Pusaka Hantu Jagal 3
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal Bagian 3
gaan!" "Maksudmu, di luar dugaan kalau aku bisa memergoki ilmunya itu?"
Yoga semakin tak enak hati. Ia hanya berkata,
"Maafkan kata-kataku tadi! Sejujurnya kukatakan padamu, cukup lama aku bergaul
dengan Tua Usil, tapi
tak pernah kulihat dia keluarkan jurus sedahsyat itu!"
Kemudian Yoga sedikit bercerita tentang kehidupan
sehari-hari yang di alami dengan si Tua Usil itu.
"Pantas saja kalau guruku tewas di tangannya!"
gumam Manis Madu bernada geram.
"Mungkinkah memang dia pembunuh guru-
mu?" "Siapa lagi kalau bukan dia" Lihat saja kesaktiannya begitu menakjubkan,
sejajar dengan tingkat
ketinggian ilmu guruku!"
Yoga terpojok dan tak punya alasan untuk
membela Tua Usil. Tapi firasat yang ada pada diri Yoga
mengatakan, bahwa bukan Tua Usil yang lakukan
pembunuhan terhadap diri Resi Gutama. Entah men-
gapa firasat Yoga sangat kuat mengatakan begitu, se-
hingga ia masih mencari cara untuk menghindari per-
tarungan antara Manis Madu dan Tua Usil. Yoga sen-
diri dapat menakar, bahwa Tua Usil dapat menghan-
curkan tubuh Manis Madu dalam satu gebrakan saja
jika memang Tua Usil-lah yang membunuh Resi Gu-
tama. Sedangkan Yoga merasa sayang jika Manis Ma-
du harus mati karena salah sasaran dendamnya.
"Begini saja, aku akan desak dia untuk menga-
ku. Jika benar dia yang membunuh gurumu, kuserah-
kan dia padamu. Terserah apa yang terjadi nanti. Yang
jelas kau akan mati jika benar Tua Usil berilmu tinggi
dan bisa membunuh gurumu. Jika memang Tua Usil
tidak mengaku, maka kita akan cari bersama-sama
siapa pelaku sebenarnya."
"Apakah itu tidak terlalu bertele-tele" Sekarang
juga aku bisa menyerang dan membunuhnya!"
"Tahan nafsumu, Manis Madu. Aku tak ingin
kau atau dia mati secara sia-sia, hanya karena fitnah
si Raja Tipu!" ucap Yoga dalam nada bisiknya.
"Aku lebih baik mati, daripada membiarkan
pembunuh guruku tetap hidup dan berkeliaran di
alam bebas!" tegas Manis Madu dengan nada bisik pu-la.
"Ssst...! Kita selidiki dulu apa yang dilakukan
Tua Usil itu! Apa yang dibicarakan dengan gadis ber-
gaun kuning itu, kita simak baik-baik. Siapa tahu bisa
menjadi petunjuk untuk menyimpulkan siapa pembu-
nuh gurumu itu!"
Manis Madu cemberut kesal dan mende-
nguskan nafasnya, namun ia turuti keinginan pende-
kar tampan tersebut. Ketampanan Yoga itulah yang se-
jak tadi membuat hati Manis Madu selalu menunda
kemarahannya, membuat sejuk gejolak darah yang
mendidih. Setelah Tua Usil merasa terheran-heran dengan
apa yang dilakukannya, sampai ia pandangi, kedua
tangannya dan ia pandangi mayat Rencong Geni seca-
ra berganti-gantian, maka ia pun segera mendekati
Walet Gading yang wajahnya kian memucat dan ber-
sandar di bawah pohon.
Rupanya sebelum tiba di tempat tersebut, Walet
Gading telah lakukan pertarungan dengan Rencong
Geni yang membuat tubuhnya terluka di beberapa
tempat, termasuk luka pukulan tenaga dalam di pung-
gungnya itu. Lengannya bengkak membiru karena ra-
cun di ujung rencong kembar tersebut. Dan Tua Usil
memperhatikan keadaan Walet Gading dengan rasa iba
hati. Walet Gading sendiri hanya bisa menatap ben-
gong kepada orang yang pernah diburu karena dituduh
membunuh gurunya itu.
Tua Usil bersimpuh dl depan Walet Gading
yang sudah berkeringat dingin dengan bibir membiru.
Sebentar lagi pasti gadis itu akan mati jika tidak segera ditolong. Karena itu,
Tua Usil berkata, "Angkat kedua tanganmu ke depan, rapatkan dengan tanganku...!"
Walet Gading sepertinya tahu persis apa yang
di maksud Tua Usil itu. Maka, ia pun mengangkat ke-
dua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Kedua
telapak tangan itu segera merapat dengan kedua tela-
pak tangan Tua Usil. Kemudian, wajah Tua Usil ter-
tunduk sebentar, dan telapak tangan mereka berdua
sama-sama menyala kuning bening.
Beberapa saat setelah mereka sama-sama pe-
jamkan mata, Walet Gading rasakan tubuhnya mulai
segar kembali. Luka-luka yang tampak koyak ataupun
berlubang, mulai terasa cepat mengering walau tidak
benar hilang lenyap seperti pengobatan yang dilakukan
oleh Yoga. Namun, Walet Gading semakin memendam
keheranan, sehingga ia pun akhirnya berkata,
"Aku tahu jurus pengobatan ini yang dinama-
kan jurus 'Tapak Batin'."
"Aku tidak tahu namanya. Tapi... entah menga-
pa aku bisa lakukan!" "Siapa dirimu sebenarnya?"
"Sudah pernah kusebutkan, namaku Pancaso-
na dan dikenal dengan julukan Tua Usil. Aku pelayan-
nya Pendekar Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali
Merah." "Apakah kedua pendekar aliran Rajawali itulah yang mengajarkan semua
jurus-jurusmu, termasuk jurus 'Gerhana Rajam' tadi?"
"Jurus apa?"
"Jurus 'Gerhana Rajam'!" jelas Walet Gading
yang kini bukan bersikap bermusuhan, namun bersi-
kap curiga dan penasaran.
Tua Usil tertawa kecil sambil berdiri. "Jurus
kok namanya aneh"! Aku malah baru kali ini menden-
gar nama jurus 'Gerhana Rajam'."
Sementara itu, di balik persembunyiannya, Yo-
ga sendiri merasa semakin kagum melihat Tua Usil bi-
sa lakukan pengobatan dengan cara seperti tadi. Sama
sekali tak pernah terbayangkan olehnya bahwa Tua
Usil memiliki ilmu pengobatan yang cukup dinilai he-
bat olehnya. Manis Madu bergegas bangkit, ingin keluar dari
persembunyiannya, namun lagi-lagi tangan Yoga me-
nahannya, membuat Manis Madu berbisik,
"Biarkan aku menghadapinya!"
"Tunggu dulu! Dengarkan dulu percakapannya.
Tua Usil kelihatannya tak sadar dengan segala tinda-
kannya. Perhatikan setiap ucapannya!"
"Bisa saja dia berkata bohong!"
"Apakah kau tak bisa menilai kejujuran seseo-
rang dari raut wajahnya?" Yoga bernada meremehkan, dan Manis Madu tak mau
terang-terangan diremeh-kan, karena itu ia berkata,
"Bisa saja dia mainkan wajah sejujur mungkin,
tapi hati orang siapa yang bisa tahu secara pasti!"
sambil ia kembali jongkok di tempatnya semula.
Jarak mereka tak begitu jauh, namun juga ti-
dak dibilang dekat dengan percakapan Tua Usil dan
Walet Gading. Hanya saja, angin bertiup ke arah Yoga
dan Manis Madu, sehingga percakapan itu terbawa
oleh angin dan mudah diterima oleh telinga para pe-
ngintainya. Walet Gading perdengarkan suaranya, "Setahu-
ku, jurus 'Gerhana Rajam' hanya milik guruku; Ki Pa-
mungkas. Tapi mengapa kau juga memilikinya" Apa-
kah kau dulu teman seperguruan dengan Ki Pamung-
kas?" "Bukan. Aku tak pernah punya guru dan tak pernah belajar ilmu silat. Satu-
satunya ilmu yang kumiliki hanya ilmu 'Halimun', itu ilmu turunan dari le-
luhur ku!"
"Tapi... tapi mengapa kau memiliki semua jurus
yang dimiliki oleh guruku?"
"Aku sendiri tak yakin, apakah benar aku me-
lakukan gerakan jurus yang dimiliki oleh gurumu.
Yang jelas, aku kenal gurumu hanya sebatas seorang
sahabat saja. Tak terlalu akrab. Dulu aku pernah me-
nolongnya membuat kan topeng yang menyerupai wa-
jah Ki Pamungkas. Dari situlah aku kenal beliau. Aku
diberi upah berupa uang, bukan berupa ilmu! Dan apa
yang kulakukan tadi, sungguh di luar rencana piki-
ranku. Tangan dan kakiku seperti bergerak dengan
sendirinya. Bahkan sentakan-sentakan nafas ku seper-
ti bekerja dengan sendirinya."
"Aneh!" gumam Walet Gading dalam keterme-
nungannya. "Memang aneh, dan di luar jangkauan otakku."
"Lalu, apa yang kau lakukan saat guruku te-
was?" "Apakah kau tetap menuduhku sebagai pembunuh Ki Pamungkas?"
Walet Gading menarik napas, dihempaskan le-
pas sambil berkata,
"Saat aku kembali ke tempat jenazah guruku
berada, dan membawanya pulang ke perguruan, aku
sempat melihat mayat lain ada di sana. Mayat itu ada-
lah mayat Resi Gutama, Ketua Perguruan Kuil Dewa!"
Manis Madu bergegas bangkit begitu menden-
gar nama almarhum gurunya disebutkan. Tapi tan-
gannya kembali ditahan oleh Yoga. Mulut Yoga mende-
sis pelan, "Ssst...!"
Manis Madu kembali jongkok, melindungi di-
rinya dengan kerimbunan daun-daun semak yang ada
di belakang Walet Gading. Ia kembali menyimak perca-
kapan tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun.
Walet Gading berkata, "Ketika kutemukan Je-
nazah Resi Gutama, aku jadi berkesimpulan bahwa
guruku tewas karena pertarungannya dengan Resi Gu-
tama. Hati ku sempat menyesal, mengapa aku bersike-
ras menuduh mu sebagai pembunuh guruku. Aku
minta maaf padamu, Tua Usil."
Senyum tipis Tua Usil mekar bagaikan orang
memperoleh kemenangan sepenuhnya. Ia pun berkata,
"Tak apa. Lupakan soal itu:"
"Menurutmu, apakah pendapatku itu benar?"
"Sangat benar!" jawab Tua Usil dengan tegas.
"Aku melihat sendiri pertarungan Resi Gutama dengan Ki Pamungkas. Sangat seru
dan menakjubkan. Keduanya sama-sama kuat. Tapi keduanya segera sama-
sama gunakan jurus andalan yang tidak mereka pero-
leh ketika mereka dalam satu perguruan. Resi Gutama
tewas lebih dulu, ketika aku datang Ki Pamungkas
masih sempat bernapas beberapa saat. Lukanya san-
gat parah. Aku ingin mencarikan air buat minum, ka-
rena kulihat Ki Pamungkas kehausan. Tapi dia mela-
rang, dan bahkan menyuruhku mengambil sebuah pu-
saka yang mereka perebutkan."
"O, jadi... guruku bertarung dengan Resi Guta-
ma karena memperebutkan sebuah pusaka?"
"Ya. Pusaka itu ada di dalam Sumur Condong,
tak jauh dari tempat pertarungan mereka. Aku disuruh
mengambil pusaka itu, dan kukerjakan perintahnya.
Ternyata pusaka itu bernama Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahh..."!" Walet Gading terkejut dengan mem-
belalakkan mata.
Di persembunyian, Manis Madu juga terkejut
dan hampir terpekik, namun mulutnya buru-buru di-
tutup oleh tangan Yoga. Matanya melebar menatap
mata Yoga yang memandangnya dengan sikap terpe-
ranjat juga itu.
"Aku pernah mendengar cerita tentang Pusaka
Hantu Jagal itu dari guruku," kata Walet Gading.
"Apakah... apakah pusaka itu berupa sebilah pisau
bersarung dan bergagang emas berukir?"
"Benar!" jawab Tua Usil dengan jujur. Kemu-
dian, Tua Usil menceritakan segala keterangan yang
dituturkan oleh Ki Pamungkas menjelang ajalnya tiba.
Sampai tentang kehebatan Pusaka Hantu Jagal itu,
amanat mempercayakan pusaka itu menjadi milik Tua
Usil, dan akhirnya permintaan Ki Pamungkas yang te-
rakhir pun dituturkan kepada Walet Gading.
"Aku mencoba menolak permintaannya itu, tapi
ia semakin meratap dan ingin mati lebih terhormat lagi
dengan pisau pusaka itu. Dia memohon-mohon pada-
ku, dan... aku tak tega. Lalu, kulakukan permintaan
terakhirnya itu dengan sangat terpaksa!"
Walet Gading tertunduk sedih, Sementara itu,
Manis Madu pun tertunduk dalam dukanya sendiri.
Suasana menjadi hening beberapa kejap setelah itu,
Walet Gading segera perdengarkan suaranya,
"Kalau begitu, seluruh ilmu guruku telah meni-
tis ke dalam ragamu! Ilmumu jauh lebih tinggi dari il-
muku, karena kau adalah pengganti guruku!"
Setelah berkata begitu, Walet Gading segera
berlutut dan tundukkan kepala, memberi hormat ke-
pada Tua Usil yang dianggap sebagai titisan Ki Pa-
mungkas. Tua Usil menjadi kikuk ketika Walet Gading
berkata, "Maafkan kebodohan saya tadi, Guru!"
Karena kikuk, Tua Usil jadi ikut-ikutan berlu-
tut, lalu berkata, "Jangan berlebihan begitu dalam menganggap diriku. Aku bukan
gurumu! Aku bahkan
ingin serahkan Pusaka Hantu Jagal ini kepadamu, ka-
rena kau adalah muridnya yang kinasih!"
Tua Usil keluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal
dari balik bajunya. Walet Gading memandangi pusaka
itu, semakin percaya dengan apa yang diceritakan Tua
Usil. Tapi ia segera menggeleng dan berkata,
"Aku tak berani melanggar wasiat almarhum
Guru; Ki Pamungkas. Pisau pusaka itu adalah milik-
mu, karena Guru mempercayakannya kepadamu! Pi-
sau pusaka itu juga sebagai lambang, bahwa kau telah
menggantikan kedudukan mendiang Guru; Ki Pa-
mungkas. Sebaiknya sekarang juga kita pulang ke per-
guruan, karena kaulah sekarang yang memegang tam-
puk kepemimpinan, sebagai Ketua dan Guru di Pergu-
ruan Gerbang Bumi!"
Tua Usil geleng-gelengkan kepala. "Tidak. Aku
tidak sanggup. Aku tidak tahu bagaimana caranya
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi guru dan ketua di sebuah perguruan. Aku tak
mau menerima jabatan itu."
"Tapi kaulah yang diserahi tugas tersebut! Kau
yang dipercaya."
"Hanya secara kebetulan saja, akulah satu-
satunya orang yang mendekati Ki Pamungkas saat
menjelang ajalnya tiba."
"Itu pertanda kau yang mendapat anugerah da-
ri dewata untuk menggantikan kepemimpinan men-
diang Guru; Ki Pamungkas!"
"Begini saja!" kata Tua Usil sambil bangkit berdiri, berjalan dua langkah, lalu
berbalik arah dan ber-
kata, "Kalau memang aku yang dipercaya, diserahi tugas, mendapat anugerah atau
apa lagi sebutannya....
Sekarang tugas itu ku limpahkan kepadamu, Walet
Gading! Kau saja yang menjadi ketua di Perguruan
Gerbang Bumi, sekaligus menjadi guru!"
"Mana mungkin" Di Perguruan Gerbang Bumi
ada empat orang yang ilmunya sejajar denganku! Me-
reka pasti akan memberontak dan tak mau patuh pa-
daku," kata Walet Gading dengan sangsi.
"Kalau begitu, kau saja yang menjadi ketua.
Soal guru, biarlah kau dan ketiga murid yang ilmunya
sejajar denganmu itu yang bertindak sebagai guru."
Walet Gading berpikir sejenak, setelah itu ber-
kata, "Bagaimana jika kau ajarkan padaku beberapa
jurus tertinggi yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hi-
dupnya" Kau yang menjadi guruku."
"He, he, he, he...! Sudah kukatakan, aku tidak
ada potongan menjadi guru! Aku tidak tahu harus ba-
gaimana mengajar murid-murid ku! Dan aku tidak ta-
hu nama jurus-jurus yang kumiliki ini!"
Sulit juga memutuskannya. Tua Usil terang-
terangan menolak jabatan itu, karena merasa tidak
mempunyai kemampuan yang sesuai. Sedangkan Wa-
let Gading tidak mau melanggar wasiat mendiang gu-
runya yang diberikan kepada Tua Usil menjelang ajal-
nya tiba. Sebenarnya saat itu Yoga ingin keluar dari per-
sembunyiannya dan menengahi perdebatan itu. Tetapi
pemuda tampan itu segera terkejut karena baru me-
nyadari bahwa Manis Madu sudah tidak ada di sam-
pingnya. Mata Yoga mencari sekeliling tempat itu, ter-
nyata gadis tersebut sudah berada cukup jauh dalam
pelariannya. Arah pelarian menuju ke tempat tergele-
taknya jenazah Resi Gutama.
"Dia pasti kecewa karena tak berhasil temukan
pembunuh gurunya yang sebenarnya! Atau, mungkin
dia kecewa karena Pusaka Hantu Jagal jatuh ke tan-
gan Tua Usil" Sebaiknya kususul dia agar tak guncang
hatinya dengan peristiwa ini! Biarlah Tua Usil berem-
buk terus sampai ubannya bertambah. Mereka pasti
akan temukan jalan keluar sendiri."
Dugaan Yoga itu memang benar. Ketika Yoga
pergi menyusul Manis Madu, samar-samar terdengar
suara Walet Gading berkata,
"Ada baiknya masalah ini kita bicarakan ber-
sama tiga murid yang lain, supaya semuanya sama-
sama enak dan tak ada saling iri."
"Lalu, bagaimana dengan pisau pusaka ini?"
"Tetaplah kau pegang dan menjadi milik mu,
karena memang begitulah wasiat mendiang Guru! Jan-
gan sampai jatuh ke tangan orang lain!"
"Apakah aku harus ikut berunding dengan ke-
tiga murid yang ilmunya setingkat denganmu itu?"
"Ya. Sebab kaulah saksi hidup, dan pusaka itu-
lah buktinya!"
"Baiklah," jawab Tua Usil dengan napas ter-
hempas, seperti orang terpaksa. Lalu, dia berbisik,
"Bisakah kau berdiri di atas ilalang yang sedang
tumbuh?" "Bisa. Kenapa?"
Bisikannya makin pelan, "Ajarkan aku, supaya
bisa berdiri di atas ilalang, seperti Nona Lili itu!"
"Kau pasti sudah bisa. Sebab Ki Pamungkas bi-
sa lakukan hal itu!"
"Ah, yang benar"!" Tua Usil terperangah girang bercampur ragu.
* * * 8 LELAKI berkepala gundul dengan jenggot pu-
tihnya yang panjang itu mengenakan pakaian berka-
bung warna abu-abu. Biasanya ia mengenakan pa-
kaian putih model biksu yang hanya diselempangkan
dari pinggang ke pundak. Tapi agaknya kali ini ia sen-
gaja mengenakan pakaian abu-abunya sebagai pera-
saan berkabung yang amat dalam. Lelaki berusia seki-
tar delapan puluh tahun itu, sengaja berdiri di luar
gua tempat tinggalnya, yang tepat berada di lereng se-
buah jurang terjal yang cukup dalam.
Ketika seekor burung rajawali besar berwarna
putih melintas di langit atas kepalanya, lelaki itu
hanya diam saja, tidak memandangnya sedikit pun.
Namun ia tahu, ada seseorang yang duduk bertengger
di punggung sang rajawali tersebut. Orang yang duduk
di punggung rajawali putih itu tak lain adalah Lili;
Pendekar Rajawali Putih, murid dari mendiang Dewi
Langit Perak; istri dari Dewa Geledek. Lelaki berbadan
kurus itu sangat kenal baik dengan kedua tokoh sakti
tersebut, semasa pasangan suami-istri yang kondang
kesaktiannya itu masih hidup. Sayang ia tak bisa
menghadiri dalam pemakaman kedua tokoh sakti bera-
liran silat rajawali itu, karena tempatnya yang saling
berjauhan dari kediamannya yang sengaja mengasing-
kan diri itu. Lelaki berpakaian abu-abu itu tak lain adalah
Resi Gumarang, satu-satunya tokoh sakti yang sangat
dihormati oleh Lili dan Yoga, itulah sebabnya ketika rajawali putih itu mendarat
di bibir tebing, Lili segera turun dan memberinya hormat dengan berlutut satu
ka- ki dan tundukkan kepala, sedang sang rajawali pun
cepat mendekam serta merendahkan kepala sebagai
tanda hormatnya kepada sang resi.
"Selamat datang di pengasingan ku, Pendekar
Rajawali Putih," sambut Resi Gumarang dengan nada
kurang ramah. Wajahnya pun dilapisi kemurungan
akibat ungkapan jiwa dukanya, Pendekar Rajawali Pu-
tih tidak tersinggung, namun justru merasa heran dan
bertanya dengan sangat sopan,
"Kalau boleh saya tahu, apa gerangan yang
membuat Eyang Resi bermurung wajah hari ini?"
"Tidak apa-apa," jawab Resi Gumarang dengan
senyum canggung. "Aku hanya merasa sedikit kurang
enak badan."
"Mohon jangan dustai hati saya, Eyang Resi.
Pakaian abu-abu yang Eyang Resi kenakan menanda-
kan masa duka sedang menyelimuti hati Eyang Resi.
Saya hanya ingin ikut berduka cita atas masa berka-
bung yang melanda hati Eyang Resi Gumarang. Na-
mun izinkan saya mengetahui penyebabnya secara
pasti, Eyang Resi."
Resi Gumarang melemparkan pandangan ma-
tanya ke tempat jauh. Ia melangkah menjauhi Lili se-
bentar, seakan ingin membuang rasa duka dan kemu-
rungannya. Namun Lili mendekat dengan mendesak
pertanyaan lebih halus lagi.
"Barangkali ada yang bisa saya bantu untuk
meredakan duka di hati Eyang Resi saat ini?"
"Tidak ada," jawab Resi Gumarang. "Agaknya kau tahu persis bahwa aku sedang
berkabung. Memang benar. Sekalipun aku tak hadir di tempatnya,
tapi aku tahu bahwa adikku yang bernama Resi Gu-
tama itu dua hari yang lalu sudah meninggal dunia
akibat suatu pertarungan dengan rekan seperguruan-
nya yang bernama Ki Pamungkas."
Hening tercipta sebentar, lalu suara Pendekar
Rajawali Putih terdengar halus, "Saya turut berduka cita atas wafatnya adik
Eyang Resi Gumarang itu."
"Terima kasih, Lili. Aku hanya menyesali lang-
kah adikku yang keliru itu. Ia mati hanya untuk bere-
but pusaka milik mendiang gurunya yang bernama
Hantu Jagal."
"Sepertinya saya pernah mendengar nama julu-
kan Hantu Jagal itu, Eyang Resi. Kalau tidak salah, ia
termasuk tokoh sakti yang berusia sampai ratusan ta-
hun dan baru meninggal setelah dirinya mampu ber-
temu dengan sang kekasih, walau sudah dalam kea-
daan menjadi tulang belulang. Eyang Guru Dewi Langit
Perak pernah ceritakan hal itu kepada saya, ketika
kami sama-sama terdampar di dasar laut."
"Kisah cinta mereka memang kondang dan
menjadi legenda sepanjang masa. Tapi ketika kisah
cinta antara gurumu dengan Dewa Geledek hadir, le-
genda itu beralih ke kisah cinta Dewi Langit Perak
dengan Dewa Geledek. Barangkali akan beralih lagi
kepada kisah cinta Lili dan Yoga."
Senyum Pendekar Rajawali Putih mekar dalam
sikap tersipu malu. Resi Gumarang pun menyungging-
kan senyum tipis, seakan memaksakan diri untuk
menghapus dukanya. Tapi ia segera kembali menutur-
kan kisah Hantu Jagal dengan mengatakan,
"Tokoh beraliran putih itu cukup ditakuti oleh
para tokoh sesat, sehingga dijuluki mereka dengan
nama Hantu Jagal. Sebutan itu lebih dikenal di rimba
persilatan, sehingga julukannya sendiri tenggelam dan
kalah kondang. Semasa kejayaannya mencapai pun-
cak, tokoh sesat berjuluk Malaikat Gelang Emas itu
belum hadir di permukaan bumi. Andai Hantu Jagal
masih hidup di saat ini, maka Malaikat Gelang Emas
pasti sudah lenyap sejak hari-hari kemarin, dikalah-
kan oleh Hantu Jagal. Sayang sekali tokoh sesat itu
hadir di saat Hantu Jagal sudah tiada. Ketiga murid-
nya tidak ada yang sanggup mengalahkan Malaikat
Gelang Emas."
"Berapa murid Hantu Jagal sebenarnya,
Eyang?" Tiga orang; Gutama, Pamungkas, dan Wicaksa-
na. Ketiganya membuka perguruan sendiri-sendiri ali-
ran silat Hantu Jagal, namun Wicaksana tak bisa
sempurna turunkan seluruh ilmunya kepada murid-
muridnya, karena ia sudah lebih dulu dibunuh oleh
Malaikat Gelang Emas. Dan Hantu Jagal meninggalkan
sebuah pusaka yang tak diketahui oleh para muridnya
di mana letak penyimpanan pusaka tersebut. Dulu,
pusaka itu sering diburu oleh beberapa tokoh sakti,
termasuk murid Wicaksana yang bernama Nyai Kuku
Setan. Tetapi segera reda akibat tak menemukan jejak
peninggalan Pusaka Hantu Jagal. Beberapa kurun
waktu kemudian, timbul kembali peristiwa perburuan
Pusaka Hantu Jagal, namun seseorang telah menye-
barkan berita palsu bahwa
Pusaka Hantu Jagal telah berhasil ditemukan
oleh Malaikat Gelang Emas. Maka perburuan itu pun
berhenti dan lenyap dari peredaran bumi. Sekarang
agaknya perburuan itu menjadi hangat kembali, terle-
bih setelah terbunuhnya Gutama, adikku, dan Pa-
mungkas." "Apakah keduanya dibunuh oleh seseorang
yang haus Pusaka Hantu Jagal?" tanya Lili.
"Mereka justru saling bunuh sendiri untuk be-
rebut pusaka tersebut. Sekalipun aku tidak pernah di-
ajak bicara oleh mereka, sekalipun aku tidak melihat-
nya sendiri, tapi roh kawekasan ku meneropong jauh
ke sana dan menyaksikan pertarungan itu. Aku tak bi-
sa ikut campur karena itu urusan antara murid aliran
Hantu Jagal."
"Apakah pusaka itu berhasil ditemukan oleh
salah satu dari keduanya, Eyang?"
Resi Gumarang yang bermata lembut itu meng-
geleng pelan. "Pusaka itu memang telah berhasil ditemukan oleh seseorang,
melainkan bukan murid aliran
silat Hantu Jagal. Tetapi aku melihat sendiri dengan
mata sukmaku, Pamungkas memohon-mohon agar di-
bunuh dengan pisau pusaka itu oleh si pemiliknya
yang sekarang, dan pemilik pusaka itu dengan sangat
terpaksa menuruti keinginan Pamungkas. Ia membe-
namkan pisau itu ke jantung Pamungkas. Padahal pi-
sau pusaka itu mempunyai kekuatan dapat memin-
dahkan seluruh ilmu dan kepandaian apa pun milik
orang yang ditikamnya, menjadi milik orang yang me-
nikamkan pisau itu. Maka, mata sukmaku telah meli-
hat, seseorang yang semula tidak mempunyai ilmu, ki-
ni menjadi orang berilmu tinggi setara dengan keting-
gian ilmu Pamungkas. Bahkan mungkin ia akan men-
jadi lebih sakti lagi jika pisaunya berulang kali digunakan untuk membunuh para
tokoh sakti lainnya!"
Pendekar Rajawali Putih menunda niatnya un-
tuk membicarakan masalah rencana perkawinannya
dengan Yoga, karena ia lebih tertarik dengan cerita Pu-
saka Hantu Jagal itu. Setelah hatinya merasa kagum
sesaat dengan kehebatan pusaka tersebut, maka ia
pun ajukan tanya,
"Kalau boleh saya tahu, siapa tokoh yang me-
miliki Pusaka Hantu Jagal itu, Eyang" Apakah dia dari
golongan putih atau golongan hitam?"
"Setahuku dia dari golongan putih, sebab me-
mang tidak pernah punya golongan. Ia hanyalah seo-
rang pelayan dari dua majikan yang berilmu tinggi dan
beraliran putih."
Lili berkerut dahi memikirkan dan mencoba-
coba menebak siapa orang yang dimaksud. Tetapi ia
justru menjadi penasaran karena tak mempunyai ke-
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pastian dalam tebakannya, Sehingga ia mendesak den-
gan tanya, "Siapa nama orang itu, Eyang?"
"Pancasona!"
Terkesiap mata Pendekar Rajawali Putih yang
punya kecantikan melebihi bidadari itu. Ia menggu-
mamkan nama itu dengan sangat pelan, seakan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Pancasona..."!"
"Ya. Pancasona, alias si Tua Usil, pelayanmu!"
"Hahh..."!" kini mata indah itu membelalak kaget dengan bibir bak kuncup mawar
merekah indah. "Dia yang berhak memilikinya, karena dia yang
menemukannya! Setelah ketiga murid Hantu Jagal itu
tiada lagi, tak ada orang yang berhak mewarisi pusaka
itu karena memang Hantu Jagal tidak mewariskan ke-
pada siapa pun. Orang yang menemukan pusaka itu
adalah orang yang berhak memilikinya. Sebab dengan
meninggal nya ketiga murid Hantu Jagal, pusaka itu
menjadi pusaka tanpa tuan. Namun sekarang sudah
menjadi pusaka bertuan, yaitu Tua Usil itulah tuan
dari pusaka tersebut. Kuharap kau dapat mengarah-
kan Tua Usil agar tidak menyalahgunakan pusaka itu
dan membuatnya menjadi orang yang rakus ilmu. Ka-
takan kepadanya, agar jangan menggunakan pusaka
tersebut jika tidak dalam keadaan yang sangat berba-
haya, dan jadikan dia tokoh pembela kebenaran."
"Baik. Akan saya bimbing dia agar tidak menja-
di tokoh sesat dengan senjata pusakanya itu, Eyang!"
Resi Gumarang menganggukkan kepala dengan
penuh wibawa. Ia memandangi wajah Lili yang terme-
nung beberapa saat membayangkan Tua Usil dengan
pusakanya. Lalu, Resi Gumarang menyunggingkan se-
nyum tipis dan berkata,
"Kau datang dengan maksud ingin menanyakan
tentang perkawinanmu dengan Pendekar Rajawali Me-
rah, bukan?"
"Benar, Eyang! Saya ingin kejelasan jodoh saya
itu, karena setahu saya, banyak gadis yang jatuh cinta
kepada Yoga dan...." kata-kata itu terhenti sesaat. Lili menatap Resi Gumarang
dengan dahi sedikit berkerut,
menampakkan kecurigaannya terhadap keadaan seke-
liling. Resi Gumarang sendiri tampak sedikit curiga,
namun ia masih bisa bersikap tenang.
"Rupanya kau menangkap gelagat tak beres di
sekitar kita, Lili?"
"Benar, Eyang!"
"Kita memang sedang kedatangan tamu yang
tak ramah."
"Kalau begitu, biar saya yang hadapi, Eyang!"
"Tunggu...!"
Lili sudah telanjur melesat dan hinggap di salah
satu batu tebing, lalu dengan lincahnya ia melenting
ke atas, bersalto dua kali dan kini berada di permu-
kaan bibir tebing. Resi Gumarang merasa cemas, maka
ia pun segera menyusui Lili naik ke bibir tebing, dan
ternyata di sana mereka sudah berhadapan dengan li-
ma orang berwajah tak ramah.
Burung rajawali putih itu segera terbang ke
arah lain, seakan menghindar, namun sebenarnya
mencari peluang untuk membantu majikannya jika
terjadi sesuatu yang akan membahayakan sang maji-
kan. Burung itu berputar-putar siap lakukan serangan
sewaktu-waktu terhadap lima orang berwajah tak ra-
mah itu. Satu dari kelima orang itu adalah seorang wani-
ta berusia sekitar empat puluh tahun kurang, masih
kelihatan cantik namun sudah tampak matang dalam
hidupnya. Perempuan berjubah hijau itu menyandang
senjata pedang di pinggangnya, dengan kesepuluh ja-
rinya berkuku runcing bak mata pisau. Rambutnya
disanggul sebagian dengan diberi tusuk konde berben-
tuk seekor ular dari bahan logam putih mengkilat.
Mungkin dapat digunakan sebagai senjata sewaktu-
waktu. "Siapa mereka, Eyang?" bisik Lili kepada Resi Gumarang.
"Orang-orang Perguruan Latar Jagat. Perem-
puan itu ketuanya, murid dari Wicaksana yang berge-
lar Nyai Kuku Setan!"
Pendekar Rajawali Putih segera paham, karena
ia masih ingat cerita Resi Gumarang tentang Wicaksa-
na, murid Hantu Jagal yang tewas di tangan Malaikat
Gelang Emas itu. Tetapi apa maksud Nyai Kuku Setan
datang ke pengasingan Resi Gumarang dengan mem-
bawa empat anak buahnya yang berwajah tak ramah
itu" Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru ke-
pada Resi Gumarang,
"Tentunya kau sudah mengetahui maksud ke-
datanganku, Resi Gumarang! Kita tak perlu berbasa-
basi lagi, bukan?"
"Ya. Ucapan batinmu sudah kudengar, maksud
hatimu sudah ku baca. Kau menghendaki Pusaka
Hantu Jagal, bukan?"
"Benar!"
"Tapi mengapa kau datang kemari?"
"Karena Gutama adalah adikmu, dan pasti kau
tahu di mana Gutama berada sekarang ini! Aku akan
memaksanya untuk bicara tentang Pusaka Hantu Jag-
al itu. Karena menurut beberapa tokoh sakti, pusaka
itu belum dimiliki oleh Malaikat Gelang Emas atau to-
koh lainnya. Gutama pasti tahu di mana letak pusaka
itu, atau justru dialah yang menyembunyikannya!"
"Atas dasar apa kau ingin menuntut pusaka
itu, Nyai Kuku Setan?" tanya Resi Gumarang dengan kalem. "Kami dari aliran silat
Hantu Jagal merasa
punya hak memiliki pusaka tersebut!"
"Ada tiga perguruan dari aliran Hantu Jagal.
Apakah itu berarti ketiga perguruan mempunyai hak
atas Pusaka Hantu Jagal itu"!"
"Persetan dengan dua perguruan milik Gutama
dan Pamungkas! Yang penting, kami orang-orang Per-
guruan Latar Jagat punya hak lebih tinggi untuk me-
miliki pusaka tersebut, karena Eyang Guru Wicaksana
adalah murid sulung dari Eyang Hantu Jagal!" kata
Nyai Kuku Setan dengan suara lantang yang memua-
kkan bagi Lili. Mata Lili sejak tadi menatap Nyai Kuku
Setan dengan tajam dan berkesan dingin. Ia tak ingin
bertindak lebih dulu sebelum mendapat izin dari Resi
Gumarang. Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru lagi,
"Sebaiknya, beritahukan kepadaku di mana Gutama
berada! Jangan kau ikut menyembunyikan adikmu itu,
Resi Gumarang!" "
"Aku tidak menyembunyikan dia. Mungkin ka-
lau kau ingin temui dia, kau harus pergi ke alam ku-
bur, karena Gutama sudah tewas bersama Pamung-
kas!" "Hm...!" perempuan yang jauh lebih muda dari Resi Gumarang itu tersenyum
sinis, tak ada sopan
santunnya sedikit pun. Ia bahkan berkata dengan le-
bih kasar lagi,
"Jangan harap kami mudah percaya dengan
omonganmu, Gumarang! Aku tahu kau selalu berada
di pihak perguruan adikmu! Dan jangan bikin kami hi-
lang kesabaran, sehingga lakukan pemaksaan secara
kasar padamu! Perguruan Kuil Dewa sudah kami ob-
rak-abrik, tapi Gutama tak kami temukan di sana. Sa-
tu-satunya orang yang tahu di mana dia adalah kau,
Gumarang!"
Pendekar Rajawali Putih tak sabar dan menco-
ba berbisik pelan kepada Resi Gumarang, "Biar saya yang hadapi mereka, Eyang!"
"Jika kau mau, lakukanlah!" bisik Resi Guma-
rang. Tapi ia segera berkata kepada Nyai Kuku Setan,
"Aku berkata yang sebenarnya, Nyai Kuku Se-
tan. Gutama sudah tewas. Di mana kuburnya, aku be-
lum sempat mengetahuinya!"
"Kalau begitu, pasti dia sudah titipkan pusaka
itu padamu!"
"Tidak. Aku tidak mendapat titipan apa-apa da-
ri adikku!"
"Barangkali dengan sedikit paksaan kau baru
akan mengaku, Gumarang! Baiklah...!" Nyai Kuku Se-
tan segera serukan perintah kepada keempat anak
buahnya yang tentu saja orang-orang pilihan.
"Serang dia! Bikin dia mengaku!"
"Heaaat...!" keempat anak buah Nyai kuku Se-
tan serempak dalam gerak mengurung Resi Gumarang
dan Lili. Namun Pendekar Rajawali Putih itu segera
tampil di depan Resi Gumarang dan berkata lantang,
"Kau berhadapan denganku, Nyai Kuku Setan!"
"Bocah ingusan! Mau cari mampus rupanya
kau ini, hah"! Serang!"
"Heaah...!" Keempat anak buah Nyai Kuku Se-
tan serempak lepaskan pukulan bersinar warna-warni
ke arah Pendekar Rajawali Putih. Zlaaap!
Namun dengan gerak sedikit merendah dan
memutar cepat, Pendekar Rajawali Putih kibaskan tan-
gannya bagai menabur sesuatu ke arah keempat pen-
gepungnya itu. Ternyata sinar putih keperakan telah
melingkari tubuhnya dan membuat sinar-sinar yang
menyerangnya itu berbalik arah dan menerjang para
pemiliknya. Blaaar...! Keempat penyerang itu terpental ke empat pen-
juru. Satu di antaranya nyaris terjungkal masuk ju-
rang. Untung Nyai Kuku Setan cepat berkelebat bagai-
kan angin dan berhasil menangkap orang yang nyaris
masuk ke jurang itu. Wuuut...!
Tiga penyerangnya bangkit kembali dan laku-
kan serangan dengan jurus serupa. Tetapi, burung ra-
jawali besar itu segera menukik dan menyambar dua
dari ketiga penyerang itu. Wuuuss...! Craaak...! Cakar
tajam sang rajawali berhasil menyambar tubuh mereka
dan dibawanya terbang tinggi. Dua orang itu berteriak-
teriak ketakutan. Satu orang lagi berusaha mele-
paskan serangan dengan sinar biru keluar dari ujung
jari telunjuknya. Namun bertepatan dengan keluarnya
sinar, tubuh itu telah dihantam lebih dulu oleh puku-
lan tenaga dalam Lili yang menggunakan tangan kiri,
Dees...! "Uuuhg...!"
Orang tersebut segera tumbang dalam satu
sentakan yang membuat tubuhnya melayang memben-
tur batu besar. Praak...! Kepala orang itu nyaris pecah, kini berlumur darah dan
tak mampu lagi bangkit untuk lakukan penyerangan. Ia hanya mengerang-
ngerang dengan tubuh menggeliat menahan sakit.
"Hentikan!" teriak Nyai Kuku Setan. "Atau ku ledakkan tubuh resi peot ini!"
Mendengar ancaman tersebut, Pendekar Raja-
wali Putih berpaling ke belakang, dan ia terkejut meli-
hat Resi Gumarang telah dikurung sinar merah mem-
bara berpijar-pijar. Sinar itu bagaikan membungkus
tubuh Resi Gumarang dalam jarak dua jengkal dan tu-
buhnya. Rupanya Nyai Kuku Setan telah berhasil me-
lepaskan jurus 'Penjara Kubur'-nya di luar pengeta-
huan Lili, dan membuat Resi Gumarang tak berani ba-
nyak bergerak dari tempatnya sendiri.
"Sedikit saja kau sentuh sinar itu, tubuhmu
akan hancur, Gumarang!" kata Nyai Kuku Setan. Ke-
pada Lili ia berkata, "Cobalah hancurkan sinar 'Penjara Kubur'-ku itu kalau kau
ingin melihat tubuh resi peot
itu hancur berkeping-keping!"
Lili menggeram menahan jengkel. Firasatnya
mengatakan, sinar merah itu tak boleh tersentuh oleh
benda apa pun, dan jika dilawan dengan sinar lain
akan timbulkan ledakan yang dapat hancurkan tubuh
Resi Gumarang. Pendekar Rajawali Putih tak mau kor-
bankan sang resi. Ia hanya menggeram penuh kejeng-
kelan, "Licik!"
Di kejauhan terdengar suara bergema panjang,
"Aaaa...!"
Dua anak buah Nyai Kuku Setan yang disam-
bar oleh si Putih saat itu sedang dilepaskan dari ke-
tinggian yang melebihi pucuk pohon cemara. Mereka
melayang-layang dan jatuh ke dalam jurang. Sudah
pasti tak ada harapan untuk hidup lagi bagi mereka.
"Burung bangsat...!" teriak Nyai Kuku Setan, la-lu ia sentakkan tangan kirinya,
dan melesatlah lima la-
rik sinar dari ujung kukunya. Zraaap...!
Melihat rajawalinya hendak dibunuh dengan
lima larik sinar hijau itu, Lili segera lepaskan pukulan bersinar putih yang
semakin jauh semakin melebar
cahayanya. Wuuuut...! Sinar putih itu menerjang lima
larik sinar hijau dan menimbulkan suara ledakan yang
cukup dahsyat dan membahana.
Glegaaar...! Nyai Kuku Setan cepat berpaling ke arah Pen-
dekar Rajawali Putih dengan wajah bengisnya semakin
tajam. Sementara itu, si Putih segera bergerak men-
jauh dengan suaranya yang kian mengecil, bagaikan
menertawakan serangan Nyai Kuku Setan.
"Kalau kau merasa berilmu tinggi, hadapilah
aku! Jangan dengan cara licikmu itu!" kata Lili sambil siap-slap lakukan
serangan. Nyai Kuku Setan justru serukan tawa, lalu ber-
kata, "Sia-sia aku melayani bocah ingusan sepertimu!
Sinar 'Penjara Kubur' itu tidak akan kulepaskan jika
Gumarang tidak mau serahkan Pusaka Hantu Jagal
itu!" Terdengar suara Resi Gumarang berkata, "Aku tidak tahu soal pusaka itu!
Jangan libatkan aku dalam
urusan perguruan kalian!"
"Omong kosong! Kau orang sakti, kau orang
yang bisa meneropong isi hati seseorang, bisa menge-
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahui apa yang bakal terjadi, bisa melihat apa yang
tersembunyi dari mata manusia, kau pasti tahu di ma-
na pusaka itu disimpan oleh adikmu, Gumarang!"
Lili menggeram sambil hendak lepaskan puku-
lan mautnya, tapi Nyai Kuku Setan berseru seketika,
"Kau akan menyesal kalau kau berhasil mem-
bunuhku, karena 'Penjara Kubur' itu tak ada yang bisa
melepaskan selain diriku! Sebaiknya sekarang bujuk
resi peot itu agar mau tunjukkan di mana Pusaka Han-
tu Jagal itu berada, agar aku bisa memilikinya!"
"Persetan dengan perintahmu, Perempuan ib-
lis!" geram Lili dengan tajam dan ketus. Tapi ia tak berani menyerang Nyai Kuku
Setan, karena jika perem-
puan itu mati di tangannya, lalu siapa yang akan le-
paskan jurus 'Penjara Kubur' yang menawan dan men-
gancam keselamatan Resi Gumarang, si calon penghu-
lunya kelak itu.
* * * 9 TANPA setahu Nyai Kuku Setan atau siapa pun,
Resi Gumarang mengirimkan suara batinnya kepada
Lili yang mengatakan, "ilmu 'Penjara Kubur' ini memang berbahaya. Tak ada yang
bisa melepaskannya
kecuali dia. Sebaiknya, bawa kemari Tua Usil dan la-
kukan siasat agar dia mau lepaskan sinar merah yang
mengurungku ini! Tapi ingat, Pusaka Hantu Jagal jan-
gan sampai jatuh ke tangan perempuan itu!"
Pendekar Rajawali Putih segera tanggap dengan
suara aneh yang didengarnya itu. Ia melirik Resi Gu-
marang, dan sang resi anggukkan kepala secara sa-
mar-samar. Maka, Lili pun berkata kepada Nyai Kuku
Setan dengan kemarahan terpendam kuat-kuat,
"Akan kucari pusaka itu secepatnya. Tapi jika
kau berbuat curang, apa sangsinya"!"
"Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan, dengar ka-
ta ku...! Aku hanya menghendaki pusaka itu saja. Aku
tidak akan mengganggu kalian jika memang pusaka
itu sudah ada di tanganku. Keperluan ku memiliki pu-
saka itu hanya untuk membalas dendam kepada Ma-
laikat Gelang Emas yang telah menewaskan guruku
itu! Demi dendam ku kepada Malaikat Gelang Emas,
maka dengan terpaksa kulakukan cara seperti ini su-
paya aku dapatkan Pusaka Hantu Jagal itu. Nah, ka-
lau kau sudah paham, lekas cari pusaka itu dan akan
ku tukar dengan kebebasan resi peot itu!"
"Sekali lagi kau berani berbuat curang, kule-
nyapkan seluruh ilmumu dengan jurus 'Sirna Jati'-ku!"
Rupanya Nyai Kuku Setan tahu tentang ilmu
'Sirna Jati'. Ia membatin dalam kebisuan mulutnya,
"Benarkah dia memiliki ilmu 'Sirna Jati'" Bu-
kankah ilmu 'Sirna Jati' hanya ada dalam Kitab Jagat
Sakti, milik leluhur orang-orang Pulau Kana yang ke-
turunan raksasa itu" Oh, celaka kalau dia memang
punya jurus 'Sirna Jati'. Bisa habis ilmuku dile-
nyapkan oleh jurus itu jika aku mengecewakan dia!
Sebaiknya aku harus bertindak hati-hati kepada gadis
ingusan ini!"
Pendekar Rajawali Putih segera mengepalkan
kedua tangannya. Kepalan itu saling dipertemukan di
dada, lalu dari tengah kepalan itu melesat selarik sinar putih keperakan
berbentuk gelombang-gelombang
lingkaran yang melesat ke angkasa. Sinar putih kepe-
rakan itu menimbulkan suara denging yang makin
tinggi semakin menggema. Itulah isyarat untuk me-
manggil burung rajawali putih yang tadi menghilang
setelah membuang mangsanya ke dalam jurang.
Suara denging itu hilang seketika setelah dua
tangan yang mengepal di depan dada itu terpisahkan.
Seekor burung rajawali putih berkelebat muncul dari
balik kerimbunan pohon di kejauhan sana, terbang
dengan cepatnya menuju ke arah majikannya.
Kepakan sayap rajawali itu menjadi lamban se-
telah Lili berseru kepada burung yang hendak menda-
rat, "Hati-hati sayap mu, Resi Gumarang dalam
penjara sinar merah!"
"Keaaak...!" burung itu menjawab, seakan men-
gerti maksud majikannya.
Dengan menunggang rajawali putih tersebut,
Lili pun segera pergi tinggalkan tempat itu mencari ke
mana perginya Tua Usil. Kepada si Putih pun, Lili se-
rukan kata, "Kita mencari Tua Usil, karena dialah yang
memegang Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Keak, keaaak...!" rajawali betina itu manggut-manggut, terbangnya tidak terlalu
tinggi agar mata ma-
jikannya mampu memandang setiap orang yang dilin-
tasinya. Dan orang-orang yang melihat burung besar
terbang rendah itu saling ketakutan, ada yang bersem-
bunyi di sembarang tempat hingga kepalanya terben-
tur benda keras, ada yang hanya mendongak bengong
saking kagumnya.
Pencarian Lili sampai kepada kerumunan orang
di tanah pemakaman. Rupanya sekelompok murid Per-
guruan Kuil Dewa yang habis diacak-acak oleh Nyai
Kuku Setan itu masih sempat memakamkan jenazah
gurunya. Dari antara mereka, Lili menangkap seraut
wajah tampan yang tak lain adalah milik Pendekar Ra-
jawali Merah. "Lihat, Yoga ada bersama gadis cantik itu! Dia
bahkan memeluk gadis yang sedang menangis itu, Pu-
tih! Panggil dia!" ucap Lili dengan hati panas karena cemburu.
"Keaaak...! Keaaaak...!"'
Semua orang yang baru saja selesai memakam-
kan Resi Gutama memandang ke atas, termasuk Yoga.
Merasa terkejut, sempat bubar dari kerumunan. Ting-
gal Yoga yang tetap berdiri memandang burung rajawa-
li besar itu dengan senyum indah di bibirnya. Yang di-
tatap adalah seraut wajah cantik si penunggang bu-
rung tersebut. Manis Madu ingin pisahkan diri dari Yoga kare-
na ada rasa tak enak melihat kedatangan burung putih
dan gadis cantik penunggangnya. Tapi Yoga sempat
menahan tangan Manis Madu sambil berkata,
"Jangan takut. Akan ku kenalkan kau kepada
kekasihku itu!"
Ada luka perih saat hati Manis Madu menden-
gar ucapan Yoga. Tapi luka perih itu ditahannya dan ia
berusaha untuk menjadi lebih dewasa dari sikap yang
ada saat itu. Ia pun tak jadi pergi tinggalkan Yoga. Burung putih itu mendarat
agak jauh dari tanah pema-
kaman. Kemudian Yoga menghampirinya bersama Ma-
nis Madu. Lili turun dari punggung burung tersebut
dengan wajah cemberut.
"Kebetulan kau datang. Guru! Ada berita pent-
ing yang harus kusampaikan kepadamu!"
"Kebetulan aku memergoki mu, bukan kebetu-
lan aku datang!" ucap Lili dengan nada cemburu yang hanya bisa dicerna oleh
Yoga. Pemuda tampan itu
hanya tersenyum, nyengir, namun menawan hati.
"O, ya... ini teman baruku; Manis Madu na-
manya. Dia murid Resi Gutama yang...."
Lili menyahut dengan ketus, "Yang tewas kare-
na bertarung dengan Ki Pamungkas!"
"Dari mana kau tahu?"
"Resi Gumarang yang menceritakannya!"
Manis Madu menyela, "Resi Gumarang kakak
dari guruku, Yoga!"
"Ooo...!" Yoga manggut-manggut dengan te-
nang. "Sekarang Resi Gumarang dalam bahaya. Ter-
kurung oleh jurus 'Penjara Kubur' dari Nyai Kuku Se-
tan!" "Nyai Kuku Setan"!" Manis Madu terkejut dan menjadi beringas wajahnya.
"Dia yang telah mempo-rakporandakan perguruanku!"
"Karena dia mencari gurumu!" kata Lili. "Kini dia menyandera Resi Gumarang,
calon penghulu kita!"
katanya kepada Yoga dengan menegaskan kata 'calon
penghulu kita' untuk memukul hati Manis Madu. Dan
memang, murid Resi Gutama itu menjadi terpukul du-
ka, namun tetap bertahan untuk tidak menampakkan
kekecewaan hatinya mendengar ucapan tersebut.
"Mengapa Resi Gumarang yang menjadi sasa-
ran Nyai Kuku Setan?" tanya Yoga kepada Lili.
"Nyai Kuku Setan memanfaatkan kesaktian Re-
si Gumarang. Ia tahu persis, bahwa Resi Gumarang
pasti tahu di mana Pusaka Hantu Jagal berada. Dia
menghendaki pusaka itu untuk ditukar dengan kebe-
basan dan keselamatan Resi Gumarang!"
"Pusaka Hantu Jagal..."! Aku tahu. Aku tahu di
mana pusaka itu sekarang berada!" kata Yoga.
Tapi Lili menjawabnya sendiri, "Di tangan pe-
layan kita; Tua Usil!"
"Oh, kau tahu juga hal itu rupanya?"
"Resi Gumarang sempat bicara padaku sebelum
Nyai Kuku Setan menyergapnya! Sekarang, cari si Tua
Usil dan bawa dia ke sana bersama Pusaka Hantu
Jagal!" "Apakah kita benar-benar akan menukar pusaka itu dengan nyawa Resi
Gumarang"!" tanya Pendekar Rajawali Merah sedikit cemas.
"Akan kuserang dia begitu Resi Gumarang di-
bebaskan dari ilmu 'Penjara Kubur'-nya!"
"Tapi jika dia membawa Pusaka Hantu Jagal
apakah...."
Lili memotong ucapan Yoga, "Kugunakan ilmu
'Sirna Jati', biar lenyap pula kekuatan dalam pusaka
itu dan tidak lagi menjadi bahan rebutan!"
"Baiklah. Aku setuju dengan rencanamu.
Guru." "Sekarang kita cari si Tua Usil itu berada.
Mungkin sedang dalam perjalanan menuju ke pondok
kita!" "Tidak. Tua Usil ada di Perguruan Gerbang Bumi," kata Yoga. "Dia ingin
dinobatkan sebagai ketua dan guru disana!"
Lili tertawa kecil, geli mendengar berita itu. "Ki-ta culik ketua dan guru
mereka!" katanya dalam berse-loroh. "Aku setuju!" kata Yoga sambil mengangguk.
"Aku ikut membebaskan Resi Gumarang!" kata Manis Madu. "Tetaplah tinggal bersama
saudara-saudara se-perguruanmu. Benahi perguruanmu yang sudah dio-
brak-abrik oleh Nyai Kuku Setan itu. Biar urusan ini
kuselesaikan dengan guru cantik ku ini, Manis Madu."
Sebenarnya hati Manis Madu kecewa, tapi se-
kali lagi ia harus menelan kekecewaan tersebut, Keha-
diran Lili membuat Manis Madu menjadi rendah diri
dan tak berani banyak berharap kepada Yoga. Sebab
dalam hati ia mengakui, Lili memang lebih cantik dari
dirinya. Yoga segera memanggil burung rajawali merah-
nya. Tangan kanannya menggenggam dua jari, semen-
tara jari kelingking, jari telunjuk, dan jempolnya berdi-ri tegak. Tangan itu
dirapatkan ke dada sekejap, ke-
mudian disentakkan naik dengan lurusnya. Maka me-
lesatlah tiga sinar merah dari ujung jari-jari tersebut.
Tiga larik sinar merah itu bertemu di angkasa dan ber-
dentum menimbulkan gema menggaung-gaung. Kejap
berikutnya, terdengar suara teriakan burung rajawali
merah di kejauhan, makin lama semakin dekat, teru-
tama setelah burung rajawali putih pun memberi suara
teriakan menyahut dari bawah.
Dengan mengendarai masing-masing burung
raksasanya itu, Lili dan Yoga sama-sama pergi tinggal-
kan tanah sekitar kuburan Resi Gutama. Mereka me-
nuju ke Perguruan Gerbang Bumi dan menemui Tua
Usil di sana. Kehadiran dua pendekar rajawali bersama se-
pasang burungnya itu menjadi pusat kerumunan mu-
rid-murid Perguruan Gerbang Bumi. Tua Usil semakin
dikagumi oleh mereka, karena mereka tahu, dua pen-
dekar yang mengendarai sepasang burung rajawali itu
adalah dua pendekar sakti yang namanya banyak
menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persila-
tan. Maka ketika Tua Usil menyatakan ingin pergi
membebaskan Resi Gumarang, Walet Gading beserta
murid-murid lainnya tidak merasa keberatan, justru
merasa bangga terhadap orang yang dianggapnya se-
bagai titisan Ki Pamungkas itu.
"Tapi saya tidak setuju kalau Nona Lili mau
sirnakan kesaktian pisau Pusaka Hantu Jagal ini," ka-ta Tua Usil sebelum naik ke
punggung burung rajawali
merah bersama Yoga.
"Kita tak punya cara lain, daripada pisau itu
menjadi milik perempuan iblis itu!" kata Lili.
Setelah diam sebentar, Tua Usil berkata, "Kalau
begitu, biar saya yang hadapi Nyai Kuku Setan, Nona
Li!" "Apakah kau sanggup mengalahkan dia?"
"Mudah-mudahan sanggup," jawab Tua Usil
sambil cengar-cengir tak pantas sedikit pun untuk
menjadi orang terhormat di sebuah perguruan.
Setelah ingat cerita Resi Gumarang tentang il-
mu Ki Pamungkas yang telah berpindah menjadi milik
Tua Usil, Lili pun hanya angkat bahu sebagai tanda
menyerahkan masalah itu kepada si Manusia Kabut
itu. Maka, mereka pun segera terbang bersama sepa-
sang rajawali besar menuju puncak gunung, tempat
pengasingan Resi Gumarang.
Sekalipun sudah mewarisi seluruh ilmunya Ki
Pamungkas, namun Tua Usil masih saja berdebar-
debar dan takut mengendarai burung besar yang
membawanya terbang. Kedua tangannya menggeng-
gam kuat-kuat kain baju Yoga di bagian pundak den-
gan tubuh gemetar. Yoga tertawa pelan berulang kali
ketika Tua Usil dengan bergetar serukan kata,
"Pelan-pelan saja, Tuan Yo...! Jangan tinggi-
tinggi...!"
Lili sendiri sempat terkikik geli melihat wajah
Tua Usil pucat karena takut melakukan perjalanan
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkasa nya. Dalam hati, Lili membatin, "Jika terbang serendah ini saja dia
ketakutan, apakah mungkin dia
punya keberanian menghadapi Nyai Kuku Setan nan-
ti?" Dugaan Lili, Tua Usil akan gentar jika melihat
kesepuluh kuku tajam lawannya nanti. Tapi setelah
mereka tiba di tempat, ternyata Tua Usil tidak terlalu
gentar. Hanya masih sedikit gemetar karena perjalanan
angkasanya tadi.
Nyai Kuku Setan tertawa kegirangan melihat
kehadiran Lili bersama Tua Usil dan Pendekar Rajawali
Merah. Dengan lantang ia bertanya, "Siapa di antara kedua lelaki ini yang
membawa Pusaka Hantu Jagal?"
"Aku!" Tua Usil berani menjawab dengan tegas.
Lalu, ia keluarkan pisau pusaka itu dari balik bajunya,
ia cabut dari sarung emasnya dan ia perlihatkan sinar
merah yang mengelilingi pisau tersebut.
"Kau lihat sendiri, aku telah membawa pusaka
yang kau cari, Nyai!" kata Tua Usil dengan berani. Yoga dan Lili menduga,
keberanian itu pasti keberanian
yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hidupnya.
"Benar-benar tak disangka kaulah orangnya
yang menyimpan pusaka milik eyang guruku itu! Coba
kuperiksa benda itu!"
Tua Usil segera menarik mundur pisau yang
sudah tak bersarung itu. Ia berkata, "Aku tak mau terkecoh oleh tipu daya mu
itu, Nyai. Bebaskan dulu Resi
Gumarang, baru akan kuserahkan pisau pusaka ini
kepadamu!"
Nyai Kuku Setan menggeram jengkel. Nafasnya
ditarik sebagai penahan luapan amarahnya, matanya
memandang sedikit menyipit menandakan rasa curiga,
yang membuat hatinya bimbang. Lalu, ia perdengarkan
suara, "Apakah kau bisa kupercaya, Pak Tua"!"
"Kalau kau tak percaya padaku, aku pun akan
pergi. Tentang nasib Resi Gumarang itu bukan uru-
sanku!" "Tunggu dulu!" Nyai Kuku Setan tampak khawatir. Hatinya berkata, "Orang
ini agaknya memang
tak punya hubungan apa-apa dengan Gumarang. Ka-
lau dia pergi, semakin susah aku mengejar dan mela-
wannya, karena ia memegang pusaka itu. Sebaiknya
kubebaskan saja tawananku!"
Lalu, ia berkata kepada Tua Usil, "Kalau kau
menipuku, kuhancurkan mereka semua yang ada di
sini, termasuk kedua burung setan itu! Mengerti"!"
Matanya melotot biar kelihatan lebih ganas dan lebih
bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
"Baik. Aku setuju dengan perjanjian itu, asal
setelah kau memiliki pusaka ini, jangan ganggu kami
lagi!" "Aku pun setuju dengan perjanjian ini!" kata Nyai Kuku Setan.
Ia segera menghadap Resi Gumarang yang se-
jak tadi tak berani bergerak sedikit pun itu. Kedua
tangannya terjulur ke depan. Tangan itu segera geme-
tar, dan sinar merah yang membungkus Resi Guma-
rang itu segera disedotnya hingga terhisap masuk ke
dalam kedua telapak tangan berkuku runcing itu. Satu
anak buahnya segera mencabut pedang dan menem-
pelkan pedang itu ke leher Resi Gumarang sebagai si-
kap berjaga-jaga jika terjadi kelicikan yang dilakukan
oleh Tua Usil. Mata Tua Usil melirik Lili, kemudian melirik
anak buah Nyai Kuku Setan yang tinggal tersisa satu
orang dan sedang mengancam Resi Gumarang itu. Lili
sepertinya bisa tanggap dengan lirikan mata Tua Usil.
Tapi ia tetap diam saja tanpa menunjukkan sikap yang
mencurigakan. "Sudah kubebaskan resi peot itu! Sekarang se-
rahkan Pusaka Hantu Jagal itu. Lekas!" bentak Nyai Kuku Setan.
"Ambillah...!" sambil berkata begitu, tiba-tiba tangan kiri Tua Usil yang
memegangi sarung pisau tersebut segera menyentak ke depan. Dari dalam sarung
pisau keluar cahaya biru yang melesat dengan cepat-
nya bagai cahaya petir. Claaap...! Taaas...!
Cahaya biru itu menghantam perut Nyai Kuku
Setan, membuat perempuan itu mendelik dan tak bisa
bernapas dalam sesaat, tubuhnya sedikit membung-
kuk. Sementara itu, Lili cepat sentilkan jarinya ke arah pedang yang mengancam
leher Resi Gumarang. Tas...!
Traaang...! Pedang itu patah menjadi dua bagian. Ser-
ta-merta Yoga lepaskan pukulan dari tangan kanannya
berupa seberkas sinar merah terang yang menghantam
pinggang orang bersenjata pedang patah itu. Desss...!
Orang tersebut terdorong mundur, dan terlempar ma-
suk ke dalam jurang.
"Aaaa...!" jerit kematian menggema sampai ke
dasar jurang. Jerit kematian itu ternyata bersamaan
dengan suara pekik tertahan dari mulut Nyai Kuku Se-
tan. Suara pekik itu membuat Yoga dan Lili sama-
sama palingkan wajah memandang ke arah Tua Usil.
Mereka terperanjat melihat Tua Usil telah berhasil
menghunjamkan pisau pusaka itu ke lambung Nyai Kuku Setan.
Tubuh perempuan itu bercahaya merah bening, dan
lama-lama cahaya itu berpindah membungkus tubuh
Tua Usil, kejap berikutnya padam. Pisau pun dicabut,
Tua Usil menghembuskan napas lega.
Resi Gumarang yang sejak tadi tetap tenang itu
segera berkata dengan senyum tipis,
"Seluruh ilmu Nyai Kuku Setan telah berpindah
ke. dalam raga Tua Usil. Semakin hebat saja ilmu
orang usil itu...!"
Tua Usil bagaikan baru sadar atas apa yang ia
lakukan itu. Maka dengan wajah takut dan salah ting-
kah, Tua Usil berkata,
"Saa... saya... saya tak sengaja, Nona Lili!
Sungguh... saya tak sengaja membunuh perempuan
ini.... Maafkan saya, Non Lili. Maafkan saya, Tuan
Yo...!" ia bergegas mendekati Resi Gumarang dan berkata, "Maafkan saya,
Resi...!" Yoga dan Lili hanya memandangi Tua Usil tan-
pa bisa bicara. Resi Gumarang menepuk-nepuk pun-
dak Tua Usil. "Jaga dirimu untuk tetap berbuat baik dan me-
lawan yang jahat!"
"Ba... baik. Baik, Resi...!"
Ia berpaling memandang Yoga dan Lili, namun
kedua pendekar rajawali itu masih sama-sama terte-
gun bengong, membuat Tua Usil menjadi semakin sa-
lah tingkah. Tapi ia segera ikuti pandangan mata Lili
dan Yoga ke arah tangannya. Dan Tua Usil terkejut se-
telah melihat, ternyata di kesepuluh jari tangannya te-
lah keluar kuku runcing bagaikan mata pedang, siap
menjadi cakar maut bagi lawannya. Apakah itu per-
tanda ilmu hitam yang dimiliki Nyai Kuku Setan juga
mengalir dalam diri Tua Usil"
SELESAI Segera menyusul!!
JEJAK TAPAK BIRU
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 19 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Seruling Sakti 10
gaan!" "Maksudmu, di luar dugaan kalau aku bisa memergoki ilmunya itu?"
Yoga semakin tak enak hati. Ia hanya berkata,
"Maafkan kata-kataku tadi! Sejujurnya kukatakan padamu, cukup lama aku bergaul
dengan Tua Usil, tapi
tak pernah kulihat dia keluarkan jurus sedahsyat itu!"
Kemudian Yoga sedikit bercerita tentang kehidupan
sehari-hari yang di alami dengan si Tua Usil itu.
"Pantas saja kalau guruku tewas di tangannya!"
gumam Manis Madu bernada geram.
"Mungkinkah memang dia pembunuh guru-
mu?" "Siapa lagi kalau bukan dia" Lihat saja kesaktiannya begitu menakjubkan,
sejajar dengan tingkat
ketinggian ilmu guruku!"
Yoga terpojok dan tak punya alasan untuk
membela Tua Usil. Tapi firasat yang ada pada diri Yoga
mengatakan, bahwa bukan Tua Usil yang lakukan
pembunuhan terhadap diri Resi Gutama. Entah men-
gapa firasat Yoga sangat kuat mengatakan begitu, se-
hingga ia masih mencari cara untuk menghindari per-
tarungan antara Manis Madu dan Tua Usil. Yoga sen-
diri dapat menakar, bahwa Tua Usil dapat menghan-
curkan tubuh Manis Madu dalam satu gebrakan saja
jika memang Tua Usil-lah yang membunuh Resi Gu-
tama. Sedangkan Yoga merasa sayang jika Manis Ma-
du harus mati karena salah sasaran dendamnya.
"Begini saja, aku akan desak dia untuk menga-
ku. Jika benar dia yang membunuh gurumu, kuserah-
kan dia padamu. Terserah apa yang terjadi nanti. Yang
jelas kau akan mati jika benar Tua Usil berilmu tinggi
dan bisa membunuh gurumu. Jika memang Tua Usil
tidak mengaku, maka kita akan cari bersama-sama
siapa pelaku sebenarnya."
"Apakah itu tidak terlalu bertele-tele" Sekarang
juga aku bisa menyerang dan membunuhnya!"
"Tahan nafsumu, Manis Madu. Aku tak ingin
kau atau dia mati secara sia-sia, hanya karena fitnah
si Raja Tipu!" ucap Yoga dalam nada bisiknya.
"Aku lebih baik mati, daripada membiarkan
pembunuh guruku tetap hidup dan berkeliaran di
alam bebas!" tegas Manis Madu dengan nada bisik pu-la.
"Ssst...! Kita selidiki dulu apa yang dilakukan
Tua Usil itu! Apa yang dibicarakan dengan gadis ber-
gaun kuning itu, kita simak baik-baik. Siapa tahu bisa
menjadi petunjuk untuk menyimpulkan siapa pembu-
nuh gurumu itu!"
Manis Madu cemberut kesal dan mende-
nguskan nafasnya, namun ia turuti keinginan pende-
kar tampan tersebut. Ketampanan Yoga itulah yang se-
jak tadi membuat hati Manis Madu selalu menunda
kemarahannya, membuat sejuk gejolak darah yang
mendidih. Setelah Tua Usil merasa terheran-heran dengan
apa yang dilakukannya, sampai ia pandangi, kedua
tangannya dan ia pandangi mayat Rencong Geni seca-
ra berganti-gantian, maka ia pun segera mendekati
Walet Gading yang wajahnya kian memucat dan ber-
sandar di bawah pohon.
Rupanya sebelum tiba di tempat tersebut, Walet
Gading telah lakukan pertarungan dengan Rencong
Geni yang membuat tubuhnya terluka di beberapa
tempat, termasuk luka pukulan tenaga dalam di pung-
gungnya itu. Lengannya bengkak membiru karena ra-
cun di ujung rencong kembar tersebut. Dan Tua Usil
memperhatikan keadaan Walet Gading dengan rasa iba
hati. Walet Gading sendiri hanya bisa menatap ben-
gong kepada orang yang pernah diburu karena dituduh
membunuh gurunya itu.
Tua Usil bersimpuh dl depan Walet Gading
yang sudah berkeringat dingin dengan bibir membiru.
Sebentar lagi pasti gadis itu akan mati jika tidak segera ditolong. Karena itu,
Tua Usil berkata, "Angkat kedua tanganmu ke depan, rapatkan dengan tanganku...!"
Walet Gading sepertinya tahu persis apa yang
di maksud Tua Usil itu. Maka, ia pun mengangkat ke-
dua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Kedua
telapak tangan itu segera merapat dengan kedua tela-
pak tangan Tua Usil. Kemudian, wajah Tua Usil ter-
tunduk sebentar, dan telapak tangan mereka berdua
sama-sama menyala kuning bening.
Beberapa saat setelah mereka sama-sama pe-
jamkan mata, Walet Gading rasakan tubuhnya mulai
segar kembali. Luka-luka yang tampak koyak ataupun
berlubang, mulai terasa cepat mengering walau tidak
benar hilang lenyap seperti pengobatan yang dilakukan
oleh Yoga. Namun, Walet Gading semakin memendam
keheranan, sehingga ia pun akhirnya berkata,
"Aku tahu jurus pengobatan ini yang dinama-
kan jurus 'Tapak Batin'."
"Aku tidak tahu namanya. Tapi... entah menga-
pa aku bisa lakukan!" "Siapa dirimu sebenarnya?"
"Sudah pernah kusebutkan, namaku Pancaso-
na dan dikenal dengan julukan Tua Usil. Aku pelayan-
nya Pendekar Rajawali Putih dan Pendekar Rajawali
Merah." "Apakah kedua pendekar aliran Rajawali itulah yang mengajarkan semua
jurus-jurusmu, termasuk jurus 'Gerhana Rajam' tadi?"
"Jurus apa?"
"Jurus 'Gerhana Rajam'!" jelas Walet Gading
yang kini bukan bersikap bermusuhan, namun bersi-
kap curiga dan penasaran.
Tua Usil tertawa kecil sambil berdiri. "Jurus
kok namanya aneh"! Aku malah baru kali ini menden-
gar nama jurus 'Gerhana Rajam'."
Sementara itu, di balik persembunyiannya, Yo-
ga sendiri merasa semakin kagum melihat Tua Usil bi-
sa lakukan pengobatan dengan cara seperti tadi. Sama
sekali tak pernah terbayangkan olehnya bahwa Tua
Usil memiliki ilmu pengobatan yang cukup dinilai he-
bat olehnya. Manis Madu bergegas bangkit, ingin keluar dari
persembunyiannya, namun lagi-lagi tangan Yoga me-
nahannya, membuat Manis Madu berbisik,
"Biarkan aku menghadapinya!"
"Tunggu dulu! Dengarkan dulu percakapannya.
Tua Usil kelihatannya tak sadar dengan segala tinda-
kannya. Perhatikan setiap ucapannya!"
"Bisa saja dia berkata bohong!"
"Apakah kau tak bisa menilai kejujuran seseo-
rang dari raut wajahnya?" Yoga bernada meremehkan, dan Manis Madu tak mau
terang-terangan diremeh-kan, karena itu ia berkata,
"Bisa saja dia mainkan wajah sejujur mungkin,
tapi hati orang siapa yang bisa tahu secara pasti!"
sambil ia kembali jongkok di tempatnya semula.
Jarak mereka tak begitu jauh, namun juga ti-
dak dibilang dekat dengan percakapan Tua Usil dan
Walet Gading. Hanya saja, angin bertiup ke arah Yoga
dan Manis Madu, sehingga percakapan itu terbawa
oleh angin dan mudah diterima oleh telinga para pe-
ngintainya. Walet Gading perdengarkan suaranya, "Setahu-
ku, jurus 'Gerhana Rajam' hanya milik guruku; Ki Pa-
mungkas. Tapi mengapa kau juga memilikinya" Apa-
kah kau dulu teman seperguruan dengan Ki Pamung-
kas?" "Bukan. Aku tak pernah punya guru dan tak pernah belajar ilmu silat. Satu-
satunya ilmu yang kumiliki hanya ilmu 'Halimun', itu ilmu turunan dari le-
luhur ku!"
"Tapi... tapi mengapa kau memiliki semua jurus
yang dimiliki oleh guruku?"
"Aku sendiri tak yakin, apakah benar aku me-
lakukan gerakan jurus yang dimiliki oleh gurumu.
Yang jelas, aku kenal gurumu hanya sebatas seorang
sahabat saja. Tak terlalu akrab. Dulu aku pernah me-
nolongnya membuat kan topeng yang menyerupai wa-
jah Ki Pamungkas. Dari situlah aku kenal beliau. Aku
diberi upah berupa uang, bukan berupa ilmu! Dan apa
yang kulakukan tadi, sungguh di luar rencana piki-
ranku. Tangan dan kakiku seperti bergerak dengan
sendirinya. Bahkan sentakan-sentakan nafas ku seper-
ti bekerja dengan sendirinya."
"Aneh!" gumam Walet Gading dalam keterme-
nungannya. "Memang aneh, dan di luar jangkauan otakku."
"Lalu, apa yang kau lakukan saat guruku te-
was?" "Apakah kau tetap menuduhku sebagai pembunuh Ki Pamungkas?"
Walet Gading menarik napas, dihempaskan le-
pas sambil berkata,
"Saat aku kembali ke tempat jenazah guruku
berada, dan membawanya pulang ke perguruan, aku
sempat melihat mayat lain ada di sana. Mayat itu ada-
lah mayat Resi Gutama, Ketua Perguruan Kuil Dewa!"
Manis Madu bergegas bangkit begitu menden-
gar nama almarhum gurunya disebutkan. Tapi tan-
gannya kembali ditahan oleh Yoga. Mulut Yoga mende-
sis pelan, "Ssst...!"
Manis Madu kembali jongkok, melindungi di-
rinya dengan kerimbunan daun-daun semak yang ada
di belakang Walet Gading. Ia kembali menyimak perca-
kapan tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun.
Walet Gading berkata, "Ketika kutemukan Je-
nazah Resi Gutama, aku jadi berkesimpulan bahwa
guruku tewas karena pertarungannya dengan Resi Gu-
tama. Hati ku sempat menyesal, mengapa aku bersike-
ras menuduh mu sebagai pembunuh guruku. Aku
minta maaf padamu, Tua Usil."
Senyum tipis Tua Usil mekar bagaikan orang
memperoleh kemenangan sepenuhnya. Ia pun berkata,
"Tak apa. Lupakan soal itu:"
"Menurutmu, apakah pendapatku itu benar?"
"Sangat benar!" jawab Tua Usil dengan tegas.
"Aku melihat sendiri pertarungan Resi Gutama dengan Ki Pamungkas. Sangat seru
dan menakjubkan. Keduanya sama-sama kuat. Tapi keduanya segera sama-
sama gunakan jurus andalan yang tidak mereka pero-
leh ketika mereka dalam satu perguruan. Resi Gutama
tewas lebih dulu, ketika aku datang Ki Pamungkas
masih sempat bernapas beberapa saat. Lukanya san-
gat parah. Aku ingin mencarikan air buat minum, ka-
rena kulihat Ki Pamungkas kehausan. Tapi dia mela-
rang, dan bahkan menyuruhku mengambil sebuah pu-
saka yang mereka perebutkan."
"O, jadi... guruku bertarung dengan Resi Guta-
ma karena memperebutkan sebuah pusaka?"
"Ya. Pusaka itu ada di dalam Sumur Condong,
tak jauh dari tempat pertarungan mereka. Aku disuruh
mengambil pusaka itu, dan kukerjakan perintahnya.
Ternyata pusaka itu bernama Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahh..."!" Walet Gading terkejut dengan mem-
belalakkan mata.
Di persembunyian, Manis Madu juga terkejut
dan hampir terpekik, namun mulutnya buru-buru di-
tutup oleh tangan Yoga. Matanya melebar menatap
mata Yoga yang memandangnya dengan sikap terpe-
ranjat juga itu.
"Aku pernah mendengar cerita tentang Pusaka
Hantu Jagal itu dari guruku," kata Walet Gading.
"Apakah... apakah pusaka itu berupa sebilah pisau
bersarung dan bergagang emas berukir?"
"Benar!" jawab Tua Usil dengan jujur. Kemu-
dian, Tua Usil menceritakan segala keterangan yang
dituturkan oleh Ki Pamungkas menjelang ajalnya tiba.
Sampai tentang kehebatan Pusaka Hantu Jagal itu,
amanat mempercayakan pusaka itu menjadi milik Tua
Usil, dan akhirnya permintaan Ki Pamungkas yang te-
rakhir pun dituturkan kepada Walet Gading.
"Aku mencoba menolak permintaannya itu, tapi
ia semakin meratap dan ingin mati lebih terhormat lagi
dengan pisau pusaka itu. Dia memohon-mohon pada-
ku, dan... aku tak tega. Lalu, kulakukan permintaan
terakhirnya itu dengan sangat terpaksa!"
Walet Gading tertunduk sedih, Sementara itu,
Manis Madu pun tertunduk dalam dukanya sendiri.
Suasana menjadi hening beberapa kejap setelah itu,
Walet Gading segera perdengarkan suaranya,
"Kalau begitu, seluruh ilmu guruku telah meni-
tis ke dalam ragamu! Ilmumu jauh lebih tinggi dari il-
muku, karena kau adalah pengganti guruku!"
Setelah berkata begitu, Walet Gading segera
berlutut dan tundukkan kepala, memberi hormat ke-
pada Tua Usil yang dianggap sebagai titisan Ki Pa-
mungkas. Tua Usil menjadi kikuk ketika Walet Gading
berkata, "Maafkan kebodohan saya tadi, Guru!"
Karena kikuk, Tua Usil jadi ikut-ikutan berlu-
tut, lalu berkata, "Jangan berlebihan begitu dalam menganggap diriku. Aku bukan
gurumu! Aku bahkan
ingin serahkan Pusaka Hantu Jagal ini kepadamu, ka-
rena kau adalah muridnya yang kinasih!"
Tua Usil keluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal
dari balik bajunya. Walet Gading memandangi pusaka
itu, semakin percaya dengan apa yang diceritakan Tua
Usil. Tapi ia segera menggeleng dan berkata,
"Aku tak berani melanggar wasiat almarhum
Guru; Ki Pamungkas. Pisau pusaka itu adalah milik-
mu, karena Guru mempercayakannya kepadamu! Pi-
sau pusaka itu juga sebagai lambang, bahwa kau telah
menggantikan kedudukan mendiang Guru; Ki Pa-
mungkas. Sebaiknya sekarang juga kita pulang ke per-
guruan, karena kaulah sekarang yang memegang tam-
puk kepemimpinan, sebagai Ketua dan Guru di Pergu-
ruan Gerbang Bumi!"
Tua Usil geleng-gelengkan kepala. "Tidak. Aku
tidak sanggup. Aku tidak tahu bagaimana caranya
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi guru dan ketua di sebuah perguruan. Aku tak
mau menerima jabatan itu."
"Tapi kaulah yang diserahi tugas tersebut! Kau
yang dipercaya."
"Hanya secara kebetulan saja, akulah satu-
satunya orang yang mendekati Ki Pamungkas saat
menjelang ajalnya tiba."
"Itu pertanda kau yang mendapat anugerah da-
ri dewata untuk menggantikan kepemimpinan men-
diang Guru; Ki Pamungkas!"
"Begini saja!" kata Tua Usil sambil bangkit berdiri, berjalan dua langkah, lalu
berbalik arah dan ber-
kata, "Kalau memang aku yang dipercaya, diserahi tugas, mendapat anugerah atau
apa lagi sebutannya....
Sekarang tugas itu ku limpahkan kepadamu, Walet
Gading! Kau saja yang menjadi ketua di Perguruan
Gerbang Bumi, sekaligus menjadi guru!"
"Mana mungkin" Di Perguruan Gerbang Bumi
ada empat orang yang ilmunya sejajar denganku! Me-
reka pasti akan memberontak dan tak mau patuh pa-
daku," kata Walet Gading dengan sangsi.
"Kalau begitu, kau saja yang menjadi ketua.
Soal guru, biarlah kau dan ketiga murid yang ilmunya
sejajar denganmu itu yang bertindak sebagai guru."
Walet Gading berpikir sejenak, setelah itu ber-
kata, "Bagaimana jika kau ajarkan padaku beberapa
jurus tertinggi yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hi-
dupnya" Kau yang menjadi guruku."
"He, he, he, he...! Sudah kukatakan, aku tidak
ada potongan menjadi guru! Aku tidak tahu harus ba-
gaimana mengajar murid-murid ku! Dan aku tidak ta-
hu nama jurus-jurus yang kumiliki ini!"
Sulit juga memutuskannya. Tua Usil terang-
terangan menolak jabatan itu, karena merasa tidak
mempunyai kemampuan yang sesuai. Sedangkan Wa-
let Gading tidak mau melanggar wasiat mendiang gu-
runya yang diberikan kepada Tua Usil menjelang ajal-
nya tiba. Sebenarnya saat itu Yoga ingin keluar dari per-
sembunyiannya dan menengahi perdebatan itu. Tetapi
pemuda tampan itu segera terkejut karena baru me-
nyadari bahwa Manis Madu sudah tidak ada di sam-
pingnya. Mata Yoga mencari sekeliling tempat itu, ter-
nyata gadis tersebut sudah berada cukup jauh dalam
pelariannya. Arah pelarian menuju ke tempat tergele-
taknya jenazah Resi Gutama.
"Dia pasti kecewa karena tak berhasil temukan
pembunuh gurunya yang sebenarnya! Atau, mungkin
dia kecewa karena Pusaka Hantu Jagal jatuh ke tan-
gan Tua Usil" Sebaiknya kususul dia agar tak guncang
hatinya dengan peristiwa ini! Biarlah Tua Usil berem-
buk terus sampai ubannya bertambah. Mereka pasti
akan temukan jalan keluar sendiri."
Dugaan Yoga itu memang benar. Ketika Yoga
pergi menyusul Manis Madu, samar-samar terdengar
suara Walet Gading berkata,
"Ada baiknya masalah ini kita bicarakan ber-
sama tiga murid yang lain, supaya semuanya sama-
sama enak dan tak ada saling iri."
"Lalu, bagaimana dengan pisau pusaka ini?"
"Tetaplah kau pegang dan menjadi milik mu,
karena memang begitulah wasiat mendiang Guru! Jan-
gan sampai jatuh ke tangan orang lain!"
"Apakah aku harus ikut berunding dengan ke-
tiga murid yang ilmunya setingkat denganmu itu?"
"Ya. Sebab kaulah saksi hidup, dan pusaka itu-
lah buktinya!"
"Baiklah," jawab Tua Usil dengan napas ter-
hempas, seperti orang terpaksa. Lalu, dia berbisik,
"Bisakah kau berdiri di atas ilalang yang sedang
tumbuh?" "Bisa. Kenapa?"
Bisikannya makin pelan, "Ajarkan aku, supaya
bisa berdiri di atas ilalang, seperti Nona Lili itu!"
"Kau pasti sudah bisa. Sebab Ki Pamungkas bi-
sa lakukan hal itu!"
"Ah, yang benar"!" Tua Usil terperangah girang bercampur ragu.
* * * 8 LELAKI berkepala gundul dengan jenggot pu-
tihnya yang panjang itu mengenakan pakaian berka-
bung warna abu-abu. Biasanya ia mengenakan pa-
kaian putih model biksu yang hanya diselempangkan
dari pinggang ke pundak. Tapi agaknya kali ini ia sen-
gaja mengenakan pakaian abu-abunya sebagai pera-
saan berkabung yang amat dalam. Lelaki berusia seki-
tar delapan puluh tahun itu, sengaja berdiri di luar
gua tempat tinggalnya, yang tepat berada di lereng se-
buah jurang terjal yang cukup dalam.
Ketika seekor burung rajawali besar berwarna
putih melintas di langit atas kepalanya, lelaki itu
hanya diam saja, tidak memandangnya sedikit pun.
Namun ia tahu, ada seseorang yang duduk bertengger
di punggung sang rajawali tersebut. Orang yang duduk
di punggung rajawali putih itu tak lain adalah Lili;
Pendekar Rajawali Putih, murid dari mendiang Dewi
Langit Perak; istri dari Dewa Geledek. Lelaki berbadan
kurus itu sangat kenal baik dengan kedua tokoh sakti
tersebut, semasa pasangan suami-istri yang kondang
kesaktiannya itu masih hidup. Sayang ia tak bisa
menghadiri dalam pemakaman kedua tokoh sakti bera-
liran silat rajawali itu, karena tempatnya yang saling
berjauhan dari kediamannya yang sengaja mengasing-
kan diri itu. Lelaki berpakaian abu-abu itu tak lain adalah
Resi Gumarang, satu-satunya tokoh sakti yang sangat
dihormati oleh Lili dan Yoga, itulah sebabnya ketika rajawali putih itu mendarat
di bibir tebing, Lili segera turun dan memberinya hormat dengan berlutut satu
ka- ki dan tundukkan kepala, sedang sang rajawali pun
cepat mendekam serta merendahkan kepala sebagai
tanda hormatnya kepada sang resi.
"Selamat datang di pengasingan ku, Pendekar
Rajawali Putih," sambut Resi Gumarang dengan nada
kurang ramah. Wajahnya pun dilapisi kemurungan
akibat ungkapan jiwa dukanya, Pendekar Rajawali Pu-
tih tidak tersinggung, namun justru merasa heran dan
bertanya dengan sangat sopan,
"Kalau boleh saya tahu, apa gerangan yang
membuat Eyang Resi bermurung wajah hari ini?"
"Tidak apa-apa," jawab Resi Gumarang dengan
senyum canggung. "Aku hanya merasa sedikit kurang
enak badan."
"Mohon jangan dustai hati saya, Eyang Resi.
Pakaian abu-abu yang Eyang Resi kenakan menanda-
kan masa duka sedang menyelimuti hati Eyang Resi.
Saya hanya ingin ikut berduka cita atas masa berka-
bung yang melanda hati Eyang Resi Gumarang. Na-
mun izinkan saya mengetahui penyebabnya secara
pasti, Eyang Resi."
Resi Gumarang melemparkan pandangan ma-
tanya ke tempat jauh. Ia melangkah menjauhi Lili se-
bentar, seakan ingin membuang rasa duka dan kemu-
rungannya. Namun Lili mendekat dengan mendesak
pertanyaan lebih halus lagi.
"Barangkali ada yang bisa saya bantu untuk
meredakan duka di hati Eyang Resi saat ini?"
"Tidak ada," jawab Resi Gumarang. "Agaknya kau tahu persis bahwa aku sedang
berkabung. Memang benar. Sekalipun aku tak hadir di tempatnya,
tapi aku tahu bahwa adikku yang bernama Resi Gu-
tama itu dua hari yang lalu sudah meninggal dunia
akibat suatu pertarungan dengan rekan seperguruan-
nya yang bernama Ki Pamungkas."
Hening tercipta sebentar, lalu suara Pendekar
Rajawali Putih terdengar halus, "Saya turut berduka cita atas wafatnya adik
Eyang Resi Gumarang itu."
"Terima kasih, Lili. Aku hanya menyesali lang-
kah adikku yang keliru itu. Ia mati hanya untuk bere-
but pusaka milik mendiang gurunya yang bernama
Hantu Jagal."
"Sepertinya saya pernah mendengar nama julu-
kan Hantu Jagal itu, Eyang Resi. Kalau tidak salah, ia
termasuk tokoh sakti yang berusia sampai ratusan ta-
hun dan baru meninggal setelah dirinya mampu ber-
temu dengan sang kekasih, walau sudah dalam kea-
daan menjadi tulang belulang. Eyang Guru Dewi Langit
Perak pernah ceritakan hal itu kepada saya, ketika
kami sama-sama terdampar di dasar laut."
"Kisah cinta mereka memang kondang dan
menjadi legenda sepanjang masa. Tapi ketika kisah
cinta antara gurumu dengan Dewa Geledek hadir, le-
genda itu beralih ke kisah cinta Dewi Langit Perak
dengan Dewa Geledek. Barangkali akan beralih lagi
kepada kisah cinta Lili dan Yoga."
Senyum Pendekar Rajawali Putih mekar dalam
sikap tersipu malu. Resi Gumarang pun menyungging-
kan senyum tipis, seakan memaksakan diri untuk
menghapus dukanya. Tapi ia segera kembali menutur-
kan kisah Hantu Jagal dengan mengatakan,
"Tokoh beraliran putih itu cukup ditakuti oleh
para tokoh sesat, sehingga dijuluki mereka dengan
nama Hantu Jagal. Sebutan itu lebih dikenal di rimba
persilatan, sehingga julukannya sendiri tenggelam dan
kalah kondang. Semasa kejayaannya mencapai pun-
cak, tokoh sesat berjuluk Malaikat Gelang Emas itu
belum hadir di permukaan bumi. Andai Hantu Jagal
masih hidup di saat ini, maka Malaikat Gelang Emas
pasti sudah lenyap sejak hari-hari kemarin, dikalah-
kan oleh Hantu Jagal. Sayang sekali tokoh sesat itu
hadir di saat Hantu Jagal sudah tiada. Ketiga murid-
nya tidak ada yang sanggup mengalahkan Malaikat
Gelang Emas."
"Berapa murid Hantu Jagal sebenarnya,
Eyang?" Tiga orang; Gutama, Pamungkas, dan Wicaksa-
na. Ketiganya membuka perguruan sendiri-sendiri ali-
ran silat Hantu Jagal, namun Wicaksana tak bisa
sempurna turunkan seluruh ilmunya kepada murid-
muridnya, karena ia sudah lebih dulu dibunuh oleh
Malaikat Gelang Emas. Dan Hantu Jagal meninggalkan
sebuah pusaka yang tak diketahui oleh para muridnya
di mana letak penyimpanan pusaka tersebut. Dulu,
pusaka itu sering diburu oleh beberapa tokoh sakti,
termasuk murid Wicaksana yang bernama Nyai Kuku
Setan. Tetapi segera reda akibat tak menemukan jejak
peninggalan Pusaka Hantu Jagal. Beberapa kurun
waktu kemudian, timbul kembali peristiwa perburuan
Pusaka Hantu Jagal, namun seseorang telah menye-
barkan berita palsu bahwa
Pusaka Hantu Jagal telah berhasil ditemukan
oleh Malaikat Gelang Emas. Maka perburuan itu pun
berhenti dan lenyap dari peredaran bumi. Sekarang
agaknya perburuan itu menjadi hangat kembali, terle-
bih setelah terbunuhnya Gutama, adikku, dan Pa-
mungkas." "Apakah keduanya dibunuh oleh seseorang
yang haus Pusaka Hantu Jagal?" tanya Lili.
"Mereka justru saling bunuh sendiri untuk be-
rebut pusaka tersebut. Sekalipun aku tidak pernah di-
ajak bicara oleh mereka, sekalipun aku tidak melihat-
nya sendiri, tapi roh kawekasan ku meneropong jauh
ke sana dan menyaksikan pertarungan itu. Aku tak bi-
sa ikut campur karena itu urusan antara murid aliran
Hantu Jagal."
"Apakah pusaka itu berhasil ditemukan oleh
salah satu dari keduanya, Eyang?"
Resi Gumarang yang bermata lembut itu meng-
geleng pelan. "Pusaka itu memang telah berhasil ditemukan oleh seseorang,
melainkan bukan murid aliran
silat Hantu Jagal. Tetapi aku melihat sendiri dengan
mata sukmaku, Pamungkas memohon-mohon agar di-
bunuh dengan pisau pusaka itu oleh si pemiliknya
yang sekarang, dan pemilik pusaka itu dengan sangat
terpaksa menuruti keinginan Pamungkas. Ia membe-
namkan pisau itu ke jantung Pamungkas. Padahal pi-
sau pusaka itu mempunyai kekuatan dapat memin-
dahkan seluruh ilmu dan kepandaian apa pun milik
orang yang ditikamnya, menjadi milik orang yang me-
nikamkan pisau itu. Maka, mata sukmaku telah meli-
hat, seseorang yang semula tidak mempunyai ilmu, ki-
ni menjadi orang berilmu tinggi setara dengan keting-
gian ilmu Pamungkas. Bahkan mungkin ia akan men-
jadi lebih sakti lagi jika pisaunya berulang kali digunakan untuk membunuh para
tokoh sakti lainnya!"
Pendekar Rajawali Putih menunda niatnya un-
tuk membicarakan masalah rencana perkawinannya
dengan Yoga, karena ia lebih tertarik dengan cerita Pu-
saka Hantu Jagal itu. Setelah hatinya merasa kagum
sesaat dengan kehebatan pusaka tersebut, maka ia
pun ajukan tanya,
"Kalau boleh saya tahu, siapa tokoh yang me-
miliki Pusaka Hantu Jagal itu, Eyang" Apakah dia dari
golongan putih atau golongan hitam?"
"Setahuku dia dari golongan putih, sebab me-
mang tidak pernah punya golongan. Ia hanyalah seo-
rang pelayan dari dua majikan yang berilmu tinggi dan
beraliran putih."
Lili berkerut dahi memikirkan dan mencoba-
coba menebak siapa orang yang dimaksud. Tetapi ia
justru menjadi penasaran karena tak mempunyai ke-
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pastian dalam tebakannya, Sehingga ia mendesak den-
gan tanya, "Siapa nama orang itu, Eyang?"
"Pancasona!"
Terkesiap mata Pendekar Rajawali Putih yang
punya kecantikan melebihi bidadari itu. Ia menggu-
mamkan nama itu dengan sangat pelan, seakan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Pancasona..."!"
"Ya. Pancasona, alias si Tua Usil, pelayanmu!"
"Hahh..."!" kini mata indah itu membelalak kaget dengan bibir bak kuncup mawar
merekah indah. "Dia yang berhak memilikinya, karena dia yang
menemukannya! Setelah ketiga murid Hantu Jagal itu
tiada lagi, tak ada orang yang berhak mewarisi pusaka
itu karena memang Hantu Jagal tidak mewariskan ke-
pada siapa pun. Orang yang menemukan pusaka itu
adalah orang yang berhak memilikinya. Sebab dengan
meninggal nya ketiga murid Hantu Jagal, pusaka itu
menjadi pusaka tanpa tuan. Namun sekarang sudah
menjadi pusaka bertuan, yaitu Tua Usil itulah tuan
dari pusaka tersebut. Kuharap kau dapat mengarah-
kan Tua Usil agar tidak menyalahgunakan pusaka itu
dan membuatnya menjadi orang yang rakus ilmu. Ka-
takan kepadanya, agar jangan menggunakan pusaka
tersebut jika tidak dalam keadaan yang sangat berba-
haya, dan jadikan dia tokoh pembela kebenaran."
"Baik. Akan saya bimbing dia agar tidak menja-
di tokoh sesat dengan senjata pusakanya itu, Eyang!"
Resi Gumarang menganggukkan kepala dengan
penuh wibawa. Ia memandangi wajah Lili yang terme-
nung beberapa saat membayangkan Tua Usil dengan
pusakanya. Lalu, Resi Gumarang menyunggingkan se-
nyum tipis dan berkata,
"Kau datang dengan maksud ingin menanyakan
tentang perkawinanmu dengan Pendekar Rajawali Me-
rah, bukan?"
"Benar, Eyang! Saya ingin kejelasan jodoh saya
itu, karena setahu saya, banyak gadis yang jatuh cinta
kepada Yoga dan...." kata-kata itu terhenti sesaat. Lili menatap Resi Gumarang
dengan dahi sedikit berkerut,
menampakkan kecurigaannya terhadap keadaan seke-
liling. Resi Gumarang sendiri tampak sedikit curiga,
namun ia masih bisa bersikap tenang.
"Rupanya kau menangkap gelagat tak beres di
sekitar kita, Lili?"
"Benar, Eyang!"
"Kita memang sedang kedatangan tamu yang
tak ramah."
"Kalau begitu, biar saya yang hadapi, Eyang!"
"Tunggu...!"
Lili sudah telanjur melesat dan hinggap di salah
satu batu tebing, lalu dengan lincahnya ia melenting
ke atas, bersalto dua kali dan kini berada di permu-
kaan bibir tebing. Resi Gumarang merasa cemas, maka
ia pun segera menyusui Lili naik ke bibir tebing, dan
ternyata di sana mereka sudah berhadapan dengan li-
ma orang berwajah tak ramah.
Burung rajawali putih itu segera terbang ke
arah lain, seakan menghindar, namun sebenarnya
mencari peluang untuk membantu majikannya jika
terjadi sesuatu yang akan membahayakan sang maji-
kan. Burung itu berputar-putar siap lakukan serangan
sewaktu-waktu terhadap lima orang berwajah tak ra-
mah itu. Satu dari kelima orang itu adalah seorang wani-
ta berusia sekitar empat puluh tahun kurang, masih
kelihatan cantik namun sudah tampak matang dalam
hidupnya. Perempuan berjubah hijau itu menyandang
senjata pedang di pinggangnya, dengan kesepuluh ja-
rinya berkuku runcing bak mata pisau. Rambutnya
disanggul sebagian dengan diberi tusuk konde berben-
tuk seekor ular dari bahan logam putih mengkilat.
Mungkin dapat digunakan sebagai senjata sewaktu-
waktu. "Siapa mereka, Eyang?" bisik Lili kepada Resi Gumarang.
"Orang-orang Perguruan Latar Jagat. Perem-
puan itu ketuanya, murid dari Wicaksana yang berge-
lar Nyai Kuku Setan!"
Pendekar Rajawali Putih segera paham, karena
ia masih ingat cerita Resi Gumarang tentang Wicaksa-
na, murid Hantu Jagal yang tewas di tangan Malaikat
Gelang Emas itu. Tetapi apa maksud Nyai Kuku Setan
datang ke pengasingan Resi Gumarang dengan mem-
bawa empat anak buahnya yang berwajah tak ramah
itu" Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru ke-
pada Resi Gumarang,
"Tentunya kau sudah mengetahui maksud ke-
datanganku, Resi Gumarang! Kita tak perlu berbasa-
basi lagi, bukan?"
"Ya. Ucapan batinmu sudah kudengar, maksud
hatimu sudah ku baca. Kau menghendaki Pusaka
Hantu Jagal, bukan?"
"Benar!"
"Tapi mengapa kau datang kemari?"
"Karena Gutama adalah adikmu, dan pasti kau
tahu di mana Gutama berada sekarang ini! Aku akan
memaksanya untuk bicara tentang Pusaka Hantu Jag-
al itu. Karena menurut beberapa tokoh sakti, pusaka
itu belum dimiliki oleh Malaikat Gelang Emas atau to-
koh lainnya. Gutama pasti tahu di mana letak pusaka
itu, atau justru dialah yang menyembunyikannya!"
"Atas dasar apa kau ingin menuntut pusaka
itu, Nyai Kuku Setan?" tanya Resi Gumarang dengan kalem. "Kami dari aliran silat
Hantu Jagal merasa
punya hak memiliki pusaka tersebut!"
"Ada tiga perguruan dari aliran Hantu Jagal.
Apakah itu berarti ketiga perguruan mempunyai hak
atas Pusaka Hantu Jagal itu"!"
"Persetan dengan dua perguruan milik Gutama
dan Pamungkas! Yang penting, kami orang-orang Per-
guruan Latar Jagat punya hak lebih tinggi untuk me-
miliki pusaka tersebut, karena Eyang Guru Wicaksana
adalah murid sulung dari Eyang Hantu Jagal!" kata
Nyai Kuku Setan dengan suara lantang yang memua-
kkan bagi Lili. Mata Lili sejak tadi menatap Nyai Kuku
Setan dengan tajam dan berkesan dingin. Ia tak ingin
bertindak lebih dulu sebelum mendapat izin dari Resi
Gumarang. Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru lagi,
"Sebaiknya, beritahukan kepadaku di mana Gutama
berada! Jangan kau ikut menyembunyikan adikmu itu,
Resi Gumarang!" "
"Aku tidak menyembunyikan dia. Mungkin ka-
lau kau ingin temui dia, kau harus pergi ke alam ku-
bur, karena Gutama sudah tewas bersama Pamung-
kas!" "Hm...!" perempuan yang jauh lebih muda dari Resi Gumarang itu tersenyum
sinis, tak ada sopan
santunnya sedikit pun. Ia bahkan berkata dengan le-
bih kasar lagi,
"Jangan harap kami mudah percaya dengan
omonganmu, Gumarang! Aku tahu kau selalu berada
di pihak perguruan adikmu! Dan jangan bikin kami hi-
lang kesabaran, sehingga lakukan pemaksaan secara
kasar padamu! Perguruan Kuil Dewa sudah kami ob-
rak-abrik, tapi Gutama tak kami temukan di sana. Sa-
tu-satunya orang yang tahu di mana dia adalah kau,
Gumarang!"
Pendekar Rajawali Putih tak sabar dan menco-
ba berbisik pelan kepada Resi Gumarang, "Biar saya yang hadapi mereka, Eyang!"
"Jika kau mau, lakukanlah!" bisik Resi Guma-
rang. Tapi ia segera berkata kepada Nyai Kuku Setan,
"Aku berkata yang sebenarnya, Nyai Kuku Se-
tan. Gutama sudah tewas. Di mana kuburnya, aku be-
lum sempat mengetahuinya!"
"Kalau begitu, pasti dia sudah titipkan pusaka
itu padamu!"
"Tidak. Aku tidak mendapat titipan apa-apa da-
ri adikku!"
"Barangkali dengan sedikit paksaan kau baru
akan mengaku, Gumarang! Baiklah...!" Nyai Kuku Se-
tan segera serukan perintah kepada keempat anak
buahnya yang tentu saja orang-orang pilihan.
"Serang dia! Bikin dia mengaku!"
"Heaaat...!" keempat anak buah Nyai kuku Se-
tan serempak dalam gerak mengurung Resi Gumarang
dan Lili. Namun Pendekar Rajawali Putih itu segera
tampil di depan Resi Gumarang dan berkata lantang,
"Kau berhadapan denganku, Nyai Kuku Setan!"
"Bocah ingusan! Mau cari mampus rupanya
kau ini, hah"! Serang!"
"Heaah...!" Keempat anak buah Nyai Kuku Se-
tan serempak lepaskan pukulan bersinar warna-warni
ke arah Pendekar Rajawali Putih. Zlaaap!
Namun dengan gerak sedikit merendah dan
memutar cepat, Pendekar Rajawali Putih kibaskan tan-
gannya bagai menabur sesuatu ke arah keempat pen-
gepungnya itu. Ternyata sinar putih keperakan telah
melingkari tubuhnya dan membuat sinar-sinar yang
menyerangnya itu berbalik arah dan menerjang para
pemiliknya. Blaaar...! Keempat penyerang itu terpental ke empat pen-
juru. Satu di antaranya nyaris terjungkal masuk ju-
rang. Untung Nyai Kuku Setan cepat berkelebat bagai-
kan angin dan berhasil menangkap orang yang nyaris
masuk ke jurang itu. Wuuut...!
Tiga penyerangnya bangkit kembali dan laku-
kan serangan dengan jurus serupa. Tetapi, burung ra-
jawali besar itu segera menukik dan menyambar dua
dari ketiga penyerang itu. Wuuuss...! Craaak...! Cakar
tajam sang rajawali berhasil menyambar tubuh mereka
dan dibawanya terbang tinggi. Dua orang itu berteriak-
teriak ketakutan. Satu orang lagi berusaha mele-
paskan serangan dengan sinar biru keluar dari ujung
jari telunjuknya. Namun bertepatan dengan keluarnya
sinar, tubuh itu telah dihantam lebih dulu oleh puku-
lan tenaga dalam Lili yang menggunakan tangan kiri,
Dees...! "Uuuhg...!"
Orang tersebut segera tumbang dalam satu
sentakan yang membuat tubuhnya melayang memben-
tur batu besar. Praak...! Kepala orang itu nyaris pecah, kini berlumur darah dan
tak mampu lagi bangkit untuk lakukan penyerangan. Ia hanya mengerang-
ngerang dengan tubuh menggeliat menahan sakit.
"Hentikan!" teriak Nyai Kuku Setan. "Atau ku ledakkan tubuh resi peot ini!"
Mendengar ancaman tersebut, Pendekar Raja-
wali Putih berpaling ke belakang, dan ia terkejut meli-
hat Resi Gumarang telah dikurung sinar merah mem-
bara berpijar-pijar. Sinar itu bagaikan membungkus
tubuh Resi Gumarang dalam jarak dua jengkal dan tu-
buhnya. Rupanya Nyai Kuku Setan telah berhasil me-
lepaskan jurus 'Penjara Kubur'-nya di luar pengeta-
huan Lili, dan membuat Resi Gumarang tak berani ba-
nyak bergerak dari tempatnya sendiri.
"Sedikit saja kau sentuh sinar itu, tubuhmu
akan hancur, Gumarang!" kata Nyai Kuku Setan. Ke-
pada Lili ia berkata, "Cobalah hancurkan sinar 'Penjara Kubur'-ku itu kalau kau
ingin melihat tubuh resi peot
itu hancur berkeping-keping!"
Lili menggeram menahan jengkel. Firasatnya
mengatakan, sinar merah itu tak boleh tersentuh oleh
benda apa pun, dan jika dilawan dengan sinar lain
akan timbulkan ledakan yang dapat hancurkan tubuh
Resi Gumarang. Pendekar Rajawali Putih tak mau kor-
bankan sang resi. Ia hanya menggeram penuh kejeng-
kelan, "Licik!"
Di kejauhan terdengar suara bergema panjang,
"Aaaa...!"
Dua anak buah Nyai Kuku Setan yang disam-
bar oleh si Putih saat itu sedang dilepaskan dari ke-
tinggian yang melebihi pucuk pohon cemara. Mereka
melayang-layang dan jatuh ke dalam jurang. Sudah
pasti tak ada harapan untuk hidup lagi bagi mereka.
"Burung bangsat...!" teriak Nyai Kuku Setan, la-lu ia sentakkan tangan kirinya,
dan melesatlah lima la-
rik sinar dari ujung kukunya. Zraaap...!
Melihat rajawalinya hendak dibunuh dengan
lima larik sinar hijau itu, Lili segera lepaskan pukulan bersinar putih yang
semakin jauh semakin melebar
cahayanya. Wuuuut...! Sinar putih itu menerjang lima
larik sinar hijau dan menimbulkan suara ledakan yang
cukup dahsyat dan membahana.
Glegaaar...! Nyai Kuku Setan cepat berpaling ke arah Pen-
dekar Rajawali Putih dengan wajah bengisnya semakin
tajam. Sementara itu, si Putih segera bergerak men-
jauh dengan suaranya yang kian mengecil, bagaikan
menertawakan serangan Nyai Kuku Setan.
"Kalau kau merasa berilmu tinggi, hadapilah
aku! Jangan dengan cara licikmu itu!" kata Lili sambil siap-slap lakukan
serangan. Nyai Kuku Setan justru serukan tawa, lalu ber-
kata, "Sia-sia aku melayani bocah ingusan sepertimu!
Sinar 'Penjara Kubur' itu tidak akan kulepaskan jika
Gumarang tidak mau serahkan Pusaka Hantu Jagal
itu!" Terdengar suara Resi Gumarang berkata, "Aku tidak tahu soal pusaka itu!
Jangan libatkan aku dalam
urusan perguruan kalian!"
"Omong kosong! Kau orang sakti, kau orang
yang bisa meneropong isi hati seseorang, bisa menge-
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahui apa yang bakal terjadi, bisa melihat apa yang
tersembunyi dari mata manusia, kau pasti tahu di ma-
na pusaka itu disimpan oleh adikmu, Gumarang!"
Lili menggeram sambil hendak lepaskan puku-
lan mautnya, tapi Nyai Kuku Setan berseru seketika,
"Kau akan menyesal kalau kau berhasil mem-
bunuhku, karena 'Penjara Kubur' itu tak ada yang bisa
melepaskan selain diriku! Sebaiknya sekarang bujuk
resi peot itu agar mau tunjukkan di mana Pusaka Han-
tu Jagal itu berada, agar aku bisa memilikinya!"
"Persetan dengan perintahmu, Perempuan ib-
lis!" geram Lili dengan tajam dan ketus. Tapi ia tak berani menyerang Nyai Kuku
Setan, karena jika perem-
puan itu mati di tangannya, lalu siapa yang akan le-
paskan jurus 'Penjara Kubur' yang menawan dan men-
gancam keselamatan Resi Gumarang, si calon penghu-
lunya kelak itu.
* * * 9 TANPA setahu Nyai Kuku Setan atau siapa pun,
Resi Gumarang mengirimkan suara batinnya kepada
Lili yang mengatakan, "ilmu 'Penjara Kubur' ini memang berbahaya. Tak ada yang
bisa melepaskannya
kecuali dia. Sebaiknya, bawa kemari Tua Usil dan la-
kukan siasat agar dia mau lepaskan sinar merah yang
mengurungku ini! Tapi ingat, Pusaka Hantu Jagal jan-
gan sampai jatuh ke tangan perempuan itu!"
Pendekar Rajawali Putih segera tanggap dengan
suara aneh yang didengarnya itu. Ia melirik Resi Gu-
marang, dan sang resi anggukkan kepala secara sa-
mar-samar. Maka, Lili pun berkata kepada Nyai Kuku
Setan dengan kemarahan terpendam kuat-kuat,
"Akan kucari pusaka itu secepatnya. Tapi jika
kau berbuat curang, apa sangsinya"!"
"Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan, dengar ka-
ta ku...! Aku hanya menghendaki pusaka itu saja. Aku
tidak akan mengganggu kalian jika memang pusaka
itu sudah ada di tanganku. Keperluan ku memiliki pu-
saka itu hanya untuk membalas dendam kepada Ma-
laikat Gelang Emas yang telah menewaskan guruku
itu! Demi dendam ku kepada Malaikat Gelang Emas,
maka dengan terpaksa kulakukan cara seperti ini su-
paya aku dapatkan Pusaka Hantu Jagal itu. Nah, ka-
lau kau sudah paham, lekas cari pusaka itu dan akan
ku tukar dengan kebebasan resi peot itu!"
"Sekali lagi kau berani berbuat curang, kule-
nyapkan seluruh ilmumu dengan jurus 'Sirna Jati'-ku!"
Rupanya Nyai Kuku Setan tahu tentang ilmu
'Sirna Jati'. Ia membatin dalam kebisuan mulutnya,
"Benarkah dia memiliki ilmu 'Sirna Jati'" Bu-
kankah ilmu 'Sirna Jati' hanya ada dalam Kitab Jagat
Sakti, milik leluhur orang-orang Pulau Kana yang ke-
turunan raksasa itu" Oh, celaka kalau dia memang
punya jurus 'Sirna Jati'. Bisa habis ilmuku dile-
nyapkan oleh jurus itu jika aku mengecewakan dia!
Sebaiknya aku harus bertindak hati-hati kepada gadis
ingusan ini!"
Pendekar Rajawali Putih segera mengepalkan
kedua tangannya. Kepalan itu saling dipertemukan di
dada, lalu dari tengah kepalan itu melesat selarik sinar putih keperakan
berbentuk gelombang-gelombang
lingkaran yang melesat ke angkasa. Sinar putih kepe-
rakan itu menimbulkan suara denging yang makin
tinggi semakin menggema. Itulah isyarat untuk me-
manggil burung rajawali putih yang tadi menghilang
setelah membuang mangsanya ke dalam jurang.
Suara denging itu hilang seketika setelah dua
tangan yang mengepal di depan dada itu terpisahkan.
Seekor burung rajawali putih berkelebat muncul dari
balik kerimbunan pohon di kejauhan sana, terbang
dengan cepatnya menuju ke arah majikannya.
Kepakan sayap rajawali itu menjadi lamban se-
telah Lili berseru kepada burung yang hendak menda-
rat, "Hati-hati sayap mu, Resi Gumarang dalam
penjara sinar merah!"
"Keaaak...!" burung itu menjawab, seakan men-
gerti maksud majikannya.
Dengan menunggang rajawali putih tersebut,
Lili pun segera pergi tinggalkan tempat itu mencari ke
mana perginya Tua Usil. Kepada si Putih pun, Lili se-
rukan kata, "Kita mencari Tua Usil, karena dialah yang
memegang Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Keak, keaaak...!" rajawali betina itu manggut-manggut, terbangnya tidak terlalu
tinggi agar mata ma-
jikannya mampu memandang setiap orang yang dilin-
tasinya. Dan orang-orang yang melihat burung besar
terbang rendah itu saling ketakutan, ada yang bersem-
bunyi di sembarang tempat hingga kepalanya terben-
tur benda keras, ada yang hanya mendongak bengong
saking kagumnya.
Pencarian Lili sampai kepada kerumunan orang
di tanah pemakaman. Rupanya sekelompok murid Per-
guruan Kuil Dewa yang habis diacak-acak oleh Nyai
Kuku Setan itu masih sempat memakamkan jenazah
gurunya. Dari antara mereka, Lili menangkap seraut
wajah tampan yang tak lain adalah milik Pendekar Ra-
jawali Merah. "Lihat, Yoga ada bersama gadis cantik itu! Dia
bahkan memeluk gadis yang sedang menangis itu, Pu-
tih! Panggil dia!" ucap Lili dengan hati panas karena cemburu.
"Keaaak...! Keaaaak...!"'
Semua orang yang baru saja selesai memakam-
kan Resi Gutama memandang ke atas, termasuk Yoga.
Merasa terkejut, sempat bubar dari kerumunan. Ting-
gal Yoga yang tetap berdiri memandang burung rajawa-
li besar itu dengan senyum indah di bibirnya. Yang di-
tatap adalah seraut wajah cantik si penunggang bu-
rung tersebut. Manis Madu ingin pisahkan diri dari Yoga kare-
na ada rasa tak enak melihat kedatangan burung putih
dan gadis cantik penunggangnya. Tapi Yoga sempat
menahan tangan Manis Madu sambil berkata,
"Jangan takut. Akan ku kenalkan kau kepada
kekasihku itu!"
Ada luka perih saat hati Manis Madu menden-
gar ucapan Yoga. Tapi luka perih itu ditahannya dan ia
berusaha untuk menjadi lebih dewasa dari sikap yang
ada saat itu. Ia pun tak jadi pergi tinggalkan Yoga. Burung putih itu mendarat
agak jauh dari tanah pema-
kaman. Kemudian Yoga menghampirinya bersama Ma-
nis Madu. Lili turun dari punggung burung tersebut
dengan wajah cemberut.
"Kebetulan kau datang. Guru! Ada berita pent-
ing yang harus kusampaikan kepadamu!"
"Kebetulan aku memergoki mu, bukan kebetu-
lan aku datang!" ucap Lili dengan nada cemburu yang hanya bisa dicerna oleh
Yoga. Pemuda tampan itu
hanya tersenyum, nyengir, namun menawan hati.
"O, ya... ini teman baruku; Manis Madu na-
manya. Dia murid Resi Gutama yang...."
Lili menyahut dengan ketus, "Yang tewas kare-
na bertarung dengan Ki Pamungkas!"
"Dari mana kau tahu?"
"Resi Gumarang yang menceritakannya!"
Manis Madu menyela, "Resi Gumarang kakak
dari guruku, Yoga!"
"Ooo...!" Yoga manggut-manggut dengan te-
nang. "Sekarang Resi Gumarang dalam bahaya. Ter-
kurung oleh jurus 'Penjara Kubur' dari Nyai Kuku Se-
tan!" "Nyai Kuku Setan"!" Manis Madu terkejut dan menjadi beringas wajahnya.
"Dia yang telah mempo-rakporandakan perguruanku!"
"Karena dia mencari gurumu!" kata Lili. "Kini dia menyandera Resi Gumarang,
calon penghulu kita!"
katanya kepada Yoga dengan menegaskan kata 'calon
penghulu kita' untuk memukul hati Manis Madu. Dan
memang, murid Resi Gutama itu menjadi terpukul du-
ka, namun tetap bertahan untuk tidak menampakkan
kekecewaan hatinya mendengar ucapan tersebut.
"Mengapa Resi Gumarang yang menjadi sasa-
ran Nyai Kuku Setan?" tanya Yoga kepada Lili.
"Nyai Kuku Setan memanfaatkan kesaktian Re-
si Gumarang. Ia tahu persis, bahwa Resi Gumarang
pasti tahu di mana Pusaka Hantu Jagal berada. Dia
menghendaki pusaka itu untuk ditukar dengan kebe-
basan dan keselamatan Resi Gumarang!"
"Pusaka Hantu Jagal..."! Aku tahu. Aku tahu di
mana pusaka itu sekarang berada!" kata Yoga.
Tapi Lili menjawabnya sendiri, "Di tangan pe-
layan kita; Tua Usil!"
"Oh, kau tahu juga hal itu rupanya?"
"Resi Gumarang sempat bicara padaku sebelum
Nyai Kuku Setan menyergapnya! Sekarang, cari si Tua
Usil dan bawa dia ke sana bersama Pusaka Hantu
Jagal!" "Apakah kita benar-benar akan menukar pusaka itu dengan nyawa Resi
Gumarang"!" tanya Pendekar Rajawali Merah sedikit cemas.
"Akan kuserang dia begitu Resi Gumarang di-
bebaskan dari ilmu 'Penjara Kubur'-nya!"
"Tapi jika dia membawa Pusaka Hantu Jagal
apakah...."
Lili memotong ucapan Yoga, "Kugunakan ilmu
'Sirna Jati', biar lenyap pula kekuatan dalam pusaka
itu dan tidak lagi menjadi bahan rebutan!"
"Baiklah. Aku setuju dengan rencanamu.
Guru." "Sekarang kita cari si Tua Usil itu berada.
Mungkin sedang dalam perjalanan menuju ke pondok
kita!" "Tidak. Tua Usil ada di Perguruan Gerbang Bumi," kata Yoga. "Dia ingin
dinobatkan sebagai ketua dan guru disana!"
Lili tertawa kecil, geli mendengar berita itu. "Ki-ta culik ketua dan guru
mereka!" katanya dalam berse-loroh. "Aku setuju!" kata Yoga sambil mengangguk.
"Aku ikut membebaskan Resi Gumarang!" kata Manis Madu. "Tetaplah tinggal bersama
saudara-saudara se-perguruanmu. Benahi perguruanmu yang sudah dio-
brak-abrik oleh Nyai Kuku Setan itu. Biar urusan ini
kuselesaikan dengan guru cantik ku ini, Manis Madu."
Sebenarnya hati Manis Madu kecewa, tapi se-
kali lagi ia harus menelan kekecewaan tersebut, Keha-
diran Lili membuat Manis Madu menjadi rendah diri
dan tak berani banyak berharap kepada Yoga. Sebab
dalam hati ia mengakui, Lili memang lebih cantik dari
dirinya. Yoga segera memanggil burung rajawali merah-
nya. Tangan kanannya menggenggam dua jari, semen-
tara jari kelingking, jari telunjuk, dan jempolnya berdi-ri tegak. Tangan itu
dirapatkan ke dada sekejap, ke-
mudian disentakkan naik dengan lurusnya. Maka me-
lesatlah tiga sinar merah dari ujung jari-jari tersebut.
Tiga larik sinar merah itu bertemu di angkasa dan ber-
dentum menimbulkan gema menggaung-gaung. Kejap
berikutnya, terdengar suara teriakan burung rajawali
merah di kejauhan, makin lama semakin dekat, teru-
tama setelah burung rajawali putih pun memberi suara
teriakan menyahut dari bawah.
Dengan mengendarai masing-masing burung
raksasanya itu, Lili dan Yoga sama-sama pergi tinggal-
kan tanah sekitar kuburan Resi Gutama. Mereka me-
nuju ke Perguruan Gerbang Bumi dan menemui Tua
Usil di sana. Kehadiran dua pendekar rajawali bersama se-
pasang burungnya itu menjadi pusat kerumunan mu-
rid-murid Perguruan Gerbang Bumi. Tua Usil semakin
dikagumi oleh mereka, karena mereka tahu, dua pen-
dekar yang mengendarai sepasang burung rajawali itu
adalah dua pendekar sakti yang namanya banyak
menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persila-
tan. Maka ketika Tua Usil menyatakan ingin pergi
membebaskan Resi Gumarang, Walet Gading beserta
murid-murid lainnya tidak merasa keberatan, justru
merasa bangga terhadap orang yang dianggapnya se-
bagai titisan Ki Pamungkas itu.
"Tapi saya tidak setuju kalau Nona Lili mau
sirnakan kesaktian pisau Pusaka Hantu Jagal ini," ka-ta Tua Usil sebelum naik ke
punggung burung rajawali
merah bersama Yoga.
"Kita tak punya cara lain, daripada pisau itu
menjadi milik perempuan iblis itu!" kata Lili.
Setelah diam sebentar, Tua Usil berkata, "Kalau
begitu, biar saya yang hadapi Nyai Kuku Setan, Nona
Li!" "Apakah kau sanggup mengalahkan dia?"
"Mudah-mudahan sanggup," jawab Tua Usil
sambil cengar-cengir tak pantas sedikit pun untuk
menjadi orang terhormat di sebuah perguruan.
Setelah ingat cerita Resi Gumarang tentang il-
mu Ki Pamungkas yang telah berpindah menjadi milik
Tua Usil, Lili pun hanya angkat bahu sebagai tanda
menyerahkan masalah itu kepada si Manusia Kabut
itu. Maka, mereka pun segera terbang bersama sepa-
sang rajawali besar menuju puncak gunung, tempat
pengasingan Resi Gumarang.
Sekalipun sudah mewarisi seluruh ilmunya Ki
Pamungkas, namun Tua Usil masih saja berdebar-
debar dan takut mengendarai burung besar yang
membawanya terbang. Kedua tangannya menggeng-
gam kuat-kuat kain baju Yoga di bagian pundak den-
gan tubuh gemetar. Yoga tertawa pelan berulang kali
ketika Tua Usil dengan bergetar serukan kata,
"Pelan-pelan saja, Tuan Yo...! Jangan tinggi-
tinggi...!"
Lili sendiri sempat terkikik geli melihat wajah
Tua Usil pucat karena takut melakukan perjalanan
Jodoh Rajawali 12 Pusaka Hantu Jagal di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angkasa nya. Dalam hati, Lili membatin, "Jika terbang serendah ini saja dia
ketakutan, apakah mungkin dia
punya keberanian menghadapi Nyai Kuku Setan nan-
ti?" Dugaan Lili, Tua Usil akan gentar jika melihat
kesepuluh kuku tajam lawannya nanti. Tapi setelah
mereka tiba di tempat, ternyata Tua Usil tidak terlalu
gentar. Hanya masih sedikit gemetar karena perjalanan
angkasanya tadi.
Nyai Kuku Setan tertawa kegirangan melihat
kehadiran Lili bersama Tua Usil dan Pendekar Rajawali
Merah. Dengan lantang ia bertanya, "Siapa di antara kedua lelaki ini yang
membawa Pusaka Hantu Jagal?"
"Aku!" Tua Usil berani menjawab dengan tegas.
Lalu, ia keluarkan pisau pusaka itu dari balik bajunya,
ia cabut dari sarung emasnya dan ia perlihatkan sinar
merah yang mengelilingi pisau tersebut.
"Kau lihat sendiri, aku telah membawa pusaka
yang kau cari, Nyai!" kata Tua Usil dengan berani. Yoga dan Lili menduga,
keberanian itu pasti keberanian
yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hidupnya.
"Benar-benar tak disangka kaulah orangnya
yang menyimpan pusaka milik eyang guruku itu! Coba
kuperiksa benda itu!"
Tua Usil segera menarik mundur pisau yang
sudah tak bersarung itu. Ia berkata, "Aku tak mau terkecoh oleh tipu daya mu
itu, Nyai. Bebaskan dulu Resi
Gumarang, baru akan kuserahkan pisau pusaka ini
kepadamu!"
Nyai Kuku Setan menggeram jengkel. Nafasnya
ditarik sebagai penahan luapan amarahnya, matanya
memandang sedikit menyipit menandakan rasa curiga,
yang membuat hatinya bimbang. Lalu, ia perdengarkan
suara, "Apakah kau bisa kupercaya, Pak Tua"!"
"Kalau kau tak percaya padaku, aku pun akan
pergi. Tentang nasib Resi Gumarang itu bukan uru-
sanku!" "Tunggu dulu!" Nyai Kuku Setan tampak khawatir. Hatinya berkata, "Orang
ini agaknya memang
tak punya hubungan apa-apa dengan Gumarang. Ka-
lau dia pergi, semakin susah aku mengejar dan mela-
wannya, karena ia memegang pusaka itu. Sebaiknya
kubebaskan saja tawananku!"
Lalu, ia berkata kepada Tua Usil, "Kalau kau
menipuku, kuhancurkan mereka semua yang ada di
sini, termasuk kedua burung setan itu! Mengerti"!"
Matanya melotot biar kelihatan lebih ganas dan lebih
bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
"Baik. Aku setuju dengan perjanjian itu, asal
setelah kau memiliki pusaka ini, jangan ganggu kami
lagi!" "Aku pun setuju dengan perjanjian ini!" kata Nyai Kuku Setan.
Ia segera menghadap Resi Gumarang yang se-
jak tadi tak berani bergerak sedikit pun itu. Kedua
tangannya terjulur ke depan. Tangan itu segera geme-
tar, dan sinar merah yang membungkus Resi Guma-
rang itu segera disedotnya hingga terhisap masuk ke
dalam kedua telapak tangan berkuku runcing itu. Satu
anak buahnya segera mencabut pedang dan menem-
pelkan pedang itu ke leher Resi Gumarang sebagai si-
kap berjaga-jaga jika terjadi kelicikan yang dilakukan
oleh Tua Usil. Mata Tua Usil melirik Lili, kemudian melirik
anak buah Nyai Kuku Setan yang tinggal tersisa satu
orang dan sedang mengancam Resi Gumarang itu. Lili
sepertinya bisa tanggap dengan lirikan mata Tua Usil.
Tapi ia tetap diam saja tanpa menunjukkan sikap yang
mencurigakan. "Sudah kubebaskan resi peot itu! Sekarang se-
rahkan Pusaka Hantu Jagal itu. Lekas!" bentak Nyai Kuku Setan.
"Ambillah...!" sambil berkata begitu, tiba-tiba tangan kiri Tua Usil yang
memegangi sarung pisau tersebut segera menyentak ke depan. Dari dalam sarung
pisau keluar cahaya biru yang melesat dengan cepat-
nya bagai cahaya petir. Claaap...! Taaas...!
Cahaya biru itu menghantam perut Nyai Kuku
Setan, membuat perempuan itu mendelik dan tak bisa
bernapas dalam sesaat, tubuhnya sedikit membung-
kuk. Sementara itu, Lili cepat sentilkan jarinya ke arah pedang yang mengancam
leher Resi Gumarang. Tas...!
Traaang...! Pedang itu patah menjadi dua bagian. Ser-
ta-merta Yoga lepaskan pukulan dari tangan kanannya
berupa seberkas sinar merah terang yang menghantam
pinggang orang bersenjata pedang patah itu. Desss...!
Orang tersebut terdorong mundur, dan terlempar ma-
suk ke dalam jurang.
"Aaaa...!" jerit kematian menggema sampai ke
dasar jurang. Jerit kematian itu ternyata bersamaan
dengan suara pekik tertahan dari mulut Nyai Kuku Se-
tan. Suara pekik itu membuat Yoga dan Lili sama-
sama palingkan wajah memandang ke arah Tua Usil.
Mereka terperanjat melihat Tua Usil telah berhasil
menghunjamkan pisau pusaka itu ke lambung Nyai Kuku Setan.
Tubuh perempuan itu bercahaya merah bening, dan
lama-lama cahaya itu berpindah membungkus tubuh
Tua Usil, kejap berikutnya padam. Pisau pun dicabut,
Tua Usil menghembuskan napas lega.
Resi Gumarang yang sejak tadi tetap tenang itu
segera berkata dengan senyum tipis,
"Seluruh ilmu Nyai Kuku Setan telah berpindah
ke. dalam raga Tua Usil. Semakin hebat saja ilmu
orang usil itu...!"
Tua Usil bagaikan baru sadar atas apa yang ia
lakukan itu. Maka dengan wajah takut dan salah ting-
kah, Tua Usil berkata,
"Saa... saya... saya tak sengaja, Nona Lili!
Sungguh... saya tak sengaja membunuh perempuan
ini.... Maafkan saya, Non Lili. Maafkan saya, Tuan
Yo...!" ia bergegas mendekati Resi Gumarang dan berkata, "Maafkan saya,
Resi...!" Yoga dan Lili hanya memandangi Tua Usil tan-
pa bisa bicara. Resi Gumarang menepuk-nepuk pun-
dak Tua Usil. "Jaga dirimu untuk tetap berbuat baik dan me-
lawan yang jahat!"
"Ba... baik. Baik, Resi...!"
Ia berpaling memandang Yoga dan Lili, namun
kedua pendekar rajawali itu masih sama-sama terte-
gun bengong, membuat Tua Usil menjadi semakin sa-
lah tingkah. Tapi ia segera ikuti pandangan mata Lili
dan Yoga ke arah tangannya. Dan Tua Usil terkejut se-
telah melihat, ternyata di kesepuluh jari tangannya te-
lah keluar kuku runcing bagaikan mata pedang, siap
menjadi cakar maut bagi lawannya. Apakah itu per-
tanda ilmu hitam yang dimiliki Nyai Kuku Setan juga
mengalir dalam diri Tua Usil"
SELESAI Segera menyusul!!
JEJAK TAPAK BIRU
E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 19 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Seruling Sakti 10