Pencarian

Gelombang Naga 1

Gento Guyon 25 Gelombang Naga Bagian 1


1 Cahaya bulan empat belas timbul tenggelam
dalam bayangan mendung kelabu. Suara serangga
malam sesekali terdengar diselingi suara lolong anjing di kejauhan. Angin
berhembus perlahan, namun
suasana di malam itu terasa panas menggelisahkan.
Di langit cahaya bulan kembali tertutup mendung
tebal. Sementara di satu tempat pemakaman ber-
nama Liang Landak, satu sosok berpakaian serba hi-
tam berambut kaku macam ijuk muncul di sana,
berdiri tegak dengan tubuh terhuyung-huyung. Se-
pasang matanya berusaha menembus dalam gelap.
Secara samar dia melihat batu-batu nisan yang ber-
sembulan di dalam tanah. Sosok itu gelengkan kepa-
la. Agaknya kehadirannya di tempat itu adalah se-
suatu yang tidak disengaja. Terbukti dia begitu terkejut. "Bagaimana aku bisa
sampai ke sini" Kalau tidak salah bukankah tempat ini yang dinamakan
Liang Landak. Tempat pemakaman beberapa tokoh
sesat beberapa abad yang silam" Gila... jika bukan
karena Bayangan Maut tadi rasanya tidak mungkin
aku sampai kesasar ke tempat ini. Hemm, nenek ke-
parat itu kurasa bukan manusia. Tapi roh gentayan-
gan berujud manusia dan serigala. Gila... aku men-
guras hampir ilmu kesaktian yang kumiliki. Tapi dia tidak mati. Pukulan Delapan
Tinju Mabuk, jurus Tujuh Pedang Perisai Dewa, Pukulan Tanpa Ujud. Den-
gan pukulan-pukulan itu aku telah mencoba meng-
hancurkannya. Tapi aku tidak ubahnya seperti
menghantam angin. Beruntung aku dapat melarikan
diri, lebih untung lagi dia tak tahu aku pergi ke arah mana. Jika tidak bisa
amblas nyawaku." Sambil gelengkan kepala sosok yang ternyata adalah kakek
aneh bernama Tapa Gedek itu leletkan lidah.
"Jika nenek sakti itu tidak mempan pukulan
sakti. Apa yang dia miliki hampir sama dengan An-
gin Pesut alias Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Men-
gapa dia begitu marah ketika aku tidak mengambil
tindakan apa-apa pada Angin Pesut. Walau dia tak
mengatakan, aku yakin nenek itu menyimpan den-
dam selangit pada kakek itu. Sayang aku tak tahu
silang sengketa apa yang terjadi antara mereka.
Huh... buat apa ku fikirkan segala urusan orang.
Saat ini aku sudah tersesat jauh, aku harus kembali ke gunung Lawu?" fikir kakek
itu. Kakek yang memiliki kebiasaan menggeleng-
kan kepala itu kemudian balikkan badan bermaksud
tinggalkan tempat itu. Akan tetapi secara tak terdu-ga begitu dia memutar
langkah, salah satu kakinya
menginjak batu menonjol yang tersembul di permu-
kaan tanah. Ketika batu yang terinjak tak sengaja
itu amblas ke dalam tanah. Detik itu juga terdengar suara bergemuruh hebat.
Tanah terkuak lebar se-luas tiga tombak. Tapa Gedek tersentak kaget, wa-
jahnya mendadak pucat, namun dia cepat melesat
ke udara, berjumpalitan beberapa kali agar dirinya
tidak sampai ikut amblas ke dalam tanah. Kakek ini
memang berhasil jejakkan kaki tak jauh dari mulut
lubang. Tapi kemudian sesuatu yang tidak terduga
terjadi atas dirinya. Dari bagian tanah yang amblas dan mengeluarkan suara
gemuruh dahsyat. Tiba-tiba saja ada satu kekuatan namun tidak terlihat
menarik dirinya ke bawah.
"Hah..."
Dalam kejutnya Tapa Gedek berusaha me-
nyelamatkan diri dengan menyambar sebatang anak
pohon seukuran lengan orang dewasa. Tapi kekua-
tan yang menariknya dari bagian dalam lubang itu
ternyata lebih dahsyat. Semakin Tapa Gedek menco-
ba bertahan, semakin bertambah hebat pula daya
tarik di bawah sana.
Kraaak! Pohon yang dijadikan tempat bertahan ber-
derak patah. Tak ampun lagi tubuh Tapa Gedek ter-
sedot ke bawah dan terus terseret masuk ke dalam
lubang menganga.
Blung! SI kakek jatuh ke dalam lubang menganga
yang tak terukur dalamnya. Suasana di dalam lu-
bang yang semula gelap gulita kini berubah terang-
benderang begitu pinggul Tapa Gedek menghantam
bagian dasar lubang menganga. Dengan terengah-
engah dan wajah pucat diliputi ketegangan si kakek
bangkit berdiri. Tapa Gedek menarik nafas. Dingin-
nya udara di dalam lubang membuat sekujur tubuh
Tapa Gedek menggigil. Gerahamnya bergemeletukan.
Si kakek kerahkan tenaga dalam untuk mele-
nyapkan rasa dingin yang menyerang dirinya. Hawa
dingin itu secara perlahan berangsur lenyap.
Tapa Gedek kitarkan pandang menatap ke
segenap penjuru. Ruangan di bagian dasar lubang
menganga itu ternyata cukup luas. Bagian dinding-
nya terdiri dari bebatuan indah dipahat sedemikian
rupa oleh seorang juru ukir yang memiliki cita rasa seni tinggi. Tapa Gedek
tertegun melihat semua ini.
Ukir-ukiran yang terdapat di bagian dinding lubang
indah menakjubkan dan sangat menarik perhatian-
nya. Tapi kemudian perhatiannya lebih tertuju pada
sebuah lorong panjang selebar dua tombak dengan
bagian langit-langit setinggi satu setengah tombak.
Dari lorong inilah cahaya menyilaukan ini berasal.
Sambil memandang ke arah lorong menyilaukan ini
Tapa Gedek bertambah heran. Dalam hati dia berka-
ta. "Tempat aneh, aku tak pernah menyangka ada ruangan seperti ini di bawah
kubur Liang Landak"
Dan cahaya itu seakan ada kehidupan terpendam di
bawah sini. Naluriku mengatakan ada bahaya besar
yang bakal terjadi. Aku harus segera mencari sela-
mat." kata si kakek. Kemudian orang tua itu dongakkan kepalanya ke atas. Bagian
permukaan lu- bang sama sekali tak terlihat disaput kegelapan. SI kakek tak dapat
memperkirakan berapa dalam jarak
antara dasar lubang dengan mulut lubang.
"Celaka! Aku tidak punya ilmu Cecak Me-
rayap, tak mungkin aku bisa merayap sampai ke
atas sana." kata si kakek. Kembali dia memandang ke arah lorong. Kini dia
teringat ketika dia bertahan pada kayu dia mendengar suara gemuruh dahsyat,
serta adanya satu kekuatan yang menarik tubuh-
nya. Suara gemuruh lenyap dan kekuatan yang
membetotnya juga Lenyap begitu dia terjatuh ke da-
lam lubang. "Untuk sementara aku harus melupakan ba-
gaimana caranya agar aku dapat tinggalkan tempat
ini. Sekarang aku harus mencari tahu kekuatan apa
yang sanggup memaksaku hingga terjatuh di tempat
Ini." berkata begitu Tapa Gedek akhirnya membu-latkan tekad memasuki lorong yang
ditaburi cahaya
putih menyilaukan yang berada di sebelah kirinya.
Begitu si kakek menelusuri lorong berbentuk
bundar tersebut, dia merasakan satu sengatan yang
sangat luar biasa panasnya. Tapa Gedek menyerin-
gai. Hawa panas membuat tubuhnya seolah mau
meleleh. Hanya karena tekad serta rasa ingin tahu
yang begitu kuat membuat Tapa Gedek tidak ber-
geming. Malah dengan langkah lebar dia terus saja
susuri lorong cahaya itu.
Tak berapa lama kemudian sampailah si ka-
kek di ujung lorong yang sekaligus merupakan batas
cahaya antara putih dan biru. Sampai di batas anta-
ra dua cahaya putih dan biru si kakek hentikan
langkahnya. Tertegun dalam keraguan Tapa Gedek
pandangi ruangan luas berwarna biru itu. Sekali lagi Tapa Gedek jadi bicara
sendiri. "Ruangan itu terbungkus kabut. Aku hampir tak dapat melihat ge-
rangan apa yang terdapat dibalik kabut. Perasaanku
jadi tidak enak. Seolah ada cahaya yang mengintai-
ku disana. Mungkin aku harus mundur kembali ke
tempat semula di mana aku terjatuh. Di tempat itu
aku bisa menunggu hingga pagi tiba, fikir Tapa Ge-
dek. Lalu cepat sekali dia memutar tubuh. Tapi si
kakek tercekat begitu lorong di belakangnya menda-
dak Lenyap, raib entah kemana.
"Tak mungkin! Bagaimana bisa terjadi hal
yang seperti ini. Aku jelas melewati lorong itu. Mengapa lorong yang kulewati
tiba-tiba saja raib. Mungkinkah perangkap, mungkin jebakan" Siapa yang te-
lah menjebakku?" Selagi fikiran si kakek dipenuhi tanda tanya. Di saat hati
orang tua itu diselimuti perasaan gelisah, maka pada saat itu pula terdengar
satu ngiangan di telinga kanannya.
"Tapa Gedek. Jangan kau sampai melewati
batas cahaya putih itu. Jika kau sampai memasuki
ruangan batas biru, maka sekujur tubuhmu akan
meleleh bagaikan lilin. Ruangan biru sekilas me-
mang terasa dingin, tapi apa yang kau rasakan itu
adalah tipuan saja. Bukan keadaan yang sesung-
guhnya." kata suara itu. Tapa Gedek tentu saja tersentak kaget.
Jelas suara ngiangan yang di dengarnya jelas
bukan sesuatu yang asing bagi dirinya. Suara yang
dia dengar adalah suara gurunya Manusia Selaksa
Angin. Suara itu tentu saja sangat mengejutkan di-
rinya, karena Tapa Gedek sama sekali tak menyang-
ka sang guru mengetahui dirinya terjebak di Liang
Landak. Walaupun begitu Tapa Gedek tak mau ter-
tipu, apalagi mengingat saat ini kitab ilmu Gelom-
bang Naga ada ditangannya. Lalu dengan melalui il-
mu mengirimkan suara dia segera ajukan perta-
nyaan. "Guru... benarkah kau guruku?" Sayup-sayup kembali terdengar suara ngiang
jawaban. "Samber geledek. Tentu saja aku gurumu."
damprat suara itu ketus. Tapa Gedek sampai ber-
jingkrak kaget. Namun dengan tenang dia kembali
ajukan pertanyaan. "Jika engkau guruku, diantara kita sejak dulu punya
perjanjian dan punya kata
sandi. Sebutkan sandimu guru!"
"Kakek setan. Baiklah, kau dengar! Sandiku
adalah Dewa tersenyum memandang bidadari. Bida-
dari menangis menatap bulan. Bulan runtuh me-
nimpa kepala dewa, lalu bidadarinya kawin dengan
siapa?" "Denganku saja." sahut Tapa Gedek melalui ilmu mengirimkan suara pula.
"Kepalamu pitak, Tapa Gedek. Sekarang kau
sebutkan sandimu. Aku curiga jangan-jangan kau
orang lain yang menyaru sebagai muridku!"
"Kau tak percaya. Baiklah, dengarkan sandi
muridmu ini. Burung puyuh buah rambutan di balik
bukit ada bebek. Tak usah kau suruh aku memberi
sambutan. Karena muridmu ini juga sudah menjadi
seorang kakek!"
"Manusia sial kurang ajar. Sekarang kau be-
rada dalam ancaman bahaya besar. Kau akan ter-
pendam di bawah kubur para manusia sesat bebe-
rapa abad silam itu jika kau tak segera menutup lo-
rong cahaya putih itu dengan kabut saktimu."
"Hah... memang apa yang harus aku laku-
kan, guru. Beri aku petunjuk. Aku tak ingin mati
atau celaka di tempat ini!" ujar Tapa Gedek melalui ilmu mengirimkan suara.
Belum lagi si kakek mendengar jawaban gu-
runya, pada detik itu pula terdengar suara raungan
dahsyat menggelegar. Ruangan biru bergetar hebat.
Tapa Gedek jatuh terduduk. Dua matanya yang ter-
pentang memandang lurus ke arah ruangan serba
batu yang memancarkan cahaya biru dan disapu
kabut tipis yang mengambang di permukaan lantai.
Belum lagi gema suara raungan Lenyap dari
balik kabut muncul satu sosok berwajah angker
mengerikan. Sosok ini tak dapat dikatakan sebagai
manusia seutuhnya karena wajahnya berujud wajah
kelelawar, bermulut runcing namun memiliki daun
telinga lebar. Di bagian belakang kepala manusia setengah kelelawar ini menjulai
rambutnya yang pan-
jang dan putih. Dia nyaris tidak berpakaian. Da-
danya ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat sedangkan
dua tangannya memiliki sayap menyerupai jubah.
Sepuluh jemari tangan berkuku panjang hitam men-
cuat. Dari celah bibirnya juga mencuat dua pasang
taring panjang.
2 Manusia setengah kelelawar itu, begitu mun-
cul dari kepekatan kabut di dalam ruangan biru
langsung menyerbu ke arah Tapa Gedek yang saat
itu berada di batas antara cahaya putih dan biru.
Kakek itu melompat mundur ke belakang sambil do-
rongkan kedua tangannya ke arah ujung terowongan
di mana manusia kelelawar itu bergerak cepat siap
mencabik dirinya.
Buuum! Satu ledakan berdentum mengguncang
ruangan di bawah pemakaman. Manusia Kelelawar
terpental ke belakang. Langit-langit ruangan biru
runtuh. Manusia kelelawar mencoba bangkit. Tapi
sebelum manusia aneh itu sempat melakukan se-
rangan untuk yang kedua kalinya Tapa Gedek men-
dengar suara bisikan gurunya.
"Pergunakan Perisai Gaib yang pernah aku
ajarkan padamu"!" perintah Manusia Selaksa Angin.
Si kakek tentu saja terkejut setengah mati menden-
gar perintah itu. "Guru... jika ujung terowongan ku-tutup dengan perisai gaib,
berarti aku tidak akan
dapat keluar dari tempat ini?" ujar Tapa Gedek.
"Ha ha ha. Kau memang tak mungkin bisa
keluar dari kehidupan bawah tanah itu, Tapa Gedek.
Terkecuali kau berhasil mengamalkan ilmu Gelom-
bang Naga yang terdapat dalam kitab yang kau ba-
wa. Kau tak punya pilihan lain. Hidup matimu ter-
gantung mau tidaknya kau mengamalkan ilmu itu.
Cepat kau tutup ujung lorong dengan perisai gaib."
"Baiklah." sahut si kakek. Kemudian dua


Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan cepat sekali disilangkan ke depan dada. Se-
kujur tubuh Tapa Gedek bergetar juga basah ber-
simbah keringat.
Wuuus! Begitu dua tangan didorongkan ke depan
maka menderulah hawa dingin laksana topan yang
dengan cepat menutupi ujung terowongan bercahaya
putih. Begitu terowongan itu tertutup tabir gaib.
Tapa Gedek masih sempat mendengar adanya suara
benturan-benturan keras yang menghantam perisai
gaib yang diciptakannya. Mungkin manusia kelela-
war di luar sana berusaha menghancurkan perisai
yang diciptakan oleh Tapa Gedek. Tapi nampaknya
kakek itu tidak perduli. Dia sandarkan tubuhnya ke
dinding batu sambil hembuskan nafasnya dalam-
dalam. "Sekarang apa lagi" Guru pernah mengatakan kitab Gelombang Naga pada
akhirnya baru bisa
kupelajari jika aku benar-benar menghadapi urusan
besar. Apakah engkau merasa sekarang saat yang
kau janjikan itu telah tiba?" tanya si kakek.
"Kau bukan saja menghadapi urusan besar.
Jiwamu saat ini berada dalam ancaman bahaya be-
sar. Ketahuilah, jalan satu-satunya agar kau dapat
keluar dari Liang Landak itu hanya melalui ruangan
biru. Dari ruangan itu ada sebuah jalan menuju ke-
luar. Jalan keluar yang kumaksud harus pula mela-
lui kubur seorang dedengkot. Tapi untuk sampai ke
sana tidaklah mudah. Setidaknya ada tiga petaka
besar yang menghadangmu, salah satu petaka itu
adalah Manusia Kelelawar seperti yang kamu lihat
tadi. Ratusan tahun manusia setengah mahluk ja-
hanam itu terpendam disini. Ilmu kesaktiannya tak
seorang pun mampu menjajaki."
"Tapi aku memiliki ilmu yang tak dapat di-
anggap remeh." sahut Tapa Gedek. Sayup-sayup
terdengar suara tawa bergelak. Lalu suara ngiang
tawa Lenyap, si kakek mendengar suara caci maki.
"Tapa Gedek muridku yang tolol. Rupanya kau masih belum mengerti, kau dengar...
tiga manusia yang menginginkan nyawamu itu memiliki ilmu kepandaian serta ujud
hampir sama dengan Bayangan
Maut. Jika menghadapi Bayangan Maut semua ilmu
yang kau miliki hampir tidak berguna, apa mungkin
kau sanggup menghadapi tiga mahluk penghuni
Liang Landak ini dengan cara yang sama" Kau ha-
rus dapat menguasai ilmu Gelombang Naga!"
"Tapi... bukankah kitab ini sebelumnya telah
berada di tangan Angin Pesut. Aku yakin dia juga telah berhasil menguasai ilmu
yang sama!" kata Tapa Gedek. "Kau benar, Tapa Gedek, Angin Pesut memang telah
mempelajari ilmu Gelombang Naga. Den-
gan ilmu itu mungkin dia dapat menjawab tantan-
gan lawan. Tapi Angin Pesut tidak mendapatkan inti
ilmu Gelombang Naga yang sesungguhnya, karena
inti ilmu itu tersembunyi di balik kulit kitab itu. Sekarang kau tak punya
waktu. Keluarkan kitab dari
balik punggungmu, kemudian robek kulitnya. Dan
kau akan dapati selembar daun lontar berisi inti il-mu Gelombang Naga yang
sejati!" perintah suara itu
tegas. Meskipun terkejut tak menyangka gurunya
yang berada di gunung Lawu bisa mengetahui dima-
na kitab disimpannya. Tapi Tapa Gedek keluarkan
juga kitab dari balik pinggangnya. Sesuai perintah
Manusia Selaksa Angin kitab butut berwarna cokelat
itu dibuka. Kemudian kulit pembungkus kitab diro-
bek oleh si kakek. Begitu sampul kitab dirobek se-
lembar daun lontar yang terselip di kulit kitab itu terlontar, melayang dan
jatuh ke pangkuan si kakek.
Jatuhnya daun lontar di atas pangkuan
orang tua ini membuat suasana panas di dalam
ruangan sempit itu sontak menjadi dingin luar bi-
asa. Dengan tangan gemetar dia mengambil daun
lontar dipangkuannya. Di atas daun lontar itu ter-
nyata tertera beberapa baris kalimat berupa mantra.
Si kakek membaca dan menghapalnya beberapa
kali. "Gelombang Naga.. ilmu yang bersumber pada kekuatan air. Ilmu seribu
kelembutan, seribu kedahsyatan. Bila Gelombang Naga bicara setan dan Iblis lari
tunggang langgang. Bila gunung terkena pukulan ilmu ini, gunung runtuh.
Gelombang Naga adalah ke-damaian, Gelombang Naga sebuah kedahsyatan,
namun Gelombang Naga juga adalah satu kehancu-
ran." Selesai kakek itu membaca tulisan yang tertera diatas daun lontar itu.
Tiba-tiba saja sekujur tubuh si kakek bergetar hebat. Getaran semakin la-ma
semakin menggila. Lalu bersamaan dengan itu
pula Tapa Gedek mendengar suara sayup-sayup be-
rupa ngiangan di telinga kanannya. "Kau telah
menghapal mantra-mantra di atas daun lontar itu.
Sekarang tarik nafas dalam-dalam sebanyak tiga
kali. Jangan kau hembuskan nafasmu sebelum
mendapat aba-aba dariku!"
Tapa Gedek yang sekujur tubuhnya telah
bermandikan keringat kini mulai menarik nafas pan-
jang sebanyak tiga kali. Begitu dia menarik nafas dalam-dalam. Secara aneh dan
mengejutkan daun lon-
tar yang tergeletak di atas pangkuannya mendadak
sontak ikut tersedot masuk ke dalam lubang hi-
dungnya. Si kakek tentu saja jadi melengak kaget.
Bagian tenggorokannya mengeluarkan suara seperti
tercekik. Si kakek menggapaikan tangannya. Dia
nampak kelabakan, tapi belum lagi sempat menarik
daun lontar yang tersedot hidungnya, daun itu am-
blas Lenyap di dalam rongga hidung. Tersedotnya
daun lontar itu menimbulkan hawa panas sekaligus
hawa dingin luar biasa. Si kakek menggerung, tu-
buhnya terkapar, lalu berkelojotan sekaligus bergu-
lingan di atas lantai yang membuat tubuhnya me-
mancarkan cahaya berwarna merah kuning dan bi-
ru. Cahaya itu membentuk bayangan sosok naga
yang pada akhirnya menjadi surut, lalu Lenyap di
bagian atas ubun-ubun dan berubah menjadi kepu-
lan asap tipis warna warni.
"Kraaaagh...! Haarkh...!"
Tapa Gedek bangkit berdiri. Kini dia merasa-
kan sekujur tubuhnya terasa enteng. Namun dia ju-
ga masih merasakan adanya sesuatu yang bergejo-
lak di bagian dalam hingga membuat Tapa Gedek
jadi gelisah. "Guru... guru. Apakah kau masih mendengar
suaraku?" tanya si kakek.
"Mengapa harus teriak murid setan. Aku ti-
dak ada di situ, tapi aku tetap mendengar mu. Kau
simak baik-baik apa yang kukatakan ini. Sekarang
kau telah menguasai ilmu Gelombang Naga yang se-
sungguhnya. Karena ilmu telah kau kuasai. Kau
punya satu tugas membantu salah seorang saha-
batku...!"
"Siapa sahabatmu itu guru?"
"Sahabatku seorang manusia aneh bernama
Gentong Ketawa. Kakek itu saat ini berada dalam
ancaman bahaya besar." Tapa Gedek begitu men-
dengar nama Gentong Ketawa disebut gurunya cepat
memotong. "Kalau tak salah aku pernah mendengar kakek berbadan gendut luar biasa
itu. Dia seorang
tokoh aneh dari gunung Merbabu. Konon kudengar
pemuda aneh yang memiliki Gelar Pendekar Sakti 71
Gento Guyon adalah muridnya. Apa perluku mem-
bantu kakek sakti berkepandaian seperti dia?" ujar Tapa Gedek.
"Tapa Gedek, orang yang bernama Empu Ba-
rada Sukma itu bukan manusia sembarangan. Ilmu
yang dia miliki kini maju pesat. Kukira hanya ilmu
Gelombang Naga yang dapat menghentikan niatnya
menjatuhkan tangan keji pada Gentong Ketawa."
"Apakah aku boleh tahu silang sengketa apa
yang terjadi diantara mereka hingga, Empu Barada
Sukma menghendaki nyawa si gendut sinting itu?"
tanya si kakek.
"Ha ha ha. Peristiwanya sudah berlangsung
puluhan tahun silam. Aku tidak (ayak mengatakan-
nya padamu. Jika kau bertemu dengan Gentong Ke-
tawa tanyakan saja langsung kepadanya. Keluarlah
kau dari lorong batas putih. Setelah itu masuki
ruangan biru, dari ruangan itu jika kau sanggup bi-
sa keluar dengan cara menjebol batu makam de-
dengkot nomor satu golongan hitam. Kakek tua
bangka muridku. Satu hal yang patut kau ingat,
jangan sampai kau tertipu oleh penglihatanmu sen-
diri. Nanti seandainya kau bertemu dengan Gentong
Ketawa, sampaikan salamku padanya. Dan jangan
lupa minta padanya untuk menyanyikan satu tem-
bang Pelipur Lara yang dulu pernah kami nyanyikan
bersama dalam suka dan duka!"
"Baik. Nanti akan kuminta dia menyanyikan
sepuluh nyanyian tentang suka duka kehidupan ne-
raka!' sahut Tapa Gedek.
"Ah, boleh. Boleh saja, sepuluh nyanyian Ne-
raka memang sudah banyak dilupakan orang. Mu-
ridku... sampai disini aku bicara. Lakukan tugasmu.
Jangan sampai kau membuatku kecewa. Gentong
Ketawa adalah sahabatku, jika dia sampai celaka di
tangan Empu Barada Sukma. Maka umurmu tidak
bakal lama!"
"Aku mengerti. Izinkan aku memikul tugas
ini!" jawab Tapa Gedek.
Tak ada jawaban. Suasana di dalam lorong
yang sempit itu sunyi mencekam. Tapa Gedek kitar-
kan pandang, kemudian dia memperhatikan tabir
gaib yang dibuatnya sendiri. "Aku harus singkirkan tabir itu. Begitu aku keluar
paling tidak Manusia Kelelawar telah menungguku. Seandainya dia bisa ku-
bereskan, konon menurut guru masih ada lagi dua
bahaya yang mengincarku. Guru tak mengatakan
apa bentuk bahaya yang menghadangku. Yang jelas
aku harus berhati-hati." fikir Tapa Gedek.
"Biar kulenyapkan tabir pelindung ini dulu."
berkata begitu si kakek yang mempunyai kebiasaan
menggelengkan kepala ini segera menyilangkan ke-
dua tangannya di depan dada. Begitu dua tangan
saling bersilang, mulut si kakek pun nampak ber-
kemak-kemik. Beberapa saat setelah itu dari ujung
jari telunjuk si kakek terlihat dua larik sinar merah sepanas bara dan setajam
mata pedang melesat
menghantam tirai gaib yang terdapat di depannya.
Blep! Blep! Bleep!
Tiga kali letupan terjadi berturut-turut Kabut
putih yang merupakan ujud nyata tirai gaib Lenyap.
Begitu kabut Lenyap, dari ruangan serba biru ter-
dengar suara deru aneh disertai menyambarnya ha-
wa panas luar biasa. Bersamaan dengan itu pula
terdengar suara seperti lolong manusia tapi mirip
pula dengan suara cericit kelelawar. Tapa Gedek
meskipun dirayapi ketegangan namun tak menghi-
raukannya. Setindak demi setindak kakinya me-
langkah memasuki ruangan luas bertabur cahaya
biru. 3 Kita tinggalkan dulu Tapa Gedek yang terje-
bak di dalam ruang kehidupan bawah tanah yang
merupakan kubur para tokoh sesat beberapa abad
silam. Sementara itu pada waktu yang hampir ber-
samaan tiga bayangan berkelebat memasuki kawa-
san dua bukit yang terdapat di daerah Imogiri. Tiga sosok bayangan itu terus
melewati reruntuhan puing
gedung, kemudian terus bergerak ke arah kawasan
telaga, lalu memasuki celah dua bukit curam. Sam-
pai di depan mulut sebuah gua sosok yang berada di
bagian depan memperlambat larinya, sampai akhir-
nya berhenti sama sekali.
Melihat orang di depannya hentikan larinya,
dua sosok yang mengikuti di bagian belakang ikut
pula hentikan Langkah. Sosok yang berhenti di de-
pan mulut gua ternyata adalah seorang nenek je-
rangkong, berpakaian biru lusuh rambut awut-
awutan. Nenek ini bukan lain adalah Serimbi bekas
istri Angin Pesut. Sedangkan dua orang yang mengi-
kuti di belakangnya bukan lain Pendekar Sakti 71
Gento Guyon bersama seorang kakek berpakaian
serba putih berambut dan berjanggut putih, berpipi
tembem hidung pesek. Kakek ini di kenal dengan
nama Sateaki, adik seperguruan Angin Pesut. Berdi-
ri dalam keadaan berdampingan seperti itu si pemu-
da berbisik pada kakek di sebelahnya. "Aki... kau yakin di dalam gua itu kubur
saudaramu berada"!"
"Bocah edan. Aku tak pernah mengatakan
kakangku Angin Pesut telah menemui ajal. Kau sen-
diri yang bermulut lancang. Kau katakan pada be-
kas kakak iparku telah mati. Padahal aku tahu ka-
kang Angin Pesut dalam keadaan sehat tak keku-
rangan sesuatu apa. Sial! Gara-gara mulutmu yang
lancang nampaknya aku juga bakal mendapat su-
sah!" gerutu si kakek. Gento tersenyum. Meskipun dia tahu bahaya serta kesulitan
apa yang bakal mereka hadapi begitu si nenek tahu Angin Pesut se-
sungguhnya belum mati namun sang pendekar tetap
berlaku tenang. Malah dia sempatnya bersiul-siul.
Suara siulan murid kakek gendut Gentong
Ketawa mendadak Lenyap begitu melihat nenek
angker berotak sinting di depan sana balikkan ba-
dan dan menatap tajam ke arah si kakek dan Gento
silih berganti.
"Ki, nampaknya dia curiga kita telah meni-
punya. Sebaiknya kau cepat beri penjelasan pa-
danya sebelum dia marah dan menghancurkan ba-
tok kepalamu!" kata sang pendekar dengan suara perlahan sekali. Mendengar ucapan
Gento tentu saja
Sateaki jadi tercekat. Dengan muka pucat dan suara


Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergetar tak kalah lirihnya si kakek menyahuti.
"Aa..aku.. " Mengapa harus aku" Kau sendiri
sudah tahu, sejak kita berada di pulau apung dia
sudah menunjukkan rasa ketidak senangannya. Le-
bih baik kau saja yang bicara dengannya karena
sampai sekarang dia tetap mengira kau adalah adik-
nya!" pinta si kakek.
"Sejak tadi kudengar kalian saling berbisik.
Apa yang kalian bicarakan"!" hardik si nenek sambil delikkan matanya dengan
tatapan bengis.
Sateaki terkesiap tak tahu harus menjawab
apa. Sebaliknya sang pendekar yang memiliki otak
cerdik cepat melompat dekati si nenek, setelah dekat dia berbisik dekat telinga
Serimbi. "Kakak... kau jangan mudah curiga. Aku hanya bertanya padanya
dimana Angin Pesut dikuburkan. Lalu kakek jelek
itu menjawab bekas suamimu itu dikuburkan di da-
lam gua. Mayatnya tergeletak begitu saja di atas lantai!" kata pemuda itu. Si
nenek terdiam. Hanya sepasang matanya yang menjorok ke dalam rongga
merayapi wajah sang pendekar membuat hati pemu-
da itu dirayapi perasaan tidak enak lalu pura-pura
alihkan perhatiannya ke mulut gua. Sementara itu
Sateaki yang sempat melihat apa yang dilakukan
Gento dalam hati membatin. "Nyawanya dan nyawa-ku sudah berada di ujung tanduk.
Muslihat apa lagi
yang dijalankannya untuk mengelabui bekas kakak
ipar" Salah sedikit dia bicara, sebentar lagi nyawa pasti melayang. Sial betul.
Mengapa urusan mendadak jadi rumit begini" Kalau saja aku tahu urusan
tak mungkin terselesaikan sebagaimana yang kuha-
rapkan. Tidak nantinya aku mau pergi ke pulau ter-
kutuk bersama pendekar edan itu?" kata Sateaki tak hentinya menyesali.
Pada kesempatan itu agaknya nenek Serimbi
terpancing oleh ucapan Gento yang selama ini dia
anggap sebagai adiknya yang pernah hilang. Terbuk-
ti dia kemudian berkata. "Baik... adikku Belalang Kecil. Selamanya aku percaya
padamu. Pertama kita
akan lihat ke dalam. Jika benar Angin Pesut telah
mati aku merasa senang. Berarti tugasku hanya
tinggal mencari putriku tercinta. Tapi jika ternyata kau menipuku, dengan sangat
terpaksa aku akan
membunuhmu juga membunuh tua bangka itu!"
dengus si nenek.
"Aduh, tamatlah kali ini riwayatku!" keluh sang pendekar.
Sateaki yang ikut mendengar ancaman si
nenek tidak bicara apa-apa. Tapi biar bagaimanapun
diam-diam si kakek merasa khawatir juga. Orang
tua ini menyadari ilmu kesaktian yang dia miliki bila dibandingkan dengan ilmu
sakti yang dimiliki bekas
kakak iparnya itu jelas jauh diatasnya. Nenek Se-
rimbi mempunyai ilmu beberapa tingkat di bawah
Angin Pesut. Tapi nenek itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah sampai pada puncaknya.
Selain itu dia juga mempunyai beberapa pukulan
yang mengandung racun ganas. Apalagi jika dia
sampai menggunakan pukulan Perubahan Bentuk.
Mereka berdua bisa celaka seumur hidup.
"Hayo tunggu apa lagi...!" dengus si nenek.
Sang Pendekar memberi isyarat pada Sateaki
agar orang tua itu mengikutinya. Beberapa saat ke-
mudian beriringan ketiga orang ini masuk ke dalam
gua. Suasana ruangan gua yang berwarna merah
membuat si nenek dan Gento membutuhkan waktu
beberapa saat lamanya untuk menyesuaikan diri
dengan pemandangan di dalam. Sementara Sateaki
sendiri diam-diam menjadi heran ketika mendapati
ruangan gua itu dalam keadaan kosong. Dua sosok
mayat membusuk yang berada di atas lantai gua
masih tergeletak di tempatnya.
"Kemana perginya kakang Angin Pesut?" fikir si kakek. Tapa Gedek terdiam. Dia
jadi ingat, ketika hendak memasuki mulut gua tadi si kakek sempat
melihat suasana mulut gua dalam keadaan porak
poranda, seakan di tempat itu telah terjadi suatu
pertarungan hebat. Yang mengherankan dia tak me-
lihat ada mayat tergeletak di situ. Kemana perginya Angin Pesut" Pertanyaan ini
sempat mengusik benak
si kakek. Lamunan Sateaki buyar seketika karena
saat itu terdengar suara si nenek angker berpakaian lusuh memecah keheningan.
"Aku tidak melihat kubur di dalam ruangan
ini. Itu artinya kalian telah menipuku mentah-
mentah. Angin Pesut tidak mati, Iblis Tujuh Rupa
Delapan Bayangan masih bernafas hingga detik ini.
Tidak ada jalan selamat bagi seorang penipu terke-
cuali mati!" berkata begitu si nenek cepat balikkan badan lalu angkat tangan
kanannya. Sekejap saja
tangan si nenek angker telah berubah menghitam
sampai ke bagian siku. Tangan yang menghitam itu
mengepulkan asap tipis berbau tidak sedap. Melihat
ini tercekatlah kakek Sateaki. Dengan wajah pucat
tanpa sadar dia berseru. "Pukulan Racun Lanang Hitam" Pendekar Sakti 71"!
Bagaimana kau masih da-
pat bersikap setenang itu padahal bekas kakak ipar-
ku siap membunuh kita"!" desis si kakek yang nampak begitu panik melihat nenek
sakit ingatan itu
siap manghajar mereka dengan salah satu pukulan
mautnya. "Pendekar Sakti 71. Jadi pemuda geblek ini
kunyuk yang menyandang gelar Pendekar Sakti 71.
Rupanya betul, kau bukan Belalang kecil. Kau bu-
kan adikku yang tenggelam terseret arus air bah
Bengawan Solo. Lalu siapa dirimu ini yang sebenar-
nya monyet gondrong"'" tanya si nenek dengan suara menggereng marah.
Gento mengusap habis wajahnya. Tak lama
kemudian terdengar pula suara tawanya. "Kakak, aku adalah monyet gondrong
sebagaimana yang kau
katakan. Sekarang apakah kau hendak turun tan-
gan keji pada adikmu sendiri setelah bertahun-
tahun kita tidak bertemu" Jika kau tega lakukanlah, aku siap menerima kematian.
Arwah ayah ibu kita
pasti tidak bakal tenteram di alam sana jika sampai kau jatuhkan tangan jahat
kepadaku!" habis berkata begitu sang pendekar pura-pura pejamkan matanya.
Kakek Sateaki yang melihat kelakuan Gento
merasa geram dibuatnya. Dalam hati dia memaki.
"Pendekar sinting itu. Apa dia tidak tahu kakak Serimbi terganggu ingatannya,
masih juga dia berlaku
konyol. Benar-benar mencari mampus!" Sementara itu si nenek menjadi ragu begitu
mendengar ucapan
Gento. Perlahan tangannya diturunkan, namun se-
pasang matanya masih memandang lurus ke arah
Gento. "Mungkin ucapanmu suatu kedustaan besar.
Kusesalkan aku terlanjur menyayangimu, tidak per-
duli siapapun dirimu. Tapi satu hal kuminta darimu
dan kau harus menjawabnya dengan jujur. Kau mau
mengabulkan permintaan ini?" tanya si nenek. Entah mengapa mendadak saja kedua
matanya nam- pak berkaca-kaca.
"Kakak... seandainya aku mampu menja-
wabnya. Aku tak ingin membuatmu kecewa!" ujar si pemuda. Si nenek anggukkan
kepala. Setelah itu
mulutnya membuka bertanya. "Katakan yang sebe-
narnya Angin Pesut masih hidup atau sudah mati?"
"Kakak.. apakah kau masih mencintai gon-
doruwo yang satu itu, atau kau ingin bertemu den-
gannya?" goda sang pendekar, lalu kedipkan ma-
tanya. Sepasang mata si nenek mendelik besar. Se-
kali tangannya bergerak, maka leher sang pendekar-
pun sudah kena dicekalnya. Gento keluarkan suara
jeritan seperti dicekik. Lidah terjulur sedangkan ma-ta melotot.
"Sekali lagi kau bicara seenak perutmu ku-
pecahkan kepalamu! Siapa bilang aku masih men-
cintai si jahanam Angin Pesut. Siapa bilang aku in-
gin bertemu! Manusia pembawa nestapa dan ke-
sengsaraan itu layak mati di tanganku!" dengus si nenek sengit.
"Kakak, kalaupun kau marah, mohon di-
maafkan. Tapi jangan kau cekik diriku seperti ini.
Aku bisa mati lemas kakak!" sergah sang pendekar dengan nafas tersengal-sengal.
Seakan tersadar si
nenek lepaskan cekalannya disertai tawa mengikik.
"Katakan Belalang Kecil. Kau jangan coba
mengalihkan pembicaraan!" Lagi-lagi perempuan sakit ingatan itu mendengus.
"Kalau kau ingin tahu, Angin Pesut masih
hidup atau sudah mati. Sebaiknya kau tanyakan
langsung pada adik seperguruannya. Dia ada dibe-
lakangku.!", ujar Gento lalu menunjuk ke arah Sateaki. Si kakek jadi tercengang.
Tengkuknya terasa dingin begitu melihat nenek Serimbi memandangnya
dengan mata mendelik.
"Sateaki. Sekarang kau kuminta bicara jujur.
Katakan dimana Angin Pesut berada. Jangan berani
berdusta jika tidak ingin celaka di tanganku!" ancam si nenek. Untuk beberapa
saat lamanya Sateaki tak
mampu bicara barang sepatah katapun. Dia melirik
ke arah Gento seakan meminta pendapat. Tapi pe-
muda yang diliriknya malah kedipkan mata.
"Katakan cepat! Aku tidak punya waktu ber-
lama-lama disini!" bentak nenek tua itu sudah tidak sabar. Belum lagi Sateaki
sempat menjawab pertanyaan orang. Pada waktu yang hampir bersamaan
pula mendadak sontak terdengar suara jeritan me-
lengking yang disertai dengan berhembusnya angin
dingin luar biasa. Suara lengking seperti jerit manusia semakin lama berubah
seperti suara lolong seri-
gala. Semua orang yang berada di dalam ruangan
gua jadi tercekat. Walaupun begitu Gento masih
sempat berucap. "Nampaknya kita kedatangan tamu agung, kakak. Katakan padaku,
apakah aku yang
datang menyambut tamu, atau kau sendiri yang
hendak menemuinya?" Si nenek mendengus. Tanpa
berkata apa-apa dia berkelebat ke mulut gua yang
kemudian disusul oleh Gento dan Sateaki.
4 Berdiri tegak di depan mulut gua si nenek
sama sekali tidak melihat apapun terkecuali hembu-
san angin dingin yang menerbangkan bebatuan dan
debu. Karena itu si kakek yang sudah berdiri tiga
Langkah di belakang si nenek berucap kecewa.
"Hanya angin." Baru saja suara si kakek Lenyap, pada saat itu pula terdengar
suara tawa panjang
yang meningkahi suara deru angin yang menyerang
mereka. "Hik hik hik. Ha ha ha! Kepada para setan yang berdiri di mulut gua. Aku
datang ingin menjemput nyawa busuk Angin Pesut. Jika kalian tahu
dimana bersembunyinya jahanam itu cepat katakan
padaku!" Mendengar ucapan orang yang belum terlihat ujudnya, si nenek balas
gelak tawa dengan tawa
panjang menggidikkan. Sedangkan Sateaki memutar
kepala, kitarkan pandang. Dia coba memastikan dari
mana suara tawa berasal. Tapi Sateaki gagal menge-
tahui dimana keberadaan orang. Sebaliknya Gento
menyeringai. Tidak perduli rambut gondrongnya me-
lambai-lambai dihantam angin kencang dia menyele-
tuk. "Orang yang baru bicara. Engkau menyebut
kami setan" Kau sendiri siapa! Engkau menyebut
kami setan" Kau sendiri siapa" Mungkin kau bapak
dan ibu setan" Barang kali kau malaikat maut" Ka-
lau malaikat penjemput nyawa datangnya kok mem-
beri tahu segala"! Kurasa kau malaikat maut kesa-
sar. Rasanya perlu kukatakan padamu, kau datang
pada waktu yang tidak tepat. Angin Pesut tidak ada
disini! Pergilah ke neraka, kurasa Angin Pesut sudah berada disana, namun kau
lupa. Ha ha ha!"
"Belalang kecil benar. Angin Pesut sudah di
neraka. Kau yang membawanya bagaimana bisa lu-
pa?" kata si nenek angker menimpali.
"Tiga manusia calon celaka. Tidak kutemu-
kan orangnya di tempat ini pasti akan ada orang
yang membunuhnya. Kalian bertiga punya hubun-
gan apa dengan Angin Pesut?" tanya suara itu lagi.
"Walah, Aku dan kakakku ini tidak punya
hubungan apa-apa. Tapi kalau kakek itu jelas ada.
Dia saudara seperguruan Angin Pesut. Jika kau mau
nyawanya, ambil saja. Aku dan kakakku tidak ambil
perduli. Dia sudah tua, jika sekarang harus mati
sudah pantas baginya. Ha ha ha!" kata sang pendekar seenaknya sendiri.
"Pendekar Sakti 71 sialan. Harap jaga mu-
lutmu. Umur boleh tua, tubuh boleh berubah jadi
rongsokan. Masalah semangat aku tidak kalah den-
gan yang muda!" dengus si kakek ketus. Murid kakek Gentong Ketawa itu tertawa
mengekeh. Semen-
tara itu hembusan angin makin menggila, membuat
Serimbi, Sateaki dan Gento nyaris terpental. Nenek
itu sambil tertawa cekikikan hentakkan dua kakinya
berturut-turut pada tanah yang dipijaknya. Dua ka-
ki amblas seperti menancap di dalam tanah. Perta-
hanan yang dilakukannya membuat tubuh nenek
Sakit ingatan itu meliuk-liuk bagai sebatang pohon
cemara ditiup angin.
Sedangkan Sateaki terpaksa jatuhkan diri,
hingga tubuhnya rebah menelungkup sama rata
dengan lantai goa. Gento sendiri masih tegak berka-
cak pinggang. Biar nampaknya dia berlaku tenang,
sejak tadi sang pendekar kerahkan tenaga dalam ke
bagian kaki, hingga dia dapat bertahan dan mem-
buat tubuhnya tidak sampai tersapu mental. Malah
kini seperti orang yang baru saja mendapatkan se-
bongkah intan permata sambil mengumbar tawa
sang pendekar berkata. "Lumayan. Sejak tadi aku sudah kepanasan. Kini ada orang
gila dengan suka-rela mengipasi, membuat tubuh dan ketiakku yang
kegerahan kini menjadi dingin! Hem... nyaman be-
tul. Semakin lama semakin asyik! Ha ha ha!"
"Pemuda gondrong jahanam. Rupanya kau
manusia sinting. Biar tambah asyik sekarang ku-
tambah lagi!" teriak suara itu. Agaknya suara tanpa rupa bertambah jengkel.
Terbukti hembusan angin
yang sangat keras itu kini berubah menjadi panas.


Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak hanya sampai disitu saja. Batu-batu sebesar
kepalan tangan yang tidak jelas dari mana datang-
nya ikut pula menghantam Gento dan si nenek yang
bertahan di sampingnya.
Mendapat serangan begitu rupa si nenek se-
lamatkan diri dengan berlindung dibalik mulut gua.
Sebaliknya Gento yang tidak bergerak dari tempat-
nya jadi kalang kabut memukul balik batu-batu
yang menghantam sekujur tubuhnya
"Walah sudah tidak asik lagi. Tiupan angin
membuat tubuhku jadi gerah kepanasan. Yang ku-
sayangkan ada pula yang usil melempariku dengan
batu. Pantas kakakku tidak mau ikutan makan an-
gin. Ha ha ha!" berkata begitu masih dengan tertawa-tawa Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon gerakkan bahunya kanan kiri.
Wuus! Wuus! Satu gelombang tenaga sakti yang tidak ter-
lihat melesat dari kedua bahu sang pendekar, lalu
membentuk satu perisai laksana tembok baja dan
terus bergerak ke arah mana hembusan angin be-
rasal. Dalam keadaan tegak berdiri otot-otot di sekujur tubuh pemuda itu nampak
menegang. Wajahnya
nampak merah padam, namun mulut tetap me-
nyunggingkan senyum.
Buuumm! Beradunya dua tenaga sakti menimbulkan
satu ledakan berdentum. Di depan sana terdengar
pekikan kaget. Pendekar Sakti 71 sendiri terhuyung
dua tindak ke belakang, wajah berubah pucat. Se-
dangkan nafasnya sempat memburu.
Setelah mengatur jalan nafas, pemuda ini
berpaling pada Serimbi. Sementara itu hembusan
angin berhawa panas sama sekali Lenyap. Dengan
tenang Gento berkata. "Kakak... adikmu Belalang Kecil masih kepanasan. Dan
mengapa malah bersembunyi disitu?" Lalu si gondrong melirik ke arah Sateaki.
melihat kakek itu masih rebah menelungkup di lantai gua dia menyeletuk. "Oalah,
tua bangka lumutan itu mengapa tidur disitu" Hey ban-gun, sekarang sudah siang.
Tamu yang datang perlu
kita beri sambutan."
Tersipu-sipu si kakek bangkit berdiri. Se-
mentara itu si nenek sudah melompat dan kembali
berdiri di tempatnya semula. "Belalang Kecil! Ilmu kesaktianmu tidak rendah.
Tapi nampaknya kita
bakal menghadapi satu persoalan besar," berkata si nenek dengan suara lirih.
Gento hanya menyengir
sedangkan tatap matanya memandang lurus ke de-
pan. "Malaikat jejadian, apakah kau masih berada
disitu" Kami menunggumu, cepat kau tunjukkan di-
ri!" teriak si pemuda.
"Ha ha ha hik hik hik. Gondrong jahanam
aku masih berada di sini. Sepuluh tombak di de-
panmu. Untuk menyelesaikan satu perkara aku
memang harus menunjukkan diriku! Lihatlah baik-
baik...!" kata suara yang belum jelas ujudnya laki-laki atau perempuan.
Tak lama kemudian sepuluh tombak di de-
pan Gento mendadak sontak terdengar suara lolon-
gan panjang. Suara lolong disertai dengan pusaran
angin dingin yang menimbulkan satu lubang besar.
Suara lolong dan raungan lenyap, hembusan angin
mereda. Di atas lubang akibat pusaran angin mun-
cul kabut tipis berwarna putih. Lalu di tengah kabut itu terlihat secara samar
ujud sesuatu. Ujud yang-kemudian membentuk satu sosok seorang perem-
puan tua renta berkulit hitam berwajah angker
mengerikan. Yang membuat semua orang jadi terkesima
wajah nenek berpakaian hitam itu hampir setiap
saat selalu berubah antara wajah serigala dan wajah manusia.
Baik Gento maupun nenek Serimbi sama se-
kali tidak mengenali siapa perempuan yang hadir
dalam kepulan kabut itu. Apalagi Gento. Rasanya
seumur hidup baru kali ini dia melihat ada orang
yang mukanya berubah-ubah seperti ini.
"Aki.... hantukah atau manusia sungguhan
yang berada dihadapan kita itu?" tanya Gento dengan suara perlahan sekali.
"Mungkin inilah yang dinamakan hantu seri-
gala kesasar. Kita harus berhati-hati!" pesan si ka-
kek. Sementara itu di depan sana sosok yang diseli-
muti kepulan asap tipis begitu memperhatikan ne-
nek Serimbi nampak sunggingkan seringai. "Perempuan dengan tampang seperti
dirimu, rasanya aku
pernah mengenal. Bukankah engkau yang bernama
Serimbi, Istri Angin Pesut" Hik hik hik. Mengapa
keadaanmu jadi tidak karuan begini, perempuan
malang?" Serimbi tercekat. Wajahnya mendadak beru-
bah dingin menyeramkan begitu sosok dalam rupa
manusia dan serigala menyebut nama Angin Pesut.
Dengan suara keras Serimbi ajukan pertanyaan.
"Tua bangka keparat tak karuan ujud, siapa
dirimu ini" Sekali lagi kau menyebut nama Angin
Pesut kupatahkan batang lehermu!"
"Hik hik hik. Aku Bayangan Maut. Kulihat
sekarang kau telah kehilangan tali cinta kasih den-
gan manusia jahanam itu. Bukan hanya itu saja.
Kau telah kehilangan anakmu satu-satunya. Malang
sungguh malang jika kebahagiaan harus ditukar
dengan penderitaan berkepanjangan. Seorang ma-
napun tidak akan sanggup kehilangan anaknya yang
semata wayang." Kata demi kata yang diucapkan
oleh Bayangan Maut membuat perempuan sakit in-
gatan itu berubah menjadi beringas. Tidak ubahnya
seperti orang yang baru terjaga dari tidur, si nenek gelengkan kepala. Dia
mencoba mengingat siapa
adanya nenek serigala ini. Namun semakin dipaksa
otaknya untuk berfikir, jalan fikiran Serimbi malah menjadi kacau.
"Jahanam, jadi sakit kepalaku. Dajal serigala
siapa kau" Engkaukah orangnya yang telah mencu-
lik anakku?" hardik si nenek dengan tatapan liar se-
perti orang kesetanan.
"Hik hik. hik. Aku senang kau akhirnya men-
jadi gila sungguhan. Namun untuk mendapatkan
jawaban dari pertanyaanmu itu sebaiknya kau pergi-
lah ke akherat!" dengus Bayangan Maut.
"Nenek tengik sialan wajah serigala. Sebaik-
nya kau mengakulah. Jika memang kau orangnya
yang telah menculik puteri Angin Pesut, dimana
anak itu sekarang?" Sepasang mata angker Bayangan Maut memandang tajam pada si
kakek, tak la- ma kemudian dia pun sunggingkan seringai maut
"Bangsat Sateaki. Kau boleh tidak mengenal-
ku. Karena segala silang sengketa dan dendam ke-
sumat ini hanya aku dan Angin Pesut saja yang
mengetahuinya. Begitu pun kau pasti akan menda-
pat giliran. Hik hik hik." sahut Bayangan Maut ketus.
"Ha ha ha. Lagak bicaramu keren amat, ne-
nek Muka setan. Tadi kau malah ada menyebut ak-
herat segala. Rupanya kau ini orang yang ditu-
gaskan di akherat. Jika betul, aku jadi ingin tahu
bagaimana seluk beluk akherat yang sebenarnya!"
Gento ikut menyela.
Mendidihlah darah Bayangan Maut menden-
gar ucapan Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Sambil
kertakkan rahang dia mendamprat. "Setan Godrong.
Kau yang paling cakap dibandingkan dua tua bang-
ka itu. Kematianmu telah kuputuskan yang paling
belakang!"
"Terima kasih. Ternyata kau baik sekali. Ku-
harap kau juga sudi kiranya menyediakan diri untuk
kujadikan tunggangan menuju akherat! Ha ha ha."
usul si pemuda.
"Belalang Kecil. Aku muak mendengar uca-
pan tua bangka muka serigala itu. Ingin kulihat
apakah mulut besarnya sesuai dengan kepandaian
yang dia miliki!" dengus Serimbi. Belum lagi sempat sang pendekar memberi
jawaban, nenek disampingnya sudah berkelebat ke arah Bayangan Maut. Bu-
kan main cepat gerakan perempuan tua itu. Tahu-
tahu kini dia telah berada di atas sosok lawannya.
Dengan kecepatan sulit diikuti kasat mata dua tan-
gannya menyambar berturut-turut ke arah bahu
dan batok kepala lawan yang setiap saat wajahnya
berubah Melihat serangan ganas dan berlangsung
sangat cepat itu. Siapapun pasti menduga lawan tak
bakal sanggup melepaskan diri dari serangan itu.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Gento dan
Sateaki jadi tercekat sekaligus melengak kaget.
Bayangan Maut meskipun sempat terkejut namun
masih sanggup menghindar. Malah kini sambil me-
lesat ke udara dia masih sempat lancarkan serangan
balasan. 5 Dua tangan Bayangan Maut bergerak meng-
hantam ke atas. Begitu nenek yang wajahnya selalu
berubah-ubah itu hantamkan dua tangannya terjadi
satu keanehan. Sepuluh kuku tangannya yang hi-
tam secara aneh menjulur panjang dan mengepul-
kan asap tipis berwarna hitam berbau busuk. Seba-
gai orang yang sangat berpengalaman dalam hal ra-
cun, tentu saja Serimbi sadar betul serangan kuku
lawannya mengandung racun ganas. Sehingga
meskipun sadar dirinya kebal terhadap serangan
mengandung racun dia terpaksa lakukan gerakan
berjumpalitan selamatkan kedua kakinya dari sam-
baran sepuluh kuku lawannya.
Wuus! Krak! Kraakk! Sepuluh kuku menghunjam batu tebing bu-
kit curam yang terdapat di seberang mulut gua.
Asap tebal mengepul dari bagian batu tebing yang
terkena cakaran si nenek. Baru saja Bayangan Maut
mencabut jemari tangannya yang menancap pada
batu, laksana kilat Serimbi berbalik lalu hantam dua pukulannya yang juga
mengandung racun ke tubuh
lawan. Buuk! Buuk!
Pyaar! Hantaman itu dengan tepat mengenai bagian
punggung Bayangan Maut. Tapi aneh kedua puku-
lan Serimbi seakan amblas ke dalam tubuh lawan
dan selanjutnya menghantam batu di depan Bayan-
gan Maut. Menyadari lawan yang dipukulnya tidak
ubah seperti bayang-bayang, si nenek cepat lesatkan tubuhnya menjauhi lawan.
Ketika Bayangan Maut
balikkan badan, dia pun mengumbar tawanya.
"Nenek gila yang malang. Rupanya kau lupa,
aku adalah Bayangan Maut. Tubuhku hanya berupa
bayangan yang tidak dapat disentuh walaupun kau
mengerahkan seluruh pukulan beracun yang kau
miliki! Hik hik hik!"
"Celaka! Kalau begitu akan sulitlah mengata-
si nenek serigala ini!" batin Gento.
"Tak satupun dari kita yang bakal sanggup
meloloskan diri dari maut. Bayangan Maut tubuh-
nya sama sekali tidak dapat disentuh. Padahal tu-
buhnya mengandung racun ganas...!" ujar kakek Sateaki pula.
Sementara itu Serimbi nampaknya memang
tidak mempunyai pilihan lain. Di dalam hatinya
hanya ada satu tekad. Dia harus menggempur lawan
dengan kekuatan penuh. Tapi sebelum hal itu dila-
kukannya dia berpaling pada Gento yang selama ini
dia anggap sebagai adiknya. Kepada sang pendekar
nenek sinting ini berteriak. "Belalang Kecil adikku.
Aku tidak dapat menjajaki seberapa tinggi kesaktian yang dimiliki oleh tua
bangka ini. Tapi sebelum segala sesuatu yang tidak diinginkan terjadi sebaiknya
cepat tinggalkan tempat ini!"
Gento merasa terharu mendengar peringatan
si nenek. Dia tidak menyangka nenek sakit ingatan
itu ternyata sangat perduli pada keselamatannya.
Tapi Gento kemudian menjawab. "Kakak... jika kau celaka, buat apa aku hidup"
Apapun yang terjadi
aku tidak akan meninggalkanmu!" Ucapan Gento
membuat si nenek tergugah. Begitu terharunya dia
hingga tanpa sadar membuatnya kucurkan air mata.
"Hik hikk! Belalang Kecil. Siapapun dirimu
kau telah kuanggap sebagai adik sendiri. Jika kau
tetap berada disini karena ingin membelaku. Aku-
pun tidak takut lagi menghadapi nenek muka seriga-
la itu!" tegas si nenek.
"Bagus! Sekalian saja maju biar aku tak
usah banyak membuang waktu menyingkirkan dua
manusia sedeng!" kata Bayangan Maut disertai seringai mengejek. Mendengar ucapan
orang Gento ja-
di tertawa. Sebaliknya nenek Serimbi keluarkan sua-
ra menggerung. Berpijak di atas sebuah ranting ker-
ing, Serimbi gerakkan kakinya ke atas hingga tu-
buhnya melayang di udara. Begitu sampai pada ke-
tinggian tertentu dia memutar kedua tangannya di
udara. Seiring dengan berputarnya dua tangan si
nenek, dari kedua tangannya menderu angin topan
yang disertai melesatnya puluhan larik sinar merah
dan biru. Kedua sinar itu bukan cuma menghantam
Bayangan Maut, tapi juga menghantam lamping ba-
tu! Hingga batu jatuh berguguran menimpa diri
Bayangan Maut. Baik Gento maupun Sateaki tak
dapat melihat apa yang terjadi karena pemandangan
mereka terhalang kepulan debu tebal serta deru an-
gin hebat yang keluar dari tangan Serimbi.
Bayangan Maut yang melihat serangan dah-
syat ini tentu saja berusaha lindungi diri dengan
melepaskan pukulan balasan. Puluhan batu sebesar


Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerbau memang dapat dihalaunya atau dipukul
hancur. Tapi yang datang kemudian jumlahnya ber-
lipat ganda. Manusia berkepandaian selangit sekali-
pun bila mendapat serangan begitu rupa tentu jadi
kewalahan. Begitu juga yang terjadi dengan Bayan-
gan Maut. Sebelum seluruh batu yang berlesatan
dari tebing bukit menguruk tubuhnya, Bayangan
Maut coba selamatkan diri.
Akan tetapi lawan nampaknya memang tidak
memberi kesempatan lagi. Nenek Serimbi menguras
seluruh tenaga sakti yang dia miliki, hingga ratusan batu menghujani Bayangan
Maut. Nenek berwajah
serigala itu Lenyap dari pandangan mata akibat ter-
timbun batu. Sateaki jadi terkesima begitu melihat
tumpukan batu yang membukit. "Gento mungkin-
kah nenek serigala itu mati?" tanyanya dengan ber-
bisik. "Aku tidak tahu, Ki. Coba nanti biar kau pe-riksa." sahut sang pendekar.
Tak lama kemudian Serimbi telah jejakkan kakinya diatas tanah. Nafasnya nampak
memburu dan tersengal. Dia memandang
pada bongkahan batu yang bertumpuk lalu berucap
pada Gento. "Belalang Kecil. Satu hal yang patut kau ke-
tahui. Jika nenek itu dapat kutimbun dengan batu.
Berarti yang datang ke depan kita bukan bayangan-
nya. Dia datang bersama ujud kasarnya. Tapi agak-
nya kau harus memikirkan dan mencari titik kele-
mahan nenek itu agar kau tidak berhadapan dengan
bayangan!"
"Apa maksudmu, kakak?"
"Belalang tolol. Bayangan Maut bukan hantu,
bukan setan, bukan pula siluman. Dia mempunyai
raga sebagaimana kita."
"Aku tahu sekarang. Tapi mungkinkah nenek
jelek tadi masih hidup?" tanya Gento. Belum lagi pertanyaannya berjawab. Sateaki
yang sejak tadi
melihat ke arah tumpukan batu yang menimbun
Bayangan Maut keluarkan seruan keras.
"Lihat. Batu bergerak-gerak. Dia masih hi-
dup!" teriak si kakek.
"Apa kataku. Jahanam betul!" maki Serimbi.
Nenek tua itu tanpa bicara lagi langsung melompat
ke atas tumpukan batu. Sambil melompat dua tan-
gan dihantamkan ke bawah.
Wuus! Wuut! Sinar merah dan sinar biru pekat berhawa
panas luar biasa dan mengandung racun ganas
menghantam timbunan batu menimbulkan ledakan
menggelegar membuat batu hancur berkeping-
keping, berlesatan diudara dalam keadaan menyala
dikobari api. Di seberang batu yang berkeping-
keping si nenek jatuhkan diri dengan dua kaki terlebih dulu menginjak tanah.
Tiga pasang mata sama
pusatkan perhatian ke arah bekas Ledakan. Bayan-
gan Maut yang mereka perkirakan tewas terkena
pukulan si nenek Lenyap tak terlihat. Sateaki mena-
rik nafas lega. Namun perasaan lega itu hanya ber-
langsung sesaat, karena beberapa saat kemudian
mendadak sontak terdengar suara tawa mengekeh
berbaur dengan suara lolongan panjang. Belum lagi
Lenyap rasa kaget dihati sang pendekar seolah mun-
cul dari dalam perut bumi sosok Bayangan Maut
melesat keluar dari timbunan kepingan batu yang
menyala. Begitu tubuhnya berada di udara dengan
kecepatan laksana kilat dia menghantam ke tiga
arah sekaligus.
Wuut! Wuut! Wuut!
Tiga gelombang angin menderu disertai suara
bergemuruh dahsyat laksana air bah yang menjebol
sebuah bendungan raksasa. Nenek Serimbi memekik
kaget. Namun dia masih sempat melompat ke bela-
kang selamatkan diri dari pukulan maut lawan. Se-
cepat apapun gerakan menghindar yang dilakukan
si nenek tak urung bahunya masih terkena samba-
ran angin pukulan lawan. Pakaian berikut kulit di-
balik pakaian di bagian bahu hangus mengepulkan
asap. Si nenek sambil memaki dan tubuh ter-
huyung sibuk memadamkan api yang membakar tu-
buhnya. Sedangkan Sateaki sendiri memang sempat
melompat ke belakang sambil melepaskan pukulan
saktinya untuk menangkis serangan Bayangan
Maut. Tapi pukulan yang dilepaskannya amblas, Le-
nyap begitu membentur serangan lawan. Kakek ini
jatuh terpelanting dengan pakaian hangus di bagian
depan. Tak jauh di sebelahnya Gento yang sempat
melihat lawan melepaskan pukulannya tadi dengan
gerakan terhuyung seperti orang mabuk masih sem-
pat melompat ke samping hingga pukulan yang di-
lancarkan lawan hanya mengenai tempat kosong.
Begitu selamat sang Pendekar berseru. "Ka-
kak... Sateaki... kalian tidak apa-apa bukan?" tanyanya pada si kakek dan
Serimbi yang tengah si-
buk memadamkan api.
"Celaka! Kobaran api yang membakar tubuh-
ku mengandung racun"!" seru si nenek kaget.
"Akh... racun dengan cepat menjalar ke seku-
jur tubuhku! Wuakh...akkh...!" jerit si kakek.
"Sateaki!" seru Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon kaget begitu melihat si kakek melejang-lejang sedangkan matanya mendelik.
Sekujur tubuh Sateaki saat itu telah membiru pula.
Bayangan Maut tertawa panjang. Dia berdiri
bertolak pinggang. Sementara Gento mencoba sela-
matkan sahabatnya itu dengan menotok beberapa
pembuluh darah yang menuju ke jantung. Setelah
itu dari balik kantong hitam perbekalan obat Gento
mengambil dua butir pil penawar racun, lalu mema-
sukkannya ke dalam mulut si kakek. Karena si ka-
kek tetap tidak bergerak meskipun obat penawar ra-
cun telah dimasukkan ke mulutnya, maka Gento
pun menepuk pipi kanan kiri kakek itu.
"Hik hik hik. Kau tak perlu cemas setan gon-
drong! Dia hanya terkena pukulan seratus hari. Ti-
dak lama lagi dia pasti sadar. Namun jika sampai
seratus hari dimuka dia tak menemukan obat pena-
war racun itu. Dapat kupastikan seluruh tubuhnya
segera bertanggalan dan dia akan mati dalam kea-
daan menggenaskan!" kata Bayangan Maut sinis.
"Bangsat jahanam! Dia tak punya salah dosa
apa-apa. Tapi kau melukainya secara keji!" teriak Gento. Dengan tangan terkepal
dan wajah berubah
kelam membesi pemuda itu bangkit berdiri. Saat
sang pendekar balikkan badannya, dia melihat Se-
rimbi masih berdiri tegak sedangkan tangan kiri
mendekap bahu kanannya.
"Kakak...kau tidak apa-apa bukan?" tanya
Gento khawatir.
Si nenek umbar tawanya.
"Aku tidak kekurangan sesuatu apa. Cuma
bajuku robek. Hingga bahuku yang mulus tersem-
bul. Aku jadi malu. Hik hik hik. Belalang Kecil, masih beruntung ditubuhku
mengandung berbagi jenis
racun. Jika orang biasa yang terkena pukulannya,
aku tak bisa menjamin apakah dia mampu bertahan
hidup. Hik hik hik!" Setelah mendengar ucapan Serimbi, Gento kini memandang
tajam ke arah Bayan-
gan Maut. Dalam hati dia berkata. Jelas nenek ini
bukan manusia sembarangan. Dia tak mungkin da-
pat kusingkirkan dengan pukulan sakti sekalipun.
Agaknya aku perlu menggunakan ilmu Menitis
Bayangan Raga untuk menghadapinya." batin si pemuda. "Setan gondrong, apakah kau
telah siap mati bersama-sama dengan kakakmu itu?" kata si nenek muka serigala
dingin. "Ha ha ha. Bayangan Maut, rupanya kau tu-
kang meracun orang. Sedikit banyaknya aku ingin
tahu sampai dimana kehebatan racunmu!" kata si pemuda disertai senyum mengejek.
Sikap yang terkesan meremehkan yang ditunjukkan sang pen-
dekar tentu saja membuat Bayangan Maut jadi gelap
mata. 6 Padahal apa yang dilakukan Gento hanya
suatu muslihat untuk memancing kemarahan la-
wannya. Nampaknya Bayangan Maut luput mem-
perhatikan semua itu. Dengan penuh kegeraman dia
melangkah lebih ke depan sebanyak dua tindak.
Sementara akibat gejolak kemarahan yang melanda
jiwanya membuat wajah maupun tubuh Bayangan
Maut cepat sekali berubah-ubah antara ujud manu-
sia serigala dengan rupa seorang nenek angker ber-
tubuh agak bungkuk.
"Bocah sial! Rupanya kau belum tahu siapa
diriku. Kau tak bakal sempat menyaksikan keheba-
tan ilmuku karena sekejap lagi nyawamu segera ku-
kirim ke neraka!"
"Walah, kau memanggilku bocah sial" Sung-
guh keterlaluan sekali. Tidak mengapa biar rupa ku
tidak lebih buruk dimata setan akupun akan me-
manggilmu nenek serigala sial. Ha ha ha!" kata si pemuda. Kemudian dia
melanjutkan ucapannya "La-lu nenek serigala sial. Kapan kau akan mengirimku
ke neraka" Dengan apa kau hendak membawaku
kesana" Aku pasti tidak menolak. Yang terpenting
walau rongsokan, rasanya lebih bagus jika aku naik
ke punggungmu. Tapi aku perlu tanya kakakku itu."
ujar Gento. Kemudian dia berpaling pada Serimbi.
Pada nenek sakit ingatan Gento ajukan pertanyaan.
"Kakak... bagaimana ini. Apakah kau mau ikutan ke neraka juga" Kalau kau ikut,
aku jadi bingung karena yang kutahu kuda yang akan membawaku cuma
satu. Kudanya perempuan, sudah tua bungkuk pu-
la. Apakah kau mau berjalan kaki, yang akan me-
makan waktu lama. Salah-salah kau malah kesasar
ke surga. Ha ha ha!"
"Belalang Kecil. Biar lambat yang penting ki-
ta satu tujuan. Aku yang sudah tua harus tahu diri.
Biar aku membonceng di belakang punggungnya.
Yang terpenting sebagai saudara kita tetap seiring
sejalan! Hik hik hik!" sahut si nenek disertai tawa tergelak-gelak.
Merah padam wajah Bayangan Maut. Darah-
nya Laksana mendidih, sedangkan bagian dada ne-
nek itu seperti mau meledak terbakar amarah. Ke-
marahan itu telah membuat sepuluh kuku jari tan-
gan maupun jari kaki mencuat panjang dengan sen-
dirinya. Kejab kemudian dengan kemarahan me-
luap-luap Bayangan Maut berkelebat dengan kece-
patan Laksana kilat ke arah sang pendekar. Sepuluh
jemari tangan berkelebat menyambar leher dan wa-
jah Gento, sedangkan kaki kanannya melesat meng-
hantam bagian perut. Murid kakek Gendut Gentong
Ketawa begitu melihat serangan ganas ini segera
mempergunakan jurus Congcorang Mabuk. Salah
satu jurus menghindar sekaligus jurus penyerangan,
warisan gurunya Gentong Ketawa.
Dengan tubuh terhuyung dia hindari seran-
gan lawan. Tiga serangan pertama yang dilancarkan
Bayangan Maut dapat dia hindari. Tapi ketika si ne-
nek setengah manusia setengah serigala ini balikkan badan dan menyerangnya
kembali dengan gencar
Gento nampak kerepotan sekali. Tak ingin tangan
atau kaki lawan menyentuh tubuhnya, berturut-
turut Gento hantamkan pukulan Iblis Ketawa Dewa
Menangis dan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis.
Wuut! Wuut! Sinar merah dan sinar biru berturut-turut
melesat ke arah lawannya. Hawa panas dan hawa
dingin saling tindih menindih. Bayangan Maut ter-
tawa tergelak-gelak. Dua tangan disilangkan ke de-
pan dada. Sedangkan mulutnya berucap. "Hanya
pukulan picisan seperti ini yang kau miliki" Kalau
cuma seperti ini kepandaian yang kau miliki, kau
tak bakal lolos dari kematian!" dengus Bayangan Maut. Berkata begitu dua tangan
yang bersilangan
di depan dada itu lalu didorongkannya ke depan.
Wuuues! Satu kekuatan yang tak terlihat menderu
laksana air bah. Lalu terjadi benturan. Benturan keras menimbulkan suara letupan
halus. Secara aneh
dua pukulan sakti yang dilepaskan Gento tersedot
amblas, kemudian menghantam dada Bayangan
Maut. Nenek serigala itu tertawa panjang. Ternyata
betapapun dahsyat pukulan yang dilepaskan Gento.
Tapi pukulan itu seolah hanya menghantam bayan-
gan saja. Malah Gento sendiri saat itu terpelanting belasan tombak ke belakang.
Pemuda ini jatuh ter-jengkang begitu punggungnya menghantam lamping
bukit. Pemuda ini menjerit kesakitan.
Dengan terhuyung-huyung dia bangkit, na-
mun belum lagi sang pendekar sempat berdiri tegak
sepenuhnya. Bayangan Maut telah melesat ke arah-
nya siap menghunjamkan sepuluh kuku-kukunya
yang hitam beracun. Melihat hal ini Serimbi tentu
saja tidak tinggal diam. Sambil keluarkan seruan keras nenek itu memotong
gerakan Bayangan Maut
dari arah samping. Nenek setengah manusia seten-
gah serigala itu tersentak kaget begitu merasakan
ada angin dingin menyambar tulang rusuknya. Dia
cepat berpaling, lalu balikkan badan batalkan se-
rangan ke arah Gento. Kini Bayangan Maut setelah
melihat siapa yang menyerangnya langsung gerak-
kan siku kirinya menangkis serangan lawan.
Plak! Plak! Dess! Dess! Tangkisan yang dilakukannya membuat
Bayangan Maut maupun Serimbi sama bergetar. Ta-


Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pi dalam keadaan seperti itu masing-masing lawan
masih sanggup menyarangkan pukulannya ke ba-
gian dada dan perut. Akibatnya sungguh luar biasa
sekali bagi Serimbi. Nenek sakit ingatan itu jatuh
terpental. Tubuhnya amblas ke dalam tanah. Sedang-
kan Bayangan Maut juga mengalami hal yang sama.
Tapi dia tidak cidera sedikitpun. Malah kini dia
mengumbar tawa begitu melihat lawan yang terkena
pukulan di bagian perutnya tak mampu bangkit lagi.
"Hik hik hik. Nenek gila, kau telah terkena
pukulan beracun Tujuh Hari. Dalam tujuh hari di-
muka, ajal pasti datang menjemputmu. Kau akan
mati secara menggenaskan seperti gelandangan di
pasar!" Serimbi mengerang, dari mulutnya menyem-burkan darah kental kehitaman.
Walaupun begitu
dia masih sempat bicara ditujukan pada Gento. "Belalang Kecil. Lekas tinggalkan
tempat ini. Dia memiliki pukulan mengandung racun keji. Pergilah sela-
matkan dirimu. Umurku tak bakal lama, sebelum
aku mati satu pintaku kepadamu, adikku. Jika kau
panjang umur, tolong kau cari putriku. Katakan....
katakan padanya bertahun-tahun aku mencarinya.
Sampaikan pula salam rinduku pada putriku itu.
Hugkh....!" Belum sempat si nenek lanjutkan ucapannya dia sudah jatuh terkapar.
Bergetar hati sang pendekar mendengar uca-
pan tulus Serimbi. Dengan mata berkaca-kaca me-
nahan haru dalam hati dia berkata. "Nenek sakit ingatan itu bukan sanak bukan
saudara kandungku.
Tapi kebaikannya sungguh luar biasa. Biarpun inga-
tannya terganggu, tapi cara berfikir dan rasa keke-
luargaan yang dia miliki masih lebih bagus dari ma-
nusia yang mengaku memiliki kewarasan."
"Setan gila. Kau sudah dengar apa yang dika-
takannya. Sekarang apakah kau sudah siap untuk
menerima nasib yang sama?" hardik Bayangan
Maut. Pendekar Sakti 71 Gento Guyon sunggingkan
seringai mengejek. Dia bangkit berdiri, memutar tu-
buh menghadap langsung ke arah lawan. Dua tan-
gan terkepal, pelipis bergerak-gerak. Setengah
menggeram dia berkata. "Nenek siluman. Dua orang telah kau buat celaka. Jangan
kira aku hanya bisa
berpangku tangan membiarkan segala kekejianmu.
Majulah, aku sudah siap menghadapimu!" dengus
sang pendekar. Bayangan Maut dongakkan wajah-
nya ke langit, lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau bakal mampus percuma di tanganku!
Hik hik hik!" habis berkata sosok Bayangan Maut mendadak berkelebat. Sekejap
saja tubuhnya telah
Lenyap dari hadapan Gento. Di lain saat pemuda itu
merasakan ada angin dingin menyambar bahu dan
kepalanya. Gento segera memutar tubuh, lalu mi-
ringkan tubuhnya. Setelah itu sosoknya melesat ke
udara. Berjumpalitan di udara beberapa kali. Den-
gan menggunakan daya apung serta ilmu meringan-
kan tubuh yang dia miliki Gento melepaskan satu
pukulan dahsyat ke bawah.
Sinar merah berkiblat disertai deru angin
dingin luar biasa. Hawa dingin kemudian berubah
menjadi panas membakar begitu pukulan hampir
mencapai sasaran.
Buum! Pukulan mengenai tempat kosong. Lawan
yang diserang telah berkelebat Lenyap dan kini telah pula bergerak ke atas.
Diantara kepulan debu akibat pukulan tadi Gento melihat lawan tahu-tahu telah
berada di hadapannya. Sang Pendekar tidak mau
mengambil resiko yang membuatnya mati keracu-
nan. Sambil bergerak mundur dia hantamkan ka-
kinya ke perut Bayangan Maut.
Dess! Satu tendangan mendarat telak di perut si
nenek. Tapi lawan malah tertawa mengekeh. Dia
kemudian melepaskan pukulan jarak jauhnya ke
arah Gento Dua larik sinar hitam berkiblat, menebar bau
busuk luar biasa disertai hawa dingin mematikan.
Gento sadar pukulan yang dilancarkan lawan men-
gandung racun mematikan. Untuk itu dia menge-
rahkan tiga sumber inti tenaga dalam atau Inti Ca-
kra yang berpusat di bagian punggung, pusar juga di bagian kening. Tiga pusat
pembangkit tenaga dalam
digerakkan, hawa panas menjalar ke sekujur tubuh-
nya. Gento pun lalu silangkan kedua tangannya di
depan dada. Dua tangan yang bersilangan lalu dido-
rong. Buuum! Terjadi Ledakan keras berdentum ketika pu-
kulan Bayangan Maut membentur tangan Gento.
Sang pendekar jatuh terpelanting dan terhempas di
lereng bukit. Nafasnya megap-megap, sekujur tu-
buhnya laksana terbakar. Masih beruntung dia se-
belumnya telah lindungi diri dengan pengerahan te-
naga sakti yang bersumber pada tiga bagian tubuh-
nya. Seandainya Gento hanya mengandalkan tenaga
dalam yang bersumber pada pusarnya saja dapat
dipastikan tubuhnya menjadi leleh akibat pukulan
lawan yang mengandung racun mematikan itu.
Bayangan Maut sendiri nampak tercengang
melihat si gondrong hanya terjatuh tak kekurangan
sesuatu apa. Padahal dalam perhitungannya tadi
pemuda itu pasti tak sanggup menyelamatkan diri
karena dia melepaskan pukulan yang paling keji di-
antara sekian banyak pukulan yang dia miliki.
Kini setelah dua kakinya menginjak tanah
Bayangan Maut mendongak ke atas, memandang ke
lereng bukit curam dimana lawan masih terbaring di
tempatnya. "Setan gondrong! Ternyata nyawamu alot ju-
ga. Tapi jangan harap sekali ini kau sanggup melo-
loskan diri dari tanganku!" teriak si nenek. Selesai berkata Bayangan Maut
gosokkan tangannya satu
sama lain. Setelah itu tangan yang mengepulkan
asap tipis itu disapukan ke bagian wajah leher juga sekujur tubuhnya. Mendadak
sontak dalam pandangan Gento sosok si nenek yang berada di bawah
sana telah berubah ujud menjadi seekor serigala be-
sar tanpa buntut
Melihat pemandangan seperti ini membuat
sang pendekar sempat tercekat. Tapi dia dengan ce-
pat bangkit berdiri. Dua tangan kemudian disilang-
kan ke depan dada. Sedangkan mulutnya berkemak-
kemik membaca mantra. Dari bagian ubun-ubun
murid Gentong Ketawa ini secara perlahan namun
pasti terlihat asap tipis berwarna putih mengepul ke udara. Bersamaan dengan itu
pula, Bayangan Maut
keluarkan suara lolong panjang tidak ubahnya se-
perti seekor serigala yang murka. Lalu sosok serigala ini tanpa terduga melesat
ke udara, terus bergerak ke arah ketinggian lereng bukit tempat dimana lawan
berada. Dengan mulut terbuka lebar disertai
taring-taringnya yang siap merobek, kaki depan se-
rigala itu juga bergerak ke arah dada siap mencabik tubuh lawannya.
Tapi pada waktu itu Pendekar Sakti 71
Guyon yang telah mengeluarkan ilmu Bayangan Ra-
ga, sosoknya telah mengembar menjadi lima orang.
Dalam keadaan mengembar tak jelas mana yang asli
dan yang mana cuma bayangan. Tentu saja lawan
menjadi terkesima. Sama sekali Bayangan Maut tak
menyangka lawan memiliki ilmu seaneh dan selang-
ka itu. Tapi dia tak mungkin mundur. Dia kemudian
menyerang sosok Gento yang berada di sebelah kiri.
Dua taringnya menghunjam, sepuluh kuku tangan-
nya menyambar membeset dada.
Wuut! Wuus! Bayangan Maut terkecoh. Yang diserangnya
ternyata hanya kembaran Gento yang palsu. Lalu
dia balikkan badan siap menyerang lagi. Pada waktu
yang bersamaan Gento dan empat kembarannya
sama melepaskan satu pukulan berbarengan. Aki-
batnya tentu sangat luar biasa sekali. Lima besar
bergabung menjadi satu, menghantam satu sasaran
di lima bagian tubuh. Manusia dengan kesaktian
sehebat apapun pasti tak sanggup menahannya.
Begitu pula yang terjadi dengan Bayangan
Maut. Apalagi saat itu jarak antara dirinya dengan
lawan begitu dekat. Sungguhpun dia sudah menco-
ba menangkis kelima serangan maut lawannya. Te-
tap saja tubuhnya tersapu mental. Lalu terpelanting sejarak dua puluh tombak,
kemudian membentur
tebing yang terdapat di seberang sana. Meliuk-liuk
seperti layangan putus dan jatuh berdebum di kaki
bukit Bayangan Maut menjerit kesakitan. Sedang-
kan di atas bukit, empat sosok kembaran Gento
mendadak Lenyap dari pandangan mata. Pemuda ini
sambil tertawa bergerak melesat ke arah Bayangan
Maut. Begitu jejakkan kaki dia berdiri bertolak pinggang. Nenek setengah manusia
setengah serigala
yang kini kembali dalam ujudnya yang asli dengan
tertatih-tatih bangkit berdiri.
"Nenek serigala. Racunmu memang ganas,
tapi ternyata tak sanggup melukai kembaranku. Se-
karang aku tahu lima pukulan yang menghantam
lima bagian tubuhmu telah membuat ujud kasarmu
dapat kusentuh dapat pula kulukai. Kali ini aku in-
gin mengadu jiwa denganmu!" kata Gento, sedangkan tangan kanannya sengaja
ditempelkan pada ma-
ta kalung Batu Raja Langit siap diusap untuk me-
nyerang nenek itu.
Bayangan Maut terbatuk-batuk. Dia tidak
mungkin melanjutkan pertempuran mengingat uru-
sannya belum beres. Semula dia menduga, dengan
mudah dapat membunuh pemuda itu. Apalagi dua
lainnya sudah dia lukai. Tapi diluar dugaan dia
mendapat sandungan. Pemuda gondrong yang suka
cengengesan itu ternyata memiliki ilmu kepandaian
sulit dijajaki.
"Kalau kugempur dia, mungkin aku bisa me-
nang. Tapi kurasa kalungnya itu bukan mata kalung
sembarangan. Aku dapat merasakan satu kekuatan
dahsyat terkandung dalam kalung itu. Lebih baik
aku mengurut dada bersabar diri. Kelak jika uru-
sanku dengan Angin Pesut dapat kubereskan baru
aku membuat perhitungan dengan setan gondrong
ini." berflkir begitu Bayangan Maut segera berkata.
Namun dengan cepat tangannya menyelinap dibalik
pakaiannya. "Setan gondrong, aku belum kalah.
Nanti aku pasti membunuhmu!" Gento tertawa mengekeh dengan mulut terpencong.
Begitu tawanya Le-
nyap, dia dibuat terperangah karena pada saat ber-
samaan pula lawan telah membanting benda hitam
bulat yang dia ambil dari balik bajunya.
Buum! Satu letupan bergema disertai menebarnya
asap tebal berwarna biru menutupi pemandangan
mata, Gento melompat mundur sambil tutup jalan
nafas khawatir benda yang dilemparkan Bayangan
Maut mengandung racun ganas. Tapi dia juga sadar
apa yang hendak dilakukan lawan sehingga sang
pendekar pun berteriak. "Nenek serigala setan jangan lari!"
Percuma saja pemuda ini berteriak. Karena
begitu asap biru Lenyap maka si nenek Lenyap pula
dari pandangan mata. Seakan lupa pada nenek Se-
rimbi dan Sateaki yang terkapar di tempatnya mas-
ing-masing, Pendekar Sakti 71 Gento Guyon pun se-
gera melakukan pengejaran.
"Bangsat serigala itu mencari Angin Pesut.
Mungkin lebih baik jika aku mengikutinya" fikir Gento.
7 Gadis raksasa yang dikenal dengan nama
Anggagini itu nampak terus mendaki ke arah pun-
cak bukit dimana terdapat rumah besar luar biasa
yang selama ini ditinggali oleh para kerabatnya. Di belakang mengikutinya
seorang kakek berpakaian
serba putih berjanggut putih menjulai ke dada. Ka-
rena jangkauan kaki gadis setinggi pucuk pohon itu
sangat lebar meskipun saat itu dia berjalan biasa,
namun kakek berpakaian putih yang mengikuti di
belakang terpaksa berlari kecil. Dalam hati si kakek yang bukan lain Tabib Setan
adanya menggerutu.
"Obat penawar racun pemberian nenek sinting itu sudah amblas ke dalam perutnya
satu jam yang la-lu. Mengapa tubuhnya tidak menunjukkan pe-
rubahan" Jangan-jangan bocah sial Gento Guyon
dan nenek sakit ingatan itu telah menipu. Hem...
kulihat obat pemusnah racun tadi bentuknya bulat
hitam ada putihnya seperti tahi kambing. Mungkin
obat itu memang bukan penawar racun, tapi tahi
kambing sungguhan. Sialan... bagaimana jika gadis
cantik itu tahu yang dimakannya bukan obat pena-
war racun Perubah Bentuk" Bocah edan. Tega-
teganya dia mengakali gadis secantik Anggagini"!"
Baru saja Tabib Setan berperasangka yang
bukan-bukan, bersamaan dengan itu gadis raksasa
Anggagini melangkah disertai keluhan panjang.
"Akh...perutku....tubuhku...!' Anggagini
mengerang. Dua tangan dipergunakan mendekap
perutnya yang terasa panas terbakar. Tergopoh-
gopoh Tabib Setan menghampiri. Dia berdiri di de-
pannya. "Apa...apa yang terjadi dengan dirimu?"
tanya si kakek sambil dongakkan kepala meman-
dang ke atas. Karena tinggi si kakek hanya sebatas
lutut Anggagini. Maka tabib iseng ini dengan jelas
dapat melihat paha putih mulus gadis raksasa ini.


Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tabib Setan menyeringai, lalu garuk-garuk kepa-
lanya. Dalam hati dia berkata. "Luar biasa, yang mulus seperti ini baru sekarang
aku melihatnya. Jika
aku punya istri seperti dia, tidak akan kukubur se-
belum benar-benar mati. Bocah edan itu"! Tolol se-
kali dia. Mengapa memilih pergi dengan nenek gila.
Perempuan seperti itu apanya yang diharap, cuma
tinggal rongsokan dan alot pula."
"Kakek tabib, wualah perut dan sekujur tu-
buhku mengapa menjadi panas begini. Walah tobat
aku. Akh...!" Tak tahan menanggung penderitaan sakit yang luar biasa Anggagini
pun menjerit setinggi langit. Suara jeritannya yang menggelegar bahkan
sampai membuat Tabib Setan terkapar. Itu tentu sa-
ja mengundang perhatian penghuni rumah raksasa
yang berada di puncak bukit. Tak berselang lama
kemudian terlihat tiga sosok tubuh dengan tinggi
dan besar luar biasa berkelebat keluar dari bagian
pintu depan. Lalu terdengar suara Langkah tergesa.
Setiap langkah menimbulkan getaran hebat. Di lain
saat tempat dimana Anggagini jatuh terduduk telah
dikelilingi oleh tiga manusia raksasa yang bukan
lain adalah kerabat gadis itu sendiri.
"Anggagini apa yang terjadi padamu?" satu suara bertanya. Tabib Setan yang
telinganya sempat
mengucurkan darah akibat jeritan Anggagini dengan
kepala pening dan mata berkunang-kunang kitarkan
pandang coba mengenali. Ternyata yang baru saja
bicara adalah Anggagana pemuda yang masih meru-
pakan kakak kandung Anggagini.
Gadis raksasa itu mengerang, lalu terguling
di atas tanah. Melihat ini perempuan cantik seten-
gah baya yang bernama Senggini nampak panik dan
menubruk putrinya yang cantik jelita.
"Apa yang terjadi dengan dirimu, nak?" tanya Senggini sambil menangis terisak-
isak. Sebaliknya
suaminya yang bernama Senggana masih dapat ber-
laku tenang. Namun perhatiannya langsung tertuju
pada Tabib Setan yang tengah berusaha berdiri te-
gak. Sekali tangan Senggana yang besar itu berkele-
bat menyambar. Di lain waktu leher Tabib Setan su-
dah berada dalam cengkeramannya. Sang tabib me-
rasakan dadanya jadi sesak seketika. Dia sulit ber-
nafas, lidahnya terjulur matanya mendelik.
Dia hendak mengatakan sesuatu, sementara
kaki meronta dan tangan menggapai. Tapi suaranya
tak dapat keluar sama sekali akibat cekikan bapak
raksasa. "Apa yang telah kau lakukan pada putriku"
Ramuan apa yang telah kau berikan padanya" Pa-
tutnya aku mengucapkan terima kasih padamu. Ta-
pi jika putriku celaka. Kaupun tak bakal hidup lebih lama!" geram Senggana
sambil mempererat cekalannya hingga membuat sang tabib makin menderita
saja. Anggagana yang mempunyai watak berangasan
melompat ke samping ayahnya. Dia kemudian me-
nyambar kaki sang tabib
"Ayah..serahkan tua bangka ini padaku. Biar
kumakan dia mentah-mentah..!"
"Sial! Mengapa jadi sial begini. Kaki dan le-
herku seperti mau tanggal ditarik dibetot oleh bapak dan anak." maki si kakek
dalam hati. Dengan nafas megap-megap dia mencoba bicara. Tapi karena cekikan di
lehernya semakin bertambah erat membuat
suara si kakek hanya sampai di tenggorokannya sa-
ja. Apalagi saat itu Anggagana berusaha merebut di-
rinya dari tangan sang ayah. Akibatnya terjadilah tarik menarik. Tabib Setan
merasa sekujur tubuhnya
seperti bertanggalan tercerai berai. Tak tahan me-
nanggung penderitaan yang begitu hebat, Tabib Se-
tan melepaskan pukulannya ke arah Anggagana.
Dari telapak tangannya yang dapat bergerak bebas
melesat selarik sinar biru berhawa panas luar biasa.
Tapi pukulan maut itu bagi raksasa Anggagana tidak
memiliki arti sama sekali. Sekali dia mengibaskan
tangannya, sinar biru yang dimata Anggagana cuma
sebesar benang tersapu mental lalu Lenyap di udara.
"Tabib cebol ini hendak melawan ayah. Biar
kuhabisi sekalian!" teriak Anggagana kalap. Dan
pemuda ini kembali menarik kedua kaki Tabib Se-
tan. Bret! Breet! Terdengar suara robeknya kain. Ternyata
akibat tarikan yang begitu keras membuat celana
sang tabib terbelah dua. Dalam keadaan kesakitan
Tabib Setan menjadi panik melihat auratnya ter-
sembul keluar. Dia menjerit-jerit. Kalang kabut sang tabib coba tutupi auratnya.
Dia memaki habis-habisan. Tapi mana mungkin bapak dan anak rak-
sasa mendengar karena seperti tadi suara si kakek
hanya sampai di tenggorokan saja.
"Sialan... aku berteriak juga percuma. Pa-
dahal aku memaki dari kambing sampai ke anjing.
Akh...bocah edan. Ternyata nasibmu selalu lebih
baik dariku. Walaupun kau ikut dengan nenek gila
itu kurasa lebih menyenangkan.!" keluh sang tabib.
Akibat gerakan menyelamatkan diri yang sia-sia
membuat tubuh Tabib Setan menjadi lemas sendiri.
Akhirnya tak banyak yang dapat dilakukan-
nya terkecuali bersikap pasrah sambil berdoa dalam
hati semoga jika dia mati dapat masuk surga.
Entah secara kebetulan atau memang doa
Tabib Setan di kabulkan Tuhan. Di saat penderitaan
si kakek sampai pada puncak ketabahannya. Pada
detik itu pula Senggini tiba-tiba berteriak. "Kakang Senggana, lihat anak
kita"!" seru perempuan tersebut. Bukan hanya Senggana, tapi anaknya Anggaga-
na yang bengis juga ikut palingkan kepala meman-
Manusia Srigala 1 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti 20
^