Pencarian

Dewi Penyebar Maut I X 1

Candika Dewi Penyebar Maut I X Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-9 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Februari 1990
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1. PERTEMUAN SEORANG lelaki berdiri di atas bukit. Di sekitarnya ter-hampar kehijauan hutan
belukar. Puncak-puncak po-
hon bergelombang. Menjauh. Hingga kaki langit.
Hanya bukit ini yang tampaknya tertinggi.
Tapi itu hanya pada pandangan si lelaki itu. Ia tahu.
Tanah yang menjadi dasar bukit itu adalah punggung
Gunung Kala Hut. Hingga pastilah ada yang lebih tinggi dari puncak bukit
tempatnya berdiri.
Lelaki itu tua hanya karena tampak dari rambutnya
yang berkibar panjang dibiarkan tanpa gelung. Rambut
itu putih bagai kapas di pintalan. Tubuhnya tegak-
tegap. Hanya berbalut kain putih kasar. Matanya pun
dilindungi oleh alis tebal putih.
Dan mata itu terpejam. Keningnya berkerut.
Ia adalah Panembahan Megatruh.
Beberapa hari ia telah mengembara, mencari warta.
Terutama tentang istrinya, Nyai Rahula, yang kabur ha-
nya karena mengikuti watak kekanak-kanakannya. Ki
Megatruh juga memasang telinga tentang adiknya, Nyai
Sinom, beserta suaminya, Ki Mahendra, yang menjadi
gara-gara ini semua.
Tapi sampai saat itu tak ada keterangan sedikit pun
yang bisa memberinya petunjuk.
Mungkinkah ia salah mengambil arah"
Tadinya ia menduga bahwa Nyai Rahula akan pergi
ke arah Bala Latar, karena di sana tinggal beberapa ke-luarganya. Keluarga jauh.
Bahkan mungkin sesungguh-
nya tak ada hubungan keluarga sama sekali. Hubungan
yang ada mungkin hanya karena dahulu Nyai Rahula
dilahirkan di desa itu.
Tapi tak ada berita tentang wanita tua berambut pu-
tih perkasa itu.
Dan ia tertarik untuk mengunjungi bukit ini.
Ini adalah salah satu tempat yang sangat berarti da-
lam hidupnya. Di sini dulu... entah berapa puluh tahun yang lewat... Sang
Brawijaya berkenan menganuge-rahkan cincin Naga Wilis, perlambang terima kasih
ter- tinggi Wilwatikta atas keberhasilannya memadamkan
pemberontakan Nagabisikan.
Ah. Betapa cepatnya waktu berlalu.
Siapa yang kini berada di tahta Wilwatikta"
"Aku, Kakang Megatruh," seolah terdengar sebuah
suara menjawab.
"Siapa?" Ki Megatruh tertegun. Ia heran. Bukannya
terkejut. Daerah sekelilingnya sepi. Tak ada manusia seorang pun. Dan dengan
telinganya yang begitu terlatih, rasanya tak ada sesuatu pun yang bisa bergerak
sejauh lima puluh langkah darinya tanpa diketahuinya.
"Di Kediri seorang sakti menyembunyikan diri..." suara itu bagai berlagu.
Ki Megatruh langsung menjatuhkan diri dan bersim-
puh. Menunduk menyembah ke arah timur. Dan meng-
gumamkan baris sambungan lagu tersebut, "Dan mata-
hari pun malu menerangi hari..."
Lagu itu adalah lagu pembukaan pembacaan riwayat
berdirinya kerajaan Wengker. Pikiran Ki Megatruh lang-
sung terpaut pada salah satu pangeran kerajaan kecil
itu, yang dulu pernah mengikat persaudaraan dengan-
nya. "Sang Ahulun- kah" " tanyanya agak ragu, mengingat apa yang ditanyakannya
sebelumnya. Walaupun
hanya dalam hati. "Mohon ampun jika sanghulun salah berucap."
"Jangan memakai banyak basa-basi." Suara itu en-
tah terdengar oleh telinga, entah terdengar hanya di ha-ti. Ki Megatruh sendiri
tak tahu. Ia hanya memandang
ke suatu titik kosong di sebelah timurnya. "Kau masih
anak desa yang begitu kebingungan masuk istana hing-
ga sepuluh hari tak bisa makan...." Suara itu, atau kesan suaranya, seolah
tersenyum. "Dan Paduka masih pangeran kecil nakal yang baru
tahu ada hewan bernama cengkerik di dunia ini," sahut
Ki Megatruh dengan senyum pula di balik jenggot pu-
tihnya. "Kini kami duduk di tahta Wilwatikta, tapi masih banyak yang tiada kami
ketahui." "Sang Ahulun dengan mudah menemukan sanghulun," sahut Ki Megatruh.
"Kau sendiri yang menemukan dirimu.... Kau begitu
terharu oleh sesuatu hingga kesedihanmu sampai pa-
daku. Justru pada saat aku memikirkanmu. Katakan,
apakah kau berbahagia, Kakang?"
"Hamba terpencil di pucuk gunung. Tetapi hamba
tak kekurangan suatu apa pun. Itu pun berkat restu
Paduka yang telah melindungi negara ini dengan kese-
jahteraan."
"Justru aku harus berterima kasih padamu. Berkat
bantuan rakyat kecil seperti kau-lah, maka Wilwatikta
masih berdiri. Dan ini bukan kata-kata kosong. Siapa
belum pernah mendengar nama Singa Bramantya?"
"Ahulun, justru di situlah letak kekosongan nama.
Hamba merasa belum cukup berbakti pada negara ini,"
sembah Ki Megatruh menyembah tempat kosong.
"Ah. Kalau aku tak kenal sifatmu, maka pastilah aku
akan mengira kau sekadar merendahkan diri agar men-
dapat hadiah yang lebih tinggi...," suara itu bagai tertawa. "Kiranya dijauhkan
sifat seperti itu dari hamba, Sang Ahulun..."
"Mengapa kami tak pernah mengetahui di mana kau berada?" tanya suara itu. "Kau
pun tak pernah memi-
kirkan kami hingga tak terjalin hubungan sukma seperti sekarang ini."
"Mungkin karena hamba sekeluarga tak pernah me-
mikirkan pribadi Paduka. Tak terpikir oleh hamba bah-
wa Paduka-lah yang berada di tahta Wilwatikta...."
"Yah... memang...," suara itu seakan mengeluh. "Se-
sungguhnya bukan kami- lah yang mewarisi tahta ini.
Hanya suatu kebetulan, maka keturunan langsung
Sang Rajasa harus terhenti. Tapi... aku berusaha meng-
hubungimu, Kakang Megatruh. Ratusan orang kuse-
barkan. Tak ada hasilnya. Kemudian... sengaja kami sebarkan Kidung Singa
Bramantya dan Kidung Kidang Brangah. Kedua Kidung itu kukira tersebar luas
dengan cepat."
"Sang Ahulun masih nakal seperti dulu." Ki Megatruh tertawa. "Tetapi tempat kami
terpencil...."
"Itu sudah kami pikirkan. Aku tahu kau punya ba-
nyak murid. Tapi muridmu pun selalu menutup diri.
Maka siasat kami adalah... kuharap kau berlapang dada
... membuat kacau kedua kidung itu. Zamannya kami buat keliru. Nama-nama tokoh
pun kami campur-aduk-kan. Juga beberapa kejadian. Walaupun cerita uta-
manya tak mengingkari sejarah yang pernah terjadi.
Mengertikah kau?"
"Ah, ya. Kemungkinan muridku mendengar dan ma-
rah membantah cerita itu?" Ki Megatruh tertawa lagi.
"Kurasa murid-muridku takkan segoyah itu kepribadi-
annya." "Kau belum kenal kenakalanku, Kakang Megatruh....
Di akhir kedua kidung itu kami perintahkan menulis bahwa... ha ha ha ha... kau
kawin dengan Dinda Pitalo-ka, Dinda Sinom kawin dengan Kakang Tantri, dan
Dinda Mahendra dengan Dinda Rahula... ha ha ha...."
"Ya Dewa!" Ki Megatruh kini betul-betul terkejut.
"Begitulah, Kakang... kurasakan bahkan kau sendiri
memendam gejolak rasa kaget. Apalagi muridmu. Tapi...
atau kau tak punya murid... atau muridmu betul-betul
gemblengan... sampai kini pun belum seorang pun dika-
barkan mengamuk karena isi kedua kidung tersebut."
"Paduka betul-betul masih sangat nakal!" keluh Ki
Megatruh. "Jika kedua kidung itu tersebar, pasti sangat sulit untuk
membetulkannya lagi!"
"Salahkan muridmu, Kakang Megatruh, mestinya
mereka langsung membantah kedua kidung tersebut."
"Tapi... sebetulnya mengapa Sang Ahulun ingin sekali menghubungi hamba?" Ki
Megatruh mengerutkan kening. "Sunguh kenakalan Sang Ahulun hanya bisa di-
tandingi oleh adik hamba, Nyai Sinom...."
"Ah. Jadi Dinda Sinom benar-benar telah berkeluar-
ga" Hh... hh... hhh... Suami mana yang tahan padanya"
Ah, Kakang, ceritakan apa saja yang terjadi dengan ka-
lian." "Rasanya, hamba tak akan kuat melakukan hubung-
an ini terlalu lama, Sang Ahulun... ilmu hamba jelas takkan bisa mengikuti ilmu
Paduka...."
"Tak apa. Ceritakan dengan singkat."
"Sehabis pertempuran besar di Bengawan Bera Ran-
tas itu... yang tinggal di antara kami adalah hamba sendiri, Dinda Sinom, Dinda
Mahendra, dan Dinda Rahu-
la." "Wah. Dalam Kidung Singa Bramantya dan Kidung Kidang Brangah yang kami
sebarkan, kalian masih be-renam! Ha ha ha...." Suara di dalam batin Ki Megatruh
itu seakan tertawa.
"Kami berempat kemudian saling mengikat hubung-
an kekeluargaan. Dinda Sinom dan Dinda Mahendra te-
lah dikaruniai seorang putra.... Kami yang lain belum
begitu diberkati...."
"Ah. Lalu putra Dewi Kumbini?"
"Hamba tak pernah mendengar beritanya."
"Sayang. Sesungguhnya ia juga memiliki garis darah
langsung dari Sang Rajasa. Eh. Mungkin kau belum ta-
hu bahwa... Sang Nagabisikan pun masih hidup?"
"Wah. Betulkah?"
"Kaukira orang sesakti itu bisa runtuh hanya karena
tersiram air Bengawan Bera Rantas?"
"Hamba bersyukur... tak sepatutnya manusia de-
ngan ilmu setinggi itu lenyap begitu saja," Ki Megatruh berkata bersungguh-
sungguh. "Mungkin sarika kini cukup berpandangan luas untuk merundingkan ilmunya
denganku... demi kesejahteraan isi jagat."
"Kurasa tidak semudah itu, Kakang... aku merasa-
kan getaran dendamnya... dan kelicikan.... Waspada-
lah... aku harap... kau bisa menemuiku... Kakang...."
Dan hubungan aneh itu terputus.
Ki Megatruh merasa dirinya lemah lunglai. Begitu
banyak ia mengerahkan tenaga untuk memusatkan pi-
kiran tadi. Ah. Apa sebenarnya yang terjadi"
Ia tahu. Di dunia ini ada semacam ilmu yang berna-
ma 'meraga sukma'. Sukma seseorang bisa direnggut
dari jasmaninya dan sanggup bepergian jauh. Suk-
manya jadi raga, tapi toh tetap sukma yang tak bisa dilihat, diraba, atau
didengar. Sukma itu baru bisa menghubungi seseorang yang memang sukmanya siap
dihu- bungi. Seperti dalam mimpi, misalnya. Atau dalam kea-
daan sama-sama secara dalam memikirkan sesuatu.
Seperti Ki Megatruh tadi.
Tapi... akhirnya toh semuanya serasa mimpi. Betul-
kah pembicaraan tadi terjadi"
Ki Megatruh mengorak silanya dan berdiri. Rambut
putihnya berderai dibelai angin. Ia menghirup udara se-
gar dalam-dalam.
Ia harus percaya bahwa pertemuan tadi terjadi.
Dan mungkin terjadi.
Sang Pangeran kecil yang dulu sangat nakal itu me-
mang berbakat sakti dari semula. Kemudian, mungkin
ia jadi Bhre Wengker. Untuk kemudian naik tahta Wil-
watikta. Dia yang bergelar Sang Hyang Purwawisesa.
Kembali Ki Megatruh menghela napas. Kalau Sang
Maharaja benar-benar menyiarkan kedua kidung yang
porak-poranda itu... wah, pasti akan hebat jadinya. Terutama kalau Sinom tahu!
Pertanyaannya, sekali lagi, betulkah pertemuan tadi
terjadi" Ki Megatruh menghela napas panjang. Perlahan ta-
ngannya mengusap pangkal lehernya.
Dahulu, begitu banyak kalangan istana yang menge-
nalnya. Sang Brawijaya sendiri memberinya tanda pe-
ngenal yang mewajibkan semua orang tunduk padanya.
Bahkan, anehnya, itu termasuk Sang Brawijaya sen-
diri - yang pernah dilakukannya di perang besar padang
Bera Rantas, saat ia ingin melarang Sang Maharaja ma-
ju berperang memimpin pasukan sendiri. Sekarang...
siapa mengenal dirinya" Ya. Siapa bisa mengenal diri-
nya" Nama-nama besar yang lalu, hanya nama kosong
saja kini. Tangannya mengusap terus pangkal lehernya. Dan
tiba-tiba, sedikit demi sedikit, kulit di pangkal leher itu seakan terkelupas.
Semakin lebar. Semakin lebar.
Kedua tangannya berhenti sesaat.
Untuk apa ia menyembunyikan keburukan ini"
Mungkin untuk menenteramkan hati istrinya. Mungkin
hanya untuk memuaskan hati adiknya, Rara Sinom,
waktu itu. Mungkin juga demi permintaan Tantripala si
maha tabib. Atau desakan Mahendra yang mungkin ha-
nya ingin melucu.
Walaupun ia tak memakai ini, toh orang takkan
mengenalnya. Walaupun ia memakai ini, apakah itu be-
rarti ia akan mengizinkan keburukan disembunyikan"
Kedua tangannya mencengkeram sobekan kulit di
lehernya. Dan diangkatnya ke atas.
Kulit itu terkelupas. Kemudian... lehernya. Dan...
mukanya. Dan... rambutnya.
Ki Megatruh berdiri dengan angin menerpa wajah as-
linya. Wajah buruk bercoreng-moreng bekas luka bakar.
Batok kepala hitam di mana rambut takkan tumbuh.
Ia ingin menemui jatidirinya.


Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Jauh di sebelah timur, di menara pemujaan, Sang Ma-
haraja penguasa Wilwatikta, Sang Prabu Hyang Purwa-
wisesa, roboh saat bersemadi. Beberapa pendeta pen-
dampingnya sangat terkejut dan gugup berusaha mem-
bangunkan Sang Prabu.
Suara pepujian mengalun bersamaan empasan na-
pas lega. Dan Sang Maharaja membuka matanya. "Tak apa-
apa... aku tak apa-apa...," sabda Sang Raja lemah. "Aku bahkan gembira... aku
baru bersua... sahabat lama...."
2. PERJALANAN BEBERAPA saat hening. Tun Kumala berdiri terpaku,
setelah mengucapkan kata-kata yang serasa dibisikkan
orang padanya. Saat seperti itu ia benci pada pakaian
'Tanah Seberang' yang dipakainya. Matahari telah ting-
gi, dan panasnya menusuk kulit.
Agak jauh darinya, Nyai Gadung dan Ni Gori mena-
han napas, memperhatikan 'Wisti' dan Wara Huyeng.
'Wisti' tampak pucat. Dan tangan kirinya begitu ge-
metar hingga ia memerlukan memegang pundak Wara
Huyeng. Ia tak punya pikiran lain. Tun Kumala begitu
fasih melafalkan kata-kata pertama ajaran Wajraprayaga.
Beranikah ia menerjangnya" Ia melirik Wara Huyeng.
Wara Huyeng masih memperhatikan Tun Kumala dan
kemudian berbisik, "Angin kuat, Junjungan."
"Huh. Kaukira itu sudah benar?" tiba-tiba Wisti men-
cibir. "Coba. Di manakah Sang Matahari berada?"
Inilah kata-kata sandi bersayap tentang tenaga da-
lam Wajraprayaga.
Tun Kumala tertegun. Bagaimana ia harus menja-
wab" Dan sekali lagi terdengar suara desis. Ia pura-
pura membungkuk mengambil batu, dan suara itu ter-
dengar jelas. "Saat Sang Khrisna berada di Kapila, siapa memerlu-
kan matahari?" terdengar seseorang membisikkan kata-
kata itu di telinganya. Dan dengan lantang ia pun
mengulangi kata-kata itu.
Sekali lagi, Wisti terpaksa mundur selangkah.
Ia melirik pada Nyai Gadung. Wanita tua itu sedang
membungkuk memeriksa kaki 'anak'nya, Ni Gori, yang
tampak sekali sangat bingung mendapat perawatan dari
'ibu'nya itu. Tadi sekilas ia melihat Nyai Gadung meng-gerakkan bibir. Tetapi
itu mungkin hanyalah mantra
untuk menyembuhkan sakit kaki Ni Gori.
Dan tiba-tiba Nyai Gadung berpaling padanya, terta-
wa. "Aku bukanlah ahli ilmu sesat itu," orang tua itu
berkata. "Tapi seperti layaknya ilmu sesat, sikap si pe-milik tidak
menggambarkan kekuatan ilmu yang dimili-
kinya. Nasihatku... kalau kau nggak percaya... coba saja terjang dia... aku
ingin lihat tontonan menarik!"
Wisti tak menjawab. Pipinya panas. Pipi yang kuning
keputihan itu memerah ranum. Matanya yang indah ki-
ni memperhatikan Tun Kumala.
Ia benci pada pemuda yang agaknya mempermain-
kannya itu. Tetapi tiba-tiba juga muncul rasa ingin me-milikinya. Pemuda ini
sungguh lain dari yang lain.
Lebih tampan. Lebih aneh. Lebih tak terduga. Dan
mungkinkah... ilmunya juga berlebih"
Kalau itu semua benar, tidakkah layak ia menjadi
pendampingnya"
Ia orang seberang. Tapi dengan memiliki Wajrapra-
yaga, mungkin ia masih dari keluarga dekat istana. Walau... mungkin juga pemuda
itu, seperti dirinya, mencu-ri ilmu langka itu hanya untuk masuk ke dalam
istana. Saat itu Tun Kumala pun memandang padanya.
Dan kedua pasang mata indah, hitam, bersinar ta-
jam itu bentrok.
Kemudian masing-masing sama-sama memalingkan
muka. Tun Kumala tak tahan menerima tatapan orang be-
rilmu setinggi Wara Hita. Wara Hita tak tahan menerima tatapan 'pemuda'
impiannya. Ini tak lepas dari pandang mata Wara Huyeng.
"Junjungan, sudahlah...," bisik Wara Huyeng sambil
terus memperhatikan Tun Kumala. "Ikan kecil seperti
ini tak usah banyak dipikirkan. Kita bisa mengail di
tempat lain!"
"Benar. Yang ini banyak durinya...." Nyai Gadung
tertawa. "Baiklah." Wisti alias Wara Hita mengertakkan gigi,
mengepalkan tinju, mengentakkan kaki. Batu di bawah
kakinya hancur seketika.
"Aku kelak... akan... mencarimu... Tun!" katanya se-
dikit gemetar saat ia memutar badan dan dengan lang-
kah gagah pergi mendekati kudanya. Wara Huyeng pun
mengangkat bahu, dan tak acuh juga berpaling, berja-
lan dengan lenggang berlebihan serta melompat lang-
sung ke punggung kudanya. "Mayat-mayat ini biarkan
saja, ya," pesannya pada Nyai Gadung. "Lima hari lagi aku mau ke sini untuk
memakannya, hi hi hi hi...." Ia
tertawa membelokkan kudanya.
Untuk terakhir kali Wisti memperhatikan Tun Kuma-
la dari atas punggung Tatit Ketiga. Kemudian ia berkata pada Nyai Gadung,
"Wanita tua... guruku pasti ingin
sekali berkenalan denganmu...."
"Jelas." Nyai Gadung tertawa. "Melihat hasil ajaran-
nya padamu, tak pelak lagi pastilah ia harus berguru
kembali. Mungkin pembantu anakku bisa menerimanya
sebagai murid, hi hi hi hi...."
"Hm! Ke mana pun kau pergi, kami pasti bisa menca-
rimu. Jadi, suatu saat kata-katamu itu harus kaubuk-
tikan...." Kembali Wara Hita memutar kudanya dan
mencuri pandang pada Tun Kumala. Saat itu pun Tun
Kumala sedang memandang padanya, bahkan seakan
ingin mengatakan sesuatu.
"Saudara Wisti...," kata Tun Kumala lemah.
"Sudahlah... lain kali saja kita bicara...." Ingin Wisti mengeluarkan kata-kata
ancaman atau makian. Tetapi
yang keluar hanyalah itu. Ia memutar kuda lagi, melirik pada, Tun Kumala, dan
menggertak kuda tersebut hingga langsung melesat berderap menaiki lereng tebing.
Wara Huyeng tertawa menyusul.
Beberapa saat kemudian, kembali lembah itu hening.
Kemudian Tun Kumala menghela napas panjang. Se-
saat ragu-ragu. Tapi ia berjalan cukup mantap menuju
kudanya, yang seperti kuda-kuda lainnya enak-enak
merumput tanpa memperhatikan kejadian di sekeliling
mereka. Ia pun jadi merasa tak enak lagi. Kuda ini se-
sungguhnya bukan miliknya. Mungkin milik Wisti. Yang
jelas, mereka yang mengantarkannya kini telah terkapar kehilangan nyawa.
"Hei, mau ke mana kau?" Nyai Gadung berseru he-
ran. "Oh, maaf, Bibi..." Tun Kumala berhenti sesaat. "Aku
rasa... sebaiknya aku pergi saja. Terima kasih atas bantuan Bibi dan... Adik
Gori. Jelas aku tak bisa membalas budi Bibi. Jika... jika Bibi ke Kuripan,
mampirlah ke...
ke rumah Rakryan Rangga. Aku... aku pernah tinggal di
rumah itu dan... Nyai Rangga kenal aku.... Katakan Bibi pernah menolong aku...
mungkin beliau ingin mengucapkan terima kasih...."
"Anak muda, tenangkan pikiranmu." Nyai Gadung
mengerutkan kening. "Anggap saja aku tak pernah me-
lakukan apa pun... jadi kau tak usah merasa berutang
budi padaku, apalagi sampai kau merasa harus memba-
lasku dengan harta dunia...."
"Terima kasih jika Bibi berpikiran begitu...." Tun Ku-
mala sesaat memainkan tali kekang kudanya. "Terus-
terang, tanpa bantuan Bibi mungkin aku sudah jadi
korban mereka. Tetapi, terus-terang, jika Bibi tidak ikut campur, maka peristiwa
ini... bahkan sampai terjadinya korban nyawa... mungkin tak pernah terjadi."
"Hei, jadi kau menyalahkan Jun... ibuku?" Ni Gori
geram berdiri. Ia hampir roboh kembali, tetapi dengan
mengertak gigi wanita muda itu berhasil memasang
tampang marah. "Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, Adik manis."
Tun Kumala mencoba tersenyum. "Ini semua juga ka-
rena kegemaranku ikut campur urusan orang... serta...
ketidaksetiaanku pada kata-kata dan tekad yang ku-
miliki. Kalau ada yang patut dihukum, maka akulah itu.
Kalau aku teguh akan janjiku pada mereka, mestinya
aku tak usah memperhatikan kalian. Kalau aku mengi-
kuti perasaan hatiku terhadap kalian, mestinya aku te-
gas menolak mereka. Dan aku tak melakukan kedua-
nya." Tiba-tiba Tun Kumala termenung.
Banyak yang tak dilakukannya. Ia bertekad untuk
mencari keterangan tentang fitnah yang diderita ka-
kaknya. Dan sampai memperoleh pengalaman sepahit
ini ia tak memperoleh keterangan apa-apa. Bahkan ia
hampir kehilangan nyawa. Yang jelas, ia telah kehilang-an Rakryan Mapatih.
Tak peduli akan pelototan Ni Gori, Tun Kumala me-
rangkap tangan. Hampir saja ia memberi salam sembah
sebagai layaknya orang Jawa. Tetapi ia ingat peran yang sedang dilakukannya. Dan
ia hanya mengangkat tangan
itu setinggi dada. Kemudian ia menaiki kudanya.
"Kau..." Hampir Ni Gori mendamprat Tun Kumala.
Tapi Nyai Gadung memberi isyarat mencegahnya.
Dengan diam mereka memperhatikan Tun Kumala
mengendarai kudanya menaiki tebing. Dan masuk ke
dalam hutan. "Junjungan, manusia tak bertulang seperti dia untuk
apa dikasihani?" geram Ni Gori.
Tak ada jawaban.
Terkejut Ni Gori menoleh. "Junjungan!" jeritnya, ia
melangkah dan roboh di sisi Nyai Gadung yang terba-
ring pucat di tanah berbatu.
"Junjungan!" bisik Ni Gori, bingung.
"Gori... bawa aku ke tempat teduh... cari tempat
sembunyi untuk beberapa hari ini," bisik Nyai Gadung
dengan mata terpejam rapat menahan sakit. "Sesung-
guhnya aku roboh sedari tadi.... Bhirawadana mereka cukup kuat, walaupun agaknya
palsu. Kalau saja mereka menyerangku tadi, pastilah aku takkan bisa sela-
mat.... Karena itulah tadi kugunakan anak muda itu
untuk menggertak mereka. Ugh..." Sesuatu bergerak di
dada Nyai Gadung, dan setitik darah muncul di sudut
bibirnya. "Yang bernama Wisti itu cukup kuat. Bawa
aku cepat menyingkir, Gori.... Sayang... Sayang si Tun tadi tak mau ikut kita.
Sesungguhnya... aku ingin dia
jadi muridku... untuk kuadu dengan murid Dinda Si-
nom, agar tahu dia, betapa ilmuku pun sanggup mela-
wannya...."
"Guru... jangan terlalu banyak bicara, Junjungan...
biar hamba dukung... mohon ampun, Junjungan...." Ni
Gori mengerahkan tenaga. Ia terhuyung ketika meng-
angkat tubuh Nyai Gadung.
"Sayang anak itu terlalu keras kepala... ugh.... Nanti kalau... aku sudah
sembuh... biar kita ikuti lagi dia...."
*** Beberapa lama Wara Hita terus memacu kudanya. Me-
nutup mulut rapat-rapat. Tak mempedulikan Wara Hu-
yeng yang beberapa kali mencoba mengajaknya berbica-
ra. Kemudian mereka melewati puncak sebuah bukit
kapur. Tiba-tiba saja Wara Hita membelokkan kuda pu-
tihnya ke segerombolan semak belukar, berhenti dan...
tubuhnya terhuyung jatuh dari punggung kuda!
"Anakmas!" Wara Huyeng menjerit terkejut, melom-
pat cepat menyambar tubuh junjungannya itu. Ia cukup
sebat hingga Wara Huyeng tak sampai terempas ke ta-
nah. "Anakmas... kenapa?"
Wajah Wara Hita pucat-pasi. Napasnya tersengal-
sengal. Ia menekap dadanya dan memberi isyarat agar
Wara Huyeng mendudukkannya di bayang-bayang per-
du. "Anakmas..." Gugup Wara Huyeng mencoba mene-
gakkan duduk Wara Hita. Dan kali ini wanita setengah
tua yang biasanya cerewet dan ceriwis itu tampak begi-
tu kebingungan. Dengan cepat ia memijit beberapa ba-
gian tubuh Wara Hita.
Wara Hita masih juga tersengal-sengal.
"Anakmas... aku tak bisa menemukan apakah Anak-
mas terluka ataukah cedera... ada apa sebenarnya?"
Wara Huyeng mencoba-coba terus.
Wara Hita memejamkan mata rapat-rapat. Keringat
mengucur deras di dahinya yang mulus licin. Wara Hu-
yeng menjilat keringat itu dan berpikir-pikir. "Tidak...
kau pun tak terkena racun... dan jalan darahmu tak
terganggu... lalu kenapa?"
"Ugh!" Tiba-tiba Wara Hita terbatuk, dan darah segar
terlempar dari mulutnya.
"Anakmas!" Wara Huyeng menjerit.
Tetapi kini Wara Hita agaknya lebih tenang. Pipinya
mulai memerah, dan ia memejamkan mata bersemadi.
Melihat ini Wara Huyeng merasa sedikit lega. Ia pun
mundur, menuntun kedua kuda mereka ke sebatang
pohon, mengikatnya, dan kembali memperhatikan Wara
Hita. Diusapnya keringat yang mengucur di muka Wara
Hita. Diambilnya selendangnya dan direntangkan di
ranting-ranting di atas Wara Hita hingga gadis yang
berpakaian pria itu terlindung dari panas matahari.
Kemudian ia menunggu.
Tak berapa lama, Wara Hita membuka matanya.
"Anakmas... apa yang terjadi?" tanyanya.
"Bibi... wanita tua itu sungguh hebat.... Tanpa me-
nyerangku ia telah membuat berantakan semua tata
kehidupan di dalam tubuhku. Hanya dengan menangkis
Bhirawadana- ku! Aku... aku yakin dia tidaklah sesakti Guru Yang Mulia... namun
jelas ia jauh di atas Resi
Rhagani," kata Wara Hita berbisik.
"Kalau begitu ia harus kita kejar... dan tangkap!" ka-
ta Wara Huyeng bersemangat. "Orang semacam dia
akan sangat berbahaya kelak... dan mungkin dia me-
mang sedang memata-matai kita?"


Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurasa tidak... ia hanya kebetulan lewat dan... ugh
... kita takkan mampu menaklukkannya.... Lebih baik
kita menghaturkan hal ini pada Bapa Guru. Itulah se-
babnya aku tadi... terpaksa menahan diri."
"Ugh ya... Tun Kumala tadi memang ranum ya....
Tinggal dipetik... eh, kabur!" Cepat sekali Wara Huyeng lupa akan penderitaan
junjungannya itu. "Tapi Anakmas tak usah memperhatikan dia. Apa enaknya wajah
tampan kalau badannya... huh... lha kurus begitu kok.
Nanti saja kalau kita sudah menguasai Wilwatikta...
huh, minta sebelas pangeran yang setampan Tun Ku-
mala pun gampang! Kuat-kuat lagi!"
Wara Hita memejamkan mata dan mencoba perna-
pasannya. "Aku begitu lemah, Bibi... kurasa bergerak
pun aku tak mampu... dan... ugh... pandanganku begitu
kabur... Bibi!" Wara Hita memijit-mijit kepalanya.
"Anakmas!" Wara Huyeng membantu memijit Wara
Hita. "Bibi... tolong bawa aku pulang ke Trang Galih....
Bawa aku segera ke Bapa Guru...."
Dan Wara Hita pun roboh pingsan.
*** Desa itu lumayan besarnya. Ada pasar yang ramai. Tapi
Tun Kumala yang berada di punggung kuda tak tahu ia
berada di mana. Ia tahu nama desa itu hanya dengan
bertanya pada seorang anak-anak. Desa Mega Wetan.
Dan puncak gunung di belakangnya adalah Gunung
Lawu. Hanya itu.
Ia tak bisa bertanya lebih lanjut. Anak itu tak tahu
kota mana yang terdekat. Atau ini di daerah mana. Su-
litnya lagi, Tun Kumala terkadang merasa dirinya ha-
nyalah seorang gadis remaja. Jelas tak berani bertanya pada orang-orang dewasa
yang tak dikenalnya.
Hanya karena pakaiannya yang sedikit anehlah ma-
ka ia tadi didekati oleh anak-anak. Dan ia memberani-
kan diri bertanya pada mereka.
Kemudian ia merasa lapar. Ia memang membawa
uang. Bahkan kemarin kenakalannya mampu muncul
saat sesungguhnya pikirannya sedang kacau. Ia meng-
ambil ikat pinggang si Kusya yang ternyata berisi berbagai peralatan keperluan
sehari-hari. Termasuk uang.
Ikat pinggang kulit lebar itu juga diambilnya karena dapat mengurangi rasa pegal
di pinggangnya karena diko-
cok gerakan kuda. Juga karena di kepala ikat pinggang
itu terdapat hiasan logam yang berukir indah, bergam-
bar ular kecil bersayap.
Ia punya uang. Tapi beranikah ia pergi ke warung"
Karena itulah ia beberapa lama mematung di atas
punggung kudanya.
Sudah sehari semalam ia berjalan sejak meninggal-
kan Nyai Gadung dan peristiwa yang begitu mena-
kutkan itu. Ia tak tahu arah. Asal ke arah timur, dengan harapan bisa mencapai
suatu tempat yang dikenalnya.
Tadi malam ia bermalam di hutan, di atas pohon. Sung-
guh tak menyenangkan. Ia ketakutan terus. Tak bisa ti-
dur. Dan kelaparan.
Agaknya ia harus makan. Dan mungkin istirahat la-
gi. Dan bertanya arah yang harus ditempuhnya.
"Hei, minggir! Ini jalan kakekmu, apa!" suara bentak-
an keras membuatnya tersentak.
Tun Kumala terkejut dan meminggirkan kudanya.
Dilihatnya tiga orang penunggang kuda telah berhenti di belakangnya. Dua di
antaranya memakai kain merah,
bertubuh besar pendek, dan tampak kasar. Yang seo-
rang lagi seorang pria berumur yang tampaknya kaya,
kumis dan jenggotnya terawat rapi, gelung rambutnya
diikat oleh gelang emas.
"Huh, orang asing lagi," gerutu orang yang memben-
taknya tadi, seseorang dengan dada lebat oleh rambut.
"Cari apa kau sampai sejauh ini ke pedalaman?"
"Sudah, Rota, lanjutkan perjalanan!" tukas si orang
kaya. "Pokoknya jangan sampai kau berada kurang dari
lima langkah dari junjunganku, Buyut Pagalan, me-
ngerti!" Yang bernama Rota menghantam kuda Tun Ku-
mala dengan pangkal tombak panjang yang dibawanya,
kemudian menggertak kudanya sendiri.
Orang kaya itu, yang mungkin adalah Buyut Pagal-
an, juga melotot marah pada Tun Kumala sebelum me-
lanjutkan perjalanan mengikuti kedua pengawalnya.
Tun Kumala memijit-mijit kepalanya. Pusing. Me-
ngantuk. Lapar.
Ia menjalankan kudanya.
Tahu-tau ia telah berada di pasar, dan sadar akan
hal itu karena kudanya hampir menubruk seorang wa-
nita penjual daun.
"Oh, maaf, Bibi, maaf... aku begitu mengantuk...,"
gugup Tun Kumala meminta maaf.
"Tak apa, Tuan... rasanya cukup lumayan mati diin-
jak kuda seorang tuan yang kaya dan tampan. Bukan
begitu, Teki?" Penjual daun yang bertubuh nyaris bulat itu terpingkal-pingkal
oleh leluconnya sendiri.
"Jangan sembrono, Dadap," rekannya menyahut,
memperhatikan Tun Kumala dengan mata yang dikeli-
lingi keriput. "Mungkin Tuan ini tamu dari seberang
lautan... bisa-bisa kau dibeli, dibawa pulang, dijadikan tontonan, lho!"
"Aduuuh, ya jangan. Si embok ini jangan dibawa ya,
Tuan, ya... nanti malah membuat repot! Lha orang ma-
kanan aku banyak sekali kok, hi hi hi hi...." Dadap si gendut itu terpingkal-
pingkal lagi. "Eh, ngomong-ngomong, beli ya dagangan embok ini" Daun bagus kok,
Tuan." "Ngawur, lha Tuan setampan itu kausuruh beli daun,
lha buat apa" Apa buat mbungkus kamu?" tukas si Te-
ki. "Eala... ya siapa tahu... barangkali hanya ingin memberi hadiah pada si
gendut ini... hi hi hi hi.... Apa di seberang kalau makan tidak dibungkus daun,
Tuan?" Da-
dap ini agaknya memang sangat berani omong.
"Ya sama saja, Bibi." Tun Kumala tersenyum. Dan
senyum ini langsung membuat si Teki hampir terjung-
kal karena kesengsemnya. "Ngomong-ngomong... di ma-
na ya aku bisa membeli makanan?"
"Aduh, Gusti, Dadap! Dadap! Lihat itu tadi" Tuan ini
tersenyum padaku! Aduh, Dadap, coba cubit aku... aku
ini ngimpi tidak sih?" si Teki gugup berkata pada rekannya, begitu ramai hingga
orang-orang di sekelilingnya
berhenti dan memperhatikannya.
"Hus, Teki, jangan ribut! Tuan itu sih tersenyum pa-
damu hanya karena ingin kenalan denganku, kan begi-
tu ya, Tuan, ya?" ternyata Dadap ini juga genit.
"Ah, aku memang ingin berkenalan dengan kalian
berdua. Tapi... di mana aku bisa makan?" tanya Tun
Kumala sabar. "Waaah, kalau Tuan mau menunggu dan berjalan
agak lama, mari ke rumah hamba sajalah... biar nanti
kusembelihkan kambing," kata si Dadap.
"Gila kau, Dadap... kaukira suamimu akan diam saja
melihat kau membawa tuan setampan ini?" tukas Teki.
"Lebih baik ke rumah hamba saja, Tuan...."
"Kau lebih gila! Suamimu kan juga cemburuan!" kata
Dadap. "Ya, tapi kau tolol. Kau tadi kan cuma mau menyem-
belih kambing?" kata Teki.
"Lalu?" kata Dadap.
"Kalau aku... kusembelih dulu suamiku, kemudian
kusembelih kambing dan ayam untuk tuan ini... nah,
lebih aman, kan?" Teki tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudahlah, Bibi... aku lapar sekarang, ke mana aku
harus pergi" Maksudku, ke warung yang ada di sekitar
sini saja." Tun Kumala hampir putus asa.
"Baik, akan hamba antarkan, Gusti.... Dadap, kau
tunggu daganganku!" Teki berdiri.
"Enak saja. Biar aku saja yang mengantarkan!" Da-
dap juga berdiri.
"Nggak! Kan aku yang tadi hampir ketabrak kuda-
nya!" bantah Teki. "Awas, berani mendekati tuan ini...
Nih!" Ia mengeluarkan sebilah golok dan mengacung-
kannya pada Dadap.
"Eh, kaukira aku takut, ya?" Dadap tak mau kalah,
langsung mencabut pisau besar yang tersisip di antara
daun-daunnya. "Tunggu, tunggu, Bibi-bibi... tak usah bertengkar...
begini saja, Bibi berdua boleh mengantarkan aku... ba-
gaimana?" Tun Kumala tergesa-gesa mencegah terja-
dinya pertarungan antar rekan itu.
Sesaat Dadap memandang Teki. Kemudian ia meng-
anggukkan kepala, menyisipkan pisau besarnya di seta-gen- nya. "Boleh. Tapi aku
yang di kiri." Ia melotot pada Teki.
"Tak apa. Dia lebih tampan dari kanan," sahut Teki.
"Ayo berangkat, Tuan!"
"Eh, eh... ya... baiklah...." Tun Kumala ikut gugup. Ia kini bagaikan seorang
pembesar yang berjalan dikawal
oleh dua orang wanita aneh itu, yang seorang gendut
bundar, yang seorang kurus berkeriput. Dan ia cang-
gung duduk di atas kudanya yang berjalan selangkah-
selangkah. Orang-orang yang mereka lewati jelas-jelas
tercengang dan memperhatikan mereka serta membica-
rakan mereka. Ada juga yang jelas-jelas menertawai me-
reka. Teki dan Dadap tidak peduli, bahkan bangga tam-
paknya. Tun Kumala sendiri yang semakin bingung.
Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah
besar dengan halaman luas. Halaman itu tampak tak
terurus, rumput tumbuh membelukar. Pendapanya di-
ubah menjadi semacam warung. Dan tepat di depan wa-
rung itu beberapa kuda tertambat. Bau kotoran dan
kencing kuda menusuk hidung.
"Eh, tempat apa ini?" Tun Kumala mengerutkan ke-
ning. "Ini rumah penginapan punya Ki Gebang, Tuan. Sa-
ngat terkenal," kata Dadap. "Semua orang yang akan ke
Wengker dengan menembus gunung itu selalu berma-
lam di sini untuk menunggu kawan jalan bersama."
"Ya. Karena banyak orang bepergian mampir di sini,
masakan Ki Gebang sungguh hebat... maklum harus
memenuhi selera berbagai macam lidah!"
"Pasti lezat!" Dadap mengiyakan kata-kata Teki tadi.
"Tapi... kotor... dan bau...," kata Tun Kumala ragu.
"Ah, tak usah kuatir... Ki Gebang punya ruangan
khusus di dalam sana... Enak. Aku sering jual daun ke
sini kok.... Ayo!" Dadap menyeret tali kekang kuda Tun Kumala.
Di pendapa luar itu telah duduk beberapa orang le-
laki sedang makan atau minum. Tadi mereka ribut se-
kali. Tetapi begitu Tun Kumala dan kedua 'pengawal'nya muncul, semua terdiam,
tercengang memandangnya.
"Hei, apa-apaan ini memelototi Tuanku, heh?" ben-
tak Teki yang mukanya penuh keriput mencoba berla-
gak garang. Seorang pria tua tertawa terkekeh-kekeh. "Eh, Ne-
nek, kalau kami menonton tuanmu, itu sih wajar. Apa
disuruh memandangimu" Nah, itu sih gila namanya, he
he he...."
Orang lain pun hilang rasa tercengang mereka dan
serentak tertawa.
"Diam!" Dadap mengentakkan kaki hingga lantai
pendapa itu bergetar keras. "Kek, jangan ganggu te-
manku ini, ia sudah ada yang punya!"
"Ya ampun" Betulkah" Kasihan amat lelaki yang ha-
rus menderita menjadi suaminya!" Dan si kakek itu ter-
tawa lagi. "Sialan!" Tiba-tiba Dadap melecutkan tangan. "Sua-
minya juga suamiku, tahu!" Entah bagaimana pisau be-
sar yang tadi di pinggangnya telah berada di tangan dan melecut ke gelung orang
tua itu. Si lelaki tua menjerit. Rambutnya semburat bubar
berantakan terpapas oleh pisau Dadap. Ia menjerit-jerit terus sampai Dadap
kembali membentaknya. "Diam!"
"Sekali lagi kau berani menertawai kami, lehermu
akan kupendekkan tiga jari. Kaudengar itu, Kek?" an-
cam Dadap pada si lelaki tua.
"Dengar, dengar, dengar...." Si kakek mengangguk-
angguk sampai tiga kali.
"Bagus. Sekarang... di mana Ki Gebang?" tanya Da-
dap sombong. Sesaat semua terdiam. Kemudian si tua
itu mengangkat muka, berkata memelas, "Ad... ada di
dalam... tapi... tapi ada tamu... galak-galak...."
"Kurang ajar! Kaupikir ada yang lebih galak dari ma-
duku yang galak ini?" Teki pun mengeluarkan pa-
rangnya. "Lagi pula, apa urusanmu?"
"Ya. Tamunya harus minggat dari sini. Ki Gebang!"
Dadap berteriak.
"Aku bakar rumah ini kalau ia tak mau melayani
kami!" Dengan langkah lebar Teki masuk. Dadap me-
mainkan pisaunya sesaat kemudian menyusul Teki.
Tun Kumala tak bisa berbuat lain. Dengan kikuk ia pun
ikut masuk. Bagian dalam rumah itu luas, sejuk dan sedikit rapi.
Ada semacam meja pendek di tengah ruangan, dan dua
orang pria ada di sana. Seorang, Tun Kumala langsung
kenal. Buyut Pagalan. Di hadapannya, melayani buyut itu
makan, tampak seorang pria bertubuh hampir sebun-
dar Dadap. Dan tiba-tiba di hadapan Tun Kumala muncul Ki Ro-
ta, pengawal Buyut Pagalan.
"Huh, mau apa kau?" tanya Ki Rota sambil memelin-
tir kumisnya, sementara sebelah tangannya bertolak
pinggang di dekat hulu kelewang dan matanya membe-
lalak tajam. "Eh, kau siapa?" Dengan geram Dadap mendorong
dada Ki Rota yang bidang penuh bulu itu. Dan akibat-
nya ia terempas terbanting ke lantai dengan suara ber-
gedebug keras.

Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan ikut campur, Perempuan!" bentak Ki Rota.
"Kurang ajar!" Tubuh bundar Dadap melompat dari
lantai langsung berdiri dan memasang kuda-kuda. "Kau
belum kenal si Kembar-Tapi-Tak-Sama Dadap dan Teki,
huh! Ki Gebang, usir tamu monyet ini atau kurobohkan
rumahmu!" pekik Dadap.
"Bangsat!" Ki Rota tak tahan, langsung melancarkan
dua tinju berturut-turut, lurus menghunjam ke ulu hati Dadap. Tapi kini Dadap
telah siap. Dengan tangan ter-tekuk ia menangkis pukulan itu, dan kakinya
menghan- tam keras kaki Ki Rota.
Ki Rota menjerit, terbungkuk, dan Dadap langsung
menyodokkan telapak tangannya keras-keras ke dada
Ki Rota. Ki Rota terpekik perlahan, balas menendang.
Dadap telah memperkirakan itu. Tubuhnya yang bun-
dar berputar deras dan balas menendang. Bahkan tak
sungkan-sungkan ia membabat Ki Rota dengan pisau
lebarnya. Teki dan Dadap bukanlah pendekar sakti. Tetapi me-
reka adalah istri-istri seorang berandal yang pernah ma-lang-melintang mengacau
dunia di kaki Gunung Lawu.
Ki Lejong kini memang tak bisa berbuat banyak lagi se-
jak salah satu kakinya dibabat kutung oleh seorang
prajurit wanita dari Kuripan. Dan kini ia tinggal men-
gandalkan hidupnya dari mata pencaharian kedua is-
trinya, berjual daun pisang. Iseng-iseng ia mengajar kedua istrinya itu gerak-
gerak bela diri yang disesuaikan dengan pekerjaan mereka; mencari daun pisang.
Maka Teki dan Dadap sangat ahli mengambil keuntungan dari
senjata mereka, parang dan pisau yang berdaun lebar.
Bagaikan daun pisang yang lebar, kedua senjata itu se-
lalu ditebaskan miring, dan gerak melayangnya bisa
menambah tenaga tebasan serta keluwesan untuk be-
rubah arah. Ini didukung pula oleh ilmu loncat tinggi
yang digunakan kedua wanita itu untuk memotong
daun-daun pisang yang tinggi - dahulunya mereka me-
makai galah, namun Ki Lejong mengajari mereka me-
lompat, menebas daun dan menangkap daun itu sebe-
lum rusak terbanting ke tanah. Semua memang gerak
alami, dan tak berlambarkan kesaktian apa pun. Tetapi
itu telah membuat Ki Rota kalang-kabut!
Ruang dalam itu tentu saja sangat ribut. Dadap te-
rus membentak, memaki, dan menjerit. Ki Rota demi-
kian juga. Tun Kumala sesungguhnya ingin berteriak
agar Dadap menghentikan perkelahian. Namun sebagai
seorang gadis yang dididik kesopanan maka ia menahan
diri dan mundur bersandar ke sebuah tiang besar, di
tempat yang agak gelap. Ia tak tahu harus berbuat apa, dan mungkin juga ia tak
mampu berbuat apa-apa.
Hanya sejak kecil ia sering mengikuti kakaknya berlatih silat hingga sedikit-
banyak ia bisa menilai bahwa Dadap tidak terdesak dan kalaupun Ki Rota itu, atau
kawannya, menyerangnya, mungkin ia pun masih bisa mem-
pertahankan diri - asal terbatas pada ilmu silat tanpa
lambaran kesaktian apa pun.
Teki juga sangat ribut memberi komando pada ma-
dunya atau memaki-maki membuat panas hati Ki Rota.
Buyut Pagalan sendiri berlagak tak acuh, menerus-
kan makannya. Demikian juga Ki Gebang yang bundar.
Di luar ruang orang-orang pun banyak berkumpul me-
nonton. Tiba-tiba mata Ki Gebang yang sipit di antara pipinya
yang tambun sedikit melebar saat memperhatikan Tun
Kumala. Dan ia pun membisikkan sesuatu pada Buyut
Pagalan. "Eh, Ki Gebang! Jangan pakai bisik-bisik, ya!" bentak
Teki yang melihat gerakan itu. "Pasti kau akan tawar-
kan kami pada tamu cacingan itu. Huh, jangan harap!
Suami kami masih cukup gagah, tahu! Coba suruh ma-
ju tamumu itu, biar kucincang-cincang badannya jadi
empat belas! Atau kau sendiri yang mau maju?"
"Rota, berhenti dan mundur!" tiba-tiba Buyut Paga-
lan membentak, berdiri.
"Gampang saja ngomong!" kata Teki. "Tinggalkan du-
lu kakimu!" teriaknya pada Ki Rota.
Ki Rota merasa serba salah. Ia tahu, jika dilanjutkan
pasti ia bisa merebut kemenangan. Ia merasa betapa ge-
rakan-gerakan Dadap terbatas, walaupun semuanya
berbahaya. Tapi kini ia diharuskan mundur. Sesaat ia
bimbang, dan ini digunakan oleh Dadap untuk men-
cecarnya. "Maaf, Tuan, harap perintahkan orangmu mundur,"
kata Buyut Pagalan pada Tun Kumala.
Tun Kumala sangat setuju usul ini. "Bibi, hentikan
dan mundurlah!"
"Dia harus berikan kakinya!" teriak Dadap, terus
menerjang. "Hentikan!" kini Tun Kumala membentak.
Dan suara ini agaknya sangat berpengaruh. Dadap
sesaat merunduk, kemudian meloncat tinggi berputar
ke belakang, meninggalkan Ki Rota hampir terjerumus
terbawa tenaganya.
"Hah, masih untung tuan ini bermurah hati." Dadap
terengah-engah berdiri gagah. "Gimana" Kau majikan-
nya mau ganti maju?" Ia menuding Buyut Pagalan de-
ngan pisaunya. "Rota, kau mundur. Gebang, suruh semua orang itu
keluar," perintah Buyut Pagalan berwibawa. "Juga ke-
dua wanita itu."
"Enak saja!" tukas Teki. "Kau mau meracuni tuan
ini, apa" Kau saja yang pergi!"
"Tuan, aku ingin bicara denganmu. Rahasia. Mohon
kedua pengawalmu Tuan perintahkan keluar." Buyut
Pagalan memakai bahasa separuh kasar separuh halus
terhadap Tun Kumala.
"Tuan, aku tidak punya urusan dengan Tuan," kata
Tun Kumala menggagahkan diri, merasa ia harus me-
menangkan Teki dan Dadap karena kedua orang itu te-
lah bercapai lelah untuknya. "Aku datang hanya untuk
makan. Dan kedua orang ini sahabatku. Mereka boleh
tinggal atau pergi sesuka hati mereka. Kalau mereka
pergi, aku pun pergi!"
"Tuh dengar nggak." Dadap tertawa. "Ayo, manusia
pesolek, kau saja yang minggat dari sini!"
"Tidak, Bibi, biar kita saja yang mengalah...." Tun
Kumala pun berpaling untuk meninggalkan tempat itu.
"Tunggu," Buyut Pagalan cepat mencegah. "Baiklah,
sesuka hati Tuan. Mari, silakan duduk.... Gebang, keluarkan hidangan!"
Tun Kumala menghela napas panjang. Untung juga
peristiwa itu berakhir dengan mudah. Ia memberi isya-
rat pada Teki dan Dadap agar menahan diri, dan ingat
bahwa dirinya seorang 'Tuan' maka ia pun membawa-
kan sikap gagah, duduk di lantai di hadapan Buyut Pa-
galan yang juga telah duduk.
Teki dan Dadap duduk seenaknya. Mereka cukup
tahu diri untuk tidak duduk di dekat Tun Kumala.
Ki Gebang sendiri telah mundur mengusir orang-
orang yang tadi menonton, kemudian mencari hidang-
an, mungkin. 3. PEMBERONTAKAN"
BEBERAPA saat sunyi. Yang terdengar hanya bisik-bisik
dan cekikikan Teki dan Dadap yang bersandar pada
dinding kayu dan duduk sangat tidak sopan. Rota dan
rekannya duduk menjauhi tempat Buyut Pagalan dan
Tun Kumala duduk. Kedua orang itu terdiam. Kemu-
dian Ki Gebang muncul diiringi dua orang pelayan yang
membawa dua nampan penuh dengan hidangan, dita-
ruh di depan Tun Kumala dan Buyut Pagalan.
"He, Ki Gebang! Jangan lupa kami, lho! Awas!" teriak
Dadap. "He-eh! Jangan pikir kami ini hanya penjual daun,
lho!" kata Teki.
"Enak saja. Selama ini kami menyamar, tahu! Hihi-
hi..." Dadap tertawa terkikik. "Sekarang kau harus tahu, semua tingkah lakumu
sudah kami catat!"
"Waduh, kurasa aku tak pernah berbuat salah, Da-
dap!" kata Ki Gebang gugup.
"Itu sih urusan tuanku. Pokoknya sekarang, hidang-
anku mana!" bentak Teki.
"Baik, baik...." Ki Gebang betul-betul bergegas ke-
luar. "Silakan, Tuan," Buyut Pagalan menyilakan Tun
Kumala makan. Dan tak sungkan-sungkan lagi Tun Ku-
mala mengambil sepotong paha ayam panggang, sambil
berpaling pada Dadap dan Teki dan berkata, "Aku du-
luan ya, Bibi...."
"Silakan, silakan." Dadap tertawa. "Makan yang ba-
nyak biar sekuat suamiku, Tuan, hi hi hi...."
"Apakah Tuan benar akan membiarkan mereka ting-
gal di situ dan mendengarkan pembicaraan kita?" tanya
Buyut Pagalan. "Aku tak mau menyimpan rahasia dari mereka," kata
Tun Kumala. Saat itu pelayan masuk lagi dan memba-
wa makanan untuk Teki dan Dadap yang langsung me-
lahap dengan suara sangat ribut.
"Baiklah, mungkin Tuan berani bertanggung-jawab
untuk itu." Buyut Pagalan agak gelisah, tetapi ia melanjutkan makannya.
"Pertama, bolehkah aku mengetahui
nama Tuan?"
"Boleh saja. Asal Tuan juga menyebutkan nama
Tuan lebih dahulu," Dadap menyela sebelum Tun Ku-
mala menyahut. "Hati-hati, Tuan, orang ini tampangnya
lebih mirip berandal rampok dari Gunung Lawu!"
"Ya, kami hapal benar tampang berandal-berandal
rampok Gunung Lawu. Suami kami saja pernah jadi be-
randal. Nggak nyombong lho!" kata Teki.
"Baiklah. Namaku Pragosa, buyut dari Pagalan. Itu
pengawalku, Rota dan Roga. Kami biasanya mendapat
perintah langsung dari Trang Galih. Dan Tuan?"
"Namaku Kumala, dari seberang. Aku tak pernah
mendapat perintah dari Trang Galih," Tun Kumala ber-
terus-terang. "Kedua bibi ini..."
"Kami pun tak pernah menerima perintah Trang Ga-
lih. Apaan itu" Kalau perlu apa-apa langsung kami ker-
jakan, pakai nunggu-nunggu perintah segala!" Dadap
tertawa. "Kau pernah dapat perintah dari Trang Galih,
Teki?" "Kok nggak pernah, itu?" Teki berbicara dengan mu-
lut penuh. "Selama ini kok Trang Galih yang kita perintah. Ya nggak, Dadap?"
"Ya iya saja, biar gampang!"
"...namanya Bibi Dadap dan Bibi Teki...," Tun Kuma-
la menyelesaikan kalimatnya.
"Wah..." Buyut Pagalan sedikit terkejut. Kemudian ia
menunjuk hiasan pada ikat pinggang merangkap tem-
pat berbagai keperluan di pinggang Tun Kumala. "Tapi...
kurasa ular terbang itu terbang tak terlalu tinggi...."
"Apa" Oh..." Sesaat Tun Kumala bingung, kemudian
tertawa ketika sadar bahwa yang dibicarakan Buyut Pa-
galan adalah ikat pinggangnya. "Oh, ini... kukira ini terserah bagaimana aku
memakainya. Kalau perlu terbang
ke langit, ya, bisa saja!" katanya tertawa.
Tampak Buyut Pagalan terkejut.
"Apakah ular itu dari Pasukan Badai?" tanyanya he-
ran. "Mungkin. Yang jelas, dari Kusya...," kata Tun Kuma-
la tak peduli. "Di manakah Tuan terakhir bertemu dengannya?"
Sesaat Tun Kumala tertegun. Baru kini ia sadar bah-
wa mungkin sekali buyut ini adalah sahabat karib Ku-
sya. Jika diberitahukannya tentang apa yang terjadi dengan Kusya... mungkin
orang ini akan membalas.
"Oh, terakhir kali aku bertemu dia di rumah Emban
Layarmega di Kuripan!" jawab Tun Kumala. "Kenapa
kau berani bertanya begitu teliti?"
"Ah, tak apa, Tuan... hanya ingin tahu saja." Buyut
'keder' juga oleh pertanyaan tajam Tun Kumala, walau-
pun diucapkan dengan lemah lembut.
Justru kelemah-lembutan inilah yang membuat
Buyut Pagalan hampir mati ketakutan.
Daerah itu adalah daerah sebelah timur Gunung La-
wu. Trang Galih, yang merupakan pusat pergerakan
Dewi Candika, ada di sebelah selatan. Walaupun kedua
tempat itu dipisahkan oleh jarak dan jurang serta hutan belukar menyeramkan,
pengaruh pasukan Dewi Candika sudah sampai pula kemari.
Inilah yang kemudian menimbulkan salah pengertian
di pihak Buyut Pagalan.
Dengan janji muluk-muluk, di antaranya kedudukan
wadana jika gerakan mereka berhasil kelak, maka Buyut Pagalan mengajukan diri
sebagai salah satu
'sumber' gerakan. Dengan pengaruh hubungan keke-
luargaan, harta, serta kekerasan, ia berhasil menghim-
pun beberapa desa di wilayah kawedanan Gemarang.
Salah satu penghubung gerakan itu adalah Kusya, yang
memberitahunya tentang seluk-beluk gerakan dan ting-
katan-tingkatan. Mereka yang bertanda ular laut sudah
menempati kedudukan tinggi. Ular laut terbang lebih
tinggi lagi dan tergantung dari kedudukan ular tersebut pada kepala ikat
pinggang. Tadi Tun Kumala berbicara tentang Kusya seolah ia
berbicara tentang pesuruh saja. Dan tentang keduduk-
an ular terbang, ia berkata boleh menaruhnya semau-
nya. Kemudian gerak-gerik dan suara Tun Kumala yang
lemah lembut membuat Buyut Pagalan berpikir... ja-
ngan-jangan inilah Dewi Candika sendiri. Atau paling
tidak salah satu pembantu dekatnya! Ya. Kalau Dewi
Candika digambarkan sebagai bidadari cantiknya, tak
mengherankan bila pembantunya setampan ini. Lalu...
apa maksud kedatangan orang setinggi itu dalam urut-
an pergerakannya"
Juga kedua wanita yang ia tahu hanyalah penjual
daun. Sangat mungkin keduanya mata-mata Trang Ga-


Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lih. Ia tahu di sana telah dilatih sebuah pasukan wa-
nita. Bukan tidak mungkin sesungguhnya baik Teki
ataupun Dadap adalah anggota pasukan itu.
Kedua hal tadi - kehadiran Tun Kumala dan adanya
kedua wanita mata-mata itu - mengarah ke satu penger-
tian: mungkin Trang Galih tidak mempercayai kemam-
puannya. Ini cocok dengan keadaan sebenarnya.
Dari enam belas desa di bawah Akuwu Uteran, ia ba-ru berhasil mempengaruhi
sepuluh desa. Dan ini bisa
dianggap suatu kegagalan.
Bahkan, keadaan makin genting. Akuwu Uteran te-
lah minta bantuan pasukan kawedanan untuk menum-
pas sepuluh desa pembangkang itu.
Masih untung semua kegentingan itu hanya berada
di kalangan para buyut serta pengawal mereka. Pendu-
duk memang belum banyak yang tahu. Tetapi di situlah
sulitnya. Akan memihak siapa mereka kalau sebelum
kekuasaan tertanam muncul tekanan dari kawedanan"
Mungkin pejabat tinggi dari Trang Galih ini akan
membantunya. Ya. Itu pun mungkin. Tapi itu bisa me-
nyebabkan ganjaran yang diterimanya dikurangi!
"He, jangan melongo saja, Buyut! Makananmu habis
baru tahu, lho! Tuan kami biar tampan makannya ba-
nyak kok!" Dadap tertawa mengejek.
"Oh, ya, silakan makan, Paman, aku memang sangat
lapar, jadi maaf, jika aku berlaku tidak sopan," kata
Tun Kumala dengan bersungguh-sungguh. Memang, ra-
sa laparnya serta lezatnya hidangan Ki Gebang mem-
buat ia lupa akan tata susila.
"Tuan, bolehkah kita berbicara sementara Tuan ber-
santap?" Bahasa Buyut Pagalan sedikit berubah, lebih
halus. "Hamba sudah makan tadi... dan rasanya keha-
diran Tuan bisa mengubah apa yang telah disepakati
oleh Sepuluh Sumber Kecil."
"Ah. Boleh saja. Memang kalau kecil, walaupun se-
puluh sumber, tak akan menghasilkan sebuah sungai
besar," sahut Tun Kumala sekenanya.
"Itulah... karenanya, hamba mohon kita bisa bicara
berdua saja," bisik Buyut Pagalan.
"Seperti kukatakan, apa yang terjadi di sini tak kutu-
tupi dari keduanya. Dan keduanya sudah tahu apa
yang terjadi di sini. Untuk apa disembunyikan?" jawab
Tun Kumala penuh teka-teki. Kini perutnya telah ke-
nyang. Hampir ia berdiri untuk membereskan peralatan
makan di hadapannya. Tetapi tidak. Ia adalah seorang
muda yang mestinya berandalan kalau mengingat ke-
dua 'pengawalnya' yang seperti setan itu. Maka ia pun
mengusap mulut dengan kainnya dan mundur untuk
bersandar ke sebuah tiang, dengan kaki terangkat ku-
rang ajar. "Katakan apa yang ingin Paman katakan, atau biar-
kan aku tidur," katanya lagi. Dan ia betul-betul meng-
uap. Lebar-lebar.
"Hmm... anu... baiklah..." Buyut Pagalan beringsut
mendekat. "Hamba sesungguhnya... terus-terang... ha-
rus mengakui kegagalan hamba. Untuk itu hamba mo-
hon diampuni. Kalau saja Akuwu Uteran tidak menda-
pat dukungan orang luar... pasti ia sudah bergabung
dalam kesetiaan kita...."
"Paman bilang... Akuwu Uteran jadinya tidak setia?"
Tun Kumala mengerutkan kening. Sebagai putri rangga
dan adik Sindura yang sangat memikirkan keutuhan
negara, ia terbiasa berbicara tentang pergolakan negeri.
Ia tahu, karenanya, tentang banyaknya daerah yang di-
ragukan kesetiaannya. "Dan Paman tentu dibujuknya
ikut?" "Be... benar, Tuan... tapi hamba dan sepuluh buyut
lainnya tetap bersatu... dan sesungguhnya akan bisa
dengan mudah merebut tampuk pimpinan di Uteran,
tapi... sang akuwu, seperti kata hamba tadi, dapat bantuan dari luar dan sudah
minta pertolongan dari kawe-
danan Gemarang."
"Huh?" Tun Kumala tampak sangat heran. "Paman
maksud Wadana Gemarang juga ikut berontak?"
"I... iyya..." Sesungguhnya Buyut Pagalan makin bi-
ngung. "Dan hamba beserta yang lain tak berani mela-
wannya. Yang hamba kuatirkan... alih-alih kami men-
coba menaklukkan mereka, mungkin merekalah yang
menaklukkan kami. Untuk itu..." Buyut Pagalan melihat
kiri-kanan, "kami memutuskan untuk menyerang ke
Uteran. Langsung. Jika Uteran dapat kami rebut, pasti
tak sulit menguasai buyut lainnya... dan kami bisa se-
dikit lega saat menyerang ke Gemarang nanti."
"Bagus juga... tapi apakah Paman tidak berusaha
meminta bantuan ke kabupaten?" Tun Kumala menge-
rutkan alisnya.
"Hamba... hamba tak tahu harus menghubungi sia-
pa...." Buyut Pagalan kembali memperhatikan Tun Ku-
mala. "Pikiran hamba... sementara kami mencoba hu-
bungan dengan pusat, peristiwa ini kami coba kami ta-
ngani sendiri... dengan bantuan Tuan, pastilah kita
sanggup mengalahkan Akuwu Uteran."
"Semangatmu hebat, Buyut, pasti kelak kau mempe-
roleh hadiah." Kembali Tun Kumala menguap lagi.
"Jadi Tuan bersedia memimpin kami?" tanya Buyut
Pagalan dengan mata lebar.
"Bolehlah. Aku punya banyak kenalan di Kuripan,
kalau perlu mereka boleh datang." Tun Kumala betul-
betul sangat mengantuk.
"Hamba rasa tak perlu mendatangkan orang Kuri-
pan," Buyut Pagalan hati-hati berkata. Mungkin juga
pemuda di depannya ini sedang mengujinya. Atau bah-
kan sedang memberinya peringatan bahwa sesungguh-
nya ia tak layak jadi wadana hingga harus digantikan
dengan orang Kuripan. "Hamba yakin orang-orang di
bawah hamba sanggup dikerahkan untuk keperluan
itu. Yang jadi ganjalan hanyalah orang luar yang di-
panggil Akuwu. Dan itu hamba yakin bisa dibereskan
dengan kehadiran Tuan."
"Tentu, tentu..." Tun Kumala menguap lagi.
"Kalau begitu... biar nanti malam hamba kumpulkan
semua buyut yang telah sepakat, dan kita berangkat
melabrak akuwu itu?" tanya Buyut Pagalan penuh ha-
rap. "Bisa, bisa... asal aku boleh tidur dulu."
"Tentu, tentu..." Buyut Pagalan cepat berpaling dan
berteriak memanggil Ki Gebang, "Gebang! Siapkan per-
Mas Rara 1 Mencari Bende Mataram Lanjutan Bende Mataram Karya Herman Pratikto Senopati Pamungkas I 7
^