Pencarian

Hutang Dosa 2

Gento Guyon 5 Hutang Dosa Bagian 2


setelah lelah mencari ternyata kau datang sendiri!" kata si pemuda dingin.
"Akik, larilah. Selamatkan dirimu!
Kurasa dia telah kehilangan kewarasan!"
ujar Aripraba berbisik.
"Raden, saya tidak mungkin
meninggalkan Raden di sini. Dia telah membunuh istri saya. Saya merasa
kehilangan, tapi hidup saya menjadi lebih tidak berarti jika saya harus
kehilangan Raden!" ujar si kakek. Aripraba sadar
betul orang tua ini memang memiliki ilmu silat juga beberapa jenis pukulan
sakti. Tapi rasanya percuma saja si Akik membantunya karena di balik semua ini Danang
Pattira mungkin telah diperalat oleh seseorang.
"Kakang, apakah kau tahu, apa kau ingat siapa yang berdiri di hadapanmu ini?"
tanya Aripraba sekedar ingin meyakinkan apakah pemuda di depannya masih kenal
dengan dirinya atau tidak.
Danang Pattira tersenyum sinis.
"Aku belum gila untuk tidak mengenal dirimu. Kau Aripraba, putra manusia culas
Raden Ponco Sugiri. Kau salah satu dari tiga manusia yang harus kusingkirkan."
tegas si pemuda.
Kejut hati Aripraba bukan kepalang.
Dia tak menyangka telah berubah seperti itu. Siapa yang telah merubah jalan
pikirannya" Bahkan pada ayahnya sendiri dia bersikap seolah tak mengenal"
"Kakang, aku adikmu?" seru si pemuda.
"Adik, ha... ha... ha. Adik...!"
"Raden, Raden Danang nampaknya memang telah terganggu pikirannya.
Seperti yang dia katakan, Raden hendak disingkirkannya. Sebaiknya Raden cepat
tinggalkan tempat ini. Biarkan saya yang akan menghadapinya," ujar Akik Sarawana
mencoba mengingatkan. Tapi dengan tegas
pemuda itu gelengkan kepala.
"Jika dia sudah lupa pada dirinya sendiri. Jika dia telah dijadikan budak oleh
seseorang, berarti orang itu telah membekalinya dengan kesaktian hebat. Dia
bukan lawanmu...!"
"Tapi, Raden...!" ucapan Akik Sarawana terputus karena pada detik itu juga
Danang Pattira dengan gerakan kaku seperti mayat hidup telah menggerakkan lima
jarinya tertuju lurus ke arah Akik Sarawana. Lima larik sinar hitam kebiruan
membersit disertai dengan bertaburnya hawa dingin memenuhi udara di sekitarnya.
"Awas!" teriak Aripraba sambil mendorong tubuh si orang tua. AKik Sarawana jatuh
terbanting akibat dorongan yang sangat keras. Tapi dia selamat dari serangan
ganas lawannya. Lima sinar maut menghantam pohon mangga yang tumbuh di halaman
rumah si kakek. Terdengar suara desis aneh bagaikan senjata panas membara yang
ditancapkan ke batang pisang. Pohon mengeluarkan suara berderak, lalu roboh
disertai dengan suara menggemuruh.
"Raden terima kasih. Biar dia aku yang membereskannya!" berkata begitu si kakek
yang sudah berdiri dan alirkan tenaga dalam penuh ke tangan kanan langsung
melompat. Sambil melompat dia hantamkan tangan kanannya ke bagian wajah Danang
Pattira, sedangkan tangan kiri
mencari sasaran di bagian dada. Hantaman yang mengandung tenaga dalam penuh itu
menimbulkan sambaran angin dahsyat yang langsung menerpa wajah si pemuda.
Anehnya meskipun dirinya mendapat serangan seperti itu, lawan malah menyeringai.
Sambil menyeringai dia miringkan wajahnya ke kiri.
Wuuut! Serangan si kakek luput, tapi
hantaman tangan kirinya tepat mengenai sasaran. Terdengar suara bergedebukan
disertai jeritan keras. Satu sosok tubuh terpental ke belakang. Ternyata yang
menjerit dan jatuh bukan lawannya, melainkan Akik Sarawana sendiri.
Kembali si orang tua dilanda rasa kaget luar biasa. Betapa tidak, dia merasa
tidak ubahnya seperti memukul tembok baja. Bahkan tangan kirinya yang menghantam
dada lawan terasa panas, bengkak membiru menimbulkan rasa sakit yang sangat luar
biasa di bagian dalam.
"Kurang ajar, dia ternyata memiliki kekebalan!" desis Aripraba yang juga dibuat
kaget melihat kenyataan yang terjadi.
"Aku harus membunuhnya... harus..!"
teriak Akik Sarawana penasaran. Kini ketika dia bangkit kembali di tangannya
telah tergenggam sebilah badik berwarna hitam. Senjata ini dikenal sangat
berbahaya di samping mengandung racun ganas.
"Badik Perontok Jiwa"! Ha... ha...
ha. Seribu jenis senjata hebat telah kuhapal namanya di luar kepala. Konon
menurut orang yang memberi perintah hanya Pedang Pembantai Iblis saja yang wajib
kutakuti. Sekarang kau hanya tinggal memilih bagian mana yang hendak kau tusuk!"
dengus Danang Pattira. Tangan kiri pemuda itu bergerak ke arah dada.
Bret! Breet! Terdengar suara pakaian robek,
ternyata lawan merobek pakaiannya sendiri. Sehingga bagian dadanya ter-singkap
lebar. Apa yang dilakukan Danang Pattira itu terkesan seperti menyerahkan dada
maupun perutnya untuk ditusuk. Diam-diam Akik Sarawana kerahkan tenaga dalamnya
ke bagian hulu Badik Perontok Jiwa. Sinar hitam bergemerlapan memancar dari
badan badik di tangan si Akik.
Tak jauh di belakang orang tua itu, Aripraba meraba tengkuknya mendadak jadi
dingin. Dia sadar senjata di tangan Akik Sarawana bukan senjata sembarangan.
Bagaimana mungkin lawannya bersikap seolah senjata di tangan lawan tidak
memiliki arti apa-apa, namun Akik Sarawana sendiri tidak menghiraukan semua itu.
Dendamnya terhadap Danang Pattira yang telah membunuh istrinya membuat si
Akik jadi gelap mata dan begitu mendendam pada lawannya. Hingga kini tanpa
membuang waktu lagi si kakek segera melesat ke depan. Senjata di tangan menderu
disertai berkelebatnya sinar hitam menggidikkan.
Melihat serangan senjata yang membabat ke bagian dada yang dilanjutkan dengan
satu tusukan di bagian leher, lawan sama sekali tidak berusaha menghindar. Tak
ampun lagi dengan tepat serangan senjata mengenai sasarannya.
Craak! Dheel! Tusukan dan babatan badik di bagian dada Danang Pattira sama sekali tidak
menimbulkan akibat apapun. Malah si Akik terdorong mundur, tangannya yang
memegang hulu badik panas melepuh
laksana terbakar. Hawa panas langsung menjalar di bagian dada. Akik Sarawana meringis
kesakitan. Wajahnya pucat, sedangkan langkahnya nampak limbung.
Aripraba sendiri demi melihat
kenyataan itu jadi tercengang. Belum lagi hilang rasa kejut di hatinya. Danang
Pattira lakukan satu lompatan ke depan.
Si pemuda yang belum sempat hilang rasa kejutnya tak sempat berseru apalagi
berteriak memberi peringatan. Akik Sarawana yang saat itu tengah memandangi
ujung badiknya yang bengkok memang masih berusaha menghindar dengan
membantingkan tubuhnya ke kiri. Sayang apa yang
dilakukannya itu masih kalah cepat dengan gerakan. Tahu-tahu rambutnya kena
dijambak oleh lawan. Begitu tangan kanan menjambak, maka tangan kiri menghantam
bagian belakang kepala. Sadar dirinya terancam bahaya besar, Akik Sarawana
babatkan senjata ke samping tepat di bagian kaki lawan. Sekali lagi gerakan
senjatanya kalah cepat dengan gerakan tangan lawan.
Praaak! Tak ampun lagi kepala si kakek pun berderak hancur begitu terhantam pukulan
lawannya. Darah dan otak bermuncratan membasahi halaman rumah.
"Akik...!" satu suara berseru, satu bayangan berkelebat "Jahanam keji. Aku tak
akan mengampuni jiwamu!" bersamaan dengan itu pula Aripraba yang sudah melesat
di udara langsung menghantam dengan pukulan Kilatan Cahaya. Sinar putih laksana
kilat yang membelah kegelapan malam melesat laksana dua bilah mata pedang
disertai hawa panas membakar.
Melihat dua sinar pipih menderu ke arahnya, seperti tadi sikap Danang Pattira
terkesan meremehkan. Tapi begitu sinar maut itu melabrak tubuhnya disertai suara
ledakan berdentum. Maka tak ampun lagi pemuda itu pun terpental hingga sejauh
dua tombak. Ledakan yang terjadi menimbulkan kobaran api yang langsung
membakar sekujur tubuh lawannya. Tapi sungguh aneh, sedikit pun lawan tidak
mengeluh apalagi menjerit. Bahkan dengan kedua tangannya dia memadamkan api yang
mengobari pakaiannya. Begitu api padam kulit tubuh si pemuda nampak hangus
gosong, pakaian hancur sehingga tubuhnya nyaris telanjang.
"Jahanam keparat! Dia bukan saja tak mempan senjata, tapi juga tak mempan
pukulan sakti. Kulit tubuhnya hangus gosong, bagaimana dia masih dapat bertahan
hidup!" rutuk Aripraba.
"Masih adakah pukulanmu yang lain manusia calon bangkai?" tanya lawan sambil
berkacak pinggang.
Aripraba pandangi sosok gosong di depannya dengan mata menyorot tajam diwarnai
rasa tidak percaya. Tapi dia sudah tidak sempat lagi berpikir lebih lama mencari
jalan keluar. Menghadapi lawan seperti itu jika dia tidak mengambil tindakan
secepatnya bukan mustahil dia akan terbunuh!
Karena itu dengan cepat dia
mencabut pedang yang tergantung di pinggangnya. Pedang lalu diputar sebat dengan
menggunakan jurus-jurus yang paling hebat. Menghadapi serangan pedang yang
bertubi-tubi yang diselingi dengan pukulan menggeledek ini, dengan gerakan kaku
Danang Pattira mencoba
menghindarinya. Tapi tak urung beberapa kali mata pedang menghantam kepala
maupun bagian tubuh lainnya. Seperti tadi hantaman pedang dan pukulan yang
dilakukan Aripraba sama sekali tak mampu menciderai lawannya. Malah pedang itu
rompal di beberapa bagian. Tidak ada jalan lain lagi bagi pemuda ini. Laksana
kilat dia memutar tubuhnya, begitu berputar tubuhnya terangkat naik, membubung
tinggi ke udara. Setelah sampai pada ketinggian tertentu dia menggerakkan kepala
dan sebagian badannya. Jika tadi posisi kepalanya berada di atas, kini berbalik
menghadap ke bawah. Setelah itu dengan tinju terkepal dia menghantam kepala
Danang Pattira. Pemuda yang mendapat serangan ganas ini malah tertawa ganda.
Dengan tangan kiri dia lindungi kepalanya. Sedangkan tangan kanan langsung
dipukulkan ke atas.
Wuut! Angin dingin membersit menyambut serangan tinju Aripraba. Melihat ada hawa aneh
menyambar wajahnya, si pemuda sambil memaki terpaksa batalkan serangan dan kini
berjumpalitan menjauhi pukulan.
Serangan Danang Pattira luput mengenai udara kosong. Akan tetapi dengan tidak
terduga mendadak lawan hentakkan kakinya.
Tubuh pemuda itu melesat ke udara, kembali tangan dipukulkan.
Wuuus! Buuuk! Dalam keadaan seperti itu tentu
sangat sulit bagi Aripraba untuk menghindari serangan kakaknya. Tak ampun
hantaman keras yang dilakukan Danang Pattira menghantam dadanya. Aripraba
menjerit keras, dia jatuh terbanting dengan kepala lebih dulu menghantam tanah.
Walau kepala tidak pecah dan leher tidak sampai patah, namun Aripraba merasa
pandangannya jadi gelap. Di saat dirinya dalam keadaan seperti itu lawan yang
baru saja jejakkan kaki langsung menghantam kepalanya dengan tangan kanan.
Praak! Aripraba menjerit keras begitu
kepalanya berderak. Dia terhempas dengan mata melotot. Dari hidung, mata dan
mulut pemuda ini menyemburkan darah. Melihat lawannya terkapar dan tidak
bergerak-gerak lagi Danang Pattira seakan baru tersadar dengan apa yang telah
dilakukannya sendiri.
"Pembunuh... aku telah membunuh saudaraku sendiri..."!" pekik si pemuda sambil
pandangi kedua tangannya yang berlumuran darah lawan. "Bagaimana aku bisa
melakukannya" Oh, tidak-tidak...!"
desis pemuda itu sambil menekap wajahnya dengan kedua tangan. Seperti orang
kehilangan kewarasan dia menangis sambil
menjambak rambutnya sendiri. Di saat dirinya dalam keadaan begitu rupa, mendadak
di telinganya kiri kanan terdengar suara halus, sayup-sayup seperti suara ngiang
nyamuk. "Danang Pattira. Dia bukan adikmu, dia adalah lawan yang harus kau
singkirkan. Dia sainganmu, dia musuhmu.
Jika kau masih inginkan harta itu, andai kau masih menginginkan Ambini. Gadis
cantik yang kau cintai secara diam-diam.
Lakukanlah apa yang aku perintahkan!"
kata suara itu sayup-sayup namun sangat berpengaruh bagi pemuda ini. Mendadak
seakan ada satu kekuatan yang muncul dalam dirinya si pemuda dongakkan wajah
sedangkan sepasang mata memandang berkeliling.
Mulutnya membuka, satu pertanyaan terlontar. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Ha... ha... ha. Cepat kau pergi ke gunung Liman, di sana segala sesuatunya
menunggu! Ingat harta dan gadis itu!!"
Suara ngiang di telinga Danang
Pattira lenyap. Kemudian tanpa menghiraukan mayat adiknya dan juga Akik Sawarana
dia tinggalkan tempat itu.
7 Di samping bangunan rumah yang
hangus terbakar, laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun itu menangis
terguguk. Dengan mata memerah bersimbah air mata dia pandangi kobaran api yang
nyaris padam. Sebentar dia teliti kedua tangannya yang berwarna hitam seperti
arang dengan tatap penuh rasa benci.
Mulut si orang tua berkomat-kamit, hidung kembang kempis menahan kepedihan yang
menghimpit dadanya. Ternyata dia tak kuasa menahan air mata yang bercucuran
tiada henti. "Huk... huk... huk. Sial... kedua tangan ini memang selalu membawa kesialan
sejak dulu. Tangan pembawa malapetaka!"
rutuk laki-laki berpakaian merah ini sambil bantingkan kedua tangannya ke atas
batu besar. Bantingan yang sangat keras bukan membuat kedua tangan si baju merah
hancur, terluka atau remuk di bagian dalam, sebaliknya batu besar yang dijadikan
tatakan malah hancur berkeping-keping.
"Sial! Tangan sial!" kembali si orang tua memaki. Sambil terus menangis dia
bangkit berdiri, matanya jelalatan memandang ke setiap sudut. Akhirnya dia
menyeringai begitu pandangannya membentur sebuah martil besar yang tergeletak di
atas tanah. Dengan langkah lebar dia menghampiri benda itu, lalu memungutnya.
Martil ditimang. Martil besi yang dipegang oleh si orang tua beratnya lebih dari
sepuluh kati. Tapi di tangannya martil ini seakan cuma seberat satu kati.
Sambil bersungut-sungut dia hampiri gundukan batu yang terletak tak jauh di
depannya. "Baiknya kuhancurkan saja tangan yang membawa kesialan ini!" geramnya. Dia
meletakkan tangan kirinya di atas gundukan batu tadi, sedangkan martil besar
digenggam di tangan kanan. Sambil melotot memandang dengan penuh rasa benci pada
kedua tangannya sendiri si orang tua gerakkan tangan kanannya. Martil melesat
menghantam tangan kiri.
Dweng! Tang! Dwieeng!
Terdengar suara berkerontangan.
Tangan yang dipukul malah memijarkan bunga api. Tangan tidak hancur, tidak pula
cidera berat sebagaimana yang diinginkannya. Malah dia tak merasakan sakit
sedikit pun juga. Sebaliknya batu yang dijadikan tatakan melesak amblas ke dalam
tanah. Orang tua ini pandangi tangannya dengan penuh rasa tak percaya.
"Keparat sial! Dasar tangan celaka!" Kembali dia memaki tangannya sendiri.
Sejenak dia ter diam, berpikir sebentar. Setelah itu dia pindahkan
martil besi ke tangan kiri. Kini tangan kanan diletakkan di atas gundukan batu.
Setelah itu tenaga luar dalam dikerahkan, disalurkan ke tangan kiri yang
memegang martil. Sekejap kemudian martil besi diangkat tinggi lalu diayunkan ke
bawah. Wuuut! Martil berat melesat menghantam
lima jari tangan, lengan hingga ke pangkal lengan.
Tang! Breng! Tang! Breng!
Bunga api kembali berpijar ketika martil menghantam tangan. Suara pukulan
bertalu-talu. Karena disertai pengerahan tenaga dalam penuh maka terdengar suara
berisik menyakitkan gendang telinga.
Untuk kedua kalinya orang tua ini kembali dibuat kecewa berat. Mulutnya komat-
kamit sebentar, lalu terdengar makian. "Sial.
Sungguh sial!"
Dengan penuh kegusaran dia
bantingkan martil raksasa itu ke atas tanah. Martil amblas, lenyap terpendam ke
dalam tanah. Si orang tua gelengkan kepala. Ingat akan nasibnya dia kembali
menangis terguguk-guguk.
"Hiiiiiiii... hidup gila tangan celaka. Tuhan... oh Tuhan di mana Kau"
Mengapa Kau beri aku tangan seperti ini"
Aku tak mau, aku tak bisa menerima. Dulu istriku mati gara-gara tersentuh


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanganku. Bukan hanya itu saja. Bahkan
hewan piaraan, pepohonan juga ikut mati akibat kupegang dengan tanganku yang
penuh kesialan ini! Huk... huk... huk."
kata si orang tua di sela-sela isak tangisnya yang memilukan.
Tak jauh dari tempat si orang tua yang selalu memaki tangannya dengan kata-kata
'sial' itu dua pasang mata yang mengintai sejak tadi mulai kasak-kusuk
"Siapa dia" Kedua tangannya sangat hebat. Dibanting ke atas batu tidak cidera.
Dipukul dengan martil raksasa tidak pula hancur. Dengan ilmu kesaktian sehebat
itu dia bisa berbuat apa saja!"
kata salah seorang di antaranya yang berambut panjang berbaju putih dan berwajah
cantik jelita. Kawannya yang berambut gondrong berwajah lugu namun tampan
tersenyum sambil mengusap wajahnya.
"Kedua tangan itu hendak dihancur-kannya. Dia tak menyukai sepasang tangannya
sendiri. Tangan sial, begitu dia menyebut tangannya berulangkali.
Orang tua aneh, punya tangan hebat malah dikatai melulu. Tapi apa yang
dikatakan-nya kurasa memang sangat cocok. Tangan hitam jelek begitu pantasnya
dibuntungi saja setelah itu buang ke comberan. Ha...
ha... ha!" Tak sadar kalau dirinya sedang mengintai si pemuda bertelanjang dada
yang bukan lain Gento Guyon adanya
tertawa tergelak-gelak.
"Hei, mulutmu!" sergah si gadis baju putih sambil menekap mulut si pemuda, tapi
terlambat. Orang tua bertangan hitam dengan cepat sekali menoleh ke jurusan di
mana mereka berada.
"Siapa yang baru saja tertawa itu"
Setan..."!" seru si baju merah.
"Celaka! Gara-gara kau punya mulut tidak bisa kau jaga, akhirnya kita ketahuan
juga!" rutuk si gadis yang tiada lain adalah Ambini.
"Tenang saja. Tawaku buka tawa yang kusengaja. Semua keluar begitu saja."
sahut Gento. Setelah itu dia memandang ke arah si baju merah dari balik pohon di
mana mereka bersembunyi. "Jangan memukul, jangan pula gusar. Kami memang setan
laki-laki dan setan perempuan berambut hitam!"
"Sial! Setan rupanya." damprat si orang tua.
"Kau juga setan sialan. Memaki seenak sendiri!" dengus si pemuda.
Mendengar ucapan orang si baju
merah jadi melengak tidak menyangka orang berani balas mendamprat.
"Setan apapun kalian sebaiknya cepat unjukkan diri. Aku tidak suka melihat orang
yang bersikap pengecut!"
seru orang tua itu.
"Kau yang meminta akupun unjukkan
diri." berkata begitu Gento berkelebat keluar dari balik pohon. Hanya dalam
waktu sekedipan mata dia telah berdiri tegak di hadapan si baju merah. Si orang
tua terkesiap, tak menyangka orang dapat bergerak secepat itu. Beberapa saat
lamanya baik Gento maupun laki-laki itu sama berpandangan dan sama pula
meneliti. Jika di depannya sana orang memandang Gento dengan kepala termiring-miring
sebaliknya Gento memandang orang itu dengan mata berkedip-kedip.
Di balik pohon Ambini tak mampu
menahan geli. "Dasar pemuda sinting, bertemu dengan orang yang miring otaknya.
Jadi begitu bertemu mereka sudah merasa cocok satu sama lain." gerutu si gadis.
Bosan memandangi si gondorng, orang tua itu membentak. "Siapa kau" Berani datang
ke mari apakah sudah siap menjalankan perintahku?"
Di balik pohon Ambini bicara
sendiri. "Benar dugaanku tadi. Orang tua itu memang telah kehilangan
kewarasannya. Dasar pemuda geblek, penyakit dicari!"
Sementara itu Gento menyeringai
begitu mendengar ucapan si orang tua.
"Saudara bukan anak bukan enak saja kau main suruh orang. Memangnya kau ini
siapa?" tanya Gento pula tanpa hiraukan pertanyaan orang tua itu. Si baju merah
acungkan kedua tangannya yang hitam legam
hingga ke bagian pangkal lengan. Melihat itu Gento jadi tak mampu menahan
tawanya. "Ha... ha... ha! Tangan jelek begitu saja kau tunjukkan padaku. Kawanku yang
tangannya mulus aja tak pernah dipamerkan." kata si pemuda mengejek.
"Kau tak tahu maksudku pemuda edan.
maksudku ini adalah kedua tanganku yang penuh kesialan. Aku tidak menyukai
tangan ini, kau harus membuntunginya!" tegas si orang tua, lalu ulurkan
tangannya ke arah Gento Guyon. Murid kakek Gentong Ketawa jadi melengak kaget,
tapi hanya sekejap.
Karena di lain saat dia sudah berkata.
"Kampret sial. Kau hendak menyuruhku melakukan perbuatan dosa."
Dimaki seperti itu si orang tua
belalakkan matanya. "Dosa katamu" Tangan yang aku menyuruhmu untuk
membuntunginya adalah tanganku sendiri. Aku telah mencoba melakukannya sendiri
tapi tidak sanggup." katanya putus asa.
Gento tersenyum mendengar ucapan si orang tua, namun wajahnya nampak serius
sekali. "Kau hendak memotong kedua tanganmu. Memang kuakui yang hendak kau
buntungi milikmu sendiri. Tapi apakah kau lupa bahwa apapun yang ada dalam diri
setiap manusia adalah titipan Gusti Allah yang kelak pasti kita akan diminta
pertanggungjawabannya. Kau buntungi tangan titipan Tuhan berarti kau telah
berbuat dosa besar. Aku sendiri tak mau ikut menanggung dosanya." jelas Gento.
Mendengar ucapan si pemuda, orang tua itu terdiam putus asa. Keningnya berkerut
tajam seolah sedang berpikir keras. Karena orang tua itu tak kunjung bicara maka
Gento pun kembali berkata.
"Orang tua siapa dirimu" Kulihat pepohonan hangus, ternak mati dan rumah
terbakar. Apa sebenarnya yang telah terjadi?" Ditanya begitu rupa orang tua itu
kembali menangis terguguk. Gento jadi bingung dan merasa serba salah. "Eeh,
apakah ada pertanyaanku yang menyakiti hatinya?" pikir Gento. Dia kemudian
bersiul pendek. Satu bayangan putih berkelebat dari balik pohon. Di lain saat si
cantik Ambini telah berdiri tegak di samping si pemuda. Melihat kehadiran gadis
jelita itu agaknya si orang tua menjadi malu hati sehingga dia hentikan
tangisnya dan cepat menyeka air mata yang bergulir membasahi pipinya.
"Apakah gadis ini temanmu" Cantik, mempesona, tidak membosankan untuk
dipandang!" puji si orang tua.
"Dasar mata keranjang. Tadi yang kita bicarakan lain, sekarang lain lagi.
Padahal kau belum mengatakan namamu dan apa yang menjadi masalahmu hingga
membuat kau ingin membuntungi tangan sendiri"!"
dengus si pemuda. Diingatkan begitu rupa
membuatnya jadi tersipu malu.
"Aku... ah, aku lupa namaku.
Sebaiknya kau panggil saja Tangan Sial karena kedua tanganku ini sejak dulu
bahkan sejak aku masih kecil terlalu menanggung banyak kesialan." keluh si orang
tua. "Ha... ha... ha. Gelar itu kurasa cocok dengan keadaan dirimu. Tapi apa yang
membuat dirimu begini berputus asa?"
tanya si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.
"Letih aku untuk mengatakannya."
sahut Tangan Sial seakan bosan.
"Kalau begitu ya sudah." Gento lalu melirik ke arah Ambini. "Baiknya kita
tinggalkan saja dia!"
"Eeh, tunggu. Baiklah aku akan mengatakannya pada kalian!" Tangan Sial terdiam
sejenak, setelah itu baru kemudian berkata. "Kau tak tahu kedua tangan ini
selalu menimbulkan malapetaka bila kupergunakan untuk memegang sesuatu.
Istriku tewas gara-gara kupegang, harta benda hancur, tanaman juga layu, pohon
atau apa saja pasti rusak bila tersentuh olehku. Padahal rumah itu terbakar
ketika kupegang salah satu tiangnya!"
"Hah... mengerikan sekali!" pekik Ambini. Tanpa sadar si gadis bersurut langkah.
"Rasanya sungguh sulit kupercaya!"
desis murid kakek Gentong Ketawa dengan mulut ternganga dan mata terpentang
lebar. "Memang, tapi itulah kenyataan yang terjadi pada diriku. Aku tak bisa menyentuh
apapun yang kuinginkan, ter-lebih-lebih di saat diriku sedang kesal apalagi
marah." ujar Tangan Sial sedih.
Mendengar penjelasan Tangan Sial, Gento Guyon jadi ikut merasa prihatin.
"Sejak kapan kau mengalami musibah seperti ini, orang tua?" tanya si pemuda
beberapa saat kemudian. Tangan Sial gelengkan kepala.
"Persisnya aku tak tahu, mungkin sejak aku masih kecil. Aku merasa hidupku
tersiksa dalam kesengsaraan. Kau tentu dapat merasakan bagaimana tersiksanya
hidup dalam keadaan seperti itu." jawab si orang tua dengan suara lirih. Baik
Gento maupun Ambini
sama terdiam mendengar ucapan Tangan Sial.
8 Hanya beberapa saat saja Gento
bersikap seperti itu. Tidak lama setelah itu Gento membuka mulut berucap. "Orang
tua Tangan Sial. Kurasa di balik musibah yang kau alami karena memiliki keanehan
seperti itu, mungkin masih ada sisi baiknya. Kusarankan padamu jangan kau
sakiti dirimu sendiri. Sebab jika kedua tangan telah kau buntungi. Katakanlah
hal itu dapat kau lakukan. Lalu bagaimana kau harus hidup tanpa tangan" Kau
tidak bisa makan, kau tidak bisa cebok. Kalau keadaanmu sudah begitu buat apa
artinya hidup bagimu. Masih bagus sekarang ini, walaupun sial kau masih punya
tangan. Mengapa kau tidak mensyukuri pemberian Gusti Allah" Menurutku lebih baik kau
dalam keadaan seperti sekarang. Punya tangan biarpun tangan itu membawa kerugian
bagimu. Daripada tanganmu dibuntungi, nanti orang menjulukimu Si Tangan Buntung.
Apa kau tidak malu. Orang bisa saja mengejekmu. Buntung lewat...
buntung lewat.... Ha... ha... ha!"
"Apa yang dikatakan kawanku ini benar, orang tua. Biarkan tanganmu tetap seperti
itu," untuk pertama kalinya Ambini menimpali. Tangan Sial memandang ke arah
gadis itu dengan tatapan tidak berkesip. Dia manggut-manggut, mungkin merasa apa
yang dikatakan Ambini memang ada benarnya.
"Gadis baik. Kuterima saranmu.
Mudah-mudahan setelah bertemu denganmu aku tidak menjadi manusia yang putus asa
lagi," ujar si kakek.
"Bagus. Kepada Ambini kau berterima kasih, padaku yang memberi saran tidak.
Tidak apa, yang penting kau mau
menyadarinya." kata Gento sambil bersungut-sungut.
"Ha... ha... ha. Rupanya kau pemuda yang besar ambeknya. Kepadamu juga kuucapkan
terima kasih. Oh ya... kalau aku boleh tahu kalian hendak ke mana?"
tanya Tangan Sial. Kini wajah laki-laki itu telah berubah cerah seakan lupa pada
persoalan berat yang beberapa waktu tadi sempat membuatnya merasa putus asa.
"Terus terang kami memang sedang dalam satu perjalanan." Ambini menyahuti.
"Aku ingin mencari tahu siapa yang telah membunuh ayahku Raden Ponco Sugiri."
"Raden Ponco Sugiri!" Tangan Sial mengulang ucapan Ambini.
Dia terdiam sejenak, berpikir. Sampai kemudian Tangan Sial melengak kaget. "Bukankah orang
yang kau sebutkan itu dulunya adalah orang yang paling kaya di Wonogiri"
Hartawan murah hati yang beberapa tahun belakangan mengasingkan diri di satu
tempat rahasia?"
"Paman benar. Tapi ayahku sudah meninggal dibunuh orang."
"Hah, jadi Raden Ponco Sugiri itu ayahmu. Akh, tak pernah ku menyangka dia
memiliki putri secantik dirimu. Lalu sekarang kau dan pemuda gondrong itu hendak
pergi ke mana?" tanya Tangan Sial.
Sebentar dia melirik ke arah Gento. Yang dilirik kedipkan matanya.
Ambini terdiam, nampaknya dia ragu untuk mengatakan yang tujuan mereka. Dia lalu
memandang pada pemuda di sampingnya seakan minta pendapat.
"Katakan saja tak usah ragu." ujar Gento seakan menyetujui. Setelah itu dia
melanjutkan. "Dia tak mungkin berbuat macam-macam pada kita. Tangannya yang sial
itu boleh tidak mempan senjata, tapi apa iya bagian tubuh yang lain tak bisa
kita buat jadi cincang halus. Ha... ha...
ha." "Betul kata bocah itu, aku tak mungkin mematai apalagi sampai membunuh kalian."
"Terus terang kami akan pergi ke Gunung Liman. Mungkin dengan pergi ke sana kami
bisa mendapat kejelasan." kata Ambini tanpa ragu-ragu.
"Hem begitu." gumam Tangan Sial sambil usap-usap jenggotnya. "Sebelum ke sana
aku ingin menjelaskan sesuatu pada kalian berdua, mungkin ada gunanya." ujar
laki-laki itu. Dia lalu pandangi Gento dan Ambini silih berganti.
"Apa yang hendak kau katakan, paman?" tanya Ambini gelisah.
"Kalau ada yang hendak kau
sampaikan kami sudah siap mendengarnya paman Tangan Sial!" kata Gento pula.
Setelah terdiam untuk beberapa
jenak lamanya Tangan Sial berkata.
"Beberapa hari yang lalu aku melihat dalam kegelapan malam di sebuah kubur tua
dan jika tak salah aku mengingat kubur itu tentu adalah kubur Raden Ronggo
Anom...." "Hah Raden Ronggo Anom. Orang itu sudah lama meninggal, sekitar beberapa puluh
tahun yang silam. Raden Ronggo Anom masih terhitung saudara tiri yang jahat.
Sekarang apakah engkau hendak mengatakan orang itu bangkit kembali dari
kuburnya?"
tanya Ambini. Wajah gadis itu mendadak berubah tegang. Dia ingat beberapa hari
yang lalu ketika dia dan Gento berkelahi dengan Mayat Hidup. Sosok yang tubuhnya
sudah tidak utuh lagi itu mengaku dirinya adalah Raden Ronggo Anom. Apakah hal
ini yang hendak disampaikan oleh Tangan Sial"
Rasa kejut di hati Ambini berangsur mereda karena tak lama kemudian Tangan Sial
melanjutkan ucapannya yang sempat dipotong Ambini.
"Mengenai bangkit tidaknya Raden Ronggo Anom itu bukan urusanku, bisa jadi
urusan setan atau mungkin juga dia memiliki ilmu Seribu Hari. Siapapun yang
mengamalkan ilmu ini setelah seribu hari kematiannya dia bangkit kembali.
Bangkit untuk menyelesaikan semua persoalan yang belum terselesaikan semasa
hidup di dunia ini."
"Termasuk juga menyangkut hutang
nyawa, darah dan kehormatan. Bukankah begitu Tangan Sial"!" celetuk Gento.
Tangan Sial anggukkan kepala. "Kau benar. Tapi yang ingin kukatakan ini adalah
menyangkut seorang pemuda yang telah diperalat oleh satu kekuatan aneh.
Aku tak dapat menjelaskan siapa dan bagaimana ciri-ciri pemuda itu, karena malam
kebetulan sangat gelap sekali. Yang aku ingat, dia berpakaian putih, berambut
klimis seperti sastrawan."
Untuk pertama kalinya Gento dibuat bingung mendengar penjelasan Tangan Sial.
"Apa hubungannya penjelasanmu dengan tujuan kami?" tanya si pemuda.
"Mungkin ada, mungkin juga tidak."
jawab orang tua itu.
"Tunggu...!" sergah Ambini. "Paman mengatakan pemuda itu berpakaian putih
berambut klimis. Bisa jadi dia adalah kakang Danang Pattira. Beberapa waktu yang
lalu aku datang menyambanginya di Wonogiri. Kulihat tindak tanduknya aneh tidak
sebagaimana biasanya. Tatap matanya kosong bahkan terkesan seperti orang
bingung." "Paman Tangan Sial apakah mendengar apa yang dikatakan pemuda itu saat dia
berada di kubur tua. Atau mungkin paman mendengar suara orang yang diajaknya
bicara?" tanya Gento.
Tanpa ragu Tangan Sial menjawab.
"Aku tak mendengar suara orang lain.
Pemuda itu bicara seperti orang mengigau.
Tapi aku sempat mendengar pemuda itu mengatakan. 'Perintah kuturuti. Akan
kubunuh tiga saudaraku yang lain. Aku inginkan Ambini'!"
"Apa" Dia bicara seperti itu?"
desis si gadis terperangah dan seakan tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Ambini, berarti saudaramu itu memang manusia gila. Otak sinting dan pikirannya
miring. Mana mungkin ada manusia yang jatuh cinta pada saudara kandungnya
sendiri. Apa dia mengira dirinya itu sapi" Ha... ha... ha" kata si pemuda
disertai tawa terbahak-bahak.
"Kurasa memang ada yang tidak beres. Sekarang lebih baik kita ke gunung Liman
secepatnya. Jika dia menghendaki harta warisan keluarga itu, bagaimanapun cepat
atau lambat dia pasti akan ke sana.
Karena dia juga pasti tahu tentang harta peninggalan keluarga yang tersimpan di
daerah itu." ujar Ambini.
"Apakah tidak sebaiknya kita cari saja mayat hidup itu" Aku sangat yakin dialah
yang telah membunuh ayahmu di puncak Wilis. Bukankah Mayat Hidup pernah bicara
begini 'siapa yang berani membunuh kupu-kupu ku'. Ini berarti bila kakangmu
memang pernah pergi ke kubur Raden Ronggo Anom tidak tertutup kemungkinan Mayat
Hidup alias Raden Ronggo Anom adalah biang racun yang membuat keluargamu jadi


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tercerai-berai seperti sekarang ini!"
kata si pemuda menerangkan secara panjang lebar.
"Usulmu boleh juga sobat. Tapi mencari Mayat Hidup kurasa akan lebih sulit bila dibandingkan
dengan pergi ke gunung Liman. Tempat itu tak seberapa jauh dari Ponorogo." ujar
Tangan Sial. "Aku pasti turut serta, aku juga percaya dengan ucapanmu. Akan tetapi jika
sesampainya di sana kita tak menemukan apa yang kita cari, aku tak mau ikutan
terkena sialnya." dengus murid kakek Gentong Ketawa sambil bersungut-sungut.
"Sudahlah, buat apa kita
bertengkar. Kurasa lebih baik kita pergi sekarang. Lebih cepat rasanya akan
lebih baik lagi." Ambini menengahi.
"Boleh saja. Tangan Sial jalan di belakang dan kita berada di depan. Dengan
begitu semoga bila aku kentut akan mengurangi beban penderitaannya. Sebab
menurut kata orang kentutku ini adalah kentut yang sangat disukai oleh para
bidadari cantik. Ha... ha... ha!"
"Bocah kampret sial! Semoga dewa murka padamu!" teriak Si Tangan Sial.
Orang tua itu melompat ke depan hendak memukul dengan tangan kirinya. Tapi dia
merutuk habis-habisan begitu Gento
berkelit ke depan Ambini dan menggunakan gadis itu sebagai pelindung.
"Niatmu memukulku tidak kesampaian.
Dasar Tangan Sial!" celetuk si pemuda menirukan ucapan si orang tua. Tangan Sial
merasa kesal sekali. Tapi dia tak bisa berbuat apapun terkecuali kepalkan kedua
tinjunya sambil mengikuti Ambini dan Gento yang sudah meninggalkannya jauh di
depan. *** Di lereng gunung Liman, di balik pepohonan berdaun lebat di mana kakek gendut
besar Gentong Ketawa berada, suasananya masih kelihatan sepi. Di sampingnya si
bungkuk berwajah aneh yang sekujur tubuhnya kini telah berubah menghitam macam
arang sudah mulai kelihatan gelisah.
"Kek... kurasa Arwah Darah Senggini si cantik berbibir tebal di bawah itu tak
mungkin lagi datang ke sini. Dia pasti sudah menemukan harta Itu, harta warisan
peninggalan keluarga leluhur kami!" ujar Siwarana.
Si kakek gendut elus-elus dagunya yang tidak ditumbuhi jenggot barang satu helai
pun. Sejenak matanya yang sipit menatap tajam ke arah Siwarana. Dia merasa geli
melihat kulit wajah Siwarana
yang telah berubah seperti arang akibat ulah si kakek sendiri.
"Kek, bagaimana jika kita tinggalkan tempat ini" Perasaanku tidak enak, perutku
mulas. Mungkin aku ingin berak, mungkin juga mau kentut." kata pemuda itu lagi
sambil menyeringai dia pegangi
perutnya yang sakit.
Senyum si kakek makin melebar. Apa yang dirasakan oleh Siwarana itu adalah
akibat sampingan dari obat semacam pewarna kulit yang diberikan oleh Gentong
Ketawa. "Kek, kakek gendut. Apakah bisa mu cuma tersenyum, kau telah berubah jadi bisu,
gagu atau apa?" tegur Siwarana mulai kesal.
"Ha... ha... ha! Kentut. Jika kau mau buang hajat, sebaiknya menyingkir yang
jauh agar wanginya jangan tercium olehku. Tapi terus terang kita tidak usah
keluar dari tempat ini!" Gentong Ketawa menyahuti.
"Mengapa kek" Perempuan cantik bertelinga kiri lebar itu tak mungkin ke mari.
Seperti yang sudah kukatakan dia pasti menemukan harta itu."
"Manusia muka dodol!" gerutu Gentong Ketawa. "Aku telah menipunya untuk
mengalihkan perhatian perempuan itu. Jika tidak kutipu mana mungkin aku bisa
menolongmu" Di matamu bisa jadi dia
perempuan cantik. Tapi aku yakin yang kita lihat itu palsu. Dia bukan perempuan
sembarangan. Aku bisa merasakan semua itu!" ujar Gentong Ketawa. Untuk yang
kedua kalinya Siwarana kembali dibuat kaget mendengar ucapan si kakek.
"Apa maksudmu orang tua. Apakah kau hendak mengatakan sesungguhnya perempuan
cantik itu adalah seorang nenek tua renta" Atau kau punya anggapan dia memakai
semacam kedok?" tanya Siwarana sambil memandang ke arah si kakek gendut dengan
tatapan ingin tahu.
"Ha... ha... ha! Sebelum kau terlahir ke dunia ini, kurasa aku sudah kenyang
makan asam garam dunia persilatan. Segala tingkah dan watak manusia semuanya
sudah pula banyak yang
kuketahui. Setahuku perempuan yang bernama Wowor Baji Marani bergelar Arwah
Darah Senggini itu adalah seorang perempuan yang sudah lanjut usianya. Akan
tetapi memang harus kuakui dia di samping memiliki kesaktian yang sulit dijajaki
juga mempunyai mahluk piaraan yang akan mengerjakan apa saja yang diperintahkan
olehnya. Jika benar dia Arwah Darah Senggini, kurasa
dia dengan ilmu
kesaktian yang ada padanya hal seperti itu tidak sulit bagi perempuan itu untuk
melakukannya."
"Jadi kita telah tertipu?" desis
Siwarana dengan mulut melongo.
"Ha... ha... ha. Engkau yang tertipu tapi aku sendiri tidak." Menyahuti si kakek
sambil tertawa tergelak-gelak.
Tawa si kakek mendadak saja
terhenti begitu melihat Siwarana angkat tangan kiri memberi isyarat. Sedangkan
pandangan pemuda itu tertuju lurus ke depan persis di lapangan kecil berbatu di
mana Arwah Darah Senggini tadi menyiksa nya.
Tanpa bicara apapun si gendut ikut-ikutan memandang ke arah yang sama.
Kening si kakek berkerut, bola matanya berputar lucu tak mau diam.
"Hem, ternyata dia kembali dengan berhampa tangan. Tapi mengapa masih bisa
bernafas" Masih hidup" Ke mana perginya lebah-lebah beracun itu" Harusnya
binatang yang bersarang di dalam gua menyengatnya sampai mampus." gumam si kakek
gendut. "Eh, engkau bicara apa" Mengapa tak kulihat perempuan cantik itu membawa harta?"
tanya Siwarana jadi terheran-heran.
"Harta jidatmu monyong. Bukankah sudah kukatakan sejak tadi aku hanya
mengecohnya. Mengalihkan perhatian nenek cantik itu agar aku dapat dengan
leluasa membantumu"!" Siwarana tepuk keningnya
sendiri. "Ah, maafkanlah aku lupa!" ucap si pemuda tersenyum sendiri.
"Kau lihat! Dia mulai mencarimu.
Dia memaki, mendamprat. Dasar edan orangnya sudah tak ada pun masih dicarinya."
rutuk si kakek. Siwarana diam mendekam di tempatnya. Hatinya mulai gelisah,
takut bila si cantik mengetahui tempat persembuyiannya. Lain lagi halnya dengan
si kakek gendut. Dia mulai berpikir untuk menghampiri Arwah Darah Senggini yang
berjalan mundar-mandir di seputar lapangan berbatu. Tapi sebelum niatnya
terlaksana mendadak sontak terdengar suara hembusan angin yang sangat keras
sekali. Hembusan angin kencang menerbangkan apa saja yang di laluinya. Selain
itu pada waktu bersamaan tercium pula bau busuk yang sangat menyengat. Bau
busuknya bangkai.
9 Di tengah lapangan kecil berbatu Arwah Darah Senggini yang sedang dilanda
kemarahan hebat tentu saja
sempat terkejut melihat keanehan yang terjadi dengan sangat tiba-tiba ini. Bagaimanapun
penipuan yang telah dilakukan oleh suara seseorang yang datang dari arah lereng
gunung tadi telah menumbuhkan dendam tersendiri yang sulit dipadamkan, meskipun
dia telah mencincang tubuh orang itu. Dan kemarahan semakin meluap-luap begitu
dia kembali si perempuan cantik tidak menemui Siwarana berada di tempat itu.
"Dia, pasti dia orangnya!" geram si cantik sambil banting kakinya. Hentakan yang
keras membuat kaki si cantik amblas hingga sebatas mata kaki. Selagi diri Arwah
Darah Senggini dilamun kemarahan yang demikian hebat, maka hembusan angin
semakin bertambah keras. Bau busuknya bangkai semakin tajam menusuk.
"Jahanam, bangsat mana lagi yang berani mati dengan membuat ulah seperti ini"!"
geram si nenek. Dengan perasaan kesal dia berpaling ke arah angin membadai yang
datang secara bertubi-tubi.
Dia jadi heran karena tidak melihat apapun di depan saja terkecuali kabut hitam
pekat yang bergulung-gulung menyertai hembusan angin yang tak kunjung henti.
"Kunyuk tengik, siapapun dirimu adanya jika memang punya kepentingan denganku
harap mau tunjukkan diri!"
teriak si cantik. Suaranya keras melengking menindih suara gemuruh angin yang
memporak-porandakan
daerah di sekitar lapangan berbatu.
Sepi sejenak, hanya deru suara
angin saja yang terdengar. Tapi tak berapa lama kemudian terdengar suara gelak
tawa yang begitu keras mengelegar.
Tanah, lamping batu di sebelah kanan si cantik bergetar hebat, bahkan lereng
gunung ikut pula bergetar. Di tempat persembunyiannya Siwarana terpaksa tekap
kedua telinga untuk menghindari pengaruh getaran suara tawa. Sedangkan di
sebelahnya kakek gendut besar Gentong Ketawa tampak duduk bersila dengan tubuh
terguncang hebat.
"Kadal buntung! Setan mana yang suaranya seperti itu?" maki si kakek sambil
menutup indera pendengarannya.
Kembali ke tengah lapangan berbatu Arwah Darah Senggini berdiri tegak dengan
tubuh tergontai-gontai. Tapi anehnya perempuan itu sama sekali tidak bergeming
dari tempatnya.
Telinga tidak ditutup dengan
tangan, bahkan dia tidak pula kerahkan tenaga dalam untuk menutup indera
pendengarannya. Sungguh apa yang di perlihatkan oleh si cantik merupakan satu
tindakan nekad yang dapat mengancam keselamatan dirinya sendiri. Beberapa saat
berlalu, perlahan suara tawa yang terdengar di tengah hembusan angin kencang
mereda. Perempuan itu menyeringai. Lalu dia keluarkan seruan keras.
"Sudah bosan kau tertawa" Sungguh demi para iblis, andai suara tawamu dapat
meruntuhkan dinding langit, tapi aku Arwah Darah Senggini tidak akan
terpengaruh walau barang sedikitpun.
Hik... hik... hik!" kata perempuan cantik itu disertai tawa dingin menyeramkan.
"Arwah Darah Senggini. Kau
mempunyai hutang nyawa yang harus kau lunasi hari ini!" terdengar satu seruan
dalam getaran mengandung dendam kesumat.
Mendengar ucapan orang Arwah Darah Senggini tentu saja melengak kaget.
Sedangkan si cantik yang terlihat seperti perempuan setengah baya ini cepat
memandang ke arah datangnya suara, sementara itu hembusan angin kencang mulai
mereda, sedangkan bau busuknya bangkai terasa semakin keras menyengat.
"Setan kuburan, siapa dirimu"
Sepanjang hidup aku merasa tidak pernah berhutang nyawa dengan siapapun, apalagi
berhutang pada bangkai kuburan!"
dengusnya kesal.
"Ha... ha... ha! Mungkin kau lupa, mungkin kau sudah tidak mengingat peristiwa
yang terjadi sekitar dua puluh delapan tahun yang lalu. Tapi aku tidak.
Aku tetap mengenangnya, aku tidak akan lupa sampai dunia kiamat!" dengus suara
itu. Beberapa saat lamanya Arwah Darah
Senggini diam tertegak di tempatnya berdiri. Dia mencoba memutar otak, mengingat
segala kejadian yang berlangsung sekitar tiga puluh tahun yang silam.
Mula-mula terbayang olehnya wajah seorang kakek tua berbadan sedikit bongkok.
Dan itu adalah sosok wajah Rowe Rontek Panjane. Si kakek tua yang masih
terhitung sahabatnya sendiri. Rowe Rontek Panjane telah dibunuhnya karena
dianggap tidak mampu memenuhi segala apa yang dijanjikan oleh muridnya. Setelah
itu muncul pula seraut wajah lain. Wajah seorang laki-laki muda dengan tampang
memelas semasa hidupnya berada dalam kemelataran yang amat sangat. Si perempuan
cantik ingat betul, yang satu ini adalah Raden Ponco Sugiri murid Rowe Rontek
Panjane. Manusia yang dianggapnya telah mengingkari segala janjinya yang pernah
dia ucapkan. Konon Raden Ponco Sudiri terbunuh di tempat pengasingannya di
puncak gunung Wilis.
Si cantik gelengkan kepala. Semua yang pernah terjadi di masa lalu terbayang
dengan jelas. Termasuk juga mengenai keinginan Raden Ponco Sugiri yang ingin
merebut kembali harta warisan orang tuanya yang telah dikangkangi oleh saudara
tirinya Raden Ronggo Anom. Semua rentetan peristiwa itu seakan bergulir begitu
saja, berjalan sesuai dengan apa
yang dikehendakinya.
Kini Arwah Darah Senggini jadi
ingat pada Babat Nyawa, mahluk gaib yang dipiara nya selama berpuluh-puluh
tahun. Pada malam kejadian di sekitar dua puluh delapan tahun yang silam, mahluk sakti
inilah yang diperintah si cantik untuk membunuh Raden Ronggo Anom. Manusia
paling culas adik tiri Raden Ponco Sugiri.
"Manusia tengik itu pun telah mampus puluhan tahun yang silam. Jika memang dia
adanya yang munculkan diri di tempat ini, berarti yang muncul adalah jasad
busuknya. Dia memiliki ilmu aneh, ilmu apapun namanya yang jelas dengan ilmu itu
dia bangkit dari kuburnya!"
batin perempuan itu.
Walau Arwah Darah Senggini seumur hidup tidak pernah merasa gentar menghadapi
musuh yang manapun, tapi kini membayangkan bagaimana mayat orang yang telah mati
dapat bangkit kembali, mau tak mau tengkuk si cantik berubah dingin seperti es.
"Bagaimana Wowor Baji Marani, kau sudah tahu nyawa siapa yang harus kau bayar?"
hardik suara itu.
"Hik... hik... hik! Aku tak akan pernah lupa atau sengaja melupakan kesenangan
yang pernah terjadi puluhan tahun yang silam. Walau aku tak pernah
melihat bagaimana tampangmu dulu dan sekarang, tapi aku tahu kau pasti adalah si
keparat Raden Ronggo Anom!" dengus Arwah Darah Senggini sinis.
"Hak... hak... hak! Bagus kalau kau sudah tahu. Dengan begitu aku tak perlu
merasa bersusah payah menerangkan siapa diriku! Sekarang apakah kau siap
menyerahkan nyawamu!" tanya suara itu.
"Aku sudah siap sejak tadi Raden bangkai. Mendekatlah ke mari, bagian mana dari
tubuhku ini yang hendak kau jebol?"
teriak si cantik lantang.
"Pertama aku menginginkan
jantungmu. Setelah itu aku menghendaki bagian tubuhmu yang lain!" sahut suara
yang belum memperlihatkan ujudnya ini dingin. Belum lagi gema suara yang
terdengar lenyap, mendadak sontak terdengar desiran halus menyambar telinga si
cantik. Arwah Darah Senggini surut satu langkah ke belakang begitu merasakan
bagian telinga kirinya seakan seperti diterabas senjata tajam.
Wajah mendadak pucat, agaknya dia menyadari lawan mungkin mengetahui titik
kelemahannya. Di depan sana terdengar suara tawa melengking panjang disertai
berkelebatnya satu sosok tubuh nyaris telanjang yang bergerak cepat ke arah si
cantik. Begitu sosok setengah manusia
setengah bangkai ini melesat di udara dua tangan dipentang, sepuluh jari
terkembang. Ketika sepuluh jari berkuku hitam dijentikkah ke depan. Sepuluh
sinar hitam menggidikkan setipis benang menderu sebat menghujani sekujur tubuh
Arwah Darah Senggini. Perempuan itu terkesiap ketika menyadari bagaimana ke
sepuluh sinar maut itu tiba-tiba berubah melengkung berusaha melingkup dan
meringkus dirinya.
Si cantik berteriak keras, kaki
dihentakkan lalu laksana kilat tubuhnya melesat di udara. Lingkupan sinar maut
berhawa dingin membekukan ini mengenai tempat kosong, dua di antaranya
menghantam pohon besar di luar lapangan.
Terdengar suara letupan kecil. Pohon mengeluarkan suara berkeretekan, tidak
roboh tidak pula tumbang. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membuat semua
orang yang melihatnya jadi terkesiap kaget. Seluruh daun pohon mendadak rontok
layu, ranting dan batangnya menyusut kemudian hancur menjadi abu.
"Pukulan Mayat Memisah Roh!" seru si cantik. Dengan cepat selagi tubuhnya masih
mengambang di udara dia lakukan serangan balasan. Dua tangan dipukulkan lurus ke
arah Mayat Hidup.
Wuut! Wuut! Sinar biru berkelebat, angin
menderu bergulung menerjang Mayat Hidup.
Yang diserang mendengus, lalu gerakkan kedua tangannya ke atas mirip dengan
gerakan orang yang melambaikan tangannya.
Sekali lagi sinar hitam berkiblat hawa dingin menghampar menindih serangan
berhawa panas yang dilepaskan oleh si cantik.
Tess! Arwah Darah Senggini terkesiap
kaget begitu merasakan pukulan saktinya seakan amblas, lenyap ditelan serangan
lawan. Dengan muka pucat dan tubuh bersimbah keringat dingin dia melakukan
gerakan yang sulit demi menyelamatkan selembar nyawanya. Tapi tak urung ujung


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki kirinya masih sempat tersambar
pukulan lawan. Bagian kaki yang terkena pukulan terasa sakit mendenyut laksana
ditusuki ribuan batang jarum. Bahkan di bagian ujung jari berubah seperti
membeku. Sungguh pun begitu si cantik masih sanggup jejakkan kedua kaki ke tanah
meskipun tubuhnya nampak terhuyung.
Belum lagi Arwah Darah Senggini
siap pada posisinya dia kembali merasakan sambaran angin mendera punggungnya.
Dia cepat berbalik sambil mencoba memapaki serangan lawan. Baru saja tubuhnya
berbalik menghadap ke arah Mayat Hidup, saat itu satu tangan hitam menebar bau
busuk menyengat melabrak dadanya.
Desks! "Hugh...!" Arwah Darah Senggini mengeluh tertahan, tubuhnya terpelanting, jatuh
berdebu kan dengan mulut menyemburkan darah. Di depan sana Mayat Hidup sunggingkan seringai dingin. Si
cantik coba berdiri secepat yang dapat dia lakukan. Dia jadi kaget ketika
merasakan dadanya mendadak jadi sesak.
Megap-megap sambil bertumpu pada kedua tangan dia perhatikan dadanya. Kejut di
hati si nenek bukan olah-olah begitu melihat satu kenyataan bahwa pakaian di
bagian dadanya berlubang besar, hangus menghitam meninggalkan bekas lima jari
telapak tangan.
Karena lawan nampak terus
memburunya, sambil bergulingan ke kiri selamatkan diri si cantik kerahkan tenaga
yang segera dipusatkan ke bagian dada untuk menyembuhkan luka dalam yang dia
derita. Perlahan hawa dingin lenyap, rasa sakit yang mendera dadanya juga ikut
lenyap. Arwah Darah Senggini tanpa membuang waktu segera melompat. Begitu
tubuhnya melesat ke atas kedua tangan si cantik langsung didorong ke depan siap
melepaskan pukulan Penghancur Jasad Pengusir Roh. Inilah salah satu pukulan yang
paling berbahaya dan agaknya si cantik tidak mau berlaku ayal, sehingga ketika
dia dorongkan kedua tangannya tadi
si cantik tak lupa menyertakan seluruh tenaga sakti yang dia miliki.
Akibatnya sungguh sangat luar
biasa, serangan maut yang dilakukan oleh Mayat Hidup berantakan di tengah jalan.
Bukan hanya sampai di situ saja. Sebagian besar pukulan Arwah Darah Senggini
langsung melabrak sosok setengah manusia setengah bangkai yang pada saat itu
meluncur deras ke arahnya. Tak ampun lagi pukulan si cantik menghantam telak
sosok Mayat Hidup. Begitu kena dihantam detik itu juga terdengar suara jeritan
melengking laksana suara orang mengeruk.
Sosok Mayat Hidup tercerai-berai, potongan tubuhnya yang membusuk itu bertaburan
ke segenap penjuru arah dan jatuh berserakan di atas tanah.
Si cantik jatuh terduduk, nafasnya tersengal-sengal. Walau luka dalam akibat
pukulan lawan tadi sempat disembuhkan, tapi karena barusan tadi dia menguras
tenaga dalam guna melepas pukulan saktinya, tak urung luka yang baru
tersembuhkan tadi kini kambuh lagi.
Sejenak lamanya Arwah Darah Senggini duduk bersila, mata terpejam sambil
menghimpun tenaga saktinya. Si cantik terbatuk beberapa kali, dari sudut
bibirnya meleleh darah kental berwarna hitam.
10 Sementara itu kakek Gentong Ketawa dan Siwarana yang masih mendekam di tempatnya
di balik ke rindangan pohon di lereng bukit tampak saling pandang. Si kakek
gendut usap wajahnya. Pertempuran sengit yang berlangsung tadi membuatnya geleng
kepala. "Si nenek cantik itu sungguh luar biasa. Pamanmu yang baru datang dari kubur
saja dibuatnya tercerai-berai.
Boleh juga dia punya kesaktian!" kata si gendut memuji.
"Kek, sekarang saatnya bagi kita untuk menghabisi perempuan itu. Jika tidak
cepat atau lambat dia yang akan menghabisi kita!" ujar Siwarana tanpa
menghiraukan ucapan Gentong Ketawa.
"Aku bukan manusia pengecut, mempergunakan kesempatan selagi lawan terluka. Tapi
memang kurasa dalam menghadapi iblis seperti dia rasanya kita memang tidak
memerlukan segala macam peradatan!" kata Gentong Ketawa menanggapi. Si kakek
bangkit berdiri dengan diikuti oleh Siwarana, si bongkok muka cacat yang kini
sekujur tubuhnya telah menghitam macam arang. Sekali lagi sebelum bangkit
berdiri si kakek memandang ke depan, ke arah lapangan berbatu di mana Arwah
Darah Senggini masih tetap duduk seperti semula.
Mendadak gerakan kaki si kakek yang siap terayun jadi terhenti begitu dia
melihat satu bayangan putih berkelebat cepat laksana kilat dari arah belakang si
cantik. "Satu lagi tamu datang mencari mati!" dengus Gentong Ketawa sambil usap-usap
perutnya yang gendut besar.
Siwarana tercekat, dia ikut pula memandang ke arah lapangan. Pada saat itu dia
melihat bayangan putih tadi sudah menghantam Arwah Darah Senggini yang sedang
bersemedi dari arah belakang.
Sinar hitam, merah dan biru menderu di udara, bergulung-gulung siap melabrak
hancur tubuh si cantik. Tapi pada saat itu pula tanpa terduga dari bagian
telinga kiri Arwah Darah Senggini mengepul asap tebal bergulung-gulung.
Ketika asap menyentuh udara dengan cepat sekali kepulan asap kelabu itu
membentuk satu sosok berwajah angker berulir hitam kemerahan, bercambang lebat
sedangkan di setiap sudut bibirnya mencuat sepasang taring yang panjang dan
tajam. Begitu sosok dari asap tadi telah membentuk satu ujud yang utuh dan
jejakkan kedua kakinya di atas tanah. Maka sosok setinggi enam tombak ini
gerakkan tangannya yang besar panjang berbulu menangkis pukulan ganas orang yang
baru datang. Bessss! Terdengar suara seperti besi panas yang dicelupkan ke dalam air. Pukulan yang
seharusnya menghantam bahu belakang si nenek mendadak amblas tak berbekas ke
dalam telapak tangan sosok tinggi besar ini. Belum lagi hilang rasa kejut di
hati penyerangnya, tiba-tiba sambil
menyeringai tangan mahluk yang menjelma dari asap terjulur memanjang
mencengkeram batang leher orang itu. Si penyerang yang bukan lain adalah Danang
Pattira terkejut besar dan coba selamatkan diri dengan mencoba berkelit ke
samping. Tapi gerakan tangan yang terjulur memanjang itu sungguh cepat luar
biasa bahkan sulit diikuti kasat mata. Di lain kejap tahu-tahu leher si pemuda
sudah kena dicekal.
Danang meronta, lehernya terjepit keras.
Sekuat apapun dia kerahkan tenaga untuk membebaskan diri, namun usahanya itu
hanya sia-sia saja. Semakin keras Danang meronta, maka jepitan terasa semakin
mencekik hingga membuat pemandangannya jadi gelap dan kepala serasa mau meledak.
Kreeek! Terdengar suara tulang leher
berderak patah. Danang Pattira berke-lojotan sesaat lamanya. Tidak lama gerakan
kaki maupun tangannya makin melemah hingga tidak bergerak sama sekali. Mahluk
aneh yang keluar dari
telinga si nenek sunggingkan seringai aneh. Sosok Danang yang telah kehilangan
nyawa langsung dibantingkannya. Kembali terdengar suara berderak. Sosok setinggi
galah berbalik menghadap ke arah si nenek cantik, begitu tubuhnya membungkuk
maka sosoknya langsung memudar, lenyap berubah menjadi gumpalan asap. Dengan
cepat gulungan asap bergerak seperti tersedot memasuki telinga si cantik. Di
saat seperti itulah dari balik kelebatan pohon di lereng gunung berkelebat dua
bayangan. Sosok besar yang berada di depan langsung hantamkan tangan kanannya ke arah
telinga kiri si cantik di mana mahluk aneh tadi melenyapkan diri.
Tak mau ketinggalan bayangan yang berkelebat di sebelah si gendut besar juga
ikut melepaskan pukulan ke arah Arwah Darah Senggini. Dua larik sinar putih dan
kuning menderu, melesat laksana kilat menghantam telinga dan bagian rusuk si
cantik, hawa panas menghampar. Detik berikutnya pukulan ganas itu melabrak ke
arah Arwah Darah Senggini. Seakan sadar terjaga dari tidurnya perempuan cantik
yang wajah aslinya adalah seorang perempuan tua renta ini masih dalam keadaan
bersila langsung menghindar ke samping sambil keluarkan seruan keras.
Buum! Buum! Dua kali ledakan berdentum
terdengar, gunung Liman laksana diguncang gempa dahsyat. Lubang besar nampak
menganga, mengepulkan asap Hitam pekat luar biasa. Arwah Darah Senggini yang
baru selamatkan diri dari pukulan lawannya sempat tercekat. Dia memandang ke
arah datangnya pukulan. Gelap! Beberapa saat Arwah Darah Senggini terpaksa
menunggu. Tak lama setelah kegelapan sirna si cantik melihat di depannya berdiri
tegak seorang kakek tua berbadan tinggi besar berperut gendut berbaju hitam
tidak terkancing. Kakek yang satu ini dia masih mengenali. Beberapa waktu yang
lalu dia sudah melihatnya, ketika si cantik melarikan Siwarana. Tapi pemuda di
samping si kakek Bungkuk seperti Siwarana. Akan tetapi mengapa kulitnya berubah
hitam begitu rupa"
"Jahanam tengik! Gendut sialan, kau orangnya yang telah menipuku." hardik si
cantik. Gentong Ketawa tertawa terbahak-bahak.
"Sudah kau dapatkan harta itu?"
tanya si gendut.
"Bangsat! Kubunuh kau!" teriak perempuan itu. Ingat dengan semua apa yang
dilakukan si kakek dia jadi lupa dengan tujuan semula yang ingin menguliti
Siwarana dalam keadaan hidup.
"Kau hendak membunuhku" Bagaimana jika sebelum mati aku minta telinga
kirimu untuk kubuat bekal menuju ke alam baka"! Ha... ha... ha!" kata si kakek.
"Boleh! Kau bisa mengambilnya setelah menghadap setan di neraka!"
menyahuti Arwah Darah Senggini. Selesai berucap dia melompat ke depan, dua
tangan berkelebat. Satu menyambar dada dan satunya lagi menyambar bagian mulut
Gentong Ketawa.
"Habis mulutku!" seru si kakek. Dia lalu bergulingan ke belakang, sambil
bergulingan kedua tangan dipukulkan menyambut serangan Arwah Darah Senggini.
Dess! Dess! Dua pasang tangan saling bertemu di udara membuat si gendut terdorong mundur,
jatuh dengan dua kaki tertekuk. Di depannya sana Arwah Darah Senggini nampak
terhuyung. Dua tangan yang saling bentrok dengan tangan lawan terasa ngilu sakit
di bagian dalam. Merasakan betapa besar tenaga dalam yang dimiliki lawannya,
kini dia tak mau berlaku ayal. Kedua tangan kemudian disilangkan, jemari
terkembang, tenaga dalam diarahkan langsung ke bagian tangan kiri kanan. Di lain
kejap sepasang tangan yang bersilangan itu telah berubah laksana besi merah
membara. "Nenek cantik, mengapa wajahmu
tidak kau buat merah membara sekalian hingga terlihat ujud mu yang sebenarnya"
Ha... ha... ha!" ejek si kakek.
Walau dalam hati Arwah Darah
Senggini terkejut mendengar lawan mengetahui siapa dia yang sesungguhnya, tapi
si nenek tak menanggapi. Malah kini dia melakukan gerakan lebih cepat dengan
melompat ke depan. Begitu tubuhnya melesat dalam gerakan secepat kilat, dua
tangan bergerak ke depan dengan gerakan menggunting. Sepuluh sinar merah
berkelebat menderu ke arah si kakek secara bersilangan. Kejut si orang tua bukan
kepalang. Mustahil dia bergerak mundur, satu-satunya jalan adalah dengan
menjatuhkan diri sama rata dengan tanah.
Tapi sebelum niat terlaksana kaki kanan si cantik melesat pula membabat pinggang
Gentong Ketawa. Tak mau dirinya terkutung menjadi dua akibat guntingan sinar
merah itu, si kakek gendut nekat jatuhkan diri, sedangkan dua tangan
dipergunakan untuk menangkis serangan lawan.
Wuuut! Plak! Dua sinar merah yang menyerang
secara bersilangan menghantam tempat kosong, meluncur deras ke belakang si
kakek, membabat putus pepohonan besar.
Pohon roboh bergemuruh. Siwarana bergidik ngeri melihat bagaimana sinar yang
melesat tadi laksana gunting raksasa memapras pohon. Sementara di depannya sana
Gentong Ketawa jatuh menelentang akibat begitu besarnya tendangan lawan
yang harus ditangkisnya.
"Kadal! Perempuan tengik!" teriak si kakek sambil mengibaskan kedua tangannya
yang nampak bengkak membiru.
"Mampus kau sekali ini!" geram Arwah Darah Senggini. Sambil berteriak tanpa
menyia-nyiakan kesempatan lagi dia kembali menghantam lawannya dengan pukulan
yang mematikan.
"Setan kampret!" maki Gentong Ketawa. Dengan gerakan cepat dia menggulingkan
dirinya ke tempat yang aman. Sambil bergulingan Gentong Ketawa lepaskan pukulan
'Selaksa Duka'. Sinar merah membersit dari telapak tangan si kakek, lalu menderu
deras memapak pukulan lawannya.
Blaam! Terjadi ledakan berdentum.
Perempuan itu terdorong dua tombak ke belakang. Tanah dan bebatuan di tengah
lapangan kecil terbongkar membentuk satu lubang yang sangat besar di bagian
dalam. Dari bagian dalam lubang yang menganga akibat pukulan memancar cahaya warna-
warni menyilaukan mata. Melihat semua ini Siwarana berseru.
"Harta... harta milik leluhurku!"
Tertarik akan apa yang dilihatnya dia jadi lupa pada bahaya yang mungkin datang
secara tidak terduga. Tanpa pikir panjang lagi dia segera menghambur dan
bermaksud masuk ke dalam lubang.
"Dodol, kau cari mampus"!" teriak Gentong Ketawa berusaha mencegah.
"Kakek tua, aku ingin kaya, aku ingin membangun dunia. Hadapilah perempuan
sinting itu!" sahut Siwarana tanpa menghiraukan peringatan si kakek.
"Setan hitam, kulitmu boleh berubah seribu kali. Tapi aku tetap bisa mengenali
dirimu. Tubuhmu bungkuk, kau tak bisa menipuku. Boleh aku gagal mengulitimu
hidup-hidup. Sekarang terimalah ajalmu!" teriak Arwah Darah Senggini. Belum lagi
hilang suara teriakannya
perempuan ini langsung
hantamkan tangannya ke arah Siwarana.
Sinar hitam berkiblat. Tak ampun lagi langsung melabrak tubuh pemuda itu yang
sudah hampir mendekati lubang.
Siwarana menjerit keras, tubuhnya melayang jauh dihantam pukulan si cantik.
Gentong Ketawa yang tak sempat menolong pemuda itu mengingat jaraknya yang
terlalu jauh jadi terlolong.
"Pedang Pembantai Iblis dan seluruh harta itu"! Semuanya harus menjadi milikku."
berkata begitu Arwah Darah Senggini berlari cepat dekati lubang. Si kakek gendut
tak tinggal diam.
"Harta dan pedang hebat itu boleh berada di tanganmu. Tapi nanti setelah nyawamu
dibawa setan terbang ke langit!"
Selesai berucap Gentong Ketawa menghantam lawan dengan pukulan Iblis Ketawa Dewa
Menangis. Tujuh larik sinar pelangi menderu sebat di udara, bergulung-gulung
disertai menghamparnya hawa panas luar biasa. Si cantik tentu tak mau menjadi
korban pukulan maut itu. Sehingga dia berbalik, lalu pukulkan kedua tangannya
menyambuti serangan lawan. Karena saat melepaskan pukulan perempuan ini diwarnai
rasa benci dan amarah, tak dapat disangkal lagi kekuatan yang dilepaskannya jadi
berlipat ganda. Si kakek merasa tangkisan lawan membuat tenaga pukulannya
membalik dan seperti hendak menghantam dirinya sendiri. Sekuat tenaga secara
berturut-turut dia kembali hantamkan tangannya ke depan. Tetap saja pukulan
susulan yang dilepaskannya seakan tak memiliki arti sama sekali.
Si kakek gendut jadi keluarkan
keringat dingin. "Celaka, nenek tengik ini ternyata memiliki ilmu aneh." rutuk
Gentong Ketawa. Dengan tangan kiri masih didorongkan ke depan, tangan kanan
bermaksud mengambil senjata berupa trisula berbentuk gagang ketapel tapi
memiliki ketajaman di kedua sisi yang terselip di bagian pinggang, tapi pada
saat yang bersamaan dari arah samping kanan berkelebatan tiga sosok tubuh yang
langsung melepaskan pukulan ke arah Arwah
Darah Senggini.
Tiga sinar mau berkiblat, hawa
panas dan dingin datang silih berganti.
Melihat kenyataan ini, si cantik berubah kaget. Apalagi ketika merasakan
hempasan angin keras yang terasa memanggang dan mengguncangkan tubuhnya. Dia
mencoba menangkis ketiga serangan yang datang sekaligus, tapi tiga serangan yang
datang begitu dahsyat tak terbendung. Tak ampun lagi bagaikan selembar daun
ilalang tubuh si nenek laksana terbang disapu pukulan ketiga pendatang ini.
Di tengah-tengah deru suara angin yang menggemuruh, di antara hawa panas yang
datang silih berganti terdengar suara jerit si cantik. Dia jatuh terhempas
seperti dicampakkan. Dari bibir, hidung dan mulutnya mengucurkan darah kental


Gento Guyon 5 Hutang Dosa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehitaman. Hebatnya lagi walau orang tua itu menderita luka dalam yang sangat
parah, tapi dia masih tetap bertahan hidup. Tapi satu keanehan terjadi pada
wajah Arwah Darah Senggini ini. Jika semula wajahnya cantik mempesona seperti
perempuan berumur dua puluh delapan tahun. Kini setelah tiga pukulan hebat
melanda dirinya sontak wajah si cantik kembali berubah ke ujud aslinya. Berubah
kembali ke aslinya yaitu berupa sosok nenek renta berambut putih bermata cekung
menjorok ke dalam
rongganya yang besar. Bibir si cantik yang kemerahan juga nampak mengeriput
besar di bagian bawah.
Jika kakek gendut Gentong Ketawa terbahak-bahak melihat perubahan itu sebaliknya
tiga pendatang yang terdiri dari Gento Guyon, Ambini dan Tangan Sial sempat
dibuat heran. "Hebat. Bagus betul kau punya rupa yang asli Arwah Darah Senggini. Perempuan tua
rongsokan sepertimu kurasa setan pun bisa lari bila bertemu denganmu! Ha...
ha... ha!" kata si gendut tanpa hiraukan kehadiran orang.
11 Si cantik yang telah kembali kepada ujud aslinya akibat terhantam tiga pukulan
hebat itu hanya diam saja. Dia merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh kehilangan
tenaga, bukan hanya tenaga saja yang seakan lenyap, tapi juga tulang-tulangnya
laksana hancur, gading seperti dibetot. Sejuta rasa dendam dan penasaran
memenuhi benak dan hatinya. Dia menggeram, mulutnya berkemak-kemik mem-baca
mantra untuk menghadirkan mahluk piaraan yang bersemayam di dalam liang telinga
sebelah kiri. "Heh, apa yang hendak di lakukannya"!" seru Gento yang pada saat itu
sudah berada di samping gurunya.
"Dia hendak menggunakan iblis piaraannya untuk membunuh kita!" satu suara
berseru, ternyata yang baru memberi peringatan tadi adalah Si Tangan Sial.
"Gege murid geblek, cegah nenek itu. Hancurkan asap yang keluar dari
telinganya!" teriak Gentong Ketawa.
Tangan Sial yang hendak bergerak jadi urungkan niatnya. Gento cepat mengambil
tindakan. Tiga kali dia berjumpalitan di atas tanah. Begitu dia sampai ke dekat Arwah
Darah Senggini. Dengan cepat dia menghantam asap yang keluar dari telinga kiri
orang tua itu. Si nenek menjerit keras, serta-merta asap yang sudah mengepul
keluar dengan cepat kini melesat masuk ke dalam, lenyap di balik liang telinga.
Arwah Darah Senggini dengan sisa tenaga yang ada miringkan bahunya, tangan
diangkat lindungi telinga kiri sedangkan tangan kanan dipergunakan untuk
menangkis serangan lawannya.
Desss! "Akh...!" Bentrokan keras membuat si nenek yang menderita cidera berat jadi
menjerit. Dia kembali terpelanting dan terjatuh ke dalam lubang.
"Kejar!" teriak Si Tangan Sial. Dia sendiri segera berkelebat dan melompat masuk
ke dalam lubang yang menganga
lebar. Tidak menunggu lebih lama Gento segera
menyusul diikuti oleh Ambini.
Sedang Gentong Ketawa yang tadinya hendak mencegah muridnya kini malah duduk
melongo. Di dalam lubang ternyata suasananya cukup terang. Begitu sampai ketiganya jadi
terkesima begitu melihat timbunan harta yang sangat besar jumlahnya. Ambini
sebagai pewaris harta yang sah sempat tercengang dan tak percaya melihat
kenyataan ini. Tapi dia tidak melakukan apapun pada harta benda yang tak
ternilai harganya ini. Sebaliknya dia segera membantu Gento dan Tangan Sial
mencari Arwah Darah Senggini, sepanjang lorong di bawah tanah tempat penyimpanan
harta itu sudah diperiksa oleh mereka. Tapi ketiga orang ini tak menemukan orang
yang mereka cari. Arwah Darah Senggini seakan lenyap ditelan bumi. Di salah satu
sudut ruangan Ambini melihat sesuatu tergolek dalam keadaan menelentang.
"Gento... di sini...!" seru si gadis tak berani mendekati sosok yang tergeletak
itu. Si Tangan Sial dan murid kakek
Gentong Ketawa segera berlari mendekati.
Sejenak setelah melihat sosok dengan sekujur tubuh serba hitam itu dia jadi
terheran-heran. Jelas sosok itu bukan mayat Arwah Darah Senggini. Penasaran si
pemuda menghampiri, melangkah lebih mendekat dan segera meneliti. Walaupun
sekujur tubuh sosok itu dalam keadaan gosong seperti arang, namun Gento yang
pernah bertemu masih mengenali.
"Siwarana Salah Anuna! Dia adalah adikmu sendiri Ambini. Tapi bagaimana tubuhnya
bisa berubah gosong begini"
Siapa yang punya pekerjaan?" gumam Gento.
"Aku yang membuatnya begitu. Semula dia selamat, tapi keserakahan bercokol dalam
hatinya begitu dia melihat harta.
Dia nekad masuk, peringatanku tidak berguna. Nenek jelek tadi memukulnya, aku
tak sempat menolong. Sekarang jadinya seperti yang kalian lihat, nama depannya
terpaksa ditambah almarhum!" kata satu suara. Begitu mereka memandang ke arah
mulut lubang, ternyata yang baru saja bicara si kakek gendut Gentong Ketawa.
"Adikku... tidak kusangka nasibnya begini buruk. Bukan hanya dia saja yang
tewas, tapi kakang Danang Pattira kulihat juga tidak dapat kuselamatkan," desah
si gadis diliputi perasaan duka yang begitu mendalam. Beberapa waktu berlalu,
suasana dicekam kebisuan. Tapi tak lama kemudian terdengar Si Tangan Sial
berkata. "Hidup dan matinya seseorang sudah ada yang mengatur. Siapa yang ingin kaya
silahkan ambil harta itu, kemudian kita tinggalkan tempat ini!" ucapnya.
"Gege, siapa manusia tangan gosong itu?" tanya si kakek yang baru menyadari
muridnya datang bersama seorang laki-laki dan juga gadis cantik.
Gento Guyon tersenyum. "Orang ini gelarnya Si Tangan Sial, namanya dia sendiri
tidak tahu." si pemuda menyahuti.
"Ha... ha... hal Gelar itu memang sesuai dengan tampangnya. Kurasa bukan hanya
tangannya saja yang sial, seluruh hidupnya pasti penuh kesialan! Dan gadis
cantik itu apamu kah" kekasih, atau sahabat?"
"Inginnya dia jadi kekasihku, tapi kalau dia tak mau mana berani aku memaksanya.
Ha... ha... ha!" sahut si pemuda. Dia lalu melanjutkan. "Nama gadis ini Ambini,
puteri almarhum Raden Ponco Sugiri!"
Gentong Ketawa manggut-mangut. Si Tangan Sial keluar dari dalam lubang sedangkan
Gento ikut menyusul. Ambini menarik nafas pendek. Dia meraup segenggam emas dan
permata, memasukkannya ke dalam kantong perbekalan setelah itu menyusul keluar
pula. "Bagaimana" Kalian tak menemukan nenek karondang tadi?" tanya Gentong Ketawa
begitu ketiganya telah berada di atas lubang.
Tiga kepala sama menggeleng.
"Bangsat itu tak mungkin jadi setan
benaran. Sebaiknya kita ratakan saja lubang ini. Jika nenek itu ternyata masih
hidup, umurnya pasti tak akan bertahan lama!" ucap si kakek.
"Guru, jangan bertindak gegabah.
Tanya dulu pada Ambini apakah dia mengijinkan tindakan guru?" sergah si pemuda.
Gento Guyon, gurunya dan Si Tangan Sial melirik ke arah si gadis.
Tanpa ragu Ambini menjawab.
"Sebaiknya lubang ini disamaratakan dengan tanah untuk mencegah hal-hal yang tak
diinginkan!"
"Terima kasih gadis baik!" kata si kakek. Ambini anggukkan kepala, tapi matanya
mencuri pandang pada Gento Guyon.
Si pemuda kedipkan matanya. Si kakek gendut angkat tangan kanan, selagi tangan
kanan bergetar dan mulai berubah menjadi putih laksana perak. Mendadak terdengar
ledakan berdentum. Tanah terguncang hebat, lubang lenyap tertimbun tanah
lainnya. Begitu si kakek menoleh ke samping Si Tangan Sial menyeringai.
Kiranya dia yang telah meratakan lubang dengan kedua tangannya sendiri.
"Sial, kau membuat aku terkejut."
gerutu si kakek.
"Tak perlu kau maki sekalipun dia memang sudah sial sejak dulu guru. Ha...
ha... ha!" celetuk Gento disertai tawa bergelak.
"Kau juga manusia sialan Gendut!
Ha... ha... ha!" Si Tangan Sial tak mau kalah membalas makian si kakek gendut.
Ambini tersenyum melihat tingkah laku mereka yang seperti anak-anak.
Sedangkan Gento Guyon sendiri hanya dapat gelengkan kepala sambil mengusap
wajahnya. -TAMAT- NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!
TUMBAL RATAN SEGARA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kisah Tiga Kerajaan 22 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pedang Pembunuh Naga 13
^