Dewi Penyebar Maut I I 1
Candika Dewi Penyebar Maut I I Bagian 1
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-2 oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1989
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1. HUKUMAN PENDAPA depan Padepokan Rahtawu sunyi senyap ki-
ni. Angin pun sampai terdengar menderu di sudut-
sudut atap. Angin dingin yang biasanya membawa alu-
nan doa. Hingga sayup-sayup menjauh.
Kini angin itu hanya membawa suara dari luar. Sua-
ra ratap tangis. Suara makian. Kemudian suara kaki-
kaki yang berjalan menuju pendapa.
Di pendapa sendiri sunyi.
Semua yang ada di situ bagai patung.
Suranggana, dengan kepalanya yang hitam berhias
rambut tak keruan. Dan aliran darah yang terus me-
ngucur dari bagian belakang kepalanya. Berdirinya ti-
dak mantap. Setiap saat ia pasti tumbang. Tapi mata-
nya beringas merah. Membara. Marah. Mulutnya mena-
han rasa sakit. Tangannya teracung. Telunjuknya kaku
mengarah pada Tara.
Tara juga bagai patung.
Tapak kakinya memang sudah dalam kedudukan ge-
rak Sura-caya, siap untuk menghindar dari serangan pihak mana pun. Tetapi kaki-
kaki itu nampak lemas.
Tak ada otot yang tegang yang menandakan tenaga
akan tersalur dan kaki terangkat. Pandangan matanya
pun tidak tertuju pada Suranggana yang seakan hendak
melahapnya. Ia pun tidak memandang pada Anengah
yang walaupun berada di lantai siap terbang setiap saat, dengan kaki akan
langsung menebas lehernya.
Rasanya hanya Anengah yang paling hidup. Matanya
liar. Hidungnya kembang-kempis. Jari-jemari yang me-
nahan tangannya di lantai gemetar. Dan setiap otot di
kakinya menegang, menghimpun kekuatan dahsyat un-
tuk membunuh dalam sekali pukul.
Bahkan Rangga Prawangsa yang galak itu rasanya
kalah angker dengan Anengah. Perwira Daha itu kini
berada di belakang Tara, siap untuk meringkusnya lagi
setelah tadi dengan mudah mengibaskannya. Rangga
Prawangsa bertekad untuk menjalankan tugasnya de-
ngan baik. Dan tugas itu adalah melindungi Resi Rha-
gani. Apa pun yang terjadi. Ia tahu Tara adalah murid
Resi Rhagani. Tetapi jika keadaan memerlukan, ia tak-
kan segan menghajar anak itu.
Resi Rhagani paling mirip patung. Ia memejamkan
mata. Ia menyusun jari, merapatkan tapak tangan. Ia
berdiri tegak. Tak bergerak.
Yang lain diam, namun gelisah. Tari merangkul se-
buah tiang agung. Mukanya rapat ke kayu itu. Matanya
bingung memandang Tara. Mulutnya ternganga seolah
ingin meneriakkan sesuatu. Lati dan Rati berada di
pinggir. Berangkulan. Memandang ke Tara dan Surang-
gana. Pawungsari dan Dwaralika kebingungan.
Makin banyak keluarga padepokan yang berdatang-
an ke pendapa itu. Mereka memang hanya berhenti di
tepi lantai pendapa. Kemudian diam.
"Aku mohon Panembahan..." terdengar suara serak
Suranggana kini bergema. Susah sekali ia mengelua-
rkan kata-kata. "Cabut nyawa murid durhaka ini. Dia
punya ilmu tinggi, namun tak dapat menggunakannya.
Dia perkasa, namun tak tahan melihat wajah cantik
hingga melupakan semua saudaranya. Bunuh dia, Pa-
nembahan!"
Dan Suranggana roboh. Beberapa orang akan meno-
longnya. Tetapi ia mengangkat tangan mencegah. Susah
payah ia merayap hingga mencapai kaki Resi Rhagani.
Dipegangnya kaki itu dengan tangannya erat-erat.
"Belasan tahun, puluhan tahun... aku mengabdi pa-
da Tuan, Panembahan... aku tak mau Tuan keliru...
aku tak mau Tuan memperoleh malapetaka hanya ka-
rena keliru menilai orang. Muridmu si Tara itu... tidak punya hati. Tuan akan
menyesal jika masih membiar-kannya hidup. Suatu hari dia akan... mampu mengor-
bankan saudara-saudaranya lagi... O, Panembahan..."
Dan Suranggana roboh lemas. Tak bergerak lagi. Ma-
ti. Seorang warga padepokan yang berada di luar pen-
dapa berlutut, sujud mencium tanah. Dan ia berseru,
"Derita kami begitu dalam, Guru... hukumlah Tara!"
Dan gerakan serta suaranya satu per satu ditiru oleh
yang lain. Tak lama orang-orang yang mengelilingi pen-
dapa itu telah bersujud sambil berseru bagaikan ber-
nyanyi, "Hukum Tara! Hukum Tara! Hukum Tara!"
Tara bagaikan tersentak dari mimpi. Matanya beri-
ngas memandang ke kiri ke kanan. Dan tiba-tiba ia pun
menubruk kaki Resi Rhagani yang masih digenggam
Suranggana. "Guru... hukumlah aku jika aku bersalah... tapi aku
tak merasa bersalah, Guru!" teriak Tara mencoba meng-
atasi galau di luar itu.
"Suranggana telah tewas," baru kemudian Resi Rha-
gani terdengar suaranya. "Ia merasa pasti akan sesuatu.
Dan ia mati dengan rasa pastinya itu. Kau harus berce-
rita dengan jelas. Untuk itu kautenangkan diri lebih dahulu. Dwaralika,
Pawungsari, bawa Tara ke Ruang
Sunyi. Yang lain..." Resi Rhagani memperkeras sua-
ranya hingga menindih suara galau yang ada dan se-
mua diam untuk mendengarkannya, "Padepokan kita
telah tertimpa malapetaka dahsyat. Kita belum tahu apa
yang terjadi. Untuk itu Tara akan kita periksa nanti.
Yang jelas, ini mungkin ada hubungannya dengan peta-
ka yang menimpa guru kalian - Madraka. Uruslah me-
reka yang tewas. Dan waspada serta lipat-gandakan
penjagaan. Malam nanti kita akan melakukan upacara
untuk mengiringi mereka yang menghadap para dewata.
Kemudian kita bicarakan apa yang terjadi."
Dengan menunduk Resi Rhagani meninggalkan tem-
pat itu. Dwaralika dan Pawungsari memberi isyarat pa-
da Tara untuk ikut mereka. Ketika Tara tak bergerak,
Anengah dengan geram berdiri dan menyeret pemuda
itu. Di luar, sebuah batu pertama terlempar pada Tara.
Kemudian menyusul batu-batu lainnya. Hujan batu di-
iringi hujan makian. Tara dengan gugup mencoba me-
nangkis semua lemparan itu. Dwaralika dan Pa-
wungsari pun terpaksa melindunginya. Namun mereka
kewalahan. Akhirnya mereka hanya bisa menyeret Tara
untuk berlari secepatnya.
Terengah-engah mereka mencapai bangunan yang
berisi Ruang Sunyi. Ruang itu berada di bawah tanah,
tempat Sang Resi biasa menyepi untuk menekuni il-
munya. Dwaralika dan Pawungsari berhenti sejenak mem-
perhatikan apakah orang-orang mengejarnya. Tidak.
Agaknya mereka masih berada di halaman depan. Dan
kini mereka mungkin sibuk mengurusi mayat-mayat.
"Buka pintunya, Dinda Pawungsari," kata Dwaralika.
Diperhatikannya Tara. Pemuda itu lemas. Matanya kini
kosong tak bercahaya. Pasrah.
"Sebetulnya apa yang terjadi, Tara?" tanya Dwaralika
sementara Pawungsari membuka pintu - sebuah pintu
kayu yang besar dan berat. Tara diam saja.
"Kau perlu menjawab. Bukan untuk menyelamatkan
nyawamu, tetapi agar kita tahu apa yang terjadi. Agar
kita bisa mencegahnya."
Tara diam saja.
Anengah muncul. Badannya penuh keringat. Dada-
nya kembang-kempis menahan marah.
"Tara! Betulkah kata Paman Suranggana tadi?" ben-
tak Anengah. Tara diam saja.
"Bangsat cilik... jawab!" dengan geram Anengah me-
nampar Tara. Tapi Dwaralika dengan tangkas menang-
kis tamparan itu.
"Sabar, Anengah, akan kita bicarakan nanti," kata
Pawungsari. "Paman tadi dengar kata Paman Suranggana" Beliau
merasa pasti si kunyuk kecil ini penyebab kematian ta-
di!" sahut Anengah geram.
"Aku tahu. Tapi kita harus mempelajari dulu apa
yang terjadi." Dwaralika mendorong Tara masuk. Pa-
wungsari langsung menuntun Tara masuk dan menu-
runi tangga. Dwaralika menutup pintu bangunan serta
berdiri menghadang di depan Anengah. "Sementara itu
kita tak bisa sembarangan menjatuhkan hukuman!"
"Ah, itu semua hanya membuang waktu!" geram
Anengah. "Paman sendiri tahu, ia suka bersikap manis
pada Bapa Guru dan Bibi Madraka, hanya agar mempe-
roleh ilmu lebih banyak! Kesetiaannya tak ada. Dan itu
berbahaya, bukan?"
"Benar, tapi yang berhak memberi hukuman hanya
Gusti Panembahan," kata Dwaralika.
"Sekali lagi, itu hanya membuang waktu!" dengus
Anengah. Dwaralika sesaat memperhatikan Anengah. "Ane-
ngah, kenapa kau tiba-tiba berubah" Biasanya kau wa-
laupun kaku tetapi punya perasaan adil, dan tidak begi-
tu serampangan dalam menjatuhkan putusan."
"Aku tidak apa-apa! Hanya aku tak rela jika saudara-
saudaraku tewas tanpa pembalasan!"
"Kepada siapa" Yang jelas bukan Tara yang membu-
nuh orang-orang itu!"
"Tapi mungkin Tara sudah bisa melakukan pembala-
san itu tanpa harus menunggu segala macam urusan -
kalau saja ia memang punya maksud untuk membalas
dendam! Jadi Tara jelas bersalah!"
"Tiba-tiba rasa dendam menyelimuti hatimu. Apakah
itu yang kaupelajari di sini?"
"Paman bukan guruku, tak usah Paman menggurui-
ku." "Bagus jika kauingat bahwa kau patut patuh pada
gurumu. Dan gurumu menghendaki perkara ini dibica-
rakan lebih dahulu!"
"Dinginkan kepalamu, Anengah," Pawungsari telah
keluar dari Ruang Sunyi, dan memalang pintunya dari
luar. Memang sesungguhnya Ruang Sunyi itu serbagu-
na - untuk menyepi atau mengucilkan seseorang. Ada
kalanya seorang siswa harus merenungkan kekeliruan-
nya hingga terpaksa dikucilkan di sini. Di bawah tanah, ada tiga tingkat
ruangan, bersusun ke bawah. Untuk
kekeliruan yang sangat berat, maka siswa yang ber-
sangkutan ditempatkan dalam ruangan yang hanya cu-
kup untuk duduk bersila. Ruang di atasnya agak lega.
Ruang ketiga yang tepat berada di bawah permukaan
tanah sudah cukup lega dan bahkan penghuninya bo-
leh menikmati cahaya lampu, buku-buku agama, serta
makanan atau minuman. Di sini sesungguhnya Sang
Resi biasa menyepi - bukan karena menjalani hukuman
tapi hanya untuk lebih memusatkan pikirannya pada
sesuatu. Bangunan yang berada di atas tanah berupa
ruangan untuk berdiskusi - sebuah ruang yang lega
dengan jendela berterali bambu dan dinding bambu
dengan pintu kokoh.
"Tara berada di ruang terbawah. Dia toh tak akan bi-
sa ke mana-mana. Jika kau ingin menghukumnya, ma-
sih ada saatnya nanti."
"Aku tak mengerti Paman berdua. Sama sekali tak
mengerti. Bukan hanya rasa keadilan... tetapi toh Pa-
man berdua seharusnya mencoba membalaskan kema-
tian Paman Suranggana!" kata Anengah.
"Aku mengerti bahwa mungkin kau akan menjadi pe-
mimpin para siswa di sini," kata Pawungsari dingin.
"Aku mengerti rasa tanggung jawabmu besar. Rasa per-
saudaraanmu tebal. Tapi selama kau belum resmi men-
jadi pemimpin di sini, kuharap kau menunggu apa yang
akan dikatakan Sang Panembahan nanti. Ayo, Dinda
Dwaralika...."
Pawungsari menggamit Dwaralika. Dwaralika mena-
tap tajam pada Anengah dan berdua melangkah pergi.
Anengah masih lama termenung di depan pintu vang
terpalang itu. Matahari telah tinggi. Dari sudut matanya ia melihat sesosok
bayang-bayang orang di balik
bayang-bayang lumbung padepokan. Ia menghela napas
panjang dan berkata seorang diri, "Hhh... betapa berat
cobaan untuk Guru. Dan saat aku ingin mencoba meri-
ngankannya, ada saja orang yang tak mengerti. Ah, ka-
lau saja aku punya kekuasaan yang lebih besar... Pasti
penyebab malapetaka ini sudah lama aku ringkus!"
Ia berbalik. Dan melangkah meninggalkan tempat
itu. Sengaja ia berjalan ke samping lumbung. Dan ia
bertemu dengan Rangga Prawangsa yang tampaknya
sedang berjalan menunduk tenggelam dalam pikiran da-
lam. "Oh, Tuanku Rangga... tuanku belum memperoleh
tempat untuk istirahat?" tanya Anengah. "Maaf jika tak
ada yang memperhatikan Tuan. Aku harus mengatur
persiapan upacara nanti malam."
"Tak apa. Sebagai seorang bekas prajurit tentu saja
aku tak kaget akan ketidaknyamanan tempatku berada.
Mhhh... ya. Namamu Anengah, bukan" Dari manakah
asalmu?" "Mohon diampun, Tuan... menurut cerita Bibi Ma-
draka hamba ditemukannya dekat Hutan Lawor... ma-
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sih berumur dua tahun, demikian kata pwangkulun.
Hamba tak berani menanyakan lebih lanjut tentang as-
al-usul hamba... tetapi Hutan Lawor adalah daerah Da-
ha, bahkan merupakan jalan besar ke Daha dari Kota-
raja. Bukan tidak mungkin hamba mempunyai ayah-ibu
di Daha. Dan rasanya hal itu tak terlalu sukar untuk
diselidiki."
"Lalu Uttara?" Rangga Prawangsa bersandar ke din-
ding lumbung untuk menghindari terik matahari.
"Tara hampir mirip riwayatnya dengan hamba," Ane-
ngah seakan mendengus. "Hanya menurut cerita Bibi
Madraka dia ditemukan di Kamal Pandak, di tepi Su-
ngai Bara. Riwayat hidupnya pun gelap...."
"Aku tadi menyaksikan kalian bertarung. Kepandai-
an kalian berimbang?" Rangga Prawangsa menyipitkan
matanya agar tak tampak bahwa matanya itu melirik
memperhatikan wajah Anengah. Anengah tampak se-
makin berwibawa dengan alis mata tebalnya berkerut.
Dadanya yang berhias bulu dada kini bersimbah peluh,
mengkilap dalam sinar matahari, memperlihatkan dada
yang lebar dan tangguh kokoh. Dengan tubuh tinggi be-
sar dan cara berdirinya yang tegak itu, Anengah lebih
cocok untuk menjadi seorang panglima perang, pikir
Rangga Prawangsa. Atau... memangkah anak ini ketu-
runan seorang ksatria Daha" Lebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan perhatian
Bhre Daha pada murid muda di
Padepokan Rahtawu... apakah hubungannya lebih erat
dari yang bisa diduganya"
"Guru sangat adil dalam memberi pelajaran," kata
Anengah. "Tak ada siswa yang memperoleh lebih, tak
ada yang kurang. Pada akhirnya tergantung dari para
siswa itu sendiri. Mungkin apa yang dipelajari Tara sa-
ma dengan apa yang aku pelajari. Pada akhirnya, Guru
sendiri yang menentukan siapa yang sudah cukup ma-
tang untuk memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi. Sebagai
gambaran saja... Guru telah menurunkan Dharmacakra
padaku. Sedang pada Tara belum."
Kembali Rangga Prawangsa memperhatikan Ane-
ngah. Terdengar nada sedikit menyombong pada anak
muda itu. Atau, memang demikianlah sifatnya"
"Oh, ya. Bagaimana dengan siswa-siswa putri?" ta-
nya Rangga Prawangsa.
"Mereka sesungguhnya hanyalah separuh siswa. Me-
reka asuhan Bibi Madraka. Tetapi Bapa Guru kami de-
ngan murah hati menganugerahi mereka dengan ilmu-
ilmu Padepokan Rahtawu. Sebulan sekali mereka diba-
wa kemari oleh Bibi Madraka. Ini sesungguhnya kebia-
saan Bapa Guru dan Bibi Guru dari dulu. Ilmu pwang-
kulun berasal dari satu sumber yang juga kakak-adik pria dan wanita. Maka
pwangkulun berdua ingin meles-tarikan kebiasaan itu."
"Berapa jumlah mereka?"
"Mereka sesungguhnya..." Tiba-tiba Anengah berhen-
ti berbicara. Beberapa orang wanita muncul membawa
tempat padi. Di antara mereka tampak Tari yang ma-
tanya bengkak karena menangis. Wanita-wanita lain
adalah anggota Padepokan Rahtawu sendiri. Mereka le-
wat di depan Rangga Prawangsa dan Anengah, diam-
diam membungkuk memberi hormat. Mereka kemudian
menaiki tangga ke pintu lumbung
"Katamu tadi..." Rangga Prawangsa mengingatkan
Anengah saat para wanita itu sudah masuk ke dalam
lumbung. "Mmmh, maaf, Tuanku Rangga... tidak enak rasanya
kita berbicara di sini sementara semua orang bekerja.
Hamba akan pergi ke depan dulu...," Anengah mengi-
syaratkan sembah dan bergegas pergi.
Rangga Prawangsa termenung-menung sejenak,
memperhatikan kepergian Anengah. Kemudian ia mem-
perhatikan pintu lumbung yang tinggi itu. Dan akhirnya
ia menggelengkan kepala, berjalan menunduk ke ba-
ngunan yang memiliki Ruang Sunyi itu.
Lama ia berdiri di depan bangunan tersebut. Sampai
kemudian terdengar langkah kaki mendatangi. Ternyata
Tari. Gadis itu terlihat terkejut melihat Rangga Pra-
wangsa ada di situ. Ia bergegas menunduk menyembah
dan akan berlalu. Tetapi Rangga Prawangsa mencegah-
nya. "Tunggu, bukankah kau yang bernama Tari?" sapa
Rangga Prawangsa.
"Benar, Tuanku Rangga... namun mohon maaf,
hamba tak punya waktu untuk berbicara. Mohon beribu
maaf, Tuanku, hamba berlalu...." Dan Tari bergegas
pergi. Rangga Prawangsa ternganga. Gadis itu tidak secan-
tik putri-putri Daha, memang, tetapi ada sesuatu yang
sangat menarik padanya. Pandang matanya yang tajam,
sikap wajahnya yang anggun. Bahkan pada saat mem-
bungkuk memberi hormat terasa bahwa hal itu seakan
dipaksakan. Juga jalannya... seakan tak acuh pada sia-
pa pun. Dia akan menanyakannya pada Resi Rhagani nanti.
Malamnya, upacara untuk mendoakan para sukma
yang telah meninggalkan badan kasar mereka berjalan
khidmat. Dan mengharukan. Di antara doa yang diba-
cakan dan dinyanyikan bersama, teralun pula lengking-
an tangis dan alunan ratapan. Ditambah dengan hawa
yang terasa luar biasa dinginnya, dan cuaca yang gelap
pekat, api unggun di halaman depan padepokan itu se-
rasa tertelan cerianya. Upacara berlangsung terus hing-
ga menjelang fajar, dan kemudian satu per satu jasad
mereka yang gugur diangkat ke luar untuk disemayam-
kan di halaman candi di luar lingkungan padepokan
guna menantikan upacara selanjutnya. Di pendapa de-
pan, Resi Rhagani berdiri sunyi memperhatikan para
warga padepokan hampir tanpa suara mengalir ke luar
padepokan dengan membawa berbagai peralatan upaca-
ra. Tidak seperti biasanya pada upacara keagamaan,
maka beberapa warga padepokan telah mempersenjatai
diri dan mengikuti rombongan yang keluar itu sebagai
pengawal. Di atas pagar padepokan pun terlihat bebera-
pa orang berjaga-jaga.
Akhirnya halaman depan itu sunyi. Dan gelap. Ha-
nya beberapa obor yang masih menyala. Itu pun di tem-
pat-tempat yang berjauhan. Ini membuat orang-orang
yang berada di pendapa itu bagaikan sosok-sosok
bayangan seram.
Mereka adalah Resi Rhagani, Dwaralika, Pawungsari,
Kanigara, Sodrakara, Tari, Anengah, dan Rangga Pra-
wangsa. "Mari ke ruang baca... ada yang ingin aku bicarakan
dengan kalian," kata Resi Rhagani hampir berbisik. Dan
ia mendahului pergi. Langkahnya gontai, lemah. Dwa-
ralika dan Pawungsari terlihat selalu bersiap di kiri-
kanan junjungan mereka ini.
Ruang baca itu luas. Beberapa bumbung teronggok
di sudut, berisi gulungan-gulungan lontar tentang ber-
bagai hal. Ada alas lantai yang empuk di situ. Dan lam-
pu buah jarak yang tertancap di beberapa tempat di
dinding membuat tempat itu terang-benderang. Resi
Rhagani memberi isyarat agar mereka duduk melingkar.
Tak ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
Beberapa saat sunyi. Dari luar sayup-sayup terde-
ngar nyanyian doa pelepas mereka yang pergi.
"Kita semua berkumpul di sini. Kuharap kita telah
mewakili semua warga padepokan. Dan seorang orang
luar," Resi Rhagani berbicara lirih. Matanya menyapu
semua yang ada di situ. "Dwaralika dan Pawungsari me-
wakili kepercayaan warga padepokan yang bukan siswa.
Kanigara dan Anengah mewakili para siswa. Sodrakara
dan Tari mewakili siswa-siswa putri. Tuan Rangga me-
wakili kepentingan Wilwatikta. Dan aku ingin menjadi
wakil dari kehendak Hyang Agung. Tapi semuanya pu-
nya hak sama. Semua punya hak mengatakan penda-
pat. Dan apa pun keputusan yang kita ambil, akan kita
ambil berdasarkan kesepakatan kata."
Hening lagi. "Aku telah berbicara panjang-lebar dengan Tara. Se-
mestinya ia diwakili di sini. Tapi ia telah melimpahkan kepercayaannya padaku,"
kata Sang Resi lagi. "Kuharap
semuanya mengerti hal ini."
Yang terdengar hanyalah gemerisik lampu di dinding
serta alunan lagu sedih dari luar.
"Singkatnya... menurut pengakuan Tara... ketika ia
dan Suranggana tiba di tempat ini, didapatinya mayat-
mayat bergelimpangan. Tak ada bekas luka ataupun se-
suatu yang aneh. Pada wajah mereka yang meninggal
hanya terlihat air muka ketakutan yang amat sangat.
Ketika aku selidiki, ini adalah akibat Upas Gemet tingkat tujuh. Sangat berbeda
dengan Upas Gemet yang mengenai Dinda Madraka...." Sang Resi berhenti sebentar.
Bibi Madraka telah tiba siang tadi dan kini dirawat di
asrama wanita. "Upas Gemet tingkat tujuh ini sanggup membunuh dengan hanya
menempel pada kulit kor-bannya. Menurut Tara tidak ada pertanda perkelahian
sebelumnya. Jadi, kemungkinan si pembunuh dapat
mendekat tanpa dicurigai atau dapat bergerak sangat
cepat. Melihat wajah si pembunuh serta kesaktiannya
kemudian, Tara berpendapat kedua hal itulah yang ter-
jadi." Dalam kesunyian itu keras sekali terdengar Tari
menghela napas panjang. Ia sendiri kaget karena itu.
"Saat itu, Suranggana dan Tara kemudian memutus-
kan untuk langsung menyelidiki. Tara dari bagian bela-
kang padepokan, Suranggana dari bagian depan. Tara
menemukan pembunuh itu di puncak Menara Pemu-
jaan. Tara bertarung melawan orang itu. Orang itu sa-
ngat cantik. Dan sangat sakti. Suatu saat ia sudah
hampir bisa membunuh Tara. Tapi pada saat itu Su-
ranggana datang dari belakangnya. Dan melepaskan pe-
luru andalannya. Orang itu roboh."
Resi Rhagani memandang ke arah langit hitam yang
tampak dari celah-celah dinding.
"Di sinilah terjadi kesalahpahaman yang berbuntut
sampai sekarang. Tara memang punya kesempatan un-
tuk membuat orang itu cedera. Paling tidak melumpuh-
kannya. Tara tidak melakukannya. Katanya ia tak me-
ngerti mengapa itu yang terjadi. Katanya, mungkin juga
ia terpengaruh oleh kecantikan orang itu. Atau, mung-
kin karena ia merasa sesungguhnya ia tadi diberi ke-
longgaran untuk bisa hidup sampai saat itu. Yang jelas, ia juga punya pikiran
untuk menangkap orang itu hidup-hidup. Itu semua terjadi dalam waktu sesaat. Ke-
mudian muncul Suranggana. Ia langsung akan mem-
bunuh atau paling tidak mencederai orang itu dengan
kerisnya. Tara mengaku mencegah Suranggana. Dan ti-
ba-tiba orang itu menyerang Suranggana. Hingga Su-
ranggana cedera berat. Dan tewas. Nah, kita berkumpul
di sini untuk menentukan, apakah Tara bersalah. Dan
apa hukumannya. Coba Tuan Rangga, sebagai orang
luar, menyatakan pendapatnya."
Semua berpaling pada Rangga Prawangsa. Rangga ini
salah tingkah juga sedikit. Ia mendeham dan memelintir
kumisnya. Namun akhirnya ia berbicara.
"Bagiku... kesalahan Tara hanya satu. Ketika ia ke-
mudian sadar, mestinya ia langsung mencari jejak
orang itu. Atau cepat lapor pada Sang Resi," Rangga
Prawangsa berbicara pada semuanya.
"Ia mencoba menolong Suranggana. Tapi begitu sa-
dar, Suranggana menyerangnya. Dan menuduhnya ber-
komplot dengan pembunuh itu. Tara terguncang. Ka-
rena itulah tindakannya bagai orang mabuk. Dan ia ha-
rus mempertahankan diri dari serangan Suranggana,"
jawab Resi Rhagani.
"Jika begitu... kekeliruan Tara hanyalah usianya
yang masih muda. Dan pengalamannya yang masih ku-
rang. Untuk itu ia tak bisa disalahkan. Kalau aku di-
tanya, semestinya ia dibebaskan saja. Kalaupun dihu-
kum, maka ia harus mencari si pembunuh. Hanya dia
yang pernah melihat mukanya," kata Rangga Prawang-
sa, matanya tajam melihat berkeliling. "Itu pendapatku.
Lebih dari itu, aku ingin menyatakan suatu hal. Racun
Upas Gemet itu. Siapa yang pernah memilikinya?"
"Itu yang membuatku heran dari tadi," Resi Rhagani
berkata perlahan. "Tuan datang dari Daha membawa
berita tentang kemungkinan keturunan Wirabhumi
membalas dendam. Yang aneh adalah... keluarga Wira-
bhumi tak pernah menggunakan racun. Justru salah
seorang lawan keluarga Wirabhumi-lah yang terkenal
sebagai pemakai racun. Juru Pajarakan menggunakan-
nya. Juga semua keluarga beliau. Tetapi keluarga ini
sangat memusuhi keluarga Wirabhumi. Kedua puteri-
nya..." Resi Rhagani tak melanjutkan perkataannya.
"Kau bagaimana, Dwaralika?"
"Ampun, Panembahan. Hamba belum bisa menyerap
pelajaran yang Paduka berikan," Dwaralika menyem-
bah. "Hamba seorang prajurit. Pemikiran hamba pemi-
kiran prajurit. Tara melakukan kesalahan yang sangat
berat, yaitu memberi kesempatan pada musuh untuk
menguasainya. Jika musuh tidak memberi ampun pa-
danya, pasti ia sudah dibunuh. Jadi... hamba kira hu-
kuman itulah yang patut untuknya." Semua orang me-
mandang terkejut pada Dwaralika. Terutama Anengah.
Ia sama sekali tak menyangka sikap Dwaralika akan
begitu. Terutama jika mengingat pembicaraannya tadi
siang. "Itu pun... jika pertemuan ini menyetujuinya."
"Mohon ampun, Panembahan... sebagai seorang pra-
jurit juga, hamba sangat setuju pada pertimbangan dan
keputusan Dwaralika," sembah Pawungsari.
"Hm..." Resi Rhagani mengangguk-angguk. "Sodraka-
ra?" "Si pembunuh sangat tak kenal ampun. Dan agak-
nya ada hubungan dengan si Buruk Muka yang telah
membuat cedera Guru junjungan hamba," sembah So-
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
drakara. "Tara telah memberi kesempatan pada makh-
luk itu untuk tetap bebas merajalela. Ia harus dihukum.
Apa hukumannya, terserah," sembah Sodrakara.
"Yang hamba takutkan adalah semua tindakannya
menunjukkan Tara tidak pantas merasuk ilmu-ilmu
tinggi yang diajarkan Guru," sembah Anengah tidak
menunggu untuk ditanya. "Jika hatinya selemah itu,
untuk apa ia mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dan jika
hatinya tidak lemah, kemungkinan ia dikuasai oleh ha-
srat buruk setelah melihat wajah cantik. Ini berarti ia tidak punya pribadi yang
baik. Dan ini akan sangat berbahaya nanti jika ia berhasil menguasai ilmu Guru.
Pendapat hamba, binasakan dia sebelum jadi burung
garuda!" Hening. Semua menunggu Kanigara dan Tari.
"Mohon diampun, Bapa Guru," akhirnya Kanigara
berbicara. "Hamba sudah mengenal Tara dari kecil. Ia
punya banyak kelemahan. Yang tampak jelas ialah bah-
wa ia adil, baik hati, dan tidak tegaan. Hamba yakin
Tara tidak punya maksud apa-apa saat ia meloloskan
pembunuh itu. Mungkin ia merasa tidak adil untuk me-
nyerang orang yang tak sadar. Mungkin ia hanya ingin
membalas budi. Mungkin... ia memang tidak tega. Se-
mua itu toh sifat yang baik. Jadi kurasa... Tara jangan dihukum berat. Berilah
dia wejangan. Dan pengertian
tentang pahitnya hidup di dunia ini."
"Hm... ya...," Sang Resi mengangguk-angguk. Kini
beliau memandang Tari. "Dan kau, Tari?"
"Kakang... Tara... masih sangat muda... sarika* belum tahu... lebih mendalam...
tentang hubungan antar
manusia di dunia ini.... Dia masih... boleh dikata anakanak! Tak pantas ia
diberi tanggung jawab.... Harap...
harap ia diampuni!" Tiba-tiba Tari menekap mukanya
dan berlari keluar dari ruang baca itu.
"Tari!" panggil Resi Rhagani. Tetapi Tari telah hilang
di kegelapan malam.
* beliau 2. PENGEMBARA TARI berdiri sendiri. Ini puncak Batu Hitam, salah satu puncak bukit tertinggi
di Rahtawu. Ia tak bisa melihat
apa-apa. Sekelilingnya gelap-pekat. Langit pun gelap.
Mungkin awan di atas sana. Atau mendung. Bintang-
bintang pun tak terlihat.
Sering Tara berada di sini. Pemuda itu memang yang
menunjukkannya tempat ini. Memang mereka tidak
berdua - tiba-tiba pipi Tari terasa panas. Para murid
Madraka tak boleh berdua saja dengan murid pria Resi
Rhagani. Tapi... walaupun mereka bertiga atau berem-
pat, sering Tari merasa bahwa Tara hanya memperhati-
kan dirinya. Memang Tara mungkin bercanda dengan
Lati. Atau dengan Gendar. Tapi Tari seakan tahu bahwa
sesungguhnya candaan Tara itu ditujukan padanya.
Sebulan lalu Tara mengajarkan tata gerak Birawa-
dana Pria. Dan itu memang ditugaskan oleh Sang Resi.
Tari merasa jika Tara yang mengajar, maka seakan ti-
dak belajar, segalanya bisa muncul sendiri. Lain dengan jika Anengah yang
mengajar. Segalanya terasa kaku, lebih kaku lagi karena semua seakan melihat
bahwa Ane- ngah hanya memperhatikan dirinya. Saat itu Tara juga
mengajarkan sedikit ilmu bintang. Ditunjukkannya bin-
tang Jaka Belek. Bintang Weluku. Bintang Gubuk Pen-
ceng. Dan ah... berbagai ilmu pertanian yang berkenaan
dengan bintang. Lancar sekali Tara berbicara. Begitu
enak didengar hingga Tari tak bisa menangkapnya. Ia
lebih kesengsem mendengarkan suara Tara yang bagaikan berdendang.
Saat itu, tiba-tiba saja Tara terdiam. Memang ada
sekilas garis terang di langit. Meluncur dari selatan ke arah barat laut. Dan
ketika ditanya kenapa ia terdiam,
maka Tara hanya berkata bahwa akan terjadi peruba-
han besar-besaran dalam kehidupan mereka.
Inikah perubahan yang dimaksudkannya itu" Bahwa
ia akhirnya... harus mati dihukum"
Angin dingin meniup pipi Tari. Beberapa lembar ram-
butnya membelai mukanya. Tari hampir terisak. Tapi,
kenapa" Ia baru kenal Tara sejak... mungkin tiga tahun
yang lalu. Itu pun hanya sebulan sekali. Mengapa ia be-
gitu sedih"
Terdengar langkah kaki di belakangnya. Tari heran.
Tapi ia langsung bersimpuh di batu hitam.
"Bibi Guru... Padukakah itu?" tanyanya. Bibi Madra-
ka memang selalu dipanggil "Bibi" oleh murid-murid-
nya, sebab secara resmi mereka adalah murid Resi Rha-
gani - walaupun sesungguhnya lebih dari sembilan per-
sepuluh pelajaran yang mereka dapat diperoleh dari Bi-
bi Madraka. "Ya, Tari...," suara itu lembut. Dengan getaran le-
mah. Tari terkejut. Berpaling.
Bibi Madraka bagaikan bayang-bayang putih. Bagai-
kan hanya jubah putih melambai lemah. Bagaikan bu-
kan manusia. Apalagi tangan kanannya kosong.
"Bibi Guru... mengapa... Bibi kemari...." Ketakutan
Tari mendekat bersimpuh di kaki gurunya.
"Karena kudengar kau menderita kesedihan yang
amat sangat, Tari...." Dengan tangan kirinya Bibi Ma-
draka membelai kepala Tari.
"Tapi... Bibi masih luka parah...."
"Ah, apakah kau meremehkan daya penyembuhan
Bapa Gurumu, Tari" Aku sudah kuat untuk berjalan
kemari." "Tapi keadaan sangat berbahaya."
"Kalaupun aku tewas, aku rela. Kematianku mung-
kin adalah kehendak Dewata... untuk apa kuberatkan"
Yang jadi pikiranku adalah kau. Kau sesungguhnya
punya masa depan yang bisa kuandalkan. Pribadimu
baik, kecerdasanmu baik. Aku tak ingin kau merusak
dirimu, merusak masa depanmu hanya oleh persoalan
kecil ini."
"Kakang Tara adalah sahabat baikku, Bibi... ini bu-
kan persoalan kecil...."
"Kaulihat tangan kananku, Tari?"
"Ya, Bibi...."
"Kau tahu kenapa Bapa Gurumu memotong tangan-
ku itu?" "Ya, Guru. Agar racun tidak menguasai bagian tubuh
yang lain."
"Apakah aku sayang pada tanganku itu?"
"Tentu, Bibi."
"Dan Bapa Gurumu tahu hal itu?"
"Tentu, Bibi."
"Toh ia masih memotongnya juga. Demikian juga ka-
kangmu Tara. Kurasa... semua orang menyukai anak
itu. Bapa Gurumu juga sayang padanya. Tapi ada suatu
hal yang tak bisa diperbaiki dalam sikap seseorang. Ada kelemahan Tara yang akan
berbahaya jika dibiarkan terus berkembang nanti. Setidak-tidaknya, begitu yang
kaudengar dalam pembicaraan tadi. Kau tentu punya
pendapat lain. Tapi kita sudah terbiasa mengikuti apa
yang disepakati oleh pertemuan...."
"Bibi setuju Kakang Tara dihukum mati?"
Bibi Madraka menghela napas. "Sesungguhnya, ini
adalah urusan di dalam rumah Kakang Resi. Kau dan
aku, hanyalah tamu. Seperti juga orang yang dari Daha
itu. Kalau kau, Sodrakara, orang Daha itu keluar, bera-
pa orang di pertemuan itu yang membela Tara" Sesung-
guhnya mereka dapat mencapai sepakat bulat, Tari...."
"Tapi, Bibi..."
"Sudahlah, Tari, sesungguhnya aku datang kemari
untuk suatu maksud lain. Aku meninggalkan padepo-
kan bukannya tidak diketahui oleh Bapa Gurumu,
ataupun bibimu Sodrakara. Ada sesuatu yang ingin ku-
sampaikan. Tindakan Kakang Resi memang cukup te-
pat. Nyawaku akan tertolong. Tapi betapapun bagian
tubuhku yang lain akan terkena. Terutama otakku. Aku
tak bisa merasa pasti bahwa apa yang aku miliki bisa
kusampaikan padamu... jika aku harus menunggu. Ka-
renanya, bersiaplah untuk menerima wejanganku ten-
tang ilmu Coban Saleksa."
"Ilmu Coban Saleksa?"
"Ya. Ini bukan ilmu kewiraan. Ini bukan ilmu kesak-
tian. Tetapi lebih mirip sebagai ilmu untuk menjaga diri.
Menurut cerita guruku yang begitu berbudi, Danyang
Sinom, beliau pernah terkena suatu penyakit yang amat
berat. Untuk pengobatannya beliau harus memusatkan
perhatiannya. Tetapi selalu tak berhasil. Kemudian ka-
kak beliau, Panembahan Megatruh, menciptakan suatu
ilmu guna pemusatan perhatian itu. Karena beliau
menciptakannya di antara air terjun Seribu, maka ilmu
itu dinamakannya Coban Saleksa. Ilmu itu akan membuka aliran-aliran hidup dalam
tubuhmu. Membuka
otakmu. Membuat kau mudah mencapai ilmu-ilmu
yang kelak kemudian kaupelajari. Di samping itu, kare-
na lancarnya peredaran kehidupan dalam tubuhmu,
kau akan punya suatu daya tolak yang luar biasa. Te-
rus terang, karena ilmu itulah aku kini masih hidup.
Kakang Resi dalam gugupnya mungkin lupa akan ilmu
itu. Dengan diputuskannya salah satu aliran kehidu-
panku, maka ilmu itu sudah pecah. Dan... aku akan
terpaksa meninggalkanmu."
"Bibi!" Tari sangat terkejut, merangkul kedua kaki
gurunya. "Kau bukan anak kecil lagi, Tari," suara Bibi Ma-
draka terdengar tegas. "Mundur dan lakukan langkah
penyucian yang tujuh!"
"Bibi..." Tiba-tiba air mata membanjir di pipi Tari. Ia tidak bergerak dari
tempatnya. "Ya, Tari...."
"Bukan hamba ingin melawan kehendak Guru... tapi
hamba merasa... begitu sedikit waktu hamba untuk
berbakti kepada Guru, untuk berterima kasih pada
Guru. Kalau itu pun tak bisa hamba lakukan, bagaima-
na jika hamba berterima kasih pada orang tua hamba"
Tapi... hamba pun tak tahu siapa dan di mana mere-
ka...." Bibi Madraka merenung sejenak. Memang semua
murid yang diambilnya kebanyakan tak mengenal orang
tua mereka. Selalu diambilnya pada waktu mereka sa-
ngat kecil. "Bahkan Bapa Gurumu tidak tahu siapa engkau, Ta-
ri. Jika kau memang bersikeras ingin mengetahui asal-
usulmu, pergilah ke Gunung Lawu dan temui eyang-
eyang gurumu... Panembahan Megatruh atau Danyang
Sinom. Jika kau berkata bahwa kau telah memperoleh
izin dariku, maka mereka akan memberitahukan ten-
tang ayah dan ibumu."
Kini Tari termenung. Kemudian ia berdatang sembah
dan mundur, menggumamkan mantra penyucian diri.
Tak berapa lama guru dan murid itu sudah melupa-
kan keadaan di sekeliling mereka. Dengan sabar dan je-
las Bibi Madraka menguraikan apa saja tentang Coban Saleksa. Bacaan ilmu itu
sendiri berbentuk kidung hingga agak mudah dihapalkan oleh Tari. Keterangan
tentang kata-kata yang ada di dalamnya memang agak
lama baru merasuk. Kemudian disusul oleh berbagai la-
tihan pernapasan dan penerapan laku.
Dan akhirnya, ketika di ufuk timur fajar mulai me-
nyingsing, terdengar Bibi Madraka berkata lemah, "Se-
mua sudah kaumiliki Tari, kau tinggal melatihnya saja.
Jika itu sudah kaukuasai, maka... tanpa petunjukku
pun kau akan bisa menguasai banyak ilmu. Sekarang,
bersemadilah untuk memulihkan kekuatanmu."
"Baik, Bibi." Tari menutup mata, mengatur letak ta-
ngan dan kakinya. Kemudian ia mematikan diri terha-
dap apa saja yang terjadi di sekelilingnya.
Sinar matahari mulai menyentuh punggungnya saat
Tari memutuskan untuk membuka semadinya. Dihi-
rupnya udara sejuk dalam-dalam. Seluruh tubuhnya te-
rasa segar. Penuh semangat. Dan hati murungnya sea-
kan lenyap. Dengan gembira ia langsung meloncat ber-
diri dan berkata, "Bibi... begitu besar kebaikan hati Paduka..." Ia tertegun.
Di depannya bukan Bibi Madraka. Di depannya ber-
diri Anengah. Pemuda itu tampak gagah dan seram.
Badannya berkeringat walaupun hari pagi dan hawa be-
gitu dingin. Bertelanjang dada dengan sinar matahari
menonjolkan keperkasaannya. Dan dada itu kembang-
kempis menahan suatu perasaan hati. Lebih aneh, di
tangannya terpegang pedang telanjang.
"Kakang Anengah!" seru Tari kaget.
"Di mana dia?" tukas Anengah tegas.
"Dia" Jangan kurang ajar, Kakang Anengah, kenapa
begitu kasar dengan Bibi Guru?"
"Bibi Guru siapa" Oh, ya, bahkan Bibi Guru juga tak
ada. Di mana dia?"
"Lho. Dia siapa" Kau maksud pwangkulun guru ki-ta?" Tari menjelaskan.
"Jangan bergurau. Aku mencari dia. Si Tara!" bentak
Anengah. "Lhoh!" Tari makin terkejut. Mulutnya ternganga le-
bar. "Kaumaksud... Kakang Tara?"
"Goblok banget kau ini. Ya! Tara! Jangan pura-pura
tak mengerti!"
"Aku memang tak mengerti! Aku berada di sini se-
malaman dengan Bibi Madraka!"
"Lalu di mana pwangkulun?"
"Aku tak tahu. Aku baru saja semadi...."
"Huh. Jawaban ngawur... sudah. Sekarang, di mana
Tara?" "Aku tak tahu!" Tari menegaskan. "Apakah... apakah
dia melarikan diri?"
"Jangan pura-pura tak tahu. Kau pasti yang meno-
longnya. Dan pasti kauajak kemari. Ada jejaknya me-
nuju tempat ini!"
"Tak mungkin. Kalau memang begitu, pasti paling ti-
dak ia akan membangunkan aku."
"Mungkin juga sebetulnya kau tak bersemadi. Hanya
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pura-pura saja. Sesungguhnya pasti kausembunyikan.
Ada dua jejak menuju kemari. Jejakmu. Dan jejak Tara.
Dengar, Tari. Jangan bersifat kekanak-kanakan. Semua
menjatuhkan hukuman mati pada Tara. Kalaupun kau
menolongnya sekarang, suatu saat hukuman itu pasti
jatuh ke kepalanya, tahu! Jadi katakan. Di mana kau-
sembunyikan dia!"
"Aku tak tahu!"
"Aku tahu kau memang murid terkasih Sang Resi.
Tapi kau telah menggagalkan kehendak beliau! Jadi,
jangan membuat beliau marah. Mana dia!"
Sikap Anengah membuat Tari meluap marah. Tak te-
rasa ia bertolak pinggang. Suaranya sedikit gemetar
saat berkata, "Kakang Anengah. Kalau kau menuduh
aku berdusta, lebih baik kita tak usah berbicara lagi."
Dengan geram Tari berpaling dan melangkah pergi.
Sekilas saja Anengah telah berada kembali di depannya.
"Aku tidak menuduhmu berdusta. Aku hanya ber-
tanya di mana Tara!"
"Dan aku bilang tidak tahu! Aku semadi semalaman
di sini. Tanyakan pada Bibi Guru kalau tak percaya."
"Enak saja. Bibi Guru juga tak ada."
"Kalau begitu minggir saja, aku benar-benar tak ta-
hu." "Paling tidak kau harus menghadap Bapa Guru lebih
dahulu." "Kalau saja tidak kausuruh, sesungguhnya aku me-
mang akan menghadap pwangkulun. Sekarang... jika aku ke sana, kaukira aku takut
padamu!" Tari mencibir.
"Dasar kau masih anak-anak," dengus Anengah. "Ini
bukan soal takut atau tidak. Ini soal tanggung jawab!"
Lama mata bulat Tari menatap Anengah. Kemudian
ia pun mendengus. "Benar kata Lati."
"Apa?" Anengah heran.
"Sikapmu berubah sejak kedatangan Rangga Pra-
wangsa." "Apa maksudmu?"
"Kau tahu Bhre Daha mengirim Rangga Prawangsa
kemari antara lain untuk menyelidiki keadaan siswa
termuda Bapa Guru. Tuan Rangga tak mengetahui na-
ma siswa yang dimaksud oleh Bhre Daha. Kini kau ber-
sikap penuh kematangan dan penuh tanggung jawab.
Untuk menarik perhatian sarika!"
"Gila!" desis Anengah. Marahnya meledak. Tapi bi-
birnya terlihat gemetar menahan suatu perasaan yang
bukan kemarahan. Kata-kata Tari telak mengenai sasa-
ran. Dan ketajaman pandangan serta ketajaman lidah
gadis itu betul-betul terhunjam di hatinya. Dengan ge-
ram dia berkata, "Tari! Dalam urutan, aku adalah ka-
kakmu. Aku berhak menghukummu sesuka hatiku.
Kau betul-betul bandel. Sekarang kuperintahkan pada-
mu, katakan di mana Tara atau kuseret kau ke hada-
pan Bapa Guru!"
"Kaukira aku takut?" tantang Tari nekat. Ia marah
pada sikap Anengah. Ia marah karena Anengah tidak
membela Tara. Ia marah karena ia mengira Anengah
bersikap tidak jujur dalam hubungan dengan utusan
Bhre Daha. Ia ingin melampiaskan kebuntuan hatinya
pada sesuatu. Dan sesuatu itu saat ini adalah Anengah.
Ia nekat. "Gila!" desis Anengah. Gemetar tangannya menahan
diri. Sesaat seolah-olah akan menerjang Tari. Tapi ke-
mudian ia seakan menelan kemarahannya. "Baiklah.
Aku tak ingin bertengkar dengan anak kecil. Sesukamu-
lah. Tapi aku akan mencari Tara. Pasti kutemukan!"
Beberapa saat mata Anengah bagaikan membakar
Tari. Kemudian ia berpaling dan berlari ke arah timur.
Lama Tari termenung. Ada yang rasanya kurang pas.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya.
Pertama, betulkah Tara hilang" Atau melarikan diri"
Atau... pokoknya lolos dari hukuman" Melarikan diri
rasanya tidak mungkin. Ruang Sunyi sulit untuk dite-
robos, apalagi kini dijaga ketat. Lagi pula, rasanya Tara tak akan sepengecut
itu... melarikan diri dari tanggung jawab. Lalu ke mana" Kedua... di mana Bibi
Madraka" Mustahil Anengah tak menemukannya" Ketiga... bagai-
mana pribadi Anengah sesungguhnya" Ia merasa tadi
saat ia menuduh, pemuda itu tampak terpukul. Tetapi
ternyata ia dapat menguasai diri. Mungkinkah ia tidak
berhati serendah itu" Keempat... ia sesungguhnya se-
dang bergembira karena telah memiliki ilmu Coban Saleksa. Memang ia masih banyak
harus berlatih. Yang jelas, ini suatu langkah yang hebat!
Angin bertiup keras. Rambutnya yang terurai agak
lengket oleh keringat. Ia berpaling ke arah barat. Agak
jauh di bawahnya, terlihat menara pemujaan. Dan Pa-
depokan Rahtawu.
Tempat itu tak akan sama lagi. Apa pun yang terjadi
nanti, semua kenangan manis tentang tempat itu akan
terhapus. Mungkin ia akan membenci tempat itu.
Apakah lebih baik jika... jika ia tidak mengunjungi
tempat itu lagi" Ia bisa memohon pada Bibi Madraka
agar mulai saat itu ia tak usah pergi ke Rahtawu lagi.
Lebih baik mengikuti Bibi Madraka mengembara saja.
Tiba-tiba ia terkejut. Ada sesuatu yang aneh pada
padepokan di bawahnya itu. Tak ada asap mengepul. Ini
aneh. Isi padepokan itu masih cukup besar. Dan me-
reka pasti menghendaki makan. Tapi dapur sama sekali
tak berasap. Mungkinkah karena sedang berkabung"
Yang aneh lagi... ya... Tari mencoba mempertajam pan-
dangan matanya. Tapi benar. Tak ada satu pun orang
tampak di halaman padepokan. Tak ada satu pun! Hei.
Cepat Tari berlari turun. Ada jalan setapak memang,
tapi jalan itu harus melewati berbagai semak-semak
dan batu-batu besar. Dengan gesit Tari berlompatan da-
ri batu ke batu atau melesat menerobos semak-semak.
Dadanya semakin berdebar sewaktu ia semakin de-
kat. Padepokan itu sangat sunyi.
Di depan gapura ia ternganga. Gapura itu pun ter-
nganga. Di halaman hanya ada beberapa belas ekor ayam.
Dan di lapangan ada beberapa ekor kambing. Tak ada
seorang manusia pun.
"Hei..." Tari melompat masuk. Gugup ia berlari me-
nyeberangi halaman. Tak ada orang. Ia masuk ke pe-
mukiman para wanita. Tak ada orang. Dapur pun sepi.
Tak ada orang! Tari berlari sampai ke halaman belakang. Ia masuk
ke biliknya. Bilik-bilik orang lain kosong. Barang-barang
yang ada hanyalah barang yang tak terlalu diperlukan.
Terdengar suara seseorang bergerak di luar bilik. Tari
cepat melompat ke luar lewat jendela.
Seseorang memang berdiri di halaman samping.
Anengah. "Kau?" Tari setengah bertanya setengah memanggil.
"Mereka sudah pergi. Kalau kau tadi cepat-cepat pu-
lang mungkin kau masih bertemu dengan Bapa Guru,"
kata Anengah. "Mereka... pergi ke mana?" Tari makin heran.
Anengah duduk di pagar dalam, mempermainkan
pedangnya. "Tadi malam, Bapa Guru memutuskan untuk me-
ninggalkan padepokan ini...," kata Anengah perlahan.
"Rombongan demi rombongan berangkat. Tujuannya
berbeda-beda. Hanya kepala rombongan kecil saja yang
tahu mereka akan ke mana. Rombongan Bapa Guru te-
rakhir berangkat. Pagi tadi, sesungguhnya sebelum ka-
mi berangkat, Tara harus dihukum mati. Ternyata ia hi-
lang." Anengah terdiam sesaat. "Juga ketahuan bahwa
kau tidak ada. Juga Bibi Guru. Aku ditugaskan menca-
rimu. Yang lain langsung berangkat sambil mencari
Tara." "Tadi kau menyuruhku menemui Bapa Guru!" tuduh
Tari. "Saat itu... mungkin kau masih bisa mengejar Bapa
Guru. Kau tak bertanya di mana pwangkulun. Kau langsung menuduhku yang bukan-
bukan. Terus terang, se-
sungguhnya ingin kau kutinggalkan saja. Hanya... aku
tak tega."
"Ke mana Bapa Guru?"
"Tak ada yang tahu. Bapa Guru tak ingin jatuh kor-
ban lebih banyak lagi."
"Lati" Rati?"
"Aku tak tahu. Tak akan ada yang tahu. Kecuali rom-
bongan itu sendiri. Dan mungkin Bapa Guru."
"Kakang sendiri... mau ke mana?" Tari bingung.
Anengah lama tak menjawab. Ia turun dari pagar.
Berjalan menunduk di antara bangunan-bangunan
yang kosong. Sebuah batu ditendangnya. Batu itu ter-
lontar dan pecah berkeping-keping. Ia berpaling. Berja-
lan mendekati Tari.
"Aku tak tahu. Perintah Bapa Guru agak membi-
ngungkan. Aku harus mengikutimu. Sungguh. Tak pe-
duli ke mana pun kau pergi. Tugas utamaku mencari
Tara. Dan menghukumnya. Tugas kedua, mengikuti.
Hanya itu."
"Aneh!"
"Memang."
Keduanya termenung.
"Aku akan pulang ke..." Tari ragu-ragu.
"Itu adalah salah satu tempat yang dilarang dikun-
jungi oleh Bapa Guru. Pusat perguruanmu mungkin
adalah sasaran penyebar maut itu...," tukas Anengah.
"Mungkin Bibi Madraka pulang ke sana."
"Bibi Madraka entah pergi ke mana. Mungkin telah
diberi tahu Bapa Guru terlebih dahulu."
"Aku akan pulang. Aku tak peduli. Mungkin Bibi Ma-
draka juga pulang ke Walirang. Dan mungkin sarika*
memerlukan bantuanku," Tari mengambil keputusan.
"Bapa Guru berkata tempat itu harus dihindari," ka-
ta Anengah. "Aku lebih khawatir akan keadaan Bibi Madraka."
"Kau berani menyalahi kata-kata Bapa Guru?"
Tari menunduk. Kemudian mengangguk. "Tak apa.
Aku tak punya maksud durhaka. Aku hanya ingin me-
* beliau nemui Bibi Madraka. Bapa Guru akan mengerti."
Tari bergegas ke asrama tempat ia tinggal. Diambil-
nya beberapa lembar kainnya, beberapa peralatan un-
tuk bepergian jauh yang biasanya dibawa oleh teman-
temannya serombongan, sebuah topi pandan lebar, alas
kaki, karung beras, air... dan ia merenungi tongkat yang biasa dibawa oleh Bibi
Madraka. Tongkat dari jantung
kayu asam. Hitam mengkilap. Lurus dan keras. Ia me-
mutuskan untuk membawa tongkat yang oleh kawan-
kawannya diberi julukan "si Galih" itu. Si Galih dahulu sering dipakai untuk
menghukumnya jika ia salah gerak. Dan akhir-akhir ini dipakai untuk membantu
Bibi Madraka berjalan. Bukan karena sang guru itu harus
bertongkat, tetapi sekadar penopang serba guna saja.
Kadang-kadang bahkan bisa dipergunakan untuk senja-
ta. Agak lama Tari memperhatikan tongkat itu. Hitam.
Halus. Mengkilap. Entah sudah berapa tahun umurnya.
Seingat Tari, sewaktu ia baru mulai diberi pelajaran tata gerak, tongkat itu
sudah ada. Pada umur lima tahun,
saat ia menerima pelajaran melompat, tongkat itu men-
jadi palang penghalang untuk loncatannya. Dan saat ia
mulai belajar memainkan senjata pada umur delapan
tahun, gurunya sering mengumpamakan tongkat itu
pedang. Atau tombak. Atau sekadar tinju lawan.
Kapankah tongkat ini akan kembali ke tangan pe-
miliknya" Tari tersentak dari lamunannya. Sayup-sayup dide-
ngarnya suara seruling.
Anengah tak dapat bermain suling. Atau, paling tidak
tidak semerdu itu. Tara... ya, dia pandai bermain suling.
Tapi tak mungkin dia. Orang lain yang pandai bermain
suling adalah... ah, itu pun tak mungkin. Si Gita, putra Paman Kanigara. Tapi
Gita masih kecil. Sedang lagu
ini... rasanya terlalu sulit bagi seorang anak gembala seperti Gita.
Tari bergegas keluar. Ke halaman yang begitu sepi.
Suara itu datang dari arah depan. Dengan membawa
buntalan barang-barang serta tongkatnya, Tari berlari
ke depan. Anengah berdiri di tengah pintu gerbang. Menghadap
ke luar. Dan di tengah padang rumput di depan pintu
gerbang itu, seseorang tampak duduk bersila di tanah.
Meniup seruling.
3. TANTRI "SIAPA DIA?" bisik Tari yang tak bersuara berdiri di belakang Anengah.
"Aku tak tahu. Dia belum mau berbicara. Entah ka-
wan, entah lawan."
"Kurasa ia tak bermaksud jahat pada kita," bisik Tari
lagi. "Kalau tidak, kenapa ia menampakkan diri begitu
saja" Dan lagu yang dimainkannya adalah Kidung Sri
Gandra. Kidung itu berisi pesan persahabatan. Agaknya ia ingin bersahabat."
"Dasar kau tak punya pengalaman. Bisa saja ia me-
nipu." "Kedengarannya ia orang yang terpelajar. Dan jujur.
Pasti ia bukan orang tidak baik."
"Biar kutanyai dia...."
"Jangan. Biar diselesaikannya dulu lagu itu." Baru
saja Tari selesai berkata begitu, irama seruling berubah.
Seakan gembira. Seakan tertawa. "Hei, ini bukan Ki-
dung Sri Gandra," bisik Tari pada Anengah. "Sri Gandra tak bisa dimainkan
selincah itu. Aku tahu. Bibi Madraka sering menyanyikannya untukku waktu aku
masih kecil." Irama yang dilagukan masih lincah dan riang. Ber-
lompat-lompat. Menggerakkan hati.
"Ah. Aku tahu. Ini lagu para nelayan di daerah Hu-
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jung Galuh. Aku ingat betul. Beberapa tahun yang lalu
aku diajak Bibi Madraka menyusuri Sungai Suwarna.
Dan di Hujung Galuh ada pesta besaaar sekali. Sebuah
kapal besar baru merapat. Para nelayannya berpesta-
pora, dan lagu itu dimainkan. Lucu. Para wanitanya
menari dengan gaya yang aneh. Hanya maju-mundur
dan melenggang-lenggang. Bahasa mereka agak lain
dengan kita. Apakah orang ini dari sana."
Terdengar lagu berubah lagi. Kini mengalun-alun.
Seakan tiupan angin. Di sela sekali-sekali oleh lengking-an tinggi bagaikan
pekikan burung camar. "Ah, seperti
di laut, ya," bisik Tari.
"Huh. Kau pernah ke laut?" tanya Anengah, sedikit
terlihat rasa irinya.
"Pernah saja! Waktu itu aku berangkat dari Hujung
Galuh," Tari tak menyembunyikan rasa bangganya.
"Kau saja yang seperti katak di bawah tempurung. Kami
murid-murid Bibi Madraka sudah berkunjung ke mana
saja!" "Makanya ilmu kalian tak maju-maju," dengus Ane-
ngah. "Daripada maju tapi tak tahu utara-selatan," tukas
Tari asal membantah saja, kekanak-kanakannya mun-
cul. "Kau pernah ke Kembang Putih, ke Kamal Pandak"
Tak mungkiiin!"
"Tapi kau ke tempat-tempat itu paling juga hanya
meminta-minta belas kasihan orang. Apa enaknya! Ja-
lan jauh, capek, makanan tak keruan!" Anengah juga
lupa akan ke "angkeran" dirinya. Ia meladeni gaya ke-
kanak-kanakan Tari. Sesaat Tari tercengang juga meli-
hat gaya berbicara Anengah. Belum pernah Anengah
begitu bebas berbicara. Bebas dalam arti tidak terlalu
terkungkung oleh kepura-puraan dan basa-basi. Ya.
Mungkin itu yang terjadi. Mungkin Anengah bersikap
angkuh dan sok berwibawa untuk membedakan dirinya
dari siswa lain. Terutama Kang Tara yang selalu ber-
canda dan ceria. Mungkin... karena sekarang merasa
tak ada saingan, Anengah bisa kembali pada pribadi
yang menyenangkan. Tapi... rasanya tak akan ada yang
bisa menggantikan kedudukan Kang Tara.
"Anak tolol, apa yang sedang kaurenungkan?" tiba-
tiba Anengah bertanya. Dan Tari tersentak dari lamu-
nannya. Dirasakannya betapa janggalnya mereka. En-
tah bagaimana ia dan Anengah telah duduk seenaknya
di telundakan pintu gerbang, berhadapan, seolah-olah
tak ada hal lain yang harus mereka perhatikan.
"Jika kau memang maju, coba bagaimana kau bisa
melakukan langkah ke-26 dari Sura-caya tanpa tangan-mu harus terangkat, hayo!"
Tari melanjutkan suasana
yang mereka buat itu. Ia bersandar ke gapura, duduk
seenaknya dan tak menghiraukan suara seruling yang
mendayu-dayu itu.
"Mudah saja. Kautekuk kaki kananmu, kauputar
bahumu ke kiri, dan dengan menggelengkan kepala ke
kanan maka tubuhmu akan maju ke depan tanpa ta-
nganmu terangkat. Itu pun kalau kau sudah melaku-
kan langkah sebelumnya dengan benar. Jangan tanya-
kan langkah sebelumnya, sebab kemungkinan kau ti-
dak mengujiku, tetapi memang bertanya!"
"Gila apa! Untuk apa bertanya padamu," Tari menci-
bir. "Hei, tanya saja padaku!" tiba-tiba sebuah suara melengking terdengar.
Keduanya menoleh. Ternyata orang
yang meniup seruling itu telah mendatangi. Dan kini ti-
dak meniup seruling lagi. Dan kini tampak bahwa orang
itu bukannya orang dewasa, tetapi seorang anak lelaki
yang kemungkinan baru berumur sekitar dua belas
atau empat belas tahun. Wajahnya tampan sekali, ma-
lah mendekati cantik. Kulitnya kuning bersih. Matanya
bersinar-sinar. Ia memakai kain yang tampaknya sudah
berpuluh tahun tidak dicuci. Selembar kain kasar me-
nutupi dadanya yang terbuka. Kainnya hanya diikat
dengan tali. Dan di tali itu terselip seruling putih dan sebuah kantungan bekal.
"Tanya saja padaku, pasti aku
jawab!" "Apakah kami mengajak bicara kanyu*" " sela Anengah. Kini sudah berubah lagi.
Kini seperti biasa: tajam, mantap, bersungguh-sungguh.
"Tentu saja tidak, tetapi kalau tidak dimulai seka-
rang, kapan lagi. Sejak tadi aku menunggu ditegur.
Wah, di sini kok sepi. Kabar yang kuterima mengatakan
di sini ramai!" anak itu menjawab seenaknya.
"Ramai karena apa?" Anengah tampak curiga. Dan
Tari bisa melihat bahwa tekanan yang beberapa saat ini
dirasakannya mulai muncul di wajahnya: marah, kesal,
putus asa, dan ketegangan. Pedang telanjangnya telah
diselipkan tanpa disarungkan ke ikat pinggangnya. Tapi
tangan kirinya seolah tak sengaja mendorong hulu pe-
dang itu hingga maju dan mudah dicabut kapan saja.
Dalam hati Tari merasa bahwa ketegangan Anengah
pastilah sudah pada puncaknya. Anengah yang biasa
angkuh itu... masakan kalau perlu menghadapi anak ini
harus menggunakan pedang"
"Ya karena ada orang. Benar bukan, Kak...?" anak
itu meringis pada Tari. Giginya putih bersih, rata, dan bibirnya bahkan sedikit
memerah. "Lha kalau di hutan
* kamu kadang-kadang memang ramai... tapi ramainya hutan
lho, kan tidak cocok bagi kita manusia! Masa aku harus
berbicara dengan harimau, kijang... masih untung. Lha
kalau bicara dengan ular pakai bahasa apa, hayo!"
"Siapa dan dari mana kanyu?" Anengah sama sekali tidak tergoda untuk tersenyum,
walaupun Tari hampir
terkikik oleh lagu bicara anak itu yang begitu aneh.
"Namaku Tantri. Boleh dikata aku ini anak angin,
tak pernah punya tempat tinggal. Jadi kalau ditanya da-
ri mana, yah... bagaimana, ya... pertanyaannya jangan
sulit-sulit ah. Kita sendiri siapa?" ia balas bertanya. Ta-pi pada waktu
bertanya siapa lawan bicaranya itu, anak
tadi tidak menghadap Anengah, malah menoleh pada
Tari. "Hei, kanyu bertanya padaku atau padaku?" Tari mencoba melepaskan beban di
hatinya dengan mengajak berbicara ringan dengan anak ini.
"Benar, pada kita dan pada kita," anak itu tertawa mendengar permainan kata
Tari. Kita memang berarti kau ataupun aku. "Suara nta bagus. Aku senang men-
dengarnya. Pikira nta indah, aku suka melihatnya. Pengalama nta luas, aku suka
berkelana di dalamnya...."
Mau tak mau Tari tertawa mendengar gaya bicara
anak itu. "Namamu Tantri" Namaku Tari. Dan ini..."
Kata-kata Tari terputus. Anengah melompat ke anta-
ra Tari dan Tantri, kakinya melecut ke arah tangan Tan-
tri. Tantri menjerit keras. Tubuhnya yang kecil terlem-
par terpental dan jatuh terkangkang di tanah.
"Kakang Anengah!" Tari berteriak langsung melompat
mencegah tendangan kedua Anengah.
"Kau lupa peristiwa yang baru terjadi. Dan kau begi-
tu saja mempercayai orang," dengus Anengah dengan
sikap masih akan melancarkan serangan. "Yang mem-
bunuh begitu banyak saudara-saudara kita adalah seo-
rang wanita cantik yang katanya mirip bidadari. Apa
susahnya bagi seorang anak untuk mencabut nyawa ju-
ga?" Tari menelan kembali kata-kata marah yang akan
disemburkannya. Betapapun Anengah benar. Ia tak
kenal anak ini. Dan kemungkinan bahwa anak ini juga
diperalat oleh siapa pun yang memusuhi padepokan ini
masih ada. Tari melangkah mundur. Diliriknya anak
yang mengaku bernama Tantri itu berguling-guling di
tanah sambil memegang tangan kanannya yang tadi
terkena tendangan Anengah. Dan anak itu menangis!
"Hu hu huuuu... kalian sungguh galak..., sungguh
tidak sesuai dengan... dengan... sebagai murid-murid
padepokan yang mestinya... mestinya belajar mengasihi
sesamanya, hu hu huuuu. Makanya tempat kalian sepi
begini... paling semua orang lari, habis... habis kalian galak sih. Huhu
huuuu... walaupun kalian jaga kaki
gunung ini dengan pagar betis pun... pasti orang akan
lari semua. Hu hu hu... tapi, eh, isi padepokan ini kan tinggal kalian berdua
toh" Lalu... untuk apa kaki gunung kalian jaga?" dari menangis Tantri mengubah
si- kap jadi bertanya. Dia kini sudah berdiri sambil terus
mijit-mijit tangan kanannya. Tari melihat tangan itu
mulai memerah bagai terbakar. Itulah akibat tendangan
Birawadana Anengah tadi.
"Apa katamu?" tangan Anengah secepat kilat melun-
cur dan menyambar kain pembungkus badan Tantri.
"Eh, eh, apa aku salah bicara ya?" Tantri sangat ke-
takutan. "Kaubilang kaki gunung ini dijaga?" Anengah meng-
guncang-guncang tubuh anak itu.
"Be... benar! Apanya yang aneh" Kita pasti tahu itu, kan?"
Baru kini Tari sadar mengapa Anengah tampak begi-
tu gusar. "Siapa yang menjaga" Di mana?" tanya Anengah.
"Eh, eh, jadi bukan kita" Orangnya galak-galak... di hutan yang ada jalan
setapaknya ke Kojajar?"
"Apa yang mereka lakukan?"
"Tadinya mereka melarang aku naik. Aku bilang aku
cari kambingku yang lepas. He he he he... aku pandai
bermain sandiwara lho! Dulu di..."
"Apakah mereka memakai seragam" Mereka mema-
kai tanda-tanda?" tukas Anengah. Tari ikut tegang
mengikuti pembicaraan ini.
"Seragam" Tidak... tidak kok. Mereka malah lebih
mirip perampok. Mukanya menyeramkan, pakaiannya
tak keruan... cuma, pemimpinnya naik kuda. Dan di pe-
lana kuda itu aku lihat cap bergambar.... Ya, ada gam-
bar mirip Candrakapala..." Dan Tantri menirukan Candrakapala itu, yaitu
tengkorak yang bertaring.
"Candrakapala" Lambang Kadiri dulu?" Tari ikut
berbicara. "Lambang itu sudah lama hilang."
"He he he... aku juga bilang mirip. Rasanya sih bu-
kan lambang Kadiri kok. Kalau Kadiri lambangnya begi-
ni," Tantri membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Apa kata mereka?" Anengah masih mencengkeram
kain pembalut badan Tantri.
"Wuah. Mereka galak. Lebih galak dari kita," kata Tantri. "Mula-mula aku tak
boleh masuk. Kemudian
mereka memperbolehkan aku masuk. Tapi pemimpin-
nya bilang, barang siapa yang sudah naik gunung ini,
tak boleh keluar lagi. Harus dibunuh. Serem, ya" Me-
ngapa kita buat peraturan aneh itu?"
Anengah mengempaskan Tantri ke tanah. Gemas ia
berbalik menghadap pintu gerbang padepokan. Ta-
ngannya mengepal keras. Tubuhnya tampak tegang.
Mau tak mau Tari harus berpendapat bahwa saudara
seperguruannya ini terlihat sangat memikirkan pergu-
ruannya. Kemudian Anengah berpaling lagi. Wajahnya begitu
muram. "Bapa Guru memerintahkan aku untuk selalu men-
jagamu, mengikutimu. Kau kularang pulang ke Wali-
rang, karena itu larangan Bapa Guru. Kau tampaknya
kurang percaya padaku. Baiklah," Anengah menghela
napas panjang, "aku akan melanggar perintah Bapa
Guru. Harapanku hanyalah, suatu saat pwangkulun
akan memberiku ampun. Tugas utamaku mencari Tara,
itu akan kulaksanakan. Tugas keduaku menjaga eng-
kau, tapi karena kau tak peduli, biar kulanggar tugas
itu. Aku rasa ada tugas lain yang lebih penting. Yaitu...
mencari siapa sebenarnya yang begitu membenci Rah-
tawu hingga ingin membasmi kami sedemikian rupa.
Nah, sekarang terserah kau, Tari. Jika kau pergi sendiri, dan suatu saat menemui
kesulitan, hubungi aku dengan getaran batinmu. Jika kau tewas di tangan seseo-
rang, aku akan membalaskan dendammu. Terserah kau
mau ke mana."
"Tunggu, Kakang Anengah," Tari cepat mencegah
saat Anengah akan berpaling pergi. "Maafkan aku tadi...
begitu kasar padamu. Aku tahu... kau tertekan oleh pe-
ristiwa ini. Aku pun demikian. Kita bersaudara, tak ada yang bisa memutuskan
persaudaraan kita. Apalagi
hanya dengan pertengkaran kecil itu."
"Lalu?" hidung Anengah mengembang karena mena-
han haru. "Kau lebih tua dari aku. Aku akan ikut kau. Asal kita
segera berangkat."
"Aku ikut," kata Tantri. "Aku bisa mati kalau harus
melewati orang-orang di kaki gunung itu."
"Dengar. Aku masih mencurigaimu," dengus Ane-
ngah. "Aku... aku betul-betul orang baik-baik kok. Aku ke-
mari hanya... ingin minta makan dan minum serta tem-
pat istirahat beberapa hari. Itu saja. Benar. Kudengar
Padepokan Rahtawu sangat murah memberi dana...."
"Sudahlah, kalau kau mau ikut, ikutlah... tapi ja-
ngan bikin gara-gara, ya!" Tari menggamit tangan Tantri agar mendekat untuk
menghindari sambaran tangan
Anengah. "Hm, Tari, kau tak boleh begitu saja mempercayai
orang. Kauperhatikan dia terus. Jika dia berbuat sesua-
tu yang mencurigakan, bunuh. Tunggu, aku akan men-
gambil perbekalan."
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga sudah da-
lam perjalanan turun gunung. Anengah kini mengena-
kan pakaian petani, dengan caping lebar, kain kasar,
dan buntalan perbekalan di punggungnya. Pedangnya
dibungkus kain dan dijadikan pemikul buntalan tadi.
Tari juga berpakaian serupa. Tongkat si Galih dijadikan kayu pemikulnya. Tantri
tentu saja tak berubah penam-pilannya. "Untuk apa menyamar. Walaupun kita
menyamar pun orang takkan percaya kita petani. Aku sendiri... tanpa menyamar
orang pasti mengira aku orang
gila. Ya toh?" katanya.
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menjelang sore hutan yang mereka tempuh mulai
menipis. "Hei, bukankah ini jurusan ke Kojajar?" tanya Tantri
tiba-tiba. "Di ujung jalan ini dijaga manusia galak!"
Anengah tak menjawab.
"Kakang Anengah ingin menyelidiki mereka," bisik
Tari. "Dan kurasa s arika ingin melampiaskan kemarahannya pada seseorang. Aku
juga begitu."
"Kita labrak mereka?" Mata Tantri bersinar.
"Ya. Kau takut?"
"Takut sih tidak. Tapi aku tak bisa berkelahi. Aku
nonton saja, ya" Kalau kita berdua kalah, aku pura-pura tidak kenal, jadi tak
ikut ditangkap, ya?"
"Kalau memang terjadi pertempuran, kau lari saja.
Ingat, ya?"
"Boleh!" Tantri mengeluarkan serulingnya, dan sam-
bil berlari-lari kecil ia meniupkan lagu gembira pada serulingnya.
Anengah yang tak sabar telah menggunakan ilmu ja-
lan cepatnya. Tari harus mengikutinya, maka ia pun
menggunakan ilmu yang sama. Tantri sendiri agaknya
tak memiliki ilmu apa pun, jadi ia harus berlari-lari kecil. Waktu Tantri meniup
seruling sambil berlari-lari kecil, Anengah melirik tajam pada anak itu. Dan
pandan- gan matanya bertemu dengan pandang mata Tari. Jika
memang Tantri tak punya ilmu, paling tidak ia harus te-
rengah-engah. Kini dengan enak ia malah meniup serul-
ing. Tiba-tiba Anengah berhenti dan menjulurkan kaki-
nya. Tari dengan mudah melewatinya. Tetapi Tantri
langsung jatuh terbanting tunggang-langgang memben-
tur kaki Anengah.
"Hei, kalau berhenti jangan terlalu tiba-tiba. Wah,
benjol kepalaku ini...." Tantri mengusap-usap dahinya
yang terbentur pohon. Tari memperhatikannya. Ane-
ngah mengangkat bahu. Ia merasakan dari benturan
tadi bahwa Tantri tak punya tenaga apa pun. Aneh juga.
Mereka melanjutkan perjalanan. Jalan kini kian me-
lebar. Pepohonan pun kian menipis.
"Itu mereka," tiba-tiba Tantri berkata. Mereka ber-
henti. Di depan sana hutan berakhir. Jalan yang me-
reka lalui melebar di sebuah padang rumput kecil. Di
sisi padang rumput itu ada serumpun pohon bambu.
Rindang sekali. Dan beberapa lelaki duduk-duduk di
sana. Tak jauh dari mereka berkumpul beberapa ekor
kuda. Kemunculan Anengah, Tari, dan Tantri dari da-
lam hutan langsung membuat orang-orang itu berdiri.
Dengan sikap garang mereka mengambil kedudukan di
ujung jalan itu, hingga ke mana pun ketiga orang itu
pergi maka dengan mudah dapat mereka tangkap.
Tapi Anengah dan Tari bukanlah orang yang mudah
ditakut-takuti. Mereka tidak lari. Dengan tenang berja-
lan mendekat. "Hei, kamu!" seorang bertubuh tinggi besar dengan
rambut tumbuh hampir di seluruh tubuh membentak.
"Dari mana, hei?"
"Siapa kalian?" bentak Anengah tak kurang galak-
nya. "Monyet! Aku bertanya padamu, hei!"
"Terserah. Kalau kau tak mau menjawab, aku juga
tak mau menjawab!" sahut Anengah. Kedua orang itu
langsung berbicara dengan bahasa kasar, tidak seperti
biasanya jika seseorang jumpa di jalan dengan orang
lain. "Monyet! Namaku Kala Modot, kau pasti sudah de-
ngar nama itu bukan" Aku raja perampok di daerah ini.
Nah, jawab pertanyaanku tadi!"
"Jika kau raja, mengapa kau merampok" Jika kau
raja perampok, jelas kami bukan rakyatmu, kami bukan
perampok kok!" Tantri ikut berbicara. "Lagi pula, jadi
raja perampok saja kok bangga sih?"
"Pokoknya, serahkan semua hartamu. Cepat!" geram
perampok yang bernama Kala Modot itu. "Lebih bagus
lagi, serahkan kepala kalian!"
"Kau terlalu serakah," dengus Anengah. "Ketahuilah,
ini masih daerah pengaruh Padepokan Rahtawu. Dan
sebagai murid Rahtawu, aku tak rela daerah ini dikotori
oleh orang-orang macam kau!"
"Weeee lhah! Kau murid Rahtawu! Wah, wah, wah,
untung besar ini kita, kawan-kawan...." Kala Modot ter-
tawa dan berpaling pada kawan-kawannya. "Dapat ma-
kanan besar kita kali ini. Ha ha ha... Anak bagus, se-
rahkan dirimu baik-baik saja ya, sayang kulitmu jika
pecah...." ia tertawa pula pada Anengah.
"Hari ini aku melanggar pantangan membunuh," ka-
ta Anengah dingin. "Akan kubasmi kalian semua. Tapi
jika kalian mau berterus terang tentang siapa yang me-
nyuruh kalian berada di sini, mungkin nyawa kalian
masih bisa kuampuni."
"Weeee lhah! Lha ini lucu... kamu itu aku yang ngan-
cam, Nak! Kamu tidak pantas mengancam orang! Sini...
mana lehermu biar kupotong sendiri sini...." Kala Modot tertawa mengulurkan
tangannya. Akibatnya hebat. Ta-hu-tahu saja orang bertubuh tinggi besar itu
terbanting begitu keras hingga suaranya membuat kuda-kuda
menjerit. "Bangsaat. Monyet! Celeng!" Kala Modot memaki-
maki bangkit. "Kamu tak bisa disayang, yah! Kawan-
kawan... gempur!"
Serentak sekitar sembilan orang maju menerjang
Bloon Cari Jodoh 14 Beruang Salju Karya Sin Liong Pendekar Pemetik Harpa 28
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-2 oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Januari 1989
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1. HUKUMAN PENDAPA depan Padepokan Rahtawu sunyi senyap ki-
ni. Angin pun sampai terdengar menderu di sudut-
sudut atap. Angin dingin yang biasanya membawa alu-
nan doa. Hingga sayup-sayup menjauh.
Kini angin itu hanya membawa suara dari luar. Sua-
ra ratap tangis. Suara makian. Kemudian suara kaki-
kaki yang berjalan menuju pendapa.
Di pendapa sendiri sunyi.
Semua yang ada di situ bagai patung.
Suranggana, dengan kepalanya yang hitam berhias
rambut tak keruan. Dan aliran darah yang terus me-
ngucur dari bagian belakang kepalanya. Berdirinya ti-
dak mantap. Setiap saat ia pasti tumbang. Tapi mata-
nya beringas merah. Membara. Marah. Mulutnya mena-
han rasa sakit. Tangannya teracung. Telunjuknya kaku
mengarah pada Tara.
Tara juga bagai patung.
Tapak kakinya memang sudah dalam kedudukan ge-
rak Sura-caya, siap untuk menghindar dari serangan pihak mana pun. Tetapi kaki-
kaki itu nampak lemas.
Tak ada otot yang tegang yang menandakan tenaga
akan tersalur dan kaki terangkat. Pandangan matanya
pun tidak tertuju pada Suranggana yang seakan hendak
melahapnya. Ia pun tidak memandang pada Anengah
yang walaupun berada di lantai siap terbang setiap saat, dengan kaki akan
langsung menebas lehernya.
Rasanya hanya Anengah yang paling hidup. Matanya
liar. Hidungnya kembang-kempis. Jari-jemari yang me-
nahan tangannya di lantai gemetar. Dan setiap otot di
kakinya menegang, menghimpun kekuatan dahsyat un-
tuk membunuh dalam sekali pukul.
Bahkan Rangga Prawangsa yang galak itu rasanya
kalah angker dengan Anengah. Perwira Daha itu kini
berada di belakang Tara, siap untuk meringkusnya lagi
setelah tadi dengan mudah mengibaskannya. Rangga
Prawangsa bertekad untuk menjalankan tugasnya de-
ngan baik. Dan tugas itu adalah melindungi Resi Rha-
gani. Apa pun yang terjadi. Ia tahu Tara adalah murid
Resi Rhagani. Tetapi jika keadaan memerlukan, ia tak-
kan segan menghajar anak itu.
Resi Rhagani paling mirip patung. Ia memejamkan
mata. Ia menyusun jari, merapatkan tapak tangan. Ia
berdiri tegak. Tak bergerak.
Yang lain diam, namun gelisah. Tari merangkul se-
buah tiang agung. Mukanya rapat ke kayu itu. Matanya
bingung memandang Tara. Mulutnya ternganga seolah
ingin meneriakkan sesuatu. Lati dan Rati berada di
pinggir. Berangkulan. Memandang ke Tara dan Surang-
gana. Pawungsari dan Dwaralika kebingungan.
Makin banyak keluarga padepokan yang berdatang-
an ke pendapa itu. Mereka memang hanya berhenti di
tepi lantai pendapa. Kemudian diam.
"Aku mohon Panembahan..." terdengar suara serak
Suranggana kini bergema. Susah sekali ia mengelua-
rkan kata-kata. "Cabut nyawa murid durhaka ini. Dia
punya ilmu tinggi, namun tak dapat menggunakannya.
Dia perkasa, namun tak tahan melihat wajah cantik
hingga melupakan semua saudaranya. Bunuh dia, Pa-
nembahan!"
Dan Suranggana roboh. Beberapa orang akan meno-
longnya. Tetapi ia mengangkat tangan mencegah. Susah
payah ia merayap hingga mencapai kaki Resi Rhagani.
Dipegangnya kaki itu dengan tangannya erat-erat.
"Belasan tahun, puluhan tahun... aku mengabdi pa-
da Tuan, Panembahan... aku tak mau Tuan keliru...
aku tak mau Tuan memperoleh malapetaka hanya ka-
rena keliru menilai orang. Muridmu si Tara itu... tidak punya hati. Tuan akan
menyesal jika masih membiar-kannya hidup. Suatu hari dia akan... mampu mengor-
bankan saudara-saudaranya lagi... O, Panembahan..."
Dan Suranggana roboh lemas. Tak bergerak lagi. Ma-
ti. Seorang warga padepokan yang berada di luar pen-
dapa berlutut, sujud mencium tanah. Dan ia berseru,
"Derita kami begitu dalam, Guru... hukumlah Tara!"
Dan gerakan serta suaranya satu per satu ditiru oleh
yang lain. Tak lama orang-orang yang mengelilingi pen-
dapa itu telah bersujud sambil berseru bagaikan ber-
nyanyi, "Hukum Tara! Hukum Tara! Hukum Tara!"
Tara bagaikan tersentak dari mimpi. Matanya beri-
ngas memandang ke kiri ke kanan. Dan tiba-tiba ia pun
menubruk kaki Resi Rhagani yang masih digenggam
Suranggana. "Guru... hukumlah aku jika aku bersalah... tapi aku
tak merasa bersalah, Guru!" teriak Tara mencoba meng-
atasi galau di luar itu.
"Suranggana telah tewas," baru kemudian Resi Rha-
gani terdengar suaranya. "Ia merasa pasti akan sesuatu.
Dan ia mati dengan rasa pastinya itu. Kau harus berce-
rita dengan jelas. Untuk itu kautenangkan diri lebih dahulu. Dwaralika,
Pawungsari, bawa Tara ke Ruang
Sunyi. Yang lain..." Resi Rhagani memperkeras sua-
ranya hingga menindih suara galau yang ada dan se-
mua diam untuk mendengarkannya, "Padepokan kita
telah tertimpa malapetaka dahsyat. Kita belum tahu apa
yang terjadi. Untuk itu Tara akan kita periksa nanti.
Yang jelas, ini mungkin ada hubungannya dengan peta-
ka yang menimpa guru kalian - Madraka. Uruslah me-
reka yang tewas. Dan waspada serta lipat-gandakan
penjagaan. Malam nanti kita akan melakukan upacara
untuk mengiringi mereka yang menghadap para dewata.
Kemudian kita bicarakan apa yang terjadi."
Dengan menunduk Resi Rhagani meninggalkan tem-
pat itu. Dwaralika dan Pawungsari memberi isyarat pa-
da Tara untuk ikut mereka. Ketika Tara tak bergerak,
Anengah dengan geram berdiri dan menyeret pemuda
itu. Di luar, sebuah batu pertama terlempar pada Tara.
Kemudian menyusul batu-batu lainnya. Hujan batu di-
iringi hujan makian. Tara dengan gugup mencoba me-
nangkis semua lemparan itu. Dwaralika dan Pa-
wungsari pun terpaksa melindunginya. Namun mereka
kewalahan. Akhirnya mereka hanya bisa menyeret Tara
untuk berlari secepatnya.
Terengah-engah mereka mencapai bangunan yang
berisi Ruang Sunyi. Ruang itu berada di bawah tanah,
tempat Sang Resi biasa menyepi untuk menekuni il-
munya. Dwaralika dan Pawungsari berhenti sejenak mem-
perhatikan apakah orang-orang mengejarnya. Tidak.
Agaknya mereka masih berada di halaman depan. Dan
kini mereka mungkin sibuk mengurusi mayat-mayat.
"Buka pintunya, Dinda Pawungsari," kata Dwaralika.
Diperhatikannya Tara. Pemuda itu lemas. Matanya kini
kosong tak bercahaya. Pasrah.
"Sebetulnya apa yang terjadi, Tara?" tanya Dwaralika
sementara Pawungsari membuka pintu - sebuah pintu
kayu yang besar dan berat. Tara diam saja.
"Kau perlu menjawab. Bukan untuk menyelamatkan
nyawamu, tetapi agar kita tahu apa yang terjadi. Agar
kita bisa mencegahnya."
Tara diam saja.
Anengah muncul. Badannya penuh keringat. Dada-
nya kembang-kempis menahan marah.
"Tara! Betulkah kata Paman Suranggana tadi?" ben-
tak Anengah. Tara diam saja.
"Bangsat cilik... jawab!" dengan geram Anengah me-
nampar Tara. Tapi Dwaralika dengan tangkas menang-
kis tamparan itu.
"Sabar, Anengah, akan kita bicarakan nanti," kata
Pawungsari. "Paman tadi dengar kata Paman Suranggana" Beliau
merasa pasti si kunyuk kecil ini penyebab kematian ta-
di!" sahut Anengah geram.
"Aku tahu. Tapi kita harus mempelajari dulu apa
yang terjadi." Dwaralika mendorong Tara masuk. Pa-
wungsari langsung menuntun Tara masuk dan menu-
runi tangga. Dwaralika menutup pintu bangunan serta
berdiri menghadang di depan Anengah. "Sementara itu
kita tak bisa sembarangan menjatuhkan hukuman!"
"Ah, itu semua hanya membuang waktu!" geram
Anengah. "Paman sendiri tahu, ia suka bersikap manis
pada Bapa Guru dan Bibi Madraka, hanya agar mempe-
roleh ilmu lebih banyak! Kesetiaannya tak ada. Dan itu
berbahaya, bukan?"
"Benar, tapi yang berhak memberi hukuman hanya
Gusti Panembahan," kata Dwaralika.
"Sekali lagi, itu hanya membuang waktu!" dengus
Anengah. Dwaralika sesaat memperhatikan Anengah. "Ane-
ngah, kenapa kau tiba-tiba berubah" Biasanya kau wa-
laupun kaku tetapi punya perasaan adil, dan tidak begi-
tu serampangan dalam menjatuhkan putusan."
"Aku tidak apa-apa! Hanya aku tak rela jika saudara-
saudaraku tewas tanpa pembalasan!"
"Kepada siapa" Yang jelas bukan Tara yang membu-
nuh orang-orang itu!"
"Tapi mungkin Tara sudah bisa melakukan pembala-
san itu tanpa harus menunggu segala macam urusan -
kalau saja ia memang punya maksud untuk membalas
dendam! Jadi Tara jelas bersalah!"
"Tiba-tiba rasa dendam menyelimuti hatimu. Apakah
itu yang kaupelajari di sini?"
"Paman bukan guruku, tak usah Paman menggurui-
ku." "Bagus jika kauingat bahwa kau patut patuh pada
gurumu. Dan gurumu menghendaki perkara ini dibica-
rakan lebih dahulu!"
"Dinginkan kepalamu, Anengah," Pawungsari telah
keluar dari Ruang Sunyi, dan memalang pintunya dari
luar. Memang sesungguhnya Ruang Sunyi itu serbagu-
na - untuk menyepi atau mengucilkan seseorang. Ada
kalanya seorang siswa harus merenungkan kekeliruan-
nya hingga terpaksa dikucilkan di sini. Di bawah tanah, ada tiga tingkat
ruangan, bersusun ke bawah. Untuk
kekeliruan yang sangat berat, maka siswa yang ber-
sangkutan ditempatkan dalam ruangan yang hanya cu-
kup untuk duduk bersila. Ruang di atasnya agak lega.
Ruang ketiga yang tepat berada di bawah permukaan
tanah sudah cukup lega dan bahkan penghuninya bo-
leh menikmati cahaya lampu, buku-buku agama, serta
makanan atau minuman. Di sini sesungguhnya Sang
Resi biasa menyepi - bukan karena menjalani hukuman
tapi hanya untuk lebih memusatkan pikirannya pada
sesuatu. Bangunan yang berada di atas tanah berupa
ruangan untuk berdiskusi - sebuah ruang yang lega
dengan jendela berterali bambu dan dinding bambu
dengan pintu kokoh.
"Tara berada di ruang terbawah. Dia toh tak akan bi-
sa ke mana-mana. Jika kau ingin menghukumnya, ma-
sih ada saatnya nanti."
"Aku tak mengerti Paman berdua. Sama sekali tak
mengerti. Bukan hanya rasa keadilan... tetapi toh Pa-
man berdua seharusnya mencoba membalaskan kema-
tian Paman Suranggana!" kata Anengah.
"Aku mengerti bahwa mungkin kau akan menjadi pe-
mimpin para siswa di sini," kata Pawungsari dingin.
"Aku mengerti rasa tanggung jawabmu besar. Rasa per-
saudaraanmu tebal. Tapi selama kau belum resmi men-
jadi pemimpin di sini, kuharap kau menunggu apa yang
akan dikatakan Sang Panembahan nanti. Ayo, Dinda
Dwaralika...."
Pawungsari menggamit Dwaralika. Dwaralika mena-
tap tajam pada Anengah dan berdua melangkah pergi.
Anengah masih lama termenung di depan pintu vang
terpalang itu. Matahari telah tinggi. Dari sudut matanya ia melihat sesosok
bayang-bayang orang di balik
bayang-bayang lumbung padepokan. Ia menghela napas
panjang dan berkata seorang diri, "Hhh... betapa berat
cobaan untuk Guru. Dan saat aku ingin mencoba meri-
ngankannya, ada saja orang yang tak mengerti. Ah, ka-
lau saja aku punya kekuasaan yang lebih besar... Pasti
penyebab malapetaka ini sudah lama aku ringkus!"
Ia berbalik. Dan melangkah meninggalkan tempat
itu. Sengaja ia berjalan ke samping lumbung. Dan ia
bertemu dengan Rangga Prawangsa yang tampaknya
sedang berjalan menunduk tenggelam dalam pikiran da-
lam. "Oh, Tuanku Rangga... tuanku belum memperoleh
tempat untuk istirahat?" tanya Anengah. "Maaf jika tak
ada yang memperhatikan Tuan. Aku harus mengatur
persiapan upacara nanti malam."
"Tak apa. Sebagai seorang bekas prajurit tentu saja
aku tak kaget akan ketidaknyamanan tempatku berada.
Mhhh... ya. Namamu Anengah, bukan" Dari manakah
asalmu?" "Mohon diampun, Tuan... menurut cerita Bibi Ma-
draka hamba ditemukannya dekat Hutan Lawor... ma-
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sih berumur dua tahun, demikian kata pwangkulun.
Hamba tak berani menanyakan lebih lanjut tentang as-
al-usul hamba... tetapi Hutan Lawor adalah daerah Da-
ha, bahkan merupakan jalan besar ke Daha dari Kota-
raja. Bukan tidak mungkin hamba mempunyai ayah-ibu
di Daha. Dan rasanya hal itu tak terlalu sukar untuk
diselidiki."
"Lalu Uttara?" Rangga Prawangsa bersandar ke din-
ding lumbung untuk menghindari terik matahari.
"Tara hampir mirip riwayatnya dengan hamba," Ane-
ngah seakan mendengus. "Hanya menurut cerita Bibi
Madraka dia ditemukan di Kamal Pandak, di tepi Su-
ngai Bara. Riwayat hidupnya pun gelap...."
"Aku tadi menyaksikan kalian bertarung. Kepandai-
an kalian berimbang?" Rangga Prawangsa menyipitkan
matanya agar tak tampak bahwa matanya itu melirik
memperhatikan wajah Anengah. Anengah tampak se-
makin berwibawa dengan alis mata tebalnya berkerut.
Dadanya yang berhias bulu dada kini bersimbah peluh,
mengkilap dalam sinar matahari, memperlihatkan dada
yang lebar dan tangguh kokoh. Dengan tubuh tinggi be-
sar dan cara berdirinya yang tegak itu, Anengah lebih
cocok untuk menjadi seorang panglima perang, pikir
Rangga Prawangsa. Atau... memangkah anak ini ketu-
runan seorang ksatria Daha" Lebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan perhatian
Bhre Daha pada murid muda di
Padepokan Rahtawu... apakah hubungannya lebih erat
dari yang bisa diduganya"
"Guru sangat adil dalam memberi pelajaran," kata
Anengah. "Tak ada siswa yang memperoleh lebih, tak
ada yang kurang. Pada akhirnya tergantung dari para
siswa itu sendiri. Mungkin apa yang dipelajari Tara sa-
ma dengan apa yang aku pelajari. Pada akhirnya, Guru
sendiri yang menentukan siapa yang sudah cukup ma-
tang untuk memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi. Sebagai
gambaran saja... Guru telah menurunkan Dharmacakra
padaku. Sedang pada Tara belum."
Kembali Rangga Prawangsa memperhatikan Ane-
ngah. Terdengar nada sedikit menyombong pada anak
muda itu. Atau, memang demikianlah sifatnya"
"Oh, ya. Bagaimana dengan siswa-siswa putri?" ta-
nya Rangga Prawangsa.
"Mereka sesungguhnya hanyalah separuh siswa. Me-
reka asuhan Bibi Madraka. Tetapi Bapa Guru kami de-
ngan murah hati menganugerahi mereka dengan ilmu-
ilmu Padepokan Rahtawu. Sebulan sekali mereka diba-
wa kemari oleh Bibi Madraka. Ini sesungguhnya kebia-
saan Bapa Guru dan Bibi Guru dari dulu. Ilmu pwang-
kulun berasal dari satu sumber yang juga kakak-adik pria dan wanita. Maka
pwangkulun berdua ingin meles-tarikan kebiasaan itu."
"Berapa jumlah mereka?"
"Mereka sesungguhnya..." Tiba-tiba Anengah berhen-
ti berbicara. Beberapa orang wanita muncul membawa
tempat padi. Di antara mereka tampak Tari yang ma-
tanya bengkak karena menangis. Wanita-wanita lain
adalah anggota Padepokan Rahtawu sendiri. Mereka le-
wat di depan Rangga Prawangsa dan Anengah, diam-
diam membungkuk memberi hormat. Mereka kemudian
menaiki tangga ke pintu lumbung
"Katamu tadi..." Rangga Prawangsa mengingatkan
Anengah saat para wanita itu sudah masuk ke dalam
lumbung. "Mmmh, maaf, Tuanku Rangga... tidak enak rasanya
kita berbicara di sini sementara semua orang bekerja.
Hamba akan pergi ke depan dulu...," Anengah mengi-
syaratkan sembah dan bergegas pergi.
Rangga Prawangsa termenung-menung sejenak,
memperhatikan kepergian Anengah. Kemudian ia mem-
perhatikan pintu lumbung yang tinggi itu. Dan akhirnya
ia menggelengkan kepala, berjalan menunduk ke ba-
ngunan yang memiliki Ruang Sunyi itu.
Lama ia berdiri di depan bangunan tersebut. Sampai
kemudian terdengar langkah kaki mendatangi. Ternyata
Tari. Gadis itu terlihat terkejut melihat Rangga Pra-
wangsa ada di situ. Ia bergegas menunduk menyembah
dan akan berlalu. Tetapi Rangga Prawangsa mencegah-
nya. "Tunggu, bukankah kau yang bernama Tari?" sapa
Rangga Prawangsa.
"Benar, Tuanku Rangga... namun mohon maaf,
hamba tak punya waktu untuk berbicara. Mohon beribu
maaf, Tuanku, hamba berlalu...." Dan Tari bergegas
pergi. Rangga Prawangsa ternganga. Gadis itu tidak secan-
tik putri-putri Daha, memang, tetapi ada sesuatu yang
sangat menarik padanya. Pandang matanya yang tajam,
sikap wajahnya yang anggun. Bahkan pada saat mem-
bungkuk memberi hormat terasa bahwa hal itu seakan
dipaksakan. Juga jalannya... seakan tak acuh pada sia-
pa pun. Dia akan menanyakannya pada Resi Rhagani nanti.
Malamnya, upacara untuk mendoakan para sukma
yang telah meninggalkan badan kasar mereka berjalan
khidmat. Dan mengharukan. Di antara doa yang diba-
cakan dan dinyanyikan bersama, teralun pula lengking-
an tangis dan alunan ratapan. Ditambah dengan hawa
yang terasa luar biasa dinginnya, dan cuaca yang gelap
pekat, api unggun di halaman depan padepokan itu se-
rasa tertelan cerianya. Upacara berlangsung terus hing-
ga menjelang fajar, dan kemudian satu per satu jasad
mereka yang gugur diangkat ke luar untuk disemayam-
kan di halaman candi di luar lingkungan padepokan
guna menantikan upacara selanjutnya. Di pendapa de-
pan, Resi Rhagani berdiri sunyi memperhatikan para
warga padepokan hampir tanpa suara mengalir ke luar
padepokan dengan membawa berbagai peralatan upaca-
ra. Tidak seperti biasanya pada upacara keagamaan,
maka beberapa warga padepokan telah mempersenjatai
diri dan mengikuti rombongan yang keluar itu sebagai
pengawal. Di atas pagar padepokan pun terlihat bebera-
pa orang berjaga-jaga.
Akhirnya halaman depan itu sunyi. Dan gelap. Ha-
nya beberapa obor yang masih menyala. Itu pun di tem-
pat-tempat yang berjauhan. Ini membuat orang-orang
yang berada di pendapa itu bagaikan sosok-sosok
bayangan seram.
Mereka adalah Resi Rhagani, Dwaralika, Pawungsari,
Kanigara, Sodrakara, Tari, Anengah, dan Rangga Pra-
wangsa. "Mari ke ruang baca... ada yang ingin aku bicarakan
dengan kalian," kata Resi Rhagani hampir berbisik. Dan
ia mendahului pergi. Langkahnya gontai, lemah. Dwa-
ralika dan Pawungsari terlihat selalu bersiap di kiri-
kanan junjungan mereka ini.
Ruang baca itu luas. Beberapa bumbung teronggok
di sudut, berisi gulungan-gulungan lontar tentang ber-
bagai hal. Ada alas lantai yang empuk di situ. Dan lam-
pu buah jarak yang tertancap di beberapa tempat di
dinding membuat tempat itu terang-benderang. Resi
Rhagani memberi isyarat agar mereka duduk melingkar.
Tak ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
Beberapa saat sunyi. Dari luar sayup-sayup terde-
ngar nyanyian doa pelepas mereka yang pergi.
"Kita semua berkumpul di sini. Kuharap kita telah
mewakili semua warga padepokan. Dan seorang orang
luar," Resi Rhagani berbicara lirih. Matanya menyapu
semua yang ada di situ. "Dwaralika dan Pawungsari me-
wakili kepercayaan warga padepokan yang bukan siswa.
Kanigara dan Anengah mewakili para siswa. Sodrakara
dan Tari mewakili siswa-siswa putri. Tuan Rangga me-
wakili kepentingan Wilwatikta. Dan aku ingin menjadi
wakil dari kehendak Hyang Agung. Tapi semuanya pu-
nya hak sama. Semua punya hak mengatakan penda-
pat. Dan apa pun keputusan yang kita ambil, akan kita
ambil berdasarkan kesepakatan kata."
Hening lagi. "Aku telah berbicara panjang-lebar dengan Tara. Se-
mestinya ia diwakili di sini. Tapi ia telah melimpahkan kepercayaannya padaku,"
kata Sang Resi lagi. "Kuharap
semuanya mengerti hal ini."
Yang terdengar hanyalah gemerisik lampu di dinding
serta alunan lagu sedih dari luar.
"Singkatnya... menurut pengakuan Tara... ketika ia
dan Suranggana tiba di tempat ini, didapatinya mayat-
mayat bergelimpangan. Tak ada bekas luka ataupun se-
suatu yang aneh. Pada wajah mereka yang meninggal
hanya terlihat air muka ketakutan yang amat sangat.
Ketika aku selidiki, ini adalah akibat Upas Gemet tingkat tujuh. Sangat berbeda
dengan Upas Gemet yang mengenai Dinda Madraka...." Sang Resi berhenti sebentar.
Bibi Madraka telah tiba siang tadi dan kini dirawat di
asrama wanita. "Upas Gemet tingkat tujuh ini sanggup membunuh dengan hanya
menempel pada kulit kor-bannya. Menurut Tara tidak ada pertanda perkelahian
sebelumnya. Jadi, kemungkinan si pembunuh dapat
mendekat tanpa dicurigai atau dapat bergerak sangat
cepat. Melihat wajah si pembunuh serta kesaktiannya
kemudian, Tara berpendapat kedua hal itulah yang ter-
jadi." Dalam kesunyian itu keras sekali terdengar Tari
menghela napas panjang. Ia sendiri kaget karena itu.
"Saat itu, Suranggana dan Tara kemudian memutus-
kan untuk langsung menyelidiki. Tara dari bagian bela-
kang padepokan, Suranggana dari bagian depan. Tara
menemukan pembunuh itu di puncak Menara Pemu-
jaan. Tara bertarung melawan orang itu. Orang itu sa-
ngat cantik. Dan sangat sakti. Suatu saat ia sudah
hampir bisa membunuh Tara. Tapi pada saat itu Su-
ranggana datang dari belakangnya. Dan melepaskan pe-
luru andalannya. Orang itu roboh."
Resi Rhagani memandang ke arah langit hitam yang
tampak dari celah-celah dinding.
"Di sinilah terjadi kesalahpahaman yang berbuntut
sampai sekarang. Tara memang punya kesempatan un-
tuk membuat orang itu cedera. Paling tidak melumpuh-
kannya. Tara tidak melakukannya. Katanya ia tak me-
ngerti mengapa itu yang terjadi. Katanya, mungkin juga
ia terpengaruh oleh kecantikan orang itu. Atau, mung-
kin karena ia merasa sesungguhnya ia tadi diberi ke-
longgaran untuk bisa hidup sampai saat itu. Yang jelas, ia juga punya pikiran
untuk menangkap orang itu hidup-hidup. Itu semua terjadi dalam waktu sesaat. Ke-
mudian muncul Suranggana. Ia langsung akan mem-
bunuh atau paling tidak mencederai orang itu dengan
kerisnya. Tara mengaku mencegah Suranggana. Dan ti-
ba-tiba orang itu menyerang Suranggana. Hingga Su-
ranggana cedera berat. Dan tewas. Nah, kita berkumpul
di sini untuk menentukan, apakah Tara bersalah. Dan
apa hukumannya. Coba Tuan Rangga, sebagai orang
luar, menyatakan pendapatnya."
Semua berpaling pada Rangga Prawangsa. Rangga ini
salah tingkah juga sedikit. Ia mendeham dan memelintir
kumisnya. Namun akhirnya ia berbicara.
"Bagiku... kesalahan Tara hanya satu. Ketika ia ke-
mudian sadar, mestinya ia langsung mencari jejak
orang itu. Atau cepat lapor pada Sang Resi," Rangga
Prawangsa berbicara pada semuanya.
"Ia mencoba menolong Suranggana. Tapi begitu sa-
dar, Suranggana menyerangnya. Dan menuduhnya ber-
komplot dengan pembunuh itu. Tara terguncang. Ka-
rena itulah tindakannya bagai orang mabuk. Dan ia ha-
rus mempertahankan diri dari serangan Suranggana,"
jawab Resi Rhagani.
"Jika begitu... kekeliruan Tara hanyalah usianya
yang masih muda. Dan pengalamannya yang masih ku-
rang. Untuk itu ia tak bisa disalahkan. Kalau aku di-
tanya, semestinya ia dibebaskan saja. Kalaupun dihu-
kum, maka ia harus mencari si pembunuh. Hanya dia
yang pernah melihat mukanya," kata Rangga Prawang-
sa, matanya tajam melihat berkeliling. "Itu pendapatku.
Lebih dari itu, aku ingin menyatakan suatu hal. Racun
Upas Gemet itu. Siapa yang pernah memilikinya?"
"Itu yang membuatku heran dari tadi," Resi Rhagani
berkata perlahan. "Tuan datang dari Daha membawa
berita tentang kemungkinan keturunan Wirabhumi
membalas dendam. Yang aneh adalah... keluarga Wira-
bhumi tak pernah menggunakan racun. Justru salah
seorang lawan keluarga Wirabhumi-lah yang terkenal
sebagai pemakai racun. Juru Pajarakan menggunakan-
nya. Juga semua keluarga beliau. Tetapi keluarga ini
sangat memusuhi keluarga Wirabhumi. Kedua puteri-
nya..." Resi Rhagani tak melanjutkan perkataannya.
"Kau bagaimana, Dwaralika?"
"Ampun, Panembahan. Hamba belum bisa menyerap
pelajaran yang Paduka berikan," Dwaralika menyem-
bah. "Hamba seorang prajurit. Pemikiran hamba pemi-
kiran prajurit. Tara melakukan kesalahan yang sangat
berat, yaitu memberi kesempatan pada musuh untuk
menguasainya. Jika musuh tidak memberi ampun pa-
danya, pasti ia sudah dibunuh. Jadi... hamba kira hu-
kuman itulah yang patut untuknya." Semua orang me-
mandang terkejut pada Dwaralika. Terutama Anengah.
Ia sama sekali tak menyangka sikap Dwaralika akan
begitu. Terutama jika mengingat pembicaraannya tadi
siang. "Itu pun... jika pertemuan ini menyetujuinya."
"Mohon ampun, Panembahan... sebagai seorang pra-
jurit juga, hamba sangat setuju pada pertimbangan dan
keputusan Dwaralika," sembah Pawungsari.
"Hm..." Resi Rhagani mengangguk-angguk. "Sodraka-
ra?" "Si pembunuh sangat tak kenal ampun. Dan agak-
nya ada hubungan dengan si Buruk Muka yang telah
membuat cedera Guru junjungan hamba," sembah So-
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
drakara. "Tara telah memberi kesempatan pada makh-
luk itu untuk tetap bebas merajalela. Ia harus dihukum.
Apa hukumannya, terserah," sembah Sodrakara.
"Yang hamba takutkan adalah semua tindakannya
menunjukkan Tara tidak pantas merasuk ilmu-ilmu
tinggi yang diajarkan Guru," sembah Anengah tidak
menunggu untuk ditanya. "Jika hatinya selemah itu,
untuk apa ia mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dan jika
hatinya tidak lemah, kemungkinan ia dikuasai oleh ha-
srat buruk setelah melihat wajah cantik. Ini berarti ia tidak punya pribadi yang
baik. Dan ini akan sangat berbahaya nanti jika ia berhasil menguasai ilmu Guru.
Pendapat hamba, binasakan dia sebelum jadi burung
garuda!" Hening. Semua menunggu Kanigara dan Tari.
"Mohon diampun, Bapa Guru," akhirnya Kanigara
berbicara. "Hamba sudah mengenal Tara dari kecil. Ia
punya banyak kelemahan. Yang tampak jelas ialah bah-
wa ia adil, baik hati, dan tidak tegaan. Hamba yakin
Tara tidak punya maksud apa-apa saat ia meloloskan
pembunuh itu. Mungkin ia merasa tidak adil untuk me-
nyerang orang yang tak sadar. Mungkin ia hanya ingin
membalas budi. Mungkin... ia memang tidak tega. Se-
mua itu toh sifat yang baik. Jadi kurasa... Tara jangan dihukum berat. Berilah
dia wejangan. Dan pengertian
tentang pahitnya hidup di dunia ini."
"Hm... ya...," Sang Resi mengangguk-angguk. Kini
beliau memandang Tari. "Dan kau, Tari?"
"Kakang... Tara... masih sangat muda... sarika* belum tahu... lebih mendalam...
tentang hubungan antar
manusia di dunia ini.... Dia masih... boleh dikata anakanak! Tak pantas ia
diberi tanggung jawab.... Harap...
harap ia diampuni!" Tiba-tiba Tari menekap mukanya
dan berlari keluar dari ruang baca itu.
"Tari!" panggil Resi Rhagani. Tetapi Tari telah hilang
di kegelapan malam.
* beliau 2. PENGEMBARA TARI berdiri sendiri. Ini puncak Batu Hitam, salah satu puncak bukit tertinggi
di Rahtawu. Ia tak bisa melihat
apa-apa. Sekelilingnya gelap-pekat. Langit pun gelap.
Mungkin awan di atas sana. Atau mendung. Bintang-
bintang pun tak terlihat.
Sering Tara berada di sini. Pemuda itu memang yang
menunjukkannya tempat ini. Memang mereka tidak
berdua - tiba-tiba pipi Tari terasa panas. Para murid
Madraka tak boleh berdua saja dengan murid pria Resi
Rhagani. Tapi... walaupun mereka bertiga atau berem-
pat, sering Tari merasa bahwa Tara hanya memperhati-
kan dirinya. Memang Tara mungkin bercanda dengan
Lati. Atau dengan Gendar. Tapi Tari seakan tahu bahwa
sesungguhnya candaan Tara itu ditujukan padanya.
Sebulan lalu Tara mengajarkan tata gerak Birawa-
dana Pria. Dan itu memang ditugaskan oleh Sang Resi.
Tari merasa jika Tara yang mengajar, maka seakan ti-
dak belajar, segalanya bisa muncul sendiri. Lain dengan jika Anengah yang
mengajar. Segalanya terasa kaku, lebih kaku lagi karena semua seakan melihat
bahwa Ane- ngah hanya memperhatikan dirinya. Saat itu Tara juga
mengajarkan sedikit ilmu bintang. Ditunjukkannya bin-
tang Jaka Belek. Bintang Weluku. Bintang Gubuk Pen-
ceng. Dan ah... berbagai ilmu pertanian yang berkenaan
dengan bintang. Lancar sekali Tara berbicara. Begitu
enak didengar hingga Tari tak bisa menangkapnya. Ia
lebih kesengsem mendengarkan suara Tara yang bagaikan berdendang.
Saat itu, tiba-tiba saja Tara terdiam. Memang ada
sekilas garis terang di langit. Meluncur dari selatan ke arah barat laut. Dan
ketika ditanya kenapa ia terdiam,
maka Tara hanya berkata bahwa akan terjadi peruba-
han besar-besaran dalam kehidupan mereka.
Inikah perubahan yang dimaksudkannya itu" Bahwa
ia akhirnya... harus mati dihukum"
Angin dingin meniup pipi Tari. Beberapa lembar ram-
butnya membelai mukanya. Tari hampir terisak. Tapi,
kenapa" Ia baru kenal Tara sejak... mungkin tiga tahun
yang lalu. Itu pun hanya sebulan sekali. Mengapa ia be-
gitu sedih"
Terdengar langkah kaki di belakangnya. Tari heran.
Tapi ia langsung bersimpuh di batu hitam.
"Bibi Guru... Padukakah itu?" tanyanya. Bibi Madra-
ka memang selalu dipanggil "Bibi" oleh murid-murid-
nya, sebab secara resmi mereka adalah murid Resi Rha-
gani - walaupun sesungguhnya lebih dari sembilan per-
sepuluh pelajaran yang mereka dapat diperoleh dari Bi-
bi Madraka. "Ya, Tari...," suara itu lembut. Dengan getaran le-
mah. Tari terkejut. Berpaling.
Bibi Madraka bagaikan bayang-bayang putih. Bagai-
kan hanya jubah putih melambai lemah. Bagaikan bu-
kan manusia. Apalagi tangan kanannya kosong.
"Bibi Guru... mengapa... Bibi kemari...." Ketakutan
Tari mendekat bersimpuh di kaki gurunya.
"Karena kudengar kau menderita kesedihan yang
amat sangat, Tari...." Dengan tangan kirinya Bibi Ma-
draka membelai kepala Tari.
"Tapi... Bibi masih luka parah...."
"Ah, apakah kau meremehkan daya penyembuhan
Bapa Gurumu, Tari" Aku sudah kuat untuk berjalan
kemari." "Tapi keadaan sangat berbahaya."
"Kalaupun aku tewas, aku rela. Kematianku mung-
kin adalah kehendak Dewata... untuk apa kuberatkan"
Yang jadi pikiranku adalah kau. Kau sesungguhnya
punya masa depan yang bisa kuandalkan. Pribadimu
baik, kecerdasanmu baik. Aku tak ingin kau merusak
dirimu, merusak masa depanmu hanya oleh persoalan
kecil ini."
"Kakang Tara adalah sahabat baikku, Bibi... ini bu-
kan persoalan kecil...."
"Kaulihat tangan kananku, Tari?"
"Ya, Bibi...."
"Kau tahu kenapa Bapa Gurumu memotong tangan-
ku itu?" "Ya, Guru. Agar racun tidak menguasai bagian tubuh
yang lain."
"Apakah aku sayang pada tanganku itu?"
"Tentu, Bibi."
"Dan Bapa Gurumu tahu hal itu?"
"Tentu, Bibi."
"Toh ia masih memotongnya juga. Demikian juga ka-
kangmu Tara. Kurasa... semua orang menyukai anak
itu. Bapa Gurumu juga sayang padanya. Tapi ada suatu
hal yang tak bisa diperbaiki dalam sikap seseorang. Ada kelemahan Tara yang akan
berbahaya jika dibiarkan terus berkembang nanti. Setidak-tidaknya, begitu yang
kaudengar dalam pembicaraan tadi. Kau tentu punya
pendapat lain. Tapi kita sudah terbiasa mengikuti apa
yang disepakati oleh pertemuan...."
"Bibi setuju Kakang Tara dihukum mati?"
Bibi Madraka menghela napas. "Sesungguhnya, ini
adalah urusan di dalam rumah Kakang Resi. Kau dan
aku, hanyalah tamu. Seperti juga orang yang dari Daha
itu. Kalau kau, Sodrakara, orang Daha itu keluar, bera-
pa orang di pertemuan itu yang membela Tara" Sesung-
guhnya mereka dapat mencapai sepakat bulat, Tari...."
"Tapi, Bibi..."
"Sudahlah, Tari, sesungguhnya aku datang kemari
untuk suatu maksud lain. Aku meninggalkan padepo-
kan bukannya tidak diketahui oleh Bapa Gurumu,
ataupun bibimu Sodrakara. Ada sesuatu yang ingin ku-
sampaikan. Tindakan Kakang Resi memang cukup te-
pat. Nyawaku akan tertolong. Tapi betapapun bagian
tubuhku yang lain akan terkena. Terutama otakku. Aku
tak bisa merasa pasti bahwa apa yang aku miliki bisa
kusampaikan padamu... jika aku harus menunggu. Ka-
renanya, bersiaplah untuk menerima wejanganku ten-
tang ilmu Coban Saleksa."
"Ilmu Coban Saleksa?"
"Ya. Ini bukan ilmu kewiraan. Ini bukan ilmu kesak-
tian. Tetapi lebih mirip sebagai ilmu untuk menjaga diri.
Menurut cerita guruku yang begitu berbudi, Danyang
Sinom, beliau pernah terkena suatu penyakit yang amat
berat. Untuk pengobatannya beliau harus memusatkan
perhatiannya. Tetapi selalu tak berhasil. Kemudian ka-
kak beliau, Panembahan Megatruh, menciptakan suatu
ilmu guna pemusatan perhatian itu. Karena beliau
menciptakannya di antara air terjun Seribu, maka ilmu
itu dinamakannya Coban Saleksa. Ilmu itu akan membuka aliran-aliran hidup dalam
tubuhmu. Membuka
otakmu. Membuat kau mudah mencapai ilmu-ilmu
yang kelak kemudian kaupelajari. Di samping itu, kare-
na lancarnya peredaran kehidupan dalam tubuhmu,
kau akan punya suatu daya tolak yang luar biasa. Te-
rus terang, karena ilmu itulah aku kini masih hidup.
Kakang Resi dalam gugupnya mungkin lupa akan ilmu
itu. Dengan diputuskannya salah satu aliran kehidu-
panku, maka ilmu itu sudah pecah. Dan... aku akan
terpaksa meninggalkanmu."
"Bibi!" Tari sangat terkejut, merangkul kedua kaki
gurunya. "Kau bukan anak kecil lagi, Tari," suara Bibi Ma-
draka terdengar tegas. "Mundur dan lakukan langkah
penyucian yang tujuh!"
"Bibi..." Tiba-tiba air mata membanjir di pipi Tari. Ia tidak bergerak dari
tempatnya. "Ya, Tari...."
"Bukan hamba ingin melawan kehendak Guru... tapi
hamba merasa... begitu sedikit waktu hamba untuk
berbakti kepada Guru, untuk berterima kasih pada
Guru. Kalau itu pun tak bisa hamba lakukan, bagaima-
na jika hamba berterima kasih pada orang tua hamba"
Tapi... hamba pun tak tahu siapa dan di mana mere-
ka...." Bibi Madraka merenung sejenak. Memang semua
murid yang diambilnya kebanyakan tak mengenal orang
tua mereka. Selalu diambilnya pada waktu mereka sa-
ngat kecil. "Bahkan Bapa Gurumu tidak tahu siapa engkau, Ta-
ri. Jika kau memang bersikeras ingin mengetahui asal-
usulmu, pergilah ke Gunung Lawu dan temui eyang-
eyang gurumu... Panembahan Megatruh atau Danyang
Sinom. Jika kau berkata bahwa kau telah memperoleh
izin dariku, maka mereka akan memberitahukan ten-
tang ayah dan ibumu."
Kini Tari termenung. Kemudian ia berdatang sembah
dan mundur, menggumamkan mantra penyucian diri.
Tak berapa lama guru dan murid itu sudah melupa-
kan keadaan di sekeliling mereka. Dengan sabar dan je-
las Bibi Madraka menguraikan apa saja tentang Coban Saleksa. Bacaan ilmu itu
sendiri berbentuk kidung hingga agak mudah dihapalkan oleh Tari. Keterangan
tentang kata-kata yang ada di dalamnya memang agak
lama baru merasuk. Kemudian disusul oleh berbagai la-
tihan pernapasan dan penerapan laku.
Dan akhirnya, ketika di ufuk timur fajar mulai me-
nyingsing, terdengar Bibi Madraka berkata lemah, "Se-
mua sudah kaumiliki Tari, kau tinggal melatihnya saja.
Jika itu sudah kaukuasai, maka... tanpa petunjukku
pun kau akan bisa menguasai banyak ilmu. Sekarang,
bersemadilah untuk memulihkan kekuatanmu."
"Baik, Bibi." Tari menutup mata, mengatur letak ta-
ngan dan kakinya. Kemudian ia mematikan diri terha-
dap apa saja yang terjadi di sekelilingnya.
Sinar matahari mulai menyentuh punggungnya saat
Tari memutuskan untuk membuka semadinya. Dihi-
rupnya udara sejuk dalam-dalam. Seluruh tubuhnya te-
rasa segar. Penuh semangat. Dan hati murungnya sea-
kan lenyap. Dengan gembira ia langsung meloncat ber-
diri dan berkata, "Bibi... begitu besar kebaikan hati Paduka..." Ia tertegun.
Di depannya bukan Bibi Madraka. Di depannya ber-
diri Anengah. Pemuda itu tampak gagah dan seram.
Badannya berkeringat walaupun hari pagi dan hawa be-
gitu dingin. Bertelanjang dada dengan sinar matahari
menonjolkan keperkasaannya. Dan dada itu kembang-
kempis menahan suatu perasaan hati. Lebih aneh, di
tangannya terpegang pedang telanjang.
"Kakang Anengah!" seru Tari kaget.
"Di mana dia?" tukas Anengah tegas.
"Dia" Jangan kurang ajar, Kakang Anengah, kenapa
begitu kasar dengan Bibi Guru?"
"Bibi Guru siapa" Oh, ya, bahkan Bibi Guru juga tak
ada. Di mana dia?"
"Lho. Dia siapa" Kau maksud pwangkulun guru ki-ta?" Tari menjelaskan.
"Jangan bergurau. Aku mencari dia. Si Tara!" bentak
Anengah. "Lhoh!" Tari makin terkejut. Mulutnya ternganga le-
bar. "Kaumaksud... Kakang Tara?"
"Goblok banget kau ini. Ya! Tara! Jangan pura-pura
tak mengerti!"
"Aku memang tak mengerti! Aku berada di sini se-
malaman dengan Bibi Madraka!"
"Lalu di mana pwangkulun?"
"Aku tak tahu. Aku baru saja semadi...."
"Huh. Jawaban ngawur... sudah. Sekarang, di mana
Tara?" "Aku tak tahu!" Tari menegaskan. "Apakah... apakah
dia melarikan diri?"
"Jangan pura-pura tak tahu. Kau pasti yang meno-
longnya. Dan pasti kauajak kemari. Ada jejaknya me-
nuju tempat ini!"
"Tak mungkin. Kalau memang begitu, pasti paling ti-
dak ia akan membangunkan aku."
"Mungkin juga sebetulnya kau tak bersemadi. Hanya
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pura-pura saja. Sesungguhnya pasti kausembunyikan.
Ada dua jejak menuju kemari. Jejakmu. Dan jejak Tara.
Dengar, Tari. Jangan bersifat kekanak-kanakan. Semua
menjatuhkan hukuman mati pada Tara. Kalaupun kau
menolongnya sekarang, suatu saat hukuman itu pasti
jatuh ke kepalanya, tahu! Jadi katakan. Di mana kau-
sembunyikan dia!"
"Aku tak tahu!"
"Aku tahu kau memang murid terkasih Sang Resi.
Tapi kau telah menggagalkan kehendak beliau! Jadi,
jangan membuat beliau marah. Mana dia!"
Sikap Anengah membuat Tari meluap marah. Tak te-
rasa ia bertolak pinggang. Suaranya sedikit gemetar
saat berkata, "Kakang Anengah. Kalau kau menuduh
aku berdusta, lebih baik kita tak usah berbicara lagi."
Dengan geram Tari berpaling dan melangkah pergi.
Sekilas saja Anengah telah berada kembali di depannya.
"Aku tidak menuduhmu berdusta. Aku hanya ber-
tanya di mana Tara!"
"Dan aku bilang tidak tahu! Aku semadi semalaman
di sini. Tanyakan pada Bibi Guru kalau tak percaya."
"Enak saja. Bibi Guru juga tak ada."
"Kalau begitu minggir saja, aku benar-benar tak ta-
hu." "Paling tidak kau harus menghadap Bapa Guru lebih
dahulu." "Kalau saja tidak kausuruh, sesungguhnya aku me-
mang akan menghadap pwangkulun. Sekarang... jika aku ke sana, kaukira aku takut
padamu!" Tari mencibir.
"Dasar kau masih anak-anak," dengus Anengah. "Ini
bukan soal takut atau tidak. Ini soal tanggung jawab!"
Lama mata bulat Tari menatap Anengah. Kemudian
ia pun mendengus. "Benar kata Lati."
"Apa?" Anengah heran.
"Sikapmu berubah sejak kedatangan Rangga Pra-
wangsa." "Apa maksudmu?"
"Kau tahu Bhre Daha mengirim Rangga Prawangsa
kemari antara lain untuk menyelidiki keadaan siswa
termuda Bapa Guru. Tuan Rangga tak mengetahui na-
ma siswa yang dimaksud oleh Bhre Daha. Kini kau ber-
sikap penuh kematangan dan penuh tanggung jawab.
Untuk menarik perhatian sarika!"
"Gila!" desis Anengah. Marahnya meledak. Tapi bi-
birnya terlihat gemetar menahan suatu perasaan yang
bukan kemarahan. Kata-kata Tari telak mengenai sasa-
ran. Dan ketajaman pandangan serta ketajaman lidah
gadis itu betul-betul terhunjam di hatinya. Dengan ge-
ram dia berkata, "Tari! Dalam urutan, aku adalah ka-
kakmu. Aku berhak menghukummu sesuka hatiku.
Kau betul-betul bandel. Sekarang kuperintahkan pada-
mu, katakan di mana Tara atau kuseret kau ke hada-
pan Bapa Guru!"
"Kaukira aku takut?" tantang Tari nekat. Ia marah
pada sikap Anengah. Ia marah karena Anengah tidak
membela Tara. Ia marah karena ia mengira Anengah
bersikap tidak jujur dalam hubungan dengan utusan
Bhre Daha. Ia ingin melampiaskan kebuntuan hatinya
pada sesuatu. Dan sesuatu itu saat ini adalah Anengah.
Ia nekat. "Gila!" desis Anengah. Gemetar tangannya menahan
diri. Sesaat seolah-olah akan menerjang Tari. Tapi ke-
mudian ia seakan menelan kemarahannya. "Baiklah.
Aku tak ingin bertengkar dengan anak kecil. Sesukamu-
lah. Tapi aku akan mencari Tara. Pasti kutemukan!"
Beberapa saat mata Anengah bagaikan membakar
Tari. Kemudian ia berpaling dan berlari ke arah timur.
Lama Tari termenung. Ada yang rasanya kurang pas.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya.
Pertama, betulkah Tara hilang" Atau melarikan diri"
Atau... pokoknya lolos dari hukuman" Melarikan diri
rasanya tidak mungkin. Ruang Sunyi sulit untuk dite-
robos, apalagi kini dijaga ketat. Lagi pula, rasanya Tara tak akan sepengecut
itu... melarikan diri dari tanggung jawab. Lalu ke mana" Kedua... di mana Bibi
Madraka" Mustahil Anengah tak menemukannya" Ketiga... bagai-
mana pribadi Anengah sesungguhnya" Ia merasa tadi
saat ia menuduh, pemuda itu tampak terpukul. Tetapi
ternyata ia dapat menguasai diri. Mungkinkah ia tidak
berhati serendah itu" Keempat... ia sesungguhnya se-
dang bergembira karena telah memiliki ilmu Coban Saleksa. Memang ia masih banyak
harus berlatih. Yang jelas, ini suatu langkah yang hebat!
Angin bertiup keras. Rambutnya yang terurai agak
lengket oleh keringat. Ia berpaling ke arah barat. Agak
jauh di bawahnya, terlihat menara pemujaan. Dan Pa-
depokan Rahtawu.
Tempat itu tak akan sama lagi. Apa pun yang terjadi
nanti, semua kenangan manis tentang tempat itu akan
terhapus. Mungkin ia akan membenci tempat itu.
Apakah lebih baik jika... jika ia tidak mengunjungi
tempat itu lagi" Ia bisa memohon pada Bibi Madraka
agar mulai saat itu ia tak usah pergi ke Rahtawu lagi.
Lebih baik mengikuti Bibi Madraka mengembara saja.
Tiba-tiba ia terkejut. Ada sesuatu yang aneh pada
padepokan di bawahnya itu. Tak ada asap mengepul. Ini
aneh. Isi padepokan itu masih cukup besar. Dan me-
reka pasti menghendaki makan. Tapi dapur sama sekali
tak berasap. Mungkinkah karena sedang berkabung"
Yang aneh lagi... ya... Tari mencoba mempertajam pan-
dangan matanya. Tapi benar. Tak ada satu pun orang
tampak di halaman padepokan. Tak ada satu pun! Hei.
Cepat Tari berlari turun. Ada jalan setapak memang,
tapi jalan itu harus melewati berbagai semak-semak
dan batu-batu besar. Dengan gesit Tari berlompatan da-
ri batu ke batu atau melesat menerobos semak-semak.
Dadanya semakin berdebar sewaktu ia semakin de-
kat. Padepokan itu sangat sunyi.
Di depan gapura ia ternganga. Gapura itu pun ter-
nganga. Di halaman hanya ada beberapa belas ekor ayam.
Dan di lapangan ada beberapa ekor kambing. Tak ada
seorang manusia pun.
"Hei..." Tari melompat masuk. Gugup ia berlari me-
nyeberangi halaman. Tak ada orang. Ia masuk ke pe-
mukiman para wanita. Tak ada orang. Dapur pun sepi.
Tak ada orang! Tari berlari sampai ke halaman belakang. Ia masuk
ke biliknya. Bilik-bilik orang lain kosong. Barang-barang
yang ada hanyalah barang yang tak terlalu diperlukan.
Terdengar suara seseorang bergerak di luar bilik. Tari
cepat melompat ke luar lewat jendela.
Seseorang memang berdiri di halaman samping.
Anengah. "Kau?" Tari setengah bertanya setengah memanggil.
"Mereka sudah pergi. Kalau kau tadi cepat-cepat pu-
lang mungkin kau masih bertemu dengan Bapa Guru,"
kata Anengah. "Mereka... pergi ke mana?" Tari makin heran.
Anengah duduk di pagar dalam, mempermainkan
pedangnya. "Tadi malam, Bapa Guru memutuskan untuk me-
ninggalkan padepokan ini...," kata Anengah perlahan.
"Rombongan demi rombongan berangkat. Tujuannya
berbeda-beda. Hanya kepala rombongan kecil saja yang
tahu mereka akan ke mana. Rombongan Bapa Guru te-
rakhir berangkat. Pagi tadi, sesungguhnya sebelum ka-
mi berangkat, Tara harus dihukum mati. Ternyata ia hi-
lang." Anengah terdiam sesaat. "Juga ketahuan bahwa
kau tidak ada. Juga Bibi Guru. Aku ditugaskan menca-
rimu. Yang lain langsung berangkat sambil mencari
Tara." "Tadi kau menyuruhku menemui Bapa Guru!" tuduh
Tari. "Saat itu... mungkin kau masih bisa mengejar Bapa
Guru. Kau tak bertanya di mana pwangkulun. Kau langsung menuduhku yang bukan-
bukan. Terus terang, se-
sungguhnya ingin kau kutinggalkan saja. Hanya... aku
tak tega."
"Ke mana Bapa Guru?"
"Tak ada yang tahu. Bapa Guru tak ingin jatuh kor-
ban lebih banyak lagi."
"Lati" Rati?"
"Aku tak tahu. Tak akan ada yang tahu. Kecuali rom-
bongan itu sendiri. Dan mungkin Bapa Guru."
"Kakang sendiri... mau ke mana?" Tari bingung.
Anengah lama tak menjawab. Ia turun dari pagar.
Berjalan menunduk di antara bangunan-bangunan
yang kosong. Sebuah batu ditendangnya. Batu itu ter-
lontar dan pecah berkeping-keping. Ia berpaling. Berja-
lan mendekati Tari.
"Aku tak tahu. Perintah Bapa Guru agak membi-
ngungkan. Aku harus mengikutimu. Sungguh. Tak pe-
duli ke mana pun kau pergi. Tugas utamaku mencari
Tara. Dan menghukumnya. Tugas kedua, mengikuti.
Hanya itu."
"Aneh!"
"Memang."
Keduanya termenung.
"Aku akan pulang ke..." Tari ragu-ragu.
"Itu adalah salah satu tempat yang dilarang dikun-
jungi oleh Bapa Guru. Pusat perguruanmu mungkin
adalah sasaran penyebar maut itu...," tukas Anengah.
"Mungkin Bibi Madraka pulang ke sana."
"Bibi Madraka entah pergi ke mana. Mungkin telah
diberi tahu Bapa Guru terlebih dahulu."
"Aku akan pulang. Aku tak peduli. Mungkin Bibi Ma-
draka juga pulang ke Walirang. Dan mungkin sarika*
memerlukan bantuanku," Tari mengambil keputusan.
"Bapa Guru berkata tempat itu harus dihindari," ka-
ta Anengah. "Aku lebih khawatir akan keadaan Bibi Madraka."
"Kau berani menyalahi kata-kata Bapa Guru?"
Tari menunduk. Kemudian mengangguk. "Tak apa.
Aku tak punya maksud durhaka. Aku hanya ingin me-
* beliau nemui Bibi Madraka. Bapa Guru akan mengerti."
Tari bergegas ke asrama tempat ia tinggal. Diambil-
nya beberapa lembar kainnya, beberapa peralatan un-
tuk bepergian jauh yang biasanya dibawa oleh teman-
temannya serombongan, sebuah topi pandan lebar, alas
kaki, karung beras, air... dan ia merenungi tongkat yang biasa dibawa oleh Bibi
Madraka. Tongkat dari jantung
kayu asam. Hitam mengkilap. Lurus dan keras. Ia me-
mutuskan untuk membawa tongkat yang oleh kawan-
kawannya diberi julukan "si Galih" itu. Si Galih dahulu sering dipakai untuk
menghukumnya jika ia salah gerak. Dan akhir-akhir ini dipakai untuk membantu
Bibi Madraka berjalan. Bukan karena sang guru itu harus
bertongkat, tetapi sekadar penopang serba guna saja.
Kadang-kadang bahkan bisa dipergunakan untuk senja-
ta. Agak lama Tari memperhatikan tongkat itu. Hitam.
Halus. Mengkilap. Entah sudah berapa tahun umurnya.
Seingat Tari, sewaktu ia baru mulai diberi pelajaran tata gerak, tongkat itu
sudah ada. Pada umur lima tahun,
saat ia menerima pelajaran melompat, tongkat itu men-
jadi palang penghalang untuk loncatannya. Dan saat ia
mulai belajar memainkan senjata pada umur delapan
tahun, gurunya sering mengumpamakan tongkat itu
pedang. Atau tombak. Atau sekadar tinju lawan.
Kapankah tongkat ini akan kembali ke tangan pe-
miliknya" Tari tersentak dari lamunannya. Sayup-sayup dide-
ngarnya suara seruling.
Anengah tak dapat bermain suling. Atau, paling tidak
tidak semerdu itu. Tara... ya, dia pandai bermain suling.
Tapi tak mungkin dia. Orang lain yang pandai bermain
suling adalah... ah, itu pun tak mungkin. Si Gita, putra Paman Kanigara. Tapi
Gita masih kecil. Sedang lagu
ini... rasanya terlalu sulit bagi seorang anak gembala seperti Gita.
Tari bergegas keluar. Ke halaman yang begitu sepi.
Suara itu datang dari arah depan. Dengan membawa
buntalan barang-barang serta tongkatnya, Tari berlari
ke depan. Anengah berdiri di tengah pintu gerbang. Menghadap
ke luar. Dan di tengah padang rumput di depan pintu
gerbang itu, seseorang tampak duduk bersila di tanah.
Meniup seruling.
3. TANTRI "SIAPA DIA?" bisik Tari yang tak bersuara berdiri di belakang Anengah.
"Aku tak tahu. Dia belum mau berbicara. Entah ka-
wan, entah lawan."
"Kurasa ia tak bermaksud jahat pada kita," bisik Tari
lagi. "Kalau tidak, kenapa ia menampakkan diri begitu
saja" Dan lagu yang dimainkannya adalah Kidung Sri
Gandra. Kidung itu berisi pesan persahabatan. Agaknya ia ingin bersahabat."
"Dasar kau tak punya pengalaman. Bisa saja ia me-
nipu." "Kedengarannya ia orang yang terpelajar. Dan jujur.
Pasti ia bukan orang tidak baik."
"Biar kutanyai dia...."
"Jangan. Biar diselesaikannya dulu lagu itu." Baru
saja Tari selesai berkata begitu, irama seruling berubah.
Seakan gembira. Seakan tertawa. "Hei, ini bukan Ki-
dung Sri Gandra," bisik Tari pada Anengah. "Sri Gandra tak bisa dimainkan
selincah itu. Aku tahu. Bibi Madraka sering menyanyikannya untukku waktu aku
masih kecil." Irama yang dilagukan masih lincah dan riang. Ber-
lompat-lompat. Menggerakkan hati.
"Ah. Aku tahu. Ini lagu para nelayan di daerah Hu-
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jung Galuh. Aku ingat betul. Beberapa tahun yang lalu
aku diajak Bibi Madraka menyusuri Sungai Suwarna.
Dan di Hujung Galuh ada pesta besaaar sekali. Sebuah
kapal besar baru merapat. Para nelayannya berpesta-
pora, dan lagu itu dimainkan. Lucu. Para wanitanya
menari dengan gaya yang aneh. Hanya maju-mundur
dan melenggang-lenggang. Bahasa mereka agak lain
dengan kita. Apakah orang ini dari sana."
Terdengar lagu berubah lagi. Kini mengalun-alun.
Seakan tiupan angin. Di sela sekali-sekali oleh lengking-an tinggi bagaikan
pekikan burung camar. "Ah, seperti
di laut, ya," bisik Tari.
"Huh. Kau pernah ke laut?" tanya Anengah, sedikit
terlihat rasa irinya.
"Pernah saja! Waktu itu aku berangkat dari Hujung
Galuh," Tari tak menyembunyikan rasa bangganya.
"Kau saja yang seperti katak di bawah tempurung. Kami
murid-murid Bibi Madraka sudah berkunjung ke mana
saja!" "Makanya ilmu kalian tak maju-maju," dengus Ane-
ngah. "Daripada maju tapi tak tahu utara-selatan," tukas
Tari asal membantah saja, kekanak-kanakannya mun-
cul. "Kau pernah ke Kembang Putih, ke Kamal Pandak"
Tak mungkiiin!"
"Tapi kau ke tempat-tempat itu paling juga hanya
meminta-minta belas kasihan orang. Apa enaknya! Ja-
lan jauh, capek, makanan tak keruan!" Anengah juga
lupa akan ke "angkeran" dirinya. Ia meladeni gaya ke-
kanak-kanakan Tari. Sesaat Tari tercengang juga meli-
hat gaya berbicara Anengah. Belum pernah Anengah
begitu bebas berbicara. Bebas dalam arti tidak terlalu
terkungkung oleh kepura-puraan dan basa-basi. Ya.
Mungkin itu yang terjadi. Mungkin Anengah bersikap
angkuh dan sok berwibawa untuk membedakan dirinya
dari siswa lain. Terutama Kang Tara yang selalu ber-
canda dan ceria. Mungkin... karena sekarang merasa
tak ada saingan, Anengah bisa kembali pada pribadi
yang menyenangkan. Tapi... rasanya tak akan ada yang
bisa menggantikan kedudukan Kang Tara.
"Anak tolol, apa yang sedang kaurenungkan?" tiba-
tiba Anengah bertanya. Dan Tari tersentak dari lamu-
nannya. Dirasakannya betapa janggalnya mereka. En-
tah bagaimana ia dan Anengah telah duduk seenaknya
di telundakan pintu gerbang, berhadapan, seolah-olah
tak ada hal lain yang harus mereka perhatikan.
"Jika kau memang maju, coba bagaimana kau bisa
melakukan langkah ke-26 dari Sura-caya tanpa tangan-mu harus terangkat, hayo!"
Tari melanjutkan suasana
yang mereka buat itu. Ia bersandar ke gapura, duduk
seenaknya dan tak menghiraukan suara seruling yang
mendayu-dayu itu.
"Mudah saja. Kautekuk kaki kananmu, kauputar
bahumu ke kiri, dan dengan menggelengkan kepala ke
kanan maka tubuhmu akan maju ke depan tanpa ta-
nganmu terangkat. Itu pun kalau kau sudah melaku-
kan langkah sebelumnya dengan benar. Jangan tanya-
kan langkah sebelumnya, sebab kemungkinan kau ti-
dak mengujiku, tetapi memang bertanya!"
"Gila apa! Untuk apa bertanya padamu," Tari menci-
bir. "Hei, tanya saja padaku!" tiba-tiba sebuah suara melengking terdengar.
Keduanya menoleh. Ternyata orang
yang meniup seruling itu telah mendatangi. Dan kini ti-
dak meniup seruling lagi. Dan kini tampak bahwa orang
itu bukannya orang dewasa, tetapi seorang anak lelaki
yang kemungkinan baru berumur sekitar dua belas
atau empat belas tahun. Wajahnya tampan sekali, ma-
lah mendekati cantik. Kulitnya kuning bersih. Matanya
bersinar-sinar. Ia memakai kain yang tampaknya sudah
berpuluh tahun tidak dicuci. Selembar kain kasar me-
nutupi dadanya yang terbuka. Kainnya hanya diikat
dengan tali. Dan di tali itu terselip seruling putih dan sebuah kantungan bekal.
"Tanya saja padaku, pasti aku
jawab!" "Apakah kami mengajak bicara kanyu*" " sela Anengah. Kini sudah berubah lagi.
Kini seperti biasa: tajam, mantap, bersungguh-sungguh.
"Tentu saja tidak, tetapi kalau tidak dimulai seka-
rang, kapan lagi. Sejak tadi aku menunggu ditegur.
Wah, di sini kok sepi. Kabar yang kuterima mengatakan
di sini ramai!" anak itu menjawab seenaknya.
"Ramai karena apa?" Anengah tampak curiga. Dan
Tari bisa melihat bahwa tekanan yang beberapa saat ini
dirasakannya mulai muncul di wajahnya: marah, kesal,
putus asa, dan ketegangan. Pedang telanjangnya telah
diselipkan tanpa disarungkan ke ikat pinggangnya. Tapi
tangan kirinya seolah tak sengaja mendorong hulu pe-
dang itu hingga maju dan mudah dicabut kapan saja.
Dalam hati Tari merasa bahwa ketegangan Anengah
pastilah sudah pada puncaknya. Anengah yang biasa
angkuh itu... masakan kalau perlu menghadapi anak ini
harus menggunakan pedang"
"Ya karena ada orang. Benar bukan, Kak...?" anak
itu meringis pada Tari. Giginya putih bersih, rata, dan bibirnya bahkan sedikit
memerah. "Lha kalau di hutan
* kamu kadang-kadang memang ramai... tapi ramainya hutan
lho, kan tidak cocok bagi kita manusia! Masa aku harus
berbicara dengan harimau, kijang... masih untung. Lha
kalau bicara dengan ular pakai bahasa apa, hayo!"
"Siapa dan dari mana kanyu?" Anengah sama sekali tidak tergoda untuk tersenyum,
walaupun Tari hampir
terkikik oleh lagu bicara anak itu yang begitu aneh.
"Namaku Tantri. Boleh dikata aku ini anak angin,
tak pernah punya tempat tinggal. Jadi kalau ditanya da-
ri mana, yah... bagaimana, ya... pertanyaannya jangan
sulit-sulit ah. Kita sendiri siapa?" ia balas bertanya. Ta-pi pada waktu
bertanya siapa lawan bicaranya itu, anak
tadi tidak menghadap Anengah, malah menoleh pada
Tari. "Hei, kanyu bertanya padaku atau padaku?" Tari mencoba melepaskan beban di
hatinya dengan mengajak berbicara ringan dengan anak ini.
"Benar, pada kita dan pada kita," anak itu tertawa mendengar permainan kata
Tari. Kita memang berarti kau ataupun aku. "Suara nta bagus. Aku senang men-
dengarnya. Pikira nta indah, aku suka melihatnya. Pengalama nta luas, aku suka
berkelana di dalamnya...."
Mau tak mau Tari tertawa mendengar gaya bicara
anak itu. "Namamu Tantri" Namaku Tari. Dan ini..."
Kata-kata Tari terputus. Anengah melompat ke anta-
ra Tari dan Tantri, kakinya melecut ke arah tangan Tan-
tri. Tantri menjerit keras. Tubuhnya yang kecil terlem-
par terpental dan jatuh terkangkang di tanah.
"Kakang Anengah!" Tari berteriak langsung melompat
mencegah tendangan kedua Anengah.
"Kau lupa peristiwa yang baru terjadi. Dan kau begi-
tu saja mempercayai orang," dengus Anengah dengan
sikap masih akan melancarkan serangan. "Yang mem-
bunuh begitu banyak saudara-saudara kita adalah seo-
rang wanita cantik yang katanya mirip bidadari. Apa
susahnya bagi seorang anak untuk mencabut nyawa ju-
ga?" Tari menelan kembali kata-kata marah yang akan
disemburkannya. Betapapun Anengah benar. Ia tak
kenal anak ini. Dan kemungkinan bahwa anak ini juga
diperalat oleh siapa pun yang memusuhi padepokan ini
masih ada. Tari melangkah mundur. Diliriknya anak
yang mengaku bernama Tantri itu berguling-guling di
tanah sambil memegang tangan kanannya yang tadi
terkena tendangan Anengah. Dan anak itu menangis!
"Hu hu huuuu... kalian sungguh galak..., sungguh
tidak sesuai dengan... dengan... sebagai murid-murid
padepokan yang mestinya... mestinya belajar mengasihi
sesamanya, hu hu huuuu. Makanya tempat kalian sepi
begini... paling semua orang lari, habis... habis kalian galak sih. Huhu
huuuu... walaupun kalian jaga kaki
gunung ini dengan pagar betis pun... pasti orang akan
lari semua. Hu hu hu... tapi, eh, isi padepokan ini kan tinggal kalian berdua
toh" Lalu... untuk apa kaki gunung kalian jaga?" dari menangis Tantri mengubah
si- kap jadi bertanya. Dia kini sudah berdiri sambil terus
mijit-mijit tangan kanannya. Tari melihat tangan itu
mulai memerah bagai terbakar. Itulah akibat tendangan
Birawadana Anengah tadi.
"Apa katamu?" tangan Anengah secepat kilat melun-
cur dan menyambar kain pembungkus badan Tantri.
"Eh, eh, apa aku salah bicara ya?" Tantri sangat ke-
takutan. "Kaubilang kaki gunung ini dijaga?" Anengah meng-
guncang-guncang tubuh anak itu.
"Be... benar! Apanya yang aneh" Kita pasti tahu itu, kan?"
Baru kini Tari sadar mengapa Anengah tampak begi-
tu gusar. "Siapa yang menjaga" Di mana?" tanya Anengah.
"Eh, eh, jadi bukan kita" Orangnya galak-galak... di hutan yang ada jalan
setapaknya ke Kojajar?"
"Apa yang mereka lakukan?"
"Tadinya mereka melarang aku naik. Aku bilang aku
cari kambingku yang lepas. He he he he... aku pandai
bermain sandiwara lho! Dulu di..."
"Apakah mereka memakai seragam" Mereka mema-
kai tanda-tanda?" tukas Anengah. Tari ikut tegang
mengikuti pembicaraan ini.
"Seragam" Tidak... tidak kok. Mereka malah lebih
mirip perampok. Mukanya menyeramkan, pakaiannya
tak keruan... cuma, pemimpinnya naik kuda. Dan di pe-
lana kuda itu aku lihat cap bergambar.... Ya, ada gam-
bar mirip Candrakapala..." Dan Tantri menirukan Candrakapala itu, yaitu
tengkorak yang bertaring.
"Candrakapala" Lambang Kadiri dulu?" Tari ikut
berbicara. "Lambang itu sudah lama hilang."
"He he he... aku juga bilang mirip. Rasanya sih bu-
kan lambang Kadiri kok. Kalau Kadiri lambangnya begi-
ni," Tantri membelalakkan matanya lebar-lebar.
"Apa kata mereka?" Anengah masih mencengkeram
kain pembalut badan Tantri.
"Wuah. Mereka galak. Lebih galak dari kita," kata Tantri. "Mula-mula aku tak
boleh masuk. Kemudian
mereka memperbolehkan aku masuk. Tapi pemimpin-
nya bilang, barang siapa yang sudah naik gunung ini,
tak boleh keluar lagi. Harus dibunuh. Serem, ya" Me-
ngapa kita buat peraturan aneh itu?"
Anengah mengempaskan Tantri ke tanah. Gemas ia
berbalik menghadap pintu gerbang padepokan. Ta-
ngannya mengepal keras. Tubuhnya tampak tegang.
Mau tak mau Tari harus berpendapat bahwa saudara
seperguruannya ini terlihat sangat memikirkan pergu-
ruannya. Kemudian Anengah berpaling lagi. Wajahnya begitu
muram. "Bapa Guru memerintahkan aku untuk selalu men-
jagamu, mengikutimu. Kau kularang pulang ke Wali-
rang, karena itu larangan Bapa Guru. Kau tampaknya
kurang percaya padaku. Baiklah," Anengah menghela
napas panjang, "aku akan melanggar perintah Bapa
Guru. Harapanku hanyalah, suatu saat pwangkulun
akan memberiku ampun. Tugas utamaku mencari Tara,
itu akan kulaksanakan. Tugas keduaku menjaga eng-
kau, tapi karena kau tak peduli, biar kulanggar tugas
itu. Aku rasa ada tugas lain yang lebih penting. Yaitu...
mencari siapa sebenarnya yang begitu membenci Rah-
tawu hingga ingin membasmi kami sedemikian rupa.
Nah, sekarang terserah kau, Tari. Jika kau pergi sendiri, dan suatu saat menemui
kesulitan, hubungi aku dengan getaran batinmu. Jika kau tewas di tangan seseo-
rang, aku akan membalaskan dendammu. Terserah kau
mau ke mana."
"Tunggu, Kakang Anengah," Tari cepat mencegah
saat Anengah akan berpaling pergi. "Maafkan aku tadi...
begitu kasar padamu. Aku tahu... kau tertekan oleh pe-
ristiwa ini. Aku pun demikian. Kita bersaudara, tak ada yang bisa memutuskan
persaudaraan kita. Apalagi
hanya dengan pertengkaran kecil itu."
"Lalu?" hidung Anengah mengembang karena mena-
han haru. "Kau lebih tua dari aku. Aku akan ikut kau. Asal kita
segera berangkat."
"Aku ikut," kata Tantri. "Aku bisa mati kalau harus
melewati orang-orang di kaki gunung itu."
"Dengar. Aku masih mencurigaimu," dengus Ane-
ngah. "Aku... aku betul-betul orang baik-baik kok. Aku ke-
mari hanya... ingin minta makan dan minum serta tem-
pat istirahat beberapa hari. Itu saja. Benar. Kudengar
Padepokan Rahtawu sangat murah memberi dana...."
"Sudahlah, kalau kau mau ikut, ikutlah... tapi ja-
ngan bikin gara-gara, ya!" Tari menggamit tangan Tantri agar mendekat untuk
menghindari sambaran tangan
Anengah. "Hm, Tari, kau tak boleh begitu saja mempercayai
orang. Kauperhatikan dia terus. Jika dia berbuat sesua-
tu yang mencurigakan, bunuh. Tunggu, aku akan men-
gambil perbekalan."
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga sudah da-
lam perjalanan turun gunung. Anengah kini mengena-
kan pakaian petani, dengan caping lebar, kain kasar,
dan buntalan perbekalan di punggungnya. Pedangnya
dibungkus kain dan dijadikan pemikul buntalan tadi.
Tari juga berpakaian serupa. Tongkat si Galih dijadikan kayu pemikulnya. Tantri
tentu saja tak berubah penam-pilannya. "Untuk apa menyamar. Walaupun kita
menyamar pun orang takkan percaya kita petani. Aku sendiri... tanpa menyamar
orang pasti mengira aku orang
gila. Ya toh?" katanya.
Candika Dewi Penyebar Maut I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menjelang sore hutan yang mereka tempuh mulai
menipis. "Hei, bukankah ini jurusan ke Kojajar?" tanya Tantri
tiba-tiba. "Di ujung jalan ini dijaga manusia galak!"
Anengah tak menjawab.
"Kakang Anengah ingin menyelidiki mereka," bisik
Tari. "Dan kurasa s arika ingin melampiaskan kemarahannya pada seseorang. Aku
juga begitu."
"Kita labrak mereka?" Mata Tantri bersinar.
"Ya. Kau takut?"
"Takut sih tidak. Tapi aku tak bisa berkelahi. Aku
nonton saja, ya" Kalau kita berdua kalah, aku pura-pura tidak kenal, jadi tak
ikut ditangkap, ya?"
"Kalau memang terjadi pertempuran, kau lari saja.
Ingat, ya?"
"Boleh!" Tantri mengeluarkan serulingnya, dan sam-
bil berlari-lari kecil ia meniupkan lagu gembira pada serulingnya.
Anengah yang tak sabar telah menggunakan ilmu ja-
lan cepatnya. Tari harus mengikutinya, maka ia pun
menggunakan ilmu yang sama. Tantri sendiri agaknya
tak memiliki ilmu apa pun, jadi ia harus berlari-lari kecil. Waktu Tantri meniup
seruling sambil berlari-lari kecil, Anengah melirik tajam pada anak itu. Dan
pandan- gan matanya bertemu dengan pandang mata Tari. Jika
memang Tantri tak punya ilmu, paling tidak ia harus te-
rengah-engah. Kini dengan enak ia malah meniup serul-
ing. Tiba-tiba Anengah berhenti dan menjulurkan kaki-
nya. Tari dengan mudah melewatinya. Tetapi Tantri
langsung jatuh terbanting tunggang-langgang memben-
tur kaki Anengah.
"Hei, kalau berhenti jangan terlalu tiba-tiba. Wah,
benjol kepalaku ini...." Tantri mengusap-usap dahinya
yang terbentur pohon. Tari memperhatikannya. Ane-
ngah mengangkat bahu. Ia merasakan dari benturan
tadi bahwa Tantri tak punya tenaga apa pun. Aneh juga.
Mereka melanjutkan perjalanan. Jalan kini kian me-
lebar. Pepohonan pun kian menipis.
"Itu mereka," tiba-tiba Tantri berkata. Mereka ber-
henti. Di depan sana hutan berakhir. Jalan yang me-
reka lalui melebar di sebuah padang rumput kecil. Di
sisi padang rumput itu ada serumpun pohon bambu.
Rindang sekali. Dan beberapa lelaki duduk-duduk di
sana. Tak jauh dari mereka berkumpul beberapa ekor
kuda. Kemunculan Anengah, Tari, dan Tantri dari da-
lam hutan langsung membuat orang-orang itu berdiri.
Dengan sikap garang mereka mengambil kedudukan di
ujung jalan itu, hingga ke mana pun ketiga orang itu
pergi maka dengan mudah dapat mereka tangkap.
Tapi Anengah dan Tari bukanlah orang yang mudah
ditakut-takuti. Mereka tidak lari. Dengan tenang berja-
lan mendekat. "Hei, kamu!" seorang bertubuh tinggi besar dengan
rambut tumbuh hampir di seluruh tubuh membentak.
"Dari mana, hei?"
"Siapa kalian?" bentak Anengah tak kurang galak-
nya. "Monyet! Aku bertanya padamu, hei!"
"Terserah. Kalau kau tak mau menjawab, aku juga
tak mau menjawab!" sahut Anengah. Kedua orang itu
langsung berbicara dengan bahasa kasar, tidak seperti
biasanya jika seseorang jumpa di jalan dengan orang
lain. "Monyet! Namaku Kala Modot, kau pasti sudah de-
ngar nama itu bukan" Aku raja perampok di daerah ini.
Nah, jawab pertanyaanku tadi!"
"Jika kau raja, mengapa kau merampok" Jika kau
raja perampok, jelas kami bukan rakyatmu, kami bukan
perampok kok!" Tantri ikut berbicara. "Lagi pula, jadi
raja perampok saja kok bangga sih?"
"Pokoknya, serahkan semua hartamu. Cepat!" geram
perampok yang bernama Kala Modot itu. "Lebih bagus
lagi, serahkan kepala kalian!"
"Kau terlalu serakah," dengus Anengah. "Ketahuilah,
ini masih daerah pengaruh Padepokan Rahtawu. Dan
sebagai murid Rahtawu, aku tak rela daerah ini dikotori
oleh orang-orang macam kau!"
"Weeee lhah! Kau murid Rahtawu! Wah, wah, wah,
untung besar ini kita, kawan-kawan...." Kala Modot ter-
tawa dan berpaling pada kawan-kawannya. "Dapat ma-
kanan besar kita kali ini. Ha ha ha... Anak bagus, se-
rahkan dirimu baik-baik saja ya, sayang kulitmu jika
pecah...." ia tertawa pula pada Anengah.
"Hari ini aku melanggar pantangan membunuh," ka-
ta Anengah dingin. "Akan kubasmi kalian semua. Tapi
jika kalian mau berterus terang tentang siapa yang me-
nyuruh kalian berada di sini, mungkin nyawa kalian
masih bisa kuampuni."
"Weeee lhah! Lha ini lucu... kamu itu aku yang ngan-
cam, Nak! Kamu tidak pantas mengancam orang! Sini...
mana lehermu biar kupotong sendiri sini...." Kala Modot tertawa mengulurkan
tangannya. Akibatnya hebat. Ta-hu-tahu saja orang bertubuh tinggi besar itu
terbanting begitu keras hingga suaranya membuat kuda-kuda
menjerit. "Bangsaat. Monyet! Celeng!" Kala Modot memaki-
maki bangkit. "Kamu tak bisa disayang, yah! Kawan-
kawan... gempur!"
Serentak sekitar sembilan orang maju menerjang
Bloon Cari Jodoh 14 Beruang Salju Karya Sin Liong Pendekar Pemetik Harpa 28