Pencarian

Gerombolan Bidadari Sadis 2

Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis Bagian 2


pertinya menyembunyikan sesuatu, terutama nama
Asmarani itu. Pasti dia punya hubungan dekat dengan
Malaikat Gelang Emas yang selama ini sengaja diraha-
siakan rapat-rapat! Mungkin saja Kencana Ratih mem-
punyai ilmu yang lebih tinggi dan pernah membuat
Malaikat Gelang Emas hampir mati, sehingga ia men-
jadi satu-satunya orang yang amat ditakuti oleh tokoh sesat itu. Jika Kencana
Ratih tidak berilmu tinggi, tak mungkin ia berani menghadang Malaikat Gelang
Emas yang ingin melepaskan serangan mautnya ke arah ku.
Jika Kencana Ratih tidak berilmu tinggi, tak mungkin
ia berani nekat ingin menyerang ke Gua Bidadari seo-
rang diri, sementara tubuhnya dia sudah tahu bahwa
para bidadari sadis di sana berilmu tinggi semua. Aku jadi penasaran sekali,
siapa sebenarnya Kencana Ratih itu, sampai-sampai dia bisa menyebutkan nama asli
guruku si Dewa. Geledek yang memang bernama Em-
pu Dirgantara itu" Walau ia mengaku mengetahui na-
ma Empu Dirgantara dari gurunya, tapi kurasa itu
hanya alasannya saja untuk menutupi jati dirinya!
Atau... barangkali Kencana Ratih ini sebenarnya tokoh tua yang punya ilmu awet
muda dan masih tetap cantik seperti baru berusia dua puluh tahun"! Jika benar
dia tokoh tua yang awet muda, maka pantaslah jika ia
kenal nama asli guruku, dan ia ditakuti oleh Malaikat Gelang Emas!"
Dua orang itu ribut sendiri. Mereka bertengkar
mulut di samping kanan Yoga. Bujang Lola sudah mu-
lai menangis sambil melontarkan debatan-debatannya.
Kencana Ratih sendiri semakin menampakkan sikap
keras kepalanya dan tak mau mengalah. Sampai tiba-
tiba, mata Yoga melihat berkelebatnya sebuah benda
mengkilap ke arah Bujang Lola. Benda itu melesat
dengan cepat dan tak diketahui oleh kedua orang ter-
sebut. Wuuut...! Taab...!
Pendekar Rajawali Merah secara tiba-tiba me-
lompat melintasi Bujang Lola dan Kencana Ratih. Ge-
rakannya itu mengagetkan keduanya, bahkan Kencana
Ratih sempat terpekik pelan ketika Yoga berguling satu kali di rerumputan.
"Yo..." Ada apa"!" Kencana Ratih menampak-
kan kecemasannya sambil mendekati. Yoga. Tapi Yoga
hanya membuka tangannya yang menggenggam itu
dan memperlihatkan sebuah senjata rahasia berben-
tuk bunga matahari dari logam putih anti karat yang
tajam dan tentunya beracun ganas itu. Kencana Ratih
terbelalak kaget melihatnya.
"Ada yang ingin membunuhku?" gumamnya te-
gang. "Entah kau atau Bujang Lola yang diincarnya!"
kata Yoga sambil memandang ke arah datangnya sen-
jata rahasia itu.
Seseorang berdiri di atas pohon, memandang ke
arah mereka. Yoga terkejut setengah mati melihat
orang yang ada di atas pohon dan yang diduga telah
melemparkan senjata rahasia itu. Mulut Yoga tak sa-
dar mengucapkan kata,
"Topeng Merah..."!"
Wuuut...! Orang itu pergi seketika setelah tahu
di pandangi oleh Yoga dan Kencana Ratih.
"Keparat dia...!" geram Kencana Ratih dalam nada marah. Kemudian ia segera lari
mengejar si Topeng Merah. Wuuut...!
"Kencana...!" seru Yoga melarang pengejaran itu, tetapi Kencana Ratih tidak
hiraukan seruan Yoga
dan ia tetap mengejar si Topeng Merah. Pada waktu itu sebenarnya Yoga ingin
lekas mengejar pula, tetapi
langkahnya terhenti karena ia mendengar suara Bu-
jang Lola mendesah berat.
"Uughh...!"
Bujang Lola masih berdiri, tapi wajahnya men-
jadi pucat pasi. Tangannya memegangi pundak kanan-
nya dengan gemetar. Yoga kembali terkejut setelah ia
mendekati Bujang Lola dan melihat satu senjata raha-
sia berbentuk bunga matahari itu ternyata telah me-
nancap di pundak kanan Bujang Lola, hampir dekat
dengan lehernya. Rupanya orang yang melemparkan
senjata rahasia itu menjadi penasaran setelah lempa-
ran pertamanya berhasil ditangkap oleh pendekar ber-
tangan satu, sehingga ia perlu melemparkannya satu
kali lagi pada saat pendekar tampan itu bicara dengan Kencana Ratih.
"Bujang Lola...! Diamlah dan tahan sebentar,
akan ku cabut senjata ini supaya racunnya tidak ba-
nyak menyebar dalam darahmu!"
Bruuk...! Bujang Lola lemas kakinya dan jatuh
terduduk. Punggung lelaki cengeng itu bersandarkan
batang pohon kecil di belakangnya. Ia menyeringai
menahan sakit dan tubuhnya menyentak ketika Yoga
mencabut senjata bundar yang menyerupai bunga ma-
tahari itu. Slaap..! "Ouh...!" pekikan itu dilanjutkan dengan helaan napas yang terengah-engah,
keringat dingin mengucur
dari kening dan sekitarnya, wajah kian memucat dan
badannya terasa dingin. Namun Bujang Lola sempat
perhatikan senjata yang dicabut oleh Yoga dari tubuh-
nya itu. "Sukesi...!" ucap Bujang Lola dengan suara mendesah.
"Apa maksudmu menyebut nama Sukesi?"
"Aku tahu, senjata ini milik Dewi Sukesi.
Oouh...!" ia mengerang sambil pejamkan mata kuat-kuat menahan rasa sakit.
"Tahanlah sebentar, aku akan mengobatimu!"
"Tak perlu! Lekas kejar saja Kencana Ratih.
Jangan sampai dia berhadapan dengan Dewi Sukesi,
sebab orang itu berilmu tinggi! Kencana Ratih bisa celaka jika berhadapan dengan
Dewi Sukesi!"
"Kau yakin senjata ini milik Dewi Sukesi?"
"Ya. Aku dulu sering melihat dia membunuh
para pelarian dengan senjata seperti ini! Dia... dia me-namakannya senjata Bunga
Neraka!" "Sukesi..."!" gumam Yoga antara percaya dan tidak. "Tapi... tapi kulihat tadi
dia mengenakan pakaian serba merah dan topeng merah juga! Apakah dia
bukan si Topeng Merah"!"
"Dia... dia boleh pakai topeng apa saja. Tapi
aku tak bisa ditipunya jika melihat bentuk senjata rahasianya yang bergerigi dan
beracun ini! Pasti Dewi
Sukesi-lah pemiliknya! Tidak salah lagi!"
Yoga terbungkam dalam kebingungannya. Bah-
kan ia sempat tak mengerti apa yang harus dilakukan
saat itu karena bingungnya menghadapi apa yang dili-
hat dan apa yang didengar dari Bujang Lola.
"Lekas... lekas susul Kencana Ratih sebelum
bentrok dengan Dewi Sukesi! Jangan pikirkan aku,
aku bisa mengobati lukaku ini!"
"Kau yakin bahwa kau benar-benar bisa men-
gobati lukamu?"
Bujang Lola mengangguk dengan masih teren-
gah-engah, "Sewaktu aku menjadi pelayan kehangatan Dewi Sukesi, dia banyak
bercerita tentang racun dalam senjata Bunga Neraka ini. Secara tak sengaja...
dia sebutkan cara pengobatannya jika terkena racun senjata
Bunga Neraka ini! Karena itu, cepatlah susul Kencana
Ratih dan bantu dia jika sudah telanjur berhadapan
dengan Sukesi. Biarkan aku mengatasi lukaku ini sen-
diri. Bantulah dia, Yoga. Ooh...!" Bujang Lola menangis dengan sedihnya. Entah
tangis apa yang ia lakukan
itu, tak jelas artinya, karena memang dia manusia ter-cengeng di dunia.
Pendekar Rajawali Merah akhirnya percaya
dengan penjelasan Bujang Lola. Tapi dalam pelarian-
nya mengejar Kencana Ratih, Pendekar Rajawali Merah
berkata dalam hatinya,
"Benarkah si Topeng Merah itu adalah Dewi
Sukesi" Bukankah pemilik pakaian merah dan topeng
merah adalah Sendang Suci alias Tabib Perawan yang
mencintai ku itu" Bukankah Sendang Suci sudah ku
sembunyikan di puncak Gunung Rimba Gading" Tapi
mengapa dia muncul di sini" Mengapa pula Bujang Lo-
la yakin betul bahwa senjata itu milik Dewi Sukesi"
Apakah Dewi Sukesi dan Sendang Suci itu satu orang"
Jika benar begitu, berarti Sendang Suci adalah anggo-
ta Partai Gadis Pujaan yang dipimpin oleh Bidadari
Manja itu" Ah... tapi aku tak yakin kalau Sendang Suci adalah satu dari sekian
banyak penghuni Gua Bidadari
itu"!" Yoga kehilangan jejak Kencana Ratih. Padahal ia telah mengejarnya dengan
jurus 'Langkah Bayu'
yang mampu bergerak cepat seperti menghilang. Jika
ternyata Kencana Ratih tidak tersusul itu berarti dia salah arah. Atau,
mungkinkah Kencana Ratih juga
mampu bergerak cepat dan mempunyai ilmu sejenis
'Langkah Bayu'" Mengingat Malaikat Gelang Emas saja
takut kepada Kencana Ratih, tak menutup kemungki-
nan bahwa perempuan cantik itu juga memiliki jurus
sejenis 'Langkah Bayu' yang mampu berlari dengan
sangat cepat dan melebihi terlepasnya anak panah dari
busurnya. Di atas tanggul sungai yang bertanaman tak
begitu rapat itu, Pendekar Rajawali Merah sempat ber-
henti dan mempertimbangkan arah. Matanya meman-
dang ke sana sini mencari kemungkinan pelarian Ken-
cana Ratih, tapi ia tidak menemukan pertanda apa
pun di sekelilingnya.
Hatinya masih diliputi perdebatan batin antara
Topeng Merah, Sendang Suci, dan Dewi Sukesi. Sung-
guh sebuah teka-teki yang sempat membuat Pendekar
Rajawali Merah dicekam kegelisahan yang menjengkel-
kan. "Atau, jangan-jangan aku terkecoh oleh pengakuan dan cerita dari Bujang
Lola" Jangan-jangan Bu-
jang Lola adalah orangnya Bidadari Manja yang bertu-
gas memata-matai sekaligus mengacaukan pikiran
orang yang bermaksud menyerang ke Gua Bidadari"
Tapi... mengapa Bujang Lola diserang dan agaknya ia
ingin dibunuh oleh Topeng Merah" Jika benar Topeng
Merah itu adalah Dewi Sukesi atau Sendang Suci yang
berpihak pada Partai Gadis Pujaan, maka rencana me-
lenyapkan nyawa Bujang Lola pasti punya alasan ter-
tentu. Mungkin karena mereka takut kalau Bujang Lo-
la sebarkan rahasia yang ada di Gua Bidadari itu" Jika rasa takut itu ada pada
pelempar senjata Bunga Neraka tersebut, maka apa yang dikatakan Bujang Lola
memang benar, bahwa ia memang tawanan yang ber-
hasil lolos dari gua tersebut, karenanya perlu dile-
nyapkan! Tapi bagaimana jika rencana melenyapkan
nyawa Bujang Lola itu timbul dari si pemilik Bunga
Neraka dengan alasan karena Bujang Lola hampir saja
membeberkan rahasia tempat-tempat jebakan kepada
Kencana Ratih" Itu berarti Bujang Lola ada di pihak
Bidadari Manja, dan mau berkhianat di depan Kenca-
na Ratih"! Edan! Mengapa jadi lebih membingungkan
lagi?" Sementara Pendekar Rajawali Merah mencari Kencana Ratih, ternyata yang
dicari sudah berhasil
berhadapan dengan orang yang dikejarnya, yaitu ma-
nusia bertopeng merah. Kencana Ratih memotong ja-
lan setelah mengetahui arah pelarian si Topeng Merah
dan segera melompat dari tempatnya, menghadang
langkah orang yang dikejarnya.
Jleeg...! Langkah si Topeng Merah terhenti seketika. Ia
tidak bermaksud berbalik arah atau mencari jalan lain untuk melanjutkan
pelariannya, namun bertekad
menghadapi pengejarnya dengan pertarungan bagai-
manapun juga. "Pengecut sekali ternyata kau ini! Begitukah
semua jiwa orang-orang Gua Bidadari" Berjiwa penge-
cut dan bernyali ciut"!" ejek Kencana Ratih memancing pertikaian dengan si
Topeng Merah. Terdengar suara dari balik topeng itu sedikit
pelan karena teredam oleh topeng itu sendiri,
"Aku tidak punya urusan apa-apa denganmu!
Aku hanya ingin membunuh Bujang Lola! Siapa kau
sebenarnya, sehingga mau ikut campur urusanku
ini"!" "Aku Kencana Ratih, adik dari Aditya! Kau tentu kenal dengan nama
Aditya!" "Aku tidak kenal!" jawaban itu terdengar kaku dan ketus, seakan bernada dingin
dan sama sekali tidak bersahabat.
"Omong kosong kalau kau tidak kenal dengan
nama kakakku! Karena kakakku sudah beberapa wak-
tu kalian culik dan dibawa ke sarang bidadari rakus
itu!" "Soal culik menculik bukan urusanku! Kusa-rankan, pergilah dari hadapanku
sebelum kesabaran-
ku hilang sama sekali!"
"Aku harus pergi sambil mencabut nyawamu!
Heaaah...!"
Kencana Ratih sentakkan kaki kirinya dan ce-
pat melayang tubuhnya dengan kaki kanan merentang
siap menendang ke arah lawan. Tapi oleh lawan kaki
itu ditangkisnya dengan kibasan tangan. Desss...! Mata kaki dihantam dengan
pergelangan tangan. Kencana
Ratih terpelanting begitu kuatnya, hingga ia jatuh ter-puruk karena tak sempat
menjaga keseimbangan tu-
buh "Kurang ajar! Mata kakiku terasa remuk akibat
tangkisan tangannya! Uuh... tulang tulangku pun tera-
sa dingin semua. Pasti dia salurkan tenaga dalamnya
lewat pergelangan tangan itu! Hmmm... kuanggap ting-
gi juga ilmu orang bertopeng merah tersebut!"
Topeng Merah tidak balas menyerang. Begitu
Kencana Ratih jatuh, ia segera lanjutkan pelariannya.
Tetapi, walau kaki terasa sakit, Kencana Ratih masih
bisa bertahan dan mengejar Topeng Merah lagi dengan
lari dan melesat bagaikan terbang. Ia bersalto di udara dua kali, melintasi
kepala Topeng Merah dan mendaratkan kedua kakinya di depan langkah Topeng Merah.
Hal itu membuat Topeng Merah kembali hentikan
langkahnya. "Rupanya kau belum jera dengan peringatanku
tadi"!" geram Topeng Merah dengan kedua tangan mulai menggenggam.
"Takkan kubiarkan kau lari tanpa membawa
cacat di tubuhmu atau lari bersama nyawamu! Kau
adalah bagian dari mereka yang telah menculik kakak-


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku, dan kau harus menerima hukuman dariku atas
tindakan penculikan itu!"
"Cabut pedangmu kalau kau ingin bertaruh
nyawa denganku!"
"Membunuh tikus kecil seperti kamu tidak per-
lu memakai pedang. Cukup dengan sekali gencet saja
kau akan mampus! Hiaaah...!"
Kencana Ratih melepaskan tendangan putarnya
sebagai tipuan. Tanpa menangkis, Topeng Merah bisa
terhindar dari tendangan itu dengan sedikit meren-
dahkan badan. Tetapi rupanya tendangan itu hanya
untuk memperdekat jarak saja, sehingga begitu kaki
menapak di tanah, tangan Kencana Ratih menghantam
dada Topeng Merah dengan telapak tangannya yang
disentakkan kuat-kuat. Buuhg...! Deehg...!
Rupanya Topeng Merah juga menghentakkan
telapak tangannya dengan cepat dan juga mendarat te-
lak di bawah iga Kencana Ratih. Mereka sama-sama
terpukul, sama-sama tersentak mundur. Namun Ken-
cana Ratih segera jatuh berlutut karena hantaman te-
lapak tangan lawan membuat darahnya tersentak naik,
dan tersontak lewat mulut.
Kencana Ratih memuntahkan darah segar, de-
mikian pula Topeng Merah. Darah yang menyembur
keluar dari mulut Topeng Merah memang tidak terlihat
jelas oleh mata Kencana Ratih, namun dari tepian to-
pengnya itu Kencana Ratih sempat melihat ada darah
merembes keluar. Membasah di sekitar leher lawan.
Itu tandanya lawan juga memuntahkan darah dari mu-
lutnya. Tetapi lawan dalam keadaan berdiri sedikit
membungkuk ke depan dan bertahan untuk tidak ja-
tuh ke tanah. "Edan! Dia bisa melukai ku!" kata Topeng Merah dalam hatinya. "Kalau saja aku
tidak harus segera melaporkan tentang tugasku ini, ingin rasanya aku
mengadu nyawa sampai mati dengan Kencana Ratih!
Sayang aku harus segera menghadap Nyai Bidadari
Manja, sehingga terpaksa aku harus meninggalkan la-
wanku ini!"
Pada saat Topeng Merah punya kesempatan
untuk melarikan diri, saat itulah Pendekar Rajawali
Merah menemukan jejak mereka dan hadir di sana
dengan napas terhempas lega.
"Kencana..."!" Yoga cepat membantu Kencana Ratih yang mulai terkulai lemas dalam
keadaan masih berlutut. Melihat kehadiran Yoga di situ, Kencana Ratih
sedikit lega. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun
niatnya itu tertunda karena melihat Topeng Merah le-
kas tinggalkan tempat itu ke arah perbukitan. Yoga
sendiri berseru, "Bibi...!"
Topeng Merah tidak berpaling tidak pula ber-
henti, ia terus melarikan diri dengan cepatnya. Hal itu membuat Yoga menjadi
sangat penasaran. Ia pun segera memburunya hanya untuk membuka kedok yang
dipakai orang itu, demi membuktikan apakah orang itu
Bibi Sendang Suci atau orang lain yang mungkin ber-
nama Dewi Sukesi"
* * * 5 KENCANA Ratih menguatkan diri untuk bisa
menyusul pengejaran Yoga terhadap manusia berto-
peng merah itu. Kini ganti Kencana Ratih yang
mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Rajawali Me-
rah. Rasa khawatir itu timbul karena hatinya merasa
tak rela jika manusia bertopeng merah berhasil lukai
tubuh Yoga. Arah pelarian mereka ternyata bertolak bela-
kang dengan arah pelarian Malaikat Gelang Emas. To-
koh sesat itu menuju ke arah barat sampai akhirnya
menemukan sebuah makam di lereng bukit yang pe-
nuh dengan tanaman bambu liar. Di bawah tanaman
bambu liar yang luasnya hampir separo bukit itu sen-
diri, terdapat sebuah makam yang tampak menua, di-
tumbuhi oleh rerumputan dan dikotori oleh daun-daun
bambu kering. Di situlah Malaikat Gelang Emas berdiri dengan wajah duka,
pandangi makam itu tiada berkedip sedikit pun.
Sorot matanya memancarkan kesedihan yang
terpendam dalam-dalam., Bibirnya bergerak-gerak ba-
gai mengucapkan mantera atau mengucapkan doa.
Bahkan dengan tangannya ia mencabuti rumput liar
yang tumbuh di sekeliling makam tersebut, juga me-
nyiangi daun-daun bambu kering yang bagai menyeli-
muti makam itu.
Rupanya kehadiran Malaikat Gelang Emas
menjadi bahan incaran oleh sepasang mata yang men-
gikutinya dari tepi sungai tadi. Malaikat Gelang Emas hilang kepekaan inderanya
karena diliputi kecamuk
duka yang membuat jiwanya menjadi guncang, sehing-
ga ia tak sadar ketika sepasang mata menguntitnya
dari belakang. Dan ketika ia tiba di makam itu, sepa-
sang mata tersebut diam di balik kerimbunan celah
batang bambu. Melihat keadaan sekelilingnya, jelas makam itu
adalah makam yang sudah lama tidak terawat dan ti-
dak ada penunggunya. Melihat duka di wajah tokoh
sesat itu, jelaslah makam itu adalah makam yang
punya arti tersendiri bagi hidup Malaikat Gelang
Emas. Itulah sebabnya sepasang mata itu tidak berani
mendekat atau mengganggu, kecuali hanya memperha-
tikan dari persembunyiannya.
Setelah beberapa saat lamanya sepasang mata
itu bersembunyi di balik kerimbunan pohon bambu, ia
pun memberanikan diri untuk menampakkan wajah-
nya agar terlihat oleh Malaikat Gelang Emas. Tentu sa-ja tindakan itu ia lakukan
dengan hati berdebar-debar penuh kengerian. Kalau bukan karena keperluan yang
amat memaksa, jelas orang tersebut tak akan berani
menampakkan diri di depan tokoh sesat yang dikenal
keji itu. Bahkan kalau bukan karena maksud yang
luar biasa pentingnya, orang tersebut lebih baik me-
nampakkan diri di depan tokoh sesat lainnya ketim-
bang di depan tokoh sesat yang tak kenal belas kasi-
han sedikit pun itu.
Satu cara untuk menghindari kekejian Malaikat
Gelang Emas, orang berpakaian hijau dengan rompi
putih yang rapat itu lekas-lekas bersujud sampai men-
cium tanah dalam jarak sekitar tujuh langkah dari
tempat berdiri Malaikat Gelang Emas. Tentu saja tokoh sesat
itu terkejut dan hampir saja amarahnya meluap meli-
hat kemunculan orang lain di makam itu. Tapi demi
melihat orang itu langsung bersujud dan menyembah
sampai mencium tanah, kemarahan Malaikat Gelang
Emas menjadi tertahan di dalam dadanya. Orang tinggi
berbadan besar itu hanya menghembuskan napas se-
bagai penenang jiwanya dan berkata dengan nada tak
ramah sama sekali,
"Siapa kau"!"
Orang yang menyembah itu angkat wajah se-
bentar dan ucapkan kata,
"Hamba bernama Tamtama, Tuan ku!" lalu dia
menyembah lagi, wajahnya sengaja ditempelkan ke ta-
nah. "Aku tak kenal nama Tamtama!"
Pemuda yang bernama Tamtama itu tentunya
sudah tidak asing lagi bagi Pendekar Rajawali Merah
dan orang-orang di sekelilingnya. Tapi bagi Malaikat
Gelang Emas, Tamtama adalah orang yang belum di-
kenalnya karena memang Tamtama bukan orang be-
rilmu tinggi yang namanya mencuat di rimba persila-
tan. Tamtama dikenal oleh banyak orang karena si-
kapnya yang menjengkelkan berbagai pihak. Dia se-
dang memburu dendam dengan Yoga, karena me-
nyangka Yoga merebut kekasihnya, yaitu Mahligai. Dia
belum tahu bahwa Mahligai dalam keadaan terpasung
karena gila. Malaikat Gelang Emas memandang Tamtama
dengan mata tajam dan bersikap tak suka melihat ke-
hadiran orang lain di tempat itu. Tetapi sebelum ia
mengusir pemuda yang sebenarnya lumayan tampan
itu, terlebih dulu ia ingin tahu apa maksud kedatan-
gan Tamtama menemuinya. Karena itu, ia membentak
dalam tanya, "Apa maksudmu menemuiku, hah"! Mau cari
mampus kau"!"
"Hamba ingin mohon bantuan kepada Tuan ku
Malaikat Gelang Emas!"
"Mintalah bantuan pada orang lain!"
"Hamba yakin orang lain tak akan mampu ka-
rena orang lain tak punya kesaktian setinggi Tuan ku!"
Tamtama sengaja menyanjung supaya menda-
pat perhatian dari Malaikat Gelang Emas. Hati Malai-
kat Gelang Emas menghargai sanjungan itu, sehingga
ia pun berkata,
"Bangkit! Berdiri kau!"
Tamtama pun lekas-lekas berdiri mendengar
suara menghardik itu, tapi ia masih tetap tundukkan
kepalanya sebagai rasa hormat. Malaikat Gelang Emas
dekati Tamtama dan pandangi terus wajah pemuda
itu, sampai ia bergerak mengelilingi Tamtama, kemu-
dian berkata, "Mengapa tanganmu bengkok satu?"
"Dipatahkan oleh seseorang, Tuan ku. Kare-
nanya hamba datang menghadap Tuan ku untuk min-
ta disembuhkan."
Plaaak...! Wajah Tamtama ditampar keras-keras
sampai ia terpelanting jatuh dan pandangan matanya
menjadi gelap seketika. Ia mengejap-ngejapkan mata
beberapa saat, sampai akhirnya pandangan matanya
kembali terang. Namun ia tak berani bangkit berdiri
karena pada saat itu, Malaikat Gelang Emas segera
berseru dalam nada marah,
"Kau pikir aku dukun pijat yang biasa melu-
ruskan tangan yang patah"! Berani-beraninya kau da-
tang padaku hanya untuk menyuruhku meluruskan
tulang yang patah"!"
Buuhhg...! Tamtama ditendang pinggang kanannya. Ia ter-
pental dan terguling-guling sambil menyeringai mena-
han sakit. Mulanya ia punya niat untuk lari. Tapi hati kecilnya melarang, sebab
kalau dia melarikan diri saat itu juga pasti Malaikat Gelang Emas akan semakin
penasaran dan membunuhnya dengan menggunakan
pukulan jarak jauhnya yang berbahaya. Karena itu,
Tamtama seakan menerima saja nasib apa yang akan
dialaminya di tempat itu.
"Kedatanganmu ke sini mengganggu masa duka
ku, tahu"! Sudah mengganggu masa duka ku, meng-
hinaku sebagai tukang pijat! Sungguh suatu sikap
yang layak diberi hukuman mati!"
Tamtama buru-buru sujud mencium tanah lagi
sambil berkata dengan wajah tetap di tanah,
"Ampun, Tuan ku! Ampunilah hamba...! Hamba
sama sekali tidak mempunyai maksud menghina Tuan
ku Malaikat Gelang Emas! Hamba hanya tahu bahwa
Tuan ku adalah orang sakti yang pastilah mempunyai
cara sendiri untuk memulihkan tangan hamba yang
patah karena perbuatan Pendekar Rajawali Merah itu.
Jadi...." "Karena perbuatan siapa"!" sentak Malaikat Gelang Emas dengan nada
terperanjat. "Perbuatan Yoga, si Pendekar Rajawali Merah
itu, Tuan ku! Hamba kalah melawan dia, tapi hati
hamba ingin membalasnya! Sayang sekali tangan
hamba dibuatnya patah satu, sehingga hamba merasa
tak akan berhasil jika melawannya lagi. Tapi jika tangan hamba sudah pulih
kembali, maka hamba yakin
akan bisa mengalahkan Yoga dengan cara selicik apa
pun!" Rupanya kebencian Tamtama kepada Yoga
memang sudah menyatu dengan napas, darah, dan hi-
dupnya. Ia tahu bahwa Malaikat Gelang Emas adalah
musuh utama Yoga dan Lili, yaitu Pendekar Rajawali
Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Permusuhan itu
didengarnya dalam suatu percakapan antara Lili den-
gan Lembayung Senja, di suatu hari. Dan dalam ke-
sempatan itu, Tamtama sengaja mengaku bahwa Yoga-
lah yang mematahkan tangannya, supaya ia mendapat
perhatian dari Malaikat Gelang Emas. Padahal patah-
nya tangan Tamtama itu bukan karena ulah Yoga, me-
lainkan sengaja dipatahkan oleh Gandaloka, yang per-
nah di hasutnya agar melawan Pendekar Rajawali Me-
rah (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat").
Pancingan Tamtama itu berhasil menarik per-
hatian Malaikat Gelang Emas. Orang gemuk berkumis
angker itu segera berkata,
"Bangkit kau!"
Tamtama mengikuti perintah itu dengan sedikit
bungkuk karena menahan sakit di pinggangnya yang
habis terkena tendangan tadi. Dengan hati berdebar-
debar, Tamtama tundukkan kepala ketika Malaikat Ge-
lang Emas dekati dirinya.
"Jadi kau musuh bebuyutan dengan Pendekar
Rajawali Merah"!" tanya Malaikat Gelang Emas dengan suara menggeram.
"Benar, Tuan ku! Berulang kali saya mencoba
ingin membunuhnya tapi saya selalu kalah, dan yang
terakhir dia mematahkan tangan saya ini!"
"Jika aku bisa sembuhkan tanganmu, apakah
kau mau bantu aku untuk membunuh Yoga dan Lili, si
Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Pu-
tih"!" "Sangat mau, Tuan ku! Sangat bersedia!" jawab Tamtama menunjukkan sikap
berapi-apinya yang penuh semangat.
"Kau janji akan hal itu, tapi kalau kau ingkari
janji itu, maka nyawamu akan ku cabut dalam satu
hembusan napas!"


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, saya berjanji dan berani bertaruh nya-
wa!" Malaikat Gelang Emas pandangi Tamtama be-
berapa saat dengan sorot pandangan mata bagaikan
penuh selidik. Kejap berikutnya, barulah ia perdengarkan kata,
"Ulurkan tanganmu yang patah itu...!"
"Tid... tidak... tidak bisa, Tuan ku!"
"Bodoh amat kau!" geram Malaikat Gelang
Emas. Kemudian, ia meraih tangan yang patah. Tam-
tama menyeringai kesakitan ketika tangannya dilu-
ruskan oleh Malaikat Gelang Emas. Tangan itu di-
usapnya pelan dan sentuhannya samar-samar. Dari
pangkal lengan tangan Malaikat Gelang Emas meraba
sampai ke pergelangan tangan. Di sana tangan itu me-
rapat dan menggenggam pergelangan tangan, sedang-
kan tangan yang satunya memegangi ujung pundak
Tamtama. Lalu tiba-tiba tangan yang patah itu disen-
takkan dengan kuat. Kraak...!
"Uuaaahhh...!" Tamtama menjerit sekeras-
kerasnya dengan mata mendelik. Rasa sakit yang di-
timbulkan karena sentakan tangan tadi sungguh luar
biasa, sampai ingin menjebolkan ubun-ubun rasanya.
Padahal menurut dugaannya, seorang tokoh sakti
akan menyembuhkan suatu penyakit seperti itu den-
gan gerakan yang tidak kentara sama sekali, tidak
timbulkan rasa sakit sedikit pun. Dengan pandangan
mata saja orang sakti seperti Malaikat Gelang Emas
semestinya bisa membuat tangan yang patah menjadi
sembuh seperti sediakala. Tapi ternyata apa yang di-
alami Tamtama itu sama saja ia berobat ke seorang
dukun pijat yang baru kali itu meluruskan tulang yang patah. Tamtama terengah-
engah sambil meraung kecil
menahan rasa sakit. Tangan itu sudah dilepaskan oleh
Malaikat Gelang Emas. Keadaannya memang menjadi
pulih dan lurus kembali. Seolah-olah persendian siku
yang terlepas itu sudah menyambung kembali. Tapi
rasa sakitnya masih saja mengucurkan keringat dingin
di sekujur tubuh Tamtama.
"Bangsat betul dia!" geram Tamtama di dalam hatinya. "Tangan yang ku senggol
saja sakitnya bukan main, sekarang malah ditariknya kuat-kuat. Uuuh...!
Tak tahan rasa sakitnya. Kalau begini lebih baik aku
jatuh pingsan beberapa saat, sehingga tak ku rasakan
kenyerian ini! Gila! Sakitnya melebihi waktu dipatah-
kan oleh Gandaloka!"
Kemudian Malaikat Gelang Emas perdengarkan
suaranya yang masih menyentak-nyentak,
"Buka telapak tanganmu! Lekas...!"
Tamtama membuka telapak tangannya. Malai-
kat Gelang Emas menyentak lagi dengan jengkel,
"Bukan yang ini! Yang sakit itu, Goblok!"
Pelan-pelan sekali Tamtama mengangkat tan-
gannya yang sakit dan membuka telapak tangan terse-
but. Kemudian, jari tengah Malaikat Gelang Emas di-
tempelkan di pertengahan telapak tangan itu. Jari tersebut memancarkan cahaya
kuning kehijau-hijauan.
Seeet...! Ada seberkas sinar yang masuk ke dalam telapak tangan Tamtama, rasanya
dingin sekali. Dan rasa
dingin itu ternyata meredakan rasa sakit di sekujur
tubuh Tamtama, terutama di bagian lengan yang habis
patah itu. Pada waktu Malaikat Gelang Emas mencabut
jari tengahnya dan jari itu tidak lagi memancarkan sinar kuning kehijauan, hawa
dingin bagai menguasai
sekujur tubuh dan melenyapkan rasa sakit. Sehingga,
kini Tamtama sama sekali tidak merasakan sakit sedi-
kit pun, baik di sekujur tubuh maupun pada bagian
lengan yang patah.
"Gerakkan tanganmu!" perintah Malaikat Ge-
lang Emas. Tamtama menggerakkan tangan yang habis
disembuhkan. Ternyata dapat bergerak dengan leluasa
tanpa timbulkan rasa sakit juga. Bahkan untuk meng-
hantam tempat kosong pun tidak terasa sakit sedikit
pun. Tamtama tersenyum lega, karena sekarang tan-
gannya yang patah sudah pulih seperti sediakala.
"Masih ada yang kau rasakan sakit?"
"Tidak, Tuan ku!"
"Itu berarti kau harus segera pergi mencari Yo-
ga dan membunuhnya dengan kelicikanmu!"
"Baik, Tuan ku! Saya akan penuhi janji saya!
Tapi... sejujurnya saya katakan bahwa ilmu saya jauh
tidak sebanding dengan ilmunya Pendekar Rajawali
Merah itu. Apalagi dia punya pedang pusaka yang ma-
ha dahsyat! Rasa-rasanya perlawanan saya hanya
akan sia-sia belaka, Tuan ku!"
Malaikat Gelang Emas menggeram.
"Hhrrrmm...! Jadi apa maksudmu?"
"Bekalilah saya satu jurus untuk mengalahkan
Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih,
Tuan ku!" "Aku tidak akan turunkan satu ilmu pada siapa
pun! Mengerti"! Jangan kau berharap aku akan tu-
runkan ilmu padamu walau hanya satu jurus!" kata Malaikat Gelang Emas dengan
mata memandang tajam. "Jadi, bagaimana saya harus mengalahkan Yo-ga dan Lili,
Tuan ku?" "Curi pedang mereka! Kekuatan mereka ada di
dua pedang pusaka itu! Jika kau bisa curi pedang me-
reka dan membunuh mereka berdua, serahkan pedang
itu padaku dan barulah aku akan mengangkatmu se-
bagai muridku!"
"Baik! Terima kasih atas saran Tuan ku Yang
Mulia Malaikat Gelang Emas. Saya akan kerjakan hal
itu!" "Cepat kau minggat dari sini, aku sudah muak melihatmu terlalu lama! Aku
hanya ingin melihat kebenaran janjimu!" hardik Malaikat Gelang Emas yang membuat
Tamtama segera membungkuk memberi
hormat dan lekas pergi tinggalkan tempat itu.
Dalam perjalanannya yang tak tentu arah, ka-
rena memang Tamtama tak tahu di mana Yoga berada
saat itu, hati pemuda yang mempunyai jiwa penghasut
itu berucap kata di dalam hatinya sendiri,
"Memang benar apa yang dikatakan oleh Malai-
kat Gelang Emas, pedang pusaka itulah yang menjadi
Yoga sebagai orang berilmu tinggi dan punya kekuatan
hebat walau sudah buntung tangannya! Untuk me-
lumpuhkan dia, memang harus mencuri pedangnya.
Tetapi alangkah sulitnya mencuri pedang pendekar itu
jika aku tidak memiliki ilmu lebih tinggi dari yang ku-miliki sekarang ini"!
Tentunya mencuri pedang pusaka
itu tidak semudah mencuri jemuran! Setidaknya mela-
lui pertarungan dulu, dan jika sekali gebrak aku sudah tak berdaya, lantas kapan
aku bisa mencuri pedang
tersebut" Mau tak mau harus kulakukan dengan tipu
muslihat! Tapi tipu muslihat bagaimana yang bisa ku-
gunakan menipu dirinya" Bisakah mereka berdua diti-
pu" Dan... dan...."
Ucapan yang membatin itu terhenti karena
adanya suara samar-samar yang didengar. Suara itu
adalah suara seruling yang tidak lengking, bahkan
berkesan besar, namun enak didengar. Sayup-sayup
suara itu dihembuskan angin yang bergerak dari utara
ke selatan. "Suara seruling itu sungguh melegakan hati.
Enak sekali didengarnya dalam keteduhan angin semi-
lir begini"!" pikir Tamtama sambil hentikan langkahnya. Ia kembali menelengkan
telinganya untuk menyi-
mak suara seruling nan merdu tersebut. Hatinya se-
makin terpikat untuk lebih mendekati sumber suara
tersebut. Maka, Tamtama segera bergerak pelan-pelan
menyusuri arah datangnya suara seruling itu.
Di bawah sebuah pohon rindang bertanah
menggunduk tak rata, di sana duduk seorang gadis
cantik berpakaian kuning kunyit. Gadis itu duduk ber-
simpuh sambil meniup seruling bambu yang beruku-
ran besar. Panjang seruling itu sekitar satu lengan lebih sedikit. Suaranya
bukan melengking namun meng-
gaung. Bambu seruling itu berwarna coklat muda,
dengan lubang tiup di bagian ujungnya. Gadis itu me-
niup seruling dengan tenang dan damai. Matanya ter-
pejam samar-samar, bibirnya dirapatkan dengan ujung
bambu seruling yang menjadi tempat tiupnya. Ram-
butnya yang tersisa dari gulungan di atas kepala itu
meriap-riap dipermainkan angin yang semilir.
Seruling itu mengalunkan irama yang seolah-
olah menghadirkan kelegaan di dalam hati siapa pun
yang mendengarnya. Sungguh merdu bunyi seruling,
dan sungguh menawan irama nadanya. Tamtama
sempat terkesima ketika ia melihat bahwa si peniup
seruling itu adalah seorang gadis cantik berhidung
mancung, berbulu mata lentik, dan berkulit kuning
langsat. Pakaian yang dikenakan sedikit seronok kare-
na terlihat jelas gumpalan dua bukit di dadanya yang
menggunung padat dan mulus. Gaun yang dikenakan
itu sendiri mempunyai belahan panjang sampai di ba-
tas paha kanan kiri, sehingga semilir angin telah me-
nyingkapkan gaun itu, memperlihatkan sebagian kulit
pahanya yang sangat mendebarkan setiap lelaki yang
memandangnya. Gadis yang rambutnya digulung sebagian dan
pada gulungannya diberi pita hijau muda itu, melihat
kedatangan Tamtama yang berdiri agak menyamping
dari tempat duduknya. Tapi gadis itu kembali re-
dupkan matanya dan tetap meniup serulingnya bagai
tak mau tahu dengan kehadiran seseorang di dekat-
nya. Irama seruling kian mendayu-dayu, mencipta-
kan debar-debar keindahan bagi pendengarnya. Tam-
tama begitu terbuai oleh alunan irama seruling itu, sehingga hatinya digumuli
oleh kebahagiaan dan keme-
sraan yang mengguncangkan hasratnya. Tak sadar ia
melangkah pelan-pelan mendekati gadis cantik peniup
seruling itu. Semakin dekat semakin berdebar hati
Tamtama, jantungnya pun berdetak cukup kuat, ha-
sratnya mulai terbakar ketika ia mencium aroma wangi
aneh yang tertiup angin dari tubuh gadis itu.
Setiap seruling itu menyerukan nada meman-
jang, hati Tamtama berdesir dan hasrat kemesraannya
bagai diterbangkan tinggi-tinggi. Tak sadar pula ia melakukan gerakan-gerakan
tangan yang seolah-olah in-
gin menghantarkan jiwanya ke puncak kemesraan itu.
Semakin dekat semakin jelas aroma wangi yang mem-
bakar gairah itu. Tamtama mulai dicekam tuntutan
yang meledak-ledak dalam dadanya. Ia bagaikan tak
mampu menahan hasratnya sendiri dan ingin segera
melampiaskannya.
Tetapi tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Ga-
dis cantik peniupnya memandang Tamtama dengan
mata sayu. Seruling dijauhkan dari bibir si peniupnya, dan bibir itu
menyunggingkan senyum tipis namun
semakin membuat darah kemesraan bergejolak mendi-
dih mencari tempat pelepasannya.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya gadis cantik itu, seakan sebuah tantangan
hebat yang tak boleh disia-siakan oleh Tamtama. Tetapi lidah Tamta-
ma justru kelu, kerongkongannya sibuk menghambur-
kan napas yang tak terkendali karena desakan hasrat
dalam jiwanya itu. Gadis tersebut bergegas bangkit, la-lu melangkah menjauhi
Tamtama, tapi matanya meli-
rik sayu dan penuh senyum yang menggoda. Tamtama
mau tak mau jadi mengikuti langkah itu walau arah-
nya ke semak-semak.
* * * 6 TAMTAMA terkulai di rerumputan, di samping
gadis cantik berkulit mulus tanpa cacat sedikit pun
itu. Keringatnya membanjir di sekujur tubuh, nafasnya terengah-engah bagai orang
habis berlari sehari sema-laman. Semak-semak berdaun rambat yang memben-
tuk semacam atap sebuah lorong itu sungguh meru-
pakan tempat bernaung yang paling aman untuk ber-
buka busana dalam keadaan terkulai lemas begitu.
Tamtama tidak merasa khawatir diintip orang, sehing-
ga ia biarkan tubuhnya terkapar terbungkus keringat
tanpa selembar benang pun.
Gadis cantik itu juga terkulai di samping Tam-
tama, tapi bibirnya masih menyunggingkan senyum
kepuasan. Ketika ia miringkan tubuh dan memandang
Tamtama dengan kepala disangga satu tangan, se-
nyumnya dilebarkan, tangan binalnya kembali me-
rayap dengan nakal. Terdengar suaranya yang serak-
serak basah itu berkata kepada Tamtama,
"Ada tempat yang lebih baik dari tempat ini un-
tuk mengulang kemesraan kita yang keempat kalinya.
Tapi, aku khawatir kau menolak untuk menempati
tempat yang lebih baik dari semak-semak ini."
Matanya yang memang selalu sayu memandang
itu, kini ditatap Tamtama dengan sikap menahan tawa
kegirangan. Keheranan yang tersimpan di dalam hati
Tamtama hanya terlontar dalam bentuk kata
tanya, "Apakah kau belum merasa cukup?"
Gadis bermata sayu penuh ajakan bercumbu
itu gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum na-
kalnya. Ia berucap kata dalam nada bisik,
"Tak pernah ku rasakan keindahan setinggi ini.
Tak pernah kudapatkan kebahagiaan sebesar yang kau
berikan padaku! Aku menginginkannya lagi."
"Agaknya kau sangat dahaga."
"Memang. Kau ingin menolak ku?"
Tamtama tertawa sambil mencubit dagu gadis
menggairahkan itu. Kemudian Tamtama ucapkan kata
setelah menggeleng pelan,
"Aku bukan lelaki yang bodoh, yang berani me-


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nolak tantanganmu. Hanya saja, aku ingin tahu siapa
dirimu sebenarnya."
"Namaku Seruni, aku tinggal di sebuah gua.
Hanya itu tempat tinggalku sebagai tempatku ber-
naung kesehariannya."
"Jauhkah gua itu dari sini?"
"Tidak terlalu jauh."
Tamtama diam, memandangi kecantikan yang
terbentang jelas di depannya. Memandangi dada me-
nantang yang juga terpampang jelas di depannya.
Bahkan tangan Tamtama mencoba memberi kenakalan
seimbang dengan tangan Seruni.
Terdengar Seruni bertanya, "Maukah kau da-
tang ke tempat tinggalku di gua itu?"
"Mengapa tidak" Setelah istirahat sejenak kita
segera berangkat ke sana, Seruni! Kau sungguh mem-
buatku senang."
"Kau akan lebih senang lagi jika di sana!"
Suara tawa lirih dari Tamtama melambangkan
hatinya yang semakin bersorak girang. Tamtama tak
sadar bahwa ia telah terpengaruh dan terkuasai oleh
ilmu pemikat yang dipancarkan oleh Seruni melalui
suara serulingnya. Memang wajah Seruni sendiri su-
dah menghadirkan daya pikat tinggi dari sebuah ke-
cantikan seorang gadis seusianya, tubuhnya yang mo-
lek juga memancarkan daya tarik tersendiri untuk seo-
rang lelaki seusia Tamtama. Tapi jika Tamtama tidak
mendengarkan nada-nada seruling mesra Seruni, tak
mungkin hatinya secepat itu terpikat dan menjadi pa-
srah dengan ajakan binal Seruni.
Tamtama mencintai Mahligai. Baginya, hanya
Mahligai-lah gadis yang ada dalam hidupnya dan ha-
rus tetap diburu. Tamtama tak mau pindah hati ke pe-
rempuan lain. Tapi karena pengaruh kekuatan ilmu
pemikat dari suara seruling Seruni itu, Tamtama ba-
gaikan lupa pada Mahligai, lupa pada cita-cita hatinya.
Nada-nada seruling itu mampu menundukkan hati
seorang pria sekeras apa pun, mampu membuat lelaki
kasar menjadi halus, lembut, lunak, dan penurut. Na-
da-nada seruling itulah yang menggerakkan hasrat
dan keinginan bercumbu bagi seorang pria, sehingga
semangatnya berkobar-kobar dan seolah-olah pantang
menolak ajakan si gadis binal itu.
Terbukti, Tamtama menurut saja ketika diajak
pergi dari semak-semak yang habis digunakan sebagai
ajang kemesraan mereka. Tamtama tidak curiga sedikit
pun ketika Seruni sebutkan nama Gua Bidadari. Tam-
tama sama sekali tidak tahu, bahwa Seruni adalah
anggota dari kumpulan bidadari sadis yang punya tu-
gas menjerat dan menculik seorang pria berperawakan
kekar, perkasa, dan masih segar. Lewat ilmu 'Seruling Bulan Madu' itulah, Seruni
melaksanakan tugas uta-manya yang diberikan oleh sang Ketua Partai Gadis
Pujaan, yaitu Bidadari Manja.
Dan seperti biasanya, setiap mangsa yang ber-
hasil dijerat dengan ilmu 'Seruling Bulan Madu', pasti dikuasai lebih dulu oleh
Seruni. Setelah Seruni merasa cukup untuk sementara, barulah orang tersebut
dibawa ke Gua Bidadari. Dan di sana, siapa saja boleh
menggunakan Tamtama atau lelaki jeratannya sebagai
sarana mendapatkan ilmu 'Karang Jantan'. Malang-
nya, jika lelaki itu menolak dan memberontak maka
mereka akan membunuhnya secara biadab dan sadis,
lalu membuangnya ke jurang yang sering disebut-
sebut dengan istilah Ranjang Bangkai.
Tamtama sama sekali belum tahu hal itu. Ia
hanya pernah mendengar sekilas tentang cerita bida-
dari penghuni gua, tapi tak tahu lebih banyak apa saja yang terjadi di dalam gua
tersebut. Maka ketika ia dibawa ke jalanan menuju Gua Bidadari, wajah Tamta-
ma menjadi teperangah kaget tapi ada sunggingan se-
nyum tipis di sudut bibirnya. Dari kejauhan ia melihat gadis-gadis berlalu
lalang di depan mulut gua yang cukup besar itu. Maka segeralah Tamtama berkata,
"Apakah kau tinggal di dalam gua itu?"
"Ya, aku tinggal di sana!" jawab Seruni sambil menggandeng lengan Tamtama,
berjaga-jaga agar jangan sampai pria buruannya terlepas dan lari ketaku-
tan, jika pria itu tahu siapa mereka.
"Jadi, kau adalah... adalah salah satu dari bi-
dadari-bidadari penghuni Gua Bidadari itu!"
"Benar. Kurasa kau tak perlu takut, teman-
temanku ramah-ramah sikapnya dan tak ada yang
akan menyakiti dirimu!"
"Aku tidak takut! Aku justru seperti sedang
bermimpi! Ku pikir tadinya Gua Bidadari itu hanya
dongeng belaka, ternyata memang benar-benar ada.
Dan... dan ini suatu keberuntungan bagiku dapat me-
lihat bidadari cantik-cantik yang mungkin tak akan
kujumpai di tempat lain, Seruni!"
Senyum Seruni mekar bersama tawa seraknya
yang tipis. Tawa itu sebenarnya tawa kelegaan hati,
bahwa pria buruannya ternyata justru merasa senang
dibawa ke Gua Bidadari. Seruni berani melepaskan
genggaman tangannya dari lengan Tamtama, sebab ia
yakin Tamtama tidak akan lari ketakutan.
Ketika Seruni dan Tamtama mendekati pintu
gua yang dijaga lima perempuan cantik dalam usia se-
kitar tiga puluh tahun sampai empat puluh tahun, tapi masih cantik-cantik dan
kencang-kencang tubuhnya
itu, salah seorang dari mereka menegur Seruni dalam
godaan, "Wah, kali ini kau mendapat ikan emas ru-
panya. Bukan mujair lagi seperti kemarin, Seruni!"
"Begitulah. Dan ikan emas ini makin jinak, be-
lum pernah kena kail sedikit pun!" kata Seruni dalam senyum kebanggaan.
"Kalau begitu, lekaslah menghadap sang Ketua
supaya beliau lekas bagi-bagikan pada kami! Ku harap
akulah orang pertama yang mendapat giliran berenang
bersama ikan emasmu itu, Seruni!"
"Berdoa saja kalau memang doa mu masih bisa
diterima!" jawab Seruni sambil mengikik tertahan dan membawa Tamtama masuk ke
dalam gua tersebut.
Sementara itu, Tamtama sibuk memberikan senyuman
balasan kepada para penjaga pintu gua lainnya.
Gua itu berlangit-langit tinggi. Pintu mulut gu-
anya sendiri sangat besar dan tinggi, sukar diberi penutup. Dari luar gua itu
kelihatannya biasa-biasa saja, dan tidak terlalu dalam. Ternyata ada dinding
batu yang sangat lebar bagai penyekat antara bagian depan
gua dengan bagian dalamnya. Di samping kanan kiri
dinding batu penyekat itu terdapat celah lebar menye-
rupai jalan masuk yang bisa dipakai lewat tiga orang
sekaligus. Bagian kanan dan kiri punya celah yang
sama lebarnya. Dan celah itu ternyata membentuk lo-
rong selebar antara dua tombak.
Lorong berdinding tak rata itu hanya mempu-
nyai dua obor, demikian pula di lorong satunya lagi.
Tamtama diajak masuk oleh Seruni melalui lorong
yang kanan, dan di sepanjang lorong kanan itu ada
beberapa gadis yang membentuk kelompok sendiri-
sendiri dan saling bergunjing, entah apa yang digun-
jingkan. Tawa mereka menjadi irama khas bagi Gua
Bidadari itu. "Pantas gua ini dikatakan sebagai Gua Bidada-
ri, sebab di sini banyak terdapat perempuan-
perempuan cantik yang mengagumkan hati," kata
Tamtama kepada Seruni.
"Begitulah kami," hanya itu jawaban Seruni, karena para wanita yang tadi sedang
bergunjing dan saling kasak-kusuk itu sekarang mulai memperhatikan
kedatangan Seruni dan Tamtama. Mereka mulai saling
nyeletuk dan menampakkan sikap memuji Tamtama.
Bahkan ada yang langsung berani mencubit dagu
Tamtama, atau menggelitik pinggang Tamtama.
"Biar aku yang menuntunnya ke kamar, Seru-
ni!" kata salah seorang wanita cantik yang kelihatan berselera sekali dengan
Tamtama. Tetapi temannya segera menepiskan tangan orang yang sudah meraih
pergelangan tangan Tamtama. Plaak...!
"Lagi-lagi kau selalu minta yang paling awal!
Kau pikir aku tidak punya hak untuk menjadi yang
pertama"!"
"Hei, hei... sudah! Jangan ribut dulu, biar sang Ketua yang memutuskan siapa
yang pertama!" kata
Seruni sambil memisahkan Tamtama dari kedua te-
mannya yang tampaknya sama-sama ingin menjadi
orang pertama yang akan menggunakan Tamtama.
Sementara itu, Tamtama sendiri merasa bangga dijadi-
kan bahan rebutan begitu. Ia merasa dirinya sangat
berharga, apalagi yang memperebutkan gadis-gadis
cantik yang rata-rata punya tubuh menggiurkan itu.
Lorong itu pun ternyata terbentuk dari sebi-
dang dinding yang tak seberapa tebal, sama keteba-
lannya dengan dinding di ruang depan yang membuat
gua itu sepertinya tidak terlalu dalam. Dinding-dinding itu sebenarnya mudah
diruntuhkan dengan pukulan
tenaga dalam orang yang berilmu sedang. Tapi agak-
nya mereka sengaja tidak man merobohkan dinding-
dinding alami itu, supaya keadaan di dalam gua tidak
terlalu terbuka ngablak, dan angin gunung tidak me-
nembus masuk dalam jumlah besar. Tetapi apa yang
ada di balik dinding itu adalah sesuatu yang membuat
'para tamu' mereka tercengang-cengang. Hal itu diala-
mi sendiri oleh Tamtama, sebagai orang yang baru ma-
suk Gua Bidadari.
Ternyata di balik dinding penyekat alami itu
terdapat ruangan yang amat luas dan lebar, berlangit-
langit tinggi. Luasnya ruangan itu menyerupai luas sebuah perkampungan tanpa
langit. Ruangan yang begi-
tu besarnya itu diterangi oleh banyak obor di sana sini yang jumlahnya lebih
dari seratus batang obor. Agaknya mereka menggunakan bahan bakar obor bukan
memakai minyak tanah, melainkan memakai semacam
getah pohon yang apabila dibakar akan menyalakan
api sepanjang masa. Tak akan habis dan tak akan pa-
dam jika tidak karena dipadamkan.
Ruangan lebar yang memanjang itu mempunyai
kamar-kamar buatan mereka sendiri. Kamar-kamar itu
menyerupai rumah-rumah di suatu perkampungan.
Ada gang kecil, ada jalan, ada saluran air di bagian te-pi dinding, ada kolam
yang tak terlalu lebar namun
cukup untuk menampung separo penghuni gua terse-
but. Ada pula air terjun yang merupakan mata air me-
rembas dari dinding gua sebenarnya.
Di tengah-tengah ruangan maha besar itu di-
bangun lantai marmer putih setinggi satu betis, me-
nyerupai panggung berbentuk lingkaran. Luasnya cu-
kup lumayan dengan garis tengah antara sepuluh
tombak. Di lantai marmer itulah, 'para bidadari' duduk
dengan santainya pada bagian tepian lantai. Ada yang
sambil menikmati tembakau pipa panjang, ada yang
sekadar berbincang-bincang dengan dua-tiga teman,
ada yang membersihkan senjata, ada pula yang mela-
tih gerakan-gerakan silat mereka.
Namun ketika salah seorang yang menyertai
kedatangan Tamtama dan Seruni berseru, "Seruni
membawa seekor ikan emas!"
Suasana menjadi semakin huh. Semua mata
menatap Tamtama. Bahkan sebagian besar bergegas
mendekati Tamtama dengan senyum kegirangan. Tam-
tama sendiri sempat berdebar-debar karena banyaknya
wanita cantik yang ada di sekelilingnya. Mata Tamtama bingung memandang karena
semua wajah punya nilai
kecantikan sendiri-sendiri dan semua tubuh punya
keelokan masing-masing yang menggairahkan mata le-
laki. Bahkan ada yang hanya mengenakan penutup
dada dan penutup bagian bawahnya dengan kain ber-
hias logam-logam berkeriap.
Menurut dugaan Tamtama, jumlah mereka le-
bih dari empat puluh orang. Mungkin mencapai lima
puluh jiwa yang menghuni gua besar tersebut. Karena
menurut anggapan Tamtama, gua tersebut sudah
menjadi satu kerajaan kecil dengan jumlah rakyat yang kecil tapi pada umumnya
adalah berjenis perempuan.
Dari sekian banyak perempuan, hanya satu le-
laki yang dilihat oleh Tamtama saat itu. Lelaki tersebut bertubuh kurus dan
berwajah pucat. Lelaki itu sedang
tiduran telentang di atas lantai marmer bagai mele-
paskan lelah di sana. Lelaki itu hanya mengenakan
pakaian penutup bawah dan tampak layu sekali kulit
tubuhnya. Semua tangan ingin menjamah tubuh Tamtama
membuat Tamtama menjadi takut sendiri. Lalu, seseo-
rang yang berpakaian merah muda itu membentak di
tengah-tengah kerumunan mereka,
"Minggir semua! Minggir...!" sambil tangannya menyentakkan satu tubuh yang ingin
memeluk Tamtama. Tubuh itu terpental mundur dan mengakibatkan
beberapa orang di belakangnya roboh berjumpalitan.
Agaknya perempuan berpakaian merah muda itu
menggunakan tenaga dalamnya saat menyentakkan
tangan, sehingga beberapa orang menjadi tumbang ka-
renanya. Perempuan berambut pendek dengan ikat kepa-
la biru muda itu berseru kepada perempuan berpa-
kaian merah muda itu,
"Citrawati...! Apa maksudmu melarang kami
mendekati dia" Kau pikir kaulah orang pertama yang
akan bersamanya" Iya"!"
"Aku tidak berkata begitu! Aku hanya ingin
menjaga supaya tamu kehormatan kita ini tidak mera-
sa muak dengan tingkah kalian!"
"Apakah tidak sebaliknya, justru tingkahmu lah
yang membuat tamu kehormatan kita ini menjadi
muak"!"
"Lantas kau mau apa, hah"!" Citrawati mem-


Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentak dengan geram.
"Hei, kau jangan membentak ku begitu, Citra-
wati! Aku punya harga diri dan tak bisa dibentak-
bentak di depan tamu! Kalau ingin robek mulutmu,
dekatlah kemari biar kurobek mulutmu itu!"
"Jahanam kau! Hiaaah...!"
Citrawati melompat dan memberikan tendan-
gan kepada lawannya. Tendangan itu ditangkis dengan
satu tangan, sedangkan tangan lawan yang satunya
menyentak ke depan dan berkelebatlah sinar merah
kecil. Sinar itu dengan telak sekali menghantam dada
Citrawati. Deebb...!
"Aahg...!" Citrawati terpekik dengan tubuh tersentak ke belakang dan jatuh
menindih salah seorang
yang berusaha menghindari perkelahian tersebut.
Citrawati terkapar dengan wajah membiru dan
napas sukar dihela. Ia tercengap-cengap dengan mata
mendelik akibat pukulan sinar merah dari gadis beri-
kat kepala biru muda itu. Tamtama kaget dan menjadi
tegang melihat pukulan orang itu berakibat berbahaya
bagi Citrawati. Bahkan Tamtama menjadi memejam-
kan mata seketika itu karena orang berikat kepala biru melepaskan satu pukulan
sinar merah lagi ke dada Citrawati yang membuat dada itu menjadi hangus seke-
tika dan bahkan rambut kepala Citrawati pun terbakar
habis tanpa terlihat ada nyala api setitik pun. Citrawati akhirnya mati dalam
keadaan hangus sekujur tubuhnya. Hal yang mengherankan Tamtama adalah sikap
teman-teman mereka, ternyata bukan mencegah per-
kelahian maut itu, melainkan justru menjadi penonton
yang baik. Bahkan mereka bersorak dan bertepuk tan-
gan setelah orang berikat kepala biru itu berhasil
membunuh Citrawati. Orang itu sendiri pun bersorak
kegirangan. "Edan! Mereka dengan mudahnya saling mem-
bunuh hanya gara-gara memperebutkan diriku"!" pikir Tamtama. Pada saat itu
Seruni berbisik,
"Jangan heran! Beginilah kami jika dalam ke-
sehariannya! Berani menantang pertarungan harus be-
rani mati sendiri tanpa pembelaan!"
"Kehidupan macam apa ini sebenarnya, Seru-
ni?" Seruni tidak menjawab karena terdengar suara
dari atas lantai bundar dari bahan marmer putih itu,
"Widarti! Jangan menganggap dirimu jadi orang
pertama dalam menemani tamu kita nanti! Keberhasi-
lan mu membunuh Citrawati bukan syarat utama un-
tuk menjadi orang pertama! Barangkali kalau kau bisa
mengalahkan aku, kau baru boleh menjadi orang per-
tama!" Widarti, yang berikat kepala biru itu, menjadi garang wajahnya mendengar
tantangan dari atas arena
berlantai putih itu. Serta-merta dia melompat ke sana
sambil berseru,
"Kulayani tantanganmu, Umami!"
Lalu, perempuan-perempuan yang lain membe-
ri tempat, mengelilingi lantai bundar itu, dengan wajah berseri-seri bagai ingin
menyaksikan tontonan yang se-ru. Bahkan beberapa orang ada yang memberi seman-
gat kepada Widarti, ada pula yang memberi semangat
pada Umami. Sraang...! Umami mencabut pedangnya dan
siap menghadapi Widarti. Sementara itu, Widarti
hanya mencabut trisula dari pinggangnya yang agak-
nya merupakan senjata andalan bagi kemahirannya
bermain senjata.
Trang, trang...! Wuuut...! Jruub...!
"Aaahg...!" Widarti mendelik, ulu hatinya di-tembus pedang Umami. Ia jatuh
berlutut, lalu tergele-
tak dan menghembuskan napas terakhir. Mereka ber-
sorak mengelu-elukan Umami.
Suara sorak itu terhenti seketika. Sepi dan hen-
ing tercipta begitu mencekam di seluruh ruangan lebar dan luas tersebut. Seakan
dari ujung ke ujung tak ada yang berani berkutik. Berhentinya suara sorak-sorai
mereka itu dikarenakan munculnya seorang perem-
puan cantik yang sudah matang dalam usia namun
masih muda dalam penampilan dan daya tariknya
yang begitu menggiurkan. Perempuan itu hanya men-
genakan jubah tipis warna ungu muda, dan pakaian
dalamnya hanya sebatas tempat-tempat tertentu saja
yang ditutupi dengan pakaian dari kain kuning emas.
Pakaian kuning emas itu sangat ketat, kecil, dan tipis.
Seakan benar-benar apa yang perlu ditutup, ditutup-
nya, yang tidak perlu dibiarkan terbungkus jubah ber-
lengan longgar dari bahan sutera yang transparan.
Ketika perempuan berambut panjang sebatas
pantat yang diriap itu naik ke atas lantai bundar, se-
mua orang segera merendahkan badan. Berlutut sam-
bil tundukkan kepala sebentar. Setelah itu, mereka
kembali berdiri dan menunggu perempuan berwajah
lonjong yang punya nilai kecantikan begitu agung itu
berbicara kepada Seruni,
"Kudengar seekor ikan emas telah berhasil kau
peroleh, Seruni"!"
"Benar, sang Ketua!" jawab Seruni dengan tegas.
Rupanya perempuan berjubah ungu muda itu
adalah sang Ketua yang punya nama Bidadari Manja.
Tamtama menatap perempuan itu dan berdebar ha-
tinya antara kagum dan hormat. Perempuan itu pun
sedang menatapnya, kemudian menyuruh Seruni
membawa Tamtama naik ke lantai bundar itu. Bidada-
ri Manja memandangi Tamtama dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Ia tak pedulikan mayat Widarti
masih tergeletak di bawahnya. Ia bahkan tersenyum
memikat hati kepada Tamtama, lalu bertanya nama
dan Tamtama menyebutkan namanya, sehingga mere-
ka tahu semua nama Tamtama.
"Mana Pinjung Dara..."!" tanya Bidadari Manja kepada salah seorang.
"Sedang semadi, Ketua!" "Bersama siapa?"
"Aditya!"
"Nanti kalau sudah selesai, suruh dia mengatur
pertarungan untuk menentukan, siapa yang berhak
semadi bersama Tamtama setelah aku memakainya
nanti!" "Semadi apa maksudmu, Ketua?" tanya Tamtama dengan berani.
"Setiap lelaki yang datang kemari, harus mau
melayani kami satu persatu! Dan untuk dirimu, Tam-
tama... karena kau tampak istimewa, maka akulah
orang pertama yang akan menggunakan mu untuk
semadi!" "Aku... aku harus melayanimu?"
"Ya! Apakah kau tak tertarik?" Bidadari Manja sunggingkan senyum dan kerlingkan
mata yang menggoda. Tamtama dalam keadaan bingung bertanya la-
gi, "Setelah itu aku bebas ke mana saja?"
"Bebas melayani siapa saja!"
"Bagaimana kalau aku menolak?"
"Kau harus mati di tangan mereka!" jawab Bidadari Manja kalem sekali, tapi
membuat Tamtama
menjadi deg-degan. Ia baru menyadari apa sebenarnya
yang akan dialami di dalam Gua Bidadari itu.
"Aku bukan budak nafsu! Aku tidak mau!"
"Kalau begitu kau bidang pedang, dan pedan-
glah yang akan melayanimu dengan paksa, Tamtama!"
Semakin cemas hati Tamtama, memandang ke
sana sini dan ternyata tak ada satu pun yang berminat menolongnya. Akhirnya
Tamtama berkata,
"Baiklah! Tapi aku minta dua syarat!"
"Apa syaratmu?"
"Pertama, aku hanya mau melayani kau saja,
Bidadari Manja! Kedua, aku mau melayanimu tapi kau
harus turunkan ilmumu padaku! Jika kau tidak penu-
hi kedua syarat itu, silakan sekarang juga siapa saja mau bunuh aku, ayo
bunuhlah! Aku lebih baik mati
daripada harus melayani semadi semua orang di sini!
Aku ingin menjadi orang khusus bagi sang Ketua dan
mendapatkan imbalan ilmu dari sang Ketua yang ku-
kagumi! Jika persyaratan ku ini tidak dipenuhi, jika tidak ada yang berani bunuh
aku, aku punya cara bu-
nuh diri sendiri!"
Bidadari Manja diam membisu. Semua mulut
pun terkatup. Selama ini belum pernah ada pria yang
berani berkata begitu di depan Bidadari Manja. Dan
agaknya, sang Ketua sedikit bingung memberi keputu-
san. * * * 7 BUJANG Lola ternyata tak bisa mengatasi ra-
cun yang bersarang di tubuhnya. Hampir saja ia mati
dengan kulit pecah-pecah kalau saja seorang lelaki
berpakaian putih lusuh tidak segera datang menemu-
kan dirinya. Lelaki itu berusia kurang lebih enam puluh ta-
hun dengan rambutnya yang panjang berwarna abu-
abu. Badannya kurus, tapi tak terlalu ceking. Wajah-
nya berkesan dingin dengan sorot pandangan matanya
yang mempunyai kesan wibawa. Orang tua itu mem-
punyai kumis lebat dan alis mata tebal, juga jenggot
yang lebat walau tidak panjang. Semua kumis atau bu-
lu di wajahnya berwarna abu-abu. Pada bagian lengan
dan kulit tubuh lainnya juga berbulu yang tergolong
lebat untuk ukuran bulu tubuh manusia. Dan bulu itu
juga berwarna abu-abu.
Orang itu mengenakan jubah hitam berlengan
longgar. Sabuknya berukuran besar warna hitam pula.
Di sabuknya itu terselip sebuah bumerang berujung
tajam. Melihat kehadiran orang tua itu, Bujang Lola
segera meratap dalam tangisnya sambil berucap kata,
"Guru, tolong saya...!"
"Bocah goblok!" bentak orang tua itu yang tak lain adalah Leak Parang, seorang
tokoh sakti yang ja-
rang muncul jika bukan karena ada urusan sangat
penting. Bujang Lola adalah pelayan dari Leak Parang,
tetapi selalu merasa menjadi murid Leak Parang. Itu
disebabkan karena Leak Parang sendiri berlagak tidak
pernah tahu bahwa Bujang Lola mencuri-curi jurusnya
jika ia sedang melatih kedua muridnya yang kini su-
dah jarang bertemu itu.
"Sudah tahu tidak punya kemampuan apa-apa
masih nekat mengadu nyawa dengan orang berilmu
tinggi!" omel Leak Parang. "Aku tahu, lawanmu itu pasti berilmu tinggi dan kau
terkena racun Ludah Kobra!
Dan orang yang memiliki racun Ludah Kobra berarti
dia punya ilmu tinggi!"
"Saaaya... diserang mendadak, Guru!"
"Itu salahmu sendiri. Beberapa waktu yang lalu
sudah ku ingatkan agar jangan keluar dari pondok!
Kau banyak kehilangan tenaga. Tapi kau nekat, dan
sekarang kau tak bisa menghindari serangan dari la-
wanmu! Masih untung kau bisa bertemu denganku da-
lam keadaan hampir mati! Seharusnya kau bertemu
denganku dalam keadaan sudah menjadi bangkai, ta-
hu"!" Bujang Lola terisak-isak seperti anak kecil.
Buat Leak Parang, sikap cengengnya Bujang Lola su-
dah tidak aneh lagi. Leak Parang tahu, Bujang Lola sejak lahir tanpa orang tua,
dia selalu merindukan kasih sayang dari siapa pun, ingin bermanja namun tak
punya tempat, ingin mengadu tapi tak punya pelin-
dung. Keadaan seperti itu membuat hatinya mudah
tersentuh dan gampang hanyut dalam keharuan, se-
hingga tumbuhlah ia menjadi manusia cengeng.
Sekalipun demikian, Leak Parang sebenarnya
sayang kepadanya. Bujang Lola cukup lama mengabdi
menjadi pelayannya, sehingga Leak Parang sudah
menganggapnya bukan pelayan lagi. Tapi ia tetap me-
nolak jika dipanggil sebagai guru Bujang Lola. Leak Parang tidak mau mempunyai
murid yang cengeng. Se-
dangkan Bujang Lola sulit menghilangkan sikap cen-
gengnya itu, sehingga Leak Parang hanya bisa menem-
patkan Bujang Lola sebagai pelayan.
Beruntung sekali dalam keadaan separah itu
Bujang Lola ditemukan oleh Leak Parang, Jika tidak,
tak sampai matahari terbenam ia sudah mati dalam
keadaan pecah-pecah raganya. Leak Parang segera
sembuhkan Bujang Lola, ia melenyapkan racun Ludah
Kobra dengan mengubur sebagian tubuh Bujang Lola
sampai sebatas leher.
Kisah Sepasang Rajawali 6 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Suramnya Bayang Bayang 15
^