Pencarian

Jejak Tapak Biru 1

Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru Bagian 1


JEJAK TAPAK BIRU Serial Silat JODOH RAJAWALI.
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode; Jejak Tapak Biru
112 hal. https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 KABUT mendung melingkupi langit di atas Bu-
kit Lidah Samudera. Agaknya langit mendung itu me-
rupakan suatu pertanda datangnya kemelut yang akan
menimpa penduduk Bukit Lidah Samudera. Satu-
satunya penduduk yang mendiami Bukit Lidah Samu-
dera tak lain adalah Nyai Sembur Maut, ibu dari Cola
Colo yang dikenal dengan nama panggilan: Bocah Bo-
doh, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Pedang Jimat Lanang").
Rupanya hari itu perempuan tua yang lumpuh
dan hanya bisa duduk di atas kursi terbang telah ke-
datangan tamu istimewa. Seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun
menyambangi rumah pondok di lereng bukit tersebut. Sekalipun sudah lanjut usia,
na- mun lelaki berperawakan gemuk dan bertambang ben-
gis itu masih kelihatan gagah serta mampu berteriak
dengan suara lantang.
"Sembur Maut...! Keluar kau, Keparat!"
Seruan itu bagaikan menggeledek di telinga
Nyai Sembur Maut. Ia segera mengintai dari balik jen-
dela pondoknya yang terbuka sedikit. Dipandanginya
seorang lelaki berambut pendek yang mengenakan topi
besi bertanduk satu di bagian dahinya itu. Kumis dan
jenggotnya yang berwarna putih dengan baju hitam
yang dirangkap baju pelapis dada berwarna merah
tebal, merupakan ciri-ciri yang segera dapat dikenali
oleh Nyai Sembur Maut. Selain itu juga senjata kapak
dua mata yang bagian tengahnya berbentuk runcing
tombak itu merupakan senjata khas milik musuh be-
buyutannya Nyai Sembur Maut.
Tak heran jika Nyai Sembur Maut segera meng-
geram pelan dengan darah bagai bergolak sepanas la-
har, "Raga Dewa..."! Rupanya dia masih hidup juga sampai sekarang?"
Lelaki gemuk berbadan tinggi itu memang ber-
nama Raga Dewa. Dia adalah ketua Partai Bajak Sa-
mudera yang berkuasa dan berjaya di atas kapalnya
bernama Kapal Raja Bajak. Tentu saja saat itu dia da-
tang tidak sendirian. Di belakangnya terdapat delapan
anak buahnya yang masing-masing siap dengan senja-
ta dan menunggu perintah serang dari sang ketua Par-
tai Bajak Samudera itu.
"Kepung rumah ini!" teriak Raga Dewa dengan
suara garangnya. Maka mereka pun bergegas menge-
pung rumah pondok yang terbuat dari lapisan-lapisan
kayu itu. Braak...! Nyai Sembur Maut segera keluar dari rumah-
nya dengan mendobrak pintu saat dirinya melesat ber-
sama kursi terbangnya. Perempuan berusia sekitar de-
lapan puluh tahun itu dalam sekejap sudah berada di
hantaman depan rumahnya, memandang orang-orang
yang mengepung rumah itu dengan mata dingin.
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Akhirnya kau me-
nyambut kedatanganku juga, Sembur Maut! Kau telah
menyambut ajalmu sendiri dengan rasa kaget melihat
kedatanganku, bukan" Huah, ha. ha, ha...!" orang gemuk itu terbahak-bahak hingga
badannya berguncang.
Nyai Sembur Maut masih diam memandang
dengan hati menggeram menahan luapan amarahnya.
Dari atas kursi terbangnya, perempuan berjubah putih
itu serukan kata,
"Apa maksudmu datang menyambangiku ke-
mari, Raga Dewa"!"
"Kau pikir aku ingin apa" Tentunya kau sudah
tahu, bahwa aku datang untuk mencabut nyawa tua-
mu, juga keturunanmu! Sekaranglah saatnya kutebus
kekalahanku beberapa puluh tahun yang lalu! Seluruh
keturunan Wiragatra harus kubantai habis, tak kusi-
sakan. Karena begitulah cara Wiragatra, suamimu,
menanam dendam di hatiku dengan membantai habis
dua puluh satu orang anak buahku dari Partai Bajak
Samudera!"
"Partaimu partai sesat, layak jika almarhum
suamiku menumpas habis kejahatan kalian!" kata Nyai Sembur Maut dengan suara
tajam. "Jika kau beranggapan begitu, maka kau pun
pasti mengakui bahwa niatku membalas habis keluar-
gamu juga merupakan tindakan yang layak kulaku-
kan, Sembur Maut!"
"Jika kau pandang layak, aku pun siap meng-
hadapi mu, Raga Dewa!"
"Bagus!" sentak Raga Dewa. lalu ia berseru kepada delapan anak buahnya yang
segera mengelilingi
Nyai Sembur Maut,
"Anak-anak, serang si lumpuh itu!"
"Heaaaat...!"
Delapan anak buah Raga Dewa serempak maju
menyerang Nyai Sembur Maut dari berbagai penjuru.
Masing-masing melompat dengan mengarahkan senja-
ta ke tubuh Nyai Sembur Maut.
Perempuan berambut putih rata itu segera sen-
takkan kedua tangannya membuka ke samping kanan-
kiri. "Hiaaah...!" Wuuut...!
Angin kencang menghempas dari tubuh Nyai
Sembur Maut ke segala penjuru. Angin kencang itu
disertai tekanan tenaga dalam cukup kuat. sehingga
dalam kejap bersamaan kedelapan anak buah Raga
Dewa terhempas bagaikan daun-daun kering disapu
badai. Braaak...! Braaass...!
Dua di antaranya menghantam dinding dan
pintu rumah hingga jebol, yang lainnya jatuh tunggang
langgang tak tentu arah. Ada yang terpelanting mem-
bentur batang pohon hingga kepalanya berdarah, ada
yang menabrak batu dinding lereng sampai patah tu-
lang iganya. Jika bukan kekuatan dari orang berilmu
tinggi, mereka tak mungkin menderita nasib seperti
itu. Raga Dewa diam terpaku melihat delapan anak
buahnya terpental dengan hanya satu gebrakan. Nyai
Sembur Maut tetap memandang Raga Dewa dengan
sorot pandangan sedingin salju.
Akhirnya Raga Dewa menggeram penuh murka,
"Ggrrhh...!" Suara geramnya itu mengguncangkan pepohonan di sekitar tempat itu.
Bahkan ketika kakinya
menghentak ke tanah. Duuhg...! Daun-daun pun ber-
guguran, ranting-ranting kering berjatuhan, bahkan
tanah lereng sebagian longsor dan bebatuannya jatuh
ke bawah. Jelas geram dan hentakan kaki itu penuh
dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi dan
besar. Nyai Sembur Maut membatin, "Makin tua se-
makin hebat ilmunya! Rupanya selama ini ia sengaja
mempertinggi ilmunya untuk membalas dendam kepa-
da keluargaku. Hmmm...! Ke mana tadi anakku; si Co-
la Colo" Apakah dia masih berburu kelinci di hutan"
Celaka! Kalau dia datang, pasti dia akan dijadikan sa-
saran empuk bagi Raga Dewa. Mudah-mudahan Cola
Colo jangan datang dulu sebelum kawanan bajak laut
ini berhasil kusingkirkan!"
Seorang anak buah Raga Dewa melemparkan
tombaknya dari arah belakang Nyai Sembur Maut.
Tanpa berpaling lebih dulu, Nyai Sembur Maut memi-
ringkan kepala dan badan ke kanan, dan tombak itu
lolos tak mengenainya. Wuuus...!
Traaak...! Tombak itu patah karena disentil oleh
tangan Raga Dewa. Jika tidak begitu, tombak tersebut
akan menancap di perut Raga Dewa karena lolos dari
tubuh Nyai Sembur Maut. Raga Dewa pun membentak
anak buahnya yang melemparkan tombak itu, "Mo-
nyet! Hati-hati kau!"
"Maaf, Ketua!" seru sang anak buah dengan ra-sa takut.
Ketika anak buah yang lain mau menyerang
Nyai Sembur Maut, Raga Dewa cepat berseru,
"Tahan! Minggirlah kalian semua! Biar kuhada-
pi sendiri perempuan lumpuh itu! Mungkin dia butuh
bantuanku untuk menuju ke akhirat!"
Maka beberapa anak buah Raga Dewa pun mu-
lai menjauh, Mereka tak mau menjadi korban salah
sasaran jurus-jurus mautnya Raga Dewa yang setahu
mereka, jika sedang bertarung sering membahayakan
pihak yang tidak terlibat dalam pertarungan itu.
"Sembur Maut, kita berhadapan langsung saja!"
"Jangan banyak mulut! Lakukan apa yang ingin
kau lakukan!" kata Nyai Sembur Maut dengan tetap
tenang. Raga Dewa belum mau cabut senjatanya dari
pinggang. Tapi dengan menggunakan dua jari kanan-
nya, ia lepaskan pukulan bersinar hijau bagaikan sela-
rik tambang yang berkelebat menghantam kepala Nyai
Sembur Maut. Ziaaap...!
Wuuut...! Nyai Sembur Maut melompat bersa-
ma kursi terbangnya. Dalam keadaan tetap duduk,
kursi itu melayang di udara setinggi batas sinar hijau yang menyerangnya. Sinar
itu menghantam jendela
rumah dan hancur berkeping-keping kayu jendela ter-
sebut. Praaak...
Bregh...! Kursi itu kembali mendarat di tanah.
Pada saat itu, tangan kanan Nyai Sembur Maut meng-
gebrak besi kursi yang menjadi tempat sandaran tan-
gannya. Daahg...! Dan dari ujung tangan kursi itu ke-
luar sebuah pisau putih berkilat melesat ke arah Raga
Dewa. Wuuut! Serta-merta Raga Dewa melompat ke samping
sambil cabut senjatanya dan menghantamkan ke arah
pisau tersebut. Blaaar...!
Ledakan terjadi begitu dahsyat. Bumi bergun-
cang dan dua anak buah Raga Dewa ada yang jatuh
karena oleng ke kanan-kiri. Ombak lautan yang tam-
pak di kaki bukit itu bergolak menyingkap tinggi dan
berdebur menghantam gugusan karang. Duuuur...!
"Hebat juga senjatanya?" pikir Raga Dewa. Kemudian ia melompat maju dengan kapak
dua mata siap dihantamkan ke kepala lawannya.
Namun dalam kejap berikutnya, mulut Nyai
Sembur Maut keluarkan udara panas dalam sentakan
keras. Udara panas itu menghantam Raga Dewa dan
blaaab...! Tubuh Raga Dewa terbakar oleh nyala api
yang berkobar-kobar sambil tersentak mundur.
"Ketua terbakar! Serang dial" teriak salah seorang. Maka, yang lainnya pun maju
menyerang. Tapi
sekali lagi Nyai Sembur Maut lepaskan hentakannya
dari kedua tangan yang menyentak ke kanan-kiri, dan
mereka terhempas kembali seperti tadi.
Raga Dewa berdiri tak bergerak membiarkan
tubuhnya dibungkus api yang berkobar-kobar. Tetapi
dalam kejap berikutnya, api tersebut tiba-tiba padam
dengan sendirinya. Wuub...! Bahkan bekas kepulan
asapnya pun tak ada. Api Itu bagaikan diserap habis
keseluruhannya ke dalam tubuh Raga Dewa.
"Hah, ha, ha, ha...!" Raga Dewa tertawa, mere-mehkan kehebatan ilmu Nyai Sembur
Maut, mem- banggakan dirinya yang mampu melumpuhkan jurus
'Sembur Lahar'-nya Nyai Sembur Maut itu.
"Makin tua makin seperti anak kecil kau, Sem-
bur Maut' Masih suka bermain api rupanya"! Hah, ha,
ha, ha...!"
Nyai Sembur Maut diam saja. Dalam hatinya
membatin, "Kurang ajar! Dia mampu padamkan jurus
'Sembur Lahar'-ku dengan mudahnya. Rupanya seka-
rang dia benar-benar sudah berilmu tinggi"! Aku harus
lebih hati-hati padanya."
Sreek...! Raga Dewa menarik gagang kapaknya,
ternyata berubah menjadi rantai sepanjang satu depa.
Kemudian ia memutar-mutarkan rantai itu dengan
mata kapak menggaung mengelilingi atas kepalanya.
"Terimalah jurus 'Kapak Dewa' ini! Tandingilah
kalau kau mampu! Heaaah...!" kaki Raga Dewa meng-
hentak ke tanah. Duuhg... ! Dan keluarlah sinar merah
bergelombang dari putaran kapak di atas kepalanya.
Wuuungng...! Sinar merah bergelombang-gelombang itu men-
garah ke tubuh Nyai Sembur Maut. Firasat perempuan
itu mengatakan, bahwa jurus tersebut sangat berba-
haya jika ditangkis maupun dilawan. Maka dengan ke-
kuatan tenaga dalamnya, Nyai Sembur Maut melesat
bersama kursinya, terbang ke arah samping dan me-
mutar arah hingga kini berada di belakang Raga Dewa.
Perginya Nyai Sembur Maut membuat sinar me-
rah bergelombang itu salah sasaran. Seorang anak
buahnya yang berdiri di belakang Nyai Sembur Maut
terkena sinar merah bergelombang itu, dan tanpa bisa
berteriak sepatah kata pun, orang tersebut segera ro-
boh dalam keadaan terpotong menjadi beberapa ba-
gian. Kini keadaan Nyai Sembur Maut yang ada di
belakang Raga Dewa membuat ia punya kesempatan


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam lawannya. Maka sebuah pukulan bersi-
nar biru pun dilepaskan dari kedua tangan Nyai Sem-
bur Maut yang menghentak ke depan bersamaan.
Wuuuusstt...! Tetapi Raga Dewa sedikit merendahkan putaran
kapaknya hingga membentuk perisai bagi punggung-
nya. Akibatnya, sinar biru itu tak sempat menghantam
punggung Raga Dewa, melainkan tertangkis oleh gera-
kan kapak tersebut.
Duaaar...! Ledakan timbul dengan cukup kuat. Hentakan
gelombangnya membuat Nyai Sembur Maut terjungkal
ke belakang bersama kursinya. Ia tertindih kursi ter-
bangnya, sementara Raga Dewa hanya tersentak maju
dan terhuyung-huyung tiga langkah. Dengan cepat ia
berbalik badan dan mengetahui Nyai Sembur Maut ter-
tindih kursinya.
Taab...! Gagang kapak digenggam oleh Raga
Dewa, kemudian dengan satu teriakan keras dan satu
kaki menghentak ke tanah, kapak itu disodokkan ke
depan. Duuuhg...! Ciaaap...!
Sinar putih perak keluar dari ujung kapak yang
membentuk runcing tombak itu. Sinar putih perak
dengan telaknya menghantam Nyai Sembur Maut yang
sedang berusaha bangkit menyingkirkan kursinya.
Blaaar...! Nyai Sembur Maut terlambat, tak bisa meng-
hindar dan menangkisnya. Kursinya hancur berkep-
ing-keping, tapi tubuh Nyai Sembur Maut masih utuh.
Hanya saja, keadaannya kini hangus terbakar dengan
kulit tubuh yang mengelupas di sana-sini.
"Modar kau, Sembur Maut! Hah, ha, ha, ha...!"
Raga Dewa kegirangan. Ia menghampiri lawannya yang
sudah tak berdaya lagi itu sambil tertawa terbahak-
bahak. Nyai Sembur Maut hanya bisa mengerang tipis
dengan mata terbeliak-beliak dan napas tersendat-
sendat. "Tak akan kupercepat kematianmu, Sembur
Maut! Biar kau merasakan tersiksa lebih dulu, nan-
tinya kau akan mati dengan sendirinya!"
Agaknya Raga Dewa yang berhati keji itu senga-
ja membiarkan Nyai Sembur Maut merasakan sakitnya
dalam keadaan sekarat. Ia sengaja tidak mempercepat
kematian Nyai Sembur Maut, karena ia yakin tanpa
dipercepat. nyawa Nyai Sembur Maut tinggal beberapa
hitungan saja. Karena selama ini tak pernah ada lawan
yang mampu hidup dan bisa bertahan sampai seratus
hitungan jika terkena jurus 'Kapak Jalang'-nya.
Raga Dewa berkata kepada anak buahnya yang
tinggal tujuh orang itu sambil bertolak pinggang, dan
matanya tetap memandang liar,
"Sembur Maut punya satu anak lelaki yang bo-
doh bernama Cola Colo! Cari dia di dalam rumah dan
bantai dia sekarang juga! Kerjakan!"
Wuuut...! Mereka segera masuk ke dalam ru-
mah dan mengobrak-abrik keadaan di dalamnya. Me-
reka mencari Cola Colo; si Bocah Bodoh itu. Tapi me-
reka segera keluar kembali dengan tangan hampa.
"Di dalam tidak ada siapa-siapa, Ketua!"
"Mungkin dia bersembunyi!" bentak Raga Dewa.
"Semua tempat sudah kami cari dan kami gele-
dah, tapi tetap tidak ada seseorang di dalamnya, Ke-
tua!" kata salah seorang anak buahnya.
"Gggrrh...!" Raga Dewa menggeram, pepohonan
berguncang dan tanah pun bergetar. Lalu ia berseru:
"Cari di sekitar bukit ini! Anak itu pasti ada di sekitar bukit ini!"
Maka, mereka pun mulai menyebar, masuk ke
hutan, sebagian ada yang menyusuri lereng. Raga De-
wa tampak tak sabar, ingin cepat membantai habis ke-
turunan Wiragatra. Rasa tidak sabar menunggu anak
buahnya memperoleh hasil membuat Raga Dewa pun
bergegas pergi mencari Bocah Bodoh dengan sesekali
menggeram dan membuat tanah berguncang, dedau-
nan pun bergetar.
Nyai Sembur Maut masih punya sisa napas. Ia
berharap agar anaknya jangan sampai ditemukan oleh
Raga Dewa. Dalam hatinya yang masih sempat beru-
cap dalam penderitaan, Nyai Sembur Maut berkata,
"Pergilah jauh anakku. Pergilah, dan jangan da-
tang kemari. Bersembunyilah di tempat yang aman,
supaya kau selamat dari kekejian Raga Dewa...."
Pada waktu itu, Bocah Bodoh sedang dalam
perjalanan pulang dengan menenteng tiga ekor kelinci
buruannya. Tetapi langkahnya segera terhenti karena
mendengar suara langkah kaki orang yang menginjak
semak-semak kering. Bocah Bodoh bersembunyi di ba-
lik pohon untuk memastikan siapa orang tersebut.
Dua orang terlihat bergerak di arah timur, satu
orang tampak bergegas di arah barat. Bocah Bodoh
berkerut dahi sambil bertanya di dalam hatinya,
"Siapa mereka itu" Mengapa menghunus senja-
ta semua" Apa yang mereka cari" Hmmm... jangan-
jangan mereka orang-orang jahat" Kalau begitu, aku
harus cepat-cepat pulang dan memberitahukan kepada
Ibu, supaya Ibu berhati-hati!"
Bocah Bodoh tinggalkan hasil buruannya di
bawah pohon itu, lalu la berlari menuju ke pondoknya.
Gerakan kakinya dianggap oleh anak buah Raga Dewa
sebagai gerakan kaki berlari dari teman sendiri, se-
hingga hal itu tidak diperhatikan oleh mereka. Bocah
Bodoh dapat keluar dari hutan dengan selamat dan
langsung menuju ke rumahnya.
Tetapi alangkah terkejutnya ia begitu melihat
rumahnya rusak sebagian, ada mayat terpotong men-
gerikan di pohon samping, dan lebih terkejut lagi ia
melihat keadaan ibunya yang terkapar di samping re-
runtuhan kursi terbangnya. Bocah Bodoh segera pergi
hampiri ibunya.
"Ibu!.."!" Bocah Bodoh menjadi amat sedih melihat Keadaan ibunya yang hitam
hangus dengan kulit
melepuh serta terkelupas di sana-sini.
Ibunya masih punya sisa napas dan bisa men-
dengar suara tangis anaknya. Perlahan-lahan ia beru-
saha membuka mata walau hanya kecil saja, kemu-
dian dengan suara lirih ia berkata kepada sang anak,
"Ambil Pedang Jimat Lanang, pergilah dengan
cepat dan jangan temui Raga Dewa. Pergilah, Anakku.
Bawalah pedang pusaka itu ke mana pun kau pergi.
Lekas...! Lekaaasss...!"
"Ibuuu...!" Bocah Bodoh tak mampu serukan
kata karena tersekap tangis. Ibunya hembuskan napas
terakhir dan tak bergerak lagi selamanya. Bocah Bodoh
tersekap duka yang tiada taranya. Namun ia segera in-
gat pesan ibunya, sekalipun sudah tiada namun ia te-
tap tak berani melanggar pesan itu.
Maka dengan cepat Bocah Bodoh lari ke arah
pantai. Ia menggali pasir pantai yang ada di bawah gu-
gusan batu karang berbentuk gunung kecil itu. Den-
gan kedua tangan ia mencakar-cakar pasir pantai itu,
sampai akhirnya ia temukan Pedang Jimat Lanang se-
bagai pusaka warisannya. Rupanya untuk menghinda-
ri bahaya datang, pedang tersebut disimpan dalam pa-
sir pantai di bawah gugusan batu karang tersebut. Tak
seorang pun akan menduga bahwa pedang pusaka itu
tersimpan di luar rumah, bahkan terhitung jauh dari
rumah. Pedang yang dilapisi kain beludru merah ber-
bingkai logam emas itu segera diselipkan ke pinggang
kiri. Pada waktu itulah Bocah Bodoh mendengar se-
buah seruan dari arah lereng bukit,
"Itu dia anaknya! Tangkap dia! Tangkaaap...!"
Rupanya kemunculan Bocah Bodoh di pantai merupa-
kan suatu pemandangan jelas yang dapat dilihat dari
lereng perbukitan. Raga Dewa berteriak serukan perin-
tah, dan beberapa anak buahnya pun segera berlarian
ke arah Bocah Bodoh.
Melihat keadaan seperti itu, Bocah Bodoh pun
segera melarikan diri sesuai pesan mendiang ibunya,
bahwa ia harus cepat-cepat lari tinggalkan tempat itu.
"Kejar dia...! Lekas kejar dan bunuh di tempat!"
teriak orang gemuk bersuara lantang itu. Maka, mere-
ka pun beramai-ramai mengejar Bocah Bodoh dengan
seruan-seruan seperti orang mengejar babi hutan.
"Wao, wao...! Kejar! Kejar! Tangkap! Kepung ke
timur! Kepung...! Maliiing... malliing...!" mereka membuat Bocah Bodoh panik,
namun justru semakin cepat
pelarian si Bocah Bodoh itu.
Raga Dewa memanggil satu anak buahnya,
"Jalmo! Pimpin pengejaran itu dan kasih laporan padaku setelah tertangkap. Aku
akan menuju ke arah
utara untuk mencari Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Baik, Ketua."
"Susul aku setelah kalian berhasil penggal ke-
pala bocah itu!"
"Kami kerjakan, Ketua!"
Rupanya bukan hanya semata-mata untuk ba-
las dendam saja keperluan Raga Dewa turun dari ka-
palnya yang berlabuh di pantai selatan. Dia punya tu-
juan lain, yaitu memburu Pusaka Hantu Jagal. Dia te-
lah mendengar kabar tentang pusaka tersebut yang te-
lah berada di tangan seseorang bernama Tua Usil. Tapi
dia belum tahu dl mana tepatnya si Tua Usil itu bera-
da. Tapi apa pun yang terjadi dan bagaimanapun ca-
ranya, Raga Dewa bertekad untuk bisa dapatkan pisau
Pusaka Hantu Jagal tersebut untuk satu keperluan
yang maha penting baginya.
"Aku tak akan berlayar kembali sebelum kuda-
patkan pisau pusaka itu!" pikirnya. "Sekalipun harus mengorbankan semua nyawa
anak buahku, aku tak
peduli. Pisau pusaka itu harus berhasil kudapatkan.
Orang yang bernama Tua Usil itu harus bisa kubunuh
jika tak mau serahkan pusaka tersebut. Tapi... kabar-
nya Tua Usil selalu didampingi oleh Pendekar Rajawali
Putih dan Pendekar Rajawali Merah" Apakah benar"
Dua pendekar itu kukenal namanya dari mulut ke mu-
lut. Tapi mungkinkah dua pendekar itu mau menjadi
pengawal si Tua Usil" Alangkah hebatnya si Tua Usil
jika benar ia bisa jadikan dua pendekar kondang itu
sebagai pengawalnya demi selamatkan pisau pusaka
tersebut" Dan jika benar, maka yang kulakukan per-
tama kali adalah menyingkirkan dua pendekar itu. Tak
sulit menyingkirkan mereka bagi ku. Mereka belum ta-
hu siapa Raga Dewa dan sedahsyat apa jurus-jurus
maut yang kumiliki. Mereka tak akan mampu menan-
dingi ku!"
* * * 2 PELARIAN Bocah Bodoh tak kenal arah. Ba-
ginya yang penting menjauh dan jangan sampai ter-
tangkap oleh para pengejarnya. Sebenarnya Bocah Bo-
doh ingin berteriak minta tolong, tapi ia tak lihat ada orang lain yang bisa
diharapkan memberikan pertolon-gan padanya, karena itu Bocah Bodoh hanya diam
saja sambil nafasnya ngos-ngosan membuat dada terasa
sakit. Pelarian yang menyusuri pantai itu membuat
pengejarnya lebih enak lakukan tugas. Mereka tak
akan kehilangan jejak. Sejauh apa pun Bocah Bodoh
melarikan diri, pandangan mata mereka masih bisa
menangkapnya, sehingga ke mana arah yang harus
mereka tuju tidaklah sulit.
Napas sudah hampir putus dan terkuras habis.
Bocah Bodoh tak sanggup lagi berlari cepat. Kedua ka-
kinya bagaikan digelayuti batu amat besar. Akhirnya ia jatuh. Sengaja
menjatuhkan diri di samping sebuah
batu besar. Di sana ia bersandar sambil terengah-
engah, membiarkan para pengejarnya mendekat.
"Nah, mau lari ke mana kau, Tikus Busuk"!"
geram seseorang sambil terengah-engah pula. Bocah
Bodoh hanya memandang dalam duduknya sambil
berkata, "Aku capek, Kang. Aku mau istirahat dulu!"
"Aku juga capek!" kata yang satunya. "Kita istirahat dululah!"
"Larimu cepat juga, Tikus Busuk!" kata yang
berbaju merah. "Karena takut, maka aku bisa lari... cepat!
Uuuh... capeknya bukan main!" Bocah Bodoh yang sebenarnya sudah tua itu mengusap
keringatnya dengan
lengan baju. Dua orang pengejar ada yang duduk menggelo-
so di pasir pantai sambil terengah-engah. Semuanya
berjumlah enam orang. Yang bernama Jalmo belum ti-
ba karena tertinggal saat ia bicara dengan Raga Dewa
tadi. Dan ketika Jalmo datang, ia menjadi berang meli-
hat teman-temannya duduk santai melepas lelah di
sekitar buruannya.
"Hei, apa-apaan kalian ini, hah"! Mengapa ikut-
ikutan istirahat seperti dia"! Tugas kita adalah mem-
bunuh dia dan memenggal kepalanya untuk kita beri-
kan kepada Raga Dewa sebagai bukti kerja kita!"
"Nanti dululah...! Badanku letih semua," kata salah seorang.
"Tidak bisa! Bunuh dia sekarang juga!"
"Heaaat...!' salah seorang segera melompat
hendak menebaskan goloknya ke leher Bocah Bodoh.
Tapi Bocah Bodoh lekas sentakkan tangannya dan tu-
buhnya melenting di udara, bersalto dua kali dan
mendarat di pasir pantai dengan tegak.
"Agaknya aku harus melawan mereka karena
sudah terpepet. Kata Ibu, kalau aku sudah terdesak
sekali, aku baru boleh gunakan ilmu ku. Sekarang aku
terdesak. Mereka mau bunuh aku. Jadi terpaksa aku
gunakan ilmu ku!" kata Bocah Bodoh dalam hati.


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka pertarungan satu melawan tujuh orang
pun tak bisa dihindarkan lagi. Bocah Bodoh berkelit ke sana kemari dengan
lincahnya, membuat lawan sulit
melukai tubuhnya. Bahkan ketika Jalmo melepaskan
pukulan tenaga dalamnya yang mempunyai sinar kun-
ing itu, Bocah Bodoh menghantam sinar kuning terse-
but dengan sinar biru yang keluar dari pergelangan
tangannya. Claaap...! Duaaarrr...!
"Monyet! Rupanya dia punya isi juga! Hati-hati,
Kawan!" seru Jalmo kepada leman-temannya.
Salah seorang sudah telanjur menyerang dari
belakang dengan golok siap disabetkan dari atas ke
bawah, sasarannya membelah kepala Bocah Bodoh.
Tetapi kaki Bocah Bodoh segera menjejak ke belakang
tanpa berpaling lebih dulu. Kaki itu pun masuk men-
genal ulu hati penyerang dari belakang. Buuhg...!
"Heeegh...!" orang itu terpental tiga tombak jauhnya.
Enam orang lainnya segera mengurung Bocah
Bodoh membentuk lingkaran yang bergerak searah.
Senjata mereka dikibaskan ke sana-sini untuk menga-
caukan pandangan mata Bocah Bodoh. Orang yang ta-
di terkena tendangan Bocah Bodoh itu memuntahkan
darah kental dari mulutnya dan tak bisa ikut bergerak
untuk beberapa saat.
Bocah Bodoh berkata, "Sudahlah, jangan mu-
suhi aku! Kalian sudah bunuh ibu, ya sudahlah. Jan-
gan bunuh juga aku. Kita damai saja!"
"Tugas kami bukan membuat perdamaian den-
gan mu, Tikus Sawah! Tugas kami adalah memenggal
kepalamu untuk diberikan kepada sang Ketua!" kata Jalmo yang tampak paling
bernafsu untuk membunuh
Bocah Bodoh. "Kalau begini caranya, aku bisa membunuh
mereka satu-persatu. Padahal itu tidak baik, bukan"!"
"Persetan dengan celotehmu! Heaaat...!" Jalmo menyerang maju, diikuti oleh
kelima temannya. Bocah
Bodoh diserang secara serempak dengan senjata ber-
kelebat menghantam ke tubuhnya.
Wuuut...! Bocah Bodoh melesat dalam satu sentakan kaki
ke tanah. Tubuhnya terangkat ke atas dan bersalto sa-
tu kali, keluar dari lingkaran yang mengurungnya. Se-
dangkan senjata-senjata yang saling dihantamkan ke
arah. Bocah Bodoh itu kini saling beradu sendiri me-
nemui tempat kosong.
Traaang...! Praaang...!
Mereka sama-sama terkejut, karena mata me-
reka bagai tak melihat gerakan Bocah Bodoh yang me-
lompat dan keluar dari kurungan mereka. Mereka se-
gera memandang ke arah di mana Bocah Bodoh bera-
da. Ternyata lelaki kekanak-kanakan yang berusia se-
kitar lima puluh tahun itu sekarang sedang mene-
ruskan pelariannya.
"Kejar diaaa... !" teriak Jalmo, yang membuat semua temannya berlari mengejar,
termasuk orang yang memuntahkan darah tadi. Mereka ada yang me-
motong jalan, sehingga tiga orang segera berada di de-
pan Bocah Bodoh, menghadang dengan pasang kuda-
kuda siap serang. Bocah Bodoh kembali hentikan
langkahnya dan hempaskan napas dengan jengkel.
"Sudah kubilang, kita damai saja! Jangan pak-
sa aku membunuh kalian. Itu tak balk!" katanya sambil menyeringai sedih.
"Hantam dia! Heaaahh...!" teriakan Jalmo
membuat mereka kembali bergerak serempak menye-
rang Bocah Bodoh. Dengan terpaksa Bocah Bodoh le-
paskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar yang mem-
buat kepungan mereka berulang kali berantakan. Ru-
panya Bocah Bodoh masih belum mau membunuh me-
reka, karena ia berharap agar mereka jera dan tidak
mengganggunya lagi.
Namun semakin Bocah Bodoh bertahan, sema-
kin sering ia terkena pukulan dan tendangan bertena-
ga dalam lumayan beratnya. Bocah Bodoh dibuat ter-
guling-guling beberapa kait, bahkan satu kali tersung-
kur hampir menelan batu. Dadanya yang membentur
batu itu menjadi sakit dan membuat nafasnya mulai
sesak dihela. "Am.... ampuuun...! Ampun, Kang...! Jangan
paksa aku membunuh kalian. Ampuuun...!" Bocah Bo-
doh memohon-mohon. Tapi Jalmo tidak peduli. Ketika
Bocah Bodoh berlutut menyembah-nyembah mohon
pengampunan agar tidak di paksa lagi untuk lakukan
pembunuhan, pedang Jalmo menghantam kuat dari
atas ke bawah, memancung leher Bocah Bodoh.
Claaap...! Traaang...!
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat meng-
hantam pedang Jalmo. Pedang itu patah seketika men-
jadi kepingan-kepingan berjumlah lebih dari enam po-
tong. Mereka sangat terkejut, lalu segera memandang
ke arah datangnya sinar merah tadi. Ternyata sinar
tersebut datang dari atas. Di atas sana mereka melihat seorang pemuda tampan
berpakaian selempang dari
kulit beruang coklat dan baju putih lengan panjang di
dalamnya mengendarai seekor burung rajawali besar.
Burung itu berwarna merah dan sedang terbang-
rendah. "Awaaass...!" teriak Jalmo sambil berlari ketika burung rajawali merah
itu menuju ke arah mereka.
Maka, mereka pun bubar tak tentu arah. Burung raja-
wali merah serukan suaranya,
"Keaaak...! Keaaakk...!"
Wuuus...! Ploook...!
"Aaauh...!" salah seorang berteriak sambil terjungkal karena kepalanya disambar
oleh cakar rajawa-
li. Kepala itu sempat tergores dan sedikit berdarah.
Burung rajawali itu pun kepakkan sayapnya kian ke-
ras. Kepakan sayap menghadirkan angin badai dan
membuat mereka terlempar, terjungkal tunggang lang-
gang dan sebagian ada yang terpental sampai ke perai-
ran laut. "Keaaak...! Keaak...!".
Burung itu hinggap di tanah pasir. Pemuda pe-
nunggangnya yang tak lain adalah Pendekar Rajawali
Merah bernama Yoga itu, segera berseru kepada Bocah
Bodoh yang masih berlutut mencium tanah.
"Bocah Bodoh! Lekas naik kemari."
Mendengar seruan itu, Bocah Bodoh segera
dongakkan kepala karena ia kenal betul dengan suara
tersebut. Maka, ia pun segera bangkit berdiri dan ber-
seru, "Tuan Yo..."!"
"Lekas naik!" ulang Pendekar Rajawali Merah sambil ulurkan tangannya ketika
burung besar itu
mendekam merendah. Bocah Bodoh segera hampiri
burung besar itu, tapi ia segera mundur karena takut
melihat wajah sang burung menyeramkan. Alisnya ke
atas pertanda ingin marah. Yoga terpaksa berseru,
"Tak apa, Bocah Bodoh! Si Merah ada di pi-
hakmu! Ayo, naik...!"
Bocah Bodoh memberanikan diri. Dengan di-
bantu tangan Yoga yang kanan, Bocah Bodoh berhasil
naik ke punggung rajawali besar Itu. Ia duduk di bela-
kang Yoga dan memeluk perut Yoga kuat-kuat dengan
wajah pucat. "Cabut, Merah!" perintah Yoga kepada burung
rajawali itu. Maka, sang burung pun segera terbang
kembali dengan serukan suaranya yang menggema di
sepanjang pantai. Salah seorang anak buah Raga Dewa
baru saja menepi dari perairan laut. Melihat burung
itu terbang rendah ke arahnya, ia kembali ceburkan
diri ke laut dan menyelam sebisa-bisanya.
"Siapa mereka, Bocah Bodoh"!"
Tak terdengar jawaban dari Bocah Bodoh. Yang
di rasakan Yoga hanyalah perut yang kian sakit karena
dipeluk kuat-kuat oleh Bocah Bodoh, dan punggung-
nya tersentak-sentak karena detak jantung Bocah Bo-
doh. Rupanya rasa takut Bocah Bodoh telah mem-
buatnya tak bisa gerakkan lidah, hingga tak mampu
serukan kata apa pun. Sekujur tubuhnya gemetar ke-
tika rajawali merah itu terbang kian tinggi.
Setelah rajawali besar itu mendarat di perbuki-
tan sepi. Yoga menyuruh Bocah Bodoh untuk segera
turun. Rupanya rasa takut membuat tulang-tulang
Bocah Bodoh menjadi lemas. Ia turun dengan merosot
dan jatuh di dekat kaki burung. Bluugh! Matanya meli-
rik ngeri ke arah sepasang kaki burung bercakar ko-
koh itu. Yoga segera membawanya agak jauh, di bawah
pohon rindang yang tidak berbatu dan hanya berum-
put pendek. Di situ nafas Bocah Bodoh mulai tampak
terengah-engah di sela wajah pucatnya yang mulai
memudar. Pendekar Rajawali Merah sempat tertawa
pelan melihat ketakutan Bocah Bodoh dalam pener-
bangan tadi. "Kau terlalu penakut. Semestinya tak perlu kau
sampai selemas dan sepucat ini, Bocah Bodoh."
"Saaa... saya... saya belum pernah terbang,
Tuan Yo." "Ini pengalaman barumu, supaya kelak kau ti-
dak merasa takut lagi jika harus terbang ke mana-
mana." Bocah Bodoh menelan ludah, diam termenung.
Yoga menyangka Bocah Bodoh sedang tenangkan ha-
tinya. Ternyata justru sebaliknya. Bocah Bodoh tam-
pakkan genangan air di matanya. Wajahnya pun terli-
hat duka. Yoga berkerut dahi, segera ingat pertarun-
gan tadi, lalu bertanya,
"Apa sebenarnya yang terjadi, Bocah Bodoh?"
"Ibu...," hanya itu jawaban Bocah Bodoh, tak mampu dilanjutkan. Berulang kali
Bocah Bodoh menelan ludahnya, menahan isak tangis yang amat meng-
haru di hati. Bocah Bodoh termenung beberapa saat
karena sengaja beri kesempatan kepada Bocah Bodoh
untuk tenangkan tangisnya. Tapi Yoga yakin, pasti ada
sesuatu yang amat menyedihkan.
Beberapa saat kemudian terdengar Bocah Bo-
doh perdengarkan suara paraunya,
"Saya tak sangka, Ibu mengalami nasib sema-
lang itu."
"Apa yang terjadi dengan ibumu?" "Meninggal,"
jawabnya sangat lirih sambil tundukkan kepala.
Pendekar Rajawali Merah terkejut, lalu tarik
napas dalam-dalam, setelah itu baru bertanya lagi,
"Siapa yang membunuhnya?"
"Raga Dewa, bekas musuh Ayah dan Ibu zaman
dulu. Rupanya Raga Dewa balas dendam dan ingin pu-
la bunuh saya, Tuan Yo!"
"Raga Dewa..,?" gumam Yoga sambil berpikir,
lalu ia berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Pernah kudengar nama itu dari mulut orang-
orang di kedai. Apakah Raga Dewa yang dimaksud
adalah Ketua Partai Bajak Samudera?"
"Benar, Tuan Yo. Dulu ibu sering ceritakan ten-
tang pertarungan Ayah dengan Raga Dewa. Tapi saya
baru kali ini melihat sosok orangnya. Itu pun hanya
sekilas dan saya segera lari karena dikejar anak buah-
nya!" "Mengapa tak kau lawan mereka?"
"Saya... saya tidak punya ilmu cukup tinggi un-
tuk kalahkan Raga Dewa sebab Raga Dewa bisa kalah-
kan Ibu, apalagi saya, pasti bisa dikalahkan dengan
mudah. Ilmunya sangat tinggi."
"Bukankah kau membawa pusaka Pedang Ji-
mat Lanang" Mengapa tak kau gunakan untuk mela-
wan mereka?"
"Pesan Ibu, ke mana pun saya pergi saya dis-
uruh membawa-bawa pedang ini. Hanya membawanya.
Ibu tidak bilang kalau saya boleh gunakan pedang ini
jika terpaksa, Tuan Yo."
Pendekar Rajawali Merah hanya geleng-geleng
kepala sambil tarik napas. Kemudian ia berkata den-
gan lebih mendekat pada Bocah Bodoh,
"Tentu saja ibumu izinkan kau menggunakan
pedang itu, Bocah Bodoh. Ibumu suruh kau bawa pe-
dang ke mana pun pergi, maksudnya buat perlindun-
gan dirimu. Bukan hanya sekadar dibawa-bawa."
"O, jadi...?" Bocah Bodoh memandang dengan
mulut melompong.
"Jadi kau boleh saja gunakan pedang itu, se-
masa demi membela kebenaran dan menjaga kesela-
matan." Bocah Bodoh kini termenung dan berucap kata,
"Mengapa ibu tak jelaskan hal itu padaku" Apakah karena nyawa Ibu tinggal
sedikit, jadi ibu hanya bilang
begitu?" Yoga tak bisa salahkan Bocah Bodoh yang ma-
sih polos dalam menerima perintah dan pesan dari
orang tuanya. Bocah Bodoh terlalu patuh dan hormat
kepada orangtuanya, sehingga kemampuan mencerna
perintah kurang lugas. Daya pikir yang kekanak-
kanakan itulah yang membuat Cola Colo walau sudah
cukup usianya tapi masih dikatakan sebagai bocah.
Toh hal itu tidak membuatnya sakit hati atau unjuk
rasa. Dengan senang ia mau menerima julukan seba-
gai Bocah Bodoh.
Setelah cukup banyak menerima penjelasan da-
ri Yoga mengenal pesan dan amanat sang Ibu, Bocah
Bodoh pun setuju usul Yoga untuk kembali ke Bukit
Lidah Samudera.
"Ibumu harus dimakamkan dan mendapat
penghormatan yang layak dari anaknya," kata Yoga.
"Lalu, bagaimana dengan Raga Dewa dan anak
buahnya itu, Tuan Yo" Bagaimana jika mereka masih
di sana dan mencari-cari pedang ini?"
"Akan ku atasi mereka jika memang mereka
masih di sana. Yang panting, jangan biarkan jenazah
ibumu dalam keadaan membusuk tanpa ada pemaka-


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

man semestinya."
"Baiklah. Tapi saya tak mau naik burung lagi,
Tuan Yo. Saya takut sekali terbang dengan burung
itu," sambil
Bocah Bodoh memandang ke arah burung ra-
jawali berbulu merah berukuran besar itu.
"Tak apa. Burung itu tak akan celakakan ka-
mu. Dia baik pada orang yang ada di pihak yang be-
nar. Dia akan hati-hati membawamu terbang."
"Tidak. Saya tidak mau, Tuan Yo. Saya lebih
baik berjalan kaki saja daripada harus putus jantung."
Yoga berpikir, jika mereka harus jalan kaki, ter-
lalu jauh jarak yang ditempuh. Bisa-bisa sampai tem-
patnya jenazah Nyai Sembur Maut sudah membusuk.
Maka, serta-merta tangan Yoga menotok tubuh Bocah
Bodoh. Taaab...!
"Maaf, aku tak bermaksud jahat!" katanya.
Bocah Bodoh menjadi lemas bagai tanpa tulang
dan urat sedikit pun. Kemudian Yoga menaikkan ke
punggung burung rajawalinya, dan Bocah Bodoh pun
kembali dibawa terbang menuju Bukit Udah Samude-
ra. Dalam keadaan begitu, Bocah Bodoh tidak sadar
apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Rajawali
Merah dan apa yang terjadi pada dirinya; Ketika Bocah
Bodoh sadar, ia sudah temukan dirinya berada di de-
pan rumah sendiri.
"Apa yang terjadi" Mengapa saya tiba-tiba ada
di sini, Tuan Yo?"
"Angin bukit yang membawamu kemari," jawab
Yoga sambil segera bergegas mendekati jenazah Nyai
Sembur Maut. "Cukup tinggi ilmu Raga Dewa hingga membuat
mayat Nyai Sembur Maut dalam keadaan seperti ini,"
pikir Yoga. "Tapi benarkah dia datang hanya ingin balas dendam" Mengapa rumah
itu isinya morat-marit"
Jangan-jangan dia kehendaki pedang pusakanya Bo-
cah Bodoh itu" Kalau benar begitu, berarti aku harus
mendampingi Bocah Bodoh supaya pedang pusakanya
tidak jatuh ke tangan orang sekeji Raga Dewa itu!"
Sementara Yoga mendampingi Bocah Bodoh
demi menjaga pusaka Pedang Jimat Lanang agar jan-
gan jatuh ke tangan tokoh sesat, sementara itu pula
sebenarnya jiwa Tua Usil terancam bersama pisau Pu-
saka Hantu Jagal-nya. Padahal Tua Usil saat itu tidak
bersama Pendekar Rajawali Putih. Gadis yang kecanti-
kannya sering diungkapkan sebagai kecantikan mele-
bihi bidadari itu sedang bingung mencari-cari Yoga, ia berkelana dalam
penerbangannya bersama burung rajawali besar warna putih yang menjadi
tunggangannya. Burung itu adalah kekasih dari burung rajawali merah
tunggangan Yoga.
* * * 3 PERANGAI tinggi dimiliki oleh setiap tokoh silat
yang tak bisa kendalikan nafsu amarahnya. Biasanya
nafsu amarah itu timbul manakala melihat rekan se-
perguruan mati, atau saudara sendiri, atau pula keka-
sih yang terbunuh. Biasanya perangai tinggi itulah
yang menyulut dendam dan pembalasan bagi si pelaku
pembunuhan tersebut. Bukan sekadar nafsu untuk
membalas, namun juga nafsu untuk menjaga harga di-
ri dan kehormatan martabat di rimba persilatan sering
membuat seseorang lakukan penyerangan secara tiba-
tiba. Tak beda halnya dengan tokoh berusia lima pu-
luh tahun yang ke mana-mana selalu kenakan pakaian
compang-camping dan tambal sulam. Tokoh kurus
berpakaian serba hitam yang membawa tongkat den-
gan rambut abu-abunya dikenal sebagai Ketua Partai
Pengemis Liar. Jalannya tertatih-tatih tak bisa lurus
dengan tubuh loyo bagai kurang tenaga. Tapi sesung-
guhnya dia termasuk tokoh yang sulit dirobohkan la-
wan. Ia dikenal dengan nama julukan: Paku Juling,
(Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Geger Siluman Perawan').
Dalam keadaan biasa, Paku Juling terlihat se-
bagai orang yang tak berdaya, lemah, dan tak memiliki
kekuatan untuk berlari cepat. Namun kali ini Paku
Juling unjukkan jati dirinya dengan lakukan serangan
bersalto ke arah seorang perempuan cantik berpakaian
jingga yang mengendong seekor burung beo hitam pa-
ruh kuning di pundaknya. Perempuan bertahi lalat ke-
cil di sudut bibir kirinya itu tak lain adalah putri Adi-pati Windunegara, murid
dari Jubah Peri, yang dikenal
sebagai Gadis Penakluk Hati karena memiliki daya pi-
kat tinggi bagi lawan jenisnya. Perempuan itu lebih dikenal dengan nama aslinya
sendiri: Lintang Ayu.
Serangan bersalto dari Paku Juling hampir saja
kenai punggung Lintang Ayu jika burung beonya tidak
berseru: "Awas maling!"
Begitulah tanda bahaya yang sering dikenali
oleh Lintang Ayu jika terjadi serangan dari belakang.
Lintang Ayu cepat sentakkan kakinya, melompat ke ki-
ri bersamaan sang burung beo yang terbang menjauh.
Wuuut...! Tendangan Paku Juling kenai sasaran ko-
song. Lintang Ayu bisa saja langsung menghantamkan
pukulan jarak jauhnya ke arah Ketua Partai Pengemis
Liar itu, tetapi agaknya Lintang Ayu tak mau bertan-
gan ringan. Ia hanya pandangi Paku Juling seraya ber-
kata dengan nada penuh wibawa, tapi berkesan ketus,
"Apa maksudmu menyerangku dari belakang,
Paku Juling"!"
"Jangan berlagak bodoh, Lintang Ayu. Aku
kenal betul dengan jurus pedangmu yang bernama ju-
rus "Pedang Rajang'!" kata Paku Juling sambil melangkah ke kiri. Pandangan
matanya masih biasa, itu be-
rarti Paku Juling belum kerahkan tenaga kemarahan-
nya. "Aku tak mengerti apa maksudmu menye-
butkan jurus pedangku?"
"Kau tak usah sembunyikan diri dari perbua-
tanmu Lintang Ayu. Kau telah membunuh adikku; si
Rencong Geni dengan jurus 'Pedang Rajang'-mu!"
"Jangan menuduhku sembarangan. Aku tak
punya masalah apa-apa dengan Rencong Geni, adik-
mu!" "Hmmm...!" Paku Juling sunggingkan senyum sinis dalam keadaan tubuh tegap,
tak tampak sebagai
pengemis. "Mengapa kau coba ingkari perbuatanmu
sendiri" Apakah karena kau takut karena aku ingin
membalas kematian adikku kepadamu" Apakah kau
tak sanggup hadapi ilmuku?"
Burung beo hitam paruh kuning berseru sambil
terbang berkeliling, "Pitnah, pitnah... itu pitnah...!"
Paku Juling tambah jengkel. Tongkatnya dis-
odokkan ke arah burung yang sedang terbang itu.
Zuuut...! Tapi Lintang Ayu segera tanggap, bahwa bu-
rungnya dalam bahaya, karenanya dengan cepat le-
paskan pukulan jarak jauh tanpa sinar ke ujung tong-
kat tersebut. Wuut! Traaak...!
Tongkat itu tersentak. Begitu kuatnya sampai
membuat tubuh Paku Juling tersentak berputar.
Wuuus...! Tapi justru putaran tubuh Paku Juling itu
keluarkan gelombang badai yang cukup kuat dan
membuat tubuh Lintang Ayu terdorong mundur tiga
tindak. "Gila! Dia keluarkan tenaga dalamnya dalam bentuk putaran tubuh. Cukup
kuat juga tenaga dalam
itu!" pikir Lintang Ayu.
Paku Juling berkata, "Rupanya kau sudah tak
sabar, ingin cepat hadapi ilmuku, Lintang Ayu! Kau te-
lah berani serang aku lebih dulu. Maka terimalah ju-
rus 'Gelap Gentar'-ku ini! Heaaah...!"
Claaap...! Sinar putih terang benderang keluar dari ujung
tongkat Paku Juling: Pada saat itu, mata si Paku Jul-
ing telah berubah. Manik hitamnya ada dl sudut ba-
wah keduanya. Tongkatnya yang tadi diurut dalam se-
kelebat berubah menjadi besi panjang dan runcing
semacam paku besar. Sentakan kedua tangan dengan
kaki ditarik ke belakang melepaskan sinar putih terang benderang menyilaukan.
Hanya sekejap. Sinar itu lekas padam dan membuat pandangan mata Lintang
Ayu menjadi gelap, tak bisa melihat apa-apa.
"Oh, celaka!. Aku menjadi buta"! Kurasa ini
pengaruh sinar terang yang membuat pandangan mata
bagaikan buta sesaat. Tapi ini berbahaya. Aku tak ta-
hu dia bergerak menyerangku atau diam saja?" pikir Lintang Ayu. dengan kedua
tangan bergerak meraba
udara. Wuuut...! Plaaak...!
Tendangan dari Paku Juling berhasil ditangkis
dengan kelebatan tangan Lintang Ayu. Kini perempuan
cantik itu bergerak dengan mengandalkan indera pe-
raba, pendengaran dan penciuman. Ketika Paku Juling
tebaskan tongkat besi runcingnya untuk merobek dada
Lintang Ayu, perempuan itu rasakan hembusan angin.
kencang yang amat kecil dari arah kirinya. Serta-merta ia lompat ke atas dan
lepaskan sentakan tangannya
yang memancarkan cahaya merah terang benderang.
Claaap...! Wuuus...! Dalam sekejap tempat itu dikuasai
oleh angin panas. Rerumputan menjadi layu dan cepat
kering, demikian pula dedaunan lainnya. Tubuh Paku
Juling pun tersengat panas dan menggeram sambil
melompat ke sana-kemari.
"Kurang ajar! Dia gunakan hawa panas mene-
bar sekeliling tempat ini. Tak ada tempat dingin bagi-
ku," pikir Paku Juling.
Pada saat itu kegelapan mata Lintang Ayu mu-
lai pudar dan berganti terang kembali. Ia melihat Paku Juling menancapkan
tongkat paku besinya ke tanah
dan berpegang kuat-kuat pada tongkat besi itu. Dari
tongkat besi keluar busa-busa putih yang makin lama
semakin banyak. Hawa panas itu ternyata sedang di-
lawan dengan hawa salju yang ia keluarkan dari pen-
gerahan tenaga inti dinginnya. Dengan tubuh sedikit
gemetar dan mata tetap memandang juling, ia berhasil
kalahkan hawa panas tersebut dengan udara dingin
salju yang dikerahkannya.
"Hiaaah...!" Lintang Ayu segera cabut pedangnya dan ditebaskan ke arah tangan
Paku Juling. Tapi
dengan gerakan amat cepat, Paku Juling tiba-tiba su-
dah berada di belakang Lintang Ayu. Ia segera meng-
hunjamkan tongkat runcingnya ke punggung Lintang
Ayu. "Awas maliiing...!" teriak burung beo di kejau-han. Lintang Ayu cepat putar
tubuh sambil kibaskan
pedangnya. Traaang...! Pedang itu menghantam besi
yang hendak menghunjamnya. Terjadi percikan bunga
api cukup banyak ketika pedang beradu dengan tong-
kat. Keduanya sama-sama terpental mundur tiga tin-
dak. Lalu diam dalam ketegakan berdiri.
"Tubuhku seperti dirayapi jutaan semut gara-
gara beradu senjata dengannya," pikir Lintang Ayu.
"Kurasa aku harus lebih hati-hati lagi menghadapi orang juling itu."
Sedangkan Paku Juling pun membatin, "Edan!
Hampir saja aku kelojotan seperti tersiram air panas di sekujur tubuh karena
benturan pedangnya dengan
tongkatku! Rupanya dia tidak main-main menghadapi-
ku. Aku pun tak boleh lengah sedikit saja."
"Heaaahh...!" Paku Juling melompat sambil
memutar tongkat.
"Hiaaah...!" Lintang Ayu pun melompat ke depan dengan pedang siap menebas.
Tetapi tiba-tiba Pa-
ku Juling lemparkan tongkatnya menancap di tanah,
tangannya menyentak di ujung tongkat membuat tu-
buhnya melenting lebih tinggi dan bersalto melewati
kepala Lintang Ayu. Perempuan itu merasa tertipu oleh
gerakan tersebut. Ia sudah telanjur tebaskan pedang-
nya menghantam tongkat besi tersebut. Namun tiba-
tiba ia harus berguling ke depan karena kaki Paku Jul-
ing hampir saja menyerang punggungnya dengan ten-
dangan ganda. Jika Lintang Ayu tidak berguling ke ta-
nah. maka tulang punggungnya akan patah oleh ten-
dangan bertenaga dalam tinggi itu.
Wuuuk...! Zaaap...!
Lintang Ayu cepat sentakkan tangan kirinya
begitu selesai berguling. Dari tangan kirinya itu melepaskan sinar ungu yang
berbahaya. Sinar ungu itu
menghantam dada Paku Juling, namun dengan cepat
tangan Paku Juling menghadang di pertengahan dada.
Tapak tangan itu membara biru ketika sinar ungu
mendekatinya, lalu menghantamnya.
Duaaar...! Andai tidak ditahan dengan tangan bercahaya
biru, sudah pasti dada Paku Juling akan jebol tanpa
ampun lagi. Tapi karena ditahan dengan telapak tan-
gan tersebut, Paku Juling hanya terpental empat tom-
bak jauhnya dan jatuh terbanting cukup keras.
Buuhg...! "Uhhg...!" Paku Juling tersentak ke depan, kepalanya tergolek, mulutnya
keluarkan darah kental
warna merah kehitaman. Dalam hatinya segera mem-
batin, "Sial! Kena juga aku akhirnya! Untung tidak terlalu parah bagiku!"
Lintang Ayu terkesiap melihat Paku Juling ma-
sih bisa berdiri, padahal biasanya lawan yang terkena
pukulan ungu itu akan mengkristal dan pecah jika
terkena benda keras. Rupanya jurus itu tidak berlaku
demikian bagi Paku Juling. Jika Paku Juling bukan
orang berilmu tinggi, tidak mungkin ia masih bisa ber-
diri dan siap lakukan serangan lagi.
"Heaaah...!" Paku Juling lepaskan sinar biru dari kedua telapak tangannya.
Sedangkan Lintang Ayu
segera lepaskan sinar merah dari sentakan balik ga-
gang pedangnya. Clap, claap...! Kedua sinar itu sama-
sama meluncur cepat di pertengahan jarak. Tetapi ti-


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ba-tiba seberkas sinar putih perak menghantam kedua
sinar tersebut sebelum beradu di pertengahan jarak.
Blaaar...! Glegaaarr...!
Dentuman itu sangat hebat, menggelegar dan
menggema sampai ke seluruh penjuru. Kedua tokoh
yang sedang bertarung itu sama-sama terpental dan
saling berguling-guling. Tetapi keduanya segera sama-
sama bangkit dalam satu sentakan tubuh yang men-
cuat. Jleg, jleeg!
Seekor burung rajawali putih terbang rendah,
mendekati mereka. Rupanya siar putih perak itu da-
tang dari tangan penunggang burung rajawali putih
yang tak lain adalah Lili; si Pendekar Rajawali Putih.
Lintang Ayu dan Paku Juling sama-sama terkesiap me-
lihat kedatangan gadis pendekar yang cantik rupanya
itu. Lili segera turun dari punggung rajawalinya. Ia
hampiri Lintang Ayu dan Paku Juling. Pada saat itu,
Paku Juling segera berkata.
"Apa perlumu mencampuri urusanku dengan
perempuan kejam itu, Pendekar Rajawali Putih" Apa-
kah kau ingin membelanya walau kau tahu dia telah
membunuh adikku; Rencong Geni itu"!"
Dengan tenang gadis berpakaian merah jambu
dengan jubah putih tipis itu berkata, "Sudah kuduga kalian pasti terlibat
kesalahpahaman!"
Lintang Ayu berkata, "Sebaiknya tinggalkan
kami, biar kami selesaikan urusan ini, Lili. Dia tetap bersikeras menuduhku
sebagai pembunuh Rencong
Geni." "Aku tidak sekadar menuduh!" sahut Paku Juling. "Tapi memang terbukti
jenazah adikku kutemukan mati dalam keadaan terpotong-potong menjadi tiap
ruas tulangnya. Orang yang bisa lakukan pembunu-
han sekejam itu hanya kau, Lintang Ayu. Karena kau
mempunyai jurus pedang yang mampu membuat la-
wan mati seperti itu!"
"Dugaanmu tidak benar, Paku Juling!" kata Lili dengan tetap kalem.
"Kau tak perlu membelaku, Lili!" kata Lintang Ayu. "Aku masih sanggup
membuktikan bahwa diriku
bukan pembunuh Rencong Geni!"
"Aku hanya ingin meluruskan perkara ini. Bu-
kan Lintang Ayu yang membunuh Rencong Geni, Paku
Juling." Sambil mendekati tongkat besinya Paku Juling berseru, "Lantas siapa
orang yang bisa membunuh
Rencong Geni sedemikian rupa"!" "Seseorang yang memegang senjata pisau Pusaka
Hantu Jagal!"
"Hahh..."!" Paku Juling terkejut. Matanya sudah tidak juling lagi. Tongkat besi
runcing menyerupai paku itu segera diurut dan menjadi tongkat kayu biasa
kembali. Setelah langkahkan kedua kaki dua kali de-
kati Pendekar Rajawali Putih, Paku Juling bertanya,
"Siapa orang yang memegang pisau Pusaka
Hantu Jagal itu" Ki Pamungkas" Resi Gutama" Atau
murid mereka?"
"Carilah sendiri. Tapi aku melihat jelas orang
itu telah membunuh Nyai Kuku Setan!"
Makin tersentak lagi Paku Juling mendengar-
nya. "Nyai Kuku Setan telah dibunuhnya"! Mungkin-
kah itu?" "Kenapa tidak" Sebelum ia membunuh Nyai
Kuku Setan, ia telah menikamkan pisau itu ke tubuh
Ki Pamungkas yang mendesaknya untuk mempercepat
kematian!"
"Itu berarti orang tersebut telah menyerap il-
munya Ki Pamungkas?" ucap Paku Juling dengan ka-
gum. "Dugaanmu kali ini benar, Paku Juling. Ia juga telah mendapatkan ilmu-
ilmunya Nyai Kuku Setan dan
tentunya kau tahu bahwa seluruh ilmu yang dimiliki
lawannya telah berpindah menjadi milik orang yang
menikamkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu!"
Paku Juling bersungut-sungut, lalu menggu-
mam seperti bicara pada dirinya sendiri, "Alangkah saktinya dia, menyerap banyak
ilmu orang sakti"! Pantas jika ia bisa bunuh Rencong Geni dalam keadaan
seperti itu, tentunya ilmunya Ki Pamungkas yang men-
galir dalam dirinya yang menyebabkan kematian Ren-
cong Geni seperti itu. Aku tahu, Ki Pamungkas juga
mempunyai jurus yang dapat memotong-motong la-
wannya tanpa pedang atau senjata lainnya."
"Syukurlah jika kau sudah bisa memahami
penjelasanku," kata Pendekar Rajawali Putih. Kepala lelaki itu manggut-manggut,
lalu, ia perdengarkan suaranya yang melemah, tidak segalak tadi,
"Mengapa kau tak mau sebutkan siapa orang-
nya?" "Karena aku tak punya hak untuk mengadukan hal ini kepadamu. Kalau kau
ingin nekat menemui
orangnya dan berani bertarung melawannya, carilah
dia. Cirinya, dia membawa pisau Pusaka Hantu Jagal,"
Paku Juling menghela napas. "Jika dua ilmu
bersatu dalam dirinya, yaitu ilmunya Ki Pamungkas
dan Nyai Kuku Setan, maka... itu berarti ia punya ilmu lebih tinggi dariku!"
Lintang Ayu memandangi Lili saat Lili hanya
angkat bahu. Kemudian, Paku Juling berpaling mena-
tap Lintang Ayu dan berkata,
"Maafkan aku! Kurasa untuk sementara ini, ki-
ta cukupkan sampai di sini saja!" Paku Juling pun segera sentakkan kaki dan
pergi sambil berseru tanpa
berpaling ke belakang,
"Terima kasih atas penjelasan mu, Lili...!"
Pendekar Rajawali Putih dan Lintang Ayu
hanya diam saja memandangi kepergian Paku Juling,
Kejap berikutnya, terdengar suara Lintang Ayu yang
bernada wibawa namun berkesan angkuh,
"Untung kau cepat datang dan jelaskan perkara
ini. Jika tidak, dia bisa mati di tanganku."
"Firasat ku mengatakan ada kesalahpahaman
di antara kalian. Padahal aku bermaksud singgah me-
nemui mu untuk menanyakan tentang Yoga."
Lintang Ayu cepat palingkan wajah pandangi
Lili. Ia bertanya dengan nada datar,
"Apa maksudmu tanyakan Yoga padaku?"
"Aku mencarinya. Kusangka ia bersamamu."
"Kau sangka aku merebut kekasihmu?"
"Belum tentu. Tapi Yoga punya kegemaran bi-
cara dengan perempuan cantik. Jadi tak ada salahnya
jika ku tanyakan padamu, barangkali kau melihat di
mana Yoga berada."
"Aku tak pernah pedulikan dia, karena di bu-
kan kekasihku. Kalau aku jadi kekasihnya, tak akan
kubiarkan dia pergi tanpa aku! Itu untuk menunjuk-
kan kesetiaan ku padanya. Setidaknya aku tidak akan
kehilangan dia dan menjadi bingung jika hatiku se-
dang rindu!"
"Kurasa kau tak perlu nasihati aku seperti itu,
Lintang Ayu! Kau dan aku mempunyai pendapat dan
pandangan hidup yang berbeda!"
Lili bergegas dekati burung rajawalinya yang
menunggu di bawah pohon rindang. Tetapi tiba-tiba
terdengar suara Lintang Ayu berseru,
"Kalau ketemu Tua Usil, suruh dia berhati-
hati!" Langkah itu terhenti, wajah Lili berpaling dengan rasa heran. Kemudian
dari depan burungnya Lili berseru, "Apa maksudmu berkata demikian?"
Dengan lagak angkuh wibawa, Lintang Ayu me-
langkah dekati Lili sambil membiarkan burungnya
hinggap di pundak kiri. Lalu dalam jarak tiga langkah
ia berhenti dan berkata,
"Seseorang sedang mencari-cari pelayanmu; si
Tua Usil. Dia akan dibunuh oleh orang itu." "Siapa orang itu?" Tapak Biru!"
Lili kian kerutkan dahinya karena baru seka-
rang mendengar nama julukan Tapak Biru. Lalu, kare-
na ia merasa belum mengenali tokoh tersebut, ia pun
bertanya kepada Lintang Ayu,
Eng Djiauw Ong 19 Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Tamu Dari Gurun Pasir 17
^