Pencarian

Geger Topeng Sang Pendekar 2

Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Bagian 2


depan ke belakang dengan wajah meringis.
"Kek.... Satu lagi pertanyaanku. Apa kau kenal dengan seorang nenek bergelar
Dayang Sepuh"!" tanya murid Pendeta Sinting.
Kali ini Kiai Laras langsung sentakkan kepa-
lanya memandang pada Pendekar 131. Parasnya sedi-
kit berubah. Namun sesaat kemudian bibir orang tua
ini sunggingkan senyum. "Kusarankan padamu, Anak Muda! Berhati-hatilah kalau kau
bertemu dengan nenek itu! Dia seorang nenek berilmu tinggi yang sangat licik!
Dia tak akan lepaskan mangsanya sebelum tujuannya berhasil! Dan terbetik kabar
akhir-akhir ini dia sedang menyelidik Kembang Darah Setan.... Beberapa tokoh
tinggi di sebelah barat banyak yang tewas tanpa diketahui siapa yang melakukan.
Tapi orang mulai menduga-duga jika semua pembunuhan itu di-
dalangi Dayang Sepuh! Mungkin beberapa orang yang
tewas tidak mau memberi keterangan yang diminta
Dayang Sepuh...."
Diam-diam dada murid Pendeta Sinting berde-
bar. "Hem.... Jangan-jangan nenek itu memang punya tujuan tertentu hingga
bersikeras ikut dengan ku! Aku pernah mengatakan padanya urusan Kembang Darah
Setan serta Kampung Setan! Mungkin dari keteran-
ganku ini dia menduga aku tahu banyak tentang Kem-
bang Darah Setan serta Kampung Setan. Lalu dia pu-
ra-pura hendak ikut mencari kakekku yang kukatakan
hilang... Hem.... Benar-benar licik nenek itu...."
"Anak muda.... Apakah kau menginginkan
Kembang Darah Setan"!" Kiai Laras bertanya seraya alihkan pandangannya pada
Datuk Wahing. Meski merasa tidak dipandang orang, murid
Pendeta Sinting gelengkan kepala lalu berkata. "Mendengar namanya saja aku sudah
ngeri, Kek.... Bagai-
mana mungkin aku menginginkannya"! Lagi pula un-
tuk apa"!"
"Bruss! Bruss! Bruss! Kalau kau sudah ngeri
mendengar namanya, aku justru heran mendengar
namanya! Jadi pasti mengherankan pula kalau aku
menginginkan pula barang itu! Lagi pula kembang adalah barang yang sedapat
mungkin ku jauhi! Aku sendi-ri heran, mengapa penyakit ku akan menjadi-jadi
kalau membaui kembang...." Datuk Wahing tiba-tiba menyahut meski Kiai Laras
tidak bertanya padanya.
Anehnya begitu selesai bicara, orang tua ini langsung saja bersin-bersin tak
putus-putus! Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Diam-diam
laki-laki ini berkata dalam hati. "Hem.... Tampaknya dia dapat mencium kembang
di balik pakaianku....
Bukan saat ini waktu yang baik untuk menundukkan
manusia-manusia ini!"
Habis membatin begitu, Kiai Laras memandang
pada murid Pendeta Sinting. "Anak muda. Walau kau tidak inginkan Kembang Darah
Setan, tapi tak ada je-leknya kau tahu di mana beradanya kembang itu saat
ini. Siapa tahu suatu saat pikiranmu berubah...."
Belum sampai Joko buka mulut menyahut, Kiai
Laras telah lanjutkan ucapannya. Sementara di sebe-
lah samping Datuk Wahing terus bersin-bersin.
"Anak muda.... Menurut kabar yang akhir-akhir
ini tersiar, Kembang Darah Setan dimiliki oleh seorang pemuda yang oleh kalangan
rimba persilatan dikenal
dengan Pendekar Pedang Tumpul 131! Benar tidaknya
aku tidak tahu...." Kiai Laras memandang ke arah Datuk Wahing. Lalu berkata.
"Aku tak bisa lama-lama di sini, Sahabat!"
Tanpa menunggu sahutan orang, Kiai Laras
berkelebat tinggalkan tempat itu. Entah masih terke-sima dengan ucapan yang baru
didengar dari Kiai La-
ras, Joko hanya tegak diam dengan mata memandang
ke jurusan lain.
"Bruss! Bruss! Bruss! Mengherankan.... Bagai-
mana bisa penyakit ku mendadak kumat menjadi-jadi"
Jangan-jangan kau membawa kembang, Anak Muda!"
Joko tersentak. "Jangan-jangan dia hendak
mulai...." Murid Pendeta Sinting mulai curiga dan khawatir dengan ucapan Datuk
Wahing. "Daripada me-layaninya, lebih balk aku cari tempat yang tenang seraya
kaitkan hubungan ucapan-ucapan orang tua ta-
di!" "Kek.... Aku juga harus pergi!" Joko balikkan tubuh. "Heran.... Apa kau kira aku
mencegahmu..."!"
kata Datuk Wahing. Lalu bersila lagi.
Pendekar 131 angkat bahu lalu berkelebat ting-
galkan tempat itu. Namun karena takut kalau diikuti orang, sejarak sepuluh
tombak, dia palingkan kepala ke arah di mana Datuk Wahing berada. Joko jadi
terkejut. Suara bersinan masih saja terus terdengar. Namun sosok Datuk Wahing
tidak kelihatan di tempatnya semula! Bahkan hingga Joko balikkan tubuh dan
memandang berkeliling, dia tak melihat siapa-siapa padahal suara bersinan terus
saja terdengar!
Entah ingin tahu sampai di mana suara bersi-
nan itu akan terus terdengar, Pendekar 131 sengaja
tegak tidak bergeming dari tempatnya seraya tajamkan
telinga untuk mengetahui di mana sebenarnya adanya
Datuk Wahing. Herannya, meski murid Pendeta Sinting dapat
tentukan dari mana arah sumber suara bersinan, na-
mun begitu matanya mencari, dia tidak melihat sosok si kakek!
"Percuma kau mencari orangnya, Anak Muda!
Karena dia sudah tidak ada di sini! Yang kini terdengar adalah gaung suaranya
saja yang akan terus memantul dan tak akan ada habisnya! Datuk Wahing memiliki
ilmu yang disebut 'Pantulan Tabir'!" Satu suara tiba-tiba terdengar, membuat
Joko palingkan kepala.
"Hem.... Rupanya dia belum pergi dari sini...!"
gumam murid Pendeta Sinting begitu matanya menge-
nali siapa adanya orang yang bersuara.
* * * LIMA TIDAK jauh dari tempat tegaknya murid Pende-
ta Sinting, Kiai Laras tampak tegak dengan sunggingkan senyum. Dan belum sampai
Pendekar 131 buka
mulut, Kiai Laras sudah angkat bicara lagi.
"Anak muda. Waktu aku akan pergi, tiba-tiba
aku ingat sesuatu.... Kalau tidak salah, sepertinya aku pernah melihatmu sebelum
ini...." "Hem.... Seingatku, bahkan aku yakin. Baru
kali ini bertemu. Adalah aneh kalau dia berkata pernah jumpa denganku...." Joko
membatin dalam hati. Lalu berkata.
"Kek.... Orang terkadang memang lupa! Bisa
katakan di mana kira-kira kita pernah jumpa"!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Jangan salah,
Anak Muda. Aku tidak katakan pernah jumpa. Tapi
aku pernah melihatmu...." "Di mana, Kek"!"
"Di sebuah kedai. Kalau tak salah, kau bersama seorang gadis cantik!"
Pendekar 131 mendadak tertawa bergelak. "Kau
jangan bercanda, Kek! Nenek-nenek begitu masih juga kau katakan gadis cantik!
Dandanannya memang boleh. Ketiak dan pusar kelihatan. Celana pendek di atas
lutut dengan paha terpampang jelas. Lalu rambut di
poni dan pipi serta bibir dipoles merah. Sayangnya semua itu tidak dipadu dengan
warna kulit yang mema-
dai!" Murid Pendeta Sinting masih menduga bahwa yang dimaksud gadis cantik oleh
Kiai Laras adalah si nenek Dayang Sepuh.
"Hem.... Berarti anak ini telah bertemu dengan nenek itu!" kata Kiai Laras dalam
hati. Sambil tetap sunggingkan senyum, dia lalu berujar.
"Aku tidak bercanda, Anak Muda. Jelas kau
waktu itu bersama seorang gadis cantik berpakaian
warna merah...."
"Dia memang berpakaian warna merah, Kek!"
sahut Joko sebelum Kiai Laras teruskan ucapannya.
Lalu tertawa bergelak lagi.
"Ah, kau terburu memotong, Anak Muda. Dia
berpakaian merah. Rambutnya dikuncir tinggi. Bibir-
nya merah tanpa polesan. Dan kulitnya putih ber-
sih...." Pendekar 131 putuskan gelakan tawanya. Dahinya mulai berkerut. "Kek!
Jangan-jangan kau salah lihat! Selama ini aku belum pernah jumpa dengan seorang
gadis! Apalagi yang rambutnya dikuncir tinggi, bibir merah tanpa polesan, dan
berkulit putih bersih
seperti yang baru saja kau katakan.... Aku justru keti-ban sial berjumpa dengan
nenek berdandan seronok
itu..." Kiai Laras kembali gelengkan kepala. "Aku memang sudah tua, Anak Muda.
Tapi mataku tidak
mungkin salah pandang!"
"Ah.... Bagaimana bisa begitu, Kek"! Padahal
aku sendiri tidak pernah jumpa dengan seorang gadis meski kau benar mengatakan
melihatku di sebuah kedai!" "Hem.... Mungkin benar juga ucapanmu, Anak Muda. Aku
salah lihat!" ujar Kiai Laras pada akhirnya setelah agak lama terdiam. "Kau tadi
mengatakan jumpa dengan nenek berdandan seronok. Dari ciri-ciri yang kau
katakan, sedikit banyak aku dapat menduga
siapa adanya nenek itu. Kau harus bersyukur, Anak
Muda...." "Bersyukur bagaimana, Kek"!"
"Kau bisa lepaskan diri dari cengkeraman ne-
nek itu! Karena jarang sekali ada orang yang bisa lolos dari cengkeramannya...."
"Aku meninggalkannya sewaktu dia mandi di
sebuah sendang!"
"Mau turut saran ku, Anak Muda"!" tanya Kiai Laras. Namun orang tua ini
tampaknya tidak menunggu jawaban orang. Karena dia sudah lanjutkan uca-
pannya. "Segeralah tinggalkan tempat ini jauh-jauh!
Ku yakin nenek itu memerlukan sesuatu darimu! En-
tah apa itu, aku tak bisa mengatakannya! Yang pasti, begitu dia mendapat sesuatu
yang diharapkan, maka
nyawamu tak mungkin dibiarkan begitu saja...."
"Dari gelagat dan sikap nenek itu, rupanya be-
nar juga ucapan orang tua ini..." Joko diam-diam
membatin. Lalu dia berkata.
"Kek.... Sebelum aku pergi, mau sedikit mem-
beri keterangan tentang kakek bernama Datuk Wahing
tadi?" "Dia adalah sahabatku. Aku tahu dan kenal betul dengannya. Kau juga harus
merasa bersyukur se-
kali lagi, Anak Muda. Karena biasanya orang tua itu tidak mudah diajak bicara!
Sebaliknya kalau orang tidak mau jawab pertanyaannya, dia tidak segan-segan
untuk membunuh! Kalangan rimba persilatan tidak se-
nang dengan dia! Karena pada beberapa puluh tahun
silam, dia berada di belakang tokoh bernama Malade-
wa yang merajalela tebarkan kematian di mana-mana!
Kalaupun sampai saat ini dia masih hidup, itu hanya karena dia berilmu
tinggi...."
"Kek! Bukankah kau tadi mengatakan kalau
Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat milik
Maladewa. Lalu kau menerangkan Datuk Wahing be-
rada di belakang Maladewa. Tapi mengapa Datuk Wah-
ing sepertinya tidak tahu saat aku sebut-sebut Kem-
bang Darah Setan"!"
"Anak Muda. Mana ada orang yang belangnya
ingin ditunjukkan pada orang lain" Dan kau tahu, aku tadi terpaksa buru-buru
pergi begitu menjawab pertanyaan mu karena aku tidak mau terlibat sengketa
dengan dia! Aku pun terpaksa menuruti keinginannya
untuk menjawab pertanyaanmu. Sebab jika tidak, pas-
ti dia akan membuat masalah!"
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala.
"Kek.... Kira-kira di mana Kampung Setan itu"!"
Kiai Laras tertawa pendek mendengar perta-
nyaan Pendekar 131. "Anak muda. Bukankah kau tadi mengatakan tidak berniat
dengan Kembang Darah Setan" Adalah aneh, kalau kau sekarang menanyakan
Kampung Setan...."
Paras muka murid Pendeta Sinting sedikit me-
rah. Tapi dia buru-buru tersenyum dan berujar. "Se-kadar ingin tahu tak ada
salahnya bukan, Kek"!"
"Hem.... Anak Muda. Pada beberapa puluh ta-
hun silam, nama Kampung Setan memang dikenal
orang. Namun hingga sekarang, tidak seorang pun
yang bisa tunjukkan di mana beradanya kampung itu.
Hingga siapa pun pasti ragu akan kebenaran adanya
Kampung Setan!"
"Tapi Kembang Darah Setan benar-benar ada,
bukan"!" tanya Joko.
"Menurut beberapa orang memang ada. Tapi
aku tidak pernah melihatnya...."
"Lalu bagaimana kau bisa mengatakan kalau
Kembang Darah Setan saat ini telah dimiliki seorang pemuda bergelar Pendekar
Pedang Tumpul 131"!"
"Anak muda. Kembang Darah Setan adalah
benda yang ada hubungannya dengan dunia persila-
tan. Benda macam begitu akan selalu menjadi incaran orang. Ke mana dan di mana
pun beradanya, pasti
akan segera menyebar!"
"Heran.... Bagaimana bisa"!" gumam Joko tak habis pikir.
"Anak muda. Kau rupanya sudah tertular uca-
pan Datuk Wahing. Selalu heran.... Apa yang mem-
buatmu heran"!"
Joko sedikit tersentak. Lalu geleng-geleng kepa-
la. "Kek. Turuti ucapanmu, aku harus cepat pergi dari sini.... Sebelumnya
kuucapkan terima kasih atas semua keterangan mu...." Joko bungkukkan sedikit
tubuhnya. Lalu berkelebat tinggalkan Kiai Laras.
Kiai Laras sunggingkan senyum tanpa berkata
apa-apa lagi. Begitu dilihatnya sosok murid Pendeta
Sinting lenyap, Kiai Laras balikkan tubuh. "Di sekitar tempat ini hanya ada satu
sendang. Kalaupun dia
mengejar pemuda itu tadi, aku dapat menduga di ma-
na dia akan lewat...." Sekali membuat gerakan, sosok Kiai Laras telah melesat
kencang. * * * Nenek Dayang Sepuh tiba-tiba hentikan lang-
kahnya. Tanpa berpaling atau membuat gerakan lain,
dia buka mulut.
"Cucu.... Kaukah itu"! Mengapa kau sembunyi"
Bukankah sudah kukatakan suara alam men-
gatakan aku ada jodoh dengan kakekmu"!"
Seorang pemuda berambut panjang acak-
acakan diikat dengan ikat kepala warna putih yang
duduk mendekam hanya sejarak sepuluh langkah dari
tempat tegaknya Dayang Sepuh kerutkan dahi. Namun
belum sempat dia berpikir, Dayang Sepuh telah buka
mulut lagi.

Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cucu.... Daripada main petak umpet, bukan-
kah lebih baik kita teruskan perjalanan mencari kakekmu"!"
Meski tahu kalau dirinya yang dimaksud, na-
mun si pemuda yang mendekam tak juga menyahut
atau membuat gerakan memberi isyarat keberadaan-
nya. Di lain pihak, karena tahu siapa adanya orang yang mendekam dan tak mau
buka mulut, si nenek
mulai geram. Dia angkat bicara lagi. Tapi suaranya keras membahana.
"Kalau kau tidak juga keluar...."
Ucapan Dayang Sepuh belum selesai, terdengar
suara tertawa. Lalu satu sosok tubuh berkelebat dari balik pohon dan tegak tidak
jauh dari hadapan si nenek. "Nek.... Bukan maksudku meninggalkanmu.
Aku tadi tertarik pada sesuatu. Aku mengejarnya sampai di sini...," kata orang
yang tegak di hadapan Dayang Sepuh. Seorang pemuda yang kalau orang
pernah berjumpa dengan murid Pendeta Sinting, maka
ia pasti tak akan bisa membedakan.
Dayang Sepuh diam mendengarkan dengan
seksama. Namun sebenarnya orang tua ini bukan me-
nyimak ucapan orang, melainkan perhatikan pemuda
yang tegak di hadapannya.
"Apa yang menarik hatimu, Cucu..."! Seorang
gadis..."!"
Yang ditanya tidak segera menjawab. Bukan
karena sedang cari alasan untuk jawab pertanyaan
orang, melainkan coba menduga-duga arti pandangan
Dayang Sepuh. "Apakah dia tahu aku bukan yang asli"
Atau ada yang salah dengan diriku"!" Diam-diam si pemuda yang menyamar sebagai
Joko Sableng bertanya sendiri dalam hati. Lalu melirik anggota tubuhnya sendiri.
Mendadak Dayang Sepuh tertawa bergelak.
"Aneh.... Kau kutanya apa yang menarik hatimu hingga kau meninggalkan ku, tapi
kau melihat pada dirimu sendiri! Apa yang menarik pada dirimu, Cucu..."! Kau
tampan benar. Kau disukai gadis-gadis tidak bisa disangkal. Tapi di depan
mataku, kau bukan apa-apa!
Kau dengar itu"!"
Joko tergagu diam. Dia kini pandangi Dayang
Sepuh dengan paras berubah. Sebaliknya yang dipan-
dang ambil kepangan rambutnya, sementara tangan
satunya menata poni di depan keningnya. Saat bersa-
maan, dia berkata. Suaranya ketus.
"Semula aku ingin mengajak mu cepat-cepat
mencari kakekmu. Tapi suara alam mengatakan aku
harus pergi dari sini!"
"Nek...."
Dayang Sepuh sentakkan kepangan rambut di
tangannya ke belakang. Terdengar deruan. Lalu se-
rangkum angin menghampar ke arah Joko. Seolah su-
dah menangkap gelagat, Joko buru-buru melompat se-
belum rangkuman angin melesat.
"Nek.... Apa sebenarnya maksudmu"!" teriak Joko. "Kau yang harus jawab tanya ku!
Bukan kau yang bertanya!" hardik Dayang Sepuh. Sepasang mata nenek ini mendelik
angker. Lalu lanjutkan hardikan-nya. "Mengapa bau mu lain" Apa yang telah kau
kerjakan, hah?"
"Nek...."
"Diam!" tukas Dayang Sepuh. "Jawab pertanyaan ku! Jangan hanya panggil Nak! Nek!
Nak! Nek!"
"Aku tak mengerjakan apa-apa...."
"Jangan berani berdusta padaku! Aku mencium
bau lain di tubuhmu!"
Air muka lelaki yang menyamar sebagai Joko
berubah tegang. Namun cuma sekejap. Saat lain pe-
muda ini telah tertawa. "Kau ini aneh, Nek! Bau apa yang kau katakan lain dalam
tubuhku"!"
"Aku tanya padamu. Kau sedang jatuh cinta"!"
tanya Dayang Sepuh.
Joko tertawa bergelak meski dahinya sempat
berkerut. Tapi dia segera putuskan gelakan tawanya
tatkala dilihatnya si nenek mendongak lalu memben-
tak. "Jangan tertawa bekakakan! Jawab tanya ku tadi!"
"Nek! Aku memang laki-laki. Dan di sini pun
ada perempuan. Tapi apakah mungkin dan pantas aku
jatuh cinta"!"
"Hem.... Apakah kau tadi mengejar seorang ga-
dis"!" "Mana mungkin di tempat begini ada seorang gadis"!" Dayang Sepuh arahkan
pandangan ke jurusan lain. Dengan sedikit tengadahkan kepala dia berucap.
"Kau mengatakan tidak sedang jatuh cinta. Kau juga mengatakan tidak mengejar
seorang gadis. Aku sekarang tanya. Untuk apa kembang itu kau bawa-bawa"!"
Saking kagetnya, lelaki itu sempat surutkan
langkah satu tindak. Sepasang matanya memandang
tajam ke arah Dayang Sepuh dengan mulut terkancing
rapat. Dayang Sepuh sendiri tampak terus tengadah
diam seolah menunggu jawaban orang.
"Nek...," kata Joko palsu setelah agak lama berdiam diri. "Aku tadi tertarik
pada sekuntum bunga. La-lu aku memetiknya. Apakah ini kau anggap salah"!
Apa orang yang sedang jatuh cinta atau sedang mengejar gadis saja yang boleh
membawa kembang"!"
"Aku tak akan jawab pertanyaanmu! Aku hanya
ingin memastikan kalau kau membawa kembang! Dan
kau telah menjawabnya!" Dayang Sepuh arahkan pandangan matanya pada Joko. Lalu
bertanya. "Kau masih ingin pergi bersama denganku"!"
"Kalau kau tidak keberatan!"
"Baik. Aku urungkan niat harus pergi dari sini walau itu suara alam yang
mengatakannya. Tapi aku
tidak mau pergi dengan orang muda yang bau kakek-
kakek sepertimu! Kau lihat.... Aku sudah segar habis mandi! Air sendang tidak
jauh dari sini.... Sebelum kita pergi bersama-sama, kau harus mandi dahulu! Biar
kau tidak bau kakek-kakek!"
Kali ini Joko palsu tidak dapat lagi sembunyi-
kan keterkejutannya. Namun dalam keadaan seperti
itu, si pemuda masih cepat berpikir Dia segera balikkan tubuh lalu melangkah ke
arah sendang sambil
berkata. "Kalau hanya itu kemauanmu, aku tak kebera-
tan melakukannya. Lagi pula aku sudah ingin man-
di...." "Senang aku mendengarnya...," ujar Dayang Sepuh seraya ikut melangkah di
belakang Joko, membuat Joko hentikan langkah dan berkata.
"Kau hendak ke mana, Nek"!"
"Aku sampai di sini tadi terus mandi. Sekarang sambil menunggu kau mandi, aku
ingin lihat pemandangan sendang itu!"
"Ah.... Bagaimana aku bisa mandi kalau kau
melihat"!"
"Aku bukan ingin melihatmu mandi. Aku hanya
ingin melihat pemandangan sendang. Apa keinginanku
ini kau anggap salah"!"
"Dari sikap dan dandanan mu, aku tidak per-
caya kalau kau hanya ingin melihat pemandangan
sendang! Kau pasti ingin melihatku mandi! Aku tak
akan mandi kalau kau tidak menunggu jauh!"
Dayang Sepuh tertawa. "Kalau hanya itu kein-
ginan mu, aku tak keberatan memenuhinya! Lagi pula
apa untungnya melihat kakek-kakek telanjang bulat"!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Joko palsu tidak acuhkan ucapan si nenek. Se-
telah melirik sekilas, dia berkelebat cepat ke arah sendang. Di lain pihak,
begitu Joko melesat, Dayang Sepuh balikkan tubuh lalu sambil perdengarkan tawa
mengekeh panjang, dia berkelebat tinggalkan tempat
itu. Rupanya Joko palsu tidak melesat menuju sen-
dang, pemuda itu berputar di satu tempat lalu berlari kembali ke arah semula
dengan mengambil jalan lain.
Namun dia tersentak tatkala sampai di tempat mana
Dayang Sepuh tadi berada, ternyata dia sudah tidak
melihat si nenek. Bahkan setelah dia berputar di sekitar tempat itu hingga
beberapa kali! * * * ENAM SOSOK tubuh itu berlari tidak begitu cepat.
Namun dalam beberapa saat saja sosoknya sudah jauh
melesat ke depan sana. Pada satu tempat yang cukup
tinggi di sebuah lembah si sosok hentikan larinya. Dia adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Rambutnya putih sebatas bahu. Kumis dan jenggotnya panjang juga
berwarna putih. Sepasang matanya agak besar dan
sayu. Pada kedua cuping hidungnya tampak melingkar
anting-anting dari benang berwarna merah. Kakek ini tidak lain adalah Kiai Lidah
Wetan. Kakak kandung
Kiai Laras. Si kakek sejurus gerakkan kepala berputar. La-
lu kepalanya terhenti saat pandang matanya menang-
kap satu sosok tubuh yang duduk bersila dengan ke-
dua tangan merangkap di dada dan sepasang mata
terpejam rapat.
Kiai Lidah Wetan memandang berlama-lama.
Dia tahu, meski sosok yang duduk bersila tampak pe-
jamkan sepasang matanya dan diam tak bergerak, ma-
lah seolah tidak tahu akan kemunculan orang, tapi se-
benarnya sosok itu telah mengetahui kedatangannya.
Sosok yang duduk bersila adalah seorang pe-
rempuan tidak muda lagi namun wajahnya masih
bayangkan kecantikan. Jelas pertanda saat mudanya
perempuan ini adalah seorang gadis berparas cantik
jelita. Rambutnya sudah berwarna dua.
"Kau hanya sia-siakan umur kalau tetap pada
pendirianmu, Lasmini!" Tiba-tiba Kiai Lidah Wetan bu-ka mulut. Saat bersamaan
dia melompat. Dan tahu-
tahu telah tegak empat langkah di hadapan perem-
puan yang baru saja dipanggilnya Lasmini.
Si perempuan perlahan-lahan buka kelopak
matanya. Memandang sejurus pada Kiai Lidah Wetan
tanpa sunggingkan senyum. Malah si perempuan
hanya sekejap saja memandang. Saat lain dia arahkan pandang matanya ke jurusan
lain. Dia menghela napas panjang. Dan pandang matanya, jelas orang mudah
menduga kalau perempuan ini sedang mengalami te-
kanan batin luar biasa. Dan sikapnya yang duduk bersila dengan kedua tangan
merangkap di depan dada
bukannya untuk bersemadi, melainkan sedang tengge-
lam pada pikirannya sendiri!
"Lasmini...." Kiai Lidah Wetan kembali angkat bicara saat ditunggu agak lama si
perempuan tidak ju-ga buka suara. "Aku rela menerima kehadiranmu
kembali meski kalau ingat masa lalu itu rasanya sulit dan tak kupercaya aku bisa
melakukannya.... Tapi
mengingat keadaanmu juga kisah-kisah kita dahulu,
bagaimanapun juga kuakui aku masih tetap me-
nyayangi dan membutuhkan kehadiranmu.... Tapi apa-
lah arti semua itu kalau kau tetap tidak bisa melupakan duka derita dan
penyesalan mu. Selama ini kau
hanya tenggelam dengan pikiranmu sendiri tanpa me-
mandang sebelah mata padaku!"
Kiai Lidah Wetan menghela napas dengan hen-
tikan ucapannya. Sepasang matanya menatap tajam
pada si perempuan. Namun yang dipandang belum ju-
ga membuka mulut. Malah dia masih arahkan pan-
dangannya ke jurusan lain.
"Lasmini.... Sampai kapan semua ini berlang-
sung" Sampai kapan kau mau buka mulut dan kita bi-
sa bicara sebagaimana dahulu"! Rasanya sudah cukup
kesabaranku untuk menunggu...."
"Kiai Lidah Wetan!" Si perempuan yang dipanggil Lasmini tiba-tiba angkat bicara.
"Kalau kau masih tidak mau menerima kehadiranku dalam keadaan begini, aku tak
keberatan tinggalkan tempat ini!"
Kiai Lidah Wetan buru-buru melangkah maju
seraya berucap. "Kau selalu salah sangka dengan ucapanku, Lasmini! Bagaimanapun
keadaanmu aku akan
rela menerimanya! Berapa pun waktu yang kau ha-
biskan tanpa acuhkan kedatanganku, aku akan sabar
menunggu! Hanya saja, bukankah akan lebih baik ka-
lau kita bisa bicara seperti waktu-waktu kita muda
dahulu"! Kau kecewa dan sakit hati, aku tahu! Tapi
apakah rasa kecewa dan sakit hatimu akan selesai
dengan sikapmu sekarang ini"! Tidak, Lasmini! Pera-
saan kecewa dan sakit hatimu akan makin dalam ka-
lau kau terus menerus tenggelam pada pikiranmu tan-
pa melakukan apa-apa untuk menghapuskannya! Dan
aku berkali-kali telah mengatakan padamu, aku bersedia bahkan rela mati untuk
membantumu memba-
laskan rasa kecewa dan sakit hatimu! Karena kecewa-
mu adalah kecewa ku! Kau merasakan sakit hati, aku
pun merasakannya! Tapi bagiku lebih menyakitkan la-
gi kalau kau tidak berbuat apa-apa padahal aku telah berusaha memulainya...."
Untuk pertama kalinya Lasmini sunggingkan
senyum. "Terima kasih kau selalu perhatikan diriku, Kiai.... Tapi rasanya saat
ini masih sulit bagiku menentukan langkah apa sebaiknya yang harus kulakukan!
Aku minta maaf kalau selama ini tidak acuhkan keda-
tangan mu. Kau jangan salah duga... Terus terang aku berada di persimpangan
jalan yang sukar menentukan
arah mana sebaiknya yang harus kutempuh...."
Paras wajah Kiai Lidah Wetan tampak bersinar
mendengar Lasmini sudah mulai buka suara. Padahal
saat kehadirannya hingga sekarang, perempuan itu tidak mudah untuk diajak
bicara. Kalaupun mau angkat
suara, itu hanya seperlunya saja dan sepertinya enggan. Dia seakan senang
tenggelam dalam pikirannya
sendiri. "Lasmini.... Kau sulit menentukan jalan mana yang harus kau tempuh,
karena selama ini kau hanya
diam. Seandainya sejak semula kau mau diajak bicara, pasti saat ini kau telah
mendapatkan jalan itu! Tapi semuanya belum terlambat.... Demi kasih sayang ku
padamu, aku dengan senang hati akan membantu-
mu...." Lasmini arahkan pandangannya pada Kiai Lidah Wetan. Kedua orang ini
untuk beberapa lama sal-
ing berpandangan. "Kau bersungguh-sungguh,
Kiai..."!"
Kiai Lidah Wetan tertawa perlahan. "Jadi sela-
ma ini kau diam saja karena belum percaya padaku"!"
"Kau tahu, Kiai.... Semua rencana hidupku
hancur gara-gara ulah seorang laki-laki!. Harap kau maklum kalau aku sekarang
tidak mudah untuk percaya pada ucapan laki-laki...."
Kembali Kiai Lidah Wetan tertawa mendengar
ucapan Lasmini. Sambil alihkan pandangan, orang tua ini berkata. "Ucapanmu
menandakan kau masih saja
menganggapku sama dengan Panjer Wengi!"


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Harap kau jangan sebut-sebut nama itu lagi!"
Lasmini cepat menyahut.
Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Aku harus
menyebutnya meski aku tahu sekarang kau tak suka!
Karena aku bukanlah Panjer Wengi! Manusia yang te-
lah menyakiti dan mengecewakan mu! Bahkan aku re-
la menerimamu kembali meski aku tahu kau telah
membuatku kecewa dan sakit hati! Apakah hal itu ma-
sih juga membuatmu tak percaya"! Bagi laki-laki lain mungkin mereka menganggapku
bodoh, karena masih
mau menerima orang yang menyakiti. Tapi itu bukan
ukuran bagiku, Lasmini...."
Ucapan Kiai Lidah Wetan membuat Lasmini
terdiam. Dia sadar, apa yang baru saja dikatakan Kiai Lidah Wetan benar adanya.
Mereka berdua pernah
menjalin cinta pada masa dahulu. Namun pada satu
saat, muncullah seorang pemuda bernama Panjer
Wengi. Pemuda mana yang pada akhirnya membuat
hati Lasmini berpaling dari Kiai Lidah Wetan.
Tapi akhirnya Lasmini harus menelan kecewa.
Karena ternyata sebelum ini Panjer Wengi telah punya seorang kekasih. Dan
rupanya Panjer Wengi tidak bisa melupakan kekasihnya itu. Hingga meski antara
Lasmini dan Panjer Wengi telah dikaruniai seorang anak perempuan, Panjer Wengi
tak bisa melupakan kekasihnya. Sebagai seorang perempuan, Lasmini tak mau
di duakan. Sebagai pelarian, dia pergi begitu saja dengan harapan Panjer Wengi
akan sadar. Namun hal ini
malah menjadi bumerang. Hubungan Panjer Wengi
dengan kekasihnya makin akrab. Dan pada puncak-
nya, akhirnya Lasmini mendengar Panjer Wengi telah
mempunyai anak perempuan dengan kekasihnya itu.
Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata perkawinan di-
rinya dengan Panjer Wengi hanya karena Panjer Wengi sungkan terhadap ayahnya
yang bukan lain adalah
guru Panjer Wengi sendiri.
Sakit hati Lasmini membuat perempuan ini
menaruh dendam berkarat. Dia berusaha mencari ja-
lan untuk membalas sakit hatinya. Terakhir kali Lasmini menyamar sebagai
Tengkorak Berdarah yang saat
itu rimba persilatan digemparkan dengan terbukanya
Istana Hantu. (Baca serial Joko Sableng dalam episode
: "Misteri Tengkorak Berdarah"). Namun usaha Lasmini yang menyamar sebagai
Tengkorak Berdarah akhirnya
juga harus menemui kegagalan.
Lebih menyakitkan lagi, ternyata penghuni Is-
tana Hantu itu sendiri adalah Panjer Wengi. Dan orang yang membuka penyamarannya
adalah bekas kekasih
Panjer Wengi. Hanya saja Lasmini sedikit merasa lega, karena saat terjadi
kegegeran di depan Istana Hantu, dia berhasil mengetahui siapa anaknya yang
selama ini ditinggalkan. Namun ada pula yang membuat hatinya
geram. Kitab Sundrik Cakra yang telah berhasil di-
genggam akhirnya harus jatuh lagi ke tangan pemuda
yang akhirnya diketahui bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131 Joko Sableng!
Pada puncak kecewa dan geramnya, akhirnya
Lasmini pergi menemui Kiai Lidah Wetan. Entah apa
tujuan perempuan ini menemui Kiai Lidah Wetan, yang jelas dengan senang hati
Kiai Lidah Wetan menerimanya meski Lasmini datang dengan keadaan masih
tenggelam dalam pikirannya sendiri akibat beberapa kejadian beruntun yang
membuat hatinya makin kecewa dan sakit hati. (Untuk lebih jelasnya mengenai
perjalanan hidup Lasmini, baca serial Joko Sableng
dari episode: "Gerbang Istana Hantu" sampai dengan episode : "Misteri Tengkorak
Berdarah").
Lasmini perlahan-lahan bergerak bangkit.
"Kiai.... Maafkan kalau selama ini aku selalu menyaki-timu...."
Kiai Lidah Wetan gelengkan kepala. "Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Lasmini.... Dengan kedatangan mu kembali, sudah cukup
rasanya sebagai obat hati
ini! Hanya yang kuminta darimu, kau harus dapat me-
lupakan semua yang telah terjadi. Kita mulai hari ba-ru...." "Kiai.... Rasanya
sulit bagiku melupakan kejadian yang telah berlalu sebelum...."
"Aku tahu!" Kiai Lidah Wetan sudah menukas sebelum Lasmini teruskan ucapannya.
"Dan kau telah dengar sendiri dari mulutku. Aku akan membantumu!
Bahkan sekarang aku sudah mulai...."
"Apa yang sudah kau mulai, Kiai...."
"Beberapa waktu yang lalu, saat penantian Ma-
ladewa telah berakhir! Dia berhasil dikeluarkan dari Kampung Setan tanpa Kembang
Darah Setan, senjata
dahsyat pusakanya! Saat ini Maladewa sudah mulai
melangkah dengan gelaran baru Setan Liang Makam!
Dan tujuan pastinya adalah membunuh Pendekar 131
beserta gurunya si Pendeta Sinting!"
Lasmini kerutkan dahi. "Bagaimana bisa begitu, Kiai"!" "Dengan satu muslihat
yang ku atur, kini ter-sebar kalau pemegang Kembang Darah Setan adalah
Pendekar 131!"
"Tapi aku telah bertekad untuk membunuh
pemuda itu dengan tanganku sendiri!"
Kiai Lidah Wetan tertawa pendek. "Itu nanti
mudah diatur. Dan pada puncaknya selain kita dapat
memiliki senjata dahsyat itu, kau akan dapat memba-
las sakit hatimu pada orang yang kau kehendaki!"
"Tapi bukankah kau pernah menyinggung ka-
lau Kembang Darah Setan masih memiliki rahasia lagi di baliknya"!"
"Betul! Dan hal itu sudah ku atur juga! Kita
tinggal menunggu waktu! Kau diam-diamlah di sini
sambil menunggu saat yang tepat!"
Mendengar ucapan Kiai Lidah Wetan, kini ganti
Lasmini yang perdengarkan suara tawa. "Kau ini bagaimana, Kiai. Tadi kau bilang
aku harus lakukan sesuatu. Sekarang kau mengatakan aku tinggal menung-
gu saja!" "Lasmini.... Sejak kedatanganmu kembali, terus terang saja aku takut kehilangan
dirimu lagi.... Jadi biarlah urusan ini aku yang mengaturnya! Kau tinggal
menunggu waktu yang tepat...."
"Tidak, Kiai.... Bagaimana mungkin aku bisa
berpangku tangan kalau kau menghadapi sesuatu
yang berbahaya" Kerelaan hatimu yang mau menerima
kehadiranku kembali tidak layak kalau harus kubalas dengan berdiam diri
menunggu! Apalagi urusannya
masih berkaitan dengan dendam ku! Aku harus ikut
terlibat! Kau tahu, tanganku sendiri kelak yang harus mencabut nyawa manusia-
manusia yang sakiti hatiku!" "Kesediaanmu kuhargai, Lasmini. Tapi terus terang
saja aku khawatir...."
"Apa yang kau khawatirkan" Aku masih punya
kekuatan! Atau kau takut hubungan kita ini diketahui orang lain"!"
"Aku tidak takut meski seluruh dataran tanah
Jawa tahu hubungan kita! Namun, perlu kau ketahui,
apa yang sedang kulakukan adalah benar-benar raha-
sia! Bahkan orang harus tidak tahu bahwa akulah di
belakang semua ini! Untuk itu sementara ini aku ha-
rus tidak menjadi buah bibir orang!"
"Jadi, kau bermaksud hubungan kita ini dila-
kukan secara sembunyi-sembunyi"!"
"Itu bukan maksud, Lasmini. Ini hanya salah
satu jalan.... Semua orang saat ini mungkin masih ingat akan kejadian di Istana
Hantu. Kalau saat ini kita muncul bersama-sama, sedikit banyak orang akan
menaruh curiga. Dan hal itu akan menghambat renca-
na yang telah ku atur!"
"Hem.... Lalu apa yang harus kulakukan"! Aku
tidak bisa berpangku tangan hanya menunggu!"
"Kalau kau ingin terlibat, itu pun harus secara diam-diam. Dan jangan sampai
hubungan kita ini ter-cium orang lain! Lagi pula kita harus bertindak sangat
hati-hati. Orang yang kita hadapi saat ini bukan tokoh-tokoh sembarangan! Dan
aku yakin tak berapa lama
lagi akan muncul beberapa tokoh yang selama ini tidak terdengar kabar
beritanya!" Kiai Lidah Wetan memandang pada Lasmini.
"Lasmini.... Sebenarnya aku mengharap kau ti-
dak ikut terlibat dalam urusan ini.... Aku takut kita akan berpisah lagi.... Kau
tahu, sejak kehadiranmu, aku ingin putaran hari-hari ini segera berlalu dengan
cepat dan urusan selesai. Setelah itu kita akan hidup bahagia berdua..."
Ucapan Kiai Lidah Wetan seakan merupakan
hujan di waktu kemarau panjang di hati Lasmini. Tan-pa sadar, perempuan ini
menubruk sosok Kiai Lidah
Wetan seraya lingkarkan kedua tangannya. Mungkin
tenggelam dalam perasaan suka dan duka, hingga un-
tuk beberapa lama Lasmini tak kuasa untuk angkat
bicara. Kiai Lidah Wetan mengelus punggung Lasmini.
"Kau tahu, Lasmini.... Aku seakan belum percaya den-
gan semua ini! Dan aku takut semua ini akan berlalu begitu saja....
"Kiai.... Tahu begini besar rasa cinta mu pada-ku, menyesal aku dahulu
meninggalkanmu! Dan seba-
gai tebusan atas penyesalan ini, aku akan lakukan apa saja untukmu, untuk
kebahagiaan kita...."
"Tapi itu butuh pengorbanan, Lasmini...."
"Pengorbanan apa pun akan kulakukan,
Kiai...," bisik Lasmini sambil rebahkan kepala dan eratkan pelukannya. "Tapi itu
kita bicarakan nanti.
Aku sekarang ingin meyakinkanmu bahwa semua ini
benar-benar nyata dan...."
Ucapan Lasmini tidak berlanjut, karena saat itu
Kiai Lidah Wetan telah tarik kedua bahu si perempuan hingga kepalanya menjauh
dari dadanya. Sesaat kedua orang ini saling berpandangan. Saat lain wajah Kiai
Lidah Wetan telah bergerak merapat, dan tidak lama
kemudian keduanya sudah tenggelam dalam ciuman-
ciuman dan pelukan erat.
* * * TUJUH DEWI Seribu Bunga hentikan langkahnya
tatkala telinganya mendengar suara dengkuran. Gadis berwajah cantik ini sejenak
terlihat bimbang. Hingga meski telah hentikan langkah, tapi belum juga kepalanya
bergerak berpaling untuk mengetahui siapa
adanya orang yang tidur mendengkur di siang bolong
itu. Saat itu suasana memang sangat panas. Se-
mentara tempat di mana Dewi Seribu Bunga berada
banyak ditumbuhi kerapatan pohon berdaun rindang,
hingga tempat itu terasa sejuk dan tak heran orang
akan segera terlelap jika istirahat di sekitar tempat itu.
Namun suasana sejuk itu tidak membuat Dewi Seribu
Bunga ingin istirahat apalagi tidur. Dia masih tidak bi-sa melupakan peristiwa
yang dialaminya.
"Orang yang selama ini ku rindukan telah ke-
cewakan hatiku! Lebih baik aku pulang menemui
Guru.... Tapi, apakah hal itu tidak akan menambah
kekalutan hatiku..." Ah...." Tanpa sengaja Dewi Seribu Bunga berpaling ke arah
suara dengkuran.
Sesaat sepasang mata si gadis yang masih tam-
pak agak sembab ini menyipit. Dahinya berkerut. Lalu saat lain sepasang matanya
membesar. Saat bersamaan dia bergerak, dan tahu-tahu sosoknya telah te-
gak dua belas langkah dari orang yang mendengkur tidak jauh dari sebuah pohon
besar. Mendadak sepasang bola mata Dewi Seribu
Bunga mendelik. Sosoknya bergetar keras dengan ke-
dua kaki tegak laksana di pacak!
"Pendekar 131!" desis Dewi Seribu Bunga tatkala matanya mengenali siapa adanya
orang yang tidur
mendengkur. "Apa yang harus kulakukan sekarang"! Mem-
bunuhnya"! Atau membiarkan dia hidup dengan men-
gambil korban-korban lain"!" Dewi Seribu Bunga di-landa kebimbangan karena dia
sama sekali tidak men-
duga. Sementara orang yang perdengarkan suara
dengkuran dan bukan lain memang murid Pendeta
Sinting sesaat tampak menggeliat. Tapi kejap lain sudah diam kembali dengan
dengkuran makin keras.
Dewi Seribu Bunga melangkah maju dengan
sosok makin bergetar. Sepasang matanya memandang
tak berkesip. Gadis ini hentikan gerakan kakinya sejarak lima langkah dari
Pendeta Sinting. Dadanya tam-
pak turun naik.
"Aku menyayanginya.... Tapi kalau dia mau me-
rusak ku apa artinya"! Laki-laki macam dia memang
pantas mampus!" Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya. Tapi begitu kedua
tangannya berada di
atas kepala dan slap lepaskan pukulan, gadis ini kembali di landa kebimbangan.
"Apa dengan mampusnya dia hatiku jadi tenteram"! Apa dengan matinya dia di
tanganku, aku akan merasa puas"! Tapi.... Ah, aku tak bisa melakukannya...! Aku
tak bisa dustai diriku sendiri kalau aku masih mendambakannya!"
Dewi Seribu Bunga gigit bibirnya sendiri. Sete-
lah berlama-lama memandang, entah karena tak kua-
sa menahan diri, Dewi Seribu Bunga turunkan kedua
tangannya lalu balikkan tubuh dan berlari tinggalkan tempat itu dengan mata
menitikkan air mata.
Saat itulah murid Pendeta Sinting buka kelopak
matanya karena lamat-lamat telinganya mendengar
suara isakan tangis. Dan saat dia memandang ke de-
pan, matanya langsung membesar. Dahinya menger-
nyit. Karena saat itu Dewi Seribu Bunga sudah me-
langkah agak jauh, Joko tidak bisa mengenali raut
muka si gadis. Namun ketika teringat akan keterangan Kiai Laras, yang mengatakan
pernah melihat dirinya
dengan seorang gadis berpakaian warna merah dan
rambut dikuncir tinggi, Joko segera bangkit.
"Ciri-ciri yang dikatakan orang tua itu ada pada gadis itu! Sikapnya
mencurigakan...." Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berteriak.
"Hai. Tunggu!"
Mendengar teriakan orang, Dewi Seribu Bunga
bukannya hentikan langkahnya, sebaliknya berkelebat makin cepat.
"Aneh.... Dari gerakan bahu dan suaranya, jelas kalau dia sedang menangis. Apa
yang ditangisi"!" Joko palingkan kepala ke kanan kiri. Dia tidak melihat siapa-
siapa. "Beberapa hari ini aku selalu bertemu dengan orang tua-tua. Kali ini ada
seorang gadis. Tentu lebih asyik dengannya meski belum kuketahui wajahnya!"
Pendekar 131 cepat berkelebat mengejar. Dan tahu kalau dirinya dikejar, Dewi
Seribu Bunga makin percepat larinya. Namun setelah agak lama saling kejar-
kejaran, akhirnya Dewi Seribu Bunga hentikan larinya dengan menggumam sendiri
dalam hati. "Kalau dia hendak lakukan apa yang pernah
diperbuatnya tempo hari, aku tak segan membunuh-
nya!" Dewi Seribu Bunga berhenti dengan kedua tangan diangkat ke atas. Dan saat
merasakan orang su-
dah tegak di belakangnya, dia segera buka mulut


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentak. "Jangan coba-coba mendekat! Dan jangan kira
aku tak tega membunuhmu!"
Joko celingukan memandang ke kanan kiri.
"Dia bicara dengan siapa"!" katanya dalam hati. Lalu dengan bibir sunggingkan
senyum dan seolah tak hiraukan ancaman orang, murid Pendeta Sinting me-
langkah mendekat.
"Jangan bergerak dari tempatmu! Atau kau in-
gin buktikan bahwa aku tega membunuhmu"!"
"Ah.... Kau rupanya suka bercanda...," ujar Jo-ko dengan hentikan langkah.
Dewi Seribu Bunga perdengarkan dengusan ke-
ras. "Siapa bercanda"! Majulah kalau kau ingin bukti-
kan!" "Hai.... Ada apa ini"! Kau mengancamku.... Padahal aku belum...."
"Belum apa"! Belum puas dan hendak lakukan
sekali lagi"! Kau memang pantas dibunuh!" Habis berkata begitu, Dewi Seribu
Bunga balikkan tubuh.
Sepasang mata murid Pendeta Sinting terpen-
tang besar. "Dewi Seribu Bunga...." Joko sunggingkan senyum lebar lalu laksana
terbang dia meloncat.
Tapi Dewi Seribu Bunga sudah hantamkan ke-
dua tangannya. Hingga bukan saja membuat gerakan
murid Pendeta Sinting tertahan, namun dengan pon-
tang-panting dia harus melompat selamatkan diri dari gelombang dahsyat yang
melesat keluar dari hantaman kedua tangan Dewi Seribu Bunga.
"Dewi.... Ini aku, Joko! Joko Sableng!" kata Jo-ko dengan arahkan telunjuk pada
dirinya sendiri.
Dewi Seribu Bunga kancingkan mulut tidak
menyahut. Hanya sepasang matanya yang menyengat
tajam. Sementara di sebarang sana, murid Pendeta
Sinting sudah tersenyum lalu buka mulut sambil me-
langkah hendak mendekat.
"Bagaimana kabarmu, Dewi.... Tidak disangka-
sangka kalau di tempat ini kita bisa berjumpa...."
Dewi Seribu Bunga masih kancingkan mulut.
Kalaupun sesaat kemudian dia angkat bicara, dia
langsung membentak.
"Aku tahu kau Joko Sableng, pemuda murid
Pendeta Sinting bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131! Tapi kalau kau teruskan langkah, aku akan tetap membunuhmu!"
"Dewi.... Ada apa ini"! Apa sebenarnya yang terjadi"! Kau jangan membuat hatiku
deg-degan tak ka-
ruan...! Dan kalau bercanda jangan yang aneh-
aneh...." Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, De-
wi Seribu Bunga tertawa pendek. Seraya menatap din-
gin dia berkata.
"Jangan banyak basa-basi, Pendekar 131! Ka-
takan saja sekarang apa maumu!"
"Nada ucapannya seperti tidak main-main! Ada
apa sebenarnya ini"! Apa aku memang sudah ditakdir-
kan harus menemui yang aneh-aneh selalu"! Kalau
beberapa orang yang lalu aku masih sedikit maklum
meski tetap bingung. Tapi yang ini aku benar-benar
tak bisa mengerti sama sekali! Atau barangkali gadis ini bukan Dewi Seribu
Bunga..."!"
Berpikir sampai ke sana, meski dengan dada
bertanya-tanya, murid Pendeta Sinting enak saja bertanya. "Kau Dewi Seribu
Bunga, bukan"!"
Yang ditanya tidak menjawab. Malah sepasang
matanya makin mendelik, membuat Joko mulai yakin
kalau gadis di hadapannya tidak sedang bercanda.
"Baik! Meski kau bukan Dewi Seribu Bunga,
tapi di hadapanku kau tetap Dewi Seribu Bunga. Sekarang tolong katakan padaku,
apa arti semua ini!"
Merasa Joko bercanda dan seolah tidak menye-
sali apa yang telah dilakukannya, Dewi Seribu Bunga tidak dapat menahan gejolak
amarahnya. Dengan angkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dia membentak garang.
"Aku memberimu waktu untuk segera tinggalkan tempat ini!"
"Dewi! Kau bersungguh-sungguh"!" Murid Pendeta Sinting seakan masih tidak
percaya dengan uca-
pan si gadis. "Kau akan saksikan sendiri kalau tidak segera
angkat kaki!"
"Dewi.... Aku tak mengerti permainan apa yang
sedang kau lakukan"! Sudah beberapa lama kita tidak saling jumpa! Kau tahu....
Selama ini aku selalu ingin bertemu denganmu! Malah seandainya aku tahu di
mana kau berada, aku sudah datang mengunjungi-
mu...." "Jangan teruskan ucapan usang itu, Pendekar 131! Dan jangan mimpi aku
percaya setiap kata yang
kau ucapkan! Jadi bukankah lebih baik kau segera
angkat kaki"!"
"Kau boleh saja tidak percaya pada setiap kata ucapanku! Tapi kau harus tahu,
saat ini aku bicara
sungguh-sungguh!"
"Percuma, Pendekar 131! Tindakanmu telah
membuatku sangat kecewa!"
"Benar-benar ada yang tak beres! Kiai Laras
mengatakan pernah melihatku bersama seorang gadis
cantik berpakaian merah dengan rambut dikuncir
tinggi. Meski aku tak yakin benar, yang dimaksud
orang tua itu pasti gadis ini. Yang aneh, mengapa tiba-tiba gadis ini mengatakan
kecewa dengan tindakanku"!
Apa yang telah kulakukan" Padahal, sejak keluar dari kediaman Eyang Guru, baru
kali ini aku berjumpa
dengannya! Dan aku yakin tak pernah bertindak apa-
apa! Hem...." Dada murid Pendeta Sinting disarati berbagai hal yang membuatnya
seakan hilang akal.
"Dewi...," kata Joko setelah agak lama diam.
"Kau boleh percaya boleh tidak! Sejak dari Jurang Tlatah Perak sampai saat ini,
aku baru sekali ini jumpa dengan seorang gadis! Dan itu kau adanya! Adalah
aneh kalau kau mengatakan sangat kecewa dengan
tindakanku! Apa...."
Belum sampai Pendekar 131 lanjutkan uca-
pannya, Dewi Seribu Bunga telah memotong. "Bicara-lah sepuas hatimu! Tapi jangan
harap aku percaya!"
Ucapan Dewi Seribu Bunga membuat hati mu-
rid Pendeta Sinting agak panas. Dengan suara agak
keras dia akhirnya berkata.
"Baik! Apa pun yang akan kukatakan kau tak
akan percaya! Sekarang katakan apa yang telah kula-
kukan hingga membuatmu kecewa setinggi langit!"
"Hem.... Jadi semudah itukah dia melupakan
perbuatannya"! Apakah dia anggap tindakannya itu
sebagai hal lumrah yang begitu saja mudah lenyap
tanpa bekas"! Benar-benar bajingan laki-laki ini!" Di-am-diam Dewi Seribu Bunga
membatin dengan dada
makin menggelegak.
Melihat Dewi Seribu Bunga tidak segera buka
suara, Joko segera angkat bicara.
"Mengapa kau diam"! Mengapa tidak kau kata-
kan tindakan apa yang telah kulakukan"!"
"Pendekar 131! Mungkin menurutmu tindakan
yang kau lakukan begitu mudah dilupakan! Tapi keta-
huilah! Tindakanmu itu bukan saja membuatku sakit
hati, tapi rasanya aku tega membunuhmu sean-
dainya...." Dewi Seribu Bunga tidak kuasa lanjutkan ucapannya. Sebaliknya
perlahan-lahan kedua tangannya diturunkan dan matanya berkaca-kaca.
Melihat Dewi Seribu Bunga menitikkan air ma-
ta, Joko menghela napas panjang. Perlahan-lahan dia melangkah hendak mendekat.
Tapi tiba-tiba Dewi Seribu Bunga telah membentak dengan suara bergetar dan
serak. "Jangan mendekat, Joko!"
Murid Pendeta Sinting urungkan langkah. "De-
wi! Kau belum mengatakan tindakan apa yang telah ku lakukan!"
"Rasanya aku tak percaya kau masih bertanya!
Belum cukupkah caramu menyakiti ku"! Belum cu-
kup"!" Kali ini Dewi Seribu Bunga tidak dapat menindih perasaannya. Hingga
bahunya tampak bergun-
cang-guncang. "Terus terang, aku selama ini memang merindukan mu! Tapi aku bukan
perempuan yang bisa
seenaknya kau perlakukan menjijikkan! Kau.... Kau telah memadamkan kerinduan
ku....Seandainya aku ta-
hu siapa dirimu dari dulu-dulu, tak mungkin aku
jauh-jauh mencarimu! Kau.... Kau...." Ucapan Dewi Seribu Bunga tenggelam dengan
suara isakan tangisnya.
Panas hati murid Pendeta Sinting perlahan-
lahan mereda begitu mengetahui ungkapan hati Dewi
Seribu Bunga. Setelah isakan tangis si gadis terhenti, Joko segera buka mulut
dengan suara perlahan.
"Dewi.... Kalau saja kau masih percaya dengan
ucapanku...." Joko sengaja hentikan kata-katanya. Dia menunggu sejenak. Ketika
Dewi Seribu Bunga tidak
menyahut, Joko lanjutkan ucapannya. "Rasanya semua yang baru kau katakan adalah
aneh di telinga-
ku.... Aku baru pertama kali ini jumpa denganmu setelah peristiwa Pulau Biru!
Jadi bagaimana mungkin aku melakukan hal menjijikkan padamu"!"
Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya. Matanya
yang basah memandang tajam. "Kau masih saja membual, Joko!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Baik.
Rasanya aku sudah tidak bisa lagi meyakinkan dirimu!
Sekarang harap kau katakan di mana kita pernah
jumpa sebelum ini!"
"Meski aku tahu kau hanya berpura-pura, tapi
agar ingatanmu baik, aku akan jawab pertanyaanmu!
Kau ingat kedai itu"!"
"Selama ini aku banyak mengunjungi kedai ka-
lau sedang lapar! yang kau maksud kedai yang ma-
na"!" "Apa kau masih ingat tentang seorang nenek berdandan mencolok yang
berhasil kau bawa pergi dan kau mendapat imbalan dari pemilik kedai"!"
"Ah.... Yang itu aku ingat!"
"Bagus! Berarti kau tahu bagaimana kelanju-
tannya!" "Kelanjutannya" Kelanjutannya apa"!"
Meski dengan dada makin menggelegak, akhir-
nya Dewi Seribu Bunga menjawab juga. "Kau berhasil membawa pergi nenek itu! Lalu
kau kembali ke kedai
untuk mengambil imbalan yang dijanjikan pemilik ke-
dai. Lalu kita bertemu. Dan kau mengajakku pergi dari kedai. Kau sengaja
mengajakku ke tempat yang sepi.
Kau rupanya memanfaatkan ku yang selama ini men-
carimu.... Dan kau lakukan perbuatan terkutuk itu!"
"Perbuatan terkutuk apa"!" tanya Joko meski dadanya sudah ingin meledak.
"Hem.... Jadi perbuatanmu yang ingin memper-
kosa ku bukan kau anggap perbuatan terkutuk"! itu
kau anggap tindakan lumrah"!"
Mendadak murid Pendeta Sinting tertawa gelak-
gelak. Dewi Seribu Bunga pandangi Joko dengan ge-
ram. Namun gadis ini merasa heran dengan dirinya
sendiri. Sekuat tenaga dia coba tanamkan kebencian, tapi tak juga berhasil. Dia
sudah tegarkan hati untuk turunkan tangan maut, namun kedua tangannya tidak
juga kuasa dia gerakkan!
"Dewi...," ujar Joko setelah suara gelakan tawanya lenyap. "Sekarang aku yang
menyangsikan mu!
Jangan-jangan kau sedang mencari gara-gara!"
"Tutup mulutmu, Pendekar 131!"
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Sekarang
saatnya aku buka mulut agar kau tahu bahwa tidak
ada gunanya semua kekonyolan yang sedang kau la-
kukan ini! Aku memang ke kedai itu dan jumpa den-
gan nenek berdandan seronok. Ucapanmu juga benar
yang mengatakan, aku lantas pergi dengan nenek itu.
Tapi keterangan setelah itu adalah salah! Aku tidak pernah kembali ke kedai itu,
apalagi mengambil imbalan yang memang dijanjikan pemilik kedai! Jadi bagaimana
mungkin aku mengatakan kita bertemu"!
Anehnya lagi, bagaimana mungkin aku akan memper-
kosa mu kalau aku tidak pernah jumpa apalagi pergi bersamamu"!"
Dewi Seribu Bunga tegak dengan tubuh berge-
tar. Gadis ini tampak buka mulut akan bicara. Na-
mun Joko seakan tidak memberi kesempatan. Belum
sampai ucapan Dewi Seribu Bunga terdengar, Joko te-
lah berkata lagi.
"Aku memang berniat balik lagi ke kedai. Tapi
nenek itu bersikeras ikut, hingga aku urungkan niat untuk balik. Setelah aku
berpisah dengan nenek itu, aku sempat jumpa dengan seorang kakek yang katanya
melihat ku bersama dengan seorang gadis berba-ju merah di kedai! Aku sekarang
merasa yakin kalau
yang dimaksud kakek itu adalah dirimu! Yang seka-
rang jadi pertanyaan, mengapa kau mengambil orang
yang mirip denganku lalu menuduhku yang bukan-
bukan"! Apa maksud di balik tindakanmu ini"! Kau
disuruh orang..."!"
"Hem.... Kau enak saja balik menuduh setelah
kau gagal melakukan perbuatan terkutuk itu! Apa kau kira ini bisa mengembalikan
kepercayaan ku padamu"!" "Aku tak memaksamu untuk percaya kembali
padaku! Tidak ada gunanya semua itu kalau kau
punya niat yang tidak baik padaku"!"
Dada Dewi Seribu Bunga laksana dipanggang
bara. Dengan suara keras setengah menjerit dia berka-ta.
"Kau pintar memutar balik urusan!"
"Kau yang bikin urusan, bukan aku! Saat ini
aku banyak mendapat tuduhan macam-macam yang
tak ku mengerti sama sekali duduk masalahnya! Kini kau tahu-tahu juga menuduhku!
Jika dihubung-hubungkan, aku merasa ada kaitannya antara tudu-
hanmu dengan orang-orang yang selama ini juga me-
nuduhku! Dewi! Katakan siapa orangnya di balik se-
mua ini?" "Kau ternyata bukan pandai memutar balik
urusan saja! Tapi kau juga pandai menuduh untuk
menutup kelakuan mu!" teriak Dewi Seribu Bunga.
Seakan tak sabar lagi, belum sampai ucapannya sele-
sai, kedua tangannya sudah bergerak lepaskan puku-
lan! Wuutt! Wuutt!
Dua gelombang angin dahsyat menggebrak ga-
nas ke arah murid Pendeta Sinting. Pendekar 131 tak tinggal diam, apalagi
tatkala yakin bahwa tuduhan
Dewi Seribu Bunga hanyalah akal-akalan saja. Maka
begitu Dewi Seribu Bunga lepaskan pukulan, Joko
angkat kedua tangannya lain didorong ke depan.
Blamm! Blamm! Dua ledakan keras segera saja terdengar tatkala


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin pukulan Dewi Seribu Bunga bentrok dengan pu-
kulan jarak jauh yang dilepas murid Pendeta Sinting.
Sosok Dewi Seribu Bunga tampak tersurut satu
langkah dengan kedua tangan bergetar keras. Di seberang depan, Joko tampak kibas-kibaskan kedua tan-
gannya. Walau kakinya tidak bergeming, namun ben-
troknya pukulan tadi mau tak mau membuat kedua
tangannya kesemutan.
Mendapati Joko tidak main-main, Dewi Seribu
Bunga cepat kerahkan tenaga dalam siapkan pukulan
'Api Seribu Bunga'. Di lain pihak, menduga bahwa si gadis hendak lepaskan
pukulan andalannya, Joko cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya
siapkan pukulan 'Lembur Kuning'. Kedua orang ini rupanya sudah sama-sama kalap
dan tak bisa menahan
diri. Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya. Di seberang, murid Pendeta
Sinting tarik kedua tangannya ke belakang. Mata masing-masing sama meman-
dang tajam. Kejap lain hampir bersamaan, keduanya
gerakkan tangan lepaskan pukulan.
"Brusss! Brusss! Brusss! Brusss!"
Terdengar suara orang bersin beberapa kali. La-
lu terdengar suara.
"Heran.... Heran.... Apakah kalian pikir tindakan kalian ini dapat selesaikan
urusan yang menghe-
rankan ini"! Bruss! Brusss!"
* * * DELAPAN PENDEKAR 131 terkesiap. Dia sudah dapat
menduga siapa adanya orang yang baru saja bersin
dan perdengarkan suara. Dia sudah hendak urungkan
niat untuk lepaskan pukulan. Tapi begitu melihat Dewi Seribu Bunga tidak acuhkan
suara bersinan dan suara orang dan tetap gerakkan kedua tangan lepaskan pu-
kulan, Joko buru-buru dorong kedua tangannya.
Tempat itu seketika di semaraki pijaran-pijaran
api yang melesat dari kedua tangan Dewi Seribu Bun-
ga, pertanda kalau gadis ini telah lepas pukulan 'Api Seribu Bunga'. Sementara
dari seberang, tampak sinar kuning disertai gelombang dahsyat yang membawa serta
hawa panas luar biasa.
Bersamaan dengan melesatnya pukulan dari
kedua tangan Dewi Seribu Bunga dan Joko Sableng,
tiba-tiba terdengar suara bersinan beruntun tak pu-
tus-putus. Anehnya bersamaan dengan terdengarnya sua-
ra bersinan, melesat angin luar biasa dahsyat dari delapan penjuru mata angin!
Hebatnya gelombang angin
itu saling pantul memantul ke delapan penjuru arah
tak henti-hentinya.
Sinar kuning pukulan sakti 'Lembur Kuning'
serta pijaran-pijaran api pukulan 'Api Seribu Bunga'
tersapu gelombang angin yang datang pantul meman-
tul. Hingga bukan saja kedua pukulan sakti ini tidak saling bentrok melainkan
kini terus melesat melayang-layang dari satu sudut ke sudut lain ke delapan
penjuru arah di udara!
Baik Pendekar 131 maupun Dewi Seribu Bunga
tampak tersentak-sentak ketika pukulannya meman-
tul-mantul. Murid Pendeta Sinting yang telah tahu siapa
adanya orang usil yang ikut campur cepat kerahkan
tenaga dalam lagi. Tapi belum sampai dia sempat bergerak, terdengar suara
ledakan hebat. Sinar kuning
ambyar ke udara. Suara ledakan belum sirap, terden-
gar suara letupan beberapa kali. Pijaran-pijaran api yang sesaat tadi melayang-
layang dari satu arah ke
arah lain tiba-tiba redup! Saat lain, gelombang angin
yang datang dari delapan penjuru arah melesat tinggi ke udara. Di atas sana,
delapan gelombang angin me-nyatu lalu membubung tinggi dan lenyap!
Sosok murid Pendeta Sinting tergontai-gontai
ke belakang dengan paras berubah pucat pasi. Joko
rasakan dadanya laksana dihantam kekuatan berkali-
kali hingga nafasnya sesak dan aliran darahnya laksa-na terbalik-balik. Kalau
saja dia tidak cepat kerahkan tenaga dan hawa murni, niscaya sosoknya akan ter-
jengkang roboh!
Di seberang depan, sosok Dewi Seribu Bunga
terseret sampai satu tombak sebelum akhirnya terka-
par dengan tubuh bergetar keras. Kedua tangannya
tampak lunglai ke tanah. Sepasang matanya terpejam rapat. Mukanya putih laksana
tidak dialiri darah.
Meski dari mulutnya tidak kucurkan darah, jelas kalau gadis ini terluka dalam
walau tidak seberapa parah.
Dewi Seribu Bunga lipat gandakan tenaga. Lalu
dengan tegarkan hati, perlahan-lahan dia bergerak
bangkit. Memandang ke depan, terlihat murid Pendeta Sinting gerakkan kepala ke
samping kanan. Dewi Seribu Bunga ikut arahkan pandangannya ke kanan.
Satu sosok tubuh tampak melangkah perlahan-
lahan dengan tongkat kayu dl tangan kanan. Dia ada-
lah seorang kakek mengenakan pakaian lusuh warna
putih kusam. Kepalanya berambut tipis putih. Sepa-
sang matanya sipit. Hidung bagian depannya tampak
mengembung besar. Seraya melangkah, kepala kakek
ini tampak bergerak pulang balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis.
Siapa pun yang melihat sudah dapat menduga kalau gerakan kepala dan paras wajah
si kakek menunjukkan kalau dia hendak bersin!
"Siapa kakek itu..."!" gumam Dewi Seribu Bunga. "Mengapa dia...."
"Bruss! Bruss! Brusss!"
Si kakek yang baru muncul dan bukan lain
adalah Datuk Wahing bersin beberapa kali membuat
gumaman Dewi Seribu Bunga terputus. Di lain pihak,
Joko terpaksa pula urungkan niat yang hendak buka
suara tatkala mendengar si kakek telah perdengarkan bersinan.
"Kek!" kata murid Pendeta Sinting dengan suara agak keras begitu suara bersinan
sirna. "Harap kau tidak ikut-ikutan urusan ini! Lebih dari itu, kuharap kau
lekas tinggalkan tempat ini!"
Datuk Wahing seolah tidak hiraukan ucapan
orang. Enak saja dia duduk berlutut dengan tangan
kanan memegang tongkat, sementara tangan kiri dile-
takkan di atas pahanya. Kepalanya terus bergerak pulang balik ke depan ke
belakang dengan wajah merin-
gis seakan hendak bersin.
"Kek! Aku telah memperingatkanmu! Harap se-
gera pergi!" kata Joko setelah ditunggu agak lama ternyata Datuk Wahing tidak
perdengarkan bersinan.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. La-
lu berpaling. Bukan ke arah murid Pendeta Sinting,
melainkan menghadap Dewi Seribu Bunga. Sepasang
matanya dibeliakkan. Bibirnya sunggingkan senyum.
Dewi Seribu Bunga hanya memandang sekilas.
Lalu alihkan pandangannya. Datuk Wahing gerakkan
kepala. Kini berpaling menghadap murid Pendeta Sinting. Kembali sepasang matanya
dipentang. Lalu bibirnya sunggingkan senyum. Joko balas menatap dengan
pandangan dingin dan acuh. Tapi diam-diam Joko
mengakui bahwa kakek yang sempat ditemuinya itu
benar-benar memiliki ilmu langka.
Karena yang dipandang tidak acuh, kembali
Datuk Wahing berpaling ke arah Dewi Seribu Bunga.
Saat yang sama, kebetulan si gadis tengah memandang ke arah si kakek. Hingga
keduanya sesaat saling berpandangan meski buru-buru Dewi Seribu Bunga alih-
kan pandangannya lagi.
Melihat tingkah Datuk Wahing, rupanya murid
Pendeta Sinting tidak sabar. Dia kembali angkat bica-ra. "Kek! Di antara kita
tidak ada silang permusuhan!
Harap kau tidak membuka sengketa dengan ikut cam-
pur urusan ini!"
"Mengherankan sekali kalau kau menuduhku
ikut campur urusanmu! Urusanmu yang mana yang
ku campuri, Anak Muda"!"
"Bukankah kau tadi sengaja pamer kekuatan
dengan memporak-porandakan pukulanku"! Silakan
kau pamer kekuatan, tapi bukan di sini tempatnya!"
"Mengherankan. Dua kali kau membuat tudu-
han padaku, Anak Muda! Apa masih ada tuduhan la-
gi"!" "Aku memang perlu bicara denganmu! Tapi bukan sekarang saatnya!"
"Aku akan sabar menunggu, meski aku heran
gerangan apa yang akan kau bicarakan! Karena menu-
rut ku, tak satu pun ada yang perlu dibicarakan di antara kita!"
Karena merasa tak ada gunanya lagi melayani
Datuk Wahing, akhirnya Joko palingkan kepala ke
arah Dewi Seribu Bunga sambil berucap.
"Tunggulah! Aku akan selesaikan urusan den-
gan gadis itu! Tapi jangan coba-coba ikut campur dengan pamer kekuatan!"
Datuk Wahing tertawa. "Dari tadi kau mengata-
kan aku pamer kekuatan. Aku jadi bertanya-tanya dan heran. Kekuatan mana yang ku
pamerkan"! Orang tua
macam aku begini akan mengherankan orang kalau
berani pamer kekuatan di depan orang gagah seperti-
mu, Anak Muda. Orang kadangkala memang sering ja-
di salah sangka pada orang lain saat dirinya dalam
keadaan marah. Tapi adalah mengherankan kalau
orang muda sepertimu harus dikuasai hawa amarah
dan tak bisa mengendalikannya!"
Ucapan Datuk Wahing membuat murid Pendeta
Sinting palingkan kepala lagi pada si kakek. Lalu berkata. "Bagaimana orang
tidak akan marah, kalau tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba dia menuduh-ku
Sumpah Palapa 6 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Perjodohan Busur Kumala 21
^