Pencarian

Geger Topeng Sang Pendekar 1

Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit
Di bawah lindungan undang-undang
Joko Sableng telah Terdaftar pada
Dept. Kehakiman R.I. Direktorat Jenderal Hak
Cipta, Paten dan
Merek dibawah nomor 012875
SATU SEPASANG mata Ni Luh Padmi mementang liar
menatap tajam pada raut wajah di antara ranggasan
semak belukar. Raut wajah itu adalah seorang laki-laki berusia lanjut yang telah
dihiasi keriputan. Sepasang matanya agak besar. Kumis dan jenggotnya lebat
berwarna putih.
Bibir raut wajah yang berada di antara rangga-
san samak belukar bergerak tersenyum. Sepasang ma-
tanya balas memandang ke arah Ni Luh Padmi. Namun
mulutnya belum membuka perdengarkan suara.
"Siapa kau"!" Untuk kedua kalinya Ni Luh
Padmi keluarkan bentakan keras. Malah kini si nenek telah maju dua tindak.
Seperti yang dituturkan dalam episode: "Kem-
bang Darah Setan", Ni Luh Padmi sempat jumpa dengan Joko setelah berbincang
dengan Dewi Seribu Bun-
ga. Dari mulut si pemuda, Ni Luh Padmi memperoleh
keterangan kalau Pendeta Sinting kemungkinan besar
berada di sebuah goa di samping Bukit Kalingga, tempat tinggal seorang perempuan
yang disebut-sebut se-
bagai Nyai Tandak Kembang.
Ni Luh Padmi yang memendam dendam pada
Pendeta Sinting tidak menunggu lama. Saat itu juga
dia lakukan perjalanan menuju Bukit Kalingga yang
ditunjukkan si pemuda. Namun begitu sampai pada
tempat yang diduganya sebagai Bukit Kalingga, si nenek di kejutkan dengan satu
suara sebelum dirinya
memasuki goa. Si nenek terkejut besar. Karena yang
kini tampak di hadapannya adalah raut wajah seorang laki-laki. Padahal menurut
keterangan si pemuda,
tempat yang di tunjukkan ini dihuni seorang perem-
puan bernama Nyai Tandak Kembang.
Karena Ni Luh Padmi yakin belum mengenal
siapa adanya wajah laki-laki di antara ranggasan semak belukar, si nenek
langsung membentak.
Yang dibentak malah sunggingkan senyum. La-
lu arahkan pandangannya ke jurusan lain. Dan seolah tidak pedulikan kehadiran
orang di hadapannya serta tidak dengarkan bentakan orang, laki-laki di antara
ranggasan semak belukar gerakkan kepala. Lalu perlahan-lahan orang ini yang
ternyata duduk bersila di antara ranggasan semak belukar bergerak bangkit. Ke-
dua tangannya dikebut-kebutkan pada pakaian yang
dikenakan lalu melangkah keluar dari ranggasan se-
mak. Merasa kehadirannya tidak dipandang orang, Ni Luh Padmi maju satu tindak
dan tegak menghadang.
Tanpa memandang pada tampang orang di hadapan-
nya, si nenek kembali perdengarkan bentakan.
"Aku tanya sekali lagi! Siapa kau"!"
Si laki-laki menyeringai. "Kau adalah tamu di
tempat ini! Kau yang harus perkenalkan diri!"
"Hem.... Jadi kau penghuni tempat ini"!" tanya Ni Luh Padmi. Sepasang matanya
kini perhatikan
orang dari atas hingga bawah.
"Kau orang yang tersesat jalan atau memang
hendak ke tempat ini"!" Yang ditanya balik ajukan tanya. Ni Luh Padmi coba
menekan rasa geram yang
mulai melanda dadanya. Dl satu pihak dia sudah me-
rasa diberi keterangan dusta oleh pemuda murid Pen-
deta Sinting, di pihak lain dia merasa disambut dengan sebelah mata!
"Siapa pun adanya manusia laki-laki itu, dia
pasti bukan orang sembarangan! Jelas-jelas tadi dia tidak ada di tempat ini!
Tapi tiba-tiba dia nongol begitu saja! Sudah telanjur sampai di sini, apa boleh
buat...!" Membatin Ni Luh Padmi, lalu berkata.
"Aku tidak tersesat jalan! Aku memang sengaja
datang ke tempat ini!"
"Kalau begitu, harap kau perkenalkan diri!" sahut si kakek. Kali ini sepasang
matanya memandang
pada Ni Luh Padmi.
"Aku Ni Luh Padmi!"
"Kalau kau tidak tersesat jalan, pasti kau
punya tujuan!" Si kakek kembali menyahut.
"Aku mencari Nyai Tandak Kembang!" jawab si nenek dengan suara keras.
"Tujuan mencari"!" tanya si kakek membuat Ni Luh Padmi mendelik.
"Itu urusanku! Sekarang kau telah tahu siapa
aku, giliranmu kini sebutkan diri!"
"Aku penghuni tempat ini!"
Sepasang mata Ni Luh Padmi makin membela-
lak. "Aku ingin dengar kau sebutkan diri! Persetan kau penghuni tempat ini atau
bukan!" hardik si nenek.
Mendengar hardikan orang, si kakek bukannya
berang, sebaliknya sunggingkan senyum lalu berkata.
Suaranya pun kini direndahkan.
"Aku Kiai Laras...!"
"Aku tanya. Apa kau benar-benar penghuni goa
ini"!" kata Ni Luh Padmi.
"Nek! Kau tadi telah dengar keteranganku.
Mengapa bertanya lagi"!" ujar si kakek yang bukan lain ternyata Kiai Laras.
Ni Luh Padmi mendongak. Dari mulutnya ter-
dengar gumaman tidak jelas. Namun air mukanya
membayangkan kemarahan yang ditahan. Diam-diam
si nenek membatin. "Jangan-jangan aku datang ke tempat yang salah...."
"Kiai Laras!" kata Ni Luh Padmi setelah agak lama terdiam. "Di mana Bukit
Kalingga"!"
"Dari pertanyaanmu, kuduga kau bukan orang
daerah sekitar sini! Bahkan mungkin kau datang dari jauh...," kata Kiai Laras.
"Aku datang dari seberang pulau! Aku mencari
Bukit Kalingga!"
Kiai Laras gerakkan kepala mengangguk. "Nek!
Tempat di mana kau kini berada adalah Bukit Kaling-
ga!" "Hem.... Berarti aku sudah datang ke tempat
yang benar. Tapi mengapa penghuninya adalah dia"
Bukan Nyai Tandak Kembang..."! Atau.... Aku harus
menyelidik ke dalam. Siapa tahu laki-laki ini hanya sebagai penjaga!"
Memikir sampai di situ tanpa berkata apa-apa
lagi, Ni Luh Padmi cepat putar tubuh lalu sekali bergerak sosoknya telah melesat
dan lenyap masuk ke da-
lam goa. Kiai Laras hanya memandang dengan bibir
sunggingkan senyum. Kakek ini tidak berkata apa-apa, bahkan tidak bergerak dari
tempatnya. Sementara begitu memasuki goa, Ni Luh Padmi
segera tegak dengan mata mengedar ke seantero ruan-
gan goa. Goa itu tidak begitu besar. Di sebelah pojok tampak onggokan kayu hitam
bekas perapian. Tidak
ada celah atau tonjolan batu-batu. Sekeliling ruangan goa itu hanya merupakan
dinding lurus dari batu padas berwarna coklat yang disamaki lumut.
"Anak sinting itu akan menyesal! Dia telah me-
nipuku mentah-mentah!" desis Ni Luh Padmi. Lalu balikkan tubuh dan berkelebat
keluar. Namun gerakan si nenek tertahan tatkala tiba-
tiba di mulut goa Kiai Laras tahu-tahu telah tegak seraya berkata pelan.
"Nek.... ini tempatku! Kalau kau perlu apa-apa, harap katakan! Aku akan menjawab
dengan senang hati!" Ni Luh Padmi sejurus tatapi sekujur tubuh Kiai Laras seolah baru saja
berjumpa. Lalu angkat bicara.
"Kau kenal dengan seorang perempuan berna-
ma Nyai Tandak Kembang"!"
"Heh.... Dari pertanyaan mu, aku dapat men-
duga. Pertama. Kau bukan mencari Nyai Tandak Kem-
bang. Kedua. Yang kau cari sebenarnya adalah Pende-
ta Sinting!"
Ni Luh Padmi sesaat tampak terkesiap. Namun
diam-diam dia merasa lega. Setidaknya dia akan dapat keterangan dari orang di
hadapannya. Karena apa
yang menjadi dugaan orang benar adanya. Hanya si
nenek masih sedikit merasa curiga. Bagaimana orang
bisa menduga dengan tepat apa tujuan sebenarnya.
Tapi karena sudah tidak sabaran, Ni Luh Padmi te-
piskan perasaan curiga. Dia segera buka mulut.
"Rupanya kau pandai menduga. Tapi perlu kau
ketahui, aku mencari keduanya!"
"Ucapanku tadi belum selesai, Nek!" ujar Kiai
Laras. "Dua dugaan telah ku sebut. Dugaan lainnya, urusanmu pasti urusan asmara!
Dan kau ingin membunuh Pendeta Sinting!"
Ni Luh Padmi tergagu diam. Paras wajahnya
seketika berubah tatkala mendapati orang telah tahu apa urusannya. Dan merasa
orang sudah tahu, si nenek langsung saja bertanya.
"Di mana si jahanam Pendeta Sinting dan gen-
daknya si Nyai Tandak Kembang"!"
Kiai Laras sunggingkan senyum lalu tengadah.
"Nek! Imbalan apa kelak akan kau berikan padaku kalau aku tunjukkan di mana
beradanya orang yang kau
cari"!" Mendengar pertanyaan Kiai Laras, Ni Luh Padmi tertawa panjang. "Menyesal
sekali.... Aku datang hanya membawa ini!" Si nenek angkat kedua tangannya yang
mengepal. "Dan tangan ini pula yang akan kau rasakan kalau kau tak mau katakan
di mana dua pasangan keparat itu berada!"
Kiai Laras tersentak. Namun laki-laki ini buru-
buru tutupi rasa kagetnya dengan senyum. Di lain pihak, melihat perubahan pada
sikap orang, Ni Luh
Padmi makin garang. Dia segera melompat dan tegak
lima langkah di hadapan Kiai Laras yang masih berdiri di mulut goa. Lalu
membentak. "Sekarang kau harus katakan di mana pasan-
gan itu!" Kepala Kiai Laras bergerak perlahan dengan
mata melirik ke samping kiri kanan. "Aku tak bisa mengatakan padamu, Nek!"
"Hem.... Orang ini seolah ketakutan. Dari uca-
pannya tadi, jelas kalau dia tahu di mana pasangan
jahanam itu berada!" Diam-diam Ni Luh Padmi mem-
baca sikap Kiai Laras. Bibirnya tersenyum menyerin-
gai. Lalu berujar.
"Kalau kau tidak mau katakan, berarti kau in-
ginkan ini!"
Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi melesat ke
depan. Kedua tangannya serta-merta berkelebat laku-
kan pukulan ke arah kepala Kiai Laras.
Kiai Laras tidak tinggal diam. Dia cepat pula
angkat kedua tangannya dipalangkan dl atas kepala
menghadang pukulan.
Bukkk! Bukkk! Ni Luh Padmi hanya sempat bergoyang-goyang.
Di lain pihak, sosok Kiai Laras langsung tersurut empat langkah hingga tubuhnya
berada di luar goa. Paras wajahnya berubah pucat. Malah kedua tangannya
yang baru saja bentrok dengan kedua tangan si nenek tampak bergetar keras. Malah
kalau saja dia tidak cepat kuasai diri, niscaya lututnya akan tertekuk dan
sosoknya roboh!
Melihat apa yang baru saja terjadi, Ni Luh
Padmi tidak menunggu lama. Belum sampai Kiai Laras
kuasai diri sepenuhnya, dia sudah menerjang dengan
sapukan kaki kanan. Sementara bersamaan itu tangan
kiri kanannya berkelebat menghantam.
Kiai Laras melengak. Cepat sekali dia segera
angkat kaki kanannya untuk menyambut tendangan
kaki kanan si nenek. Namun laki-laki ini tertipu. Setengah depa lagi kaki kanan
keduanya bentrok, tiba-
tiba si nenek tarik pulang kaki kanannya. Sebaliknya langsung hantamkan tangan
kiri ke arah kaki kanan
Kiai Laras yang telah terangkat.
Mungkin sudah tak ada kesempatan lagi tarik
pulang kaki kanannya, Kiai Laras teruskan tendan-
gannya. Desss! Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya berpu-
tar. Namun sebelum sampai setengah lingkaran, tan-
gan kanan Ni Luh Padmi sudah menggebrak dengan
telapak terbuka ke arah pipi. Plaakk!
Sosok Kiai Laras kembali terputar balik arah.
Bersamaan itu kepalanya tersentak kena tamparan
tangan Ni Luh Padmi. Saat lain sosok Kiai Laras ter-huyung sebelum akhirnya
jatuh di atas tanah dengan
mulut keluarkan darah.
Ni Luh Padmi melompat dan tegak satu langkah
di samping sosok Kiai Laras dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Kau telah tahu imbalan apa yang akan kau te-
rima! Kau masih inginkan imbalan itu"!" Ni Luh Padmi angkat kedua tangannya dari
pinggang. Takut-takut, Kiai Laras memandang pada sosok
Ni Luh Padmi. Dan orang ini buru-buru buka suara
tatkala matanya menangkap gerakan pada kedua tan-
gan si nenek. "Baik... Aku akan katakan di mana orang yang
kau cari...."
"Bagus!" ujar Ni Luh Padmi. Tubuhnya sedikit membungkuk. Enak saja dijambaknya
rambut Kiai Laras lalu ditariknya ke atas. Hingga sosok si kakek terangkat
berdiri. "Aku tak mau ditipu orang! Aku tidak butuh
ucapanmu! Kau sendiri yang harus tunjukkan tempat
itu!" "Baik.... Baik...! Tapi lepaskan dulu tanganmu!"
kata Kiai Laras dengan suara bergetar dan tersendat.
"Jangan banyak mulut meminta! Ayo jalan! Di
mana tempat pasangan itu!" hardik Ni Luh Padmi tanpa lepaskan jambakan pada
rambut orang. "Mereka ada di dalam goa...."
"Jahanam! Aku tak butuh keterangan ucapan-
mu! Kau harus jalan tunjukkan tempatnya!" sentak Ni Luh Padmi sambil melangkah
dengan tangan menjambak rambut orang.
Kiai Laras mau tak mau tersaruk-saruk mengi-
kuti langkah si nenek yang melangkah ke arah goa.
Kedua tangannya tampak menggapai-gapai seolah
hendak lepaskan diri. Namun Ni Luh Padmi tampak
gerak-gerakkan tangannya yang menjambak ke bawah
ke atas, hingga gapaian kedua tangan Kiai Laras selalu luput. Begitu enam
langkah memasuki ruangan goa,


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ni Luh Padmi sentakkan tangannya. Sosok Kiai Laras
tersuruk ke depan. Namun sejengkal lagi sosoknya
menghantam lantai goa, kaki si nenek bergerak meng-
hadang. Wuuttt! Desss! Kaki Ni Luh Padmi yang berada di bawah sosok
Kiai Laras bergerak terangkat ke atas. Tubuh Kiai Laras kembali tersentak ke
atas. Dan sebelum limbung, tangan kiri si nenek sudah menahan dengan mencekal
bahunya. "Jangan coba menipu! Lekas tunjukkan di ma-
na tempatnya!"
Kiai Laras angkat tangan kanannya menunjuk
pada satu arah tepat di belakang onggokan kayu bekas perapian.
Ni Luh Padmi pentang mata memandang ke
arah yang ditunjuk Kiai Laras. Namun di sana dia tidak melihat siapa-siapa.
Belum sampai si nenek ber-
tanya, Kiai Laras telah buka mulut.
"Singkirkan perapian itu.... Kau akan menemu-
kan tonjolan batu. Tekan tonjolan batu itu...."
Ni Luh Padmi kini arahkan pandangannya pada
onggokan kayu bekas perapian. Namun karena tertu-
tup kayu, dia tidak bisa melihat apakah benar di bawahnya ada tonjolan batu
seperti ucapan Kiai Laras.
"Kau yang harus lakukan!" Tiba-tiba Ni Luh Padmi membentak. Tangannya yang
memegang bahu orang bergerak. Sementara kakinya melangkah. Sosok
Kiai Laras terseret ke depan.
Ni Luh Padmi hentikan langkah di dekat kayu
bekas perapian. "Lakukan!" bentaknya seraya lepaskan cekalan pada bahu Kiai
Laras. Kiai Laras melirik pada si nenek. Lalu perlahan-
lahan kakinya bergerak sibakkan kayu perapian. Dan
kejap kemudian, Ni Luh Padmi melihat satu tonjolan
batu berwarna hitam.
"Tekan tonjolan batu itu!" perintah si nenek.
Kiai Laras tampak terkejut. Dia berpaling. Na-
mun sebelum sempat matanya melihat wajah si nenek,
Ni Luh Padmi sudah perdengarkan bentakan lagi.
"Jangan buang-buang waktu!" Sambil membentak tangan si nenek berkelebat. Namun
kali ini Kiai Laras cepat menghindar dengan bungkukkan tubuh.
Tangan kanannya segera menekan batu hitam di seki-
tar perapian. * * * DUA TERDENGAR suara batu bergeser. Saat bersa-
maan ruangan goa bergetar hebat. Ni Luh Padmi cepat
mundur sambil kedua tangannya waspada. Sepasang
matanya memperhatikan gerak-gerik Kiai Laras dengan seksama.
Getaran di ruangan goa terhenti. Namun kare-
na belum melihat apa-apa, si nenek sudah buka mulut Tapi sebelum suaranya
terdengar, mendadak pojok
ruangan goa tidak jauh dari perapian bergerak-gerak.
Saat lain dinding pojok ruangan goa laksana membe-
lah. Dinding samping kiri kanannya bergeser. Dan
tampaklah sebuah lobang menyerupai pintu! Di bela-
kang pintu terlihat batu padas yang membentuk tang-
ga ke atas. "Nek.... Kau tunggu apa lagi"! Orang yang kau
cari berada di sana...." Berkata Kiai Laras sambil melangkah mundur. "Aku tak
bisa mengantarmu! Karena dengan terbukanya pintu rahasia ini, nyawaku tidak
mungkin diampuni.... Harap kau mengerti, Nek! Aku
harus segera pergi jauh-jauh dari sini...."
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh
dan perlahan-lahan melangkah hendak tinggalkan
tempat itu. Namun langkah si kakek tertahan, tatkala tiba-tiba Ni Luh Padmi
telah menyambar lengannya
dan menyeretnya ke arah pintu yang terbuka.
"Jangan kau kira dapat menjerumuskan aku!
Kau harus ikut!" teriak Ni Luh Padmi sambil melangkah menyeret sosok Kiai Laras.
Ni Luh Padmi tampak sedikit terkejut tatkala
merasakan hawa dingin saat memasuki pintu pojok
ruangan goa. Si nenek kerahkan tenaga dalam untuk
tutup penciumannya. Lalu dengan mata liar dan te-
ruskan langkah dan perlahan-lahan naiki tangga di balik pintu dengan tangan
terus menyeret sosok Kiai Laras yang tergontai-gontai.
"Nek.... Harap kau mengerti.... Aku.... Aku...."
Ni Luh Padmi hentikan langkah pada undakan
ketiga. Matanya memandang angker pada Kiai Laras.
"Kalau kau merengek lagi, mulutmu akan kuhancurkan!" Kiai Laras kancingkan
mulut. Melirik sekilas pada si nenek, lalu anggukkan kepala sambil tertatih-
tatih naiki tangga.
Undakan tangga itu sampai tiga belas. Pada
undakan ketiga belas, tampaklah sebuah pelataran se-panjang satu setengah
tombak. Pelataran ini memben-
tuk lingkaran berkeliling. Pada tengah lingkaran terlihat sebuah lobang menganga
besar kira-kira empat
puluh tombak berkeliling dengan kedalaman dua pu-
luh lima tombak. Dari bagian bawah lobang besar ini tampak cahaya terang.
Ni Luh Padmi sesaat perhatikan berkeliling.
Namun sampai saat ini dia belum melihat adanya
orang. "Hem.... Tidak disangka kalau di dalam ruangan goa, ada ruang rahasia
yang begini besar. Tapi aku belum melihat adanya gerakan orang...."
Ni Luh Padmi coba melangkah ingin melihat lo-
bang menganga yang kini berada di hadapannya. Na-
mun si nenek segera urungkan niat. Dia melirik pada Kiai Laras yang tegak di
sampingnya dengan tubuh
bergetar dan mata memandang ke lobang besar.
Tanpa melihat pada si nenek, Kiai Laras berujar
pelan. "Nek.... Mereka berdua ada di bawah sana!
Pendeta Sinting sedang dirawat oleh Nyai Tandak
Kembang...."
"Hem.... Berarti ucapan orang ini benar! Mung-
kin dia masih terluka akibat gebukanku beberapa wak-tu yang lalu...!" membatin
Ni Luh Padmi. Namun orang ini tidak mau bertindak ayal. Dia kembali sambar len-
gan Kiai Laras dan diseretnya ke bibir lobang besar.
Kiai Laras coba meronta. Namun percuma. Se-
retan si nenek lebih kuat hingga mau tak mau sosok-
nya tertarik ke depan mendekati bibir lobang yang
membentuk lingkaran.
Sambil terus pegangi lengan orang, Ni Luh
Padmi pandangi lobang menganga besar di bawahnya.
Cahaya terang yang memancar dari bawah ternyata di-
pantulkan oleh cahaya empat obor besar yang ditan-
capkan pada pojok ruangan di sebelah bawah. Ruan-
gan itu hanya berupa lantai batu padas. Dan di sana tidak seorang pun terlihat!
Ni Luh Padmi berpaling pada Kiai Laras dengan
mata berkilat-kilat. "Kau berani berkata dusta padaku!
Kau harus...."
Ucapan Ni Luh Padmi terputus. Karena tiba-
tiba tangan kiri Kiai Laras bergerak tepiskan tangan Ni Luh Padmi yang mencekal
lengannya. Si nenek tersentak kaget, karena tepisan tangan si kakek mengandung
tenaga dalam kuat sekali. Hingga saat itu juga pegan-gan tangannya pada lengan
orang lepas! Malah sosok-
nya tampak bergoyang-goyang. Dalam kekagetannya,
Ni Luh Padmi menjadi lengah. Hingga tatkala Kiai Laras lorotkan tubuh dengan
kaki menyapu ke arah kaki si nenek, Ni Luh Padmi tidak dapat hindarkan diri.
Bukkk! Sosok Ni Luh Padmi tersentak lalu jatuh meng-
hantam batu padas di bawahnya. Si nenek terpekik.
Dalam keadaan demikian, dia baru maklum, kalau Kiai Laras tadi hanya pura-pura
mengalah. Karena sapuan
kakinya telah mampu membuat sosoknya langsung
terjatuh. Pertanda tenaga dalam si kakek sangat tinggi.
Merasa maklum, buru-buru Ni Luh Padmi ang-
kat kedua tangannya. Namun Kiai Laras telah menda-
hului bergerak. Hingga belum sampai si nenek sampai lepaskan pukulan, untuk
kedua kalinya si kakek telah sapukan kaki kanannya.
Karena tak ada kesempatan untuk lepaskan
pukulan sementara untuk menghindar sudah tidak
mungkin sebab dirinya berada di samping lobang men-
ganga, maka satu-satunya jalan adalah menghadang
sapuan kaki orang dengan kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk! Untuk kedua kalinya pula Ni Luh Padmi terpe-
kik. Kedua tangannya yang menghadang sapuan kaki
orang mental balik. Bersamaan dengan itu sosoknya
terseret. Karena di belakangnya lobang menganga, ma-ka tak ampun lagi sosok Ni
Luh Padmi melayang ma-
suk ke lobang besar di belakangnya!
Dalam keadaan demikian, secara luar biasa Ni
Luh Padmi memang masih sempat lepaskan pukulan
jarak jauh. Namun karena sosoknya telah melayang ke bawah, membuat pukulannya
bukan saja melenceng
jauh dari sasaran, namun dia tidak dapat kuasai diri lagi, hingga tubuhnya jatuh
bergedebukan di lantai ba-tu padas di bawah sana!
Terdengar suara tawa mengekeh panjang
menggaung di tempat itu. Ni Luh Padmi cepat kerah-
kan tenaga dalam lalu tergontai-gontai bangkit. Me-
mandang ke atas, tampak Kiai Laras tegak di tepi lobang dengan kedua tangan di
atas pinggang. "Jahanam! Aku tertipu! Laki-laki itu pasti kaki tangannya Anak Sinting murid
jahanam Pendeta Sinting!" desis Ni Luh Padmi dengan rahang terangkat dan pelipis
kanan kiri bergerak gerak. "Kau tak akan ku-biarkan hidup Anak Sinting!"
Ni Luh Padmi memandang berkeliling. Ternyata
tempat di mana dia berada hanya merupakan ruangan
tanpa pintu. Pada keempat pojok ruangan menancap
sebuah obor besar. Anehnya meski di tempat itu dipa-nasi obor, si nenek rasakan
hawa dingin menyengat!
"Hawa aneh.... Jangan-jangan ini hawa bera-
cun!" desis Ni Luh Padmi dengan kuduk mulai merind-ing. Dia segera kerahkan
tenaga dalam untuk menutup pernafasannya. Lalu tengadah kembali memandang ke
arah Kiai Laras yang masih tegak di bibir lobang. Perlahan-lahan Ni Luh Padmi
angkat tangan kirinya lalu mencabut tusuk konde besar berwarna hitam di
kepalanya. Namun si nenek tampak bimbang. "Tusuk
konde ini aku yakin mampu sampai ke atas sana! Tapi bagaimana kalau keparat itu
mampu berkelit dan bahkan menyambar senjata itu"! Keparat betul! Aku bo-
doh! Aku lengah!" Ni Luh Padmi memaki sendiri.
"Nenek bangsat!" Tiba-tiba terdengar suara Kiai Laras. "Tempat di mana kau
berada telah ditebari hawa beracun yang bisa membunuhmu perlahan-lahan! Dan
jangan coba-coba kerahkan tenaga dalam kalau kau
tak ingin hawa beracun itu langsung masuk ke dalam
aliran darahmu!"
Ni Luh Padmi tegak bergetar. Sosoknya telah
basah kuyup. Namun si nenek masih buka mulut
"Bangsat sialan! Kelak kau akan ku kuliti!"
Kiai Laras tertawa panjang. "Simpan impian mu
itu, Nenek! Yang harus kau lakukan sekarang adalah
banyak berdoa untuk menyongsong ajal! Dan kau jan-
gan terlalu menyalahkan padaku! Aku semata-mata
hanya jalankan tugas!"
"Siapa yang memberimu tugas"!" teriak Ni Luh Padmi. "Siapa lagi junjungan ku
kalau bukan pemuda bernama Joko Sableng bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131! Dan kau tidak usah berkecil hati. Bebe-
rapa hari lagi kau mungkin akan mendapatkan teman
seperjalanan menuju neraka! Dan kau mesti tahu pu-
la, bahwa junjunganku Pendekar 131 telah mendapat
amanat perintah dari eyang gurunya seorang tokoh besar bergelar Pendeta Sinting
dalam urusan ini! Ha....
Ha.... Ha...!"
"Keparat! Kalian semua nanti akan menyesali"
"Percuma kau berteriak mengancam, Nenek Tua! Nyatanya kau kini tinggal menunggu
saat-saat kematian!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras balikkan tubuh
lalu melangkah ke arah tangga dengan tinggalkan sua-ra tawa panjang.
Begitu berada di ruangan goa bagian depan,
tangan kanan Kiai Laras tampak menekan tonjolan ba-
tu hitam. Ruangan goa bergetar. Lalu terdengar gesekan batu. Saat lain pojok goa
yang terbuka perlahan-lahan menutup.
Kiai Laras tersenyum menyeringai. Lalu menata
kayu perapian di atas tonjolan batu hingga jika dipandang sekilas orang tidak
akan melihat kalau di bawah tumpukan kayu perapian itu ada batu hitam sebagai
pembuka pintu lain di pojok ruangan.
Kiai Laras memandang sejenak keluar goa. Saat
lain sosoknya telah berkelebat tinggalkan ruangan goa.
Di bagian dalam lobang, Ni Luh Padmi tampak
pentangkan mata dengan kepala memutar. Saat lain
dia tengadah dengan mata berkaca-kaca. "
Sialnya diriku ini! Mengapa aku bertindak len-
gah! Hingga bukan saja aku tertipu, namun harus
mengalami nasib mengenaskan! Ucapan tua bangka
keparat tadi pasti benar jika tempat ini telah ditebari racun yang bisa membunuh
perlahan-lahan! Aku tak
bisa berbuat apa-apa.... Kalau aku paksakan diri kerahkan tenaga dalam, bukan
tak mungkin tebaran ra-
cun jahanam ini akan memasuki aliran darahku! Dan
itu akan mempercepat kematian ku!"
Pada puncak penyesalannya, akhirnya Ni Luh
Padmi hanya bisa sesenggukan seraya duduk bersim-
puh dengan kedua tangan mendekap wajahnya. Ter-
bayang satu persatu paras muka Pendeta Sinting,
Pendekar 131, dan Kiai Laras.
Kita tinggalkan dahulu Ni Luh Padmi yang me-
nyesali diri di ruangan dalam goa. Kita ikuti kembali perjalanan Pendekar 131.
Seperti dituturkan dalam episode : "Kembang Darah Setan", Pendekar 131 sempat
jumpa dengan nenek berdandan menor yang sebutkan
diri sebagai Dayang Sepuh. Murid Pendeta Sinting berdusta pada si nenek kalau
dirinya sedang mencari ka-keknya yang sudah hampir satu purnama tidak kun-
jung pulang. Namun Joko harus menelan kecewa, ka-
rena di luar dugaan, si nenek bersikeras hendak ikut.
Joko jadi kebingungan. Tapi pada akhirnya Joko ter-
paksa tidak dapat menolak keinginan si nenek, apalagi saat murid Pendeta Sinting
mengetahui kalau si nenek sedang menunggu Pendekar 131! Seraya melangkah,
murid Pendeta Sinting coba mengorek keterangan dari mulut si nenek mengapa dia
menunggu Pendekar 131.
Di samping itu dia juga cari akal untuk dapat pisah dari si nenek.
Nenek itu berambut kelabangan dikepang dua.
Pada ujung kepangan rambutnya diberi pita. Sementa-
ra bagian depan diponi menggerai ke keningnya. Sepasang matanya agak besar. Pipi
kiri kanannya dironai pemerah. Sementara bibirnya dipoles merah tebal. Karena


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulit wajahnya berwarna gelap, tak urung rona
merah di pipi dan bibir si nenek membuat tampangnya lucu dan angker! Nenek ini
mengenakan pakaian warna merah tanpa lengan dan amat cingkrang, hingga
ketiak dan pusarnya kelihatan. Pakaian bawahnya be-
rupa celana pendek warna merah yang panjangnya be-
rada di atas lutut, hingga pahanya yang juga berwarna gelap terlihat jelas.
Si nenek yang bukan lain adalah Dayang Sepuh
tampak melangkah perlahan sambil sesekali mengerl-
ing pada orang di sampingnya. Dia adalah seorang pemuda berparas tampan
mengenakan pakaian putih.
Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat dengan ikat kepala warna putih. Si
pemuda bukan lain adalah murid Pendeta Sinting Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng. Untuk beberapa lama kedua orang ini melang-
kah tanpa ada yang buka mulut. Hanya saja si nenek
tampak sesekali berpaling sambil kerlingkan mata. Bibirnya yang merah lemparkan
senyum. Sedangkan
murid Pendeta Sinting terlihat acuh, meski kadangkala melirik ke arah si nenek
dengan kepala digelengkan.
"Nek...! Sekarang kita hendak ke mana"!" Murid Pendeta Sinting akhirnya membuka
percakapan karena si nenek terus melangkah seolah tanpa tujuan.
Dayang Sepuh hentikan langkah. Kedua tan-
gannya rapikan poni pada keningnya. Lalu berkata.
"Kau ini aneh. Bukankah kita mencari kakek-
mu yang hilang tanpa kabar"!"
"Betul! Tapi tujuannya ke mana"! Kau tadi bi-
lang, dapat menduga di mana kakekku berada! Tapi
langkah mu sepertinya tanpa tujuan...."
Si nenek ambil satu kepangan rambutnya.
Sambil mainkan kepangan rambutnya dia berkata.
"Cucuku.... Kau jangan menduga yang tidak-
tidak! Aku melangkah ini bukan atas kehendak sendi-
ri! Tapi suara alam yang menuntun ku! Jadi jangan banyak tanya ke mana, pokoknya
kita cari kakekmu!"
"Nek.... Bagaimana kalau kita berpencar saja
seperti usulku semula"! Dengan cara begitu, kukira ki-ta bisa menjelajah dua
tempat pada waktu bersa-
maan.... Dayang Sepuh gelengkan kepala. "Kita tetap
akan bersama-sama! Dan kunasihatkan padamu, Cu-
cuku. Kau boleh memanggilku Nenek, dan aku akan
memanggilmu Cucu kalau kita sedang berdua saja! Di
depan orang lain, kau harus memanggilku Bibi! Kau
mengerti"!"
Murid Pendeta Sinting nyengir seraya menahan
tawa. "Dasar nenek menor! Sudah tua masih juga ingin dikira muda...."
Dayang Sepuh tersenyum, lalu lanjutkan lang-
kah. Joko tampak menghela napas. "Bagaimana aku harus pisah dari nenek ini"! Apa
aku langsung berlari saja"! Tapi kalau dia mengejar dan marah-marah..."!"
Selagi murid Pendeta Sinting membatin begitu,
Dayang Sepuh tiba-tiba berjingkrak, membuat Joko
terkejut. "Ada apa, Nek"!"
"Dengar...," kata Dayang Sepuh sambil tengadahkan kepala. "Kau dengar bukan?"
Murid Pendeta Sinting kernyitkan dahi. "Aku tidak mendengar apa-apa!"
"Dasar Cucu tuli! Apa kakekmu tidak menga-
jarkan bagaimana caranya mendengar"!"
Murid Pendeta Sinting sedikit geram mendengar
ucapan Dayang Sepuh. Dia kerahkan tenaga dalam
pada gendang telinganya agar bisa menangkap suara
yang sulit ditangkap pendengaran biasa. Namun se-
jauh ini Joko tidak menangkap suara.
"Heran! Apa pendengarannya yang salah"! Atau
jangan-jangan dia bercanda!"
"Bagaimana" Kau dengar bukan"!" Bertanya
Dayang Sepuh tanpa berpaling pada murid Pendeta
Sinting. "Ku lihat kau memakai tenaga, apa kini kau telah dengar"!"
"Hem.... Dia tidak melihatku, tapi dia tahu kalau aku berusaha menangkap suara
dengan kerahkan
tenaga dalam! Siapa sebenarnya nenek ini"!" diam-diam Joko membatin. Lalu terus
terang dia berkata.
"Aku tidak mendengar apa-apa...."
Dayang Sepuh berpaling. Memandang sejurus
pada murid Pendeta Sinting. Lalu seraya melangkah
dia berkata. "Ayo kutunjukkan apa yang kudengar!"
Entah karena ingin buktikan ucapan si nenek,
murid Pendeta Sinting segera pula melangkah. Namun
Joko terkesiap. Si nenek tampak melangkah perlahan
saja. Namun hingga dia berlari, jarak antara dirinya dengan si nenek tidak juga
menjadi dekat! "Jangkrik! Dia seperti hendak tunjukkan kehe-
batan!" gumam Joko dengan dada agak panas. Dia cepat kerahkan ilmu peringan
tubuh. Lalu berkelebat.
Dalam beberapa saat, murid Pendeta Sinting telah dapat menjajari langkah si
nenek. Namun cuma sekejap.
Karena begitu si nenek berpaling dan Joko ikut berpaling ingin tunjukkan diri,
tiba-tiba Dayang Sepuh gerakkan bahunya. Sosoknya saat itu juga melesat lak-
sana angin! Karena tak mau merasa malu, murid Pendeta
Sinting kerahkan segenap ilmu peringan tubuh. Lalu
berkelebat menyusul. Namun sampai sekujur tubuh-
nya basah kuyup oleh keringat, jangankan mendahu-
lui, menjajari kelebatan tubuh si nenek saja Pendekar 131 tidak mampu!
"Busyet! Ilmu peringan tubuhnya benar-benar
luar biasa!" kata Joko dalam hati. "Tapi hendak ke mana sebenarnya nenek ini"!
Apa sebenarnya yang ba-ru saja didengar?"
Selagi Joko berpikir begitu, di depan Sana tiba-
tiba Dayang Sepuh hentikan larinya.
"Lihat!" kata Dayang Sepuh begitu Joko berada di belakangnya. Tangannya menunjuk
ke satu arah. Joko arahkan pandangannya pada tempat yang
ditunjuk si nenek dengan dada turun naik dan mulut
megap-megap. Ternyata mereka berada di satu tempat
ketinggian. Memandang ke bawah tampak sebuah sen-
dang berair jernih yang di sebelah sampingnya terdapat pancuran air. Di sekitar
sendang, tampak beberapa batu. Murid Pendeta Sinting arahkan pandangan ke
bawah. Lalu berpaling ke belakang.
"Hem.... Jaraknya begitu jauh, tapi pendenga-
rannya mampu menangkap suara pancuran air...," ka-ta Joko dalam hati.
"Cucuku... aku ingin mandi. Kuharap kau me-
nungguku! Cari tempat yang enak untuk istirahat! Dan jangan berani mengintip!"
Habis berkata begitu, Dayang Sepuh berkelebat
ke bawah. Joko sejurus pandangi kelebatan sosok si
nenek. "Siapa ingin melihat nenek berbugil ria! Lu-mayan kalau kulitnya putih
mulus...," gumam Joko la-lu memandang berkeliling. "Hem.... Rasanya ini saat
yang tepat aku memisahkan diri! Tapi aku harus yakinkan dulu kalau dia sudah
benar-benar telanjang
dan mandi...."
Mungkin agar tidak dicurigai, Joko pura-pura
melangkah turun, lalu memilih sebuah batu besar.
Sambil melangkah turun, sepasang matanya melirik ke samping kiri kanan melihat
keadaan. "Sebelah barat
dan timur banyak ditumbuhi tumbuhan rapat. Aku
tinggal memilih menyelinap ke salah satunya...."
"Cucu...! Kau di mana"!" Tiba-tiba terdengar teriakan Dayang Sepuh.
"Di sini, Nek! Di samping batu besar!" sahut Joko seraya terus putar kepala.
Setelah dapat yakinkan diri ke sebelah mana nanti hendak berkelebat. Jo-ko arah
kan pandangannya ke sendang. Dayang Sepuh
tampak tegak di samping sendang. Lalu perlahan-
lahan nenek menor ini buka pakaiannya.
Murid Pendeta Sinting cepat merunduk lalu
duduk bersandar pada batu. Matanya kembali me-
mandang pada tumbuhan rapat di sebelah barat. Keti-
ka agak lama dan yakin si nenek sudah buka pakaian-
nya, Joko kerahkan ilmu peringan tubuh. Namun dia
tampak bimbang. "Hem.... Aku harus yakin dulu....
Aku harus dengar suara kecipak air...."
Murid Pendeta Sinting menunggu dengan dada
berdebar. Dia mulai merasa waswas, karena sejauh ini dia belum mendengar suara
kecipak air yang memberi
tanda jika si nenek telah ceburkan diri ke dalam air sendang. Malah dia seolah
tak sabar dan hendak melihat seandainya tidak buru-buru sadar kalau si nenek
diyakininya telah telanjang.
Byurrr! Tiba-tiba terdengar suara kecipak air. Joko me-
narik napas lega. Dia buru-buru berkelebat. Namun
gerakannya tertahan, karena bersamaan dengan ter-
dengarnya suara kecipak air, satu hembusan angin
menderu di atas batu di mana dia berada.
Murid Pendeta Sinting cepat mendongak. Satu
buntalan besar tiba-tiba telah melayang di atas kepalanya. Belum sampai Joko
tahu, buntalan itu telah jatuh tepat di atas kepalanya!
Plukkk! Joko cepat meraih. Sepasang matanya mendelik
besar. Buntalan itu ternyata pakaian si nenek. Pada saat bersamaan, tiba-tiba
terdengar teriakan Dayang Sepuh. "Cucu! Simpan dahulu pakaianku!"
"Busyet! Sepertinya dia tahu kalau aku hendak
pisahkan diri! Tapi aku harus cepat bergerak! Kalau tidak, urusan tak berguna
ini tambah jadi panjang...."
"Baik, Nek.... Puaskanlah mandi. Aku akan
menunggumu di sini sambil tiduran!" sahut Joko. Lalu letakkan buntalan pakaian
Dayang Sepuh di dekat ba-tu. Saat lain ia membuat posisi merangkak. Lalu,
Wuuttt! Joko berkelebat ke salah satu batu dan diam menunggu. Tidak ada suara
teriakan dari Dayang Sepuh, kembali Joko membuat posisi merangkak. Lalu
kembali melompat dan sembunyi di balik batu sa-
tunya. Demikian terus hingga hampir mencapai tum-
buhan rapat di sebelah barat.
Begitu jarak antara batu di mana kini dia bera-
da dan tumbuhan rapat hanya dua tombak, Joko ber-
paling ke arah sendang. Saat lain dia berkelebat lalu menyelinap lenyap di
antara tumbuhan rapat.
Ketika Joko sudah berada jauh, telinganya me-
nangkap teriakan-teriakan Dayang Sepuh yang me-
manggil-manggil. Joko celingukan sebentar. Lalu berkelebat laksana dikejar setan
menuju arah barat. Sadar kalau Dayang Sepuh memiliki ilmu peringan tubuh luar
biasa, Joko berlari dengan kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya!
Sementara di bagian sendang, begitu tiga kali
teriakan panggilannya tidak mendapat sambutan,
Dayang Sepuh cepat melesat keluar dari dalam sen-
dang. Tahu-tahu sosoknya telah berada di samping ba-
tu besar di mana tadi murid Pendeta Sinting berada.
Dengan perlahan-lahan Dayang Sepuh menge-
nakan pakaiannya. Lalu kibas-kibaskan dua kepangan
rambutnya. Saat lain nenek ini ambil dua bungkusan
dari saku pakaiannya. Seraya sandarkan pantat pada batu, si nenek ronai pipi
serta bibirnya dengan serbuk yang ada dalam bungkusan kecil.
"Cucu.... Suara alam mengatakan kita berjodoh!
Jadi ke mana pun kau pergi, kita tetap akan berte-
mu...!" kata Dayang Sepuh. Lalu nenek ini perlahan-lahan melangkah tinggalkan
sendang. Herannya,
meski dia tidak mengetahui ke mana arah berlarinya
Pendekar 131, namun arah langkahan kakinya jelas
tepat ke arah mana tadi murid Pendeta Sinting berkelebat pergi!
* * * TIGA PENDEKAR 131 baru memperlambat larinya
tatkala yakin jaraknya sudah jauh dari sendang di
mana Dayang Sepuh mandi. Dan telah yakin pula ka-
lau si nenek pasti tidak bisa menemukan jejaknya, karena dia sengaja berkelebat
dengan mengambil jalan
berputar-putar dan melewati jalan-jalan setapak.
"Hemm.... Kali ini aku berhadapan dengan be-
berapa orang aneh! Ada apa sebenarnya ini"! Apa raib-nya Eyang Guru masih ada
kaitannya dengan urusan
gila ini"! Kembang Darah Setan, Kampung Setan...."
Murid Pendeta Sinting ulangi ucapan Setan Liang Ma-
kam dan Kiai Lidah Wetan yang sempat dijumpainya
beberapa waktu lalu.
"Namanya hampir sama.... Apa masih ada hu-
bungannya"! Herannya, selama ini aku belum pernah
mendengar nama itu selain dari manusia yang se-
butkan diri Setan Liang Lahat dan Kiai Lidah Wetan....
Sialnya, dalam keadaan begini, muncul pula nenek
menor yang tingkahnya masih seperti gadis muda sa-
ja.... Tapi, dari orang-orang yang kutemui, satu hal yang pasti adalah mereka
semua berilmu tinggi! Kalau beberapa orang aneh muncul, di baliknya pasti ada
sesuatu! Tapi apa..."! Dan mengapa mengaitkan aku
yang tidak tahu urusan apa-apa"! Hem...."
Murid Pendeta Sinting terus melangkah dengan
benak disarati berbagai pertanyaan yang tidak bisa ter-jawab. Saat itulah tiba-
tiba terdengar orang bersin beberapa kali.
"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"
Joko terkesiap. Karena suara bersin jelas ter-
dengar sangat dekat sekali dengan dirinya, maka Joko pikir percuma saja
berkelebat sembunyikan diri. Dia segera putar kepala berpaling ke arah mana
suara bersin barusan terdengar. Namun hingga tiga kali kepa-
lanya berputar, matanya tidak melihat siapa-siapa!
"Heran. Suara bersin tadi begitu dekat, aneh-
nya tidak kelihatan batang hidungnya!"
Merasa kurang yakin, kembali Joko putar kepa-
lanya. Kali ini matanya dipentang besar-besar dan meneliti setiap sudut
pandangannya. Karena belum juga menangkap orang, kuduknya mulai dingin. "Jangan-
jangan nenek tadi berhasil menyusul ku.... Atau di tempat ini ada hantu
penghuninya"! Tapi mana ada
hantu yang bisa bersin-bersin" Lagi pula di tempat ini tidak ada bau yang
membuat hidung ingin bersin...."
Joko membatin. Saat itulah mendadak ekor mata ki-
rinya menangkap sesuatu. Dengan mata makin dibe-
liakkan, murid Pendeta Sinting segera berpaling ke ki-ri.
"Aku yakin tadi telah melihat tempat itu sampai tiga kali! Tapi aku sungguh-
sungguh tidak melihatnya!
Adalah aneh kalau tiba-tiba sekarang ada orang di si-tu!" Murid Pendeta Sinting
cepat membuat satu kali lompatan. Gerakannya ini serta-merta membawa dirinya
tegak di belakang satu batangan pohon tidak begitu besar. Dari sini Joko segera
memperhatikan ke
depan. Kira-kira sejarak empat belas langkah dari
tempatnya tegak, terlihat seorang kakek duduk berlutut dengan tangan kanan
memegangi sebuah tongkat


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kayu butut. Sementara tangan kirinya diletakkan di
atas pahanya. Kakek ini berambut putih tipis hingga batok kepalanya terlihat
jelas. Sepasang matanya sipit.
Hidungnya tampak mengembung besar di bagian de-
pan, hingga kedua lobang hidungnya tampak mengan-
ga besar. Dia mengenakan pakaian lusuh warna putih
kusam. Kepala kakek yang duduk berlutut itu tampak
bolak-balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis. Dan sesekali kepalanya
digelengkan ke samping
kanan kiri. Murid Pendeta Sinting diam-diam menahan ta-
wa. Karena jelas dia dapat menduga kalau si kakek ingin bersin tapi tidak
kesampaian. Hingga kepalanya
pulang balik ke depan ke belakang dengan air muka
meringis. "Bruss! Bruss! Bruss!"
Tiba-tiba si kakek bersin. Joko tersentak kaget.
Bukan karena suara bersin orang, melainkan bersa-
maan dengan terdengarnya suara bersin, tanah di de-
pan mana si kakek duduk berlutut laksana disapu ge-
lombang angin kencang hingga berhamburan! Aneh-
nya, meski telah bersin tiga kali, kepala si kakek tetap saja pulang balik ke
depan ke belakang dengan wajah meringis, jelas pertanda kalau si kakek ingin
bersin la-gi! "Angin yang keluar dari hidungnya mampu
membuat tanah berhamburan. Kakek yang selalu ingin
bersin ini pasti bukan orang sembarangan!" Joko hendak keluar dari balik
batangan pohon. Namun teringat akan beberapa peristiwa yang terjadi, Joko jadi
urungkan niat. "Daripada mencari penyakit sementara penyakit lainnya belum
beres. lebih baik aku segera tinggalkan tempat ini...."
Setelah memandang sekilas pada si kakek yang
selalu ingin bersin, murid Pendeta Sinting berkelebat tinggalkan batangan pohon
di mana dia mengintip
orang. Dia berlari cepat menuju arah barat. Sesekali telinganya masih mendengar
bersin orang di belakang sana. Namun tak lama kemudian dia sudah tidak
mendengar lagi karena jaraknya sudah makin jauh.
Pada satu tempat, murid Pendeta Sinting ber-
henti karena lelah, dia duduk bersandar pada sebatang kayu kering. Belum lama
duduk istirahat, tiba-tiba dia mendengar suara gemerisik di semak-semak tidak
jauh dari tempatnya.
Belum sampai Joko melihat apa yang baru saja
menimbulkan suara gemerisik, mendadak terdengar....
"Bruss! Brusss! Brussss!"
Joko terkesiap. Laksana disentak setan, kepa-
lanya berpaling ke arah semak-semak yang tadi berisik dan dari situ pula suara
bersinan terdengar.
Semak-semak tidak jauh dari tempat murid
Pendeta Sinting terlihat bergerak-gerak menyibak. Dari
bagian dalam sibakan semak, samar-samar mata Joko
menangkap satu sosok tubuh duduk berlutut dengan
tangan kanan memegang tongkat. Kepalanya bergerak-
gerak pulang balik ke depan ke belakang!
"Kakek itu!" desis Joko mengenali siapa adanya orang di balik sibakan semak.
"Rupanya kakek ini akan menambah deretan orang-orang aneh yang harus
kujumpai! Hal ini membuatku makin yakin ada sesua-
tu..." Joko perhatikan si kakek. "Dia tampaknya sudah tahu diriku, tak ada
gunanya lagi berlari atau sembunyi...."
Membatin begitu, akhirnya murid Pendeta Sint-
ing bergerak bangkit. Lalu perlahan-lahan melangkah ke arah tempat si kakek.
"Bruss! Bruss! Bruuss! Bruuss!"
Si kakek bersin lagi. Joko sekonyong-konyong
hentikan langkah. Karena merasa dirinya didorong kekuatan dahsyat. Hingga kalau
saja dia tidak cepat kerahkan tenaga dalam, niscaya sepasang kakinya akan
tersurut mundur! Saat yang sama, semak-semak ber-
gerak menyibak. Satu sosok berkelebat keluar. Dan ta-hu-tahu si kakek telah
tegak di hadapan Pendekar 131
dengan kepala pulang balik ke depan ke belakang
sambil meringis membuat gerakan seperti orang hen-
dak bersin! Namun hingga agak lama, tidak juga orang ini perdengarkan suara
bersin! "Anak muda! Harap maafkan.... Beginilah kea-
daan ku kalau hidungku membaui tubuh manusia....
Harap kau tidak...." Si kakek tidak lanjutkan ucapannya. Kepalanya tertarik ke
belakang. "Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin lagi. Tapi kali ini hembusan an-
gin yang melesat keluar dari hidungnya tidak aki-
batkan apa-apa pada murid Pendeta Sunting meski ja-
rak antara keduanya tidak jauh.
Pendekar 131 pandangi dengan seksama orang
tua di hadapannya lama-lama. Diam-diam perasaan-
nya mulai waswas dan bimbang. Di satu pihak ingin
tahu siapa sebenarnya adanya si kakek, dan mengapa
sepertinya mengikuti terus langkahnya. Sementara di lain pihak. dia merasa yakin
kalau ada yang tak beres dengan orang tua di hadapannya. Karena sikapnya jelas
selalu mengikuti ke mana dirinya pergi meski dia tak habis pikir bagaimana si
kakek itu tahu-tahu sudah berada di dekatnya.
Merasa dirinya dipandangi orang, masih den-
gan tarik pulang kepalanya yang hendak bersin dan
tanpa memandang ke arah murid Pendeta Sinting, si
kakek berkata. "Pandangan mu curiga, Anak Muda! Apa ada
yang salah dengan diriku"! Kalau soal hidungku, su-
dah ku katakan padamu tadi.... Selalu kumat kalau
membaui tubuh manusia!"
Joko alihkan pandangannya seraya menggeleng
perlahan. "Tidak ada yang salah, Kek.... Hanya aku heran. Sebentar tadi kau
kulihat masih duduk jauh di
sana. Tapi tiba-tiba sekarang sudah berada di sini...."
Si kakek coba hentikan gerakan kepalanya
yang pulang balik ke belakang ke depan. Sepasang matanya yang sipit membuka
besar. "Heran.... Ya, heran. Seharusnya aku yang me-
rasa heran. Sepertinya aku tidak ke mana-mana. Sejak kemarin pagi aku sudah
berada di sini! Bagaimana
mungkin kau melihatku di sana..."! Kau tidak salah lihat, Anak Muda"!"
Seakan termakan ucapan orang, murid Pendeta
Sinting beliakkan sepasang matanya pandangi sekali
lagi orang tua di hadapannya. "Tak mungkin aku sa-
lah lihat! Orangnya sama, sikapnya tidak berbeda! Pakaian dan tongkat kayu
bututnya persis!" kata Joko dalam hati. Lalu berkata.
"Kek.... Apa kau punya saudara kembar"!"
"Heran.... Bagaimana kau bisa berkata begitu"!
Aku nongol ke dunia sendirian! Bahkan aku tak punya adik atau kakak.
Mengherankan kalau kau bertanya
aku punya saudara kembar...."
"Hem.... Atau kau pernah tahu orang yang mi-
rip denganmu"!"
"Hem.... Heran! Bagaimana mungkin di dunia
ini ada orang yang mirip"! Anak muda. Adalah mung-
kin kalau Yang Maha Kuasa menciptakan orang yang
mirip! Tapi adalah mengherankan kalau tak bisa dibedakan!" "Tapi, Kek! Aku baru
saja melihat orang yang sama persis denganmu di sana!" Joko menunjuk ke sa-tu
arah. Si kakek arahkan pandangannya ke tempat
yang ditunjuk murid Pendeta Sinting. "Heran.... Bagaimana bisa begitu"! Ucapanmu
membuatku he- ran...." "Hem.....Dugaanku tidak meleset lagi! Aku berhadapan dengan orang
aneh...." Joko membatin seraya menarik napas panjang. "Aku akan coba tanyakan
padanya tentang urusan yang saat ini kuhadapi. Siapa
tahu dia bisa memberi keterangan! Orang begini bi-
asanya tahu banyak tentang urusan aneh...."
Membatin begitu, lalu murid Pendeta Sinting
angkat bicara. "Kek.... Boleh aku tanya sesuatu padamu"!"
"Heran.... Kurasa saat ini adalah jumpa kita
yang pertama kali. Aku heran, Anak Muda.... Apakah
aku pernah melarangmu untuk bertanya"!!"
Joko tidak pedulikan ucapan orang. Dia segera
saja ajukan tanya.
"Kek.... Kau pernah dengar sebuah kampung
yang disebut Kampung Setan"!"
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin lagi. Lalu kernyitkan dahi sam-
bil berujar. "Aku heran, mengapa baru kali ini mendengar
nama kampung itu"!"
Ucapan si kakek telah membuat murid Pendeta
Sinting maklum kalau orang yang ditanya tidak tahu
tentang Kampung Setan. Tapi Joko lanjutkan perta-
nyaan. "Kau pernah tahu sesuatu yang disebut Kembang Darah Setan"!"
Yang ditanya dongakkan kepala seolah berpikir.
Joko menunggu dengan perasaan agak lega, karena si-
kap si kakek seolah membayangkan dia kali ini tahu
apa yang ditanyakan orang.
"Brusss!"
Joko memekik sendiri dalam hati. Karena ter-
nyata si kakek dongakkan kepala tidak sedang berpi-
kir, tapi karena ingin bersin.
"Anak muda.... Aku heran. tujuh hari terakhir
ini sudah tujuh orang yang sebut-sebut Kembang Da-
rah Setan di depanku! Aku jadi bingung dan heran.
Bagaimana orang-orang menanyakan itu padaku"! Pa-
dahal aku bukan penjual kembang! Atau jangar, jan-
gan kau meledek ku, Anak Muda...."
Murid Pendeta Sinting kali ini rasanya kehilan-
gan akal. Hingga untuk beberapa saat dia tidak sahuti ucapan orang. Sementara si
kakek di hadapannya lanjutkan ucapan. "Kau tahu, Anak Muda.... Sekali aku
mencium bau kembang, sehari semalam aku tak henti-
hentinya bersin-bersin!"
Joko gelengkan kepala. Tapi entah karena apa,
murid Pendeta Sinting ini lanjutkan juga bertanya.
"Kek.... Kau kenal dengan seorang laki-laki yang bergelar Setan Liang Makam"!"
"Heran.... Kudengar dari tadi kau selalu sebut-sebut Setan.... Kau jangan.
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin. Lalu lanjutkan ucapan. "Kau
jangan menakut-nakuti aku! Penyakit ku makin men-
jadi-jadi kalau aku ketakutan...." Habis berkata begitu, si kakek beberapa kali
bersin-bersin. Joko tidak acuhkan ucapan dan bersinan
orang. Dia kembali buka mulut.
"Kek.... Apa kau masih juga merasa heran ka-
lau aku tanya apa kau pernah bertemu orang yang se-
butkan diri sebagai Dayang Sepuh"!"
Tiba-tiba si kakek menindih keinginannya un-
tuk bersin. "Heran.... Di mana kau bertemu dengan orang itu"!"
Paras wajah Pendekar 131 berubah cerah.
Sambil senyam-senyum dia berkata.
"Aku jumpa dengannya di sebuah kedai! Aku
sempat bicara panjang lebar dengannya. Dari ucapan-
ucapannya aku menduga dia sedang mencari seseo-
rang.... Dan dari ciri-ciri orang yang dicari, aku bisa memastikan kalau kaulah
orangnya!"
"Hem.... Apa yang dibicarakan tentang diriku,
Anak Muda..."!" tanya si kakek seraya maju dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Dia menghubung-hubungkan dirimu dengan
Kembang Darah Setan, Kampung Setan, malah kau di-
kait-kaitkan dengan Setan Liang Makam! Maka dari itu jangan heran kalau aku tadi
bertanya padamu...."
"Heran.... Mengapa aku dihadapkan dengan
urusan mengherankan ini"! Apakah memang sudah
nasibku harus selalu merasa heran"!" gumam si kakek. Kepalanya kembali pulang
balik ke depan ke belakang dengan wajah meringis ingin bersin.
"Kau tak usah merasa heran, Kek.... Dan kuha-
rap kau mau menjawab pertanyaanku tadi. Kalau ti-
dak...." Joko tersenyum dahulu sebelum akhirnya lanjutkan. "Nenek itu berada
tidak jauh dari sini.... Tidak sulit aku memberitahukan padanya.... Dan perlu
kau ketahui, dari nada ucapannya, aku bisa menebak apa
yang hendak dilakukannya padamu...."
"Brusss! Brusss! Brusss!"
Si kakek bersin-bersin. Lalu tertawa bergelak-
gelak. Namun hingga suara gelakan tawanya berhenti, si kakek tidak juga buka
mulut. "Kek.... Kau masih tak mau memberi keteran-
gan"!" "Anak muda.... Mengherankan kalau aku memberi keterangan sesuatu yang
tidak kuketahui! Dan
jangan heran kalau kukatakan, aku tidak kenal den-
gan Dayang Sepuh.... Kalau tadi aku bertanya pada-
mu, aku tadi hanya merasa heran, bagaimana mung-
kin dia mengenal ku bahkan mencariku"!"
Murid Pendeta Sinting melengak. Namun dia
buru-buru buka mulut. "Kau jangan pura-pura! Dari perubahan sikapmu tadi, apa
kau kira aku tak dapat
menduga"!"
"Menduga boleh-boleh saja. Hanya.... Brusss!
Brusss! Adalah mengherankan kalau kau menduga
dengan melihat perubahan sikap orang! Kau tahu,
Anak Muda. Manusia itu pandai berpura-pura. Tidak
sulit dia mengubah sikap hanya karena ingin agar dapat mengubah dugaan orang!
Kalau kau selalu men-
duga orang dengan perubahan sikapnya, tidak heran
kalau kau akan mudah dikecoh.... Brusss! Brusss!"
"Busyet! Dia tidak mudah dikibuli.... Sekarang aku harus tahu siapa dia!" kata
Joko dalam hati. Namun sebelum dia lakukan apa yang ada dalam benak-
nya, si kakek telah angkat bicara.
"Anak muda.... Biar rasa heran ku hilang, coba kau katakan siapa nama yang
disebut-sebut si nenek
itu untukku"!"
"Hem.... Dia seolah tahu kalau aku ingin mena-
nyakan namanya....." Membatin Joko. Lalu dengan sedikit gelagapan dia berujar.
"Dia tidak sebut-sebut namamu. Dia hanya sebut-sebut ciri-ciri orang! Tapi jelas
ciri-ciri yang disebut ada padamu!"
"Hem.... Meski aku percaya, tapi bukan berarti rasa heran ku jadi hilang...,"
gumam si kakek.
"Kek! Kau sudi katakan siapa dirimu sebenar-
nya"!" tanya Joko yang sudah kehabisan akal untuk mengorek keterangan dari kakek
di hadapannya. "Mengherankan. Kau tadi bilang sudah bicara
panjang lebar dengan si nenek. Sekarang kau masih


Joko Sableng 20 Geger Topeng Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga bertanya padaku...."
"Dayang Sepuh memang bicara panjang lebar
tentang dirimu. Tapi dia tidak sebut-sebut namamu...."
"Hem.... Jadi kau ingin tahu namaku"! Bruss!
Bruss!" Pendekar 131 anggukkan kepala. Si kakek bersin lagi sebelum menjawab.
"Mungkin di sini ada orang yang bisa menjawab
pertanyaanmu, Anak Muda.... Tapi bukan aku...."
Murid Pendeta Sinting sipitkan mata dengan
kening berkerut. Belum sampai Joko menduga-duga, si kakek telah berucap lagi.
"Aku tahu, kau pura-pura merasa heran. Pa-
dahal kau juga tahu kedatangannya...." Si kakek bersin lagi. Lalu arahkan
wajahnya ke satu jurusan. Mulutnya membuka.
"Sahabat.... Jangan membuatku makin heran
dengan datang tanpa tunjukkan diri...."
Terdengar orang bergumam dari jurusan mana
si kakek menghadap. Paras Joko berubah tegang. "Bagaimana kalau orang yang
muncul adalah nenek me-
nor itu"!"
"Anak muda.... Aku heran. Mengapa kau tegang
begitu rupa"! Bukankah kau tadi ingin tahu nama-
ku..."! Kurasa ada seorang sahabat yang akan menja-
wab keingintahuan mu...," bisik si kakek tanpa memandang pada murid Pendeta
Sinting. "Apa hendak dikata...." Akhirnya Joko angkat bahu dan palingkan wajah ke jurusan
mana si kakek menghadap. Dadanya makin berdebar juga heran. Si
kakek dapat menangkap kedatangan orang, sedangkan
dirinya belum mengetahui.
"Sahabatku, Datuk Wahing... Aku hanya kebe-
tulan lewat. Makanya aku sengaja tidak tunjukkan di-ri.... Tapi kalau kau...."
Terdengar suara orang dari jurusan mana si
kakek hadapkan wajah. Namun sebelum ucapan orang
yang belum kelihatan tampangnya ini selesai, si kakek yang selalu bersin-bersin
dan baru saja disebut orang dengan Datuk Wahing telah buka mulut menukas.
"Sahabatku, harap kau sudi tunjukkan diri. Di sini ada seorang muda yang ingin
berkenalan. Kurasa kau bisa menjawab keinginannya...."
Mendengar ucapan-ucapan orang, murid Pen-
deta Sinting bisa sedikit merasa lega. Karena dari ucapan orang, dia sudah
memastikan yang baru saja ber-
kata dan belum tampakkan diri bukanlah Dayang Se-
puh. Hingga dia balikkan tubuh dengan mata meman-
dang tak berkesip.
Sejarak kira-kira sepuluh tombak, satu sosok
tubuh keluar dari balik kerapatan pohon. Sekali bergerak, sosok ini telah tegak
hanya tujuh langkah di hadapan Joko dan si kakek.
Murid Pendeta Sinting tersentak. Sepasang ma-
tanya dibeliakkan besar-besar. Sementara si kakek
yang disebut Datuk Wahing dongakkan kepala lalu
bersin-bersin beberapa kali.
* * * EMPAT PENDEKAR 131 Joko Sableng pandangi orang
di hadapannya dengan mulut terkancing tapi hati bertanya-tanya. "Kalau saja pada
hidungnya ada anting-anting benang berwarna merah, pasti aku bisa menge-
nali kalau orang ini tidak lain adalah kakek yang sebutkan diri Kiai Lidah Wetan
yang kutemui beberapa
waktu lalu...."
Orang di hadapan murid Pendeta Sinting me-
mang seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut putih sebahu. Sepasang
matanya agak besar dan me-nyorot tajam. Kumis dan jenggotnya lebat juga berwar-
na putih. Kalau orang pernah bertemu dengan Kiai Lidah
Wetan, mungkin orang akan menebak jika orang di
hadapan Joko adalah saudara kembar Kiai Lidah We-
tan, atau setidak-tidaknya masih ada hubungan da-
rah. Karena baik wajah maupun sosoknya sama. Yang
membedakan antara orang di hadapan murid Pendeta
Sinting dengan Kiai Lidah Wetan adalah anting-anting dari benang berwarna merah.
Orang yang kini di hadapan Joko tidak mengenakan anting-anting benang pa-
da kedua cuping hidungnya, sementara Kiai Lidah We-
tan mengenakan anting-anting benang.
Begitu orang tegak di hadapannya, Datuk Wah-
ing tampak tengadahkan kepala lalu bersin beberapa
kali. Setiap kali baru bersin, kepalanya yang sedikit merunduk ditundukkan makin
dalam seolah membuat
gerakan seperti orang menjura hormat.
"Hatiku senang sekali bertemu denganmu, sa-
habatku Kiai Laras.... Tapi dibanding rasa gembiraku, nyatanya rasa heran ini
makin banyak! Brusss!
Brusss!" ujar Datuk Wahing dengan air muka meringis.
Orang yang baru muncul dan ternyata bukan
lain memang Kiai Laras, sunggingkan senyum. Me-
mandang sejurus pada Datuk Wahing lalu pada murid
Pendeta Sinting.
"Aku tak heran, Datuk Wahing.... Sesuatu yang
tidak mengherankan bagi orang, akan mengherankan
bagimu...."
"Hem...." Murid Pendeta Sinting memandang si-lih berganti pada si kakek dan
orang yang baru mun-
cul. "Kakek bersin-bersin itu bernama Datuk Wahing.... Dan kakek satu ini
bernama Kiai Laras.... Dugaanku, dari wajah dan namanya, kemungkinan besar
kakek ini masih ada hubungannya dengan Kiai Lidah
Wetan. Mudah-mudahan dia nanti bisa membuka se-
dikit jalan buntu yang kuhadapi selama ini...! Dan
mudah-mudahan pula kakek ini bukan jadi tambahan
orang aneh yang kutemui...."
Datuk Wahing memandang sejurus pada Kiai
Laras. "Sahabatku.... Aku tidak bisa menjawab perta-
nyaan anak muda ini yang kurasa sangat membuatku
heran. Harap kau sudi menjawabnya kalau kau tidak
heran dengan pertanyaannya dan bisa...!"
Kiai Laras arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting. Joko balas memandang seraya bung-
kukkan sedikit tubuh.
"Anak muda.... Siapa namamu"!" Bertanya Kiai Laras. "Joko Sableng, Kek....
"Hem.... Kakek sahabatku ini tadi sudah men-
gatakan siapa aku. Jadi aku tidak usah perkenalkan
diri...," kata Kiai Laras. Melirik sebentar pada Datuk Wahing lalu lanjutkan
ucapannya. "Apa yang ingin kau ketahui, Anak Muda"!"
"Sebelum aku bertanya, aku ingin tahu. Apa-
kah Kakek masih ada hubungan dengan orang tua
bernama Kiai Lidah Wetan"!"
"Aku sudah menduga sejak kau memandangi
ku tadi. Aku juga tidak kaget. Karena bukan pertama ini orang yang baru kukenal
menanyakan seperti yang kau tanyakan.... Cuma perlu kau ketahui, aku tidak
pernah jumpa dengan orang tua yang namanya baru
saja kau sebut! Aku sekarang ingin tanya. Mengapa
kau menduga aku ada hubungan dengan orang tua
yang kau katakan sebagai Kiai Lidah Wetan"!" Kiai Laras balik bertanya.
"Wajahmu, Kek...."
"Kenapa wajahku..."!"
"Hampir sama! Dan nama depanmu pun sa-
ma...." "Hem.... Tapi kau masih bisa membedakan, bukan"!" Murid Pendeta Sinting
menjawab dengan ang-gukan kepala. Sementara sepasang matanya tak henti
terus menerus pandangi dengan seksama sekujur tu-
buh orang tua di hadapannya.
"Bagus! Berarti aku tak usah terangkan lagi
urusan hubungan ku dengan orang tua bernama Kiai
Lidah Wetan itu! Sekarang apa kau ingin tanya sesua-tu yang menurut sahabatku
ini mengherankan"!"
"Kek.... Kau pernah dengar tentang Kembang
Darah Setan"!" Joko langsung saja ajukan tanya.
"Aku bukan hanya dengar. Tapi aku tahu seluk
beluk mengenai Kembang Darah Setan!"
Saking girangnya, murid Pendeta Sinting cepat
melangkah maju mendekati Kiai Laras. "Harap kau su-di terangkan padaku, Kek!"
Seolah acuh dengan kegirangan orang, malah
tanpa memandang, Kiai Laras berkata.
"Kembang Darah Setan adalah senjata dahsyat.
Senjata itu dimiliki seorang tokoh berilmu sangat tinggi yang dikenal dengan
Maladewa. Orang itu terakhir kali diberitakan tinggal di Kampung Setan!
Sayangnya sudah hampir tiga puluh tahunan orang itu tidak terdengar lagi kabar
beritanya...."
"Kau pernah bertemu dengan orang yang berge-
lar Setan Liang Makam"!"
Masih tanpa memandang, Kiai Laras buka mu-
lut menyahut. "Siapa pun orang rimba persilatan saat ini, pasti tidak akan tahu
orang yang gelarnya baru sa-ja kau katakan! Karena selama ini dalam kancah dunia
persilatan, tidak ada orang yang bergelar Setan Liang Makam! Kalaupun ada, tentu
seorang yang baru saja
muncul...!"
"Tapi orang itu tahu tentang Kembang Darah
Setan juga sebut-sebut Kampung Setan.... Berarti dia adalah seorang tokoh dunia
persilatan...," ujar Joko.
"Betul! Tapi seperti kataku tadi, pasti dia orang yang baru saja muncul! Dan
kalau dia sebut-sebut
Kembang Darah Setan serta Kampung Setan, itu ada-
lah hal biasa, Anak Muda...."
"Bruss! Bruss! Sahabatku, kau orang yang be-
runtung. Hal demikian hebat yang menurutku sangat
mengherankan kau sebut suatu yang biasa...." Datuk Wahing menyahut lalu pulang
balikkan kepalanya ke
Pendekar Pedang Sakti 21 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Jejak Di Balik Kabut 39
^