Pencarian

Hutang Dosa 1

Gento Guyon 5 Hutang Dosa Bagian 1


1 Malam hari Wonogiri diselimuti
kegelapan. Walau daerah itu termasuk berpenduduk padat, tapi suasana terasa
sunyi mencekam.
Sedangkan udara dingin terasa
sangat menusuk. Dalam suasana seperti itu, kerlip cahaya bintang pun tak
terlihat di langit sana sehingga membuat orang enggan keluar meninggalkan
rumahnya. Sementara di dalam salah satu kamar rumah yang besar Danang Pattira sama sekali
tak mampu memejamkan matanya.
Entah mengapa sejak sore tadi perasaan pemuda itu jadi gelisah. Pemuda itu kini
malah bangkit dari tempat tidur lalu melangkah ke arah jendela. Begitu jendela
kamar terbuka lebar hawa dingin terasa menampar wajahnya. Di langit kilat
menyambar. Si pemuda yang sangat menyukai ilmu sastra julurkan kepala melewati
jeruji kayu jendela. Wajahnya mendongak ke langit. Saat itu langit gelap, gulita
tertutup mendung, tapi aneh tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Ingat akan
sesuatu membuat wajah si pemuda berubah pucat pasi. "Kilat itu, kuharap ini
bukan merupakan tanda dari kehadirannya." pikir si pemuda. Karena perasaannya
semakin tidak tenang Danang Pattira pun menarik
jendela dan hendak menutupkannya kembali.
Tapi pada saat itulah hidungnya mencium bau sesuatu yang khas. Bau yang sama
sebagaimana yang sering tercium beberapa bulan belakangan. Mendadak tengkuk si
pemuda terasa dingin. Dia mendengar suara dengus nafas aneh. Danang Pattira
memandang keluar melalui jendela yang agak terbuka. Dia melengak kaget saat
melihat ada satu sosok bayangan samar berdiri tegak tak jauh dari jendela itu.
Si pemuda mencoba memperhatikan lebih seksama. Sekali lagi dia dilanda rasa
kejut yang amat sangat. Sosok yang muncul secara samar tadi mendadak hilang raib
dari penglihatannya. Dengan raibnya sosok tinggi besar tersebut pada waktu
bersamaan pula terdengar satu suara perlahan namun cukup jelas. "Danang
Pattira... kau adalah seorang anak manusia yang harus menghambakan diri padaku.
Seorang hamba harus patuh pada siapa dia bertuan. Akulah junjunganmu, karena itu
pikiranmu dan pikiranku harus sejalan agar tercapai semua yang menjadi
keinginan. Kau tak akan bisa menolak, kau tak akan bisa membantah karena seluruh
jiwa dan ragamu berada dalam genggaman tanganku! Datanglah ke mari, datanglah ke
suatu tempat di mana pertama kali aku membimbingmu!"
"Tidak! Aku tidak mau, aku tak bisa
menuruti keinginanmu. Pergilah...!"
teriak si pemuda dengan suara bergetar dan wajah pucat dijalari rasa takut
teramat sangat.
"Ha... ha... ha! Setelah kebangkitanku, tidak ada satu kekuatan pun yang boleh
menentang. Kau harus turuti apa yang menjadi kehendakku, kau juga harus
menjalankan apa yang menjadi perintahku!!" hardik suara itu lantang dan
mengandung getaran aneh yang membuat Danang Pattira merasa tak punya kekuatan
apa-apa untuk menolaknya. "Celaka! Apa yang sesungguhnya terjadi pada diriku
ini" Otakku tak dapat berpikir
sebagaimana yang kuinginkan. Pengaruh suara itu demikian kuat hingga membuat
diriku seperti patung mainan. Aku...
akh...!" Si pemuda mengeluh tertahan. Dia merasa bagian belakang kepala seperti
dihantam palu besar hingga membuat kesadaran si pemuda jadi timbul tenggelam.
Dalam keadaan seperti itu pula di dalam lubuk hati si pemuda timbul satu
keinginan kuat untuk meninggalkan rumahnya. Keinginan itu semakin bertambah kuat
ketika tadi suara berkata. "Lupakan semua beban yang memenuhi hati dan
pikiranmu. Lekas keluar tinggalkan rumah itu, datanglah padaku agar dirimu
mendapat petunjuk! Ini adalah perintah
yang setan sekalipun tak berani
membantahnya!"
Sebagaimana yang dikatakan oleh
suara aneh yang mengandung getaran gaib itu, maka Danang Pattira dengan langkah
kaku mendekat ke pintu. Pintu terbuka, hawa dingin dan hembusan angin menampar
wajahnya. Dia tak memperdulikan semua itu. Selanjutnya si pemuda berjalan
menembus kepekatan malam ke arah mana suara aneh tadi sangat mempengaruhi jiwa
dan pikirannya. Selagi si pemuda berada dalam keadaan seperti itu satu keanehan
lain terjadi pada dirinya. Tiba-tiba tubuhnya melesat di udara, berkelebat
laksana kilat dan berlari cepat melewati pucuk semak belukar yang membentang
luas di depannya. Apa yang dilakukannya ini adalah sesuatu yang sangat sulit
dipercaya. Karena mengingat Danang Pattira sendiri sesungguhnya bukan pemuda
yang memiliki ilmu meringankan tubuh maupun ilmu lari cepat sehebat itu. Apa
yang dipelajarinya selama ini melalui kitab peninggalan keluarga baru saja
sampai pada tingkat dasar jurus-jurus silat dan cara menghimpun tenaga dalam.
Tapi kenyataan yang terlihat saat itu apa yang dilakukan si pemuda tidak bedanya
dengan cara berlari dari seorang dedengkot persilatan yang memiliki tenaga dalam
sangat kuat dan ilmu meringankan
tubuh yang berada di atas sempurna.
Tidak berselang lama Danang Pattira telah sampai di satu tempat yang sepi.
Pemuda itu hentikan langkah, sepasang matanya memandang ke depan di mana
terdapat sebuah lubang empat persegi panjang. Lubang dalam keadaan gelap gulita,
karena di atas lubang dinaungi sebatang pohon kamboja.
"Aku... mengapa aku sampai ke tempat ini?" batin Danang Pattira merasa bingung
sendiri. "Kalau tak salah aku berada di depan sebuah kubur. Dan kubur ini..."!"
Wajah si pemuda mendadak berubah pucat, sekujur tubuhnya nampak bergetar. Ingat
akan sesuatu yang terjadi di masa lalu, maka tanpa pikir panjang Danang Pattira
segera memutar langkah hendak tinggalkan tempat itu secepatnya.
Tapi mendadak ada hembusan angin dingin menghantam tubuhnya dari arah depan sana
hingga membuat pemuda itu jatuh
terpelanting dan nyaris terperosok jatuh ke dalam lubang tersebut.
Belum lagi hilang rasa kaget di
hati Danang Pattira, sepasang tangan yang sangat dingin terjulur dari balik
kegelapan lubang kubur. Kedua tangan itu kemudian mencengkeram kedua pelipis si
pemuda. Danang Pattira menjerit ketakutan. Perutnya terasa mual, kepala mendadak
menjadi pusing karena sepasang
tangan yang teramat dingin itu menebar bau busuk yang bukan kepalang. Begitu
sepasang tangan menekan kedua sisi kepala Danang Pattira tak berapa lama
kemudian dari jemari tangan itu mencuat dua larik cahaya disertai mengepulnya
kabut tipis putih. Cahaya merah secara aneh menembus bagian pelipis si pemuda.
Kepala Danang Pattira bergetar, dia merasakan ada hawa dingin membekukan
menembus batok kepala, mengguncang sel-sel otaknya hingga membuat si pemuda
meronta dan menjerit kesakitan. Dalam keadaan setengah ling-lung Danang
merasakan hawa dingin kini bergerak turun melalui batang leher terus menebar ke
sekujur tubuhnya. Sekali lagi dia menjerit. Menjerit terus tak berkeputusan
hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.
"Ha... ha... ha! Sampai sudah janji yang telah ditetapkan. Dalam kebang-kitanku
yang kedua, semua rasa dendam dan sakit hati akan kubalas impas! Bocah ini sudah
kutetapkan untuk mencari saudaranya. Dia harus membunuh tiga saudaranya yang
lain. Aku hidup kembali berkat kesaktian yang kumiliki. Kelak untuk
mempertahankan hidup aku akan mempergunakan raganya untuk melindungi diriku!"
kata satu suara dari arah lubang kubur.
Kemudian sepasang tangan yang menekan pelipis Danang Pattira lenyap. Dari balik
kubur satu sosok melesat keluar dan berdiri tegak di samping si pemuda yang
tergeletak dan belum sadarkan diri.
Dalam gelapnya malam ujud sosok
yang hanya mengenakan robekan kain kafan sebagai penutup aurat tidak terlihat
dengan jelas. Hanya sekujur tubuhnya yang hitam itu menebar bau busuknya
bangkai. Sekejap lamanya dia memperhatikan si pemuda dari ujung rambut hingga ke ujung
kaki. Mulutnya yang hanya berupa rempelan daging busuk menyeringai. "Kutahu kau
adalah pemuda tolol yang tidak punya kepandaian apa-apa. Tapi aku akan membuatmu
menjadi manusia sakti tak tertandingi. Aku Raden Ronggo Anom, mayat yang bangkit
kembali berkat kesaktian Pembeda Asal yang kumiliki. Ha... ha...
ha!" kata sosok setengah bangkai itu disertai tawa tergelak-gelak. Dia kemudian
berjongkok di samping Danang Pattira. Kedua tangan ditempelkan di atas dada
pemuda itu. Sambil mengerahkan tenaga sakti berbau kesesatan ke sekujur tubuh si
pemuda mulutnya kembali berkata.
"Raden Ponco Sugiri telah kubunuh. Kupu-kupu Perak sudah kutebar di empat
penjuru angin. Kau kini menjadi wakilku untuk membunuh saudaramu yang lain. Aku
tahu dalam hatimu kau merasa senang dan jatuh cinta pada adik kandungmu sendiri.
Kau boleh memilikinya, kuizinkan kau bercinta
dengannya sampai kau muak, namun setelah itu dia harus kau bunuh. Tapi kau juga
jangan lupa untuk membunuh seorang pemuda sinting bernama Gento Guyon, kau bawa
kepalanya kepadaku. Kau mendengar, kau mengerti
walaupun saat ini kau tak
sadarkan diri!" kata si Mayat Hidup.
Suara sosok mengerikan itu lenyap, kedua tangan yang menempel di dada si pemuda
nampak bergetar hebat. Kemudian secara berturut-turut cahaya merah, kuning,
putih dan biru membersit dari kedua telapak tangan Mayat Hidup dan amblas lenyap
ke dalam dada si pemuda.
Dengan lenyapnya cahaya tadi ke dalam dada si pemuda maka Danang Pattira
menggeliat sambil mengerang lirih.
Kejap kemudian pemuda itu duduk, dia memandang ke samping dengan tatap matanya
yang kosong dan berwarna kemerahan. Tidak seperti pertama tadi, kini dia tidak
lagi merasa takut ketika melihat sosok angker berbau busuk yang berada di
sampingnya. "Kau tahu siapa dirimu?" Mayat Hidup dengan suara patah ajukan
pertanyaan. Danang Pattira anggukkan kepala.
"Aku tahu, aku ingat. Ayahku Raden Ponco Sugiri, aku anak yang paling sulung
dari empat bersaudara. Ayahku belum lama meninggal," jawab si pemuda lancar tapi
suaranya terdengar kaku.
"Ha... ha... ha! Bagus. Kau tahu siapa diriku?" tanya Mayat Hidup lagi.
Danang Pattira terdiam sejenak,
baru kemudian berucap. "Aku seperti baru saja di bawa mengintai ke balik tabir
gaib. Seseorang yang berada di alam roh baru saja mengatakan kau adalah pamanku.
Namamu Raden Ronggo Anom. Manusia yang semasa hidupnya memiliki sifat dengki,
tamak, serakah, sombong dan tega pada saudaranya sendiri. Kau terbunuh sekitar
tiga puluh tahun yang lalu. Yang membunuhmu adalah Jin Babat Nyawa atas perintah
seorang wanita bergelar Arwah Darah Senggini. Arwah Darah Senggini mengerjakan
perintah seseorang, yaitu Raden Ponco Sugiri ayahku. Beliau belum lama berselang
dikabarkan tewas oleh Barep Pandara. Arwahmu yang telah membunuhnya!" jelas
Danang Pattira tanpa perasaan apapun. Kiranya jiwa dan pikiran si pemuda telah
berada dalam pengaruh kekuatan aneh yang disalurkan Mayat Hidup ke dalam
tubuhnya. Hingga ketika menyebut kematian orangtuanya sendiri wajah si pemuda
tidak memperlihatkan perubahan apapun. Seakan Raden Ponco Sugiri yang ayah
kandungnya itu adalah orang lain yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Bagus, kau sudah tahu semua.
Kebangkitanku adalah karena ilmuku. Aku
tak akan tenang jika belum mencari dan membunuh Arwah Darah Senggini. Karena itu
sebagai seorang budak yang telah kubekali dengan kesaktian hebat, sudah menjadi
tugasmu untuk membunuh tiga saudaramu yang lain!" tegas Mayat Hidup.
"Dua adikku, Aripraba dan Siwarana memang harus mati, tapi Ambini apakah harus
kubunuh juga" Aku... aku...!"
"Hak... hak... hak! Aku tahu isi hatimu. Kau boleh bersenang-senang dengannya.
Tapi kemudian kau harus membunuhnya. Kau kutunggu di gunung Liman. Kau
mengerti?" tanya si Mayat Hidup.
"Aku mengerti." sahut si pemuda.
"Kalau sudah mengerti sekarang pergilah. Lakukan tugasmu dan cari orang-orang
yang harus kau bunuh!" Sekali lagi si Mayat Hidup menegaskan. Danang Pattira
anggukkan kepala. Dengan gerakan kaku dia memutar tubuhnya dan terus melangkah
pergi meninggalkan sosok busuk berwajah angker mengerikan itu.
2 Untuk menghindari kejaran Raden
Ronggo Anom yang kini telah berubah menjadi sosok Mayat Hidup, gadis jelita
berpakaian putih berambut panjang
tergerai itu terus-menerus mengerahkan ilmu lari cepat yang dimilikinya. Sampai
di satu tempat Ambini merasakan tiba-tiba saja pemuda yang dia panggul di bahu
kanannya terasa semakin berat.
"Aneh, bagaimana dia sekarang berubah menjadi seberat ini" Apakah karena aku
sudah merasa lelah?" membatin gadis cantik yang bernama Ambini itu heran.
Perlahan Ambini mengurangi kece-
patan larinya, sampai kemudian langkahnya terhenti sama sekali. Pada saat itu
pula si gadis mendengar suara menyiplak yang keras seperti orang yang mengunyah
makanan. Si gadis kerutkan keningnya.
Mendadak dia turunkan si gondrong dari bahunya.
Dia pandangi pemuda tampan
bertelanjang dada itu sekejap lamanya.
Mata si gondrong dalam keadaan terpejam, wajah pucat sedangkan di sudut bibirnya
masih terlihat sisa darah yang mengering.
"Aku mendengar suara orang memakan sesuatu," pikir si gadis. Dia lalu
mengitarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Tak terlihat siapapun
terkecuali pepohonan besar, semak ilalang, bukit-bukit gundul serta birunya
gunung Liman. "Aku tak salah mendengar, ada orang memakan sesuatu dengan lahap."
membatin Ambini. Sekali lagi diperhatikannya pemuda yang
dipanggulnya tadi. Rasanya tak mungkin pemuda itu yang makan. Dia terluka dalam,
mungkin juga saat itu tidak sadarkan diri. Ambini menggoyang bahunya yang terasa
pegal. Di saat itulah dia merasakan adanya kelainan pada kantong perbekalan yang
tergantung di punggungnya. Kantong perbekalan itu kini terasa sangat ringan
sekali. Sekali lagi Ambini pandangi pemuda itu. Sampai kemudian dia melihat
sesuatu tergenggam di tangannya. Mendadak wajah si gadis berubah, dia merasa
dipermainkan. Kantong perbekalan ditariknya ke depan, dibuka dan diperiksa
isinya. "Benar... dia telah mencuri bekal makananku. Kurang ajar, jadi dia telah
menipuku dengan berpura-pura terluka parah. Lalu dengan tololnya kudukung dia ke
tempat yang aman dari jangkuan Mayat Hidup. Di atas bahu dia pergunakan
kesempatan menggerayangi kantong perbekalan. Dia makan enak dalam panggulanku,
apakah dia mengira aku ini kuda tolol" Aku bukan binatang
tunggangan, tapi yang jelas aku memang telah berlaku tolol!" dengus Ambini
merutuki dirinya sendiri. Wajah cantik itu bersemu merah. Tapi kemudian bibirnya
yang merah merekah itu sunggingkan satu seringai. "Dia harus tahu akibat dari
muslihatnya sendiri." berkata begitu Ambini ayunkan kaki ke bagian punggung si
pemuda. Dess! Desss! Dua hantaman keras disertai
pengerahan tenaga dalam menghantam punggung si gondrong dua kali berturut-turut.
Pemuda itu terlempar sejauh satu tombak, ikan bakar di tangannya tercampak entah
ke mana sedangkan bagian bahu sempat membentur batu besar. Si pemuda mengeluh
panjang sambil menggeliat kesakitan.
"Kau hendak berpura-pura lagi. Aku telah berletih diri membawamu ke mari.
Kusangka lukamu sangat parah, tetapi ternyata kau hanya mempermainkan diriku.
Sungguh manusia tak pandai membalas budi!" dengus Ambini.
Si pemuda kedip-kedipkan matanya, dia meringis kesakitan. Dengan cepat dia
bangkit, setelah duduk badannya
digerakkan ke kiri kanan.
"Ah apa yang terjadi" Rasanya aku baru saja mimpi makan ikan bakar yang sedap,
kemudian aku dibawa lari oleh bidadari cantik. Setelah kenyang aku merasa bagai
ditendang kuda. Tapi tak apa-apa, kudanya kuda cantik. Ingin sekali aku
ditendang untuk yang kedua kalinya!" celetuk pemuda itu sambil memijit bagian
punggungnya yang kena tendangan Ambini.
Semakin bertambah jengkel Ambini
mendengar ucapan pemuda itu. Dia yang merasa telah dikerjai si gondrong melompat
ke depan sambil tendangkan kaki kirinya.
Wuuut! Tendangan luput karena si gondrong telah berkelit dan tahu-tahu berada di
belakang Ambini. Tangannya yang jahil mengelus telapak tangan gadis itu.
"Amboi halusnya. Sayang kelewat galak. Ha... ha... ha!"
Ambini cepat memutar badan dan jadi kaget begitu melihat si gondrong telah duduk
di belakangnya. Jika pemuda itu punya maksud yang tidak baik tentu sejak tadi
dia sudah kena ditotok atau dicelakai.
"Setan... kau benar-benar pemuda edan!" maki Ambini. Dia lalu julurkan tangan
siap hendak menampar. Si gondrong tertawa sambil angsurkan pipinya.
"Kurasa aku lebih senang menerima tamparanmu daripada harus menghadapi bangkai
berjalan tadi!" sahut si pemuda.
Dia menunggu untuk beberapa saat lamanya.


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Ambini kemudian turunkan tangannya kembali. Dengan perasaan masih memendam
kekesalan si gadis palingkan wajahnya ke arah lain, tepatnya di atas sebuah
pohon. Justru di atas pohon itu ada sekawanan monyet yang sedang tunggingkan pantat ke
arahnya. Tingkah kawanan monyet itu
seolah-olah mengejek si gadis hingga membuat wajah Ambini bersemu merah. Dia
jadi salah tingkah. "Sialan monyet-monyet itu! Barangkali pemuda ini masih punya
hubungan kerabat dengan mereka. Aku tidak akan heran jika mereka berpihak
padanya, huh!" gerutu Ambini dalam hati. Kekesalan yang menyelimuti perasaan si
gadis membuatnya tanpa sadar memandang kembali ke arah si gondrong.
Pemuda itu menyeringai. "Kurasa memandangku lebih menyenangkan daripada
memandang pantat monyet-monyet itu. Ha...
ha... ha!"
"Pemuda kurang ajar, siapakah namamu?" tanya Ambini dengan mata mendelik. Si
gondrong tersenyum. Wajahnya berubah cerah ketika dia bangkit berdiri.
"Kau sudah banyak menolong, bahkan menggendongku sampai sejauh itu. Adalah tidak
tahu diri jika aku tak menyebutkan nama." kata si pemuda sambil mengulum senyum.
Gento melanjutkan. "Dengar!
Namaku Gento Guyon. Gento... Guyon...
cukup gampang bagimu untuk mengingatku!
Ha... ha... ha!"
"Gento Guyon" Huh, nama geblek apa itu?" pikir si gadis sambil cibirkan
mulutnya. "He! Gento, namamu memang sangat sesuai dengan orangnya. Gento mungkin
sama dengan Genta, sedangkan Guyon kurasa karena kau sering tersenyum
atau tertawa sendiri seperti orang sinting. Nama yang bagus, eeh siapa yang
telah memberimu nama?" tanya si gadis dalam hati dia mencibir.
Merasa Ambini senang dengan nama yang baru disebutkannya tadi, maka dengan
bangga sambil berkacak pinggang si pemuda menjawab. "Yang memberiku nama tentu
saja guruku Gentong Ketawa."
"Hi... hi... hi. Bagus sekali, tidak salah dugaanku. Kau dan gurumu kurasa sama-
sama pasangan manusia edan.
Sekarang aku tak merasa heran jika melihat dirimu seperti ini. Gurunya berotak
miring, muridnya edan. Kau dan gurumu pasti memiliki kecocokan satu sama lain!"
kata Ambini disertai tawa tergelak-gelak.
Bukannya tersinggung Gento malah ikutan tertawa. Tingkah pemuda itu tentu
mengundang rasa heran di hati Ambini sehingga dia hentikan tawanya seketika dan
memandang ke arah Gento Guyon dengan alis berkerut. Pemuda gondrong ini sungguh
aneh, pikir Ambini. Dia dan gurunya diejek orang bukannya malah tersinggung atau
marah, sebaliknya ikut tertawa. Aneh!
Melihat si gadis hentikan tawa dan terdiam, Gento katubkan bibirnya berhenti
tertawa. Sejenak dia pandangi Ambini.
Dalam hati dia berkata. "Gadis ini
memiliki kecantikan sungguh sangat luar biasa. Jika aku tidak keliru mendengar
dia pasti putri Raden Ponco Sudiri, orang tua cacat yang mayatnya kutemui di
puncak gunung Wilis." Gento kemudian teringat pada sosok mayat hidup. Manusia
separoh bangkai yang hendak menculik Ambini dan sempat menciderai dirinya
beberapa saat sebelum Ambini yang menyangka dirinya terluka membawanya pergi.
Mayat Hidup mengaku dirinya adalah Raden Ronggo Anom.
Saudara tiri Raden Ponco Sugiri yang disebut-sebut telah meninggal tiga puluh
tahun yang silam. Mati dengan cara yang aneh! Sangat mendadak dengan luka
membiru di bagian dalam jantung. Gento jadi heran mengapa Mayat Hidup sangat
menginginkan Ambini" Bahkan nekad menurunkan tangan jahat pada dirinya. Sejenak
lamanya murid kakek Gentong Ketawa pandangi gadis di depannya dengan mata
berkedip-kedip.
Diperhatikan seperti itu tentu
membuat si gadis salah tingkah. Paling tidak muncul dugaan pemuda gondrong itu
hendak menjahili dirinya lagi. Sehingga Ambini langsung mendamprat. "Berani kau
berbuat kurang ajar padaku nyawamu tak akan kuampuni!"
Gento gelengkan kepala. "Sekali ini aku tidak sedang bergurau, Ambini." kata si
pemuda menyebut nama si gadis. Caranya bicara seakan Gento sudah mengenal Ambini
cukup lama. Ini adalah salah satu sikap yang sangat disukai oleh si gadis.
"Jadi kau mau bicara apa?" bentak Ambini pura-pura tegas dan pasang wajah sinis.
"Mengenai Mayat Hidup tadi." sahut si pemuda. Dia nampak berpikir sejenak baru
kemudian melanjutkan. "Aku yakin ada sesuatu yang diincar Mayat Hidup dari
dirimu. Dia tidak mungkin bersikeras ingin membawamu pergi jika tidak ada
sesuatu yang diinginkannya. Mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang kau
rahasiakan."
"Sesuatu apa?" tanya si gadis. Dia tidak lagi melotot ketika memandang Gento,
tatap matanya berubah lembut bersahabat.
"Maaf jika aku harus bertanya.
Bukankah engkau adalah putri Raden Ponco Sugiri yang kutemui di puncak Gunung
Wilis?" "Kau benar. Dan ayah yang kau sebutkan telah meninggal tanpa kuketahui siapa
yang telah membunuhnya?" kata Ambini pelan. Nada suaranya bercampur kesal dan
sedih. "Aku turut prihatin. Ayahmu meninggal begitu rupa, sulit aku mence-ritakan
keadaannya. Tapi apakah di hatimu tidak ada keinginan untuk menyelidik awal dari
segala bencana yang menimpa
keluargamu?" ujar si pemuda dengan hati-hati. Ambini memperhatikan si pemuda
beberapa jenak lamanya. Tatap matanya yang tajam seolah ingin menembus batok
kepala Gento, membuatnya jadi tidak enak hati.
"Kau bicara seakan tahu benar bencana pahit yang menimpa keluargaku.
Padahal bertemu denganku rasanya baru pertama kali." kata Ambini akhirnya,
seraya kemudian palingkan wajah memandang ke jurusan lain.
Gento hendak tersenyum, tapi urung.
Dia takut Ambini tersinggung. Tidak jadi tersenyum dia lanjutkan ucapan.
"Mengenal dirimu memang baru kali pertama ini kita bertemu. Sedangkan mengenai
keluargamu aku telah mendengarnya dari beberapa orang yang kutemui di Wonogiri.
Kau adalah salah satu dari empat putra Raden Ponco Sugiri almarhum. Saudaramu
yang pertama, paling sulung bernama Danang Pattira, saudara yang nomor dua
bernama Aripraba. Orang yang kusebutkan ini pernah kutemui di puncak gunung
Wilis dalam keadaan menangis mengguguk meratapi jenazah ayahnya...!"
"Tunggu!" seru Ambini begitu mendengar Gento mengatakan pernah bertemu dengan
Aripraba. "Kau mengatakan bertemu dengan saudaraku yang nomor dua?" tanya Ambini
yang dijawab Gento dengan
anggukkan kepala. "Aku sendiri sudah belasan tahun tak bertemu dengan kakang
Aripraba. Bagaimana rupa dan keadaannya aku juga tak tahu. Baru saja kau tadi
mengatakan telah bertemu dengan kakang Aripraba. Seperti apa dia sekarang?"
tanya Ambini penuh rasa ingin tahu.
"Dia dalam keadaan sehat saja.
Perawakan maupun keadaan tubuhnya gembul tidak kekurangan sandang tak kekurangan
pangan. Ilmu kesaktiannya tinggi. Tapi jalan pikirannya kurasa tak mudah
ditebak. Seperti yang sudah kukatakan aku sempat bentrok dengannya. Tapi dia
kemudian pergi begitu saja." jelas si pemuda.
Mendengar semua itu Ambini terdiam.
Dia berpikir bukan mustahil Airpraba yang membunuh ayah mereka sendiri. Siapa
tahu saudaranya yang kedua itu tahu banyak hal tentang harta karun milik leluhur
mereka yang tidak ternilai banyaknya itu. Boleh jadi Aripraba yang dikenal dekat
dengan sang ayah meminta peta rahasia
penyimpanan harta untuk dikangkanginya sendiri. Karena ayahnya tidak memberikan
peta itu Aripraba lalu membunuhnya.
Sejenak Ambini berpikir keras. Mencoba menghubung-hubungkan satu peristiwa
dengan kejadian lain. Dia kemudian ingat pada Barep Pandara. Di akhir hayatnya
ketika kupu-kupu perak beracun itu
membunuhnya dia ada menyebut kata
'Raden'. Apakah mungkin Raden Aripraba yang dimaksudkannya atau raden yang lain"
Dia sendiri telah menyambangi Danang Pattira di Wonogiri. Saudara sulungnya itu sama
sekali tidak menunjukkan tanda atau punya tampang sebagai orang yang tega
membunuh orangtua sendiri. Apalagi mengingat Danang Pattira sejak dulu tidak
menyukai pelajaran silat terkecuali ilmu sastra. Jika pun saat itu dia melihat
sang kakak tengah berlatih ilmu silat, tingkatannya masih sangat rendah dan
boleh dibilang masih berada di tingkat paling dasar. Orang seperti dia tak
mungkin sanggup membunuh ayah kandungnya sendiri. Apalagi mengerahkan kupu-kupu
perak mematikan yang dia ketahui kiriman dari alam gaib. Mendadak Ambini menepuk
keningnya sendiri hingga membuat Gento berjingkrak dan melongo.
"Mayat Hidup! Mayat Hidup itu ada mengatakan 'Siapa berani membunuh kupu-kupu
perakku!' pikir Ambini. Seakan bicara pada dirinya sendiri Ambini lagi-lagi
bergumam. "Yang membunuh ayahku aku tak tahu. Tapi kupu-kupu perak itu jelas
milik Mayat Hidup. Mungkin dia memang Raden Ronggo Anom. Paman tiriku yang
terbunuh sekitar tiga puluh tahun lalu dengan cara yang aneh. Lalu siapa yang
membunuhnya dan bagaimana dia bisa
bangkit, hidup kembali dalam keadaan begitu rupa?"
"Ambini apakah kau sedang tidur sambil mengigau" Apa yang kau ucapkan?"
tanya Gento begitu melihat si gadis seperti meracau
sedangkan mulutnya
berkemak-kemik tak mau diam. Ditegur seperti itu Ambini terkejut. Dalam
keraguannya antara menerangkan semua apa yang dipikirkannya atau tidak pada
pemuda yang baru dikenalnya itu dia gelengkan kepala sambil berkata. "Aku tidak
apa-apa, teruskan apa yang kau katakan tadi!"
pinta si gadis.
Gento sebenarnya merasa tidak enak hati, dia merasa yakin ada sesuatu yang
disembunyikan gadis itu. Entah apa dan mengapa Ambini tak bersedia
mengatakannya. Tapi Gento kemudian memilih untuk tidak menyinggung perasaan
orang. "Adapun yang ketiga adalah engkau sendiri, lalu yang keempat adalah
Siwarana Sala Anuna.
Pemuda yang mempunyai banyak cacat menyedihkan telah bertemu denganku pula di
muara Kali Lanang!" jelas Gento.
Mendengar pengakuan Gento Guyon, Ambini sempat tersentak kaget, wajahnya
berubah, mata dipentang sedangkan mulut dengan bibir bagus itu terbuka lebar.
3 Beberapa saat lamanya Ambini tak mampu berucap walau barang sepatah katapun.
Semula dia menyangka Gento hanya sekedar bercanda ketika mengaku telah bertemu
dengan adiknya Siwarana. Tapi agaknya Ambini merasa perlu membuktikan kebenaran
dari ucapan pemuda itu. Hingga setelah berpikir sejenak si gadis ajukan
pertanyaan. "Gento, jika benar kau telah bertemu dengan Siwarana adikku, apakah
kau dapat menerangkan bagaimana ciri-cirinya?"
Gento tersenyum mendengar perta-
nyaan Ambini. "Kau ingin mendengarnya"
Baiklah... ciri adikmu itu wajahnya bertotol hitam, hidung pesek, mulut seperti
tikus, lebih persisnya seperti moncong musang. Kemudian badannya berjongkok,
berpunuk seperti unta. Pokok-nya ibarat pemandangan adikmu adalah pemandangan
yang paling tidak menyenangkan untuk dipandang. Apakah
penjelasanku ini sudah cukup jelas bagimu?" jawab si pemuda.
Ambini manggut-manggut, wajahnya sempat bersemu merah karena mendengar ucapan
Gento yang terlalu polos. Akan tetapi dia tidak merasa tersinggung karena apa
yang dikatakan Gento memang apa adanya.
"Lalu sekarang di mana adikku itu?"
tanya Ambini. Dalam hati dia berkata.
"Aku pernah mendengar ayah mengatakan dalam diri Siwarana tersimpan satu rahasia
besar. Jika rahasia itu dapat diselamatkan berarti kejayaan keluarganya akan
terbangkitkan kembali. Tapi jika sampai diketahui orang, kecelakaan besarlah
bagi Siwarana sendiri!"
"Adikmu saat ini bersama seseorang.
Kurasa mereka sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke suatu tempat. Kalau tak
salah aku mengingat mereka menuju ke gunung Liman, sebelah timur Ponorogo!"
Mendengar penjelasan si pemuda
Ambini sempat tercengang. "Gunung Liman, Selatan Ponorogo"!" desisnya menirukan
ucapan si pemuda. "Di sanalah tempat rahasia penyimpanan harta warisan keluarga.
Apa maksud Siwarana pergi ke tempat itu. Mungkinkah dia mau
mengangkangi seluruh harta peninggalan leluhurnya?"
"Ambini, setiap aku bicara kau selalu terkejut. Dua kali kau seperti itu.
Mungkin yang ketiga bisa jatuh pingsan! Ha... ha... ha." kata si pemuda disertai
tawa tergelak-gelak.
"Aku tidak apa-apa, yang membuatku heran mengapa dia pergi ke sana" Aku takut
Mayat Hidup muncul di sana. Jika urusannya sudah menyangkut masalah harta
siapa saja bisa terbunuh di tempat itu.
Aku berpikir mungkin ada baiknya jika aku juga pergi ke tempat itu." kata
Ambini. "Kurasa kau punya keinginan untuk mendapatkan harta itu juga?" sindir Gento
sambil memandangi wajah cantik Ambini.
Gadis itu tundukkan kepalanya. "Kau salah, kalau pun aku tak menginginkan harta
itu. Bisa jadi saudaraku yang lain akan memperebutkannya. Selain itu jika Mayat
Hidup sudah ikut campur tangan, keadaan bisa menjadi kacau!" menerangkan Ambini.
"Baiklah, aku juga harus ikut."
"Ikut?" desis Ambini. Bola matanya membesar memandang pada pemuda di depannya.
Gento tersenyum.
"Aku tahu, mungkin kau risih jalan bersamaku. Kalau tak mau kuikuti aku bisa
berangkat lebih dulu. Bagaimanapun aku harus menemui guruku. Sayang jika orang
gendut itu ikut jadi korban gara-gara harta orang. Akan sulit bagiku nanti
mencari pengganti seperti dia." kata pemuda itu disertai tawa tergelak-gelak.
Ambini hanya tersenyum, sifat si pemuda yang begitu polos membuat Ambini merasa
cepat akrab dengan Gento Guyon.
Dia kemudian mengikuti pemuda itu yang telah berjalan mendahuluinya.
*** Di satu tempat di sebelah selatan kaki gunung Liman sosok berpakaian hitam
rombeng melemparkan orang yang
dipanggulnya sejak tadi. Orang
yang dilempar mengeluh keras akibat rasa sakit yang luar biasa. Dia mencoba
menggerakkan tubuhnya. Tapi celaka, sekujur tubuhnya tak dapat digerakkan sama
sekali, kaku akibat terkena totokan.
Di depannya sosok hitam berambut panjang awut-awutan berwajah cantik dengan
dandanan mencolok, berbibir basah di bagian bawah tegak mengawasi. Di kejab
kemudian terdengar suaranya yang keras melengking. "Tidak salah penglihatanku,
kau orangnya yang kucari. Belasan tahun yang lalu seharusnya kau sudah
diserahkan padaku. Tapi ayahmu si keparat Raden Ponco Sugiri ternyata manusia
ingkar janji. Dia bukan saja tidak mau
menyerahkan dirimu, tapi malah
menyembunyikan kau di muara Kali Lanang.
Sekarang agaknya janji yang pernah diucapkan oleh ayahmu hanya tinggal berupa
kisah buruk di masa silam. Kau sudah berada dalam genggamanku, bukan hanya kau
saja, tapi seluruh saudaramu juga harus menjadi korban, mereka akan kubunuh.
Hik... hik... hik!"
Si pemuda berpakaian hitam berbadan bongkok, berhidung pesek bermulut runcing
dengan wajah bertotol hitam itu beberapa
saat lamanya nampak terperangah kaget.
Sama sekali dia tak tahu apa yang dimaksudkan oleh perempuan cantik berambut
panjang awut-awutan yang berdiri tegak di hadapannya.
Dia bahkan tak mengerti mengapa
perempuan itu menculiknya dan membawa dirinya ke Gunung Liman. Padahal jauh
sebelum itu dia bersama si kakek gendut luar biasa masih berada di luar kawasan
gunung. Saat dirinya diculik, si gendut Gentong Ketawa sedang istirahat tak jauh
dari tempat pemuda ini menunggu.
Kemudian entah dari mana datangnya tahu-tahu di belakang si pemuda muncul si
cantik ini. Tanpa banyak bicara dia langsung menotok bagian punggungnya, lalu
membawa pemuda itu pergi. Si pemuda juga masih sempat mendengar suara Gentong
Ketawa memanggil dirinya. Tapi ketika kakek itu mengejar si cantik melepaskan
satu pukulan yang menimbulkan kobaran api. Agar lebih jelas ikuti episode
"Bayar Nyawa". Kini dia memandang ke arah perempuan itu karena jalan suaranya
tidak ditotok sebagaimana bagian tubuh lain, maka dengan bebas dia ajukan
pertanyaan. "Ni sanak, apa dosa dan salahku" Mengapa kau menginginkan diriku?"
"Sesuai perjanjian aku menginginkan dirimu sejak kau belum lagi menjadi calon
bayi. Perjanjian yang terikat antara aku
dan ayahmu dengan disaksikan oleh langit dan bumi, jin, setan dan makhluk halus.
Perjanjian itu menyangkut dirimu yang aku korbankan untuk Babad Nyawa, setan
yang jadi piaraanku." Jelas si cantik yang bukan lain adalah Wowor Baji Marani
alias Arwah Darah Senggini.
Seakan tak percaya beberapa saat lamanya si pemuda nampak tercengang. Sama


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali dia tak menyangka dirinya sejak terlahir memang dijadikan alat untuk
memenuhi sebuah perjanjian. Dia yang terlahir dalam keadaan cacat begitu rupa
bagaimana ayahnya masih begitu tega melakukan tindakan sekeji itu" Sudah hidup
tak putus dirundung malang, haruskah dia terkubur di perut setan.
Perlahan mata si pemuda memandang ke arah perempuan itu. Dia lalu kembali ajukan
pertanyaan. "Perempuan cantik jika benar kau telah membuat satu perjanjian
dengan orang tuaku, sebelum aku mati. Dapatkah kau jelaskan apa saja isi
perjanjian itu."
Arwah Darah Senggini dongakkan
wajahnya, kemudian terdengar suara tawanya yang panjang melengking.
"Jahanam gila ini aku sama sekali tak ingin mati konyol di tangannya.
Apapun yang terjadi aku harus bisa
melakukan sesuatu." batin si pemuda yang bukan lain adalah Siwarana Sala Anuna.
Pada saat itu tawa dingin si cantik sudah terhenti. Dia nampak berpikir beberapa
jenak lamanya. Baru kemudian dia berkata.
"Permintaanmu kukabulkan. Kau dengar baik-baik. Sekitar puluhan tahun yang silam
ayahmu dan gurunya datang padaku. Mereka meminta aku untuk melakukan sesuatu
agar dapat mengambil alih seluruh peninggalan harta kakekmu yang telah dikuasai
oleh adik tiri ayahmu. Permintaan itu kukabulkan dengan syarat kelak ayahmu
harus menyerahkan tangan dan kaki bahkan nyawanya ditambah lagi nyawa anaknya
yang terlahir kemudian. Dia menyanggupi, dan Raden Ronggo Anom pun kemudian mati
ditangan utusanku yang dapat kupercaya. Satu hal dari
permintaan ayahmu yang tidak
kupenuhi adalah mengenai harta karun yang terpendam di tempat ini. Harta karun
itu ada di sekitar gunung ini. Harta itu harus menjadi milikku." tegas si
cantik. "Baiklah, jika memang sudah begitu kenyataan yang harus kuterima, aku juga tidak
berani membantah atau melanggar perjanjian antara engkau dan ayahku.
Orang tua itu sekarang akupun tak tahu bagaimana nasibnya. Jika kau ingin
membunuhku, bunuhlah! Siapa yang takut mati?" teriak si pemuda bongkok dengan
mata mendelik. "Hik... hik... hik. Mengenai ayahmu
sekarang dia sudah menjadi raja cacing tanah. Sedangkan mengenai niatmu yang
telah memasrahkan diri padaku sepenuhnya kuterima dengan baik. Tapi aku tak bisa
membunuhmu secepat yang kau inginkan, karena di dalam kulit tubuhmu ada sesuatu
yang harus kuketahui. Sesuatu yang menyangkut peta rahasia dan berhubungan erat
dengan tempat penyimpanan harta warisan berada!" jelas Arwah Darah Senggini.
"Kau bicara apa perempuan" Boleh saja kau geledah seluruh tubuhku. Tapi kau tak
akan mendapatkan peta apapun.
Bahkan aku sendiri tak tahu apa yang kau bicarakan!" kata si pemuda. Sambil
berkata begitu Siwarana kerahkan tenaga dalam ke bagian punggung untuk
memusnahkan totokan si cantik. Akan tetapi alangkah kagetnya pemuda ini karena
ternyata tenaga dalam yang dikerahkannya tak mampu memusnahkan totokan itu.
"Celaka! Jika begini kenyataannya, tidak mungkin aku dapat menyelamatkan diri
dari tangannya?"
"Hi... hi... hi. Bocah calon bangkai. Kau boleh bicara apa saja sebelum maut
menjemputmu. Tapi aku yang telah merencanakan segala sesuatunya bahkan jauh
sebelum kau terlahir ke dunia ini tentu tahu satu rahasia besar yang tidak
diketahui oleh orang lain!" ujar
Arwah Darah Senggini disertai tawa aneh.
Kemudian dari balik pakaiannya yang dekil dan berbau busuk dia mengeluarkan lima
buah limau besar. Beberapa saat lamanya limau ditimang-timang, sementara dua
matanya yang bening tajam dan nampak berbinar aneh terus menatap tajam ke arah
Siwarana. Sebaliknya si bongkok berwajah
dipenuhi totol-totol hitam dalam hati tak mampu menutupi rasa kagetnya. "Celaka,
aku tahu apa gunanya limau itu bagi dirinya. Jika air limau ditumpahkannya ke
sukujur tubuhku, maka tanda-tanda aneh seperti peta yang kubawa sejak lahir akan
terlihat dengan jelas. Semua ini tidak boleh terjadi. Aku harus melakukan
sesuatu untuk mencegah keinginannya, tapi apa?" rutuk si pemuda bingung.
Selagi Siwarana tengah berpikir
keras mencari jalan keluar, pada saat itu si angker telah datang menghampiri.
"Kau tahu arti semua ini bukan?"
"Aku sama sekali tidak tahu apa maksudmu!" sahut Siwarana.
Arwah Darah Senggini perlihatkan seringai. "Sesungguhnya jauh di dalam hati kau
tahu banyak hal. Tapi di hadapanku kau berpura-pura tolol. Kau dengarlah mengapa
aku tak ingin membunuhmu begitu saja. Pertama aku akan menguliti tubuhmu dalam keadaan hidup.
Setelah seluruh kulitmu kukelupas baru kemudian kulit itu kubentang. Kemudian
jika sudah kurentang seperti beduk, di atas permukaan kulit itu kutuangi cairan
limau. Andai seluruh kulitmu telah basah oleh cairan, pasti peta penyimpanan
harta itu akan muncul ke permukaan tidak ubahnya seperti tato. Dari tanda-tanda
yang muncul ke permukaan kulit itu kuharapkan dapat menemukan tempat yang pasti
di mana semua harta itu tersimpan!
Hi... hi... hi."
Mendengar ucapan si cantik
mendidihlah darah Siwarana. Baginya dia tak takut akan kematian. Tapi jika
proses kematian itu sendiri harus terjadi dengan cara begitu rupa, tentu saja
ini sangat menyakitkan sekali.
"Orang tua cantik, siapa dirimu ini yang sebenarnya?" dengus Siwarana dengan
suara keras. "Mendengar semua apa yang kau ucapkan, rasanya kau bukan hanya
sekedar ingin membunuhku, sebaliknya kau sengaja hendak menyiksa aku!"
"Kau benar. Semua ini harus terjadi akibat kelalaian orangtuamu sendiri.
Lebih dari itu agar kau tidak merasa penasaran, namaku Wowor Baji Marani. Kau
juga boleh memanggilku Arwah Darah Senggini. Sekarang segalanya sudah sangat
jelas bagimu. Kau bersiap-siaplah!"
Selesai berkata Arwah Darah
Senggini gerakkan tangannya ke telinga kiri. Telinga kiri si cantik memang
memiliki kelainan yaitu daun telinga selain panjang juga nampak sangat lebar
seperti telinga gajah, hanya jika telinga gajah terkesan lembek dan lemah,
sedangkan telinga si cantik kaku tegak.
Pada saat si cantik gerakkan tangan kanannya ke arah telinga dari mulutnya
terdengar ucapan. "Berikan sebuah golok yang paling tajam padaku. Babad Nyawa
setelah tubuh pemuda ini ku kuliti, kau bebas menjilati daging dan darahnya
sampai bersih, kalau kau suka tulang belulangnya pun boleh kau makan!" kata
Arwah Darah Senggini sambil tersenyum-senyum.
Dari bagian lubang telinga si
cantik terdengar suara menggeram lirih.
Entah dari mana datangnya kini secara tak terduga di tangan si cantik ini telah
tergenggam sebilah golok tipis berbadan lebar dan memiliki ketajaman luar biasa.
Melihat golok di tangan lawannya Siwarana mau tak mau jadi ketakutan juga.
Apalagi saat itu Arwah Darah Senggini telah berjalan ke arahnya, tubuh si cantik
membungkuk. Golok di tangan berkelebat.
Siwarana yang menyangka si cantik hendak membelah punggungnya jelas tak
mempunyai kesempatan lain terkecuali memejamkan mata karena dia menyadari sejak
tadi telah gagal membebaskan diri dari pengaruh totokan lawannya.
Breet! Breet! Terdengar suara robeknya pakaian beberapa kali. Di lain saat baju hitam yang
dipakai oleh Siwarana jatuh di antara dua lengannya. Siwarana merasa tengkuknya
menjadi dingin, pemuda itu menggigil didera rasa takut yang amat sangat. Seumur
hidup baru kali ini dia merasa ketakutan seperti itu. Sebaliknya Arwah Darah
Senggini tertawa tergelak-gelak.
Begitu tawa angker si cantik
lenyap. Dari satu arah tepat di bagian lereng gunung mendadak sontak terdengar
ada satu suara berkata. "Manusia terkutuk yang mengaku bernama Wowor Baji Marani
bergelar Arwah Darah Senggini. Buat apa kau bersusah payah menguliti bocah
bungkuk itu" Kau ingin mendapatkan peta yang tersembunyi di bawah permukaan
kulit pemuda itu" Ha... ha... ha. Kau ini memang manusia paling tolol sedunia.
Aku yang tak memakai peta saja telah menemukan di mana harta keluarga Raden
Ponco Sugiri disimpan. Hem, ternyata hartanya sangat banyak, terdiri dari emas,
intan dan permata. Harta ini tak mungkin kukangkangi sendiri!"
Arwah Darah Senggini melengak kaget dan langsung berpaling ke arah datangnya
suara. Namun dia tak melihat siapapun di sana. Di lereng gunung kembali diwarnai
kesunyian. Si cantik kitarkan pandangan matanya ke arah pohon-pohon besar,
lamping batu dan juga semak belukar yang menghalangi pandangan mata. "Suara
mahluk celaka apa lagi yang baru kudengar sekejap tadi. Suara itu datang dari
arah lereng gunung itu. Mengapa mendadak lenyap." Pikir si cantik.
"Wajahmu pucat, tubuh bergetar apakah kau takut?" dengus Siwarana.
"Pemuda bungkuk keparat tutup mulutmu!" teriak si cantik berang. Dia kemudian
kembali memusatkan perhatiannya ke arah mana suara tadi berasal. "Manusia
pengecut, berani bicara tapi tak berani unjukkan diri. Jika kau benar-benar
telah menemukan harta itu sebaiknya cepat temui aku di sini! Harta itu bukan
milikmu, sesuai perjanjianku dengan Raden Ponco Sugiri harta itu adalah
milikku." seru si cantik dalam hati dia berkata. "Jika bangsat itu mau diajak
bicara dan terbukti harta itu ada padanya dia pasti kubunuh. Kemudian pemuda ini
kuserahkan pada Babat Nyawa. Apapun yang akan dilakukan mahluk piaraanku
terhadap pemuda ini terserah padanya."
"Ha... ha... ha! Harta ini bukan milik siapa-siapa. Aku menemukannya dalam satu
ruangan terkubur di balik lubang gua
di sebelah barat gunung ini. Sekarang harta itu baru saja kuambil sebagian,
separahnya lagi tentu untukmu. Jika kau mau, ambillah sendiri sisanya. Sekali
lagi kujelaskan. Harta itu ada dalam sebuah lubang di sebelah barat gunung
Liman. Letaknya dalam gua, jangan lupa, banyak jebakan di sana. Salah saja kau
melangkah nyawamu tidak akan ketolongan!"
"Jahanam keparat!" maki si cantik bingung. Dia merasakan suara itu datang dari
empat penjuru arah. "Bagaimana bisa terjadi begini" Aku yakin siapapun adanya
bangsat yang bicara tadi pasti memiliki ilmu mengacaukan suara. Dia pasti bukan
orang sembarangan!" pikirnya lagi.
"Arwah Darah Senggini, dari kejauhan ini aku melihat keraguanmu. Kau tak punya
nyali untuk datang ke sebelah timur gunung, masuk ke dalam gua dan mengambil
harta di dalam lubang
penyimpanan di dalam perut gua. Atau kau ingin agar aku mengambil semuanya. Aku
pasti mau saja. Aku bisa jadi kaya raya, aku bisa mendirikan sebuah kerajaan.
Jika aku menjadi raja, kau pasti akan kuangkat menjadi orang kepercayaanku yang
bertugas sebagai tukang mengurus kotoran kuda.
Dengan begitu martabat hidupmu sedikit lebih terhormat daripada yang sekarang.
Ha... ha... ha!"
Mendengar ucapan orang yang terasa
sangat meremehkan dirinya, mendidihlah darah si cantik. Apalagi bila menyadari
sejak tadi Siwarana yang dalam keadaan tertelungkup di tanah terus tersenyum
mengejek. "Pemuda keparat! Tunggu di sini, bagianmu pasti kuberikan. Aku akan menuju ke
sebelah barat bukit. Jika ternyata harta itu tak ada, kau dan bangsat yang tidak
berani unjukkan diri itu akan mendapat ganjaran yang sangat berat dariku!"
teriak Arwah Darah Senggini.
"Orang tua cantik. Orang yang menghinamu mengapa aku yang harus menanggung
akibatnya?" dengus Siwarana.
Dalam hati pemuda ini berkata. "Siapa orang itu" Suaranya seperti aku kenali.
Tapi mengapa datang dari empat arah begitu" Apakah mungkin yang bicara tadi
empat orang?"
Dalam pada itu selagi Arwah Darah Senggini siap menuju ke sebelah barat lereng
gunung kembali suara tadi terdengar lagi. "Tunggu apa lagi perempuan palsu.
Perlu kutegaskan sekali lagi. Tadi sebelum kutinggalkan gua rahasia tempat
penyimpanan harta aku melihat ada dua orang mendekam tak jauh dari gua yang
kutinggalkan. Kurasa mereka sebangsanya rampok hutan dan begal kecil.
Sebaiknya kau jangan membuang waktu lebih lama. Cepat kau datang ke sana, siapa
tahu mereka belum jauh dari tempat itu!
Ha... ha... ha."
Arwah Darah Senggini tercengang, kedua pipinya menggembung besar, kedua mata
berkilat tajam menyimpan amarah dan rasa penasaran. Tanpa berpikir lebih lama
dia tinggalkan Siwarana Sala Anuna.
Sambil berkelebat pergi si cantik masih sempat berucap ditujukan pada suara
tadi. "Harta itu sangat kuinginkan. Tapi jika kau menipu, walau aku cuma mendengar
suaramu, kau pasti akan kucari biar bersembunyi di liang neraka sekalipun!"
Tak ada jawaban terkecuali suara tawa panjang yang seakan datang dari empat
penjuru arah. 4 Hanya beberapa saat setelah Arwah Darah Senggini berlalu dari tempat itu dari
rerimbunan pohon besar di lereng gunung Liman berkelebat satu sosok berbadan
tinggi luar biasa ke arah Siwarana. Sosok gendut besar dengan bobot lebih dari
dua ratus kati jejakkan kakinya di samping si pemuda tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Melihat siapa yang datang maka legalah hati Siwarana Sala Anuna.
"Kakek... beruntung sekali kau cepat muncul. Apakah kau benar-benar telah
menemukan harta itu?" tanya si pemuda.
Si gendut yang bukan lain adalah Gentong Ketawa geleng kepala. Sambil bersungut-
sungut dia keluarkan sebuah benda bulat berwarna hitam. Benda itu tanpa bicara
lagi langsung disumpalkan ke mulut si pemuda. "Telan!" perintah si kakek.
Tak tahu apa maksud orang tua itu sambil gelagapan dia mencoba mengajukan
pertanyaan. Tapi Gentong Ketawa langsung menekan dan mengurut tenggorokan
Siwarana. "Hegkh...!"
Benda itu amblas memasuki
tenggorokan si pemuda. Tak urung matanya sempat mendelik karena besarnya benda
hampir tak dapat melewati tenggorokannya.
"Auuu... aku, kau beri apa barusan tadi?" tanya si pemuda dengan bersusah payah.
"Manusia tolol, keselamatan dirimu saja tak ada yang berani menjamin. Masih
sempat-sempatnya kau bertanya tentang segala macam harta sialan itu!" kata
Gentong Ketawa setengah mengomel. Selesai bicara dia hantam punggung Siwarana
tepat di bagian yang terkena totokan.
Hantaman yang sangat keras memang mampu memusnahkan totokan di bagian
punggung pemuda itu. Tapi akibatnya Siwarana menggeliat kesakitan, bagian
punggungnya seperti dihantam palu godam.
"Orang tua sinting, kau... kau hendak membunuhku!" pekik Siwarana.
Badannya menggeliat, melintir bagaikan orang yang meregang nyawa.
"Setan, kalau aku mau membuatmu mampus bukan begini caranya. Lebih baik
kupecahkan batok kepalamu sejak tadi."
gerutu si kakek. Dia lalu menarik tangan Siwarana hingga membuat pemuda itu
bangkit berdiri. "Tidak ada waktu untuk bicara panjang lebar. Sebaiknya kau ikut
denganku kembali bersembunyi di lereng sebelah sana."
"Kek... aku tidak dapat pergi begitu saja. Aku ingin mengejar perempuan tadi!"
sergah Siwarana sambil menepiskan tangan Gentong Ketawa. Diam-diam si pemuda
jadi kaget ketika menyadari bukan saja cekalan si kakek sulit dilepaskan, tapi
juga akibat gerakan meronta yang dilakukannya membuat tangannya yang dicekal
Gentong Ketawa laksana dijepit baja.
"Sekali lagi kau hendak berlaku tolol. Kepandaianmu baru seupil sudah berani
membusungkan dada hendak menentang perempuan iblis itu. Ayo ikut!" dengus si
kakek gendut. Sekali sentak Siwarana merasa tangannya dibetot dan tubuhnya
melayang laksana dibawa terbang. Hanya sekejap saja mereka telah berada di
antara gerumbul semak belukar.
"Kek... mengapa kau melarangku. Kau tahu ayahku jadi sengsara akibat ulahnya.
Bukan hanya ayah, tapi keluarga kami juga tercerai-berai karena perbuatannya."
Ada rasa tidak senang dalam nada ucapan Siwarana. Kesal rasanya Gentong Ketawa
melihat sikap si pemuda yang terlalu keras kepala.
"Belum tentu perempuan tadi berada di pihak yang kau katakan. Bisa jadi ayahmu
yang membuat satu kekeliruan.
Bagaimana kau bisa tahu kejadian yang sebenarnya, sedangkan ketika itu kau masih
menjadi air. Sekarang jika kau tak mau mendengar saranku silahkan kau susul
setan tadi. Apapun yang akan terjadi nanti aku tidak mau menolong, tidak pula
mau membantu. Dengan ilmu kepandaian yang kau miliki sekarang ini di hadapannya
kau tidak mempunyai arti apa-apa."
Sebenarnya Siwarana merasa kesal
karena dirinya diremehkan terus-menerus.
Tapi dia pada akhirnya menyadari apa yang dikatakan oleh Gentong Ketawa memang
ada benarnya. Beberapa jenak lamanya si pemuda terdiam, dia lalu ingat sebelum kakek gendut
itu membebaskan totokannya dengan pukulan yang mampu membuat orang biasa


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pingsan dia ada memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Sesuatu berwarna hitam
yang terasa panas membakar ketika melewati tenggorokannya.
"Kek...!"
Si orang tua diam saja, malah kini dia menoleh ke jurusan di mana tadi Siwarana
berada sambil mementang mata.
"Kakek gendut. Tadi benda bulat hitam yang kau berikan padaku itu apa namanya?"
tanya si pemuda khawatir. Dia takut Gentong Ketawa meracuninya.
Si kakek menoleh, tapi hanya
sekejap. Setelah itu dia kembali memandang ke lapangan gundul di kaki gunung.
Dengan sikap acuh dia menjawab.
"Aku kurang tahu pasti. Bisa jadi kotoran hewan, mungkin juga kotoran kampret.
Yang jelas benda itu pasti ada artinya bagimu.
Setelah menelan benda itu kujamin Arwah Darah Senggini tidak berminat lagi pada
kulitmu. Bisa jadi begitu bertemu kembali denganmu dia langsung membunuhmu!
Ha... ha... ha!" kata si kakek disertai tawa berderai. Tapi ketika sadar bahwa
sebenarnya mereka sengaja sembunyi di tempat itu dengan cepat si kakek menekap
mulutnya. "Kek... kakek gendut mengapa tiba-tiba saja kulitku jadi begini"!" seru
Siwarana. Si kakek cepat menoleh, dia jadi melengak kaget begitu melihat
sekujur tubuh si bongkok telah berubah menghitam seluruhnya. Dimulai dari bagian
wajah, leher, badan, tangan dan kaki semuanya berubah hitam macam arang.
"Kau apakan diriku, kau beri apa aku tadi" Mengapa aku jadi begini?" pekik
Siwarana sambil memperhatikan telapak tangannya yang juga ikut menghitam.
Dari rasa kaget, kini setelah
menyadari segala sesuatunya Gentong Ketawa tak mampu lagi menahan geli. Dia
tertawa terkekeh-kekeh. "Bagus, kulitmu sudah gosong macam pantat kuali. Dengan
begitu walaupun nenek setan tadi mengguyur kulitmu dengan cairan jeruk pulang
balik peta yang ingin dilihatnya pasti tak akan pernah muncul. Ha... ha...
ha." kata si kakek sambil memengangi perutnya. Dia kemudian melanjutkan. "Kau
tak perlu merasa gusar. Serbuk arang yang kau makan tadi tidak berbahaya. Malah
keadaanmu yang seperti ini akan
menguntungkan dirimu sendiri. Bagus sekali. Kurasa inilah cara satu-satunya
untuk menolong dirimu."
Siwarana tak mampu bicara. Apa yang terjadi pada dirinya jelas merupakan sebuah
kenyataan yang sulit untuk dipercaya. Tapi bila ingat akan peta harta yang konon
menyatu dengan kulitnya.
Mungkin tindakan gila yang dilakukan Gentong Ketawa memang ada benarnya.
Menurut ayah Siwarana, bila tubuhnya tersiram cairan limau, maka di permukaan
kulit akan muncul tanda-tanda tertentu yang menjadi petunjuk satu-satunya di
mana harta peninggalan leluhurnya itu berada. Sedangkan mengenai bagaimana peta
rahasia itu bisa berada di kulit punggungnya. Sebagaimana yang pernah diuraikan
dalam episode 'Bayar Nyawa', Arwah Darah Senggini memerintahkan Babat Nyawa
mahluk gaib piaraannya memindahkan peta yang asli ke tubuh Siwarana semasa
pemuda cacat itu berada dalam kandungan ibunya. Kini setelah tubuhnya menghitam
tentu tak mungkin lagi bagi Arwah Darah Senggini bisa menemukan tanda-tanda
rahasia penting yang ingin dilihatnya di tubuh Siwarana. Diam-diam pemuda itu
merasa kagum melihat jalan pikiran orang tua itu.
"Kek... walaupun tubuhku telah berubah seperti arang gosong seperti ini, aku
merasa berterima kasih setelah menyadari maksud dan tujuanmu. Sekali lagi aku
yang bodoh ini mengucapkan terima kasih!" kata si pemuda sambil membungkukkan
badan. Gentong Ketawa menanggapinya dengan tersenyum. "Tak perlu berterima kasih tak usah memakai segala peradatan. Segala sesuatunya masih
belum berakhir.
Perempuan itu bagaimanapun pasti akan
mencarimu lagi. Bukan hanya kau, dia juga pasti mencariku."
Mendengar ucapan si kakek Siwarana jadi kaget. "Kek, apakah kau telah
menipunya?" tanya si pemuda.
Gentong Ketawa sekali lagi
mengumbar senyumnya. "Aku tidak pernah menipu orang. Kebanyakan manusia itu
tertipu karena kebodohan dirinya sendiri.
Ha... ha... ha!" menjawab si kakek gendut disertai tawa mengekeh.
Siwarana terdiam dan gelengkan
kepala. Dia kini semakin menyadari bahwa sesungguhnya jalan pikiran si gendut
selain rumit juga tak gampang ditebak.
*** Kita tinggalkan Gentong Ketawa dan pemuda cacat itu. Kini kita ikuti si Arwah
Darah Senggini yang sedang dalam perjalanan menuju ke sebelah barat gunung
Liman. Sejak mendengar ucapan suara orang yang datang dari lereng gunung,
sebenarnya perempuan cantik ini ingin sekali merampas harta yang menurut
pengakuan pemilik suara itu telah berada di tangannya. Tapi Arwah Darah Senggini
kemudian berubah pikiran. Jika benar harta itu tersimpan di dalam sebuah gua di
sebelah barat lereng gunung
sebagaimana yang dikatakan oleh suara.
Bukan mustahil masih banyak harta lain termasuk juga beberapa jenis senjata
sakti yang konon sengaja disimpan oleh leluhur Raden Ponco Sugiri di tempat itu.
Tadi orang yang bicara namun tak mau unjukkan diri tidak ada menyebut tentang
segala macam senjata terkecuali harta yang telah diambilnya. Ini berarti senjata
pusaka yang disimpan bersama harta warisan masih belum ditemukan.
Ingat akan semua ini membuat Arwah Darah Senggini sambil berlari menelusuri
lereng gunung tersenyum sendiri. "Dasar manusia tolol. Dia boleh saja memiliki
kesaktian tinggi dan juga penglihatan yang jeli.
Tapi apa gunanya jika pedang Pembantai Iblis yang konon ikut disembunyikan
bersama harta kekayaan itu tidak ditemukannya. Padahal Pedang itu sangat
penting. Konon siapapun yang memiliki senjata sakti mandraguna ini bisa
dipastikan dapat menguasai hampir seluruh bagian dunia. Hik... hik... hik! Tak
ada orang lain yang pantas memiliki senjata maut itu terkecuali diriku!" kata si
cantik. Beberapa saat kemudian Arwah Darah Senggini hentikan langkah. Dia
menarik nafas pendek, sedangkan kedua matanya yang nyaris tenggelam ke dalam
rongganya berputar liar merayapi bagian lereng gunung yang ditumbuhi pepohonan
berdaun lebat. "Siapapun pendahulu Raden Ponco Sugiri yang kaya itu, dia pasti seorang manusia
yang amat cerdik. Tempat ini terlindung dari penglihatan orang.
Sekarang aku berada di sebelah barat lereng gunung, hanya tinggal mencari di
mana letak gua itu!" pikir si cantik.
Setelah itu dia menelusuri lereng gunung yang dipenuhi pepohonan besar dan semak
belukar. "Aku tidak menemukan gua itu. Hem, mungkinkah dia membohongi akui" pikir Arwah
Darah Senggini mulai diliputi rasa gelisah dan hati bimbang. Karena penasaran si
cantik kemudian mulai mengobrak-abrik seluruh tempat itu. Di lain kejap si
cantik menyeringai. "Aku telah menemukannya. Ternyata dia tidak berdusta!"
serunya begitu melihat sebuah gua kecil yang terlindung ranting dan daun-daun
lebat berada tepat di depannya.
Sekali berkelebat si cantik telah sampai di depan mulut gua. Bagian dalam gua
ternyata dalam keadaan gelap gulita.
Arwah Darah Senggini gosok-gosokkan kedua tangannya. Setelah itu dia mengalirkan
tenaga dalam ke bagian tangan itu.
Sret! Pyaar! Dari telapak tangan si cantik
sampai ke bagian siku tiba-tiba saja memancar cahaya putih berkilauan.
Sehingga suasana ruangan dalam gua yang
gelap gulita jadi terang benderang. Tapi seiring dengan cahaya yang menerangi si
cantik mendadak jadi kaget, wajahnya berubah pucat begitu melihat kenyataan yang
ada ternyata tidak sesuai dengan apa yang diangankannya! Di bagian lantai gua
yang luar bukan terdapat emas atau permata sebagaimana yang dikatakan oleh suara
tadi, melainkan tumpukan tulang belulang manusia.
"Jahanam celaka! Aku telah
ditipunya! Suara keparat itu!" teriak Arwah Darah Senggini. Mata si cantik
berkilat tajam, kedua tangan terkepal, geraham bergemeletukan menahan amarah.
Dengan langkah gemetar dan nafas terasa menyesak dia segera melakukan
pemeriksaan di bagian dalam gua. Karena bagian dalam gua semakin bertambah
gelap, maka Arwah Darah Senggini terpaksa lipat gandakan tenaga dalamnya. Sampai
di salah satu sudut gua langkahnya terhenti. Dia melihat ada sebuah pintu batu
di sudut gua ini. Setelah memperhatikan pintu tersebut agak lama, perlahan
kemarahan di hatinya berangsur surut. Timbul sedikit harapan untuk mendapatkan
apa yang dia inginkan. Sehingga tanpa pikir panjang lagi dia pun langsung
mendorong pintu batu itu.
Dengan kedua tangan yang meman-
carkan cahaya pintu didorongnya. Tapi
sedikitpun pintu batu tidak bergeming apalagi terbuka. Melihat kenyataan ini
semakin bertambah besarlah harapan Arwah Darah Senggini. "Aku hampir merasa
pasti dibalik pintu ini pasti tersimpan harta itu. Hanya kurasa orang yang tidak
berani unjukkan diri tadi telah menutupnya kembali atau sengaja mengunci alat
yang ditemukannya." kata orang tua itu. Dia lalu mencari batu tombol pembuka
pintu batu di sekitar dinding. Karena tidak ditemukan alat itu, si cantik lalu
memeriksa bagian lantai gua. Di bagian ini dia menemukan satu lubang berbentuk
empat persegi seukuran telapak tangan. Di bagian lubang dia melihat sebuah
rantai baja yang di bagian ujungnya terdapat bandul batu panjang. Batu itu
agaknya sebagai alat untuk menggerakkan rantai yang berhubungan langsung dengan
pintu batu. Akan tetapi sekali lagi si cantik harus menelan rasa kecewanya
karena batu penggerak rantai
ternyata sengaja
dihancurkan oleh seseorang.
"Jahanam! Sungguh licik dia! Dia hancurkan batu ini agar orang lain tidak bisa
mengambil harta ataupun pedang Pembantai Iblis. Awas! Kematian telah kutetapkan
bagimu. Kau tak akan lolos dari tanganku!" geram Arwah Darah Senggini dengan
wajah merah padam. Sekali lagi dia pandangi pintu batu. Setelah itu
dia bangkit berdiri, mulutnya yang selalu berkomat-kamit seperti seorang dukun
menggereng. "Tak ada jalan lain. Akan kuhancurkan saja pintu ini!" Selesai
berkata Arwah Darah Senggini rentangkan kedua kaki sambil melangkah mundur
mengambil jarak. Tidak terpikirkan lagi olehnya bagaimana seandainya langit-
langit gua mendadak runtuh begitu dia melepaskan pukulan. Dia bisa terkubur
hidup-hidup di tempat itu.
Dua tangan lalu dikibaskan, sinar putih yang memancar dari kedua tangannya
mendadak padam hingga membuat gua menjadi gelap pekat kembali. Beberapa saat
kemudian kedua tangan segera dialiri tenaga dalam, mulut berkemak-kemik
sedangkan tubuh si cantik nampak menggeletar pertanda dia mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dia miliki.
Dalam waktu sekejap dari telapak tangan Arwah Darah Senggini memancar cahaya
biru terang. Ini merupakan salah satu pukulan andalan yang dimiliki si cantik.
Jangankan manusia atau batu, besi sekalipun akan hancur leleh bila terkena
pukulan maut itu. Beberapa saat berlalu, detik berikutnya si cantik hantamkan
kedua tangannya ke arah pintu batu.
Wuuus! Angin menderu, hawa panas membakar menyertai berkelebatnya sinar biru
menyilaukan mata. Suasana di dalam gua mendadak sontak berubah panas mengerikan
laksana berada di neraka. Bummmm! Terjadi ledakan dua kali berturut-turut.
Dinding dan langit-langit gua terguncang hebat, pintu batu jebol, hancur
berkeping-keping dikobar api. Si cantik kembali kibaskan tangannya. Mendadak
kedua tangan kembali berkilauan memancarkan cahaya putih menyilaukan mata.
Setelah tangan yang bercahaya menerangi ruangan itu si cantik julurkan kepala
melihat ke balik pintu yang hancur berkeping-keping. Di balik pintu dia tak
melihat apa-apa terkecuali kegelapan semata karena pancaran cahaya dari
tangannya tak sanggup menembus kepekatan di balik pintu batu. Tapi sebelum si
cantik mengambil keputusan untuk meneliti ke dalam, pada saat itu pula terdengar
suara berdengung disertai suara bergemuruh aneh.
Dengan mata melotot si cantik
memandang ke arah kegelapan di balik pintu. Dalam hati dia berkata. "Aku, aku
mendengar suara seperti lebah pindah sarang. Jangan-jangan...!" Arwah Darah
Senggini mendadak diliputi kebimbangan.
Kebimbangan si cantik belum lagi lenyap ketika suara dengung yang tadinya cukup
jauh kini terasa lebih dekat. Hanya sekejap kemudian dari balik kegelapan
bermunculan ratusan lebah penyengat
sebesar ibu jari tangan menyerang Arwah Darah Senggini.
"Akh... jahanam keparat! Bangsat itu telah menipuku! Akh... lebah celaka."
Aku harus menyingkir dari gua celaka ini secepatnya!" teriak si cantik kaget
juga panik. Tapi dalam kagetnya ini si cantik tidak kehilangan kewaspadaannya.
Sebelum dia berlari menghambur keluar di mulut gua dia memutar kedua tangannya.
Angin menderu membentuk perisai diri. Ratusan lebah yang menyerang si cantik
jatuh terpelanting. Sebagian di antaranya ber-kaparan tewas, sedangkan sisanya
yang selamat kembali menyerang dengan kecepatan berlipat ganda.
"Binatang keparat!" maki si cantik.
Dia nampak kalang kabut dan kerepotan sekali. Tanpa pikir panjang dia lepaskan
pukulan berturut-turut ke delapan penjuru arah. Sambil melepaskan pukulan si
cantik itu berkelebat keluar, lari terbirit-birit selamatkan diri.
Di belakang si cantik terdengar
suara ledakan keras menggelegar disertai suara bergemuruh runtuhnya gua itu.
Debu, batu dan pasir beterbangan di udara.
Sebagian besar lebah itu terpanggang di dalam gua yang runtuh sedangkan sisanya
berputar-putar di atas reruntuhan gua.
Setelah berada di tempat yang aman Arwah Darah Senggini hentikan larinya.
Nafas si cantik mendengus-dengus seperti seekor kuda kurus yang baru saja
berlari menempuh jarak yang jauh. Wajah angkernya pucat pasi, sekujur tubuh
basah bersimbah keringat.
"Suara itu sungguh tak kuduga berani menipuku. Aku Arwah Darah Senggini masih
kena dikadalinya. Hemm... dia harus merasakan pembalasanku!" geram si cantik.
Di tengah rasa kecewa dan amarah yang amat sangat dia teringat pada Siwarana.
"Pemuda itu sebaiknya kubunuh saja, baru setelah itu kuambil kulitnya!" gumam
Arwah Darah Senggini sambil menyeka dagunya yang meneteskan keringat.
Kemudian tanpa menunggu lebih lama dia segera tinggalkan tempat itu, kembali ke
sebelah selatan bukit.
5 Setelah tidak menemukan saudara tua di tempat kediaman yang terletak di daerah
Wonogiri, Aripraba yaitu putera kedua Raden Ponco Sugiri almarhum tanpa tujuan
menuju ke arah selatan. Di satu dusun sepi bernama Munjul Dadane dia singgah
sejenak untuk melepas lelah sekalian menyerap kabar tentang sanak keluarganya
yang tercerai-berai tak karuan rimbanya. Walaupun kejayaan keluarga Raden Ponco
Sugiri sudah redup
kehilangan pamornya. Namun cukup banyak juga orang tua atau sesepuh dusun itu
yang masih mengenal Aripraba. Apalagi mengingat semasa kecil dulu pemuda
berpakaian serba hitam ini memang sering bermain ke dusun itu.
Di antara sekian banyak orang yang menyambut kehadiran Aripraba adalah salah
seorang laki-laki tua yang biasa dipanggil dengan Akik Sarawana. Orang tua
berwajah tirus berambut putih dan memelihara jenggot panjang ini kelihatan masih
seperti dulu. Walau sudah sangat tua namun tubuhnya masih kekar dan sehat,
sedangkan tatap mata si kakek mencorong tajam berwibawa. Ketika melihat
kemunculan Aripraba, si kakek langsung menghampiri sambil berucap. "Gusti Allah
Maha Besar. Baru saja tadi malam saya bermimpi Raden menemui saya. Tidak
disangka hari ini mimpi itu menjadi kenyataan." ujar Akik sambil merangkul
Aripraba yang semasa kecil dulu sudah menganggap Akik Sarawana sebagai kakek
sendiri. Aripraba balas memeluk laki-laki itu. Beberapa saat kemudian dia
melepaskan pelukannya sambil berkata.
"Akik, jangan lagi engkau memanggilku Raden. Rasanya aku sudah tidak pantas lagi
menyandang gelar bangsawan seperti itu. Aku sekarang adalah seorang
pengembara. Di sini aku hanya singgah sebentar saja, aku butuh beberapa
keterangan. Siapa tahu Akik dapat membantuku!"
Akik Sawarana tersenyum memper-
lihatkan giginya yang ompong di sana-sini. Dia pandangi pemuda gondrong sejenak
lamanya. Walaupun Aripraba tidak mengatakannya. Namun si Akik agaknya tahu bahwa
ketika itu sangat banyak beban persoalan yang menghimpit pikiran Aripraba. Masih
dengan suara lembut seperti dulu sang Akik berkata. "Den, sebaiknya mampirlah
dulu ke rumah saya sebentar saja. Di sana Raden bisa melepas lelah, saya akan
menyuruh nini Sukoweni istri saya membuat kopi gula batu kesukaan Raden!" ajak
Akik Sarawana agak memaksa. Dia bahkan menarik tangan kiri Aripraba sehingga
membuat pemuda itu tak berani menolak keinginan si kakek yang sudah dianggapnya
keluarga sendiri.
Sepanjang jalan menuju ke rumah
Akik Sarawana yang cukup jauh itu si orang tua banyak cerita tentang per-
kembangan dusunnya.


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keadaan tidak seperti dulu lagi, den. Daerah ini adalah dusun tandus.
Musim hujan sulit diharapkan kedatangan-nya. Bencana kelaparan sudah sering
terjadi. Dulu segalanya masih lebih gampang ketika Raden tinggal di Wonogiri.
Raden dan keluarga Raden sering membantu kami para warga dusun. Tapi sekarang
semua itu hanya tinggal kenangan yang indah. Oh iya, mengenai saudara tua Raden,
ee... siapa namanya?" tanya Akik Sarawana yang lupa mengingat nama orang.
"Danang Pattira"!" ujar Aripraba.
Akik Sarawana manggut-manggut, tapi wajahnya terlihat murung.
"Akik, jika kau memang melihat saudara tuaku itu harap, Akik mau memberitahu di
mana dia berada! Terus terang saat ini aku memang sedang mencarinya!" ujar
Aripraba sambil memperhatikan wajah si Akik tua yang entah mengapa mendadak saja
berubah murung.
Di sampingnya Akik Sarawana menarik nafas
pendek, dia gelengkan kepala
sebelum pada akhirnya membuka mulut berucap. "Baru saja tadi pagi saya melihat
Raden Danang Pattira muncul di dusun ini Raden. Saya yang saat itu baru hendak
pergi ke sawah menegurnya, tapi aneh dia bersikap seakan tidak mengenali diri
saya. Saya melihat ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi dalam diri Raden
Danang...." kata Akik Sarawana agak hati-hati.
Mendadak langkah Aripraba terhenti, tangan kanannya bergerak ke samping menahan
dada si Akik hingga langkah orang tua ini jadi tertahan. "Kau mengatakan
telah terjadi ketidakberesan dalam diri kakakku" Tidak beres bagaimana, Akik?"
desis si pemuda.
"Sulit saya menjelaskannya Raden.
Saya melihat tatap matanya yang dingin menerawang kosong. Mungkin.. mungkin...!"
Tak sanggup kakek itu menjelaskan segala yang dilihatnya. Dia mengusap
tengkuknya yang mendadak berubah dingin.
"Akik, aku percaya padamu. Harap kau jangan membuat pusing kepalaku!"
tegas Aripraba.
Yang ditegur menoleh ke kanan dan kiri jalan. Seakan dia ingin memastikan kalau
di tempat itu tak ada orang lain terkecuali mereka berdua. Setelah merasa dalam
keadaan aman dia berkata dengan suara perlahan sekali. "Mungkin, mungkin...
Raden Danang telah dimasuki kekuatan iblis. Karena setelah berpapasan dengan
saya dia membantai beberapa laki-laki yang dijumpainya."
"Hah"!" Aripraba jadi tercekat.
"Bagaimana mungkin saudaraku yang berhati lembut dan suka akan syair bisa
berubah sekejam itu?" pikir si pemuda.
"Raden, sebaiknya cepat ikuti saya.
Segala sesuatunya akan menjadi enak bila kita bicarakan di rumah saya," ujar si
Akik. Aripraba anggukkan kepala. Dia kemudian segera mengikuti orang tua itu
yang sudah melangkah mendahuluinya.
Tak berselang lama mereka telah
sampai di depan sebuah rumah berpagar bambu beratap ilalang. Bagian pintu depan
rumah dalam keadaan tertutup. Saat itu suasana terasa demikian sepi hingga
mengundang rasa curiga bagi si kakek tua.
"Aneh, ke mana perginya nini Sukoweni. Jika dia pergi ke rumah tetangga tentu
pintu tidak dibiarkan terbuka begini rupa.
Sungguh teledor
sekali dia. Bagaimana kalau ada pencuri masuk ke dalam sana?" Akik Sarawana
mengomel sendiri. Kakek ini lalu memanggil istrinya. Sekali sampai dua kali
tetap tak ada jawaban. Si Akik geleng kepala. "Dasar perempuan, kalau sudah tua
gampang lupa dan semakin
pikun." "Sebaiknya kita lihat saja ke dalam, Akik." usul Aripraba yang entah mengapa
mendadak perasaannya jadi tidak enak.
"Baiklah." Akik Sarawana menyetujui. Baru saja si Akik hendak melang-kahkan kaki
dengan diikuti Aripraba.
Tanpa terduga dari dalam ruangan tamu melesat satu sosok tubuh ke arah mereka.
Menyangka sosok yang melesat dari bagian pintu itu adalah orang yang hendak
menyerang mereka, maka Aripraba pun siap melepaskan pukulan untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak diingini. Gerakan
tangan yang hendak menghantam ke depan mendadak batal begitu melihat sosok yang
melesat tadi menukik ke bawah dan jatuh bergedebukan sejarak setengah tombak di
depan Akik Sarawana.
Dalam kagetnya si Akik melompat
mundur sejauh satu langkah. Matanya dipentang memandang dengan teliti ke arah
orang yang baru saja terbanting di depannya. Begitu mengenali siapa adanya orang
yang terkapar di tanah dengan leher putus dan dada berlubang itu maka menje-
ritlah laki-laki tua ini.
"Nini... Nini Sukoweni istriku bencana apa yang telah terjadi pada dirimu?"
pekik Akik Sarawana. Dengan tubuh gemetar dan muka pucat orang tua ini
menghambur dan jatuh akan diri di samping sosok istrinya yang telah berubah
menjadi mayat dengan luka mengerikan. Dia menangis sesunggukan sambil memeluki
jasad nenek tua yang berlumur darah.
Aripraba sendiri tidak tega menyak-sikan kesedihan si Akik. Dia cepat palingkan
wajahnya memandang tajam ke arah pintu di mana jasad Nini Sukoweni berasal.
"Siapa orangnya yang begitu tega membunuh nini
secara keji begini?"
membatin pemuda itu dalam hati. Pemuda ini lalu berteriak. "Siapapun orangnya
yang bersembunyi di dalam sana sebaiknya
cepat keluar!" seru Aripraba dengan suara lantang. Beberapa saat si pemuda
menunggu. Ternyata tidak ada jawaban dan tidak ada pula orang yang keluar.
Sekali lagi dia berseru. "Dajal keparat yang berada di dalam rumah, kau tak
berani unjukkan diri. Apakah perlu kau kuseret dari dalam situ"!"
Mendadak terdengar suara mendengus panjang disertai suara racau tak jelas
seperti suara orang sinting yang sedang angot kambuh penyakitnya. Setelah itu
suara racau hilang berganti dengan suara tawa. Bersamaan dengan terdengarnya
suara tawa itu satu bayangan serba putih berkelebat, keluar melewati pintu yang
terkuak lebar. Hanya sekejapan saja di depan Aripraba dan Akik Sarawana yang
sedang menangis sambil memangku jenazah istrinya berdiri tegap seorang pemuda
tampan berambut gondrong. Melihat siapa adanya pemuda ini Aripraba jadi melengak
kaget. Akik Sarawana bahkan hentikan tangisnya, lalu melompat menjauhi mayat
nini Sukoweni. Dengan mata merah bersimbah air mata dan bibir gemetar dia
berseru. "Raden inikah orangnya yang telah membunuh istri saya?"
"Kau benar Akik. Seperti katamu mata kakang Danang Pattira menerawang kosong.
Ada yang tidak beres telah terjadi pada dirinya." sahut si pemuda
dengan suara lirih. Sekejap dia pandangi pemuda itu, sementara di depannya sana
Danang Pattira juga memandang tajam ke arahnya disertai seringai aneh, dingin
menggidikkan. "Kau... bukankah kau kakang Danang Pattira?" tanya si pemuda.
Di depannya sana Danang Pattira.
tidak menyahut. Hanya tatap matanya saja yang memandang kosong silih berganti ke
arah Aripraba dan Akik Sarawana.
6 "Kakang... kakang Danang Pattira.
Mengapa kau bunuh orang tua yang tidak punya salah dan dosa ini"!" teriak
Aripraba mengulang ucapannya tadi.
Untuk pertama kalinya si pemuda
berpakaian putih membuka mulut. "Kau siapakah, rupa dan suaramu seperti aku
kenal?" Mendengar ucapan Danang Pattira, Aripraba melengak kaget. Walaupun mereka
terpisah cukup lama setelah badai topan melanda Wonogiri dan memporak-porandakan
daerah mereka. Namun sejak kecil dulu mereka pernah bersama-sama. Bagaimana
Danang Pattira bisa melupakan saudaranya sendiri"
"Kakang aku adalah adikmu, kau lupa" Apa sebenarnya yang telah terjadi
pada dirimu?" tanya Aripraba.
Danang Pattira seakan berusaha
mengingat, tapi kemudian dia gelengkan kepala berulang kali seakan ada sesuatu
yang mempengaruhi jiwa dan jalan
pikirannya. "Tidak. Tidaaaaak...!"
Danang Pattira menjerit histeris.
Bersamaan dengan jeritannya itu rambut panjang di kepalanya berjingkrak tegak.
Wajah si pemuda berubah tegang, sedangkan tatap matanya yang semula hanya
memandang kosong kini berputar liar memandang ke arah Aripraba. Bersamaan dengan
itu pula Danang Pattira dongakkan wajah, lalu tertawa dingin menyeramkan. Si
Akik terkesiap, Aripraba masih dapat bersikap tenang walau saat itu dia
merasakan adanya bau bangkai yang begitu tajam menusuk.
"Kau Aripraba, ha... ha... ha! Kau pasti adikku. Susah payah aku mencarimu
Pendekar Seribu Diri 7 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pendekar Negeri Tayli 7
^