Pencarian

Utusan Pulau Keramat 2

Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat Bagian 2


Masih menatap dalam jarak dekat, Lili mem-
bungkamkan mulutnya sampai beberapa saat. Kira-
kira tiga helaan napas, terdengar lagi ia ucapkan kata,
"Yang jelas aku akan halangi niat Kembang
Mayat untuk merebut Yoga dari hatiku! Sekarang, apa
tindakanmu?"
"Aku tidak akan bertindak apa-apa selama kau
tidak bertarung secara langsung dengan sang Ketua!
Toh semua keputusan akhir ada di tangan Yoga sendi-
ri! Apakah dia mencintaimu atau mencintai Kembang
Mayat!" Terbungkam lagi mulut Pendekar Rajawali Putih. Ia palingkan pandang
dengan tetap berdiri di de-
pan Lembayung Senja. Ia simpan kegelisahan yang
mengobarkan geram amarah di dalam dada. Sejenak
kemudian, ia pun berkata dengan nada datar,
"Kalau kau memberitahukan kepada mereka
berenam tentang di mana Yoga, aku terpaksa bertin-
dak kasar kepadamu!"
"Kalau hal itu kulakukan, berarti aku sudah
siap melawanmu!"
"Kapan saja waktunya kau siap melawan aku
beritahukan padaku. Aku akan melayanimu!"
"Lili...!" sentak Lembayung Senja. "Haruskah persahabatan kita pecah gara-gara
kabar dari enam
utusan Pulau Keramat itu?"
"Jika tak bisa dihindari, apa boleh buat! Semua
itu tergantung bagaimana sikapmu!"
"Untuk sementara, lupakan dulu soal itu! Kura-
sa kita memang perlu selekasnya menemui Tabib Pe-
rawan untuk bikin perhitungan dengan perempuan
itu!" Lembayung Senja mengalihkan pembicaraan.
Agaknya Lili setuju, sehingga mereka pun kembali te-
ruskan langkah menuju ke Lembah Bukit Berhala.
Sepasang mata dan sepasang telinga yang men-
gikuti mereka ternyata sudah tidak lagi tertarik dengan langkah perjalanan
tersebut. Sepasang mata dan sepasang telinga itu ternyata lebih tertarik
mengikuti langkah para utusan dari Pulau Keramat itu, dan ia beru-
saha bergerak mendahului para utusan tersebut.
Keenam utusan dari Pulau Keramat segera hen-
tikan langkah setelah mereka sama-sama melihat di
depan mereka berdiri seorang pemuda berpakaian hi-
jau dengan rompi rapat warna putih. Pemuda itu tak
lain adalah Tamtama, yang sedang kebingungan men-
cari orang untuk membunuh Pendekar Rajawali Me-
rah. Gandaloka yang agaknya menjadi pimpinan da-
ri beberapa orang utusan Ratu Kembang Mayat itu,
maju mendekati Tamtama dan menyapanya dengan
kesan bersahabat,
"Ada keperluan apa sehingga kau menghadang
dl depan langkah kami, Sobat"!"
"Benarkah kalian utusan dari Pulau Keramat
itu?" tanya Tamtama meyakinkan diri sekali lagi.
"Ya. Benar! Perlu apa kau menanyakan hai itu
kepada kami, sedangkan kami tidak mengenai siapa
kamu, Sobat!"
"Namaku Tamtama! Aku sahabatnya Tanduk
Iblis!" "Tanduk Iblis..."!" salah seorang dari mereka bergumam, yaitu yang
bernama Lombo. Gumaman itu
membuat temannya yang lain memandang ke arahnya.
Lalu yang bernama Rogami bertanya,
"Sepertinya aku juga pernah mendengar nama
itu!" "Dia anaknya Paman Tartar!" kata yang bernama Sarpa
"O, ya, ya...! Dia memang orang kami," kata Gandaloka kepada Tamtama. "Ada apa
kau membawa-bawa nama orang kami itu?"
"Aku hanya ingin menunjukkan di mana
mayatnya sekarang berada!"
"Mayatnya"!" Gandaloka berkerut dahi. "Apakah Tanduk iblis sudah meninggal?"
"Sudah! Mari ikut aku...!"
Keenam utusan Pulau Keramat itu segera men-
gikuti langkah Tamtama. Rupanya Tamtama membawa
mereka ke tempat bekas pertarungan antara Yoga dan
Tanduk Iblis. Di sana Tamtama menunjukkan mayat
Tanduk Iblis yang belum dimakamkan.
Para utusan Pulau Keramat itu memperhatikan
mayat Tanduk Iblis dengan mata sedikit berkesip, tapi tak terlihat kesan kaget
ataupun marah atas kematian
Tanduk Iblis itu. Kemudian Tamtama bertanya,
"Apakah benar ini orang yang kalian katakan
sebagai anaknya Paman Tartar tadi?"
"Ya, benar!" jawab Sarpa yang berkumis lebat dan berwajah angker.
"Tidakkah kalian ingin menuntut kematian te-
man kalian ini?" kata Tamtama kepada Sarpa, tapi yang menyahut Gandaloka,
"Tanduk Iblis adalah pengacau di negeri kami!
Kematiannya ini membuat rakyat kami menjadi lega.
Jadi kami tidak perlu menuntut kepada siapa pun!"
"Tapi aku tahu siapa pembunuhnya!"
"Kami tidak perlu tahu!" jawab Gandaloka.
"Rupanya orang Pulau Kana kurang memiliki
rasa persahabatan!"
"Barangkali kita punya cara menilai persahaba-
tan yang berbeda, Tamtama! Kami tidak bersahabat
dengan seorang pengacau seperti si Tanduk Iblis dan
yang lainnya!"
Pancingan Tamtama agar mereka marah, ter-
nyata tidak mengenai sasaran. Tetapi ia tidak mau
mundur begitu saja, ia bahkan menghasut,
"Pembunuh Tanduk Iblis ini, bercita-cita ingin
menumpas habis semua orang Pulau Kana, baik yang
dewasa maupun yang masih bayi!"
Gandaloka tersenyum, yang lainnya tetap diam
tanpa perubahan air muka sedikit pun. Gandaloka
berkata, "Banyak orang yang bercita-cita begitu, tapi pa-
da umumnya mereka hanya bisa bercita-cita saja! Me-
reka tak akan lakukan apa-apa setelah bertemu den-
gan kami!"
"Tapi orang itu sangat pemberani!".
"Setiap orang mempunyai keberanian yang ber-
beda, tergantung saatnya dan tugasnya!" jawab Gandaloka yang agaknya tahu persis
bahwa dirinya bersama
kelima anak buahnya sedang dipancing untuk marah.
"Jadi kalian tak ingin menuntut balas atas ke-
matian warga sendiri ini?"
"Tamtama, kami tidak bertugas mengurus balas
dendam! Kami adalah prajurit pilihan untuk menjaga
istana dan melaksanakan tugas-tugas dari Gusti Ratu!
Jadi urusan balas dendam bukan bidang kami!"
Orang besar berambut ikal yang bernama Yo-
dana itu berkata kepada Gandaloka, "Sebaiknya kita teruskan pencarian kita!
Jangan terlalu banyak melayani hal-hal yang tidak perlu, Gandaloka!"
"Baik! Kita teruskan langkah kita, Yodana!"
"Tunggu...!" sergah Tamtama. "Kalian akan pergi mencari Pendekar Rajawali Merah,
bukan?" "Benar," jawab Gandaloka kalem.
"Orang itulah yang membunuh teman kalian
ini!" "Bukan pekerjaannya yang kami cari, tapi
orangnya!"
"Aku bisa tunjukkan di mana dia berada!"
Keenam orang tinggi besar itu saling pandang-
kan wajah masing-masing. Kemudian serempak mere-
ka menatap Tamtama, dan Gandaloka berkata tetap
dengan tenang, "Benarkah kau tahu pendekar bertangan bun-
tung itu?"
"Benar! Aku tahu! Tapi... aku sangsi apakah ka-
lian mampu membunuh pendekar bertangan buntung
sebelah itu?" pancing Tamtama agar mereka penasa-
ran. Tapi nyatanya mereka tetap tenang, dan Gandalo-
ka yang selalu bicara kepada Tamtama menyahut.
"Kami mencari dia bukan untuk dibunuh! Jan-
gan salah duga, Tamtama! Justru kami mencari dia
untuk kebaikan!"
"Kalau begitu, aku tak tahu di mana dia!" Tamtama cemberut kesal.
Tetapi yang bernama Gadranaya berbadan pal-
ing gemuk dari kelima temannya itu segera datang
mendekati Tamtama. Rambut Tamtama dijambaknya
dan diangkat hingga kaki Tamtama tidak menyentuh
tanah. "Tunjukkan dia, dan jangan bikin kami marah kepadamu!"
"Bbba... ba... baik! Lepaskan dulu rambutku.
Auuh...!" "Gadranaya, lepaskan dia!" perintah Gandaloka tetap dengan suara kalem, tanpa
ada bentakan sedikit
pun. Maka Gadranaya pun melepaskan jambakan
rambut tersebut. Bruuk...! Tamtama menyeringai ke-
sakitan sambil memijat-mijat kepalanya.
Gandaloka bertanya, "Di mana kami bisa men-
jumpai Pendekar Rajawali Merah itu, Tamtama?"
"Di... di... mungkin dia ada di rumahnya Tabib
Perawan!" "Di mana rumah Tabib Perawan itu, Tamtama?"
"Di sana! Jauh...!"
Sraaak. ! Wuuut...! Gadranaya kembali men-
jambak rambut Tamtama dan mengangkatnya hingga
kaki Tamtama tergantung. Kulit kepala Tamtama ra-
sanya mau copot saja dijambak sedemikian rupa. Ke-
mudian, Gandaloka berkata dengan tersenyum tenang,
"Maukah kau tunjukkan dan mengantar kami
ke rumah Tabib Perawan?"
"Bbba... baik! Iiy... iya, aku mau!"
Sambil bersungut-sungut, Tamtama pun akhir-
nya mengantarkan mereka ke rumah Tabib Perawan.
Hatinya menyesal mengatakan bahwa dia tahu di ma-
na Pendekar Rajawali Merah berada. Karena, semula ia
berharap orang-orang itu hendak mencelakai Yoga, ta-
pi ternyata justru datang dengan maksud baik, dan se-
cara tak langsung telah menampakkan sikap pembe-
laannya kepada Yoga. Tamtama menjadi sangat kesal,
karena kebenciannya kepada Yoga belum ada yang bi-
sa membalaskannya.
Sampai di rumah Tabib Perawan, ternyata ru-
mah itu dalam keadaan tertutup rapat dan terkunci.
Kuncinya bukan memakai gerendel biasa, melainkan
memakai sinar berlapis yang mengelilingi pintu terse-
but. Sinar itu berwarna hijau samar-samar.
Ketika Tamtama hendak mengetuk pintu itu,
tiba-tiba tangannya menjadi kaku dan sekujur tubuh-
nya gemetar keras. Ia menyeringai kesakitan bagai dis-engat petir sekujur
tubuhnya. Nyuuut...!
"Woaowww...! Uuuhg...! Tolong, tolong...! To-
long, Gandaloka!"
Kaki Gandaloka yang besar itu segera menen-
dang punggung Tamtama. Buuhg...! Tubuh Tamtama
terpental dan jatuh tersungkur mencium tanah. Ia
mengerang kesakitan di sana. Sementara itu, Gadra-
naya dan yang lainnya saling pandang, lalu sepakat
mereka menatap ke arah pintu tersebut Kelima orang
itu tiba-tiba memancarkan sinar merah dari mata me-
reka. Wuuut...! Sinar merah itu menghantam pintu
yang tertutup itu. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi ledakan yang dahsyat.
Blaaar...! Kelima orang itu terpental bersama. Kendati
tubuh mereka besar-besar, namun dapat terpental ba-
gaikan daun kering dihempas oleh angin badai yang
cukup kencang. Sedangkan pintu itu tetap dalam kea-
daan utuh dan tertutup. Sinar hijaunya pun masih te-
tap mengelilingi tepian daun pintu.
"Benarkah rumah ini adalah rumahnya Tabib
Perawan?" tanya Gandaloka kepada Tamtama yang ba-ru saja berdiri sambil
membersihkan pakaiannya yang
kotor. "Benar! Memang inilah rumahnya!"
"Agaknya mereka pergi, Gandaloka!" kata Yoda-na.
"Pergi..."! Pergi ke mana"!" gumam Gandaloka dalam renungannya.
Pada waktu itu, Lili dan Lembayung Senja pun
tiba di rumah tersebut. Mereka terkejut melihat para
utusan sudah ada di rumah Tabib Perawan. Rupanya
pemuda lumayan tampan berpakaian hijau itulah yang
menunjukkan di mana Yoga berada. Lili hampir saja
melepaskan pukulan untuk Tamtama, tapi Lembayung
Senja mencegah dengan berbisik lirih,
"Jangan! Nanti mereka tahu siapa kita dan apa
tujuan kita."
Lili mengurungkan niatnya. Tapi ia memandang
benci kepada pemuda yang lumayan tampan itu. Gan-
daloka tersenyum kepada Lili dan berkata,
"Agaknya kau juga menduga Pendekar Rajawali
Merah ada di sini, Nona"! Atau barangkali kau tahu
dengan pasti bahwa dia di sini?"
Lembayung Senja yang menyahut, "Justru kami
coba-coba mencarinya kemari! Apakah dia ada di ru-
mah itu?" "Tidak ada! Rumah tertutup, pintunya dipasan-
gi sinar penghancur! Kami tak bisa membuka pintu
rumah itu dan menggeledahnya!" kata Gandaloka
sambil menunjukkan sinar hijau mengelilingi pintu.
Lili berkata dalam bisikan, "Itu pekerjaan Yoga!
Biasanya, bila rumah dipasangi sinar hijau begitu, mereka pergi jauh dan untuk
beberapa saat tidak pulang
ke rumah! Itu sinar anti maling!"
"Kalau begitu, mereka pergi ke mana?"
"Mungkin... mungkin kita terlambat! Mereka te-
lah bersembunyi di suatu tempat yang tak mudah di-
temukan oleh kita!" ,
Benarkah Yoga dan Sendang Suci bersem-
bunyi" Siapa yang mereka hindari jika benar mereka
bersembunyi" Lili atau keenam utusan Pulau Keramat
itu" Dari mana Yoga tahu kalau akan kedatangan me-
reka"

Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

* * * 6 PUNCAK Gunung Rimba Gading tidak terlalu
tinggi untuk di daki. Tetapi udara di sana cukup din-
gin. Ketinggian puncaknya sering dilapisi kabut dan
salju. Hutan-hutannya penuh dengan tanaman liar
yang jarang terdapat di tempat-tempat lainnya.
Di puncak Gunung Rimba Gading itu, dulu
pernah tinggal seorang pertapa sakti yang bernama
Resi Tandang Gawe. Orang sakti inilah yang dulu men-
jadi guru dari Sendang Suci. Kabarnya, Resi Tandang
Gawe meninggal secara moksa; hilang begitu saja tan-
pa bekas. Petilasannya masih ada sampai sekarang, dan
tak satu pun orang bisa menemukan tempat tinggal
mendiang Resi Tandang Gawe, selain Tabib Perawan
atau Sendang Suci itu. Petilasan tersebut berupa se-
buah gua yang cukup lega di bagian dalamnya, tanpa
memiliki lorong tembus ke mana-mana.
Atas desakan Pendekar Rajawali Merah, akhir-
nya Sendang Suci membawa keponakannya, Mahligai,
untuk mengungsi ke puncak Gunung Rimba Gading
itu. Mereka menempati petilasan Resi Tandang Gawe
dengan masih tetap memasung Mahligai yang semakin
hari semakin liar serta buas. Jika tidak ditotok terus-menerus, maka Sendang
Suci pun bisa dimakannya
habis. Sebenarnya Sendang Suci tidak ingin berada di tempat dingin itu. Tetapi
Pendekar Rajawali Merah
memaksanya; biar bagaimanapun Sendang Suci harus
bersembunyi, karena Yoga punya firasat bahwa Lili
akan mengetahui siapa Topeng Merah sebenarnya.
Dan jika Lili mengetahui hal itu, bisa dipastikan ia
akan datang kepada Sendang Suci dan menuntut balas
atas terpotongnya tangan Yoga kepada Sendang Suci.
"Aku akan hadapi dia! Aku tidak takut terpo-
tong tanganku! Kalau toh dia mengancam ingin mem-
bunuh ku, aku akan hadapi juga. Belum tentu aku ka-
lah dengannya!" begitu Sendang Suci bersikeras pada mulanya. "Apa pun yang
terjadi aku harus tetap di si-ni!"
"Bibi harus mengungsi ke sana! Bibi harus ber-
sembunyi di Gunung Rimba Gading! Sekalipun aku
percaya, Bibi mampu melawan Lili, tapi aku tidak ingin pertarungan itu terjadi!"
Sendang Suci diam menerawang. Pandangan
matanya terlempar jauh. Lalu Pendekar Rajawali Me-
rah berkata lagi, "Bibi adalah orang pertama yang me-
nolongku mempertemukan aku dengan Lili! Masih in-
gatkah Bibi, waktu aku datang bersama Mahligai dan
menanyakan tentang seekor burung rajawali putih"
Pada waktu itu, Bibi bercerita tentang seekor burung
rajawali putih yang terbang ke arah Gunung Menara
Salju. Lalu aku pergi ke sana dan menemukan Lili dan
burung rajawali putihnya. Andaikata waktu itu Bibi
membisu dan tidak menceritakan tentang hal itu, ma-
ka aku tidak tahu harus pergi kemana dalam mencari
burung rajawali putih itu. Mungkin aku akan tersesat
di tempat jauh dan belum bertemu Lili sampai saat ini.
Juga kalau bukan karena Mahligai yang membawaku
kepada Bibi, lantas kepada siapa aku harus bertanya?"
(Baca episode: "Wasiat Dewa Geledek").
Sendang Suci hanya menarik napas, lalu Yoga
menyambung kata,
"Bibi dan Mahligai adalah orang yang berjasa
dalam hidupku," kata Pendekar Rajawali Merah. "Ketika aku mengenal manusia
pertama kalinya, yang ku-
kenal adalah guruku; si Dewa Geledek itu. Ketika aku
turun dari gunung, yang kutemukan pertama kali ada-
lah Mahligai dan si Mata Neraka. Mahligai lah orang
pertama yang kukenal setelah Dewa Geledek, guruku!
Jadi, untuk melupakan Mahligai sangat sulit bagiku,
Bi! Itulah sebabnya aku sangat prihatin melihat Mahligai terkena racun edan dari
Merak Betina sampai segi-
la itu! Buatku, Bi... melupakan orang-orang yang ber-
jasa padaku adalah sesuatu yang amat sulit. Satu kali orang berbuat baik padaku,
rasa-rasanya belum puas
hatiku jika belum membalas tujuh kali dengan kebai-
kan!" "Apakah kebaikan itu termasuk perasaan cinta dan kasih sayang?" sela
Sendang Suci masih tanpa memandang Yoga.
"Ya. Cinta dan kasih sayang, juga termasuk ke-
baikan!" jawab Yoga dengan tegas-tegas. "Tetapi cinta dan kasih sayang tidak
harus memiliki seseorang. Cinta dan kasih sayang hanya boleh diberikan kepada
se- tiap orang, sesama hidup, tapi tidak harus mengekang
kebebasan orang itu dengan memilikinya! Cinta dan
kasih adalah sesuatu yang agung dan mulia bagiku!
Kepada siapa pun Bibi boleh memberikannya; tetapi
kemesraan dan kehangatan hati hanya boleh diberikan
kepada satu orang."
"Dan aku ingin memberikannya padamu," sa-
hut Sendang Suci. 'Tetapi aku tidak ingin memaksamu
untuk menerimanya. Aku hanya memberikan, tanpa
harus menuntut pembalasan darimu!"
"Tak bisakah Bibi berikan kepada orang lain,
supaya orang itu membalasnya?"
Kali ini Sendang Suci menatap Yoga dengan
lembut dan berkata,
"Tak bisa, Yo! Tak pernah bisa kulakukan hal
itu kepada orang lain! Dan... karena itulah aku sampai sekarang masih perawan!"
Yoga semakin rapat memeluk Sendang Suci. Perempuan itu merasa damai di da-
lam pelukan pemuda tampan tersebut. Kemudian ter-
dengar suara Sendang Suci berkata seperti ditujukan
pada dirinya sendiri.
"Barangkali perasaan kasih ini adalah yang pal-
ing tulus yang pernah kumiliki. Sekalipun tidak terjamah olehmu, aku akan
menyimpannya sendiri. Ku-
simpan dalam hidupku, ku sematkan dalam keabadian
hatiku! Kelak, suatu saat, siapa tahu kau ingin memi-
likinya. Tak akan kubiarkan orang lain merenggutnya
dari hatiku, kecuali kamu!"
Terharu lembut hati Pendekar Rajawali Merah
mendengar ucapan itu. Rasa-rasanya ia ingin memeluk
Sendang Suci mulai sekarang sampai selama-lamanya.
Tetapi hatinya sudah tersita habis untuk Guru Li.
Pendekar Rajawali Merah tak mampu lagi menyisipkan
perempuan lain di relung hatinya, kecuali hanya Lili, si Pendekar Rajawali
Putih. Hanya saja, selama ini Yoga
tak pernah menampakkan sikap kasih dan cintanya
kepada Lili. "Bibi, kurasa sudah waktunya aku pergi men-
cari bunga Teratai Hitam untuk Mahligai!" kata Yoga di awal pagi.
"Berangkatlah jika itu cita-cita mu!" kata Sendang Suci.
"Bagaimana kesehatan tanganku ini menurut
Bibi?" "Sudah tak ada halangan! Kau sudah pulih seperti sediakala walau hanya
bertangan satu!"
"Kalau begitu, saya berangkat pagi ini juga dan
kembali secepatnya setelah kudapatkan bunga Teratai
Hitam itu!"
"Lakukan yang terbaik menurutmu, Yo! Aku
percaya padamu!" Sendang Suci sunggingkan senyum menyambut pagi yang cerah.
"Kalau suatu saat kau temukan aku mati di sini, tolong makamkan aku di dalam gua
ini!" "Mengapa Bibi berkata begitu?"
"Karena usiaku sudah cukup tua. dan kau ma-
sih muda! Besar kemungkinan kau masih tahan lama
dalam hidup, aku tinggal separo hidup lagi! Besar ke-
mungkinan kau akan lupa padaku setelah kau mem-
baur dengan cinta dan kasih sayang mu di sana, se-
dangkan aku tetap merawat hatiku untuk dirimu!"
"Ah, sudahlah! Jangan bicara soal umur! itu
kekuasaan Yang Maha Agung!"
Perempuan cantik yang masih kelihatan muda
itu kembali sunggingkan senyum manisnya. Tangan-
nya menjamah pipi Yoga dan mengusap-usapnya den-
gan lembut sambil berkata,
"Berangkatlah! Tunjukkan padaku bahwa kau
seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu
memperoleh kemenangan! Tumbangkan lawanmu dan
jangan kasih kesempatan untuk melukaimu lagi!"
Dada Yoga terasa keras bagaikan baja. Ia terse-
nyum menawan sambil berkata dengan tegas,
"Aku tidak ingin mengecewakan mu, Bi! Akan
ku ingat selalu pesanmu ini! Jaga dirimu baik-baik,
Bi!" Sendang Suci hanya mengangguk dan terse-
nyum. Ia menatap kepergian Yoga dengan tegar.
* * * Tak seorang pun tahu, di mana Yoga saat itu.
Tak heran jika Lili dan Lembayung Senja kebingungan
mencarinya. Enam utusan dari Pulau Keramat itu pun
kebingungan mencari Pendekar Rajawali Merah. Tetapi
usaha mereka tidak berhenti sampai di situ saja. Me-
reka terus mencari demi tugas dan sang Ratu.
Ketika Lili berpapasan dengan Jalak Hutan,
yang pernah disembuhkan dari luka-lukanya, ia men-
jadi geram mendengar kata-kata Jalak Hutan yang
bernada tak enak di hati.
"Mana Pendekar Rajawali Merah itu"! Dia ber-
sama Sendang Suci akan kubunuh! Dia telah mem-
buat keponakanku tergila-gila dan Sendang Suci telah
meracuninya! Dia dan Sendang Suci penyebab sakit-
nya Mutiara Naga, keponakanku itu!"
"Kau ini gila atau sinting" Datang-datang lang-
sung marah-marah kepada kami!" kata Lembayung
Senja. "Kau juga!" bentak Jalak Hutan. "Kau yang pernah menganiaya aku seenak
perutmu sendiri, bukan"!" Lili menyahut, "Dan aku yang menyembuhkan mu, bukan"!"
"Aku tak peduli siapa kau sekarang! Aku tahu
kau orang seperguruan dengan Pendekar Rajawali Me-
rah itu! Kalau perlu aku pun akan membunuhmu, ka-
rena keponakanku yang tersayang itu sekarang sakit
dan hampir mati gara-gara orang seperguruanmu!"
"Lili, tinggalkan saja orang ini! Dia cuma orang gila yang cari-cari perkara!
Jangan layani dia!"
"Hei, tunggu dulu!" Jalak Hutan melompat ke depan mereka.
"Jangan cari penyakit, Jalak Hutan!" hardik Lembayung Senja.
"Aku tidak cari penyakit, tapi siapa yang akan
bertanggung jawab dengan sakitnya Mutiara Naga itu,
hah"! Siapa"!"
"Mengapa kau menuntut kepada kami!" bentak
Lili tak sabar lagi. "Kami tidak ada hubungannya dengan sakitnya keponakanmu
itu! Kalau kau mau cari
mampus, dekatlah kemari!"
Jalak Hutan terengah-engah. Memandang den-
gan nanar, menoleh ke kiri dan ke kanan seperti kehi-
langan arah. Apa yang dilakukan serba salah saja ra-
sanya. "Aku panik!" sambil ia membuka kedua tangannya. "Aku panik sekali!
Keponakanku sakit dan aku tidak tahu di mana Sendang Suci!"
"Kenapa dia sakit?" tanya Lili menurunkan
amarahnya. "Dia meminta bantuan kepada Sendang Suci
untuk menundukkan Yoga. Dia diberi minuman yang
katanya adalah minuman Darah Kasih Dewa, bisa un-
tuk membuat Pendekar Rajawali Merah itu terpikat
olehnya. Tapi setelah ia minum, ternyata itu racun
yang membahayakan. Untung tidak semuanya cairan
itu diminum! Sekarang Mutiara Naga dalam keadaan
sekarat! Aku harus berbuat apa sedangkan rumah
Sendang Suci si Tabib Laknat itu dalam keadaan tertu-
tup! Aku gugup! Panik sekali!"
Lili menarik napas dalam-dalam. Agaknya
orang ini akan mencurahkan kemarahannya terhadap
Sendang Suci, tapi tidak punya sasaran. Akibatnya
siapa saja yang bertemu dengannya menjadi tempat
pelampiasan kemarahannya.
Tiba-tiba Jalak Hutan bergerak cepat memutar
dan kakinya menendang kepala Lembayung Senja den-
gan kilat. Wuuut...! Plook!
Lembayung Senja tak siap dan terpental jatuh
akibat tendangan tersebut. Lembayung Senja yang su-
dah tidak bersenjatakan cambuk tadi bersenjatakan
pedang itu, segera mencabut pedangnya. Cambuknya
telah putus pada saat melawan Topeng Merah di pe-
sanggrahannya. Kini pedanglah yang menjadi andalan
Lembayung Senja dan ditebaskan ke arah lawannya
dengan satu kali lompatan kaki. Wuuut...!
Traang...! Jalak Hutan cepat mencabut pedang
sambil berkelebat menangkis pedang Lembayung Sen-
ja. Lili mundur beberapa langkah untuk memberikan
tempat bagi Lembayung Senja yang telah terkena ten-
dangan Jalak Hutan itu. Lili sengaja membiarkan me-
reka bertarung karena antara Jalak Hutan dan Lem-
bayung Senja memang ada dendam sendiri yang tak
bisa dicampuri terlalu dalam.
Lembayung Senja berdiri dengan pedang di
tangan ke atas kepala, dan tangan kirinya pun naik dl atas kepala mendekati
ujung pedangnya. Jurus kedua
dibuka oleh Lembayung Senja, sementara itu Jalak
Hutan pun membuka jurus keduanya dengan pedang
di tengah dada, berdiri tegak ke atas.
"Aku akan membalas kekalahan ku ketika ke-
palaku masih terdongak tempo hari itu, Lembayung
Senja!" "Kulayani apa maumu, Bandot Busuk!"
"Hiaaat...!"
Wuuus...! Wuuut, traaang...! Pedang mereka
beradu, keduanya sama-sama mental ke belakang tak
seberapa jauh dan tak sampai jatuh. Lembayung Senja
membuka jurus ketiganya. Jalak Hutan tak mau kalah
dan menggunakan jurus ketiganya juga.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar suara berseru da-ri arah barat. Semua mata
memandang ke arah barat.


Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda
tampan bertangan buntung. Lili segera memekik,
"Yooo...!" ia berlari dan menghamburkan pelukan manjanya kepada orang yang
selama ini dice-
maskan bakal tak muncul lagi. Pertarungan Jalak Hu-
tan dan Lembayung Senja pun terhenti karena seruan
tadi dan kini mereka sibuk memperhatikan pelepasan
rindu Lili kepada Yoga.
"Kupikir kau hanyut bersama perempuan itu!"
Lili bersungut-sungut.
"Tidak mungkin aku hanyut dengan perempuan
lain selama kau masih berkeliaran dl permukaan bumi
ini, Guru Li!" sambil Yoga mencubit dagu Pendekar Rajawali Putih. Tapi pada saat
itu Jalak Hutan berseru,
"Yo, bagaimana dengan nasib keponakanku itu!
Dia minum racun dari Sendang Suci! Mana si Tabib
Laknat itu, hah"!"
"Aku tidak tahu di mana dia sekarang!"
"Bohong! Belakangan ini dia akrab denganmu,
pasti kau tahu di mana dia! Akan kupenggal kepa-
lanya karena dia membuat Mutiara Naga sekarat sam-
pai saat ini!" bentak Jalak Hutan.
"Sabarlah, Paman Jalak Hutan!" kata Yoga dengan kalem. "Jangan kau marah-marah
padaku, dan pada mereka berdua!"
"Bagaimana aku tidak marah"! Mutiara Naga
nyawanya terancam!"
"Boleh aku mengunjunginya?" tanya Yoga.
"Datanglah lekas ke rumahku! Mutiara Naga
ada di sana!" sahut Jalak Hutan.
"Guru, aku mau ke sana! Maukah kau ikut ke
sana, Guru?"
Lili tidak menjawab. Wajahnya terlihat sedih.
Baru saja bertemu, Yoga harus pergi lagi. Sepertinya
Yoga mementingkan perempuan lain ketimbang di-
rinya. Kemudian ketika Yoga pergi bersama Jalak Hu-
tan, Lili mengikutinya, Lembayung Senja pun menyer-
tainya. * * * 7 RACUN yang ditelan Mutiara Naga memang
berbahaya. Tetapi berkat pertolongan Yoga yang me-
nyalurkan hawa murni ke dalam tubuh Mutiara Naga,
racun itu bisa terhambat cara kerjanya hingga menjadi lemah. Mutiara Naga
mendapat sedikit kesegaran baik
tubuhnya maupun hatinya, karena rasa rindu ingin
bertemu dengan Yoga telah terpenuhi.
Sayangnya Yoga datang bersama Lili dan Lem-
bayung Senja. Hati Mutiara Naga sedikit kecewa kare-
na memendam rasa cemburu. Sekalipun Yoga menge-
tahui hal itu, namun ia berlagak pura-pura tidak tahu adanya kecemburuan di
dalam hati Mutiara Naga.
Yoga berkata kepada Jalak Hutan, "Racunnya
sudah ku hambat! Secepatnya aku akan menghubungi
kenalan ku yang juga ahli racun. Akan kumintakan
obat padanya, atau bila perlu kubawa kemari orangnya
biar mengobati Mutiara Naga sendiri!"
Jalak Hutan sedikit tenang melihat kejang-
kejang yang tadi dialami Mutiara Naga itu sudah tidak ada lagi. Amarah Jalak
Hutan pun mereda turun. Ia
hanya berkata, "Kapan kau akan membawa kenalan mu itu?"
"Secepatnya! Mungkin sekarang juga aku akan ke sa-na, atau lusa. Tapi kurasa
racun itu sudah tidak ber-
bahaya seperti tadi. Masih cukup waktu untuk menca-
ri penangkalnya!"
Ketika mereka meninggalkan Mutiara Naga dan
Jalak Hutan, Lili sempat berbisik kepada Yoga,
"Kau banyak waktu untuk mengurus perem-
puan lain, tapi kau tidak punya waktu untuk memper-
hatikan aku, Yo!"
"Aku memperhatikan kamu dart hati, Guru!
Bukan dari mata!"
Lili menarik napas, lalu berkata, "Kau harus
banyak berlatih! Ilmu pedang tangan satu harus kau
perdalam! Mulai besok kita berlatih di pondoknya si
Tua Usil!"
"Guru, aku ingin beristirahat dulu!"
"Kau harus berlatih Ilmu pedang tangan satu!
Kau banyak menghadapi bahaya, Yo! Malaikat Gelang
Emas bisa menghadangmu sewaktu-waktu, dan kau
akan keteter jika tidak menguasai jurus ilmu pedang
tangan satu!"
"Aku sudah belajar dari Eyang Guru Dewa Ge-
ledek!" "Tapi kau belum menguasai jurus 'Pedang Buntung'!" "Apa ada jurus
'Pedang Buntung'?"
"Aku yang menemukan jurus itu di dalam gua
di laut!" kemudian, Lili hentikan langkah. la berpaling kepada Lembayung Senja
dan berkata, "Pinjam pedangmu, Lembayung Senja!"
Lembayung Senja pun menyerahkan pedang-
nya, kemudian Lili menyuruh Yoga mengambil seba-
tang kayu seukuran pedang juga.
"Pakai kayu itu. Anggap itu pedang. Sekarang,
serang aku!"
Dengan menggunakan kayu yang diibaratkan
pedang, Yoga menebaskannya dari atas ke bawah. Lili
berkelit ke samping menghindari kayu itu, kemudian
pedangnya ditancapkan di tanah dengan satu tangan.
Dan pada waktu menancapkan pedang itu tubuh Lili
ikut membungkuk, lalu dengan satu tangan ia ber-
tumpu pada pedang, kakinya naik ke belakang dalam
gerakan seperti mau bersalto, dan kedua kaki itu men-
jejak wajah Yoga empat kali berturut-turut dengan ke-
cepatan yang luar biasa. Des, des, des, des...! Yoga pun tersentak mundur dan
membentur pohon. Kemudian
kaki Lili mendarat ke tanah dalam satu sentakan tu-
buh hingga melompat mendekati Yoga, tahu-tahu
ujung pedang sudah ada di depan leher Yoga yang se-
dang bersandar di pohon.
Wuuut...! Yoga melirik ke ujung pedang yang sudah tera-
cungkan di depan lehernya itu, dan Lili pun berkata,
"Satu sentakan, lawan akan mati tertusuk pe-
dang lehernya! Ini namanya jurus 'Pedang Buntung'!"
"Fuih...! Hebat sekali"!"
"Ambil kayu itu lagi," perintah Lili dengan tegas-tegas tanpa ada kelembutan dan
senyum sedikit pun. "Serang aku kembali!"
Yoga kembali menyerangnya walau kepalanya
masih sedikit pening karena tendangan beruntun em-
pat kali tadi. Kali ini Yoga menebaskan kayu itu ibarat pedang mau merobek perut
atau dada lawan. Lili menangkis kayu itu dengan bagian pedang yang tumpul.
Kakinya maju dan tubuhnya berputar, lalu dengan
membelakangi Yoga siku tangan yang memegang pe-
dang itu menyodok ke belakang, tepat mengenal rusuk
kanan Yoga. Kaki itu sendiri menggaet kaki Yoga hing-
ga Yoga jatuh. Dengan cepat Lili bersalto ke belakang agak menyamping, dan
begitu mendarat ia langsung
jongkok dengan berdiri satu lutut, sedangkan pedang-
nya sudah siap menghujam ke jantung lawan. Yoga
melirik ke ujung pedang yang berhenti tepat di depan
jantungnya, siap untuk ditancapkan.
"Matilah aku ditusuk jantungku!" kata Yoga.
"Ini namanya jurus 'Pedang Sepenggal', cocok
untuk orang yang buntung tangan kirinya!" kata Lili dengan tegas. Ia segera
bangkit berdiri dan menyerahkan pedang kepada Lembayung Senja.
Melihat jurus pedang Lili yang dipamerkan ke-
pada Yoga, Lembayung Senja semakin tertarik untuk
mempelajari jurus-jurus yang dimiliki Pendekar Raja-
wali Putih itu. Karenanya, sejak awal ia lebih suka ber-
sama-sama Lili, karena diam-diam dia ingin mempela-
jari ilmu dari Pendekar Rajawali Putih itu, sebagai pe-nambah jurus-jurus yang
sudah dimilikinya. Sebenar-
nya ia lebih senang melihat Lili bertarung dengan lawannya yang tangguh,
sehingga dengan begitu jurus-
jurus maut Lili akan keluar dan dapat dicuri olehnya.
Tapi Lili agaknya tidak peduli dengan niat Lem-
bayung Senja. Karena ia yakin bahwa tidak semua
orang bisa memainkan jurus-jurusnya. Sekalipun me-
nemukan kuncinya, tapi tidak akan menemukan in-
tinya. Lili berkata kepada Yoga, "Kau harus pelajari jurus 'Pedang Buntung',
jurus 'Pedang Sepenggal' dan
jurus pedang lainnya! Aku jamin Eyang Guru Dewa
Geledek tidak memiliki jurus-jurus itu! Bahkan eyang
guruku sendiri, Dewi Langit Perak, tidak sempat meli-
hat aku menemukan jurus-jurus pedang itu!"
Percakapan mereka terhenti. Lembayung Senja
berseru, "Hei, lihat...! Sepertinya yang lari di sebelah sana itu si Tua Usil!"
Yoga dan Lili memandang arah yang ditunjuk-
kan Lembayung Senja. Terdengar suara Yoga bergu-
mam, "Benar! Si Tua Usil...! Ada apa dia berlari secepat itu dengan terburu-
buru?" Yoga segera memanggil orang berbaju coklat
dengan rambut putih rata itu, "Tua Usil...! Hoi...!"
Tua Usil melihat ada Yoga di sebelah timurnya.
Tapi ia bingung menghentikan larinya yang sudah te-
lanjur cepat itu. Maka tangannya segera berkelebat
menggaet pohon kecil, dan larinya menjadi memutar
pohon kecil itu, makin lama semakin pelan. Setelah itu ia baru bisa membelokkan
arah larinya ke arah Yoga,
Lili, dan Lembayung Senja. Ia terengah-engah tiba di
depan mereka. "Ada apa kau lari-lari, Tua Usil" Wajahmu pu-
cat sekali!" kata Lili sambil memandangi wajah Tua Usil yang pucat dan
berkeringat. "Ada... ada enam raksasa mencarimu, Tuan
Yo!" "Raksasa..."!" Yoga berkerut dahi. Lili dan Lembayung Senja segera ingat tentang
enam utusan dari
Pulau Keramat itu. Lalu, Lembayung Senja menimpali
kata, "Kurasa Tua Usil benar, Yo! Enam orang utusan dari Pulau Keramat
mencarimu. Mereka bertubuh
tinggi dan besar seperti raksasa!"
"Iya, betul! Pulau Keramat, sebab mereka me-
nyebutnya utusan dari Pulau Kana. Dan Pulau Kana
itu adalah Pulau Keramat! Hanya dedemit yang tinggal
di sana! Sebab itu aku tak mau tinggal di sana!"
"Di mana kau bertemu dengan mereka?" tanya
Lili. "Mereka datang ke rumah, Nona Li!"
"Siapa yang menunjukkan kalau kami tinggal di
pondokmu?"
"Bocah gemblung, Tamtama!"
"Tamtama..."!" gumam Yoga pelan.
"Bocah gemblung itu pernah melihat kita berja-
lan berdua, dan kebetulan dia melihatku sedang bera-
da dl depan rumah, lalu dia ajak keenam orang besar
itu singgah ke rumah! Tamtama memaksa saya untuk
segera mencari Tuan Yo! Jika tidak mau, rumah saya
akan dirobohkan oleh keenam orang besar itu! Karena
saya takut rumah akan dirobohkan, saya pun segera
mencari Tuan Yo dan Nona Li!"
Yoga segera berkata, "Kita pulang sekarang ju-
ga! Kita temui keenam utusan dari Pulau Keramat itu!"
"Yo, tak usah ke sana!" cegah Lili tapi Tua Usil berkata,
"Harus ke sana! Kalau tidak nanti rumah saya
dirobohkan raksasa-raksasa itu!"
"Diam kau!" bentak Lili. "Yo, kau bersembunyi saja! Aku yang akan menghadapi
mereka!" Tua Usil menggerutu sambil bersungut-sungut,
"Belum bisa berdiri di atas ilalang, rumah sudah roboh...! Huuh...!"
'Tutup mulutmu, Tua Usil!" bentak Lili dengan
mata mendelik. "Rumahmu tidak akan roboh tapi tubuh mereka yang akan roboh!"
Lembayung Senja ikut bicara kepada Tua Usil,
"Siapa yang bilang kalau rumahmu akan roboh jika Yoga tidak muncul?"
"Si gemblung Tamtama itu!"
"Itu hanya gertakan si Tamtama saja! Mereka
tak akan merobohkan rumahmu! Jangan khawatir...!"
Lili berkata kepada Lembayung Senja, "Kita be-
rangkat sekarang, Lembayung Senja!"
"Bagaimana dengan aku, Guru?"
"Bersembunyilah!" bentak Lili. "Apa kau tadi tidak mendengar aku bilang
begitu"!"
"Ak... aku... aku tak bisa bersembunyi! Aku bu-
kan pengecut!"
"Lantas apa maumu dengan tangan buntung
mu itu, hah"!" ketus Pendekar Rajawali Putih dengan mata mendelik, berkesan
galak kepada sang murid.
"Aku harus menghadapi mereka, Guru!"
"Tak perlu! Cukup aku saja! Hmmm... Lem-
bayung Senja, temani dia, dan biarkan aku pergi ber-
sama Tua Usil saja! Tua Usil, ikut aku pulang ke ru-
mah!" "Raksasa itu bagaimana?"
"Kita habisi mereka dari atas ilalang!"
"Oho, saya sangat setuju itu!" Tua Usil kegirangan begitu mendengar kata
'ilalang' dari mulut Lili.
Maka, Lili pun segera pergi dari tempat itu bersama si Tua Usil yang tersenyum-
senyum girang. Yoga ingin ikut melangkah, tapi ditahan oleh
Lembayung Senja.
"Jangan memancing kemarahan kekasihmu!
Dia kalau marah berbahaya!"
"Kenapa dia melarangku ke sana"! Apakah dia
pikir aku tak mampu melawan mereka"!"
"Kau sangat dibutuhkan oleh mereka!"
"Sangat dibutuhkan untuk apa?"
"Untuk dibawa ke Pulau Kana atau Pulau Ke-
ramat itu!"


Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa aku dibawa ke sana?" "Dikawinkan dengan Ratu Kembang Mayat!"
"Hahh..."! Kembang Mayat"! Maksudmu sang
Ketua itu?"
"Benar! Ternyata dia masih hidup, menurut
pengakuan Gandaloka!"
"Siapa Gandaloka itu?"
"Salah satu dari keenam utusan Pulau Keramat
itu!" kemudian, Lembayung Senja menceritakan apa yang di dengar dari mulut
Gandaloka tentang kesela-matan Kembang Mayat saat jatuh dari jurang. Cerita
itu membuat Yoga tertegun bengong dan hampir tidak
mempercayainya.
"Aku sendiri semula tidak mempercayai kalau
sang Ketua masih hidup, dan bahkan diangkat menja-
di ratu di Pulau Kana!"
"Kau tak ingin menemui dia?" tanya Yoga.
"Aku masih dalam kebimbangan. Perguruanku
sudah hancur lebur dan bubar begitu saja. Masihkah
Kembang Mayat menerimaku sebagai anak buahnya,
atau melupakan siapa aku setelah dia duduk sebagai
ratu" Aku tak berani memastikan diri akan hal itu!"
"Pulau Kana terletak di mana?"
"Di tenggara pulau kita ini! Pulau itu dulu men-
jadi pantangan nenek moyang kita! Tak boleh ada yang
datang ke sana karena Pulau Keramat itu terkenal
angker. Setiap orang yang terdampar ke pulau itu pasti mati dan mayatnya
ditemukan di laut dalam keadaan
sudah menjadi tulang-belulang, tinggal beberapa ba-
gian yang masih ada dagingnya! Maka tersebarlah beri-
ta Pulau Kana itu dihuni oleh makhluk pemakan dag-
ing manusia Kare
nanya tak ada yang berani menyeberang ke sa-
na. Itu sebabnya pula dikatakan sebagai Pulau Kera-
mat!" "Lalu, mengapa sekarang aku dicari mereka dan mau dikawinkan oleh mereka
dengan Kembang Mayat?" "Karena syarat untuk menjadi ratu harus menikah, dan Kembang Mayat
memilih kamu untuk men-
jadi calon suaminya! Dia segera mengirim utusan ke-
mari untuk menjemput mu!"
"Menurutmu, bagaimana jika aku menolak aja-
kan mereka?"
"Mereka akan marah kepadamu, dan kau akan
kewalahan mengatasi amarah mereka! Konon, orang
yang sudah diutus keluar dari Pulau Kana itu pasti
orang yang sudah berilmu tinggi! Lukaku akibat gore-
san kipas Sendang Suci itu disembuhkan oleh orang
yang bernama Gandaloka! Lihatlah... tak ada bekas
sedikit pun pada kulitku!"
"Bagaimana jika aku melawan mereka saja ke-
timbang harus dikawinkan dengan Kembang Mayat"!"
Lembayung Senja diam sejenak. Ia melangkah
mendekati sebuah pohon dan berseru dari sana sambil
tangannya bersandar pada pohon itu,
"Apakah kau benar-benar tak ingin menjadi su-
ami Kembang Mayat?"
"Aku lebih berat meninggalkan Guru Lili!"
"Tapi dia adalah gurumu! Kalau kau sudah
mengakui dia gurumu, kau tak boleh menikah dengan
gurumu sendiri!"
"Mengapa tak boleh?"
"Karena... ah, aku tidak bisa mengatakannya!"
"Aha, lucu sekali kau ini!" Yoga tertawa sendiri, kemudian diam merenungkan soal
utusan dari Pulau
Keramat itu. "Agaknya aku harus ke sana! Aku harus temui
mereka dan bicara baik-baik!"
"Tidak! Kau tidak boleh temui mereka, nanti
kau terluka lagi!" kata Lembayung Senja dengan cemas.
* * * 8 PENDEKAR Rajawali Merah pantang bersem-
bunyi dari lawannya. Ia tidak mau menghilangkan diri
hanya karena ingin menghindari lawannya yang me-
nantangnya bertarung. Dan lagi, Yoga ingin mengata-
kan apa yang ada di dalam hatinya kepada para utu-
san itu ketimbang harus menghilang tanpa penjelasan
apa-apa. Karenanya, Yoga nekat berangkat menemui
keenam utusan itu di rumahnya si Tua Usil. Lem-
bayung Senja mencegahnya beberapa kali tapi tak per-
nah mampu. Sampai akhirnya mereka pun tiba di ru-
mah Tua Usil dalam waktu berjarak dekat sekali den-
gan kedatangan Lili.
Ketika Pendekar Rajawali Merah tiba di sana.
Lili menampakkan wajah marahnya. Ia cepat-cepat
menghampiri Yoga dan berkata geram dengan suara li-
rih, "Mengapa kau nekat ke sini hah"!"
"Aku harus bicara pada mereka! Mereka harus
tahu bahwa aku hanya punya hati untukmu, Guru Li!"
Mendengar alasan Yoga, kemarahan Lili pun
mulai susut walau ia masih tetap menjaga rona wajah
yang marah. Tapi sebenarnya itu hanya sebagai penu-
tup rasa malu mendengar ucapan Yoga dan menjadi
girang hati nya. Maka, Lili pun membiarkan Yoga maju
mendekati enam utusan dari Pulau Keramat yang
agaknya sudah cukup lama menunggu di depan ru-
mah Tua Usil. Sementara itu, di pihak mereka pun ter-
lihat Tamtama sedang memandang Yoga dengan mata
menyipit benci.
"Itu yang namanya Yoga dengan sok-sokan pa-
kai gelar Pendekar Rajawali Merah!" kata Tamtama kepada Gandaloka.
Senyum Gandaloka terbentang ramah sambil
sedikit membungkukkan badan memberi hormat ke-
pada Yoga. Sikap itu disambut baik oleh Pendekar Ra-
jawali Merah, dan berkatalah pendekar buntung yang
masih tetap punya ketampanan memikat hati wanita
itu, "Benarkah kalian berenam utusan dari Pulau
Keramat?" "Benar, Tuan Pendekar!" jawab Gandaloka. Ka-
lem dan tenang. Sikapnya hampir sama dengan sikap
yang ada pada Yoga.
"Kami diutus oleh Ratu Kembang Mayat untuk
menjemput Tuan Pendekar Rajawali Merah yang ter-
hormat! Dalam waktu dekat, kami akan segera menga-
dakan pesta perkawinan Tuan dengan Gusti Ratu ka-
mi!" Seperti ditusuk jarum hati Lili jika mendengar
kata-kata seperti itu. Tapi hati yang nyeri itu cepat menjadi teduh kembali
setelah Lili mendengar Yoga
menjawab, "Tidak bisa! Dengan sangat menyesal dan berat
hai, tolong sampaikan kepada Gusti Ratu kalian, saya
tidak bisa hadir memenuhi panggilannya!"
"Kami harus punya alasan, Tuan Pendekar!"
"Alasannya..." Yoga melirik Lili sebentar, kemudian meneruskan kata-katanya,
"Alasannya karena aku menolak untuk dika-
winkan dengan Kembang Mayat! Aku tidak mau, kare-
na aku punya kekasih sendiri!"
Tamtama menyahut dengan ketus, "Hmmm...!
Bodoh amat kau! Mengapa masih saja memberati Mah-
ligai"! Kawin dengan ratu itu enak, Bodoh!"
"Aku tidak memberati Mahligai, Tamtama!"
"Omong kosong!" Tamtama melengos, buang
mute dengan ketus dan sinis. Lili hampir saja melang-
kah untuk menampar wajah Tamtama, tapi Yoga
memberi isyarat dengan tangan sehingga Lili urungkan
niatnya. Terdengar Gandaloka berkata lagi dengan te-
tap kalem, "Sayang sekali Tuan Pendekar menolak perka-
winan dengan Gusti Ratu kami yang baru itu! Padahal
Tuan Pendekar-lah yang terpilih untuk mendampingi
beliau dalam memimpin rakyat kami!"
"Kurasa, Kembang Mayat bisa memilih pria lain
saja untuk menjadi calon suaminya!"
Tua Usil yang sejak tadi manggut-manggut se-
karang ikut nyeletuk,
"Suruh saja dia kawin sama bocah gemblung
itu!" sambil menuding Tamtama. Merasa dipanggil
'bocah gemblung', Tamtama menjadi marah. Ia ingin
mendekati Tua Usil, tapi Lembayung Senja mengha-
dang di depannya, dan Tamtama tak jadi bergerak ke
arah Tua Usil. Gandaloka berkata lagi kepada Yoga, "Sebenar-
nya, melihat ketampanan dan kegagahan Tuan Pende-
kar, kami sendiri sebagai utusan merasa sangat gembi-
ra jika Tuan mau terima tawaran Gusti Ratu ini!"
"Pria tampan dan gagah bukan hanya aku saja!
Masih banyak yang lain, yang belum punya kekasih
atau yang sudah menjadi duda!"
"Apakah... mungkin Tuan Pendekar mempunyai
syarat tertentu agar mau menikah dengan Gusti Ratu
kami?" Lili menjadi semakin jengkel. Sepertinya Gandaloka berusaha membujuk Yoga
agar mau dikawin-
kan dengan Kembang Mayat. Lalu, Pendekar Rajawali
Putih pun berkata,
"Rasa-rasanya sudah jelas, Gandaloka! Yoga ti-
dak bersedia. Jadi kalian boleh pulang sekarang juga
dan sampaikan salam kami kepada Kembang Mayat!"
"Saya yakin Tuan Pendekar belum berpikir ma-
sak-masak. Kami akan beri waktu dua hari untuk
mempertimbangkannya, Tuan Pendekar! Dan, seka-
rang kami pamit pulang dulu! Dua hari lagi kami akan
datang untuk meminta kepastian jawaban!"
"Kurasa jawabannya sudah pasti, aku tidak
bersedia kawin dengan Kembang Mayat, karena aku
sudah punya calon istri sendiri!"
Gandaloka tersenyum makin lebar, "Saya yakin
Tuan belum pertimbangkan masak-masak! Jangan
terburu-buru memberi kepastian jawaban jika belum
dipertimbangkan sungguh-sungguh! Kami masih
punya banyak waktu untuk menunggu!"
Gandaloka pergi bersama kelima anak buahnya
yang tinggi-tinggi itu. Tamtama juga ikut pergi bersa-ma rombongan mereka. Yoga
dan yang lainnya hanya
memandangi kepergian para utusan Pulau Keramat itu
dengan benak dan hati berkecamuk masing-masing.
Kemudian, mereka segera melepaskan diri dari kebi-
suan yang ada. "Tengil amat gaya bocah gemblung itu!" Tua
Usil yang mengawali merobek sepi dengan gerutuannya
yang jelas didengar mereka.
"Kapan-kapan kalau aku ketemu dia, kuhajar
dia sampai babak belur! Biar tahu rasa!" kata Lembayung Senja yang agaknya juga
tak suka melihat la-
gak Tamtama itu. Lembayung Senja masuk dan Tua
Usil juga ikut masuk. Tapi Yoga serta Lili masih ada di luar, di bawah pohon
rindang berdahan lengkung serta
rendah itu. "Kau tak menyesal memberi keputusan seperti
tadi?" pancing Lili.
"Yang membuatku menyesal adalah jika aku
menolak ajakan mu seperti tawaran Kembang Mayat
itu!" "Aku tak jelas maksudmu!"
"Aku berharap bukan Kembang Mayat yang
punya niat seperti itu, tapi kau!"
"Aku perempuan yang punya harga diri jangan
samakan dengan Kembang Mayat!" gerutu Lili masih tak mau jujur dengan hatinya
sendiri. Yoga tertawa, "Kau jelas beda dengan Kembang
Mayat! Cantiknya beda, kesaktiannya beda!"
"Hhh! Sudah...! Jangan bicara soal itu! Kau ha-
rus latihan jurus 'Pedang Buntung' dan 'Pedang Se-
penggal' tadi! Ayo lekas...!"
Sementara itu, di perjalanan Tamtama kembali
menghasut keenam utusan dari Pulau Keramat itu. Ia
merasa belum puas melihat sikap keenam utusan Pu-
lau Keramat yang tidak menampakkan kekerasan dan
permusuhan dengan Yoga. Padahal dia berharap me-
reka bisa bersikap kasar kepada Yoga. Dalam hatinya,
Tamtama berharap agar mereka berenam bisa berhasil
membawa Yoga ke Pulau Kana. Jika Yoga dibawa ke
Pulau Kana dan menikah dengan Kembang Mayat,
maka Tamtama merasa tidak punya pengganggu dalam
hubungannya terhadap Mahligai.
Kepada Gandaloka, Tamtama berkata, "Seha-
rusnya kau tadi sedikit keras dan jangan lunak kepa-
danya!" "Aku terbiasa begitu. Tamtama! Kalau dia baik padaku, maka aku pun harus
baik padanya!"
"Tapi demi mendapatkan apa yang kita ha-
rapkan, sedikit keras tak apalah! Daripada begini, kalian tidak berhasil
mendapatkan apa yang diperintah-
kan oleh Gusti Ratu kalian!"
"Aku yakin Pendekar Rajawali Merah itu akan
berubah pikiran setelah merenungkan tawaran tadi!"
kata Gandaloka dengan kalem.
"Kurasa dia tidak akan berubah pikiran! Aku
tahu persis watak pendekar buntung itu."
"Bagaimana dengan wataknya?"
"Kalau kita lemah, kita disepelekan olehnya!".
"Betulkah begitu?"
"Iya! Aku cukup lama bergaul dengannya, jadi
aku tahu persis bagaimana wataknya!"
Gandaloka diam, masih tetap berjalan sambil
mempertimbangkan kata-kata Tamtama. Lima orang
temannya ada di belakangnya, yang seolah-olah siap
menunggu perintah apa saja dari Gandaloka.
Tamtama berkata lagi, "Yoga adalah seorang
pendekar, kalau dia punya keinginan harus ditempuh-


Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya dengan susah payah. Karena di situlah letak jiwa
pendekarnya! Kalau seseorang meminta bajunya den-
gan baik-baik, tidak akan diberikan! Tapi kalau orang itu bisa mengalahkan
ilmunya, barulah ia akan serahkan baju itu sebagai tanda bahwa ia mengakui
keheba- tan ilmu lawannya!"
"Jadi, apa saran mu"!"
"Tantanglah dia dalam satu pertarungan! Berta-
ruhlah, kalau dia kalah dia menjadi suami Kembang
Mayat, kalau dia menang dia bebas dari tawaran ka-
lian itu! Dan aku yakin, dia tidak akan bisa mengalahkan kalian!"
"Tapi itu suatu pemaksaan, Tamtama. Itu tidak
baik!" "Wataknya dia memang suka menghadapi hal-hal yang bersifat memaksa! Dia
paling marah jika il-
munya dianggap remeh. Walaupun sebenarnya dia ti-
dak punya ilmu seujung kuku pun, tapi kalau ilmunya
dianggap remeh, dia akan bangkit dan berani berta-
rung apa saja!"
Langkah Gandaloka terhenti beberapa saat. Ia
bertanya kepada Gadranaya, "Menurutmu bagaimana"
Haruskah dia kita pancing dengan tantangan di arena
pertarungan?"
"Kurasa tidak perlu," kata Gadranaya. "Kalau memang hatinya tidak berminat untuk
menjadi suami Gusti Ratu kita, mengapa harus dipaksakan" Akhirnya
perkawinan mereka tidak bisa menjadi suri teladan
bagi pasangan-pasangan di antara rakyat kita!"
Rogami menyahut, "Tapi kalau memang letak
harga dirinya dalam satu pertarungan, tak ada salah-
nya kalau kita mencoba menghargainya dengan perta-
rungan juga!"
Tamtama menimpali, "Dan lagi, Gusti Ratu ka-
lian pasti akan kecewa jika kalian pulang dengan tan-
gan kosong! Masa' utusan terpilih tidak bisa membawa
pulang orang yang dicintai oleh sang Ratu" Bukankah
ratu kalian sudah sangat mempercayai kesaktian ka-
lian, sehingga menugaskan kalian kemari, karena Ratu
Kembang Mayat sudah telanjur yakin, bahwa masalah
ini bisa ditangani oleh kalian. Tidak gagal!"
Enam utusan Pulau Keramat itu terbungkam
beberapa saat, merenungi langkah, merenungi kata-
kata Yoga, juga merenungi cara terbaik untuk mem-
bawa pulang Pendekar Rajawali Merah. Tamtama wak-
tu itu punya kesempatan lagi untuk mempengaruhi
otak mereka dengan kata,
"Kalau kalian mau menangkap ikan, kalian ha-
rus tahu umpannya apa" Kalau kalian tidak tahu um-
pan ikan itu apa, mana bisa membawa pulang seekor
ikan" Sama halnya dengan membawa pulang Yoga. Ka-
lian harus tahu apa umpannya" Dan umpan itu ada-
lah pertarungan!"
"Seberapa tinggi ilmunya?" tanya Sarpa.
"Aaah... kecil!" Tamtama menjentikkan jari ke-lingkingnya. "Dia sebenarnya tidak
punya ilmu apa-apa! Di bandingkan dengan ilmu kalian jauh tidak se-
banding! Tapi kesombongannya tinggi dia!"
"Baiklah! Agaknya kita memang harus perlu
mengikuti selera dia!" kata Yodana. "Apa pun caranya, yang penting kita pulang
membawa apa yang ditu-
gaskan pada kita oleh sang Ratu!"
"Bagus!" Tamtama menghentak memberi se-
mangat. "Bagaimana kalau dia mati di tangan kita?"
tanya Lombo. "Jangan sampai mati!" kata Gandaloka. "Kita harus tahu takaran!"
"Kalau dia menyerang dengan bahaya dan akan
menewaskan diri kita, apakah kita harus gunakan ju-
rus-jurus sederhana saja?" ujar Yodana dengan sedikit ngotot. "Hentikan
pertarungan jika memang ia tampak berbahaya!"
Tamtama menyahut, "Dia paling bangga kalau
bisa dilukai oleh lawannya! Jiwa pendekarnya ada di
atas luka! Seolah-olah jika ia sudah dilukai lawannya, ia merasa lebih gagah dan
lebih hebat lagi!"
Gandaloka berkata kepada yang lain, "Kalau
begitu, lukai dia tapi jangan di tempat yang berba-
haya!" "Baiklah kalau memang begitu! Lantas siapa yang mau menyampaikan
tantangan ke sana?"
"Aku juga bersedia!" kata Tamtama dengan penuh semangat.
"Di mana kita akan bertarung dengannya?"
"Aku punya tempat yang bagus untuk perta-
rungan!" kata Tamtama lagi. "Kalian pasti menyukai arena itu! Letaknya ada di
bibir jurang, tanahnya lega, punya gugusan batu yang bisa digunakan untuk
melompat ke sana kemari, dan... pokoknya sangat hebat
jika digunakan oleh kalian yang bertubuh besar begi-
ni!" "Baiklah, kau yang atur, Tamtama!" kata Gandaloka.
"Itu mudah! Sangat mudah bagiku!" kata Tam-
tama. "Tulislah surat tantangan dan aku akan membawanya kepada Pendekar Rajawali
Merah, calon sua-
mi dari ratu kalian itu!"
Merasa tak bisa dikalahkan Yoga dengan ke-
saktiannya dan ilmu-ilmunya, Tamtama menggunakan
siasat adu domba tersebut. Ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa Yoga akan celaka
dalam pertarungan nanti. Kali
ini yang akan dihadapi Yoga bukan orang-orang beril-
mu sedang, tapi orang-orang berilmu tinggi yang terpilih dari Pulau Kana. Tubuh
mereka saja sudah tidak
seimbang dibanding tubuh Yoga. Apalagi Yoga hanya
bertangan satu, jelas akan terdesak sekali oleh serangan orang-orang besar
bertangan lengkap itu.
Dengan penuh semangat Tamtama pergi ke
rumah Tua Usil untuk menyampaikan surat tantan-
gan. Kehadirannya disambut dengan serangan oleh
Lembayung Senja. Tamtama sempat mengelak dengan
satu lompatan kecil yang membuat pukulan jarak jauh
Lembayung Senja meleset dan mengenai tempat ko-
song. Weeess...!
"Tahan, aku tidak menghendaki pertarungan!
Aku ke sini mau menemui Pendekar Rajawali Merah!"
kata Tamtama sambil matanya terbuka lebar-lebar.
Tapi Lembayung Senja menyipitkan mata, memandang
dengan sinis. Tamtama akhirnya tersenyum dan ber-
kata, "Kau tampak cantik sekali jika sedang cemberut begitu, Lembayung Senja!
menggemaskan sekali bibir-mu itu, Nona!"
Wuuut...! Plook...! Tendangan kaki Lembayung
Senja yang berkelebat secara tiba-tiba itu mengenai
wajah Tamtama dengan telak. Pemuda itu sempat ter-
pelanting ke belakang dan hampir jatuh. Ia menjadi
marah, lalu melepaskan pukulan tenaga dalamnya.
Claap...! Duaar...!
Sinar kuning disambut dengan sinar merah da-
ri tangan Lembayung Senja. Akibatnya sebuah ledakan
bergelombang besar menghempaskan tubuh Tamtama
hingga membentur pohon dua kali. Sedangkan Lem-
bayung Senja hanya tersentak mundur dua tindak.
"Keparat kau! Apa maksudmu menyerangku,
hah?" "Aku tidak suka dengan lagakmu! Mau apa kau"!" tantang Lembayung Senja.
Lalu, Tamtama menggeram jengkel dan segera melompat dengan tela-
pak tangan terbuka keduanya. Lembayung Senja juga
segera sentakkan kaki dan melompat. Tubuh mereka
bertemu di udara.
Wuuuttt...! Telapak tangan mereka saling beradu. Plaaak...!
Duaaar. Tamtama terpental lagi, jauhnya lebih dari li-ma tombak. Sedangkan
Lembayung Senja hanya ter-
pental tak lebih dari satu tombak. Ia bisa mendaratkan kakinya dengan sigap,
sedangkan Tamtama terguling-guling melintasi bebatuan yang runcing. Pinggangnya
terasa sakit, bahkan ada batu runcing yang menggores
bagian lambungnya. Lambung itu berdarah dan perih
rasanya. "Dari dulu aku muak dengan lagakmu, Bang-
sat! Kau dulu pernah mengalahkan aku dengan seenak
perutmu! Sekarang aku akan membalas kekalahan ku
itu dengan mencabut nyawamu!"
Sraang...! Pedang dicabut dari sarungnya. Lem-
bayung Senja siap menyerang Tamtama. Untung saat
itu Yoga dan Lili segera keluar karena mendengar dua
kali suara ledakan. Lili segera berseru,
"Lembayung...! Tahan marah mu!"
Suara itu sangat berwibawa bagi Lembayung
Senja, sehingga ia tak jadi menyerang Tamtama, dan
pedangnya dimasukkan kembali. Slep! Lili segera ber-
tanya kepada Tamtama,
"Apa maksudmu datang kemari?"
"Menyampaikan surat buat Yoga!"
"Surat..."!" gumam Lili sambil menatap Yoga, lalu ia berbisik penuh geram,
"Apakah kau punya kekasih lain?"
"Tidak! Jangan berpikiran seperti itu!" kemudian Yoga berkata kepada Tamtama,
"Surat apa dan surat dari siapa?"
"Surat tantangan dari enam utusan Pulau Ke-
ramat itu!"
"Surat tantangan"!"
"Benar! Karena kamu menolak ajakannya dan
secara tidak langsung menolak lamaran Kembang
Mayat yang menjadi ratu mereka, maka mereka men-
ganggap sikapmu itu suatu penghinaan besar! Kau ha-
rus menebusnya dengan pertarungan di Bukit Darah!"
Surat itu dibaca sebentar oleh Yoga dan Lili.
Kemudian Lili segera berkata kepada Tamtama,
"Baiklah, sampaikan kepada mereka, aku yang
akan menggantikan Yoga dalam pertarungan nanti!"
"Mereka menantang Pendekar Rajawali Merah,
bukan kau!"
"Aku Pendekar Rajawali Putih! Sama saja!" jawab Lili tegas sekali.
"Tidak bisa! Mereka tetap menghendaki perta-
rungan dengan Pendekar Rajawali Merah! Mereka tak
yakin kalau kau berani menolak lamaran Gusti Ratu
mereka! Penolakan itu harus dibuktikan dengan perta-
rungan. Esok lusa mereka menunggu kalian di Bukit
Darah, terutama Yoga yang mereka tunggu!"
* * * 9 TERNYATA yang dimaksud Bukit Darah adalah
tanah datar di bibir jurang yang pernah dipakai pertarungan antara Kembang Mayat
dengan Topeng Merah.
Di tempat itulah Yoga kehilangan satu tangannya dan
terkapar ditemukan Lili, (Baca episode: "Ratu Kembang Mayat").
Ketika Yoga hadir dl tempat itu, hatinya berde-
sir ingat saat ia kehilangan tangannya. Hati Lili pun berdesir pedih, ingat saat
menemukan Yoga dalam
keadaan buntung. Darah bekas potongan tangan itu
sekarang menghitam di tanah Bukit Darah tersebut
Sebenarnya Pendekar Rajawali Merah sudah dilarang
nadir ke pertarungan tersebut oleh gurunya, yaitu Lili.
Tetapi mereka justru sempat bertengkar dan saling ba-
ku hantam sendiri. Akhirnya, Lili bersikap masa bodoh terhadap kemauan Pendekar
Rajawali Merah itu. Sekali pun demikian, toh pada saat ditentukannya perta-
rungan, Lili tetap tak tega. Ia ikut hadir mendampingi orang yang diam-diam
sangat dicintai itu. Bahkan
Lembayung Senja pun ikut serta, karena ia ingin men-
curi jurus-jurus yang dimainkan oleh Pendekar Raja-
wali Merah. Sedangkan Tua Usil ikut pula, karena ia
senang melihat jurus-jurus yang mengagumkan itu.
Gandaloka hadir bersama kelima anak buah-
nya. Tak ketinggalan, Tamtama pun ada di pihak
mereka. Tamtama memandang sinis berkesan mere-
mehkan kepada Yoga, membuat geram hati Lili dan
Lembayung Senja mencari kesempatan untuk memu-
kul Tamtama. Sementara itu, si Tua Usil sebentar-
sebentar menunggingkan pantat untuk meledek Tam-
tama dengan rasa bencinya.
Pendekar Rajawali Merah siap di tengah arena
yang dikelilingi oleh mereka. Ia berdiri tegak dan dadanya yang keras itu
terbusung gagah walau tanpa sa-
tu tangan. Pedangnya tetap bertengger di punggung
dan siap dicabut bilamana diperlukan. Sementara itu,
Lili berdiri di tepian jurang, menjaga kemungkinan tubuh Yoga terpental ke arah
jurang. Gandaloka maju dengan memberi hormat mela-
lui anggukkan kepala dan senyuman tipis. Pada waktu
itu, Pendekar Rajawali Merah segera bertanya kepada
Gandaloka, "Siapa yang akan maju melawanku?"
"Gadranaya!" jawab Gandaloka dengan menun-
juk orang paling gemuk di antara mereka. Gadranaya
pun maju dan berdiri di samping Gandaloka. Matanya
memandang tajam ke arah Yoga, seakan tak sabar in-
gin segera menyerangnya. Gadranaya menggunakan
senjata pedang panjang yang menyerupai samurai, te-
tapi pedang itu berukuran besar dan sesuai dengan
perawakan badannya.
"Sebelumnya aku minta maaf, karena pertarun-
gan ini sebagai ungkapan rasa hormat kami kepada-
mu, Tuan Pendekar," kata Gandaloka.
"Bukan begini cara memberi rasa hormat kepa-
daku, Gandaloka! Kusarankan, sebaiknya kalian pu-
lang saja dan laporkan kepada Gusti Ratu kalian ten-
tang keadaan diriku dan hatiku! Jangan kau tempuh
dengan cara seperti ini!"
Gandaloka sudah terpengaruh oleh kata-kata
Tamtama, sehingga ia berkata dengan kalem,
"Harga diri seorang pendekar terletak pada sua-
tu pertarungan! Kami tahu persis hal itu. Jadi kami
tempuh cara seperti ini! Jika Tuan Pendekar menang
melawan kami, maka kami akan pulang dan melapor-
kan keadaan di sini kepada Gusti Ratu Kembang
Mayat. Tetapi jika Tuan Pendekar kalah, maka Tuan
Pendekar harus ikut kami ke Pulau Kana dan menikah
dengan Gusti Ratu Kembang Mayat!"


Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana jika di antara kalian ada yang ma-
ti?" "Itu sudah tugas kami! Kami prajurit pilihan
yang punya tugas dan tanggung jawab mati untuk
sang Ratu!"
"Baiklah! Jangan katakan aku keji jika kalian
ada yang mati karena pertarungan ini!"
"Kami sudah siap untuk itu, Tuan Pendekar!"
sambil Gandaloka anggukkan kepala sebagai hormat
yang di sertai dengan senyum ramah.
"Baik. Minggirlah...! Akan segera ku mulai!" ka-ta Yoga dengan tenang juga.
Lalu, Gandaloka pun
mundur dari arena. Dan Gadranaya mulai maju perla-
han-lahan. "Hait..!" Gadranaya membuka jurus pertama,
satu tangannya di atas kepala dan tangan yang sa-
tunya lurus ke depan dalam keadaan tengkurap tela-
paknya. Pendekar Rajawali Merah berjalan pelan-pelan
membentuk gerak lingkaran. Tangan kanannya yang
masih utuh itu sebentar-sebentar menepiskan cuping
hidungnya yang mancung dengan ibu jarinya. Matanya
tak berkedip memandangi lawannya yang tinggi besar
itu. "Heaaat...!" Gadranaya menyerang lebih dulu dengan satu lompatan berkaki lurus.
Kaki itu diarah-
kan ke dada Pendekar Rajawali Merah. Tetapi dengan
gesit dan cepat, Pendekar Rajawali Merah berkelebat
lompat ke atas, lalu kaki besar yang memanjang lurus
karena menendang itu digunakan sebagai alas berta-
pak oleh Yoga. Ia berlari menggunakan alas kaki betis dan paha lawan. Kemudian
dengan cepat kaki kanannya menendang wajah Gadranaya kuat-kuat.
"Hiaaat..!" Plookk...!
Pendekar Rajawali Merah melompat dan memu-
tar tubuhnya bagaikan kitiran. Wuuurt...! Putaran itu melepaskan tendangan
berkali-kali dalam gerak serempak. Prroookk...! Suara wajah tertendang secara
beruntun itu membuat Tamtama terbengong melom-
pong. Gadranaya bertahan untuk tidak terpental. Ta-
pi tubuhnya limpung ke kanan kirinya. Mulutnya me-
nyemburkan darah dengan salah satu gigi terloncat ke-
luar akibat tendangan tersebut. Matanya terkedip-
kedip karena pandangannya menjadi gelap.
"Gggrrr...!" ia menggeram antara sakit dan marah. Segera ia mencabut pedangnya
yang ada di ping-
gang. Tetapi baru saja ia memegang gagang pedang, ti-
ba-tiba Yoga melompat maju lagi, dan menghantamkan
telapak tangannya dengan kuat, menyodok ke atas ulu
hatinya. Buuhg!
Hantaman telapak tangan itu begitu telaknya.
Bahkan untuk sesaat masih menempel dl ulu hati
orang besar itu. Tampak telapak tangan Pendekar Ra-
jawali Merah membara merah bagaikan besi terpang-
gang. Dan seketika itu pula, dari mulut Gadranaya
muncratlah darah segar yang menyembur lumayan
jauhnya. Seet...! Yoga menarik tangannya dan segera
bersalto ke belakang satu kali. Wuuut...! Jleeg...! Ia
kembali berdiri dengan tegap, memandangi lawannya
yang masih berdiri dengan limbung. Kejap berikutnya
Gadranaya pun tumbang bagai sebatang pohon besar
tak berakar lagi. Bluuuhg...! Darah makin banyak yang keluar dari mulutnya,
kemudian kepala orang besar itu tergolek miring dengan lemas. Saat itulah
Gadranaya menghembuskan napas terakhirnya.
Semua mata teman-temannya terbelalak kaget
melihat Gadranaya tumbang. Gandaloka sendiri terbu-
ka matanya dan segera berlari menolong Gadranaya,
tetapi ia terlambat. Ia mengetahui Gadranaya telah
mati. Rasa sesalnya ditahan kuat-kuat dengan cara
menundukkan kepala dalam keadaan jongkok di
samping mayat Gadranaya.
"Gandaloka! Izinkan aku maju membalas keka-
lahan ini!" seru Yodana.
Gandaloka hanya memandang Yodana yang
bermata lebar itu. Lalu, Gandaloka anggukkan kepala
tipis sambil ia segera pergi membawa mayat Gadra-
naya ke tepi. Sekarang Yodana melompat maju ke ten-
gah arena. Pada saat itu, Yoga mendengar suara Lili
berbisik di belakang,
"Hindari tangan kirinya! Dia kidal!"
Lili bisa berkata begitu, karena dia melihat Yo-
dana menyelipkan senjata golok lebarnya di sebelah
kanan. Yoga segera paham maksud Lili, tapi ia tidak
memberi anggukan sedikit pun. Ia justru bergerak ma-
ju dengan langkah pelan.
"Tuan Pendekar!" kata Yodana. "Kalau sampai Tuan luka, anggap saja itu penebus
kematian teman saya itu!"
"Aku siap menebusnya dengan nyawa!" jawab
Pendekar Rajawali Merah dengan mantap. Kemudian ia
segera hentikan langkah karena tiba-tiba Yodana me-
lepaskan pukulan bersinar putih terang ke arah dada
Yoga. Maka dengan cepat Yoga pun menghantamkan
telapak tangannya ke depan. Claap...! Sinar merah ba-
ru saja keluar dari tangannya sudah lebih dulu dide-
sak oleh sinar putih perak itu. Blaaar...!
Tubuh Pendekar Rajawali Merah terpental dan
jatuh terguling-guling hingga mencapai tepian jurang.
Mereka yang memandang menjadi cemas. Lili ingin
berlari menahan tubuh Yoga agar jangan sampai terje-
rumus ke jurang. Namun tiba-tiba terdengar suara pe-
kikan Yodana yang melompat bersama golok besarnya
yang sudah diangkat siap untuk ditebaskan.
"Heaaahhh...!"
Pendekar Rajawali Merah berguling ke kanan
dan kiri dalam keadaan telentang. Matanya melihat je-
las gerakan lawan yang ingin membelah kepala dan
dadanya. Maka dengan cepat kaki Yoga menendang tu-
lang kering lawannya dengan kuat. Dees...!
"Aahg...!"
Kesempatan itu digunakan oleh Yoga untuk
berguling lagi ke kanan, dan kakinya berkelebat ke
samping, menendang pinggul Yodana dengan keras.
Duugh...! "Auh...!"
Tendangan itu sangat kuat, sehingga tubuh Yo-
dana akhirnya terhuyung-huyung kehilangan keseim-
bangan. Yoga segera sentakkan pinggulnya sendiri,
wuuut...! Jleeg...! Ia sudah berdiri, dan segera lepaskan tendangan sekali lagi
ke punggung Yodana. Wuuut!
Duuhg...! "Uaaa...!" Yodana menjerit sekeras-kerasnya karena tubuhnya terlempar ke jurang
yang dalam. Jeri-
tan itu membuat mata teman-temannya terpejam kuat-
kuat menahan kengerian yang dialami Yodana. Jeritan
itu menggema panjang dan makin lama semakin hilang
bagaikan tertelan bumi.
Tiba-tiba terdengar suara. "Keparat kau,
heeaaah...!"
Waktu itu Pendekar Rajawali Merah sedang
memandang ke arah jurang yang menelan tubuh Yo-
dana. Tapi begitu mendengar pekikan keras dari arah
belakangnya, dengan tanpa menoleh lagi Pendekar Ra-
jawali Merah sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya
melenting ke atas dengan gerakan bersalto dua kali.
Wuuut... wuuut...! Gerakan bersalto ke belakang dua
kali itu membuat Yoga lolos dari hujaman pedang be-
rujung runcing. Zuuut...!
Orang itu cepat balikkan badan dan pandangi
Yoga dengan penuh dendam. Dia adalah yang bernama
Sarpa. Kumisnya tebal. rambutnya ikal, dengan pe-
dang besar runcing tajam dua sisinya. Ketika pedang
itu di hujamkan tadi, tampak ada sinar merah melesat
sebesar lidi. Kali ini agaknya Sarpa juga ingin menggunakan kehebatan pedangnya
itu. Pendekar Rajawali
Merah melangkah pelan mengitari arena demikian pula
orang tinggi besar bersenjata pedang runcing yang be-
rukuran besar juga itu. Dan tiba-tiba ia menyerang
dengan cepat, mengibaskan pedangnya ke kanan kiri
hingga keluarkan asap putih dan suara menggaung.
Wuuung... wuuung... wuuung... wuuung...!
"Asap racun!" seru Lili kepada Yoga. Yang menutup hidung Lembayung Senja dan si
Tua Usil. Se- dangkan Lili dan Pendekar Rajawali Merah tetap diam,
tidak menutup hidung, namun mereka menahan na-
pas. Asap itu makin lama semakin tebal, karena Yo-
ga tidak segera menyerang melainkan hanya menghin-
dar ke sana sini saja. Gandaloka dan Tamtama juga
segera menutup hidung. Bau seperti belerang busuk
adalah bau racun yang berbahaya. Sedangkan Rogami
dan Lombo hanya menahan napas seperti Yoga.
Begitu kibasan pedang berhenti dan asap men-
gepul tebal, Yoga segera lepaskan pukulan jarak jauh-
nya yang berwarna hijau. Selarik sinar hijau itu melesat dari ujung jari Yoga.
Zlaaap! Sinar hijau itu berkelebat menembus gumpalan asap beracun.
Zluub...! Wuuurrsss...! Asap itu menyebar dan
lenyap seketika bagai dihembus badai yang amat be-
sar. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Merah berguling ke tanah dan tahu-tahu
kakinya sudah menendang kuat
'jimat simpanan' Sarpa. Buuhhg...!
"Ouuh...!" Sarpa mendelik sambil memegangi
'jimat simpanannya' yang ada di bawah perut. Tubuh-
nya sedikit membungkuk. Keadaan itu segera diman-
faatkan oleh Pendekar Rajawali Merah untuk menye-
rang wajah lawan. Kakinya lurus ke atas dan tangan
kanannya bertumpu di tanah lalu menyentak.
Wuuut...! Pendekar Rajawali Merah melesat ke atas
dengan cepat dalam keadaan kaki kanan dan kiri men-
jejak ke atas kepala di bawah. Plook...! Tendangan kaki itu tepat mengenai wajah
lawan dengan telak sekali.
Lawan terdongak seketika dan terhuyung-huyung ke
belakang dengan mulut dan hidung bonyok berdarah.
Pedang Sarpa jatuh di tanah dan Pendekar Ra-
jawali Merah sudah putarkan tubuh, lalu ketika ia tu-
run dari lompatannya kakinya lebih dulu memapak di
tanah. Jleeg...!
Sarpa masih kuat. Ia membelalakkan mata
dengan ganas ketika melihat wajahnya berlumur da-
rah. Dengan mengerang keras Sarpa pun melompat
bagai singa lapar ingin menerkam mangsanya. Tetapi
pada saat itu Yoga melihat pedang lawan di tanah da-
lam keadaan ujungnya mengarah ke lawan. Maka, kaki
Yoga pun segera menendang ujung gagang pedang ter-
sebut. Teeb...! Wuuut...! Pedang melesat cepat dan menancap tepat di ulu hati
Sarpa. Jrruub...!
"Uhhg...!" Sarpa mendelik. Pedangnya masuk ke ulu hati dan tembus sampai di
punggungnya. Jika
tendangan itu tidak disertai kekuatan tenaga dalam,
tak mungkin bisa sampai menembus ke belakang tu-
buh Sarpa. Melihat Sarpa masih berdiri dengan tubuh ke-
jang memegangi pedangnya, Lombo segera melompat
dari belakang Yoga dan melepaskan senjata kapaknya
ke arah punggung Yoga. "Heaaat...!"
Yoga segera melompat maju, mencabut pedang
yang menancap di perut lawan, sambil kakinya menje-
jak tubuh Sarpa. Zluub...! Begitu pedang tercabut,
langsung dikibaskan dari atas ke bawah. Traang! Pe-
dang itu beradu dengan kapak Lombo. Bunga api me-
mercik akibat benturan dua senjata dengan kuatnya
itu. Wuuut...! Buhhg...! Dada Yoga terkena tendan-
gan putar dari Lombo. Tubuh .Yoga tersentak ke bela-
kang dan jatuh lagi dalam keadaan telentang. Lombo
yang hidung lebar serta besar itu menghujamkan ka-
paknya ke perut Yoga sambil menggeram ganas.
"Gggrrr...! Hoaaah...!"
Jruub...! Kapak bergagang panjang itu menan-
cap di tanah. Yoga segera berguling lagi ke kanan, kemudian bangkit memunggungi
Lombo, dan pedang
yang masih dipegangnya itu disentakkan ke belakang.
Jruub...! Tepat mengenai lambung Lombo. Begi-
tu pedang dihujamkan Pendekar Rajawali Merah me-
mutar balik dan menghantam telak pelipis orang besar
yang sedang terbungkuk itu. Prook...! Pukulan itu be-
rasap tipis dan membuat kepala lawan retak seketika,
mungkin juga pecah pada bagian dalamnya. Akibatnya
tubuh lawan itu tumbang bagai seekor kerbau dan ke-
jap selanjutnya sudah tidak bernapas lagi.
Pendekar Rajawali Merah wajahnya menjadi ke-
ras dan ganas. Matanya menatap tajam pada Gandalo-
ka dan Rogami. Hanya dua orang itu yang tersisa dari
keenam utusan Pulau Keramat. Kedua orang itu terte-
gun melihat kematian Lombo yang dikenal jago ber-
main kapak. "Apakah masih mau dilanjutkan"!" ucap Pen-
dekar Rajawali Merah dengan nada dingin.
Gandaloka memandang Rogami. Yang dipan-
dang seakan penuh nafsu membunuh kepada Pende-
kar Rajawali Merah. Sebentar kemudian terdengar sua-
ra Rogami berkata tanpa menoleh ke arah Gandaloka,
"Akan ku tebus kematian teman-teman kita,
Gandaloka!"
"Rogami, kurasa cukup sampai di sini saja!" ka-ta Gandaloka.
Mata Rogami masih memandang buas kepada
Yoga dan ia berkata,
"Kalau aku mati, hentikan pertarungan sampai
di sini! Tapi kalau aku hidup, lanjutkan pertarungan
dengan yang lainnya!"
"Rogami, ini hanya sia-sia belaka!"
"Sudah telanjur, Gandaloka! Sudah telanjur


Jodoh Rajawali 04 Utusan Pulau Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ini adalah pertarungan yang penghabisan...!" sambil Rogami melangkah maju
dengan sangarnya. Ram-
butnya yang panjang dengan mata lebar, benar-benar
menampakkan dirinya seperti raksasa haus darah.
Sreek...! Ia mencabut pedang berujung papak
tapi tajam. Pedang segi empat yang menyerupai parang
besar itu berkilauan karena memantulkan sinar mata-
hari. Pada saat itu, tangan Pendekar Rajawali Merah
pelan-pelan mencabut pedang pusakanya dari pung-
gung. Sreet! Biaaar...! Kilatan petir menggelegar di angkasa
walau panas matahari begitu menyengat kulit. Itulah
tandanya Pedang Lidah Guntur dikeluarkan dari sa-
rungnya. Pedang tersebut bercahaya merah pijar dan
sesekali terlihat ada lompatan lidah petir yang kecil-kecil di tepian pedang
tersebut. "Gandaloka, aku terpaksa...!" kata Pendekar Rajawali Merah dengan suara keras.
Gandaloka tidak
bisa berkata apa-apa. Rogami menyerang dengan ga-
nas. Pedangnya digenggam dengan dua tangan.
"Hiaaahhh...!" ia berteriak keras sambil mener-jang Pendekar Rajawali Merah.
Tetapi Yoga cepat kele-
batkan pedangnya dari atas ke bawah. Wuuut... !
Zlaaap...! Sinar merah berkelok-kelok melesat dari
ujung pedang itu dan menghantam tubuh Rogami.
Zraab...! Rogami diam tak bergerak. Pedang papaknya
jatuh dari tangan dan tubuhnya pun tumbang ke bela-
kang. Blaam...! Gandaloka mendelik melihat tubuh Ro-
gami terbelah dari kening sampai ke perut. Belahannya berkelok-kelok, jelas
bukan karena tebasan ujung pedang, tapi karena sinar merah tadi.
Melihat Rogami tumbang, Gandaloka hanya
menarik napas panjang. Lalu ia berkata kepada Pen-
dekar Rajawali Merah,
"Tuan Pendekar, kiranya cukup sudah sampai
di sini pertarungan kita! Pada dasarnya, Tuan Pende-
kar menolak, dan saya salah langkah dalam bertindak!
Saya... pamit pulang ke Pulau Keramat!"
"Gandaloka...! Secara jujur kuakui, kau seorang
ksatria! Sampaikan salamku kepada Kembang Mayat
dan ceritakanlah apa adanya."
"Baik," jawab Gandaloka sambil menunduk
memberi hormat Kemudian ia pun berbalik arah dan
pergi dengan hati getir. Tamtama mengikutinya dan
berkata, "Kenapa kau tidak turun juga, Gandaloka"!
Siapa tahu kau menang... dan... dan...."
Tamtama tidak melanjutkan kata-katanya,
Tangannya digenggam Gandaloka sambil berkata, "Kau penghasut licik!" Kraak...!
"Aaauhh...!" Tamtama menjerit kesakitan. Tangan kirinya dipatahkan oleh
Gandaloka. Setelah itu di-tinggalkannya pergi begitu saja.
Mereka yang ada di pihak Yoga hanya mener-
tawakan kesakitan Tamtama, dan membiarkan pemu-
da itu meraung-raung sambil berguling-guling di ta-
nah. Suaranya bagai memenuhi seluruh bumi.
Tua Usil mendekatinya dan berkata, "Bocah
gemblung...! Tangannya dipatahkan kok mau saja!
Huhh..,! Dasar gemblung kamu!"
"Tua Usil, tinggalkan dia! Kita pulang!" seru Lili.
"Oh, eh... iya, baik! Baik, Nona Lili! Hmmm...
kita belajar berdiri di atas ilalang, bukan"!" Tua Usil girang. Lili menjawab,
"Kubilang kalau urusanku sudah selesai, baru
kuajarkan cara berdiri di atas ilalang!"
"Lho, urusannya kan sudah selesai, Nona Lili!"
"Belum. Karena Yoga belum mau kasih tahu, di
mana Sendang Suci atau si Topeng Merah itu disem-
bunyikan!" geram Lili sambil melirik Pendekar Rajawali Merah. Yoga berkerut
dahi, "Aku tidak tahu soal dia!"
"Bohong!"
"Sungguh. Aku tidak tahu!" "Kataku; bohong!"
bentak Lili dengan mata mendelik.
Pendekar Rajawali Merah angkat bahu, pertan-
da menyerah dan terserah apa kata Lili. Tapi lama-
lama ia membatin pula, perlukah memberitahukan di
mana Sendang Suci" Padahal Yoga masih punya tugas
mencari bunga Teratai Hitam untuk Mahligai, dan
mencarikan obat penyembuh racun untuk Mutiara Na-
ga. Dan apakah kematian kelima utusan Pulau Ke-
ramat itu tidak mendatangkan penyerang besar-
besaran" Bagaimana jika penduduk Pulau Keramat
yang bertubuh tinggi besar semua itu menyerang Pen-
dekar Rajawali Merah secara bersama-sama"
SELESAI Segera menyusul:
GEROMBOLAN BIDADARI SADIS
Ebook by Abu Keisel Hina Kelana 15 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Naga Sakti Sungai Kuning 12
^