Pencarian

Istana Sekar Jagat 1

Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat Bagian 1


SATU Terdengar suara deruan dahsyat. Saat yang sama
dua gelombang luar biasa ganas melabrak ke arah la-
ki-laki bercaping lebar. Yang diserang sesaat terkesiap.
Kaki kanannya yang hendak melangkah melewati mu-
lut goa segera disentakkan. Laksana kilat sosok laki-laki bercaping lebar
melesat keluar dari goa.
Begitu sosok laki-laki bercaping lebar tegak di de-
pan mulut goa, terdengar suara bergemuruh. Si laki-
laki bercaping putar tubuh. Memandang ke depan,
tampak mulut goa dari mana dia tadi melesat keluar, bergetar keras. Kejap lain
mulut goa itu longsor. Batu dan debu bertaburan keluar.
Taburan batu dan debu belum sirna, satu sosok tu-
buh telah menyeruak. Dua tindak di depan mulut goa
tampak berdiri tegak seorang laki-laki berusia lanjut dengan rambut putih
sebatas bahu. Kumis dan jenggotnya lebat. Sepasang matanya tajam dan melotot
angker. Orang tua ini bukan lain adalah Kiai Laras.
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya, seo-
rang laki-laki bercaping lebar yang wajahnya sukar dikenali karena tertutup oleh
sebagian caping pandan
lebar yang masukkan dalam-dalam, bertemu dengan
Saraswati yang saat itu tengah tenggelam dalam perasaan kecewa dan geram akibat
perlakuan pemuda
yang menurut pandangannya bukan lain adalah Pen-
dekar 131. Dari mulut Saraswati, si laki-laki bercaping lebar mendapat
keterangan panjang lebar tentang di
mana adanya Pendekar 131. Si laki-laki akhirnya me-
nuju ke tempat yang dikatakan Saraswati.
Di kaki Bukit Kalingga, akhirnya si laki-laki bercaping lebar berjumpa dengan
Kiai Laras. Kiai Laras sen-
diri tampaknya tidak suka dengan kehadiran laki-laki bercaping lebar. Hingga
bukan saja Kiai Laras segera memerintahkan pada si laki-laki untuk segera angkat
kaki dari goa di samping Bukit Kalingga, namun begitu si laki-laki bercaping
lebar hendak melangkah pergi, Kiai Laras segera lepaskan satu pukulan bertenaga
dalam tinggi. Untuk beberapa saat laki-laki bercaping lebar per-
hatikan sosok Kiai Laras di depan sana. Yang diperhatikan rangkapkan kedua
tangan di depan dada dengan
kepala sedikit didongakkan.
"Manusia tak dikenali. Hanya satu cara kau bisa
angkat kaki dari tempat ini dengan nyawa selamat!"
Berkata Kiai Laras.
Laki-laki bercaping lebar sunggingkan senyum.
"Orang tua! Sebenarnya ada apa ini"! Aku telah turuti ucapanmu untuk pergi. Tapi
sekarang kau minta syarat dengan kepergianku!"
Kiai Laras tidak menjawab pertanyaan orang. Seba-
liknya dia balik ajukan tanya.
"Katakan siapa kau sebenarnya!"
"Baik! Aku akan katakan siapa diriku. Tapi kuharap
jawabanku nanti sudah cukup menjadi syarat bagi ke-
pergianku!" Laki-laki bercaping lebar sekali lagi perhatikan orang di depan
sana. Lalu lanjutkan ucapan.
"Aku Kiai Tung-Tung! Orang tua bernasib buruk kare-
na dalam usia senja begini rupa masih belum punya
tempat berpijak yang pasti."
Habis berkata begitu, laki-laki bercaping lebar yang sebutkan diri Kiai Tung-
Tung gerakkan tubuh membalik. Dengan tekan caping lebarnya hingga wajahnya
makin tak bisa dikenali, Kiai Tung-Tung ayunkan kaki.
Kiai Laras sesaat luruskan kepala memandang pada
gerakan kedua kaki Kiai Tung-Tung. "Aku yakin ada
yang tidak beres dengan manusia itu! Gerak-geriknya
jelas menunjukkan kalau dia mencari sesuatu di sini!
Meski aku yakin dia tidak tahu rahasia di dalam goa, tapi setidaknya dia telah
mengetahui aku berada di si-ni! Ini tidak boleh terjadi! Dan aku menduga manusia
ini mendapat keterangan dari Saraswati! Sebelum semua ini tersiar di luar, aku
harus membungkam mu-
lutnya! Lagi pula, dia dapat selamat dari pukulanku, berarti dia bukan manusia
tidak berilmu. Padahal aku tidak pernah dengar manusia bernama Kiai Tung-Tung
dalam rimba persilatan! Pasti dia berkata dusta!"
Berpikir begitu, Kiai Laras segera angkat suara
membentak. "Dengar, Manusia! Kau boleh angkat kaki dari sini!
Tapi hanya raga kasarmu! Nyawamu harus tetap ting-
gal di sini!"
"Kau pasti bercanda dengan ucapanmu!" kata Kiai
Tung-Tung tanpa balikkan tubuh. "Lagi pula untuk
apa nyawa tua bangka sepertiku ini buatmu"!"
"Nyawamu memang tak ada gunanya untukku! Tapi
lebih tak berguna lagi di luaran sana! Maka lebih baik kau tewas di sini
daripada di luar sana!"
"Hem.... Orang tua ini menyembunyikan sesuatu!
Tempat yang dikatakan Saraswati pasti goa itu. Tapi di mana pemuda yang
dikatakan Saraswati sebagai Pendekar 131"! Anehnya yang kutemui bukannya Pende-
kar 131 yang sudah pasti Pendekar 131 palsu, tapi
Kiai Laras.... Apa hubungan orang tua itu dengan Pendekar 131 palsu"!"
Kiai Tung-Tung balikkan tubuh. "Orang tua! Uca-
panmu benar! Nyawaku tidak ada gunanya untukmu
juga di luaran sana! Tapi.... Itu kata orang! Dan kata orang pasti berbeda
dengan Sang Pencipta nyawaku...."
Kiai Laras tertawa mengejek. "Malaikat maut da-
tangnya tidak terduga! Kalau kukatakan nyawamu su-
dah tidak berguna, berarti Sang Pencipta sudah meng-gariskan saat tercabutnya
nyawamu!" Kiai Tung-Tung gelengkan kepala dengan bibir ter-
senyum. "Tidak seorang pun tahu apa yang tengah di-
gariskan Sang Pencipta sebelum hal itu terjadi!"
"Akan kutunjukkan padamu jika aku tahu garis-
mu!" Kiai Laras buka rangkapan kedua tangannya. La-
lu diangkat tinggi-tinggi.
"Tahan!" teriak Kiai Tung-Tung. "Kurasa tidak ada
perlunya kau tunjukkan padaku garis takdir yang
akan ku alami! Itu membuatku ngeri.... Soalnya, terus terang saja aku baru saja
melamar seorang gadis cantik! Dan untuk mendapatkan gadis itu aku telah ba-
nyak berkorban.... Korban harta dan perasaan.... Kau bisa bayangkan bagaimana
kecewanya hatiku jika aku
gagal mengawini gadis itu...."
"Siapa percaya tua bangka sepertimu melamar seo-
rang gadis cantik! Kau jangan kira bisa menipuku! Aku tahu.... Semua ucapanmu
tadi hanya bohong belaka!"
"Hai.... Bagaimana kau bisa berkata begitu"!" kata
Kiai Tung-Tung.
"Itu urusanmu! Kau telah tahu sendiri jawabannya!"
"Aneh...," gumam Kiai Tung-Tung seraya gelengkan
kepala. "Kau berkata semua ucapanku bohong. Padah-
al aku telah berkata sejujurnya!"
"Kau terlalu banyak mulut!" hardik Kiai Laras.
"Jangan kira aku tidak tahu dari mana kau tahu tem-
pat ini! Kau juga jangan duga aku tidak tahu apa maksud tujuanmu datang ke sini!
Semua itu harus kau
bayar mahal!"
"Hem.... Mendengar ungkapan ucapannya, aku ma-
kin yakin orang ini ada hubungannya dengan Pende-
kar 131 palsu!"
Baru saja Kiai Tung-Tung membatin begitu, di de-
pan sana Kiai Laras telah gerakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt! Terlambat bagi Kiai Tung-Tung untuk berteriak
mencegah tindakan Kiai Laras. Hingga dia terpaksa ju-ga angkat kedua tangannya
tatkala dua gelombang ga-
nas menggebrak ke arahnya dari sentakan kedua tan-
gan Kiai Laras.
Wuutt! Wuuutt! Kedua tangan Kiai Tung-Tung mendorong ke depan.
Saat itu juga tampak semburatan sinar berwarna kun-
ing membawa gelombang luar biasa deras serta hawa
panas. Blaamm! Dua gelombang dari masing-masing tangan orang
beradu di udara. Terdengar suara ledakan dahsyat.
Tanah di sekitar goa bergetar keras. Mulut goa yang sudah berantakan akibat
terhantam pukulan Kiai Laras berderak makin longsor. Sosok Kiai Laras tampak
tersapu tiga langkah ke belakang dengan raut muka
berubah. Tubuhnya bergetar hebat tersandar pada
samping mulut goa yang longsor. Orang tua ini rasa-
kan kedua tangannya laksana baru saja menghantam
tembok tebal hingga begitu terdengar ledakan, kedua tangannya langsung mental
balik ke belakang dengan
darah seperti tersumbat dan menyentak-nyentak.
Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung terjajar dua langkah. Karena raut
wajahnya tertutup sebagian caping lebarnya, maka perubahan air mukanya tidak
jelas. Namun kedua tangannya yang bergetar sudah cukup
membuktikan kalau laki-laki ini juga mengalami hal
yang sama dengan Kiai Laras.
Begitu dapat kuasai diri, sepasang mata Kiai Laras
mementang angker pandangi Kiai Tung-Tung. Tiba-tiba dahi orang tua ini berkerut.
"Aku sepertinya pernah melihat pukulan yang baru saja dilepas manusia itu!
Sialnya aku lupa kapan dan di mana!" Kiai Laras don-
gakkan kepala seolah mengingat.
"Boleh aku tanya sesuatu"!" Kiai Tung-Tung angkat
bicara seolah tidak terjadi apa-apa. Malah orang ini sunggingkan senyum dan
anggukkan kepala.
Entah karena ingin mengetahui siapa adanya orang,
Kiai Laras menjawab. "Apa yang akan kau tanyakan"!"
"Kau pasti masih ada hubungan dengan seorang
pemuda bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Apa be-
tul"!"
"Aku makin yakin manusia ini baru saja bertemu
dengan Saraswati!" Diam-diam Kiai Laras membatin
begitu mendengar ucapan Kiai Tung-Tung. Setelah
agak lama terdiam, dia buka mulut.
"Aku memang pernah mendengar pemuda bergelar
Pendekar 131 Joko Sableng! Namun aku tak ada hu-
bungan apa-apa dengannya!"
Kiai Tung-Tung angguk-anggukkan kepala. "Apa di
sekitar tempat ini masih ada goa lagi"!" Kiai Tung-Tung bergumam sendiri dalam
hati. "Kalau orang tua itu tidak ada hubungannya dengan Joko palsu, pasti dia
yang disebut-sebut Saraswati sebagai seorang yang
memberi nasihat! Hem.... Berarti aku harus mencari ke tempat lain...."
Kiai Tung-Tung melirik pada Kiai Laras. Lalu berka-
ta dengan suara pelan.
"Kurasa tidak ada gunanya kita teruskan urusan
ini. Kita sama-sama sudah tua. Lagi pula terlalu sepele jika kita harus
korbankan nyawa tanpa urusan yang
jelas. Lebih-lebih aku masih ingin menikmati kekasih-ku yang masih gadis....
Kuharap kau mengerti!" Kiai Tung-Tung tertawa. Lalu bergerak balikkan tubuh.
Namun sebelum tubuh Kiai Tung-Tung membalik,
Kiai Laras telah angkat suara.
"Mengapa kau tanya pemuda bergelar Pendekar 131
Joko Sableng"! Kau mencarinya"!"
Kiai Tung-Tung urungkan niat untuk putar diri.
'Aku yakin kau adalah kalangan orang rimba persilatan. Aku bisa memastikan kau
tahu banyak tentang
sebuah senjata bernama Kembang Darah Setan dan
seluk beluknya! Itu berarti...."
"Dugaanku tepat!" Kiai Laras memotong ucapan Kiai
Tung-Tung. "Kau pasti mencari pemuda itu untuk me-
rebut Kembang Darah Setan yang menurut beberapa
orang senjata dahsyat itu sekarang di tangan Pendekar 131 Joko Sableng!"
"Dugaanmu salah!" Kiai Tung-Tung gelengkan kepa-
la. "Kalaupun aku mencarinya, tidak ada sangkut
pautnya dengan Kembang Darah Setan! Lagi pula aku
belum percaya benar dengan kabar yang selama ini
sudah tersiar dalam rimba persilatan!"
Kiai Laras tersenyum dingin. "Lalu apa tujuanmu
mencarinya"!"
"Ada seseorang menitipkan pesan padaku untuk
Pendekar 131! Sebenarnya aku enggan untuk me-
nyanggupinya, namun karena pesan itu diucapkan
saat orang itu menjelang ajal, terpaksa aku berjanji untuk menyampaikan pesan
itu!" "Siapa orang itu"!"
Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. "Aku tidak bisa
mengatakan siapa orang itu!"
Kiai Laras sipitkan sepasang matanya. Keningnya
berkerut. Kiai Tung-Tung rupanya dapat menangkap
apa yang ada dalam benak orang. Hingga sebelum Kiai Laras buka suara, Kiai Tung-
Tung telah mendahului.
"Aku tidak bisa mengatakan siapa adanya orang itu
karena dia sendiri tidak mau sebutkan siapa dirinya"
Aku pun tidak mau memaksa orang yang menjelang
ajal untuk bicara banyak!"
Kiai Laras palingkan kepala dengan perdengarkan
dengusan. "Apa pesan yang kau bawa"!"
"Aku telah berjanji tidak akan mengatakan pesan
itu pada orang lain! Yang jelas, pesan itu tidak ada hubungannya dengan Kembang
Darah Setan!"
"Mengapa kau mencari Pendekar 131 di sini"! Kau
kira dia berada di sekitar tempat ini"!"
"Bagi pencari sepertiku, setiap tempat mengandung
dua kemungkinan! Ada dan tidak ada! Tidak terkecuali tempat ini!"
Kiai Laras arahkan pandang matanya kembali pada
Kiai Tung-Tung. "Aku bersedia membantumu mencari
Pendekar 131 asal kau mau katakan dahulu apa pesan
itu!" "Orang tua sepertiku sudah tidak layak lagi ingkari ucapan yang telah dijanjikan
pada orang yang berpe-san menjelang ajal.... Kuharap kau mengerti! Aku pun tidak
memaksamu untuk membantuku. Aku akan berusaha. Kalau tidak berhasil, setidaknya
aku telah lakukan apa yang bisa kulakukan!"
"Kau tak akan pernah bisa lakukan apa yang kau
katakan!" ujar Kiai Laras dingin.
"Apa maksud ucapanmu"!"
"Kau tak akan kubiarkan angkat kaki dari sini sebe-
lum kau katakan apa pesan yang kau bawa!"
"Heran.... Apa hubungannya pesan itu denganmu"!"
"Kau tak perlu bertanya! Kau hanya perlu mengata-
kan pesan itu!"
Kiai Tung-Tung tertawa panjang. "Kalaupun aku
mengatakan pesan itu, kukira tidak ada gunanya ba-


Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gimu...." "Setan alas! Berguna atau tidak bukan urusanmu!"
"Betul. Itu memang urusanmu! Tapi kalau kukira
tidak ada gunanya untuk apa kukatakan padamu"!"
"Jahanam!" Kiai Laras tampaknya sudah hilang ke-
sabaran. Sambil memaki kedua tangannya diangkat.
"Kau katakan pesan itu, atau kau akan mampus di si-
ni!" Kiai Tung-Tung angkat bahu seraya gelengkan kepala. "Sebenarnya aku tak
boleh ingkar janji! Tapi kalau kau memaksa, daripada membuat silang sengketa,
aku akan mengatakan pesan itu! Tapi dengan syarat."
Kiai Laras tertawa pendek. "Aku tidak pernah me-
minta dengan syarat!"
Kiai Tung-Tung balik tertawa mendengar ucapan
Kiai Laras. "Kau boleh mengatakan hal demikian. Tapi untuk yang satu ini
urusannya lain! Kalau kau tidak mau menerima syarat ku, jangan harap kau akan
mendengar apa yang kau minta!"
"Hem.... Aku hanya perlu mendengar saja syarat
yang diucapkan! Dan tidak akan melakukannya!" kata
Kiai Laras dalam hati. Lalu perdengarkan suara.
"Katakan apa syaratmu!"
"Kau yang menanggung dosa akibat ingkar janji ku!"
Kiai Laras sesaat kerutkan dahi. Kejap lain orang
tua ini meledak tawanya dan berkata di sela-sela gelakan tawanya. "Syarat
gampang! Malah setinggi apa
pun dosa yang kau punya, aku akan menanggungnya!"
Kiai Tung-Tung menunggu hingga Kiai Laras henti-
kan tawanya sambil sesekali edarkan pandangan ber-
keliling. "Sudah puas"!" tanya Kiai Tung-Tung begitu Kiai
Laras hentikan gelakan tawanya.
Pertanyaan Kiai Tung-Tung membuat kening Kiai
Laras kembali mengernyit. Namun belum sampai Kiai
Laras dapat menduga apa di balik ucapan orang, Kiai Tung-Tung telah angkat
bicara. "Harap tidak tertawa dahulu! Aku belum mengata-
kan semua syarat ku! Yang kukatakan tadi baru syarat pertama...."
DUA Sosok Kiai Laras tegak dengan mata mendelik ang-
ker. Orang tua ini sudah merasa kesal dengan ucapan Kiai Tung-Tung yang ternyata
mengajukan beberapa
syarat. Sementara Kiai Tung- Tung sendiri pura-pura tidak tahu perubahan sikap
orang dengan alihkan
pandang matanya ke jurusan lain. Namun setelah ber-
pikir, akhirnya Kiai Laras berkata.
"Kau boleh katakan apa syarat lainnya! Tapi jangan
mimpi aku akan melakukan jika syaratmu terlalu ba-
nyak!" "Kau harus mengatakan apa hubunganmu dengan
orang tua bernama Kiai Lidah Wetan! Lalu kau harus
mengatakan apakah kau pernah bertemu dengan Pen-
dekar 131! Terus kau juga harus katakan siapa saja
yang pernah datang ke tempat ini!"
Pelipis kiri kanan Kiai Laras bergerak-gerak. Tan-
gannya mengepal. Sepasang matanya berputar liar.
"Sahabat.... Kupikir syarat ku tidak sulit! Kau
hanya tinggal buka mulut, imbalannya kau akan men-
dengar pesan yang akan kusampaikan pada Pendekar
131!" Berkata Kiai Tung-Tung.
Kiai Laras coba menindih gelegak di dadanya. Lalu
berpaling seraya berkata.
"Aku baru kali ini mendengar orang bernama Kiai
Lidah Wetan!"
"Hem.... Kuharap kau tidak berkata dusta, Saha-
bat...." "Keparat! Kau ingin dengar atau ingin membuat
urusan panjang, hah?"
"Aku pernah bertemu dengan orang bernama Kiai
Lidah Wetan. Percaya atau tidak, kau harus percaya
kalau kukatakan jika siapa pun yang pernah bertemu
denganmu akan mengatakan kau punya hubungan
dengan Kiai Lidah Wetan!" Kiai Tung-Tung hentikan
ucapannya sesaat sebelum akhirnya melanjutkan.
"Wajahmu.... Sama persis!"
"Berarti manusia ini pernah jumpa dengan Kiai Li-
dah Wetan...," kata Kiai Laras dalam hati. Lalu sambil tertawa perlahan dia
berujar. "Aku tanya. Apa orang yang wajahnya persis berarti
punya hubungan"!"
"Memang tidak selalu. Namun kemungkinannya
sangat besar!"
"Baik! Tapi persetan dengan kemungkinan itu! Yang
pasti aku tidak mengenal Kiai Lidah Wetan apalagi
punya hubungan!"
"Hem.... Bagaimana dengan syarat ku selanjutnya"!"
tanya Kiai Tung-Tung.
"Aku memang pernah bertemu dengan Pendekar
131 di dekat sebuah sendang pada beberapa waktu
yang lalu!"
Kiai Tung-Tung tampak sedikit terkesiap. "Astaga....
Jadi saat itu dia telah mengenaliku...."
"Sikapmu menunjukkan kau terkejut. Kau masih
juga meragukan ucapanku"!" tanya Kiai Laras yang
dapat menangkap perubahan pada Kiai Tung-Tung.
Kiai Tung-Tung buru-buru sunggingkan senyum.
Dan cepat pula angkat bicara.
"Syarat selanjutnya...."
"Memang ada beberapa orang yang mampir ke tem-
pat ini!" "Apakah di antara beberapa itu ada seorang pemu-
da tampan berkumis tipis mengenakan pakaian hitam-
hitam"!"
"Hem...." Kiai Laras menggumam. "Berarti memang
dia telah bertemu dengan Saraswati!" kata Kiai Laras dalam hati. Lalu berucap.
"Kalau tidak salah lihat,
ucapanmu benar! Aku pernah bertemu dengan pemu-
da yang cirinya kau katakan! Malah kalau tidak salah, aku pernah memberi nasihat
padanya...!"
"Hem.... Orang ini tampaknya tidak berdusta den-
gan ucapannya! Tapi aku harus tetap waspada. Di ba-
lik ucapan jujurnya mungkin dia punya maksud ter-
sembunyi!" Kiai Tung-Tung membatin.
"Aku telah penuhi syarat yang kau pinta! Sekarang
saatnya bagiku menagih imbalannya!" Kiai Laras ber-
kata seraya melangkah maju dua tindak.
Kiai Tung-Tung sejenak tampak kebingungan. Kiai
Laras memperhatikan dengan mata menyengat angker.
"Telingamu telah dengar ucapanku! Katakan pesan
itu!" teriak Kiai Laras.
"Pendekar 131 disuruh datang ke satu tempat...."
"Jahanam! Teruskan ucapanmu!" teriak Kiai Laras
saat Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya.
"Dia disuruh datang ke pesisir utara bagian barat
dekat dengan teluk!"
"Kapan waktunya"!" tanya Kiai Laras dengan suara
tetap tinggi. "Dia tidak mengatakan kapan waktunya...!"
"Apa maksudnya"!"
"Seperti halnya dirimu saat ini, saat itu pun aku
mendesaknya! Namun sampai ajal menjemput, orang
itu tetap bungkam!"
"Apa ucapan orang ini bisa dipercaya"! Hem.... Tapi tak ada salahnya aku coba
lakukan apa yang dikatakan!" kata Kiai Laras dalam hati. "Aku akan memper-
panjang nyawanya sampai aku bisa buktikan benar ti-
daknya! Jika ucapannya dusta, nyawanya akan ku pu-
tus dua kali!"
"Kau masih sayang nyawamu"!" ucap Kiai Laras
membuat Kiai Tung-Tung terkejut.
"Aneh.... Bukankah kau tadi...."
Sebelum Kiai Tung-Tung teruskan ucapannya, Kiai
Laras telah menukas. "Kalau kau masih sayang nya-
wamu, apalagi yang kau tunggu"! Lekas angkat kaki
dari hadapanku!"
Kiai Tung-Tung menghela napas panjang. Tanpa
berkata apa-apa lagi, laki-laki bercaping lebar ini balikkan tubuh lalu
perlahan-lahan melangkah mening-
galkan tempat itu.
"Seseorang menyuruh Pendekar 131 datang kesatu
tempat dan tidak mau mengatakan apa maksudnya....
Tentu ada satu rahasia! Dan kalau Pendekar 131 yang diberi pesan, rahasia ini
tentu bukan sembarang rahasia! Jangan-jangan masih ada hubungannya dengan
sebuah kitab atau senjata sakti!" Kiai Laras tersenyum seraya pandangi sosok
Kiai Tung-Tung. "Kembang Darah Setan telah berada di tanganku! Dengan tambahan
senjata atau kitab sakti, maka semua urusanku akan
bertambah lancar! Ha.... Ha.... Ha...!"
Kalau Kiai Laras membatin begitu, Kiai Tung-Tung
juga membatin seraya melangkah. "Aku jadi curiga!
Mengapa dia memaksaku untuk mengatakan pesan
itu! Kalau dia tidak ada hubungannya dengan Pende-
kar 131 yang palsu, tentu dia tidak akan berbuat begitu! Aku harus
mengawasinya...."
Kiai Tung-Tung hentikan langkah. Kepalanya men-
dongak. Tangan kanannya diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan ke lobang
telinga. Sambil bersiul la-gi, laki-laki bercaping lebar ini perlahan-lahan
memutar tubuh. Dan perlahan-lahan pula kepalanya dige-
rakkan lurus ke depan.
"Busyet! Ke mana dia"! Masuk lagi ke dalam goa
atau...." Kiai Tung-Tung edarkan pandang matanya
berkeliling. Dan mungkin untuk memperjelas penglihatan, tangan kanannya
digerakkan ke depan. Caping lebar bagian depan diangkat sedikit, hingga dia bisa
me- nangkap sesuatu yang berada di atas tanpa harus tengadah.
Namun sejauh ini Kiai Tung-Tung tidak melihat so-
sok Kiai Laras. Kiai Tung-Tung tarik lagi caping lebarnya ke bawah. Saat
bersamaan sosoknya bergerak
memutar. Lalu perlahan-lahan teruskan langkah.
Sejauh dua puluh lima tombak, Kiai Tung-Tung
hentikan langkah. Sesaat dia tegak dengan mata melirik ke samping kanan kiri.
Kejap lain orang ini membuat gerakan. Tahu-tahu sosoknya telah melesat dan
lenyap di balik rimbun semak belukar di kaki bukit.
Bersamaan dengan lenyapnya sosok Kiai Tung-
Tung, semak belukar di sekitar kaki bukit tampak bergerak-gerak. Gerakan semak
ini membentuk jalur ke
arah goa di kaki Bukit Kalingga di mana tadi Kiai
Tung- Tung dan Kiai Laras bertemu.
Tiba-tiba kesunyian kaki Bukit Kalingga dipecah
dengan terdengarnya gelakan suara tawa panjang
membahana. Gerakan semak belukar sekonyong-
konyong terhenti. Lalu terdengar suara di sela suara gelakan tawa.
"Rupanya ada manusia yang belum tahu bahasa ka-
ta! Manusia macam ini harus diajari bahasa tangan!"
Suara itu belum lenyap, tiba-tiba terdengar satu deruan keras. Saat bersamaan
dua gelombang menghajar
ganas ke arah terhentinya gerakan semak belukar.
"Busyet!" terdengar keluhan dari semak belukar di
mana saat itu gelombang ganas mengarah! Lalu tam-
pak satu bayangan melesat keluar dari semak belukar.
Bayangan ini terlihat membuat gerakan dengan men-
dorong kedua tangannya.
Blaamm! Kaki Bukit Kalingga kembali dibuncah suara leda-
kan keras. Tanahnya laksana dilanda gempa dan mun-
crat ke udara bersama ranggasan semak. Sosok yang
tadi melesat keluar dari balik semak belukar tegak li-ma langkah di samping
semak yang telah porak-
poranda. Sesaat setelah bayangan dari semak tegak, satu
bayangan berkelebat dan tahu-tahu telah tegak sejarak empat langkah di hadapan
sosok yang keluar dari balik semak.
"Rupanya takdir nyawamu harus tercabut di sini,
Manusia! Terbukti kau berani kembali dengan sem-
bunyi-sembunyi!" Berkata orang yang muncul bela-
kangan. Orang ini ternyata Kiai Laras. Kedua tangannya bergerak terangkat.
"Tunggu!" seru orang di seberang yang tadi melesat
dari balik semak belukar. Orang ini bukan lain ternyata Kiai Tung-Tung. "Aku
lupa sesuatu...." Kiai Tung-Tung angkat pula kedua tangannya. Bukannya siap le-
paskan pukulan seperti gerakan yang dibuat Kiai La-
ras. Melainkan kedua tangannya digerak-gerakkan ke
samping kiri kanan memberi isyarat agar orang tidak lanjutkan niat.
Sepasang mata Kiai Laras menatap tajam. Mulutnya
membuka. "Beraninya kau membuat alasan! Kau kira
aku tidak tahu gerak-gerik mu, hah"!"
"Tenang, Sahabat.... Aku bukannya membuat ala-
san. Aku memang melupakan sesuatu! Tentang pesan
itu...." "Hem.... Begitu"! Cepat katakan apa yang kau lupa!"
hardik Kiai Laras tanpa menurunkan kedua tangan-
nya. "Kuharap kau tidak mengatakan pesan itu pada
siapa pun! Bahkan pada Pendekar 131 jika kau nanti
sempat bertemu dengannya!"
Kiai Laras sempat menduga-duga dengan ucapan
Kiai Tung-Tung. Kiai Tung-Tung rupanya dapat me-
nangkap arti pandangan orang. Hingga dia buru-buru
susuli ucapan. "Pesan itu disampaikan orang padaku! Jadi akulah
satu-satunya orang yang harus mengatakannya pada
orang yang diberi pesan.... Jika tidak, aku khawatir orang yang diberi pesan
tidak percaya lagi pada pesan itu!"
"Hem.... Hanya itu"!" ujar Kiai Laras setelah Kiai
Tung-Tung hentikan ucapannya.
Yang ditanya sesaat terdiam. Kepalanya berpaling
namun ekor matanya melirik.
"Kuharap kau juga merahasiakan semua ini! Aku
khawatir akan banyak orang berbondong-bondong ke
pesisir utara kalau sampai berita ini tersiar! Apalagi kau tahu, saat ini
Pendekar 131 sedang menjadi inca-ran banyak kalangan karena tersiar kabar
Kembang Darah Setan telah berada di tangannya!"
"Hanya itu"!" Kembali Kiai Laras bertanya.
"Benar! Hanya itu...," ujar Kiai Tung-Tung.


Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Laras tertawa pendek. "Kau telah kuberi ke-
sempatan untuk tinggalkan tempat ini! Tapi kau kem-
bali.... Maka untuk bisa angkat kaki lagi dari sini, kau harus menerima syarat
ku!" Kiai Tung-Tung terkesiap. "Sahabat...."
"Jangan menyela ucapanku!" bentak Kiai Laras se-
belum Kiai Tung-Tung lanjutkan kata-katanya. "Kau
terima syarat ku berarti kau bisa tinggalkan tempat ini! Kalau tidak, itu adalah
nasib buruk bagimu!"
"Aku tadi kembali karena masih ada sesuatu yang
harus kukatakan padamu! Maka, tidak adil rasanya
kalau kembali ku harus kubayar dengan syarat lagi!"
"Persetan!" teriak Kiai Laras. "Buka caping lebar
mu!" Kiai Tung-Tung terkejut mendengar permintaan
orang. Dia kembali palingkan wajahnya lurus mengha-
dap Kiai Laras. "Sahabat.... Bukannya aku tidak mau
lakukan apa yang kau minta. Tapi...." Hanya sampai di situ ucapan Kiai Tung-
Tung. Karena mendadak saja
Kiai Laras telah gerakkan kedua kakinya. Sosoknya
melesat ke depan. Kedua tangannya berkelebat.
"Manusia sepertimu layak diperintah dengan tan-
gan!" teriak Kiai Laras.
Kiai Tung-Tung rasakan dua desiran angin menderu
ke arah kepalanya. Cepat-cepat orang bercaping ini
angkat kedua tangannya. Tangan kiri ditekankan pada caping lebarnya, tangan
kanan menghadang di depan
kepala. Saat bersamaan kepalanya ditarik sedikit ke belakang.
Bukkk! Tangan kiri Kiai Laras yang hendak menyambar
caping di kepala Kiai Tung-Tung menerpa udara. Se-
mentara tangan kanannya beradu dengan tangan ka-
nan Kiai Tung-Tung.
Tangan masing-masing orang yang beradu tampak
sama mental ke belakang. Kiai Laras naik pitam. Tu-
buhnya membuat gerakan memutar. Saat sosoknya
kembali menghadap Kiai Tung-Tung, kaki kanannya
telah lepaskan tendangan dahsyat. Bukan itu saja,
bersamaan kaki kanannya yang membuat gerakan
menendang, kedua tangannya pun bergerak lepaskan
pukulan bertenaga dalam tinggi!
Mendapati serangan beruntun, Kiai Tung-Tung ti-
dak berani main-main. Apalagi pukulan itu dilepas
orang dari jarak dekat. Hingga tanpa pikir panjang lagi, Kiai Tung-Tung cepat-
cepat tarik kedua tangannya sedikit ke belakang. Saat lain didorong ke depan.
Kedua tangan Kiai Tung-Tung sesaat tadi tampak
berubah menjadi berwarna kekuningan. Saat kedua
tangannya bergerak mendorong, tampak sinar kuning
melesat dengan membawa gelombang luar biasa ber-
hawa panas menyengat.
Kiai Laras tersentak. Kaki kanannya yang menen-
dang laksana dihantam gelombang dahsyat hingga ter-
pental dan tubuhnya sedikit terhuyung. Dalam kea-
daan begitu rupa, Kiai Laras tampaknya maklum akan
bahaya yang mengancam. Hingga bersamaan dengan
terpentalnya kaki kanannya, orang tua ini lipat gandakan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Gelombang
yang mencuat dari kedua tangannya melesat makin
menggidikkan! Blaarr! Semburatan warna kuning yang membawa gelom-
bang dahsyat berhawa panas beradu dengan gelom-
bang dari kedua tangan Kiai Laras. Muncratan bunga
api tampak membubung di kaki Bukit Kalingga, lalu
menebar datar sampai dua tombak berkeliling meram-
bah pepohonan setelah terlebih dahulu perdengarkan
suara gelegar keras. Kaki Bukit Kalingga laksana dite-lan kepulan asap dan
hamburan dedaunan yang telah
hangus. Kiai Laras berseru tertahan. Sosoknya mencelat
menghantam sebatang pohon lalu mental lagi sejauh
dua tombak sebelum akhirnya jatuh terkapar di balik semak belukar.
Di seberang sana, sosok Kiai Tung-Tung tersapu ke
udara. Orang ini cepat berusaha imbangi diri tatkala rasakan tubuhnya melayang
deras ke bawah. Tapi
bentrokan pukulan serta gelegar suara dentuman
membuat laki-laki bercaping lebar ini laksana disentak-sentak. Hingga meski dia
sempat himpun tenaga
dan membuat gerakan, namun sudah sangat terlambat
dengan luncuran tubuhnya. Dan tanpa ampun lagi so-
soknya terbanting di atas tanah.
Kiai Laras memaki panjang pendek. Lalu cepat-
cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain orang tua ini berusaha bangkit berdiri.
Namun dia merasakan seku-
jur tubuhnya kehilangan tenaga. Sosoknya terhuyung
dan oleng. Saat bersamaan kedua lututnya melipat.
Dan tak lama kemudian sosoknya jatuh terduduk. Ra-
hangnya terangkat membatu dengan raut mengetam.
Bukan saja karena hawa amarah yang melanda da-
danya namun lebih dari itu karena sama sekali tidak menduga jika pukulan lawan
yang menghadangnya
mampu membuat sosoknya tidak mampu bergerak
bangkit. Ini menunjukkan kalau orang bercaping lebar memiliki ilmu yang tidak
berada di bawahnya!
"Aku harus mengetahui siapa manusia itu sebenar-
nya! Dia tidak akan kubiarkan lolos!"
Berpikir begitu, Kiai Laras himpun segenap kemam-
puan yang ada. Begitu merasakan dapat kuasai diri,
tangan kanannya menyelinap ke balik pakaiannya.
Saat itulah dia baru sadar kalau dari mulutnya telah keluar cairan darah! Jelas
menandakan kalau dia sudah terluka bagian dalam.
"Bangsat itu harus mampus! Persetan siapa dia se-
benarnya!" kertak Kiai Laras. Lalu perlahan-lahan
bangkit. Sementara di bagian lain, Kiai Tung-Tung keluarkan
gumaman tidak jelas. Namun orang ini bisa segera
bergerak bangkit meski sesaat terhuyung-huyung.
Sambil lebih tekankan caping lebarnya dalam-dalam
ke kepalanya, laki-laki ini edarkan pandang matanya ke semak belukar di mana
Kiai Laras jatuh terkapar.
Sesaat tadi dia sempat terlengak ketika matanya melihat gerakan semak belukar
dan disusul dengan non-
golnya kepala berambut putih.
"Sungguh luar biasa.... Dia mampu segera bangkit!
Padahal aku tadi telah melepas pukulan 'Lembur Kun-
ing'!" kata Kiai Tung-Tung perlahan dengan mata tak berkesip.
Namun tiba-tiba sepasang mata Kiai Tung-Tung
menyipit. Caping lebarnya bagian depan tampak bergerak-gerak tanda kening orang
ini mengernyit. Ternyata nongolan kepala Kiai Laras cuma sebentar. Tak berapa
lama kemudian, kepala itu bergerak ke samping. Kejap lain kepala itu lenyap di
balik semak belukar.
"Hem...." Kiai Tung-Tung menggumam. "Tak ada
gunanya aku berlama-lama di sini...." Dia membuat gerakan melompat dua kali
dengan kepala tetap berpal-
ing ke arah di mana tadi kepala Kiai Laras nongol, dan lenyap.
Begitu dia injakkan kaki dari dua kali lompatannya, laki-laki bercaping lebar
ini luruskan kepala ke depan.
Saat lain sosoknya berkelebat tinggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan berkelebatnya sosok Kiai Tung-
Tung, Kiai Laras bergerak bangkit. Mata orang tua ini langsung membeliak melihat
berkelebatnya Kiai Tung-Tung.
Laksana disentak setan, Kiai Laras hentakkan sepa-
sang kakinya. Sosoknya melesat mengejar. Bersamaan
dengan lesatan tubuhnya, tangan kanannya yang me-
nyelinap ke balik pakaiannya disentakkan keluar.
Tampaklah cahaya tiga warna. Merah, hitam, dan pu-
tih. Kiai Laras angkat tangannya yang ternyata telah menggenggam tangkai Kembang
Darah Setan. Serta
merta tangan kanannya digerakkan ke depan.
Wuttt! Tiga sinar merah, hitam, dan putih berkiblat ang-
ker. Namun bagaimanapun hebatnya sinar yang keluar
dari Kembang Darah Setan, sosok Kiai Tung-Tung su-
dah terlalu jauh untuk dapat dijangkau. Hingga yang menjadi sasaran kiblatan
sinar yang mencuat dari
Kembang Darah Setan adalah ranggasan semak belu-
kar serta jajaran beberapa pohon di depan sana.
Semak belukar langsung bertabur ke angkasa. Dis-
usul dengan terdengarnya suara derakan tumbangnya
beberapa pohon.
Kiai Laras hentikan kelebatannya. Matanya mena-
tap liar berkeliling. Sosok Kiai Tung-Tung sudah tidak kelihatan lagi. Saking
marahnya, kaki kanan Kiai Laras bergerak menghentak. Tanah di bawahnya bergetar
dan langsung membentuk lobang menganga!
Dengan tubuh bergetar, tangan kanan Kiai Laras
yang memegang Kembang Darah Setan diselinapkan
kembali ke balik pakaiannya. Lalu putar tubuh dan
melangkah lebar-lebar ke arah goa di depan sana.
*** TIGA Pemuda berkumis tipis berpakaian hitam-hitam itu
berlari-lari kecil. Sesekali kepalanya bergerak berpaling ke samping kanan kiri.
Sepasang matanya waspada
menatapi tempat yang dilewati. Raut wajah dan sikapnya jelas menunjukkan kalau
pemuda ini berhati-hati.
Pada satu tempat, si pemuda berkumis tipis yang
bukan lain adalah Saraswati, gadis cantik anak Lasmi-ni dengan Panjer Wengi
alias tokoh rimba persilatan yang pada akhirnya dikenal sebagai Tengkorak Berda-
rah, yang selama ini tetap mengenakan penyamaran
sebagai seorang pemuda berkumis tipis hentikan langkahnya. Tangan kanannya
diangkat lalu ditadangkan
di depan kening untuk hindari silau sengatan sinar
matahari. Sesaat sepasang mata Saraswati membelalak. Dari
tempatnya tegak, dia melihat empat orang berkelebat
cepat. Gerakan keempatnya laksana dikomando. Dua
orang berada di sebelah depan saling berjajar sejarak tujuh langkah. Sementara
dua lainnya berada di belakang dengan jarak yang sama. Di atas pundak masing-
masing orang ini tampak dua batang bambu agak be-
sar. Tepat di tengah-tengah batang bambu, tampak sebuah tandu tertutup kain
merah. "Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Yang di dalam tandu
tertutup itu pasti Putri Kayangan!" gumam Saraswati mengenali siapa adanya
keempat orang yang memanggul tandu.
Sesaat Saraswati alihkan pandangan matanya ke
arah samping kiri kanan. "Tak ada tempat untuk ber-
lindung...," gumamnya. Tempat di mana saat itu Sa-
raswati tengah tegak memang sebuah tempat terbuka.
Hanya ada beberapa pohon namun batangnya terlalu
kecil untuk dapat lindungi tubuhnya dari pandangan
mata orang. "Menurut yang pernah kudengar, Putri Kayangan
dan Tokoh-tokoh Penghela Tandu bukan manusia
baik-baik! Dan mereka berilmu tinggi! Bagaimanapun
juga aku harus menghindar.... Aku tak ingin membuat sengketa baru!"
Berpikir begitu, meski sudah yakin beberapa batan-
gan pohon di sekitar tempat itu tidak akan mampu lindungi tubuhnya, namun
Saraswati tetap saja berkele-
bat ke arah salah satu pohon.
Namun baru saja Saraswati membuat gerakan, tiba-
tiba di hadapannya telah tegak empat orang laki-laki bertelanjang dada,
berkepala gundul. Raut wajah empat laki-laki ini hampir mirip. Namun bukan
kemiripan wajah keempatnya yang membuat orang merinding.
Sepasang mata masing-masing orang ini bukannya
melebar ke samping kanan kiri, melainkan ke bawah.
Demikian juga mulutnya. Bentuk wajahnya pun tidak
seperti kebanyakan orang. Sebaliknya lonjong ke ba-
wah! Laki-laki sebelah depan bagian kanan mengena-
kan celana kolor warna merah. Di sebelahnya memakai celana kolor warna hitam.
Sementara di sebelah belakang bagian kanan mengenakan celana kolor warna
kuning. Di sebelah orang ini memakai celana kolor
warna hijau. Mereka bukan lain memang empat laki-
laki yang dikenal dalam rimba persilatan dengan gelar Tokoh-tokoh Penghela
Tandu. Karena ke mana mereka
pergi, mereka selalu menggotong sebuah tandu tertu-
tup kain merah. Dan kalangan dunia persilatan pun
tahu siapa adanya orang yang berada di dalam tandu.
Dia tidak lain adalah Putri Kayangan.
"Terlambat.... Gerakan mereka luar biasa cepat!
Sejenak tadi kulihat masih berada di depan sana.
Tapi tahu-tahu sekarang sudah di depanku.... Hem....
Apa boleh buat!" gumam Saraswati dalam hati seraya
perhatikan empat laki-laki di hadapannya.
Keempat laki-laki pemanggul tandu balas meman-
dang. Lalu secara bersamaan mereka gerakkan kepala
masing-masing saling pandang satu sama lain. Saras-
wati memperhatikan dengan dada sedikit bergetar.
Tengkuknya dingin melihat keangkeran paras wajah
orang-orang di hadapannya. Hingga hampir bersamaan
dengan gerakan kepala keempat orang di hadapannya,
gadis yang masih menyaru sebagai pemuda berkumis
tipis ini alihkan pandangan matanya ke jurusan lain.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba laki-laki bercelana kolor warna merah angkat
tangan kanannya. Mulutnya
yang membelah ke bawah bergerak membuka.
"Kami datang dari jauh. Kami hendak menuju Ju-
rang Tlatah Perak! Kalau tak keberatan, mau tunjuk-
kan pada kami arah mana yang harus kami tempuh"!"
Dahi Saraswati berkerut. Kepalanya perlahan-lahan
bergerak menghadap lurus ke arah Tokoh-tokoh Peng-
hela Tandu. "Untuk apa orang-orang ini mencari Pen-
deta Sinting"! Hem.... Pendeta Sinting tidak kutemui di Jurang Tlatah Perak,
tapi aku belum yakin kalau orang tua itu berada di bukit di mana aku berjumpa
dengan muridnya! Apa aku harus mengatakan pada mereka ji-ka Pendeta Sinting
tidak ada"! Atau...."
"Kalau kau merasa keberatan, kami tidak memak-
sa!" Laki-laki bercelana kolor warna merah telah berucap lagi hingga Saraswati
putuskan kata hatinya.
Habis berkata begitu, si celana kolor warna merah
memberi isyarat pada ketiga saudaranya. Namun sebe-


Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lum mereka bergerak, Saraswati buka mulut.
"Tentu kalian hendak ke tempat Pendeta Sinting!
Benar"!"
"Kami tak bisa mengatakan hendak ke tempat sia-
pa! Yang jelas kami hendak menuju Jurang Tlatah Pe-
rak. Dan kami membutuhkan petunjuk!"
"Hem.... Sikap mereka.... Mengapa lain dengan apa
yang selama ini kudengar" Mereka tidak memaksa
meski tetap merahasiakan tujuannya!" membatin Sa-
raswati seraya sekali lagi memperhatikan keempat
tampang laki-laki di hadapannya. Lalu angkat kepa-
lanya lurus ke arah tandu yang tertutup kain merah.
"Mau kalian mengatakan apa urusannya dengan
Pendeta Sinting"!" tanya Saraswati. Gadis ini sebenarnya masih ingin tahu kenapa
Tokoh-tokoh Penghela
Tandu mencari Pendeta Sinting meski para Tokoh- to-
koh Penghela Tandu tidak mau mengatakan apa tu-
juannya ke Jurang Tlatah Perak. Karena Saraswati ta-hu, Jurang Tlatah Perak
hanya dihuni oleh Pendeta
Sinting. Laki-laki bercelana kolor warna merah gelengkan
kepala. "Menyesal sekali. Kami tidak bisa mengatakan apa-apa padamu! Sekali lagi
kami hanya perlu petunjuk arah mana yang harus kami tempuh menuju Ju-
rang Tlatah Perak!"
"Aku akan katakan ke mana arahnya! Tapi kalian
harus katakan dahulu apa maksud kalian ke Jurang
Tlatah Perak!" kata Saraswati.
Bersamaan dengan selesainya ucapan Saraswati,
kain penutup tandu perlahan-lahan bergerak membu-
ka. Saraswati tengadahkan sedikit kepalanya.
"Ini pasti Putri Kayangan! Selama ini aku hanya bi-
sa melihatnya dari jauh.... Ternyata dia benar-benar cantik jelita...," gumam
Saraswati dalam hati tatkala dapat melihat satu sosok tubuh duduk pada bangku
bambu di dalam tandu. Dia adalah seorang gadis mu-
da berparas luar biasa cantik mengenakan pakaian
warna merah. Gadis ini tidak lain memang Putri
Kayangan adanya.
Putri Kayangan sesaat perhatikan Saraswati dari
ujung rambut sampai kaki. Lalu tersenyum tanpa ber-
kata. Saraswati sejenak bimbang. "Apa dia tahu ten-
tang diriku yang menyamar sebagai seorang pemuda"!"
Entah sadar atau tidak, Saraswati tampak tunduk-
kan kepala perhatikan dirinya sendiri, khawatir ada sesuatu yang membuat
penyamarannya diketahui
orang. Begitu yakin tidak ada sesuatu yang membuat
orang mengetahui siapa dia sebenarnya, Saraswati
angkat kembali kepalanya dan balas tersenyum. Diam-
diam dia juga membatin.
"Dia sepertinya ramah.... Tidak sama seperti apa
yang kuduga! Tapi aku harus tetap berhati-hati.... Perubahan sikap orang pasti
ada apa-apanya!"
"Kau mengenal Pendeta Sinting"!" Tiba-tiba Putri
Kayangan angkat bicara.
"Aku tidak bisa menjelaskannya! Yang pasti aku ha-
rus tahu setiap orang yang hendak bertemu dengan
Pendeta Sinting!" jawab Saraswati.
"Hem.... Selama ini yang kudengar Pendeta Sinting
hanya punya murid tunggal.... Aku juga tahu kalau
orang tua itu tidak punya sanak saudara! Adalah aneh hubungannya bila dikaitkan
dengan ucapanmu...."
"Hem.... Terserah kau bilang aneh atau tidak arti
ucapanku! Yang pasti demikianlah kenyataannya!"
enak saja Saraswati sambuti ucapan Putri Kayangan.
"Jika begitu, mau katakan siapa kau adanya"!"
Saraswati tersenyum. "Aku tahu siapa kau.... Bu-
kankah kau Putri Kayangan"! Dan keempat orang di
bawahmu itu Tokoh-tokoh Penghela Tandu"!" Saraswa-
ti gelengkan kepala. "Sayangnya.... Untuk sementara ini kau harus mengenaliku
seperti adanya yang kau lihat!"
Putri Kayangan tidak menunjukkan sikap terkejut
atau marah mendengar kata-kata Saraswati. Sebalik-
nya gadis berparas cantik ini sunggingkan senyum. La-lu tangan kanannya
bergerak. Saat yang sama kain
penutup tandu menutup. Lalu terdengar ketukan pe-
lan tiga kali. Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak bergerak me-
langkah tanpa memandang atau berkata-kata lagi pa-
da Saraswati, membuat gadis yang menyamar sebagai
pemuda ini kernyitkan dahi dan berucap.
"Kalian sudah tidak memerlukan petunjuk"!"
"Kami memang perlu petunjuk! Tapi sekarang kami
tidak akan percaya padamu lagi meski kau mengata-
kannya tanpa kami harus mengatakan apa tujuan ka-
mi!" Suara itu terdengar dari dalam tandu.
"Tunggu!" tahan Saraswati begitu melihat Tokoh-
tokoh Penghela Tandu terus melangkah.
Terdengar lagi ketukan tiga kali. Tokoh-tokoh Peng-
hela Tandu hentikan langkah. "Ada yang ingin kau katakan"!" kembali terdengar
pertanyaan dari dalam tan-du. "Apa maksud ucapanmu tadi"!" tanya Saraswati.
Terdengar suara tawa dari dalam tandu. "Kalau se-
seorang sembunyikan diri dalam baju orang lain agar tidak dikenali dan dapat
menipu pandangan orang,
apakah ucapan orang begitu bisa dipercaya"!"
Saraswati tersentak. Dia maklum kalau orang telah
mengetahui penyamarannya. Dia angkat kepala me-
mandang ke arah tandu. Kain merah penutup tandu
perlahan membuka. Lalu tampak kepala Putri Kayan-
gan melongok keluar dan berpaling pada Saraswati.
Sesaat sepasang mata Putri Kayangan memperhatikan
sosok Saraswati. Bibirnya sunggingkan senyum.
"Aku tidak bermaksud membuka apa yang kau
sembunyikan dari pandang mata orang. Aku tahu....
Barangkali hal itu kau lakukan dengan satu maksud.
Tapi hal demikian telah membuatku tidak percaya pa-
da apa yang kau ucapkan...." Putri Kayangan sejenak hentikan ucapannya sebelum
akhirnya melanjutkan.
"Aku juga tidak bermaksud menunjukkan siapa
kami sebenarnya.... Aku tahu, kau punya prasangka
buruk pada kami..." Itu dapat kami maklumi. Tapi
percayalah, prasangka itu tidak benar! Kami bukanlah orang-orang yang selama ini
kau dengar!" Putri Kayangan arahkan pandangan matanya lurus ke depan. Ga-
dis ini tampak menghela napas panjang.
"Ada yang masih hendak kau utarakan"!" tanya Pu-
tri Kayangan setelah agak lama terdiam.
Saraswati memandang lekat-lekat pada Putri
Kayangan. Entah apa yang dipikirkan gadis ini, yang pasti dia angkat tangan
kanannya menunjuk ke satu
arah sambil berkata.
"Terserah kau percaya atau tidak! Kalau kau ingin
ke Jurang Tlatah Perak, kau teruslah ke arah timur!"
Putri Kayangan arahkan pandangannya ke jurusan
yang ditunjuk Saraswati. Seraya tersenyum dia beru-
jar. "Kulihat kau juga baru dari arah timur.... Apa kau
juga baru saja berkunjung ke Jurang Tlatah Perak"!"
Saraswati tarik pulang tangan kanannya. Sesaat dia
terdiam dan hanya memandangi Putri Kayangan. "Apa
aku akan berterus terang padanya"! Dari sikapnya,
apa yang diucapkan sepertinya benar...."
Setelah membatin begitu dan berpikir sesaat, akhir-
nya Saraswati angkat bicara.
"Aku memang baru saja dari Jurang Tlatah Perak....
Dan kau boleh percaya atau tidak, aku tidak bertemu dengan Pendeta Sinting!
Melihat tempat kediamannya, aku menduga orang tua itu sudah agak lama
meninggalkan Jurang Tlatah Perak!"
Putri Kayangan tersenyum sekali lagi. "Rupanya kail ini dia berkata benar....
Siapa dia sebenarnya" Mengapa dia menyamar sebagai seorang pemuda"! Dan men-
gapa pula dia ke Jurang Tlatah Perak..."!"
Baru saja Putri Kayangan hendak utarakan apa
yang menjadi pertanyaannya, Saraswati telah putar di-ri dan berkelebat
tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" seru Putri Kayangan menahan kelebatan
sosok Saraswati. Gadis berparas cantik ini segera melesat turun dan tegak di
hadapan Saraswati.
"Aku percaya pada ucapanmu...," ujar Putri Kayan-
gan. "Aku juga berterima kasih atas petunjukmu. Ka-
lau kau tidak keberatan, boleh aku tahu siapa kau sebenarnya"!" ,
Saraswati gelengkan kepala. "Untuk permintaanmu
itu, aku belum bisa mengatakannya sekarang...." Saraswati menatap berlama-lama
pada gadis di hada-
pannya. Lalu lanjutkan ucapan. "Mau memberi kete-
rangan padaku apa tujuanmu hendak mencari Pendeta
Sinting"!"
"Aku mendapat pesan dari seseorang yang harus
kusampaikan pada Pendeta Sinting. Selain itu aku ju-
ga ingin tanya banyak hal padanya...."
"Kau mengenal dengan baik orang tua itu"!" tanya
Saraswati. "Sebenarnya yang mengenal baik Pendeta Sinting
adalah guruku! Ada apa rupanya?"
"Mendengar kabar bahwa Pendeta Sinting sedang
dalam perawatan akibat luka dalam. Mula-mula aku
tidak percaya dengan berita itu, namun setelah aku
berkunjung ke tempatnya dan tidak menemukan dia,
mau tak mau aku mulai percaya dengan berita itu!"
"Ah.... Seharusnya hal itu kutanyakan saat bertemu
dengan pemuda itu...," gumam Putri Kayangan seolah
berkata dengan dirinya sendiri.
"Siapa yang kau maksud dengan pemuda itu"!"
tanya Saraswati dengan dahi berkerut.
Putri Kayangan sesaat tersentak kaget mendengar
pertanyaan Saraswati. Dia sama sekali tidak mengira kalau telah bergumam. Hingga
mungkin masih kuasai
rasa kejutnya, untuk beberapa saat Putri Kayangan tidak segera menjawab
pertanyaan orang.
"Kau telah bertemu dengan pemuda murid Pendeta
Sinting"!" tanya Saraswati seolah tidak sabar menung-gu jawaban pertanyaannya.
"Nada suaranya lain! Jangan-jangan dia kekasih
pemuda itu.... Hem.... Melihat raut penyamarannya,
tentu dia seorang gadis berwajah jelita...." Putri Kayangan diam-diam membatin.
Lalu berkata. "Aku memang sempat bertemu dengan pemuda mu-
rid Pendeta Sinting.... Sayangnya aku buru-buru dan tak sempat menanyakan
keadaan gurunya!"
"Di mana kau bertemu"!"
Putri Kayangan tersenyum. "Kau juga mencarinya"!"
Yang ditanya tidak menyahut. Namun Putri Kayan-
gan dapat melihat jelas perubahan pada air muka Sa-
raswati. Hal ini menguatkan dugaan Putri Kayangan.
Namun hal ini pula membuat Putri Kayangan seolah
menyesal. Putri Kayangan sendiri tak tahu. Mengapa
tiba-tiba saja dia merasakan kehilangan sesuatu begitu merasa yakin kalau
Saraswati adalah kekasih murid
Pendeta Sinting.
"Aku tidak mencarinya!" kata Saraswati dengan na-
da agak tinggi. Lalu wajahnya dipalingkan sedikit seraya lanjutkan ucapan. "Aku
tahu di mana dia berada!
Kalaupun suatu saat aku mencarinya, itu untuk me-
mutus selembar nyawanya!"
*** EMPAT Ucapan Saraswati menambah kuat dugaan Putri
Kayangan. Dan entah karena apa gadis cantik berbaju merah ini akhirnya
menanyakan juga apa yang menjadi dugaannya.
"Kau kekasih murid Pendeta Sinting" Dan saat ini
kalian sedang berselisih?"
Saraswati terdiam untuk beberapa lama. Tiba-tiba
gadis yang menyamar sebagai pemuda ini perdengar-
kan tawa panjang. Lalu hadapkan wajahnya pada Putri Kayangan.
"Apa kalau seseorang sudah memutuskan untuk
memutus nyawa seseorang masih pantas di antara ke-
duanya disebut kekasih"!"
Kali ini balik Putri Kayangan yang terdiam menden-
gar pertanyaan Saraswati. Saraswati seolah sudah
tenggelam dalam perasaan geramnya apalagi di pelu-
puk matanya terbayang kembali apa yang dilakukan
murid Pendeta Sinting pada ibunya juga terhadap di-
rinya. Hingga dia tidak lagi menunggu jawaban orang, malah segera susuli
ucapannya. "Aku bukan kekasih pemuda keparat itu! Justru dia
sekarang musuh besarku!"
Putri Kayangan heran dengan dirinya sendiri. Gadis
ini merasa lega mendengar pernyataan Saraswati. Dan sambil sunggingkan senyum
dia berujar. "Apakah tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak masih
ada hubungannya dengan urusan ini?"
Saraswati gelengkan kepala. "Aku bisa membedakan
urusan! Meski muridnya kuanggap sebagai manusia
yang harus tewas di tanganku, bukan berarti aku
punya silang sengketa dengan gurunya!"
"Dunia ini terkadang menyimpan sesuatu yang
aneh...." "Maksudmu"!" tanya Saraswati.
"Apa yang terdengar belum pasti sesuai dengan ke-
nyataan.... Aku telah agak lama mendengar tentang seluk beluk murid Pendeta
Sinting. Namun begitu men-
dengar keteranganmu, aku jadi ragu tentang apa yang selama ini kudengar!"
"Selama ini aku juga tertipu!" timpal Saraswati.
"Dari sikap dan cara bicaranya aku bahkan terkadang belum percaya bahwa pemuda
itu buaya jahanam yang
bukan saja tidak pandang bulu, tapi juga tidak punya perasaan!"
"Kau tentu pernah mengalami sesuatu yang hebat!"
"Bukan saja hebat! Tapi menjijikkan! Tapi jangan
kau bertanya apa yang pernah ku alami! Aku tak akan memberi keterangan!"
"Apa semua ini kau katakan bukan karena kau sa-
kit hati padanya akibat cemburu?"
"Dia memang pemuda tampan dan berilmu tinggi
hingga wajar kalau banyak gadis yang berusaha mere-
but hatinya! Tapi urusanku tidak ada hubungannya
dengan semua itu! Bahkan kalaupun seandainya dia


Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekasihku, aku tak segan-segan membunuhnya! Apa-
lagi dia dan aku tak ada hubungan apa-apa!"
"Hem.... Apa urusan sebenarnya orang ini dengan
pemuda itu" Dari keterangannya jelas menunjukkan
kalau pemuda itu telah lakukan tindakan yang tidak
bisa dimaafkan.... Hem.... Apa benar semua keteran-
gannya" Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan
pemuda itu. Dia mengatakan kehilangan Pedang Tum-
pul 131 dan dari keterangannya aku bisa menduga
yang mengambilnya adalah Pitaloka! Sikapnya baik....
Lalu kalau dikaitkan dengan ucapan orang ini, bagaimana mungkin pemuda itu
melakukan tindakan yang
tidak termaafkan"!"
Selagi Putri Kayangan membatin begitu, Saraswati
telah angkat suara lagi.
"Aku harus segera pergi. Kelak jika kau jumpa den-
gan pemuda jahanam itu, aku titip pesan kematian
padanya!" "Kalau kau sekarang tahu di mana dia berada,
mengapa tidak sekarang saja kau lakukan apa yang
menjadi tujuanmu?" tanya Putri Kayangan coba me-
nyelidik. Saraswati tertawa pendek sambil gelengkan kepala.
"Aku tahu kapan saatnya harus bertindak!"
"Dari keteranganmu aku menduga saat ini kau sen-
diri masih bimbang dengan apa yang kau lakukan!
Terbukti kau masih menunda waktu dan berusaha
mencari Pendeta Sinting...," ujar Putri Kayangan membuat Saraswati sedikit
melengak kaget.
"Kau boleh menduga! Tapi bukan berarti dugaanmu
benar! Lebih dari itu kau kelak dapat buktikan uca-
panku!" "Tunggu!" seru Putri Kayangan begitu dilihatnya Sa-
raswati hendak berkelebat. "Boleh aku tanya sekali la-gi"!"
Meski nada ucapan Putri Kayangan bertanya, na-
mun gadis cantik jelita ini tidak menunggu jawaban.
Sebaliknya dia telah angkat bicara lagi.
"Apa benar orang yang melakukan tindakan tak
termaafkan padamu itu adalah pemuda bergelar Pen-
dekar Pedang Tumpul 131?"
"Aku telah kenal lama dengan pemuda itu!" jawab
Saraswati. Lalu pemuda berkumis tipis ini putar diri.
Namun anehnya dia tidak segera berkelebat atau me-
langkah tinggalkan tempat itu. Malah tak lama kemu-
dian terdengar dia berucap.
"Mengapa kau meragukan kalau pemuda itu Pende-
kar 131"!"
"Aku tak bisa menerangkan sekarang. Hanya kuha-
rap kau waspada dan teliti! Ini kukatakan bukan berarti aku mempengaruhi mu.
Tapi justru aku telah
mengalaminya sendiri! Banyak kalangan orang persilatan menganggapku sebagai
manusia jahat! Padahal
tindakan itu bukan aku yang melakukannya! Tapi
orang yang wajahnya mirip denganku!"
"Siapa percaya dengan keteranganmu!" Tiba-tiba sa-
tu suara lain menyeruak. Suara itu berat bergetar. Putri Kayangan dan Saraswati
dapat rasakan dengungan
pada telinganya. Tanda bahwa siapa pun adanya orang yang perdengarkan suara
memiliki tingkat tenaga dalam tinggi.
Putri Kayangan dan Saraswati cepat sama paling-
kan kepala ke arah sumber suara yang tiba-tiba me-
nyahut. Dan begitu memandang ke depan, dua orang
ini langsung surutkan langkah dengan mata mendelik
dan kuduk merinding!
Sementara di seberang samping, begitu mendengar
ada suara lain yang terdengar, Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang sedari tadi hanya
diam mendengarkan
percakapan Putri Kayangan dengan Saraswati sama-
sama gerakkan kepala menoleh.
Keempat orang berkepala gundul bertelanjang dada
ini sesaat sama pentang mata masing-masing, hingga
mata masing-masing orang yang membentuk ke bawah
tampak menakutkan.
"Aku hampir tak percaya kalau dia manusia jika sa-
ja tidak kudengar suaranya!" gumam Putri Kayangan
dengan mata terus memandang tak berkesip ke depan.
"Apa mataku tidak berdusta"!" Saraswati menggu-
mam seolah masih belum percaya dengan apa yang di-
tangkap matanya.
Sementara Tokoh-tokoh Penghela Tandu tampak
kancingkan mulut meski air muka masing-masing
orang dipenuhi keheranan. Dan saat lain keempat laki-laki ini saling pandang
satu sama lain.
Semua orang di tempat itu melihat seorang laki-laki berambut putih awut-awutan
tegak bersandar pada
sebatang pohon tidak begitu besar. Laki-laki ini hampir saja tidak bisa
dikatakan manusia seandainya tadi tidak perdengarkan suara sahutan dan bergerak-
gerak. Karena ternyata anggota tubuh laki-laki ini hanya merupakan kerangka!
"Siapa kau"!" Putri Kayangan yang lebih cepat dapat kuasai rasa kaget segera
bertanya. "Orang bertanya harus dijawab! Aku Setan Liang
Makam!" jawab laki-laki yang sekujur tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka
tanpa tertutup daging
sama sekali. Habis menjawab pertanyaan orang, laki-laki yang
hanya terdiri dari kerangka dan memang Setan Liang
Makam adanya gerakkan kepala. Sepasang matanya
yang besar berputar liar memperhatikan satu persatu
pada Saraswati, Putri Kayangan, dan terakhir pada
Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Setan Liang Makam membuat gerakan satu kali.
Tahu-tahu sosoknya telah tegak di hadapan Saraswati dan Putri Kayangan sejarak
tujuh langkah. Tangan kirinya bergerak terangkat dan menunjuk lurus pada
Saraswati. Saraswati merinding dengan mata membelalak.
Namun diam-diam dia kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya. Dari sikap orang, tampaknya Sa-
raswati sudah bisa menangkap gelagat tidak baik.
Setan Liang Makam buka kerangka mulutnya. Se-
mentara tangan kiri terus menunjuk lurus pada Sa-
raswati. "Aku dengar ucapanmu jika kau tahu di mana Pendekar 131 murid Pendeta
Sinting berada! Aku
tanya satu kali dan tak akan ku ulangi! Katakan di mana dia berada!"
Saraswati sesaat memandang tajam pada Setan
Liang Makam. Lalu melirik pada Putri Kayangan. Paras wajahnya jelas membayangkan
kebimbangan. "Kau dengar ucapanku! Orang bertanya harus dija-
wab!" Berkata Setan Liang Makam. Tangan kirinya di-
tarik pulang dengan kepala sedikit didongakkan.
"Untuk apa kau mencari pemuda jahanam itu"!" Sa-
raswati balik bertanya.
"Manusia itu telah mengambil barang ku!"
"hem.... Apa berupa pedang sakti"!" Yang angkat bi-
cara adalah Putri Kayangan. Dia teringat akan pertemuannya dengan murid Pendeta
Sinting dan menyata-
kan barangnya berupa pedang telah diambil Pitaloka.
Setan Liang Makam tertawa ngakak. "Barang ku le-
bih berharga daripada sebuah pedang sakti! Bahkan
lebih berharga dari beberapa kitab sakti!"
Saraswati kerutkan dahi. Tiba-tiba dia teringat akan sekuntum bunga yang sempat
dilihatnya dipakai oleh
murid Pendeta Sinting saat berkelahi dengan ibunya di Bukit Kalingga.
"Apa barang mu berupa sekuntum bunga bersinar
tiga warna"!" Saraswati langsung saja utarakan apa
yang ada dalam benaknya.
Laksana disentak tangan setan, kepala Setan Liang
Makam digerakkan menghadap Saraswati. "Bagus! Kau
bukan saja tahu di mana manusia jahanam itu, tapi
tahu juga barang apa yang diambilnya! Ini membukti-
kan ucapanmu tidak dusta! Sekarang lekas katakan
tempat di mana keparat itu berada!"
"Hem.... Pasti yang dimaksud orang ini Kembang
Darah Setan.... Apa orang yang menyamar itu benar-
benar telah melihat Kembang Darah Setan di tangan
murid Pendeta Sinting"!" Diam-diam Putri Kayangan
membatin. "Kalau benar, mengapa dia tidak menyebut
kehilangan Kembang Darah Setan saat bertemu tempo
hari" Padahal seandainya pedangnya benar-benar di-
ambil Pitaloka, pasti Pitaloka tak akan sia-siakan kesempatan untuk mengambil
Kembang Darah Setan se-
kalian! Ada yang janggal dalam masalah ini! Aku harus memberitahukan pada pemuda
itu...." Putri Kayangan segera melangkah mendekati Sa-
raswati. Begitu dekat dia tidak segera mengutarakan isi hatinya pada Saraswati.
Sebaliknya dia buka mulut bertanya pada Setan Liang Makam.
"Apa barang mu itu benda yang dikenal dengan
Kembang Darah Setan"!"
Kembali Setan Liang Makam perdengarkan gelakan
tawa keras membahana. "Rupanya pengetahuan kalian
berdua luas juga! Barang ku memang Kembang Darah
Setan!" Saat Setan Liang Makam perdengarkan gelakan ta-
wa dan menjawab pertanyaan, kesempatan ini diguna-
kan Putri Kayangan untuk berbisik pada Saraswati.
"Kuharap kau tidak mengatakan di mana murid Pen-
deta Sinting berada pada manusia itu! Aku melihat ada sesuatu yang janggal!"
"Apanya yang janggal"! Aku benar-benar melihat dia
menggenggam sekuntum bunga bersinar tiga warna!"
Saraswati menyahut dengan berbisik pula.
"Nanti kita bicarakan setelah laki-laki itu pergi!
Yang pasti kau harus tidak mengatakan yang sebenar-
nya di mana murid Pendeta Sinting berada!"
"Kau mengkhawatirkan keselamatan jahanam itu"!"
tanya Saraswati dengan tertawa pelan bernada menge-
jek. "Jangan salah sangka! Aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang aneh!"
"Apa yang kalian bicarakan"!" tiba-tiba Setan Liang Makam menghardik.
Putri Kayangan segera menyambuti hardikan Setan
Liang Makam dengan sunggingkan senyum lalu berka-
ta. "Kami berdua ingin meyakinkan apakah benar
Kembang Darah Setan adalah milikmu yang diambil
murid Pendeta Sinting...!"
"Aku tak peduli kalian yakin atau tidak! Itu urusan kalian! Sekarang aku
menunggu jawaban!"
Putri Kayangan melirik pada Saraswati dengan dada
berdebar. Gadis cantik jelita ini sangat khawatir jika Saraswati tidak menuruti
ucapannya. Sementara Saraswati sendiri sejenak tampak dilanda keraguan. Setelah
berpikir sesaat, akhirnya ia buka suara.
"Beberapa waktu yang lalu aku bertemu dengan
pemuda itu di sebuah kaki bukit!"
"Jangan potong ucapanmu!" bentak Setan Liang
Makam. Putri Kayangan yang dadanya makin gelisah berpal-
ing pada Saraswati. Saraswati sendiri tampak melirik
pada Putri Kayangan dengan dada bertanya-tanya. Ke-
bencian dan kegeramannya pada murid Pendeta Sint-
ing entah kenapa tiba-tiba perlahan-lahan sirna. Yang muncul sekarang justru
perasaan cemburu. "Dari tadi gadis ini sepertinya membela Pendekar 131. Dia juga
sangat khawatir akan keselamatan pemuda itu.... Apa di antara mereka berdua ada
hubungan tertentu"!"
"Sialan! Kenapa kau diam, hah"!" tiba-tiba Setan
Liang Makam berteriak. Bola matanya yang terpuruk
dalam kerangka rongga mata yang dalam bergerak liar melotot angker menatap pada
Saraswati. "Aku bertemu dia di kaki Bukit Wonoayu...."
"Tunjuk arah tempatnya dari sini!" sahut Setan
Liang Makam. "Apa dia tunjuk tempat yang sebenarnya?" Putri
Kayangan berkata dalam hati.
"Pergilah ke arah barat. Kira-kira perjalanan setengah hari dari sini kau akan
menemukan sebuah sun-
gai. Di seberang sungai ada sebuah bukit kecil. Itulah Bukit Wonoayu!" kata
Saraswati. "Kau berkata jujur"!" tanya Setan Liang Makam.
"Aku berkata seperti apa yang kulihat!" jawab Sa-
raswati. "Bagus! Tapi jika ternyata nantinya kau berkata ti-
dak seperti kenyataan, kau akan menyesal! Setan
Liang Makam akan membuat hamparan bumi tempat
yang sempit bagimu!"
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam bukannya
segera beranjak pergi, melainkan putar tubuh sedikit menghadap Putri Kayangan.
Setelah memandang sejenak, Setan Liang Makam membentak.
"Sekarang giliranmu jawab pertanyaanku!"
Putri Kayangan pandangi Setan Liang Makam. Ga-
dis ini belum dapat menduga apa yang hendak dita-
nyakan orang. Namun dia kancingkan mulut tidak
ajukan tanya. "Apa pesan yang hendak kau sampaikan pada Pen-
deta Sinting"!"
Sesaat Putri Kayangan tersentak mendengar perta-
nyaan Setan Liang Makam. Dari pertanyaan orang, ga-
dis ini maklum kalau sebenarnya Setan Liang Makam
sudah lama berada di sekitar tempat itu dan menden-
garkan apa yang diperbincangkannya dengan Saraswa-
ti. Dan kehadiran Setan Liang Makam yang tidak diketahui baik oleh dirinya
maupun Saraswati serta Tokoh-tokoh Penghela Tandu telah cukup membuat Putri
Kayangan sadar jika orang yang kini tengah dihadapi memiliki ilmu sangat tinggi.
Di lain pihak, begitu mendengar pertanyaan Setan
Uang Makam, Saraswati sedikit merasa lega, karena
sebenarnya dari tadi dia penasaran dengan pesan yang kata Putri Kayangan harus
disampaikan pada Pendeta
Sinting. Sementara itu, mendengar pertanyaan serta sikap
Setan Liang Makam terhadap Putri Kayangan, Tokoh-
tokoh Penghela Tandu sama pentang mata. Saat lain
keempat laki-laki bertelanjang dada ini telah membuat gerakan yang membawa sosok
mereka tahu-tahu telah
tegak berjajar di samping Putri Kayangan.
Setan Liang Makam alihkan pandang matanya pada


Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Bersamaan itu tangan
kirinya terangkat. Jari telunjuknya yang hanya merupakan kerangka bergerak lurus
dan menunjuk satu
persatu pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
*** LIMA "Kudengar kalian ada yang buka mulut, akan kuja-
dikan mulut kalian membelah ke samping! Kalian den-
gar"!"
Tokoh-tokoh Penghela Tandu memang kancingkan
mulut. Namun bersamaan dengan selesainya ucapan
Setan Liang Makam, keempatnya langsung saja berge-
rak membentuk barisan. Dua berada di sebelah depan
dan dua lainnya di sebelah belakang.
Melihat gelagat, Putri Kayangan segera berpaling
dan memberi isyarat dengan gelengkan kepala. Hingga Tokoh-tokoh Penghela Tandu
urungkan niat untuk lakukan serangan. Namun keempat orang ini tetap ber-
siap-siap dengan mata sama-sama mendelik ke arah
Setan Liang Makam.
"Bagus! Nyatanya kau bukan gadis tolol! Mengerti
tingginya langit dalamnya lautan! Tidak seperti anjing-anjing gundul itu! Ha....
Ha.... Ha...! Mereka tidak mau tengadah mengukur tingginya langit! Mereka tidak
mau menyelam melihat dalamnya laut! Hingga dia ti-
dak mengerti dengan siapa saat ini sedang berhada-
pan!" Setan Liang Makam tertawa bekakakan.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu seperti hendak ter-
bang mendengar ucapan Setan Liang Makam. Namun
Putri Kayangan segera palangkan tangan kanannya.
"Sahabat-sahabat.... Kuasai diri! Jangan termakan
ucapannya! Kita tidak butuh permusuhan...."
Meski dengan dada panas dan berdebar keras, pada
akhirnya Tokoh-tokoh Penghela Tandu kembali urung-
kan niat. Laki-laki bercelana kolor warna merah yang rupanya jadi pimpinan
angkat tangan kanannya dan
menunjuk pada Setan Liang Makam seraya buka mu-
lut. "Persetan siapa kau adanya! Saat ini kau berun-
tung. Namun lain saat jangan harap aku akan mem-
biarkan mulutmu terbuka seenaknya! Dan ingat, se-
baiknya kau menghindar bertemu denganku! Karena
begitu kita bertemu, kau bernasib malang!"
Ancaman orang membuat Setang Liang Makam ma-
kin perkeras gelakan tawanya. Namun mendadak saja,
laksana dirobek setan, Setan Liang Makam putuskan
gelakan tawanya.
"Kita memang tidak akan bertemu lagi. Karena saat
ini kalian akan segera kukirim ke neraka!"
Belum habis suara Setan Liang Makam, laki-laki
Kisah Pedang Bersatu Padu 7 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Rahasia Hiolo Kumala 18
^