Gelombang Naga 2
Gento Guyon 25 Gelombang Naga Bagian 2
dang ke arah Anggagini. Mereka sama tercengang,
mata terbelalak dan mulut ternganga. Saat itu me-
reka melihat satu proses sedang terjadi. Tubuh Ang-
gagini secara perlahan namun pasti mengalami pe-
nyusutan. Baik mengenai tinggi maupun besar tu-
buhnya terus mengerut dan semakin mengecil.
Hingga pada akhirnya kembali ke ukuran manusia
normal. "Keajaiban yang kami tunggu akhirnya datang juga!" desis Senggana. Dia
beringsut mendekati Anggagini. Demikian kaget dan gembiranya laki-laki
tua ini melihat perubahan yang terjadi sampai ceka-
lannya pada leher Tabib Setan terlepas. Pada waktu
yang sama Anggagana yang juga terheran-heran me-
lihat perubahan yang terjadi pada adiknya juga le-
paskan cekalan pada kedua kaki sang tabib. Lalu
bapak dan anak raksasa bersirebut mendekati Ang-
gagini. Tak ayal lagi Tabib Setan begitu leher dan
kaki dilepas orang jatuh terbanting.
Si kakek menggeliat sambil merintih kesaki-
tan. Tapi tak ada yang menghiraukannya. Seluruh
kerabat raksasa tenggelam dalam luapan kegembi-
raan, hingga seolah dirinya dilupakan. Sambil men-
gusap dan mengurut leher yang membiru akibat di-
cekik Senggana, Tabib Setan mencoba duduk. Dia
menyeringai. Sekujur tubuhnya terasa sakit luar bi-
asa. Tapi walaupun dia dalam keadaan seperti itu
sang tabib ikut memperhatikan perubahan yang ter-
jadi pada diri Anggagini.
"Bapak raksasa tolol itu. Hampir mampus
aku dibuatnya. Dia mengira apa yang terjadi pada
anaknya merupakan suatu keajaiban. Padahal jika
bukan atas pertolongan bocah edan sahabatku sam-
pai perawan bulukan putrinya tetap menjadi raksa-
sa." Sementara itu Anggagini sudah rebah dalam
pelukan ibunya. Dia nampak kaget melihat keadaan
dirinya sendiri. Sedangkan matanya jelalatan men-
cari kian kemari.
"lbu...aku, aku menjadi manusia normal.
Obat penawar racun Perubah Bentuk pemberian
pemuda itu sungguh hebat sekali. Akh...kemana
dia?" tanya Anggagini yang kini tinggi tubuhnya hampir sama dengan Tabib Setan.
"Syukurlah anakku. Memang apa yang terja-
di padamu telah ibu dambakan sejak dulu." ujar Senggini.
"Apa yang kau cari anakku?" tanya Senggana ketika melihat anaknya masih saja
sibuk mencari-cari. "Kakek tabib. Sahabat kakek tabib yang
memberikan obat penawarnya padaku!" jelas sang dara yang makin bertambah jelita
begitu tubuhnya
menyusut kembali ke ukuran manusia normal.
"Sahabat Tabib Setan. Siapa dia?" tanya
Senggini. "Namanya Gento Guyon. Pendekar Sakti 71,
serta nenek Serimbi dan kakek berjenggot kambing
bernama Sateaki!" sahut Anggagini. Kemudian dia menceritakan pertemuannya dengan
sang pendekar serta nenek yang telah memberikan obat penawar
racun Perubah Bentuk. Untuk lebih Jelasnya silah-
kan (baca Episode Perisai Maut).
Terkecuali Anggagana yang memang tidak
tahu siapa adanya Serimbi dan Sateaki. Suami istri
Senggana dan Senggini sama melengak kaget begitu
anak gadisnya menyebut dua nama itu.
"Sateaki. Orang tua itu adalah adik Angin
Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Se-
dangkan Serimbi adalah nenek malang yang anak-
nya diculik orang...!" ujar Senggana.
"Serimbi bekas istri Angin Pesut. Iblis itulah yang dulu pernah menciderai kami
dengan pukulan Perubah Bentuk, hingga keadaan kami dan kalian
jadi seperti ini. Anggagini... jadi kau telah mendapatkan obat penawar racun
Perubah Bentuk?"
"Betul Ibu. Satu telah kumakan dan sisanya
masih ada satu lagi!"
Senggini, Senggana dan Anggagana saling
berpandangan. Lalu si pemuda raksasa berucap
dengan wajah muram. "Berarti cuma satu diantara kita yang bakal mendapat
kesembuhan."
"Kami sudah tua," berkata Senggana. "Kau masih muda. Obat itu bisa kau makan.
Bukankah begitu istriku?" kata laki-laki tua itu sambil melirik istrinya. Sang istri
terdiam. Dia jadi teringat pada Tabib Setan. Kakek yang membuatnya tergila-gila
dan jatuh hati pada pandangan pertama. Pada diri
sang tabib, dia menemukan jati diri seorang laki-laki sejati. Karena sadar
dirinya tak mampu memberikan
kebahagiaan pada sang istri. Sejak dulu Senggana
memang memberikan kebebasan pada istrinya un-
tuk mencari suami pengganti. Apalagi kini orang tua itu sadar selain tak mampu
memberikan nafkah batin dia juga sering sakit-sakitan. Senggini sadar sebagai
laki-laki suaminya sudah mencoba berjiwa be-
sar dengan memberi kebebasan pada dirinya untuk
menentukan pilihan hidup. Tapi sebagai wanita te-
gakah dia meninggalkan suaminya"
"Tabib Setan. Jika aku dapatkan obat itu,
mungkin aku dapat berubah seperti putriku. Tapi
apakah kau mau menikahiku" Yang lebih penting
lagi apakah kau mencintaiku, sebagaimana aku
mencintaimu" Aku memang tak dapat melupakan-
mu. Di depan suami dan anak-anakku, aku selalu
berusaha menutupi perasaanku dengan mengacuh-
kan dirimu. Padahal aku ingin sekali membenamkan
diri dalam pelukanmu. Tapi aku juga tidak ingin
mengorbankan kepentingan putraku Anggagana!"
Seakan dapat membaca fikiran istrinya, Senggana
lalu berkata. "Istriku kau tak usah ragu. Yang menjadi janjiku tetap kupegang
sampai mati!" Senggini tersentak sekaligus berucap.
"Tidak kakang. Lupakanlah semua itu, Ang-
gagini, berikan obat penawar racun itu pada kakang
mu. Dia harus menjadi seperti dirimu." tegas sang Ibu.
"Tapi Ibu...!" Anggagana mengajukan ke-beratannya. Tapi sang ibu gelengkan
kepala sambil berucap. "Kami sudah tua. Tak perlu dirisaukan"
Anggagana tidak dapat lagi membantah. Ke-
tika Anggagini memberikan obat penawar racun Pe-
rubah Bentuk itu kepadanya, si pemuda dengan be-
rat hati terpaksa menelannya. Beberapa saat suami
istri itu menunggu. Tapi tak terjadi perubahan pada diri Anggagana. Seolah
mengerti Anggagini berkata.
"Membutuhkan waktu lama untuk mengem-
balikan kakang Anggagana kembali seperti manusia
normal. Tapi ibu tak usah takut. Aku akan meminta
pada sahabat Tabib Setan agar mau memberikan
obat penawar racun untuk ayah dan ibu." si gadis berjanji. Senggini geleng
kepala. Sedangkan Senggana berpaling ke arah mana dia meninggalkan sang
tabib tadi. Ternyata Tabib Setan masih berada di
tempatnya, memandang ke arah Senggana dan
Senggini penuh rasa takut. Kakek itu rupanya su-
dah lupa akan keadaan dirinya sendiri. Senggana
jadi tak dapat menahan tawa begitu melihat aurat
tabib yang pernah menolong menyembuhkan penya-
kitnya dan penyakit sang istri.
"Raksasa itu agaknya sudah gila. Sekarang
dia tertawa-tawa sendiri!" batin si kakek, lalu diapun ikut pula tertawa.
"Tabib... kau mau ikut tertawa boleh saja.
Tapi rapikan dulu auratmu. Barang jelek sebaiknya
tak usah dipamerkan, karena aku juga punya yang
lebih bagus. Ha ha ha!"
Pucatlah wajah tabib konyol itu. Mendadak
tawanya Lenyap, wajahnya merah padam. Apalagi
pada saat itu Anggagini dan Senggini memandang
pula kepadanya. Tabib Setan dekap bagian bawah
perutnya. Begitu didekap celananya malah melorot
ke bawah. Kalang kabut si kakek rapikan celananya
yang melorot sampai ke paha. Begitu celana dirapi-
kan yang seharusnya terbungkus malah nongol lagi.
Tabib Setan akhirnya jadi panik. Dia memutar tu-
buh. Lalu sambil memegangi celana dengan tangan
kanan dan dekap auratnya dengan tangan kiri sang
tabib puntang panting menuruni lereng bukit.
"Kakek tabib. Tunggu... aku harus ikut den-
ganmu. Aku ingin bertemu sekaligus mengucapkan
terima kasih pada sahabatmu Gento dan nenek itu!
Tabib, aku juga ingin minta obat penawar racun pa-
da nenek Serimbi!" Anggagini bangkit berdiri dan siap mengejar si kakek yang
telah Lenyap dari pandangan mata. Tapi ayahnya mencekal tangannya.
"Tidak usah di kejar, putriku. Kau tak perlu
minta obat penawar racun itu pada Serimbi. Bukan
dia yang bersalah. Yang patut menanggung dosa da-
ri semua ini adalah Angin Pesut"
"Ayah...tapi. Tapi aku ingin bertemu dengan
pemuda itu!" kata Anggagini terbata-bata. Sang ayah pandangi wajah anaknya
sejenak. Dalam hati dia
berkata. "Anak gadisku saat ini kiranya sedang kasmaran dengan seseorang.
Mungkin pada pemuda
yang disebutnya itu. Istriku juga mengalami hal
yang sama. tapi aku tidak tahu dia jatuh cinta pada laki-laki mana?" keluh
Senggana. "Anggagini, Baiklah. Kau boleh menyusulnya.
Tapi jika benar kau tertarik pada pemuda itu hen-
daknya kau selidiki dulu siapa dia dan bagaimana
wataknya!" ujar Senggana mengalah.
"Ah, terima kasih ayah. Ibu... izinkan aku
menyusul kakek itu!" ujar Anggagini dengan perasaan terharu. Sang ibu tersenyum
kecut. Rasanya ingin sekali dia menitip salam untuk Tabib Setan.
Tapi malu dan Anggagini kemudian berkelebat me-
nuruni bukit. Sedangkan saat itu satu proses se-
dang terjadi pada diri anak mereka Anggagana. Se-
bagaimana yang terjadi pada Anggagini, tubuh Ang-
gagana pun nampak mulai menyusut bergerak me-
mendek sementara pemuda itu meraung-raung ke-
panasan. Tubuhnya menggelepar, menggelinjang,
bahkan meronta. Hingga pada akhirnya pemuda
raksasa itu berubah ke dalam bentuk serta tinggi
tubuh manusia pada umumnya. Suami istri raksasa
itu tentu sangat bahagia sekali. Begitu juga halnya dengan sang anak.
"Ayah... Ibu...!" seru si pemuda
"Anakku, syukurlah"
"Kami senang kau bisa menjadi manusia
normal. Tapi sebelum aku menutup mata. Kalian
harus ikut denganku" ujar Senggana.
"Pergi kemana suamiku?" tanya sang istri.
Senggana menjawab dingin. "Apakah tidak
layak jika kita mencari Angin Pesut Setelah sekian
tahun dia rampas kebahagiaan kita?"
"Tapi suamiku?"
"Tidak ada tapi-tapi ikuti aku!" perintah Senggana.
Meskipun merasa bingung melihat jalan fiki-
ran suaminya yang berubah-ubah. Namun Senggini
tidak berani membantah. Dia dan Anggana lalu
bangkit berdiri. Kemudian mengikuti Senggana yang
telah lebih dahulu berkelebat menuruni bukit
8 Hari merembang petang, suasana di sekitar
lembah yang terletak di kawasan Bantul itu pun te-
rasa sunyi mencekam. Di kejauhan sayup-sayup
terdengar suara serangga yang menandakan seben-
tar lagi suasana segera berganti dengan malam. Tak
berselang lama suara bising serangga Lenyap, sua-
sana di kawasan lembah hijau itu terasa semakin
sunyi. Di suatu tempat dikawasan lapangan kecil
permukaan tanah tiba-tiba saja bergerak disertai gelombang hebat seperti air
laut yang ditiup angin
kencang. Lalu gerakan dipermukaan tanah menda-
dak terhenti. Hanya sesaat saja karena dilain waktu terjadi satu gerakan hebat.
Kemudian permukaan
tanah berhamburan. Tanah pun tersibak, terbelah
rengkah. Terlihat pula satu lubang menganga lebar.
Dari dalam tanah muncul satu sosok yang belum je-
las apa adanya.
Tapi tak lama kemudian, segala sesuatunya
semakin bertambah jelas. Seiring dengan keluarnya
sosok itu, tersembul satu kepala. Munculnya bagian
kepala diikuti dengan bagian tubuh lainnya. Mulai
dari tangan badan dan kaki. Sosok serba hitam itu
kemudian muncul kepala yang lain yang disusul
dengan bagian badan.
Ternyata mereka bukan hantu, atau dedemit
yang baru saja keluar dari dalam perut bumi. Mere-
ka adalah dua orang perempuan. Yang satunya be-
rupa seorang nenek berpakaian serba hitam, wajah
angker rusak mengerikan. Di kedua sudut bibir
mencuat sepasang taring, Lidah terjulur panjang se-
perti lidah anjing. Sedangkan hidungnya hanya be-
rupa rongga besar, sumplung seperti bekas ditera-
bas senjata. Selain itu di bagian dadanya yang ter-
buka nampak berlubang besar, hangus menghitam
seperti bekas terkena senjata tajam yang dibakar.
Keangkeran itu ditambah lagi dengan sepa-
sang kakinya yang berbentuk kaki kuda, dengan ba-
gian telapak kaki berbentuk runcing seperti mata
tombak. Jauh berbeda dengan orang kedua. Sosok
yang satunya lagi ternyata adalah seorang gadis cantik, berpakaian putih
berambut hitam panjang terge-
rai. Perbedaan nenek dengan gadis itu memang ti-
dak ubahnya seperti langit dan bumi. Yang satu
berwajah angker seperti setan. Sedangkan satunya
cantik seperti puteri raja.
Tapi nampaknya si nenek juga dalam kea-
daan terluka. Terbukti wajah yang angker itu nam-
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pak pucat, nafas mendengus sedangkan lengan kiri
terus didekapkan di bagian dada. Siapa adanya ga-
dis dan nenek itu" Mereka bukan lain adalah nenek
Palaslk dan Mutiara Pelangi atau yang lebih dikenal dengan julukan Puteri Kupu
Kupu Putih. Seperti telah diceritakan dalam Episode Peri-
sai Maut, nenek berwajah rusak bertampang seram
ini telah terlibat perkelahian dengan Angin Pesut,
perempuan itu tidak dapat menerima kematian ka-
kaknya Paladirja yang tewas dalam satu perkelahian
beberapa waktu yang lalu dengan Angin Pesut.
Walaupun Angin Pesut sudah mengatakan
penyesalannya bahkan memperjelas duduk persoa-
lan yang sebenarnya. Namun nenek Palasik tidak
mau mengerti dengan semua penjelasan itu. Malah
dia kemudian menantang Angin Pesut Ketika bekas
tokoh sesat itu menolak dan tidak melayani keingi-
nan si nenek. Perempuan itu nekad menyerangnya.
Akibat tak tahan menderita sakit yang hebat karena
gempuran si nenek, akhirnya ilmu liar yang terdapat di dalam tubuh Angin Pesut
dan dikenal dengan il-mu Ratap Langit secara tak terkendali menghantam
diri perempuan itu, Mendapat serangan ilmu dah-
syat dan belum ada duanya di rimba persilatan itu.
Nenek Palasik yang memiliki ilmu Menyusup Bumi
menderita, cidera berat.
Dalam keadaan terluka nenek Palasik ber-
sama muridnya segera melarikan diri. Sedangkan
Angin Pesut sendiri sengaja tak melakukan pengeja-
ran. Kini setelah munculkan diri di lembah yang
sunyi itu si nenek cepat mengambil kantong perbe-
kalan obatnya. Sebagian obat yang berwarna kuning
dan biru itu dikeluarkan, lalu menelannya sekaligus.
Melihat cara gurunya menelan obat yang
terkesan sembarangan membuat Mutiara Pelangi ja-
di kaget. "Guru... begitu banyak kau memakan obat
apakah itu tidak membahayakan keselamatanmu?"
tanya sang dara khawatir. Si nenek delikkan ma-
tanya membuat nyali Pelangi jadi ciut, lalu cepat
tundukkan wajahnya. Saking kesalnya, merasa tak
suka ditegur, nenek Palasik membentak. "Kau gadis ingusan tahu apa. Luka dalamku
begini hebat. Angin kentut manusia setan. Aku tak sanggup menan-
dinginya. Dan ini sesuatu yang sangat memalukan."
"Bukan Angin Kentut guru, tapi Angin Pe-
sut...!" kata sang dara membetulkan ucapan gu-
runya. "Kampret. Mau Angin Pesut atau Angin Kentut bagiku sama saja.
Hemm....agaknya aku harus
belajar seratus tahun lagi agar aku dapat membina-
sakan Angin Pesut." geram si nenek kepalkan tangannya "Seratus tahun lagi kau
pasti sudah jadi tanah dan Angin Pesut sudah pula menjadi angin be-
naran!" sahut sang dara sambil berusaha menyem-bunyikan tawa
"Murid goblok. Pandai sekali engkau mem-
bantah!" sekali lagi nenek Palasik mendamprat. Tapi kemudian dia jadi ingat
sendiri. "Betul juga kata Pelangi. Seratus tahun lagi aku pasti sudah menjadi
tanah. Saat itu muridku sendiri mungkin sudah al-
marhum." batin si nenek, lalu ia memaki ketololan-nya sendiri.
Si nenek terdiam, hawa panas akibat penga-
ruh obat yang ditelannya terasa membakar rongga
dada, semakin lama menjalar ke sekujur tubuhnya
Si nenek keluarkan keringat dingin menahan penga-
ruh hawa panas yang menyerang dirinya. Kemudian
dia terbatuk beberapa kali. Batuk pertama dari mu-
lut si nenek menyembur darah kental merah kehi-
taman. Batuk yang kedua dari mulut, perempuan
itu keluar benda putih sebesar telur burung puyuh.
Si nenek cepat mengambil benda bulat tersebut, lalu buru-buru menelannya
kembali. Apa yang dilakukan
si nenek mengundang heran bagi Pelangi. Hingga di-
apun bertanya. "Guru, bagaimana mungkin dari mulutmu
bisa keluar telur burung puyuh" Memang sejak ka-
pan kau memakannya?" Lagi-lagi si nenek mendelik.
"Telur burung puyuh jidadmu benjol. Yang
kutelan tadi adalah jimat warisan guruku. Sudah,
kau jangan banyak tanya. Aku ingin bersemedi un-
tuk memulihkan tenaga dalam!" ujar perempuan tua itu. Tak berselang lama nenek
Palasik telah mengambil sikap bersila. Dua mata dipejamkan, sedang-
kan dua tangan ditopangkan di atas lutut. Beberapa
saat berlalu. Sekujur tubuh nenek angker itu berge-
tar hebat. Pakaian dan tubuhnya basah bersimbah
keringat. Sedangkan dari bagian ubun-ubun menge-
pulkan asap tipis berwarna kelabu.
Secara perlahan namun pasti wajah yang
angker pucat itu nampak kemerah-merahan. Nafas
nenek Palasik yang memburu, tersengal dan tidak
teratur sekarang mulai berangsur normal kembali
seperti sediakala. Beberapa saat berlalu perempuan
tua itu masih juga tenggelam dalam semedinya.
Sampai pada akhirnya dia membuka sepasang ma-
tanya yang terpejam.
Si nenek memandang ke depan, ternyata
sang murid masih tetap duduk di tempatnya me-
nunggu dengan sabar. "Pelangi...!" berkata perempuan itu. Pelangi angkat
wajahnya yang tertunduk,
memandang pada gurunya namun tak sepatah ka-
tapun keluar dari bibir mungil si gadis.
"Sekarang kita harus mencari Gento, pende-
kar edan yang telah menghinamu itu?" ujar nenek Palasik melanjutkan ucapannya.
Sang dara ber-jingkrak kaget mendengar ucapan sang guru yang
tidak pernah diduganya itu. Dengan air muka beru-
bah gadis itu, berucap.
"Guru, buat apa kita mencari dia" Lagipula
aku tidak merasa dihina"!" Orang tua di depannya keluarkan suara mendengus.
"Bocah goblok! Pemuda itu kau bilang per-
nah mengatakan suka padamu, kemudian dia ber-
paling pada gadis lain dan tak menghiraukanmu la-
gi. Apakah bukan menghina namanya" Itu adalah
sebuah penghinaan yang tidak boleh didiamkan be-
gitu saja. Pemuda itu harus diberi pelajaran biar tidak memandang rendah semua
wanita"!" kata si nenek ketus.
"Guru, sebaiknya tak usah membesar-
besarkan masalah. Aku yakin dia tidak bermaksud
begitu kepadaku! Sudahlah, lupakan saja.!" Sepasang mata nenek Palasik mendelik
besar. Dia mera-
sa geram sekali mendengar ucapan muridnya.
"Kau ini adalah gadis tolol sedunia. Dia su-
dah menyakitimu, mengapa kau bicara seperti
membelanya" Bocah itu tak bisa dibiarkan. Aku
akan menghajarnya, kalau perlu kuseret dia dihada-
panmu!" Ucapan si nenek tentu saja membuat heran
Pelangi. "Guru apa maksudmu?"
"Hik hik hik. Apakah kau benar-benar men-
cintainya?" tanya si nenek disertai tawa mengikik, sementara sepasang matanya
menatap tajam gadis
di depannya. Mendapat pertanyaan seperti itu seketika
wajah sang darah berubah merah jengah. Dia ter-
diam sebentar, kemudian dengan tersipu-sipu dia
menjawab. "Aku kurang tahu, yang jelas aku suka ingat padanya." ujar Pelangi
polos. Si nenek belalakkan matanya. "Hah...Jadi kau cuma ingat, bukan rindu?"
"Mungkin juga rindu?"
"Nah-nah...apakah kau juga sering terbayang
wajahnya?" desak gurunya.
"Terbayang juga, kadang-kadang." menyahuti Pelangi sambil tundukkan wajahnya.
Mendengar jawaban muridnya nenek Palasik tertawa tergelak-
gelak. Ketika tawanya lenyap dia cepat berucap.
"Kau selalu mengingat, kau rindu, kau juga suka terbayang-bayang wajahnya. Tidak
salah lagi itulah
penyakit yang selalu menggerogoti hati manusia, te-
rutama gadis atau pemuda seusiamu."
"Penyakit, aku terkena penyakit"!" desis Pelangi bingung.
"Hik hik hik. Betul, kau terkena penyakit.
Penyakit cinta namanya. Penyakit itu jika tidak diobati bisa melahirkan
penderitaan. Jadi kau harus
kuobati." Semakin bertambah bingung saja gadis ini.
Dengan polos dia bertanya. "Guru, apakah kau
mempunyai obatnya?" Nenek Palasik gelengkan ke-
pala. "Obat yang kau butuhkan tak ada padaku.
Itu ada pada Gento. Jadi jalan satu-satunya harus
kuseret kemari!" kata si nenek.
"Apa artinya dengan menyeret dia kemari?"
"Perawan ingusan. Ternyata kau tak mengerti
juga apa maksudku. Jika kau sudah suka padanya,
maka aku akan menjodohkan dia denganmu!"
Pucatlah wajah sang dara mendengar ucapan
gurunya. Apa yang dikatakan si nenek sebagai sesu-
atu yang sangat memalukan dan tak mungkin dila-
kukan. Benar dia akui dirinya merasa suka dan se-
nang pada Gento. Tapi dia tidak ingin segala sesua-
tunya terjadi dengan cara dipaksakan. Sebagai wani-
ta tentu dia sangat malu sekali.
"Guru... sebaiknya batalkan saja keinginan-
mu itu. Kau tak perlu memaksa orang. Jika dia me-
mang suka pada Nyi Sekar Langit, biarkan saja. Aku
sudah merasa senang jika dia dapat hidup bahagia."
"Bahagia diatas penderitaan orang lain, begi-
tu yang kau maksudkan" Tidak bisa. Jika kau men-
derita dia pun harus menderita." kata si nenek tetap ngotot. "Guru...aku...!"
"Jangan banyak bicara. Ikut denganku. Kita
cari pemuda itu!" berkata begitu si nenek sambar tangan kirinya. Setelah itu
tanpa berkata apa-apa
lagi iapun berkelebat pergi bersama Pelangi.
9 Kita kembali pada Tapa Gedek yang baru sa-
ja berhasil menguasai inti ilmu Gelombang Naga.
Saat itu si kakek baru jejakkan kakinya di dalam
ruangan serba biru yang terletak di bawah Liang
Landak. Hawa panas luar biasa langsung menyen-
gatnya begitu Tapa Gede menginjakkan kakinya di-
lantai ruangan yang diwarnai kabut tersebut.
Beberapa saat Lamanya dengan sikap was-
pada si kakek berdiri tegak ditempatnya. Sedangkan
sepasang mata memandang liar ke setiap penjuru
sudut. Anehnya Tapa Gedek tidak melihat Manusia
Kelelawar yang menyerangnya tadi berada disitu.
"Mahluk terkutuk itu" Aku tak melihat tan-
da-tanda kehadirannya disini. Tapi perasaanku
mengatakan dia berada tidak jauh dari ruangan ber-
cahaya biru ini. Ukh...tubuhku terasa panas seperti terbakar. Barangkali jika
aku belum menguasai ilmu
Gelombang Naga aku bisa hangus terpanggang di
ruangan ini." batin Tapa Gedek.
Orang tua itu baru saja hendak melangkah
lagi ketika secara tak terduga terjadi getaran hebat pada bagian dinding ruangan
yang terdiri dari tanah dan batu. Si kakek sempat tercekat, nampak jelas
wajahnya diliputi ketegangan. Rupanya dia khawatir
jika sampai ruangan runtuh, maka dirinya pasti ter-
kubur hidup-hidup di tempat itu. Ternyata getaran
hanya berlangsung sesaat saja. Suasana jadi tenang
kembali. Satu hal yang membuat orang tua ini men-
jadi terheran-heran. Akibat getaran yang tidak begi-tu keras membuat kabut yang
berada di dalam
ruangan tersebut mendadak Lenyap entah kemana.
Kini Tapa Gedek dapat melihat segala sesua-
tu yang berada di dalam ruangan itu secara lebih jelas. Sekali lagi Tapa Gedek
kitarkan pandang. Si kakek kemudian jadi tertegun ketika dia melihat dua
sosok berupa seorang kakek berambut putih dan
gadis cantik berambut panjang duduk bersila di su-
dut ruangan itu. Dua tangannya yang berkuku pan-
jang diletakkan di atas pangkuan. Melihat pada dua
sosok ini sekilas, keadaan maupun posisi mereka
seperti patung hasil buatan tangan. Yang terasa
aneh kedua patung gadis maupun patung dalam ru-
pa seorang kakek itu jauh berbeda dengan berbagai
jenis patung yang terdapat di dalam ruangan itu.
"Mungkinkah patung kakek dan gadis cantik
itu hasil buatan manusia bermuka kelelawar yang
kulihat tadi" Tapi...akh....!" Tapa Gedek keluarkan seruan tertahan begitu
melihat mata patung si gadis serta merta berkedip.
"Tak dapat kupercaya. Gadis itu ternyata bu-
kan patung. Dia manusia dan...!" Tapa Gedek tak dapat meneruskan ucapannya
karena saat itu juga
dia melihat patung dalam rupa seorang kakek juga
kedap-kedipkan sepasang matanya. Sekarang sete-
lah melihat dengan mata kepala sendiri. Tapa Gedek
baru ingat akan sesuatu yang pernah diceritakan
oleh gurunya. "Jadi...jadi mereka ini rupanya Manusia Patung?" desis si kakek.
Ingat akan pesan gurunya Manusia Selaksa Angin, merinding sekujur
tubuh si kakek. Tengkuknya mendadak berubah
dingin laksana es. Dia memandang ke arah dua ma-
nusia patung itu. "Patung gadis itu seluruhnya berwarna putih. Pakaiannya tipis
membayangkan au-
ratnya. Jadi gadis itu adalah Patung Putih. Dan pa-
tung kakek disebelahnya seluruh badan berwarna
hitam. Mungkin dialah Patung Hitam. Jika benar
apa yang dikatakan oleh guru. Berarti patung-
patung ini hidup atas kesaktian seseorang yang
mempunyai kesanggupan menangkap roh gentayan-
gan, lalu memasukkannya ke dalam diri patung
yang dikehendaki!"
Si kakek terdiam. Fikirannya melayang jauh.
Semua kata-kata sekaligus pesan yang disampaikan
oleh gurunya sebelum dia ditugaskan mengambil
kembali Kitab Gelombang Naga yang pernah dicuri
oleh Angin Pesut kini terngiang kembali di telin-
ganya. Satu purnama yang lalu sebelum keberang-
katan Tapa Gedek, dalam keheningan malam yang
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin. Guru si kakek yang selalu berlindung di ba-
lik dinding pondok sempat berkata. "Tapa Gedek.
Usiamu tidak muda lagi. Namun umurmu juga terus
bertambah. Perjalanan hidup manusia, susah se-
nang seiring dengan berlalunya sang waktu semakin
mendekati ajal. Sejalan dengan bertambahnya umur,
maka waktu kehidupan manusia itu semakin ber-
tambah sempit. Amat merugilah dirimu jika kau ti-
dak mau menggunakan kesempatan serta waktu
yang ada padamu. Muridku, kehidupan manusia di
dunia ini amat penuh dengan tantangan, cobaan,
serta godaan. Selain itu, kelicikan, ketidak jujuran, fitnah keji serta
keserakahan dan kemunafikan dapat kau lihat terjadi dimana-mana. Terkadang tin-
dak tanduk dan perbuatan manusia malah lebih keji
dari binatang. Lebih dari itu muridku, satu hal yang harus kau ingat. Dunia ini
memang indah, tapi
keindahan yang bersifat memperdaya."
"Apakah ini ada hubungannya dengan diriku
yang bujang lapuk dan kere guru?" tanya si kakek.
Dari balik dinding pondok terdengar suara tawa
pendek. "Aku tak pernah bicara tentang diri seseorang secara khusus. Mengenai
rejeki, jodoh serta
maut yang ada pada dirimu, itu sepenuhnya berada
di tangan Gusti Allah. Manusia hanya sanggup be-
rusaha. Tidak lebih dan itu. Dan sudah menjadi wa-
tak tabiat manusia, tak pernah merasa cukup. Sam-
pai datangnya ajal menjemput."
"Selain kitab Gelombang Naga itu, apa lagi
yang harus kulakukan, guru?" tanya Tapa Gedek.
"Jika kitab Gelombang Naga telah kau da-
patkan, maka kau harus sanggup menguasai il-
munya. Ilmu Gelombang Naga adalah ilmu langka
satu-satunya yang terdapat di delapan penjuru an-
gin. Kelak kau akan bertemu dengan seorang pende-
kar sakti. Tapi sebelum itu terjadi, kuharap kau
berhati-hatilah bila bertemu dengan Manusia Pa-
tung." "Manusia Patung...siapakah dia?" tanya Tapa Gedek tak mengerti.
"Manusia Patung sebenarnya hanyalah se-
buah patung. Tapi jika seseorang memasukkan roh
penasaran kedalam diri patung itu, dia akan menja-
di hidup dan dapat diperintah untuk melakukan ke-
jahatan apa saja. Manusia Patung lebih ganas dari
iblis sesat. Untuk menghancurkannya juga sulit.
Terkecuali kau sanggup membunuh sumber yang
menghidupkannya."
"Guru, siapa orang yang kaumaksudkan itu"
Dan dia tinggal dimana?"
"Manusia sakti yang sanggup memindahkan
arwah gentayangan ke dalam patung memiliki julu-
kan Bumelang nama yang sesungguhnya adalah Pati
Raga. Manusia yang satu itu memiliki kesaktian
yang sudah sampai pada puncaknya, sampai pada
taraf mumpuni. Usianya sudah ratusan tahun.
Sayang aku tak mengetahui secara pasti dia tinggal
atau berada dimana!" ujar sang guru.
"Baiklah. Aku akan ingat semua pesanmu,
guru. Sekarang murid mohon pamit, mohon diri."
kata Tapa Gedek.
"Pergilah Tapa Gedek. Dari sini aku selalu
berdoa untuk keselamatan. Kelak bila kitab dapat
kau ambil kembali, dari tempat ini pula aku akan
memberi petunjuk selanjutnya mengenai apa yang
harus kau lakukan!" ujar si kakek dari balik dinding.
"Petunjuk selalu aku harapkan guru. Karena
walaupun aku sudah tua, muridmu ini suka berlaku
tolol disamping juga mudah lupa." selesai berkata Tapa Gedek menjura hormat,
setelah itu dia bangkit
berdiri, balikkan badan kemudian meninggalkan
pondok. * * * Lamunan Tapa Gedek buyar seketika begitu
keheningan di dalam ruangan serba biru serta merta
dipecahkan oleh satu suara teriakan mengguntur
menyakitkan telinga. Laksana kilat si kakek me-
mandang ke arah dua Manusia Patung, Patung Hi-
tam dan Patung Putih. Ternyata bukan patung itu
yang berteriak. Dalam kaget Tapa Gedek alihkan
perhatian ke arah terowongan yang dia perkirakan
sebagai jalan satu-satunya keluar dari tempat itu.
Selagi Tapa Gedek memandang ke arah itu. Dia me-
lihat satu bayangan hitam berkelebat melewati tero-
wongan. Dilain saat si kakek merasakan ada angin
menyambar tubuhnya. Tapa Gedek melompat hinda-
ri sambaran angin, lalu berdiri dua tindak di bela-
kang. Sejurus Tapa Gedek memandang ke depan.
Dan didepannya kini telah berdiri tegak satu sosok
berwajah seperti kelelawar, bermulut hitam panjang
runcing dengan sepasang taring panjang mencuat.
"Manusia kelelawar!" desis Tapa Gedek.
Sosok di depannya sunggingkan seringai
buas. Sepasang matanya yang merah menyala me-
natap tajam pada si kakek. Lalu terdengar suara
erangan. "Hidup terpendam selama lima puluh tahun. Baru hari ini ada orang dari
dunia bebas yang
sampai ke tempat ini. Kakek tua siapakah dirimu
ini" Katakanlah sebelum aku membunuhmu!" ben-
tak Manusia Kelelawar sengit. Tapa Gedek golang ge-
lengkan kepala. Dia tersenyum.
"Tidak ada angin tidak ada hujan. Tidak ada
silang sengketa tidak ada persoalan, enak saja kau
mau membunuhku?"
"Hidup di dalam perut bumi panasnya seperti
di neraka. Sudah banyak orang yang terbunuh di
dalam Liang Landak ini tanpa sebab silang sengketa.
Di tempat ini sama seperti dengan di rimba Persila-
tan. Siapa yang kuat dia yang menang. Kehadiran-
mu disini telah mengurangi persediaan udara yang
ada. Pertanyaanku hanya sekali, siapa dirimu?"
"Aku Tapa Gedek."
"Tapa Gedek. Satu nama yang pernah hadir
dalam mimpiku. Hemm... ha ha ha. Agaknya kau
manusia satu-satunya yang mampu menjebol penu-
tup batu makam di ujung terowongan itu sebagai ja-
lan satu-satunya menuju kebebasan! Kalau begitu
kematianmu bisa ditunda. Sekarang kau ikuti aku!"
kata Manusia Kelelawar.
Tanpa bicara lagi, sosok berkepala dalam ru-
pa setengah manusia setengah kelelawar yang kedua
tangannya ditumbuhi sayap kulit itu memutar tu-
buh lalu berkelebat ke arah terowongan menuju
liang kubur yang terletak di ujung terowongan.
"Manusia Kelelawar, siapa dia dan apa ren-
cananya aku tidak tahu. Yang jelas aku harus ber-
hati-hati." fikir Tapa Gedek. Tak lama kemudian kakek itu melangkah mengikuti
manusia kelelawar.
Sementara sepeninggalnya Tapa Gedek dan Manusia
Kelelawar. Dua Manusia Patung yang duduk di su-
dut ruangan biru nampak pula bergerak-gerak. Ke-
dua mata terbuka lebar. Dua tangan yang berada di
atas pangkuan bergerak-gerak. Selanjutnya mereka
bangkit berdiri.
"Manusia Kelelawar telah menemukan orang
untuk membuka jalan menuju kebebasan. Patung
Putih, mari kita ikuti mereka!" kata patung berujud seorang kakek dengan suara
parau, begitu jelas.
"Patung Hitam. Agaknya kita merasa perlu
membantu Manusia Kelelawar untuk membereskan
tamu tak diundang itu!' ujar si gadis.
"Buat apa. Manusia Kelelawar bukan maji-
kan kita. Bukan pula orang yang telah menghi-
dupkan kita. Pengabdian kita hanya pantas kita be-
rikan pada Bumerang. Kalau perlu Manusia Kelela-
war juga harus kita singkirkan. Orang itu terlalu
berbahaya dan haus darah."
"Untung kita tidak mempunyai darah. Kita
hidup tanpa darah, tak pernah makan tidak juga
minum. Hik hik hik."
"Ya, kita juga tidak memiliki jantung. Tapi
punya keinginan dan nafsu. Ha ha ha!" kata Patung Hitam. Dua manusia Patung sama
berdiri, saling be-rangkulan sama berpelukan. Kemudian mereka
mencium satu sama lain. Terdengar suara tawa
mengikik. Setelah itu mereka melepaskan pelukan-
nya masing-masing. Dua Manusia Patung memutar
tubuhnya, lalu sama melangkah menelusuri tero-
wongan. Setiap langkah mereka pasti disertai den-
gan suara berdentum. Tanah di sekitarnya pun ber-
getar seperti dilanda gempa.
Sementara itu Tapa Gedek telah sampai di
ujung lorong. Bagian ujung lorong ternyata merupa-
kan sebuah ><><>hal92><><> tak lebih dari setengah tembok sedangkan panjangnya
hampir dua tombak. Di sudut kubur terdapat sebuah gelondon-
gan kayu peti mati dalam keadaan tertutup rapat.
Agaknya itulah peti mati tokoh sesat yang dikubur-
kan di tempat itu beberapa abad silam.
Setelah memperhatikan bagian dalam liang
kubur yang sempit itu Tapa Gedek berpaling pada
Manusia Kelelawar. Sosok serba hitam bersayap ku-
lit macam jubah menunjuk ke atas.
"Langit-langit batu penutup makam. Berta-
hun-tahun aku berusaha menjebolnya tapi tak per-
nah berhasil!" menerangkan sosok berwajah lancip.
"Kau mengira aku Sanggup menjebolnya"!"
tanya si kakek disertai seringai sinis.
"Paling tidak begitulah yang kudapatkan da-
lam mimpiku!" jawab Manusia Kelelawar acuh tak acuh.
"Langit-langit penutup liang kubur ini ting-
ginya hanya tiga jengkal diatas kepalaku. Aku bisa
saja melepaskan salah satu pukulan sakti. Tapi jika gagal, kemudian pukulan itu
berbalik. Aku bisa celaka!" Manusia Kelelawar tertawa panjang. Begitu suara
tawanya Lenyap dia berkata, "Persetan dengan dirimu. Jika kau mampus terkena
pukulanmu sendiri, bagiku itu lebih baik."
"Manusia tak karuan berujud, apa kau men-
gira aku takut denganmu. Udara disini semakin ber-
tambah panas. Kau menyingkirlah, akupun ingin
bebas dari tempat celaka ini!" kata Tapa Gedek.
Manusia Kelelawar menyeringai. Dia melang-
kah mundur, masuk kembali ke dalam mulut tero-
wongan sejauh tiga tombak dari liang kubur. Begitu
manusia setengah mahluk menjijikkan itu berlalu
Tapa Gedek tekuk kaki kanannya hingga posisi
orang tua ini setengah berjongkok. Dia dongakkan
wajahnya, memandang ke langit-langit yang bukan
lain adalah batu tebal penutup kubur. Dalam hati
dia berkata. "Jika Manusia Kelelawar tak sanggup menjebol penutup makam ini.
Berarti langit-langit
batu itu bukan benda biasa. Manusia Kelelawar aku
yakin memiliki kesaktian tinggi. Dia hidup ratusan
tahun. Kesaktiannya sulit dijajagi. Aku tak mungkin menggunakan pukulan Delapan
Tinju Mabuk, atau
pukulan Tiga Topan Menggulung Bumi. Jika kugu-
nakan pukulan Tanpa Ujud andai sampai gagal dan
penutup liang kubur tak dapat kuhancurkan. Aku
khawatir pukulan berbalik. Sekali aku terkena pu-
kulan itu, tubuhku bisa hancur tanpa bentuk.
Agaknya aku harus menggunakan ilmu pukulan Ge-
lombang Naga. Mudah-mudahan bisa berhasil. Aku
juga ingin tahu seberapa hebat kedahsyatan ilmu
yang baru kukuasai itu!" fikir si kakek.
Orang tua ini menarik nafas, setelah menye-
ka keringat yang membasahi wajahnya Tapa Gedek
pun segera mengerahkan tenaga dalam yang dia mi-
liki. Tenaga dalam itu kemudian disalurkannya ke
bagian tangan. Mulut Tapa Gedek komat-kamit
membaca lapal mantra pembangkit ilmu Gelombang
Naga. Tak berselang lama sekujur tubuh si kakek
bergetar hebat. Asap tebal mengepul menyelimuti di-
rinya. Sosok Tapa Gedek seolah Lenyap, samar-
samar Manusia Kelelawar melihat dari bagian ubun-
ubun sosok si kakek yang bergetar muncul bayan-
gan sosok kepala naga. Bayangan sosok dalam ujud
ular naga itu terus meliuk-liuk. Mula-mula bagian
kepala, kemudian badan yang akhirnya disusul den-
gan bagian kaki. Ternyata bayangan naga berwarna
putih itu tidak sendiri, karena kemudian dari bagian ubun-ubun si kakek muncul
lagi satu kepala dalam
rupa dan warna yang sama. Selanjutnya muncul lagi
naga ke tiga dalam ukuran lebih besar terkesan le-
bih buas dan beringas. Sosok Tapa Gedek lenyap.
Yang terlihat di mata Manusia Kelelawar hanya be-
rupa sosok ular naga berwarna putih besar, dengan
bagian leher bercabang dan berkepala tiga.
Selanjutnya terdengar suara raungan dah-
syat luar biasa disertai suara bergemuruh seperti
suara gelombang air laut ditengah hujan badai. Lalu di tengah-tengah suara
lengkingan dan gemuruh
menggila terlihat ada tiga bola api melesat keluar da-ri mulut kepala naga putih
yang terbuka menganga.
Tiga bola api menghantam langit-langit penu-
tup kubur. Satu Ledakan keras menggelegar. Batu
penutup makam yang kerasnya melebihi baja han-
cur berkeping-keping. Serpihan batu penutup kubur
berhamburan di udara. Manusia Kelelawar jatuh
terpelanting terkena getaran Ledakan. Sejenak La-
manya kubur yang telah terbuka menganga menjadi
gelap tertutup debu. Sosok Naga Putih berkepala ca-
bang tiga melesat keluar disertai suara raung dah-
syat. Tak berselang lama suara raungan aneh
6ergemuruh seperti badai, lenyap. Debu-debu yang
menutup pemandangan sirna. Tak jauh dari sisi ku-
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bur yang menganga berdiri tegak Tapak Gedek. So-
sok naga putih berkepala tiga yang sudah menghan-
curkan batu penutup kubur lenyap entah kemana.
Tapa Gedek dengan wajah kuyu menarik na-
fas pendek. Dia palingkan kepala, memandang ke
arah kubur yang menganga. Justeru pada saat itu
satu bayangan hitam berkelebat keluar. Lalu jejak-
kan kaki di depan Tapa Gedek
"Orang tua, kemana perginya naga putih
berkepala tiga tadi?" tanya Manusia Kelelawar terheran-heran. Sedangkan matanya
memandang kesege-
nap sudut penjuru tanah pemakaman. Yang ditanya
nampak kebingungan.
"Naga putih berkepala tiga" Manusia Kelela-
war aku sama sekali tidak tahu apa maksudmu" '
ujar Tapa Gedek kebingungan.
"Ha ha ha. Kau telah mengerahkan ilmu Ge-
lombang Naga. Kemudian kulihat dirimu lenyap.
Berganti dengan sosok naga putih besar berkepala
tiga. Kau tak menyadari apa yang terjadi dengan di-
rimu. Bagus. Kebetulan sekali. Kini aku telah bebas.
Agar tidak menjadi penyakit di kemudian hari. Se-
perti yang telah kukatakan aku harus membunuh-
mu!" dengus Manusia Kelelawar. Bukannya terkejut.
Tapa Gedek tetap unjukkan sikap tenang.
10 Beberapa saat kedua orang ini saling beradu
pandang. Tapa Gedek kemudian sunggingkan seulas
senyum. Dengan tenang dia berucap. "Manusia Kelelawar. Ternyata di dalam jiwamu
perilaku binatang
lebih menonjol dari pada sikap serta watak yang se-
harusnya dimiliki oleh manusia. Aku tidak ubahnya
seperti menolong anjing yang terjepit. Begitu kau
kubebaskan dari segala beban derita yang meng-
himpitmu, kau malah hendak menggigitku. Tapi
jangan kira aku takut padamu. Jika kau inginkan
nyawaku ambillah sendiri. Ingat, waktuku sempit
sekali. Aku harus membantu salah seorang sahabat
guruku!" ujar si kakek.
"Membunuhmu bukan pekerjaan yang sulit.
Aku tak perlu membutuhkan waktu yang lama!" Ba-ru saja Manusia Kelelawar selesai
berucap, laksana
kilat dia kibaskan kedua tangannya ke arah si ka-
kek. Karena tangan itu ditumbuhi semacam sayap
berupa kulit yang lebar seperti jubah. Maka begitu
kedua tangan lawan dikibaskan menderulah segu-
lung angin yang membuat si kakek jatuh terpelant-
ing Laksana dihantam angin topan.
Sementara itu Manusia Kelelawar begitu ki-
baskan tangannya yang bersayap berkelebat lenyap
dari pandangan mata. Tapa Gedek begitu dapat
bangkit berdiri jadi terkejut melihat lawan lenyap
dari hadapannya. Ketika dia mendengar suara des-
ing di udara, Tapa Gedek langsung dongakkan kepa-
la memandang ke atas. Ternyata Manusia Kelelawar
terbang di atasnya, kemudian menukik tajam, me-
nyambar ke arah si kakek sambil hantamkan kedua
tangan serta sayapnya.
Belum lagi tangan sayap itu menyentuh tu-
buh si kakek, sambaran anginnya saja sudah mem-
buat orang tua itu terjajar ke belakang. Tapa Gedek tentu tidak ingin dirinya
menjadi sasaran serangan
lawan. Sambil jatuhkan diri ke samping kakek itu
hantamkan tangannya ke arah Manusia Kelelawar.
Yang diarahnya adalah dada dan sayap lawan. Yang
dilepaskannya adalah pukulan Delapan Tinju Ma-
buk. Manusia dengan berkepandaian tinggi seka-
lipun paling tidak pasti menderita cidera berat bila terkena pukulan ini. Tapi
Manusia Kelelawar hanya
bergetar. Terdorong mundur sejauh dua tindak.
Dengan posisi terbang rendah dia kembali menyerbu
ke arah si kakek. Tapa Gedek gelengkan kepala. Ba-
ru saja bangkit dia harus berjibaku selamatkan diri hindari tebasan sayap
lawannya. Serangan Manusia Kelelawar luput. Sayap-
nya menghantam nisan dan pohon besar di belakang
Tapa Gedek. Batu nisan hancur berkeping-keping.
Pohon besar berderak roboh disertai suara mengge-
muruh hebat. Bekas hantaman sayap tidak ubahnya
seperti ditebas senjata tajam. Gagal membunuh la-
wannya, Manusia Kelelawar melesat ke udara. Ter-
bang membubung tinggi, berputar-putar untuk se-
lanjutnya menukik ke bawah siap menghantam ke-
pala Tapa Gedek. Kakek itu tidak tinggal diam.
Dia jejakkan kaki, hingga tubuhnya melesat
ke udara. Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh kini dia jejakkan kakinya di atas cabang po-
hon. Lawan nampaknya tidak lagi memberi kesem-
patan padanya. Laksana kilat Manusia Kelelawar
meluncur ke arah pohon, lalu...
Cras! Cras! Craas!
Braak! Buum! Satu kenyataan yang sulit dipercaya terjadi.
Tapa Gedek bahkan sampai delikkan mata, mulut
ternganga lebar seolah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Secara mengerikan cabang pohon besar
yang jumlahnya mencapai puluhan terbabat putus,
berjatuhan diatas tanah kubur seperti diterabas senjata. Kini posisi si kakek
tak terlindung lagi. Pohon besar itu benar-benar menjadi gundul sampai ke
pucuknya. Bertahan pada batang pohon, si kakek
menyadari lawan tak mungkin dapat dihadapi den-
gan pukulan saktinya. Merasa tidak punya pilihan
lain, maka diapun segera merapal ilmu ajian Gelom-
bang Naga. Belum lagi selesai Tapa Gedek membaca
mantra-mantranya. Manusia Kelelawar berkelebat
lagi ke arah pohon yang gundul. Tiga gerakan dari
pucuk pohon hingga ke bagian bawah batang dila-
kukannya. Crees! Crees! Cres! Buum! Pohon besar yang telah menjadi gundul ter-
babat putus di tiga bagian. Robohnya pohon tentu
saja membuat Tapa Gedek ikut terbanting. Lebih ce-
laka lagi pertengahan batang pohon menimpa tubuh
si kakek. Mustahil Tapa Gedek dapat selamatkan di-
ri dari himpitan batang pohon tersebut. Terkesan
tak perduli, tanpa menghiraukan rasa sakit yang
menderanya pula si kakek terus merapal mantra
ajian Gelombang Naga.
Sementara itu dari atas sana lawan kembali
menukik siap menghabisi Tapa Gedek. Satu tombak
lagi sayap dan tangan lawan mencabik hancur tu-
buh Tapa Gedek, tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dahsyat dari mulut si
kakek. Dari sekujur
tubuh orang tua itu muncul kabut tebal yang segera
menyelimuti dirinya. Apa yang terjadi ketika si ka-
kek berada di dalam lubang kubur terulang kembali.
Dari ubun-ubun Tapa Gedek muncul satu kepala
berwarna putih. Kepala seekor naga. Kemunculan
kepala yang pertama disusul dengan munculnya ke-
pala naga yang kedua dan ketiga. Mendadak angin
bertiup kencang disertai suara bergemuruh menggi-
dikkan. Sosok Tapa Gedek Lenyap. Suara raung, lo-
long dan gemuruh laksana badai di laut makin
menghebat. Sosok Tapa Gedek yang diselimuti kabut
seketika lenyap. Kini di tempat itu muncul sosok na-ga putih dengan besar luar
biasa berkepala tiga. Binatang itu mengamuk, bagian ekornya melibas apa
saja yang terdapat disekitarnya. Tiga kepalanya
mendongak ke atas, mulut yang bergigi runcing ter-
buka. Tiba buah lidah yang bercabang terjulur me-
nyambar ke arah sayap Manusia Kelelawar. Meski-
pun sayap Manusia Kelelawar setajam mata pedang.
Tapi lidah naga putih berkepala tiga ini jauh lebih tajam dari pedang. Ketika
terjadi benturan antara
dua sayap Manusia Kelelawar dengan tiga lidah naga
terdengar seperti ada sesuatu yang robek.
Manusia Kelelawar terpental ke belakang dan
dia menjerit begitu sayap kanannya robek besar
mengucurkan darah terkena sambaran lidah naga
tersebut. Tapi orang ini ternyata memiliki nyali luar biasa besar. Walaupun
terluka dia kembali menyerang badan sang naga putih. Yang diserang juga ti-
dak bodoh. Tiga kepala dengan satu badan itu lang-
sung meliuk bergerak merendah menyambut seran-
gan lawan Manusia Kelelawar yang siap hunjamkan
taring-taringnya yang mencuat panjang terpaksa ba-
talkan serangan. Lalu memutar badan sambil ke-
pakkan sayapnya. Tapi secara tak terduga, ekor na-
ga putih terangkat ke atas lalu melibas tubuh la-
wannya. Braak! "Akkkh!"
Disertai jeritan keras, Manusia Kelelawar ja-
tuh terpental. Tubuhnya bergulingan akibat demi-
kian kerasnya hantaman ekor lawannya. Begitu ge-
rakan tubuhnya terhenti, dari mulutnya menyem-
burkan darah. Naga berkepala tiga itu tak memberi
kesempatan. Dia balikkan badan dan segera mem-
buru ke arah lawannya.
Merasa tak sanggup menghadapi lawannya.
Manusia Kelelawar dalam keadaan cidera di bagian
dalam, serta terluka pula di bagian sayapnya segera pula gerakkan kedua tangan.
Wuuut! Mendadak tubuh kelelawar itu melambung
tinggi ke udara. Kemudian berputar-putar sebanyak
dua kali selanjutnya bergerak ke arah timur, lalu lenyap dari pandangan mata.
Baru saja Manusia Kelelawar menghilang da-
ri pandangan mata dari dalam liang kubur yang ter-
buka muncul seorang kakek berkulit hitam serta
gadis berkulit putih berpakaian putih tipis tembus
pandang. Kemunculan dua Manusia Patung itu ten-
tu saja diluar dugaan Tapa Gedek yang kini telah
kembali dengan ujud asli. Tapa Gedek gelengkan ke-
pala dan palingkan wajahnya ke jurusan lain begitu
melihat penampilan si gadis yang demikian menggo-
da. Dalam hati dia berkata. "Dia pasti dua patung yang kulihat di sudut ruangan
serba biru tadi. Walau cuma patung, di dalamnya bersemayam roh ja-
hat. Siapapun pasti tergoda melihat penampilannya
itu. Aku sendiri tak mungkin menggunakan ilmu Ge-
lombang Naga terus menerus."
"Kakek hebat. Tadi kami sempat mendengar
suara gemuruh seperti gelombang besar di laut. Ka-
mi juga mendengar suara teriakan aneh seperti sua-
ra naga. Adakah dirimu seekor naga?" tanya kakek hitam. "Aku tidak tahu apa yang
kau maksudkan, patung hidup." sahut Tapa Gedek ketus.
"Ah... rupanya kau mengetahui siapa kami
adanya." Patung gadis berkulit putih ikut bicara.
Disertai senyum genit dan basahi bibir dengan lidah gadis itu melanjutkan
ucapannya. "Orang tua
meskipun aku juga patung tapi aku mempunyai se-
suatu yang sama seperti gadis pada umumnya. ka-
lau kau mau tidur denganku, aku bersedia melaya-
nimu sebagaimana layaknya suami istri. Hik hik
hik." Tapa Gedek meludah. Mendengar ucapan gadis itu perutnya terasa mual dan
ingin muntah. "Patung Putih... dan kau Patung Hitam. Tak usah kau meng-
gunakan tipu daya untuk memuslihati diriku. Aku
tahu sejarah keberadaan kalian. Sebelum aku beru-
bah fikiran sebaiknya kalian pergilah yang jauh. Bukankah lebih baik kalian
mencari Bumerang" Orang
yang telah membuat kalian hidup seperti sekarang?"
dengus si kakek.
Terkejutlah Patung Hitam dan Patung Putih
mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Tapa Ge-
dek. Kakek dan gadis itu saling melempar pandang.
Mereka kemudian nampak bicara satu sama lain
dengan bahasanya sendiri. Bahasa yang cuma beru-
pa racun yang tidak dimengerti oleh Tapa Gedek.
Tak lama setelah itu Patung Hitam berkata dituju-
kan pada Tapa Gedek. "Orang tua, aku ingin mengajukan satu pertanyaan. Kemanakah
perginya Manu- sia Kelelawar?"
"Ha ha ha! Apakah bangsat bersayap itu sa-
habat kalian?" tanya si kakek. Patung Putih dengan cepat menyahuti. "Kami
bangsanya patung tidak
mengenal kata sahabat. Kehidupan kami hanyalah
untuk orang yang telah memasukkan arwah kami ke
dalam patung ini."
"Patung cantik. Jika kalian ingin tahu. Ma-
nusia Kelelawar membawa lukanya ke neraka. Apa-
kah kalian sudah puas dengan jawabanku ini?"
"Ah, kau sanggup mengalahkan Manusia Ke-
lelawar" Berarti kau adalah orang tua sakti yang
perkasa." puji Patung Hitam. "Apakah kau masih tidak mau bersenang-senang dengan
gadis ini" Dia
adalah gadis menyenangkan yang sangat luar biasa
sekali." "Persetan dengan semua ucapanmu. Aku tidak punya waktu dan tidak akan
pernah bermaksiat
dengan perempuan manapun apalagi cuma manusia
patung!" dengus Tapa Gedek. Kemudian tanpa bica-ra lagi si kakek balikkan badan
dan segera pula berkelebat pergi. Dua manusia patung tidak mengejar.
Mereka saling berpandangan. Si gadis berkata den-
gan nada menyesal.
"Sayang sekali dia tak mau bersenang-
senang denganku. Jika dia dapat kuperdaya, tentu
seluruh ilmu sekaligus tenaga sakti yang dia miliki pasti berpindah ke tubuhku."
"Tak usah gusar. Kesempatan masih banyak.
Untuk merampas kesaktian dari orang yang mau
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau cumbui masih terbuka. Kelak jika seluruh
orang-orang berkepandaian tinggi bertekuk lutut di
bawah kakimu. Di saat itu baru terbuka jalan untuk
menentukan Langkah selanjutnya. Sekarang kita
harus pergi. Masih banyak calon korban, masih ba-
nyak sasaran yang dapat kita raih!" ujar si kakek. Si gadis cantik anggukkan
kepala. Kemudian melangkah pergi meninggalkan Liang Landak.
11 Empat sosok tubuh tergeletak kaku dengan
sekujur tubuh membiru keracunan. Dibalik pakaian
dada yang terbuka terlihat satu luka menghitam be-
kas sentuhan lima jari telapak tangan. Satu dari
empat mayat laki-laki bersenjata pedang itu pa-
kaiannya dalam keadaan terbuka seperti orang yang
baru saja hendak buang hajat.
Keberadaan mayat di pinggir sungai itu tentu
saja mengundang perhatian seorang kakek berpa-
kaian hitam, berambut dan beralis merah yang ke-
betulan melintas daerah itu. Si kakek yang adalah
Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Bayangan adanya
memperhatikan mayat itu sejenak, kemudian sambil
berjongkok dia memeriksa keempat mayat itu satu
demi satu. Tak lama kemudian dia menarik nafas, lalu
berdiri sambil gelengkan kepala berulang-ulang.
"Mereka semua tewas akibat terkena racun. Tidak ada luka di bagian dalam
terkecuali luka di dada.
Melihat luka ini nampaknya hanya sekedar usapan
saja. Tapi mengapa akibatnya begini fatal" Dan
mayat yang satunya itu. Hem... agaknya dia hendak
melakukan kekejian terhadap seseorang. Agaknya
mereka menemui batu sandungan. Orang yang hen-
dak dijadikan korban memiliki ilmu lebih tinggi. Mereka terpedaya. Aku tidak
mengenal siapa mereka.
Namun melihat penampilan serta pakaian yang me-
reka pakai, mungkin orang-orang ini hanya kawa-
nan perampok yang konon kabarnya sering berkelia-
ran di tempat ini!" batin si kakek dalam hati.
Dengan tatap mata tak bersemangat sekali
lagi dia memperhatikan ke empat mayat yang berada
di depannya. Setelah itu si kakek melangkahkan ka-
kinya menyisir tepian sungai berbatu. Tapi baru be-
berapa tindak dia mengayunkan Langkah, secara
tak terduga satu benda bulat berwarna hitam me-
layang ke arahnya. Jika si kakek tidak cepat meng-
hindar sambil rundukkan kepala. Benda yang mele-
sat ke arahnya itu dapat dipastikan menghantam
wajahnya. Praak! Terdengar suara benda pecah menghantam
batu di belakangnya. Si kakek cepat balikkan badan
dan memeriksa benda bulat itu. Astaga! Angin Pesut
tercekat sambil belalakkan mata. Benar dulu dia
sering melakukan pembantaian, membunuh dengan
sewenang-wenang. Tapi kejadian itu telah berlang-
sung lama. Setelah dirinya bertobat dan tidak per-
nah membunuh lagi. Melihat benda yang ternyata
adalah penggalan kepala itu tanpa sadar membuat
tengkuknya berubah menjadi dingin.
Si kakek cepat memandang ke arah mana
potongan kepala tadi dilemparkan orang. Tapi dia tidak melihat apapun, karena
kawasan di pinggir
sungai itu ditumbuhi semak belukar lebat. Siapapun
yang bersembunyi di situ tak mungkin dapat dilihat.
Selagi si kakek termangu. Kesunyian di tepi sungai
itu dipecahkan oleh terdengarnya suara tawa yang
teramat dingin menyeramkan.
"Hik hik hik. Empat laki-laki tolol tewas ke-
racunan. Yang menjadi pimpinannya telah kupeng-
gal pula kepalanya. Kini datang orang yang selama
ini kucari. Orang yang harus kubunuh dengan tan-
ganku sendiri. Begitulah tugas yang harus kujalan-
kan. Titah itu telah kusanggupi, kujunjung diatas
kepalaku. Orang tua... melihat penampilanmu. Ku-
rasa tidak salah jika aku menduga dirimu adalah
Angin Pesut, manusia dengan gelar Iblis Tujuh Rupa
Delapan Bayangan!" kata satu suara sambil terus umbar tawanya.
Sebagai bekas tokoh sesat yang sudah ke-
nyang malang melintang di rimba persilatan. Se-
sungguhnya Angin Pesut tidak akan heran bila begi-
tu banyak orang yang mengenal siapa dirinya. Yang
membuatnya kaget, suara tawa yang didengarnya
Jelas suara tawa perempuan muda. Mungkin
usianya belum sampai dua puluh tahun. Dengan si-
kap tenang Angin Pesut akhirnya menyahuti. "Kau tak salah menduga. Aku memang
ingin Pesut. Aku
tak perlu bertanya mengapa kelima laki-laki itu kau bunuh. Tapi jika kau memang
punya keperluan
denganku. Sebaiknya tunjukkan dirimu, datang ke-
mari dan katakan apa kepentinganmu!" ujar si kakek. Kembali terdengar suara tawa
menggeledek. Semak belukar di seberang kanan sungai tersibak.
Satu kepala tersembul, kemudian berkelebat ke arah
Angin Pesut. Melihat gerakan orang, si kakek mak-
lum gadis yang melesat ke arahnya itu pasti memili-
ki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sem-
purna. Tak lama kemudian di depan si kakek berdiri
tegak seorang gadis berpakaian merah ketat. Gadis
itu berwajah cantik, rambutnya panjang tergerai.
Sedangkan dipinggangnya tergantung sebilah pe-
dang. Yang menarik perhatian Angin Pesut. Bagian
rangka pedang bukan terbuat dari kayu atau besi.
Melainkan berasal dari sepotong lengan tangan en-
tah milik siapa. Melihat pada potongan dan bentuk
pedangnya, Angin Pesut dapat memastikan senjata
yang tergantung di pinggang si gadis pasti bukan
senjata sembarangan.
Yang aneh, si kakek dadanya berguncang ke-
ras begitu memandang ke arah sang dara.
"Orang tua... aku datang untuk mencabut
nyawamu" hardik si gadis dingin. Angin Pesut tersenyum arif. Sama sekali dia
tidak merasa tersing-
gung. Malah dengan lembut dia berkata.
"Gadis jelita siapa namamu" Agaknya kau
memiliki suatu ganjalan besar terhadapku. Atau
mungkin aku pernah berlaku salah pada orang tua-
mu?" "Aku tidak punya orang tua." jawab gadis itu polos. Kembali darah si kakek
berdesir mendengar
jawaban sang dara.
"Lalu dendam siapa yang hendak kau ba-
laskan?" "Dendam guruku!" dengus si gadis.
Angin Pesut tersenyum tipis.
"Mengapa gurumu tidak datang langsung ke-
padaku?" tanya si kakek.
"Untuk menghadapi manusia sepertimu. Gu-
ruku tak perlu repot mengotori tangannya dengan
darah busukmu!"
"Darahku memang busuk. Tapi terus terang
kau tidak bakal sanggup membunuhku!" jawab si
kakek. "Kau manusia sombong. Terlalu memandang remeh orang lain. Aku tidak akan
membiarkanmu hidup!" dengus si gadis.
"Baiklah. Jika kau tetap bersikeras dengan
pendirianmu tidak mengapa. Tapi sebelum itu kata-
kan siapa dirimu, siapa pula gurumu"!" ujar Angin Pesut. "Tua bangka, kau dengar
baik-baik. Namaku Indah Sari Purnama. Adapun nama guruku aku tidak akan
mengatakannya padamu!" jawab si gadis.
Angin Pesut terdiam. Dalam hati dia berkata. "Gadis ini mengapa jantungku
berdebar-debar begitu aku
melihatnya" Wajahnya sangat mirip sekali dengan
Serimbi. Mungkinkah dia anakku" Sayang sekali ke-
tika dia diculik orang aku belum sempat membe-
rinya nama. Hanya ada satu jalan untuk mengenal-
nya. Aku harus bisa melihat punggungnya. Di ba-
gian punggung anakku dulu terdapat sebuah tahi la-
lat. Tapi itu agaknya tidak mudah untuk kulaku-
kan!" fikir si kakek.
"Angin Pesut bersiaplah untuk menghadap
malaikat maut!" teriak Indah Sari. Berkata begitu tanpa memberi kesempatan lagi
pada Angin Pesut
sang dara berkelebat ke depan lancarkan satu se-
rangan ganas yang langsung mengarah pada bagian
mata si kakek. Sadar gadis ini bukan lawan sembarangan,
Angin Pesut tentu saja segera melompat hindari se-
rangan sang dara. Wuuut! Serangan yang dilancar-
kan lawan dapat dielakkannya. Namun begitu se-
rangannya luput gadis ini langsung berbalik dan kini menyerang bagian tulang
punggungnya. Si kakek
terkesiap. Dia melesat ke depan. Dalam hati Angin
Pesut menjadi sangat kaget karena tak pernah men-
duga lawan menyerangnya di bagian yang memati-
kan. "Celaka! Nampaknya dia mengetahui kele-
mahan ku" Dia menyerang bagian-bagian tubuhku
yang paling mematikan!" desis kakek itu tercekat.
Laksana kilat dia cepat balikkan badan. Tapi saat
itu lawan telah berada dihadapannya dan tengah
melancarkan serangan di bagian tulang rusuknya.
Karena serangan ini juga cukup berbahaya.
Maka Angin Pesut pun terpaksa gerakkan tangannya
melakukan tangkisan.
Raak! Lengan si kakek dengan jemari tangan si ga-
dis beradu keras di udara membuat Indah Sari ter-
dorong mundur. Tapi lengan si kakek sempat ter-
gores kuku lawannya yang mengandung racun ga-
nas. Walaupun Angin Pesut kebal terhadap berbagai
jenis racun. Tapi nampaknya racun di tubuh si gadis bukan racun sembarangan.
Terbukti Angin Pesut
yang dikenal memiliki kekebalan bahkan mempu-
nyai ajian Panca Sona, suatu ilmu hebat yang apabi-
la pemilik ilmu itu terpotong anggota tubuhnya, ma-
ka potongan tubuh segera bertaut kembali, kini
nampak terluka. Gadis itu tertawa mengekeh meli-
hat lawan dapat dilukainya. "Angin Pesut. Kau boleh mempunyai ilmu Pancasona.
Tubuhmu boleh kebal.
Tapi guruku telah mempelajari kekurangan-
kekurangan dari ilmu yang kau miliki. Kepadaku dia
khusus mengajarkan beberapa bagian tubuhmu
yang harus kuserang. Manusia sombong kau me-
mang hebat, tapi sebagai manusia kau memiliki ba-
nyak kelemahan. Sekarang kau lihatlah tanganmu.
Konon kudengar bila dirimu terluka, maka luka itu
segera bertaut kembali. Tapi kenyataannya. Hik hik
hik. Luka itu tak akan pernah lenyap sebagaimana
yang sering terjadi dengan dirimu Angin Pesut. Ka-
rena kuku-kukuku mengandung racun. Bukan
hanya bagian kuku. Malah sekujur tubuhku sangat
beracun!" kata Indah Sari Purnama sinis.
Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan perhati-
kan lengannya yang tergores kuku sang dara. Angin
Pesut melengak kaget. Lengan itu memang terluka
meneteskan darah. Tapi anehnya luka itu tak mau
bertaut kembali sebagaimana yang biasanya sering
terjadi. "Hmm... Gadis ini sangat berbahaya. Aku ya-
kin siapapun yang menjadi gurunya pasti telah
memberi bekal berbagai kebolehan yang khusus un-
tuk mengincar bagian-bagian tubuhku yang terle-
mah. Aku tidak boleh berdiam diri berpangku tan-
gan. Gadis ini harus kuringkus! Aku harus tahu sia-
pa gurunya!" batin si kakek dalam hati.
"Angin Pesut! Sekarang bersiap-siaplah kau
untuk menyambut seranganku yang kedua!" teriak sang dara. Selesai dia berkata
tubuhnya berkelebat
lenyap dari pandangan mata. Kemudian si kakek
melihat ada bayangan merah menyambar ke bagian
ulu hatinya. Yang diserang lawan ini juga bagian titik kelemahannya. Sehingga
secepat kilat si kakek
jatuhkan diri menghindar dari jangkauan tangan la-
wannya. Wuus! Serangan yang mengarah ke bagian ulu hati
tidak mengenai sasaran, membuat sang dara jadi
kalap dan kini gerakkan tangannya ke bawah men-
garah ke bagian lutut Angin Pesut
12 Secepat apapun kakek ini menghindar. Tapi
bagian lututnya tetap saja terkena sambaran kuku
lawannya. Breet! Terdengar suara robeknya kulit di bagian lu-
tut. Si kakek kembali terluka. Luka beracun yang
meneteskan darah. Walaupun luka itu tidak mem-
bahayakan jiwanya namun membuat si kakek men-
jadi kerepotan. Apalagi nampaknya sang dara tidak
lagi memberi kesempatan pada lawannya. Begitu
melihat Angin Pesut bangkit berdiri dia kembali bergerak ke depan, lepaskan satu
tendangan kilat ke
bagian perut, sedangkan tangannya lakukan baba-
tan ke bagian leher. Angin dingin menyambar ke ba-
gian perut dan lehernya. Si kakek yang rupanya pe-
nasaran untuk mengetahui siapa adanya gadis itu
yang sebenarnya segera jejakkan kakinya.
Duuk! Duuuk! Dua kali hentakan membuat tubuh si kakek
melesat ke udara. Di udara dia lakukan gerakan se-
demikian rupa, berjumpalitan menjauh lalu jejakkan
kakinya di tebing kanan sungai. Indah Sari tidak
membiarkannya begitu saja. Dia pun mengejar.
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan gerakan ringan tubuhnya melenting ke atas,
lalu meluruk deras ke arah kakek itu. Sejarak setengah tombak di depan kakek itu
kakinya berkelebat
menghantam kepala.
Wuut! Lawan tiba-tiba lenyap. Tendangan hanya
menghantam angin. Ketika Indah Sari dongakkan
kepala ke atas. Ternyata lawan telah berdiri di pu-
cuk pohon. "Jahanam pengecut! Apakah bisamu cuma
menghindar!" maki si gadis. Sambil berkelebat ke atas mengejar si kakek, Indah
Sari hantamkan dua
tangannya ke depan. Angin dingin laksana es diser-
tai kepulan uap putih menderu ganas menghantam
tubuh Angin Pesut. Sebelum pukulan lawan meng-
hantam dirinya. Dia kembali berkelebat ke pohon
yang berada di sebelahnya.
Buum! Pucuk pohon rambas hangus terkena puku-
lan gadis itu. Kepingan bertaburan di udara. Bagian bawah pohon kemudian nampak
menghitam, daun-daunnya hangus berguguran.
Indah Sari merutuk habis-habisan. Gagal
menghabisi lawannya kini dia bergerak ke pohon
lainnya. Dimana lawan berdiri tegak disitu sambil
memandangnya dengan tatapan penuh rasa tidak
mengerti. Laksana burung walet Indah Sari melun-
cur deras ke arah si kakek. Dua tangan yang berku-
ku panjang dan setajam mata pedang menyambar
wajah, tenggorokan serta dada Angin Pesut. Kakek
itu menyambar cabang pohon di depannya. Dengan
cabang pohon berdaun lebat dia menangkis seran-
gan sang dara. Bret! Breet! Breet!
Tes! Tes! Cabang yang dipergunakan untuk menang-
kis, terbabat kuku lawan. Putus bertaburan ke uda-
ra. Potongan reranting pohon kemudian secara aneh
menghantam mata dan sekujur tubuh Angin Pesut.
Si kakek keluarkan seruan kaget, namun cepat han-
tamkan kedua tangannya ke depan.
Dari telapak tangan si kakek menderu hawa
panas luar biasa disertai sambaran angin yang de-
mikian keras. Potongan kayu yang seharusnya me-
nancapi sekujur tubuh dan matanya berpentalan
dan berbalik menghantam Indah Sari. Gadis itu
menghindar ke samping, lalu meluncur turun, jejak-
kan kaki di atas tanah dengan wajah pucat pasi.
Angin Pesut nampaknya tidak memberi hati.
Apalagi saat itu dia melihat luka di bagian lengan
dan lututnya tidak mau bertaut kembali dan me-
nimbulkan rasa nyeri luar biasa. Sambil berteriak
keras si kakek melesat ke bawah. Tubuhnya melun-
cur sedemikian rupa. Sedangkan dua tangan me-
nyambar ke arah perut si gadis demikian cepatnya.
Dalam pandangan Indah Sari sepasang tangan si
kakek kini berubah menjadi beberapa pasang siap
untuk menjebol perut dan dada sang dara.
Dalam kagetnya Indah Sari segera gerakkan
tangannya melakukan tangkisan. Tapi ternyata se-
rangan si kakek hanya tipuan saja. Karena begitu
lawan menyambuti serangannya dia lakukan gera-
kan jungkir balik sedemikian rupa, kemudian men-
gitari tubuh sang dara. Tepat posisinya berada di
atas si gadis, tangan kirinya menyambar punggung
Indah Sari. Bretttt! Terdengar suara robeknya pakaian. Indah
Sari menjerit kaget. Sebaliknya Angin Pesut begitu
kaget begitu melihat di bagian punggung sang dara
yang putih mulus itu terdapat satu titik besar ber-
warna hitam berupa tahi lalat.
"Di.. dia anakku...!" desis Angin Pesut dengan tubuh tergetar menahan keharuan.
Sebaliknya Indah Sari menjerit sambil me-
maki. Kalang kabut dia sibuk berusaha menutupi
punggungnya yang terbuka lebar. Tapi mana mung-
kin hal itu dapat dilakukannya. Karena tangannya
sulit menjangkau bagian punggung. Gagal menutupi
punggung sang dara berteriak keras. "Tua bangka mesum. Ajalmu sudah di ambang
mata tapi kau masih berani berlaku kurang ajar. Aku harus membu-
nuhmu!" maki si gadis marah bukan main. Angin
Pesut angkat salah satu tangannya. "Kau dengar.
Aku hanya ingin melihat satu tanda di punggungmu.
Satu tanda berupa tahi lalat. Ternyata di pung-
gungmu memang ada tahi lalatnya. Aku sama sekali
tidak bermaksud kurang ajar." kata si kakek dengan suara bergetar menahan rasa
haru dan bahagia. Walaupun dalam keadaan marah bukan main. Men-
dengar ucapan si kakek Indah Sari menjadi bingung.
"Apa maksudmu orang tua?" hardiknya. Dengan ma-ta berkaca-kaca si kakek
menjawab. "Dulu aku punya anak perempuan. Di pung-
gungnya ada tahi lalat. Aku belum sempat membe-
rinya nama karena dia baru saja dilahirkan. Sayang
sekali dia diculik oleh seseorang yang tidak kukenal.
Jika dia masih hidup tentu sudah sebesar dirimu.
Sudah lama aku mencarinya, tapi sampai sekarang
aku belum menemukannya!"
"Huh, yang jelas aku bukan anakmu!" den-
gus sang dara sinis.
"Mengingat tahi lalat di punggungmu, mung-
kin saja kau anakku. Bisa jadi seseorang sengaja
membesarkanmu, lalu mendidikmu. Untuk kepen-
tingannya sendiri bisa jadi dia memperalatmu untuk
membunuhku!" kata si kakek.
"Tua bangka keparat. Jangan coba-coba
mempengaruhiku. Aku tidak mudah terkecoh. Atau
mungkin kau kehilangan nyali untuk menghadapi
aku?" Si kakek tersenyum tipis. Dia menggigit bibir.
Jiwanya terguncang, perasaannya begitu pedih.
Dengan lirih dia menjawab. "Kuakui ilmu kepan-
daianmu sangat tinggi. Tapi dengan kepandaianmu
itu, jika aku bersungguh-sungguh dalam mengha-
dapimu. Kau tak bakal sanggup mengalahkan aku.
Malah jika tadi aku bermaksud keji padamu. Kurasa
bukan pakaianmu saja yang dapat kubuat robek.
Tapi kepalamu sendiri bukan dapat kupecahkan. In-
dah Sari, kau pasti anakku. Wajahmu sangat mirip
dengan bekas Istriku Serimbi yang bukan lain ada-
lah ibumu sendiri!" kata si kakek sambil titikkan air mata. Mendengar ucapan
Angin Pesut, mendidihlah
darah sang dara. Dengan mata mendelik penuh ke-
bencian Indah Sari membentak. "Tua bangka. Kau bukan ayahku, perempuan yang kau
katakan itu ju-ga bukan ibuku. Ayah Ibuku telah lama meninggal.
Lagipula tak mungkin aku punya orang tua keji se-
perti dirimu!" kata sang dara sengit.
"Kalau ayah ibumu sudah mati apakah kau
pernah melihat kuburnya?" tanya si kakek lagi. Indah Sari tentu menjadi bingung.
Selama ini dia me-
mang belum pernah melihat kubur kedua orang tu-
anya. Gurunya bahkan tak pernah memberi tahu
dimana kubur mereka. Tak mau dikecoh orang gadis
ini berucap. "Angin Pesut, jika kau punya senjata cabutlah. Karena aku pasti
membunuhmu!"
"Indah Sari percayalah, gurumu pasti selama
ini telah menipu dirimu. Kemudian memperalat di-
rimu untuk membunuh orang tua sendiri!" ujar si kakek dengan kesabaran luar
biasa. Sebagai jawaban sang dara langsung menca-
but Pedang Tumbal Perawan dari rangkanya yang
berasal dari lengan gadis yang dijadikan tumbal pe-
dang itu. Melihat pedang yang menggeletar begitu
tercabut dari rangkanya. Angin Pesut terkejut juga
maklum pedang di tangan Indah Sari bukan senjata
biasa. Melainkan senjata sakti mandra guna yang
menyimpan kesaktian sekaligus memiliki pengaruh
Iblis. Pedang itu pasti sangat mematikan. Fikir si
kakek. Si kakek tentu saja tak mau mati sebelum
tahu secara pasti siapa gadis itu yang sebenarnya.
Karena itu begitu melihat sinar pedang yang ber-
warna hitam itu bergulung-gulung menerjang ke
arah dirinya si kakek segera berkelit menghindar.
Baru saja si kakek mengelak, kini pedang yang ber-
gerak dengan kemauannya sendiri itu malah meng-
hantam ke bagian lambungnya.
Kakek tua yang sudah kenyang malang me-
lintang di rimba persilatan dan merupakan momok
paling ditakuti belasan tahun yang lalu itu untuk
pertama kalinya seumur hidup dibuat kaget. "Gila, pedang ini seolah memiliki
nyawa. Punya otak, mata
dan jalan fikiran sehingga dia dapat membaca gera-
kan lawan!" fikir si kakek. Tak punya pilihan lain Angin Pesut akhirnya jatuhkan
diri. Bergulingan
menghindar, tapi lawan terus mengejar mengikuti
gerakan pedang. Angin Pesut terpaksa dorongkan
kedua tangan lepaskan pukulan yang diperkirakan
tidak membahayakan keselamatan sang dara
Segulung angin dingin menghantam gadis
itu, tapi Indah Sari telah memutar pedang menjadi-
kan senjatanya sebagai perisai. Ketika pukulan si
kakek membentur senjata lawan. Pukulan itupun
amblas lenyap tidak meninggalkan bekas. Terkejut
orang tua itu bukan kepalang. Sementara itu indah
Sari telah berkelebat ke arahnya sambil babatkan
pedang di tangan dua kali berturut-turut. Angin Pe-
sut kembali berkelit. Tak urung rambutnya kena di-
tebas putus senjata lawan. Tak punya pilihan lain si kakek terpaksa hantamkan
kakinya ke tubuh lawan
dalam upayanya menyelamatkan diri.
Dess! Tendangan yang keras membuat Indah Sari
terjajar ke belakang. Mempergunakan kesempatan
ini Angin Pesut lesatkan tubuhnya ke udara. Sean-
dainya dia ingin membunuh gadis itu atau bermak-
sud mencelakainya. Hal ini sebenarnya dapat dila-
kukan si kakek sejak tadi. Karena bagaimana pun si
kakek masih unggul dalam hal ilmu, kecepatan serta
pengalaman. Tapi entah mengapa walau orang in-
ginkan jiwanya dia malah tak tega untuk jatuhkan
tangan keji. Sementara itu melihat lawan berkelebat ke
udara dan membubung tinggi ke angkasa. Indah Sa-
ri tidak membiarkannya begitu saja.
Cepat sekali dia mengejar. Lalu menyerang
lawannya dengan kecepatan berlipat ganda.
Laksana setan, Angin Pesut terus menghin-
dari serangan senjata yang datangnya laksana air
bah itu. Demikian hebatnya pertarungan itu hingga
baik yang menyerang maupun yang mendapat se-
rangan ganas berkelebat seperti bayangan saja. An-
gin Pesut yang sengaja tidak mau menyakiti Indah
Sari akhirnya mulai terdesak. Beberapa jurus ke-
mudian dia bahkan hampir kehilangan kepalanya
akibat sambaran senjata lawan. Si kakek tidak mau
mati sia-sia. Tangannya terjulur menghantam ping-
gang sang dara. Tapi pada waktu yang sama ujung
pedang lawan juga menyambar dadanya.
Buuk! Craas! Dua Jeritan menggema di udara. Dua sosok
tubuh meluncur ke bawah. Lalu....
Bluk! Bluk! Keduanya jatuh terduduk. Saling berhadap-
hadapan. Indah Sari merintih kesakitan. Sedangkan
Angin Pesut sibuk menotok beberapa urat darah be-
sar untuk mencegah agar racun tidak sampai men-
jalar kemana-mana. Luka akibat goresan senjata la-
wan nampak membiru kehitaman. Dan luka itu ti-
dak pula mau bertaut lagi. Seolah si kakek kehilan-
gan kekebalannya. Walaupun dia terluka tapi meli-
hat gadis itu merintih si kakek jadi tidak tega malah menghawatirkan keselamatan
gadis itu. "Indah Sari kau...!" Angin Pesut tidak melanjutkan ucapannya. Melainkan
menghampiri si gadis
siap memberikan pertolongan. Si gadis merasa inilah saatnya untuk menghabisi
Angin Pesut. Pedang yang
terjatuh disampingnya segera diambil. Tapi begitu
dia siap menusukkan pedang Tumbal Perawan di
dada si kakek. Pada saat yang bersamaan dia men-
dengar suara ngiang ditelinganya.
"Jangan kau bunuh dia. Biar aku yang
membunuhnya! Aku segera datang!" jelas orang yang baru bicara itu bukan lain
adalah gurunya sendiri.
Sehingga pedang dilepaskan. Tapi begitu si kakek telah berada dalam
jangkauannya. Tangan kanannya
langsung menyambar ke beberapa bagian tubuh An-
gin Pesut. Sedikitnya tiga totokan hebat melanda diri si kakek. Membuat orang
tua itu dalam keadaan ka-ku tertotok tak dapat bergerak-gerak lagi. Angin Pesut
jadi tercekat. Lalu memandang gadis itu penuh
rasa heran. "Indah Sari, mengapa kau lakukan ini, anak-
ku" Apakah kau tega membunuh ayahmu sendiri?"
tanya si kakek bergetar.
"Kau bukan ayahku. Kalau bukan atas perin-
tah guru, aku pasti membunuhmu sekarang ini!"
dengus sang dara.
"Aku rela mati ditanganmu asal kau mau
mengakui aku ini adalah ayahmu!" rintih si kakek dengan berurai air mata. Si
gadis sama sekali tidak bergeming, dia juga tidak menjawab. Malah kemudian dia
keluarkan segulung tali dari balik saku celananya. Dia hampiri kakek malang ini.
Kemudian Indah Sari dengan cekatan mengikat kaki dan tan-
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan Angin Pesut. Dalam keadaan semakin tidak ber-
daya Angin Pesut diseretnya.
"Indah Sari... apa yang hendak kau laku-
kan?" tanya si kakek. Dalam keadaan fikiran normal dan bukan gadis itu yang
dihadapinya. Angin Pesut
bisa saja membebaskan diri dari pengaruh totokan
bahkan mampu pula melepas ikatan pada tangan
dan kakinya. Tapi kini hal itu tidak dilakukannya.
Dia tidak tega untuk mencelakai gadis yang dia ang-
gap sebagai putrinya yang hilang itu.
"Aku akan menggantungmu, Angin Pesut.
Kaki di atas dan kepala di bawah. Menunggu keda-
tangan guruku yang akan membunuhmu. Selama
itu aku bisa menyiksamu sampai puas. Hik hik hik!"
kata Indah Sari beberapa saat kemudian. Angin Pe-
sut pasrah dan tidak lagi menghiraukan keselama-
tan dirinya sang dara digantung sang dara di satu
pohon yang terdapat di pinggir sungai. Si gadis ke-
mudian memukuli tubuh bekas tokoh sesat yang
malang itu dengan rotan berduri hingga membuat
sekujur tubuh si kakek dipenuhi bilur-bilur luka.
Sekujur tubuh si kakek basah bersimbah darah.
Namun anehnya walaupun menderita sakit yang
luar biasa. Si kakek tidak mengeluh atau menjerit
kesakitan. Dia terlalu larut, tenggelam dalam kese-
dihan memikirkan nasib dirinya. Dia rindu pada
anaknya. Terlalu amat rindu ingin bertemu. Hingga
membuat Angin Pesut mati rasa, hilang kesadaran
tentang apa yang terjadi pada dirinya. Keadaan
orang tua ini memang menggenaskan. Tubuhnya
babak belur penuh luka.
Tapi hatinya lebih terluka lagi begitu melihat
kenyataan sang anak yang dia cari ternyata tidak
mengakui dirinya sebagai seorang ayah. Angin Pesut
dalam segala penderitaan dan beban batin yang te-
ramat menekan jiwanya hanya dapat kucurkan air
mata. Air mata sejuta duka yang tak mungkin dapat
dilukiskan dengan kata-kata, bercampur dengan cu-
curan darah yang mengalir dari setiap luka di tu-
buhnya akibat cambukan rotan berduri. Indah Sari
tertawa senang. Tawa yang mungkin di atas penderi-
taan sekaligus kepedihan hati sang ayah.
TAMAT NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!!
LIANG PEMASUNG SUKMA
Mengapa disebut Liang Pemasung Sukma. Jika ingin
tahu ceritanya, Silahkan cari bukunya.
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Document Outline
TAMAT Senja Jatuh Di Pajajaran 3 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Golok Bulan Sabit 8
dang ke arah Anggagini. Mereka sama tercengang,
mata terbelalak dan mulut ternganga. Saat itu me-
reka melihat satu proses sedang terjadi. Tubuh Ang-
gagini secara perlahan namun pasti mengalami pe-
nyusutan. Baik mengenai tinggi maupun besar tu-
buhnya terus mengerut dan semakin mengecil.
Hingga pada akhirnya kembali ke ukuran manusia
normal. "Keajaiban yang kami tunggu akhirnya datang juga!" desis Senggana. Dia
beringsut mendekati Anggagini. Demikian kaget dan gembiranya laki-laki
tua ini melihat perubahan yang terjadi sampai ceka-
lannya pada leher Tabib Setan terlepas. Pada waktu
yang sama Anggagana yang juga terheran-heran me-
lihat perubahan yang terjadi pada adiknya juga le-
paskan cekalan pada kedua kaki sang tabib. Lalu
bapak dan anak raksasa bersirebut mendekati Ang-
gagini. Tak ayal lagi Tabib Setan begitu leher dan
kaki dilepas orang jatuh terbanting.
Si kakek menggeliat sambil merintih kesaki-
tan. Tapi tak ada yang menghiraukannya. Seluruh
kerabat raksasa tenggelam dalam luapan kegembi-
raan, hingga seolah dirinya dilupakan. Sambil men-
gusap dan mengurut leher yang membiru akibat di-
cekik Senggana, Tabib Setan mencoba duduk. Dia
menyeringai. Sekujur tubuhnya terasa sakit luar bi-
asa. Tapi walaupun dia dalam keadaan seperti itu
sang tabib ikut memperhatikan perubahan yang ter-
jadi pada diri Anggagini.
"Bapak raksasa tolol itu. Hampir mampus
aku dibuatnya. Dia mengira apa yang terjadi pada
anaknya merupakan suatu keajaiban. Padahal jika
bukan atas pertolongan bocah edan sahabatku sam-
pai perawan bulukan putrinya tetap menjadi raksa-
sa." Sementara itu Anggagini sudah rebah dalam
pelukan ibunya. Dia nampak kaget melihat keadaan
dirinya sendiri. Sedangkan matanya jelalatan men-
cari kian kemari.
"lbu...aku, aku menjadi manusia normal.
Obat penawar racun Perubah Bentuk pemberian
pemuda itu sungguh hebat sekali. Akh...kemana
dia?" tanya Anggagini yang kini tinggi tubuhnya hampir sama dengan Tabib Setan.
"Syukurlah anakku. Memang apa yang terja-
di padamu telah ibu dambakan sejak dulu." ujar Senggini.
"Apa yang kau cari anakku?" tanya Senggana ketika melihat anaknya masih saja
sibuk mencari-cari. "Kakek tabib. Sahabat kakek tabib yang
memberikan obat penawarnya padaku!" jelas sang dara yang makin bertambah jelita
begitu tubuhnya
menyusut kembali ke ukuran manusia normal.
"Sahabat Tabib Setan. Siapa dia?" tanya
Senggini. "Namanya Gento Guyon. Pendekar Sakti 71,
serta nenek Serimbi dan kakek berjenggot kambing
bernama Sateaki!" sahut Anggagini. Kemudian dia menceritakan pertemuannya dengan
sang pendekar serta nenek yang telah memberikan obat penawar
racun Perubah Bentuk. Untuk lebih Jelasnya silah-
kan (baca Episode Perisai Maut).
Terkecuali Anggagana yang memang tidak
tahu siapa adanya Serimbi dan Sateaki. Suami istri
Senggana dan Senggini sama melengak kaget begitu
anak gadisnya menyebut dua nama itu.
"Sateaki. Orang tua itu adalah adik Angin
Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Se-
dangkan Serimbi adalah nenek malang yang anak-
nya diculik orang...!" ujar Senggana.
"Serimbi bekas istri Angin Pesut. Iblis itulah yang dulu pernah menciderai kami
dengan pukulan Perubah Bentuk, hingga keadaan kami dan kalian
jadi seperti ini. Anggagini... jadi kau telah mendapatkan obat penawar racun
Perubah Bentuk?"
"Betul Ibu. Satu telah kumakan dan sisanya
masih ada satu lagi!"
Senggini, Senggana dan Anggagana saling
berpandangan. Lalu si pemuda raksasa berucap
dengan wajah muram. "Berarti cuma satu diantara kita yang bakal mendapat
kesembuhan."
"Kami sudah tua," berkata Senggana. "Kau masih muda. Obat itu bisa kau makan.
Bukankah begitu istriku?" kata laki-laki tua itu sambil melirik istrinya. Sang istri
terdiam. Dia jadi teringat pada Tabib Setan. Kakek yang membuatnya tergila-gila
dan jatuh hati pada pandangan pertama. Pada diri
sang tabib, dia menemukan jati diri seorang laki-laki sejati. Karena sadar
dirinya tak mampu memberikan
kebahagiaan pada sang istri. Sejak dulu Senggana
memang memberikan kebebasan pada istrinya un-
tuk mencari suami pengganti. Apalagi kini orang tua itu sadar selain tak mampu
memberikan nafkah batin dia juga sering sakit-sakitan. Senggini sadar sebagai
laki-laki suaminya sudah mencoba berjiwa be-
sar dengan memberi kebebasan pada dirinya untuk
menentukan pilihan hidup. Tapi sebagai wanita te-
gakah dia meninggalkan suaminya"
"Tabib Setan. Jika aku dapatkan obat itu,
mungkin aku dapat berubah seperti putriku. Tapi
apakah kau mau menikahiku" Yang lebih penting
lagi apakah kau mencintaiku, sebagaimana aku
mencintaimu" Aku memang tak dapat melupakan-
mu. Di depan suami dan anak-anakku, aku selalu
berusaha menutupi perasaanku dengan mengacuh-
kan dirimu. Padahal aku ingin sekali membenamkan
diri dalam pelukanmu. Tapi aku juga tidak ingin
mengorbankan kepentingan putraku Anggagana!"
Seakan dapat membaca fikiran istrinya, Senggana
lalu berkata. "Istriku kau tak usah ragu. Yang menjadi janjiku tetap kupegang
sampai mati!" Senggini tersentak sekaligus berucap.
"Tidak kakang. Lupakanlah semua itu, Ang-
gagini, berikan obat penawar racun itu pada kakang
mu. Dia harus menjadi seperti dirimu." tegas sang Ibu.
"Tapi Ibu...!" Anggagana mengajukan ke-beratannya. Tapi sang ibu gelengkan
kepala sambil berucap. "Kami sudah tua. Tak perlu dirisaukan"
Anggagana tidak dapat lagi membantah. Ke-
tika Anggagini memberikan obat penawar racun Pe-
rubah Bentuk itu kepadanya, si pemuda dengan be-
rat hati terpaksa menelannya. Beberapa saat suami
istri itu menunggu. Tapi tak terjadi perubahan pada diri Anggagana. Seolah
mengerti Anggagini berkata.
"Membutuhkan waktu lama untuk mengem-
balikan kakang Anggagana kembali seperti manusia
normal. Tapi ibu tak usah takut. Aku akan meminta
pada sahabat Tabib Setan agar mau memberikan
obat penawar racun untuk ayah dan ibu." si gadis berjanji. Senggini geleng
kepala. Sedangkan Senggana berpaling ke arah mana dia meninggalkan sang
tabib tadi. Ternyata Tabib Setan masih berada di
tempatnya, memandang ke arah Senggana dan
Senggini penuh rasa takut. Kakek itu rupanya su-
dah lupa akan keadaan dirinya sendiri. Senggana
jadi tak dapat menahan tawa begitu melihat aurat
tabib yang pernah menolong menyembuhkan penya-
kitnya dan penyakit sang istri.
"Raksasa itu agaknya sudah gila. Sekarang
dia tertawa-tawa sendiri!" batin si kakek, lalu diapun ikut pula tertawa.
"Tabib... kau mau ikut tertawa boleh saja.
Tapi rapikan dulu auratmu. Barang jelek sebaiknya
tak usah dipamerkan, karena aku juga punya yang
lebih bagus. Ha ha ha!"
Pucatlah wajah tabib konyol itu. Mendadak
tawanya Lenyap, wajahnya merah padam. Apalagi
pada saat itu Anggagini dan Senggini memandang
pula kepadanya. Tabib Setan dekap bagian bawah
perutnya. Begitu didekap celananya malah melorot
ke bawah. Kalang kabut si kakek rapikan celananya
yang melorot sampai ke paha. Begitu celana dirapi-
kan yang seharusnya terbungkus malah nongol lagi.
Tabib Setan akhirnya jadi panik. Dia memutar tu-
buh. Lalu sambil memegangi celana dengan tangan
kanan dan dekap auratnya dengan tangan kiri sang
tabib puntang panting menuruni lereng bukit.
"Kakek tabib. Tunggu... aku harus ikut den-
ganmu. Aku ingin bertemu sekaligus mengucapkan
terima kasih pada sahabatmu Gento dan nenek itu!
Tabib, aku juga ingin minta obat penawar racun pa-
da nenek Serimbi!" Anggagini bangkit berdiri dan siap mengejar si kakek yang
telah Lenyap dari pandangan mata. Tapi ayahnya mencekal tangannya.
"Tidak usah di kejar, putriku. Kau tak perlu
minta obat penawar racun itu pada Serimbi. Bukan
dia yang bersalah. Yang patut menanggung dosa da-
ri semua ini adalah Angin Pesut"
"Ayah...tapi. Tapi aku ingin bertemu dengan
pemuda itu!" kata Anggagini terbata-bata. Sang ayah pandangi wajah anaknya
sejenak. Dalam hati dia
berkata. "Anak gadisku saat ini kiranya sedang kasmaran dengan seseorang.
Mungkin pada pemuda
yang disebutnya itu. Istriku juga mengalami hal
yang sama. tapi aku tidak tahu dia jatuh cinta pada laki-laki mana?" keluh
Senggana. "Anggagini, Baiklah. Kau boleh menyusulnya.
Tapi jika benar kau tertarik pada pemuda itu hen-
daknya kau selidiki dulu siapa dia dan bagaimana
wataknya!" ujar Senggana mengalah.
"Ah, terima kasih ayah. Ibu... izinkan aku
menyusul kakek itu!" ujar Anggagini dengan perasaan terharu. Sang ibu tersenyum
kecut. Rasanya ingin sekali dia menitip salam untuk Tabib Setan.
Tapi malu dan Anggagini kemudian berkelebat me-
nuruni bukit. Sedangkan saat itu satu proses se-
dang terjadi pada diri anak mereka Anggagana. Se-
bagaimana yang terjadi pada Anggagini, tubuh Ang-
gagana pun nampak mulai menyusut bergerak me-
mendek sementara pemuda itu meraung-raung ke-
panasan. Tubuhnya menggelepar, menggelinjang,
bahkan meronta. Hingga pada akhirnya pemuda
raksasa itu berubah ke dalam bentuk serta tinggi
tubuh manusia pada umumnya. Suami istri raksasa
itu tentu sangat bahagia sekali. Begitu juga halnya dengan sang anak.
"Ayah... Ibu...!" seru si pemuda
"Anakku, syukurlah"
"Kami senang kau bisa menjadi manusia
normal. Tapi sebelum aku menutup mata. Kalian
harus ikut denganku" ujar Senggana.
"Pergi kemana suamiku?" tanya sang istri.
Senggana menjawab dingin. "Apakah tidak
layak jika kita mencari Angin Pesut Setelah sekian
tahun dia rampas kebahagiaan kita?"
"Tapi suamiku?"
"Tidak ada tapi-tapi ikuti aku!" perintah Senggana.
Meskipun merasa bingung melihat jalan fiki-
ran suaminya yang berubah-ubah. Namun Senggini
tidak berani membantah. Dia dan Anggana lalu
bangkit berdiri. Kemudian mengikuti Senggana yang
telah lebih dahulu berkelebat menuruni bukit
8 Hari merembang petang, suasana di sekitar
lembah yang terletak di kawasan Bantul itu pun te-
rasa sunyi mencekam. Di kejauhan sayup-sayup
terdengar suara serangga yang menandakan seben-
tar lagi suasana segera berganti dengan malam. Tak
berselang lama suara bising serangga Lenyap, sua-
sana di kawasan lembah hijau itu terasa semakin
sunyi. Di suatu tempat dikawasan lapangan kecil
permukaan tanah tiba-tiba saja bergerak disertai gelombang hebat seperti air
laut yang ditiup angin
kencang. Lalu gerakan dipermukaan tanah menda-
dak terhenti. Hanya sesaat saja karena dilain waktu terjadi satu gerakan hebat.
Kemudian permukaan
tanah berhamburan. Tanah pun tersibak, terbelah
rengkah. Terlihat pula satu lubang menganga lebar.
Dari dalam tanah muncul satu sosok yang belum je-
las apa adanya.
Tapi tak lama kemudian, segala sesuatunya
semakin bertambah jelas. Seiring dengan keluarnya
sosok itu, tersembul satu kepala. Munculnya bagian
kepala diikuti dengan bagian tubuh lainnya. Mulai
dari tangan badan dan kaki. Sosok serba hitam itu
kemudian muncul kepala yang lain yang disusul
dengan bagian badan.
Ternyata mereka bukan hantu, atau dedemit
yang baru saja keluar dari dalam perut bumi. Mere-
ka adalah dua orang perempuan. Yang satunya be-
rupa seorang nenek berpakaian serba hitam, wajah
angker rusak mengerikan. Di kedua sudut bibir
mencuat sepasang taring, Lidah terjulur panjang se-
perti lidah anjing. Sedangkan hidungnya hanya be-
rupa rongga besar, sumplung seperti bekas ditera-
bas senjata. Selain itu di bagian dadanya yang ter-
buka nampak berlubang besar, hangus menghitam
seperti bekas terkena senjata tajam yang dibakar.
Keangkeran itu ditambah lagi dengan sepa-
sang kakinya yang berbentuk kaki kuda, dengan ba-
gian telapak kaki berbentuk runcing seperti mata
tombak. Jauh berbeda dengan orang kedua. Sosok
yang satunya lagi ternyata adalah seorang gadis cantik, berpakaian putih
berambut hitam panjang terge-
rai. Perbedaan nenek dengan gadis itu memang ti-
dak ubahnya seperti langit dan bumi. Yang satu
berwajah angker seperti setan. Sedangkan satunya
cantik seperti puteri raja.
Tapi nampaknya si nenek juga dalam kea-
daan terluka. Terbukti wajah yang angker itu nam-
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pak pucat, nafas mendengus sedangkan lengan kiri
terus didekapkan di bagian dada. Siapa adanya ga-
dis dan nenek itu" Mereka bukan lain adalah nenek
Palaslk dan Mutiara Pelangi atau yang lebih dikenal dengan julukan Puteri Kupu
Kupu Putih. Seperti telah diceritakan dalam Episode Peri-
sai Maut, nenek berwajah rusak bertampang seram
ini telah terlibat perkelahian dengan Angin Pesut,
perempuan itu tidak dapat menerima kematian ka-
kaknya Paladirja yang tewas dalam satu perkelahian
beberapa waktu yang lalu dengan Angin Pesut.
Walaupun Angin Pesut sudah mengatakan
penyesalannya bahkan memperjelas duduk persoa-
lan yang sebenarnya. Namun nenek Palasik tidak
mau mengerti dengan semua penjelasan itu. Malah
dia kemudian menantang Angin Pesut Ketika bekas
tokoh sesat itu menolak dan tidak melayani keingi-
nan si nenek. Perempuan itu nekad menyerangnya.
Akibat tak tahan menderita sakit yang hebat karena
gempuran si nenek, akhirnya ilmu liar yang terdapat di dalam tubuh Angin Pesut
dan dikenal dengan il-mu Ratap Langit secara tak terkendali menghantam
diri perempuan itu, Mendapat serangan ilmu dah-
syat dan belum ada duanya di rimba persilatan itu.
Nenek Palasik yang memiliki ilmu Menyusup Bumi
menderita, cidera berat.
Dalam keadaan terluka nenek Palasik ber-
sama muridnya segera melarikan diri. Sedangkan
Angin Pesut sendiri sengaja tak melakukan pengeja-
ran. Kini setelah munculkan diri di lembah yang
sunyi itu si nenek cepat mengambil kantong perbe-
kalan obatnya. Sebagian obat yang berwarna kuning
dan biru itu dikeluarkan, lalu menelannya sekaligus.
Melihat cara gurunya menelan obat yang
terkesan sembarangan membuat Mutiara Pelangi ja-
di kaget. "Guru... begitu banyak kau memakan obat
apakah itu tidak membahayakan keselamatanmu?"
tanya sang dara khawatir. Si nenek delikkan ma-
tanya membuat nyali Pelangi jadi ciut, lalu cepat
tundukkan wajahnya. Saking kesalnya, merasa tak
suka ditegur, nenek Palasik membentak. "Kau gadis ingusan tahu apa. Luka dalamku
begini hebat. Angin kentut manusia setan. Aku tak sanggup menan-
dinginya. Dan ini sesuatu yang sangat memalukan."
"Bukan Angin Kentut guru, tapi Angin Pe-
sut...!" kata sang dara membetulkan ucapan gu-
runya. "Kampret. Mau Angin Pesut atau Angin Kentut bagiku sama saja.
Hemm....agaknya aku harus
belajar seratus tahun lagi agar aku dapat membina-
sakan Angin Pesut." geram si nenek kepalkan tangannya "Seratus tahun lagi kau
pasti sudah jadi tanah dan Angin Pesut sudah pula menjadi angin be-
naran!" sahut sang dara sambil berusaha menyem-bunyikan tawa
"Murid goblok. Pandai sekali engkau mem-
bantah!" sekali lagi nenek Palasik mendamprat. Tapi kemudian dia jadi ingat
sendiri. "Betul juga kata Pelangi. Seratus tahun lagi aku pasti sudah menjadi
tanah. Saat itu muridku sendiri mungkin sudah al-
marhum." batin si nenek, lalu ia memaki ketololan-nya sendiri.
Si nenek terdiam, hawa panas akibat penga-
ruh obat yang ditelannya terasa membakar rongga
dada, semakin lama menjalar ke sekujur tubuhnya
Si nenek keluarkan keringat dingin menahan penga-
ruh hawa panas yang menyerang dirinya. Kemudian
dia terbatuk beberapa kali. Batuk pertama dari mu-
lut si nenek menyembur darah kental merah kehi-
taman. Batuk yang kedua dari mulut, perempuan
itu keluar benda putih sebesar telur burung puyuh.
Si nenek cepat mengambil benda bulat tersebut, lalu buru-buru menelannya
kembali. Apa yang dilakukan
si nenek mengundang heran bagi Pelangi. Hingga di-
apun bertanya. "Guru, bagaimana mungkin dari mulutmu
bisa keluar telur burung puyuh" Memang sejak ka-
pan kau memakannya?" Lagi-lagi si nenek mendelik.
"Telur burung puyuh jidadmu benjol. Yang
kutelan tadi adalah jimat warisan guruku. Sudah,
kau jangan banyak tanya. Aku ingin bersemedi un-
tuk memulihkan tenaga dalam!" ujar perempuan tua itu. Tak berselang lama nenek
Palasik telah mengambil sikap bersila. Dua mata dipejamkan, sedang-
kan dua tangan ditopangkan di atas lutut. Beberapa
saat berlalu. Sekujur tubuh nenek angker itu berge-
tar hebat. Pakaian dan tubuhnya basah bersimbah
keringat. Sedangkan dari bagian ubun-ubun menge-
pulkan asap tipis berwarna kelabu.
Secara perlahan namun pasti wajah yang
angker pucat itu nampak kemerah-merahan. Nafas
nenek Palasik yang memburu, tersengal dan tidak
teratur sekarang mulai berangsur normal kembali
seperti sediakala. Beberapa saat berlalu perempuan
tua itu masih juga tenggelam dalam semedinya.
Sampai pada akhirnya dia membuka sepasang ma-
tanya yang terpejam.
Si nenek memandang ke depan, ternyata
sang murid masih tetap duduk di tempatnya me-
nunggu dengan sabar. "Pelangi...!" berkata perempuan itu. Pelangi angkat
wajahnya yang tertunduk,
memandang pada gurunya namun tak sepatah ka-
tapun keluar dari bibir mungil si gadis.
"Sekarang kita harus mencari Gento, pende-
kar edan yang telah menghinamu itu?" ujar nenek Palasik melanjutkan ucapannya.
Sang dara ber-jingkrak kaget mendengar ucapan sang guru yang
tidak pernah diduganya itu. Dengan air muka beru-
bah gadis itu, berucap.
"Guru, buat apa kita mencari dia" Lagipula
aku tidak merasa dihina"!" Orang tua di depannya keluarkan suara mendengus.
"Bocah goblok! Pemuda itu kau bilang per-
nah mengatakan suka padamu, kemudian dia ber-
paling pada gadis lain dan tak menghiraukanmu la-
gi. Apakah bukan menghina namanya" Itu adalah
sebuah penghinaan yang tidak boleh didiamkan be-
gitu saja. Pemuda itu harus diberi pelajaran biar tidak memandang rendah semua
wanita"!" kata si nenek ketus.
"Guru, sebaiknya tak usah membesar-
besarkan masalah. Aku yakin dia tidak bermaksud
begitu kepadaku! Sudahlah, lupakan saja.!" Sepasang mata nenek Palasik mendelik
besar. Dia mera-
sa geram sekali mendengar ucapan muridnya.
"Kau ini adalah gadis tolol sedunia. Dia su-
dah menyakitimu, mengapa kau bicara seperti
membelanya" Bocah itu tak bisa dibiarkan. Aku
akan menghajarnya, kalau perlu kuseret dia dihada-
panmu!" Ucapan si nenek tentu saja membuat heran
Pelangi. "Guru apa maksudmu?"
"Hik hik hik. Apakah kau benar-benar men-
cintainya?" tanya si nenek disertai tawa mengikik, sementara sepasang matanya
menatap tajam gadis
di depannya. Mendapat pertanyaan seperti itu seketika
wajah sang darah berubah merah jengah. Dia ter-
diam sebentar, kemudian dengan tersipu-sipu dia
menjawab. "Aku kurang tahu, yang jelas aku suka ingat padanya." ujar Pelangi
polos. Si nenek belalakkan matanya. "Hah...Jadi kau cuma ingat, bukan rindu?"
"Mungkin juga rindu?"
"Nah-nah...apakah kau juga sering terbayang
wajahnya?" desak gurunya.
"Terbayang juga, kadang-kadang." menyahuti Pelangi sambil tundukkan wajahnya.
Mendengar jawaban muridnya nenek Palasik tertawa tergelak-
gelak. Ketika tawanya lenyap dia cepat berucap.
"Kau selalu mengingat, kau rindu, kau juga suka terbayang-bayang wajahnya. Tidak
salah lagi itulah
penyakit yang selalu menggerogoti hati manusia, te-
rutama gadis atau pemuda seusiamu."
"Penyakit, aku terkena penyakit"!" desis Pelangi bingung.
"Hik hik hik. Betul, kau terkena penyakit.
Penyakit cinta namanya. Penyakit itu jika tidak diobati bisa melahirkan
penderitaan. Jadi kau harus
kuobati." Semakin bertambah bingung saja gadis ini.
Dengan polos dia bertanya. "Guru, apakah kau
mempunyai obatnya?" Nenek Palasik gelengkan ke-
pala. "Obat yang kau butuhkan tak ada padaku.
Itu ada pada Gento. Jadi jalan satu-satunya harus
kuseret kemari!" kata si nenek.
"Apa artinya dengan menyeret dia kemari?"
"Perawan ingusan. Ternyata kau tak mengerti
juga apa maksudku. Jika kau sudah suka padanya,
maka aku akan menjodohkan dia denganmu!"
Pucatlah wajah sang dara mendengar ucapan
gurunya. Apa yang dikatakan si nenek sebagai sesu-
atu yang sangat memalukan dan tak mungkin dila-
kukan. Benar dia akui dirinya merasa suka dan se-
nang pada Gento. Tapi dia tidak ingin segala sesua-
tunya terjadi dengan cara dipaksakan. Sebagai wani-
ta tentu dia sangat malu sekali.
"Guru... sebaiknya batalkan saja keinginan-
mu itu. Kau tak perlu memaksa orang. Jika dia me-
mang suka pada Nyi Sekar Langit, biarkan saja. Aku
sudah merasa senang jika dia dapat hidup bahagia."
"Bahagia diatas penderitaan orang lain, begi-
tu yang kau maksudkan" Tidak bisa. Jika kau men-
derita dia pun harus menderita." kata si nenek tetap ngotot. "Guru...aku...!"
"Jangan banyak bicara. Ikut denganku. Kita
cari pemuda itu!" berkata begitu si nenek sambar tangan kirinya. Setelah itu
tanpa berkata apa-apa
lagi iapun berkelebat pergi bersama Pelangi.
9 Kita kembali pada Tapa Gedek yang baru sa-
ja berhasil menguasai inti ilmu Gelombang Naga.
Saat itu si kakek baru jejakkan kakinya di dalam
ruangan serba biru yang terletak di bawah Liang
Landak. Hawa panas luar biasa langsung menyen-
gatnya begitu Tapa Gede menginjakkan kakinya di-
lantai ruangan yang diwarnai kabut tersebut.
Beberapa saat Lamanya dengan sikap was-
pada si kakek berdiri tegak ditempatnya. Sedangkan
sepasang mata memandang liar ke setiap penjuru
sudut. Anehnya Tapa Gedek tidak melihat Manusia
Kelelawar yang menyerangnya tadi berada disitu.
"Mahluk terkutuk itu" Aku tak melihat tan-
da-tanda kehadirannya disini. Tapi perasaanku
mengatakan dia berada tidak jauh dari ruangan ber-
cahaya biru ini. Ukh...tubuhku terasa panas seperti terbakar. Barangkali jika
aku belum menguasai ilmu
Gelombang Naga aku bisa hangus terpanggang di
ruangan ini." batin Tapa Gedek.
Orang tua itu baru saja hendak melangkah
lagi ketika secara tak terduga terjadi getaran hebat pada bagian dinding ruangan
yang terdiri dari tanah dan batu. Si kakek sempat tercekat, nampak jelas
wajahnya diliputi ketegangan. Rupanya dia khawatir
jika sampai ruangan runtuh, maka dirinya pasti ter-
kubur hidup-hidup di tempat itu. Ternyata getaran
hanya berlangsung sesaat saja. Suasana jadi tenang
kembali. Satu hal yang membuat orang tua ini men-
jadi terheran-heran. Akibat getaran yang tidak begi-tu keras membuat kabut yang
berada di dalam
ruangan tersebut mendadak Lenyap entah kemana.
Kini Tapa Gedek dapat melihat segala sesua-
tu yang berada di dalam ruangan itu secara lebih jelas. Sekali lagi Tapa Gedek
kitarkan pandang. Si kakek kemudian jadi tertegun ketika dia melihat dua
sosok berupa seorang kakek berambut putih dan
gadis cantik berambut panjang duduk bersila di su-
dut ruangan itu. Dua tangannya yang berkuku pan-
jang diletakkan di atas pangkuan. Melihat pada dua
sosok ini sekilas, keadaan maupun posisi mereka
seperti patung hasil buatan tangan. Yang terasa
aneh kedua patung gadis maupun patung dalam ru-
pa seorang kakek itu jauh berbeda dengan berbagai
jenis patung yang terdapat di dalam ruangan itu.
"Mungkinkah patung kakek dan gadis cantik
itu hasil buatan manusia bermuka kelelawar yang
kulihat tadi" Tapi...akh....!" Tapa Gedek keluarkan seruan tertahan begitu
melihat mata patung si gadis serta merta berkedip.
"Tak dapat kupercaya. Gadis itu ternyata bu-
kan patung. Dia manusia dan...!" Tapa Gedek tak dapat meneruskan ucapannya
karena saat itu juga
dia melihat patung dalam rupa seorang kakek juga
kedap-kedipkan sepasang matanya. Sekarang sete-
lah melihat dengan mata kepala sendiri. Tapa Gedek
baru ingat akan sesuatu yang pernah diceritakan
oleh gurunya. "Jadi...jadi mereka ini rupanya Manusia Patung?" desis si kakek.
Ingat akan pesan gurunya Manusia Selaksa Angin, merinding sekujur
tubuh si kakek. Tengkuknya mendadak berubah
dingin laksana es. Dia memandang ke arah dua ma-
nusia patung itu. "Patung gadis itu seluruhnya berwarna putih. Pakaiannya tipis
membayangkan au-
ratnya. Jadi gadis itu adalah Patung Putih. Dan pa-
tung kakek disebelahnya seluruh badan berwarna
hitam. Mungkin dialah Patung Hitam. Jika benar
apa yang dikatakan oleh guru. Berarti patung-
patung ini hidup atas kesaktian seseorang yang
mempunyai kesanggupan menangkap roh gentayan-
gan, lalu memasukkannya ke dalam diri patung
yang dikehendaki!"
Si kakek terdiam. Fikirannya melayang jauh.
Semua kata-kata sekaligus pesan yang disampaikan
oleh gurunya sebelum dia ditugaskan mengambil
kembali Kitab Gelombang Naga yang pernah dicuri
oleh Angin Pesut kini terngiang kembali di telin-
ganya. Satu purnama yang lalu sebelum keberang-
katan Tapa Gedek, dalam keheningan malam yang
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin. Guru si kakek yang selalu berlindung di ba-
lik dinding pondok sempat berkata. "Tapa Gedek.
Usiamu tidak muda lagi. Namun umurmu juga terus
bertambah. Perjalanan hidup manusia, susah se-
nang seiring dengan berlalunya sang waktu semakin
mendekati ajal. Sejalan dengan bertambahnya umur,
maka waktu kehidupan manusia itu semakin ber-
tambah sempit. Amat merugilah dirimu jika kau ti-
dak mau menggunakan kesempatan serta waktu
yang ada padamu. Muridku, kehidupan manusia di
dunia ini amat penuh dengan tantangan, cobaan,
serta godaan. Selain itu, kelicikan, ketidak jujuran, fitnah keji serta
keserakahan dan kemunafikan dapat kau lihat terjadi dimana-mana. Terkadang tin-
dak tanduk dan perbuatan manusia malah lebih keji
dari binatang. Lebih dari itu muridku, satu hal yang harus kau ingat. Dunia ini
memang indah, tapi
keindahan yang bersifat memperdaya."
"Apakah ini ada hubungannya dengan diriku
yang bujang lapuk dan kere guru?" tanya si kakek.
Dari balik dinding pondok terdengar suara tawa
pendek. "Aku tak pernah bicara tentang diri seseorang secara khusus. Mengenai
rejeki, jodoh serta
maut yang ada pada dirimu, itu sepenuhnya berada
di tangan Gusti Allah. Manusia hanya sanggup be-
rusaha. Tidak lebih dan itu. Dan sudah menjadi wa-
tak tabiat manusia, tak pernah merasa cukup. Sam-
pai datangnya ajal menjemput."
"Selain kitab Gelombang Naga itu, apa lagi
yang harus kulakukan, guru?" tanya Tapa Gedek.
"Jika kitab Gelombang Naga telah kau da-
patkan, maka kau harus sanggup menguasai il-
munya. Ilmu Gelombang Naga adalah ilmu langka
satu-satunya yang terdapat di delapan penjuru an-
gin. Kelak kau akan bertemu dengan seorang pende-
kar sakti. Tapi sebelum itu terjadi, kuharap kau
berhati-hatilah bila bertemu dengan Manusia Pa-
tung." "Manusia Patung...siapakah dia?" tanya Tapa Gedek tak mengerti.
"Manusia Patung sebenarnya hanyalah se-
buah patung. Tapi jika seseorang memasukkan roh
penasaran kedalam diri patung itu, dia akan menja-
di hidup dan dapat diperintah untuk melakukan ke-
jahatan apa saja. Manusia Patung lebih ganas dari
iblis sesat. Untuk menghancurkannya juga sulit.
Terkecuali kau sanggup membunuh sumber yang
menghidupkannya."
"Guru, siapa orang yang kaumaksudkan itu"
Dan dia tinggal dimana?"
"Manusia sakti yang sanggup memindahkan
arwah gentayangan ke dalam patung memiliki julu-
kan Bumelang nama yang sesungguhnya adalah Pati
Raga. Manusia yang satu itu memiliki kesaktian
yang sudah sampai pada puncaknya, sampai pada
taraf mumpuni. Usianya sudah ratusan tahun.
Sayang aku tak mengetahui secara pasti dia tinggal
atau berada dimana!" ujar sang guru.
"Baiklah. Aku akan ingat semua pesanmu,
guru. Sekarang murid mohon pamit, mohon diri."
kata Tapa Gedek.
"Pergilah Tapa Gedek. Dari sini aku selalu
berdoa untuk keselamatan. Kelak bila kitab dapat
kau ambil kembali, dari tempat ini pula aku akan
memberi petunjuk selanjutnya mengenai apa yang
harus kau lakukan!" ujar si kakek dari balik dinding.
"Petunjuk selalu aku harapkan guru. Karena
walaupun aku sudah tua, muridmu ini suka berlaku
tolol disamping juga mudah lupa." selesai berkata Tapa Gedek menjura hormat,
setelah itu dia bangkit
berdiri, balikkan badan kemudian meninggalkan
pondok. * * * Lamunan Tapa Gedek buyar seketika begitu
keheningan di dalam ruangan serba biru serta merta
dipecahkan oleh satu suara teriakan mengguntur
menyakitkan telinga. Laksana kilat si kakek me-
mandang ke arah dua Manusia Patung, Patung Hi-
tam dan Patung Putih. Ternyata bukan patung itu
yang berteriak. Dalam kaget Tapa Gedek alihkan
perhatian ke arah terowongan yang dia perkirakan
sebagai jalan satu-satunya keluar dari tempat itu.
Selagi Tapa Gedek memandang ke arah itu. Dia me-
lihat satu bayangan hitam berkelebat melewati tero-
wongan. Dilain saat si kakek merasakan ada angin
menyambar tubuhnya. Tapa Gedek melompat hinda-
ri sambaran angin, lalu berdiri dua tindak di bela-
kang. Sejurus Tapa Gedek memandang ke depan.
Dan didepannya kini telah berdiri tegak satu sosok
berwajah seperti kelelawar, bermulut hitam panjang
runcing dengan sepasang taring panjang mencuat.
"Manusia kelelawar!" desis Tapa Gedek.
Sosok di depannya sunggingkan seringai
buas. Sepasang matanya yang merah menyala me-
natap tajam pada si kakek. Lalu terdengar suara
erangan. "Hidup terpendam selama lima puluh tahun. Baru hari ini ada orang dari
dunia bebas yang
sampai ke tempat ini. Kakek tua siapakah dirimu
ini" Katakanlah sebelum aku membunuhmu!" ben-
tak Manusia Kelelawar sengit. Tapa Gedek golang ge-
lengkan kepala. Dia tersenyum.
"Tidak ada angin tidak ada hujan. Tidak ada
silang sengketa tidak ada persoalan, enak saja kau
mau membunuhku?"
"Hidup di dalam perut bumi panasnya seperti
di neraka. Sudah banyak orang yang terbunuh di
dalam Liang Landak ini tanpa sebab silang sengketa.
Di tempat ini sama seperti dengan di rimba Persila-
tan. Siapa yang kuat dia yang menang. Kehadiran-
mu disini telah mengurangi persediaan udara yang
ada. Pertanyaanku hanya sekali, siapa dirimu?"
"Aku Tapa Gedek."
"Tapa Gedek. Satu nama yang pernah hadir
dalam mimpiku. Hemm... ha ha ha. Agaknya kau
manusia satu-satunya yang mampu menjebol penu-
tup batu makam di ujung terowongan itu sebagai ja-
lan satu-satunya menuju kebebasan! Kalau begitu
kematianmu bisa ditunda. Sekarang kau ikuti aku!"
kata Manusia Kelelawar.
Tanpa bicara lagi, sosok berkepala dalam ru-
pa setengah manusia setengah kelelawar yang kedua
tangannya ditumbuhi sayap kulit itu memutar tu-
buh lalu berkelebat ke arah terowongan menuju
liang kubur yang terletak di ujung terowongan.
"Manusia Kelelawar, siapa dia dan apa ren-
cananya aku tidak tahu. Yang jelas aku harus ber-
hati-hati." fikir Tapa Gedek. Tak lama kemudian kakek itu melangkah mengikuti
manusia kelelawar.
Sementara sepeninggalnya Tapa Gedek dan Manusia
Kelelawar. Dua Manusia Patung yang duduk di su-
dut ruangan biru nampak pula bergerak-gerak. Ke-
dua mata terbuka lebar. Dua tangan yang berada di
atas pangkuan bergerak-gerak. Selanjutnya mereka
bangkit berdiri.
"Manusia Kelelawar telah menemukan orang
untuk membuka jalan menuju kebebasan. Patung
Putih, mari kita ikuti mereka!" kata patung berujud seorang kakek dengan suara
parau, begitu jelas.
"Patung Hitam. Agaknya kita merasa perlu
membantu Manusia Kelelawar untuk membereskan
tamu tak diundang itu!' ujar si gadis.
"Buat apa. Manusia Kelelawar bukan maji-
kan kita. Bukan pula orang yang telah menghi-
dupkan kita. Pengabdian kita hanya pantas kita be-
rikan pada Bumerang. Kalau perlu Manusia Kelela-
war juga harus kita singkirkan. Orang itu terlalu
berbahaya dan haus darah."
"Untung kita tidak mempunyai darah. Kita
hidup tanpa darah, tak pernah makan tidak juga
minum. Hik hik hik."
"Ya, kita juga tidak memiliki jantung. Tapi
punya keinginan dan nafsu. Ha ha ha!" kata Patung Hitam. Dua manusia Patung sama
berdiri, saling be-rangkulan sama berpelukan. Kemudian mereka
mencium satu sama lain. Terdengar suara tawa
mengikik. Setelah itu mereka melepaskan pelukan-
nya masing-masing. Dua Manusia Patung memutar
tubuhnya, lalu sama melangkah menelusuri tero-
wongan. Setiap langkah mereka pasti disertai den-
gan suara berdentum. Tanah di sekitarnya pun ber-
getar seperti dilanda gempa.
Sementara itu Tapa Gedek telah sampai di
ujung lorong. Bagian ujung lorong ternyata merupa-
kan sebuah ><><>hal92><><> tak lebih dari setengah tembok sedangkan panjangnya
hampir dua tombak. Di sudut kubur terdapat sebuah gelondon-
gan kayu peti mati dalam keadaan tertutup rapat.
Agaknya itulah peti mati tokoh sesat yang dikubur-
kan di tempat itu beberapa abad silam.
Setelah memperhatikan bagian dalam liang
kubur yang sempit itu Tapa Gedek berpaling pada
Manusia Kelelawar. Sosok serba hitam bersayap ku-
lit macam jubah menunjuk ke atas.
"Langit-langit batu penutup makam. Berta-
hun-tahun aku berusaha menjebolnya tapi tak per-
nah berhasil!" menerangkan sosok berwajah lancip.
"Kau mengira aku Sanggup menjebolnya"!"
tanya si kakek disertai seringai sinis.
"Paling tidak begitulah yang kudapatkan da-
lam mimpiku!" jawab Manusia Kelelawar acuh tak acuh.
"Langit-langit penutup liang kubur ini ting-
ginya hanya tiga jengkal diatas kepalaku. Aku bisa
saja melepaskan salah satu pukulan sakti. Tapi jika gagal, kemudian pukulan itu
berbalik. Aku bisa celaka!" Manusia Kelelawar tertawa panjang. Begitu suara
tawanya Lenyap dia berkata, "Persetan dengan dirimu. Jika kau mampus terkena
pukulanmu sendiri, bagiku itu lebih baik."
"Manusia tak karuan berujud, apa kau men-
gira aku takut denganmu. Udara disini semakin ber-
tambah panas. Kau menyingkirlah, akupun ingin
bebas dari tempat celaka ini!" kata Tapa Gedek.
Manusia Kelelawar menyeringai. Dia melang-
kah mundur, masuk kembali ke dalam mulut tero-
wongan sejauh tiga tombak dari liang kubur. Begitu
manusia setengah mahluk menjijikkan itu berlalu
Tapa Gedek tekuk kaki kanannya hingga posisi
orang tua ini setengah berjongkok. Dia dongakkan
wajahnya, memandang ke langit-langit yang bukan
lain adalah batu tebal penutup kubur. Dalam hati
dia berkata. "Jika Manusia Kelelawar tak sanggup menjebol penutup makam ini.
Berarti langit-langit
batu itu bukan benda biasa. Manusia Kelelawar aku
yakin memiliki kesaktian tinggi. Dia hidup ratusan
tahun. Kesaktiannya sulit dijajagi. Aku tak mungkin menggunakan pukulan Delapan
Tinju Mabuk, atau
pukulan Tiga Topan Menggulung Bumi. Jika kugu-
nakan pukulan Tanpa Ujud andai sampai gagal dan
penutup liang kubur tak dapat kuhancurkan. Aku
khawatir pukulan berbalik. Sekali aku terkena pu-
kulan itu, tubuhku bisa hancur tanpa bentuk.
Agaknya aku harus menggunakan ilmu pukulan Ge-
lombang Naga. Mudah-mudahan bisa berhasil. Aku
juga ingin tahu seberapa hebat kedahsyatan ilmu
yang baru kukuasai itu!" fikir si kakek.
Orang tua ini menarik nafas, setelah menye-
ka keringat yang membasahi wajahnya Tapa Gedek
pun segera mengerahkan tenaga dalam yang dia mi-
liki. Tenaga dalam itu kemudian disalurkannya ke
bagian tangan. Mulut Tapa Gedek komat-kamit
membaca lapal mantra pembangkit ilmu Gelombang
Naga. Tak berselang lama sekujur tubuh si kakek
bergetar hebat. Asap tebal mengepul menyelimuti di-
rinya. Sosok Tapa Gedek seolah Lenyap, samar-
samar Manusia Kelelawar melihat dari bagian ubun-
ubun sosok si kakek yang bergetar muncul bayan-
gan sosok kepala naga. Bayangan sosok dalam ujud
ular naga itu terus meliuk-liuk. Mula-mula bagian
kepala, kemudian badan yang akhirnya disusul den-
gan bagian kaki. Ternyata bayangan naga berwarna
putih itu tidak sendiri, karena kemudian dari bagian ubun-ubun si kakek muncul
lagi satu kepala dalam
rupa dan warna yang sama. Selanjutnya muncul lagi
naga ke tiga dalam ukuran lebih besar terkesan le-
bih buas dan beringas. Sosok Tapa Gedek lenyap.
Yang terlihat di mata Manusia Kelelawar hanya be-
rupa sosok ular naga berwarna putih besar, dengan
bagian leher bercabang dan berkepala tiga.
Selanjutnya terdengar suara raungan dah-
syat luar biasa disertai suara bergemuruh seperti
suara gelombang air laut ditengah hujan badai. Lalu di tengah-tengah suara
lengkingan dan gemuruh
menggila terlihat ada tiga bola api melesat keluar da-ri mulut kepala naga putih
yang terbuka menganga.
Tiga bola api menghantam langit-langit penu-
tup kubur. Satu Ledakan keras menggelegar. Batu
penutup makam yang kerasnya melebihi baja han-
cur berkeping-keping. Serpihan batu penutup kubur
berhamburan di udara. Manusia Kelelawar jatuh
terpelanting terkena getaran Ledakan. Sejenak La-
manya kubur yang telah terbuka menganga menjadi
gelap tertutup debu. Sosok Naga Putih berkepala ca-
bang tiga melesat keluar disertai suara raung dah-
syat. Tak berselang lama suara raungan aneh
6ergemuruh seperti badai, lenyap. Debu-debu yang
menutup pemandangan sirna. Tak jauh dari sisi ku-
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bur yang menganga berdiri tegak Tapak Gedek. So-
sok naga putih berkepala tiga yang sudah menghan-
curkan batu penutup kubur lenyap entah kemana.
Tapa Gedek dengan wajah kuyu menarik na-
fas pendek. Dia palingkan kepala, memandang ke
arah kubur yang menganga. Justeru pada saat itu
satu bayangan hitam berkelebat keluar. Lalu jejak-
kan kaki di depan Tapa Gedek
"Orang tua, kemana perginya naga putih
berkepala tiga tadi?" tanya Manusia Kelelawar terheran-heran. Sedangkan matanya
memandang kesege-
nap sudut penjuru tanah pemakaman. Yang ditanya
nampak kebingungan.
"Naga putih berkepala tiga" Manusia Kelela-
war aku sama sekali tidak tahu apa maksudmu" '
ujar Tapa Gedek kebingungan.
"Ha ha ha. Kau telah mengerahkan ilmu Ge-
lombang Naga. Kemudian kulihat dirimu lenyap.
Berganti dengan sosok naga putih besar berkepala
tiga. Kau tak menyadari apa yang terjadi dengan di-
rimu. Bagus. Kebetulan sekali. Kini aku telah bebas.
Agar tidak menjadi penyakit di kemudian hari. Se-
perti yang telah kukatakan aku harus membunuh-
mu!" dengus Manusia Kelelawar. Bukannya terkejut.
Tapa Gedek tetap unjukkan sikap tenang.
10 Beberapa saat kedua orang ini saling beradu
pandang. Tapa Gedek kemudian sunggingkan seulas
senyum. Dengan tenang dia berucap. "Manusia Kelelawar. Ternyata di dalam jiwamu
perilaku binatang
lebih menonjol dari pada sikap serta watak yang se-
harusnya dimiliki oleh manusia. Aku tidak ubahnya
seperti menolong anjing yang terjepit. Begitu kau
kubebaskan dari segala beban derita yang meng-
himpitmu, kau malah hendak menggigitku. Tapi
jangan kira aku takut padamu. Jika kau inginkan
nyawaku ambillah sendiri. Ingat, waktuku sempit
sekali. Aku harus membantu salah seorang sahabat
guruku!" ujar si kakek.
"Membunuhmu bukan pekerjaan yang sulit.
Aku tak perlu membutuhkan waktu yang lama!" Ba-ru saja Manusia Kelelawar selesai
berucap, laksana
kilat dia kibaskan kedua tangannya ke arah si ka-
kek. Karena tangan itu ditumbuhi semacam sayap
berupa kulit yang lebar seperti jubah. Maka begitu
kedua tangan lawan dikibaskan menderulah segu-
lung angin yang membuat si kakek jatuh terpelant-
ing Laksana dihantam angin topan.
Sementara itu Manusia Kelelawar begitu ki-
baskan tangannya yang bersayap berkelebat lenyap
dari pandangan mata. Tapa Gedek begitu dapat
bangkit berdiri jadi terkejut melihat lawan lenyap
dari hadapannya. Ketika dia mendengar suara des-
ing di udara, Tapa Gedek langsung dongakkan kepa-
la memandang ke atas. Ternyata Manusia Kelelawar
terbang di atasnya, kemudian menukik tajam, me-
nyambar ke arah si kakek sambil hantamkan kedua
tangan serta sayapnya.
Belum lagi tangan sayap itu menyentuh tu-
buh si kakek, sambaran anginnya saja sudah mem-
buat orang tua itu terjajar ke belakang. Tapa Gedek tentu tidak ingin dirinya
menjadi sasaran serangan
lawan. Sambil jatuhkan diri ke samping kakek itu
hantamkan tangannya ke arah Manusia Kelelawar.
Yang diarahnya adalah dada dan sayap lawan. Yang
dilepaskannya adalah pukulan Delapan Tinju Ma-
buk. Manusia dengan berkepandaian tinggi seka-
lipun paling tidak pasti menderita cidera berat bila terkena pukulan ini. Tapi
Manusia Kelelawar hanya
bergetar. Terdorong mundur sejauh dua tindak.
Dengan posisi terbang rendah dia kembali menyerbu
ke arah si kakek. Tapa Gedek gelengkan kepala. Ba-
ru saja bangkit dia harus berjibaku selamatkan diri hindari tebasan sayap
lawannya. Serangan Manusia Kelelawar luput. Sayap-
nya menghantam nisan dan pohon besar di belakang
Tapa Gedek. Batu nisan hancur berkeping-keping.
Pohon besar berderak roboh disertai suara mengge-
muruh hebat. Bekas hantaman sayap tidak ubahnya
seperti ditebas senjata tajam. Gagal membunuh la-
wannya, Manusia Kelelawar melesat ke udara. Ter-
bang membubung tinggi, berputar-putar untuk se-
lanjutnya menukik ke bawah siap menghantam ke-
pala Tapa Gedek. Kakek itu tidak tinggal diam.
Dia jejakkan kaki, hingga tubuhnya melesat
ke udara. Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh kini dia jejakkan kakinya di atas cabang po-
hon. Lawan nampaknya tidak lagi memberi kesem-
patan padanya. Laksana kilat Manusia Kelelawar
meluncur ke arah pohon, lalu...
Cras! Cras! Craas!
Braak! Buum! Satu kenyataan yang sulit dipercaya terjadi.
Tapa Gedek bahkan sampai delikkan mata, mulut
ternganga lebar seolah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Secara mengerikan cabang pohon besar
yang jumlahnya mencapai puluhan terbabat putus,
berjatuhan diatas tanah kubur seperti diterabas senjata. Kini posisi si kakek
tak terlindung lagi. Pohon besar itu benar-benar menjadi gundul sampai ke
pucuknya. Bertahan pada batang pohon, si kakek
menyadari lawan tak mungkin dapat dihadapi den-
gan pukulan saktinya. Merasa tidak punya pilihan
lain, maka diapun segera merapal ilmu ajian Gelom-
bang Naga. Belum lagi selesai Tapa Gedek membaca
mantra-mantranya. Manusia Kelelawar berkelebat
lagi ke arah pohon yang gundul. Tiga gerakan dari
pucuk pohon hingga ke bagian bawah batang dila-
kukannya. Crees! Crees! Cres! Buum! Pohon besar yang telah menjadi gundul ter-
babat putus di tiga bagian. Robohnya pohon tentu
saja membuat Tapa Gedek ikut terbanting. Lebih ce-
laka lagi pertengahan batang pohon menimpa tubuh
si kakek. Mustahil Tapa Gedek dapat selamatkan di-
ri dari himpitan batang pohon tersebut. Terkesan
tak perduli, tanpa menghiraukan rasa sakit yang
menderanya pula si kakek terus merapal mantra
ajian Gelombang Naga.
Sementara itu dari atas sana lawan kembali
menukik siap menghabisi Tapa Gedek. Satu tombak
lagi sayap dan tangan lawan mencabik hancur tu-
buh Tapa Gedek, tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dahsyat dari mulut si
kakek. Dari sekujur
tubuh orang tua itu muncul kabut tebal yang segera
menyelimuti dirinya. Apa yang terjadi ketika si ka-
kek berada di dalam lubang kubur terulang kembali.
Dari ubun-ubun Tapa Gedek muncul satu kepala
berwarna putih. Kepala seekor naga. Kemunculan
kepala yang pertama disusul dengan munculnya ke-
pala naga yang kedua dan ketiga. Mendadak angin
bertiup kencang disertai suara bergemuruh menggi-
dikkan. Sosok Tapa Gedek Lenyap. Suara raung, lo-
long dan gemuruh laksana badai di laut makin
menghebat. Sosok Tapa Gedek yang diselimuti kabut
seketika lenyap. Kini di tempat itu muncul sosok na-ga putih dengan besar luar
biasa berkepala tiga. Binatang itu mengamuk, bagian ekornya melibas apa
saja yang terdapat disekitarnya. Tiga kepalanya
mendongak ke atas, mulut yang bergigi runcing ter-
buka. Tiba buah lidah yang bercabang terjulur me-
nyambar ke arah sayap Manusia Kelelawar. Meski-
pun sayap Manusia Kelelawar setajam mata pedang.
Tapi lidah naga putih berkepala tiga ini jauh lebih tajam dari pedang. Ketika
terjadi benturan antara
dua sayap Manusia Kelelawar dengan tiga lidah naga
terdengar seperti ada sesuatu yang robek.
Manusia Kelelawar terpental ke belakang dan
dia menjerit begitu sayap kanannya robek besar
mengucurkan darah terkena sambaran lidah naga
tersebut. Tapi orang ini ternyata memiliki nyali luar biasa besar. Walaupun
terluka dia kembali menyerang badan sang naga putih. Yang diserang juga ti-
dak bodoh. Tiga kepala dengan satu badan itu lang-
sung meliuk bergerak merendah menyambut seran-
gan lawan Manusia Kelelawar yang siap hunjamkan
taring-taringnya yang mencuat panjang terpaksa ba-
talkan serangan. Lalu memutar badan sambil ke-
pakkan sayapnya. Tapi secara tak terduga, ekor na-
ga putih terangkat ke atas lalu melibas tubuh la-
wannya. Braak! "Akkkh!"
Disertai jeritan keras, Manusia Kelelawar ja-
tuh terpental. Tubuhnya bergulingan akibat demi-
kian kerasnya hantaman ekor lawannya. Begitu ge-
rakan tubuhnya terhenti, dari mulutnya menyem-
burkan darah. Naga berkepala tiga itu tak memberi
kesempatan. Dia balikkan badan dan segera mem-
buru ke arah lawannya.
Merasa tak sanggup menghadapi lawannya.
Manusia Kelelawar dalam keadaan cidera di bagian
dalam, serta terluka pula di bagian sayapnya segera pula gerakkan kedua tangan.
Wuuut! Mendadak tubuh kelelawar itu melambung
tinggi ke udara. Kemudian berputar-putar sebanyak
dua kali selanjutnya bergerak ke arah timur, lalu lenyap dari pandangan mata.
Baru saja Manusia Kelelawar menghilang da-
ri pandangan mata dari dalam liang kubur yang ter-
buka muncul seorang kakek berkulit hitam serta
gadis berkulit putih berpakaian putih tipis tembus
pandang. Kemunculan dua Manusia Patung itu ten-
tu saja diluar dugaan Tapa Gedek yang kini telah
kembali dengan ujud asli. Tapa Gedek gelengkan ke-
pala dan palingkan wajahnya ke jurusan lain begitu
melihat penampilan si gadis yang demikian menggo-
da. Dalam hati dia berkata. "Dia pasti dua patung yang kulihat di sudut ruangan
serba biru tadi. Walau cuma patung, di dalamnya bersemayam roh ja-
hat. Siapapun pasti tergoda melihat penampilannya
itu. Aku sendiri tak mungkin menggunakan ilmu Ge-
lombang Naga terus menerus."
"Kakek hebat. Tadi kami sempat mendengar
suara gemuruh seperti gelombang besar di laut. Ka-
mi juga mendengar suara teriakan aneh seperti sua-
ra naga. Adakah dirimu seekor naga?" tanya kakek hitam. "Aku tidak tahu apa yang
kau maksudkan, patung hidup." sahut Tapa Gedek ketus.
"Ah... rupanya kau mengetahui siapa kami
adanya." Patung gadis berkulit putih ikut bicara.
Disertai senyum genit dan basahi bibir dengan lidah gadis itu melanjutkan
ucapannya. "Orang tua
meskipun aku juga patung tapi aku mempunyai se-
suatu yang sama seperti gadis pada umumnya. ka-
lau kau mau tidur denganku, aku bersedia melaya-
nimu sebagaimana layaknya suami istri. Hik hik
hik." Tapa Gedek meludah. Mendengar ucapan gadis itu perutnya terasa mual dan
ingin muntah. "Patung Putih... dan kau Patung Hitam. Tak usah kau meng-
gunakan tipu daya untuk memuslihati diriku. Aku
tahu sejarah keberadaan kalian. Sebelum aku beru-
bah fikiran sebaiknya kalian pergilah yang jauh. Bukankah lebih baik kalian
mencari Bumerang" Orang
yang telah membuat kalian hidup seperti sekarang?"
dengus si kakek.
Terkejutlah Patung Hitam dan Patung Putih
mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Tapa Ge-
dek. Kakek dan gadis itu saling melempar pandang.
Mereka kemudian nampak bicara satu sama lain
dengan bahasanya sendiri. Bahasa yang cuma beru-
pa racun yang tidak dimengerti oleh Tapa Gedek.
Tak lama setelah itu Patung Hitam berkata dituju-
kan pada Tapa Gedek. "Orang tua, aku ingin mengajukan satu pertanyaan. Kemanakah
perginya Manu- sia Kelelawar?"
"Ha ha ha! Apakah bangsat bersayap itu sa-
habat kalian?" tanya si kakek. Patung Putih dengan cepat menyahuti. "Kami
bangsanya patung tidak
mengenal kata sahabat. Kehidupan kami hanyalah
untuk orang yang telah memasukkan arwah kami ke
dalam patung ini."
"Patung cantik. Jika kalian ingin tahu. Ma-
nusia Kelelawar membawa lukanya ke neraka. Apa-
kah kalian sudah puas dengan jawabanku ini?"
"Ah, kau sanggup mengalahkan Manusia Ke-
lelawar" Berarti kau adalah orang tua sakti yang
perkasa." puji Patung Hitam. "Apakah kau masih tidak mau bersenang-senang dengan
gadis ini" Dia
adalah gadis menyenangkan yang sangat luar biasa
sekali." "Persetan dengan semua ucapanmu. Aku tidak punya waktu dan tidak akan
pernah bermaksiat
dengan perempuan manapun apalagi cuma manusia
patung!" dengus Tapa Gedek. Kemudian tanpa bica-ra lagi si kakek balikkan badan
dan segera pula berkelebat pergi. Dua manusia patung tidak mengejar.
Mereka saling berpandangan. Si gadis berkata den-
gan nada menyesal.
"Sayang sekali dia tak mau bersenang-
senang denganku. Jika dia dapat kuperdaya, tentu
seluruh ilmu sekaligus tenaga sakti yang dia miliki pasti berpindah ke tubuhku."
"Tak usah gusar. Kesempatan masih banyak.
Untuk merampas kesaktian dari orang yang mau
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau cumbui masih terbuka. Kelak jika seluruh
orang-orang berkepandaian tinggi bertekuk lutut di
bawah kakimu. Di saat itu baru terbuka jalan untuk
menentukan Langkah selanjutnya. Sekarang kita
harus pergi. Masih banyak calon korban, masih ba-
nyak sasaran yang dapat kita raih!" ujar si kakek. Si gadis cantik anggukkan
kepala. Kemudian melangkah pergi meninggalkan Liang Landak.
11 Empat sosok tubuh tergeletak kaku dengan
sekujur tubuh membiru keracunan. Dibalik pakaian
dada yang terbuka terlihat satu luka menghitam be-
kas sentuhan lima jari telapak tangan. Satu dari
empat mayat laki-laki bersenjata pedang itu pa-
kaiannya dalam keadaan terbuka seperti orang yang
baru saja hendak buang hajat.
Keberadaan mayat di pinggir sungai itu tentu
saja mengundang perhatian seorang kakek berpa-
kaian hitam, berambut dan beralis merah yang ke-
betulan melintas daerah itu. Si kakek yang adalah
Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Bayangan adanya
memperhatikan mayat itu sejenak, kemudian sambil
berjongkok dia memeriksa keempat mayat itu satu
demi satu. Tak lama kemudian dia menarik nafas, lalu
berdiri sambil gelengkan kepala berulang-ulang.
"Mereka semua tewas akibat terkena racun. Tidak ada luka di bagian dalam
terkecuali luka di dada.
Melihat luka ini nampaknya hanya sekedar usapan
saja. Tapi mengapa akibatnya begini fatal" Dan
mayat yang satunya itu. Hem... agaknya dia hendak
melakukan kekejian terhadap seseorang. Agaknya
mereka menemui batu sandungan. Orang yang hen-
dak dijadikan korban memiliki ilmu lebih tinggi. Mereka terpedaya. Aku tidak
mengenal siapa mereka.
Namun melihat penampilan serta pakaian yang me-
reka pakai, mungkin orang-orang ini hanya kawa-
nan perampok yang konon kabarnya sering berkelia-
ran di tempat ini!" batin si kakek dalam hati.
Dengan tatap mata tak bersemangat sekali
lagi dia memperhatikan ke empat mayat yang berada
di depannya. Setelah itu si kakek melangkahkan ka-
kinya menyisir tepian sungai berbatu. Tapi baru be-
berapa tindak dia mengayunkan Langkah, secara
tak terduga satu benda bulat berwarna hitam me-
layang ke arahnya. Jika si kakek tidak cepat meng-
hindar sambil rundukkan kepala. Benda yang mele-
sat ke arahnya itu dapat dipastikan menghantam
wajahnya. Praak! Terdengar suara benda pecah menghantam
batu di belakangnya. Si kakek cepat balikkan badan
dan memeriksa benda bulat itu. Astaga! Angin Pesut
tercekat sambil belalakkan mata. Benar dulu dia
sering melakukan pembantaian, membunuh dengan
sewenang-wenang. Tapi kejadian itu telah berlang-
sung lama. Setelah dirinya bertobat dan tidak per-
nah membunuh lagi. Melihat benda yang ternyata
adalah penggalan kepala itu tanpa sadar membuat
tengkuknya berubah menjadi dingin.
Si kakek cepat memandang ke arah mana
potongan kepala tadi dilemparkan orang. Tapi dia tidak melihat apapun, karena
kawasan di pinggir
sungai itu ditumbuhi semak belukar lebat. Siapapun
yang bersembunyi di situ tak mungkin dapat dilihat.
Selagi si kakek termangu. Kesunyian di tepi sungai
itu dipecahkan oleh terdengarnya suara tawa yang
teramat dingin menyeramkan.
"Hik hik hik. Empat laki-laki tolol tewas ke-
racunan. Yang menjadi pimpinannya telah kupeng-
gal pula kepalanya. Kini datang orang yang selama
ini kucari. Orang yang harus kubunuh dengan tan-
ganku sendiri. Begitulah tugas yang harus kujalan-
kan. Titah itu telah kusanggupi, kujunjung diatas
kepalaku. Orang tua... melihat penampilanmu. Ku-
rasa tidak salah jika aku menduga dirimu adalah
Angin Pesut, manusia dengan gelar Iblis Tujuh Rupa
Delapan Bayangan!" kata satu suara sambil terus umbar tawanya.
Sebagai bekas tokoh sesat yang sudah ke-
nyang malang melintang di rimba persilatan. Se-
sungguhnya Angin Pesut tidak akan heran bila begi-
tu banyak orang yang mengenal siapa dirinya. Yang
membuatnya kaget, suara tawa yang didengarnya
Jelas suara tawa perempuan muda. Mungkin
usianya belum sampai dua puluh tahun. Dengan si-
kap tenang Angin Pesut akhirnya menyahuti. "Kau tak salah menduga. Aku memang
ingin Pesut. Aku
tak perlu bertanya mengapa kelima laki-laki itu kau bunuh. Tapi jika kau memang
punya keperluan
denganku. Sebaiknya tunjukkan dirimu, datang ke-
mari dan katakan apa kepentinganmu!" ujar si kakek. Kembali terdengar suara tawa
menggeledek. Semak belukar di seberang kanan sungai tersibak.
Satu kepala tersembul, kemudian berkelebat ke arah
Angin Pesut. Melihat gerakan orang, si kakek mak-
lum gadis yang melesat ke arahnya itu pasti memili-
ki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sem-
purna. Tak lama kemudian di depan si kakek berdiri
tegak seorang gadis berpakaian merah ketat. Gadis
itu berwajah cantik, rambutnya panjang tergerai.
Sedangkan dipinggangnya tergantung sebilah pe-
dang. Yang menarik perhatian Angin Pesut. Bagian
rangka pedang bukan terbuat dari kayu atau besi.
Melainkan berasal dari sepotong lengan tangan en-
tah milik siapa. Melihat pada potongan dan bentuk
pedangnya, Angin Pesut dapat memastikan senjata
yang tergantung di pinggang si gadis pasti bukan
senjata sembarangan.
Yang aneh, si kakek dadanya berguncang ke-
ras begitu memandang ke arah sang dara.
"Orang tua... aku datang untuk mencabut
nyawamu" hardik si gadis dingin. Angin Pesut tersenyum arif. Sama sekali dia
tidak merasa tersing-
gung. Malah dengan lembut dia berkata.
"Gadis jelita siapa namamu" Agaknya kau
memiliki suatu ganjalan besar terhadapku. Atau
mungkin aku pernah berlaku salah pada orang tua-
mu?" "Aku tidak punya orang tua." jawab gadis itu polos. Kembali darah si kakek
berdesir mendengar
jawaban sang dara.
"Lalu dendam siapa yang hendak kau ba-
laskan?" "Dendam guruku!" dengus si gadis.
Angin Pesut tersenyum tipis.
"Mengapa gurumu tidak datang langsung ke-
padaku?" tanya si kakek.
"Untuk menghadapi manusia sepertimu. Gu-
ruku tak perlu repot mengotori tangannya dengan
darah busukmu!"
"Darahku memang busuk. Tapi terus terang
kau tidak bakal sanggup membunuhku!" jawab si
kakek. "Kau manusia sombong. Terlalu memandang remeh orang lain. Aku tidak akan
membiarkanmu hidup!" dengus si gadis.
"Baiklah. Jika kau tetap bersikeras dengan
pendirianmu tidak mengapa. Tapi sebelum itu kata-
kan siapa dirimu, siapa pula gurumu"!" ujar Angin Pesut. "Tua bangka, kau dengar
baik-baik. Namaku Indah Sari Purnama. Adapun nama guruku aku tidak akan
mengatakannya padamu!" jawab si gadis.
Angin Pesut terdiam. Dalam hati dia berkata. "Gadis ini mengapa jantungku
berdebar-debar begitu aku
melihatnya" Wajahnya sangat mirip sekali dengan
Serimbi. Mungkinkah dia anakku" Sayang sekali ke-
tika dia diculik orang aku belum sempat membe-
rinya nama. Hanya ada satu jalan untuk mengenal-
nya. Aku harus bisa melihat punggungnya. Di ba-
gian punggung anakku dulu terdapat sebuah tahi la-
lat. Tapi itu agaknya tidak mudah untuk kulaku-
kan!" fikir si kakek.
"Angin Pesut bersiaplah untuk menghadap
malaikat maut!" teriak Indah Sari. Berkata begitu tanpa memberi kesempatan lagi
pada Angin Pesut
sang dara berkelebat ke depan lancarkan satu se-
rangan ganas yang langsung mengarah pada bagian
mata si kakek. Sadar gadis ini bukan lawan sembarangan,
Angin Pesut tentu saja segera melompat hindari se-
rangan sang dara. Wuuut! Serangan yang dilancar-
kan lawan dapat dielakkannya. Namun begitu se-
rangannya luput gadis ini langsung berbalik dan kini menyerang bagian tulang
punggungnya. Si kakek
terkesiap. Dia melesat ke depan. Dalam hati Angin
Pesut menjadi sangat kaget karena tak pernah men-
duga lawan menyerangnya di bagian yang memati-
kan. "Celaka! Nampaknya dia mengetahui kele-
mahan ku" Dia menyerang bagian-bagian tubuhku
yang paling mematikan!" desis kakek itu tercekat.
Laksana kilat dia cepat balikkan badan. Tapi saat
itu lawan telah berada dihadapannya dan tengah
melancarkan serangan di bagian tulang rusuknya.
Karena serangan ini juga cukup berbahaya.
Maka Angin Pesut pun terpaksa gerakkan tangannya
melakukan tangkisan.
Raak! Lengan si kakek dengan jemari tangan si ga-
dis beradu keras di udara membuat Indah Sari ter-
dorong mundur. Tapi lengan si kakek sempat ter-
gores kuku lawannya yang mengandung racun ga-
nas. Walaupun Angin Pesut kebal terhadap berbagai
jenis racun. Tapi nampaknya racun di tubuh si gadis bukan racun sembarangan.
Terbukti Angin Pesut
yang dikenal memiliki kekebalan bahkan mempu-
nyai ajian Panca Sona, suatu ilmu hebat yang apabi-
la pemilik ilmu itu terpotong anggota tubuhnya, ma-
ka potongan tubuh segera bertaut kembali, kini
nampak terluka. Gadis itu tertawa mengekeh meli-
hat lawan dapat dilukainya. "Angin Pesut. Kau boleh mempunyai ilmu Pancasona.
Tubuhmu boleh kebal.
Tapi guruku telah mempelajari kekurangan-
kekurangan dari ilmu yang kau miliki. Kepadaku dia
khusus mengajarkan beberapa bagian tubuhmu
yang harus kuserang. Manusia sombong kau me-
mang hebat, tapi sebagai manusia kau memiliki ba-
nyak kelemahan. Sekarang kau lihatlah tanganmu.
Konon kudengar bila dirimu terluka, maka luka itu
segera bertaut kembali. Tapi kenyataannya. Hik hik
hik. Luka itu tak akan pernah lenyap sebagaimana
yang sering terjadi dengan dirimu Angin Pesut. Ka-
rena kuku-kukuku mengandung racun. Bukan
hanya bagian kuku. Malah sekujur tubuhku sangat
beracun!" kata Indah Sari Purnama sinis.
Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan perhati-
kan lengannya yang tergores kuku sang dara. Angin
Pesut melengak kaget. Lengan itu memang terluka
meneteskan darah. Tapi anehnya luka itu tak mau
bertaut kembali sebagaimana yang biasanya sering
terjadi. "Hmm... Gadis ini sangat berbahaya. Aku ya-
kin siapapun yang menjadi gurunya pasti telah
memberi bekal berbagai kebolehan yang khusus un-
tuk mengincar bagian-bagian tubuhku yang terle-
mah. Aku tidak boleh berdiam diri berpangku tan-
gan. Gadis ini harus kuringkus! Aku harus tahu sia-
pa gurunya!" batin si kakek dalam hati.
"Angin Pesut! Sekarang bersiap-siaplah kau
untuk menyambut seranganku yang kedua!" teriak sang dara. Selesai dia berkata
tubuhnya berkelebat
lenyap dari pandangan mata. Kemudian si kakek
melihat ada bayangan merah menyambar ke bagian
ulu hatinya. Yang diserang lawan ini juga bagian titik kelemahannya. Sehingga
secepat kilat si kakek
jatuhkan diri menghindar dari jangkauan tangan la-
wannya. Wuus! Serangan yang mengarah ke bagian ulu hati
tidak mengenai sasaran, membuat sang dara jadi
kalap dan kini gerakkan tangannya ke bawah men-
garah ke bagian lutut Angin Pesut
12 Secepat apapun kakek ini menghindar. Tapi
bagian lututnya tetap saja terkena sambaran kuku
lawannya. Breet! Terdengar suara robeknya kulit di bagian lu-
tut. Si kakek kembali terluka. Luka beracun yang
meneteskan darah. Walaupun luka itu tidak mem-
bahayakan jiwanya namun membuat si kakek men-
jadi kerepotan. Apalagi nampaknya sang dara tidak
lagi memberi kesempatan pada lawannya. Begitu
melihat Angin Pesut bangkit berdiri dia kembali bergerak ke depan, lepaskan satu
tendangan kilat ke
bagian perut, sedangkan tangannya lakukan baba-
tan ke bagian leher. Angin dingin menyambar ke ba-
gian perut dan lehernya. Si kakek yang rupanya pe-
nasaran untuk mengetahui siapa adanya gadis itu
yang sebenarnya segera jejakkan kakinya.
Duuk! Duuuk! Dua kali hentakan membuat tubuh si kakek
melesat ke udara. Di udara dia lakukan gerakan se-
demikian rupa, berjumpalitan menjauh lalu jejakkan
kakinya di tebing kanan sungai. Indah Sari tidak
membiarkannya begitu saja. Dia pun mengejar.
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan gerakan ringan tubuhnya melenting ke atas,
lalu meluruk deras ke arah kakek itu. Sejarak setengah tombak di depan kakek itu
kakinya berkelebat
menghantam kepala.
Wuut! Lawan tiba-tiba lenyap. Tendangan hanya
menghantam angin. Ketika Indah Sari dongakkan
kepala ke atas. Ternyata lawan telah berdiri di pu-
cuk pohon. "Jahanam pengecut! Apakah bisamu cuma
menghindar!" maki si gadis. Sambil berkelebat ke atas mengejar si kakek, Indah
Sari hantamkan dua
tangannya ke depan. Angin dingin laksana es diser-
tai kepulan uap putih menderu ganas menghantam
tubuh Angin Pesut. Sebelum pukulan lawan meng-
hantam dirinya. Dia kembali berkelebat ke pohon
yang berada di sebelahnya.
Buum! Pucuk pohon rambas hangus terkena puku-
lan gadis itu. Kepingan bertaburan di udara. Bagian bawah pohon kemudian nampak
menghitam, daun-daunnya hangus berguguran.
Indah Sari merutuk habis-habisan. Gagal
menghabisi lawannya kini dia bergerak ke pohon
lainnya. Dimana lawan berdiri tegak disitu sambil
memandangnya dengan tatapan penuh rasa tidak
mengerti. Laksana burung walet Indah Sari melun-
cur deras ke arah si kakek. Dua tangan yang berku-
ku panjang dan setajam mata pedang menyambar
wajah, tenggorokan serta dada Angin Pesut. Kakek
itu menyambar cabang pohon di depannya. Dengan
cabang pohon berdaun lebat dia menangkis seran-
gan sang dara. Bret! Breet! Breet!
Tes! Tes! Cabang yang dipergunakan untuk menang-
kis, terbabat kuku lawan. Putus bertaburan ke uda-
ra. Potongan reranting pohon kemudian secara aneh
menghantam mata dan sekujur tubuh Angin Pesut.
Si kakek keluarkan seruan kaget, namun cepat han-
tamkan kedua tangannya ke depan.
Dari telapak tangan si kakek menderu hawa
panas luar biasa disertai sambaran angin yang de-
mikian keras. Potongan kayu yang seharusnya me-
nancapi sekujur tubuh dan matanya berpentalan
dan berbalik menghantam Indah Sari. Gadis itu
menghindar ke samping, lalu meluncur turun, jejak-
kan kaki di atas tanah dengan wajah pucat pasi.
Angin Pesut nampaknya tidak memberi hati.
Apalagi saat itu dia melihat luka di bagian lengan
dan lututnya tidak mau bertaut kembali dan me-
nimbulkan rasa nyeri luar biasa. Sambil berteriak
keras si kakek melesat ke bawah. Tubuhnya melun-
cur sedemikian rupa. Sedangkan dua tangan me-
nyambar ke arah perut si gadis demikian cepatnya.
Dalam pandangan Indah Sari sepasang tangan si
kakek kini berubah menjadi beberapa pasang siap
untuk menjebol perut dan dada sang dara.
Dalam kagetnya Indah Sari segera gerakkan
tangannya melakukan tangkisan. Tapi ternyata se-
rangan si kakek hanya tipuan saja. Karena begitu
lawan menyambuti serangannya dia lakukan gera-
kan jungkir balik sedemikian rupa, kemudian men-
gitari tubuh sang dara. Tepat posisinya berada di
atas si gadis, tangan kirinya menyambar punggung
Indah Sari. Bretttt! Terdengar suara robeknya pakaian. Indah
Sari menjerit kaget. Sebaliknya Angin Pesut begitu
kaget begitu melihat di bagian punggung sang dara
yang putih mulus itu terdapat satu titik besar ber-
warna hitam berupa tahi lalat.
"Di.. dia anakku...!" desis Angin Pesut dengan tubuh tergetar menahan keharuan.
Sebaliknya Indah Sari menjerit sambil me-
maki. Kalang kabut dia sibuk berusaha menutupi
punggungnya yang terbuka lebar. Tapi mana mung-
kin hal itu dapat dilakukannya. Karena tangannya
sulit menjangkau bagian punggung. Gagal menutupi
punggung sang dara berteriak keras. "Tua bangka mesum. Ajalmu sudah di ambang
mata tapi kau masih berani berlaku kurang ajar. Aku harus membu-
nuhmu!" maki si gadis marah bukan main. Angin
Pesut angkat salah satu tangannya. "Kau dengar.
Aku hanya ingin melihat satu tanda di punggungmu.
Satu tanda berupa tahi lalat. Ternyata di pung-
gungmu memang ada tahi lalatnya. Aku sama sekali
tidak bermaksud kurang ajar." kata si kakek dengan suara bergetar menahan rasa
haru dan bahagia. Walaupun dalam keadaan marah bukan main. Men-
dengar ucapan si kakek Indah Sari menjadi bingung.
"Apa maksudmu orang tua?" hardiknya. Dengan ma-ta berkaca-kaca si kakek
menjawab. "Dulu aku punya anak perempuan. Di pung-
gungnya ada tahi lalat. Aku belum sempat membe-
rinya nama karena dia baru saja dilahirkan. Sayang
sekali dia diculik oleh seseorang yang tidak kukenal.
Jika dia masih hidup tentu sudah sebesar dirimu.
Sudah lama aku mencarinya, tapi sampai sekarang
aku belum menemukannya!"
"Huh, yang jelas aku bukan anakmu!" den-
gus sang dara sinis.
"Mengingat tahi lalat di punggungmu, mung-
kin saja kau anakku. Bisa jadi seseorang sengaja
membesarkanmu, lalu mendidikmu. Untuk kepen-
tingannya sendiri bisa jadi dia memperalatmu untuk
membunuhku!" kata si kakek.
"Tua bangka keparat. Jangan coba-coba
mempengaruhiku. Aku tidak mudah terkecoh. Atau
mungkin kau kehilangan nyali untuk menghadapi
aku?" Si kakek tersenyum tipis. Dia menggigit bibir.
Jiwanya terguncang, perasaannya begitu pedih.
Dengan lirih dia menjawab. "Kuakui ilmu kepan-
daianmu sangat tinggi. Tapi dengan kepandaianmu
itu, jika aku bersungguh-sungguh dalam mengha-
dapimu. Kau tak bakal sanggup mengalahkan aku.
Malah jika tadi aku bermaksud keji padamu. Kurasa
bukan pakaianmu saja yang dapat kubuat robek.
Tapi kepalamu sendiri bukan dapat kupecahkan. In-
dah Sari, kau pasti anakku. Wajahmu sangat mirip
dengan bekas Istriku Serimbi yang bukan lain ada-
lah ibumu sendiri!" kata si kakek sambil titikkan air mata. Mendengar ucapan
Angin Pesut, mendidihlah
darah sang dara. Dengan mata mendelik penuh ke-
bencian Indah Sari membentak. "Tua bangka. Kau bukan ayahku, perempuan yang kau
katakan itu ju-ga bukan ibuku. Ayah Ibuku telah lama meninggal.
Lagipula tak mungkin aku punya orang tua keji se-
perti dirimu!" kata sang dara sengit.
"Kalau ayah ibumu sudah mati apakah kau
pernah melihat kuburnya?" tanya si kakek lagi. Indah Sari tentu menjadi bingung.
Selama ini dia me-
mang belum pernah melihat kubur kedua orang tu-
anya. Gurunya bahkan tak pernah memberi tahu
dimana kubur mereka. Tak mau dikecoh orang gadis
ini berucap. "Angin Pesut, jika kau punya senjata cabutlah. Karena aku pasti
membunuhmu!"
"Indah Sari percayalah, gurumu pasti selama
ini telah menipu dirimu. Kemudian memperalat di-
rimu untuk membunuh orang tua sendiri!" ujar si kakek dengan kesabaran luar
biasa. Sebagai jawaban sang dara langsung menca-
but Pedang Tumbal Perawan dari rangkanya yang
berasal dari lengan gadis yang dijadikan tumbal pe-
dang itu. Melihat pedang yang menggeletar begitu
tercabut dari rangkanya. Angin Pesut terkejut juga
maklum pedang di tangan Indah Sari bukan senjata
biasa. Melainkan senjata sakti mandra guna yang
menyimpan kesaktian sekaligus memiliki pengaruh
Iblis. Pedang itu pasti sangat mematikan. Fikir si
kakek. Si kakek tentu saja tak mau mati sebelum
tahu secara pasti siapa gadis itu yang sebenarnya.
Karena itu begitu melihat sinar pedang yang ber-
warna hitam itu bergulung-gulung menerjang ke
arah dirinya si kakek segera berkelit menghindar.
Baru saja si kakek mengelak, kini pedang yang ber-
gerak dengan kemauannya sendiri itu malah meng-
hantam ke bagian lambungnya.
Kakek tua yang sudah kenyang malang me-
lintang di rimba persilatan dan merupakan momok
paling ditakuti belasan tahun yang lalu itu untuk
pertama kalinya seumur hidup dibuat kaget. "Gila, pedang ini seolah memiliki
nyawa. Punya otak, mata
dan jalan fikiran sehingga dia dapat membaca gera-
kan lawan!" fikir si kakek. Tak punya pilihan lain Angin Pesut akhirnya jatuhkan
diri. Bergulingan
menghindar, tapi lawan terus mengejar mengikuti
gerakan pedang. Angin Pesut terpaksa dorongkan
kedua tangan lepaskan pukulan yang diperkirakan
tidak membahayakan keselamatan sang dara
Segulung angin dingin menghantam gadis
itu, tapi Indah Sari telah memutar pedang menjadi-
kan senjatanya sebagai perisai. Ketika pukulan si
kakek membentur senjata lawan. Pukulan itupun
amblas lenyap tidak meninggalkan bekas. Terkejut
orang tua itu bukan kepalang. Sementara itu indah
Sari telah berkelebat ke arahnya sambil babatkan
pedang di tangan dua kali berturut-turut. Angin Pe-
sut kembali berkelit. Tak urung rambutnya kena di-
tebas putus senjata lawan. Tak punya pilihan lain si kakek terpaksa hantamkan
kakinya ke tubuh lawan
dalam upayanya menyelamatkan diri.
Dess! Tendangan yang keras membuat Indah Sari
terjajar ke belakang. Mempergunakan kesempatan
ini Angin Pesut lesatkan tubuhnya ke udara. Sean-
dainya dia ingin membunuh gadis itu atau bermak-
sud mencelakainya. Hal ini sebenarnya dapat dila-
kukan si kakek sejak tadi. Karena bagaimana pun si
kakek masih unggul dalam hal ilmu, kecepatan serta
pengalaman. Tapi entah mengapa walau orang in-
ginkan jiwanya dia malah tak tega untuk jatuhkan
tangan keji. Sementara itu melihat lawan berkelebat ke
udara dan membubung tinggi ke angkasa. Indah Sa-
ri tidak membiarkannya begitu saja.
Cepat sekali dia mengejar. Lalu menyerang
lawannya dengan kecepatan berlipat ganda.
Laksana setan, Angin Pesut terus menghin-
dari serangan senjata yang datangnya laksana air
bah itu. Demikian hebatnya pertarungan itu hingga
baik yang menyerang maupun yang mendapat se-
rangan ganas berkelebat seperti bayangan saja. An-
gin Pesut yang sengaja tidak mau menyakiti Indah
Sari akhirnya mulai terdesak. Beberapa jurus ke-
mudian dia bahkan hampir kehilangan kepalanya
akibat sambaran senjata lawan. Si kakek tidak mau
mati sia-sia. Tangannya terjulur menghantam ping-
gang sang dara. Tapi pada waktu yang sama ujung
pedang lawan juga menyambar dadanya.
Buuk! Craas! Dua Jeritan menggema di udara. Dua sosok
tubuh meluncur ke bawah. Lalu....
Bluk! Bluk! Keduanya jatuh terduduk. Saling berhadap-
hadapan. Indah Sari merintih kesakitan. Sedangkan
Angin Pesut sibuk menotok beberapa urat darah be-
sar untuk mencegah agar racun tidak sampai men-
jalar kemana-mana. Luka akibat goresan senjata la-
wan nampak membiru kehitaman. Dan luka itu ti-
dak pula mau bertaut lagi. Seolah si kakek kehilan-
gan kekebalannya. Walaupun dia terluka tapi meli-
hat gadis itu merintih si kakek jadi tidak tega malah menghawatirkan keselamatan
gadis itu. "Indah Sari kau...!" Angin Pesut tidak melanjutkan ucapannya. Melainkan
menghampiri si gadis
siap memberikan pertolongan. Si gadis merasa inilah saatnya untuk menghabisi
Angin Pesut. Pedang yang
terjatuh disampingnya segera diambil. Tapi begitu
dia siap menusukkan pedang Tumbal Perawan di
dada si kakek. Pada saat yang bersamaan dia men-
dengar suara ngiang ditelinganya.
"Jangan kau bunuh dia. Biar aku yang
membunuhnya! Aku segera datang!" jelas orang yang baru bicara itu bukan lain
adalah gurunya sendiri.
Sehingga pedang dilepaskan. Tapi begitu si kakek telah berada dalam
jangkauannya. Tangan kanannya
langsung menyambar ke beberapa bagian tubuh An-
gin Pesut. Sedikitnya tiga totokan hebat melanda diri si kakek. Membuat orang
tua itu dalam keadaan ka-ku tertotok tak dapat bergerak-gerak lagi. Angin Pesut
jadi tercekat. Lalu memandang gadis itu penuh
rasa heran. "Indah Sari, mengapa kau lakukan ini, anak-
ku" Apakah kau tega membunuh ayahmu sendiri?"
tanya si kakek bergetar.
"Kau bukan ayahku. Kalau bukan atas perin-
tah guru, aku pasti membunuhmu sekarang ini!"
dengus sang dara.
"Aku rela mati ditanganmu asal kau mau
mengakui aku ini adalah ayahmu!" rintih si kakek dengan berurai air mata. Si
gadis sama sekali tidak bergeming, dia juga tidak menjawab. Malah kemudian dia
keluarkan segulung tali dari balik saku celananya. Dia hampiri kakek malang ini.
Kemudian Indah Sari dengan cekatan mengikat kaki dan tan-
Gento Guyon 25 Gelombang Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gan Angin Pesut. Dalam keadaan semakin tidak ber-
daya Angin Pesut diseretnya.
"Indah Sari... apa yang hendak kau laku-
kan?" tanya si kakek. Dalam keadaan fikiran normal dan bukan gadis itu yang
dihadapinya. Angin Pesut
bisa saja membebaskan diri dari pengaruh totokan
bahkan mampu pula melepas ikatan pada tangan
dan kakinya. Tapi kini hal itu tidak dilakukannya.
Dia tidak tega untuk mencelakai gadis yang dia ang-
gap sebagai putrinya yang hilang itu.
"Aku akan menggantungmu, Angin Pesut.
Kaki di atas dan kepala di bawah. Menunggu keda-
tangan guruku yang akan membunuhmu. Selama
itu aku bisa menyiksamu sampai puas. Hik hik hik!"
kata Indah Sari beberapa saat kemudian. Angin Pe-
sut pasrah dan tidak lagi menghiraukan keselama-
tan dirinya sang dara digantung sang dara di satu
pohon yang terdapat di pinggir sungai. Si gadis ke-
mudian memukuli tubuh bekas tokoh sesat yang
malang itu dengan rotan berduri hingga membuat
sekujur tubuh si kakek dipenuhi bilur-bilur luka.
Sekujur tubuh si kakek basah bersimbah darah.
Namun anehnya walaupun menderita sakit yang
luar biasa. Si kakek tidak mengeluh atau menjerit
kesakitan. Dia terlalu larut, tenggelam dalam kese-
dihan memikirkan nasib dirinya. Dia rindu pada
anaknya. Terlalu amat rindu ingin bertemu. Hingga
membuat Angin Pesut mati rasa, hilang kesadaran
tentang apa yang terjadi pada dirinya. Keadaan
orang tua ini memang menggenaskan. Tubuhnya
babak belur penuh luka.
Tapi hatinya lebih terluka lagi begitu melihat
kenyataan sang anak yang dia cari ternyata tidak
mengakui dirinya sebagai seorang ayah. Angin Pesut
dalam segala penderitaan dan beban batin yang te-
ramat menekan jiwanya hanya dapat kucurkan air
mata. Air mata sejuta duka yang tak mungkin dapat
dilukiskan dengan kata-kata, bercampur dengan cu-
curan darah yang mengalir dari setiap luka di tu-
buhnya akibat cambukan rotan berduri. Indah Sari
tertawa senang. Tawa yang mungkin di atas penderi-
taan sekaligus kepedihan hati sang ayah.
TAMAT NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!!
LIANG PEMASUNG SUKMA
Mengapa disebut Liang Pemasung Sukma. Jika ingin
tahu ceritanya, Silahkan cari bukunya.
Scan/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Document Outline
TAMAT Senja Jatuh Di Pajajaran 3 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Golok Bulan Sabit 8