Pencarian

Sumur Perut Setan 1

Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan Bagian 1


Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
SUMUR PERUT SETAN
Serial Silat JODOH RAJAWALI Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit Serial Silat Jodoh Rajawali daiam episode : Sumur
Perut Setan 128 hal.
1 GADIS cantik berhidung mancung itu masih dibaringkan di atas balai oleh
pamannya; Leak Parang. Gadis itu sedang dalam pengobatan akibat luka berat
bagian dalamnya. Kalau saja ia tak segera datang ke pondok Leak Parang, mungkin
jiwanya tidak akan tertolong lagi. Leak Parang pun dalam pengobatannya dibantu
oleh Nyai Kubang Darah, sehingga kini gadis berbaju merah yang tak lain dari
Kencana Ratih itu tinggal menunggu pulihnya kekuatan tubuh yang hilang akibat
luka parah itu.
Pemuda tampan berpakaian baju selempang dari kulit beruang coklat yang
membungkus baju putih lengan panjang di dalamnya itu masih berdiri di samping
balai dengan wajah penuh sesal. Pemuda- itu tak lain adalah Yoga, si Pendekar
Rajawali Merah yang telah selamat dari pengaruh Jarum Jinak Jiwa. Wajah sesalnya
itu sepertinya sulit hilang, karena ia mendapat cerita dari Mahligai, keponakan
Sendang Suci yang telah berhasil mengobatinya itu, bahwa Jarum Jinak Jiwa itu
telah membuatnya menjadi ganas. Lupa akan dirinya, lupa akan sahabatnya, dan
salah satu korban yang nyaris mati di tangannya adalah Kencana Ratih itu, (Baca
episode: "Mempelai Liang Kubur").
"Tak kusangka aku menjadi orang yang paling jahat di muka bumi ini!" kata Yoga
dalam nada pelan, sepertinya bicara pada diri sendiri. Kala itu, bukan hanya
Kencana Ratih yang mendengar ucapannya, melainkan Leak Parang dan Nyai Kubang
Darah pun mendengarnya. Leak Parang pun berkata,
"Jangan hanyut dalam penyesalan, Yoga. Carilah makna dari peristiwa yang
menimpamu itu! Manusia hidup diwajibkan belajar dari pengalaman yang ada dalam
peristiwa demi peristiwa. Kalau hanya terbelenggu oleh penyesalan saja, maka
hidup manusia itu tidak akan punya makna bagi dirinya sendiri."
Kencana Ratih yang lemah dipandangi dengan sorot mata lembut, penuh rasa iba
yang amat dalam. Yoga sepertinya hampir saja membenci dirinya sendiri jika
mengingat, betapa teganya dan betapa kejamnya ia memperlakukan sahabat sebaik
Kencana Ratih hanya untuk memburu nafsu pribadinya.
"Kapan saja kau ingin balas dendam pada diriku, aku siap menerimanya. Kencana
Ratih! Lakukanlah sesukamu, dan aku tidak akan melawan ataupun membalasnya."
Dengan suara lemah Kencana Ratih berkata, "Lupakanlah semuanya," ia sunggingkan
senyum, lesung pipitnya terlihat jelas. Hati Yoga makin tersayat pilu. Pada saat
ia melihat lesung pipit itu, ia terbayang wajah seorang kekasih yang menjadi
gurunya; Pendekar Rajawali Putih. Timbul pertanyaan di batin Yoga pada saat itu,
"Di mana Lili sekarang?"
Kencana Ratih melanjutkan ucapannya, "Aku tak akan menuntut balas apa-apa
padamu, karena aku tahu kau dalam keadaan tak sadar pada waktu itu. Jangankan
untuk mengingat diriku, untuk mengingat siapa dirimu saja kau tak mampu, Yo!
Jadi, wajarlah jika kau menyerangku dengan jurus mautmu itu.
Kuanggap, bukan kau yang menyerangku, melainkan pengaruh jahat dari jarum itu
yang hendak membunuhku waktu itu.
Sekarang, semua itu sudah tidak ada. Semua itu sudah berlalu, tak perlu kau
merasa bersalah."
Tangan Kencana Ratih meraih tangan Yoga yang ada di sampingnya, la menggenggam
tangan itu seraya sunggingkan senyum lagi dan berkata,
"Aku akan sembuh. Aku akan sehat seperti sediakala!"
"Kau memaafkan aku?"
"Sangat memaafkan!" jawab Kencana Ratih berusaha untuk tegas walau dengan suara
lemah karena keadaan tubuhnya memang lemah.
"Kau tahu ke mana perginya Lili?"
"Waktu itu, aku bertarung dengan Mahligai, ia jalan menyusulmu ke Candi Langu
bersama si tampan Wisnu Patra!"
"Wisnu Patra..."!"
"Benar. Kau ingat Wisnu Patra, yang dulu juga pernah mau merebut bunga Teratai
Hitam itu?"
"Ya, ya...! Aku ingat jelas wajahnya. Tapi mengapa Lili pergi bersama dia" Ada
hubungan apa sebenarnya antara Lili dengan Wisnu Patra"!" Pendekar Rajawali
Merah menerawang memikirkan gadis cantik yang melebihi kecantikan bidadari itu.
Ada rasa cemburu yang muncul dengan diawali rasa curiga.
Kencana Ratih menangkap adanya nada cemburu itu, sehingga ia tersenyum bersama
ucapan lemahnya,
"Kau curiga aneh kepadanya" Apakah benar kau menyimpan hati untuk Pendekar
Rajawali Putih itu?"
Tapi Pendekar Rajawali Merah alihkan kata, "Apakah menurutmu Lili dan Wisnu
Patra pernah sampai ke Candi Langu?"
Kencana Ratih paham dengan pengalihan kata itu, ia kembali makin lebarkan
senyumnya dan menjawab,
"Rasa-rasanya mereka tak pernah sampai ke Candi Langu.
Karena ketika aku menyusul ke sana, yang kutemukan hanya kau bersama orang-orang
Candi Langu itu. Kemudian kau menyerangku dan aku lari, tanpa pernah jumpa lagi
dengan Pendekar Rajawali Putih itu. Barangkali saja mereka berbelok arah untuk
satu maksud dan tujuan yang tak kumengerti.
Tentunya hanya mereka pribadi yang memahami mengapa harus berbelok arah dan tak
jadi membebaskan kamu dari pengaruh jarumnya Galuh Ajeng itu!"
"Berbelok arah..."!" Yoga menggumam dan semakin panas hatinya. 'Aku harus
mencari mereka dan bikin perhitungan dengan Wisnu Patra!"
Kencana Ratih tak bisa mencegah keinginan Pendekar Rajawali Merah. Bahkan saran
Leak Parang agar Yoga
beristirahat beberapa hari di pondoknya juga ditolak secara halus. Hati yang
menyimpan geram kecemburuan atas perginya Lili dengan Wisnu Patra itu membuat
Yoga terpaksa bersuit beberapa kali, kemudian seekor burung rajawali besar
berbulu merah datang menghampirinya. Dengan menunggang burung rajawali merah
itulah Yoga meninggalkan pondok kcnlLniMii I o ak Parang, melesat terbang
mencari di mana si I'oikIii kar Rajawali Putih berada.
"Jangan terlalu tinggi, Merah! Aku tak bisa iiioMImi gerakan manusia jika kau
terbang terlalu tinggi. Meren dahlah sedikit!"
"Kraaak...!" burung itu seakan mengerti bahasa ma nusia dan menjawab dengan satu
seruan sambil kepalanya mengangguk-angguk. Kemudian burung besar itu pun
merendah dan terbang dalam jarak tak seberapa jauh dari pucuk-pucuk pohon.
Gerakannya pun pelan, sayapnya mengepak-ngepak dengan santai, namun berkesan
perkasa dan gagah.
Setiap orang yang dilewati burung besar itu selalu mendongak ke atas dan
memandang dengan kagum. Mereka tahu, penunggang burung besar itu tak lain adalah
Pendekar Rajawali Merah yang mulai banyak dikenal orang cerita tentang kesaktian
dan ketinggian ilmunya. Setiap orang yang mendongak pada umumnya melambaikan
tangan dengan rasa ingin bersahabat dengan pendekar tampan bertangan satu itu.
Tetapi dari beberapa orang yang dilewati oleh burung besar itu, Yoga tak melihat
seraut wajah milik Lili. Bahkan bentuk rambut dan pakaian gadis itu pun tak
terlihat ada di antara mereka.
Melalui udara itu, Yoga sempat melihat reruntuhan candi yang tak lain adalah
Candi Langu, tempat dirinya nyaris menjadi pengantin dengan Galuh Ajeng, la juga
melihat dua tanah yang menggunduk. Itulah dua kuburan Galuh Ajeng dan Nini
Sambang. Tapi ia tidak melihat mayat lain di sana.
Cemplon Sari yang kabarnya terkena senjata rahasia Mahligai, tidak ada di antara
reruntuhan candi. Selamatkah ia"
"Merah! Kita menuju ke arah pantai. Di candi itu tidak kulihat mereka! Mungkin
mereka menuju ke pantai untuk berkasih-kasihan!"
"Kreeeak...! Kreeeak...!" burung itu mengerti maksud majikan mudanya, lalu
segera meluncur ke arah pantai dengan gerakan tetap berkesan santai.
Tetapi tiba-tiba Yoga merasakan ada hembusan angin dari bawah yang menghentak ke
atas. Wuuuk...! Burung itu agak oleng dengan menyerukan suara sebagai tanda
bahaya. "Ada yang hendak mencelakai kita, Merah!"
"Kraaak...!" burung rajawali merah itu memancarkan matanya dengan kelopak naik
pertanda ia sendiri menjadi marah.
Seseorang telah melepas pukulan tenaga dalam jarak jauh ke atas. Tetapi pukulan
itu tak seberapa besar, sehingga tidak membuat burung rajawali itu terpental
dalam penerbangannya.
Dua kali hal itu dirasakan oleh Yoga, namun matanya belum menangkap siapa
orangnya dan di mana ia berada.
"Ke arah timur, Merah! Kita periksa keadaan di balik bukit kecil itu!" seru Yoga
dan burung itu berseru kembali, lalu membelokkan arah penerbangannya ke timur.
Melintas bukit kecil itu, tiba-tiba dua benda berkelebat menyerang Yoga dari
bawah. Wuuut, wuuut...! Yoga hanya berteriak,
"Awasss...!"
Burung rajawali itu memiringkan tubuh. Yoga hampir saja jatuh. Ternyata burung
itu menghindari dua anak panah yang
dilepaskan ke arahnya. Bahkan sekarang bukan dua anak panah lagi, melainkan
lebih dari sepuluh anak panah menghujani Yoga dan rajawali merahnya.
Clap, clap, dap, clap...!
Yoga sibuk menangkis anak panah dengan tebasan
tangannya. Sayap burung rajawali itu pun mengepak-ngepak menimbulkan hembusan
angin keras, sehingga arah anak panah berbelok ke tempat lain. Tetapi ada satu
anak panah yang berhasil melesat dan mengenai dada kiri Yoga. Craab...!
"Auh...! Merah, aku kena...!" Yoga menyeringai sambil berusaha mencabut anak
panah yang menancap di dada kirinya, dekat pundak.
"Kraak...! Kraaak...!"
Burung rajawali besar itu mengamuk melihat tuan mudanya terkena anak panah.
Terbangnya menjadi lebih cepat, menukik ke bawah dan menghampiri sepuluh orang
lebih yang berbaris di kaki bukit kecil itu. Sayapnya dikepakkan dengan keras,
dan angin menghembus bagaikan badai. Orang-orang itu terhempas, terlempar ke
sana-kemari. Sekalipun demikian, masih juga ada yang sempat
melepaskan anak panahnya ke arah burung tersebut. Prak...!
Praak...! Sayap rajawali merah itu menghantam patah setiap anak panah yang
mengarah kepadanya. Gerakannya semakin meliuk mondar-mandir dalam keadaan
rendah. Lalu, salah satu orang yang ada di lereng bukit kecil itu dihampirinya
dan disambarnya dari belakang. Wuuut...! Cakar rajawali mencengkeram kepala
orang itu, kemudian ketika orang itu berteriak-teriak dibawa terbang tinggi,
cakar itu melepaskannya. Wuuus...!
"Aaa...!" Orang itu menjerit ketika dijatuhkan dari ketinggian.
Dan ia pun jatuh di antara bebatuan dengan kepala lebih dulu sampai ke bumi.
Tentu saja nyawa orang itu pun lekas pergi tinggalkan raganya karena tak mau
punya kepala yang remuk begitu.
Panah yang menancap di dada kiri Yoga sudah berhasil dilepaskan. Tapi agaknya
panah itu mengandung racun yang melemaskan seluruh urat dan persendian. Tubuh
Yoga menjadi limbung tak mampu mengendalikan keseimbangan. Ketika ia dibawa
menukik oleh rajawali merah, tubuhnya menyerosot dan jatuh di atas semak-semak
yang agak jauh dari bukit kecil itu. Bruuus...!
"Uuh...!" Yoga seperti orang mabuk. Matanya terbe-liak-beliak. la terkapar di
semak-semak itu. Rajawali merah segera menukik turun. Tetapi suara orang
beramai-ramai menghampirinya masih sempat terdengar oleh telinga Yoga, sehingga
Yoga berkata kepada burung rajawali itu,
"Merah... larilah! Lekas lari...!" "Kraaak...!" burung itu tak mau lari dan
justru berba-lik menghadap ke arah datangnya suara orang itu. Agaknya burung
tersebut bermaksud menghadapi orang-orang yang ingin mencelakakan majikan
mudanya itu. Sayap burung tersebut telah dibentangkan lebar-lebar. "Kraaak...!"
Ketika orang-orang itu mendekat, sayap itu dikibaskarfke depan dengan kerasnya.
Wuuukkk...! Dan orang-orang itu terpental tunggang-langgang disapu angin badai
yang cukup besar dari kibasan sayap burung tersebut. Bahkan dua batang pohon
menjadi tumbang pula akibat kibasan sayap yang menghadirkan angin badai itu. Dua
dari beberapa orang itu mati tertimpa pohon yang tumbang. Lainnya luka-luka dan
berjumpalitan tak beraturan. Ada yang terbentur batu
kepalanya, ada yang patah tangannya, ada yang terkilir kakinya dan ada pula yang
tertindih temannya.
Ternyata dari arah yang berlawanan datang pula suara orang bergemuruh dengan
teriakan-teriakan liarnya. Orang-orang itu pun bermaksud menyerang Yoga dan
burung rajawalinya.
Melihat keadaan seperti itu, Yoga masih sempat berpikir bahwa jumlah yang
dihadapi bukan hanya sepuluh orang, namun lebih dari dua puluh orang. Ini cukup
berbahaya jika harus dihadapi dalam keadaan luka lemas begitu. Maka ia putuskan
untuk selamatkan diri. Itu pun tak mungkin dilakukan jika ia dalam keadaan tak
mampu bergerak lagi.
"Merah! Lekas pergi kau! Terbang tinggi dan tinggalkan aku untuk sementara! Aku
bisa hadapi mereka. Pergi kau, Merah!
Cepat lari!"
Karena sang majikan bagai memberi perintah dengan sentakan, maka burung besar
itu patuh dan lekas terbang dengan meneriakkan suara yang menggema ke mana-mana.
Kibasan sayapnya kembali datangkan angin badai, sehingga mereka yang baru datang
pun terjungkal tunggang-langgang.
Mereka tak sempat membidikkan panah ke arah burung tersebut, dan burung itu
akhirnya pergi meninggalkan majikan mudanya. Orang-orang pun segera berlarian
mendekati Yoga.
Keadaan Yoga semakin lemas. Pandangan matanya mulai buram. Tapi ia masih sadar,
jumlah orang yang mendekatinya cukup banyak dan mereka adalah orang-orang
bertubuh tinggi-besar. Cepat-cepat batin Yoga mengatakan, "Orang-orang Pulau
Kana rupanya..."!"
Samar-samar pula ia melihat Gandaloka berdiri memberi perintah kepada
pasukannya. Rupanya Gandaloka telah mampu sembuhkan diri dari luka pertarungan
dengan Lili, dan kini ia
diperintahkan kembali untuk memburu Yoga dengan membawa sejumlah pasukan
pemanah. "Tangkap dan ikat dia!" perintah Gandaloka. Anak buahnya yang punya perawakan
sama dengannya itu segera bergegas mengikat tubuh Yoga dengan tambang. Salah
seorang ada yang berusaha nakal, mencabut pedang pusaka dari punggung Yoga.
Blaaar...! Petir menyambar di angkasa ketika pedang itu dicabut dari sarungnya.
Pedang yang memancarkan cahaya merah dengan bunga api merah berlompatan
mengelilingi mata pedang itu menjadi bahan pandangan beberapa orang.
Pemegang pedang itu tersenyum bangga merasa bisa memiliki pedang tersebut.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba orang yang memegang pedang itu menghujamkan
pedang ke perutnya sendiri.
Jraaab...! Tentu saja pedang itu tembus ke belakang, dan orang itu pun menjadi
limbung dengan mata terbeliak. Luka itu tidak keluarkan darah setetes pun Ta pi
membuat beberapa temannya terbelalak kaget. Salah seorang cepat-cepat mencabut
pedang itu dari tubuh orang pertama.
"Bodoh!" sentak orang itu kepada orang pertama. Dan orang pertama segera
tumbang, terkejang-kejang sebentar, lalu menghembuskan napas dan mati. Teman-
temannya menjadi tambah tegang dan bergerak mundur.
Orang kedua pun mendadak menggorok lehernya sendiri dengan pedang pusaka
tersebut. Sreet...! Tentu saja leher itu terkoyak lebar dan hampir putus. Lalu
orang kedua pun jatuh dan tidak bernapas lagi.
Pedang segera dipungut oleh orang ketiga setelah Gandaloka berseru,
"Kuperintahkan kalian mengikatnya, mengapa ada yang mencabut pedang itu, hah"!"
Orang ketiga itu sebenarnya bermaksud menyerahkan pedang itu kepada Gandaloka.
Tetapi,*barit berjalan tiga langkah, pedang itu menukik sendiri dan menghujam
perut orang ketiga sepertinya orang tersebut melakukan bunuh diri di depan
Gandaloka. Tentu saja orang itu pun mati tanpa keluarkan darah setetes pun.
Kejadian tersebut segera membuat mereka menjadi semakin tegang dan masing-masing
hati punya suara pendapat yang sama, bahwa pedang itu tidak boleh dipegang oleh
siapa pun. Barang siapa memegang pedang tersebut, maka orang itu akan bunuh diri karena
gerakan pedang yang menuntun tangan si pemegangnya.
"Jangan sentuh lagi pedang itu!" seru Gandaloka. la berseru begitu karena


Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang berusaha mencabut pedang tersebut dari tubuh orang ketiga. Mendengar
seman Gandaloka yang mengejutkan itu, maka orang tersebut segera melepaskan
pedang itu dan dibuang begitu saja dengan perasaan takut.
"Sudah kukatakan. Pendekar Rajawali Merah ini orang berilmu tinggi. Kalian lihat
sendiri, pedangnya bisa membunuh lawan tanpa digerakkan oleh pemiliknya! Sebab
itu kuingatkan kepada kalian, ikat dan bawa pulang Pendekar Rajawali Merah ini.
Kita serahkan kepada Gusti Ratu Kembang Mayat sebelum purnama tiba. Jangan ada
yang coba-coba mau curi pedang itu kalau ingin selamat!"
Zlaaap...! Sruuub...!
"Hahh..."!" mereka terkejut dengan mata membelalak.
Pedang itu ternyata bergerak sendiri. Melesat dengan cepat, masuk ke sarungnya,
untuk kemudian diam di sana tanpa ada gerakan lagi. Pada waktu itu, Yoga sudah
tak sadar akan dirinya, la hanya melihat pedangnya masuk ke sarung pedang, dan setelah itu ia
tak sadarkan diri.
"Angkat! Bawa ke kapal!" perintah Gandaloka. Maka, salah seorang segera
mengangkat tubuh Yoga yang telah terikat dari batas dada sampai kaki. Pedang itu
tetap tersandang di punggung dan masuk dalam ikatan tambang tersebut.
Sebuah kapal berlayar dua telah menunggu di pantai.
Mereka membawa Yoga ke kapal tersebut. Wajah-wajah mereka ada yang ceria, ada
pula yang murung.
Mereka yang murung karena merasa sedih atas kema-tian teman-temannya. Mereka
yang ceria karena merasa berhasil menangkap pendekar tampan yang sulit dibujuk
untuk dibawa pulang ke Pulau Kana atau Pulau Keramat.
"Kalau saja dia bukan calon suami Gusti Ratu, pasti kita akan bunuh dia, karena
dia sudah bunuh banyak orang utusan dari Pulau Kana!" kata salah seorang yang
hendak naik ke kapal.
Temannya menyahut, "Sayang sekali Gusti Ratu Kembang Mayat tidak izinkan kita
balas dendam padanya! Kalau diizinkan, sudah kutantang bertarung saat di bukit
kecil tadi!"
"Tapi bagaimana dengan lukanya itu" Gusti Ratu Kembang Mayat pasti akan murka
jika tahu Pendekar Rajawali Merah kita lukai"!"
"Itu urusan Gandaloka! Pasti Gandaloka akan sembuhkan luka itu dan menjadi
hilang seperti tak pernah terluka. Pasti kita tidak diizinkan untuk bicarakan
soal luka itu kepada Gusti Ratu, sebab Gusti Ratu bisa murka kepada Gandaloka
dan kita juga."
"Kalau Gandaloka gagal sembuhkan Yoga sebelum tiba di Pulau Kana, bagaimana"!
Apakah kita akan sembunyikan dulu orang itu sampai lukanya hilang dan bersih?"
"Mana mungkin" Gusti Ratu harus cepat melangsungkan pernikahan, karena waktunya
tinggal dua hari lagi. Dua hari lagi malam purnama akan tiba. Jika Gusti Ratu
tidak segera menikah, maka dia akan kita bunuh, sebab Gusti Ratu Kembang Mayat
telah menunjukkan bahwa ia manusia pembawa sial bagi rakyat Negeri Linggapraja."
Kapal bertiang layar ganda segera berlayar menuju Pulau Kana. Kapal itu membawa
tawanan calon suami Kembang Mayat. Jika Kembang Mayat tidak segera menikah
sebelum purnama tiba, maka dia akan dihukum mati karena dianggap ratu pembawa
sial. Sedangkan ratu baru bagi rakyat Negeri Linggapraja itu tidak mau menikah
dengan pria lain kecuali Pendekar Rajawali Merah.
* * * 2 KAPAL warna hitam melaju dengan cepat karena angin berhembus cukup kencang.
Layarnya berkembang dengan lebar dan melembung ke arah depan. Di kapal itu, Yoga
masih dibaringkan di atas pembaringan kayu berlapis kain tebal. Yoga masih dalam
keadaan tak sadar. Kamarnya dijaga deh dua orang prajurit bertubuh tinggi,
besar, dan bersenjata pedang lebar. Kapal itu adalah kapal yang biasa untuk
mengangkut tawanan.
Seharusnya Gandaloka menjemput Yoga tidak menggunakan kapal tawanan, melainkan
menggunakan kapal kehormatan.
Tetapi karena dua kali Gandaloka diutus untuk menjemput Yoga tapi justru
menderita kekalahan dengan terbunuhnya beberapa anak buahnya itu, maka kali ini
Gandaloka sengaja menjemput dengan kapal tawanan dan disertai oleh pasukan
sejumlah dua puluh tujuh orang. Tujuh di antaranya meninggal saat terjadi
penyerangan di bukit kecil itu.
Gandaloka menengok keadaan Yoga di kamarnya. Ternyata masih belum sadar akibat
pengaruh racun di ujung panah yang melukainya. Kemudian Gandaloka pergi
meninggalkan kamar itu, dan kamar kembali ditutup rapat dengan penjagaan ketat.
Gandaloka sempat berkata kepada kedua penjaga berkepala botak itu, "Hati-hati,
jangan sampai ia lolos jika ia sadar nanti!"
"Baik, Perwira!"
Tak ada yang tahu bahwa Yoga saat itu sebenarnya sudah mencapai tingkat
kesadaran sempurna. Tetapi jiwanya seperti tertahan oleh suatu kekuatan yang
membuatnya tak bisa membuka mata dan tak bisa bergerak sedikit pun.
Sebelumnya, di ambang batas antara sadar dan tidak, Yoga seperti melihat seekor
burung rajawali merah terbang melintas di depannya. Burung rajawali merah itu
mendekatinya dari arah depan, lalu tiba-tiba wajah burung itu berubah menjadi
wajah gurunya, yaitu Dewa Geledek.
"Muridku, bangunlah...!" wajah Dewa Geledek itu sepertinya bicara jelas
kepadanya. Yoga pada waktu itu seakan-akan dalam keadaan tidak terikat, sehingga
ia segera memberikan sembah dan hormat kepada bayangan wajah sang Guru.
Kemudian terdengar suara sang Guru berkata,
"Sudah menjadi suratan takdirmu, bahwa kau akan menjadi bahan rebutan pada
wanita cantik. Jangan membuatmu kecil hati dan besar hati, Muridku. Bersikaplah
bijak dan wajar-wajar saja. Tak ada yang lemah dalam dirimu, tak ada yang hebat
dalam dirimu juga."
"Guru, saya ingin bertemu dengan Lili."
"Akan terjadi," jawab bayangan wajah gurunya. "Tetapi kau harus melalui
sederetan peristiwa-peristiwa penting yang akan membuatmu semakin matang dalam
berpikir, dewasa dalam bersikap. Semua dukamu, semua sukamu, adalah pelajaran
berharga yang tak boleh kau hindari!"
"Agaknya orang-orang Pulau Kana ini akan membawa saya kepada Kembang Mayat dan
saya akan dikawinkan dengan Kembang Mayat, Guru."
"Memang. Tapi semua keputusan terletak dalam hati sanubarimu sendiri, Muridku!"
"Saya bosan berurusan dengan kawin paksa, Guru!"
"Bosan atau tidak bosan, kau harus melewatinya sebelum kau menemukan akhir dari
perjalanan cintamu."
"Di mana letak akhir perjalanan cinta saya ini, Guru?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kehadiranku ini hanya ingin sampaikan pesan
padamu, tabah dan tegakkan selalu kebenaran. Bantulah yang lemah, lawanlah yang
jahat. Kali ini perjalanan cintamu punya makna besar. Kau harus selamatkan
sebuah kitab kuno yang punya kekuatan dahsyat di dalamnya!
Jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang tak bertanggung jawab, tapi jangan
pula membuat dirimu sesat!"
"Kitab apa namanya, Guru"!"
"Carilah dalam pengalaman batinmu sendiri."
"Harus kukemanakan kitab itu nantinya?"
"Simpan dan serahkan kepada keturunanmu kelak."
Yoga merasa heran ketika itu. "Mengapa keturunan saya yang berhak menerimanya,
Guru?" "Karena kalian yang telah menyelamatkan kitab itu dari angkaramurka! Dan
keturunan kalianlah yang mampu kendalikan isi kitab itu. Nah, sekarang dekatlah
kemari." Rasa-rasanya saat itu Yoga mendekati gurunya. Kemudian tangan sang Guru
terjulur, telunjuknya menempel pada bekas luka panah di dada kiri Yoga. Telunjuk
itu menyala merah terang seperti cahaya dalam pedang pusakanya. Yoga merasakan
hawa sejuk meresap masuk ke sekujur tubuhnya.
"Kekuatanmu bertambah, lukamu sembuh, tapi godaan cinta semakin bertambah pula.
Hati-hati kau memilihnya," ucap sang Guru yang ketika dipandangi Yoga ternyata
berubah menjadi kepala seekor burung rawajali merah. Makin lama burung itu makin
menjauh, lalu bayangan burung itu menghilang lenyap.
Dan pada saat itulah Yoga mengalami sulit bergerak, sulit membuka mata, namun
telinganya mendengar suara deru ombak lautan dan angin membadai. la merasakan
kapal berguncang-guncang dipermainkan ombak.
Beberapa saat kemudian, barulah ia bisa membuka matanya dalam satu sentakan
napas kaget, la mulai sadar bahwa apa yang dialaminya tadi hanya sebuah mimpi.
Tapi dalam hati kecilnya ia bertanya,
"Benarkah Guru hadir dalam mimpi" Mengapa badanku terasa segar sekali, dan tidak
merasakan sakit seperti tadi"
Rasa-rasanya luka panah di dadaku sudah lenyap tanpa bekas.
Dan kurasakan ada tenaga besar dalam denyut nadiku."
Yoga berusaha merenggangkan tangan dan kaki, tapi buru-buru dikendurkan lagi.
Hatinya kembali berkata,
"Tambang keras ini sepertinya mudah kupatahkan dalam satu sentakan. Berarti
tenagaku memang bertambah besar.
Lalu, apa artinya bayangan wajah Guru tadi" Mengapa bayangan wajah Guru menyatu
dengan bayangan si Merah"
Apakah rajawali merah itu adalah jelmaan dari Guru" Kurasa bukan! Karena saat
Guru masih hidup, rajawali merah itu sudah ada dan menjadi kendaraan Guru bila
ke mana-mana. Kurasa itu tadi hanya perlambang, bahwa kasih sayang Guru kepadaku
sama juga kasih sayang si Merah kepadaku."
Kecamuk batin Yoga terhenti karena pintu kamar dibuka.
Gandaloka masuk, lalu memandang Yoga dengan senyum kalem, seolah-olah tidak
menampakkan sikap permusuhannya.
Gandaloka pun berkata,
"Mari kubantu untuk duduk!"
Tanpa kasar sedikit pun Gandaloka membantu Yoga untuk bangkit dan duduk. Setelah
itu ia mengambil air minum yang ada di rak tertutup dekat dengan pintu keluar,
la mengeluarkan sebutir obat berbentuk seperti kotoran kambing, warna hitam
kecoklatan. Sambil mengambil air minum Gandaloka berkata,
"Maaf, aku terpaksa melakukan dirimu seperti ini! Aku tak punya jalan lain.
Gusti Ratu mendesakku harus bisa menangkap dan membawa pulang dirimu, jika tidak
kepalaku dipenggalnya!
Sedangkan aku tahu, betapa sulitnya membawa kau pulang ke Pulau Kana."
"Aku bisa memahami perasaanmu, Gandaloka!"
'Terima kasih. Sekarang, sebaiknya minumlah obat ini untuk menyembuhkan lukamu!"
'Tak perlu," jawab Yoga sedikit dingin sikapnya.
"Ini bukan racun! Aku berani bersumpah apa pun, ini obat pengering luka dan
penghilang rasa sakit! Waktu aku terluka oleh Lili, aku juga menelan obat ini!"
"Kau terluka oleh Lili"!"
"Ya. Dia membela Wisnu Patra. Tak rela kalau Wisnu Patra kulukai! Agaknya Lili
menaruh hati kepada...."
"Cukup! Tak perlu bicara mereka lagi!" sergah Yoga karena hatinya merasa panas
jika terlalu lama mendengar uraian Gandaloka itu.
"Baiklah. Sekarang kau mau minum obat ini?"
"Simpan saja untuk dirimu kelak."
"Pendekar Rajawali Merah..., kumohon minumlah supaya kau tidak terluka. Kalau
kau kuserahkan kepada Gusti Ratu dalam keadaan terluka, aku bisa habis kena
murkanya! Tolong mengertilah akan keadaanku yang serba salah ini, Pendekar
Rajawali Merah."
Yoga diam sebentar, berpikir sesuatu, kemudian ia menatap Gandaloka dan berkata,
"Barangkali aku tidak membutuhkan lagi obat itu untuk saat ini!"
"Kau dalam keadaan lemah. Kau harus sehat dan segar seperti sediakala, Yoga!"
"Aku sudah sehat!" jawab Yoga, kemudian tangan dan kakinya menyentak mengembang,
dan dalam satu sentakan tambang-tambang pengikat tubuh itu putus menjadi
beberapa potong. Trasss...!
"Kau lihat sendiri aku sudah sehat, bukan"!"
Gandaloka tidak menjawab karena terkesima melihat tambang-tambang alot itu dapat
putus dalam satu sentakan.
Semakin kagum lagi Gandaloka setelah melihat luka bekas tusukan panah itu tidak
ada. Kering sama sekali. Bahkan kain dari beruang coklat yang dipakai Yoga itu
tidak terlihat robek
lagi. Gandaloka baru sadari hal itu setelah melihat tambang bisa putus dalam
satu sentakan. "Kalau aku mau lari, aku bisa lari sejak tadi. Kalau aku mau bunuh kamu, aku
bisa lakukan sejak kau menengokku tadi.
Tapi tahukah kau kenapa aku tidak lakukan semua Itu?"
"Karena kau menghormatiku?" Gandaloka mencoba menebak.
Yoga menggeleng. "Karena agaknya aku harus melewati jalan ini, yaitu ditawan dan
dibawa di Pulau Kana. Sudah berapa kali aku menghindar dan menolak, toh akhirnya
terjadi juga begini. Berarti memang ini adalah jalan yang harus kulalui, dan
tentu saja punya tujuan tertentu yang tidak mudah dipahami oleh orang lain, juga
oleh diriku sendiri."
"Aku salut padamu," kata Gandaloka tiba-tiba, setelah mereka sama-sama diam
beberapa saat. "Aku sebenarnya mengagumimu, walau kau telah membunuh anak
buahku. Tapi aku mengakui, kau orang hebat!"
'Tidak ada kehebatan apa pun dalam diriku! Aku dan kau biasa-biasa saja dan
sama! Hanya kadang yang membuat kita berbeda adalah kesempatan yang kita
peroleh! Kesempatan untuk menang dan kesempatan untuk kalah!"
"Di negeri ini tidak ada orang sehebat kamu."
Yoga tersenyum, memandang ke arah jendela kecil dari kaca berbentuk bundar, la
menatap lautan lepas di sana, lalu berkata dengan suaranya yang penuh kesan
bersahabat, "Bisa kubayangkan beratnya tugasmu, Gandaloka. Aku tahu jiwamu bukan jiwa orang
sesat! Tapi jika negerimu diperintah oleh Kembang Mayat, maka rakyatmu akan
menjadi orang sesat pula! Sebab Kembang Mayat tidak punya jiwa sebersih kau."
"Jangan menyanjungku."
"Tidak. Kukatakan dengan sebenarnya. Kau telah memilih pemimpin negara yang
salah!" "Dewata yang telah memilihnya melalui semadinya Pendeta Ganesha."
"Mungkin benar. Tapi dewata punya maksud memberikan contoh yang tidak baik,
supaya jangan diikuti oleh rakyatmu.
Kalau tidak ada contoh jelek, bagaimana rakyatmu bisa membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk?"
"Aku makin kagum padamu, Yoga. Kau sangat bijaksana dalam berpikir!" Gandaloka
menarik napas, lalu melangkah mendekati Yoga yang masih berdiri di samping
jendela bundar itu. Gandaloka berkata,
"Kalau kita bersahabat, dan kalau aku punya waktu cukup lama berada bersamamu,
aku akan menjadi secerdas kau, Yoga."
Buhg...! Yoga memukul pelan dada Gandaloka sambil tertawa.
"Jangan berlebihan menilaiku. Pikirkan saja kapalmu ini."
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Di sebelah barat ada badai bergulung-gulung. Perintahkan pada nahkoda untuk
putar haluan ke utara saja!"
Gandaloka terkejut mendengar kata-kata Yoga. la memandang ke arah barat melalui
jendela kamar itu. Tapi ia tidak melihat awan bergulung dan badai menghitam di
sana. Gandaloka menjadi sempat bimbang, la diam merenungkan ucapan Yoga, sedangkan
Yoga hanya duduk di pembaringan sambil memandangi tangannya yang buntung itu.
"Kau ingin memperdaya diriku, Yoga?" Gandaloka bertanya karena penasaran, tak
bisa tentukan sikap.
"Untuk apa" Kalau kau anggap kata-kataku bohong, untuk apa aku membohongimu"
Untuk melarikan diri" Hrnm...!
Kudobrak kamar ini dan aku lompat ke laut dengan menyelam sedalam-dalamnya, tak
akan mungkin kau dan orang-orang kapal ini bisa menangkapku kembali. Tapi toh
itu tidak kulakukan?"
Gandaloka diam dan kembali dalam kebimbangan. Yoga berkata lagi,
"Kalau tidak segera rubah haluan, kapal ini akan pecah diamuk ombak badai.
Mungkin kita semua akan mati!"
"Akan kuturuti saranmu!" Gandaloka pun segera keluar dari kamar. Yoga tetap diam
di dalamnya tanpa ada rasa terpenjara, la bahkan berdiri kembali di dekat
jendela bundar itu. Matanya memandang ke arah barat, hatinya berkata,
"Mengapa Gandaloka tak bisa melihat gulungan awan badai di cakrawala barat itu"
Apakah daya penglihatannya tidak sampai" Atau barangkali sejak kudapatkan
kekuatan baru dari bayangan wajah Guru tadi, penglihatanku menjadi lebih tajam
dari manusia biasa" Atau... atau mungkin firasatku tergambar dalam penglihatan
mata" Anehnya, aku yakin ada badai besar di sana! Tapi... tapi kenapa kapal ini
tidak segera ganti haluan"
Badai itu makin bergerak ke arah barat, sepertinya menghadang jalannya kapal
ini"!"
Yoga bergegas keluar dari kamar tersebut. Ternyata Gandaloka sengaja tidak
mengunci pintu kamarterse-but.
Namun dua penjaga berkepala botak itu segera menyerang Yoga ketika mereka


Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat Yoga keluar dari kamar.
'Tahan dulu!" seru Yoga. "Aku hanya akan menemui Gandaloka dan bicara dengan
nahkoda!" "Masuk!" bentak salah seorang dengan menodongkan golok besarnya.
Yoga terpaksa berbalik arah, namun ternyata kakinya cepat menendang ke belakang.
Tendangan kaki itu mengenai senjata lawan dan senjata itu patah seketika.
Traak...! Pemilik senjata itu menjadi tertegun bengong. Tapi temannya segera menebaskan
golok besarnya yang mampu memancung leher dengan sekali ayun itu. Wuuung...!
Yoga merunduk, kemudian ketika senjata itu lewat di atas kepalanya, ia
menyentakkan pukulannya ke atas dan tepat mengenai logam lebar senjata tersebut.
Traaak...! Senjata itu pun patah dan membuat pemiliknya tertegun bengong.
Penjaga yang senjatanya patah pertama kali tadi, segera menghantamkan pukulannya
dengan kuat ke arah kepala Yoga.
Tapi dengan sigap pukulan itu dipegang oleh tangan Yoga.
Tabb...! Lalu kaki kanan Yoga menendang ke bagian pusar, sedikit ke bawah.
Tendangan itu merupakan totokan jalan darah menggunakan ujung jempol kakinya.
Wuuut...! Tuub...! "Uhg...!" Orang itu melengkung ke depan, diam tak bergerak dengan mulut
ternganga, la menjadi seperti patung karena terkena totokan jalur pusar.
Sedangkan temannya segera menyerang dengan tendangan kaki besarnya ke arah dada
Yoga. Wuuus...!
Yoga menggerakkan tangannya yang menguncup bagaikan paruh rajawali mematuk
mangsanya. Tees...! Patukan itu mengenai mata kaki lawan, membuat lawan
menyeringai dan
tak bisa gerakkan anggota tubuhnya lagi. la juga menjadi seperti patung yang
meringis kesakitan.
"Maaf, terpaksa kulakukan pada kalian!" kata Yoga, kemudian cepat berlari menuju
ruang nahkoda. Rupanya beberapa awak kapal melihat perkelahian di depan pintu
kamar tadi. Dua orang segera berlari menyerang Yoga dengan teriakan panjang
sebagai penggugah kesadaran para awak kapal lainnya.
Yoga yang berlari ke arah dua orang itu segera melompat dan dua kakinya
menendang ke kanan-kiri secara bersamaan.
Prook...! Kedua wajah orang itu menjadi sasaran kaki Yoga. Kini Yoga pun menaiki
tangga dan menuju ruang nahkoda. Di ujung tangga ada seorang bersenjata tombak
yang menghadang.
Yoga tetap maju bagai tidak hiraukan lagi orang yang menghadangnya itu. w -i
"Berhenti! Berhenti kataku!"
Orang itu mengancam ingin lemparkan tombaknya, tapi Yoga tetap maju dan tombak
itu benar-benar dilemparkan ke arah tubuh Yoga. Namun dengan satu kali berkelit,
tombak itu lolos dari tubuh Yoga, hampir mengenai orang yang mengejar Yoga dari
belakang. "Hiaaat...!" orang yang men ghadang itu menyerang dengan tendangan kakinya. Yoga
menangkis dengan gerakan patuk seperti tadi. Kali ini betis besar orang itu yang
kena sasaran patuk rajawalinya Yoga. Orang itu mengerang keras dengan
bercjuling-guling kesakitan.
Seolah-olah betisnya ditusuk dengan tombak.
Kini Yoga tiba di ruang nahkoda. Ternyata di sana sedang terjadi perdebatan
antara Gandaloka dengan jurumudi. Mereka sibuk berdebat tentang arah kapal dan
badai yang dianggap
tidak ada itu. Mereka tidak hiraukan pertarungan Yoga dengan para awak kapal
yang menghadang larinya tawanan.
Ketika Yoga masuk ke ruang nahkoda, jurumudi dan Gandaloka diam berdebat dan
saling memandang Yoga.
"Percayalah apa kata Gandaloka itu! Arahkan haluan ke selatan! Badai ganas
menghadang jika kita menuju ke arah barat!"
Jurumudi yang brewokan itu berkata dengan ngo-tot,
"Lihatlah dengan matamu baik-baik, tak ada awan hitam di sana. Langit cerah dan
angin pun berkecepatan sedang! Mana mungkin ada badai"!"
Tiga orang masuk dengan bersenjatakan pedang. Gandaloka segera sadar bahwa Yoga
dianggap tawanan oleh mereka.
Perginya Yoga dari kamar dianggap hendak meloloskan diri.
Karena itu, Gandaloka segera berkata kepada Yoga,
"Kembalilah ke kamarmu! Anak buahku menganggap kau tawanan yang akan lari!"
"Baik. Tapi bujuk s'i brewok itu agar hindari badai besar nanti!"
"Akan kuatasi dia!" kata Gandaloka pelan.
Yoga pun kembali Ike kamarnya. Ketika mau keluar dari ruang nahkoda, seorang
pengawal bersenjata pedang menarik lengan Yioga dengan kasar. Yoga berontak
dengan sentakkan sikunya yang masuk ke perut orang itu. Duuhg...!
"Uuhg...!" orang itu menyeringai kesakitan sambil terbungkuk-bungkuk. Wajahnya
menjadi pucat seketika. Dua orang lagi yang mau membawa pulang Yoga ke kamar,
kini dipandangi Yoga dengan mata tajam. Kedua orang itu menjadi
ciut nyali melihat wajah marah Pendekar Rajawali Merah itu.
Mereka sama-sama diam dan salah tingkah.
Gandaloka berkata, "Jangan perlakukan dia seperti tawanan!
Ingat, dia adalah Pendekar Rajawali Merah. Kalian tak akan mampu mengalahkannya
jika bertarung di atas geladak kapal ini!"
Gandaloka menjaga sikap, la sendiri tidak bermaksud memusuhi Yoga. Karena itu,
anak buahnya segera diberi pengarahan tentang bagaimana seharusnya bersikap
kepada Yoga. Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah di dalam kamarnya hanya diam
dengan hati dongkol. Perasaan cemas makin menggoda jiwa. la semakin yakin kapal
itu akan dijungkirbalikkan oleh badai ombak yang mengamuk, dan entah berapa
orang yang akan selamat nantinya. Keyakinan seperti itu makin kuat, makin
membuatnya heran, sehingga Pendekar Rajawali Merah pun bertanya dalam hatinya,
"Mengapa aku punya firasat sekuat ini" Apakah karena mendapat hawa sejuk dari
bayangan wajah Guru tadi"!"
* * * 3 FIRASAT Yoga benar. Badai datang, ombak mengamuk.
Kapal dihempaskan angin badai, diombang-ambingkan ombak samudera. Akhirnya kapal
itu pecah, para awak kapalnya banyak yang menemui ajal. Gandaloka tak sempat
selamatkan anak buahnya, la sendiri hampir saja mati kejatuhan tiang layar.
Dari sekian banyak penumpang kapal, hanya empat orang yang selamat. Mereka
terdampar di sebuah pulau kecil yang
cukup subur. Mereka yang selamat adalah Gandaloka, Juru Mudi, Rowulu, dan Asoma,
si penjaga kamar tawanan yang pernah mendapat totokan jalur pusar dari Yoga.
Sedangkan Yoga sendiri sempat dianggap mati oleh mereka. Tetapi ketika mereka
mencoba mencari sambil menyusuri pantai, mereka temukan Yoga dalam keadaan
sehat. Duduk di atas batu karang sambil termenung.
Mereka terkejut melihat Yoga, dan Yoga pun terkejut melihat mereka. Rupanya Yoga
pun menganggap mereka telah mati semua. Sehingga, pada waktu mereka bertemu,
rasa gembira meliputi diri mereka. Satu nyawa yang selamat dan ditemukan,
sepertinya satu anggota keluarga yang hilang dan telah diketemukan kembali.
Anehnya, mereka berempat menjadi tidak lagi beranggapan bahwa Yoga adalah
tawanan. Mereka seperti menemukan saudara sendiri.
"Kalau saja kata-kataku dipercaya, tentunya tidak akan begini jadinya," kata
Yoga kepada Juru Mudi, dan ucapan itu membuat Juru Mudi menjadi murung sedih, la
segera menjauhkan diri dari mereka.
"Jangan kau sesali peristiwa ini, tapi jadikanlah pelajaran biar kau menjadi
orang bijak!" tambah Yoga kepada Juru Mudi, namun yang diajak bicara diam saja.
la termenung di seberang sana, duduk di bawah sebuah pohon pantai sejenis
kelapa, namun mirip pohon pinang. Batang pohon itu besar, sehingga bayangannya
dapat untuk berteduh.
"Kita kehilangan kapal, Perwira!" kata Rowulu.
"Jangan bicara begitu. Sama saja kau bicara tentang kebodohanmu. Karena kita
semua tahu bahwa kita telah kehilangan kapal. Kalau mau bicara, bicaralah
tentang bagaimana mencapai Pulau Kana!" kata Asoma dengan bersungut-sungut.
Gandaloka hanya tersenyum tipis.
Dengan bersikap bijak, Gandaloka berkata kepada Rowulu dan Asoma,
"Banyak jalan untuk mencapai Pulau Kana. Kita cari saja, yang mana jalan yang
tercepat!"
"Pulau apa ini namanya?" tanya Yoga sambil memandang sekeliling.
'Tak jelas," kata Gandaloka. "Pulau ini tidak pernah kami lihat dalam setiap
pelayaran menuju tempatmu atau ke tempat lain."
Rowulu menyahut, "Mungkin Juru Mudi tahu, karena dia lahir dan besar di kapal!
Coba kita tanyakan
pada...," Rowulu berhenti bicara, la terkejut memandang Juru Mudi dan berseru,
"Hei, apa yang mau dia lakukan itu"!"
Gandaloka pun terperanjat. "Celaka! Dia mau bunuh diri"!"
Juru Mudi duduk dengan bersila. Tangannya mengembang dengan keluarkan otot dan
tenaga cukup kuat. Lalu, ketika Gandaloka berlari ke arahnya, Juru Mudi telah
pegang kepalanya dengan dua tangan, atas dan bawah, kemudian kepala itu
disentakkan dalam gerakan pelintir yang sangat kuat.
Kraak...! Maka, matilah Juru Mudi dengan cara bunuh diri yang dipilihnya
sendiri. "Bodoh!" Gandaloka membentak jengkel, karena dia terlambat mencegah gerakan Juru
Mudi. Mereka datang terlambat, Juru Mudi sudah tidak bernapas lagi. Yoga
memeriksanya dan merasa tak bisa menolong.
Napas Gandaloka terengah-engah, matanya berkedip-kedip memandangi mayat Juru
Mudi. Wajahnya menampakkan rasa jengkel dan sedih. Terdengar Rowulu ucapkan
kata, "Mengapa dia bunuh diri" Alangkah bodohnya dia?"
"Perasaan bersalah menghantuinya!" jawab Yoga. "Dia merasa sangat bersalah,
karena dialah orang yang ngotot sewaktu aku dan Gandaloka menyuruhnya putar
haluan. Dia tidak mau karena dia tidak melihat ada badai di depan kapal.
Setelah terjadi peristiwa ini, dia merasa bersalah, karena menjadi pembunuh
nyawa teman-temannya sendiri. Baginya tak ada jalan lain buat menebus kesalahan
itu kecuali dengan cara bunuh diri!"
Asoma angkat bicara setelah tarik napas dalamdalam,
"Kurasa dia ingin menjadi juru mudi yang baik. Kapal pecah, jiwanya pun ikut
pecah. Kapal mati, dia pun harus ikut mati!"
Gandaloka segera lepaskan diri dari kedukaannya, la segera berkata kepada Asoma,
"Kuburkan dia di sini! Dan kau, Rowulu... bantu aku tebangi pohon. Kita bikin
rakit untuk mencapai Pulau Kana!"
"Bagaimana dengan aku?" tanya Yoga kepada Gandaloka.
"Istirahatlah! Biar kami yang kerjakan semua ini!"
"Tak adil! Aku juga harus ikut kerja!" kata Yoga membuat Gandaloka tak bisa
bicara lagi. Maka, mereka bertiga bergegas memilih pohon kelapa yang lurus untuk
dijadikan rakit.
Asoma menghantam batang pohon kelapa dengan tangan kosong. Duub! Kraak...!
Brruuss...! Batang pohon kelapa itu pun tumbang seketika. Begitulah mereka
menebangi pohon kelapa dengan tenaga dalam masing-masing. Tetapi orang-orang
Pulau Kana itu sempat dibuat bengong oleh cara kerja Pendekar Rajawali Merah.
Yoga memilih tiga batang pohon kelapa yang berjajar, la menghantamkan tangan
kanannya pada pohon pertama.
Duub...! Pohon itu roboh. Tapi dua pohon lainnya pun ikut
roboh bersusulan. Rupanya satu pukulan dapat kenai tiga batang kelapa sekaligus.
Tentu saja mereka terbengong-bengong memandangi Yoga.
"Mengapa kita tidak bisa seperti dia?" bisik Rowulu.
Gandaloka menjawab pelan, "Karena ilmunya lebih tinggi daripada ilmu yang kita
miliki." "Kenapa dia punya ilmu setinggi itu?"
"Kita berbeda aliran! Dia aliran guntur, kita aliran bumi!"
"Bagaimana kalau kita berguru saja dengannya?"
"Bukan waktunya," jawab Gandaloka sambil mengangkat batang kelapa yang baru
tumbang untuk dijajarkan dengan yang lain. Satu pohon utuh diangkatnya sendiri,
dan itu merupakan pekerjaan yang ringan buat orang-orang Pulau Kana yang
bertubuh seperti raksasa itu.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara pekikan Asoma yang sedang menguburkan
mayat Juru Mudi. "Aaahg...!"
"Asoma..."! Kenapa dia"!" Rowulu menjadi tegang.
Gandaloka cepat berkelebat menghampiri Asoma. Yang lainnya segera menyusul,
termasuk Pendekar Rajawali Merah. Tapi mata Pendekar Rajawali Merah cepat
menyapu seluruh tempat yang terjangkau oleh pandangan matanya. Keadaan tampak
tenang-tenang saja dan sepi, tanpa gerakan apa pun, kecuali gerakan angin dan
suara deru ombak pantai.
Asoma jatuh berlutut di samping tanah yang baru saja dipakai menguburkan Juru
Mudi. Mulutnya menyeringai kesakitan sambil mendekap dadanya. Tangan yang
dipakai mendekap dada itu berlumur darah. Gandaloka segera memeriksanya,
ternyata dada Asoma berlubang sebesar kelingking. Warna darahnya merah kehitam-
hitaman. "Seseorang telah menyerang kita!" Rowulu menggeram, lalu matanya cepat memandang
sekitar tempat itu Bahkan ia nekat menerabas masuk ke semak-semak pantai sampai
di kedalaman. Yoga hanya memandangi gerakan lincah Rowulu yang mampu
melentingkan tubuh besarnya ke udara dan hinggap di salah satu dahan pohon, la
memeriksa sekelilingnya dari atas pohon tersebut.
Yoga mulai menggunakan firasatnya, la memejamkan matanya dan merasakan sesuatu
yang tak bisa dirasakan oleh orang lain. la mencium bau daging mentah, bahkan
lebih aneh dari bau daging mentah yang sebenarnya. Agak bercampur kelembaban
tanah dan... susah dikatakan jenis bau yang tercium Pendekar Rajawali Merah itu.
Yoga juga mendengar seperti suara gigi menggeletuk dan mengerat-ngerat.
Cepat-cepat ia buka mata dan berkata kepada Gandaloka,
'Tempat ini ternyata tidak aman! Lekas cari tempat untuk berlindung!"
"Maksudmu, masuk ke dalam hutan dan mencari gua?"
"Kira-kira begitu!"
Gandaloka menatap sejenak wajah Pendekar Rajawali Merah, la mulai kenali
kesungguhan Yoga sejak peristiwa kapal disuruh alih haluan itu. Wajah Yoga kali
ini, sama dengan wajah Yoga saat mengatakan akan datang badai di sebelah barat.
Maka Gandaloka pun merasa perlu mengikuti saran Yoga.
"Rowulu...!" panggil Gandaloka. Orang yang dipanggil segera menghadap dengan
menerobos dedaunan semak. Rowulu langsung berkata,
'Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini!"
"Tapi kita dalam ancaman bahaya!" kata Gandaloka. "Kita cari tempat aman untuk
bersembunyi sementara waktu!"
"Bagaimana dengan Asoma" Dia banyak kehilangan darah!"
Aneh. Hati Yoga seakan yakin betul bahwa ia bisa mengobati luka itu dalam
sekejap. Keyakinan itu begitu kuat datangnya, sehingga ia pun segera mendekati
Asoma yang masih berlutut dan menyeringai menahan sakit. Tangan Asoma
diturunkan, kemudian telapak tangan Yoga ditempelkan pada luka tersebut.
Zrrepp...! Telapak tangan itu berasap tipis. Kejap berikutnya dilepaskan.
Gandaloka, Rowulu, dan Asoma sendiri kaget melihat luka itu hilang lenyap. Tak
ada bekasnya sedikit pun kecuali bekas darah di tangan Asoma. Dada itu seperti
tidak pernah terluka oleh benda apa pun. Rasa sakit juga hilang dan tidak
dirasakan lagi oleh Asoma.
Bukan hanya mereka yang heran, melainkan Yoga sendiri juga merasa heran dan
bertanya dalam hatinya,
"Sejak kapan aku bisa lakukan pengobatan dengan cara seperti itu" Rasa-rasanya
aku belum pernah lakukan. Lili memang pernah, tapi aku belum pernah! Dan mengapa
bisa menjadi seperti ini diriku?"
Yoga kembali ingat saat ia seperti di alam tak sadar bertemu dengan bayangan
gurunya. Jari telunjuk gurunya menempel pada luka bekas panah, dan jari itu
menyala merah terang. Lalu Yoga rasakan pula hawa sejuk meresap masuk ke dalam
tubuhnya. Apakah itu pertanda roh Dewa Geledek, gurunya, membekali ilmu lagi
untuk menempuh kehidupan yang penuh tantangan ini"
Apakah itu juga bisa diartikan penambahan ilmu telah terjadi pada diri Pendekar
Rajawali Merah"
Baru saja mereka berempat mau melangkah, tiba-tiba datang sinar biru bintik-
bintik yang melesat cepat dan sasarannya pada tubuh Gandaloka. Sinar biru
bintik-bintik itu berbentuk seperti sepotong besi yang panjangnya satu jengkal.
Begitu cepatnya gerakan sinar tersebut sampai-sampai Gandaloka tidak menyadari
bahwa dirinya terancam maut.
Tetapi mata Yoga melihat gerakan sinar tersebut. Maka dengan cepat kakinya
menendang tubuh Gandaloka dari belakang.
Buhg! Gandaloka terjungkal ke depan menabrak Asoma, lalu Yoga sentakkan tangannya
sambil sedikit memutar ke kiri dan melesatlah sinar merah dari telapak tangan
itu. Sinar merah tersebut menghantam sinar biru bintik-bintik, dan tabrakan itu
pun timbulkan suara dentuman yang cukup hebat.
Blegaaarrr...!

Jodoh Rajawali 06 Sumur Perut Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Asoma, Gandaloka, dan Rowulu terlempar ke atas cukup tinggi, dan jatuh berdebam
di semak-semak. Sedangkan Yoga sendiri hanya tersentak mundur dengan terhuyung-
huyung beberapa langkah, hampir sampai ke perairan pantai. Rowulu segera bangkit
dan menghampiri Yoga dengan wajah marah, la membentak Yoga,
"Mengapa kau menyerang kami"!"
"Aku hanya menyelamatkan Gandaloka!" jawab Yoga dengan tenang, matanya melirik
sekeliling hutan tepi pantai. Kejap berikutnya ia melangkah dekati Yoga dan
berkata, "Maaf, hanya cara itu yang bisa kugunakan untuk menyelamatkan dirimu!"
"Aku mengerti!" jawab Gandaloka. "Aku melihat gerakan sinar merahmu menghantam
sinar biru bintik-bintik, entah milik siapa."
Tiba-tiba ada suara yang menjawab, "Milikku...!"
Semua berpaling memandang ke arah utara. Ternyata di sana sudah berdiri sesosok
tubuh bercelana hitam dengan baju
model rompi panjang warna hitam tak dikancingkan. Mereka terkejut sekali melihat
kehadiran orang tersebut, karena orang itu mempunyai wajah dan rambut pirang
serupa dengan seekor singa. Asoma segera menggumam,
"Manusia singa..."!"
Rowulu mundur setindak di belakang Yoga. Merasa ngeri melihat manusia berwajah
seekor singa lengkap dengan bentuk taringnya, matanya, dan hidungnya. Hanya saja
bentuk mulutnya tidak terlalu monyong ke depan seperti mulut seekor singa. Namun
kulit wajah dan kulit tubuhnya menyerupai kulit seekor singa. Bedanya hanya
tidak berekor saja. Dan bau daging mentah ternyata menyebar dari tubuh orang
berkepala singa tersebut.
Hal yang membuat Yoga heran adalah kemunculan orang tersebut yang secara tiba-
tiba dalam jarak lima langkah di samping Yoga. Tak ada yang melihat gerakannya
saat ia datang, tak ada yang mendengar suara apa pun saat ia muncul.
"Kau yang menyerang kami sejak tadi?" tanya Gandaloka.
"Benar!" jawab manusia singa dengan suaranya yang besar.
Sebuah pedang pendek yang terselip di pinggangnya masih belum disentuh. Orang
itu berkata lagi kepada Gandaloka,
"Kalian masuk wilayah kami tanpa izin dan merusak pepohonan! Kalian kami anggap
musuh yang harus
dimusnahkan!"
"Kami terdampar tanpa sengaja di pulau ini. Kami tidak tahu kalau pulau ini
berpenghuni!"
"Baik. Jika begitu kalian memang perlu tahu keadaan kami!"
Setelah bicara begitu, manusia singa itu bertepuk satu kali.
Tepukan tangannya itu memancarkan sinar kuning terang
dalam percikan menyilaukan. Mata mereka berkedip kaget, dan semakin kaget
setelah kembali memandang sekelilingnya.
Ternyata sebuah kehidupan asing ada di antara mereka.
Kehidupan asing itu sepertinya terjadi sudah sejak tadi, sejak mereka terdampar
dan saling sadar. Tentu saja mereka menjadi terbengong-bengong melihat perahu-
perahu ditambatkan di tepi pantai, kesibukan orang menarik jala-jala ikan,
kesibukan orang memperbaiki perahu mereka, dan kesibukan orang mengurung mereka
membentuk lingkaran besar. Hal yang membuat Gandaloka dan kawan-kawan menjadi
lebih heran lagi ialah, bahwa masyarakat yang ada di situ semuanya berkepala
singa. Yoga pun segera berbisik kepada Gandaloka,
"Kita terjebak di peradaban siluman!"
"Apakah mereka siluman" Setahuku mereka sekelompok manusia singa!" bisik
Gandaloka juga.
"Mereka ada sejak tadi, orang yang menyerang kita itu telah membukakan selaput
mata indera keenam kita sehingga bisa melihat kehidupan seperti ini, yang tentd
saja tidak bisa dilihat oleh orang lain di luar kelompok' mereka."
"Apa yang harus kita lakukan?" bisik Asoma.
"Jangan menyerang dulu! Ikuti dulu apa kemauan! mereka.
Kita telah terkurung, dan mereka tampaknya ganas-ganas!"
jawab Gandaloka didengar oleh kelompoknya sendiri.
Orang berpakaian hitam yang tadi bertepuk tangan satu kali itu berkata lagi,
"Inilah kami...! Kalian telah lakukan kesalahan besar, datang tanpa permisi,
langsung merusak alam milik kami! Kalian harus dihukum sesuai dengan keputusan
Kala Ratak, ketua kami!"
Orang-orang yang mengurung mereka jumlahnya lebih dari lima belas. Beberapa di
antaranya ada yang menggeram-gerarh seperti suara singa, pancaran mata mereka
memandang buas, seakan tak sabar ingin segera menerkam. Asoma dan Rowulu sempat
cemas, karena empat orang berwajah singa yang ada di belakangnya sesekali
menghentak dalam erangan buasnya.
Beberapa saat kemudian, muncul seorang berwajah singa yang mengenakan jubah
merah dan bermahkota, la didampingi dua orang pengawal yang bertubuh kekar,
namun tidak sebesar dan setinggi Gandaloka dan dua temannya itu. Ketika orang
bermahkota itu datang, para pengurung segera memberi jalan dan tundukkan kepala
sebentar sebagai hormat kepada orang bermahkota. Orang itu bagai tak pedulikan
hormat tersebut, ia langsung mendekati kelompoknya Gandaloka.
Matanya memandang dengan berbinar-binar buas, seperti seekor singa menemukan
mangsanya dalam keadaan lapar.
Setiap wajah diperhatikan oleh orang bermahkota itu tanpa ada sikap bersahabat
sedikit pun. Kemudian ia berkata dengan tak ramah,
"Siapa kalian" Berani-beraninya kalian masuk wilayahku, hah"!"
Gandaloka yang menjawab, "Kapal kami pecah, dan kami terdampar. Lalu kami
bermaksud membuat rakit untuk pulang.
Kami tidak punya perahu atau kapal untuk kembali ke asal kami."
"Kalian agaknya orang-orang Pulau Kana!"
"Benar!" jawab Gandaloka menampakkan ketegasannya.
"Kalian pasti memata-matai tempat kami untuk merebut Pulau Singa ini! Kalian
harus dipotong untuk pesta rakyat Pulau Singa!"
"Tunggu dulu!" sergah Gandaloka, karena beberapa orang sudah bersiap untuk
menyergapnya. "Kami bukan mata-mata.
Kami tiba di sini tidak dengan maksud jahat sedikit pun. Kami terkena musibah.
Dan kami tidak lihat kalau di sini ada kehidupan seperti ini! Kalau kami tahu,
kami pasti akan menemuimu untuk meminta izin, sekaligus meminta tolong!
Kalau saja sekarang juga kami punya perahu, kami akan pergi secepatnya, karena
kami sendiri punya urusan penting!"
Kemudian orang bermahkota yang tentunya adalah raja singa atau ketua mereka itu,
segera berkata kepada orang yang pertama kali dilihat oleh Gandaloka dan
kelompoknya, "Siapkan kurungan!"
"Baik Kala Ratak Sangar...!" orang itu segera bergerak pergi memenuhi permintaan
tersebut. Tapi tiba-tiba orang bermahkota yang dipanggil sebagai Kala Ratak
Sangar itu berseru,
"Kosongkan saja kurungan di dalam istana itu!" "Baik, Kala Ratak...!" jawab
orang yang tadi bertepuk satu kali, dan segera lanjutkan langkahnya.
Kini, Yoga mulai angkat bicara kepada Kala Ratak Sangar dengan tenang dan sikap
tegas, "Kala Ratak, semestinya kau bisa memahami keadaan kami, bahwa keberadaan kami di
sini adalah di luar kehendak kami.
Kami tidak punya maksud jahat sedikit pun. Kalau kami punya maksud jahat,
sekarang juga kami bisa serang kalian!"
"Kau tidak berhak mengatur keputusanku! Aku penguasa di Pulau Singa ini!"
"Aku tidak mengaturmu! Tapi aku minta kebijaksa-anmu untuk melepaskan kami!"
"Aku harus pertimbangkan dulu keputusan itu! Sekarang kalian adalah tawananku.
Jangan coba-coba memberontak kalau ingin aku berkeputusan bijak."
Yoga melirik Gandaloka, seakan merasa tidak bisa mengajak Kala Ratak Sangar
untuk berembuk baik-baik. Tapi hembusan napas Yoga yang terlepas itu memberikan
isyarat yang dipahami Gandaloka, bahwa untuk sementara mereka jangan melakukan
perlawanan apa-apa. Gandaloka pun tahu, bahwa Kala Ratak Sangar pasti sedang
mempertimbangkan keputusan dengan melihat sikap para tawanannya. Itulah sebabnya
Gandaloka berbisik kepada kedua anak buahnya agar mereka tetap tenang. Pada saat
mereka berempat dibawa sebagai tawanan, mereka menurut saja.
*** 4 SEBUAH ruangan besar dibangun di tengah pulau itu.
Ruangan besar itu dianggap sebagai istana Kala Ratak Sangar, pusat pemerintahan
rakyat Pulau Singa. Di dalam bangunan besar itu, terdapat singgasana yang
terbuat dari kerangka ikan besar. Di sanalah Kala Ratak Sangar duduk dan
berembuk dengan beberapa orangnya.
Ruangan besar itu mempunyai lantai dari marmer hitam, berdinding membentuk
lingkaran. Di tepian lantai, di setiap dinding, terdapat tengkorak-tengkorak
manusia yang dijadikan sebagai hiasan. Beberapa kamar juga terdapat mengelilingi
ruangan tersebut. Satu kamar berpintu jeruji besi kokoh ada di sana. Di dalam
kamar berjeruji kokoh itulah Gandaloka dan kelompoknya ditawan.
Kamar tahanan itu berbau amis, tidak terlalu lebar dan tidak mempunyai tempat
duduk atau tempat untuk tidur. Hanya sebidang kamar berlantai dingin yang sudah
berlumut. Perut mereka merasa mual berada di kamar tahanan tersebut. Dari tempat
mereka dikurung, bisa melihat langsung keadaan di tengah ruangan besar atau di
depan singgasana. Mereka juga melihat Kala Ratak Sangar berbincang-bincang
dengan beberapa orangnya dengan suara gemuruh tak jelas. Istana itu beratap
tinggi, sehingga gemanya cukup banyak dan membuat tiap ucapan pelan menjadi
kabur dari pendengaran.
Jejak Di Balik Kabut 34 Makam Bunga Mawar Karya Opa Para Ksatria Penjaga Majapahit 6
^