Pencarian

Jejak Tapak Biru 2

Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru Bagian 2


"Siapa orang yang bernama Tapak Biru itu?"
"Seseorang yang jika melangkah tinggalkan be-
kas biru di tanah. Semakin tinggi kemarahannya se-
makin nyata bekas biru pada jejak kakinya. Tapi jika ia tidak sedang marah
besar, tapak biru itu baru akan
terlihat beberapa saat setelah ia pergi."
"Apakah kau mencoba mengacaukan kami, Lin-
tang Ayu?" Lili curiga. Matanya memandang dengan
nada sinis. Lintang Ayu sunggingkan senyum,
"Kalau aku mau kacaukan kalian, kuculik ke-
kasihmu itu dan ku sembunyikan di suatu tempat
yang tak terjangkau oleh alam pikiran manusia. Tapi
hal itu tidak kulakukan, karena aku memang tidak in-
gin bikin persoalan denganmu. Kukatakan hal ini su-
paya kau berhati-hati."
Setelah hembuskan napas. Lili pun berkata,
"Baiklah. Terima kasih kau telah mengingatkan aku.
Tap! kalau boleh ku tahu, mengapa orang bergelar Ta-
pak Biru itu ingin bunuh Tua Usil?"
"Dia Ingin dapatkan pisau Pusaka Hantu Jag-
al!" "Hhhmmm...!" Lili mangut-manggut sambil
memandang ke arah lain. Kejap berikutnya kembali ia
perdengarkan suaranya,
"Kurasa Tua Usil bisa atasi Tapak Biru dengan
ilmu-ilmu yang mengalir dalam dirinya dari Ki Pa-
mungkas dan Nyai Kuku Setan."
"Belum tentu," bantah Lintang Ayu. Tapak Biru ilmunya di atas Ki Pamungkas dan
Nyai Kuku Setan.
Kelak kau akan tahu sendiri!"
Setelah berkata demikian, Lintang Ayu pun se-
gera melangkah pergi tinggalkan Lili bersama burung
rajawali putihnya. Langkahnya cukup tegak dan tegar.
Lili pun sempat berseru lagi, "Apakah kau kawan dari si Tapak Biru itu"!"
"Aku hanya kenal dia, tapi aku bukan sahabat-
nya!" seru Lintang Ayu. "Dia menanyakan kepadaku di mana Tua Usil dan kujawab,
cari saja Pendekar Rajawali Putih karena dia adalah majikannya! Entah dia
dengar atau tidak, paham atau tidak, tapi sudah kuka-
takan apa yang bisa kukatakan padanya. Juga kepa-
damu telah kukatakan apa yang bisa kukatakan pa-
damu!" sambil ia berjalan mundur, kemudian berbalik dan berjalan lagi semakin
jauhi Lili. Dalam hati. Pendekar Rajawali Putih bertanya-
tanya, "Siapa orang yang bernama Tapak Biru itu"
Siapa yang jejak kakinya meninggalkan bekas warna
biru itu" Pasti orang berilmu tinggi dan punya racun di telapak kakinya.
Hmmm...! Aku harus segera hubungi
Tua Usil dan Yoga untuk ceritakan berita dari Lintang
Ayu tadi!"
* * * 4 MASIH ingat si Tua Usil" Orang yang mempu-
nyai ilmu 'Halimun' sehingga bisa berubah menjadi se-
gumpal kabut yang bergerak" Hanya itu ilmu yang di-
miliki oleh Pancasona yang disebut-sebut sebagai Tua
Usil. Tetapi belakangan ini Tua Usil menjadi orang be-
rilmu tinggi sejak memiliki pisau Pusaka Hantu Jagal.
Jika pisau itu dipakai membunuh oleh si Tua Usil,
maka seluruh ilmu milik orang yang dibunuh mengalir
pindah menjadi milik si Tua-Usil, (Baca serial Jodoh
Rajawali dalam episode: "Pusaka Hantu Jagal"). Dua orang berilmu tinggi telah
dibunuh oleh Tua Usil dalam keadaan yang sangat terpaksa, yaitu Ki Pamungkas
dan Nyai Kuku Setan.
Itulah sebabnya Tua Usil sekarang mampu me-
lakukan gerakan-gerakan silat berilmu tinggi. Bahkan
dari tangannya keluar kuku runcing yang merupakan
kuku gaib milik mendiang Nyai Kuku Setan. Tetapi ke-
beradaannya sekarang masih membuat Tua Usil seba-
gai orang yang rendah diri. Sekalipun ia memiliki ilmu hitam milik Nyai Kuku
Setan, namun Lili selalu mem-bimbingnya agar Tua Usil tidak mudah menggunakan
ilmu hitam untuk bertindak jahat. Jika tanpa penga-
rahan dari Lili dan Yoga, tentunya Tua Usil sudah
menjadi orang sesat karena tingginya ilmu yang dimili-
kinya. Ia masih menganggap dirinya adalah pelayan
dua pendekar rajawali itu. Tua Usil masih patuh den-
gan nasihat dan perintah Lili maupun Yoga. Bahkan
kadang dirinya lupa bahwa ia sudah berilmu tinggi,
sehingga sesekali Tua Usil sering dibuat takut jika
menghadapi seseorang bertampang bengis yang sebe-
narnya ilmunya lebih rendah darinya. Sungguh suatu
keberuntungan besar buat Tua Usil mendapatkan ilmu
tiban seperti itu. Jarang orang menjumpai nasib sebe-
runtung dia. Namun sebagai manusia tentunya Tua Usil juga
memiliki rasa bangga terhadap dirinya. Rasa bangga
itulah yang sering menampakkan kesombongan dl de-
pan diri sendiri, Seperti hari itu, ia hampir seharian penuh berdiri di atas
ilalang yang sedang tumbuh. Kedua kakinya dengan santai dapat berdiri menginjak
ujung ilalang tanpa membuat ilalang itu patah atau-
pun roboh. Hal itu dikarenakan ilmu yang pernah dimiliki
oleh Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan mempunyai
jurus peringan tubuh yang cukup tinggi. Semasa hi-
dupnya, Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan juga per-
nah berdiri di atas ilalang, atau berdiri di atas air dengan beralaskan selembar
daun kecil. Tak heran jika
sekarang Tua Usil mampu melakukan hal itu, di mana
sebelumnya ia sangat berharap sekali dapat kuasai il-
mu peringan tubuh seperti itu.
Cukup lama ia membujuk dan menunggu den-
gan sabar agar Lili mau ajarkan ilmu berdiri di atas ilalang. Sekarang ia bisa
lakukan walau tanpa mendapat
pelajaran peringan tubuh dari Lili. Karena senangnya,
ia menikmati hal itu dari pagi hingga malam, dari ma-
lam hingga pagi lagi, dan sekarang hampir tengah hari.
Ia lupa tidur, lupa makan, dan lupa mandi. Ia benar-
benar nikmati suatu keinginan yang kini sudah terca-
pai itu. Kadang ia berjalan dari pucuk ilalang yang satu ke pucuk ilalang yang
satunya lagi. Kadang ia berhenti dan tertawa-tawa sendiri melihat ilalang yang
diinjaknya tidak roboh. Ia biarkan angin berhembus mener-
panya, embun datang membalutnya, lalu sinar mata-
hari kembali mengeringkannya. Ia berdiri di atas ila-
lang tanpa hiraukan apa pun yang terjadi pada alam
sekelilingnya. "Sekarang aku bisa menundukkan daun-daun
ilalang ini! Ooh... lega hatiku rasanya. Ku puaskan diriku menikmatinya, supaya
aku tidak mengejar-ngejar
Nona Lili lagi untuk minta diajarkan ilmu ini! Oh,
alangkah indahnya berdiri di atas ilalang begini. Walau tak ada yang memuji dan
mengagumi ku, namun aku
sangat puas memuji diri sendiri!"
Hembusan angin makin lama terasa semakin
kencang. Tua Usil masih tidak peduli. Bahkan hembu-
san yang kian kuat itu terasa datang dari arah bela-
kang, namun Tua Usil tetap tak pedulikan. Ia segera
peduli setelah terdengar kepakan sayap di atas kepa-
lanya dan suara seekor burung berteriak keras,
"Keaaak...! Keaaak...!"
"Oh, Nona Li datang..."!" ucapnya sambil tersenyum lebar, ia melambai-lambaikan
tangan kepada Lili
tanpa turun dari ujung ilalang. Sementara itu mata Lili memperhatikan keadaan
Tua Usil sambil geleng-geleng
kepala. Buat Lili apa yang dilakukan Tua Usil tak men-
jadikan ia heran. Karena ia tahu, Ki Pamungkas dan
Nyai Kuku Setan pasti bisa lakukan hal seperti itu.
Yang membuatnya sedikit dongkol adalah sikap Tua
Usil yang tidak mau turun dari pucuk ilalang walau ia
tahu Lili sudah turun dari burung rajawalinya dan
berkata kepada si Putih,
"Tinggalkan aku sebentar."
Burung itu pun terbang menikmati bebas tu-
gasnya, sedangkan Lili segera hampiri Tua Usil yang
masih saja tetap berdiri di atas pucuk ilalang. Hati gadis cantik itu segera
dapat memaklumi, karena ia tahu
betul bahwa berdiri di pucuk ilalang adalah sesuatu
yang amat diinginkan oleh Tua Usil. Karena itu, Lili
pun tidak jadi merasa dongkol, namun justru merasa
geli dalam hatinya.
"Dia memang seperti anak kecil yang mendapat
baju baru. Ke mana pun selalu dipakainya karena
gembira dan senang hatinya. Tapi biarlah dia begitu,
asal jangan di depan orang lain," kata Lili dalam hatinya sambil memandangi Tua
Usil dengan senyum
tersungging tipis.
"Nona Ki, lihatlah! Saya bisa berdiri di atas ilalang sekarang!" seru Tua Usil
sengaja memamerkan di-ri di depan orang yang dihormati.
"Lakukanlah, asal jangan di depan orang. Nanti
kau disangka pamer ilmu dan sombong diri!" kata Lili sambil menatap sekeliling
dengan lirikan mata indahnya. "Apa menurut pendapat Nona Li melihat saya bisa
begini?" "Kau hebat, Tua Usil. Tapi jangan sampai kehe-batanmu kau gunakan untuk
mencari sanjungan, nan-
ti yang kau dapat hanyalah permusuhan! Dan kau ha-
rus ingat, setinggi-tingginya ilmumu masih ada yang
lebih tinggi lagi."
"Betulkah begitu. Nona Li?" ucapnya dari atas ilalang. Lili segera menggerakkan
tangannya berkelebat bagai mengipas sesuatu di depannya. Wuuut...!
Praass...! Dalam sekejap ilalang-ilalang itu pun terpotong habis dan Tua Usil
pun jatuh karena kehilangan
tempat berpijak. Buuuhg...!".
"Auuh...!" Tua Usil menyeringai kesakitan sambil pegangi pantatnya yang
membentur batu segeng-
gaman tangan. Gadis cantik itu hanya tertawa kecil
dan di sembunyikan. Ia geli melihat Tua Usil jatuh terduduk membentur batu.
"Nona Li jahat! Mengapa ilalang-ilalang itu No-
na tebas habis dengan hanya sekali mengipaskan tan-
gan"." Nona Li sengaja mau celakai saya?" Tua Usil mengeluh sambil bangkit
bersungut-sungut.
"Aku hanya ingin buktikan padamu, setinggi-
tinggi ilmumu masih ada orang yang lebih tinggi lagi.
Jadi jangan sampai kau sombongkan diri karena me-
rasa berilmu tinggi. Aku pun merasa masih ada orang
yang punya ilmu lebih tinggi dariku, sehingga aku tak
ingin sombongkan kepandaianku ini hanya semata-
mata untuk cari pujian."
Sambil masih bersungut-sungut Tua Usil ber-
kata, "Sombong sebentar tak apalah, Nona. Mumpung tak ada orang lain di sini."
"Maafkan aku, Tua Usil," Lili menahan geli.
"Aku datang sengaja menemuimu karena ada masalah
penting yang harus kamu ketahui," katanya lagi.
"Masalah apa" Perkawinan Nona dengan Tuan
Yo" Ah, itu urusan Nona sendiri. Saya tak berani ikut
campur." "Bukan soal itu, Tua Usil. Ketahuilah, kau se-
dang dalam buruan seseorang. Kau dicari-cari seseo-
rang untuk dibunuh jika kau tak mau berikan pisau
Pusaka Hantu Jagal itu!"
Tua Usil diam, tercengang memandang Lili. Mu-
lai tampak rona ketakutan menghias di wajah tuanya
yang berkumis dan berjenggot tipis warna putih. Bah-
kan kini ia mendekati Lili dalam jarak dua langkah dan berkata dengan nada
heran, "Seseorang sedang mencari saya untuk dibu-
nuh" Siapa orang itu, Nona Li"!"
"Entah. Tapi dia berjuluk Tapak Biru. Hati-
hatilah jika bertemu dengan orang itu. Pusaka mu pas-
ti di incarnya."
Wajah Tua Usil tengok sana-sini dengan cemas,
kemudian lebih mendekati Lili dan berkata dengan li-
rih, "Tolong, Nona. Tolong lindungi saya. Saya tak
mau mati di tangan siapa pun, kecuali kehendak Yang
Maha Kuasa!"
"Kenapa kau jadi takut begini?"
"Ya tentu saja saya takut, Nona. Siapa orang-
nya yang tak takut jika dirinya terancam dan mau di-
bunuh oleh seseorang yang belum dikenal ciri-cirinya."
"Bukankah kau punya pusaka" Kau bisa mela-
wannya jika terpaksa demi melindungi diri, menyela-
matkan nyawamu sendiri."
"O, iya, ya..."!" Tua Usil mulai ceria kembali.
"Benar apa kata Nona Li. Saya punya pusaka dan saya sudah bisa mainkan beberapa
jurus cukup lumayan
buat melawan orang jahat! Aduh, saya lupa!" Ia mene-pak kepalanya sendiri. Rasa
cemas dan takutnya sege-
ra hilang. "Itu saja yang ingin kusampaikan. O, ya... kau
tahu ke mana Tuan Yo-mu berada?"
"Tidak, Nona Li! Saya tidak melihat beliau sejak
kemarin." Wajah Lili kelihatan sedikit gelisah, sehingga
Tua Usil ajukan tanya, "Ada gerangan apa Nona mencari Tuan Yo" Pentingkah?" "Ya
Aku harus berangkat ke Pulau Kana memenuhi
undangan Wisnu Patra, si Dewa Tampan itu!"
Tua Usil berkerut dahi mengingat nama Wisnu
Patra, kemudian ia berkata, "Bukankah Tuan Wisnu
Patra sudah menjadi raja di Pulau Kana yang berpen-
duduk orang-orang keturunan raksasa itu?"
"Benar. Dia sudah menjadi raja di sana dan su-
dah punya istri."
"Apakah mereka dalam bahaya?" "Hmmm...
yah, sedikit bahaya. Menurut utusan yang menemuiku
di pondok kita, Wisnu Patra sudah mempunyai bayi.
Istrinya melahirkan bayi perempuan yang konon wa-
jahnya mirip aku. Sudah empat puluh hari bayi itu la-
hir, tapi tali pusarnya belum bisa diputus oleh senjata apa pun. Kabarnya,
menurut Pendeta Agung Ganesha,
tali pusar bayi itu bisa diputus dengan senjata milik-
ku, yaitu, Pedang Sukma Halilintar. Jadi, Wisnu Patra


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat mengharap kedatanganku untuk menolong
memutuskan tali pusar bayinya, sambil ingin menga-
dakan pesta untuk memberi nama bayinya itu.".
"Aneh sekali bayi itu?" gumam Tua Usil. "Mengapa tali pusar bayi itu hanya bisa
diputuskan dengan
pedang pusaka Nona Li?"
"Entahlah apa yang dilakukan Wisnu Patra saat
menggauli istrinya hingga hamil itu. Ada-ada aja?" Lili geleng-geleng kepala.
"Mungkin dia masih menyimpan perasaan cinta padaku hingga menjerat hati dan ji-
wanya, atau... tak tahulah aku mengapa bayinya bisa
begitu. Yang jelas aku harus segera ke sana, dan aku
ingin ajak Yoga supaya dia tak menaruh kecurigaan
dan cemburu apa-apa padaku."
"Kalau begitu, Nona Li bisa tetap tinggal di
pondok kita saja, biar saya yang carikan Tuan Yo!"
"Tidak. Aku akan mencari sampai esok siang,
dan kau juga mencari dia. Kalau dia tidak kita temu-
kan, esok siang aku akan berangkat sendiri ke Pulau
Kana atau Pulau Keramat itu."
"Baiklah, Nona Lili! Saya mencari ke timur dan
Nona Lili mencarinya ke barat! Kita bertemu besok
siang, Nona Li."
Baru saja mereka akan bergerak, tiba-tiba ter-
dengar suara dari arah belakang Lili. Suara itu adalah suara tawa yang aneh dan
sedikit serak karena pengaruh usia tua.
"Hek, hek, he, hek, hek...! Jangan dulu pergi,
Nona Lili!"
Tua Usil dan Lili sama-sama terkejut. Lebih
terkejut lagi setelah mereka sama-sama memandang
ke arah datangnya suara tawa itu, ternyata di sana te-
lah berdiri seorang perempuan tua berjubah abu-abu
dengan pakaian dalamnya warna putih lusuh. Tak ter-
dengar sedikit pun langkah kedatangannya. Tak terasa
ada angin berhembus dari gerakan tubuhnya. Tahu-
tahu perempuan itu sudah muncul di belakang Lili da-
lam jarak sekitar tujuh langkah. Bahkan Tua Usil yang
sejak tadi menghadap ke tempat itu pun tidak melihat
kelebatan nenek tua yang datang ke tempat itu.
Pendekar Rajawali Putih mulai memandang
dengan sikap curiga. Nenek tua renta itu tersenyum-
senyum dengan mulut tanpa gigi satu pun. Wajah tua-
nya yang berkeriput dan kempot bisa ditaksirkan se-
bagai wajah tua berusia sekitar seratus tahunan.
Rambutnya yang putih digulung ke atas dengan men-
genakan tusuk konde dari taring babi hutan. Nenek itu
bertubuh kurus kering dan bungkuk, menggenggam
tongkat pemandu jalan berbentuk lengkung dari rotan
coklat. Ketika ia melangkah untuk lebih mendekati Lili, jalannya terhuyung-
huyung mau jatuh dan gerakannya lamban sekali. Kakinya yang kecil itu seakan tak
kuat menyangga tubuhnya, sepertinya akan roboh jika
diterpa angin sedikit besar.
Tua Usil segera menyambut dan menuntun
langkah nenek itu dengan pelan-pelan dan hati-hati
sekali. Tua Usil berkata,
"Nenek mau ke mana" Sudah setua ini masih
saja keluyuran?"
"Siapa yang jual sayuran?" katanya salah dengar.
"Keluyuran! Saya bilang, Nenek sudah tua ke-
napa masih keluyuran di hutan begini" Ada perlu
apa?" "Ooo.... Aku cuma ingin temui gadis cantik itu.
Bukankah gadis itu tadi kau sebut dengan nama Lili?"
"Benar. Dia memang Nona Lili; Pendekar Raja-
wali Putih," kata Tua Usil sambil berhenti di depan Lili kira-kira satu tombak
jaraknya. Tua Usil segera dekati Lili yang masih meman-
dang dengan heran ke arah nenek itu. Tua Usil berbi-
sik, "Nenek itu sepertinya budek, tapi tajam juga
pendengarapnya. Buktinya dia bisa tangkap suara
saya waktu memanggil Nona Lili. Apakah Nona kenal
dengannya?"
"Tidak sama sekali," jawab Lili pelan. Kemudian ia bertanya kepada nenek itu,
"Maaf, Nek... kau siapa, sehingga kau ingin bertemu denganku?"
Nenek bungkuk itu diam saja. Mulutnya men-
gunyah-ngunyah seperti makan sesuatu. Matanya
memandangi sekeliling terutama ke tanah, seakan ia
mencari-cari giginya yang jatuh. Karena ia diam saja,
Tua Usil berkata dengan suara sedikit keras,
"Nek, Nona Lili bertanya, kau siapa" Beliau be-
lum kenal!"
"Apanya yang kental?" nenek itu salah dengar lagi. "Kenal!" Tua Usil dekatkan
mulut ke telinga sang nenek. "Nona Lili belum kenal siapa dirimu!" "O, mau
kenal?" "Betul, Nek," jawab Lili sedikit keras tapi sopan.
"Akulah yang dikenal dengan nama Nini Bung-
kuk Renta!" sambil ia melangkah pelan-pelan sekali
menuju ke bawah pohon, lalu tangannya berpegangan
pada batang pohon supaya tak mudah jatuh.
Sementara itu, Lili sedang berpikir dengan alls
mengernyit, karena ia merasa baru sekarang menden-
gar nama Nini Bungkuk Renta. Tua Usil dipandanginya
sebentar, Tua Usil juga angkat bahu pertanda dia tidak mengenal nama itu.
"Lalu, mau apa kau menemuiku, Nini Bungkuk
Renta?" tanya Lili.
"Siapa yang ke sini menemuimu?" si nenek gan-ti bertanya,
Tua Usil jelaskan, "Nenek ini kemari kan mau
bertemu dengan Nona Lili"!"
"Iya. Benar. Benar!" jawabnya mengangguk-
angguk. "Keperluannya apa"!"
"Keperluannya siapa"!" Tua Usil menghem-
paskan napas menahan kejengkelan. Lalu dengan sa-
bar ia mengulang, "Keperluanmu menemui Nona Lili
mau apa"!"
"Ooo... keperluan ku"!" Nini Bungkuk Renta
yang sudah susah diajak bicara itu manggut-manggut.
Memandang Lili dengan matanya yang cekung dan bu-
ram. Kemudian ia berkata dengan suara pelan,
"Aku ingin bunuh kamu, Lili." "Lho..."!" Tua Usil terpekik kaget. Lili hanya
berkerut dahi. Tua Usil berkata, "Apa tidak salah ucapanmu itu, Nini Bungkuk
Renta?" "Ucapan... ucapan yang mana?" nenek bungkuk itu bingung sendiri.
"Kau bilang tadi, keperluanmu datang kemari
mau bunuh Nona Lili. Apa itu tak salah ucap?"
"Tidak. Tidak," ia geleng-geleng kepala sambil menggaruk kepala. Kini ia menatap
Tua Usil beberapa
saat, lalu sedikit terperanjat dan berkata dengan suara
agak keras, "Apakah... apakah kau yang bernama Pancaso-
na"!" "Iya. Betul. Bagaimana kau bisa mengenaliku, Nek?" "Hek, hek, hek, hek,
hek...!" nenek bungkuk tertawa. "Dulu aku pernah melihat kau dengan saudara-
saudara mu memburu babi hutan. Kuperhatikan di-
rimu yang bodoh itu jatuh bangun karena takut dis-
eruduk babi hutan. Waktu itu kudengar saudaramu
memanggilmu Pancasona. Nama itu, dan wajahmu ju-
ga, tetap kuingat dalam pikiranku. Bagaimana seka-
rang, apakah babi hutan itu sudah berhasil kalian
tangkap?" "Ngaco sekali dia," katanya kepada Lili. "Peris-tiwa itu terjadi sudah hampir
dua puluh tahun lebih,
Nona. Tapi saya sama sekali tidak kenali dirinya."
"Sebaiknya kutinggalkan saja dia. Aku harus
segera mencari Yoga!"
"Ya, ya...! Tinggalkan saja. Biar saya urus ne-
nek ini! Kalau perlu saya pulangkan ke asalnya.
Mungkin dia tersesat datang kemari."
Pendekar Rajawali Putih cepat tinggalkan tem-
pat. Tetapi baru dua langkah Nini Bungkuk Renta su-
dah berkata. "Tahan langkahmu, Lili!"
Angin berhembus dari depan Lili. Gadis itu ber-
kerut dahi karena ia tak dapat gerakkan kakinya un-
tuk lanjutkan langkah. Sepertinya ada kekuatan yang
menahan kaki Lili untuk tidak teruskan langkahnya.
Dalam hati Lili membatin,
"Ada apa ini" Mengapa aku tidak bisa terus me-
langkah" Kekuatan apa yang disalurkan oleh ucapan
nenek bungkuk itu?"
Mau tak mau Lili segera berpaling kembali
menghadap ke Nini Bungkuk Renta. Lalu dengan tetap
sabar Lili ajukan tanya,
"Apa maksudmu menahan langkahku, Nini
Bungkuk Renta?"
"Sudah kubilang tadi, aku ingin membunuh-
mu!" katanya seenaknya.
"Mengapa kau ingin membunuhku?"
"Karena aku tidak suka kau hidup," jawabnya
sembarangan saja sepertinya. Tapi Lili menangkap ada
maksud tertentu dari jawaban itu. Nini Bungkuk Renta
kembali berkata,
"Kau boleh hidup tapi harus lepaskan semua
ilmu mu. Kau tak boleh memiliki ilmu sedikit pun. Bu-
kankah begitu. Pancasona"!"
Tua Usil yang diajak bicara segera menjawab,
"Bukan! Kau tak berhak melarang siapa pun mempu-
nyai ilmu, Nini Bungkuk Renta. Apa alasanmu mela-
rang Nona Lili mempunyai ilmu?"
"Karena dia telah membuat muridku kehilan-
gan ilmu, Pancasona!"
"Siapa muridmu itu?" sergah Lili. "Iblis Mata Genit!" jawab Nini Bungkuk Renta.
Lili terkesiap dan Tua Usil terperanjat sambil cepat-cepat beradu pandang dengan
Lili. Rupanya nenek bungkuk itu guru
dari Iblis Mata Genit yang ilmunya telah dimusnahkan
oleh Lili, sehingga menjadi manusia biasa tanpa ilmu
sedikit pun (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode:
"Geger Perawan Siluman"). Balk Lili maupun Tua Usil tidak menyangka bahwa
gurunya Iblis Mata Genit itu
masih hidup. Padahal Iblis Mata Genit sendiri sudah
berusia tujuh puluh tahun. Berarti berapa usia nenek
bungkuk itu sebenarnya?"
"Nini Bungkuk Renta." kata Lili. "Hal itu kulakukan karena muridmu semena-mena
dalam bertin- dak. Ia mengandalkan kesaktiannya dan berjalan di ja-
lan yang sesat. Aku terpaksa melenyapkan ilmunya
demi kedamaian dan ketenteraman hidup di bumi!"
"Ngomong apa dia?" tanyanya kepada Tua Usil
Lalu, Tua Usil mengulang ucapan Lili dengan suara je-
las dan keras, sehingga Nini Bungkuk Renta pun ber-
kata, "Tak ada alasan apa pun yang bisa kuterima!
Yang jelas, sekarang aku akan melenyapkan ilmu-
ilmumu supaya kau menjadi seimbang dengan murid-
ku. Tapi karena aku tak punya jurus penyerap ilmu
dan belum memiliki alatnya, maka terpaksa kubunuh
saja kau, Gadis Cantik!"
Wuuut...! Nini Bungkuk Renta mengibaskan
tongkatnya dari bawah ke atas. Ada selarik sinar hijau yang berkelebat
menghantam Lili. Namun Pendekar
Rajawali Putih tak kalah sigap. Ia cepat sentakkan ka-
kinya m lompat hingga tubuhnya terlempar ke atas
dan hinggap di atas pohon pada sebuah dahan besar.
Sinar hijau itu melesat terus dan menghantam
pohon di seberang. Pohon yang terhantam sinar hijau
tersebut menjadi lenyap tanpa bekas sedikit pun. Bah-
kan dua tiga pohon di sekelilingnya ikut lenyap bagai
tak pernah tumbuh di tanah tersebut
Hal itu membuat Tua Usil terperangah bengong.
Lili sendiri juga tertegun memandang kehebatan ilmu
nenek bungkuk tersebut. Sang nenek celingak-
celinguk mencari lawannya. Bahkan bertanya kepada
Tua Usil, "Ke mana dia tadi?"
"Di atasmu," jawab Tua Usil bagai tak sadar.
Nini Bungkuk Renta mendongak, memandang Lili yang
bertengger di atas pohon, kemudian ia berkata, "Jatuh...!" Dan tiba-tiba tubuh
Lili bagai terpelanting dari atas dahan, lalu tubuh itu pun melayang ke bawah
dan jatuh tak bisa menjaga keseimbangan badannya.
Buuhg...! "Gila! Nona Li bisa dibuatnya jatuh dengan se-
kali ucap saja"!" gumam Tua Usil sambil terperangah bengong.
Nini Bungkuk Renta segera melompat ke arah
Lili dengan gerakan melayang bagaikan daun terbang.
Tongkatnya disambarkan agar mengenai tubuh Lili.
Tetapi Lili segera berguling ke samping dan tongkat itu melesat dalam jarak satu
jengkal di pundak Lili.
Wuusss!. Sekalipun melesat berjarak satu jengkal, na-
mun Lili merasakan bagai disambar angin panas sepa-
nas lahar gunung berapi. Ia sempat terpekik kaget ka-
rena disengat rasa panas yang luar biasa itu. Bahkan
pakaian jubahnya sempat membekas hangus pada
ujung pundak. Lili cepat bangkit ketika nenek bungkuk berka-
ki kecil itu mendarat di tanah datar, lima langkah dari tempat Lili berdiri.
Tangan Lili memegangi bagian pundak yang kena luka bakar. Dalam hatinya ia
memba- tin, "Haruskah kulayani nenek bungkuk ini" Il-
munya cukup tinggi dan membahayakan. Tapi jika ku
lawan dan aku menang, alangkah malunya aku bisa
unggul melawan nenek setua dia"!"
Saat Lili dalam kebimbangan, Tua Usil pun se-
gera maju menghadang di depan Lili menghadap ke
arah nenek bungkuk itu. Tubuh nenek itu meliuk-liuk
nyaris tumbang karena ada angin sedikit besar. Tapi
matanya masih tetap terarah kepada Lili dengan tajam.
"Jangan menghalangi seranganku, Pancasona!"
"Tidak. Kau tidak boleh menyerang Nona Lili. Kalau kau mau bunuh dia, hadapilah
aku, Nini Bungkuk
Renta." "Malas, ah!" jawabnya sambil garuk-garuk pa-
ha. "Yang kubutuhkan adalah nyawanya, bukan nya-
wamu! Yang punya kesalahan dia, bukan kamu. Jadi
aku harus balas dendam padanya. Minggirlah. Panca-


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sona!" "Aku tidak akan minggir sebelum kau berjanji untuk tidak memusuhi
majikanku ini, Nini Bungkuk
Renta!" "Bocah bandel...!" gerutu Nini Bungkuk Renta sambil mulutnya mengunyah-
ngunyah lagi seperti makan sesuatu, matanya memandang sekeliling bagai
mencari sesuatu yang jatuh ke tanah. Kesempatan itu
digunakan oleh Tua Usil untuk berbisik,
"Nona Li, lekas tinggalkan dia. Saya akan urus
dia. Agaknya dia punya ilmu lebih tinggi dari kita!
Ucapannya bisa menjadi pisau pembunuh yang amat
tajam. Buktinya Nona tadi benar-benar jatuh dari atas
pohon. Tinggalkan segera tempat ini dan carilah Tuan
Yo!" "Dia akan membunuhmu jika tak ada aku!"
"Saya akan bujuk dia Agaknya dia sedikit jinak
bila berhadapan dengan saya, Nona. Lekaslah!"
"Aku tak tega jika harus melawannya. Kuterima
saran mu dan hati-hati menjaga dirimu, Tua Usil," bisik Lili. Kemudian dengan
satu kali sentakan kaki, Lili telah lenyap bagaikan menghilang karena cepatnya
gerakan yang menggunakan jurus 'Langkah Bayu' itu.
Tua Usil segera dekati Nini Bungkuk Renta
yang memandang dengan mata sedikit menyipit ke
arah sekelilingnya. Terdengar nenek bungkuk itu ber-
kata seperti bicara pada dirinya,
"Ke mana gadis cantik tadi?"
"Mau apa kau cari?"
"Aku dulu juga secantik dia!"
"Dia telah pergi."
Mata buram itu menatap tajam pada Tua Usil,
lalu ia menggeram, "Mengapa kau biarkan dia pergi"
Dia belum kubunuh! Kalau dia sudah kubunuh baru
boleh pergi!"
"Sudahlah, Nini Bungkuk Renta. Jangan mena-
namkan permusuhan dengannya. Dia majikanku, dan
aku hidup tergantung dirinya," bujuknya.
"Bodoh! Jangan mau hidup tergantung dengan
orang yang sebentar lagi akan mati! Lebih baik hidup
tergantung pada diriku, karena biar usiaku sudah
mencapai seratus lima belas tahun tapi aku masih
punya masa hidup lebih panjang lagi!"
Tua Usil tertegun mendengar jumlah usia yang
disebutkan, antara percaya dan tidak ia membatin,
"Sangat tua sekali dia jika benar berusia sebanyak itu"
Awet muda juga dia. Apa rahasianya?"
Nini Bungkuk Renta berjalan tertatih-tatih
hampir jatuh. Tua Usil segera menuntunnya sebagai
bujukan dari bertanya, "Mau ke mana, Nini?" "Mau kejar gadis itu!"
"Tak usahlah. Nini di sini dulu bersamaku," bujuk Pancasona supaya nenek itu tak
bisa kejar Lili. Ta-pi rupanya bujukan itu ditanggapi dengan sungguh-
sungguh. Ia memandang Tua Usil dan berkata,
"Benarkah kau mau bersamaku di sini sela-
manya?" "Selamanya" Oh, tak mau aku kalau selamanya
ada di sini!" kata Tua Usil. "Sebaiknya kita jalan-jalan saja ke tempat lain,
Nini!" "Jalan-jalan..."! Kau telah mengecewakan aku
karena aku kehilangan gadis itu!"
"Karena itu buat mengobati kekecewaanmu, ki-
ta jalan-jalan menikmati pemandangan alam di sekitar
sini, Nini."
"Tidak, tidak! Aku tidak mau. Aku mau pergi ke
Perguruan Gerbang Bumi saja!"
"Nah, itu juga baik."
"Tapi kau harus antarkan aku ke sana."
"Aku tidak keberatan."
"Aku harus digendong."
"Hahh...".!" Tua Usil mendelik.
"Aku minta gendong kamu, Pancasona! Minta
gendong! Kalau tidak, aku lebih baik kejar gadis itu ta-di dan membunuhnya!"
"Ya, ya... baik! Akan kugendong kau, Nek!" jawab Tua Usil dengan terpaksa,
daripada nenek bung-
kuk yang sakti itu memburu Lili.
"Hek, hek, hek, hek...!" Nini Bungkuk Renta tertawa kegirangan. Ia segera naik
ke punggung Tua Usil
dengan satu lompatan. Bruuuk...!
"Eehhg...!" Tua Usil mendelik dan mengerahkan urat-uratnya. Dalam hati ia
berkata, "Nenek ini kurus-nya bukan main, tapi beratnya melebihi menggendong
seekor kerbau"! Pasti karena tingginya ilmu yang dimi-
liki, sehingga badan kurus kering kelihatannya ringan
menjadi seberat ini. Uuuh...! Edan! Mau tak mau aku
harus tetap menggendongnya sampai ke Perguruan
Gerbang Bumi."
Nenek bungkuk tertawa-tawa ketika dibawa ja-
lan dalam gendongan punggung Tua Usil. Ia berkata,
"Tak ada ruginya kau menggendongku, Pancasona.
Seumur-umur baru sekarang ada lelaki sudi menggen-
dongku. Kau baik sekali, Pancasona. Tidak seperti Ma-
laikat Gelang Emas yang tak pernah mau menggen-
dongku." "Malaikat Gelang Emas"!" Tua Usil kaget. "Kau kenal dengannya?"
"Aku adik seperguruan Malaikat Gelang Emas.
Hek, hek, hek, hek...!"
* * * 5 JENAZAH Nyai Sembur Maut dimakamkan bu-
kan di Bukit Lidah Samudera, melainkan di Lembah
Separo Nyawa, tempat ditemukannya pusaka Pedang
Jimat Lanang itu. Bocah Bodoh sempat teringat saat
terlibat percakapan dengan mendiang ibunya menje-
lang tidur di suatu malam, bahwa sang Ibu ingin agar,
kelak jika ia meninggal dimakamkan di Lembah Separo
Nyawa. Karena itu, Yoga pun menyarankan agar pesan
tersebut benar-benar dituruti oleh sang anak.
Selesai memakamkan jenazah Nyai Sembur
Maut, Yoga mengajak Bocah Bodoh untuk pulang ke
pondoknya, yang sebenarnya merupakan rumah ke-
diaman Tua Usil itu.
"Sekarang saya tak punya siapa-siapa lagi.
Saya ingin ikut Tuan Yo dan Nona Lili saja. Biarlah
saya jadi pelayan Tuan Yo dan Nona Lili seperti si Tua Usil itu," kata Bocah
Bodoh dengan nada iba.
"Kalau begitu, sekarang juga kita lekas pulang
ke pondok. Firasat ku mengatakan, Lili sedang menca-
ri-cari aku dan ingin jumpa denganku. Sepertinya ada
sesuatu yang ingin disampaikannya kepadaku."
"Tapi saya tak mau naik burung rajawali lagi,
Tuan. Saya pusing dan perut saya mual."
Yoga tertawa pelan, "Itu namanya mabuk uda-
ra. Baiklah, kita jalan kaki saja." Lalu, Yoga dekati burung rajawali merahnya
yang ikut berwajah sedih saat
pemakaman jenazah Nyai Sembur Maut dilakukan.
"Merah, tinggalkan aku. Pergilah dulu, nanti
kalau aku memerlukan kau akan kupanggil. Biarkan
aku pulang ke pondok bersama Bocah Bodoh dengan
jalan kaki."
"Keaaak...!" selesai serukan suara sebagai tan-
da patuh, burung itu pun segera berkelebat terbang
dengan timbulkan angin kencang.
Perjalanan mereka ditempuh melalui perbuki-
tan. Dari ketinggian lereng bukit itu, tiba-tiba mereka melihat serombongan
orang mengusung tandu. Tandu
berhias mewah dengan warna-warna kuning emas di-
usung oleh empat orang lelaki berpakaian biru-biru.
Tiga orang wanita berusia sama mudanya berada di
depan usungan tandu, mereka kenakan seragam kun-
ing kunyit. Agaknya tiga orang itu merupakan pengaw-
al terdepan dari usungan tandu tersebut. Sedangkan
di belakang tandu serta di samping kanan-kiri tandu
juga terdapat pengawal berpakaian seragam biru mu-
da, lebih muda warnanya dari pakaian pengusung tan-
du tersebut. Pada umumnya mereka terdiri dari wani-
ta-wanita muda. Hanya beberapa orang saja yang lela-
ki berusia sama dengan yang wanita, sekitar dua pu-
luh lima tahunan.
Bocah Bodoh hentikan langkahnya ketika Pen-
dekar Rajawali Merah menatap ke arah usungan tandu
tersebut. Rupanya mereka bukan sekadar berjalan ka-
ki, melainkan ada beberapa pengawal terbelakang yang
menggunakan kuda. Mereka berjumlah sekitar enam
orang berkuda, termasuk seekor kuda putih berpelana
bias. Sedangkan dari arah depan muncul satu orang
berkuda yang menghampiri pengawal berpakaian kun-
ing. Mereka terlibat pembicaraan sebentar sambil
tetap melangkah, Rupanya penunggang kuda berpa-
kaian hitam itu adalah pengawal yang bertugas meme-
riksa keamanan jalan yang akan dilalui oleh rombon-
gan tandu. Penunggang kuda itu juga seorang perem-
puan berambut rapi dengan pedang di punggungnya.
"Siapa yang ada di dalam tandu bagus itu,
Tuan?" tanya Bocah Bodoh.
"Mana aku tahu" Aku sendiri tidak mengenali
ciri tandu dari daerah mana itu" Mungkin rombongan
dari sebuah kadipaten," kata Yoga sambil segera melangkah kembali. Ia tambahkan
kata, "Biarkan saja mereka! Tak perlu kita dekati,
nanti justru menjadi salah paham. Dikiranya kita
orang jahat." "Tapi, tunggu sebentar, Tuan!" sergah Bocah Bodoh dengan mata
lebih melebar memandang
ke arah kaki perbukitan.
"Apa yang membuatmu tegang, Bocah Bodoh?"
tanya Yoga. "Saya melihat sekelebat anak buah Raga Dewa
di kerumunan pohon sebelah sana, Tuan!" sambil ia menuding ke arah yang
dimaksud. Yoga memandang lebih tajam lagi ke arah ter-
sebut. Sebentar kemudian ia berkata,
"Benar. Aku melihat tiga orang mengendap-
endap di balik semak. Agaknya mereka ingin mengha-
dang rombongan tandu."
Tetapi kedua orang itu belum mau bergerak tu-
run ke bawah. Mereka masih memperhatikan dari se-
buah ketinggian. Dan apa yang diduga oleh Pendekar
Rajawali Merah ternyata memang benar. Apa yang di-
duga Bocah Bodoh juga benar. Anak buah Raga De-
wa muncul dari persembunyiannya, talu menyerang
orang-orang pembawa tandu tersebut.
"Mereka bertempur, Tuan!" ucap Bocah Bodoh
dengan nada tegang.
Yoga hanya menggumam, belum mau bertindak
apa pun selain hanya memperhatikan pertarungan me-
reka. Ternyata Raga Dewa juga ada di antara para pe-
nyerang tersebut. Denting pedang dan senjata lainnya
beradu mulai terdengar serabutan. Suara pekik tak je-
las artinya juga menggema sampai di atas bukit. Raga
Dewa dan anak buahnya berhasil lumpuhkan para
pengawal tandu terdepan. kini tiba giliran pengawal
belakang maju menghadapi serangan Raga Dewa.
"Orang gendut bertopi besi itulah yang bernama
Raga Dewa, Tuan!" kata Bocah Bodoh dengan mata tak berkedip.
"Tampaknya ilmu orang itu cukup tinggi. Lihat,
sekali berkelebat dua-tiga lawan tumbang, Dan, ooh...
lihat, dengan kaki menghentak ke bumi, tanah seki-
tarnya bergetar bagaikan mengalami gempa, daun-
daun runtuh beterbangan. Jelas dia gunakan ilmu te-
naga dalam yang disalurkan lewat suara dan kaki."
Para pengawal rombongan tandu morat-marit.
Kuda mereka sempat ada yang hancur kepalanya di-
hantam pukulan tenaga dalam Raga Dewa. Tapi sisa
para pengawal yang belum roboh masih tetap berjuang
pertahankan agar Raga Dewa dan anak buahnya tidak
menyerang tandu tersebut.
Sedikitnya empat orang tewas dalam pertempu-
ran itu. Sisanya terluka dan tak berdaya. Yang masih
bisa mempertahankan tandu sekitar enam orang. Itu
pun sekarang sedang didesak oleh anak buah Raga
Dewa. Akhirnya dari dalam tandu tersebut melesat se-
sosok tubuh menembus atap tandu. Braas...! Sosok
manusia yang keluar dari tandu itu mengenakan pa-
kaian biru muda mengkilap bagai terbuat dari bahan
kain satin. Bocah Bodoh makin terbelalak melihat
orang yang menerobos dari dalam tandu itu ternyata
seorang perempuan cantik dengan mahkota kecil
menghiasi rambutnya yang terurai panjang, disanggul
sebagian di tengah kepala.
"Tuan. Tuan... lihat perempuan itu!"
"Hmmm...! Kenapa maksudmu?"
"Dia... dia kelihatan cantik sekali, Tuan."
"Apa kau bisa menilai kecantikan seseorang?"
Bocah Bodoh memandang Yoga sebentar, ter-
bengong, lalu kembali menatap ke pertarungan di kaki
bukit. Ia semakin kagum dengan perempuan muda
bermahkota yang saat itu sedang hadapi serangan dari
dua lawannya. Dalam satu gebrakan kecil, dua lawan-
nya jatuh terjungkal dan berguling-guling. Sementara
itu, anak buahnya yang masih mampu lakukan perla-
wanan tinggal empat orang.
Bocah Bodoh menampakkan kecemasannya ke-
tika perempuan bermahkota itu sedang hadapi kapak
dua mata milik Raga Dewa. Tangan dan jari-jarinya
Bocah Bodoh bergerak-gerak bagaikan menahan ke-
gemasan. Maka, serta-merta dia berkata kepada Yoga
dengan menatap pendekar tampan bertangan buntung
itu, "Tuan, bolehkah saya Ikut bantu rombongan
tandu itu?"
"Apa kau berani?"
"Kata Tuan, saya boleh gunakan pedang untuk
lindungi kebenaran dan menumpas kejahatan" Raga
Dewa dan anak buahnya itu jahat, Tuan."
"Yoga tersenyum sambil mengangguk satu kali,


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lakukan, tapi jangan menjadikan dirimu buas dan
liar!" Tanpa menunggu perintah kedua dan saran
apa pun lagi Bocah Bodoh segera lari menuruni bukit,
menghambur ke tengah pertarungan mereka. Saat itu,
salah seorang anak buah Raga Dewa ada yang menge-
nali kehadiran Bocah Bodoh dan segera berteriak,
"Bocah itu muncul lagi! Bunuh sekali dia! Bo-
cah itu muncul lagi!"
Seruan itu membuat beberapa anak buah Raga
Dewa, termasuk Raga Dewa sendiri menjadi hentikan
serangannya. Mereka memandang ke arah Bocah Bo-
doh yang segera. berhenti dari gerakannya dan tercen-
gang kaget serta tegang. Ia merasa anak buah Raga
Dewa mulai berpindah amukan ke arahnya. Ia menjadi
mundur dua tindak namun berusaha tenangkan hati
dan jantungnya yang berdebar-debar. Wanita cantik
bermahkota itu juga menatap ke arah Bocah Bodoh,
sehingga Bocah Bodoh menjadi kikuk bersikap di de-
pannya. Raga Dewa segera maju dekati Bocah Bodoh
dan berhenti dalam jarak tujuh langkah, sejajar den-
gan jarak perempuan bermahkota kecil itu. Dengan
suara lantangnya manusia bertopi besi yang mempu-
nyai tanduk di tengah dahinya itu berkata kepada Bo-
cah Bodoh, "Bagus! Bagus! Kau datang juga untuk serah-
kan nyawamu, Nak! Bagus sekali itu! Huah, ha, ha, ha,
ha...!" "Aku... aku datang untuk membela putri tandu ini! Dia tidak bersalah,
tapi kau menyerangnya dengan
kejam, Raga Dewa!"
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Dengar, tikus sawah
ini sekarang sudah berani berbicara padaku! Mungkin
karena sebentar lagi dia akan susul nyawa ibunya ke
neraka! Huah, ha, ha, ha, ha...!"
Suara tawa itu sejak tadi membuat dedaunan
berguguran di sana-sini. Tapi Bocah Bodoh tidak pedu-
likan. Ia segera dikurung oleh anak buah Raga Dewa,
dan anehnya wanita bermahkota kecil itu ikut masuk
dalam kepungan tersebut. Kini ia berhadapan dengan
Bocah Bodoh, memandang dengan mata indahnya
yang lembut namun punya ketajaman wibawa yang
menggetarkan hati. Bocah Bodoh hanya terbengong
memandangi kecantikan perempuan yang mengenakan
anting tindik batu putih berkerilap di cuping hidung
kirinya itu. "Mengapa kau masuk dalam arena ini" Keluar-
lah dan jangan libatkan dirimu! Aku punya urusan
sendiri dengan Raga Dewa yang pernah kutolak cin-
tanya dan kini menaruh dendam serta kebencian ter-
hadapku. Aku tahu dia ingin membunuhku dan me-
musnahkan penduduk Teluk Gangga! Ini bukan uru-
sanmu, keluarlah dari arena ini dan jangan korbankan
nyawamu untuk rakyat Teluk Gangga!"
"Sa... saya... saya tak bisa keluar. Saya juga
akan dibunuh oleh mereka. Jadi... jadi... biarlah saya hadapi mereka."
"Siapa dirimu sebenarnya?"
"Saaa... saya... Cola Colo, dipanggilnya; Bocah
Bodoh." "Baiklah kalau memang itu tekadmu. Aku Dewi Gita Dara; penguasa Teluk
Gangga! Dan...."
Kata-kata itu terhenti karena suara keras Raga
Dewa, "Habisi mereka berdua! Seraaang...!"
"Hiaaat...!" tujuh orang anak buah Raga Dewa melompat bersamaan menyerang Bocah
Bodoh dan Dewi Gita Dara. Tetapi perempuan cantik beranting
tindik di cuping hidung kirinya itu segera memutar tu-
buhnya dengan cepat bagai menari, lalu diam dalam
keadaan berlutut satu kaki, kedua tangan saling rapat
di dada. Pada waktu ia berputar tadi, keluar sinar kuning yang memancar menyebar
ke segala penjuru. Wak-
tu itu, Bocah Bodoh jatuh terpelanting oleh sentuhan
siku Dewi Gita Dara, sehingga sinar kuning yang me-
nyebar itu tidak sempat kenai tubuh Bocah Bodoh,
melainkan menghantam ke tubuh tujuh anak buah
Raga Dewa. Craasss...! "Aaaahg...!" Mereka terlempar bersama-sama ke belakang dan berjumpalitan tak
tentu arah. Tubuh
mereka menjadi pucat semuanya dengan keluarkan
darah dari tiap lubang hidung. Sedangkan Raga Dewa
yang terkena sinar kuning itu hanya tersentak mundur
dua tindak, tanpa keluarkan darah sedikit pun dari
hidungnya. "Gggrrrh...!"
Duuhg...! Raga Dewa menggeram dan menghen-
takkan kakinya ke tanah. Dedaunan runtuh, bahkan
sekarang ada batang pohon yang retak karena gelom-
bang getar yang ditimbulkan dari suara geramnya itu.
Bocah Bodoh segera bangkit ketika terdengar
suara Raga Dewa berseru kepada anak buahnya,
"Tolol semua! Serang lagi mereka dengan jurus
'Laba-laba Hutan'!"
Sreet...! Bocah Bodoh segera cabut pedang pu-
sakanya. Pedang pendek itu sepertinya pedang biasa
saja. Namun ketika anak buah Raga Dewa menye-
rang dengan sinar hijau berlarik-larik dari telapak tangan mereka, Bocah Bodoh
segera sentakkan pedang-
nya satu kali, dan pedang tersebut bisa berubah men-
jadi panjang bagaikan sebuah samurai.
Bocah Bodoh seperti tak sadar dalam gerakan-
nya. ia terbawa oleh gerakan pedang yang mampu ber-
gerak sendiri memainkan jurus pedang dengan sangat
cepatnya. Ia bergerak mengerling Dewi Gita Dara sea-
kan memberikan perlindungan sambil menebas ke sa-
na-sini, menangkis tiap sinar yang keluar dari tangan
anak buah Raga Dewa.
"Hiaaah...!" Bocah Bodoh berteriak sambil berguling-guling di tengah, menebaskan
pedangnya ke ta-
nah beberapa kali, hingga membuat Dewi Gita Dara
memandang heran melihat jurus pedang yang tak per-
nah dilihatnya itu.
"Aaahg...! Uuuhg...! Aaa...!"
Anak buah Raga Dewa saling terpekik. Rupanya
Bocah Bodoh menghantamkan pedangnya ke bayangan
mereka yang jatuh di tanah. Setiap bayangan yang di-
tebasnya, timbulkan luka di tubuh orang yang memili-
ki bayangan tersebut. Sehingga dalam waktu singkat,
empat anak buah Raga Dewa telah jatuh tak berkutik
dan tak bernyawa lagi.
Zlaaap...! Sekelebat bayangan coklat putih
mendekati Bocah Bodoh, lalu menahan gerakan tan-
gan Bocah Bodoh. Di lain pihak, Dewi Gita Dara terke-
jut melihat seorang pendekar tampan sudah berada di
dekatnya. "Tahan, Bocah Bodoh!" seru pendekar tampan
yang tak lain adalah Yoga itu. Tetapi Bocah Bodoh
mengamuk bagaikan tak sadar. Ia meronta dari pegan-
gan tangan Yoga, lalu melompat menyerang salah seo-
rang anak buah Raga Dewa. "Hiaaah...!"
Wuuut...! Craas...! Dengan kedua tangannya
Bocah Bodoh berhasil menebaskan pedang dengan ke-
cepatan yang tak dapat dilihat mata manusia biasa itu.
Akibatnya, orang tersebut pun tumbang tak bernyawa.
Ketika Bocah Bodoh hentakkan kakinya untuk
lakukan satu lompatan, tiba-tiba kaki Yoga segera
menggaetnya dengan cepat. Plaak...! Bruk! Bocah Bo-
doh jatuh tersungkur dan cepat diinjak tangannya oleh
Yoga seraya berseru,
"Hentikan, Bodoh! Kau bukan seorang penjagal
manusia!" Bocah Bodoh berusaha melepaskan diri dari pi-
jakan kaki Yoga, namun ia tak berhasil. Sementara itu, Raga Dewa memandang
dengan mata menyipit dan segera berkata dengan nada geram.
"Dewi Gita Dara, ku tangguhkan niatku mem-
balas penghinaanmu tempo hari, karena ada urusan
yang lebih penting. Tapi Ingat, kalau urusanku sudah
selesai nanti, akan kubalas penghinaan itu. Yang pasti akan melayang nyawamu di
tanganku!"
Tanpa bicara lebih panjang lagi, Raga Dewa ce-
pat tinggalkan tempat dan sisa anak buahnya yang
tinggal dua orang itu segera ikut-ikutan tinggalkan
tempat itu. Dalam hati Raga Dewa berkata,
"Bocah itu mempunyai pedang pusaka yang
cukup dahsyat. Tidak begini cara melawan dan mem-
bunuhnya! Dan agaknya pemuda tampan itu juga be-
rilmu tinggi. Kurasa aku bisa babak belur jika mereka
bertiga maju serempak melawanku. Aku harus cari
siasat menyerang mereka tidak dalam kebersamaan!
Kutunggu kelengahan mereka, baru kuhabisi nyawa
mereka satu persatu!"
Yoga berhasil sadarkan Bocah Bodoh. Pedang
Jimat Lanang berhasil dimasukkan dalam sarungnya
yang pendek. Anehnya, pedang yang dalam keadaan
panjang itu bisa cukup masuk ke dalam sarung pen-
dek, seakan menjadi berkerut pendek dengan sendi-
rinya. Dewi Gita Dara memperhatikan hal itu dengan
menyimpan rasa kagum dalam hatinya.
"Ingat, Bocah Bodoh," kata Yoga, "Lain kali kau tak boleh menjadi seorang
pembantai! Kejahatan memang perlu dilawan, tapi tidak harus melalui pemban-
tai sekejam ini!"
Bocah Bodoh terbengong memandangi mayat-
mayat para pengikut Dewi Gita Dara. Mulutnya men-
gucapkan gumam lirih namun didengar oleh mereka,
"Ya ampun..."! Apa yang telah saya lakukan
kepada mereka" Lima orang anak buah Raga Dewa
mati seperti itu, pasti diserang oleh seseorang yang cukup keji."
"Kaulah penyerangnya!" kata Yoga memotong.
"Saya..."!" Bocah Bodoh merasa heran. "Saya...
saya merasa tidak menyerang mereka, Tuan Yo! Saya
hanya bergerak mengikuti gerakan pedang. Saya diba-
wanya ke sana-sini sampai pontang-panting dan tak
bisa hentikan gerakan tersebut."
Pendekar Rajawali Merah diam termenung wa-
lau matanya memandang ke arah Bocah Bodoh yang
berwajah polos. Mau tak mau Yoga segera memaklumi
tindakan Bocah Bodoh, karena menurut penjelasan
dari mendiang ibu Bocah Bodoh, pedang tersebut da-
pat bergerak dengan sendirinya memainkan jurus pe-
dang yang luar biasa hebatnya, sehingga pemegangnya
hanya bisa lakukan gerakan mengikuti gerakan pe-
dang itu. Pedang Jimat Lanang juga dapat membunuh
lawan melalui bayangannya, sehingga pemegang Pe-
dang Jimat Lanang tak perlu serang langsung ke tu-
buh lawannya. Itulah kehebatan Pedang Jimat Lanang
setahu Yoga. Dan ternyata kehebatan itu telah terbukti di depan mata Yoga, juga
di depan mata perempuan
cantik bermahkota kecil itu.
"Maafkan tindakannya. Dia bergerak di luar ke-
sadaran dirinya. Jangan anggap dia seorang pembantai
yang keji!" kata Yoga kepada Dewi Gita Dara dengan mata lembut menatap dan
senyum tipis memikat.
"Aku justru ingin ucapkan terima kasih kepada
kalian. Kalian telah selamatkan aku dari ancaman Ra-
ga Dewa!" kata penguasa Teluk Gangga itu dengan penuh wibawa. Perempuan yang
kenakan perhiasan
lengkap itu kembali berkata
"Suatu saat, Raga Dewa pasti masih ingin men-
coba membalas sakit hatinya atas penolakan ku ketika
ia tiga kali melamar ku. Mungkin ia akan balas dengan
mempermalukan aku, atau menghilangkan nyawaku.
Yang jelas, Ketua Partai Bajak Samudera itu tetap
akan memusuhi orang-orang Teluk Gangga akibat ke-
kecewaan hatinya terhadapku."
"Kalau begitu, kau perlu hati-hati," kata Yoga
kepada Dewi Gita Dara yang sejak tadi dipandanginya
dengan perasaan kagum. Dewi Gita Dara sendiri tak
mau berkedip ketika menatap Yoga dan menyimpan
debar-debar indah di dalam hatinya.
"Bagaimana... bagaimana kalau saya ajukan di-
ri untuk menjadi pengawal Nona?" kata Bocah Bodoh beranikan diri walau tampak
gugup. Dewi Gita Dara sunggingkan senyum tipis. Tipis
sekali, hingga nyaris tak terlihat. Ia hampiri tandunya dan segera berbalik arah
sambil berkata kepada Bocah
Bodoh, "Masih perlu ku pikirkan, karena perjalananku sendiri masih belum
mencapai tujuannya."
"Hendak ke mana kau sebenarnya, Dewi Gita
Dara?" tanya Yoga yang tadi segera mencatat dalam otaknya ketika Raga Dewa
sebutkan nama perempuan
berkulit kuning itu.
"Aku ingin mencari seseorang yang bernama
Tua Usil."
Bocah Bodoh dan Yoga sama-sama terkejut, la-
lu mereka saling pandang mata, membuat Dewi Gita
Dara berkerut heran dan bertanya,
"Apakah kalian sudah mengenal orang bernama
Tua Usil?"
Bocah Bodoh ingin menjawab, namun Yoga le-
bih dulu menyahut,
"Ya, kami memang pernah mendengar nama
itu. Tapi kalau boleh kami tahu, untuk apa kau ingin
bertemu dengan orang yang bernama Tua Usil?"
"Aku mencari pisau Pusaka Hantu Jagal!"
Yoga dan Bocah Bodoh saling pandang kembali.
Dalam hati mereka sama-sama bertanya: "Perempuan
ini sebenarnya lawan atau kawan?"
* * * 6 BERUNTUNG sekali di dalam tubuh Tua Usil
mempunyai tenaga dalam yang cukup besar, sehingga
dengan sedikit menahan napas ia mampu menggen-


Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dong-gendong Nini Bungkuk Renta sampai jauh. Hal
yang membuat Tua Usil menjadi segan menggendong
Nini Bungkuk Renta adalah sikap nenek tua itu yang
menjadi seperti gadis belasan tahun genitnya. Sesekali ia mencium telinga atau
pipi Tua Usil sambil terkekeh-kekeh kegirangan. Jika sudah begitu, Tua Usil
bersun- gut-sungut penuh gerutu yang tak digubris oleh Nini
Bungkuk Renta. Karena jengkel diperlakukan demikian, Tua Usil
pun berhenti di sebuah lembah yang teduh, Nini
Bungkuk Renta diturunkan dari gendongannya. Nini
Bungkuk Renta merengek seperti gadis perawan yang
manja. "Kenapa berhenti"! Aku masih ingin digendong kamu, Pancasona! Ayolah
jalan lagi, biar tubuhku tetap merapat dengan badanmu."
"Aku capek!" ketus Tua Usil berlagak ngos-
ngosan. "Aku capek gendong kamu terus, Nini!"
"Tapi hatimu senang, karena sering mendapat
ciuman dariku, bukan" Hek, hek, hek, hek...!" sambil berkata demikian, dagu Tua
Usil dicubitnya, wajahnya
di pandangi dekat-dekat di sela senyum keriput karena
mulut tak bergigi sama sekali itu.
Tua Usil mendesah kesal hatinya. Ia mene-
piskan tangan yang mencubit dagunya seraya berkata,
"Jangan begitu, ah! Aku mau istirahat dulu!"
"Bobo sini di pangkuan ku, Sayang...," Nini Bungkuk Renta duduk di rerumputan
dan menepuk-nepuk pangkuannya. Tua Usil hanya melirik dengan
hati dongkol. Tangannya ditarik oleh nenek tua itu.
Sedikit tarikan membuat Tua Usil jatuh terduduk.
Brruk...! "Ayolah bobo sini, biar capek mu hilang, Panca-
sona-ku...!" Nini Bungkuk Renta merangkul Tua Usil dan memaksakan Tua Usil agar
tidur berbantalan
pangkuannya. Tapi Tua Usil meronta dan kembali ber-
diri dengan wajah cemberut kesal. Dalam hatinya ber-
kata, "Kalau gadis cantik yang masih muda, boleh-boleh saja berlagak genit
seperti itu. Enak-enak saja
aku tidur di pangkuannya. Tapi kalau nenek seusia
dia, waaah... sama saja aku tidur di pangkuan Bocah
Bodoh, Baunya apek!"
Nini Bungkuk Renta agaknya sedang mengala-
mi perubahan balik dari perilaku dan sikapnya. Ia su-
dah berubah menjadi seperti gadis remaja yang sedang
kasmaran. Agaknya ia cukup tertarik dengan Tua Usil
yang menurut pandangan matanya termasuk lelaki
tampan menawan hati. Tetapi Tua Usil selalu bergidik
merinding jika mendapat perlakuan mesra dari nenek
berusia seratus lima belas tahun yang kembali menga-
lami masa puber entah yang ke berapa puluh kalinya
itu. Sekalipun demikian, Tua Usil tak berani meno-
lak secara kasar sikap yang menurutnya bukan mesra
namun menjijikkan itu. Ia tahu, Nini Bungkuk Renta
adalah adik seperguruan dari Malaikat Gelang Emas,
tokoh sesat yang untuk saat itu dikenal kekejamannya.
Jika melawan Nini Bungkuk Renta, belum tentu bisa
berhasil kalahkan nenek tersebut. Bisa jadi ia mati di tangan nenek itu, jika ia
terlalu kecewakan sang nenek. Karenanya, Tua Usil sedang mencari cara untuk
bisa lepas dari tuntutan masa puber sang nenek.
Ternyata yang bisa dilakukan Tua Usil hanya
mengalihkan bicara dari persoalan cinta, yang sejak
tadi dibicarakan dalam perjalanan, ke masalah pergu-
ruan yang ingin dituju oleh Nini Bungkuk Renta. Se-
bab Tua Usil pun pernah datang ke Perguruan Ger-
bang Bumi, yang dulu dipegang oleh Ki Pamungkas.
Bahkan Tua Usil pun pernah didesak oleh murid-
murid perguruan tersebut untuk menjadi ketua dan
guru di sana, sebab dianggap titisan dari mendiang Ki
Pamungkas. Tetapi karena Tua Usil merasa tidak pan-
tas menjadi guru maupun ketua, maka ia pun tidak
menyanggupi jabatan tersebut.
"Sebenarnya apa yang mau kau cari di Pergu-
ruan Gerbang Bumi itu, Nini Bungkuk Renta"!" tanya Tua Usil mengawali pengalihan
pembicaraan. "Jangan takut, aku tidak mau cari lelaki gan-
teng di sana. Jangan cemburu, Sayang," jawabnya
sambil sesekali cubit-cubit pipi Tua Usil. Dengan sedikit gemas Tua Usil
mendesak, "Jadi apa yang mau kau cari di sana" Siapa
yang mau kau temui?"
Nenek bungkuk itu diam sebentar, agaknya
otaknya kembali ke persoalan dendam sebagai guru Ib-
lis Mata Genit. Mulutnya mengunyah-ngunyah bagai-
kan makan sesuatu. Setelah itu, Nini Bungkuk Renta
segera berkata dengan suara pelan.
"Aku ingin menemui murid-murid nya Ki Pa-
mungkas. Kudengar Ki Pamungkas sudah mati di tan-
gan Resi Gutama!"
"Itu memang benar," jawab Tua Usil. "Lalu, apa tujuanmu temui murid-murid Ki
Pamungkas?"
"Aku ingin cari pusakanya Pamungkas. Dia
punya pusaka berupa sebuah pisau yang punya kesak-
tian dapat sedot semua ilmu lawan jika pisau itu diti-
kamkan. Pisau itu bernama Pusaka Hantu Jagal!"
seperti mendengar guntur menggelegar telinga
Tua Usil mendengar ucapan itu. Jantungnya berdetak-
detak karena ia merasa menyelipkan pusaka yang di-
cari Nini Bungkuk Renta. Pusaka itu terselip di ping-
gang, tertutup baju coklatnya. Hal itu membuat Tua
Usil menjadi cemas dan semakin ingin cepat-cepat per-
gi jauhi Nini Bungkuk Renta.
Nenek itu berkata lagi, "Dengan gunakan pisau
itu, aku akan bisa hilangkan semua ilmu Lili. Hanya
sekali hunjamkan pisau ke tubuhnya, maka ilmu gadis
itu akan lenyap dan itu berarti hutangnya terhadap
muridku; si Iblis Mata Genit, menjadi impas! Setidak-
nya aku dapat goreskan pisau pusaka itu berkali-kali
ke tubuhnya sampai ia kehilangan ilmunya, tapi tetap
dalam keadaan hidup."
Tua Usil diam saja. Ia menahan kegelisahan ha-
tinya sambil berusaha sedikit menjauhi Nini Bungkuk
Renta dalam duduknya. Kerongkongan Tua Usil terasa
kering demi mendengar rencana tokoh tua itu. Bahkan
kali ini, Nini Bungkuk Renta berkata sambil meman-
danginya, "Tapi menurut kabar yang kudengar dari mulut
ke mulut, pisau pusaka itu tidak ada di tangan murid
Ki Pamungkas. Kabarnya sudah ada di tangan seseo-
rang yang bernama Tua Usil. Aku jadi bingung, Panca-
sona, apakah aku harus mencarinya di Perguruan
Gerbang Bumi, atau harus mencari orang yang berna-
Istana Kumala Putih 4 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Sumpah Palapa 12
^