Gerombolan Bidadari Sadis 3
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis Bagian 3
Leak Parang duduk di samping tubuh yang ter-
kubur ini. Ia bersila dan pejamkan mata beberapa saat lamanya. Tanah yang
dipakai mengubur sebagian tubuh Bujang Lola itu tiba-tiba menjadi hangat, namun
sepertinya tanah itu juga keluarkan air berlendir. Air itu terasa merayapi
sekujur tubuh yang terkubur. Perih rasanya, sehingga Bujang Lola merintih
berkepan- jangan. Beberapa waktu kemudian, Leak Parang meng-
hantamkan telapak tangan kanannya ke tanah.
Buuhg...! Dan tubuh Bujang Lola yang terkubur itu
mental ke atas, keluar dari lubang kuburnya. Seolah-
olah ada suatu tenaga yang melemparkan tubuhnya
dari dasar bumi, membuat tubuh itu melayang bebe-
rapa saat dengan suara teriakan keras dari mulut Bu-
jang Lola yang ketakutan. Kemudian tubuh tersebut
jatuh ke tanah dalam keadaan terkulai dan terengah-
engah. Bruuk...!
"Pulanglah! Jaga pondok, dan jangan ke mana-
mana sebelum aku datang! Kalau aku datang kau ti-
dak ada di pondok, ku hukum kau sampai lumpuh se-
luruh tubuh mu!"
"Baik, Guru...!"
"Jangan panggil aku guru!" sentak Leak Parang.
"Ba... baik, Ki Leak!" Bujang Lola mengangguk dengan rasa takut. Tapi ia kembali
perdengarkan suaranya, "Kalau boleh saya tahu, Ki Leak mau pergi ke mana?"
Dengan nada bijak Leak Parang menjawab,
"Aku ingin menemui seseorang yang bernama Nyai Kubang Darah untuk suatu
keperluan penting. Jika da-
lam satu purnama aku tak pulang, itu berarti aku mati di perjalanan! Siapa pun
tak perlu mencari mayatku!"
"Bagaimana jika pihak keluarga Ki Leak Parang
yang menanyakannya" Apa yang harus saya katakan
kepada mereka?"
"Sebelum satu purnama, jika pihak keluargaku
ada yang bertanya, katakan. bahwa aku sedang pergi
bertapa. Tapi jika lewat satu purnama, katakan bahwa
aku telah mati bersama Nyai Kubang Darah!"
"Maksudnya...." Bujang Lola tak jadi lanjutkan kata. Leak Parang sudah lebih
dulu lenyap dalam satu
sentakan kaki ke tanah. Kepergiannya menyerupai
hembusan angin kencang yang tak bisa diikuti oleh
pandangan mata. Bujang Lola yang telah merasa sehat
dan tubuhnya tidak retak-retak seperti tadi itu, hanya terbengong melompong
memperhatikan kepergian Leak
Parang. Tetapi ia segera tersenyum melihat tubuhnya
kotor berlumur cairan hitam menyerupai kubangan
yang amat kotor dan bau itu. Bujang Lola tertawa geli sendiri memperhatikan
keadaan tubuhnya. Lalu segera
pergi mencari sungai untuk membersihkan badannya
yang bau busuk itu.
"Oh, iya...! Aku lupa untuk membicarakan ten-
tang Kencana Ratih. Seharusnya tadi kutanyakan apa-
kah Ki Leak Parang punya keponakan yang bernama
Kencana Ratih" Jika kelak Ki Leak Parang merasa ti-
dak mempunyai keponakan yang bernama Kencana
Ratih, berarti gadis cantik itu benar-benar orang Gua Bidadari yang kukenal
dengan nama Pinjung Dara! Ta-pi, orang bertopeng merah yang melemparkan senjata
Bunga Neraka itu adalah Dewi Sukesi. Jika benar Ken-
cana Ratih orang Partai Gadis Pujaan, mengapa ia
menjadi berang dan mengejar Dewi Sukesi?"
Apakah benar Topeng Merah kali ini adalah
Dewi Sukesi" Hal itulah yang ingin dibuktikan oleh Yo-ga dalam pengejarannya.
Rupanya Topeng Merah
mempunyai cara sendiri untuk melarikan diri. Ia
mempunyai tempat-tempat untuk bersembunyi, se-
hingga pengejarnya sering kehilangan arah dalam
memburunya. Bahkan arah pelariannya pun cukup
membingungkan, kadang ke timur, kadang ke utara,
kadang ke selatan, ada kalanya ke barat. Sepertinya ia sengaja membuat
pengejarnya tak bisa memastikan
arah pelariannya. Topeng Merah tampak sengaja su-
paya tidak bisa diterka ke mana arah tujuannya yang
pasti. Namun tiba-tiba kaki Topeng Merah yang me-
nyentak ke tanah dalam berlari itu terhantam oleh
benda keras yang tidak begitu besar. Kaki itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan
dan ia pun jatuh tersungkur. Bruuss...! Benda yang membentur kakinya itu tak
lain adalah sebatang ranting kering yang dilemparkan
seseorang dari arah samping. Tentu saja ranting itu
mempunyai aliran tenaga dalam sehingga dapat mem-
buat kaki tersentak ke samping dan jatuh.
Topeng Merah tidak mau terpaku dari jatuhnya,
ia cepat sentakkan tangannya dan tubuhnya melenting
ke atas bersalto satu kali. Dengan sigap kembali ia
menapakkan kedua kakinya ke tanah dan memandang
sekelilingnya. Lalu gerakan mata memandang itu ter-
henti pada sisi sebelah kanannya. Seseorang telah
berdiri di sana dengan mengenakan pakaian longgar
warna biru dan rompi ketat yang terkancing rapat
warna merah. Dia adalah seorang gadis yang cantik
dan berambut poni, wajah mungil, bibir pun tampak
mungil. Lembayung Senja, itulah orang yang mengusik
pelarian Topeng Merah. la bersama Lili, si Pendekar
Rajawali Putih, mencari kepergian Yoga untuk mende-
sak Pendekar Rajawali Merah itu agar mengaku siapa
orang yang ada di balik Topeng Merah selama ini. Me-
reka berpencar dalam mencari Yoga. Tapi ternyata ju-
stru Lembayung Senja melihat kelebatan seseorang
yang mengenakan pakaian serba merah dan bertu-
tupkan wajah sebuah topeng setan berwajah merah
pula. Karena itu Lembayung Senja yang berpihak pada
Lili itu segera serukan kata di depan manusia berto-
peng merah itu,
"Pucuk di cinta ulam pun tiba! Susah-susah
mendesak Yoga untuk menyebutkan siapa sebenarnya
manusia di balik topeng merah itu, ternyata aku sudah temukan sendiri biang
keladinya!"
Topeng Merah melangkah dekati Lembayung
Senja dengan sikap beringas. Ia telah mengepalkan ke-
dua tangannya dan berhenti dalam jarak lima tindak
dari depan Lembayung Senja.
"Apa perlumu mengganggu perjalananku,
hah"!" sentaknya dengan suara tak bisa lantang karena tertutup topeng.
"Bukalah topengmu! Aku hanya ingin tahu sia-
pa kau sebenarnya, setelah itu cepatlah pergi. Aku tak akan mengganggumu lagi!"
"Apa urusanmu dengan topeng ini"!"
"Hanya rasa penasaran saja; karena selama ini
kau selalu bersembunyi di balik topeng iblismu itu!"
"Aku tidak bersedia membuka topeng ku! Lan-
tas kau mau apa"!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu! Atau,
kubuka sendiri topengmu dengan pedangku ini"!"
Sreet...! Lembayung Senja yang sudah tidak lagi
bersenjata cambuk melainkan pedang itu, segera men-
cabut pedangnya dan bersikap membuka pertarungan.
Ia melangkah ke samping dengan pedang siap dite-
baskan atau di hujamkan ke tubuh lawan, jika sewak-
tu-waktu lawan mendekat. Tetapi agaknya Topeng Me-
rah tidak mau lama-lama melayani orang yang tak di-
kenalnya itu. Wuuut...! Satu sentakan tangan melepaskan
cahaya merah sebesar bola bekel. Cahaya merah itu
melesat cepat, terbang ke arah Lembayung Senja. Den-
gan cepat pula Lembayung Senja menghindar dengan
cara bersalto ke belakang satu kali. Wuuut...!
Blaar...! Cahaya merah sebesar bola bekel itu
menghantam pohon, dan pohon itu pecah seketika, la-
lu sisanya tumbang hampir menjatuhi tubuh Lem-
bayung Senja. Beruntung tubuh Lembayung Senja ce-
pat melompat dan bersalto dua kali di udara, menjauhi robohan batang pohon itu.
Tapi ketika ia mendaratkan
kakinya ke bumi, ternyata Topeng Merah sudah kem-
bali lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa selarik sinar kuning bagai sebatang
besi lurus memanjang.
Zlaaap...! Lembayung Senja cepat-cepat kibaskan pe-
dangnya ke depan dada sendiri, dan selarik sinar kun-
ing itu menghantam pedang. Logam pedang yang
mengkilap itu pantulkan sinar kuning tersebut ke arah lain, sehingga semak-
semaklah yang menjadi sasaran
sinar kuning tersebut.
Blaarrsss...! Semak-semak terbakar, tapi kejap
berikutnya tubuh Lembayung Senja sendiri terpental
ke belakang karena pedangnya tak mampu menahan
sinar kuning terlalu lama. Pedang itu patah pada saat selarik sinar kuning itu
menghantam semak dan mem-bakarnya.
Begitu tubuh Lembayung Senja terpental ke be-
lakang dan jatuh berjumpalitan bersama pedangnya
yang lumer itu, ia segera dihantam oleh Topeng Merah
dengan pukulan tenaga dalam tanpa sinar. Baaahg!
Dada Lembayung Senja terasa jebol seketika itu. Tu-
buh yang baru saja mau berdiri menjadi tunggang-
langgang kembali bagai disapu badai raksasa. Di sebe-
rang sana, Lembayung Senja muntahkan darah segar.
Pada saat itulah Topeng Merah lanjutkan pelariannya
karena takut diburu pengejarnya.
"Lembayung Senja...!" seru sebuah suara ketika Lembayung Senja mencoba bangkit
dan berjalan terhuyung-huyung mencapai sebuah pohon yang akan
dipakainya untuk bersandar.
"Lili...!" sapa Lembayung Senja dengan lemah.
"Dadaku panas sekali! Aku terkena pukulan tenaga dalam yang cukup besar!"
Pendekar Rajawali Putih tiba di tempat itu ka-
rena mendengar suara ledakan tadi. Ia terkejut men-
dapatkan Lembayung Senja berwajah pucat dengan
mulut berdarah. Ia segera memapah Lembayung Senja
ke bawah sebuah pohon besar. Lalu ia lontarkan tanya
yang tampak berapi-api,
"Siapa yang melukaimu"! Siapa"! Kau kenal
orangnya"!"
"Topeng Merah sendiri!"
"Hah..."! Jadi kau jumpa dengan Topeng Me-
rah?" "Benar! Tapi dia menyerangku secara bertubi-tubi dan aku tak punya
kesempatan membalasnya!"
"Ke mana ia pergi" Arah mana yang ditujunya?"
"Selatan...!" jawab Lembayung Senja dengan
tubuh tersentak dan kembali memuntahkan darah se-
gar. "Ap... apakah... apakah dia bersama Yoga?"
"Tidak! Dia sendirian!"
"Tetaplah di sini! Jangan pergi dulu. Aku akan
mengejarnya!"
"Ya, kejarlah! Kurasa dia belum jauh dari sini!
Hati-hati, dia tampaknya cukup ganas!"
Pendekar Rajawali Putih tak hiraukan lagi pe-
ringatan itu Hatinya sudah tak sabar, ingin segera
jumpa dengan Topeng Merah dan lakukan suatu perta-
rungan. Ia ingin buktikan kebenaran dugaannya, apa-
kah wajah di balik Topeng Merah itu adalah wajah
Sendang Suci atau wajah yang belum pernah dikenal-
nya sama sekali"
Pada waktu itu, sebenarnya Yoga juga berlari ke
arah selatan. Karena menurut dugaannya, Topeng Me-
rah yang dikejarnya itu sengaja memancing arah ke
barat, supaya Yoga terperangkap masuk ke Lumpur
Hidup. Dan memang hampir saja Yoga menginjak ta-
nah yang kelihatannya keras namun sebenarnya ada-
lah Lumpur Hidup itu. Kalau tidak penuh waspada
dan berhati-hati, Yoga akan terjebak di Lumpur Hidup
itu, mungkin juga akan tenggelam dan mati terkubur
di dalam lumpur yang mampu menyedot benda berat
di atasnya. "Tak mungkin Topeng Merah menyeberangi
Lumpur Hidup ini! Pasti ia berbelok arah ke kiri dan
kembali lagi ke selatan. Aku harus segera mengejarnya ke sana'"
Tetapi sayang sekali sesuatu telah menghan-
tamnya dari arah samping Yoga. Sesuatu itu seperti
sebongkah batu besar tanpa wujud menghantam kuat,
menerjang tubuh pendekar bertangan satu itu.
Buhhg...! Gusraaak...!
Tubuh Yoga terpental kuat-kuat bagaikan ter-
bang. Tubuh itu menghantam sebatang pohon dengan
kerasnya. Baaahg...! Bruk!
Kemudian sesosok tubuh besar tampakkan diri
dari balik dua batang pohon besar yang berjajar rapat.
Orang tersebut tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Rupanya dalam perjalanannya pulang dari makam di
bawah pohon bambu itu, ia ingin melihat sampai di
mana cara kerja Tamtama yang mendapat tugas mem-
bunuh dan mencuri pedang pusaka milik Pendekar Ra-
jawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Tetapi sejak tadi ia tidak menemukan
Tamtama. Justru ia melihat
Pendekar Rajawali
Merah termenung sebentar di tepian Lumpur
Hidup itu dalam keadaan sendirian. Karena itu, Malai-
kat Gelang Emas segera lepaskan pukulan tenaga ba-
dainya ke arah Yoga. Pukulan tenaga badai itu cukup
dahsyat. Hidung Yoga sempat mengucurkan darah se-
gar sebelum ia membentur pohon. Tulang-tulang tu-
buhnya terasa remuk, dan semakin remuk ketika tu-
buh membentur pohon tersebut.
"Kalau kau serahkan pedangmu itu, kuampuni
dendam ku kepadamu termasuk kepada Lili dan para
guru kalian!" kata Malaikat Gelang Emas.
Yoga masih terengah-engah. Berdirinya sedikit
limbung, dan ia menarik napas panjang-panjang. Pan-
dangan matanya sedikit buram karena pukulan badai
tadi. Tapi ia tahu Malaikat Gelang Emas berdiri di depannya dalam jarak enam
tindak. "Serahkan pedang pusaka itu!" kata Malaikat Gelang Emas yang dari semasa Dewa
Geledek, gurunya
Yoga masih hidup, selalu mengejar-ngejar dua pusaka,
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yaitu Pedang Lidah Guntur yang kini berada di tangan
Yoga dan Pedang Sukma Halilintar yang dimiliki Lili.
Walaupun tubuh terasa seperti remuk, tapi Yo-
ga tetap tampakkan keberaniannya dan ketegarannya
dengan berkata,
"Kalau kau bisa peroleh nyawaku, maka kau
bisa peroleh pedang ini, Malaikat Gelang Emas!"
Orang kejam itu menggeram dengan seringai
wajah bengisnya. Ia keraskan kedua tangannya dalam
keadaan kelima jari kanan kiri mekar bagai hendak
mencakar, lalu ia ucapkan kata bernada bengis,
"Sekarang juga akan kurobek kantong nyawa-
mu, Bocah Ingusan!"
Tapi dari arah belakangnya berserulah sebuah
suara, "Sebelumnya terima dulu ajalmu sekarang juga, Malaikat Sesat! Heaaah...!"
Malaikat Gelang Emas palingkan wajah. Ter-
nyata Kencana Ratih yang ada di belakangnya. Ia su-
dah menggenggam pedang dan sekarang sedang me-
lompat dengan ujung pedang siap menghujam perut
besar Malaikat Gelang Emas. Rasa kaget yang timbul
pada diri Malaikat Gelang Emas membuatnya melom-
pat ke belakang, kemudian segera sentakkan kaki dan
tubuh besar itu melenting ke atas dengan ringannya.
Wuuut...! Kejap selanjutnya tubuh besar mirip raksasa itu telah berada di atas
pohon, berdiri di sebuah dahan besar. "Turun kau, Setan!" sentak Kencana Ratih.
Tetapi Malaikat Gelang Emas justru sentakkan kaki
kembali, lompat ke dahan lainnya dan pergi mening-
galkan tempat itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu!" kata Yoga.
"Untung kau cepat datang sehingga aku tak perlu kuras tenaga untuk melawannya!
Tapi... apa sebabnya
dia takut kepadamu, Kencana" Kau pasti tahu! Kata-
kanlah!" Kencana Ratih diam, bagai memikirkan sesua-
tu. * * * 8 BARU saja Yoga ingin bergegas pergi, tiba-tiba
tangan Kencana Ratih mencekalnya. Lengan Yoga di-
genggam erat, dan wajah Yoga berpaling memandang-
nya. Kencana Ratih diam sesaat, pandangi wajah itu
dengan penuh resapan jiwa yang terbuai indah.
"Ada apa?" tanya Yoga karena risi dipandangi terus begitu.
"Ladang Lumpur Hidup," jawab Kencana Ratih.
Bibirnya bergerak-gerak indah saat mengucapkan ka-
ta-kata tersebut. Yoga memandangi bibir itu, lalu ce-
pat-cepat alihkan pandang ke arah utara di mana ter-
bentang Ladang Lumpur Hidup yang cukup luas.
"Ya, aku tadi hampir terjebak ke sana!" Yoga memandang kembali wajah cantik
Kencana Ratih dan
bertanya, "Apa maksudmu menyebutkan Ladang Lumpur
Hidup?" "Itu pertanda kita sudah berada di dekat Gua
Bidadari!"
"Dari mana kau tahu hal itu?"
"Seseorang yang kutemui sebelum aku berang-
kat mencari kakakku, dia menyebutkan bahwa Gua
Bidadari letaknya tak jauh dari Ladang Lumpur Hidup,
yang merupakan salah satu tempat jebakan bagi
orang-orang yang bermaksud datang ke Gua Bidadari.
Setelah itu, kita akan menemui Pohon Setan, di mana
akarnya dapat membelit ke tubuh orang yang lewat di
dekatnya. Orang itu bisa mati membiru bagai dililit
seekor ular besar. Konon Pohon Setan itu ciri-cirinya berdaun segi tiga dan
berlubang-lubang."
"Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati lagi
dan jangan gegabah berteduh di bawah pohon! Siapa
tahu pohon itu adalah Pohon Setan!"
"Memang. Tapi bukan itu yang ingin kukatakan
padamu." Pendekar Rajawali Merah berkerut dahi, dan
Kencana Ratih tahu maksudnya, yaitu sebaris penjela-
san dibutuhkan oleh Yoga berkenaan dengan kata-
katanya tadi. Maka Kencana Ratih pun berkata pelan,
"Aku ingin kau pulang! Jangan ikut ke Gua Bi-
dadari!" "Mengapa begitu?"
"Seperti apa yang kita dengar dari mulut Bu-
jang Lola, agaknya memang di gua itu banyak wanita
cantik yang menggiurkan hati namun ganas-ganas! Sa-
lah satu bahaya yang mengincar kaum lelaki adalah
hasrat mereka yang ingin menguasai ilmu 'Karang Jan-
tan'!" "Kita sudah telanjur sama-sama berada tidak jauh dari Gua Bidadari!
Haruskah aku pergi dan membiarkan kau nekat menyusup masuk ke sana untuk
selamatkan kakakmu?"
Kencana Ratih palingkan wajah memandang
tempat lain, tapi tangannya masih pegangi lengan Yo-
ga, seakan enggan untuk melepaskannya.
"Sejujurnya kukatakan, aku khawatir kau ter-
pikat oleh mereka dan menjadi korban dalam membu-
ru ilmu 'Karang Jantan'. Entah mengapa hatiku seakan
tak rela jika kau menjadi korban seperti yang dialami Bujang Lola." Kencana
Ratih kembali pandangi Yoga,
"Sungguh aku tak rela mereka menjadikan kau sebagai korban atau kau terluka oleh
keganasan mereka!"
"Apakah kau percaya dengan cerita Bujang Lo-
la?" "Separo hatiku mempercayainya, separonya lagi
mencurigainya!" jawab Kencana Ratih. Agaknya ia bicara apa adanya. Dan ia
berharap sekali Yoga mema-
hami maksud hatinya. Bahkan ia sempat berucap ka-
ta, "Biarkan aku menempuh bahaya ini sendirian!
Jangan mengorbankan dirimu untuk diriku atau un-
tuk kakakku, Aditya itu!"
"Bagaimana dengan lukamu akibat pukulan
Topeng Merah tadi?"
"Bisa ku atasi sendiri. Sekarang agak ringan."
Yoga memandangi wajah cantik itu beberapa
saat, kemudian ia berkata dengan suara pelan,
"Bagaimana kalau aku nekat mengikutimu"
Apakah kau akan memenggal kepalaku?"
Kencana Ratih tersenyum kecil, tapi membuat
hati Yoga berdebar, sebab senyuman itu mempunyai
sepasang lesung pipit yang sungguh manis jika dipan-
dang, sungguh menggemaskan untuk dicubit. Lili juga
punya lesung pipit jika tersenyum, tapi Yoga jarang
melihat senyum dan lesung pipit itu, karena Lili jarang menyunggingkan senyuman
manis di depan Yoga.
"Terlalu bodoh kalau aku berusaha memenggal
kepalamu. Mungkin lebih baik aku memenggal kepala-
ku sendiri," kata Kencana Ratih setelah tersipu mendengar kata-kata Yoga tadi.
Sambungnya lagi, "Kuharap kau bisa memahami kecemasan hatiku jika kau
turut sampai ke Gua Bidadari itu."
"Yang kau cemaskan sangat kupahami, tapi
kau tidak memahami hatiku, Kencana Ratih."
"Hati yang bagaimana yang harus kupahami?"
"Aku tak mungkin tega membiarkan kau me-
nempuh bahaya sendirian, terlebih setelah dua kali
kau mampu menghalangi niat Malaikat Gelang Emas
yang ingin membunuhku! Bukan aku merasa tak
sanggup melawan dia, tapi tindakanmu itu merupakan
suatu keberanian dan kerelaan tersendiri bagiku! Aku
tahu, kau menyimpan rahasia tentang Malaikat Gelang
Emas, tapi sikapmu yang melindungiku membuat aku
tak berani memaksamu harus membuka rahasia itu."
"Aku berani angkat sumpah, bahwa aku tak
punya rahasia apa-apa tentang Malaikat Gelang Emas.
Jangan kau menaruh curiga begitu terus padaku!
Sungguh aku tidak mengerti mengapa dia takut pada-
ku, Yo!" Pendekar Rajawali Merah hembuskan napas panjang-panjang, lalu berkata
dengan sikap lebih bi-jaksana,
"Baiklah, kita lupakan tentang Malaikat Gelang
Emas. Ada baiknya kalau kita mulai melangkah ber-
sama menuju Gua Bidadari!"
Kencana Ratih tetap menggeleng. "Kalau harus
mati dan terluka, biarlah aku saja. Kau jangan sampai ikut mati dan terluka.
Jadi, pergilah dariku dan biarkan aku melangkah sendiri, Yo!"
Setelah diam beberapa saat, akhirnya Yoga
berkata, "Baiklah! Rupanya kau memang tidak suka ji-ka pergi bersamaku."
"Yo, kuharap kau tidak salah mengartikan
permohonan ku ini."
"Baik. Aku tidak akan salah mengartikan. Kau
memang keras kepala dan punya keberanian tinggi da-
lam menempuh bahaya. Jika memang begitu mak-
sudmu, aku pun akan mohon diri sekarang juga."
Kencana Ratih anggukkan kepala. "Sampai
jumpa lagi jika kita masih ada umur, Yo!"
"Jaga dirimu baik-baik!" Yoga menepuk-nepuk punggung Kencana Ratih. Wajah gadis
itu sebenarnya berubah duka, tapi ia berusaha menahan dan menam-
pakkan ketabahannya. Ia pandangi langkah pendekar
tampan bertangan satu itu. Hati terasa berat, namun
jiwa bertahan untuk tetap kuat dan tegar. Pendekar
Rajawali Merah sentakkan kakinya dan melesat pergi.
Dalam waktu sekejap ia bagaikan menghilang dari
pandangan Kencana Ratih. Gadis itu pun tertegun se-
bentar, terkesima dalam kesedihan. Lalu ia tarik napas dalam-dalam untuk menahan
perasaan dukanya, dan
ia ayunkan kaki secepatnya menuju Gua Bidadari, se-
suai dengan petunjuk dari seseorang yang membekali
arah perjalanan sebelum ia berangkat mencari kakak-
nya. Apa yang dikatakan oleh sang penunjuk jalan
ternyata memang benar. Tak jauh dari Ladang Lumpur
Hidup itu terdapat hutan berpohon setan. Kencana Ra-
tih hampir saja terjebak masuk ke hutan akibat ting-
kahnya sendiri.
Ia melihat sekelebat bayangan merah melintas
di seberang sana. Ia segera mengejarnya karena ia ta-
hu bayangan merah itu pasti gerakan lari si Topeng
Merah. Merasa sudah dilukai oleh Topeng Merah, Ken-
cana Ratih bermaksud mengejar untuk membalas ke-
kalahannya. Tetapi pengejarannya itu agaknya diketa-
hui oleh Topeng Merah. Orang misterius itu segera lari ke satu arah, kejap
berikutnya hilang dari pandangan
mata Kencana Ratih. Topeng Merah itu hilang di tepi
hutan berpohon setan.
Jika Kencana Ratih tidak waspada dan hati-
hati, maka ia akan mengejar masuk ke hutan tersebut.
Tetapi langkahnya segera terhenti begitu melihat po-
hon-pohon berakar gantung seperti beringin. Ketika
daun-daunnya diperhatikan, ternyata berbentuk segi
tiga dan berlubang-lubang pada bagian tengahnya.
"Pohon Setan...!" gumam Kencana Ratih dalam
hatinya, lalu membatin, "Tak mungkin Topeng Merah masuk ke dalam hutan ini. Jika
ia masuk ke sana, berarti saat ini akan kulihat tubuhnya dililit akar-akar pohon
tersebut. Hmm... pasti dia menjebakku agar aku
masuk ke dalam hutan berpohon setan itu! Jika ia be-
rani menjebakku begitu, berarti dia sudah tahu persis keadaan di sekitar sini,
juga sudah mengenal adanya
Pohon Setan itu. Lalu, ke mana dia sekarang" Bersem-
bunyi di sebelah mana orang misterius itu?"
Kencana Ratih memandang sekelilingnya den-
gan penuh selidik. Ia tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan di situ. Tetapi ia justru melihat jalan setapak di samping hutan
tersebut yang menuju ke le-
reng perbukitan. Jalan setapak itu pasti menuju ke
Gua Bidadari, sebab pada saat itu ia sudah berada di
kaki Gunung Tambak Petir. Sedangkan Gua Bidadari
itu terletak di lereng Gunung Tambak Petir.
Ketika merenung itulah, tiba-tiba sebuah se-
rangan datang dari arah belakang Kencana Ratih. Se-
rangan itu berupa melesatnya senjata rahasia dari lo-
gam baja yang berbentuk bunga matahari. Ziiing...!
Desing suara logam itu diterima oleh telinga Kencana
Ratih. Cepat-cepat ia berpaling dan melihat benda berkerilap menuju ke arahnya.
Tak sempat lagi Kencana
Ratih untuk menghindar dan menangkis. Hanya saja,
sebongkah batu kecil tiba-tiba melesat dari arah sam-
pingnya. Batu itu menghantam kuat benda berkelirap
tersebut. Triing...! Arah logam tajam beracun itu menjadi membelok ke tempat
lain, sehingga tubuh Kencana
Ratih selamat dari hantaman senjata rahasia tersebut.
Yang dipertanyakan dalam hatinya sekarang adalah,
siapa pelempar batu kecil itu"
Topeng Merah muncul dari persembunyiannya.
Ia menyangka senjatanya mengenai lawan. Tapi ketika
ia muncul, ternyata lawan masih berdiri tegak dan
memandang ke samping. Maka lekas-lekas Topeng Me-
rah lemparkan senjata rahasianya kembali. Ziing...!
Tapi kali ini dengan lincahnya Kencana Ratih melom-
pat hindari senjata berbahaya itu. Sambil melompat ia sentakkan tangannya ke
depan dan seberkas sinar putih perak melesat menghantam tubuh Topeng Merah.
Wuuut...! Topeng Merah menahan dengan telapak tangan
yang membara merah bagaikan besi terpanggang api.
Sinar putih perak itu menghantam telapak tangan ter-
sebut. Diduga sinar itu akan padam bagai tersiram air.
Tapi ternyata benturan sinar putih dengan telapak
tangan yang memerah itu justru timbulkan ledakan
besar yang membuat tubuh Topeng Merah terpental ke
belakang dengan sangat kerasnya. Blaaar...!
"Sekarang saatnya aku membalas kekalahan
ku, Jahanam!" geram Kencana Ratih begitu melihat Topeng Merah terkapar
kehilangan daya. Ia segera
mencabut pedangnya dan bergegas menghampiri la-
wan. Tapi dari arah lain terdengar suara seruan. "Jangan!" Langkah itu jadi
terhenti. Wajah cantik itu berpaling memandang kepada si pemilik suara. Ternyata
Yoga-lah orangnya. Kencana Ratih hembuskan napas
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepas-lepas bagai menghalau perasaan jengkel yang
timbul akibat kemunculan Yoga. Pendekar tampan itu
pula yang tadi selamatkan nyawa Kencana Ratih dari
lemparan senjata rahasia si Topeng Merah. Tapi men-
gapa sekarang ia mencegah Kencana Ratih yang ingin
membunuh Topeng Merah"
"Apa maksudmu melarangku?" geram Kencana
Ratih kepada Yoga. Pendekar bertangan buntung sebe-
lah kiri itu melangkah melewati Kencana Ratih, arah-
nya ke tempat Topeng Merah yang terkulai di sana.
Tapi Yoga sempat menjawab sambil melintasi Kencana
Ratih, "Ada sesuatu yang tidak kau ketahui tentang manusia bertopeng merah itu!
Serahkan dia padaku!"
Tetapi belum lagi Yoga berada dalam jarak de-
kat dengan Topeng Merah, tiba-tiba seberkas sinar
berkabut hitam melesat bagaikan anak panah. Da-
tangnya dari atas pohon dan menghantam telak dada
si Topeng Merah. Zlaaap...! Blaaas...!
"Uuhg...!" terdengar suara pekik tertahan dari balik topeng, dan tubuh itu
mengejang dengan kepala
terjulur ke belakang. Yoga dan Kencana Ratih sama-
sama terkejut, sebab keduanya sama-sama tidak me-
rasa melepaskan serangan jarak jauh ke tubuh Topeng
Merah. Maka keduanya segera berpaling ke arah da-
tangnya sinar terbungkus kabut hitam itu. Ternyata di atas pohon sana tengah
berdiri seorang bertubuh besar yang tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Sikap memandang Yoga dan Kencana Ratih itu
sudah mewakili tuntutan hati mereka atas kelancan-
gan Malaikat Gelang Emas yang melepaskan pukulan
dahsyatnya ke tubuh Topeng Merah. Sebab itulah, dari
atas pohon sana Malaikat Gelang Emas serukan kata
sambil menuding Topeng Merah dengan tangannya
yang berjari besar,
"Dia telah lompati makam kakekku, sehingga
kakekku tak akan bisa bangkit lagi! Aku harus mem-
bunuhnya! Sebentar lagi kau pun akan menerima na-
sib seperti itu, Pendekar Rajawali Merah!"
Tanpa disengaja, kedua anak muda itu sama-
sama sentakkan tangannya dan lepaskan jurus yang
memancarkan sinar merah dan biru. Dari tangan Yoga
melesat sinar merah, dari tangan Kencana Ratih mele-
sat sinar biru. Kedua sinar itu bagai berdampingan
menuju ke arah Malaikat Gelang Emas. Tetapi sebelum
kedua sinar itu menghantamnya, Malaikat Gelang
Emas sudah lebih dulu lenyap bagaikan menghilang
begitu saja. Pasti ia gunakan ilmu 'Bayang Siluman'-
nya, sehingga kedua sinar bertenaga dalam sangat
tinggi itu hanya bisa menghantam pepohonan yang
bukan jenis Pohon Setan itu. Blaarr...! Duaaar...! Habis sudah pepohonan di
sekitar tempat berdirinya Malaikat Gelang Emas tadi.
"Jahanam itu lari lagi!" geram Kencana Ratih.
Tapi Yoga tidak menyambut geraman tersebut. Ia lebih
tertarik kepada keadaan manusia bertopeng merah itu.
Dada orang berselubung kain merah dan men-
genakan topeng merah iblis itu sekarang kepulkan
asap tipis. Ia tak dapat bergerak sedikit pun, kecuali tersengal-sengal karena
sulit bernapas. Yoga merasa
khawatir dengan keselamatan Topeng Merah, sebab
yang terbayang dalam benaknya adalah wajah Sen-
dang Suci, si Tabib Perawan itu.
Cepat-cepat Yoga melepaskan topeng tersebut.
Slaap...! Dan ia segera tertegun memandangi wajah
pucat pasi berbibir biru itu. Kencana Ratih juga tertegun memandang wajah di
balik topeng tersebut, kare-
na ia merasa asing dengan wajah itu. Yoga tertegun
karena wajah dalam bayangannya ternyata berbeda
dengan wajah yang dilihatnya. Wajah itu bukan milik
Sendang Suci. "Kau kenal dia?" tanya Kencana Ratih ketika Yoga memandangi kepadanya. Yoga
menggeleng, dan
Kencana Ratih kembali berkata,
"Aku juga tidak mengenalnya!"
Terdengar suara orang yang tadi kenakan to-
peng merahnya itu dengan nada pelan dan lirih,
"Ak... aku..., Dewi Sukesi...."
"Mengapa kau memakai topeng merah" Aku ta-
hu siapa pemilik topeng merah ini sebenarnya. Bukan
kau!" kata Yoga.
"Mem... memang bukan aku. Ak... aku hanya
menemukan seperangkat pakaian merah, lengkap den-
gan topeng dan pedangnya, di... di atas sebuah bukit, tepi jurang. Laaa... lalu
aku iseng-iseng memakainya.
Ternyata sempat menghebohkan kalian. Ak... aku sen-
diri tak tahu siapa pemilik pakaian dan topeng ini...."
Terbungkam mulut Yoga jadinya. Teringat di
saat Lili habis menyamar sebagai Topeng Merah yang
kemudian melepas pakaian itu, melepas topengnya
dan meninggalkan di bukit tersebut bersama-sama pe-
dangnya juga. Rupanya seperangkat pakaian dan to-
peng itu ditemukan oleh Dewi Sukesi yang iseng men-
genakannya (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat").
Kembali terdengar suara Dewi Sukesi, "Seha-
rusnya... aku menghadap sang... sang Ketua, memberi-
tahukan bahwa aku telah berhasil membunuh Tayon,
juga... juga Bujang Lola. Tapi...."
"Bujang Lola belum mati menurutku!" sahut
Yoga. "Pasti... pasti mati, karena ia terkena racun Ludah Kobra yang ada di
senjata Bunga Matahari itu!
Dan... sebenarnya aku tidak punya urusan dengan ka-
lian. Tapi karena kalian bermaksud menyerang Gua
Bidadari, maka... maka aku pun harus menghalangi
niat kalian. Ku jebak kalian agar masuk ke dalam La-
dang Lumpur Hidup dan terjerat mati di Pohon Setan.
Ternyata... kalian bukan orang bodoh...." Dewi Sukesi yang sebenarnya berwajah
cantik itu mencoba tersenyum walau sangat tawar. Dan senyum itu rupanya
senyum yang penghabisan. Karena setelah itu, kepa-
lanya segera terkulai dan nafasnya terhembus lepas. Ia tak berkutik lagi selama-
lamanya. "Apakah kakakku yang bernama Aditya masih
ada di sana?" sentak Kencana Ratih. Tapi Yoga segera
berkata, "Percuma. Tinggalkan saja dia. Dia telah mati."
Keduanya sama-sama menjauhi mayat Dewi Sukesi. Di
atas sebuah batu, Kencana Ratih sengaja duduk
termenung pandangi mayat Dewi Sukesi dari
sana. Yoga pun segera mendekati Kencana Ratih, lalu
gadis itu berkata dengan mata masih memandang ke
arah mayat lawannya,
"Mengapa kau masih saja mengikutiku?"
"Maaf," kata Yoga pelan. Ia menyingkapkan
rambutnya yang meriap ke depan karena hembusan
angin. "Setelah kupertimbangkan, ternyata hatiku tak mau ku paksakan untuk tega
membiarkan kau menempuh bahaya sendirian. Mulanya aku tidak ber-
maksud mengikutimu, tapi karena kau terancam ba-
haya, terpaksa aku mengikutimu. Terlebih setelah aku
tahu kau ingin membunuh Topeng Merah yang ku-
sangka adalah seseorang yang kukenal itu. Aku perlu
mendekatimu untuk mencegahnya. Sekarang, kalau
kau masih tetap ingin ke Gua Bidadari sendirian, aku
akan pergi!"
Kencana Ratih memandang Yoga dengan lirikan
menahan kejengkelan. Tapi di sudut bibirnya ada le-
sung pipit yang menandakan ia tersenyum tipis. Kejap
berikutnya ia perdengarkan suaranya,
"Tak usah ke mana-mana! Percuma saja kau
kusuruh pergi, pasti tetap akan menguntit ku!"
Pendekar Rajawali Merah ganti tersenyum le-
bar, bahkan sempat tertawa mirip orang menggumam.
Kemudian ia berkata,
"Jadi sekarang bagaimana?"
"Aku bisa memahami perasaanmu. Sekarang
kalau kau mau ikut, ikutlah, tapi kau harus berjanji
padaku." "Janji yang bagaimana?"
"Jangan kau tergoda dan terpikat oleh para bi-
dadari itu, dan jaga dirimu agar jangan ada yang me-
lukaimu! Sanggupkah kau untuk begitu?"
"Mengapa tidak" Tentunya kau akan melindun-
giku agar jangan sampai aku terluka."
"Ya. Melindungimu untuk tidak terluka, mung-
kin bisa kulakukan. Tapi melindungimu untuk tidak
terpikat oleh kecantikan mereka, aku tak bisa melaku-
kannya." Yoga tertawa dan bertanya, "Mengapa begitu?"
"Karena, menurutku kau pemuda mata keran-
jang!" Semakin keras tawa Yoga walau tidak berarti terbahak-bahak. Hal itu
membuat Kencana Ratih menjadi tersipu sendiri. Sungging senyumnya makin lebar,
lesung pipitnya kian jelas, hati Yoga makin girang memandangi lesung pipit dalam
kecantikan wajah manis
Kencana Ratih. Tawa itu terhenti secara sedikit demi sedikit.
Keceriaan wajah mereka pun susut perlahan-lahan.
Kini wajah mereka mulai tampak menegang, dahi me-
reka berkerut. Terdengar suara seruling yang sayup-sayup
membelai hati, meluluhkan jiwa. Hati Yoga menjadi
berdebar-debar akibat mendengar suara alunan serul-
ing di kejauhan. Hasratnya menjadi berkehendak un-
tuk melangkah, mendekati suara seruling itu. Pelan-
pelan pendekar tampan tersebut mulai tinggalkan
Kencana Ratih dan mendekati sumber suara seruling
yang peniupnya tak lain adalah Seruni.
* * * 9 SERUNI duduk di atas batang kayu kering yang
sudah tumbang. Di sana ia meniup serulingnya den-
gan suara mendayu-dayu lembut. Rupanya ia telah
mengetahui bahwa di sekitarnya ada seorang pemuda
tampan, yang walaupun tanpa satu tangan tapi tidak
mengurangi ketampanan dan kegagahannya. Ia meli-
hat Yoga sedang bicara dengan Kencana Ratih dari ke-
jauhan, maka lekas-lekas ia cari tempat dan di pan-
cingnya pemuda tampan itu dengan suara serulingnya.
Pancingan itu mengenai sasaran. Terbukti den-
gan langkah pelan Yoga datang mendekatinya, dan Se-
runi meliriknya sekejap. Kemudian ia mainkan seru-
lingnya dengan tiupan ilmu 'Seruling Bulan Madu'. Ha-
ti Yoga tergugah, mulai gelisah menahan .gejolak ha-
sratnya yang segera ingin bercinta dengan lawan jenisnya. Matanya tak berkedip
memandang Seruni yang
sengaja duduk dalam keadaan seronok, memamerkan
apa saja yang bisa dipamerkan pada kaum lelaki. Hal
itu membuat jantung Yoga berdetak-detak kencang,
benak dan jiwanya telah teracuni kekuatan ilmu
'Seruling Bulan Madu'.
Sambil meniup serulingnya dan berlagak acuh
tak acuh terhadap kehadiran Yoga, dalam hatinya Se-
runi berkata, "Gila! Dia lebih tampan dan lebih memikat hati
ketimbang Tamtama! Sang Ketua pasti akan memilih
ikan emas yang ini ketimbang Tamtama. Aku tak boleh
kehilangan kesempatan sedikit pun. Akulah yang sela-
lu menjadi yang pertama untuk lakukan semadi ber-
sama ikan emas ini...! Oh, celaka... aku sendiri terbuai jadinya!"
Langkah dan gerakan Yoga ternyata diikuti dan
diperhatikan terus oleh Kencana Ratih. Gadis yang
memiliki lesung pipit itu mulai curiga ketika Yoga makin lama makin dekat
jaraknya dengan Seruni. Cahaya
mata yang dipancarkan dari mata Yoga pun mempu-
nyai sorot yang sendu, seperti layaknya orang terbuai oleh kemesraan yang
membawa nikmat sekujur tubuhnya.
Hati Kencana Ratih membatin, "Suara seruling
itu memang membuat hati menjadi damai dan tenang.
Tapi rasa-rasanya suara seruling itu tidak beres. Ia
menciptakan pengaruh tersendiri bagi seorang pemuda
seperti Yoga itu. Agaknya suara seruling itu mempu-
nyai kekuatan tenaga gaib yang mampu membang-
kitkan gairah lelaki mana pun juga! Celaka kalau su-
dah begini! Pasti si peniup seruling itu orang dari Gua Bidadari yang sengaja
memikat hati Yoga! Pasti orang
itu ingin memiliki Yoga, setidaknya dia ingin membawa Yoga ke Gua Bidadari. Oh,
kalau begini caranya aku
tak boleh tinggal diam!"
Tanpa tanggung-tanggung lagi, Kencana Ratih
sentakkan pukulan jarak jauhnya bertenaga dalam
tinggi tanpa sinar. Wuuut...! Buhhg! Punggung Seruni
menjadi sasaran serangan tenaga dalam Kencana Ra-
tih. Akibatnya, tiupan seruling terhenti seketika dan tubuh itu terjungkal ke
depan dan berguling-guling.
Pada saat itu, Yoga tersentak dengan mata ter-
belalak lebar. Ia bergegas menolong Seruni. Gadis itu bangkit dalam genggaman
tangan kanan Yoga. Keadaan itu membuat Kencana Ratih menjadi makin ma-
rah. Kemudian ia segera melompat dalam satu lompa-
tan bersalto di tanah beberapa kali. Begitu tiba di depan Yoga dan Seruni,
kakinya segera menendang dada
Seruni dengan kuat. Wuuut...! Traaak...!
"Auh...!" Kencana Ratih terpekik karena tulang kakinya dihantam memakai bambu
seruling. Hanta-
man itu membuat kaki Kencana Ratih bagai tak bisa
digunakan untuk berjalan atau berdiri beberapa saat.
Ia menyeringai kesakitan dalam keadaan jatuh tersim-
puh lima langkah di depan Seruni dan Yoga.
Dari gerakan bambu seruling yang cepat, Ken-
cana Ratih sudah dapat menakar ilmu lawannya. Me-
nurutnya, lawannya berilmu cukup tinggi dan tidak bi-
sa diperlakukan dengan sepele atau diremehkan Ken-
cana Ratih harus gunakan perhitungan matang jika
ingin menyerangnya. Tetapi hati yang panas melihat
tangan Yoga digenggam oleh Seruni membuat Kencana
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ratih sukar menggunakan perhitungan yang matang.
Ia bahkan menggeram dengan suara kebenciannya,
"Jauhi dia, atau kubunuh kau dari sini!"
Seruni hanya tertawa serak sambil makin ra-
patkan tubuh kepada Pendekar Rajawali Merah. Aneh-
nya, Yoga justru menyambut gerakan tubuh merapat
itu sambil pandangi Kencana Ratih dalam senyum
yang seolah-olah mengejek. Ini membuat Kencana Ra-
tih nyaris kehilangan kendali jiwa. Nafsu untuk men-
gamuk membakar setiap denyut nadinya. Maka serta
merta ia lepaskan pukulan dari tempatnya tersimpuh
dengan gunakan gerakan kedua tangannya. Tangan itu
berkelebat ke sana sini membentuk seperti jurus kem-
bar, lalu tiba-tiba menyentak ke depan dan melesatlah sinar biru seperti mata
tombak. Zlaaap..!
Duaaar...! Sinar biru itu meledak ketika dihan-
tam dengan bambu seruling dalam kibasan membuang
arah. Ternyata bambu seruling itu bukan sembarang
bambu. Terbukti bambu itu bisa memukul pecah sinar
biru dari Kencana Ratih sementara seruling itu sendiri masih tetap utuh, tanpa
keretakan sedikit pun.
Namun ledakan tersebut membuat tubuh Se-
runi tersentak mundur tiga langkah dan menjauhi Yo-
ga. Dengan cepat Yoga memburu Seruni, bagai tak
mau kehilangan gadis itu. Kencana Ratih segera berse-
ru, "Jauhi dia, Yo...! Kau terpengaruh oleh suara
seruling tadi!"
"Tutup mulutmu, Gadis Jahanam!" bentak Se-
runi yang mulai terpancing amarahnya akibat langkah
Yoga terhenti setelah mendengar seruan Kencana Ratih
itu. Yoga seperti menjadi orang bimbang yang tak
punya kepastian. Seruni mulai cemas akan kehilangan
pengaruh yang telah menjerat hati Yoga itu. Maka, ce-
pat-cepat Seruni bermaksud meniup serulingnya lagi
agar jerat di hati Yoga tidak pudar.
Namun pada saat itu, Kencana Ratih kembali
berseru, "Jauhi dia, Yo...! Kau terkena pengaruh kekuatan gaib dari seruling
itu! Jauhi dia, lekas...!"
Sambil berseru begitu, dari tempat bersimpuh-
nya Kencana Ratih lepaskan pukulan tenaga dalam
tanpa sinar ke arah Seruni. Wuuut...! Braaasss...! Pukulan itu bagai menghantam
telak bagian wajah Seru-
ni. Seruling yang mau ditiupnya menyodok mulut dan
tubuh Seruni sendiri terpelanting ke belakang dengan
kerasnya. "Bangsat...!" teriaknya dengan geram, lalu ia melompat dengan bersalto di udara
tiga kali, dan begitu tiba di depan Kencana Ratih, ia tebaskan bambu se-
rulingnya ke kepala Kencana Ratih.
Traaak...! "Aaauh...!" Kencana Ratih memekik karena lengan kanannya dipakai untuk menangkis
bambu serul- ing. Ternyata tangkisan itu membuat tulang lengan te-
rasa remuk dihantam besi sekeras baja. Tangan itu
pun seketika menjadi memar membiru. Kencana Ratih
mendekap tangannya itu sambil menyeringai kesaki-
tan. Melihat lawannya kesakitan, Seruni segera ki-
baskan kakinya menendang wajah Kencana Ratih.
Wuuut...! Kepala Kencana Ratih sempat membungkuk
hindari kelebatan kaki lawan. Pada saat kepala me-
nunduk itulah Seruni punya kesempatan untuk han-
tamkan serulingnya ke tengkuk kepala lawan.
Wuuut...! Traaak...! Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, tiba-
tiba Yoga telah menyambar sepotong ranting berca-
bang dan ranting itu digunakan untuk menahan gera-
kan bambu seruling yang akan menghancurkan teng-
kuk kepala Kencana Ratih. Saat itulah Seruni tahu
bahwa pengaruh serulingnya telah hilang dari jiwa pe-
muda tampan tersebut, dan pemuda itu telah menya-
dari keadaan sebenarnya. Seruni terperanjat melihat
gerakan Yoga yang amat cepat itu.
Lebih terperanjat lagi setelah tahu-tahu ia su-
dah terkapar di tanah dalam keadaan dagunya memar
membiru. Rupanya gerakan cepat Yoga yang menang-
kis seruling tadi dilanjutkan dengan sentakan kuat ke arah atas dan bambu itu
menghantam dagu pemiliknya dengan luar biasa kuatnya. Sentakan bertenaga
dalam tinggi itu membuat Seruni terkapar bagai orang
tak sadarkan diri beberapa kejap tadi.
"Menepilah! Biar kuhadapi sendiri dia!" kata Yoga kepada Kencana Ratih. Gadis
itu mengeluh tertahan, memegangi tangannya yang bengkak. Yoga ter-
paksa membantu Kencana Ratih untuk menepi ke ba-
tang pohon yang tumbang, yang tadi dipakai duduk
oleh Seruni itu.
Tetapi pada saat itu, Seruni sudah berhasil
bangkit kembali dan segera larikan diri setelah ia
membatin, "Pemuda itu berilmu tinggi! Rasa-rasanya aku
tak mampu melawannya, karena gerakan seruling ku
saja bisa ditahannya memakai ranting sekecil itu! Ada baiknya kalau
kuberitahukan keberadaannya kepada
sang Ketua, biar sang Ketua sendiri yang turun tan-
gan! Pasti dia sangat tertarik jika kuceritakan ketampanan, kegagahan, dan
keperkasaan pemuda itu!"
Ketika Yoga ingin menghadapi Seruni, tiba-tiba
ia jadi tertegun bengong melihat gadis peniup seruling itu sudah berlari jauh
dari tempatnya berada. Yoga ingin mengejarnya, tapi ia ingat keadaan Kencana
Ratih yang tak bisa berdiri karena tangkisan seruling tadi.
Maka Yoga pun urungkan niatnya untuk mengejar Se-
runi. "Mengapa tak kau kejar dia"!" Kencana Ratih setengah menyalahkan Pendekar
Rajawali Merah.
"Bisa saja kukejar, tapi keadaanmu butuh per-
tolongan dariku. Kau terluka, Kencana!"
"Aku bisa atasi luka di tulangku ini!"
"Kalau begitu, atasilah dulu baru kita susul dia ke Gua Bidadari!"
"Bantu aku! Salurkan hawa murni mu lewat te-
lapak tanganku!" kata Kencana Ratih yang lekas-lekas ambil sikap memusatkan
pikiran. Tak banyak makan waktu menghilangkan rasa
sakit di bagian dalam tubuh Kencana Ratih. Walau
lengannya masih bengkak dan tulang kakinya juga
masih memar membiru, tapi rasa sakit itu telah lenyap dan tak terasa. Maka,
mereka berdua segera mengejar
Seruni mengikuti arah kepergian si peniup seruling itu.
Pada saat mereka temukan Gua Bidadari, tentu
saja Seruni sudah lebih dulu melaporkan keadaan
yang baru saja dihadapinya, yaitu tentang seorang pe-
muda tampan yang jauh lebih menawan dari Tamtama.
Tak terlihat Seruni di depan mulut gua tersebut, tetapi Yoga dan Kencana Ratih
justru terpaku dengan pe-
mandangan yang menegangkan.
Empat orang pemuda berbadan kurus sedang
digiring keluar dari gua besar tersebut. Rupanya mere-ka dituntun ke tepi
jurang. Sampai di sana mereka
yang bertubuh lunglai dan berwajah pucat itu segera
ditinggalkan oleh penuntunnya. Tapi lima orang gadis
lainnya telah siap dengan tombak mereka. Begitu ke-
lima penuntun pergi, pemuda-pemuda bertubuh ke-
rempeng dan layu itu di hujami tombak secara bersa-
maan. Jruub...! Lima tombak tepat mengenai tubuh
lima pemuda gontai. Tubuh mereka tersentak jatuh ke
jurang secara bersamaan dengan suara teriakan mere-
ka yang menggema membuat bulu kuduk merinding.
"Kejam!" geram Kencana Ratih dari balik persembunyiannya. "Mereka pasti pemuda-
pemuda yang sudah dianggap tidak bisa dipakai lagi oleh mereka,
seperti yang diceritakan oleh Bujang Lola itu!"
"Wajah-wajah cantik itu ternyata berhati bina-
tang!" ujar Yoga dengan tetap tampakkan sikap kalem-nya. "Hati-hatilah, jangan
terpengaruh seperti tadi lagi!" bisik Kencana Ratih. "Kita akan...."
Kata-kata tersebut jadi terhenti karena kali ini
ia melihat seorang pemuda diseret keluar dari dalam
gua. Pemuda itu dalam keadaan berdarah di sekujur
tubuhnya, namun bagian wajahnya masih tampak ber-
sih. Wajah itulah yang membuat Kencana Ratih bagai-
kan tersiram lahar panas di sekujur tubuhnya. Panas
seketika, karena ia tahu betul bahwa wajah tersebut
adalah wajah Aditya, kakaknya. Maka, tanpa perhitun-
gan lagi, Kencana Ratih segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru,
"Adityaaa...!"
Tapi pada saat itu, dua orang yang menyeret
Aditya telah melemparkan tubuh tersebut ke dalam ju-
rang. Terdengar jeritan Aditya yang sebenarnya hanya
terluka parah dan belum mati itu. Jeritan tersebut kini mewakili jeritan
kematian yang amat menghancurkan
hati Kencana Ratih. Maka, gadis itu pun segera men-
cabut pedangnya dan menghambur ke arah mulut gua
sambil berseru lantang,
"Biadab kalian semuaaa...! Jahanaaam...!"
Yoga hanya menggerutu sambil bergegas bang-
kit, "Celaka! Dia kehilangan kendali jiwanya...!"
Kencana Ratih mengamuk sejadi-jadinya. Se-
mua ilmu dan jurus yang dimiliki dikeluarkannya. De-
lapan orang dalam sekejap mati terbunuh olehnya.
Suara pekikannya begitu keras karena menangisi ke-
matian kakaknya yang terlihat jelas di depan matanya
sendiri. Beberapa 'bidadari' keluar dari dalam gua besar itu. Pendekar Rajawali
Merah segera mencabut pedangnya. Blaaar. Petir menggelegar di langit sebagai
tanda dicabutnya Pedang Lidah Guntur dari sarung-
nya. Pedang yang bercahaya merah berkerilapan sinar
merah kebiru-biruan itu segera ikut menebas lawan
yang mengeroyok Kencana Ratih. Pada umumnya me-
reka mati robek karena kilatan cahaya merah yang
menyambar-nyambar dari pusaka Pedang Lidah Gun-
tur tersebut. Sebagian ada yang mati terpenggal tanpa keluarkan darah setetes
pun. Bagi mereka yang terpotong langsung oleh Pedang Lidah Guntur, mereka tidak
menyadari keadaan tubuh nya yang terpotong, karena
tidak timbulkan rasa sakit sedikit pun. Bahkan seba-
gian tidak menyadari kalau lengannya, atau pergelan-
gan tangannya telah terpotong putus oleh Pedang Li-
dah Guntur. Tahu- tahu mereka jatuh, dan tak berku-
tik lagi selamanya.
Pendekar Rajawali Merah melihat Kencana Ra-
tih terdesak lawan. Ia bergegas mengarahkan seran-
gannya ke tempat Kencana Ratih. Namun tiba-tiba ia
masih sempat mendengar suara petir menggelegar di
angkasa dengan gemuruhnya. Blegaaar...!
Sambil melakukan perlawanan, Pendekar Ra-
jawali Merah memandang sekelilingnya, mencari-cari
sesuatu. Sebab ia yakin, suara petir menggelar tadi
bukan dari hempasan tenaga dalam seseorang, me-
lainkan akibat tercabutnya sebuah pedang pusaka
yang bernama Pedang Sukma Halilintar. Dan pemilik
Pedang Sukma Halilintar tak lain adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih.
"Di mana dia..." Pasti dia ada di sekitar sini dan sedang mencabut pedangnya!"
pikir Yoga sambil mengibaskan pedang di depan delapan orang pengeroyok-
nya. Dari dalam gua semakin banyak berhamburan
para 'bidadari' yang siap melakukan perlawanan den-
gan kesadisannya masing-masing. Tetapi pada saat itu
ternyata seorang wanita cantik bersenjatakan pedang
yang membara putih keperak-perakan sedang menga-
muk di sudut pintu masuk gua tersebut. Wanita cantik
itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Putih yang men-
genakan pakaian merah jambu.
Gerakan Lili begitu cepat dan gesit, sukar di-
tandingi lawan. Ia menyerang sambil berusaha mende-
kati Yoga, hingga satu saat ia berhasil melambungkan
tubuhnya ke atas dan menggunakan kepala lawannya
sebagai tempat pijakan kakinya. Pendekar Rajawali Pu-
tih berhasil melompat dari kepala ke kepala lainnya
hingga tiba di samping Yoga, dan mereka segera bera-
du punggung. Jleeg...!
"Apa urusanmu dengan mereka sehingga terjadi
pertarungan seperti ini, Yo"!"
"Mereka ingin menjadikan aku sebagai budak
nafsu!" "Keparat mereka!" geram Lili sambil tetap melakukan tangkisan dan
serangan dengan pedangnya.
Semangat tarungnya semakin besar begitu mendengar
Yoga ingin dijadikan budak nafsu oleh mereka. Kecem-
buruannya membara menciptakan murka, sehingga
makin ganas lagi Pendekar Rajawali Putih menyerang
lawan-lawannya.
"Jumlah mereka sangat banyak, Guru! Sejak
tadi tiada habisnya yang keluar dari dalam gua besar
itu!" "Satukan pedang kita, hancurkan langit gua bi-ar mereka mati tertimbun
reruntuhannya!"
"Baik, Guru!"
Maka, kedua pendekar itu menyatukan jurus-
jurus mereka. Melalui perpaduan dua pedang pusaka
yang disebut jurus 'Jodoh Rajawali', melesatlah sinar ungu yang menghantam
langit-langit gua. Blaaar...!
Jiegaaar...! Blaaar...! Sesekali mereka menghalau se-
rangan lawan dari kanan kiri maupun depan belakang.
Kedua pedang pusaka itu bagai tak mengenal ampun
lagi, sementara mereka yang masih tinggal di dalam
gua sibuk melarikan diri keluar karena langit-langit
gua runtuh. Sedikit kesempatan digunakan mereka untuk
hancurkan langit-langit gua lagi. Sinar ungu tiada habisnya menggempur gua
tersebut, hingga akhirnya ter-
dengar suara gemuruh hebat yang menandakan langit-
langit gua runtuh seluruhnya.
Glegaaarrr...! Wwwrrr...!
Bumi bagai terguncang. Jerit melengking di sa-
na sini. Gua itu benar-benar roboh dan tak tersisa lubang sedikit pun. Jalan
masuk ke dalam gua telah ter-
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tutup. Sebagian bentuk atap gua pun sudah berubah
menjadi gundukan batu yang membukit. Beberapa
orang yang ada di dalamnya tak terdengar lagi sua-
ranya. Sisa dari mereka yang selamat ada yang segera larikan diri dari
pertarungan, ada yang mencoba tetap melawan walau akhirnya mati, ada pula yang
membuang senjatanya pertanda menyerah. Sementara itu
bumi yang berguncang bagai dilanda gempa dahsyat
itu sudah reda kembali. Tetapi debu-debu masih be-
terbangan dan asap mengepul bagai bencana alam
yang ditakuti oleh para penduduk yang tinggal di kaki Gunung Tambak Petir.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening dan
sunyi. Mereka yang menyerah dibiarkan lolos mening-
galkan tempat itu. Di antara mayat-mayat para bidada-
ri, berdiri dua sosok tegar yang masih menggenggam
pedang pusaka masing-masing; Yoga dan Lili.
"Siapa mereka ini sebenarnya, Yo?" tanya Lili, kemudian secara singkat Yoga
menjelaskan tentang
Gua Bidadari dan orang-orang di dalamnya. Lili pun jelaskan usahanya mengejar
Topeng Merah justru me-
nemukan tempat tersebut yang ternyata menjadi la-
dang pertarungan bagi Yoga. Maka Lili pun segera tu-
run tangan membantu orang yang dicari-carinya sejak
beberapa hari ini.
Seorang perempuan muda dan cantik muncul
dari tumpukan mayat. Ia berjalan dengan gontai men-
dekati Yoga dan Lili dalam keadaan terluka di lam-
bungnya. Lili segera bertindak cepat, melompat dengan tangan siap lepaskan
pukulan dahsyatnya. Tapi Yoga
segera menerjang Lili dari samping, dan Lili pun jatuh terguling-guling, lalu
cepat sentakkan pinggulnya dan bangkit berdiri lagi dengan tegap, wajahnya
menjadi berang memandang Yoga.
"Mengapa kau menyerangku"!" bentaknya. "Aku
mau bunuh sisa mereka itu, biar habis tuntas sega-
lanya!" "Dia bukan lawan kita! Dia teman! Dialah Kencana Ratih yang telah
kehilangan kakaknya sebagai
korban kekejaman para bidadari di sini!"
Kencana Ratih hentikan langkahnya sambil
menopang badan di salah satu gundukan batu. Ia
hanya memandangi Yoga dan Lili dalam keadaan me-
nahan luka di lambung, Lili berseru dengan ketus, "O, jadi perempuan itulah yang
membuatmu nekat melawan bahaya sebanyak ini"! Kau ini jadi dewa penolong
baginya"! Kau ingin tampak ksatria di depan dia"!"
"Guru, tolong dengar dulu penjelasanku...."
"Cukup! Aku sudah mengerti maksudmu! Me-
nyesal aku telah membantumu dalam peristiwa ini!"
"Tapi Kencana Ratih telah selamatkan aku dari
ancaman maut Malaikat Gelang Emas, Guru!"
"Kau tak perlu berdalih dan mengarang kemus-
tahilan, Yo! Kalau memang gadis itu yang membuatmu
segila ini, aku akan pergi dan tak akan temui kau lagi!"
"Guru...."
Wuuut...! Pendekar Rajawali Putih cepat sen-
takkan kakinya ke tanah dan melesat pergi dengan
sangat cepatnya. Yoga ingin mengejar, sebab dia tahu
Lili kecewa melihat Yoga menolong Kencana Ratih.
Guru cantik itu cemburu dan tak mau tahu lagi. Yoga
takut kehilangan Lili. Namun ketika ia hendak berge-
gas mengejarnya, tiba-tiba sebuah suara parau me-
manggilnya dari belakang dengan nada mengharu,
"Yooo...!" pelan dan bercampur dengan desah.
Pendekar Rajawali Merah terhenti dari segala
geraknya, akhirnya berpaling ke belakang, menatap
Kencana Ratih yang sedang memandanginya dengan
menahan sakit. Tak tega Yoga melihat Kencana Ratih
menderita begitu. maka dihampirinya gadis tersebut
dan segera dipapahnya karena ia terhuyung hendak ja-
tuh. "Aku terluka berat, Yo...," ucap Kencana Ratih bagai mengadu kesedihannya.
Yoga semakin trenyuh
hatinya. Ia segera membawa Kencana Ratih ke tempat
yang datar dan teduh.
"Kita beristirahat dulu di sini," kata Yoga. "Lukamu ku sembuhkan dulu untuk sementara waktu..
"Siapa gadis cantik tadi, Yo?"
"Guruku," jawab Yoga polos, secara apa
adanya: "Dia tampak mencemburui keberadaanku ber-samamu."
"Lupakan tentang itu. Lihat..., Gua Bidadari te-
lah hancur. Entah berapa orang yang terkubur di da-
lam reruntuhannya!"
"Ya, aku sudah melihatnya. Tapi bagaimana
dengan gurumu yang cantik itu, Yo" Apakah dia men-
cintaimu?"
Yoga tidak menjawab, namun berkata lain,
"Aku harus mencari bunga Teratai Hitam di Gua Mulut Iblis. Tak
jauh dari sini!"
Kencana Ratih tahu, Yoga menghindari perta-
nyaannya. Kencana Ratih tak mau memburunya. Un-
tuk sementara ia bersikap mengalah dan menimpali
kata-kata Yoga dengan bertanya,
"Untuk apa kau mencari bunga Teratai Hitam?"
"Untuk mengobati sahabatku yang menderita
sakit ingatan akibat terkena Racun Edan dari lawan-
nya." "Akan kubantu kau ke gua itu. Setahuku, gua itu sekarang ditunggu oleh
seorang tokoh sakti yang
dikenal dengan nama Kiyai Kubang Darah!"
"Siapa pun penunggunya, aku harus bisa da-
patkan bunga itu, Kencana. Dan kurasa kau tak perlu
ikut denganku."
"Benarkah" Benarkah kau melarangku untuk
ikut denganmu?"
Pendekar Rajawali Merah justru bingung men-
jawabnya. Ia sendiri tak yakin apakah hatinya menolak Kencana Ratih yang ingin
menemaninya atau kata-kata yang hanya sebagai ungkapan balik dari ucapan
Kencana Ratih yang pernah melarangnya ikut ke Gua
Bidadari" Lalu, bagaimana dengan Lili yang terluka ha-
tinya melihat sikap Yoga memihak Kencana Ratih" Da-
patkah luka itu disembuhkan dengan kehadiran Yoga
kembali" Haruskah Yoga meredakan luka di hati Pen-
dekar Rajawali Putih lebih dulu, baru kembali ke le-
reng Gunung Tambak Petir untuk mencari bunga Tera-
tai Hitam"
Gua Bidadari telah hancur dan runtuh. Tetapi
benarkah semua penghuninya telah binasa tiada yang
selamat satu pun" Padahal, bongkahan batu dan ca-
das itu terlihat bergerak-gerak di atas reruntuhan gua.
Kemudian sepotong tangan tampak keluar terjulur ke
atas. Siapakah pemilik tangan itu"
SELESAI Segera menyusul!!!
BUNGA PENYEBAR MAUT
E-Book by Abu keisel Patung Emas Kaki Tunggal 3 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Pendekar Bloon 11
Leak Parang duduk di samping tubuh yang ter-
kubur ini. Ia bersila dan pejamkan mata beberapa saat lamanya. Tanah yang
dipakai mengubur sebagian tubuh Bujang Lola itu tiba-tiba menjadi hangat, namun
sepertinya tanah itu juga keluarkan air berlendir. Air itu terasa merayapi
sekujur tubuh yang terkubur. Perih rasanya, sehingga Bujang Lola merintih
berkepan- jangan. Beberapa waktu kemudian, Leak Parang meng-
hantamkan telapak tangan kanannya ke tanah.
Buuhg...! Dan tubuh Bujang Lola yang terkubur itu
mental ke atas, keluar dari lubang kuburnya. Seolah-
olah ada suatu tenaga yang melemparkan tubuhnya
dari dasar bumi, membuat tubuh itu melayang bebe-
rapa saat dengan suara teriakan keras dari mulut Bu-
jang Lola yang ketakutan. Kemudian tubuh tersebut
jatuh ke tanah dalam keadaan terkulai dan terengah-
engah. Bruuk...!
"Pulanglah! Jaga pondok, dan jangan ke mana-
mana sebelum aku datang! Kalau aku datang kau ti-
dak ada di pondok, ku hukum kau sampai lumpuh se-
luruh tubuh mu!"
"Baik, Guru...!"
"Jangan panggil aku guru!" sentak Leak Parang.
"Ba... baik, Ki Leak!" Bujang Lola mengangguk dengan rasa takut. Tapi ia kembali
perdengarkan suaranya, "Kalau boleh saya tahu, Ki Leak mau pergi ke mana?"
Dengan nada bijak Leak Parang menjawab,
"Aku ingin menemui seseorang yang bernama Nyai Kubang Darah untuk suatu
keperluan penting. Jika da-
lam satu purnama aku tak pulang, itu berarti aku mati di perjalanan! Siapa pun
tak perlu mencari mayatku!"
"Bagaimana jika pihak keluarga Ki Leak Parang
yang menanyakannya" Apa yang harus saya katakan
kepada mereka?"
"Sebelum satu purnama, jika pihak keluargaku
ada yang bertanya, katakan. bahwa aku sedang pergi
bertapa. Tapi jika lewat satu purnama, katakan bahwa
aku telah mati bersama Nyai Kubang Darah!"
"Maksudnya...." Bujang Lola tak jadi lanjutkan kata. Leak Parang sudah lebih
dulu lenyap dalam satu
sentakan kaki ke tanah. Kepergiannya menyerupai
hembusan angin kencang yang tak bisa diikuti oleh
pandangan mata. Bujang Lola yang telah merasa sehat
dan tubuhnya tidak retak-retak seperti tadi itu, hanya terbengong melompong
memperhatikan kepergian Leak
Parang. Tetapi ia segera tersenyum melihat tubuhnya
kotor berlumur cairan hitam menyerupai kubangan
yang amat kotor dan bau itu. Bujang Lola tertawa geli sendiri memperhatikan
keadaan tubuhnya. Lalu segera
pergi mencari sungai untuk membersihkan badannya
yang bau busuk itu.
"Oh, iya...! Aku lupa untuk membicarakan ten-
tang Kencana Ratih. Seharusnya tadi kutanyakan apa-
kah Ki Leak Parang punya keponakan yang bernama
Kencana Ratih" Jika kelak Ki Leak Parang merasa ti-
dak mempunyai keponakan yang bernama Kencana
Ratih, berarti gadis cantik itu benar-benar orang Gua Bidadari yang kukenal
dengan nama Pinjung Dara! Ta-pi, orang bertopeng merah yang melemparkan senjata
Bunga Neraka itu adalah Dewi Sukesi. Jika benar Ken-
cana Ratih orang Partai Gadis Pujaan, mengapa ia
menjadi berang dan mengejar Dewi Sukesi?"
Apakah benar Topeng Merah kali ini adalah
Dewi Sukesi" Hal itulah yang ingin dibuktikan oleh Yo-ga dalam pengejarannya.
Rupanya Topeng Merah
mempunyai cara sendiri untuk melarikan diri. Ia
mempunyai tempat-tempat untuk bersembunyi, se-
hingga pengejarnya sering kehilangan arah dalam
memburunya. Bahkan arah pelariannya pun cukup
membingungkan, kadang ke timur, kadang ke utara,
kadang ke selatan, ada kalanya ke barat. Sepertinya ia sengaja membuat
pengejarnya tak bisa memastikan
arah pelariannya. Topeng Merah tampak sengaja su-
paya tidak bisa diterka ke mana arah tujuannya yang
pasti. Namun tiba-tiba kaki Topeng Merah yang me-
nyentak ke tanah dalam berlari itu terhantam oleh
benda keras yang tidak begitu besar. Kaki itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan
dan ia pun jatuh tersungkur. Bruuss...! Benda yang membentur kakinya itu tak
lain adalah sebatang ranting kering yang dilemparkan
seseorang dari arah samping. Tentu saja ranting itu
mempunyai aliran tenaga dalam sehingga dapat mem-
buat kaki tersentak ke samping dan jatuh.
Topeng Merah tidak mau terpaku dari jatuhnya,
ia cepat sentakkan tangannya dan tubuhnya melenting
ke atas bersalto satu kali. Dengan sigap kembali ia
menapakkan kedua kakinya ke tanah dan memandang
sekelilingnya. Lalu gerakan mata memandang itu ter-
henti pada sisi sebelah kanannya. Seseorang telah
berdiri di sana dengan mengenakan pakaian longgar
warna biru dan rompi ketat yang terkancing rapat
warna merah. Dia adalah seorang gadis yang cantik
dan berambut poni, wajah mungil, bibir pun tampak
mungil. Lembayung Senja, itulah orang yang mengusik
pelarian Topeng Merah. la bersama Lili, si Pendekar
Rajawali Putih, mencari kepergian Yoga untuk mende-
sak Pendekar Rajawali Merah itu agar mengaku siapa
orang yang ada di balik Topeng Merah selama ini. Me-
reka berpencar dalam mencari Yoga. Tapi ternyata ju-
stru Lembayung Senja melihat kelebatan seseorang
yang mengenakan pakaian serba merah dan bertu-
tupkan wajah sebuah topeng setan berwajah merah
pula. Karena itu Lembayung Senja yang berpihak pada
Lili itu segera serukan kata di depan manusia berto-
peng merah itu,
"Pucuk di cinta ulam pun tiba! Susah-susah
mendesak Yoga untuk menyebutkan siapa sebenarnya
manusia di balik topeng merah itu, ternyata aku sudah temukan sendiri biang
keladinya!"
Topeng Merah melangkah dekati Lembayung
Senja dengan sikap beringas. Ia telah mengepalkan ke-
dua tangannya dan berhenti dalam jarak lima tindak
dari depan Lembayung Senja.
"Apa perlumu mengganggu perjalananku,
hah"!" sentaknya dengan suara tak bisa lantang karena tertutup topeng.
"Bukalah topengmu! Aku hanya ingin tahu sia-
pa kau sebenarnya, setelah itu cepatlah pergi. Aku tak akan mengganggumu lagi!"
"Apa urusanmu dengan topeng ini"!"
"Hanya rasa penasaran saja; karena selama ini
kau selalu bersembunyi di balik topeng iblismu itu!"
"Aku tidak bersedia membuka topeng ku! Lan-
tas kau mau apa"!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu! Atau,
kubuka sendiri topengmu dengan pedangku ini"!"
Sreet...! Lembayung Senja yang sudah tidak lagi
bersenjata cambuk melainkan pedang itu, segera men-
cabut pedangnya dan bersikap membuka pertarungan.
Ia melangkah ke samping dengan pedang siap dite-
baskan atau di hujamkan ke tubuh lawan, jika sewak-
tu-waktu lawan mendekat. Tetapi agaknya Topeng Me-
rah tidak mau lama-lama melayani orang yang tak di-
kenalnya itu. Wuuut...! Satu sentakan tangan melepaskan
cahaya merah sebesar bola bekel. Cahaya merah itu
melesat cepat, terbang ke arah Lembayung Senja. Den-
gan cepat pula Lembayung Senja menghindar dengan
cara bersalto ke belakang satu kali. Wuuut...!
Blaar...! Cahaya merah sebesar bola bekel itu
menghantam pohon, dan pohon itu pecah seketika, la-
lu sisanya tumbang hampir menjatuhi tubuh Lem-
bayung Senja. Beruntung tubuh Lembayung Senja ce-
pat melompat dan bersalto dua kali di udara, menjauhi robohan batang pohon itu.
Tapi ketika ia mendaratkan
kakinya ke bumi, ternyata Topeng Merah sudah kem-
bali lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa selarik sinar kuning bagai sebatang
besi lurus memanjang.
Zlaaap...! Lembayung Senja cepat-cepat kibaskan pe-
dangnya ke depan dada sendiri, dan selarik sinar kun-
ing itu menghantam pedang. Logam pedang yang
mengkilap itu pantulkan sinar kuning tersebut ke arah lain, sehingga semak-
semaklah yang menjadi sasaran
sinar kuning tersebut.
Blaarrsss...! Semak-semak terbakar, tapi kejap
berikutnya tubuh Lembayung Senja sendiri terpental
ke belakang karena pedangnya tak mampu menahan
sinar kuning terlalu lama. Pedang itu patah pada saat selarik sinar kuning itu
menghantam semak dan mem-bakarnya.
Begitu tubuh Lembayung Senja terpental ke be-
lakang dan jatuh berjumpalitan bersama pedangnya
yang lumer itu, ia segera dihantam oleh Topeng Merah
dengan pukulan tenaga dalam tanpa sinar. Baaahg!
Dada Lembayung Senja terasa jebol seketika itu. Tu-
buh yang baru saja mau berdiri menjadi tunggang-
langgang kembali bagai disapu badai raksasa. Di sebe-
rang sana, Lembayung Senja muntahkan darah segar.
Pada saat itulah Topeng Merah lanjutkan pelariannya
karena takut diburu pengejarnya.
"Lembayung Senja...!" seru sebuah suara ketika Lembayung Senja mencoba bangkit
dan berjalan terhuyung-huyung mencapai sebuah pohon yang akan
dipakainya untuk bersandar.
"Lili...!" sapa Lembayung Senja dengan lemah.
"Dadaku panas sekali! Aku terkena pukulan tenaga dalam yang cukup besar!"
Pendekar Rajawali Putih tiba di tempat itu ka-
rena mendengar suara ledakan tadi. Ia terkejut men-
dapatkan Lembayung Senja berwajah pucat dengan
mulut berdarah. Ia segera memapah Lembayung Senja
ke bawah sebuah pohon besar. Lalu ia lontarkan tanya
yang tampak berapi-api,
"Siapa yang melukaimu"! Siapa"! Kau kenal
orangnya"!"
"Topeng Merah sendiri!"
"Hah..."! Jadi kau jumpa dengan Topeng Me-
rah?" "Benar! Tapi dia menyerangku secara bertubi-tubi dan aku tak punya
kesempatan membalasnya!"
"Ke mana ia pergi" Arah mana yang ditujunya?"
"Selatan...!" jawab Lembayung Senja dengan
tubuh tersentak dan kembali memuntahkan darah se-
gar. "Ap... apakah... apakah dia bersama Yoga?"
"Tidak! Dia sendirian!"
"Tetaplah di sini! Jangan pergi dulu. Aku akan
mengejarnya!"
"Ya, kejarlah! Kurasa dia belum jauh dari sini!
Hati-hati, dia tampaknya cukup ganas!"
Pendekar Rajawali Putih tak hiraukan lagi pe-
ringatan itu Hatinya sudah tak sabar, ingin segera
jumpa dengan Topeng Merah dan lakukan suatu perta-
rungan. Ia ingin buktikan kebenaran dugaannya, apa-
kah wajah di balik Topeng Merah itu adalah wajah
Sendang Suci atau wajah yang belum pernah dikenal-
nya sama sekali"
Pada waktu itu, sebenarnya Yoga juga berlari ke
arah selatan. Karena menurut dugaannya, Topeng Me-
rah yang dikejarnya itu sengaja memancing arah ke
barat, supaya Yoga terperangkap masuk ke Lumpur
Hidup. Dan memang hampir saja Yoga menginjak ta-
nah yang kelihatannya keras namun sebenarnya ada-
lah Lumpur Hidup itu. Kalau tidak penuh waspada
dan berhati-hati, Yoga akan terjebak di Lumpur Hidup
itu, mungkin juga akan tenggelam dan mati terkubur
di dalam lumpur yang mampu menyedot benda berat
di atasnya. "Tak mungkin Topeng Merah menyeberangi
Lumpur Hidup ini! Pasti ia berbelok arah ke kiri dan
kembali lagi ke selatan. Aku harus segera mengejarnya ke sana'"
Tetapi sayang sekali sesuatu telah menghan-
tamnya dari arah samping Yoga. Sesuatu itu seperti
sebongkah batu besar tanpa wujud menghantam kuat,
menerjang tubuh pendekar bertangan satu itu.
Buhhg...! Gusraaak...!
Tubuh Yoga terpental kuat-kuat bagaikan ter-
bang. Tubuh itu menghantam sebatang pohon dengan
kerasnya. Baaahg...! Bruk!
Kemudian sesosok tubuh besar tampakkan diri
dari balik dua batang pohon besar yang berjajar rapat.
Orang tersebut tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Rupanya dalam perjalanannya pulang dari makam di
bawah pohon bambu itu, ia ingin melihat sampai di
mana cara kerja Tamtama yang mendapat tugas mem-
bunuh dan mencuri pedang pusaka milik Pendekar Ra-
jawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Tetapi sejak tadi ia tidak menemukan
Tamtama. Justru ia melihat
Pendekar Rajawali
Merah termenung sebentar di tepian Lumpur
Hidup itu dalam keadaan sendirian. Karena itu, Malai-
kat Gelang Emas segera lepaskan pukulan tenaga ba-
dainya ke arah Yoga. Pukulan tenaga badai itu cukup
dahsyat. Hidung Yoga sempat mengucurkan darah se-
gar sebelum ia membentur pohon. Tulang-tulang tu-
buhnya terasa remuk, dan semakin remuk ketika tu-
buh membentur pohon tersebut.
"Kalau kau serahkan pedangmu itu, kuampuni
dendam ku kepadamu termasuk kepada Lili dan para
guru kalian!" kata Malaikat Gelang Emas.
Yoga masih terengah-engah. Berdirinya sedikit
limbung, dan ia menarik napas panjang-panjang. Pan-
dangan matanya sedikit buram karena pukulan badai
tadi. Tapi ia tahu Malaikat Gelang Emas berdiri di depannya dalam jarak enam
tindak. "Serahkan pedang pusaka itu!" kata Malaikat Gelang Emas yang dari semasa Dewa
Geledek, gurunya
Yoga masih hidup, selalu mengejar-ngejar dua pusaka,
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yaitu Pedang Lidah Guntur yang kini berada di tangan
Yoga dan Pedang Sukma Halilintar yang dimiliki Lili.
Walaupun tubuh terasa seperti remuk, tapi Yo-
ga tetap tampakkan keberaniannya dan ketegarannya
dengan berkata,
"Kalau kau bisa peroleh nyawaku, maka kau
bisa peroleh pedang ini, Malaikat Gelang Emas!"
Orang kejam itu menggeram dengan seringai
wajah bengisnya. Ia keraskan kedua tangannya dalam
keadaan kelima jari kanan kiri mekar bagai hendak
mencakar, lalu ia ucapkan kata bernada bengis,
"Sekarang juga akan kurobek kantong nyawa-
mu, Bocah Ingusan!"
Tapi dari arah belakangnya berserulah sebuah
suara, "Sebelumnya terima dulu ajalmu sekarang juga, Malaikat Sesat! Heaaah...!"
Malaikat Gelang Emas palingkan wajah. Ter-
nyata Kencana Ratih yang ada di belakangnya. Ia su-
dah menggenggam pedang dan sekarang sedang me-
lompat dengan ujung pedang siap menghujam perut
besar Malaikat Gelang Emas. Rasa kaget yang timbul
pada diri Malaikat Gelang Emas membuatnya melom-
pat ke belakang, kemudian segera sentakkan kaki dan
tubuh besar itu melenting ke atas dengan ringannya.
Wuuut...! Kejap selanjutnya tubuh besar mirip raksasa itu telah berada di atas
pohon, berdiri di sebuah dahan besar. "Turun kau, Setan!" sentak Kencana Ratih.
Tetapi Malaikat Gelang Emas justru sentakkan kaki
kembali, lompat ke dahan lainnya dan pergi mening-
galkan tempat itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu!" kata Yoga.
"Untung kau cepat datang sehingga aku tak perlu kuras tenaga untuk melawannya!
Tapi... apa sebabnya
dia takut kepadamu, Kencana" Kau pasti tahu! Kata-
kanlah!" Kencana Ratih diam, bagai memikirkan sesua-
tu. * * * 8 BARU saja Yoga ingin bergegas pergi, tiba-tiba
tangan Kencana Ratih mencekalnya. Lengan Yoga di-
genggam erat, dan wajah Yoga berpaling memandang-
nya. Kencana Ratih diam sesaat, pandangi wajah itu
dengan penuh resapan jiwa yang terbuai indah.
"Ada apa?" tanya Yoga karena risi dipandangi terus begitu.
"Ladang Lumpur Hidup," jawab Kencana Ratih.
Bibirnya bergerak-gerak indah saat mengucapkan ka-
ta-kata tersebut. Yoga memandangi bibir itu, lalu ce-
pat-cepat alihkan pandang ke arah utara di mana ter-
bentang Ladang Lumpur Hidup yang cukup luas.
"Ya, aku tadi hampir terjebak ke sana!" Yoga memandang kembali wajah cantik
Kencana Ratih dan
bertanya, "Apa maksudmu menyebutkan Ladang Lumpur
Hidup?" "Itu pertanda kita sudah berada di dekat Gua
Bidadari!"
"Dari mana kau tahu hal itu?"
"Seseorang yang kutemui sebelum aku berang-
kat mencari kakakku, dia menyebutkan bahwa Gua
Bidadari letaknya tak jauh dari Ladang Lumpur Hidup,
yang merupakan salah satu tempat jebakan bagi
orang-orang yang bermaksud datang ke Gua Bidadari.
Setelah itu, kita akan menemui Pohon Setan, di mana
akarnya dapat membelit ke tubuh orang yang lewat di
dekatnya. Orang itu bisa mati membiru bagai dililit
seekor ular besar. Konon Pohon Setan itu ciri-cirinya berdaun segi tiga dan
berlubang-lubang."
"Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati lagi
dan jangan gegabah berteduh di bawah pohon! Siapa
tahu pohon itu adalah Pohon Setan!"
"Memang. Tapi bukan itu yang ingin kukatakan
padamu." Pendekar Rajawali Merah berkerut dahi, dan
Kencana Ratih tahu maksudnya, yaitu sebaris penjela-
san dibutuhkan oleh Yoga berkenaan dengan kata-
katanya tadi. Maka Kencana Ratih pun berkata pelan,
"Aku ingin kau pulang! Jangan ikut ke Gua Bi-
dadari!" "Mengapa begitu?"
"Seperti apa yang kita dengar dari mulut Bu-
jang Lola, agaknya memang di gua itu banyak wanita
cantik yang menggiurkan hati namun ganas-ganas! Sa-
lah satu bahaya yang mengincar kaum lelaki adalah
hasrat mereka yang ingin menguasai ilmu 'Karang Jan-
tan'!" "Kita sudah telanjur sama-sama berada tidak jauh dari Gua Bidadari!
Haruskah aku pergi dan membiarkan kau nekat menyusup masuk ke sana untuk
selamatkan kakakmu?"
Kencana Ratih palingkan wajah memandang
tempat lain, tapi tangannya masih pegangi lengan Yo-
ga, seakan enggan untuk melepaskannya.
"Sejujurnya kukatakan, aku khawatir kau ter-
pikat oleh mereka dan menjadi korban dalam membu-
ru ilmu 'Karang Jantan'. Entah mengapa hatiku seakan
tak rela jika kau menjadi korban seperti yang dialami Bujang Lola." Kencana
Ratih kembali pandangi Yoga,
"Sungguh aku tak rela mereka menjadikan kau sebagai korban atau kau terluka oleh
keganasan mereka!"
"Apakah kau percaya dengan cerita Bujang Lo-
la?" "Separo hatiku mempercayainya, separonya lagi
mencurigainya!" jawab Kencana Ratih. Agaknya ia bicara apa adanya. Dan ia
berharap sekali Yoga mema-
hami maksud hatinya. Bahkan ia sempat berucap ka-
ta, "Biarkan aku menempuh bahaya ini sendirian!
Jangan mengorbankan dirimu untuk diriku atau un-
tuk kakakku, Aditya itu!"
"Bagaimana dengan lukamu akibat pukulan
Topeng Merah tadi?"
"Bisa ku atasi sendiri. Sekarang agak ringan."
Yoga memandangi wajah cantik itu beberapa
saat, kemudian ia berkata dengan suara pelan,
"Bagaimana kalau aku nekat mengikutimu"
Apakah kau akan memenggal kepalaku?"
Kencana Ratih tersenyum kecil, tapi membuat
hati Yoga berdebar, sebab senyuman itu mempunyai
sepasang lesung pipit yang sungguh manis jika dipan-
dang, sungguh menggemaskan untuk dicubit. Lili juga
punya lesung pipit jika tersenyum, tapi Yoga jarang
melihat senyum dan lesung pipit itu, karena Lili jarang menyunggingkan senyuman
manis di depan Yoga.
"Terlalu bodoh kalau aku berusaha memenggal
kepalamu. Mungkin lebih baik aku memenggal kepala-
ku sendiri," kata Kencana Ratih setelah tersipu mendengar kata-kata Yoga tadi.
Sambungnya lagi, "Kuharap kau bisa memahami kecemasan hatiku jika kau
turut sampai ke Gua Bidadari itu."
"Yang kau cemaskan sangat kupahami, tapi
kau tidak memahami hatiku, Kencana Ratih."
"Hati yang bagaimana yang harus kupahami?"
"Aku tak mungkin tega membiarkan kau me-
nempuh bahaya sendirian, terlebih setelah dua kali
kau mampu menghalangi niat Malaikat Gelang Emas
yang ingin membunuhku! Bukan aku merasa tak
sanggup melawan dia, tapi tindakanmu itu merupakan
suatu keberanian dan kerelaan tersendiri bagiku! Aku
tahu, kau menyimpan rahasia tentang Malaikat Gelang
Emas, tapi sikapmu yang melindungiku membuat aku
tak berani memaksamu harus membuka rahasia itu."
"Aku berani angkat sumpah, bahwa aku tak
punya rahasia apa-apa tentang Malaikat Gelang Emas.
Jangan kau menaruh curiga begitu terus padaku!
Sungguh aku tidak mengerti mengapa dia takut pada-
ku, Yo!" Pendekar Rajawali Merah hembuskan napas panjang-panjang, lalu berkata
dengan sikap lebih bi-jaksana,
"Baiklah, kita lupakan tentang Malaikat Gelang
Emas. Ada baiknya kalau kita mulai melangkah ber-
sama menuju Gua Bidadari!"
Kencana Ratih tetap menggeleng. "Kalau harus
mati dan terluka, biarlah aku saja. Kau jangan sampai ikut mati dan terluka.
Jadi, pergilah dariku dan biarkan aku melangkah sendiri, Yo!"
Setelah diam beberapa saat, akhirnya Yoga
berkata, "Baiklah! Rupanya kau memang tidak suka ji-ka pergi bersamaku."
"Yo, kuharap kau tidak salah mengartikan
permohonan ku ini."
"Baik. Aku tidak akan salah mengartikan. Kau
memang keras kepala dan punya keberanian tinggi da-
lam menempuh bahaya. Jika memang begitu mak-
sudmu, aku pun akan mohon diri sekarang juga."
Kencana Ratih anggukkan kepala. "Sampai
jumpa lagi jika kita masih ada umur, Yo!"
"Jaga dirimu baik-baik!" Yoga menepuk-nepuk punggung Kencana Ratih. Wajah gadis
itu sebenarnya berubah duka, tapi ia berusaha menahan dan menam-
pakkan ketabahannya. Ia pandangi langkah pendekar
tampan bertangan satu itu. Hati terasa berat, namun
jiwa bertahan untuk tetap kuat dan tegar. Pendekar
Rajawali Merah sentakkan kakinya dan melesat pergi.
Dalam waktu sekejap ia bagaikan menghilang dari
pandangan Kencana Ratih. Gadis itu pun tertegun se-
bentar, terkesima dalam kesedihan. Lalu ia tarik napas dalam-dalam untuk menahan
perasaan dukanya, dan
ia ayunkan kaki secepatnya menuju Gua Bidadari, se-
suai dengan petunjuk dari seseorang yang membekali
arah perjalanan sebelum ia berangkat mencari kakak-
nya. Apa yang dikatakan oleh sang penunjuk jalan
ternyata memang benar. Tak jauh dari Ladang Lumpur
Hidup itu terdapat hutan berpohon setan. Kencana Ra-
tih hampir saja terjebak masuk ke hutan akibat ting-
kahnya sendiri.
Ia melihat sekelebat bayangan merah melintas
di seberang sana. Ia segera mengejarnya karena ia ta-
hu bayangan merah itu pasti gerakan lari si Topeng
Merah. Merasa sudah dilukai oleh Topeng Merah, Ken-
cana Ratih bermaksud mengejar untuk membalas ke-
kalahannya. Tetapi pengejarannya itu agaknya diketa-
hui oleh Topeng Merah. Orang misterius itu segera lari ke satu arah, kejap
berikutnya hilang dari pandangan
mata Kencana Ratih. Topeng Merah itu hilang di tepi
hutan berpohon setan.
Jika Kencana Ratih tidak waspada dan hati-
hati, maka ia akan mengejar masuk ke hutan tersebut.
Tetapi langkahnya segera terhenti begitu melihat po-
hon-pohon berakar gantung seperti beringin. Ketika
daun-daunnya diperhatikan, ternyata berbentuk segi
tiga dan berlubang-lubang pada bagian tengahnya.
"Pohon Setan...!" gumam Kencana Ratih dalam
hatinya, lalu membatin, "Tak mungkin Topeng Merah masuk ke dalam hutan ini. Jika
ia masuk ke sana, berarti saat ini akan kulihat tubuhnya dililit akar-akar pohon
tersebut. Hmm... pasti dia menjebakku agar aku
masuk ke dalam hutan berpohon setan itu! Jika ia be-
rani menjebakku begitu, berarti dia sudah tahu persis keadaan di sekitar sini,
juga sudah mengenal adanya
Pohon Setan itu. Lalu, ke mana dia sekarang" Bersem-
bunyi di sebelah mana orang misterius itu?"
Kencana Ratih memandang sekelilingnya den-
gan penuh selidik. Ia tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan di situ. Tetapi ia justru melihat jalan setapak di samping hutan
tersebut yang menuju ke le-
reng perbukitan. Jalan setapak itu pasti menuju ke
Gua Bidadari, sebab pada saat itu ia sudah berada di
kaki Gunung Tambak Petir. Sedangkan Gua Bidadari
itu terletak di lereng Gunung Tambak Petir.
Ketika merenung itulah, tiba-tiba sebuah se-
rangan datang dari arah belakang Kencana Ratih. Se-
rangan itu berupa melesatnya senjata rahasia dari lo-
gam baja yang berbentuk bunga matahari. Ziiing...!
Desing suara logam itu diterima oleh telinga Kencana
Ratih. Cepat-cepat ia berpaling dan melihat benda berkerilap menuju ke arahnya.
Tak sempat lagi Kencana
Ratih untuk menghindar dan menangkis. Hanya saja,
sebongkah batu kecil tiba-tiba melesat dari arah sam-
pingnya. Batu itu menghantam kuat benda berkelirap
tersebut. Triing...! Arah logam tajam beracun itu menjadi membelok ke tempat
lain, sehingga tubuh Kencana
Ratih selamat dari hantaman senjata rahasia tersebut.
Yang dipertanyakan dalam hatinya sekarang adalah,
siapa pelempar batu kecil itu"
Topeng Merah muncul dari persembunyiannya.
Ia menyangka senjatanya mengenai lawan. Tapi ketika
ia muncul, ternyata lawan masih berdiri tegak dan
memandang ke samping. Maka lekas-lekas Topeng Me-
rah lemparkan senjata rahasianya kembali. Ziing...!
Tapi kali ini dengan lincahnya Kencana Ratih melom-
pat hindari senjata berbahaya itu. Sambil melompat ia sentakkan tangannya ke
depan dan seberkas sinar putih perak melesat menghantam tubuh Topeng Merah.
Wuuut...! Topeng Merah menahan dengan telapak tangan
yang membara merah bagaikan besi terpanggang api.
Sinar putih perak itu menghantam telapak tangan ter-
sebut. Diduga sinar itu akan padam bagai tersiram air.
Tapi ternyata benturan sinar putih dengan telapak
tangan yang memerah itu justru timbulkan ledakan
besar yang membuat tubuh Topeng Merah terpental ke
belakang dengan sangat kerasnya. Blaaar...!
"Sekarang saatnya aku membalas kekalahan
ku, Jahanam!" geram Kencana Ratih begitu melihat Topeng Merah terkapar
kehilangan daya. Ia segera
mencabut pedangnya dan bergegas menghampiri la-
wan. Tapi dari arah lain terdengar suara seruan. "Jangan!" Langkah itu jadi
terhenti. Wajah cantik itu berpaling memandang kepada si pemilik suara. Ternyata
Yoga-lah orangnya. Kencana Ratih hembuskan napas
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepas-lepas bagai menghalau perasaan jengkel yang
timbul akibat kemunculan Yoga. Pendekar tampan itu
pula yang tadi selamatkan nyawa Kencana Ratih dari
lemparan senjata rahasia si Topeng Merah. Tapi men-
gapa sekarang ia mencegah Kencana Ratih yang ingin
membunuh Topeng Merah"
"Apa maksudmu melarangku?" geram Kencana
Ratih kepada Yoga. Pendekar bertangan buntung sebe-
lah kiri itu melangkah melewati Kencana Ratih, arah-
nya ke tempat Topeng Merah yang terkulai di sana.
Tapi Yoga sempat menjawab sambil melintasi Kencana
Ratih, "Ada sesuatu yang tidak kau ketahui tentang manusia bertopeng merah itu!
Serahkan dia padaku!"
Tetapi belum lagi Yoga berada dalam jarak de-
kat dengan Topeng Merah, tiba-tiba seberkas sinar
berkabut hitam melesat bagaikan anak panah. Da-
tangnya dari atas pohon dan menghantam telak dada
si Topeng Merah. Zlaaap...! Blaaas...!
"Uuhg...!" terdengar suara pekik tertahan dari balik topeng, dan tubuh itu
mengejang dengan kepala
terjulur ke belakang. Yoga dan Kencana Ratih sama-
sama terkejut, sebab keduanya sama-sama tidak me-
rasa melepaskan serangan jarak jauh ke tubuh Topeng
Merah. Maka keduanya segera berpaling ke arah da-
tangnya sinar terbungkus kabut hitam itu. Ternyata di atas pohon sana tengah
berdiri seorang bertubuh besar yang tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Sikap memandang Yoga dan Kencana Ratih itu
sudah mewakili tuntutan hati mereka atas kelancan-
gan Malaikat Gelang Emas yang melepaskan pukulan
dahsyatnya ke tubuh Topeng Merah. Sebab itulah, dari
atas pohon sana Malaikat Gelang Emas serukan kata
sambil menuding Topeng Merah dengan tangannya
yang berjari besar,
"Dia telah lompati makam kakekku, sehingga
kakekku tak akan bisa bangkit lagi! Aku harus mem-
bunuhnya! Sebentar lagi kau pun akan menerima na-
sib seperti itu, Pendekar Rajawali Merah!"
Tanpa disengaja, kedua anak muda itu sama-
sama sentakkan tangannya dan lepaskan jurus yang
memancarkan sinar merah dan biru. Dari tangan Yoga
melesat sinar merah, dari tangan Kencana Ratih mele-
sat sinar biru. Kedua sinar itu bagai berdampingan
menuju ke arah Malaikat Gelang Emas. Tetapi sebelum
kedua sinar itu menghantamnya, Malaikat Gelang
Emas sudah lebih dulu lenyap bagaikan menghilang
begitu saja. Pasti ia gunakan ilmu 'Bayang Siluman'-
nya, sehingga kedua sinar bertenaga dalam sangat
tinggi itu hanya bisa menghantam pepohonan yang
bukan jenis Pohon Setan itu. Blaarr...! Duaaar...! Habis sudah pepohonan di
sekitar tempat berdirinya Malaikat Gelang Emas tadi.
"Jahanam itu lari lagi!" geram Kencana Ratih.
Tapi Yoga tidak menyambut geraman tersebut. Ia lebih
tertarik kepada keadaan manusia bertopeng merah itu.
Dada orang berselubung kain merah dan men-
genakan topeng merah iblis itu sekarang kepulkan
asap tipis. Ia tak dapat bergerak sedikit pun, kecuali tersengal-sengal karena
sulit bernapas. Yoga merasa
khawatir dengan keselamatan Topeng Merah, sebab
yang terbayang dalam benaknya adalah wajah Sen-
dang Suci, si Tabib Perawan itu.
Cepat-cepat Yoga melepaskan topeng tersebut.
Slaap...! Dan ia segera tertegun memandangi wajah
pucat pasi berbibir biru itu. Kencana Ratih juga tertegun memandang wajah di
balik topeng tersebut, kare-
na ia merasa asing dengan wajah itu. Yoga tertegun
karena wajah dalam bayangannya ternyata berbeda
dengan wajah yang dilihatnya. Wajah itu bukan milik
Sendang Suci. "Kau kenal dia?" tanya Kencana Ratih ketika Yoga memandangi kepadanya. Yoga
menggeleng, dan
Kencana Ratih kembali berkata,
"Aku juga tidak mengenalnya!"
Terdengar suara orang yang tadi kenakan to-
peng merahnya itu dengan nada pelan dan lirih,
"Ak... aku..., Dewi Sukesi...."
"Mengapa kau memakai topeng merah" Aku ta-
hu siapa pemilik topeng merah ini sebenarnya. Bukan
kau!" kata Yoga.
"Mem... memang bukan aku. Ak... aku hanya
menemukan seperangkat pakaian merah, lengkap den-
gan topeng dan pedangnya, di... di atas sebuah bukit, tepi jurang. Laaa... lalu
aku iseng-iseng memakainya.
Ternyata sempat menghebohkan kalian. Ak... aku sen-
diri tak tahu siapa pemilik pakaian dan topeng ini...."
Terbungkam mulut Yoga jadinya. Teringat di
saat Lili habis menyamar sebagai Topeng Merah yang
kemudian melepas pakaian itu, melepas topengnya
dan meninggalkan di bukit tersebut bersama-sama pe-
dangnya juga. Rupanya seperangkat pakaian dan to-
peng itu ditemukan oleh Dewi Sukesi yang iseng men-
genakannya (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat").
Kembali terdengar suara Dewi Sukesi, "Seha-
rusnya... aku menghadap sang... sang Ketua, memberi-
tahukan bahwa aku telah berhasil membunuh Tayon,
juga... juga Bujang Lola. Tapi...."
"Bujang Lola belum mati menurutku!" sahut
Yoga. "Pasti... pasti mati, karena ia terkena racun Ludah Kobra yang ada di
senjata Bunga Matahari itu!
Dan... sebenarnya aku tidak punya urusan dengan ka-
lian. Tapi karena kalian bermaksud menyerang Gua
Bidadari, maka... maka aku pun harus menghalangi
niat kalian. Ku jebak kalian agar masuk ke dalam La-
dang Lumpur Hidup dan terjerat mati di Pohon Setan.
Ternyata... kalian bukan orang bodoh...." Dewi Sukesi yang sebenarnya berwajah
cantik itu mencoba tersenyum walau sangat tawar. Dan senyum itu rupanya
senyum yang penghabisan. Karena setelah itu, kepa-
lanya segera terkulai dan nafasnya terhembus lepas. Ia tak berkutik lagi selama-
lamanya. "Apakah kakakku yang bernama Aditya masih
ada di sana?" sentak Kencana Ratih. Tapi Yoga segera
berkata, "Percuma. Tinggalkan saja dia. Dia telah mati."
Keduanya sama-sama menjauhi mayat Dewi Sukesi. Di
atas sebuah batu, Kencana Ratih sengaja duduk
termenung pandangi mayat Dewi Sukesi dari
sana. Yoga pun segera mendekati Kencana Ratih, lalu
gadis itu berkata dengan mata masih memandang ke
arah mayat lawannya,
"Mengapa kau masih saja mengikutiku?"
"Maaf," kata Yoga pelan. Ia menyingkapkan
rambutnya yang meriap ke depan karena hembusan
angin. "Setelah kupertimbangkan, ternyata hatiku tak mau ku paksakan untuk tega
membiarkan kau menempuh bahaya sendirian. Mulanya aku tidak ber-
maksud mengikutimu, tapi karena kau terancam ba-
haya, terpaksa aku mengikutimu. Terlebih setelah aku
tahu kau ingin membunuh Topeng Merah yang ku-
sangka adalah seseorang yang kukenal itu. Aku perlu
mendekatimu untuk mencegahnya. Sekarang, kalau
kau masih tetap ingin ke Gua Bidadari sendirian, aku
akan pergi!"
Kencana Ratih memandang Yoga dengan lirikan
menahan kejengkelan. Tapi di sudut bibirnya ada le-
sung pipit yang menandakan ia tersenyum tipis. Kejap
berikutnya ia perdengarkan suaranya,
"Tak usah ke mana-mana! Percuma saja kau
kusuruh pergi, pasti tetap akan menguntit ku!"
Pendekar Rajawali Merah ganti tersenyum le-
bar, bahkan sempat tertawa mirip orang menggumam.
Kemudian ia berkata,
"Jadi sekarang bagaimana?"
"Aku bisa memahami perasaanmu. Sekarang
kalau kau mau ikut, ikutlah, tapi kau harus berjanji
padaku." "Janji yang bagaimana?"
"Jangan kau tergoda dan terpikat oleh para bi-
dadari itu, dan jaga dirimu agar jangan ada yang me-
lukaimu! Sanggupkah kau untuk begitu?"
"Mengapa tidak" Tentunya kau akan melindun-
giku agar jangan sampai aku terluka."
"Ya. Melindungimu untuk tidak terluka, mung-
kin bisa kulakukan. Tapi melindungimu untuk tidak
terpikat oleh kecantikan mereka, aku tak bisa melaku-
kannya." Yoga tertawa dan bertanya, "Mengapa begitu?"
"Karena, menurutku kau pemuda mata keran-
jang!" Semakin keras tawa Yoga walau tidak berarti terbahak-bahak. Hal itu
membuat Kencana Ratih menjadi tersipu sendiri. Sungging senyumnya makin lebar,
lesung pipitnya kian jelas, hati Yoga makin girang memandangi lesung pipit dalam
kecantikan wajah manis
Kencana Ratih. Tawa itu terhenti secara sedikit demi sedikit.
Keceriaan wajah mereka pun susut perlahan-lahan.
Kini wajah mereka mulai tampak menegang, dahi me-
reka berkerut. Terdengar suara seruling yang sayup-sayup
membelai hati, meluluhkan jiwa. Hati Yoga menjadi
berdebar-debar akibat mendengar suara alunan serul-
ing di kejauhan. Hasratnya menjadi berkehendak un-
tuk melangkah, mendekati suara seruling itu. Pelan-
pelan pendekar tampan tersebut mulai tinggalkan
Kencana Ratih dan mendekati sumber suara seruling
yang peniupnya tak lain adalah Seruni.
* * * 9 SERUNI duduk di atas batang kayu kering yang
sudah tumbang. Di sana ia meniup serulingnya den-
gan suara mendayu-dayu lembut. Rupanya ia telah
mengetahui bahwa di sekitarnya ada seorang pemuda
tampan, yang walaupun tanpa satu tangan tapi tidak
mengurangi ketampanan dan kegagahannya. Ia meli-
hat Yoga sedang bicara dengan Kencana Ratih dari ke-
jauhan, maka lekas-lekas ia cari tempat dan di pan-
cingnya pemuda tampan itu dengan suara serulingnya.
Pancingan itu mengenai sasaran. Terbukti den-
gan langkah pelan Yoga datang mendekatinya, dan Se-
runi meliriknya sekejap. Kemudian ia mainkan seru-
lingnya dengan tiupan ilmu 'Seruling Bulan Madu'. Ha-
ti Yoga tergugah, mulai gelisah menahan .gejolak ha-
sratnya yang segera ingin bercinta dengan lawan jenisnya. Matanya tak berkedip
memandang Seruni yang
sengaja duduk dalam keadaan seronok, memamerkan
apa saja yang bisa dipamerkan pada kaum lelaki. Hal
itu membuat jantung Yoga berdetak-detak kencang,
benak dan jiwanya telah teracuni kekuatan ilmu
'Seruling Bulan Madu'.
Sambil meniup serulingnya dan berlagak acuh
tak acuh terhadap kehadiran Yoga, dalam hatinya Se-
runi berkata, "Gila! Dia lebih tampan dan lebih memikat hati
ketimbang Tamtama! Sang Ketua pasti akan memilih
ikan emas yang ini ketimbang Tamtama. Aku tak boleh
kehilangan kesempatan sedikit pun. Akulah yang sela-
lu menjadi yang pertama untuk lakukan semadi ber-
sama ikan emas ini...! Oh, celaka... aku sendiri terbuai jadinya!"
Langkah dan gerakan Yoga ternyata diikuti dan
diperhatikan terus oleh Kencana Ratih. Gadis yang
memiliki lesung pipit itu mulai curiga ketika Yoga makin lama makin dekat
jaraknya dengan Seruni. Cahaya
mata yang dipancarkan dari mata Yoga pun mempu-
nyai sorot yang sendu, seperti layaknya orang terbuai oleh kemesraan yang
membawa nikmat sekujur tubuhnya.
Hati Kencana Ratih membatin, "Suara seruling
itu memang membuat hati menjadi damai dan tenang.
Tapi rasa-rasanya suara seruling itu tidak beres. Ia
menciptakan pengaruh tersendiri bagi seorang pemuda
seperti Yoga itu. Agaknya suara seruling itu mempu-
nyai kekuatan tenaga gaib yang mampu membang-
kitkan gairah lelaki mana pun juga! Celaka kalau su-
dah begini! Pasti si peniup seruling itu orang dari Gua Bidadari yang sengaja
memikat hati Yoga! Pasti orang
itu ingin memiliki Yoga, setidaknya dia ingin membawa Yoga ke Gua Bidadari. Oh,
kalau begini caranya aku
tak boleh tinggal diam!"
Tanpa tanggung-tanggung lagi, Kencana Ratih
sentakkan pukulan jarak jauhnya bertenaga dalam
tinggi tanpa sinar. Wuuut...! Buhhg! Punggung Seruni
menjadi sasaran serangan tenaga dalam Kencana Ra-
tih. Akibatnya, tiupan seruling terhenti seketika dan tubuh itu terjungkal ke
depan dan berguling-guling.
Pada saat itu, Yoga tersentak dengan mata ter-
belalak lebar. Ia bergegas menolong Seruni. Gadis itu bangkit dalam genggaman
tangan kanan Yoga. Keadaan itu membuat Kencana Ratih menjadi makin ma-
rah. Kemudian ia segera melompat dalam satu lompa-
tan bersalto di tanah beberapa kali. Begitu tiba di depan Yoga dan Seruni,
kakinya segera menendang dada
Seruni dengan kuat. Wuuut...! Traaak...!
"Auh...!" Kencana Ratih terpekik karena tulang kakinya dihantam memakai bambu
seruling. Hanta-
man itu membuat kaki Kencana Ratih bagai tak bisa
digunakan untuk berjalan atau berdiri beberapa saat.
Ia menyeringai kesakitan dalam keadaan jatuh tersim-
puh lima langkah di depan Seruni dan Yoga.
Dari gerakan bambu seruling yang cepat, Ken-
cana Ratih sudah dapat menakar ilmu lawannya. Me-
nurutnya, lawannya berilmu cukup tinggi dan tidak bi-
sa diperlakukan dengan sepele atau diremehkan Ken-
cana Ratih harus gunakan perhitungan matang jika
ingin menyerangnya. Tetapi hati yang panas melihat
tangan Yoga digenggam oleh Seruni membuat Kencana
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ratih sukar menggunakan perhitungan yang matang.
Ia bahkan menggeram dengan suara kebenciannya,
"Jauhi dia, atau kubunuh kau dari sini!"
Seruni hanya tertawa serak sambil makin ra-
patkan tubuh kepada Pendekar Rajawali Merah. Aneh-
nya, Yoga justru menyambut gerakan tubuh merapat
itu sambil pandangi Kencana Ratih dalam senyum
yang seolah-olah mengejek. Ini membuat Kencana Ra-
tih nyaris kehilangan kendali jiwa. Nafsu untuk men-
gamuk membakar setiap denyut nadinya. Maka serta
merta ia lepaskan pukulan dari tempatnya tersimpuh
dengan gunakan gerakan kedua tangannya. Tangan itu
berkelebat ke sana sini membentuk seperti jurus kem-
bar, lalu tiba-tiba menyentak ke depan dan melesatlah sinar biru seperti mata
tombak. Zlaaap..!
Duaaar...! Sinar biru itu meledak ketika dihan-
tam dengan bambu seruling dalam kibasan membuang
arah. Ternyata bambu seruling itu bukan sembarang
bambu. Terbukti bambu itu bisa memukul pecah sinar
biru dari Kencana Ratih sementara seruling itu sendiri masih tetap utuh, tanpa
keretakan sedikit pun.
Namun ledakan tersebut membuat tubuh Se-
runi tersentak mundur tiga langkah dan menjauhi Yo-
ga. Dengan cepat Yoga memburu Seruni, bagai tak
mau kehilangan gadis itu. Kencana Ratih segera berse-
ru, "Jauhi dia, Yo...! Kau terpengaruh oleh suara
seruling tadi!"
"Tutup mulutmu, Gadis Jahanam!" bentak Se-
runi yang mulai terpancing amarahnya akibat langkah
Yoga terhenti setelah mendengar seruan Kencana Ratih
itu. Yoga seperti menjadi orang bimbang yang tak
punya kepastian. Seruni mulai cemas akan kehilangan
pengaruh yang telah menjerat hati Yoga itu. Maka, ce-
pat-cepat Seruni bermaksud meniup serulingnya lagi
agar jerat di hati Yoga tidak pudar.
Namun pada saat itu, Kencana Ratih kembali
berseru, "Jauhi dia, Yo...! Kau terkena pengaruh kekuatan gaib dari seruling
itu! Jauhi dia, lekas...!"
Sambil berseru begitu, dari tempat bersimpuh-
nya Kencana Ratih lepaskan pukulan tenaga dalam
tanpa sinar ke arah Seruni. Wuuut...! Braaasss...! Pukulan itu bagai menghantam
telak bagian wajah Seru-
ni. Seruling yang mau ditiupnya menyodok mulut dan
tubuh Seruni sendiri terpelanting ke belakang dengan
kerasnya. "Bangsat...!" teriaknya dengan geram, lalu ia melompat dengan bersalto di udara
tiga kali, dan begitu tiba di depan Kencana Ratih, ia tebaskan bambu se-
rulingnya ke kepala Kencana Ratih.
Traaak...! "Aaauh...!" Kencana Ratih memekik karena lengan kanannya dipakai untuk menangkis
bambu serul- ing. Ternyata tangkisan itu membuat tulang lengan te-
rasa remuk dihantam besi sekeras baja. Tangan itu
pun seketika menjadi memar membiru. Kencana Ratih
mendekap tangannya itu sambil menyeringai kesaki-
tan. Melihat lawannya kesakitan, Seruni segera ki-
baskan kakinya menendang wajah Kencana Ratih.
Wuuut...! Kepala Kencana Ratih sempat membungkuk
hindari kelebatan kaki lawan. Pada saat kepala me-
nunduk itulah Seruni punya kesempatan untuk han-
tamkan serulingnya ke tengkuk kepala lawan.
Wuuut...! Traaak...! Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, tiba-
tiba Yoga telah menyambar sepotong ranting berca-
bang dan ranting itu digunakan untuk menahan gera-
kan bambu seruling yang akan menghancurkan teng-
kuk kepala Kencana Ratih. Saat itulah Seruni tahu
bahwa pengaruh serulingnya telah hilang dari jiwa pe-
muda tampan tersebut, dan pemuda itu telah menya-
dari keadaan sebenarnya. Seruni terperanjat melihat
gerakan Yoga yang amat cepat itu.
Lebih terperanjat lagi setelah tahu-tahu ia su-
dah terkapar di tanah dalam keadaan dagunya memar
membiru. Rupanya gerakan cepat Yoga yang menang-
kis seruling tadi dilanjutkan dengan sentakan kuat ke arah atas dan bambu itu
menghantam dagu pemiliknya dengan luar biasa kuatnya. Sentakan bertenaga
dalam tinggi itu membuat Seruni terkapar bagai orang
tak sadarkan diri beberapa kejap tadi.
"Menepilah! Biar kuhadapi sendiri dia!" kata Yoga kepada Kencana Ratih. Gadis
itu mengeluh tertahan, memegangi tangannya yang bengkak. Yoga ter-
paksa membantu Kencana Ratih untuk menepi ke ba-
tang pohon yang tumbang, yang tadi dipakai duduk
oleh Seruni itu.
Tetapi pada saat itu, Seruni sudah berhasil
bangkit kembali dan segera larikan diri setelah ia
membatin, "Pemuda itu berilmu tinggi! Rasa-rasanya aku
tak mampu melawannya, karena gerakan seruling ku
saja bisa ditahannya memakai ranting sekecil itu! Ada baiknya kalau
kuberitahukan keberadaannya kepada
sang Ketua, biar sang Ketua sendiri yang turun tan-
gan! Pasti dia sangat tertarik jika kuceritakan ketampanan, kegagahan, dan
keperkasaan pemuda itu!"
Ketika Yoga ingin menghadapi Seruni, tiba-tiba
ia jadi tertegun bengong melihat gadis peniup seruling itu sudah berlari jauh
dari tempatnya berada. Yoga ingin mengejarnya, tapi ia ingat keadaan Kencana
Ratih yang tak bisa berdiri karena tangkisan seruling tadi.
Maka Yoga pun urungkan niatnya untuk mengejar Se-
runi. "Mengapa tak kau kejar dia"!" Kencana Ratih setengah menyalahkan Pendekar
Rajawali Merah.
"Bisa saja kukejar, tapi keadaanmu butuh per-
tolongan dariku. Kau terluka, Kencana!"
"Aku bisa atasi luka di tulangku ini!"
"Kalau begitu, atasilah dulu baru kita susul dia ke Gua Bidadari!"
"Bantu aku! Salurkan hawa murni mu lewat te-
lapak tanganku!" kata Kencana Ratih yang lekas-lekas ambil sikap memusatkan
pikiran. Tak banyak makan waktu menghilangkan rasa
sakit di bagian dalam tubuh Kencana Ratih. Walau
lengannya masih bengkak dan tulang kakinya juga
masih memar membiru, tapi rasa sakit itu telah lenyap dan tak terasa. Maka,
mereka berdua segera mengejar
Seruni mengikuti arah kepergian si peniup seruling itu.
Pada saat mereka temukan Gua Bidadari, tentu
saja Seruni sudah lebih dulu melaporkan keadaan
yang baru saja dihadapinya, yaitu tentang seorang pe-
muda tampan yang jauh lebih menawan dari Tamtama.
Tak terlihat Seruni di depan mulut gua tersebut, tetapi Yoga dan Kencana Ratih
justru terpaku dengan pe-
mandangan yang menegangkan.
Empat orang pemuda berbadan kurus sedang
digiring keluar dari gua besar tersebut. Rupanya mere-ka dituntun ke tepi
jurang. Sampai di sana mereka
yang bertubuh lunglai dan berwajah pucat itu segera
ditinggalkan oleh penuntunnya. Tapi lima orang gadis
lainnya telah siap dengan tombak mereka. Begitu ke-
lima penuntun pergi, pemuda-pemuda bertubuh ke-
rempeng dan layu itu di hujami tombak secara bersa-
maan. Jruub...! Lima tombak tepat mengenai tubuh
lima pemuda gontai. Tubuh mereka tersentak jatuh ke
jurang secara bersamaan dengan suara teriakan mere-
ka yang menggema membuat bulu kuduk merinding.
"Kejam!" geram Kencana Ratih dari balik persembunyiannya. "Mereka pasti pemuda-
pemuda yang sudah dianggap tidak bisa dipakai lagi oleh mereka,
seperti yang diceritakan oleh Bujang Lola itu!"
"Wajah-wajah cantik itu ternyata berhati bina-
tang!" ujar Yoga dengan tetap tampakkan sikap kalem-nya. "Hati-hatilah, jangan
terpengaruh seperti tadi lagi!" bisik Kencana Ratih. "Kita akan...."
Kata-kata tersebut jadi terhenti karena kali ini
ia melihat seorang pemuda diseret keluar dari dalam
gua. Pemuda itu dalam keadaan berdarah di sekujur
tubuhnya, namun bagian wajahnya masih tampak ber-
sih. Wajah itulah yang membuat Kencana Ratih bagai-
kan tersiram lahar panas di sekujur tubuhnya. Panas
seketika, karena ia tahu betul bahwa wajah tersebut
adalah wajah Aditya, kakaknya. Maka, tanpa perhitun-
gan lagi, Kencana Ratih segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru,
"Adityaaa...!"
Tapi pada saat itu, dua orang yang menyeret
Aditya telah melemparkan tubuh tersebut ke dalam ju-
rang. Terdengar jeritan Aditya yang sebenarnya hanya
terluka parah dan belum mati itu. Jeritan tersebut kini mewakili jeritan
kematian yang amat menghancurkan
hati Kencana Ratih. Maka, gadis itu pun segera men-
cabut pedangnya dan menghambur ke arah mulut gua
sambil berseru lantang,
"Biadab kalian semuaaa...! Jahanaaam...!"
Yoga hanya menggerutu sambil bergegas bang-
kit, "Celaka! Dia kehilangan kendali jiwanya...!"
Kencana Ratih mengamuk sejadi-jadinya. Se-
mua ilmu dan jurus yang dimiliki dikeluarkannya. De-
lapan orang dalam sekejap mati terbunuh olehnya.
Suara pekikannya begitu keras karena menangisi ke-
matian kakaknya yang terlihat jelas di depan matanya
sendiri. Beberapa 'bidadari' keluar dari dalam gua besar itu. Pendekar Rajawali
Merah segera mencabut pedangnya. Blaaar. Petir menggelegar di langit sebagai
tanda dicabutnya Pedang Lidah Guntur dari sarung-
nya. Pedang yang bercahaya merah berkerilapan sinar
merah kebiru-biruan itu segera ikut menebas lawan
yang mengeroyok Kencana Ratih. Pada umumnya me-
reka mati robek karena kilatan cahaya merah yang
menyambar-nyambar dari pusaka Pedang Lidah Gun-
tur tersebut. Sebagian ada yang mati terpenggal tanpa keluarkan darah setetes
pun. Bagi mereka yang terpotong langsung oleh Pedang Lidah Guntur, mereka tidak
menyadari keadaan tubuh nya yang terpotong, karena
tidak timbulkan rasa sakit sedikit pun. Bahkan seba-
gian tidak menyadari kalau lengannya, atau pergelan-
gan tangannya telah terpotong putus oleh Pedang Li-
dah Guntur. Tahu- tahu mereka jatuh, dan tak berku-
tik lagi selamanya.
Pendekar Rajawali Merah melihat Kencana Ra-
tih terdesak lawan. Ia bergegas mengarahkan seran-
gannya ke tempat Kencana Ratih. Namun tiba-tiba ia
masih sempat mendengar suara petir menggelegar di
angkasa dengan gemuruhnya. Blegaaar...!
Sambil melakukan perlawanan, Pendekar Ra-
jawali Merah memandang sekelilingnya, mencari-cari
sesuatu. Sebab ia yakin, suara petir menggelar tadi
bukan dari hempasan tenaga dalam seseorang, me-
lainkan akibat tercabutnya sebuah pedang pusaka
yang bernama Pedang Sukma Halilintar. Dan pemilik
Pedang Sukma Halilintar tak lain adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih.
"Di mana dia..." Pasti dia ada di sekitar sini dan sedang mencabut pedangnya!"
pikir Yoga sambil mengibaskan pedang di depan delapan orang pengeroyok-
nya. Dari dalam gua semakin banyak berhamburan
para 'bidadari' yang siap melakukan perlawanan den-
gan kesadisannya masing-masing. Tetapi pada saat itu
ternyata seorang wanita cantik bersenjatakan pedang
yang membara putih keperak-perakan sedang menga-
muk di sudut pintu masuk gua tersebut. Wanita cantik
itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Putih yang men-
genakan pakaian merah jambu.
Gerakan Lili begitu cepat dan gesit, sukar di-
tandingi lawan. Ia menyerang sambil berusaha mende-
kati Yoga, hingga satu saat ia berhasil melambungkan
tubuhnya ke atas dan menggunakan kepala lawannya
sebagai tempat pijakan kakinya. Pendekar Rajawali Pu-
tih berhasil melompat dari kepala ke kepala lainnya
hingga tiba di samping Yoga, dan mereka segera bera-
du punggung. Jleeg...!
"Apa urusanmu dengan mereka sehingga terjadi
pertarungan seperti ini, Yo"!"
"Mereka ingin menjadikan aku sebagai budak
nafsu!" "Keparat mereka!" geram Lili sambil tetap melakukan tangkisan dan
serangan dengan pedangnya.
Semangat tarungnya semakin besar begitu mendengar
Yoga ingin dijadikan budak nafsu oleh mereka. Kecem-
buruannya membara menciptakan murka, sehingga
makin ganas lagi Pendekar Rajawali Putih menyerang
lawan-lawannya.
"Jumlah mereka sangat banyak, Guru! Sejak
tadi tiada habisnya yang keluar dari dalam gua besar
itu!" "Satukan pedang kita, hancurkan langit gua bi-ar mereka mati tertimbun
reruntuhannya!"
"Baik, Guru!"
Maka, kedua pendekar itu menyatukan jurus-
jurus mereka. Melalui perpaduan dua pedang pusaka
yang disebut jurus 'Jodoh Rajawali', melesatlah sinar ungu yang menghantam
langit-langit gua. Blaaar...!
Jiegaaar...! Blaaar...! Sesekali mereka menghalau se-
rangan lawan dari kanan kiri maupun depan belakang.
Kedua pedang pusaka itu bagai tak mengenal ampun
lagi, sementara mereka yang masih tinggal di dalam
gua sibuk melarikan diri keluar karena langit-langit
gua runtuh. Sedikit kesempatan digunakan mereka untuk
hancurkan langit-langit gua lagi. Sinar ungu tiada habisnya menggempur gua
tersebut, hingga akhirnya ter-
dengar suara gemuruh hebat yang menandakan langit-
langit gua runtuh seluruhnya.
Glegaaarrr...! Wwwrrr...!
Bumi bagai terguncang. Jerit melengking di sa-
na sini. Gua itu benar-benar roboh dan tak tersisa lubang sedikit pun. Jalan
masuk ke dalam gua telah ter-
Jodoh Rajawali 05 Gerombolan Bidadari Sadis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tutup. Sebagian bentuk atap gua pun sudah berubah
menjadi gundukan batu yang membukit. Beberapa
orang yang ada di dalamnya tak terdengar lagi sua-
ranya. Sisa dari mereka yang selamat ada yang segera larikan diri dari
pertarungan, ada yang mencoba tetap melawan walau akhirnya mati, ada pula yang
membuang senjatanya pertanda menyerah. Sementara itu
bumi yang berguncang bagai dilanda gempa dahsyat
itu sudah reda kembali. Tetapi debu-debu masih be-
terbangan dan asap mengepul bagai bencana alam
yang ditakuti oleh para penduduk yang tinggal di kaki Gunung Tambak Petir.
Sesaat kemudian suasana menjadi hening dan
sunyi. Mereka yang menyerah dibiarkan lolos mening-
galkan tempat itu. Di antara mayat-mayat para bidada-
ri, berdiri dua sosok tegar yang masih menggenggam
pedang pusaka masing-masing; Yoga dan Lili.
"Siapa mereka ini sebenarnya, Yo?" tanya Lili, kemudian secara singkat Yoga
menjelaskan tentang
Gua Bidadari dan orang-orang di dalamnya. Lili pun jelaskan usahanya mengejar
Topeng Merah justru me-
nemukan tempat tersebut yang ternyata menjadi la-
dang pertarungan bagi Yoga. Maka Lili pun segera tu-
run tangan membantu orang yang dicari-carinya sejak
beberapa hari ini.
Seorang perempuan muda dan cantik muncul
dari tumpukan mayat. Ia berjalan dengan gontai men-
dekati Yoga dan Lili dalam keadaan terluka di lam-
bungnya. Lili segera bertindak cepat, melompat dengan tangan siap lepaskan
pukulan dahsyatnya. Tapi Yoga
segera menerjang Lili dari samping, dan Lili pun jatuh terguling-guling, lalu
cepat sentakkan pinggulnya dan bangkit berdiri lagi dengan tegap, wajahnya
menjadi berang memandang Yoga.
"Mengapa kau menyerangku"!" bentaknya. "Aku
mau bunuh sisa mereka itu, biar habis tuntas sega-
lanya!" "Dia bukan lawan kita! Dia teman! Dialah Kencana Ratih yang telah
kehilangan kakaknya sebagai
korban kekejaman para bidadari di sini!"
Kencana Ratih hentikan langkahnya sambil
menopang badan di salah satu gundukan batu. Ia
hanya memandangi Yoga dan Lili dalam keadaan me-
nahan luka di lambung, Lili berseru dengan ketus, "O, jadi perempuan itulah yang
membuatmu nekat melawan bahaya sebanyak ini"! Kau ini jadi dewa penolong
baginya"! Kau ingin tampak ksatria di depan dia"!"
"Guru, tolong dengar dulu penjelasanku...."
"Cukup! Aku sudah mengerti maksudmu! Me-
nyesal aku telah membantumu dalam peristiwa ini!"
"Tapi Kencana Ratih telah selamatkan aku dari
ancaman maut Malaikat Gelang Emas, Guru!"
"Kau tak perlu berdalih dan mengarang kemus-
tahilan, Yo! Kalau memang gadis itu yang membuatmu
segila ini, aku akan pergi dan tak akan temui kau lagi!"
"Guru...."
Wuuut...! Pendekar Rajawali Putih cepat sen-
takkan kakinya ke tanah dan melesat pergi dengan
sangat cepatnya. Yoga ingin mengejar, sebab dia tahu
Lili kecewa melihat Yoga menolong Kencana Ratih.
Guru cantik itu cemburu dan tak mau tahu lagi. Yoga
takut kehilangan Lili. Namun ketika ia hendak berge-
gas mengejarnya, tiba-tiba sebuah suara parau me-
manggilnya dari belakang dengan nada mengharu,
"Yooo...!" pelan dan bercampur dengan desah.
Pendekar Rajawali Merah terhenti dari segala
geraknya, akhirnya berpaling ke belakang, menatap
Kencana Ratih yang sedang memandanginya dengan
menahan sakit. Tak tega Yoga melihat Kencana Ratih
menderita begitu. maka dihampirinya gadis tersebut
dan segera dipapahnya karena ia terhuyung hendak ja-
tuh. "Aku terluka berat, Yo...," ucap Kencana Ratih bagai mengadu kesedihannya.
Yoga semakin trenyuh
hatinya. Ia segera membawa Kencana Ratih ke tempat
yang datar dan teduh.
"Kita beristirahat dulu di sini," kata Yoga. "Lukamu ku sembuhkan dulu untuk sementara waktu..
"Siapa gadis cantik tadi, Yo?"
"Guruku," jawab Yoga polos, secara apa
adanya: "Dia tampak mencemburui keberadaanku ber-samamu."
"Lupakan tentang itu. Lihat..., Gua Bidadari te-
lah hancur. Entah berapa orang yang terkubur di da-
lam reruntuhannya!"
"Ya, aku sudah melihatnya. Tapi bagaimana
dengan gurumu yang cantik itu, Yo" Apakah dia men-
cintaimu?"
Yoga tidak menjawab, namun berkata lain,
"Aku harus mencari bunga Teratai Hitam di Gua Mulut Iblis. Tak
jauh dari sini!"
Kencana Ratih tahu, Yoga menghindari perta-
nyaannya. Kencana Ratih tak mau memburunya. Un-
tuk sementara ia bersikap mengalah dan menimpali
kata-kata Yoga dengan bertanya,
"Untuk apa kau mencari bunga Teratai Hitam?"
"Untuk mengobati sahabatku yang menderita
sakit ingatan akibat terkena Racun Edan dari lawan-
nya." "Akan kubantu kau ke gua itu. Setahuku, gua itu sekarang ditunggu oleh
seorang tokoh sakti yang
dikenal dengan nama Kiyai Kubang Darah!"
"Siapa pun penunggunya, aku harus bisa da-
patkan bunga itu, Kencana. Dan kurasa kau tak perlu
ikut denganku."
"Benarkah" Benarkah kau melarangku untuk
ikut denganmu?"
Pendekar Rajawali Merah justru bingung men-
jawabnya. Ia sendiri tak yakin apakah hatinya menolak Kencana Ratih yang ingin
menemaninya atau kata-kata yang hanya sebagai ungkapan balik dari ucapan
Kencana Ratih yang pernah melarangnya ikut ke Gua
Bidadari" Lalu, bagaimana dengan Lili yang terluka ha-
tinya melihat sikap Yoga memihak Kencana Ratih" Da-
patkah luka itu disembuhkan dengan kehadiran Yoga
kembali" Haruskah Yoga meredakan luka di hati Pen-
dekar Rajawali Putih lebih dulu, baru kembali ke le-
reng Gunung Tambak Petir untuk mencari bunga Tera-
tai Hitam"
Gua Bidadari telah hancur dan runtuh. Tetapi
benarkah semua penghuninya telah binasa tiada yang
selamat satu pun" Padahal, bongkahan batu dan ca-
das itu terlihat bergerak-gerak di atas reruntuhan gua.
Kemudian sepotong tangan tampak keluar terjulur ke
atas. Siapakah pemilik tangan itu"
SELESAI Segera menyusul!!!
BUNGA PENYEBAR MAUT
E-Book by Abu keisel Patung Emas Kaki Tunggal 3 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Pendekar Bloon 11