Pencarian

Dewi Penyebar Maut I X 2

Candika Dewi Penyebar Maut I X Bagian 2


aduan buat junjungan kita ini!"
"Enak saja! Junjungan siapa, huh! Merebut junjung-
an orang!" Dadap yang sedari tadi terdiam terkantuk-
kantuk juga langsung sadar dan bangkit. "Ayo, Teki,
siapkan kamar! Tuan... kali ini yang menemani Tuan ti-
dur aku atau Teki" Teki selalu mendengkur kalau tidur, lho!"
"E, e, e... fitnah itu!" tukas Teki. "Justru dia... kalau tidur, wah, banjir!"
Tun Kumala betul-betul mengantuk. Ia bangkit dan
berkata, "Sudah, sudah. Pokoknya kalian berjaga di pin-tu dan jangan biarkan
orang membangunkanku. Ayo!"
Agak terhuyung ia berjalan mengikuti Ki Gebang yang
sudah muncul. Seperginya mereka, Buyut Pagalan termenung. Siapa
sih sebenarnya orang muda itu"
"Rota, ke sini kau!" setengah berbisik ia memanggil
pengawalnya. "Hamba, Junjungan." Ki Rota mendekat.
"Bagaimana pandanganmu tentang... orang itu?"
Buyut Pagalan berbisik.
"Kuda dan semua barangnya telah hamba selidiki,"
Ki Rota juga berbisik. "Sepertinya... ia memang dari
Trang Galih, Junjungan. Tapi... ada sesuatu yang aneh
pada beliau... hamba tak mengerti apa."
"Ya, aku juga merasakan itu. Yah, mungkin nanti
malam kita tahu belangnya. Kalau dia belang."
"Nanti malam?"
"Ya. Akan aku ajak dia melabrak ke Uteran. Hubungi
Buyut Tantram, Gitra, dan Sumbing. Minta mereka
membawa orang-orang secukupnya untuk berkumpul di
Padas Putih, di pinggir kali. Nanti malam. Katakan,
mungkin kita langsung menyerang ke Uteran."
"Buyut-buyut lain?"
"Aku akan minta mereka untuk bersiap-siap. Kalau-
kalau jago kita ini keok dan mungkin Uteran akan me-
nyerbu kemari. Cepat, pergilah!"
"Hamba, Junjungan...," Ki Rota menghaturkan sem-
bah dan mundur.
Beberapa saat kemudian Ki Gebang muncul, men-
dekat. "Bagaimana pendapatmu, Gebang" Tentang..." Buyut
Pagalan melirik ke ruang dalam.
"Ada yang tidak hamba mengerti. Tampaknya beliau
begitu lemah lembut hingga mungkin tak punya kesak-
tian apa pun. Tetapi walaupun begitu ada sesuatu wi-
bawa yang membuat orang tak berani berbuat apa pun
padanya," kata Ki Gebang hampir berbisik.
"Aku pun merasa begitu." Buyut Pagalan termenung.
"Baiklah. Kita saksikan saja nanti. Tolong awasi gerak-gerik mereka, Gebang, aku
akan menghubungi yang
lain." "Baik, Buyut."
Buyut Pagalan berdiri.
4. DI UTERAN RUMAH Akuwu Uteran layak sebagai tempat tinggal
akuwu. Luas halamannya. Berpagar tembok kokoh
tinggi. Dengan rumah-rumah besar dan pendapa luas.
Lewat tengah malam.
Beberapa ekor kuda berjalan gontai masuk ke dalam
halaman. Beberapa belas prajurit berkuda. Dan bebera-
pa belas juga prajurit jalan kaki. Para pembantu Akuwu pun berhamburan keluar
untuk menyambut dan mera-wat kuda-kuda itu. Para prajurit berkuda beristirahat
di pendapa. Dua orang gagah berjalan langsung ke rumah
dalam. Seorang tua, namun jelas berjalan masih tegap.
Dialah Ki Tunggul Seloka, akuwu di Uteran. Beberapa
langkah di depannya, jaraknya menandakan hormat,
berjalan seorang muda yang nyaris bundar. Ia adalah
seorang Juru. Juru Wira Prakara dari Gerati. Putra Rakryan Demung Kuripan.
Wira Prakara duduk di tengah ruang dalam. Bersan-
dar ke tiang. Terengah-engah. Udara dingin, namun ia
harus mengusap keringat.
Seorang pelayan wanita cepat datang menghidang-
kan 'kendi' berisi air dingin. Wira Prakara langsung me-reguknya.
"Huh, kurang ajar. Mengapa tidak menghajar mereka
saja di Pagalan?" tanya Wira Prakara terengah-engah.
"Di malam seperti ini, Tuan" Bisa kita habis... kalau
tidak dihajar pasukan Pagalan, mungkin juga dimakan
harimau! Lagi pula, jika kita memang niat menyerbu ke
sana, kita harus mengadakan persiapan lebih lengkap,"
kata Akuwu Uteran.
"Huh! Aku juga tak suka dimakan macan... lebih
baik kita makan macannya, eh, Akuwu ya" He he he.
Ya, kau benar. Persediaan harus lebih lengkap. Teruta-
ma makanannya. Jangan dilupakan. Masa malam-
malam begini kau hanya bisa menghidangkan air di-
ngin! Memangnya tak ada makanan?" tanya Juru Wira
Prakara mengusap bibirnya.
"Memang persediaan makanan sudah hamba
siapkan untuk berjaga-jaga kalau-kalau tempat ini dike-pung oleh orang-orang
liar itu. Begitu juga semua ba-
han obat-obatan. Kami sudah kumpulkan di lumbung.
Untuk bertahan ataupun menyerang, lebih dari cukup!"
"Kalau begitu, bakar saja Pagalan!"
"Gusti Wadana berpesan, selama masih bisa diajak
berunding, orang-orang selatan itu harap dilunaki saja
... kalau perlu sekali, tangkap saja para pentolannya...."
"Ah, Wadana Gemarang memang terlalu malas." Ju-
ru Wira Prakara menghirup minuman di depannya.
"Terlalu gemuk. Ingat kata-kataku, Akuwu... orang ma-
cam itu takkan pernah naik pangkat jadi juru...."
Akuwu Uteran tak menjawab. Ia hanya melirik juru
di depannya itu. Nyaris bundar. Namun jelas ia seorang juru. Walaupun tentu saja
ia tahu bahwa juru yang di
depannya ini tidak merangkak dari bawah, melainkan
dijatuhkan dari atas. Siapa tidak tahu bahwa Juru Ge-
rati, Wira Prakara, adalah putra Rakryan Demung yang
juga ayah dari selir terkasih yang dipertuan di Kuripan"
Agak mengherankan juga kenapa si juru yang gemuk ini
mau bersusah payah datang ke Uteran yang terpencil.
Dan bukannya Wadana Gemarang sendiri yang datang.
"Gusti Juru... sesungguhnya peristiwa sekecil ini tak
perlu ditangani oleh Paduka... sungguh memalukan,"
sembah Akuwu Uteran.
"Aaaah... begitulah para ksatria Wilwatikta, Akuwu...
jika ada pembagian harta mereka tak bergairah, tetapi
jika tugas menanti, wah, semua berebut!" Dan Wira
Prakara tertawa terkiyal-kiyal. "Tapi ada sebab lain,
Akuwu... aku memang sedang mengejar seseorang," Wi-
ra Prakara merendahkan suaranya seolah takut kalau
terdengar orang lain. "Kaudengar desas-desus tentang
Dewi Candika?"
"Benar, Gusti." Akuwu Uteran juga tampak ketakut-
an. "Apakah... apakah dewi itu datang kemari?"
"Mungkin. Tapi kau tak perlu kuatir. Yang diincarnya
hanyalah mereka yang berdarah langsung keturunan
Sang Rajasa. Nah. Ada untungnya bukan, kau berasal
dari rakyat jelata" He he he he..."
"Lalu... kenapa Paduka datang kemari" Rasanya ter-
lalu tinggi kalau hanya untuk mengurus pemberontak-
an sepuluh desa kecil terpencil saja...."
"Itulah. Terakhir kali kami melihat tanda-tanda bah-
wa Candika ada di Kuripan. Bahkan telah berhasil me-
lumpuhkan Sang Mapatih!" Mata Wira Prakara membe-
lalak. "Namun ketika aku dan pasukanku datang ke
tempat itu, ternyata tempat itu telah kosong."
"Lalu... Gusti mengejar kemari?"
"Yaaah... begitulah. Rakryan Mapatih yang memerin-
tahkan... jadi aku harus menurutinya. Kalau tidak,
woooo... bisa-bisa aku terus jadi juru seumur hidup.
Lho. Apa enaknya" He he he he..."
"Wah... jika Sang Dewi Candika melarikan diri dari
Paduka, padahal Sang Mapatih berhasil dikalahkan-
nya... jelas Paduka lebih dahsyat dari Sang Mapatih,
bukan" Ya, pasti, tak lama lagi Kuripan punya mapatih
baru kalau begitu!"
"Ha ha ha... kau cerdik, Akuwu. Kalau itu terjadi,
pasti kau pun akan kecipratan anugerah... jangan kua-
tir!" "Tapi, betulkah Sang Dewi Candika lari dari Padu-ka?"
"Mungkin. Mungkin juga. Ya, bukannya tidak mung-
kin. Sebab... begini. Semua tahu kesaktian Paman Ma-
patih. Nah, kalau beliau sampai roboh dan hampir tak
bisa bangkit lagi... bisa ditarik kesimpulan pastilah la-wannya kemungkinan luka
parah juga. Ya toh" Dalam
keadaan begitu, mungkin saja kau sendiri pun sanggup
mengalahkannya. Siasat yang harus dipakai tentunya,
kejar terus, jangan sampai ia punya kesempatan memu-
lihkan tenaga. Nah. Dari hasil penyelidikan mata-mata
negara, ada dua orang manusia meninggalkan tempat
itu. Terus kami lacak. Memerlukan ketekunan selama
beberapa hari pelacakan untuk akhirnya kami menda-
pat kesimpulan bahwa kedua orang itu berada di dae-
rah selatan ini... dan Wadana Gemarang sekalian minta
tolong untuk membereskan kesulitanmu. Yah. Sekali
rengkuh tiga-empat pulau terlampaui, bukankah begi-
tu?" Beberapa saat Akuwu Uteran termenung. Kemudian
hampir berbisik bertanya, "Apakah tidak mungkin bah-
wa... Buyut Pagalan mendapat dukungan Dewi Can-
dika?" "He he he... bukan kamu saja yang cerdas untuk bi-
sa memikirkan hal itu, Akuwu...." Juru Wira Prakara
tertawa. "Ingat, kesulitanmu dengan sepuluh desa sela-
tan itu bermula jauh sebelum ini. Satu. Kedua, ingat
pula bahwa ternyata tadi buyut jahanam itu tak meme-
nuhi janjinya untuk bertemu dengan kita. Artinya,
mungkin ia tak punya hubungan apa pun dengan Dewi
Candika. Atau, ia memang punya hubungan, namun
karena Dewi Candika cedera berat maka tak berani da-
tang. Yang berarti bahwa Dewi Candika ada di sini. Ka-
rena itulah tadi aku mengusulkan kita menyerbu ke se-
latan saja. Kemungkinan lain, mungkin ia telah men-
dengar kedatanganku, lha ya lalu ketakutan."
"Yang hamba pikirkan... mengapa mereka dulu be-
rani menerima undangan hamba untuk merundingkan
persoalan yang hanya berarti satu: perang tanding."
"Jelas. Karena mereka tahu kau tidak bisa apa-apa.
Iya, kan" Kau tak bisa apa-apa kan, Akuwu" Coba... ta-
di sore saja... istrimu manggang ayam untuk santap-
anku... masa bulunya masih lengkap. Dikira aku ini
musang apa" Itu baru istrimu. Kamu mestinya apalagi,
ya toh" Tapi... ehm, ehm, aku kok lapar ya" Ayam pang-
gangnya yang tadi masih apa?"
"Mohon ampun, Gusti Juru. Nanti akan hamba te-
ngok ke dalam...."
"Ya, sekarang saja. Sekalian ya, siapkan semuanya.
Juga sayurnya yang tadi ya... dan jangan lupa... tuak-
nya! Huh. Kok dingin sekali. Dan... panggilkan penga-
walku. Ki Gubar. Paling sudah tidur dia. Bangunkan sa-
ja." "Baik, Gusti." Ki Tunggul Seloka, akuwu Uteran,
menghaturkan sembah dan mundur.
Berjalan di kegelapan ia memikirkan betapa orang-
orang di kedudukan pimpinan kerajaan tingkahnya
hampir mirip semua. Memang masih tangguh untuk ja-
batannya, tetapi kebanyakan sudah mulai lebih mengu-
tamakan bersenang-senang. Hanya seorang pejabat
yang dikenalnya, yang tampaknya bertabiat lain. Ra
Sindura, seorang pimpinan pasukan kerajaan. Saat itu
Ra Sindura dan pasukannya bertugas mengamankan
daerah yang akan dilalui Sang Raja dalam perjalanan
tamasya ke laut. Dan ksatria itu tampak sederhana,
mudah menyatu dengan penduduk desa. Tapi yah,
mungkin juga itu hanya bersandiwara.
Tiba-tiba ia tertegun. Ia sedang berada di bawah
bayang-bayang rumah besar dan lumbung padi serta
kandang kuda. Keadaan begitu gelap. Di kejauhan, de-
kat gapura, para prajurit bergerombol mengelilingi api unggun. Ada yang tidur
menggeletak di tanah. Ada yang
duduk terkantuk-kantuk. Ada yang bersandar ke tem-
bok. Dan mereka berbicara dengan suara mengantuk.
Dari rumah besar ia mendengar beberapa suara deng-
kur halus. Dan di kandang kuda beberapa ekor kuda
agaknya gelisah mengentak-entakkan kaki.
Tadi seolah-olah ia melihat sebuah bayangan menye-
linap. Bulu kuduknya berdiri. Tetapi ia sesungguhnya tak
takut. Perlahan tangannya mencabut keris di pinggang-
nya. "Kau berada di tempat Akuwu Uteran," ia berkata
mantap. "Jika kau tak menampakkan diri, maka jangan
salahkan kelancangan kerisku!"
Tak ada jawaban. Tak ada gerakan apa pun. Sedikit
suara gemerisik dari arah lumbung. Tapi mungkin itu
hanya khayalannya belaka. Perlahan ia beringsut dalam
kegelapan ke arah lumbung.
Di pinggir pintu lumbung seseorang terbaring meng-
geletak. Ki Tunggul Seloka terperanjat sejenak. Tetapi didengarnya orang itu
masih bernapas teratur. Agaknya
tidur. Sedikit lega Akuwu Uteran itu maju. Remang-
remang dikenalnya orang itu, Sara, salah seorang prajuritnya. Memang dalam
keadaan nyaris genting itu lum-
bung diperintahkannya dijaga. Tetapi Ki Sara ini agak-
nya hanya pindah tempat tidur saja. Hampir didepak-
nya prajurit itu. Kemudian dilihatnya pintu lumbung
terbuka. "Hah?" Ki Tunggul Seloka berseru heran.
Tapi ia bukanlah seorang penakut. Cekatan ia me-
lompat masuk, langsung merapat ke dinding.
Di dalam gelap. Tunggul Seloka menahan napas. Tak
terdengar suara apa pun. Ketika matanya sudah terbia-
sa dengan kegelapan, ia pun tak melihat sesuatu yang


Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencurigakan. Nalurinya mengatakan tak ada manusia
lain di tempat itu kecuali dirinya. Tapi ia tak mau mengambil risiko. Ia
melompat ke luar, langsung bersuit memanggil para prajuritnya.
Beberapa orang memang berlari mendatangi men-
dengar suitan khusus itu. Yang lain dengan patuh tetap pada tempatnya sesuai
peraturan. Yang datang dengan membawa obor adalah Ki Gara
dan enam orang bawahannya.
"Ada apa, Junjungan?" tanya Ki Gara ketika menge-
nali Ki Tunggul Seloka yang tadi berdiri di balik tiang rumah besar.
"Seorang memeriksa Sara. Gara, kau ikut aku ma-
suk. Yang lain berjaga-jaga!" Kembali Tunggul Seloka
masuk ke dalam lumbung, kini diiringi oleh Ki Gara
yang membawa obor.
Sekilas tak terlihat sesuatu yang mencurigakan.
Tumpukan padi dan palawija padat sampai ke bubung-
an. "Ada apa gerangan, Junjungan" Kenapa si Sara?" bi-
sik Gara. "Hmmh. Lihat!" Tunggul Seloka menunjuk ke tiang
besar dekat tumpukan tertinggi padi.
"Hamba tak melihat apa-apa," bisik Gara.
"Memang. Di situ sesungguhnya tersimpan bungkus-
an obat-obatan untuk peperangan. Dan bungkusan itu
tiada," sahut Tunggul Seloka.
"Ya Gusti! Benar!" seru Ki Gara. Cepat ia menaruh
obor di dinding dan melompat memanjat tumpukan pa-
di. Beberapa saat memeriksa di atas, ia melompat lagi
turun. "Tak berbekas apa pun," bisik Ki Gara. "Tapi... siapa-
kah begitu kesudian mencuri obat-obatan?"
"Apakah kau tak mengerti" Ini obat-obatan khusus
untuk peperangan. Obat luka dan racun. Dan karena
keadaan kita memanas, aku telah memerintahkan
memborong sebanyak mungkin obat-obatan itu dari
daerah sekitar tempat ini. Kini semuanya hilang. Apa-
kah tak terpikir olehmu bahwa kemungkinan lawan kita
yang mencurinya?" kata Ki Tunggul Seloka.
"Ya, Gusti! Junjungan benar...," bisik Ki Gara.
"Dan siapa pun yang melakukannya, berhasil masuk
melewati kalian semua. Nah, bukankah itu berarti ia
sakti sekali?"
"Dan kemungkinan dia berpihak pada... para buyut
dari selatan?" Ki Gara membelalakkan matanya.
"Cepat kausuruh orang-orang menyebar mencari je-
jak. Jangan lupa penjagaan di sini. Berangkat!" desis
Akuwu Tunggul Seloka. Ki Gara dan kawan-kawannya
bergegas pergi.
"Heh, ada apa ini, hah" Bukankah kau kuminta
mengambilkan makanan?" Ternyata Juru Wira Prakara
ikut datang mendekat. Lengkap dikawal oleh lima orang
prajurit dari Kuripan.
"Mohon ampun, Junjungan, agaknya kita baru saja
kemasukan musuh tangguh," sembah Akuwu Uteran.
"Hah?" Gubar, salah seorang pengawal Wira Prakara,
cepat menunduk memeriksa Ki Sara. Ia berkata seolah
bergumam, "Orang ini terkena ajian penidur yang sa-
ngat ampuh, Gusti, dan agaknya orang yang melaku-
kannya tidak tega untuk membuatnya cedera." Gubar
melompat masuk ke dalam lumbung, dan tak berapa
lama keluar lagi, berkata, "Orang yang masuk bertubuh
sangat ringan, Gusti... dan tidak membawa senjata ta-
jam. Tali gantungan bungkusan obat itu diputuskan de-
ngan tangan."
"Ah, bagus!" senyum Wira Prakara.
"Hamba tidak mengerti, Gusti," kata Tunggul Seloka.
"Aku tak yakin ini perbuatan sepuluh buyut dari se-
latan. Tetapi, mungkin juga orangnya kemudian mem-
bantu mereka...." Wira Prakara terus tersenyum penuh
arti. "Dan siapakah orang itu, Gusti?" tanya Tunggul Se-
loka. "Dewi Candika," kata Wira Prakara mantap. "Dia wa-
nita, maka mungkin ia tega membunuh, tetapi tidak te-
ga menyiksa. Badannya ringan. Dan agaknya ia luka
parah hingga memerlukan bahan obat-obatan. Karena
yang dicurinya kemungkinan adalah obat-obatan biasa,
maka bisa ditarik kesimpulan ia sudah putus asa...
mau mencoba segala obat. Nah, kalau orang macam ini
membantu pihak lawan, silakan."
"Jadi bagaimana, Junjungan?" tanya Tunggul Se-
loka. "Suruh cari jejaknya, kita kejar!" kata Wira Prakara
berapi-api. "Atau... besok pagi kita labrak daerah selatan. Kalau kau tidak tega
pada pertempuran terbuka,
ajak mereka untuk perang tanding!"
Ki Gubar, pengawal Juru Wira Prakara, mengang-
guk-angguk dengan perasaan bangga, seolah usulan ta-
di takkan tertandingi oleh usulan siapa pun. "Ya, kita hajar saja daerah selatan
itu." "Tapi..." Akuwu Uteran tampak masih sangat ragu-
ragu. "Jangan kuatir, Gusti Akuwu," sembah Ki Gubar.
"Para prajurit Kuripan ada di sini. Tak ada yang perlu ditakutkan."
Akhirnya sang akuwu pun menganggukkan kepala
perlahan. 5. ORANG TRANG GALIH
DADAP dan Teki berdiri gagah di kiri-kanan pintu bilik itu. Masing-masing dengan
membawa parang besar dan
pisau lebar terhunus mengancam. Dan masing-masing
menyeringai kurang ajar.
Di depan mereka berdiri, paling depan, Buyut Paga-
lan, dengan sikap berusaha keras menahan sabar. Ke-
mudian Ki Gebang yang kebingungan. Rota dan Roga
yang tampak sangat gemas. Serta beberapa orang praju-
rit desa. "Perempuan... dengar..." Buyut Pagalan akan mulai,
tetapi langsung ditukas Dadap.
"Pokoknya tidak!" kata Dadap tegas. "Tak seorang
pun membangunkan pujaan kami! Sebelum beliau ba-
ngun sendiri!"
"Tetapi, Perempuan, dengar! Junjunganmu itu mes-
tinya bangun tadi malam untuk membantu aku!" kilah
Buyut Pagalan. "Apa urusanku" Pokoknya beliau jangan diganggu!"
Teki ikut berbicara.
"Ya! Kalau perlu, langkahi dulu mayatku!" kata Da-
dap. "Wah, itu sih jelas sulit, Dadap...." Teki tiba-tiba tertawa geli.
"Kenapa" Karena aku sakti?" tanya Dadap.
"Bukan. Karena kau begitu bundar! Siapa bisa me-
langkahi mayatmu dengan mudah" Hi hi hi hi..." Teki
tertawa-tawa. "Kurang ajar! Pokoknya nggak boleh!" Dadap bersike-
ras. "Dengar dulu, Dadap, Teki... kan beliau itu bukan
majikanmu?" Ki Gebang ikut berbicara.
"Jelas bukan, ya, Teki...." Dadap tertawa pada Teki.
"Ho-oh! Beliau kan pujaan, wiuw! Tampannya seperti
Batara Kamajaya turun ke dunia!" kata Teki.
"Ya benar," kata Dadap. "Kalau Ki Gebang seperti dia
sih... separuuuuuh saja, wah, bisa kami ikut Ki Ge-
bang!" "Ahhh, minggir kau!" Ki Roga geram maju ke depan.
Tapi gerakannya terhenti karena kedua senjata Dadap
dan Teki menghadangnya.
"Hah, kalian kira kalian bisa menahanku?" geram Ki
Roga. "Mungkin tidak bisa," kata Dadap. "Tapi kaukira
tuan yang di dalam itu akan berdiam diri saja?"
"Ho-oh, bukankah bahkan Gusti Buyut tak berani
melanggar perintahnya, kenapa kau berani?" tanya Te-
ki. "Nyawamu rangkap, apa?" goda Dadap.
"Aku hanya minta kau membangunkan beliau, Pe-
rempuan," kata Buyut Pagalan. "Sudah hampir sehari
semalam beliau tidur!"
"Bagaimana Gusti Buyut bisa mengatur tidur beliau,"
kata Dadap. "Orang besar tidur semaunya. Mau empat
puluh hari empat puluh malam, apa salahnya."
"Ya, tetapi ini untuk keperluan beliau juga! Katakan
pada beliau, jika tak segera jaga maka rencana Trang
Galih akan gagal!"
"Hamba tak peduli itu, Buyut... pokoknya pujaan
kami harus istirahat. Tak seorang pun boleh menggang-
gu." "Ya," sahut Dadap. "Ini juga untuk keperluan kalian
juga...." "Aku tak punya kedudukan apa pun yang membu-
atku takut pada siapa pun," kata Ki Gebang menyela.
Dan ia maju, berkata lagi, "Rota, Roga, kalian tahan kedua perempuan ini, biar
aku menerobos masuk."
"He, kau tak takut?" Dadap gugup juga melihat
orang ini nekat.
"Seperti kubilang tadi, aku tak punya tanggungan
apa pun pada siapa pun," kata Ki Gebang. "Aku bisa
masuk lewat depan, atau samping. Kalian akan terta-
han oleh Rota dan Roga di sini!"
"Bisa kubakar habis rumahmu, Ki Gebang!" Teki
menjerit tinggi.
"Tak apa, aku pun sudah bosan akan rumah ini. Ro-
ta, Roga, majulah!" kata Ki Gebang.
Rota dan Roga memandang Buyut Pagalan minta
persetujuan. Buyut Pagalan sejenak merenung. Kata-
kata Ki Gebang benar. Kalaupun tindakannya salah,
maka marah orang Trang Galih itu mestinya hanya ter-
tuju pada Ki Gebang, dan yang lain boleh selamat.
Buyut Pagalan perlahan mengangguk.
Rota dan Roga melompat maju. Memasang kuda-
kuda di depan Dadap dan Teki. Dadap dan Teki pun
langsung bersiap.
"Aku takkan mengampunimu, lho! Kuiris hidungmu!"
kata Dadap. "Ya. Aku potong-potong pipimu yang tembem itu, Ro-
ga!" kata Teki.
Kemudian semua terpaku. Pintu bilik itu berdesir
berderit bergeser. Dan Tun Kumala berdiri di ambang
pintu. "Hohhhahem! Ada apa sih ribut-ribut?" kata Tun Ku-
mala sambil mengusap-usap matanya.
"Oh, Junjungan, oh, Pujaan, oh, Gusti...," kata Da-
dap menyembah-nyembah langsung.
"Oh, Dewata, oh, Matahariku, oh, Bintangku...," Teki
tak mau kalah. Sementara itu baik Buyut Pagalan atau-
pun Ki Gebang jadi salah tingkah, sedang Rota dan Ro-
ga geram mundur dan menundukkan kepala, me-
nyembah dan duduk.
"Ada apa ini" Oh, aku kok masih mengantuk sekali!"
kata Tun Kumala. Ia benar-benar mengantuk. Begitu le-
lah jiwa-raganya oleh perjalanan dan berbagai peristiwa yang menekannya. Ia tak
ingat bahwa dirinya telah tidur hampir sehari semalam terus-menerus.
"Itu, Gusti, mereka akan merampok Gusti!" kata Da-
dap. "Ya. Mereka akan mendobrak pintu bilik untuk
mengambil semua harta Gusti!" tambah Teki.
"Kalau perlu kami akan digantung tinggi-tinggi!" tam-
bah Dadap. "Cuma... mereka takut kalau nggantung si Dadap
ini... mana ada tali yang kuat, hi hi hi...," kata Teki.
"Maaf, Tuan... sesungguhnya tidak begitu...." Buyut
Pagalan begitu gusar hingga merah padam mukanya.
"Lalu gimana, hayo! Buyut ini omongnya memang
nggak bisa dipegang, kok!" kata Dadap.
"Sudah, sudah, kau diam dulu, Bibi." Tun Kumala
bingung juga mendengar suara kedua orang yang sa-
ngat berisik itu. "Buyut, apa maumu?"
"Yah. Tuan kan berjanji akan membantu kami mene-
mui orang-orang Uteran itu...," kata Buyut Pagalan.
"Lha itu kan nanti malam, toh?" tanya Tun Kumala
heran. "Nanti malam bagaimana... ya tadi malam!" kata
Buyut Pagalan kesal.
"Tadi malam" Heh. Hari ini besok" Eh, maksudku...
aku mulai tidur kemarin" Ya, ampun! Mengapa tak kau-
bangunkan aku, Bibi?" tanya Tun Kumala pada Dadap.
"Dia yang nggak boleh!" Dadap menudingkan pa-
rangnya ke muka Teki. "Katanya wajah Paduka begitu
manis saat tidur. Tampan, manis, cantik, ayu...."
"Husy. Itu kan kalau perempuan, kataku! Hamba bi-
lang, kalau Paduka perempuan, aduh, pasti cantiiiiik
sekali!" kata Teki. "Persis seperti Gusti Dewi Sekartaji zaman dahulu."
"Memang kau pernah melihat Gusti Dewi Sekartaji?"
sela Dadap. "Ya persis seperti tuan ini," kata Teki yakin.
"Wah, aku menyesal sekali telah ketiduran, Paman.
Para buyut lainnya" Di mana mereka?" tanya Tun Ku-
mala, kini benar-benar bangun.
"Di Kali Putih, Tuan, berjaga-jaga kalau-kalau lawan
menyerbu kemari. Tapi agaknya lawan sudah mencium
kehadiran Tuan hingga mereka tidak muncul.... Kalau
saja tadi malam Tuan hadir, pasti mereka telah takluk
dan Uteran jatuh ke tangan kita! Huh!" kata Buyut Pa-
galan. "Ah. Maaf, Paman... aku memang capek sekali. Baik-
lah, segera setelah aku mandi kita akan berkunjung ke
Uteran, bagaimana" Mungkin Akuwu Uteran bisa aku
ajak berbincang-bincang agar mengubah niatnya," kata
Tun Kumala. Dikeluarkannya dua keping uang perak
dari ikat pinggangnya, ditimang-timangnya sesaat. Se-
keping dilemparkannya kepada Ki Gebang. "Paman, to-
long sediakan bilik mandi. Awas. Jangan sampai ada
yang mengintip, aku akan melakukan suatu ilmu ke-


Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saktian... yang mengintip bisa langsung buta! Kemudian siapkan juga makanku.
Bibi berdua..." sekeping lagi dilemparkannya pada Dadap dan Teki, "...terima
kasih banyak atas bantuan kedua Bibi. Bibi semalaman tidak
pulang, ya" Nah. Mudah-mudahan uang itu cukup un-
tuk ganti rugi Bibi berdua, dan harap pulang saja...."
"Tidak, Tuan... biarkan Bibi ikut Tuan terus sampai
Bibi bosan...." Tiba-tiba Dadap bersimpuh di hadapan
Tun Kumala dan menyembah kakinya. "Hamba yakin
Dewata telah mengirimkan Paduka agar hamba ikuti
sampai mati. Teki saja usir, Tuan...."
"Enak saja! Aku juga ikut Tuan! Awas kalau tidak bo-
leh... hamba bunuh diri! Benar!" kata Teki bersungguh-
sungguh. "Tapi kalian punya keluarga, punya suami..!." Tun
Kumala jadi ragu.
"Ah, tidak, ah. Hamba ikut saja, biar suami gila itu
dilayani si Teki saja!" kata Dadap.
"Enggak, juga! Hamba ikut! Kalau perlu biar hamba
bacok dulu suami hamba itu agar Tuan tidak takut!"
kata Teki. "Pokoknya hamba ikut!" tegas Dadap.
"Hamba juga!" tegas Teki.
Beberapa saat Tun Kumala ternganga tak bisa berbi-
cara apa pun. Kemudian ia ingat bahwa mestinya ia be-
randalan. Maka ia hanya mengangkat bahu. "Mandiku
dan makanku, Paman!" katanya pada Ki Gebang.
*** Buyut Pagalan berjalan mondar-mandir di pendapa ru-
mahnya. Dengan kekayaan dan kekuasaan yang ada,
tempat tinggal buyut itu sudah mirip tempat tinggal
seorang akuwu. Luas. Dengan pagar kokoh bagai ben-
teng. Sebentar-sebentar ia menengok ke arah keduduk-
an matahari. Orang Trang Galih itu menjanjikan akan
berangkat ke Padas Putih menjelang sore nanti.
Buyut Pagalan gemas. Mengikuti gerakan ini sesung-
guhnya baginya hanya suatu siasat. Biarlah ia nanti bi-sa merebut kekuasaan
kecil di daerah ini dengan du-
kungan Trang Galih. Kelak, ia yakin, kalaupun kelom-
pok Trang Galih menang, suatu saat ia akan bisa mele-
paskan diri. Dan menjadi raja kecil. Yah. Mengapa ti-
dak" Arok telah mengukir sejarah sendiri. Mengapa ia
tak bisa" Didengarnya langkah kaki mendekat. Ternyata istri-
nya. "Santapan sudah tersedia, Kakang," Nyai Buyut
membungkuk hormat.
"Hm," jawab Buyut Pagalan. Satu hal yang agak
mengganjel hatinya. Kalau ia kelak melesat merebut
wahyu, apakah pantas untuk terus didampingi wanita
desa ini" Ah. Itu soal mudah. Dan memang sudah di-
pikirkannya sejak dulu. Malah... mungkin ini juga pen-
dorong segala niatnya.
Suatu saat ia berkunjung membawa upeti untuk
Akuwu Uteran. Dan karena panen waktu itu memang
berlimpah, ia terpaksa mengantar upeti itu langsung ke rumah dalam sang akuwu.
Di sana ia bertemu pandang
dengan Ken Ratri, putri sang akuwu. Ah. Seperti Arok
dulu, ia langsung punya impian untuk suatu waktu
nanti, Ratri akan mendampinginya. Mungkin soal umur
Ratri sudah pantas jadi anaknya. Tapi soal kecantikan...
Ratri pantas jadi seorang permaisuri.
"Kakang..." Nyai Buyut mengulang.
"He-eh. Sudah dengar," tukas Buyut Pagalan kaku.
"Hanya mohon ampun... mungkin bumbu untuk da-
ging kijang itu tak sesuai dengan selera Kakang," kata Nyai Buyut lirih.
"Hh. Kenapa?"
"Kakang sendiri tahu... bumbu yang Kakang ingin-
kan adalah bumbu khusus kalangan istana... mana di
desa ini ada semuanya! Kakang juga aneh... akhir-akhir ini kok minta hidangan
yang langka-langka...."
"Ha, orang aku ini hidup... ya selama masih hidup ya
ingin mencicipi apa yang belum pernah kucicipi."
"Tapi apa ya... kalau mau meniru hidangan-hidangan
kerajaan... apa nanti tidak kuwalat?"
"Aku tidak melihatnya dari situ, Nyai! Mungkin de-
ngan makanan seperti itu derajatku akan naik. Lho, apa kamu tidak ikut girang
kalau begitu?"
"Girang ya girang, Kang, tetapi... kadang-kadang
hamba takut!"
"Takut itu urusanku. Kau hanya ikut numpang saja,
aku mukti kau mukti, aku mati kau mati. Sudah jangan
ngomong lagi...." Buyut Pagalan dengan langkah lebar
menuju ruang dalam.
Santapan siang yang disiapkan oleh Nyai Buyut se-
sungguhnya sangat istimewa. Diam-diam dalam hati
Buyut Pagalan memuji sang istri. Ia juga tak tahu apa
yang kurang pada daging kijangnya. Begini saja sudah
enak, apalagi kelak kalau bumbunya sudah lengkap.
"Ke mana lagi si Rebeg?" tanya Buyut Pagalan di an-
tara suapan nasinya.
"Sejak Kakang membentuk pasukan itu, si Rebeg ti-
dak pernah pulang," sahut Nyai Buyut. Rebeg adalah
putra mereka. "Bagus. Biarkan dia mengenyam kehidupan kepraju-
ritan. Mungkin sangat dibutuhkannya nanti."
"Bukan ikut berlatih dengan para prajurit, Kakang...
Dia... dia di sana hanya..." Nyai Buyut ragu-ragu mene-ruskan perkataannya.
"Hanya apa?" bentak Buyut Pagalan.
"Di sana... dia suka menembang dan menari... ka-
tanya... ia senang karena para prajurit suka mendengar tembangnya dan menonton
tariannya!" Suara Nyai
Buyut makin lemah.
"Apa?" Buyut Pagalan sangat terkejut. "Dia menem-
bang dan menari di depan prajurit-prajurit desa itu?"
"Benar, Kakang... dan ia sangat gembira... dan para
prajurit itu senang...."
"Bajingan! Itulah sebabnya tiap aku ke perkampung-
an prajurit itu ia tak pernah kutemukan, hah" Ia sem-
bunyi, hah?"
"Ia tahu Kakang tak akan setuju."
"Bukan hanya tidak setuju, jika kulihat ia menari...
huh... putra Buyut Pagalan menari! Bisa kubunuh dia!
Itu sebabnya, yah, tiap kali para prajurit itu selalu tertawa-tawa jika aku
datang, hah" Aku mau anakku jadi
prajurit, jadi ksatria, jadi jago! Bukan jadi penari! Kau memang tak bisa
mendidik anak!" geram Buyut Pagalan
menghantam meja pendek tempat makanan. Tapi, yah,
mengapa ia menyesal. Dari kecil anak itu memang me-
nunjukkan tanda-tanda untuk lebih bersifat kewanita-
an. Hmh. Ini juga alasan mengapa ia membutuhkan Ra-
tri. Ia harus segera mendapatkan gadis itu. Kalau kelamaan... yah, mana bisa ia
melihat ketampanan anaknya
dengan Ken Ratri nanti.
"Kalau ia pulang, jangan boleh dia pergi lagi. Kalau
perlu, suruh Rota mengikatnya di belakang. Mengerti?"
"Tapi, Kakang...!" Kata-kata Nyai Buyut terputus oleh
suara derap kaki kuda memasuki halaman depan. Ke-
dua orang itu bagai patung beberapa saat.
Kemudian terdengar beberapa langkah tegap. Rota
dan seorang prajurit muncul, bersimpuh menyembah.
"Ada apa, Rota?" geram Buyut Pagalan.
"Buyut Sumbing ingin menghadap, Junjungan, be-
serta seorang yang membawa berita sangat penting,"
sembah Rota. "Hmmmh..." Buyut Pagalan berpikir sejenak. "Suruh
mereka masuk ke sini." Ia paling senang pamer gaya hi-
dupnya pada sesama buyut, untuk menunjukkan bah-
wa ia di atas mereka. Tak mungkin makanan seperti
yang dihadapinya ini pernah dilihat oleh buyut mana
pun. "Baik, Junjungan," sembah Rota, mundur.
"Hayo, bawa hidangan lainnya kemari, cepat... juga
beberapa piring perak... taruh saja di situ," bisik Buyut Pagalan.
Sesaat Nyai Buyut tercengang, tetapi kemudian
mengangguk dan mundur.
Buyut Sumbing orangnya tinggi besar penuh bere-
wok. Dia masuk dengan langkah lebar dan suara tawa
yang membahana.
"Ha ha ha ha... kebetulan kau sedang bersantap,
Kang, ha ha ha, lha haku juga sedang lapar-laparnya,
ha ha ha, boleh langsung ikut ni, Kang, ha ha ha ha...."
"Silakan, Di, silakan, hayo, jangan malu-malu...."
Buyut Pagalan dalam hati berkata, buyut kurang ajar
ini nanti yang pertama kali akan disingkirkannya. Ke-
mudian ia tersentak melihat orang yang datang bersama
Buyut Sumbing itu.
Orang ini juga gagah dan besar. Yang agak aneh ada-
lah bahwa ia hanya menutupi diri dengan kain kasar.
Dua bilah pedang terselip di pinggang. Dan ikat ping-
gang dengan kepala bergambar ular terbang. Tinggi.
"Eh, maaf... kiranya ada tamu dari jauh?" Gugup kini
Buyut Pagalan setengah berdiri menyambut.
"Duduk saja, Buyut, biarkan aku juga ikut makan,"
orang itu berbicara dengan bahasa setengah kasar dan
langsung duduk di saat Nyai Buyut datang dengan
membawa tambahan hidangan. Buyut Sumbing pun
ikut duduk. "Ha ha ha.... Kakangmbok... santapan yang
kausiapkan untuk Kakang Buyut sungguh istimewa, ha
ha ha.... Haku menyesal dulu bukan haku yang mela-
marmu, ha ha ha ha.... Haduh, haduh, hidangan hapa
hini, harumnya hmmmmhhhh... ha ha ha.... Jangan
hukum haku jika haku habiskan hini semua ya, Ka-
kang, ha ha ha.... Hayo makan!" Tanpa cuci tangan lagi Buyut Sumbing langsung
menyambar piring dan menghajar hidangan yang ada.
"Tunggu, Di... mungkin kau lupa memperkenalkan
tamu kita...." Buyut Pagalan saat ini tak bisa berbuat kasar pada rekannya ini,
ia masih memerlukan mereka.
"Hah" Ho, ya! Hini.... ha ha ha... hini tamu dari
Trang Galih, Kang.... Beliau ini kenal namamu, lho
Kang... tetapi datang lebih dahulu padaku ya huntuk
bertanya-tanya tentang kamu ha ha ha... ya aku bilang
ha ha ha.... Haem, nyem, nyem, wuah, henaknya!" kata
Buyut Sumbing sambil makan.
"Maaf, Tuan, siapa nama Tuan?" tanya Buyut Paga-
lan langsung pada tamu tadi, dengan bahasa setengah
kasar pula. "Namaku Jalak Katenggeng. Menurut laporan Kusya,
Kakang Buyut Pagalan akan menjadi pimpinan sumber
kecil di sini?" sahut orang itu.
"Benar, Tuan... dan Kusya adalah..." Buyut Pagalan
jadi sangat berhati-hati.
"Kusya hanya salah satu prajurit. Aku salah satu ke-
pala Pasukan Badai." Seolah tak sengaja Jalak Ka-
tenggeng mengangkat bagian kainnya yang menutupi
kepala ikat pinggangnya.
"Waduh, mohon maaf jika sambutan hamba kurang
tepat." Buyut Pagalan jadi gugup. "Hamba tak tahu..."
"Tak apa. Aku hanya orang peperangan. Kakang
Buyut tak perlu berbasa-basi denganku."
"Maksud kedatangan Tuan?"
"Tadinya hanya ingin meninjau saja...."
"Kenapa bukan sang Kusya saja yang datang?" sela
Buyut Pagalan saat Jalak Katenggeng seakan tak mau
melanjutkan kalimatnya.
"Kusya telah tiada," terasa getar dendam di suara itu.
"Demikianlah. Aku sesungguhnya hanya ingin meninjau
dan mengabarkan hal ini padamu. Kemudian... kude-
ngar ada seseorang yang mengaku orang Trang Galih
datang kemari?"
"Be... benar... Tttuan.... Kkatanya namanya Kkkuma-
la... sssekarang tinggal di rumah Ki Gggebang.... Boleh kupanggil dia?" Tiba-
tiba saja keringat dingin Buyut Pagalan muncrat, dan ia tak berminat lagi pada
hidang- annya sementara Buyut Sumbing tanpa tata krama lagi
menyikat semua yang tampak.
"Tidak usah. Tadi pun aku sudah menyelidikinya da-
ri jauh. Dari apa yang kudengar di Trang Galih, lang-
sung dari junjungan kita," Jalak Katenggeng membuat
gerakan menyembah, "maka aku berani bertaruh justru
orang itulah yang telah menewaskan si Kusya!"
"Wah! Sang Kusya tewas oleh... dia?" Bagi Buyut Pa-
galan jelas Kusya begitu sakti mandraguna.
"Juga tiga orang prajuritnya." Jalak Katenggeng
mengangguk. "Wah!" Hanya itu yang keluar dari mulut Buyut Pa-
galan. Buyut Sumbing sibuk makan.
"Apa sesungguhnya yang akan dilakukannya di si-
ni?" tanya Jalak Katenggeng.
"Itulah yang membuat hamba heran.... Ddia... ddia
mau membantu kami menaklukkan Uteran! Dan hamba
perlu bantuan karena... karena hamba dengar Uteran
telah mendatangkan pasukan dari Wadana Gemarang
...." Buyut Pagalan makin gugup. "Apakah... apakah ia orang... Wilwatikta?"
"Itu yang aku belum jelas," kata Jalak Katenggeng.
"Menurut penilaian Sang Dewi, orang ini adalah orang
bebas. Tapi aku mendapat bisikan dari Ratu Sepuh,
orang ini harus dilenyapkan saja... tapi tanpa sepengetahuan Ratu Anom. Ini yang
menyulitkanku...." Tiba-
tiba matanya memandang tajam pada Buyut Pagalan.
"Jjjadi... jadi hamba harus membunuh dia?" tanya
Buyut Pagalan gugup.
"Ratu Sepuh berpendapat Ratu Anom menyukai
orang ini. Jadi, siapa pun yang membunuhnya, atau
mencederainya, akan kena pembalasan dendamnya!"
"Wah!" seru Buyut Pagalan.
"Tapi Ratu Sepuh berpendapat, orang ini harus di-
singkirkan!"
"Wah!"
"Kau mau melakukannya?" Jalak Katenggeng menyi-


Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pitkan mata tetapi terus memandang tajam pada Buyut
Pagalan. "Ampuuun... bagaimana hamba harus berbuat....
Hamba ingin mendirikan jasa, tetapi jasa itu sendiri
adalah pengorbanan...." Buyut Pagalan hampir mena-
ngis. "Semua perjuangan menghendaki pengorbanan," ka-
ta Jalak Katenggeng tenang.
"Mungkin... mungkin Buyut Sumbing bisa melaku-
kannya... mungkin salah satu prajurit kami... mung-
kin..." "Apa pun yang terjadi di sini, Buyut, adalah tang-
gung jawabmu. Dan kau yang bertanggung jawab...."
Dingin sekali kata-kata Jalak Katenggeng.
"Tapi... tapi..."
"Kalau begitu kau tidak patut menjadi pimpinan
sumber. Buyut Sumbing..." Jalak Katenggeng berpaling
pada Buyut Sumbing.
"Yah" Yah... hah hah hah... pedhazzzz... hada hapa,
hah?" Buyut Sumbing hampir tak bisa menjawab ka-
rena mulutnya terlalu penuh.
"Mohon ampun, Tuan... hamba kira... baiklah...
hamba akan melakukannya," buru-buru Buyut Pagalan
menyela. "Hanya... hamba mohon... caranya terserah
hamba dan... dan... mohon hal ini dirahasiakan... po-
koknya kan... orang itu tersingkir...."
"Hah, pikiranmu jalan juga, Kakang." Untuk pertama
kalinya Jalak Katenggeng tersenyum. "Orang seperti
kau inilah yang sangat kita butuhkan. Aku bersedia
membantumu. Aku bersedia merahasiakan. Yang lain
juga pasti bersedia. Hanya jika entah bagaimana Ratu
Anom mengetahuinya, maka itu sudahlah nasibmu."
"Bbe... benar, Tuan...."
"Panggil saja aku sebagai saudara mudamu. Kita se-
mua adalah seperjuangan, bergandeng tangan, tak ada
yang tinggi dan yang rendah. Tinggi martabat kita
hanya ditentukan oleh jasa kita. Begitu juga anugerah
yang nanti kita terima. Panggil saja aku Di." Kini Jalak Katenggeng mulai makan.
"Mmmhh... hebat sekali masakan ini... sekali aku pernah merasakannya sewaktu
bertugas di kepatihan di Wilwatikta. Itu pun hanya sisa santapan Sang Mahapatih!
Juru masakmu hebat, Kakang Buyut...."
"Istri hamba sendiri, Tt... Dimas Jalak Kateng-
geng...." Sulit sekali bagi Buyut Pagalan untuk mengu-
capkan nama itu. "Rrrencana kami... rencana kami nan-
ti malam akan menantang orang-orang Uteran di Padas
Putih.... Untuk... untuk mengurangi korban di pihak
rakyat kecil.... Dddan... taddinya aku harapkan.... orang itu... orang itu akan
sanggup mengalahkan jago Uteran.... Tapi sekarang..."
"Kausingkirkan orang itu. Biar aku yang jadi jagomu,
Kakang," kata Jalak Katenggeng.
"Ttterima... terima kasih, Dimas... aku sudah sedikit
lega kkini.... Kkkalau begitu... ttolong... tolong nanti ikut rombongan kami,
tapi... tapi jangan tunjukkan bahwa
Dimas datang dari Trang Galih...."
"Boleh, boleh... lalu apa rencanamu nanti?"
"Aku... aku belum memikirkannya... Dimas...." Buyut
Pagalan termenung. Nafsu makannya hilang.
Bagaimana ia harus menyingkirkan Tun Kumala"
Bagaimana nanti rahasia tentang itu tertutup" Siapa
sebenarnya Tun Kumala yang disukai oleh Ratu Anom
tetapi dibenci oleh Ratu Sepuh"
Apa pun yang dilakukannya, pasti ia akan mendapat
hukuman jika Sang Ratu Anom tahu. Ia harus menun-
jukkan bahwa ia berani pula berkorban demi mengikuti
kemauan ratunya. Ia harus menunjukkan bahwa ia
murni tidak tahu-menahu dalam peristiwa itu, bahkan
mungkin ia telah berkorban terlalu banyak untuk Sang
Ratu hingga mungkin Sang Ratu mau berbelas kasihan
padanya. Itu pun kalau ketahuan.
Apa yang membuat pengorbanannya begitu besar"
Ah. Si Rebeg. Si Rebeg! Tiba-tiba mata Buyut Pagalan
bersinar. Semua orang pasti yakin bahwa sang buyut
mencintai putranya itu. Tak akan ada yang tahu bahwa
ia merasa Rebeg adalah kegagalannya yang terbesar.
Tapi Rebeg bersikap kewanitaan. Mana mungkin ia
bisa membunuh Tun Kumala yang begitu jago hingga
Kusya pun jadi korbannya"
Ah. Mungkin bisa dipikirkan nanti.
"Nyai..." Tiba-tiba ia berpaling pada istrinya yang
tanpa bersuara meladeni mereka yang sedang makan.
"Ya, Kakang," Nyai Buyut beringsut maju.
"Suruh Rota mencari Rebeg sampai ketemu, bawa ke
rumah belakang. Aku akan menemuinya di belakang....
Dan ingat. Jangan berkata pada siapa pun tentang apa
yang kaulihat dan kaudengar di sini. Mengerti?"
"Mengerti, Kakang. Kalau menghendaki apa-apa, biar
nanti kusuruh Suti melayani Kakang di sini...." Nyai
Buyut pun beringsut mundur dan keluar.
Buyut Pagalan menghela napas panjang.
6. DI PADAS PUTIH
REBEG tunduk bagai menghunjam bumi di depan
ayahnya. Sangat berbeda dengan keadaan sang ayah,
maka Rebeg ini bertubuh semampai, lemah gemulai, ha-
lus, dan penuh perhiasan. Gelang-gelang di tangannya
gemerincing setiap tangannya bergerak, anting-anting di telinganya gemerlap jika
kepalanya bergoyang. Dan ia
tak pernah lupa tersenyum.
"Rebeg, kudengar kau tak pernah pulang, huh?"
Buyut Pagalan menggeram. Mereka hanya berdua di bi-
lik itu. "Kata 'kudengar' itu sungguh tepat, Ayahanda...," se-
nyum Rebeg. "Maksudmu?"
"Itu berarti Ayahanda juga begitu jarang berada di
rumah. Hanya mengetahui keadaan hamba dengan ja-
lan mendengar dari orang lain. Nah, kalau Ayahanda
saja tak betah di rumah, bagaimana pula dengan ham-
ba yang ingin selalu mencontoh Ayahanda... sebagai-
mana Ayahanda kehendaki?" suara Rebeg lancar, mer-
du dan berlagu.
"Aku ingin kau mencontoh... kegagahanku, kesakti-
anku, wibawaku!" kata Buyut Pagalan gusar.
"Hal itu belum pernah kudengar sebelumnya, Aya-
handa!" senyum Rebeg, sungguh menyakitkan mata
Buyut Pagalan. "Pokoknya mulai sekarang kau kularang pergi ke
perkampungan para prajurit itu!" Buyut Pagalan kehi-
langan bahan untuk marah.
"Itu pun Ayahanda yang menginginkannya. Ingatkah
Ayahanda?"
"Aku suruh kau berada di sana untuk belajar ulah
keprajuritan, bukan untuk menembang, menari, meng-
hibur mereka!"
"Tapi agaknya mereka lebih suka tembang dan tari-
ku, Ayahanda, dan bukankah Ayahanda selalu bilang
aku harus menimbulkan kekaguman di setiap orang?"
"Mereka bukan kagum, mereka mengejekmu!"
"Antara kagum dan mengejek, hanya ada suatu garis
tipis. Bagaimana orang bisa mengejek kalau sesuatu ti-
dak cukup kuat untuk bisa menembus lingkup perhati-
annya, menyebabkan ia tergerak untuk berbuat sesua-
tu" Dan itu artinya kekaguman!"
"Diam! Kaukira kau besok jadi apa huh?" gerutu
Buyut Pagalan. "Jadi apa pun... jika hamba puas dan bangga, bu-
kankah itu sudah cukup?"
"Sudah, sudah, sudah! Kau diam, dan dengar bica-
raku!" bentak Buyut Pagalan.
Beberapa saat mereka hening. Wajah Buyut Pagalan
berkerut-kerut seolah berpikir berat.
"Dengar... nanti sore kau harus ikut aku. Kita ada
seorang tamu terhormat. Dan... beliau ingin meninjau
Padas Putih. Kau tentunya pernah dengar bahwa ke-
mungkinan orang Uteran akan menyerbu kemari, bu-
kan" Sudah. Tak usah ngomong. Aku tahu kau tak su-
ka perang. Tamu kita ini juga tak suka perang. Kare-
nanya aku ingin kau menemaninya terus. Dan mengikat
perhatiannya. Sebab bisa-bisa ia akan mengacaukan
rencana perang kami. Kau pasti menyukainya."
"Oh, mudah-mudahan benar begitu. Banyak yang
Ayahanda bilang aku akan suka tetapi ternyata malah
tidak," kata Rebeg.
"Lihat sajalah nanti...."
"Dan hamba hanya menemaninya?"
"Kami akan ke Padas Putih, sesungguhnya untuk
bertempur. Tetapi, seperti kataku tadi, dia bisa merusak rencana kami. Jadi,
kauikuti dia terus, kauajak dia bicara terus, kauikat perhatiannya... dan kalau
bisa, kauajak dia menjauh dari kami saat kami berada di Padas
Putih nanti."
"Wah, kalau saja hamba boleh menari, Ayahanda,
pasti perhatiannya takkan terpecah lagi. Mengapa ia harus ikut ke Padas Putih?"
"Karena ia mengingininya! Nah, sampai di sana, kami
sesungguhnya akan ke arah hilir, untuk bertemu dan
perang tanding dengan orang-orang Uteran."
"Aduuuuh! Seraaaaam!" Rebeg tampak ketakutan.
"Ya. Kau tak usah melihat. Kaubawa tamu kita ini ke
Ujung Bajul Putih. Ya, pasti ia begitu tertarik hingga tak sempat lagi berpikir
tentang kami...." Diam-diam Buyut Pagalan melirik putranya.
"Ujung Bajul Putih" Oh, ya, ya, pasti dia tertarik...
begitu banyak kisah asmara berakhir sedih di sana...
sedih namun indah.... Ah, bahkan kisah sepasang bang-
sawan muda juga.... Ayahanda ingat, putri Demang Wa-
ru itu... Wah, ya... kalau tamu kita itu orang kota,
mungkin beliau juga tertarik bahwa cinta mempunyai
warna yang sama walaupun itu berada di pucuk gu-
nung.... Ya, Ujung Bajul Putih banyak bercerita bagai-
mana pasangan-pasangan yang terpaksa putus cinta
karena... karena kekejaman orangtua mereka..." kali ini Rebeg yang melirik
ayahnya, "melawan maut dengan
melompat dari karang yang disebut Ujung Bajul Putih
itu dan hancur berkeping-keping di dasar jurang di ba-
wahnya. Oh, indah sekali. Pasti dia tertarik pada kisah-kisah itu. Dan oh, pasti
ia lebih tertarik lagi kalau kukatakan bahwa aku pun pernah hampir diabadikan di
ka- rang itu.... Ayahanda ingat, sewaktu Ayahanda menolak
keinginanku untuk belajar menari dan aku akan me-
lompat bunuh diri pula dari karang itu?"
"Aku ingat," kata Buyut Pagalan singkat. Dalam hati
ia menambahkan betapa ia menyesal karena waktu itu
ia menghalangi Rebeg bunuh diri.
"Indah, indah... suatu hari akan kukarangkan tem-
bang untuk memuliakan Ujung Bajul Putih yang meru-
pakan titik lompatan para putus cinta untuk menuju
surga! Oh, baiklah, Ayahanda, kalau aku hanya bertu-
gas begitu, aku sangat bersedia!"
"Baiklah. Kau siap-siap, minta bekal pada ibumu.
Sebentar lagi kita akan berangkat."
"Baik, Ayah!" Rebeg bersujud menyembah ayahnya
yang bergegas meninggalkan tempat itu dengan wajah
masam. "Rebeg?" terdengar bisikan dari luar.
"Ibu?" Rebeg bangkit dengan mata bersinar. Memang
Nyai Buyut yang kemudian masuk.
"Kau diapakan oleh ayahmu?"
"Oh, tidak diapa-apakan, Bu. Mungkin Ayahanda
malah berubah sikap. Beliau memberi hamba tugas
yang bagus sekali... menghibur seorang tamu dengan
berbagai cerita... terutama cerita tentang Ujung Bajul Putih!" Rebeg tertawa
memperlihatkan giginya yang selalu putih bersih dan rata.
"Ujung Bajul Putih?" Nyai Buyut termenung. "Bu-
kankah itu batu karang di atas Padas Putih yang sering digunakan orang untuk
bunuh diri?"
"Benar, Ibu... dan pasti banyak yang bisa kucerita-
kan...." "Tapi, Rebeg, apakah tak berbahaya bagimu?" Nyai
Buyut mengerutkan kening.
"Bahaya apa" Tentu tidak, Ibunda. Mudah-mudahan
tamu ini benar-benar tak suka perang, dan mungkin
sepengertian denganku."
"Rebeg, kau harus sangat berhati-hati, Nak...." Tiba-
tiba air mata berlinang dari mata Nyai Buyut.
"Ah, Ibu tak usah kuatir.... Ayo, tolong aku me-
nyiapkan perbekalan, Bu."
"Kau harus hati-hati, Nak," bisik Nyai Buyut lagi.
*** Mereka berkumpul di sebuah tempat terbuka di antara
semak belukar. Jauh di depan mereka tampak jurang
curam mendalam. Dindingnya penuh tetumbuhan hing-
ga jurang itu gelap, bahkan di tengah hari bolong ini.
Jauh di bawah sana, di dasar jurang itu dan tak terlihat dari atas, mengalir
Kali Putih yang menjadi batas dua
buah desa - dan kini menjadi batas pertentangan antara
para buyut yang terpengaruh Buyut Pagalan dan me-
reka yang masih setia pada Akuwu Uteran.
Tun Kumala duduk tegak di kudanya. Rambutnya
yang sangat pendek tersembunyi di balik destar sutera
hitam yang melambai-lambai oleh belaian angin. Di
sampingnya Rebeg berada di atas punggung kuda juga.
Tidak gagah, tetapi enak dipandang, begitu serasi anta-ra sikap, pakaian, dan
kudanya. Tun Kumala langsung
suka pada pemuda yang begitu banyak bercerita ini.
Sopan-santun. Lembut. Berperasaan halus. Lemah ge-
mulai, dan agaknya terpelajar juga. Sepanjang perjala-
nan tadi mereka bercerita dan bercanda. Begitu akrab.
Di depannya berdiri para buyut, Pagalan, Tantram,
Gitra, dan Sumbing. Dan yang agak aneh adalah seo-
rang lelaki yang berada di dalam rombongan buyut itu
tetapi tampaknya sangat lain dari mereka semua. Ber-
pakaian kain kasar, lebih banyak diam, dan tampak
sangat dihormati. Tun Kumala pun tak terlalu peduli


Candika Dewi Penyebar Maut I X di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan orang ini, karena ia begitu asyik berbincang-
bincang dengan Rebeg.
Agak jauh dari mereka beberapa orang prajurit desa
yang dengan penuh kewaspadaan menunggu, sementa-
ra Dadap dan Teki berulang kali mengganggu kesabaran
mereka. Tetapi lebih sering mereka menggoda Rebeg
yang mereka anggap kini sebagai saingan besar dan be-
rat dalam merebut hati Tun Kumala.
"Di balik perbukitan itulah kedudukan akuwu di Ute-
ran," kata Buyut Pagalan menuding, memajukan ku-
danya mendekati kuda Tun Kumala dan Rebeg. "Peng-
halang utama kami jika kami menyerang ke Uteran. Ja-
lan satu-satunya lewat sana. Atau, jika berani meng-
hadapi kemungkinan mati konyol, mungkin bisa menje-
lajah dasar jurang Kali Putih itu. Sampai sekarang be-
lum ada yang berani melakukan itu. Lewat bukit sana
itu, pasukan Uteran bisa menghujani kita dengan pa-
nah dan batu, dan habislah kita." Buyut Pagalan kemu-
dian mendeham dan melirik pada Rebeg.
"Apa yang kita lakukan kini, kalau kita tak bisa me-
nyerbu ke sana?" tanya Tun Kumala.
"Makanya tidak usah perang, kalau boleh hamba bi-
lang, damai saja, damaiiii saja," kata Rebeg tersenyum.
"Idih. Biar tidak diupah mau rasanya mengiris bibir-
nya yang mancung itu," gerutu Dadap pada Teki.
"Dalam hal ini aku terpaksa setuju, Dadap. Orang itu
merusak pasaran saja," sahut Teki.
"Rasanya aku setuju. Tetapi akuwu Uteran itu me-
mang harus ditegur. Mungkin kalau aku dan Adik Re-
beg ini pergi ke sana kita bisa membujuknya untuk ber-
damai?" tanya Tun Kumala.
"Bisa juga." Buyut Pagalan menunduk berpikir-pikir.
Yang lain semua diam, agaknya menunggu keputusan-
nya. "Tetapi mereka licik. Jika mereka meracuni Tuan,
atau menjebak Tuan... habislah kita. Mungkin lebih
baik siasat kita semula saja.... Kita panggil mereka kemari untuk perang
tanding, tetapi nanti Tuan bisa ber-
kesempatan berbicara dengan mereka... dan mungkin
mereka terbujuk. Bagaimana" Dengan begitu kita tak
membahayakan kedudukan kita!"
"Bisa juga begitu...." Tun Kumala mengangguk-ang-
guk, dia juga lega bisa mengulur waktu.
"Biar Rota dan Roga berangkat sebagai duta kita ke
Uteran. Sementara itu kita beristirahat di bawah pohon besar itu. Rebeg, mungkin
sambil menunggu kau bisa
membawa tuan tamu kita untuk... mmm, mencari bu-
nga liar, misalnya, atau menangkap kupu-kupu yang
indah...." Buyut Pagalan mencibir saat mengucapkan
kata-kata itu. "Oh, ya, Junjungan... hamba tahu ada sesuatu yang
sangat menarik di sini. Karang Ujung Bajul Putih... co-ba... Tuan lihat ke
sana... tuh... di sana itu... lihat sesuatu yang putih di antara semak-semak
itu?" Rebeg me-
nuding ke dinding jurang nyaris dekat kakinya, semen-
tara Rota dan Roga telah berlalu.
Tempat yang ditunjuk Rebeg memang agak sulit dili-
hat. Dinding jurang di tempat itu nyaris tegak lurus
menghunjam ke kedalaman yang gelap tak terlihat. Dan
di tubir jurang di sebelah sana terlihat sebentuk batu karang, bagaikan sekeping
papan putih, menjulur ke
udara. "Sambil menunggu, mari kita ke sana. Tempat itu
tempat bunuh diri banyak sekali pasangan yang putus
cinta. Mereka berdiri di ujung karang itu, kemudian
berdua melompat ke dalam jurang. Pasti hancur. Tapi
tak ada orang yang pernah memeriksa dasar jurang sa-
na," kata Rebeg, turun dari kuda.
"Aku ikut," kata Dadap. "Rasanya aku mau bunuh
diri nih!"
"Woalah! Paling kau membal ke atas lagi kalau terjun
ke sana!" ejek Rebeg.
Bersambung ke jilid 10.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-9
1. PERTEMUAN ***
2. PERJALANAN ***
*** 3. PEMBERONTAKAN"
4. DI UTERAN 5. ORANG TRANG GALIH ***
6. DI PADAS PUTIH ***
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Pedang Keadilan Karya Tjan I D Pedang Penakluk Iblis 6
^