Pencarian

Perisai Maut 2

Gento Guyon 24 Perisai Maut Bagian 2


dibacokkannya ke arah
lawan. Tapi akibat terlalu cepat daya putar yang dilakukan Indah Sari membuat
babatan yang dilan-
carkan Setan Satu tidak mengenai sasarannya. Puas
membuat pusing kepala Setan Satu. Tiba-tiba sang
dara lepaskan tangannya yang mencengkeram kaki
lawan. Tak ayal lagi tubuh Setan Satu meluncur de-
ras ke arah sebuah batu besar. Sambil pejamkan
matanya yang berkunang-kunang, pemuda itu beru-
saha melakukan gerakan begitu rupa agar dia dapat
jatuh sesuai dengan yang dia inginkan. Tapi sayang, daya luncur tubuhnya
demikian deras hingga diapun jatuh dengan punggung terhempas menghan-
tam batu. Terdengar suara tulang belakang berderak pa-
tah disertai jerit kesakitan. Pedang di tangan Setan Satu terpental tak dapat
dipertahankan. Pedang melayang di udara, kemudian jatuh menukik mencari
sasaran di bagian ubun-ubun Indah Sari.
"Benar-benar senjata iblis!" rutuk sang dara, seraya melompat mundur sejauh tiga
tombak. Pe-dangpun kemudian menancap di tempat mana dia
berdiri tadi. Indah Sari tidak menunggu lebih lama. Dia
segera memungut potongan tangan yang dijadikan
rangka pedang. Setelah itu dia cabut pedang yang
tertancap di tanah, kemudian cepat menyarungkan-
nya sebelum pedang iblis memperlihatkan reak-
sinya. Indah Sari Purnama gantungkan pedang di
pinggang kanan. Setelah itu dengan hati-hati dia
hampiri Setan Satu yang menderita cidera berat di
bagian punggung. Sejarak dua langkah dari pemuda
itu tergeletak sang dara hentikan langkah. Dia pandangi Setan Satu sejenak, baru
kemudian bibir ba-
gusnya terbuka. "Jika kau tak melakukan pekerjaan yang tidak-tidak mungkin kau
dapat melakukan tu-gasmu. Mungkin juga orang yang kau cari telah kau
temukan. Sekarang aku sengaja tidak ingin membu-
nuhmu, agar kau dapat merasakan penderitaan
yang berkepanjangan. Aku juga berharap semoga
orang yang kau cari menjumpaimu kau pasti tak bi-
sa berbuat apa-apa. Bisa jadi begitu kau utarakan
niatmu orang yang bernama Gentong Ketawa itu
langsung membunuhmu! Hi hi hi!"
Setan Satu menggeram. Sambil meludah dia
berteriak lantang. "Aku sudah kalah. Kalau kau mau membunuhku cepat lakukan!"
"Cuh, buat apa aku berletih diri membunuh
setan tidak berdaya. Aku juga sekarang tengah men-
gemban suatu tugas yang tidak ringan. Selamat
tinggal sampai jumpa di akherat!" kata si gadis. Disertai tawa tergelak gelak
dia tinggalkan Setan Satu.
Pemuda berkulit aneh itu berteriak memang-
gil. Tapi sampai suaranya serak orang yang dipanggil tidak pernah kembali.
Di atas pohon Gentong Ketawa yang sengaja
tidak melakukan sesuatu apapun sejak tadi kini
kembali berkata.
"Gadis itu tak jelas murid siapa" Tapi dia
mengatakan hendak melakukan suatu tugas yang
tidak ringan. Perasaanku jadi tidak enak, mengapa
tiba-tiba aku jadi teringat pada Angin Pesut. Ahk...
sebaiknya kutanyai pemuda muka ular kadut itu
dulu. Setelah itu baru kukejar gadis tadi" fikir si kakek.
8 Nenek bertubuh luar biasa berambut hitam
lebat awut-awutan dan berpakaian biru lusuh men-
dadak hentikan langkahnya. Dua telinga bergerak-
gerak. Kemudian dia mendengus ketika mendengar
suara langkah kaki datang dari arah berlawanan.
Tangannya diangkat sambil menoleh ke bela-
kang. Pemuda gondrong bertelanjang dada dan ka-
kek berpakaian serba putih yang mengikuti si nenek ketika melihat isyarat itu
ikut pula hentikan langkah. "Mengapa bekas kakak iparku berhenti?"
tanya si kakek berhidung pesek berwajah polos yang berada di belakang si
gondrong. Si gondrong tidak langsung menjawab. Dia
dongakkan wajahnya ke langit cuping hidungnya
kembang kempis. Kemudian si gondrong tersenyum.
"Aku tahu, nenek itu hentikan langkah kare-
na mendadak mencium bau pesing. Bukankah sejak
meninggalkan rawa tadi kau belum lagi sempat me-
nukar celanamu, Ki." kata si gondrong sambil me-
nahan tawa. "Aku tidak punya celana yang lain." menanggapi si kakek sambil bersungut-sungut.
"Hem, mungkin inilah yang namanya selem-
bar kering di badan."
"Ssstt, bekas kakak ipar melirik kemari, Gen-
to. Kurasa dia bukan mencium bau pesing. Aku
mendengar suara langkah orang menuju ke sini!"
ujar kakek baju putih yang tiada lain adalah kakek Sateaki adik seperguruan
Angin Pesut. "Kalian bersembunyi!" kata si nenek yang otaknya mengalami gangguan itu sambil
menunjuk-nunjuk ke arah gundukan batu besar di samping
kanan mereka. Tiga sosok tubuh berkelebat ke arah batu,
kemudian lenyap dari pandangan. Tak berapa lama
pepohonan besar yang terdapat di depan gundukan
batu tersibak. Kemudian muncul satu sosok tubuh
dengan tinggi hampir sama dengan pucuk pohon.
Sosok yang baru muncul itu ternyata adalah seorang gadis cantik berbadan tinggi
semampai berambut
panjang. Gadis raksasa itu tidak datang sendiri. Dia bersama seorang kakek
berpakaian dan berambut
putih. Kakek berjanggut panjang ini tidak berjalan melainkan di dukung oleh
gadis raksasa. Melihat kehadiran gadis itu, baik Gento mau-
pun Sateaki sama tekap mulut masing-masing. Se-
lanjutnya Pendekar Sakti Tujuh Satu Gento Guyon
maupun Sateaki dengan muka pucat dan kucurkan
keringat dingin mereka berbisik.
"Celaka. Gadis yang kita intip tempo hari kini muncul di depan kita. Dia pasti
masih memendam amarah pada kita. Tapi... siapa kakek yang berada
dalam dekapannya itu?" tanya Sateaki.
Gento terdiam, dia memandang ke arah gadis
raksasa berpakaian serba kuning itu. Mata si pemu-
da berkedap kedip mencoba mengenali. Walau pun
saat itu dia dilanda perasaan kaget setengah mati, demi melihat siapa kakek yang
berada di dalam
pondongan gadis raksasa Gento jadi menggerutu.
"Sialan... kakek berjanggut kambing itu ada-
lah Tabib Setan sahabatku. Ah, bagaimana dia bisa
akrab dengan anak raksasa ini" Beruntung benar
kakek konyol itu. Dia duduk dekat dada. Pasti sesekali dia sempat mengintip dan
memandang keinda-
han bukit. Tidurnya kujamin jadi nyenyak bersandar pada dada gadis raksasa tidak
ubahnya tidur dika-sur empuk."
"Bisa saja kau bicara seenakmu. Jika teman-
mu melihat kehadiranmu disini, urusan bisa jadi
runyam." Gento melengak kaget. "Eh, apa maksudmu Ki?"
"Apa kau lupa kalau telah membohongi kakak
iparku. Bukankah kau mengatakan padanya bahwa
dirimu ini adalah adiknya yang pernah hilang raib
ditelan derasnya air Bengawan.!"
Seakan tersadar Gento tepuk keningnya sen-
diri. "Gawat! Jika nenek ini tahu aku membohon-ginya dia bisa marah besar." kata
Gento cemas. "Bukan saja marah. Dia bisa membunuhmu.
Ingat, nenek ini otaknya tidak waras gara-gara kehilangan anak."
"Belalang kecil. Inikah gadis yang hendak kau sembuhkan" Dia cantik sekali,
pantasnya dia menjadi istrimu. Belalang Kecil, kau sangat pintar sekali dalam
memilih pasangan hidup." memuji si nenek
tanpa alihkan perhatiannya dari si gadis raksasa.
"Be... betul kakak. Dialah sahabatku."
"Lalu siapa kakek bangkotan yang digendong-
nya itu. Anaknya atau apa?"
"Kakek itu sahabatku. Dia biasa kupanggil
Tabib Setan." sahut Gento gugup.
Si nenek yang mengenal Gento sebagai adik-
nya yang tenggelam terseret air Bengawan Solo ter-
tawa mengikik. "Ah, adik suaramu bergetar, apakah ini kau cemburu karena gadismu
memeluk bandot tua" Kau tak usah takut. Serahkan kakek tak tahu
diri itu padaku. Dengan mudah aku pasti dapat
membunuhnya! Hik hik hiik."
"Ja.. jangan."
"Mengapa kau melarang.?" tanya si nenek heran. Dengan sikap serius Gento
menjawab. "Dia sudah tua, sering pula sakit-sakitan. Tidak kau bunuh sekalipun
karena sudah tua lama-lama pasti
mati sendiri."
"Tapi aku tidak suka bandot berjanggut itu
menyandarinya kepalanya di...di.... hik hik hik.
Enak betul dia.....!" si nenek terganggu ingatan tidak teruskan ucapannya,
sebaliknya malah tertawa
mengikik. "Biarkan saja kakak" Dia biasa menyandar-
kan kepala di mana saja. Dulu juga dia sandarkan
kepalanya di gunung, lalu gunungnya meletus. Aki-
batnya kepala dan janggut jadi memutih!"
Pada waktu itu si gadis raksasa begitu men-
dengar suara orang berbisik-bisik nampak layang-
kan pandang ke segenap penjuru sudut. Kemudian
dia melihat di balik batu mendekam tiga sosok tu-
buh. Dua diantaranya dia kenal sebagai orang yang
pernah berbuat usil mengintai dirinya selagi berada di dalam sungai.
"Tabib cebol, aku dapatkan orang iseng itu."
kata si gadis raksasa yang bernama Anggagini.
Tabib Setan sendiri sejak tadi memang sudah
melihat Gento bersama seorang nenek berpakaian
biru lusuh berambut riap-riapan juga seorang kakek berpakaian putih yang tidak
dikenalnya. Tapi karena dasar sang tabib orang tua yang suka iseng. Dengan
sengaja dia malah rebahkan kepala ke dada si gadis yang besar. Mata dikedipkan
ke arah Gento sedangkan tangan dilambaikan.
"Jangan kau sakiti dia, Gini." jawab sang tabib lirih.
"Pemuda sahabatmu itu laki-laki mata keran-
jang. Setelah mengintaiku kini dia malah bergabung dengan kakek cebol baju
putih. Padahal kakek itu
juga ikut berbuat iseng." dengus Anggagini. Gadis dengan tinggi hampir menyamai
pucuk pepohonan
ini melangkah maju. Dia kemudian berkata dengan
suara keras. "Gondrong cebol sialan. Sekarang kau hendak lari kemana bersama
kakek itu hah...?"
"Bocah edan. Akui saja perbuatanmu, lalu
minta maaf. Segala urusan pasti beres!" kata Tabib Setan yang berada dalam
dukungan si gadis raksasa
menimpali. Kalau ada orang yang merasa kaget menden-
gar ucapan Tabib Setan dan gadis raksasa itu tentulah si nenek baju biru Srimbi.
Sejenak lamanya si
nenek sakti ingatan ini nampak bingung. Dia me-
mandang ke arah Gento dan Sateaki silih berganti.
Sebagaimana telah diceritakan dalam Episode "Ra-
cun Darah" untuk mendapatkan racun penawar Perubah Bentuk, Gento terpaksa
membohongi si nenek
dengan mengaku untuk menolong sahabatnya. Bu-
kan hanya itu saja, Gento juga terpaksa berbohong
dengan mengaku bahwa dirinya adalah si Belalang
Kecil adik nenek sakit ingatan itu. Agaknya rasa heran di hati si nenek saat itu
karena dia melihat antara Gento dan gadis raksasa Anggagini nampaknya
seperti asing satu sama lain. Tidak terlihat adanya kesan sebagaimana seorang
bersahabat pada
umumnya. Mendadak sontak tanpa pernah terduga si
nenek menyambar dan mencengkeram rambut gon-
drong Pendekar Sakti Tujuh Satu. Setengah mengge-
ram si nenek ajukan pertanyaan.
"Belalang Kecil. Mengapa gadis itu memanggil
mu Gondrong Cebol sialan?" berkata begitu si nenek sakit ingatkan delikkan mata.
"Kakak... dia, dia memang begitu. Otaknya
agak terganggu. Mungkin karena akibat pengaruh
Racun Perubah Bentuk. Kalau saja kau melihat
ayah ibunya keadaannya lebih parah lagi. Ayah ga-
dis itu suka memelintir kumis sambil menari. Me-
makai pakaian saja suka terbalik. Celana dijadikan baju-baju dijadikan celana.
Sedangkan ibunya malah suka tertawa-tawa sendiri." kata Gento berbohong.
Walaupun takut, namun masih sempatnya dia
tertawa dalam hati.
Sedangkan Sateaki sendiri dalam hati beru-
cap. "Kau rasakan Pendekar Sakti Tujuh Satu. Berbohong untuk kebaikan memang
tidak ada yang me-
larang. Tapi jika kau berdusta pada nenek-nenek
terganggu ingatan persoalannya akan jadi lain. Aku
sih jelas tidak ikutan!"
Di depan Gento, mata si nenek nampak ber-
kedap-kedip. Nampaknya dia mempercayai ucapan
Gento. Walaupun begitu cekalannya pada rambut
murid si gendut Gentong Ketawa ini bukan mengen-
dur. Sebaliknya makin bertambah erat hingga mem-
buat si pemuda meringis kesakitan.
Perasaan lega pemuda itu tak berlangsung
lama, karena kemudian si nenek ajukan pertanyaan
lagi. "Lalu kakek jenggot kambing itu mengapa me-manggilmu bocah edan?"
"Walah mati aku." rutuk Gento dalam hati.
Tapi dasar pemuda itu memang selalu banyak akal.
Meskipun bingung dia tetap berlaku tenang. Setelah berfikir sejenak diapun
berkata. "Antara aku dengan dia sama saja. Aku sendiri sering memanggilnya Tabib
Setan. Padahal dia tabib baik, bukan setan pula.
Jangan persoalkan masalah itu kakak. Kita kemari
bukan untuk berdebat. Ingat, kita bersaudara. Eng-
kau kakakku, aku adikmu si Belalang Kecil."
"Hem, untuk sementara aku percaya uca-
panmu. Tapi jika nanti terbukti kau bukan sanak
bukan kadangku, kau pasti akan kubunuh!" dengus si nenek lalu lepaskan
cengkeramannya pada rambut Gento.


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mampuslah kau, Pendekar Sakti Tujuh Sa-
tu!" kata Sateaki dalam hati.
"Pemuda gondrong cebol, apakah kau sudah
siap menerima hukuman"!" kembali terdengar suara bentakan Anggagini.
"Hukuman apa?" kakek Sateaki demi tak ingin rahasia mereka terbongkar cepat
menyahuti. "Apakah kau tak ingin obat Penawar Racun
Perubah Bentuk" Bersusah payah kami mencarikan
obat penawar itu untuk keluargamu, sekarang apa-
kah kau masih ingin meributkan persoalan yang se-
pele?" tanya Sateaki.
Ucapan si kakek paling tidak dapat menutupi
kebohongan Gento pada nenek Srimbi.
Gadis raksasa itu terdiam. Kening berkerut.
Lalu dia memandang Tabib Setan. Pada kakek
itu dia berkata. "Tabib apakah ucapan kakek baju putih itu bisa dipercaya?"
"Mana aku dapat memastikan. Kalau bocah
edan itu yang bicara aku jamin dia tidak berdusta.
Aku mengenal dirinya sama seperti mengenal tela-
pak tanganku sendiri." sahut Tabib Setan.
"Kau tanyakan pada pemuda cebol itu. Apa-
kah ucapan temannya memang benar!"
Tabib Setan lakukan apa yang diminta oleh
Anggagini. Sang Tabib lalu berteriak. "Bocah edan, apakah yang dikatakan kakek
itu benar?"
"Dia tidak berdusta Tabib Setan sial!" sahut Gento tak kalah kerasnya.
9 Raksasa Anggagini pandangi tiga orang di ba-
lik batu beberapa saat lamanya. Setelah itu dia jatuhkan Tabib Setan dari
dukungannya. Si tabib la-
kukan gerakan jungkir balik beberapa kali setelah
itu jejakkan kakinya tak jauh dari batu besar. Pendekar Sakti 71 Gento Guyon,
Sateaki dan nenek
Srimbi berturut-turut keluar dari balik batu yang dijadikan tempat bersembunyi.
Gento kedipkan matanya pada sang tabib. La-
lu dia mengisiki. "Bagaimana rasanya digendong gadis itu" Empuk ya" Hei tabib...
kau jangan memang-
gil namaku."
"Hah...apa maksudmu?"
"Untuk mendapatkan obat penawar racun Pe-
rubah Bentuk aku terpaksa berbohong pada nenek
sinting itu dengan mengaku sebagai adiknya. Nenek
itu ingatannya agak terganggu akibat kehilangan
anak dan terlalu lama larut dalam guncangan batin
yang berat!"
"Pemuda cebol bernama Gento Guyon!" Se-
rahkan obat penawar racun Perubah Bentuk pada-
ku!" kata si gadis raksasa tiba-tiba.
"Ah, celaka, bagaimana dia bisa mengetahui
namaku?" kata Gento tercekat.
"Aku yang memberitahu." sahut Tabib Setan.
"Tabib Setan. Kau bisa membuat celaka kami
semua!" Sementara itu nenek Srimbi begitu menden-
gar Anggagini menyebut nama Gento Guyon jadi ce-
lingukan. "Gento Guyon... siapa orang yang dimak-sudkan gadis itu?" tanyanya
sambil layangkan pandang ke arah Gento dan Sateaki silih berganti. Ka-
kek yang wajahnya mirip dengan guru Gento ini ce-
pat tundukkan kepala sambil menahan nafas. Seba-
liknya Gento jadi kebingungan. Masih beruntung
Tabib Setan cepat menangkap adanya gelagat yang
tidak baik ini. Sehingga dia berkata.
"Gento Guyon itu adalah nama lain adikmu.
Dulu ketika aku bertemu dengannya dia mengata-
kan nama Belalang Kecil adalah sebuah nama yang
kurang bagus. Akhirnya aku yang memberinya na-
ma Gento Guyon." menerangkan si kakek. Dalam
hati dia memaki. "Sial betul. Aku terpaksa ikutan berbohong. Padahal yang
memberi nama Gento adalah gurunya sendiri Gentong Ketawa."
"Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres.
Aku melihat adanya satu kebohongan. Ingat, jika
ternyata nanti kuketahui kalian memang berbohong.
Tidak satupun diantara kalian yang kubiarkan hi-
dup. Dan untuk membuktikan benar tidaknya du-
gaanku ini, satu-satunya cara adalah dengan meli-
hat kubur Angin Pesut."
Pucatlah wajah Sateaki. Sebaliknya Tabib Se-
tan nampak lebih tenang. Terkecuali Gento. Pemuda
ini nampak gelisah. Dia sama sekali tidak menyang-
ka kebohongan yang terpaksa dia lakukan ketika be-
rada di tempat kediaman si nenek di pulau terapung yang terletak di tengah rawa
kini malah berakibat
buruk bagi dirinya.
Membayangkan betapa orang yang diha-
dapinya adalah orang yang mengalami guncangan
batin dan sakit ingatan, Gento merasa tengkuknya
menjadi dingin laksana es.
"Aku tidak takutkan dia. Tapi aku harus me-
nyadari dia orang yang terganggu ingatannya. Lagi-
pula kurasa sampai sekarang dia masih memiliki
pukulan Racun Perubah Bentuk. Jika dia sampai
menghantamkan dengan pukulan itu, tubuhku bisa
membesar seperti gadis raksasa itu. Kalau sudah
begitu keuntunganku cuma satu. Aku bisa kawin
dengan gadis cantik ini. Ruginya aku tak mungkin
bisa memadu kasih dengan gadis biasa." fikir sang pendekar. Sekilas terbayang
wajah Bidadari Biru.
Gadis cantik yang tubuhnya sebening kristal. Lalu
dia juga ingat pada Mutiara Pelangi alias Puteri Ku-pu-Kupu Putih. Kemudian
muncul pula sosok Nyi
Sekar Langit yang periang dan begitu bersemangat.
"Tidak... aku tak mau menjadi raksasa. Nenek
ini tak boleh memukulku." Gento gelengkan kepala berulang kali.
"Kepalamu menggeleng, apakah ini berarti
kau tak mau mengantarku melihat kubur Angin Pe-
sut?" hardik si nenek.
Gento berjingkrak kaget, dia menelan ludah
basahi tenggorokannya yang mendadak terasa ker-
ing. Baru kemudian membuka mulut berucap.
"Kakak... aku mau saja. Tapi sahabatku Sa-
teaki harus ikut denganku. Dia yang menjadi petun-
juk jalan!"
Tak menyangka Gento masih juga melibatkan
dirinya, si kakek berjingkrak kaget. "Pendekar edan ini mengapa masih saja
menyeret diriku dalam pe-rangkap kesengsaraan. Semua ini gara-gara salah-
nya sendiri. Kakang Angin Pesut yang masih segar
bugar dikatakannya sudah meninggal. Bagaimana
nanti jika bekas kakak ipar mengetahui kalau yang
sebenarnya bekas suaminya masih hidup" Dia bisa
marah besar, dia mungkin akan membunuhku." ka-ta Sateaki cemas.
"Baiklah, sahabatmu itu boleh ikut."
"Bukankah dia juga adik iparmu?" goda si pemuda.
Nenek itu delikkan matanya.
"Hanya bekas. Seperti halnya Angin Pesut, dia juga kuanggap sudah mati!" sahut
si nenek sinis.
Gento berpaling pada Sateaki, baru kemudian
berkata. "Ki, kau sudah mendengar. Kau dinyatakan
sudah mati. Jadi sekarang yang gentayangan cuma
bangkainya saja. Ha ha ha!"
Sateaki tidak menjawab, hanya mulutnya
bersungut-sungut tidak senang.
"Hayo, sekarang tunggu apa lagi. Kita harus
berangkat ke makam bekas suami keparat Angin Pe-
sut." berkata begitu si nenek balikkan badan siap berkelebat pergi.
Namun Gento cepat berkata. "Kakak... apakah
kau lupa. Kau sudah berjanji mau memberikan obat
penawar Racun Perubah Bentuk itu pada sahabatku
gadis raksasa." sergah Gento.
"Ah, kau betul. Aku sampai lupa. Obat pena-
war tetap kuberikan. Tapi seperti yang kukatakan
hanya tinggal dua butir. Ini berarti hanya dua yang dapat kutolong. Sedangkan
yang lainnya harus rela
menerima nasib, menjalani sisa hidup sebagai rak-
sasa." "Kakak, apakah kau tidak mau membuatnya lagi?" tanya Gento.
"Buat apa" Untuk menolong orang" Yang
membuat mereka celaka bukan aku. Tapi Angin Pe-
sut, silahkan saja minta dibuatkan obat penawarnya pada dia."
"Kakak ipar, kakang Angin Pesut tidak bisa
membuat obat penawarnya. Lagipula seperti yang
dikatakan sahabatku itu, Angin Pesut mati." ujar Sateaki. "Siapa kakak iparmu.
Jangan lagi kau menyebut aku kakak ipar. Aku bisa membunuhmu,
kakek buduk. Hik hik hik." damprat si nenek lalu tertawa terkikik-kikik. Masih
sambil tertawa dia melanjutkan ucapannya. "Ini obat yang kalian minta."
Nenek Srimbi keluarkan sebuah tabung kecil terbuat dari bambu, tabung dibuka.
Isinya dikeluarkan. Lalu diserahkannya pada Gento.
"Terima kasih kakak." kata Gento setelah menerima dua butir pil berwarna pekat
pemberian si nenek. Kemudian Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
menghadap langsung ke arah Anggagini. Pada gadis
raksasa itu, setelah menjura hormat dia berkata.
"Harap kau sudi kiranya memaafkan aku. Kejadian di pinggir sungai itu semata-
mata hanya ingin memastikan kau memang membutuhkan pertolongan.
Sehingga aku dan kakek itu kemudian berusaha
mencarikan obat untukmu!"
Selanjutnya Gento julurkan tangan serahkan
obat penawar racun di tangannya pada Anggagini.
Sejenak si gadis nampak ragu untuk menerimanya.
Dia pandangi wajah tampan sang pendekar. Ma-
tanya yang bening bercahaya berkedip. Hatinya ber-
kata. "Ternyata setelah memandangnya dari jarak dekat dia cukup tampan juga. Aku
yakin ilmunya tidak rendah. Tapi mengapa tingkah lakunya seperti
orang kurang waras" Lalu siapa nenek yang dipang-
gilnya kakak itu" Mungkinkah dia yang bernama
Srimbi. Orang yang sering disebut ayah sebagai sa-
tu-satunya orang yang dapat melenyapkan racun
Perubah Bentuk. Kalau benar dugaanku, berarti
pemuda ini telah mempertaruhkan nyawa menyebe-
rangi Rawa Buaya untuk menemui nenek itu!" fikir sang dara.
"Anggagini, terimalah obat pemberian saha-
batku!" kata Tabib Setan yang melihat gadis raksasa itu cuma melongo memandangi
Gento seolah penuh
rasa kagum. Anggagini tersipu, wajah cantiknya yang putih
mulus berubah kemerahan. Dia ulurkan tangannya.
Gento memberikan obat penawar Racun Perubah
Bentuk pada si gadis.
"Terima kasih! Mengingat kau telah bersusah
payah menemui nenek ini. Aku maafkan kesala-
hanmu." kata si gadis.
"Aku pun begitu. Dan kuharap...!'
"Belalang Kecil. Aku tak punya waktu me-
nunggu lebih lama. Sekarang juga kau dan kakek
itu harus ikut denganku. Kalian harus tunjukkan
dimana kubur Angin Pesut!"
"Tapi kakak...!" Gento mencoba mengulur
waktu, karena dia sesungguhnya ingin ajukan bebe-
rapa pertanyaan penting pada Tabib Setan. Salah
satu diantaranya adalah, bagaimana pemuda raksa-
sa itu melepas diri si kakek. Malah kemudian mem-
beri izin pada sang tabib untuk pergi dengan adik-
nya yang cantik.
"Tak ada tapi-tapian. Hayo ikut...!" teriak si nenek. Mendadak sontak Gento
merasakan ada angin dingin yang menyambarnya. Dilain saat tahu-
tahu dirinya juga diri Sateaki sudah dibawa berlari dengan kecepatan laksana
terbang. Gadis cantik itu hendak melakukan pengeja-
ran. Tapi niatnya urung karena Tabib Setan lang-
sung mencegah. "Tak usah dikejar. Untuk sementara selesaikan saja urusan
keluargamu sendiri."
"Apa maksudmu, kakek cebol?" tanya Anggagini. Si kakek tersenyum, mengelus
jenggotnya ba- ru kemudian menjawab. "Aku tahu bagaimana pera-
saanmu. Dulu aku pernah muda. Kau pasti tertarik
pada pendekar edan tadi. Tapi dengan besar badan
seperti sekarang ini mana mungkin kau bisa men-
dekatinya."
Anggagini jadi tersipu mendengar ucapan
sang tabib. Dengan suara pelan dia berkata. "Orang tua mulutmu terlalu usil.
Lalu sekarang apa yang
harus kulakukan?" tanya si gadis. Ucapan Tabib Setan tadi sama sekali tidak
membuatnya marah. Ma-
lah dia nampak tersenyum gembira.
"Itu persoalan gampang. Dua butir obat ada di tanganmu. Jika kau ingin kembali
ke bentuk manusia yang normal, maka kau harus telan salah satu
obat penawar racun itu."
"Jika kutelan satu, berarti ayah ibuku tidak
kebagian. Padahal aku ingin melihat mereka beru-
bah kembali seperti manusia biasa."
"Kau bisa memberikan sisanya pada mereka."
usul sang tabib.
"Lalu kakangku Anggagana bagaimana?"
Mendengar ucapan sang dara membuat Tabib Setan
jadi bingung. "Hem, obat penawar racun itu hanya bisa menyembuhkan dua orang.
Jika kau sayang
ayah ibumu, berarti kau tetap dalam keadaan seper-
ti ini selamanya. Nenek sakit ingatan itu jelas tak mau lagi membuat obat yang
sama. Lalu jika kau
dan kakangmu Anggagana yang menelan obat itu,
maka kedua orang tuamu tetap menjadi raksasa se-
lamanya." "Bukankah sangat membingungkan?"
"Benar, aku juga dibuat bingung." sahut si kakek manggut-manggut.
Anggagini terdiam, berfikir sebentar. Baru
kemudian berkata. "Sebaiknya kita kembali ke bukit.
Kita temui dulu orang tua dan kakangku. Mereka
yang memutuskan siapa yang patut memakan obat
penawar racun ini." Si kakek keluarkan suara seperti tercekik.
"Kembali ke bukit"!"
"Benar. Mengapa?"
"Aku tak mau, mereka bisa menghukumku!"


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawab si kakek ketakutan.
Anggagini tertawa merdu. "Mengapa harus ta-
kut. Kalau mereka sampai marah aku yang akan
menjelaskan pada mereka!" ujar si gadis raksasa.
Setelah sekian lama terombang-ambing dalam kera-
guan, akhirnya Tabib Setan mengangguk setuju.
Anggagini balikkan badan, lalu melangkah menuju
ke arah bukit dengan diikuti Tabib Setan yang ter-
paksa berlari-lari di belakangnya.
10 Iringan kereta tua yang ditarik dua ekor kuda
itu kini memasuki kawasan hutan di perbatasan Ka-
lasan. Sais kereta yang tiada lain adalah Tapa Gedek terus mencambuk kudanya
hampir tiada henti. Karena kedua kuda penarik kereta sudah cukup tua di
samping sudah kelelahan pula, tentu saja cambukan
yang dilakukan bertubi-tubi yang dilakukan Tapa
Gedek tidak membuat kuda berlari kencang seba-
gaimana yang dikehendaki si kakek. Malah tak jauh
dari kerapatan pohon di tepi hutan Kalasan dua ku-
da penarik kereta mendadak berhenti.
Si kakek gelengkan kepala. Matahari saat itu
sudah condong di ufuk barat. Tapi suasana di ping-
gir hutan dengan cepat sekali berubah gelap. Sua-
sana hutan yang sunyi, serta kerapatan pepohonan
yang menjulang tinggi menimbulkan kesan angker,
membuat si kakek merasa tidak enak sekaligus geli-
sah. Tapa Gedek menoleh ke belakang. Di dalam
kereta kuda dia melihat Dewa Kodok tidur bergelung membaur dengan tiga sosok
mayat sahabat mereka.
"Datuk Lemah Hijau, Kertadilaga dan Ki Me-
noreh sudah menjadi mayat. Mereka sudah almar-
hum. Kalau menurut kata hatiku rasanya aku malas
mengantar mayat-mayat itu sampai di pemakaman
di tepi Kaliurang. Kitab gelombang Naga telah kudapatkan kembali. Mestinya aku
segera kembali ke
gunung Lawu untuk mengembalikan kitab ini pada
guru Ki Saran. Tapi... mungkin Dewa Kodok tak
akan setuju dengan pendapatku ini." batin si kakek sambil gelengkan kepala.
Setelah memperhatikan
dua kuda penarik kereta beberapa jenak lamanya,
kakek ini berkata. "Setidaknya kuda itu memerlukan waktu istirahat satu malam.
Berarti perjalanan baru dapat dilanjutkan besok pagi. Padahal pinggiran hutan
ini bukan pilihan tepat untuk istirahat. Apalagi konon sering kudengar hutan
Kalasan adalah tempat angker. Banyak arwah penasaran berdiam di
tempat ini." berkata begitu si kakek merasa mendadak tengkuknya meremang
berdiri. Dia makin geli-
sah kalau tidak dapat dikata takut. Aneh memang
orang seperti dirinya yang selama ini dikenal seperti seorang tokoh pemberani,
kini tiba-tiba merasakan
takut yang luar biasa.
"Dewa Kodok...!" Tapa Gedek memanggil sahabatnya yang tidur di dalam kereta
membaur den- gan tiga mayat hangus mengerikan dan sudah mulai
menebar bau tak sedap pula.
Tak ada sahutan dari dalam kereta. Yang ter-
dengar cuma suara dengkur Dewa Kodok. Mungkin
tidurnya terlalu nyenyak, bisa jadi Dewa Kodok me-
mang keletihan setelah tiga hari melakukan perjalanan berkuda.
"Dewa Kodok. Nampaknya kita tidak bisa me-
lanjutkan perjalanan. Dua kuda penarik kereta su-
dah kelelahan. Dewa Kodok... bangun...!" seru si kakek dengan suara keras.
Dari dalam kereta terdengar suara gigi berge-
meletukan, lalu ada suara mengerang. Selanjutnya
terdengar pula suara orang menyahuti. "Kalau perjalanan tak dapat diteruskan
jangan dipaksa. Kau istirahat saja, sobat Tapa Gedek."
"Enak saja kau bicara. Sekarang ini kita be-
rada di pinggir hutan. Bagaimana mungkin aku bisa
istirahat?" kata Tapa Gedek ketus.
"Memejamkan mata apa susahnya. Kalau ma-
ta sudah mengantuk tidak perduli berada di pinggir hutan atau di dalam comberan
rasanya tetap sama
saja seperti di surga!" sahut Dewa Kodok.
Tapa Gedek merasa geram sekali mendengar
jawaban Dewa Kodok yang seenaknya. Apalagi seha-
bis menjawab dia tidur lagi.
Tapa Gedek menarik nafas, lalu terdengar si
tua mengeluh. "Apa untungnya punya sahabat seperti dia. Sepanjang perjalanan
kalau tidak me-
nyanyi kerjanya tidur melulu. Mestinya kutinggalkan saja Dewa Kodok dan mayat-
mayat itu. Selanjutnya
aku bisa melanjutkan perjalanan ke gunung Lawu
untuk menjumpai guruku!" fikir si kakek.
Walau dia sudah memutuskan begitu, namun
dia masih tetap duduk di tempatnya. Dia kemudian
memandang ke arah kegelapan hutan. Entah men-
gapa perasaannya makin tidak enak.
Selagi kakek ini terombang ambing dalam ke-
raguan. Pada saat itu dia merasakan ada angin din-
gin menyambar ke arahnya. Hembusan angin itu da-
tang dari arah bagian belakang kereta kuda.
Terkejut, Tapa Gedek cepat putar kepala dan
memandang sejurus ke belakang kereta. Dia tak me-
lihat apa-apa, tapi secara aneh tengkuknya kembali merinding.
Kereta kemudian bergoyang perlahan. Dua
kuda penarik kereta keluarkan ringkikan gelisah.
Bersamaan dengan itu pula sayup-sayup di kejau-
han terdengar suara lolong serigala. Si kakek makin tak tenang, dia mencoba
mempertajam pendenga-rannya sedangkan dua mata di pentang lebar. Suara
lolong serigala mendadak lenyap. Suasana sunyi se-
ketika. Kesunyian yang begitu mencekam, membuat
si kakek merasa tak betah berada di tempat itu lebih lama. "Dewa Kodok.
Bangunlah, aku perlu bicara denganmu. Kalau kau tak mau bangun aku segera
tinggalkan tempat ini. Silahkan kau melewatkan ma-
lam bersama mayat-mayat para sahabat kita!" kata si kakek.
Beberapa saat si kakek menunggu. Suaranya
yang perlahan kemudian lenyap. Angin dingin ber-
hembus membuat dedaunan saling bergesekan me-
nimbulkan suara aneh di telinga Tapa Gedek bagai
alunan senandung setan di neraka.
"Mengapa perasaanku jadi begini" Aku mera-
sa seperti sedang diawasi oleh sang maut. Akh...
Dewa Kodok sungguh keterlaluan. Dia sengaja hen-
dak mempermainkan aku rupanya. Suara dengkur-
nya tidak lagi kudengar. Lalu apa yang dilakukan-
nya di dalam kereta itu?" fikir si kakek.
Di tengah kesunyian yang amat mencekam
mendadak Tapa Gedek dikejutkan oleh suara lolong
serigala. Yang membuat orang tua ini cepat memu-
tar tubuhnya hingga menghadap ke arah kereta, su-
ara raungan serigala yang didengarnya tadi bukan
dari dalam hutan. Tapi terasa begitu dekat seolah
berasal dari dalam keretanya sendiri.
Menyangka sahabatnya Dewa Kodok yang
punya ulah dengan perasaan jengkel Tapa Gedek
berteriak. "Dewa Kodok. Kau jangan menakut-nakuti aku. Aku telah memutuskan
untuk meninggal-
kan mayat dan kereta kuda ini disini. Jika kau mau membawa mayat mereka ke
Kaliurang aku berterima
kasih. Terus-terang aku hendak pergi ke gunung
Lawu untuk menemui guruku sekaligus menyerah-
kan kitab Ilmu Gelombang Naga ini pada beliau!"
Sebagai jawaban, kereta kuda bergoyang. Lalu
pintu belakang kereta itu terbuka. Pintunya yang
sudah tua mengeluarkan suara berkeretakan. Ke-
mudian dari dalam kereta melesat satu sosok tubuh
disertai menyemburnya cairan merah. Sosok itu me-
lewati bagian atap kereta lalu jatuh bergedebukan
tepat di atas pangkuan Tapa Gedek.
Rasa kaget melihat pintu belakang kereta
yang terbuka saja belum lagi lenyap. Kini si kakek dikejutkan lagi dengan
jatuhnya satu sosok tubuh
gemuk pendek berperut besar ke atas pangkuannya.
Dengan mata terbelalak dan mulut keluarkan peki-
kan tertahan Tapa Gedek memandang ke pangkuan.
Kakek berpakaian hitam ini begitu mengenali orang
yang jatuh di atas pangkuannya langsung menjerit.
"Dewa Kodok...huah...huaaah...huaaah...Apa
yang terjadi dengan dirimu sobatku. Siapa yang te-
lah membunuhmu dengan cara begini keji!" tanya si kakek, setengah meraung dan
meratap. Dia pandangi Dewa Kodok yang telah menjadi mayat. Mata ka-
kek berperut seperti kodok itu mendelik besar, mu-
lut ternganga, lidah terjulur. Darah mengalir dari sudut mata, hidung, mulut
juga telinga. Ketika kakek itu memeriksa bagian dada dan perut sahabat-
nya. Orang tua ini merasa semangatnya melayang,
wajah pucat kucurkan keringat dingin.
Bagian dada serta perut Dewa Kodok tidak la-
gi utuh. Dadanya robek besar. Paru-paru mencuat
keluar, jantung lenyap entah kemana sedangkan pe-
rutnya terkoyak, isi perut berbusaian keluar ber-
campur darah yang masih menetes. Tak tahan si
kakek melihat kekejian yang terjadi pada Dewa Ko-
dok mendadak dia menjerit, menjerit lagi dan lagi.
Sampai akhirnya dia terhenyak lemas. Lututnya
goyah, sosok Dewa Kodok jatuh menggelinding dan
terhempas di bawah kereta kuda.
Beberapa saat lamanya Tapa Gedek tak
mampu bergerak juga tak kuasa bicara. Tapi begitu
ingat dengan luka-luka mengerikan itu si kakek ti-
ba-tiba melompat dari atas tempat duduk kusir. La-
lu dengan mata nyalang dia perhatikan kereta kuda
yang pintu belakangnya telah menutup kembali.
Dengan suara lantang kakek ini berteriak.
"Pembunuh keparat. Apa salah dosa sahabatku De-wa Kodok. Mengapa kau membunuhnya
secara keji. Keluarlah kau dari dalam kereta. Katakan siapa di-
rimu dan apa pula maumu?"
Sebelumnya si kakek sempat mendengar sua-
ra lolong serigala dari dalam kereta kuda. Kini dia beranggapan tentu orang yang
membunuh Dewa Kodok pastilah serigala. Cabikan pada dada dan pe-
rut Dewa Kodok jelas akibat hunjaman kuku-kuku
yang tajam runcing makhluk yang keluarkan suara
lolongan tadi. Dan kakek itu rasanya tak perlu me-
nunggu lebih lama, karena beberapa saat kemudian
dari dalam kereta terlihat ada kabut biru meresap
keluar dari setiap celah sudut kereta. Kabut itu bergulung-gulung di udara,
kemudian lenyap setelah
sampai pada ketinggian tertentu. Bersamaan dengan
lenyapnya sang kabut dari dalam kereta terdengar
suara lolong panjang.
Lalu Tapa Gedek mengendus adanya bau bu-
suknya bangkai.
"Asap keluar dari dalam kereta, mungkinkah
tiga mayat di kereta itu bangkit. Hidup kembali"!"
membatin Tapa Gedek. Kepala digelengkan, dia
mencoba membantah pikirannya sendiri. "Orang
yang sudah mati mana mungkin dapat hidup kem-
bali. Namun ketika dia ingat dengan Kitab Hitam
Pembangkit Mayat milik Kertadilaga. Bukan musta-
hil apa yang diragukannya dapat terjadi.
Selagi si kakek berdebat dengan jalan fikiran-
nya sendiri, suara lolongan kembali terdengar. Lalu dari dalam kereta mendadak
terdengar suara bentakan. "Kudengar kau tadi mengatakan apa salah dosa sahabatmu
Dewa Kodok, bukankah begitu. Kau
dengar baik-baik, Tapa Gedek... yang salah bukan
hanya Dewa Kodok. Sebaliknya kau juga ikut mela-
kukan satu kesalahan besar yang tak mungkin da-
pat kumaafkan. Hik hik hik. Ha ha ha!"
Tapa Gedek sempat tercekat, namun setelah
menenangkan hati dan menebalkan segenap seman-
gat yang sempat tercerai berai akibat teror kematian Dewa Kodok akhirnya dia
berkata. "Kau siapa" Jika aku melakukan kesalahan, kesalahan apa yang telah
kuperbuat?" tanya Tapa Gedek.
Satu lolongan kembali terdengar sebelum ak-
hirnya terdengar jawaban. "Kesalahannya adalah dengan membiarkan Angin Pesut
tetap hidup. Kau
tidak turun tangan ikut serta menyerangnya ketika
tiga sahabatmu bertekat menghabisi Iblis Tujuh Ru-
pa Delapan Bayangan."
"Kau siapa" Apa hubunganmu dengan Angin
Pesut?" tanya Tapa Gedek.
"Apa hubunganku dengan keparat itu kau tak
usah tahu. Untuk tidak membuatmu mati pena-
saran ketahuilah aku adalah Si Tembang Kematian,
aku juga dikenal sebagai Bayangan Maut!" menerangkan suara dari dalam kereta.
Tercekatlah Tapa Gedek mendengar ucapan
orang. Bayangan Maut adalah momok paling mena-
kutkan yang pernah menggegerkan dunia persilatan
belum lama berselang. Beberapa purnama terakhir
Tapa Gedek sering mendengar keganasan Bayangan
Maut yang melakukan pembantaian terhadap kor-
ban-korbannya tanpa memandang bulu. Pembunu-
han yang dilakukannya tanpa sebab-sebab yang je-
las. Biasanya korban yang tewas darahnya lenyap,
tubuh kering penuh cabikan luka. Tapi sejauh ini
Tapa Gedek tak melihat apa hubungan Bayangan
Maut dengan Angin Pesut. Mendengar ucapannya
tadi jelas dia sangat membenci Angin Pesut.
11 Untuk sekian lamanya suasana di tepi hutan
Kalasan diselimuti kesunyian. Tapa Gedek meng-
hembuskan nafas sekedar mengusir ketegangan
yang merayapi perasaannya. Tapi kemudian dia ber-
kata. "Bayangan Maut, kedatanganku ke selatan Kotagede bukan untuk melenyapkan
jiwa orang lain
karena aku bukan malaikat maut. Aku datang kesa-
na untuk mengambil kitab ilmu Gelombang Naga
yang telah dicuri oleh Angin Pesut belasan tahun
yang silam. Karena kakek itu bersedia mengembali-
kan kitab yang kuminta bahkan kulihat dia juga


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjukkan tanda-tanda telah bertobat, perlu apa
aku membunuh orang seperti itu?" ucap si kakek.
Dari dalam kereta kuda terdengar suara lo-
longan disertai gerengan marah. Lalu bayangan
Maut memaki. "Tua bangka pengecut. Yang kulihat saat itu bukan rasa belas
kasihan pada Angin Pesut.
Justeru yang kulihat ketika itu adalah suatu bentuk kepengecutan. Kau sama
sekali tidak punya nyali
menghadapi laki-laki itu. Disaat kawan-kawanmu
menghadapi bahaya besar, kau dan Dewa Kodok
malah berdiri menonton. Malah kau kemudian ber-
sikap seolah memberi maaf Angin Pesut. Jahanam...
untuk segala ketidak perdulianmu itu aku akan
membuatmu mati penasaran!"
"Boleh saja kau bicara begitu. Tapi sebelum-
nya rasakan dulu pukulanku!" teriak Tapa Gedek.
Kakek itu selanjutnya acungkan jemari tangannya
ke depan tepat di bagian kereta kuda. Begitu tangan tertuju lurus ke arah kereta
kuda itu. Mendadak
sontak kereta berderak, lalu hancur berkeping-
keping disertai suara ledakan berdentum.
Tiga mayat terpelanting dikobari api. Puing-
puing menyala bertaburan di udara. Lalu terdengar
seruan kaget. "Pukulan Tanpa Ujud"!"
"Ha ha ha! Jika sudah tahu sebaiknya cepat
menyingkir dan tinggalkan tempat ini!" hardik Tapa Gedek. "Tapa Gedek, jangan
cepat berpuas diri. Engkau mengira pukulanmu sanggup menyentuhku. Li-
hatlah kemari, aku di sini berdiri tak jauh dari bela-kangmu!" kata Bayangan
Maut. Tapa Gedek laksana kilat segera balikkan ba-
dan, lalu memandang ke jurusan mana suara tadi
didengarnya. Kakek itu tersurut mundur dua lang-
kah begitu melihat tiga langkah di depannya berdiri tegak sosok seorang
perempuan tua bertubuh bung-kuk berpakaian serba hitam diselimuti kabut putih
berdiri tegak dengan wajah dingin serta tatap ma-
tanya yang sangat angker. Tak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri Tapa Gedek menyeka matanya
berulang-ulang. Mata Tapa Gedek mendelik besar.
Sosok wajah angker itu kini sama sekali telah berubah. Yang dilihat kakek itu
bukan lagi seraut wajah seorang perempuan, tapi sebentuk wajah serigala.
"Bagaimana mungkin. Mustahil sekali. Yang
kulihat tadi jelas sosok seorang nenek rentah berwajah angker berkulit hitam.
Tapi mengapa kini tiba-
tiba berubah menjadi serigala?"
Tapa Gedek gelengkan kepala, matanya men-
gerjap lalu kembali memandang ke depannya. Kem-
bali kakek itu dibuat tercengang. Sosok serigala
yang baru dilihatnya sebentar tadi sekarang telah
kembali menjadi sosok seorang nenek tua sebagai-
mana yang pertama tadi dilihatnya! Begitulah sosok yang diselimuti kabut itu
terus berubah silih berganti tiada putus-putusnya.
"Kau... kau bukan manusia, tapi makhluk se-
rigala jejadian"!" desis Tapa Gedek. Saat itu dia siap menghantam sosok di
depannya dengan pukulan
Delapan Tinju Mabuk.
Makhluk berujud setengah manusia setengah
serigala itu keluarkan suara lolongan yang kemu-
dian disusul dengan tawa bergema. Sambil berdiri
berkacak pinggang begitu tawanya lenyap dia berka-
ta. "Apapun dan siapapun diriku ini tidak menja-
di soalan. Yang jelas saat ini juga aku akan meng-
habisi manusia pengecut sepertimu!"
"Hem, begitu. Sebelum kau membunuhku,
aku yang akan menghabisimu lebih dulu!" kata si kakek. Lalu sambil berkata
begitu dia menghantam
Bayangan Maut dengan pukulan Delapan Tinju Ma-
buk yang telah disiapkannya sejak tadi. Terhuyung
kakek ini segera hantamkan kedua tangan yang ter-
kepal delapan kali berturut-turut. Hantaman perta-
ma mengincar sasaran di kedua kaki lawan, hanta-
man ke dua mengarah pada bagian perut dan han-
taman ketiga melesat ke bagian kepala. Untuk dike-
tahui, biasanya benda atau makhluk apapun yang
terkena pukulan ini pasti akan hancur berkeping-
keping. Sementara itu si nenek yang selalu berganti-
ganti rupa nampak tertawa mengekeh begitu melihat
Delapan Tinju Mabuk yang disertai menyambarnya
sinar putih menghantam tiga bagian tubuhnya seka-
ligus. "Hanya Delapan Tinju Mabuk siapa yang takut!" dengus si nenek. Lalu
seakan tidak menghiraukan keselamatan dirinya Bayangan Maut berdiri
berkacak pinggang. Dibiarkannya Tiga bagian tu-
buhnya menjadi sasaran lawan. Sedangkan si kakek
sendiri terkejut tak menyangka lawan mengenali
nama pukulan yang dilancarkannya.
Delapan Tinju Mabuk tak pelak lagi menghan-
tam tiga bagian tubuh Bayangan Maut. Delapan le-
dakan keras terjadi berturut-turut membuat sosok si nenek bergetar hebat. Lalu
ujudnya lenyap diselimuti kabut tebal yang secara aneh bermunculan dari
sekujur tubuhnya.
Tapa Gedek pentang matanya lebar-lebar,
mencoba menembus kepekatan kabut tapi gagal. Dia
pun akhirnya tingkatkan kewaspadaannya sambil
menjaga segala kemungkinan yang tidak terduga.
Kabut tebal kemudian lenyap. Secara perla-
han pemandangan menjadi terang kembali. Di depan
sana Bayangan Maut masih tegak di tempatnya tan-
pa kekurangan sesuatu apa.
Kaget di hati si kakek bukan kepalang.
Sepasang matanya mendelik besar mulut
ternganga memandang lawan dengan tatapan penuh
rasa tak percaya. Bayangan Maut melolong panjang
disertai tawa panjang dingin menggidikkan. "Masih adakah pukulan lainnya yang
kau miliki, Tapa Gedek. Keluarkanlah seluruhnya selagi masih ada ke-
sempatan!" seru si nenek yang wajahnya terus saja
berubah-ubah tak berkeputusan.
"Kuyakini kau pasti bukan manusia. Tapi iblis jejadian!" dengus Tapa Gedek. Saat
itu dia melihat sosok Bayangan Maut mulai gerakkan kakinya melangkah tindak demi
tindak mendekati si kakek.
Tapa Gedek tidak tinggal diam. Dia hantam-
kan tangan kirinya yang berisi pukulan Delapan Tin-ju Mabuk juga hantamkan
tangan kanannya dengan
menggunakan pukulan Tanpa Ujud.
Begitu dua tangan digerakkan ke depan men-
dadak sontak terdengar suara deru angin dingin.
Dari tangan kiri terlihat lima bayangan tinju men-
gandung hawa panas disertai berkiblatnya sinar pu-
tih menyilaukan mata.
Buum! Slassh...! Hantaman dua pukulan berbeda yang mende-
ra sekujur tubuh Bayangan Maut membuat tubuh
nenek itu luluh lantak. Walaupun begitu secara
aneh langsung melesat di udara kemudian berdiri
tegak di atas sebuah cabang pohon. Memandang pa-
da Tapa Gedek yang kembali dibuat tercengang,
Bayangan Maut umbar tawa bergelak.
"Tapa Gedek. Kini saatnya bagimu untuk me-
nerima seranganku. Sepuluh kuku jari tangan ini
akan mencabik tubuhmu. Mulutku yang bertaring
ini siap pula menyedot dan menghisap habis darah-
mu. Tapa Gedek bersiaplah untuk mati!" berkata begitu seolah memiliki sayap
Bayangan Maut dengan
dua tangan terpentang lebar meluncur deras ke arah si kakek. Bukan main cepat
gerakan Bayangan
Maut. Hanya dalam waktu tak sampai sekedipan
mata saja sepuluh jari tangannya yang berkuku ta-
jam berwarna hitam pekat menyambar leher dan wa-
jah Tapa Gedek.
Kakek tua itu terkejut setengah mati. Namun
dengan gerakan aneh dan mustahil dapat dilakukan
oleh seorang jago silat biasa dia sudah liukkan tubuhnya ke belakang sambil
berjumpalitan sela-
matkan diri dan Tapa Gedek masih sempatnya le-
paskan tendangan keras ke perut lawan.
Dess! Tendangan itu tidak berakibat apapun bagi
Bayangan Maut. Dia tetap berdiri tegak tak bergem-
ing. Sebaliknya Tapa Gedek yang sudah berhasil se-
lamatkan diri diam-diam dibuat heran. Tendangan
yang dilakukannya tadi jelas mengenai perut lawan.
Tapi ada satu hal yang dirasakannya aneh. Meski-
pun tendangan tadi mengenai perut, tapi si kakek
tidak ubahnya seperti menghantam angin.
"Mungkinkah dia bukan manusia sungguhan.
Tubuhnya sangat lembut seperti kapas. Tendangan-
ku tidak berakibat apa-apa, begitu juga dengan pu-
kulan yang kulakukan. Sekarang apa dayaku..."!"
Tapa Gedek membatin dalam hati.
"Ha ha ha. Tapa Gedek, jika maut sudah da-
tang menjemput. Kemana badan hendak bersem-
bunyi lindungi nyawa" Begitu banyak orang yang
takut pada datangnya ajal, tapi jika akhir batas ke-hidupan telah sampai tak
seorangpun yang mampu
menundanya walau barang sedetik. Kakek tua, aku
yang meminta. Serahkan nyawamu sekarang juga!"
berkata begitu dengan kecepatan laksana angin ber-
hembus Bayangan Maut menyerbu ke depan. Karena
ujudnya merupakan sosok yang tidak wajar, hanya
dalam waktu sekejap dia telah sampai pada sasaran
yang dituju. Tapa Gedek yang sadar dengan keheba-
tan yang dimiliki lawan tidak tinggal diam. Diapun melepaskan pukulan Tiga Topan
Menggulung Bumi.
Akibatnya sungguh luar biasa. Deru angin
laksana topan melesat dari telapak tangan si kakek.
Membuat Bayangan Maut tersapu mental, dua kuda
penarik kereta terpelanting ke udara melesat dan jatuh entah kemana. Tidak hanya
sampai disitu saja,
pohon-pohon besar yang dilanda pukulan Tapa Ge-
dek berpelantingan tercabut sampai ke akar-akarnya lalu melayang di udara
kemudian jatuh di kejauhan
suara menggemuruh berkerosakan.
Sadar lawan sulit ditandingi, begitu melihat
Bayangan Maut jatuh berguling-guling, Tapa Gedek
segera balikkan tubuhnya. Kemudian tanpa menoleh
lagi dia langsung berkelebat tinggalkan lawannya.
Ketika Bayangan Maut bangkit berdiri dengan
tubuh tergontai-gantai dia tak melihat lawan masih berada di tempatnya. Tapa
Gedek yang sebelumnya
tak pernah dia duga memiliki ilmu setinggi itu sudah lenyap seperti ditelan
bumi. "Kurang ajar. Tua bangka itu tak seharusnya
lolos dari tanganku. Baru kali ini Bayangan Maut
merasa kecolongan, gagal membunuh lawannya." gerutu si nenek.
Masih kurang yakin lawannya benar-benar
sanggup meloloskan diri, Bayangan Maut mengo-
brak-abrik tempat di sekitarnya. Tapa Gedek yang
dia cari, si kakek yang dia inginkan nyawanya ter-
nyata tak ditemukan.
"Tua bangka itu memang berilmu tinggi.
Sayang urusanku tak bisa ditunda, aku harus ikut
menyaksikan pertempuran hidup matinya orang
yang memiliki ikatan darah. Kejadian yang telah ku-susun puluhan tahun itu tidak
boleh gagal. Aku in-
gin melihat kematian Angin Pesut. Aku ingin dia ma-ti di tangan darah dagingnya
sendiri!" kata Bayangan Maut. Lalu tak lama kemudian sosok yang sela-
lu berubah-ubah ini dongakkan wajahnya ke langit.
Langit mulai gelap, si nenek keluarkan suara tawa
dan lolongan silih berganti. Setelah itu secara perlahan sosoknya pun diselimuti
kabut, kemudian ka-
but membubung tinggi lalu lenyap di udara. Bersa-
ma lenyapnya kabut itu, maka sosok si nenek hilang raib tak berbekas.
Angin dingin berhembus dan kegelapan me-
nyelimuti alam sekitar. Seiring dengan bergantinya suasana maka serangga malam
mulai bermunculan
menyanyikan senandung pilu menyedihkan.
12 Si gendut Gentong Ketawa ini melompat turun
dari ketinggian pohon yang tadi dijadikan tempat
bersembunyi. Setelah gadis beracun bernama Indah
Sari Purnama pergi meninggalkan Setan Satu, si
gendut segera menghampiri Setan Satu yang dalam
keadaan terkapar, tulang pinggang remuk dan nafas
megap-megap. Begitu mendengar suara langkah kaki, Setan
Satu sekaligus merupakan murid Si Pengemis Nya-
wa dengan tubuh lemah Setan Satu berusaha pa-
lingkan kepala memandang ke arah orang yang da-
tang. Karena pemandangan matanya agak menga-
bur di samping kepalanya mendenyut sakit, Setan
Satu tak dapat melihat orang yang datang secara jelas. Barulah setelah orang itu
bergerak mendekati
dan berdiri tegak dekat kepalanya dia melihat satu sosok gendut besar luar
biasa. Sosok seorang kakek berhidung pesek berpipi tembem. Bibirnya selalu
tersenyum riang ceria.
Setan Satu kerutkan keningnya, otak berusa-
ha keras untuk mengingat sekaligus mengenali siapa adanya kakek ini. Setelah
agak lama, barulah ingatan dan jalan pikirannya seolah terbuka.
Diapun tercekat dan jadi merutuk dalam hati.
"Kakek ini, bukankah dia Gentong Ketawa
yang oleh Empu Barada Sukma aku diperintahkan
untuk meringkusnya hidup atau mati"! Sialan! Men-
gapa dia muncul di saat diriku berada dalam kea-
daan seperti ini?" kata Setan Satu. Kemudian dia berkata lagi. "Mudah-mudahan
dia tidak tahu siapa adanya diriku ini. Dia bisa menghabisiku jika sampai tahu
aku adalah orang yang diutus Empu Bara-
da untuk menangkapnya!"
Setan Satu pejamkan matanya. Dia menge-
rang tak berkeputusan. Si kakek yang tadinya me-
nyaksikan apa yang terjadi di tempat itu tersenyum sambil elus-elus janggutnya


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang cuma beberapa
lembar. Kemudian dengan ramah dan setengah ber-
gurau dia ajukan pertanyaan. "Anak muda apa sebenarnya yang telah terjadi dengan
dirimu. Aku me-
lihat kau sangat menderita sekali! Kalau saja ada yang dapat kulakukan untuk
meringankan beban
penderitaanmu...!" Setan Satu buka matanya. Dia pandangi Gentong Ketawa.
"Seandainya saja aku dapat minta tolong kepadanya. Begitu sembuh den-
gan mudah aku pasti dapat meringkusnya." fikir pemuda itu. "Orang tua, seseorang
telah mencede-raiku begini rupa. Tulang punggungku berpatahan.
Kalau boleh aku meminta, tolonglah aku." kata si pemuda.
Si kakek bersungut-sungut, pura-pura meme-
riksa lalu berkata dengan nada prihatin. "Ah kasihan sekali. Engkau ini pemuda
aneh, wajahmu ber-
sisik tangan juga bersisik sampai sebatas siku. Sebelum aku menolong dapatkah
kau mengatakan pa-
daku, dirimu ini turunan manusia atau ular?"
"Herh...herr...!" Setan Satu keluarkan suara erangan. Dengan nafas megap-megap
dia menjawab. "Kakek gendut, aku... aku turunan manusia. Ibuku manusia, ayahku ular. Aku...
aku sudah tak sanggup lagi."
"Melihat keadaanmu rasanya aku tak sang-
gup menolongmu. Kau mengatakan tulang pung-
gungmu patah. Sayang aku bukan dukun patah tu-
lang. Bagaimana jika kusambung tulangmu yang pa-
tah dengan bambu?" tanya si kakek.
Setan Satu tentu saja jadi melengak menden-
gar ucapan Gentong Ketawa.
"Kek... kakek apa maksudmu?" tanya si pemuda. Dia nampak gugup juga panik.
Si gendut umbar tawanya sampai perutnya
yang besar bergoyang-goyang. Tak lama kemudian
begitu tawanya terhenti dia berkata." Maksudku" Ah masa' kau tidak tahu.
Bukankah kau mengaku ber-gelar Setan Satu" Bukankah kau tengah mencari
seorang buronan bernama Gentong Ketawa?" sindir si kakek. Pucatlah wajah Setan
Satu. "Kk... kau...
apakah kau yang bernama Gentong Ketawa?" tanya
Setan Satu dengan suara tercekat.
"Ha ha ha. Benar... akulah Gentong Ketawa.
Kakek tolol yang kau sebut-sebut sebagai buronan."
"Ah...!" Setan Satu keluarkan keluhan tertahan. "Mengapa" Kau kaget" Kudengar
kau mengatakan dirimu ini adalah utusan Empu Barada Suk-
ma. Apakah betul?"
"Kakek gendut, memang aku utusan Empu
itu." kata si pemuda berterus-terang.
"Bagus. Jika begitu aku ingin ajukan perta-
nyaan, apakah kau tahu silang sengketa apa yang
terjadi antara diriku dengan Empu itu?" tanya si kakek. "Menurut Empu Barada,
kau adalah manusia paling keji yang pernah membuat sengsara penduduk
sekadipaten." kata Setan Satu.
Mendengar kata-kata yang diucapkan pemu-
da itu, meledaklah tawa si kakek.
"Benar rupanya kata orang, lidah tidak bertu-
lang. Dengan mudahnya orang memutar balik fakta
dan kenyataan. Empu Barada Sukma, jika umurku
panjang akan kucari dirimu, lalu kupotong lidahmu.
Kau jelas-jelas berusaha menutupi kesalahanmu
sendiri." ujar si kakek sambil menahan kegeramannya. "Setan Satu. Ketika silang
sengketa itu terjadi mungkin kau masih berupa air. Kau tak tahu kejadian yang
sesungguhnya. Sebenarnya aku ingin me-
lampiaskan kekesalan hatiku padamu. Tapi mengin-
gat cidera berat yang kau alami, aku masih mau
memberi maaf. Silakan kau kembali, temui Empu
keparat itu, katakan padanya jika dia ingin membu-
nuhku silakan suruh dia datang sendiri menemui-
ku!" "Orang tua, tak mungkin...!" ujar Setan Satu.
"Mengapa tak mungkin?"" tanya si kakek.
"Bukankah aku telah memberimu kesempa-
tan hidup?"
"Aku tidak mungkin kembali berhampa tan-
gan!" kata pemuda itu.
"Kurang ajar keparat. Membawa diri sendiri
kau belum tentu sanggup, konon kau berniat mem-
bawa diriku. Dengan apa diriku hendak kau bawa"
Dengan berkuda atau dengan kau dukung di pung-
gungmu yang patah"!"
"Kakek gendut kau...?" Setan Satu belalakan matanya.
"Ya, aku menyerahkan diri padamu agar ha-
timu menjadi puas. Sekarang kau bangkitlah, bawa
aku kehadapan Empu Barada Sukma!" seru si Gentong Ketawa.
Setan Satu sangat gembira sekali. Seakan lu-
pa dengan cidera yang dialaminya dia mencoba
bangkit. Namun tiba-tiba dia teringat sesuatu. Da-
lam keadaan menderita sakit begitu rupa mana
mungkin baginya dapat membawa si gendut.
"Kurasa lebih baik kuhabisi saja dia di tempat ini agar aku tak repot membawanya
kehadapan Em-pu Barada Sukma!" berfikir begitu Setan Satu diam-diam mengambil
senjata rahasianya berupa seekor
ular berwarna kuning. Ular sebesar kelingking ini
kemudian disambitkannya ke arah si gendut. Meli-
hat ini si kakek tentu saja terkejut bukan main.
Dengan cepat dia kibaskan tangannya ke arah ular
yang setiap gigitannya mengandung racun memati-
kan itu. Angin keras yang melesat dari telapak tangan
si kakek membuat senjata rahasia yang disam-
bitkan Setan Satu berbalik.
Setan Satu tercekat begitu melihat senjata
rahasianya melesat kembali ke arahnya dengan ke-
cepatan berlipat ganda. Tanpa sempat mengelak lagi ular kuning itu menghantam
dada, tembus ke jantung. Setan Satu melolong panjang, tubuhnya
menggelepar. Dalam waktu singkat seluruh badan-
nya berubah membiru dan dia tewas detik itu juga.
"Kurang ajar, dikasih hidup malah hendak
merampas nyawa orang!" dengus si gendut.
"Sebaiknya kususul saja gadis tadi!" kata si kakek lagi.
13 Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan berlari kencang laksana dikejar-kejar se-
tan. Semula dia yang berniat mencari anak satu-
satunya begitu sampai di Wates tiba-tiba berhenti di sebuah pemakaman yang sudah
tidak terurus. Kakek beralis dan berambut merah itu memandang ke
satu pohon beringin putih yang terdapat di sudut
sebelah kiri makam. Kemudian berjalan gontai
menghampiri kubur yang terdapat di bawah pohon
beringin itu. Sampai di bawah pohon beringin si kakek
hentikan langkah. Perhatiannya tertuju pada batu
nisan dimana di atas batu itu tertera nama orang
yang terkubur di makam itu.
Paladirja! Nama itu sempat terbaca oleh Angin Pesut.
Membuat si kakek ingat pada kejadian sepuluh ta-
hun yang lalu. Paladirja adalah kakek sakti pencipta ilmu Menyusup Bumi. Sepuluh
tahun yang lalu Angin Pesut pernah menemui orang tua itu dengan niat agar
Paladirja bersedia mengajarkan ilmu Menyusup
Bumi kepadanya. Tapi orang tua itu memberikan sa-
tu syarat. Syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh si kakek, sampai akhirnya
terjadi pertarungan sengit yang berakhir dengan kematian Paladirja.
Kini si kakek berdiri mematung, kepala ter-
tunduk, sedangkan matanya nampak berkaca-kaca.
Nampak jelas dia tengah berusaha menahan gun-
cangan batin serta rasa kesal yang tiada tara.
"Paladirja, maafkan segala khilap dan salah-
ku. Sama sekali aku tidak bermaksud membunuh-
mu. Kau terlalu memaksaku, namun sayang aku tak
dapat memenuhi segala keinginanmu!" ujar si kakek dengan suara bergetar.
"Agaknya kini aku harus menanggung segala
akibat yang mestinya tidak perlu terjadi. Mungkin
segala rasa penyesalan itu datangnya sudah sangat
terlambat. Sahabat... kurasa akulah orang yang paling celaka di dunia ini. Dalam
sisa hidupku aku tidak rasakan ketenteraman lagi. Aku seperti dikejarkejar
dosa!" Beberapa saat kemudian si kakek terdiam.
Dia memandang ke arah nisan dengan tatap mata
menerawang kosong.
Lalu Angin Pesut maju satu langkah, tangan
terjulur bermaksud menyentuh kepala makam. Tapi
mendadak sontak tanpa pernah terduga tanah dis-
ekitar pemakaman itu bergetar keras diselingi den-
gan suara berderak-derak aneh seakan ada sesuatu
yang bergerak-gerak di bawah sana.
Si kakek tarik balik tangannya yang hendak
menyentuh kepala nisan. Dengan perasaan heran
dia pandangi tanah pemakaman yang terdapat di
sekitarnya. Ternyata guncangan semakin menghe-
bat, membuat Angin Pesut semakin kaget.
Mengira para penghuni kubur bangkit dari
kematiannya, dengan cepat kakek ini melesat ting-
galkan makam yang disambanginya. Kemudian di
lain saat dia telah jejakkan kakinya di luar tanah pemakaman. Akan tetapi baru
saja kakinya menyentuh tanah. Sejarak satu tombak di depannya men-
dadak tanah rengkah terbelah. Dari balik tanah
yang terkuak menganga melesat dua bayangan ber-
turut-turut. Bayangan pertama berpakaian serba hi-
tam, sedangkan bayangan kedua berpakaian serba
putih. Angin Pesut dalam, kagetnya tersurut mun-
dur dua langkah. Cepat sekali dia memandang ke
depan. Kakek ini lebih kaget lagi ketika melihat di depannya sana berdiri tegak
dua sosok tubuh. Yang
satu adalah seorang gadis cantik berpakaian serba
putih, rambut panjang terurai. Sedangkan satunya
lagi adalah sosok seorang nenek angker. Bagian wa-
jahnya nampak rusak dipenuhi bekas luka, gigi ber-
taring, lidah terjulur. Hidung Sumplung, telinga lenyap entah kemana, dadanya
berlubang. Kaki runc-
ing berbentuk kaki kuda sedangkan bagian ujung-
nya runcing seperti mata tombak.
"Nenek Palasik"!" desis Angin Pesut begitu mengenali wajah dan penampilan orang.
Terkecuali gadis yang tidak dikenal oleh Angin Pesut. Nenek itu tertawa dingin menyeramkan.
"Kk... kau rupanya telah menguasai ilmu Me-
nyusup Bumi?" kata kakek itu lagi. Nenek angker ini kembali perdengarkan suara
tawa bergelak. Dia kemudian memandang pada Angin Pesut dengan tatap
matanya yang belok lebar. "Angin Pesut... makam siapa yang kau jambangi. Makam
Paladirja?" si nenek ajukan pertanyaan.
Di sampingnya gadis berpakaian serba putih
yang bukan lain adalah Mutiara Pelangi murid ne-
nek itu sendiri dengan suara perlahan bertanya.
"Guru siapakah kakek aneh itu?"
Tanpa memandang pada sang murid nenek
Palasik menjawab. "Dialah Angin Pesut, Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan yang
kesohor itu. Dia pula
yang telah membunuh uwa gurumu Paladirja."
"Memang benar aku sedang menyambangi
kubur Paladirja sahabatku." terdengar suara perlahan Angin Pesut.
Nenek Palasik umbar tawanya.
"Setelah kau bunuh dia secara keji, masihkah
kau mengaku dia sahabatmu. Tua bangka tak tahu
diri, bukankah sepuluh tahun yang lalu kau datang
padanya, mengemis ilmu Menyusup Bumi. Lalu ke-
tika kakangku tak memberikannya kau langsung
membunuhnya"!"
Angin Pesut tersenyum tipis. "Tidak begitu ce-ritanya, Palasik. Benar aku minta
diajarkan ilmu Menyusup Bumi. Betul kuakui aku membujuknya.
Tapi ketika dia mengajukan satu syarat, aku keberatan. Kemudian kubatalkan
niatku untuk memiliki
ilmu itu karena aku tak sanggup memenuhi persya-
ratan yang diajukannya." jawab si kakek.
Mata belok nenek Palasik mendelik besar.
"Satu syarat..." Syarat apa...?" hardik perempuan itu sengit. "Dia meminta jika
aku ingin mendapatkan il-mu itu, aku diharuskan menikahimu! Terus-terang
aku menolak, karena aku merasa tak sanggup men-
jalaninya. Tapi dia rupanya tersinggung. Penolakan-ku dianggapnya sebagai suatu
penghinaan. Kemu-
dian dia menyerangku. Begitulah kenyataan yang
sebenarnya!"
Si nenek terdiam, mulutnya seolah terkunci.
Pelipisnya bergerak-gerak, pipi menggembung se-
dangkan tubuhnya bergetar menahan amarah. Den-
gan suara keras dia berteriak. "Manusia penipu, tukang fitnah keji. Aku tahu
kakangku bermaksud
membuat aku bahagia, tapi apakah kau mengira
aku suka denganmu" Manusia jahanam. Aku me-
nyadari cacat diriku sepenuhnya, aku juga tidak
pernahi bermimpi hidup bersama dengan dirimu!"
"Palasik. Aku bicara apa adanya."
"Persetan dengan omong kosongmu!" teriak si nenek gusar.
"Palasik, maafkanlah diriku. Pada saat itu
aku terpaksa melawannya kalau tidak aku yang ter-
bunuh!" ujar si kakek pelan.
"Minta maaflah pada setan di neraka."
"Aku mohon pengertianmu. Beri aku kesem-
patan untuk menebus dosa kesalahan yang pernah
kulakukan!"
"Pengertian" Pengertian apa. Apakah jika aku
memberimu maaf, lalu saudaraku dapat hidup kem-
bali?" tanya si nenek dengan mata mendelik.
"Belum pernah aku mendengar ada orang ma-
ti bisa hidup kembali." kata si kakek pasrah.
"Itu berarti kau berhutang padaku."
"Hutang" Apa maksudmu?" tanya si kakek.
"Kau berhutang nyawa padaku dan hanya da-
pat ditebus dengan nyawamu pula!" kata nenek Palasik. Mendengar ucapan orang tua
itu, Angin Pesut tertawa tergelak-gelak. Beberapa saat kemudian ta-wa Angin
Pesut lenyap. Kemudian dia berkata.
"Kau menginginkan nyawaku" Akh... kebetu-
lan sekali. Sudah lama aku ingin mati. Tapi sayang malaikat maut rupanya masih
belum bersedia menjemputku. Sekarang lakukanlah. Tapi ingat, karena
aku merasa tidak bersalah. Maka aku hanya mem-


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berimu kesempatan sepuluh jurus. Jika setelah se-
puluh jurus kau tak mampu membunuhku, aku
pasti akan melakukan perlawanan!" tegas si kakek.
Nenek Palasik semburkan ludah diatas tanah.
"Aku tak memerlukan waktu selama itu kalau
cuma ingin membunuhmu. Cukup lima jurus jiwa-
mu pun melayang!" kata perempuan itu sinis.
"Baiklah, permintaanmu kululuskan. Tapi sa-
tu hal yang harus kau ingat, kakangmu tewas bukan
karena kesalahanku. Dia terlalu memaksa dan per-
kelahian yang terjadi diantara kami berlangsung
dengan sangat adil!" jelas Angin Pesut.
"Mungkin aku dapat menerima pengakuanmu
jika nanti kau sudah terbunuh di tanganku!" kata si nenek. Perempuan angker itu
lalu berpaling pada
muridnya. Kepada sang dara dia berpesan.
"Pelangi, jangan kau campuri urusan kami.
Apapun yang terjadi nanti pada diriku tak usah kau sesali. Kau menyingkirlah!
Cari tempat yang aman!"
Meskipun merasa berat hati Pelangi terpaksa
turuti perintah gurunya. Dia menyingkir di bawah
pohon besar, tegak disana sambil mengawasi.
Dalam kegelisahannya memikirkan keselama-
tan sang guru, dalam hati sang dara berkata. "Angin Pesut, konon manusia keji
paling terkutuk di dunia persilatan. Tapi mengapa kulihat dia seperti berasal
dari kalangan baik-baik. Tutur katanya begitu so-pan, tidak ada amarah terlihat
di wajahnya, walau
guru memakinya dengan kata-kata menyakitkan!"
batin sang dara.
Sementara itu nenek Palasik tanpa mem-
buang waktu lagi diiringi satu teriakan melengking tinggi langsung menerjang ke
arah lawannya. Seperti yang mereka sama sepakati tadi, dalam waktu sepuluh jurus
Angin Pesut sama sekali tidak melakukan
perlawanan. Hal ini tentu membahayakan keselama-
tan dirinya. Karena seperti diketahui, nenek Palasik adalah salah satu tokoh
beraliran hitam dan putih
berpendirian mendua yang memiliki kesaktian san-
gat tinggi. Bahkan sepuluh tahun dia menggembleng
diri lahir batin demi untuk membalaskan kematian
saudaranya. Karena dia sadar, Angin Pesut adalah
manusia yang memiliki segala ilmu segala kepan-
daian. Tak pelak lagi dalam gebrakan pertama yang
tanpa perlawanan ini nenek Palasik berhasil menye-
rangkan sepuluh kuku jemarinya yang hitam pan-
jang beracun. Wajah si kakek hancur seketika, darah men-
gucur dari sepuluh luka yang mendera bagian wa-
jahnya. Masih beruntung Angin Pesut kebal terha-
dap serangan beracun sampai pada tingkatan ter-
tentu. Dan racun yang terkandung pada sepuluh
kuku si nenek belum sampai pada tingkat yang
membahayakan keselamatan jiwanya.
Kakek itu terhuyung. Sepuluh luka di wajah
secara aneh bertautan kembali begitu Angin Pesut
menyeka wajahnya. Nenek Palasik tentu saja menja-
di kaget. Tapi kemudian dia menggebrak lagi, kali ini dengan kecepatan luar
biasa yang diserangnya adalah bagian perut, sedangkan yang dipergunakannya
adalah jurus 'Sepuluh Tombak Kaki Kuda Menghan-
tam Karang'. Akibat yang ditimbulkannya sungguh
luar biasa sekali. Sepasang kakinya mendadak son-
tak berubah menjadi sepuluh bayangan. Menghan-
tam sekujur tubuh si kakek depan belakang dengan
kecepatan sulit diikuti kasat mata. Bersamaan den-
gan serangan Maha ganas yang dilancarkan nenek
itu, maka terdengar pula suara seperti daging tubuh dicabik-cabik mata tombak.
Ketika lawan melompat mundur untuk meli-
hat apa yang telah dilakukannya. Angin Pesut nam-
pak jatuh terduduk. Sekujur tubuhnya dipenuhi lu-
bang menganga. Darah bersimbah membasahi pa-
kaiannya. Kakek itu mengernyit kesakitan.
Pelangi palingkan muka memandang ke juru-
san lain tak tega melihat keadaan dan penderitaan si nenek yang menyedihkan itu.
Seperti luka di wajah, begitu Angin Pesut me-
nyeka luka-luka menganga di sekujur tubuhnya, lu-
ka itu seketika bertautan kembali. Terhuyung-
huyung Angin Pesut berdiri tegak.
Dia memandang ke depan. "Tujuh jurus kau
telah menyerangku. Masih ada tiga jurus lagi yang
harus kau selesaikan. Jika lewat dari sepuluh jurus
maka aku pasti melawanmu!" kata si kakek dengan suara perlahan penuh kesabaran.
"Keparat tengik. Kau mengandalkan ilmu se-
tan untuk menghadapiku!" maki si nenek. Dalam hati dia merasa malu sendiri,
karena tadi dia sempat sesumbar mau menghabisi Angin Pesut dalam lima
jurus. "Ilmuku memang kebanyakan ilmu sesat, Palasik. Kau harus maklum karena
aku mendapatkan
kitabnya pun dari hasil mencuri!"
Nenek itu tidak menjawab. Dia katubkan mu-
lutnya. Otaknya diputar hingga dia menemukan ca-
ra. Mungkin Angin Pesut cuma dapat dibunuh bila
lukanya tidak dapat bertaut kembali. Dengan begitu dia akan kehilangan banyak
darah. Ini sama artinya dia harus membuntungi kedua tangannya.
"Tua bangka... lihatlah kemari!" seru lawannya. Begitu Angin Pesut memandang ke
depan, ta- hu-tahu si nenek sudah berkelebat lenyap seolah
tubuhnya berubah menjadi bayangan. Beberapa kali
laksana setan gentayangan perempuan itu mengitari
tubuh lawan. Setelah itu dua kakinya menyambar
bahu kanan dan bahu kiri si kakek.
Cras! Craas! Pluk! Laksana diterabas pedang kedua tangan si
kakek terbabat putus oleh kaki kuda berujung tom-
bak si nenek. Darah menyembur, Angin Pesut melo-
long kesakitan. Dua potongan tangan jatuh bergede-
bukan di bawah kaki si kakek malang. Sungguh
mengerikan sekaligus menyedihkan keadaan kakek
ini. Nenek Palasik tertawa puas melihat apa yang dilakukannya. Namun perempuan
itu mendadak ka-
get, wajahnya berubah menjadi pucat. Dengan mata
melotot tak percaya dia pandangi potongan tangan
lawan yang kini telah melesat ke atas bahu dan me-
nyatu dengan bahunya.
"Sepuluh jurus percuma telah terlewati. Ma-
sih ada kesempatan bagimu untuk meninggalkan
tempat ini. Jika kau tetap menyerangku, maka da-
lam jurus selanjutnya aku terpaksa melawanmu!"
kata Angin Pesut.
"Jahanam! Lawanlah aku. Ingin kulihat dalam
perlawananmu kau sanggup mempertahankan diri!"
Si nenek lalu sunggingkan seringai mengejek. Dia
keluarkan bentakan keras, tubuhnya kembali berke-
lebat lenyap. Masih dengan serangan tangan berupa
pukulan ganas yang dapat menghanguskan apa saja
nenek Palasik menyerang lawannya.
Yang diserang berkelebat ke udara, sosoknya
terus melesat membubung tinggi. Empat serangan
ganas lawan tidak mengenai sasaran. Serangan kaki
menghantam batu nisan, batu itu hancur berkeping-
keping. Sedangkan pukulan yang dilepaskan perem-
puan itu menghantam pohon di seberang makam.
Pohon hancur berderak lalu tumbang, bekas yang
terkena pukulan dikobari api. Si nenek mendengus,
hatinya penasaran. Dia pun jejakkan kaki hingga
kini tubuhnya melesat cepat ke udara mengejar ke
arah lawan. Pelangi yang menyaksikan semua itu
dibuat tercekat. Seumur hidup dia belum pernah
menyaksikan pertarungan hidup mati yang demikian
hebat. Dan yang lebih membuat sang dara tambah
tercengang. Baik gurunya maupun Angin Pesut yang
kini terlibat pertarungan dalam ketinggian itu tak terlihat sama sekali. Mereka
berubah menjadi
bayangan. Bentakan dan pukulan yang bertemu mengge-
legar di udara, membuat pengang telinga. Pelangi
terpaksa tutupi kedua telinganya. Sementara itu diatas ketinggian, baik Angin
Pesut dan lawannya sa-
ma melepaskan serangan mautnya. Beberapa kali
tendangan yang dilakukan nenek Palasik berhasil
dimentahkan oleh si kakek. Tapi tak urung telapak
tangan si kakek yang dipergunakan untuk menang-
kis robek besar mengucurkan darah tersambar tom-
bak di ujung kaki nenek Palasik. Tanpa menghirau-
kan luka yang bertaut kembali. Kakek itu menghan-
tam lawan dengan pukulan Iblis Berkejaran Di Da-
lam Kuil. Tapi pada saat yang sama begitu kedua
tangan kakek itu didorong ke depan, lawan mem-
barenginya dengan pukulan 'Prahara Melanda Bu-
mi'. Diekh...! Duuk! Bentrokan tenaga sakti yang sangat tinggi
mengepulkan asap hitam disertai pijaran bunga api.
Dua sosok tubuh sama terlempar ke belakang. Lalu
mereka sama bergulingan di udara, kemudian me-
luncur ke bawah. Nenek Palasik jatuh bergedebu-
kan. Sedangkan Angin Pesut dengan gagahnya dapat
jejakkan kakinya di atas tanah.
Nenek Palasik menggerung, tangannya yang
berbenturan dengan tangan lawan bengkak meng-
gembung seperti ada tulangnya yang remuk di ba-
gian dalam. Sedangkan dari sudut bibir nenek ini
meneteskan darah kental. Perempuan itu seka darah
di mulutnya, sambil keluarkan suara menggembor
dia meninju tanah di hadapannya. Seketika sosok
nenek itu amblas lenyap di dalam bumi.
"Ilmu Menyusup Bumi...!" desis Angin Pesut menyebut ilmu yang dipergunakan oleh
lawannya. Diapun bersikap waspada. Sementara pada saat itu
tanah di bawah sepertinya ada angin terdengar ber-
gemuruh. Begitu si kakek memandang ke bawah,
tanah terbelah. Merekah. Kemudian ada tangan me-
nyambar kakinya. Si kakek kerahkan tenaga dalam
untuk menarik kakinya. Tapi satu sentakan yang
luar biasa hebat malah membuat Angin Pesut am-
blas ke dalam tanah, lalu lenyap dari pandangan
mata. Di dalam tanah terdengar suara bergedebu-
kan seperti orang menggebuki anjing yang hendak
dipotong. Terdengar pula lolongan tangis si kakek.
Lalu permukaan tanah nampak bergejolak hebat.
Rupanya Angin Pesut yang sempat diseret lawan ke
dalam tanah meronta-ronta. Selanjutnya ada leda-
kan-ledakan mengerikan disertai kobaran api yang
muncul dari dalam tanah. Setelah itu tanah ter-
bongkar. Angin Pesut melesat keluar dengan pa-
kaian dan tubuh tercabik-cabik tak karuan.
Apa sebenarnya yang terjadi. Kiranya ketika
nenek Palasik dengan ilmu Menyusup Bumi berhasil
menyeret lawan ke dalam tanah. Dengan leluasa dia
menghajar Angin Pesut. Sepuluh kukunya mencabik
dada, wajah dan perut lawan hingga ke kaki. Angin
Pesut tentu dibuat tak berdaya karena dia tidak
memiliki ilmu sejenis. Hanya dalam waktu singkat
dia menjadi bulan-bulanan lawan. Si kakek yang terluka parah merasakan
penderitaan sakit yang luar
biasa. Pada saat dia tersakiti seperti itu, maka secara alamiah, ilmu liarnya
yang bernama ilmu Ratap
Langit bekerja dengan sendirinya menghantam si
nenek hingga perempuan itu mencelat entah kema-
na, kemudian sebagian reaksi ilmu itu bermunculan
ke permukaan tanah berupa letupan lidah api yang
membakar. Dengan bantuan ilmunya itu pula Angin
Pesut dapat menyelamatkan diri dari dalam tanah.
Kini si kakek tegak berdiri dengan pakaian
tak karuan rupa, si kakek bahkan nyaris bugil. Na-
mun luka-luka di tubuhnya sebagaimana yang ser-
ing terjadi telah bertautan kembali. Dia hanya mengalami guncangan yang hebat
pada bagian dalam
dada. Di tempat lain di samping si gadis tanah juga terbelah. Kemudian muncul
satu kepala serta wajah
si nenek yang sudah babak belur penuh luka. Salah
satu tangannya menggapai, dilambaikan pada Pe-
langi yang kebingungan mencarinya karena tadi
sang guru tidak kunjung muncul.
"Guru... kau...!" hanya suara itu yang keluar dari bibir bagus sang dara.
"Muridku. Kita tinggalkan tempat ini. Guru-
mu ini sudah babak belur, butuh waktu untuk me-
mulihkan diri. Angin Pesut bukan manusia lagi,
mungkin dia sudah jadi kakeknya gondoruwo. Aku
tak sanggup menandinginya. Cepat pergunakan ilmu
Menyusup Bumi, ikuti aku." perintah si nenek dengan nafas kembang kempis.
Pelangi melongo. "Mengapa dengan cara me-
nyusup, guru. Bukankah kita dapat berjalan seperti biasa di atas tanah?" tanya
sang dara heran.
"Murid kurang ajar. Kita datangnya boleh be-
gitu, sambil membusungkan dada seperti jangan tak
tertandingi. Sekarang gurumu ini sudah keok, su-
dah kalah. Aku bahkan merasa kehilangan muka,
malu dilihat tua bangka itu. Padahal muka yang ada sudah tak karuan, lalu kini
tambah tak karuan
ujud. Ayo cepat kita minggat dari tempat ini. Datang seperti dewa, dan kini
harus pergi seperti pencuri.
Lewat jalan bawah...!"
"Ah, guru kau ternyata sangat menderita se-
kali." kata Pelangi merasa iba dan cepat lakukan apa yang diperintahkan gurunya.
"Aku menderita lahir batin, muridku. Aku ju-
ga kalah luar dalam dan atas bawah. Hiik...!" sahut si nenek disertai suara
seperti tercekik. Lalu terdengar suara gemuruh yang makin lama makin men-
jauh, akhirnya lenyap dari pendengaran.
Angin Pesut tidak mengejar. Dia cuma berdiri
tegak memperhatikan gerakan di permukaan tanah.
Lalu sambil dekap dadanya yang berdenyut si kakek


Gento Guyon 24 Perisai Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balikkan badan, melangkah perlahan dengan wajah
murung dan pikiran kusut.
TAMAT SEGERA TERBIT GELOMBANG NAGA Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Neraka Hitam 9 Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Kilas Balik Merah Salju 5
^