begitu, bagaimana aku harus memanggil-
mu"!"
"Aku tidak menyuruhmu untuk memanggilku!"


Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tepat dugaanku!" gumam Joko dengan geleng ke-
pala. "Percuma melayani orang seperti dia!" Joko balikkan tubuh. "Tapi mengapa
dia tadi sebut-sebut hari-
nya telah tiba! Pasti ini masih ada hubungannya de-
ngan peta wasiat itu!" Joko kembali putar diri meng-
hadap orang. "Kek! Kau tadi sebut-sebut harinya telah tiba! Mau
kau memberi penjelasan padaku"!"
"Hem.... Mengapa kau menduga ucapan itu perlu
penjelasan"!"
"Busyet benar! Aku bisa terjebak sendiri bila terus
bicara dengan orang ini! Lebih baik aku pergi saja daripada menambah pusing
kepala!" Meski Joko telah berpikir begitu, entah karena apa
dia tidak segera bergerak tinggalkan tempat itu. Malah dia pandangi orang tua di
hadapannya dengan lebih
seksama. "Anak muda.... Aku tidak bisa memberi penjelasan
apa-apa! Karena sebenarnya aku pun tak mengerti
dengan ucapanku tadi!"
"Hem.... Begitu"!" Joko ikut-ikutan apa yang tadi
dikatakan orang.
Orang tua di hadapan murid Pendeta Sinting ang-
gukkan kepala. "Aku tadi berkata karena membaca
ini!" Tangan kanan si orang tua bergerak ke salah satu pipa di ikat pinggang
yang ada di pundaknya. Pipa itu dicabut lalu diletakkan di sebelah pipa yang ada
di mulutnya. Saat lain dia meniup.
Wuuttt! Dari lobang pipa melesat keluar gulungan kecil ber-
warna hijau kecoklatan. Joko sempat tersentak kaget.
Karena gulungan itu meluncur deras ke arahnya den-
gan perdengarkan deruan keras.
Mungkin karena khawatir, Joko tidak berusaha me-
nangkap. Dia gerakkan kaki ke kanan menghindar
hingga gulungan itu jatuh di sebelahnya. Sementara
kepalanya bergerak mengikuti arah jatuhnya gulun-
gan. Saat gulungan berada di atas tanah, gulungan itu
membuka. Ternyata gulungan itu adalah sehelai daun.
Joko picingkan mata. Karena saat gulungan terbu-
ka, terlihat tulisan:
Malam ganda sepuluh. Bukit Toyongga. Peta wasiat akan disatukan.
Joko ulangi membaca tulisan beberapa kali. Dadanya berdebar. Kejap lain dia
arahkan pandang mata-
nya pada si orang tua. Namun sebelum dia buka mu-
lut, si orang tua telah mendahului.
"Joko! Jangan ajukan tanya. Percuma saja, karena
aku juga tidak mengerti apa tujuannya! Yang ku tahu, hari ganda sepuluh adalah
malam nanti! Itulah sebabnya mengapa aku tadi bicara harinya telah tiba!"
"Kek! Dari mana kau mendapatkan ini"!"
"Aku tidak pernah bertanya nama seseorang! Kare-
na menurutku itu tidak pantas! Apalagi aku bukanlah
orang daerah sini!"
"Apakah tulisan ini bisa dipercaya"!" tanya Joko da-
lam hati. Sekali lagi Joko pandangi tulisan yang tertera di daun. Lalu memandang
pada si kakek. "Ini bukan buatanmu, bukan"!"
"Hem.... Mengapa kau bisa menduga begitu"!"
"Aku bertanya, Kek!"
Si kakek tertawa panjang. Tapi dua pipa di mulut-
nya tidak juga bergeming. "Anak Muda.... Kau telah de-
ngar bahwa aku tidak mengerti! Itulah sebabnya kuka-
takan aku tidak bisa memberi penjelasan apa-apa! Jadi kau salah duga kalau
mengira aku yang membuatnya!"
"Kek! Kau pernah dengar tentang peta wasiat"!"
"Kau boleh percaya boleh tidak! Kata-kata itu pun
baru saat ini aku membaca dan mendengarnya! Aku
tidak tahu apa itu peta wasiat! Yang ku tahu tongkat wasiat!"
"Tongkat wasiat"!" Joko bergumam mengulangi
ucapan si kakek.
"Benar! Tongkat wasiat! Kalau itu aku tahu betul
dan mengenalnya sampai ke ujung-ujungnya!"
"Apakah itu sebuah tongkat sakti"!"
"Lebih seribu kali sakti! Karena dengan perantara
tongkat itu muncul yang namanya anak manusia! Dan
tanpa adanya tongkat itu, laki-laki tidak akan ada artinya!"
"Kek! Kalau tongkat itu aku juga punya!"
"Hem.... Begitu"! Syukurlah.... Mudah-mudahan
kau bisa mempergunakannya dengan baik!"
"Kau tidak tahu peta wasiat! Sekarang, kau tahu di
mana Bukit Toyongga"!"
Yang ditanya gelengkan kepala. Joko menghela na-
pas. Lalu berkata lagi.
"Kek! Terima kasih atas pemberitahuanmu ini!" Jo-
ko anggukkan kepala dengan mata melirik. Saat lain
dia putar diri hendak tinggalkan tempat itu.
"Tunggu! Kau hendak ke mana"!"
Joko terdiam beberapa lama. Si kakek membuat ge-
rakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak di
samping murid Pendeta Sinting.
"Anak muda! Seperti halnya dirimu, aku adalah o-
rang asing! Tidak keberatan bukan kalau kau kute-
mani"!"
"Kek! Aku...."
"Aku tidak peduli ke mana kau pergi! Aku juga tidak
akan tanya ke mana kau akan pergi dan apa tujuan-
mu! Yang pasti aku ikut!"
"Orang seperti ini bisa menghadang rencana kalau
kemauannya tidak dituruti! Lagi pula siapa tahu dia
nanti bisa membantu!"
Berpikir begitu, akhirnya Joko anggukkan kepala
seraya berkata.
"Baiklah, Kek! Kita jalan bersama...." Joko melang-
kah dahulu. Si kakek tertawa, lalu melangkah di belakang Pendekar.
*** TUJUH ENTAH karena ingin tahu tanpa harus bertanya, be-
gitu melangkah kira-kira sepuluh tombak, tanpa me-
noleh dan buka mulut pada si kakek yang melangkah
di belakangnya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuh-
nya. Kejap lain dia berkelebat.
Mula-mula Joko agak memperlambat kelebatannya
dengan kepala sesekali melirik ke arah si kakek. Yang dilirik tampak enak-enakan
melangkah dengan isap
dua pipa di mulutnya. Dan karena Joko mulai berlari
sementara si orang tua tetap melangkah, jarak kedua
orang ini mulai jauh.
"Hem.... Apa sebaiknya kutinggal saja" Tidak mung-
kin aku mencari dengan gerak lambat begini rupa!"
Joko berhenti dengan kepala lurus memandang ke de-
pan. "Mengapa berhenti, Anak Muda"! Ada sesuatu yang
menarik perhatianmu"!"
Pendekar 131 tersentak dan berpaling. "Aneh.... Dia
baru saja ada di belakang sana! Sekarang tahu-tahu
sudah ada di sini!"
Tak mau orang melihat gelagat rasa terkejutnya,
Joko segera menyahut.
"Kek! Kau benar-benar hendak ikut aku"!"
"Hem.... Mengapa kau masih sangsikan diriku"! Kau
merasa keberatan"!"
"Terus terang saja, Kek! Apa yang akan kudatangi
mengandung banyak bahaya! Apakah kau nanti tidak
akan merasa menyesal" Bukankah saat ini kau lagi
kasmaran?"
Si kakek tertawa bergelak. "Joko.... Bahaya itu tidak ada! Itu hanya perasaan
manusia! Dan bahaya itu juga ciptaan manusia! Kalau manusia mau berjalan di
hukum alam, tidak akan ada bahaya di atas bumi ini!"
"Ah.... Repot kalau sudah begini!" batin Joko. "Tapi satu hal yang aku masih
sangsi, bagaimana dia bisa
menyusul begitu cepat"! Aku akan mencobanya sekali
lagi!" Membatin begitu, Joko anggukkan kepala lalu ber-
kata. "Kek! Aku sudah memberi ingat padamu! Kalau
nanti terjadi apa-apa, harap tidak menyalahkan aku
atau...." "Anak muda.... Aku yakin bahaya itu tidak ada! Jadi
kau tak usah cemas!" Si kakek telah memotong ucapan
Joko. Pendekar 131 melirik sesaat. Kejap lain dia kembali
berkelebat tanpa terlebih dahulu buka mulut. Kali ini dia sengaja langsung
berlari kencang laksana orang
kesetanan. Bahkan dia tidak berusaha untuk berpaling melihat ke arah si kakek
yang ada di belakangnya.
Begitu memasuki kawasan sepi dan banyak ditum-
buhi pohon, Joko coba palingkan kepalanya sedikit ke belakang tanpa mengurangi
kecepatan larinya. Murid
Pendeta Sinting sempat kernyitkan dahi tatkala dia tidak lagi melihat sosok si
kakek. "Ke mana dia"!" Joko memperlambat larinya dengan
kepala terus berpaling ke belakang. Dan ternyata si
kakek memang tidak kelihatan lagi batang hidungnya
hingga akhirnya Joko berhenti dengan mulut megap-
megap. Dia balikkan tubuh. Dia tegak memandang ke
depan menunggu. Namun hingga agak lama, yang di-
tunggu tidak juga muncul!
"Jangan-jangan dia berbalik jalan! Ah.... Mengapa
aku jadi memusingkannya"! Bukankah aku harus se-
gera menemukan di mana Bukit Toyongga"! Walau aku
belum yakin benar dengan apa yang tertera di gulun-
gan daun itu, tapi tidak ada salahnya aku mencoba!
Tapi sebaiknya kutunggu barang sesaat, siapa tahu dia akan menyusul.
Bagaimanapun juga dia telah memberi
keterangan berharga padaku...," Joko terus tegak de-
ngan mata jelalatan memandang ke arah mana dia tadi
datang. Namun setelah agak lama menunggu dan tidak ada
tanda-tanda kemunculan si kakek, Joko memutuskan
untuk teruskan berjalan. Seraya angkat tangan kanan
menyisir rambutnya yang basah, murid Pendeta Sin-
ting balikkan tubuh.
Namun mendadak gerakan tangan di rambut Joko
terhenti. Sepasang matanya mendelik menatap ke de-
pan. Sejarak sepuluh langkah di depan sana dia me-
lihat satu sosok tubuh duduk bersandar pada satu ba-
tang pohon. Joko memang tidak bisa jelas melihat raut wajah dan sosok tubuh
orang karena sekujur sosok itu disemburati asap!
"Busyet! Bagaimana dia bisa berada di depanku"!
Padahal aku tidak merasa dilewati! Berarti bukan aku yang menunggu, tapi dia
yang menunggu!"
"Anak muda.... Kulihat kau selalu cemas. Kepalamu
sering menoleh ke belakang! Bahkan kau sering ber-
henti! Apa kau takut bahaya itu"!" Orang yang duduk
bersandar di batangan pohon dan sekujur tubuhnya
disemburati asap dan bukan lain adalah kakek yang
terus isap pipa, perdengarkan suara seraya bergerak
bangkit. "Sekarang aku yakin! Dan ini menambah keyaki-
nanku jika tulisan yang tertera di gulungan daun bu-
kan main-main!" gumam Joko talu melangkah hendak
mendekati si kakek.
"Anak muda.... Aku memang tidak akan bertanya ke
mana kau akan pergi! Tapi aku menduga kau tengah
kebingungan mencari tempat yang hendak kau tuju!
Sayang sekali aku bukan orang sini, jadi tidak bisa
memberi tahu meski kau bertanya! Tapi.... Mungkin
kau bisa bertanya pada orang itu!" Kepala si kakek
berpaling ke kanan.
Joko ikut arahkan pandang matanya ke arah mana
si kakek berpaling. Namun Joko tidak melihat siapa-
siapa. "Kek! Yang kau maksud bertanya pada siapa"!" Ka-
rena menduga dari tempatnya Joko tidak bisa melihat
keberadaan orang, Joko cepat melompat dan tegak di
samping si kakek.
Si kakek segera berpaling dengan tersenyum. Na-
mun Joko tidak balas senyuman orang. Sebaliknya dia
segera arahkan pandangannya ke mana tadi si kakek
melihat. "Aku tidak melihat orang! Siapa yang dimaksud
orang ini"!"
Joko sudah akan bertanya. Namun sebelum suara-
nya terdengar, si kakek angkat tumitnya. Tangan ka-
nan diangkat ditadangkan di depan kening. Lalu ke-
palanya bergerak pulang balik ke kanan ke kiri seakan mencari orang yang
sembunyi. Karena tak mau banyak tanya dan penasaran, Joko
ikut-ikutan angkat tumit. Lalu tangan kanan ditadangkan pula di depan kening
dengan kepala digerakkan ke samping kiri kanan. Matanya nyalang tembusi jajaran
batang pepohonan.
Namun hingga tumitnya kelu dan matanya mende-
lik panas, Joko tidak juga melihat siapa-siapa. Merasa dipermainkan orang, Joko
segera berpaling. Si kakek
tampak tenang-tenang saja sambil bersandar ke ba-
tangan pohon. Malah kedua tangannya dilingkarkan ke
belakang merangkul batangan pohon!
"Kek! Harap kau tidak main-main!"
"Hem.... Begitu"!"
"Dari ucapanmu tadi, jelas kau sepertinya melihat
orang! Tapi mana"! Mana orangnya"!" Suara Joko ter-
dengar agak keras karena mulai jengkel.
Si kakek tidak menyahut. Dia hanya tertawa perla-
han membuat Joko tambah dongkol.
"Kek! Aku mau mengajakmu bukan untuk bersenda
gurau!" "Hem.... Begitu"!"
"Ya! Begitu!" sahut Joko saking jengkelnya.
"Perlu kau tahu satu hal, Anak Muda! Aku memang


Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suka bercanda. Tapi aku tahu kapan dan di mana ser-
ta bagaimana suasananya!"
"Jadi, kau berlagak seperti melihat orang hingga
aku jadi penasaran, padahal orangnya tidak ada, itu
kau anggap bukan main-main"!"
"Aku memang melihat orang...!"
"Mana manusianya"!" sahut murid Pendeta Sinting.
Baru saja Joko ajukan tanya begitu, dari arah de-
pan sana, terlihat satu sosok bayangan berkelebat cepat di antara jajaran pohon.
Joko tergagu diam beberapa lama dengan mata pu-
lang balik memandang ke depan dan ke arah si kakek
di sampingnya. "Anak muda! Ternyata kau yang suka bercanda, bu-
kan"! Kau melihat orang, tapi kau berkata tidak me-
lihat siapa-siapa!"
"Dia bisa melihat kemunculan orang meski orang-
nya belum kelihatan!" kata Joko dalam hati. "Siapa
orang tua ini sebenarnya"! Sayang dia pelit untuk
memberitahukan siapa dirinya!"
Sosok di depan sana, mendadak hentikan larinya
tatkala sadar tidak jauh di hadapannya ada orang lain.
Sosok ini terlihat hendak berkelebat menyelinap. Na-
mun karena kesadarannya terlambat, meski dia masih
berusaha melompat ke balik batangan pohon, dia tidak bisa lepas dari pandang
mata orang. Hanya saja, Joko masih belum bisa melihat bagaimana wajah orang.
Yang dia tahu pasti, sosok itu adalah seorang perem-
puan. "Anak muda! Seandainya aku sendirian, aku tidak
akan menunggu lama-lama.... Tapi karena ada kau,
aku maklum dan tahu diri! Bertaruh apa pun, pasti dia akan memilihmu...."
Joko berpaling. Raut wajahnya tampak bimbang.
"Aku harus tetap berhati-hati. Apalagi menghadapi perempuan...."
"Anak muda.... Kau tunggu apa lagi" Bukankah kau
perlu orang tempat bertanya" Atau kau tadi hanya
bersenda gurau"!"
Tanpa buka mulut menyahut, Joko segera berkele-
bat ke depan dan tegak sepuluh langkah dari batangan
pohon di mana orang menyelinap sembunyi. Joko me-
mandang sesaat. Karena batangan pohon di mana
orang sembunyikan diri agak kecil, Joko bisa melihat sebagian pakaian orang.
"Pakaiannya warna kuning. Hem.... Berarti dia bu-
kan pemuda berkebaya atau Bidadari Bulan Emas!"
Joko menghela napas lega. Lalu berteriak.
"Harap tidak sembunyikan diri! Kami bukan orang
jahat atau orang yang suka bersenda gurau memper-
mainkan orang! Kami hanya perlu tahu bagaimana
bentuk wajahmu!"
"Ah.... Dasar anak muda! Mengapa berteriak begitu
rupa"!" Si kakek yang bersandar di batangan pohon
bergumam seraya isap dua pipa di mulutnya.
Joko menunggu sejenak. Namun orang di balik ba-
tangan pohon tidak juga bergeming dari tempatnya
atau perdengarkan suara.
"Orang berbaju kuning! Aku tahu kau berada di ba-
lik pohon. Mengapa takut sembunyi"! Aku cuma ingin
bertanya...."
Sesaat hening. Joko masih bersabar menunggu. Na-
mun karena tidak juga ada gerakan atau terdengarnya
suara jawaban, Joko buka mulut lagi.
Namun sebelum suaranya sempat keluar, terden-
garlah suara perempuan menyahut.
"Aku tidak mau bicara denganmu!"
Joko kerutkan dahi. "Dari suaranya, aku bisa me-
nebak dia seorang nenek-nenek! Hem.... Sayang sekali!
Tapi tak apalah.... Aku kali ini hanya perlu bertanya di mana beradanya Bukit
Toyongga! Anehnya.... Mengapa
suaranya terdengar tidak dari tempatnya dia bersem-
bunyi"! Suara itu seperti bersumber dari langit! Hem....
Ini satu tanda kalau dia memiliki ilmu! Mungkin dia
sengaja unjuk diri agar tidak mudah dipandang sepele
orang.... Tapi mengapa dia tidak mau bicara dengan-
ku"! Ah.... Dasar perempuan.... Sudah tua pun masih
suka malu-malu kucing!"
Habis membatin begitu, Joko kembali angkat suara.
"Orang di balik pohon! Jangan menaruh prasangka
dahulu! Aku cuma ingin bertanya.... Setelah itu, seu-mur hidup tidak bicara
denganku pun tak apa-apa!"
"Kau dengar ucapanku! Aku tak sudi bicara de-
nganmu apalagi menjawab semua pertanyaanmu! Aku
hanya mau bicara dengan kakek tampan pengisap pipa
temanmu itu!" Terdengar suara jawaban.
Joko tercengang. Dia berpaling pada si kakek yang
bersandar di batangan pohon. Si kakek tersenyum de-
ngan tangan kanan digerakkan pulang balik melambai-
lambai. "Orang di balik pohon! Yang punya urusan ini aku!
Bukan kakek temanku itu!" Joko buka mulut lagi. Na-
mun diam-diam dia melirik ke arah si kakek di bata-
ngan pohon. Sesaat tidak ada jawaban. Namun begitu Joko arah-
kan pandang matanya pada batangan pohon tempat
orang sembunyi, terdengar suara sahutan.
"Ini memang urusanmu. Tapi aku sudah katakan
tidak mau bicara denganmu! Aku memilih kakek tam-
pan itu! Dia punya tongkat sakti! Padahal kau tidak!"
Untuk kesekian kalinya dahi murid Pendeta Sinting
berkerut. Apalagi dari balik batangan pohon tempat orang bersembunyi terdengar
orang bergumam dan
mendengus tak senang.
Joko manggut-manggut. Saat lain dia berucap.
"Orang di balik pohon! Kau keliru jika menduga aku
tidak punya tongkat sakti! Aku punya yang lebih sakti dari milik kakek temanku
itu!" "Ah.... Yang benar"! Mau memperlihatkan padaku"!
Aku akan keluar!"
Suara sahutan orang belum selesai, Joko sudah
sentakkan kepalanya ke arah si kakek yang bersandar
di batangan pohon. Matanya mendelik angker dengan
mulut terkancing saat melihat mulut si kakek tampak
bergerak-gerak perdengarkan suara!
"Jangkrik! Dia menipuku! Sahutan itu suara dia!
Bukan suara orang di balik pohon!"
"Kek! Mengapa kau masih juga mempermainkan
aku, hah"!"
Yang dibentak tidak menyahut. Sebaliknya tertawa
bergelak-gelak! Saat itulah terdengar suara.
"Kalian manusia-manusia lancang yang tak punya
aturan! Mulut orang macam kalian perlu diberi gebu-
kan!" Meski suara yang baru terdengar nadanya memben-
tak, namun suara itu merdu, hingga Joko cepat sen-
takkan kepala berpaling lagi ke arah pohon di mana
orang bersembunyi.
Murid Pendeta Sinting beliakkan mata ketika di de-
pan pohon di mana orang bersembunyi telah tegak sa-
tu sosok tubuh. Dia adalah seorang gadis cantik jelita berambut hitam lebat
digeraikan hingga punggung.
Sepasang matanya bulat. Kulitnya putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian
warna kuning tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda
hingga busungan dadanya yang mencuat tampak se-
kali menggoda. Pinggulnya besar ditingkah pakaian
bawah yang sengaja diberi belahan pada kedua sisi-
nya. Hingga tatkala gadis ini tegak dengan sedikit renggangkan kaki, Joko bisa
melihat jelas pahanya yang
padat dan mulus. Pada pinggangnya yang ramping me-
lilit sebuah ikat pinggang dari kain yang juga berwarna kuning. Dan tepat di
bagian sisi bagian kiri pinggang-
nya tampak satu pedang pendek bergagang batu ber-
warna kuning pula.
Saat Joko berpaling, baik Joko maupun si gadis
berpakaian kuning tampak sama terkejut. Joko cepat
tersenyum. Si gadis segera pula hendak sunggingkan
senyum. Namun mungkin karena teringat akan uca-
pan-ucapan orang, si gadis urungkan senyum dan ba-
lik unjukkan tampang ketus seraya alihkan panda-
ngan! *** DELAPAN JOKO angkat tangan kanannya menunjuk pada ga-
dis di hadapannya.
"Sun.... Sun.... Sun...."
Gadis cantik berbaju kuning menggoda berpaling
lagi memandang tak berkesip pada murid Pendeta Sin-
ting. "Walah.... Aku lupa siapa namanya! Yang kuingat ada Sun... Sun...!"
Sementara mendengar ucapan Joko, kakek yang
bersandar di batangan pohon perdengarkan ledakan
tawa keras. Lalu berujar begitu tawanya putus.
"Anak muda.... Jangan kira aku tak tahu apa arti-
nya Sun.... Sun sama dengan cium, bukan"!"
Mendengar kata-kata si kakek, gadis berbaju ku-
ning makin pentangkan mata. Namun bukan saja me-
mandang pada Joko, tapi juga mendelik pada si kakek!
"Kalian memang pantas digebuk!" teriak si gadis.
Tangan kanannya diangkat.
"Tunggu!" tahan Joko dengan takupkan kedua tan-
gan di depan dada dan bungkukkan sedikit tubuhnya.
"Maaf kalau ucapanku ada yang menyinggung! Tapi
harap kau tidak percaya pada ucapan kakek temanku
itu. Sun artinya bukan cium, tapi pantat! Dan maafkan juga jika ucapanku salah!
Terus terang, karena kita
cuma sekali bertemu, aku lupa siapa nama lengkap-
mu! Yang kuingat hanya Sun tadi...."
Si gadis berbaju kuning tipis masih belum buka
mu-lut. Tangan kanannya tetap berada di atas udara
siap lepaskan pukulan. Joko anggukkan kepala de-
ngan tersenyum dan berkata lagi.
"Kalau mau, aku ingin dengar lagi siapa nama leng-
kapmu agar aku tidak salah ucap jika kelak berjumpa
lagi!" "Aku Dewi Bunga Asmara!" Si gadis mulai angkat
bicara dengan nada ketus.
"Kalau gelarmu itu aku masih ingat! Yang aku lupa,
namamu yang mengenakan Sun.... Sun.... Sun...."
"Ah.... Aku pernah dengar...." Si kakek menyahut.
"Kalau tak salah masih berkisar antara Sun Jauh dan
Sun Dekat!"
"Siapa temanmu itu"!" Si gadis yang menyebut diri-
nya dengan gelar Dewi Bunga Asmara dan tidak lain
memang murid tunggal Li Muk Cin alias Ratu Selen-
dang Asmara ini ajukan tanya dengan mata menyorot
tajam pada si kakek.
Karena tak mau dianggap mempermainkan orang,
meski belum tahu siapa nama si kakek, Joko segera
menjawab. "Dia bernama Ci Kam Pek! Namun tak jarang orang
memanggilnya Ci Ka Long! Dan tentu kau masih ingat
namaku, bukan"!"
Yang ditanya diam sejenak. "Kau Han Ko, bukan"!"
"Syukur kau masih mengingatnya, hingga aku tak
usah ulangi lagi! Tapi aku sungguh-sungguh lupa akan nama lengkapmu"
"Bang Sun Giok!" kata si gadis.
"Bang Sun Sun!" Si kakek di belakang sana menye-
la. "Jangan percaya dia bernama Han Ko!"
"Jangan hiraukan ucapan temanku itu! Dia me-
mang suka bercanda!" kata Joko setengah berbisik pe-
lan. Namun dari tadi sepasang matanya terus menatap
pada belahan dada dan paha Bang Sun Giok alias De-
wi Bunga Asmara.
"Dewi.... Aku senang bisa bertemu kau lagi! Dan ku
harap kau melupakan peristiwa yang pernah terjadi
antara kita...." Saat itulah Joko sadar. Dia cepat edarkan pandang matanya
berkeliling. "Celaka kalau dia
muncul bersama gurunya...." Diam-diam Joko memba-
tin. Seperti diketahui, Joko pernah bertemu dengan
Dewi Bunga Asmara beserta gurunya si Ratu Selen-
dang Asmara. Mereka sempat terlibat bentrok karena
Ratu Selendang Asmara meminta peta wasiat yang ada
di tangan murid Pendeta Sinting. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Kuil Atap Langit").
"Ah.... Tampaknya kalian pernah terlibat satu peris-
tiwa! Pasti peristiwa itu masih ada kaitannya dengan sun jauh dan sun dekat...."
Si kakek perdengarkan suara.
"Hem.... Kakek itu benar-benar bisa membuat sua-
sana jadi panas lagi!" kata Joko dalam hati. Namun dia tidak bisa berbuat apa-
apa. Apalagi dia kini tahu jika si kakek bukan orang sembarangan. Hingga untuk
me-redakan gemuruh dada Dewi Bunga Asmara, Joko se-
gera angkat suara.
"Dewi.... Sekali lagi harap kau tidak termakan uca-
pan kakek itu! Dia itu begini!" Joko angkat tangan kanannya, lalu jarinya
disilangkan di depan keningnya.
"Kalau temanmu sinting, bagaimana dengan kau
sendiri"!" Dewi Bunga Asmara ajukan tanya.
"Apa tampangku pantas dikatakan orang sinting"!"
Joko balik bertanya.
"Biasanya, orang itu dilihat dari siapa temannya!"
"Tapi aku orang luar biasa! Banyak temanku yang
sinting, namun sejauh ini aku masih bisa bertahan untuk tidak ikut sinting!"
Dewi Bunga Asmara amati Joko silih berganti de-
ngan si kakek yang masih tegak bersandar di batangan pohon. "Pemuda asing ini
ternyata mempesona.... Hem.
Dia tadi berkata hendak bertanya. Apa yang akan ditanyakan"! Saat ini orang
tengah sibuk menuju Bukit
Toyongga akibat selebaran.... Tapi dia dan temannya
enak-enakan berada di sini! Apakah ini satu bukti jika peta wasiat itu benar-
benar tidak ada di tangannya"!"
"Dewi.... Sebagai orang daerah sini, tentu kau tahu
di mana letak Bukit Toyongga...."
Air muka Dewi Bunga Asmara berubah sedikit te-
gang. Dia alihkan pandang matanya ke jurusan lain.
Tampaknya Joko bisa membaca perubahan wajah o-


Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang, hingga sebelum Dewi Bunga Asmara buka mulut,
Joko sudah angkat suara lagi.
"Dewi.... Perlu kukatakan sekali lagi padamu. Peta
wasiat itu tidak ada padaku!"
"Lalu mengapa kau ingin ke Bukit Toyongga"!"
"Seorang teman mengatakan...."
"Bukan seorang teman! Tapi sebuah undangan yang
tertera di gulungan sehelai daun!" Dewi Bunga Asmara sudah menyahut sebelum
ucapan Joko selesai.
"Bagaimana dia bisa tahu"! Jangan-jangan ini ulah
kakek itu pula! Dia sengaja membuat sandiwara untuk
mempertemukanku dengan gadis ini! Bukankah dia
tadi sudah tahu akan kemunculan orang meski orang-
nya belum kelihatan"!" Tanpa sadar, Joko berpaling
pada si kakek. "Kau tak usah berprasangka buruk pada orang! Se-
karang semua orang tahu jika nanti malam ada se-
buah pertemuan di Bukit Toyongga!" gadis ini berujar seakan tahu apa yang ada di
benak murid Pendeta
Sinting. Joko pandangi sekali lagi gadis cantik di hadapan-
nya. "Dewi.... Kuharap kau juga tidak berprasangka
padaku.... Kalaupun aku ingin ke Bukit Toyongga, se-
mata-mata hanya ingin tahu bagaimana cerita sebe-
narnya dan bagaimana bentuk peta wasiat itu. Karena
ulah peta wasiat itu, aku sampai mengalami hal yang
hampir merenggut nyawaku! Aku dikejar banyak o-
rang! Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa!"
"Bagaimana ini" Apakah ucapannya bisa dipegang?"
Dewi Bunga Asmara terdiam beberapa lama.
"Dewi.... Kau boleh percaya, juga boleh tidak. Tapi itulah sebenarnya yang
kualami! Dan kalau kau tidak
mau mengatakan di mana letak Bukit Toyongga, aku
tidak akan memaksa!" Joko memandang sesaat. Lalu
tersenyum dan balikkan tubuh melangkah ke arah si
kakek. "Aku akan tunjukkan padamu!" kata Dewi Bunga
Asmara. Joko balikkan tubuh. "Terima kasih...."
"Tapi aku minta syarat!" Si gadis sambungi ucapan-
nya. "Hem.... Katakanlah! Mudah-mudahan aku bisa
mengabulkan syaratmu!"
"Aku bukan saja akan menunjukkan di mana Bukit
Toyongga. Tapi aku akan mengantarmu sampai ke sa-
na! Tapi.... Tanpa bersama kakek temanmu itu!"
"Hem.... Begitu"!" Si kakek menyahut. Sementara
Joko palingkan muka pulang balik ke arah Dewi Bun-
ga Asmara dan si kakek.
"Daripada berjalan dengan kakek yang suka usil,
memang lebih baik berjalan bersama gadis cantik! Apalagi dadanya rendah, pahanya
kelihatan dan...."
"Aku minta kau segera memutuskan!" Dewi Bunga
Asmara berujar.
"Hem.... Baiklah! Syaratmu kupenuhi! Kita ke sana
berdua!" "Han Ko!" seru si kakek. "Jangan kau lupa! Pada
mulanya kau tahu urusan ini dari aku! Tidak sepan-
tasnya kau akan membuangku begitu saja karena ha-
dirnya pihak ketiga!"
"Kek! Aku memang dengar pertama kali darimu. Ta-
pi kau tidak bisa menunjukkan di mana tempat yang
kutuju! Untuk itulah aku ucapkan terima kasih se-
kaligus maaf jika aku tidak bisa mengajakmu ikut ser-ta!" "Tapi kau telah dengar
ucapanku, bukan"! Ke mana kau pergi, aku akan ikut! Aku tak akan tanya apa tu-
juanmu! Kau juga tak usah khawatir kalau aku meng-
ganggu keasyikanmu! Sebagai orang tua, aku tahu diri dan maklum.... Lagi pula,
soal sun, sun itu aku sudah bosan.... Jangan takut aku akan mengintip!"
Paras wajah Dewi Bunga Asmara tampak bersemu
merah. Sementara sepasang matanya mendelik besar
ke arah si kakek. "Ucapannya itu yang membuatku ti-
dak mau berjalan bersamanya!" bisiknya dengan suara
bergetar. "Kek! Ini bukan soal intip-intipan apalagi sun-su-
nan, ini urusan ada kaitannya dengan apa yang kua-
lami selama ini! Jadi jangan salah tafsir kalau kami tidak mau mengajakmu ikut
serta!" "Hem.... Begitu"! Selagi aku masih muda dulu....
Aku juga punya banyak alasan agar kepergianku ber-
sama sang kekasih tidak diikuti orang! Jadi kau masih kalah masa denganku kalau
mengatakan alasan!"
"Bagaimana sekarang"! Melihat dari bagaimana tadi
dia bisa menyusulku tanpa kuketahui, tampaknya su-
lit menghindari orang itu...." Joko tampak bingung.
"Hem.... Ada-ada saja yang membuat rejeki besar lepas dari tangan...."
Dewi Bunga Asmara melangkah mendekati Joko.
"Bagaimana kalau dia kita tinggal" Lagi pula kalau
berjalan dengan orang tua seperti dia, kurasa kita
akan terlambat sampainya!" bisik Dewi Bunga Asmara.
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Dia bukan seperti
yang kau duga!"
"Maksudmu..."!"
"Aku tadi sudah mencobanya. Dia kutinggal jauh di
belakang! Dan aku berhenti di sini karena kuduga dia tidak bisa menyusulku.
Sialnya, tahu-tahu dia sudah
ada di sini! Bahkan mendahuluiku!"
"Hem.... Begitu"!" Tiba-tiba si kakek berkata lagi.
"Kalian bisik-bisik membuat rencana"!" Si kakek ter-
tawa ngakak. "Perlu kalian tahu satu hal. Kalian boleh membuat seribu satu
rencana. Yang pasti aku tetap
akan ikut!"
"Bagaimana kalau kita gebuk saja"!" usul Dewi
Bunga Asmara. "Itu tak mungkin! Kalau dia memiliki ilmu peringan
tubuh luar biasa, pasti kepandaiannya luar biasa pula!
Lagi pula aku tak mau membuat masalah!"
"Ah.... Sebenarnya aku ingin berdua saja bersama-
nya...." Dewi Bunga Asmara berkata sendiri dalam ha-
ti. "Mungkin ini tidak akan direstui oleh Guru. Apalagi aku disuruhnya pulang
dan menunggu sampai dia datang! Tapi.... Aku tidak bisa! Sejak pertama kali jum-
pa tempo hari, sebenarnya aku tertarik padanya... Aku
tak tahu mengapa ini harus terjadi?"
"Dewi.... Bagaimana sekarang"!"
Karena tengah melamun, ucapan Joko membuat
Dewi Bunga Asmara gelagapan. Namun gadis ini cepat
tersenyum dan gelengkan kepala.
"Bagaimana kalau dia kita ajak saja"!"
"Sebenarnya.... Ah, tapi kalau itu keputusanmu,
aku ikut saja! Tapi kuharap kau berpesan padanya
agar dia tidak melakukan hal-hal yang tak ada guna-
nya! Dan setibanya di Bukit Toyongga, kuharap pula
dia tidak mengeluarkan ucapan yang membikin panas
suasana. Aku menduga, akan banyak tokoh dunia per-
silatan yang hadir.... Dan satu hal lagi, begitu tiba di sana, kita harus
Ilmu Ulat Sutera 12 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Tujuh Pedang Tiga Ruyung 16
^