Pencarian

Tumbal Ratan Segara 1

Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara Bagian 1


1 Suara bunyi gamelan mengalun diiringi
dengan suara gendang yang ditabuh oleh tiga la-
ki-laki berkumis melintang berblangkon butut.
Empat gadis cantik berpakaian sutera kuning
berkain kebaya terus menari sambil melenggang
lenggokkan pinggulnya yang besar. Di sekeliling
lapangan para penonton yang terdiri dari laki-laki dan perempuan memperhatikan
hiburan selamatan ini dengan perasaan takjub. Sesekali terden-
gar tepuk tangan serta sorak sorai yang gempita.
Di antara para penonton laki-laki ada yang ikut
menari atau sekedar menggoyangkan tubuhnya di
pinggir arena pertunjukan. Setiap laki-laki yang melihat bagaimana ke empat
gadis itu menari
hampir tak pernah berkedip. Terkadang terdengar
suara hela nafas di sana-sini. Tarian yang diper-tunjukkan ke empat gadis itu
terasa begitu meng-
goda, membuat hati berdebar dan mengguncang-
kan iman. Tapi tak seorang pun dari para penon-
ton yang berani memasuki arena pertunjukan ka-
rena di sudut lapangan berdiri mengawasi seo-
rang laki-laki berpakaian hitam gelap berwajah
angker. Laki-laki itu merupakan sesepuh dusun
Kedung Ombo. Dia sangat disegani karena ilmu
silatnya sangat tinggi. Di samping juga merupa-
kan ketua adat daerah itu.
Sejak pertunjukan tarian dimulai perhatian
laki-laki yang bernama Ki Busrut Rancak Bana
yang mempunyai lima orang istri dan sebelas istri piaraan itu sebenarnya terus
tertuju pada gadis
berdada dan berpinggul besar yang menari di su-
dut kiri lapangan. Gadis satu ini adalah yang paling cantik dibandingkan tiga
gadis lainnya. Hing-ga tidaklah mengherankan banyak para penonton
laki-laki yang memusatkan perhatiannya pada
gadis itu. Dari tempatnya berdiri, Ki Busrut Rancak
Bana nampak sering mengulum senyum. Tenggo-
rokannya naik turun, lidah dijulurkan dan bibir
dibasahi. Jika kepala manggut-manggut mengiku-
ti suara gendang, maka hatinya ndut-endutan tak
tahan melihat cara si gadis menari. Dalam otak-
nya yang selalu dipenuhi pikiran kotor terencana maksud jahat dan mesum.
"Aku ingat nama gadis itu Arum Sedap. En-
tah bagian mana yang sedap. Tapi kurasa semua
bagian tubuhnya sedap dipandang. Pinggul besar,
dada juga besar. Kuharap semuanya serba besar.
Caranya menari dan menggoyangkan pinggulnya
saja sudah membuat dadaku laksana mau mele-
dak. Apalagi jika aku dapat mengajaknya bercinta seusai acara persembahan
sesajen malam ini!" pikir Ki Busrut Rancak Bana dalam hati. Orang tua
berusia hampir lima puluh tahun ini palingkan
wajah memandang ke belakangnya. Di sana ber-
diri tegak dua laki-laki berpakaian sama bersenja-ta pedang. Kedua laki-laki
bertampang seram ini
langsung bergerak mendekati begitu mendapat
isyarat dari Ki Busrut Rancak Bana. Dia membi-
sikkan sesuatu kepada kedua pembantunya ini.
Yang dibisiki menganggukkan kepala disertai se-
ringai aneh. Mereka lalu melangkah pergi dan menghi-
lang di tengah kerumunan penonton yang berju-
bel. Sementara itu suara gamelan dan gendang
terus bertalu-talu mengiringi ke empat gadis pe-
nari. Semakin bertambah malam, suasana yang
dingin makin menghangat. Keempat gadis terus
menari bagai kesurupan. Di tengah-tengah sua-
sana yang makin bertambah memanas, tiba-tiba
saja terdengar suitan. Sebagian penonton merasa
heran mendengar suitan yang cukup keras itu.
Tapi tak jarang yang bersikap acuh dan terus me-
nari dan harus puas walau hanya sekedar di luar
lapangan pertunjukan.
"Malam begini dingin. Tubuhku menggigil,
mata mengantuk. Sampai di sini ada hiburan gra-
tis. Empat gadis menari. Aduh aku suka tarian.
Kalau boleh tua bangka ini ikut menari aku san-
gat berterima kasih pada yang punya hajat." kata satu suara.
Kemudian terdengar satu suara lain me-
nimpali. "Mau menari sampai tua atau sampai pagi sih boleh-boleh saja. Tapi apa
enaknya menari hanya di luar lapangan. Mereka yang menari
saja kebanyakan sudah pada tegang. Apa jadinya
kalau kau yang sudah tua jadi ikut-ikutan te-
gang" Yang membuat aku bingung nantinya eng-
kau hendak lari ke mana?"
Suit! Suiit! "Mana tahan"! Tidak tua tidak muda, kalau
yang itu kurasa semuanya sama. Kalau aku sam-
pai tegang terpaksa ku pindahkan ke perut, biar jadi kentut! Ha... ha... ha!"
menyahuti suara pertama disertai tawa pendek.
"Aku tidak menganjurkan, aku juga tidak
melarang. Kalau mau menari silakan menari.
Syukur-syukur kau dapat yang serba besar itu,
siapa tahu dia tertarik padamu. Kalau kau dapat
dia jangan lupakan aku!"
"Jadi aku boleh menari?" tanya suara pertama. "Seperti yang kukatakan aku tidak
menganjurkan juga tidak melarang. Tapi kalau mau,
lebih baik menarilah dengan para gadis itu. Kura-sa menari berhadapan dengan
para gadis me- nambah suasana semakin bertambah sedap. Ha...
ha... ha!" menyahuti suara kedua.
Sekali lagi terdengar suara suitan panjang.
Satu sosok tinggi besar luar biasa berkelebat ringan dari kegelapan melewati
kepala para penon-
ton. Di lain kejab si gendut besar dengan bobot
lebih dari dua ratus kati ini sudah berada di tengah para gadis penari.
Kehadiran kakek berbaju
hitam tak dikancing ini tentu mengundang heran
para penonton sekaligus juga mengundang tawa.
Karena cara menari si kakek yang terkesan aneh
dan lucu. Caranya menari tidak mengikuti irama
gamelan atau suara gendang, melainkan terkesan
seenaknya sendiri. Kepala digoyangkan ke kiri
atau ke kanan, mata berputar dikedip-kedipkan.
Tangan melejang-lejang seperti orang terserang
ayan. Bahu naik turun, perut dikedut-kedutkan,
sedangkan dada dibusungkan atau ditarik ke be-
lakang, tak lupa pantat diogel-ogelkan.
"Wah asyik juga. Menari bersama empat
gadis ternyata enak. Hayo tabuh gendang agak
kerasan dikit!" Si kakek gendut besar terus berusaha mengikuti gerak tarian
gadis yang bernama
Arum Sedap. Tapi karena memang tidak pandai
maka gerakan tubuhnya selalu ketinggalan atau
salah melulu. Semua ini tentu saja membuat para
penonton semakin tak dapat menahan tawanya.
Lain halnya dengan Ki Busrut Rancak Bana. Begi-
tu melihat kehadiran kakek yang tak dikenal itu, mula-mula dia tampak heran.
Tapi darahnya kemudian laksana mendidih begitu melihat si gen-
dut aneh menari berpasangan dengan Arum Se-
dap. Gadis cantik yang menjadi incarannya sejak
tadi. Melihat cara si kakek menari dan jaraknya
yang begitu dekat dengan Arum Sedap menim-
bulkan rasa cemburu di hati laki-laki itu. Ma-
tanya mendelik mencorong marah, kedua rahang
bergemeletukan, pipi menggembung dan wajah
tampak tegang luar biasa.
"Gendut Keparat itu, manusia edan yang
baru terlepas dari penjara gila mana?" maki Ki Busrut Rancak Bana geram. "Jika
dia menari dengan tiga penari lainnya tidak mengapa, aku
tak mengambil pusing. Tapi beraninya dia menari
dengan orang yang memenuhi seleraku" Kelak ji-
ka acara persembahan sesajen ini selesai aku
akan menyuruh Ukir Koro dan Rono Gandul un-
tuk mengusirnya!" dengus orang ini.
"Asyik... ha... ha... ha. Asyiik... bocah itu betul-betul tolol tidak ikut
menari padahal tiga gadis belum punya pasangan. Ha... ha... ha!" kata si gendut
besar yang bukan lain adalah kakek
Gentong Ketawa.
Selagi enak si kakek menari, mendadak Ki
Busrut Rancak Bana angkat tangan kanannya
memberi isyarat pada para penabuh gendang dan
gamelan. Begitu diberi isyarat suara tetabuhan
langsung terhenti. Si kakek untuk beberapa saat
terus menari, sementara para penari bergerak
mundur mengakhiri acara tarian. Para penonton
kini mentertawakan si kakek gendut. Sadar irama
gamelan terhenti si kakek jadi kaget. Dia hentikan gerakannya dalam posisi
tangan memeluk, pantat
menyonggeng dan tubuh meliuk seperti orang
yang menderita sakit pinggang.
"Ah, lagi tanggung mengapa harus dihenti-
kan?" gerutu si kakek. Dia melirik ke arah si kumis besar Ki Busrut Rancak Bana.
Dia tahu orang itulah yang tadi memberi isyarat pada para pena-
buh dan pemain gamelan. Kepada orang ini dia
hanya memandang sekilas. Beralih pada Arum
Sedap si gendut kedipkan mata kirinya. Kebetu-
lan Arum Sedap sedang memandang kepadanya
hingga kedipan mata si kakek membuat Arum
Sedap tersipu-sipu.
"Jahanam. Berani betul dia mengedipkan
mata pada Arum Sedap. Dia memang sengaja cari
perkara hendak membuat urusan besar dengan-
ku. Huh... saat ini aku harus menahan diri. Sebelum acara persembahan sesajen
berlangsung aku
tak mau ada masalah atau keributan apapun." Ki Busrut Rancak Bana melirik
sekilas pada si gendut. "Aku tahu, dia bukan orang gila. Dia pasti memiliki ilmu
kesaktian tinggi. Aku sempat melihat bagaimana tadi dia melompat melewati para
penonton. Gerakannya ringan luar biasa, padahal
tubuhnya sangat besar sekali!" batin laki-laki itu.
"Sayang... sayang sekali. Padahal sedang
tanggung. Melakukan pekerjaan apapun kalau
tanggung mana enak" Ha ha ha!" kata Gentong Ketawa. Di balik kegelapan temannya
menyengir sambil nyeletuk.
"Dasar gendut sinting. Bicaramu selalu
ngaco, mulut besar asal ngablak saja! Tapi buat
apa aku urusi dia" Aku sendiri juga mau mengu-
rus persoalanku sendiri!" kata orang itu. Kemudian tanpa bicara lagi orang itu
mendekati meja besar tak jauh dari lapangan pertunjukan tarian.
Kembali pada si gendut yang masih tetap
menyonggeng, tangan dalam posisi memeluk,
pinggang miring dan mulut cemberut. "Bapak penabuh gendang dan bapak gamelan.
Tega dikau membuat tubuhku jadi begini. Gusti... gusti...!"
keluh si kakek. "Hayo gendang ditabuh, gamelan dipukul. Aku masih ingin menari!"
Para penabuh gendang dan gamelan diam
membisu. Wajah mereka diwarnai ketegangan.
Dalam pada itu dua laki-laki anak buah Ki Busrut
Rancak Bana sudah menggiring ke empat penari
tadi meninggalkan lapangan pertunjukan. Semen-
tara Ki Busrut sendiri melangkah mendekati si
gendut diiringi tatap cemas para penonton. Mere-
ka sadar betul Ki Busrut Rancak Bana adalah
orang yang sangat ditakuti di daerah itu. Dia yang membuat pesta tarian dan
acara sesajen. Siapa
yang berani mengganggu itu berarti kematian ba-
ginya. Tapi agaknya sikap laki-laki itu kini agak lain. Dia tidak langsung
menurunkan tangan keras. Sebaliknya unjukkan sikap agak bersahabat.
"Sobat gendut, acara tarian untuk semen-
tara dihentikan dulu. Aku harus memimpin upa-
cara sesajian. Kalau kau suka, berkenan di hati
boleh saja ikut menghadiri upacara kami!" berkata Ki Busrut Rancak Bana.
Mulutnya sungging-
kan senyum ramah dan tampang bersahabat, tapi
hatinya memaki habis-habisan.
Gentong Ketawa usap keningnya yang lebar
berkeringat. Dia sempat melongo. Habis melongo
baru sunggingkan senyum khasnya. "Jadi... jadi kapan acara tarian digelar lagi?"
tanya si kakek.
"Nanti setelah setahun dari malam ini." sahut Ki Busrut Rancak Bana sambil
menyeringai. "Orang tuamu ini kecewa. Orang tuamu ini
kecewa, tapi tak mengapa. Aku bisa maklum. Se-
karang aku tak mau usil. Silakan anak memimpin
upacara biarkan aku ikut menyaksikan dari sini
saja. Ha... ha... ha!"
"Terima kasih kau mau mengerti." ujar si laki-laki. Jauh di lubuk hatinya dia
berkata. "Gendut edan tak tahu diri. Siapa sudi berorang tua denganmu" Keledai sekalipun
tak mau mempunyai orang tua sepertimu!" Tak lama setelah memperhatikan Gentong
Ketawa, Ki Busrut palingkan wajahnya ke arah para penonton sambil
memberi isyarat agar mereka mendekat ke arah
meja besar berlapis kain merah. Di atas meja itu ada berbagai hidangan lezat.
Ada panggang ayam,
gulai kambing, bubur hitam putih. Berbagai jenis bunga, buah dan berbagai bentuk
sesajen lain yang semuanya diletakkan dalam wadah terbuat
dari mangkuk tanah liat hitam.
Semua penonton kini duduk berbaris
membentuk deretan memanjang ke belakang. Ki
Busrut Rancak Bana berjalan ke depan meja Se-
sajen. Dia mendekati sebuah pendupaan besar
yang baru saja digotong oleh dua orang pemuda
ke depan meja. Pendupaan itu berisi bara menya-
la. "Kalian dengar wahai semua penduduk du-


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sun Kedung Ombo. Malam ini kita kembali men-
gadakan upacara sesajen agar para roh, para ar-
wah leluhur nenek moyang kita memberi restu
atas semua usaha kita. Dan yang lebih penting
semoga penguasa alam kegelapan tidak murka
dan menurunkan laknat pada kita semua! Nan-
tinya setelah upacara Suguh Sesajen ini usai, ku-harapkan semuanya kembali ke
rumah masing- masing dengan tertib. Jangan ada perbincangan
atau perdebatan apapun. Besok pagi-pagi sekali
perintahkan setiap anak gadis mandi kembang di
kali agar terhindar dari petaka dan bala. Seka-
rang harap semua kepala ditundukkan, baca doa
sebagaimana biasanya!" kata Ki Busrut Rancak Bana. Semua orang yang hadir sama
tundukkan kepala dan membaca apa saja dalam hati masing-
masing. Mulut mereka ada yang komat-kamit, ada
pula yang dicibirkan, ada yang menggerutu ada
yang tersenyum. Melihat semua ini Gentong Ke-
tawa yang bersandar pada tiang teratak lapangan
tarian hanya tersenyum mencibir sambil berkata.
"Kurasa inilah langkahnya orang sesat. Jangan-jangan semua yang hadir itu
bukannya mendoa,
tapi mengutuki yang memimpin jalannya sesa-
jian." Sementara di dekat pendupaan Ki Busrut Rancak Bana sudah menaburkan
serbuk hitam ke dalam bara api. Mulut yang tertutup kumis le-
bat berkemak-kemik, terdengar pula suara racau.
Bau harum semerbak kayu Cendana menebar.
Setelah suara racau si orang tua lenyap maka dia jatuhkan diri, dua tangan
disatukan. Sepuluh jari disusun dan diangkat ke atas kepala. Ki Busrut
Rancak Bana bungkukkan badan bersikap seperti
orang yang menyembah.
"Aku telah persembahkan apa yang menja-
di kesukaanmu wahai penguasa alam gelap. Sila-
kan menikmati dengan lahap. Tapi setelah per-
sembahan diterima dan dinikmati harap jangan
ganggu kami!" kata laki-laki itu sambil tegakkan kepala kembali memandang ke
alas meja Suguh
Sesajen. Saat itulah dia melihat berkelebatnya satu
tangan menyambar panggang ayam dan beberapa
jenis makanan lainnya. Tangan lenyap bersama
panggang ayam di balik meja yang tertutup kain
hingga ke bagian kaki meja itu. Ki Busrut Rancak Bana tersentak kaget dan
belalakkan matanya.
Dalam hati dia merasa heran bagaimana mungkin
panggang ayam dan buah bisa lenyap. Padahal
hal aneh seperti ini belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya"
"Ada seseorang yang hendak mengacau!"
membatin orang ini geram. Dia jadi teringat pada si kakek gendut hingga
membuatnya menoleh ke
belakang. Ternyata si gendut masih berada di si-
tu, duduk di bawah teratak bersandar pada tiang
kayu. Duduk diam dengan mata setengah men-
gantuk. Jelas si gendut besar tidak melakukan
apa-apa, lalu siapa yang berani mengganggu ja-
lannya upacara Suguh Sesajen.
Orang tua ini kemudian memutuskan un-
tuk melakukan pemeriksaan. Tapi pada saat itu-
lah terdengar suara orang mengeluarkan kentut
besar. Lalu tercium bau busuk. Bau busuk lenyap
berganti dengan hembusan angin kencang luar
biasa yang datang dari arah meja. Semua orang
sama tersentak kaget. Tak terkecuali Ki Busrut
maupun Gentong Ketawa.
Di tempat duduknya si gendut menyeletuk.
"Wah hebat, setannya sudah datang. Rupanya
bangsa setan juga tahu makanan enak dan bisa
kentut!" Dia lalu julurkan lidah basahi bibir.
Tenggorokannya bergerak-gerak membayangkan
betapa lezatnya makanan yang dijadikan sesajen
itu. Suara gemuruh terus terdengar. Dalam pa-
da itu terdengar suara keras, besar sember yang
seakan datang dari empat penjuru arah. "Ki Busrut Rancak Bana. Aku tahu kau
hendak meme- riksa meja. Aku telah mendengar kau menyuruh-
ku menikmati hidangan ini. Hidanganmu kuteri-
ma dan kuambil. Mengapa kau seperti tidak ik-
hlas memberi" Aku adalah kegelapan, aku pengu-
asa. Apa perlu dusun Kedung Ombo ini kurata-
kan dengan tanah, apa perlu semua orang kubu-
nuh" Aku bisa saja membunuh kalian semua
hanya dengan satu tiupan. Tapi aku yang mem-
bunuh, dosanya kau yang menanggung! Krauk...!"
kata suara aneh itu disusul dengan suara orang
menggerogoti tulang.
Semua yang ikut menjalani upacara sesa-
jen jadi ketakutan. Di antara mereka bahkan ada
yang gemetar, ada pula yang terkencing di celana.
Ki Busrut Rancak Bana tak kalah kaget-
nya. Dengan suara bergetar dan wajah pucat dia
berkata. "Maafkan aku yang bodoh ini wahai Penguasa Kegelapan. Kau... kau boleh
menikmati se- sajen sesukamu. Tapi jangan timpakan bala dan
amarah pada kami. Aku mengaku salah, mohon
dimaafkan!"
"Ho... ho... ho! Bagus jika kau tahu gelagat.
Suguh sesajenmu aku terima. Semua yang ada di
atas meja sudah kuhisap sarinya. Sedangkan
ampasnya kalau kau suka silakan kau habiskan.
Terkecuali panggang ayam ini, aku menyukainya
dan akan kujadikan pajangan di dalam singgasa-
na kebesaranku! Aku pamit cepat kalian tunduk-
kan kepala menghormat padaku!" kata suara itu sember namun berwibawa.
"Tundukkan kepala semua. Semuanya ti-
dak terkecuali!" perintah orang tua itu. Serentak begitu mendengar aba-aba
mereka yang hadir
sama tundukkan kepala. Terkecuali kakek Gen-
tong Ketawa. Orang tua ini sebaliknya malah ju-
lurkan kepala, buka matanya lebar-lebar meman-
dang ke arah meja. Saat itu dia melihat satu
bayangan berkelebat meninggalkan bagian bela-
kang meja yang tertutup kain. Walau sekilas dan
berlangsung sangat cepat namun dia tahu siapa
adanya sosok yang mengaku sebagai penguasa
kegelapan itu. "Bocah edan. Mengaku sebagai penguasa
kegelapan. Dasar geblek, senangnya mengerjai
orang melulu!" kata si kakek sambil cibirkan mulut. Sementara itu begitu
menyadari suara tadi
lenyap dan hembusan angin kencang sirna, maka
Ki Busrut Rancak Bana cepat memandang ke
arah meja. Di meja itu beberapa makanan lain le-
nyap. Terkecuali kembang tujuh rupa dan bubur
hitam. Dengan cepat Ki Busrut bangkit berdiri.
Dia rupanya penasaran juga curiga dan merasa
kurang yakin kalau yang bicara tadi benar-benar
penguasa kegelapan. Jika Ki Busrut bergegas
menghampiri meja, maka sebaliknya seluruh
orang yang hadir mengikuti jalannya upacara Su-
guh Sesajen langsung membubarkan diri, pulang
ke rumah masing-masing dalam keadaan ketaku-
tan. Seorang diri laki-laki itu meneliti bagian atas meja. Kening orang tua ini
berkerut tajam.
Terlebih-lebih ketika melihat sepotong tulang
ayam tergeletak di atas piring tanah. Mendadak
dia merasa tertipu, rasa curiga makin bertambah
besar. "Jahanam keparat, siapa yang berani
mempermainkan aku!" maki orang tua itu geram.
Lalu dia menyingkapkan kain yang menutupi ba-
gian bawah meja. Sebuah obor yang terletak di
salah satu sudut meja Sesajen direnggutkannya.
Dengan bantuan cahaya obor dia melihat begitu
banyak tulang ayam dan sisa makanan bersera-
kan di situ. Bergetar sekujur tubuh si orang tua, pipinya menggembung besar
sedangkan mulut
terkatub rapat.
"Setan keparat! Aku telah ditipu mentah-
mentah. Semua ini adalah sebuah penghinaan
yang harus kubalas!" Ki Busrut Rancak Bana
menggeram. Dalam kemarahannya itu terlintas
sesuatu dalam benaknya. "Kepada siapa aku harus membalas?" pikirnya. Dia pun
cepat menoleh ke arah tiang penyanggah teratak. Orang tua ini
melengak kaget. Si gendut besar luar biasa ter-
nyata sudah tak ada lagi di situ, lenyap entah ke
mana. "Mungkin memang gendut gila itu yang melakukannya. Mungkin juga orang
lain. Tapi keha-
dirannya di sini jelas membuat aku curiga!" den-gusnya lagi. Tiba-tiba dia
menjungkir balikkan
meja tempat Suguh Sesajen sehingga semua yang
berada di atas meja bertaburan memenuhi lapan-
gan rumput. Selanjutnya tanpa menghiraukan
semua apa yang telah dilakukannya dengan lang-
kah lebar dia mendatangi para penabuh gendang
dan gamelan. "Kalian semua tahu ke mana perginya si
gendut gila tadi?" hardik Ki Busrut Rancak Bana sambil bertolak pinggang,
sedangkan kumisnya
bergerak-gerak pula.
Mendengar pertanyaan itu dengan wajah
pucat dan hati diliputi ketakutan mereka sama
gelengkan kepala. Mereka memang tak tahu ke
mana perginya kakek gendut yang ikut menari
tadi. "Tidak tahu. Kurang ajar betul. Orang tua sebesar gajah, dia pergi dan
kalian tak bisa melihatnya"!" desis Ki Busrut sengit.
Salah seorang penabuh gendang membera-
nikan diri mewakili kawan-kawannya untuk bica-
ra. "Kami memang tak melihatnya. Sungguh!"
Jawaban ini hanya membuat laki-laki itu
tambah kesal. Dia angkat tangan hendak meng-
hantam tukang tabuh gendang yang baru bicara.
Tapi niatnya urung ketika teringat pada gadis
berpinggul besar yang bernama Arum Sedap tadi.
Kepada gadis itulah segala-galanya hendak di-
lampiaskan. Dengan langkah lebar tanpa menoleh
lagi Ki Busrut Rancak Bana tinggalkan tempat
itu. 2 Di satu tempat yang agak jauh dari lapan-
gan, sosok yang berkelebat meninggalkan meja
persembahan hentikan larinya. Dia memandang
ke belakang sekejap untuk memastikan tidak ada
yang mengikuti. Dalam gelapnya malam yang
hanya diterangi cahaya bulan setengah lingkaran
sosok yang ternyata adalah seorang pemuda tam-
pan bertelanjang dada begitu merasa aman lang-
sung duduk sambil julurkan kedua kaki di atas
batu. Pertama yang dilakukannya adalah mene-
puk pipinya kiri kanan yang terasa tebal dan ke-
bas. Sampai saat itu dia merasa pipinya kiri ka-
nan masih menggembung. Tidaklah mengheran-
kan karena ketika berada di bawah meja tadi dia
terus menerus meniup hingga menimbulkan ge-
muruh angin hebat, membuat semua orang yang
mengikuti jalannya upacara Suguh Sesajen jadi
ketakutan. Setelah mengusap kedua pipi pulang balik,
si gondrong tersenyum. Tak lupa dia juga usap
perutnya. "Ha... ha... ha. Aku beruntung punya mu-
lut dan perut bagus. Kalau tidak mana bisa aku
meniup sekian lama dan mengeluarkan kentut
begitu besar. Orang-orang tolol itu kena juga ku-kadali. Mereka percaya saja
ucapanku. Lagipula
apa ya ada setan yang doyan ayam panggang." ka-ta si pemuda. Dia lalu
mengeluarkan buntalan
yang diikatkannya ke pinggang. Buntalan dibuka,
isinya campur aduk menjadi satu. Si pemuda
mengambil sisa panggang ayam tadi lalu mema-
kannya dengan lahap. Sambil mengunyah dia
menyeletuk. "Malam ini aku pesta besar. Si gendut nasibnya benar-benar apes.
Coba kalau dia mau bersamaku mencuri makanan di meja tentu
dia tak kelaparan. Salahnya sendiri dia malah
menari. Dia mungkin mengira bisa memikat si
pinggul besar itu" Huh... Sudah tua begitu mana
ada gadis yang mau. Sekali tindih saja orang
bunting bisa mejret!" kata si pemuda. Dia kemudian meneruskan menggerogoti paha
ayam pang- gang itu. Sampai kemudian terdengar suara ber-
keresekan di belakangnya. Si gondrong bersikap
acuh tak acuh. "Biar saja, paling juga yang muncul si gen-
dut!" pikirnya.
Sebagaimana dugaan si gondrong yang
muncul di belakangnya ternyata memang seorang
kakek berbadan besar luar biasa yang duduk di
bawah teratak lapangan tarian tadi. Begitu mun-
cul cuping hidungnya kembang kempis mengen-
dus-endus. "Bau makanan sedap, bau harum ayam
panggang. Bocah edan kalau punya makanan
enak ingat dengan gurumu ini"!" kata si kakek.
Si pemuda tertawa terkekeh. "Makanan
masih banyak, kalau panggang ayam tinggal tu-
langnya. Kau mau ndut?" sahut si pemuda.
Si gendut Gentong Ketawa unjukkan muka
cemberut. Dia sambar buntalan yang terletak di
atas pangkuan si gondrong. Dengan jelalatan dia


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memeriksa. "Apa ini" Mengapa campur aduk begini"!"
tanya si kakek sambil memilah-milah dan men-
gambil apa yang dia sukai.
Enak saja si gondrong menjawab. "Na-
manya juga makanan boleh mencuri dan dalam
keadaan tergesa-gesa pula. Jadi apa saja yang
sempat kusikat ya kubawa. Tapi eh... ini kusisa-
kan separah ayam untukmu." Berkata begitu si pemuda yang bukan lain adalah Gento
Guyon mengambil sesuatu dari punggung celana bela-
kang dan memberikan ayam tersebut pada si ka-
kek. Orang tua itu agak ragu-ragu untuk mene-
rimanya. Lagi-lagi si pemuda nyeletuk. "Kujamin
makanan itu tak kuberi racun. Cuma memang
harus kuakui, itulah ayam yang kuambil dari me-
ja pertama kalinya. Baru setelah itu aku kentut
besar. Jadi maaf saja jika ayam lezat ini ada sedikit aroma bau kentut. Ha...
ha... ha!"
"Bocah geblek. Kau pura-pura jadi setan
penguasa kegelapan untuk menyikat semua ma-
kanan ini. Kau perlakukan mereka seperti orang
tolol, tapi apa kau mengira si kumis besar itu ke-na kau tipu" Tadi dia marah-
marah. Pasti dia
akan mencarimu!" kata si kakek bersungut-
sungut. Tapi tak urung dia mengambil ayam yang
diberikan muridnya, mengendus sebentar. Karena
tidak tercium bau sebagaimana yang dikatakan
Gento Guyon, maka dia pun langsung memakan-
nya dengan lahap.
Si pemuda terdiam sejenak mendengar
ucapan gurunya, kening berkerut mata berkedap-
kedip pertanda Gento sedang berpikir. Di saat lain pemuda itu tersenyum sambil
berucap. "Si kumis tebal tak melihatku. Tapi dia jelas melihatmu. Kalau pun dia
mencariku, pasti kau adalah orang
pertama yang dicarinya."
"Mengapa harus aku?" tanya si gendut heran. "Jelas, karena kaulah yang
dilihatnya. Walau pun kau tak mengambil sesajen, dia pasti
menyangka aku ini temanmu. Ha... ha., ha!" Gento Guyon kembali tertawa mengekeh.
"Dasar na-sibmu selalu sial ndut. Aku yang berbuat kau ha-
rus menanggung akibat. Aku yang makan daging,
kau yang kebagian tulangnya. Eeeh... gendut
waktu engkau menari tadi kulihat si kumis tebal
seperti menyimpan kemarahan padamu. Lalu
apakah si pinggul besar berhasil kau sikat?"
"Gundulmu disikat." dengus si kakek. Beberapa saat kemudian dia tersenyum-senyum
sendiri. "Ee, aku tersenyum apakah ini berarti yang
kau katakan benar" Jika betul tak usah malu-
malu mengatakannya padaku. Aku mau saja me-
nemanimu untuk melamar si pinggul besar. Jika
kau sampai didahului si kumis tebal wah bisa
gawat. Kulihat dia juga punya keinginan yang be-
sar untuk mendapatkan gadis itu. Ha... ha... ha!"
Mendengar gurauan muridnya Gentong Ke-
tawa hanya bisa tersenyum dan palingkan wajah-
nya ke arah lain. Sekejap kemudian si kakek ber-
kata. "Gege, menurutmu apakah tidak melihat orang sedusun melakukan acara Suguh
Sesajen seperti yang kau lihat tadi?"
"Apa yang harus diherankan. Orang mem-
berikan sesuatu yang dianggapnya ada bukan su-
atu yang mengherankan. Orang yang menyembah
setan juga banyak, menyembah batu, menyembah
junjungannya bahkan menyembah diri sendiri ju-
ga tak terhitung." sahut Gento.
"Aku tahu, aku percaya. Tapi apakah kau
ingat si kumis tebal bukankah ada menyebut
'Penguasa Kegelapan'. Meminta agar yang dis-
ebutkannya tidak mengganggu mereka. Siapakah
orang yang dimaksudkannya itu?" tanya si kakek.
Mendengar pertanyaan gurunya Gento
Guyon jadi terdiam. Dia sendiri juga ikut men-
dengar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya.
Tapi dia sendiri juga tidak tahu siapa yang di-
maksudkan oleh orang tua tadi.
"Gendut... eh, guru. Nampaknya kita harus
mencari tahu gerangan apa sebenarnya yang se-
dang terjadi. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di Kedung Ombo ini."
"Kita harus menyelidik. Tapi siapa yang
dapat kita jadikan tempat bertanya. Si kumis teb-al tadi mengatakan besok para
penduduk tidak diperkenankan meninggalkan rumah masing-
masing. Terkecuali para gadis perawannya yang
harus mandi kembang di kali di pagi buta!" ujar si kakek heran.
"Mengapa harus begitu?"
Gentong Ketawa hanya menjawab dengan
gelengkan kepala.
"Guru ingat tidak. Seusai tarian, ke empat
gadis penari itu digiring oleh dua laki-laki yang agaknya anak buah si kumis
tebal. Mereka hendak di bawa ke mana" Lagipula menurutku kita
harus mengawasi orang tua itu. Apa sebenarnya
yang hendak dia lakukan pada ke empat gadis
cantik tadi?" ujar si pemuda.
"Kau betul. Kurasa kita memang harus se-
gera menyelidik. Orang tua itulah yang menjadi
kuncinya!" ujar si kakek.
"Jika sudah begitu sebaiknya kita pergi ke
rumah si muka badak secepatnya!" tegas si pemuda. "Dan jangan lupa si pinggul
besar bagian-ku." berkata si kakek disertai senyum aneh.
"Betul dugaanku kau memang sedang ma-
buk kepayang. Dasar tua bangka tak tahu diri.
Sudah bau tanah masih juga belingsatan melihat
jidat licin." gerutu Gento Guyon yang disambut
tawa oleh kakek Gentong Ketawa.
3 Deburan ombak di Teluk Rembang terus
menderu tak ada henti. Di ujung teluk sosok tu-
buh berdiri tegak memandang ke laut lepas.
Rambut serta jenggotnya yang putih panjang
menjela berkibaran ditiup angin. Beberapa saat
lamanya dia tegak di situ tak ubahnya seperti pa-tung. Tak lama kemudian si
kakek tua berpa-
kaian serba putih dan memakai topi tinggi ber-
bentuk kerucut terbuat dari daun ini dongakkan
wajahnya ke langit. Suasana pagi masih gelap
disaput mendung, matahari bahkan masih belum
menampakkan diri di ufuk timur.
Sejenak wajah si kakek yang dingin beru-
bah tegang. Dia memandang ke belakang, ternya-
ta orang yang ditunggunya belum juga muncul-
kan diri. "Mestinya dia sudah sampai di sini, sejak
pagi buta tadi bukan sekarang. Jahanam, dia da-
tang terlambat! Aku tak bisa menunggu lebih la-
ma. Ini merupakan kesalahan kedua yang pernah
dilakukannya." kakek tua itu mendengus.
Wajahnya semakin menegang, sedang tatap
matanya dingin angker tak bersahabat.
Merasa lelah menunggu, si kakek kemu-
dian duduk di ujung tanah tebing yang menjorok
ke laut. Gemuruh suara ombak yang menghan-
tam tebing karang di mana dia berada sama seka-
li tak dihiraukannya. Beberapa saat dia meme-
jamkan mata sambil menghimpun tenaga sakti
yang kemudian dialirkan langsung ke bagian tan-
gannya. Di saat si kakek dalam keadaan seperti
itu dari arah dataran luar teluk tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh. Suara
gemuruh makin lama semakin bertambah jelas. Satu gerumbul
semak belukar rambas, ranting dan daun berta-
buran. Dari balik semak belukar yang berpenta-
lan seperti dibabat pedang muncul satu sosok tu-
buh berpakaian serba hitam. Kedua kaki sosok
yang kepalanya dilapisi semacam topi besi itu
buntung hingga sebatas paha. Bagian yang bun-
tung disambung dengan besi pipih sepanjang satu
meter. Sambungan kaki kiri kanan berbentuk pi-
pih ke dua sisinya laksana mata pedang. Sedang-
kan ujungnya bulat, bergerigi seperti gergaji. Ternyata bukan hanya kedua
kakinya saja yang ca-
cat. Tapi kedua tangan sosok bermata sebelah ini juga dalam keadaan cacat sampai
di pangkal lengan. Kedua lengan yang buntung disambung den-
gan besi baja hitam berbentuk melengkung seper-
ti arit. Melihat sosok berambut panjang bertopi
baja seperti prajurit perang kerajaan ini memang sangat mengenaskan. Tapi di
balik penampilan-nya yang menyedihkan, baik tangan maupun ke-
dua kakinya yang disambung dengan baja itu me-
rupakan dua bagian dari senjata maut yang san-
gat berbahaya bagi lawannya.
"Kakang Sobo Serngenge... aku ingin me-
nyampaikan beberapa pesan penting yang diti-
tipkan padaku." kata sosok bermata picak sebelah kiri sambil berdiri tegak tak
jauh dari ujung tebing di mana kakek tua berambut putih perak du-
duk bersila dengan segala keangkerannya.
Sejenak lamanya suasana diliputi kesu-
nyian. Sesekali deburan ombak menyelingi. Laki-
laki yang sebagian tubuhnya disambung dengan
pedang dan arit melengkung jadi tidak sabaran.
"Kakang Sobo, tidak hendak aku mengusik
dirimu. Tapi terus-terang pesan ini sangat penting untuk kau ketahui!" ujar
laki-laki cacat itu men-gulangi ucapannya.
Perlahan kakek berambut perak berjenggot
panjang buka matanya. Sama sekali dia tidak
menoleh atau memandang ke arah orang yang ba-
ru datang ketika dari mulutnya terdengar ucapan.
"Buat apa kau datang ke sini, Picak Kiri"
Saat ini aku tengah menunggu kehadiran seseo-
rang!" dengus Sobo Serngenge, ada rasa tidak su-ka dalam nada ucapannya.
"Apapun urusanmu aku tak mau ikut
campur lagi. Aku hanya ingin menyampaikan pe-
san guru, setelah itu secepatnya aku akan ting-
galkan tempat ini!" kata si cacat yang dipanggil Picak Kiri.
Untuk pertama kali si kakek memutar tu-
buhnya. Sepasang mata menatap tajam ke arah
Picak Kiri. Lalu dia dongakkan kepala, kemudian
tawanya bergema meningkahi gemuruh suara
ombak. Suara tawa lenyap, dengan mata menco-
rong merah dia membentak. "Picak Kiri, sejak ku-putuskan meninggalkan Menara
Gila. Sejak aku
tidak mengakui Manusia Selaksa Guntur sebagai
guruku lagi, maka sejak saat itu berarti aku bu-
kan lagi muridnya. Aku telah memutuskan untuk
menunggu munculnya Dewi Segoro Lor. Aku ya-
kin mimpiku itu akan menjadi kenyataan. Dalam
mimpi aku melihat bahkan mendengar Dewi Se-
goro Lor menaruh rasa cinta kepadaku. Dalam
mimpi dia mengatakan agar aku menjadikan te-
luk Rembang ini menjadi daratan untuk kemu-
dian di atas daratan yang kuciptakan dengan ke-
saktianku kuciptakan sebuah singgasana yang
kuberi nama Istana Surga. Nah untuk mewujud-
kan semua ini dalam waktu purnama aku mem-
butuhkan banyak kepala untuk kujadikan tum-
bal. Sekarang ini aku tak punya waktu banyak
untukmu, jika kau merasa mendapat pesan dari
si tua Selaksa Guntur, hendaknya cepat katakan
apa pesan itu"!"
"Kakang Sobo Serngenge, langkahmu su-
dah tersesat jauh. Kau membunuh orang dengan
semena-mena, apakah kau tak takut dengan
murka Gusti Allah?" tegur Picak Kiri.
Kepala si kakek rambut perak tersentak,
bukan karena kaget melainkan karena dilanda
kemarahan yang amat sangat.
"Kunyuk betul. Kau rupanya tak menden-
gar apa yang aku ucapkan. Atau kau lupa dengan
kata-katamu sendiri" Jangan campuri urusanku!"
hardik Sobo Serngenge lantang.
"Baiklah. Terserah apa yang kau lakukan,
itu adalah urusanmu." sahut Picak Kiri mengalah.
Dia menarik nafas sejenak, dalam hati dia merasa jengkel atas sikap keras kepala
saudara seperguruannya itu. Tapi pada akhirnya dia berkata. "Kakang, guru
berpesan jika kakang mau kembali ke
Menara Gila guru akan mengampuni kesalahan-
mu. Sedangkan yang kedua kakang harus mem-
batalkan niat mengawini Dewi Segoro Lor. Se-
dangkan yang ketiga kakang juga harus mengem-
balikan kitab Gentar Gaib yang kakang curi sebe-
lum melarikan diri dari Menara Gila." jelas laki-laki itu.
Mendengar ucapan Picak Kiri rambut putih
si kakek serta daun telinganya berjingkrak tegak.
Perlahan si kakek berdiri tegak, wajahnya diliputi ketegangan, sedangkan
sepasang matanya yang
dingin angker berubah merah laksana bara. Meli-
hat perubahan mata Sobo Serngenge terkejut Pi-
cak Kiri dibuatnya. Dia ingat dengan pesan gu-
runya, andai kedua mata Sobo Serngenge telah
berubah merah laksana api dan rambutnya tegak
berdiri seperti duri landak itu merupakan suatu
pertanda saudara seperguruannya telah mengua-
sai seluruh isi kitab Gentar Gaib. Ini berarti kakek yang berdiri tegak di
depannya itu dapat me-
nembus tabir alam kedua. Jika sudah begitu dia
bisa mengambil pengikut alam kegelapan yang
terdiri dari para arwah yang mati dalam kesesa-
tan. Yang lebih celaka lagi, dengan bantuan dari
alam lelembut dia dapat saja memerintah dan
minta bantuan segala mahluk yang berasal dari


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

alam kedua itu. Sekarang Picak Kiri tak tahu ha-
rus berbuat apalagi.
"Picak Kiri, kau dengar! Jangankan kau
yang datang kepadaku. Jika Manusia Selaksa
Guntur sekalipun yang datang ke mari. Aku pasti
tidak akan patuh pada perintahnya, apalagi sam-
pai harus mengembalikan kitab Gentar Gaib. Se-
mua isi kitab itu telah kukuasai, tapi aku tak
berkehendak untuk mengembalikannya. Sedang-
kan mengenai niatku untuk mempersunting Dewi
Segoro Lor tetap berjalan sesuai rencana. Nah...
sebelum aku berubah pikiran sebaiknya kembali-
lah ke Menara Gila, laporkan semua yang kuka-
takan ini pada gurumu!" seru Sobo Serngenge.
Mendengar penegasan kakek tua itu berge-
tarlah sekujur tubuh Picak Kiri. Dengan suara
parau dia berkata. "Kakang, tak kusangka kau menjadi murid pembangkang lagi
keras kepala. Apakah kau tak ingat bahwa guruku adalah gu-
rumu juga. Kau pernah berada dalam perawatan-
nya, kau makan hasil cucuran keringatnya. Tapi
inikah balas budimu pada orang yang menyayang
dan memberikan segala ilmunya padamu?" ujar Picak Kiri.
Dia masih ingat betul sebelum Sobo Sern-
genge sering diganggu dengan mimpi aneh dan
kemudian tergila-gila pada gadis yang ditemuinya dalam mimpi itu gurunya sangat
menyayangi sang kakek. Rasa sayang itu kemudian berubah
menjadi rasa benci setelah diketahui Sobo Sern-
genge mencuri kitab Gentar Gaib yaitu kitab La-
rangan yang guru mereka sendiri berpantang
mempelajari seluruh isinya. Sejak pencurian ki-
tab, Sobo Serngenge menghilang. Tapi karena
Manusia Selaksa Guntur memang memiliki ilmu
yang hebat serta kesaktian tinggi, maka kebera-
daan muridnya yang murtad dapat diketahuinya
juga. Tanpa pikir panjang dirinya pun diutus.
Kini bekas saudara seperguruan itu saling
pandang satu sama lain. Picak Kiri merasa serba
salah. Dia sudah mendapat pesan agar jangan
menempuh jalan kekerasan. Kenyataannya hal
seperti ini nampaknya tak bisa dihindarkan lagi.
"Tunggu apalagi" Cepat menyingkir dari
hadapanku!" hardik Sobo Serngenge makin tak sabar. Picak Kiri gelengkan kepala.
"Tak mungkin aku kembali ke Menara Gila dengan berhampa
tangan. Untuk menjalankan amanah yang diper-
cayakan guru kepadaku, kurasa aku lebih baik
menyabung nyawa daripada mendapat malu be-
sar!" ujar Picak Kiri dengan suara sedih dan wajah tertunduk.
Mendengar penegasan Picak Kiri kedua pipi
Sobo Serngenge menggembung besar, darahnya
laksana menggelegak. Dia dongakkan wajahnya,
lalu tertawa tergelak-gelak. "Masih banyak jalan untuk mencari keselamatan. Tapi
terkadang manusia bertindak tolol dan mengambil keputusan
dengan tergesa-gesa. Kau lihat ke depan sana,
hamparan pasir putih di tengah teluk itu adalah
hasil ciptaanku melalui kesaktian yang kumiliki.
Untuk menimbulkan daratan itu aku membutuh-
kan banyak tumbal kepala. Sedikitnya aku mem-
butuhkan sembilan puluh sembilan kepala untuk
membuat teluk menjadi daratan. Lima puluh te-
lah kupenuhi, empat puluh sembilan lagi harus
kucari. Karena sikapmu itu, aku menganggap pa-
gi ini kau telah menyerahkan kepalamu secara
suka rela. Tumbal ke lima puluh satu tak ku-
sangka adalah penggalan kepala bekas saudara
seperguruanku sendiri. Ha... ha... ha! Sungguh
menyedihkan tapi aku bangga dengan semua ini!"
kata si kakek. Picak Kiri pejamkan mata tunggalnya. Se-
kujur tubuhnya bergetar karena berusaha mene-
kan berbagai gejolak yang melanda jiwanya. Un-
tuk yang terakhir kalinya dia berucap. "Terserah apa yang kau katakan, kitab
Gentar Gaib tetap
kuminta. Suka atau tidak suka kau harus menye-
rahkannya padaku!"
"Kau meminta aku memberi!" sahut Sobo
Serngenge. Bersamaan dengan ucapannya itu dia
pura-pura mengambil sesuatu dari balik pakaian
putihnya. Ketika si kakek tarik balik tangannya
dari balik pakaian dia langsung menghantamkan
tangan kanan yang telah berubah hitam laksana
arang ke arah Picak Kiri. Serangkum hawa dingin
menderu, dari sambaran anginnya saja Picak Kiri
dapat merasakan Sobo Serngenge benar-benar
menghendaki nyawanya. Laki-laki cacat kaki dan
cacat tangan ini tidak tinggal diam. Dia salurkan tenaga dalamnya ke bagian
tangan yang disambung dengan arit. Kedua arit berwarna hitam itu
memancarkan cahaya aneh. Ketika dua senjata
diadu satu sama lain. Maka melesatlah cahaya
berwarna hitam pekat berhawa dingin laksana es.
"Kidung Kematian!" seru Sobo Serngenge yang tak menyangka bekas adik
seperguruannya itu telah menguasai ilmu pukulan yang dapat
menghancurkan benda apa saja yang menjadi sa-
sarannya. Untuk mengatasi serangan lawan si kakek
kembali dorongkan kedua tangannya ke depan.
Dua pukulan sakti sama-sama menderu di udara,
bentrokan keras tak dapat dihindari.
Buuum! Terdengar suara ledakan berdentum. Picak
Kiri terdorong mundur beberapa tindak ke bela-
kang. Sedangkan Sobo Serngenge sempat terlem-
par dan jatuh bergulingan sambil memaki pan-
jang pendek. 4 Tidak menyia-nyiakan kesempatan ini Pi-
cak Kiri segera melesat ke depan memburu ke
arah lawan. Kaki kanannya yang disambung den-
gan besi baja berbentuk pipih dan tajam pada ke-
dua sisinya menderu membabat pinggang. Se-
dangkan kedua tangannya yang buntung disam-
bung dengan tangan pengganti berbentuk arit
masing-masing membabat leher dan dada. Semua
serangan dahsyat yang sangat berbahaya itu
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sehingga berlangsung demikian cepat dan mus-
tahil dihindari oleh lawannya.
Mendapat serangan demikian rupa Sobo
Serngenge sempat tercekat, wajah pucat mulut
berkemak-kemik membaca sesuatu. Pada detik
berikutnya kira-kira setengah jengkal lagi empat serangan ganas yang dilakukan
Picak Kiri mengenai sasarannya. Mendadak Sobo Serngenge le-
nyap. Crak! Cring!
Empat serangan yang dilakukan laki-laki
cacat bertopi baja itu hanya mengenai tempat ko-
song. Picak Kiri terkesiap, namun dia segera me-
nyadari saat itu Sobo Serngenge telah menguasai
kitab Gentar Gaib. Apapun dapat saja terjadi bila seseorang telah berhasil
mengamalkan isi kitab
maut itu. Oleh karena itu dengan cepat dia mem-
balikkan badan ke belakang. Baru saja dia berba-
lik di depannya menderu angin dingin, satu tan-
gan berkelebat menyambar bagian dada Picak Ki-
ri. Karena jaraknya yang sangat dekat sekali di
samping serangan Sobo Serngenge datang dengan
tidak disangka-sangka, maka Picak Kiri tidak
sempat lagi menghindar.
Buuuk! Hantaman berisi tenaga dalam penuh
mendera dada Picak Kiri, membuat orang ini ter-
lempar sejauh dua tombak dengan mulut sem-
burkan darah. Walaupun Picak Kiri menderita lu-
ka dalam cukup parah, tapi laki-laki itu sama sekali tidak mengeluh. Di depannya
sana Sobo Serngenge tertawa terkekeh sambil berkacak
pinggang. "Kau telah melihat bagaimana aku dapat
melenyapkan diri dari seranganmu yang seharus-
nya telah mengantarku ke gerbang maut. Kau tak
perlu merasa heran karena aku telah berhasil
menguasai semua ilmu yang terdapat dalam kitab
Gentar Gaib. Kini kau sudah terluka, kini terimalah ajalmu!" teriak Sobo
Serngenge. Bersamaan dengan suara teriakannya itu si
kakek melompat ke arah Picak Kiri. Dua tangan
dihantamkan ke depan secara bersamaan. Sinar
hitam membersit dari telapak tangan si kakek,
angin dingin menderu.
"Pukulan Kidung Kematian...!!" seru Picak Kiri. Dengan gerakan yang aneh tahu-
tahu tubuhnya yang tadi menelentang kini nampak mele-
sat ke atas. Di udara dalam keadaan tegak dia
berputaran begitu rupa, bergerak sebat mendekati lawan. Sementara itu pukulan
Sobo Serngenge yang mengenai tempat kosong menimbulkan le-
dakan keras menggelegar. Orang tua ini melengak
kaget. Tapi tanpa membuang waktu dia kembali
melepaskan pukulan yang sama dan diarahkan-
nya langsung ke atas.
Wuuut! Kaki Picak Kiri yang berupa pedang itu
berkelebat menggunting ke bagian kepala Sobo
Serngenge. Serangan ganasnya kembali luput dan
kini sambil merutuk habis-habisan si kakek ter-
paksa tundukkan kepala hindari guntingan kaki
yang bisa membuat kepalanya terbelah dua. Tapi
tak urung bagian bahu si kakek sempat terkena
sambaran pedang lawannya.
Riiit! Breeet! "Akh, keparaat!" maki Sobo Serngenge begitu merasakan sakit yang luar biasa
mendera ba- gian luka yang terkena sambaran pedang. Sambil
meringis kesakitan sebenarnya jauh di lubuk hati dia merasa heran. Dua pukulan
Kidung Kematian
yang dilepaskannya bukan pukulan sembaran-
gan. Bahkan merupakan pukulan sakti yang san-
gat mematikan. Selama ini tak ada seorang lawan
pun yang dapat meloloskan diri dari pukulan ter-
sebut. Tapi bagaimana Picak Kiri dapat menghin-
dar dari dua pukulan yang dilepaskannya secara
berturut-turut"
"Kitab, itu cepat serahkan padaku Sobo
Serngenge!!" seru Picak Kiri tanpa menggunakan tata krama lagi.
Sobo Serngenge sosok manusia yang memi-
liki kesombongan dan sempat dilukai bekas adik
seperguruannya memandang Picak Kiri dengan
tatapan sinis. Geraham mengatup, kedua pipi
menggembung. Dengan suara serak tertekan dia
membuka mulut berucap. "Pecak Kiri, kau inginkan kitab itu! Boleh saja. Tapi
langkahi dulu mayatku!" Ketika berkata begitu Sobo Serngenge berpikir keras. Berulang kali dia
melirik ke tangan serta kaki yang disambung arit di bagian tangan
serta pedang di bagian kaki. Sesungging seringai bermain di bibir si kakek.
"Percuma kugunakan pukulan Kidung Kematian. Untuk menghadapi
manusia rongsokan besi begini kurasa aku harus
menggunakan cara lain!" batin Sobo Serngenge.
Tanpa menunggu lebih lama lagi kakek itu segera
salurkan tenaga dalam berhawa panas ke bagian
tangan. Sekejab saja kedua tangan si kakek telah berubah membiru dan menebarkan
hawa panas luar biasa. Sing!! Wuut! Melihat si kakek hendak mencoba lepaskan
pukulan Gejolak Gunung Meletus, maka Picak Ki-
ri tanpa membuang waktu lagi segera babatkan
aritnya dengan gerak menyilang. Sedangkan tu-
buhnya melesat di udara, kaki yang berupa pe-
dang dengan kedua sisi tajam membabat ke arah
pinggang. Sobo Srengenge tetap sunggingkan se-
ringai aneh. Tapi kemudian dia angsurkan tangan
kanan bersikap seolah menyambut tebasan arit
lawan, sedangkan pinggang sengaja diliukkan ke
depan hingga mengesankan bahwa bagian ping-
gang itu juga siap menerima babatan pedang Pi-
cak Kiri. Apa yang kemudian terjadi membuat Picak
Kiri terkesiap, karena tanpa pernah disangka-
sangka Sobo Serngenge jatuhkan diri, lalu dengan gerakan kilat dia menghantam
tangan dan kaki
lawan secara berturut-turut.
Wuuuus! Serangkum sinar biru menebar hawa pa-
nas luar biasa menderu ke arah Picak Kiri. Laki-
laki cacat ini dalam kejutnya terpaksa memutar
kedua aritnya dari gerakan menyerang berubah
menjadi gerak membuat perlindungan diri. Justru
ini merupakan suatu kesalahan fatal yang tidak
disadari oleh Picak Kiri. Karena begitu sinar biru menghantam tangan dan
kakinya. Dua senjata
yang juga menggantikan fungsi kaki dan tangan
itu langsung berubah membiru, panas luar biasa
dan meleleh. Karena masing-masing senjata ini
tersambung langsung dengan pangkal lengan dan
juga bagian paha. Akibatnya tentu saja sangat
mengerikan. Hawa panas langsung menjalar ke
bagian lengan dan kaki yang buntung. Picak Kiri
jatuhkan diri, bergulingan dengan maksud terjun
ke teluk. Dia juga berusaha melepaskan arit yang meleleh dan juga pedang biru


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah dari sam-bungan bagian tubuhnya. Tapi apa yang dilaku-
kannya ini nampaknya tidak mudah. Sehingga dia
hanya dapat menjerit kesakitan sambil terus ber-
gulingan. "Ha... ha... ha! Ternyata bukan suatu hal
yang sulit untuk membunuhmu!" teriak Sobo
Serngenge. Laki-laki itu kemudian memutar-
mutar tangannya di atas kepala dengan gerakan
sedemikian rupa. Angin panas bergulung-gulung.
Kemudian laksana kilat dia melesat ke arah Picak Kiri, dua tangannya yang
memancarkan sinar bi-ru terang dihantam dengan telak ke dada dan ke-
pala lawannya. Tak ada kesempatan untuk menangkis dan
menghindar bagi Picak Kiri. Tak ampun lagi pu-
kulan Gejolak Gunung Meletus menghantam di-
rinya. Jeritan Picak Kiri seolah lenyap tertindih oleh gemuruh suara angin
pukulan yang dilepaskan Sobo Serngenge. Picak Kiri terpelanting,
dadanya hangus gosong. Topi baja di kepalanya
berubah merah berpijar. Sekejap sosok Picak Kiri berkelojotan dengan keadaan
tubuh tak karuan
rupa. Sampai akhirnya dia diam tak berkutik lagi.
"Ha... ha... ha!" Sobo Serngenge keluarkan tawa bergelak. Dengan pandangan sinis
dan senyum mencibir dia hampiri mayat bekas adik se-
perguruannya itu.
"Jika besi dapat kubuat menyala, apalagi
cuma raga rongsokanmu!" desis si kakek. Dia lalu bungkukkan badan, mulutnya
meniup ke bagian
topi sang mayat. Topi besi yang merah menyala
sirap dan berubah menjadi dingin. Lalu topi di-
tanggalkan. Kepala yang telah hangus itu diceng-
keramnya dengan erat. Kepala diputar ke kiri dan ke kanan.
Kreek! Kreek! Terdengar suara tulang leher berderak pa-
tah. Begitu disentakkan maka leher Picak Kiri
terpisah dari badannya. Sejenak tanpa perasaan
dan wajah dingin Sobo Serngenge menenteng ke-
pala Picak Kiri. Mulutnya berkomat-kamit disertai suara mendesis panjang.
"Kau adalah kepala yang ke lima puluh sa-
tu. Kau menjadi bagian dari semua rencana, kau
menjadi tumbal. Tumbal untuk membangkitkan
tanah di teluk ini. Tanah di mana aku akan diri-
kan sebuah singgasana megah untuk calon istri-
ku Dewi Segoro Lor ! Ha... ha... ha!" Disertai tawa Sobo Serngenge campakkan
potongan kepala ke
dalam teluk Rembang. Sekejap kepala lenyap dite-
lan ganasnya ombak. Kemudian dari kedalaman
teluk terlihat air bergolak hebat disertai munculnya gelembung putih bercampur
cairan darah. Dalam kesempatan itu pula terdengar suara tawa
mengikik. Suara perempuan. Sobo Serngenge ter-
sentak kaget. Sementara dari kedalaman air teluk tanah perlahan muncul ke
permukaan air. "Dewiku... kasihku, jantung hati tumpuan
hidupku...!" desis kakek berambut putih bergetar.
Dia kembali duduk di tempatnya semula, bersila
dengan mata terpejam menunggu kedatangan
seorang utusan yang sangat dipercaya.
5 Ki Busrut Rancak Bana memasuki gedung
kediamannya dengan langkah lebar. Di bagian
pintu dua orang laki-laki tegap berpakaian hitam yang tadi menggiring empat
gadis penari begitu
melihat kehadiran orang tua itu serentak menjura hormat. Ki Busrut Rancak Bana
hentikan langkah, memandang pada kedua pembantu ini den-
gan tatap mata curiga.
"Ke mana keempat penari tadi?" bertanya si orang tua. Suaranya pelan namun
berwibawa. "Sebagaimana yang junjunganku katakan
tadi tiga di antara penari itu sekarang berada di kamar belakang, sedangkan
gadis cantik yang
bernama Arum Sedap kami kurung di kamar pri-
badi junjungan!" menjawab sang pembantu yang bernama Rono Gandul. Laki-laki ini
matanya selalu berkeriapan tak mau diam dan bila dibanding-
kan temannya yang bernama Ukir Koro dia paling
dipercaya oleh Ki Busrut Rancak Bana.
"Bagus. Setiap tugas yang kalian jalankan
dengan baik, sudah selayaknya kalian mendapat
hadiah salah seorang istri piaraanku yang sudah
tua dan tidak kusukai lagi!" kata laki-laki itu sambil tersenyum.
"Kami sangat berterima kasih sekali, jun-
jungan. Kelak aku akan mengunjunginya di siang
hari, sedangkan malamnya biar sahabatku Ukir
Koro ini yang meneruskan acara. Ha... ha... ha!"
Laki-laki di sebelah Rono Gandul terse-
nyum, julurkan lidah dan basahi bibir. Dalam ha-
ti dia berkata. "Tak mengapa biarpun perempuan bekas. Yang penting perempuan itu
masih punya semangat dan ada nafasnya!"
"Boleh, boleh saja. Tapi kalian harus mem-
bawa bekas istriku itu jauh dari sini. Kalau perlu di pinggir hutan atau kuburan
sunyi biar aku tak mendengar suara berisik!" Ki Busrut lalu tertawa tergelak-
gelak dengan diikuti oleh kedua laki-laki pembantunya. Mendadak dia hentikan
tawa saat teringat sesuatu.
"Akan tetapi kau dan Ukir Koro tak boleh
membawa bekas istriku itu sekarang. Masih ada
tugas penting yang harus kalian kerjakan malam
ini. Besok pagi sekali kita harus berangkat ke Teluk Rembang!"
Rono Gandul dan Ukir Koro saling pandang
dengan tatapan tak mengerti.
"Tugas... tugas apa junjungan?" tanya Ukir Koro. "Seperti biasa setiap tugas
akan kami selesaikan dengan baik. Termasuk menyingkirkan
siapa saja yang junjungan tidak sukai!" menimpali Rono Gandul dengan penuh
semangat. Wajah Ki Busrut Rancak Bana yang semula
nampak kusut kini berubah cerah, kepala mang-
gut-manggut ketika dia kembali berkata.
"Aku percaya dengan segala pengabdian
kalian berdua. Nah sekarang mendekatlah ke ma-
ri, sesuatu yang hendak kukatakan ini menyang-
kut urusan penting, tak boleh ada yang tahu."
Maka baik Ukir Koro maupun Rono Gandul
sama mendekat dan sama angsurkan telinganya
dekat mulut Ki Busrut. Orang tua itu kemudian
membisikkan sesuatu. Begitu mendengar apa
yang dikatakan oleh junjungan mereka, berubah-
lah paras kedua laki-laki itu. Mata mereka mem-
beliak tak percaya. Berulangkali mereka ini menelan ludah, namun tak sepatah
katapun ucapan yang keluar dari bibir mereka.
"Karung besar telah kusediakan di bela-
kang rumah. Jumlah empat puluh sembilan itu
harus kalian dapatkan malam ini. Tiga jam dari
sekarang. Sebelum fajar menyingsing kutunggu
kalian di selatan jalan di ujung dusun lengkap
dengan tiga ekor kuda!"
"Tiga jam, mengapa waktunya sesingkat itu
junjungan!" desis Rono Gandul seakan tak percaya. "Jumlah sebanyak itu tentu tak
mudah untuk mendapatkannya!" menimpali Ukir Koro dengan suara tertekan dan
perasaan tegang.
Mendengar jawaban kedua anak buahnya
wajah Ki Busrut sempat berubah. "Segala bentuk alasan tak berlaku di hadapanku.
Kalian lakukan apa yang kuperintahkan. Dobrak setiap rumah,
lakukan pekerjaan. Jika dalam waktu yang kuka-
takan itu kalian belum mendapatkannya dalam
jumlah seperti yang kukatakan, maka sebagai
tambahan kau berdua harus menyerahkan kepala
masing-masing. Mengerti?" hardik Ki Busrut Ran-
cak Bana tegas.
Mendengar ancaman orang tua di depan-
nya pucatlah paras kedua pembantu setia itu.
Mereka sadar betul tentu Ki Busrut tidak hanya
sekedar mengancam. Setiap apapun yang telah
dikatakan pasti akan dilakukannya juga. Rono
Gandul berpikir. Daripada mereka yang celaka
alangkah lebih baik orang lain yang binasa.
"Ba... baiklah junjungan. Perintahmu sege-
ra kami kerjakan. Kami mohon diri!" kata Rono Gandul pada akhirnya.
Karena sang teman sudah berkata begitu,
maka Ukir Koro pun tak berani mengutarakan
pendapatnya. Dengan terbungkuk-bungkuk dia
mengikuti Rono Gandul yang telah melangkah
menuju halaman belakang gedung untuk men-
gambil karung. Ki Busrut Rancak Bana pandangi kedua
anak buahnya hingga mereka menghilang dalam
kegelapan malam. Kini laki-laki itu menyeringai, teringat pada Arum Sedap
membuatnya tak sabar
untuk segera masuk ke kamar. Dengan langkah
lebar dia menuju kamarnya sendiri. Begitu mem-
buka pintu kunci diputar dan pintu dibuka, se-
nyum Ki Busrut melebar. Anak buahnya benar.
Mereka memang mengurung si cantik berpinggul
besar ini di dalam kamar pribadi si orang tua.
Pintu lalu dikunci dari dalam. Gadis penari si
Arum Sedap tampak ketakutan begitu melihat
kehadiran laki-laki itu. Dia beringsut menjauhi
ranjang, lalu melangkah mundur ke belakang.
Tapi langkahnya kemudian terhenti begitu sampai
di sudut ruangan.
"He... he... he. Jangan takut, aku pasti tidak akan menyakitimu." kata Ki Busrut
Rancak Bana. Suaranya pelan mengandung rayuan. Namun si gadis tetap merasa
curiga. Walaupun dia
belum berpengalaman dalam hal-hal yang me-
nyangkut urusan cinta, tapi nalurinya mengata-
kan akan terjadi malapetaka besar pada dirinya.
Sebuah bencana yang lebih menakutkan daripada
kematian bagi diri seorang wanita.
"Bapak tua, harap lepaskan aku dan ka-
wan-kawanku. Ayah ibuku bisa marah besar jika
sampai pagi aku belum juga kembali!" kata si gadis dengan suara bergetar dan
tubuh basah ber-
simbah keringat saking takutnya.
"Ha... ha... ha! Ibumu atau mungkin ayah-
mu pasti mengerti untuk persoalan yang satu ini.
Kelak aku akan melamarmu, kau akan kujadikan
istri simpananku yang ke tiga belas. Sekarang
mendekatlah ke mari, jangan takut karena tidak
ada yang perlu ditakutkan!" desah si orang tua.
Karena Arum Sedap yang ditunggu tak
kunjung mendekat, maka Ki Busrut kini yang me-
langkah mendekati si gadis.
Melihat laki-laki tua itu bergerak ke arah-
nya, rasa takut Arum Sedap semakin menjadi-
jadi. Dia tekap wajahnya dengan kedua tangan
tapi tidak juga menghindar karena bingung ke
mana hendak mencari selamat.
"Jangan... jangan sakiti aku...!" rintih Arum
Sedap setengah memohon. Dalam takutnya tubuh
si gadis nampak menggigil.
Ki Busrut berdiri tegak di hadapan si gadis.
Dia elus janggutnya. Tenggorokan turun naik,
mata memandang tak berkedip ke dada dan ping-
gul si gadis yang serba besar.
"He... he... he. Aku tak ingin menyakitimu.
Malah aku akan memberikan satu kesenangan
yang tidak akan kau lupakan seumur hidup. Aku
sudah tertarik padamu ketika kau menari di la-
pangan pertunjukan. Goyanganmu, liukan ping-
gulmu membuat dadaku bergetar, darahku meng-
gelegak. Malam ini aku ingin memiliki dirimu.
Ha... ha... ha!" berkata begitu Ki Busrut Rancak Bana kembangkan tangannya dan
langsung memeluk Arum Sedap. Tapi si gadis lekas runduk-
kan kepala, berkelit dan lari menghindar dari ser-gapan si orang tua. Lepas dari
pelukan Ki Busrut, Arum Sedap hendak mencoba membuka pintu.
Tapi hanya dengan satu lompatan saja laki-laki
tua itu berhasil meringkus si gadis.
"Perempuan tolol! Diajak menikmati sorga
indah malah memilih mampus! Keinginanmu
akan kukabulkan, tapi nanti setelah aku bosan!
Ha... ha... ha!" kata laki-laki itu diiringi tawa. Kemudian tanpa menghiraukan
si gadis yang mulai
menjerit-jerit ketakutan, Ki Busrut menyeret
Arum Sedap dan menelentangkannya di atas ran-
jang. Dengan beringas dan dipenuhi nafsu tangan
Ki Busrut berkelebat ke bagian dada.
Breet! Terdengar suara robeknya pakaian di ba-
gian dada. Arum Sedap menjerit ketakutan sambil
berusaha menutupi bagian dadanya yang besar
putih dan tersingkap lebar. Melihat semua itu Ki Busrut belalakkan matanya.
"Hmm, luar biasa sekali!" katanya sambil memeluk dan menciumi si gadis.
Arum Sedap meronta dan berteriak sejadi-
jadinya. "Jangan, lepaskan aku. Tua bangka busuk, lepaskan!" pekik Arum Sedap.
Bukannya melepaskan, tapi Ki Busrut
Rancak Bana malah memeluk Arum Sedap den-
gan erat. Di saat tangan si orang tua mulai cela-mitan merabai tubuh si gadis.
Pada waktu itu pu-
la dua pasang mata yang mengintai semua per-
buatan Ki Busrut dari atas genteng segera bertindak cepat. Mula-mula genteng dan
langit-langit rumah berderak hancur, hingga menimbulkan lu-
bang besar. Satu sosok tubuh bertelanjang dada
berambut gondrong melayang turun dari genteng
dan langit-langit rumah yang bolong. Sosok itu
bergerak ke arah si orang tua, kakinya melabrak
bagian bawah perut si tua bangka dari arah bela-
kang. Cproot! Ki Busrut Rancak Bana sebenarnya sempat


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasakan sambaran angin yang cukup deras
menghantam bagian selangkangannya. Tapi dia
yang tengah dilamun kobaran nafsu dari ujung
kaki hingga ke ubun-ubun tak sempat lagi meng-
hindar. Apalagi tendangan yang dilakukan oleh
sosok yang datang berlangsung sangat cepat luar
biasa. Tak ampun lagi Ki Busrut yang kena diten-
dang orang jatuh jungkir balik melewati bagian
atas ranjang dan jatuh dengan kepala menyentuh
lantai di seberang ranjang. Orang tua itu tanpa
menghiraukan salah satu kakinya yang menyang-
kut di atas ranjang ketiduran sambil mengerang
kesakitan mengusap-usap bagian bawah perut-
nya. Sumpah serapah menghambur dari mulut-
nya. Sementara itu Arum Sedap yang merasa
terbebas dari kebejatan si orang tua dan merasa
ada yang datang menolong segera rampikan pa-
kaian di bagian dada yang sempat acak-acakan.
Ketika dia bangkit, Arum Sedap sempat terpesona
melihat seorang pemuda tampan berambut gon-
drong berdiri tegak di depannya sambil berkacak
pinggang dan tersenyum-senyum.
"Cepat kau cari perlindungan, keluar dari
kamar ini atau sembunyi di bawah ketiakku. Eeh,
baiknya keluar saja. Jangan di ketiakku, bau aku belum sempat mandi!" kata si
gondrong sambil tertawa.
Sesuai dengan perintah si pemuda, dengan
cepat dan tanpa pikir panjang Arum Sedap berlari ke arah pintu. Memutar kunci
pintu kemudian menghambur entah ke mana.
Di seberang ranjang Ki Busrut Rancak Ba-
na kini sudah bangkit berdiri. Wajahnya pucat
bersimbah keringat akibat menahan sakit luar bi-
asa yang mendera bagian bawah perutnya. Perut
orang tua itu sendiri terasa mulas laksana mau
pecah. "Kkk... kau pemuda jahanam! Siapa kau berani mencampuri urusanku"!"
hardik Ki Busrut. Tangan kanan mendekap bagian bawah
sambil mengusap dan mengelus, sedangkan tan-
gan kiri menunjuk-nunjuk ke arah si pemuda.
Ekspresi wajahnya sendiri sulit dilukiskan dengan kata-kata. Karena wajah itu
demikian buruk akibat menahan sakit. Sedangkan matanya terka-
dang terpejam kadang membuka.
Memperhatikan wajah Ki Busrut Rancak
Bana membuat si gondrong yang tidak lain adalah
Gento Guyon jadi tertawa terkekeh-kekeh. "Orang tua, kau ini sedang buang hajat
atau apa. Kalau
buang hajat tanganmu mengapa sibuk mengusap
di bawah. Keningmu berkerut, mata berkedip se-
perti orang yang didera kenikmatan. Atau kau se-
dang melakukan keduanya sekaligus! Ha... ha...
ha." kata Gento Guyon lalu tertawa lebar.
"Pemuda keparat. Berani mati kau masuk
ke kamar ini. Katakan siapa namamu agar aku ti-
dak segan-segan jatuhkan hukuman keras terha-
dapmu!" hardik si kakek. Dia sadar betul pasti pemuda inilah yang tadi telah
menendangnya begitu rupa hingga membuat salah satu buah jam-
bunya pecah atau terselip entah ke mana. Semua
ini mengundang kemarahan besar pada diri si
orang tua. Tapi Gento dengan tenang dan tanpa
menghiraukan pertanyaan orang berkata.
"Aku tahu orang tua, kalau sudah me-
nyangkut urusan yang di bawah apalagi jika tidak kesampaian bisa membuat orang
jadi uring-uringan. Mau bercocok tanam boleh-boleh saja,
tapi bertanamlah di ladang sendiri, jangan ladang milik orang kau garap
seenaknya. Lagipula manusia akan menjadi lebih rendah derajatnya dari
binatang jika main embat seenak perut sendiri.
Eling orang tua. Nyebut... kau sudah sangat tua, nafas Senin Kemis, bagaimana
jika malaikat maut
mencabut nyawamu di saat kau asyik main kuda-
kudaan. Ha... ha... ha!"
Dari atas genteng tiba-tiba terdengar suara
orang menyahuti. "Dasar tolol kalau darah telah menggelegak di dalam dada dan
nafsu nangkring
di atas kepala. Jangankan mati, darat dan lautan pun orang sudah tak bisa
membedakannya. Ha...
ha... ha!"
Gento tersenyum, memandang ke atas le-
wat lubang genteng yang jebol dia berkata. "Eeh...
gendut apakah kau tidak mau turun, melihat ba-
gaimana tampang si kodok buduk?" Dari atas
atap terdengar jawaban.
"Aku lagi malas. Buat apa aku melihatnya"
Apa kau mengira aku suka kaum sejenis. Lebih
baik kau urus saja dia, aku sendiri harus menye-
lesaikan urusanku!" kata suara itu sambil berkelebat pergi.
Gento Guyon gelengkan kepala. Dia kemba-
li memandang ke depan. Sebaliknya Ki Busrut
Rancak Bana diam-diam melengak kaget. Ketika
dia mendengar suara orang di atas atap sana, ra-
sanya dia mengenali suara orang itu. Dia menco-
ba mengingat-ingat. Tapi pikirannya yang kacau
akibat niat tak kesampaian ditambah dengan ke-
hadiran pemuda itu membuat pikirannya jadi ge-
lap. Dengan penuh kegeraman dia berteriak. "Sekali lagi aku bertanya siapa
dirimu yang sebenarnya kunyuk gondrong?"
Dirinya disebut kunyuk gondrong Gento
hanya tersenyum sekejap. Beberapa saat kemu-
dian wajahnya berubah menjadi serius.
"Kau ingin tahu namaku, sapi tua. Boleh
saja, kau dengar sekarang. Aku ini adalah jun-
junganmu! Junjungan yang harus kau hormati!"
jawab si pemuda.
Ki Busrut yang merasa dipermainkan be-
rubah menjadi beringas. Dia keluarkan suara
menggereng, kedua rahang bergemeletukan, se-
dangkan mulutnya berucap pedas. "Pemuda se-
tan, junjungan bangsat. Kau belum tahu sedang
berhadapan dengan siapa rupanya?"
"Ha... ha... ha! Suguh sesajenmu telah ku-
terima. Ayam panggang pun sudah amblas dalam
perutku. Masih juga kau hendak membanggakan
diri di hadapanku"!" hardik si pemuda.
Mendengar ucapan si pemuda Ki Busrut
Rancak Bana berjingkrak kaget dan sempat tersu-
rut mundur satu langkah, mulut ternganga, mu-
ka pucat mata mendelik besar bagai tak percaya.
6 Seberapa kejap suasana dicekam kebisuan.
Sekali lagi Ki Busrut pandangi Gento Guyon sea-
kan tak bisa mengerti dengan kenyataan yang di-
hadapinya. Semula meskipun sempat ragu dia be-
ranggapan bahwa sosok yang datang dengan dis-
ertai tiupan angin kencang itu benar-benar Pen-
guasa Kegelapan. Tak disangka ternyata dia telah dikerjai oleh seorang pemuda
berwajah polos namun menyebalkan. Sadar dirinya telah ditipu
mentah-mentah, tanpa banyak bicara dia lang-
sung berkelebat melompati ranjang, tangan kiri
melepaskan satu jotosan sedangkan tangan ka-
nan menampar ke bagian mulut Gento. Sebelum
tamparan mendarat pada sasaran Gento pen-
congkan mulut bersikap seolah sudah kena tam-
paran. Tapi begitu tangan yang menampar hampir
menyentuh mulutnya dia cepat jatuhkan diri me-
nelentang, sedangkan kakinya menyambar ke
atas tepat di bagian selangkangan. Serangan si
orang tua luput. Untuk kedua kalinya dia menje-
rit kesakitan. Terhuyung ke belakang kakek itu
dekap anunya. "Ha... ha... ha! Maaf orang tua, sungguh
aku tak bermaksud membuat konyol itumu. Se-
muanya secara kebetulan, aku hendak menghan-
tam perut tapi si kaki ini malah melenceng ke si-tu. Ha... ha... ha!"
"Jahanam keparat! Rasakan pukulanku!"
teriak si kakek. Serta merta dia sapukan telapak tangannya satu sama lain.
Tangan yang bersen-tuhan itu dikobari api. Melihat ini tawa si pemuda kembali
terdengar. Sambil menunjuk-nunjuk ke
langit-langit rumah dia berkata. "Kurasa otakmu memang sinting orang tua. Kau
ciptakan api"
Apakah hendak kau bakar rumah gedungmu yang
bagus ini. Kalau sudah kau bakar kau hendak ti-
dur di mana" Di kandang kuda"! Kurasa kau
memang pantas jadi kuda pejantan! Ha... ha...
ha." Ki Busrut Rancak Bana terkejut sendiri. Si pemuda benar, jika gedungnya
sampai terbakar
dia akan berteduh di mana" Sadar akan ketolo-
lannya sendiri ditambah dengan kemarahan serta
dendam yang begitu besar pada lawan membuat
Ki Busrut banting kakinya. Kaki amblas ke dalam
lantai. Kemudian mulutnya meniup, api yang
berkobar di tangannya padam. Sebagai gantinya
laki-laki itu kerahkan hawa dingin ke bagian tangannya. Begitu kedua tangan
telah berubah me-
mutih laksana gumpalan es dia melompat ke de-
pan. Serangkaian serangan beruntun dilakukan-
nya. Beberapa saat lamanya Gento memang sang-
gup menghadapi gempuran yang dahsyat dan ber-
tubi-tubi itu. Ruangan pribadi Ki Busrut Rancak
Bana yang dijadikan tempat perkelahian sudah
acak-acakkan. Mereka sama sekali tidak menghi-
raukan semua ini. Tapi beberapa kejapan kemu-
dian setelah lawan merubah jurus Belalang Ter-
bang. Tapi karena ruangan kamar terlalu sempit,
si pemuda jadi tidak leluasa dalam mengerahkan
jurus belalangnya itu. Satu kesempatan Ki Busrut menyerang dada Gento dengan
tangan terkembang dialiri tenaga dalam tinggi. Angin dingin
berkesiuran. Sadar lawan bermaksud merobek
dadanya, maka Gento segera melangkah mundur
sambil liukkan kepalanya. Tapi serangan yang
mengarah ke bagian dada itu ternyata hanya ti-
puan saja, karena begitu Gento mengelak tangan
kiri lawannya menghantam bagian keningnya.
Pletak! "Waduh...!" pekik Gento begitu jidatnya ke-na dihantam lawan. Dia terbanting ke
belakang, punggung menabrak dinding. Dinding hancur,
kepala si gondrong jadi pusing dan pandangan
mata berkunang-kunang.
Dengan cepat dia melompat berdiri. Belum
sempat pemuda ini berdiri tegak kembali pukulan
lawan mendarat di dadanya. Sekali lagi Gento terdorong mundur. Dadanya yang kena
dihantam Ki Busrut tampak memar merah di bagian dalam.
"Kutu kampret, ternyata sudah tua begini
masih galak juga!" rutuk si pemuda. Bersamaan dengan ucapannya itu Gento tekuk
kaki kiri, kaki kanan diangkat. Sedangkan tangan kanan diletakkan di atas alis
seperti orang yang kesilauan memandang matahari. Sedangkan tangan kiri
menunjuk ke lantai.
"Puah jurus rongsokan apa itu!" Dalam
kemarahannya lawan masih sempatkan diri aju-
kan pertanyaan.
Gento menjawab dengan mulut terpencong.
"Ini namanya jurus Dewa Memandang Dari Lan-
git. Tapi karena yang dipandang tua bangka yang
hendak berbuat mesum. Dewanya jadi marah-
marah dan terpaksa alihkan pandangannya pada
matahari! Huuup!" Gento dengan gerakan aneh namun cepat lakukan satu lompatan ke
depan. Ki Busrut yang sempat tercengang melihat jurus
aneh lawannya tak sempat lagi mengelak, meski-
pun saat itu dia sudah menarik tubuhnya ke be-
lakang. Tidak dapat dihindari lagi kedua tangan
Gento menghantam dadanya dengan keras sekali.
Laki-laki tua itu jatuh terpelanting, tubuh-
nya menyerangsang pada bagian kepala ranjang
berbentuk kepala ular. Nafasnya kembang kem-
pis, dada laki-laki itu terasa panas laksana terbakar. Menyadari lawan ternyata
memiliki tenaga
dalam, jurus aneh serta kesaktian tinggi. Tanpa
membuang waktu lagi dia mencabut pedangnya.
Tapi diam-diam Ki Busrut jadi kaget. Pe-
dang yang ditariknya ternyata alot bukan main,
sehingga orang tua ini seolah merasa sedang
mencabut pohon besar.
Di depannya sana sambil bertolak pinggang
dan mengusap hidungnya murid kakek gendut
Gentong Ketawa tertawa lagi. Pedang itu tentu sulit dikeluarkan dari rangkanya,
karena ketika menendang selangkangan lawan pertama kali Gento
munculkan diri di kamar itu dia menggerakkan
hulu pedang ke bawah hingga pedang pun dalam
posisi mengunci. Untuk membukanya kembali
tentu dengan menggerakkan hulu pedang ke atas.
"Baru malam ini aku bertemu dengan ma-
nusia pikun. Mencabut pedang saja tidak becus.
Tapi kulihat kalau mencabut sesuatu yang ada
hubungannya dengan nafsu, wah cepat bukan
main. Ha... ha... ha!"
"Gondrong sialan, kau telah mengerjaiku"
Kubunuh kau...!" pekik si orang tua yang baru sa-ja berhasil melolos senjatanya.
Begitu usai bicara tubuh berkelebat, pedang dibabatkan. Sinar putih berkilauan
berkiblat secara aneh membabat dalam posisi menyilang dua kali berturut-turut.
Untuk pertama kalinya Gento terkesiap.
Sambaran senjata lawan ini bukan serangan bi-
asa. Karena bagaimanapun Gento menghindar,
pasti salah satu babatan menghantam bagian tu-
buhnya juga. Tapi dengan nekad pemuda ini me-
lakukan gerak berjumpalitan. Tak urung ujung
pedang masih sempat menggores bagian atas ba-
hunya juga. Cres! "Ugkh...!"


Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil berguling-guling si pemuda kelua-
rkan keluhan tertahan. Ki Busrut melakukan sa-
tu lompatan, pedang dihantamkan dengan mak-
sud mengakhiri serangan lawan. Tapi dia kemu-
dian terpaksa melompat mundur bergulingan se-
lamatkan diri begitu melihat sinar putih berkiblat dari telapak tangan si
pemuda. Sinar putih menderu menghantam dinding di sebelah kiri pintu
kamar. Terdengar suara ledakan keras berdentum
ketika pukulan Iblis Ketawa Dewa Menangis me-
labrak dinding. Batu-batu berhamburan, pasir
dan debu beterbangan menghalangi pemandan-
gan. Sejenak ruangan itu menjadi gelap. Gento
bangkit berdiri, namun ketika kegelapan sirna
dan ruangan jadi terang kembali Gento Guyon tak
melihat Ki Busrut Rancak Bana ada di ruangan
itu lagi. Di sudut ranjang, di bawah salah satu
kaki meja Gento menemukan sebuah kantong ke-
cil berwarna hitam. Kantong diambil, diperhati-
kan sambil mereka-reka apa gerangan isi kantong
tersebut. Karena penasaran Gento membukanya
sekaligus, mengeluarkan isi kantong. Dia menda-
pati tiga lempengan keras sebesar telunjuk ber-
warna hitam. Lempengan itu berbau anyir seperti
darah. "Apa ini" Obat kuat atau sejenis perangsang"!" gumam si pemuda disertai
senyum dan gelengan kepala. "Tua bangka aneh!" Si pemuda kemudian masukkan
lempengan hitam ke tempatnya kembali. Kantong kecil itu lalu dimasuk-
kan di balik kantong celananya.
"Gendut...!" seru si pemuda begitu ingat pada gurunya. "Kujamin dia sudah pergi.
Akh... gila betul. Dia menyuruhku menghadapi kodok
buduk, sementara dia sendiri bermesra-mesra
dengan gadis berpinggul besar itu." kata si pemuda sambil melangkah pergi.
Pada saat Gento berhadapan dengan Ki
Busrut Rancak Bana dan Arum Sedap berlari ke
luar meninggalkan kamar. Sampai di halaman si
gadis cantik itu jadi bingung tak tahu hendak ke mana. Dalam gelapnya malam
gadis penari itu
tentu saja tak mengetahui arah. Di saat si gadis dilanda rasa takut dan
kecemasan luar biasa seperti itu. Dari atas genteng rumah nampak me-
layang satu sosok tubuh berbadan tinggi dan be-
sar bukan main. Berpakaian serba hitam dengan
baju tak terkancing. Meskipun tubuhnya besar
luar biasa dengan bobot lebih dari dua ratus kati.
Namun ketika jejakkan kedua kaki ke tanah tidak
menimbulkan suara sedikitpun, pertanda orang
tua berkening lebar berwajah bulat ini memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sangat luar biasa.
Kemunculan si gendut besar yang tidak disangka-
sangka ini tentu mengejutkan Arum Sedap. Dia
berjingkrak mundur, tubuhnya gemetar, mata di-
buka lebar coba mengenali. Hatinya berubah lega
begitu mengenali siapa adanya kakek itu.
Orang tua inilah yang tadi ikut menari ber-
samanya ketika berada di lapangan pertunjukan.
Orang tua lucu ini pula yang mengedipkan mata
kepadanya. Terus-terang Arum Sedap merasa su-
ka dengan gaya dan cara si kakek gendut menari.
"Kek, kau. Bagaimana kau bisa sampai ke
mari?" tanya si gadis heran.
Gentong Ketawa tersenyum. "Aku sengaja
mencarimu, karena takut terjadi apa-apa den-
ganmu. Kulihat dua laki-laki anak buah si kumis
tebal membawa kau dan tiga temanmu." jawab
Gentong Ketawa. Ucapannya ini tentu hanya gu-
rauan saja. Karena sesungguhnya dia dan murid-
nya memang sedang mengawasi Ki Busrut Ran-
cak Bana. Akan tetapi ucapan si kakek memberi arti
tersendiri bagi si gadis. Kakek itu mengkhawatir-kannya, berarti dia ada
perhatian pada dirinya.
Pikir Arum Sedap. Hal ini sudah menimbulkan
kesan sangat mendalam bagi si gadis.
"Terima kasih atas perhatianmu, kek. Aku
Arum Sedap pasti tak akan melupakan pertolon-
ganmu dan kawanmu itu!" ucap si gadis dengan hati berbunga-bunga.
Si kakek tidak menjawab, wajahnya men-
dongak, cuping hidung mengendus udara. Diapun
lalu tersenyum. "Ternyata tubuhmu benar-benar harum. Namamu Arum Sedap. Arum dan
Sedap... sangat cocok sekali. Harumnya sudah kucium
tinggal sedapnya saja yang belum kurasakan." celetuk si kakek setengah bergumam.
"Eh, apa maksudmu kek?" tanya Arum Se-
dap dengan alis berkerut heran.
Gentong Ketawa gelengkan kepala. "Tidak.
Tidak apa-apa. Aku cuma ingin tahu ke mana tiga
temanmu yang lain?" tanya si gendut alihkan pembicaraan.
"Ketiga temanku disekap di ruangan bela-
kang. Tolong mereka kek!" pinta si gadis penuh harap. "Baiklah akan menolong
semua temanmu. Mari tunjukkan tempatnya!" kata si kakek gendut. Sambil berpegangan pada lengan
Menjenguk Cakrawala 5 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Pendekar Seribu Diri 2
^