Pencarian

Kakek Sakti Gunung Muria 1

Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria Bagian 1


1 Sesudah berkata begitu, dia melesat den-
gan pedangnya. Menyambar ke arah Ratih Nin-
grum, tetapi serangan itu kandas karena bebera-
pa orang murid telah memapaki serangan itu.
"Boleh, boleh! Kalian semua boleh mengha-
dapiku! Bersiaplah kalian!"
Ratih Ningrum mencabut sepasang pedang
kembarnya. Ia menyuruh Pranata Kumala masuk.
Ratih Ningrum menyadari, betapa tingginya ilmu
orang itu. Dulu dia pernah mendengar nama De-
wa Pedang dan baru kali ini dia bertemu langsung
dengan orangnya.
Tidasewu melancarkan serangannya lagi.
Pedangnya itu bergerak dengan cepat dan tepat.
Bergulung-gulung tanpa kelihatan ke mana arah-
nya dan menyambar dengan cepat. Beberapa
orang murid memapaki dengan gerakan cepat pu-
la. Sebisa mereka menghalau serangan yang da-
tang. Tetapi mereka bukanlah tandingan orang
yang berjuluk Dewa Pedang itu, sebentar saja li-
ma orang tergeletak tanpa nyawa.
Tetapi semakin banyak murid-murid yang
datang dan mengurung. Seorang murid utama
yang bernama Jayalaksa, nekat menyerang sendi-
ri. Tidasewu menyambut, benturan dan suara
nyaring pedang-pedang itu amat memekakan te-
linga. Mula-mula kelihatan mereka seimbang,
namun lama kelamaan jelas Jayalaksa tidak
mampu mengimbangi kecepatan, kelihaian, dan
ketangkasan permainan pedang Tidasewu.
Tahu-tahu dia menjerit. Ujung pedang Ti-
dasewu sudah mampir di bahunya. Bahu itu ter-
gores dan darah merembas. Jayalaksa buru-buru
mundur. Begitu dia mundur, yang lain segera me-
nyerang maju. Lagi-lagi terdengar jeritan dan sua-ra nyaring benturan pedang.
Kembali Pedang Ti-
dasewu dengan kecepatan yang luar biasa berke-
lebat dan tahu-tahu tinggal dia sendiri, lawan-
lawannya ambruk bersimbah darah.
Ratih Ningrum menggeram marah. Melihat
kenyataan itu, dia cepat maju. Lama kelamaan
bisa habis seluruh murid perguruan Topeng Hi-
tam. Sambil memekik keras, dia maju menyerang.
Kedua pedangnya menyambar dengan cepat pula.
Jurus sepasang pedang kembarnya dia perli-
hatkan dengan trampil dan cekatan.
Kalau bukan Dewa Pedang yang mengha-
dapi, pasti dengan mudah Ratih Ningrum menga-
lahkannya. Tetapi Tidasewu adalah jago pedang
nomor satu saat ini. Dengan mudah dia menge-
lakkan setiap serangan Ratih Ningrum. Bahkan
membalas dengan dahsyatnya.
Ratih Ningrum menjadi kewalahan. Tida-
sewu mendesaknya dengan hebat. Tusukan dan
sabetan pedangnya mengancam jiwa Ratih Nin-
grum. Melihat itu, Jayalaksa, nekat maju menye-
rang lagi, kali ini dibantu oleh Nurtita, yang lumayan pula permainan ilmu
pedangnya. Dikeroyok bertiga, Tidasewu masih tidak
kewalahan. Dia malah semakin memperlihatkan
kepandaiannya dalam ilmu pedang.
Tiba-tiba dia memekik keras. Tubuhnya
melenting ke atas, bersalto tiga kali dan pedang-
nya dengan cepat menyambar Nurtita. Dengan
gesit Nurtita bergulingan, Tidasewu mengejar, te-
tapi mendadak dia terjatuh.
Pada saat yang genting itu, Jayalaksa telah
melemparkan beberapa senjata rahasianya dan
tepat mengenai kedua tangan Tidasewu. Satu
senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam itu,
nancap di pahanya.
Tidasewu ambruk bergulingan. Nurtita se-
lamat dari ancaman pedangnya. Dia marah kare-
na dirinya menjadi bulan-bulan tadi, dengan ge-
ram dia menerjang.
Mendadak dia bersalto ke belakang, se-
buah pisau hampir menyambarnya. Wajah Nurti-
ta agak pias, hampir saja pisau itu mencabut
nyawanya. Tiba-tiba terdengar tawa yang menyeram-
kan dan terkikik di atas tembok, semua menoleh
ke sana. Seorang laki-laki muda berwajah tampan
dan seperti bocah berdiri dengan mengayun-
ngayunkan sebuah pisau. Di sampingnya berdiri
seorang wanita yang sangat buruk rupanya. Be-
tapa jeleknya wajah wanita itu, Ratih Ningrum
sampai ngeri melihatnya. Tetapi ditahannya. Dia
sudah bisa menduga siapa orang-orang ini, pasti
teman dari orang kurus tinggi itu.
Keduanya melompat ke bawah dengan rin-
gan. Laki-laki bertampang bocah itu tertawa men-
gejek pada Tidasewu,
"Ha... ha... kau tidak mampu menghadapi
mereka rupanya.... Sudah kubilang, kita gempur
mereka sama-sama. Tetapi yah... itulah akibat-
nya...." "Jangan banyak bacot kau, Angkasena!"
bentak Tidasewu gusar. "Mereka terlalu banyak, tenagaku habis diperas mereka!"
"Salahmu sendiri. Untung pisauku cekatan
menghalangi kematianmu."
Tidasewu gusar. Sementara Ratih Ningrum
sudah menyuruh murid-muridnya berkumpul,
menghalangi jalan masuk ke ruangan dalam. Ra-
tih Ningrum sendiri segera bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Jayalaksa menahan sedikit
rasa sakitnya. Nurtita sudah agak tenang. Dia ge-
ram dengan laki-laki bertampang bocah itu.
"Rupanya kalian teman-teman orang kurus
itu!" bentak Nurtita geram. "Kalian mau apa semuanya ke mari?"
"He... he..." Angkasena tertawa. Lagi tertawa itu, wajahnya mirip dengan Pranata
Kumala. "Sudah tentu ingin menghangus bumikan pergu-
ruan Topeng Hitam...."
"Kenapa kalian ingin berbuat demikian"!"
"Tentu saja agar semua takluk di tangan
kami!" Angkasena memain-mainkan pisaunya. Ti-ba-tiba ia mengibaskan tangannya
dan pisau ter- bang menyambar ke arah Nurtita. Nurtita berkelit
dan menangkis pisau itu.
"Trang!"
Nurtita membentak, "Kau! Cepat layani
aku!" Lalu ia menyerang dengan cepat. Kemarahannya sudah sampai di kepala.
Angkasena ter- tawa. Ia menghindar dengan cepat pula. Nurtita
menjadi penasaran. Tetapi pedangnya tidak me-
nemui sasaran yang tepat.
Mendadak Angkasena berguling dan sambil
berguling itu dia mengambil sesuatu dari balik
bajunya dan melempar dengan cepat.
"Wuttt!"
Nurtita tergagap, menghentikan serangan-
nya untuk menghindari pisau itu. Angkasena ter-
bahak, dia melempar tiga buah pisau secara be-
runtun. Nurtita hanya mampu mengelakkan se-
buah pisau dan menangkis sebuah. Yang sebuah
lagi melayang dengan enaknya dan menemukan
sasaran yang empuk. Jantung Nurtita.
Nurtita menjerit. Darah bersimbah keluar,
ia ambruk setelah terhuyung lebih dulu. Jayalak-
sa kaget melihatnya. Kawan seperguruannya se-
jak kecil, kini menemui ajalnya. Demi membela
nama baik perguruan Topeng Hitam. Dia menjadi
beringas. Ketika hendak menyerang, Ratih Nin-
grum melarang. "Sabar, Jaya. Kita dengarkan dulu apa se-
benarnya kemauan mereka!"
Rupanya wanita yang berwajah buruk itu,
mendengar bisikan Ratih Ningrum. Ia Sumpila
dan tertawa ngikik.
"Sudah jelas, untuk menduduki perguruan
Topeng Hitam dan menurut kepada perintah ka-
mi!" Akhirnya Ratih Ningrum sendiri yang tidak bisa menahan dirinya. Ia
menyarungkan kedua
pedangnya karena lawannya yang bermuka buruk
itu tidak memegang senjata. Dia maju menyerang
dengan pukulan tangan seribunya. Tangannya
bergerak menjadi banyak. Sumpila tidak mau ka-
lah, jurus-jurus bangaunya bergerak dengan he-
bat pula. Kadang mematuk, menyodok, memukul
bahkan menotok. Membuat Ratih Ningrum agak
kewalahan juga. Tetapi dia bisa mengimbangi
dengan kecepatan tangannya yang seakan beru-
bah menjadi banyak.
Sumpila menggerakkan tangannya ke atas
dan mematuk ke arah kepala, Ratih Ningrum ber-
kelit, tangan Sumpila sudah mengancam ke leher!
Ratih Ningrum menggerakkan tangannya me-
nangkis. "Plak!" Kedua tangan itu bertemu dan keduanya terdorong ke belakang lalu cepat
menye- rang kembali. "Des!" Kembali kedua tangan itu bertemu, kali ini keduanya agak
jauh terdorong.
Ratih Ningrum terhuyung lima langkah,
sedangkan Sumpila hanya dua langkah. Itu me-
nandakan tenaga dalam Sumpila lebih tinggi dari
Ratih Ningrum. Tetapi Ratih Ningrum tidak gen-
tar, dia malah maju kembali dengan erangan ke-
ras. Sumpila menyambut. Kembali pukulan demi
pukulan beradu dan ditangkis. Ketrampilan dan
kecepatan keduanya perlihatkan.
Sumpila kelihatan lebih gesit. Dia bersalto
ke belakang dan mendadak tubuhnya berguling
ke bawah. Dia sudah menggunakan jurus Bangau
Mencari Cacing. Tubuh itu bergulingan dan me-
matuk kaki Ratih Ningrum. Cepat Ratih Ningrum
melompat tetapi tiba-tiba Sumpila bangkit dan
bagaikan terbang menotok ke arah iga Ratih Nin-
grum. Sebisanya Ratih Ningrum mengelak.
"Des!" Kaki Sumpila menyambar tubuh Ra-
tih Ningrum hingga jatuh bergulingan.
Melihat Ratih Ningrum dalam keadaan ba-
haya, beberapa orang murid perguruan Topeng
Hitam bergerak mengurung. Tetapi semua lang-
sung berdiri kaku karena Sumpila sudah berkele-
bat dan menotok mereka dan meneruskan seran-
gannya kepada Ratih Ningrum yang sedang beru-
saha untuk bangkit. Dia merasa payah, tidak
sanggup untuk menghadapi Sumpila, wanita ber-
wajah buruk yang sakti itu.
Dan melihat Sumpila sudah menyerang be-
gitu, sulit baginya untuk menghindar. Tetapi
mendadak Sumpila bersalto. Jayalaksa sudah
melempar beberapa senjata rahasia topeng hitam
untuk menyelamatkan istri ketuanya. Padahal dia
hanya untung-untungan. Kalah cepat sedikit, ta-
matlah riwayat istri ketuanya.
Jayalaksa lalu memburu Sumpila yang da-
lam posisi bersalto, kedua pedangnya siap me-
nyambar nyawa Sumpila. Tapi kini dia berbalik
bersalto. Dua buah pisau sudah menyambar ke
arahnya "Trang! Trang!"
Susah payah Jayalaksa menangkisnya.
Terdengar tawa Angkasena.
"Seorang kesatria tidak boleh main bokong!
Mari kau kulayani! Aku ingin lihat, sampai di ma-
na kehebatan ilmu pedang murid-murid pergu-
ruan Topeng Hitam!" seru Angkasena dan maju
menyerang. Tangannya lurus memukul, Jayalak-
sa menyambarkan pedangnya. Angkasena cepat
melompat dan kembali menyambarkan tangan-
nya. Gerakannya benar-benar cepat. Jayalaksa
kembali menyambarkan pedangnya dan menusuk
dengan gerakan menotok.
"Hebat!" seru Angkasena kagum. Ia balas menyerang. Kali ini kelincahan dan
kecepatannya bergerak ia perlihatkan sampai Jayalaksa kewa-
lahan sendiri. Benar-benar luar biasa. Apalagi ketika Angkasena melontarkan
pisaunya sekali-
sekali, membuatnya semakin repot untuk berge-
rak dan menghindar.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah kem-
bali berhadapan dengan Sumpila. Ratih Ningrum
akan bertahan mati-matian demi membela pergu-
ruan itu juga nama baik suaminya. Sayang saat
ini suaminya belum kembali, kalau sudah, dia
tentu tak akan serepot ini menghadapi penye-
rang-penyerang itu.
Jurus bangau Sumpila benar-benar tang-
guh dan sulit untuk diimbangi. Hanya sekali-
sekali saja Ratih Ningrum bisa mengimbangi den-
gan pukulan tangan seribunya dan kini dia men-
gimbangi dengan kedua pedangnya. Tetapi biar-
pun demikian, Sumpila masih bisa menghindar
dan tetap berada di atas angin, padahal dia ber-
tangan kosong! Tetapi suatu ketika Sumpila lengah, karena
terdengar erangan Tidasewu yang terluka. Ke-


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempatan itu digunakan Ratih Ningrum untuk
menyabet leher Sumpila. Sumpila masih sempat
mengelak, namun tak urung rambut yang dibang-
gakannya terbabat pendek.
Sumpila menggeram marah. Dengan berin-
gas dia menerjang Ratih Ningrum yang menjadi
sangat kewalahan dan terdesak. Apalagi kaki ka-
nan Sumpila menjatuhkan sepasang pedang yang
dipegangnya. Dan patuk bangaunya menotok urat
di bawah tulang iga Ratih Ningrum.
Wanita itu merasakan sakit sekali dan tu-
buhnya terjengkang ke belakang. Sumpila mence-
car dengan buas. Rambut itu mahkotanya. Dia
akan membunuh siapa saja yang merusaknya.
Dan Ratih Ningrum telah merusaknya!
Keadaan Ratih Ningrum benar-benar terde-
sak. Ratih Ningrum sendiri sudah tidak mampu
untuk bertahan, bahkan mengelak.
Sumpila memekik keras. Tangannya mem-
bentuk patuk bangau dan melayang, Ratih Nin-
grum merasa ajalnya sekarang tiba. Dia belum
sempat bertemu dengan suaminya, juga belum
mencium putranya.
Ia memejamkan mata menanti ajalnya da-
tang! Tetapi mendadak terdengar jeritan Sumpila,
dan tubuh itu ambruk sementara di dekatnya se-
buah tongkat bambu kuning menancap dengan
tegar! 2 Sebenarnya apa yang terjadi" Siapa yang
menghalangi perbuatan Sumpila itu" Semua mata
mencari dan menemukan seorang laki-laki kira-
kira berusia enam puluh lima tahun duduk di su-
dut halaman. Tak ada seorang pun yang tahu kapan dan
bagaimana dia sudah duduk di situ. Pasti dia
yang melemparkan tongkat bambu kuning itu.
Gerakannya cepat. Itu menandakan laki-laki tua
itu bukan orang sembarangan.
Sumpila yang sudah bangkit berbalik den-
gan geram. Ia membentak, "Kakek! Kau mau cari gara-gara rupanya! Kau belum tahu
siapa aku"!"
Sumpila mencabut tongkat bambu kuning dan
melemparkannya sepenuh tenaga kepada laki-laki
tua itu. Tetapi sungguh diluar dugaan. Laki-laki
tua itu hanya mengangkat tangan kirinya dan
tongkat jatuh secara mendadak
"Punya kehebatan juga kau, Kakek!" ben-
tak Sumpila berang, padahal ia tengah menutupi
kekagetannya. Siapa kakek berjenggot putih yang
hebat ini"
Angkasena pun kagum dan bergetar meli-
hat kehebatan tenaga dalam yang diperlihatkan
kakek itu. Agaknya dia tahu kakek ini orang yang
sakti, dia mengambil sikap menghormat. Dengan
sopan menjura. "Luar biasa siapa gerangan kakek ini
adanya?" tanyanya dengan suara yang sopan pu-la.
Kakek itu tahu-tahu sudah berdiri, entah
bagaimana dia bergerak tadi dan memungut
tongkat bambu kuningnya. Ia terkekeh.
"He... he... aku adalah orang desa yang tak
senang dengan orang-orang jahat," katanya pa-rau. "Kalau boleh kami tahu, siapa
kakek sebenarnya?" tanya Angkasena tetap dengan sopan.
"Ah, aku yang sudah renta ini tak punya
nama yang bagus. Kalau kalian mau tahu, akulah
majikan gunung Muria yang baru saja turun gu-
nung...." Sampai di situ kakek itu bicara, orang-
orang itu terkejut. Angkasena dan Sumpila sudah
mendengar kehebatan majikan gunung Muria.
Mereka pun mengenalnya, Ki Ageng Jayasih!
Orang itu memang Ki Ageng Jayasih. Sete-
lah menderita luka dalam yang tidak begitu parah
dari Madurka, Ki Ageng Jayasih menemukan se-
buah goa. Di sana dia mengobati dan beristirahat
untuk menyembuhkan lukanya. Setelah dirasa-
kannya lukanya sudah agak sembuh, dia berang-
kat lagi hendak mencari muridnya yang murtad.
Ketika itu, sampailah dia ke daerah sekitar pergu-
ruan Topeng Hitam berada dan secara tak sengaja
telinganya menangkap suara benturan dan peki-
kan, yang menandakan sedang terjadi perkela-
hian di dalam. Dengan hati-hati Ki Ageng Jayasih melom-
pat dan saat itu keadaan Ratih Ningrum dalam
bahaya, dia akan menolong tetapi Jayalaksa su-
dah menolongnya. Ki Ageng Jayasih melompat
duduk, tak seorang pun ada yang memperhati-
kannya. Ketika Ratih Ningrum terancam untuk
kedua kalinya, setelah dia berhasil membuat
rambut Sumpila, barulah Ki Ageng Jayasih me-
lemparkan tongkat bambu kuningnya.
Sekarang dia tersenyum.
"Maaf, aku yang tua ini lancang menggang-
gu urusan kalian yang muda-muda. Kalau boleh
aku tahu, ada apa gerangan?"
Belum lagi Sumpila menyahut, Jayalaksa
lebih dulu berkata, "Maaf, kakek yang sakti! Semua kejadian ini bermula dari
orang tinggi kurus
yang terluka itu. Maksud kedatangannya ingin
mengacau perguruan ini. Setelah kami berhasil
melukainya, datang dua orang itu yang ternyata
temannya dan bermaksud membantunya serta
menghancurkan perguruan Topeng Hitam ini, jika
kami tidak mau menyerahkannya kepada mereka.
Tentu saja kami mempertahankan dengan sekuat
tenaga...."
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut. Ter-
nyata masih banyak orang-orang jahat yang ingin
mempergunakan kesaktiannya untuk kepentin-
gan pribadi. Ki Ageng Jayasih bertanya, "Ketenaran per-
guruan Topeng Hitam sudah sampai pula ke gu-
nung Muria. Kalau tidak salah, ketua kalian ber-
nama Paksi Uludara, bukan?"
Jayalaksa menjura.
"Maafkan kami, Kakek sakti. Ketua kami
yang dahulu telah wafat...."
Ki Ageng Jayasih terkejut. Ketenaran nama
Paksi Uludara sampai pula ke telinga, tetapi sam-
pai saat ini dia belum pernah berjumpa dan selagi datang, orang itu sudah pergi
selama-lamanya.
"Lalu siapa ketua kalian sekarang?" ta-
nyanya pelan. "Ketua kami bernama... Madewa Gumi-
lang." "Madewa Gumilang?" Ki Ageng Jayasih melotot. Ia pun pernah mendengar nama
itu. Nama yang mendadak menjulang, menembus langit ke-
tenarannya. Dan tak disangkanya kalau Madewa
Gumilang yang menggantikan kedudukan Paksi
Uludara. Tapi walaupun begitu, Ki Ageng Jayasih
meyakinkan, "Benarkah dia yang bergelar Pendekar Pukulan Bayangan Sukma"
Pendekar budi- man yang gagah perkasa?"
"Kiranya begitulah adanya ketua kami,"
sahut Jayalaksa merendah.
"Tak kusangka... di akhir sisa hidupku ini,
aku akan bertemu dengan orang itu. Lalu yang
manakah orangnya?"
"Sekali lagi maaf, Kakek sakti. Ketua kami
saat ini tidak berada di sini. Beliau sedang men-
gurus sesuatu. Kalau kakek ingin berkenalan
dengan istrinya, beliau ada di sini.
Kakek itu mengangguk sambil terkekeh.
Ratih Ningrum langsung menjura, sekalian
mengucapkan terima kasih atas pertolongan ka-
kek tadi menyelamatkan nyawanya.
"Sayalah yang bernama Ratih Ningrum."
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut.
"Pantas, orang-orang itu berani menggang-
gu perguruan kalian. Kiranya ketua kalian yang
sakti itu sedang tidak ada di sini." Ki Ageng Jayasih berpaling pada Angkasena
dan Sumpila yang
bersiap waspada, karena kakek tua itu agaknya
Ki Ageng Jayasih, majikan gunung Muria yang
beberapa tahun yang lalu mengasingkan diri di
gunung Muria. Ki Ageng Jayasih menyambung,
"Aku kenal kalian, juga teman kalian yang terluka itu. Kalau tidak salah, kau
adalah Iblis Berwajah Bocah dan kau Dewi Buruk Rupa. Serta teman
kalian yang luka adalah si Dewa Pedang. Orang-
orang golongan hitam yang memulai aksinya un-
tuk mengacau!"
"Ki Ageng Jayasih, kami memandang nama
besarmu!" bentak Sumpila. "Tapi agaknya kau telah mengganggu perbuatan kami.
Kami tidak akan memaafkan!!"
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku tidak
mengganggu kesenangan kalian. Cuma kali ini,
kalian salah mencari sasaran. Biarpun aku tidak
mengenal mangsa kalian, tapi jika aku melihat,
aku akan menentang!"
"Sombong kau kakek tua!" bentak Sumpila gusar. Dia tidak takut dengan majikan
gunung Muria itu. Bahkan Sumpila ingin menjajaki sam-
pai di mana tingkat kesaktian Ki Ageng Jayasih
yang kesohor. "Aku ini sudah tua, Suminten...." kata Ki Ageng Jayasih. Sumpila terkejut,
karena kakek itu tahu nama sebenarnya. Nama jelek yang san-
gat dibencinya, buat apa aku harus sombong. Se-
lama aku masih sanggup membela kebenaran,
aku akan membela."
Sumpila atau Suminten mendengus gusar.
Ia membentak, "Ki Ageng Jayasih, telah lama aku mendengar namamu yang hebat itu,
tetapi sampai sekarang aku belum merasakan kehebatanmu.
Nah, sambutlah seranganku. Aku ingin tahu
sampai di mana kesaktian Ki Ageng Jayasih yang
digembar-gemborkan orang...."
Ki Ageng Jayasih hanya tertawa.
"Aku tidak pandai apa-apa, Suminten!
Orang hanya membesar-besarkan saja namaku.
Kita semua sama, tak punya daya dan upaya!"
"Aku tidak suka mendengar khotbahmu!
Terimalah serangan jurus bangauku, Ki Ageng
Jayasih!" bentak Sumpila sambil menyerang dengan ganas. Ki Ageng Jayasih masih
tertawa. Ia tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri,
hanya mengayunkan tongkatnya. Sumpila meme-
kik, ia merubah jurusnya. Kali ini menyerang dari atas dengan cepat. Ki Ageng
Jayasih masih te-
nang. Dia pun merubah gerakan tongkatnya ke
depan melenceng ke samping dan menyambar
kaki Sumpila. Sumpila bersalto ke belakang. Kagum akan
jurus tongkat yang cepat itu.
"Bukan main! Nama Ki Ageng Jayasih bu-
kan hanya omong kosong belaka! Tapi bersiaplah
lagi!" Sumpila membuka jurusnya lagi. Kali ini dia menggunakan Bangau Terbang ke
Atas. Yang gerakannya selalu menyambar ke muka.
Ki Ageng Jayasih masih tertawa. Tetapi ti-
ba-tiba dia bersalto. Dua buah pisau melayang ke
arahnya. Dan dua buah lagi mengejar, dengan
manisnya Ki Ageng Jayasih mengibaskan tong-
katnya. "Trok! Trok!" kedua pisau itu jatuh ke tanah. Angkasena penasaran, serangan
pisaunya gagal. Sumpila sudah menjerit menyerang. Benar-
benar hebat jurusnya yang satu ini. Menyambar
bagaikan burung bangau mencari mangsa. Den-
gan kelincahannya Ki Ageng Jayasih menghindar.
Bahkan sekali-sekali menangkis, juga memukul
dengan tongkatnya.
Dengan jurus itu, Sumpila bisa mengim-
bangi kecepatan Ki Ageng Jayasih, tetapi karena
dia bertangan kosong sedangkan Ki Ageng Jaya-
sih memegang tongkat, dia menjadi agak kewala-
han menghindari pukulan dan totokan tongkat
itu. Melihat kawannya terdesak, Angkasena maju
membantu. Dikeroyok berdua begitu, Ki Ageng
Jayasih tidak nampak terdesak, malah dia sema-
kin mantap memainkan tongkatnya. Sampai sua-
tu ketika Angkasena melenting ke atas dan me-
lempar dua buah pisaunya ke arah punggung Ki
Ageng Jayasih. Ratih Ningrum terkejut, Dia berseru mem-
peringatkan, "Awas, Kakek!"
Tetapi Ki Ageng Jayasih tidak berkelit, ti-
dak bersalto. Dia hanya berbalik sambil mengi-
baskan tangannya. Dua larik sinar merah berke-
lebat menahan lajunya serangan pisau itu. Kedua
pisau itu jatuh dan hangus!
Angkasena terkejut, pisau yang terbuat da-
ri baja itu hangus. Tetapi dia tak sempat berpikir lama lagi, karena sinar merah
itu sudah menerjang ke arahnya. Dengan cepat dia berkelit. Ber-
guling menghindari sinar merah itu.
Ki Ageng Jayasih masih tenang menghada-
pi Sumpila. Jurus-jurus bangau Sumpila seka-
rang tak banyak gunanya. Sudah dua kali dia di-
gedor tongkat bambu kuning itu dan Angkasena


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berani membantu dari jarak dekat karena
kuatir sinar merah itu dilemparkan lagi oleh Ki
Ageng Jayasih. Dia hanya berani membokong se-
kali-sekali, tapi itu pun tak banyak gunanya.
Tiba-tiba terdengar jeritan Sumpila. Kem-
bali dadanya digedor tongkat bambu kuning itu.
Dia terhuyung ke belakang, kehilangan keseim-
bangan dan jatuh terduduk. Beberapa orang mu-
rid perguruan topeng hitam bertepuk tangan. Ra-
tih Ningrum pun bersyukur akan kedatangan Ki
Ageng Jayasih itu, kalau tidak perguruan Topeng
Hitam berhasil direbut oleh tiga orang sakti itu.
Melihat tak ada gunanya menghadapi ka-
kek sakti itu, Sumpila melompat ke tembok dan
berseru, "Kakek, lain waktu kita bertemu lagi!"
Lalu menghilang di balik tembok berkelebat
dengan cepatnya. Sementara itu, Angkasena pun
bergegas dengan memapah Tidasewu meloncati
pagar, mereka pun menghilang dengan ketaku-
tan. Beberapa orang murid perguruan Topeng
Hitam mentertawai kepergian mereka yang seperti
tikus diuber kucing. Terbirit-birit.
Sementara itu, Ratih Ningrum sudah berja-
lan mendekati Ki Ageng Jayasih yang sedang
menggeleng-geleng. Heran, kenapa orang-orang
itu tidak mau insyafnya, padahal sebentar lagi
maut pasti mengajak mereka pergi.
"Ki Ageng Jayasih," panggil Ratih Ningrum sambil menjura hormat.
Ki Ageng Jayasih menoleh dan tersenyum.
"Bukan kau yang seharusnya menghormat,
Nyonya Madewa. Tetapi aku, sebagai orang desa
yang harus menghormat istri ketua perguruan
yang besar ini."
Ratih Ningrum tersipu, wajahnya memerah.
"Jangan bersikap demikian, Kakek Sakti. Mari silahkan mampir di tempat kami yang
jelek ini."
Ki Ageng Jayasih tertawa.
"Jangan terlalu menyanjung dan meng-
hormatiku, Nyonya ketua. Maafkan aku, aku tadi
hanya kebetulan saja lewat tempat ini dan mem-
bantumu. Aku masih ada urusan yang harus ku-
selesaikan, jadi maaf, aku tidak bisa menerima
undanganmu,"
"Kalau boleh saya tahu... hendak ke mana-
kah, Kakek yang kuhormati?"
Wajah kakek itu mendadak menjadi suram.
Lesu. Ia mengusap-ngusap janggut putihnya,
"Aku hendak mencari muridku yang lari
dari gunung Muria. Dia membawa senjata musti-
ka yang ampuh sekali."
"Senjata apakah itu?"
"Aku tidak bisa menerangkannya, Nyonya!"
tubuh renta itu mendadak berkelebat dan meng-
hilang. Mereka terkejut, hanya terdengar suara
kakek sakti itu, "Selamat tinggal semua! Kalau ada waktu, aku akan mampir lagi!
Sampaikan sa-lamku kepada suamimu!"
Ratih Ningrum hanya manggut-manggut.
Betapa besar terima kasihnya kepada kakek itu.
Kalau tidak ada kakek sakti, apa jadinya pergu-
ruan Topeng Hitam ini" Bahkan nyawanya pun
bisa melayang. Mengingat itu, dia berbalik dan melihat be-
berapa murid perguruan itu tergeletak tanpa
nyawa. Juga Nurtita yang setia. Ratih Ningrum
memerintahkan untuk mengangkut mayat-mayat
itu dan menguburkannya.
Malam sudah datang, Ratih Ningrum ma-
suk ke kamarnya. Merebahkan tubuh. Dia mere-
nung, berapa banyak kejadian yang mendebarkan
dan mengancam jiwanya. Tetapi semua itu dite-
rimanya dengan tabah. Selintas ingatannya kem-
bali kepada rumahnya yang dulu. Di mana dia di-
besarkan dalam keluarga berada yang kaya raya.
Masa kecil yang indah dan kenangan di mana dia
jatuh cinta kepada seorang pemuda yang kemu-
dian menjadi pengawal pribadinya. Pemuda itu
adalah suaminya sekarang, Madewa Gumilang
(baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Berbagai peristiwa terjadi antara suka dan
duka semua itu diterimanya dengan tabah, tanpa
mengingat akan kekayaannya dulu, yang dia se-
rahkan kepada tiga orang gurunya. Ratih Nin-
grum sadar, mengikuti suaminya adalah cobaan
dan petualangan hidup. Suaminya adalah orang
budiman, pembela kebenaran, sudah barang ten-
tu banyak orang yang iri dan mendendam kepa-
danya. Sampai mereka mempunyai seorang anak
pun, masih banyak peristiwa-peristiwa yang men-
debarkan. Mengingat anak, Ratih Ningrum tersentak.
Dari tadi, dia belum mendengar suara Pranata
Kumala. Ke mana anak itu" Sudah hampir jam
sembilan malam sekarang, tetapi bocah itu belum
dilihatnya. Ratih Ningrum segera mencari dan ber-
tanya di mana anaknya. Tetapi tak seorang pun
yang melihatnya. Kata Bayuseta, dia tadi melihat
anak itu masuk ke kamarnya, lalu tidak diketahui
di mana lagi dia sekarang.
Ratih Ningrum menjadi panik. Ke mana
anak tersayangnya itu.
"Pranata! Pranata!" panggilnya terisak. Beberapa orang murid membantu mencari.
Tetapi hampir semua ruang perguruan itu diperiksa ti-
dak ditemukan Pranata, juga di luar perguruan
Topeng Hitam. Tetapi bocah itu tetap tidak nampak. Ratih
Ningrum menangis. Ke mana anaknya itu. Ia ter-
sedu-sedu masuk ke kamarnya. Jayalaksa segera
bertindak, mengambil pimpinan untuk segera
mencari Pranata Kumala.
"Apa tidak mungkin Pranata dibawa oleh
orang-orang tadi, Jaya?" tanya Bayuseta dengan muka pucat. Dia pun kuatir ke
mana perginya Pranata Kumala.
"Aku tidak tahu, Bayu. Tapi ada baiknya
kita segera mencari."
"Malam ini juga, Kakang?" tanya salah seorang. "Malam ini juga! Kalau belum
ketemu, jangan kembali! Kita terapkan kembali peraturan ke-
tua kita yang dulu, Paksi Uludara. Kalian menger-
ti semua" Kita tidak ingin melihat Nyonya ketua
dalam kesedihan, bukan" Ayo mencari! Yang ti-
dak kuperintahkan jangan ikut! Jaga perguruan
dan Nyonya ketua!"
Jayalaksa menyuruh delapan orang segera
berangkat untuk mencari Pranata, termasuk
Bayuseta. Malam itu juga mereka berangkat, ka-
rena tak ingin Nyonya ketua bersedih, apalagi
saat ini ketua sedang tidak berada di sisinya.
3 Sebelum kita melihat ke mana perginya
Pranata Kumala, kita lihat kembali perjalanan
Madewa Gumilang yang akan mengunjungi ma-
kam Paksi Uludara yang masih membuatnya ber-
tanya-tanya, ada apa gerangan dengan makam
orang yang dihormatinya itu.
Ketika matahari sudah sepenggalah, dia
meninggalkan penginapannya. Dari tempatnya
menginap, jarak ke makam Paksi Uludara tidak
begitu jauh lagi. Di ujung hutan sana di dalam
goa, makam itu berada. Makam yang dibuatnya
bersama istrinya. Di dalam goa itu, juga ada ma-
kam Nindia atau Dewi Cantik Penyebar Maut, Me-
lati Merah dan lima orang murid perguruan To-
peng Hitam (baca : Petaka Cinta Berdarah).
Mengingat itu, Madewa mengenang kembali
kejadian beberapa tahun yang lalu. Peristiwa yang mengerikan dan penuh darah.
Tiba-tiba pendengarannya menangkap
bunyi sesuatu yang mencurigakan di belakang,
tetapi Madewa tetap menjalankan kudanya den-
gan santai. Dia sudah tahu siapa gerangan orang
yang mengikuti di belakang. Bahkan sejak dia se-
habis keluar dari rumah makan kemarin, sudah
mengetahui kalau dia dibuntuti seseorang.
Orang itu adalah wanita yang memakai ke-
rudung. Entah mau apa dia mengikutinya sejak
kemarin dan hal itu membuat Madewa curiga. Dia
agak waspada sekarang, kemarin wanita itu tidak
kelihatan dan kali ini muncul lagi.
Mendadak Madewa menghentikan jalan
kudanya. Ia turun dan berlagak membuka perbe-
kalannya, tetapi mendadak dia mengibaskan tan-
gannya ke salah satu pohon besar yang ada di
sana. "Sreeet!" Pukulan jarak jauhnya berkelebat dan menghantam pohon besar itu
hingga tumbang dan bersamaan dengan itu terdengar jeritan,
"Keji!"
Dan melayang sesosok tubuh dari tumban-
gan pohon itu. Sosok tubuh itu seorang wanita
dan memakai kerudung putih! Orang itu tak lain
adalah Nimas Sertani atau Dewi Mulia Berhati
Busuk yang mengikuti Madewa sejak dari rumah
makan itu. Disangkanya laki-laki itu tidak mengetahui
kalau dia diikuti, Nimas Sertani lupa, kalau yang dibuntutinya bukan orang
sembarangan. Malam
kemarin, setelah mengetahui di mana Madewa
Gumilang menginap, Nimas Sertani melapor ke-
pada Resi Sendaring lalu kembali ke penginapan
itu. Beberapa detik Nimas Sertani pergi, Bayuseta datang!
Dan sekarang, laki-laki itu ternyata me-
mergokinya, tak ada jalan lain bagi Nimas Sertani untuk menampakkan diri.
Madewa tertawa melihat Nimas Sertani
muncul. "Ha... ha... rupanya Dewi Mulia Berhati
Busuk yang mengikutiku...."
Wajah Nimas Sertani memerah, benar-
benar dia yang bodoh, penguntitannya rupanya
sejak semula diketahui Madewa Gumilang. Tetapi
dia hanya mendengus, menganggap remeh Made-
wa. Madewa berkata lagi, "Dewi yang gagah
perkasa, ternyata masih suka bermain sembunyi-
sembunyian. Ada apa Dewi sampai mengikutiku"
Ketahuilah Dewi... aku bukan orang kaya yang
banyak membawa uang!"
Semakin memerah wajah Nimas Sertani.
Matanya melotot gusar, tetapi Madewa hanya ter-
tawa. Dia harus tahu kenapa Dewi Mulia Berhati
Busuk mengikutinya. Namun sebelum dia berka-
ta, Nimas Setani sudah membentak keras, "Aku memang sengaja membuntutimu...
Madewa. Kau tahu kenapa?"
Madewa tersenyum. "Katakanlah," sua-
ranya tenang. "Aku ingin membunuhmu!" suara Nimas
Sertani kejam dan menusuk. Matanya meman-
carkan nafsu membunuh. Apalagi sejak tadi kata-
kata Madewa begitu menghinanya, begitu mem-
bakar kupingnya.
Madewa melengak sebentar tapi kemudian
tenang, "Aku tak mengerti mengapa kau hendak berbuat demikian" Padahal aku tahu,
kita tak pernah berselisih!"
"Pernah atau tidak, aku tak perduli! Seka-
rang bersiaplah kau, Madewa! Sudah lama aku
ingin menjajal kesaktian pendekar Pukulan
Bayangan Sukma! Tahan serangan!" membentak
Nimas Sertani dan melesat dengan pukulan lurus
ke wajah Madewa. Tak ada jalan lain buat Made-
wa kecuali melawan. Dia pun merunduk dan me-
nangkis lalu balas menyerang lebih cepat. Nimas
Sertani berkelit dengan cekatan dan kakinya me-
nyambar. Madewa memperlihatkan ilmu merin-
gankan tubuhnya dengan melompat ke sana ke-
mari menghindari serangan Nimas Sertani. Nimas
Sertani pun meningkatkan serangan-
serangannya. Terjadilah di tempat itu pertempu-
ran yang hebat dan seru. Masing-masing sudah
memperlihatkan kelincahannya dan kesaktian-
nya. Dan keduanya sama-sama masih bertahan.
Tiba-tiba keduanya sama-sama memekik panjang.
Nimas Sertani maju menyerbu dengan dorongan
kedua tangannya. Madewa tidak mengelak, dia
malah menyambut dengan dorongan yang sama.
"Dess...!" kedua tenaga besar itu saling bertemu dengan hebatnya. Tubuh Nimas
Sertani mental ke belakang dengan deras, sedangkan Ma-
dewa hanya terhuyung lima langkah. Itu saja su-
dah menandakan, kalau tingkat tenaga dalam
Nimas Sertani masih jauh berada di bawah Ma-
dewa Gumilang. Nimas Sertani mengusap darah yang ke-
luar melalui mulutnya. Dia sekarang yakin dan
menyadari kalau lawannya bukanlah orang sem-
barangan dan tidak boleh dianggap ringan. Nama
besar Madewa Gumilang memang suatu kenya-
taan yang tidak bisa dipungkiri.
Namun biar begitu Nimas Sertani tidak
gentar, dia malah penasaran. Tiba-tiba dia mem-
buka kerudung putihnya. Kerudung itu diuraikan
dan menjadi sebuah selendang. Dia mengebut-


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngebutkan selendangnya, rupanya akan dijadikan
senjata. Madewa hanya tersenyum saja.
"Kalau aku boleh tahu, Nimas. Siapa yang
menyuruhmu untuk membunuhku?" tanyanya
sebelum Nimas Sertani menyerang. Namun Nimas
Sertani tidak mau menjawab. Dia malah terkikik.
Dan mengibaskan kerudungnya dengan cepat
Selendang itu bagaikan digerakkan oleh te-
naga magnit, bisa bergerak dan menangkis den-
gan cepat. Rupanya itu memang senjata andalan
Nimas Sertani. Madewa pun bergerak dengan cepat meng-
hindarkan serangan selendang itu yang kadang
melemas namun penuh tenaga dan kadang tegang
seperti tombak. Namun dengan jurus Ular Melo-
loskan Diri kembali Madewa bisa menghindarkan
serangan-serangan itu dan membuat Nimas Ser-
tani semakin penasaran.
Suatu ketika Madewa membentak keras
dan tubuhnya melenting ke atas, bersamaan den-
gan itu Nimas Sertani mengibaskan kerudungnya
yang mendadak menjadi tombak dan siap me-
nembus leher Madewa.
Masih di udara Madewa bersalto dan ber-
balik menyambar ujung kerudung itu. Terjadilah
adu tenaga yang kuat, masing-masing hendak
mempertahankan ujung kerudung yang dipe-
gangnya. Nimas Sertani yakin dia akan kalah dalam
hal adu tenaga dalam. Makanya dia membiarkan
kerudungnya dibetot oleh Madewa dan bersamaan
dengan itu dia mengenjot tubuhnya ke depan
dengan tangan dan kaki menyerang.
Madewa sedikit terkejut dengan serangan
demikian. Dia melempar tubuhnya ke samping,
tetapi Nimas Sertani mengejar dengan pukulan
saktinya: Tak ada jalan lain selain memapaki, Made-
wa menyambut dengan jurus Tembok Menghalau
Badai. "Desss!!"
Kembali dua tangan bertemu, tetapi kali ini
lebih besar dan mengakibatkan keduanya ter-
huyung ke belakang, Nimas Sertani muntah da-
rah begitu jatuh. Nafasnya terasa sesak. Dia tidak menyangka laki-laki itu
berani memapaki serangannya dan tenaga laki-laki itu betapa kuatnya.
Nimas Sertani tidak tahu, kalau saja Madewa me-
lepaskan pukulan bayangan sukmanya, nyawa
Nimas Sertani bisa melayang saat itu juga!
Merasa tidak sanggup melawan Madewa
Gumilang, dengan susah payah Nimas Sertani
bangkit sambil menahan rasa sakitnya.
"Kau... hari ini... aku mengakui kekalahan-
ku. Namun ingat Madewa... suatu saat nanti aku
akan membalas kekalahan ini....." Lalu dia menyambar kerudung putihnya dan
melesat dengan cepat. Madewa menggeleng-geleng bingung. Tak
mengerti akan kemauan Nimas Sertani. Sebenar-
nya dia mau apa menghadang perjalanannya dan
disuruh siapa dia melakukan itu"
Tetapi mendadak Madewa teringat akan
makam Paksi Uludara yang akan dikunjunginya.
Apa tidak mungkin, Nimas Sertani membuntu-
tinya sehubungan dengan makam itu. Tetapi mau
apa" Lagi-lagi dia mengkhawatirkan pedang mes-
tika Naga Emas. Apakah bukan soal itu yang
menjadi masalah sekarang" Orang-orang rimba
persilatan memang masih gila akan pusaka-
pusaka macam demikian.
Mengingat itu, Madewa melompat ke ku-
danya dan melarikannya kencang-kencang. Setiap
kali memasuki hutan itu, hatinya selalu bergidik.
Bayangan empat tahun yang silam selalu ter-
bayang. Di mana seorang gadis baik-baik, beru-
bah menjadi kejam dan jahat hanya gara-gara
cinta. Gadis itu bernama Nindia. Kini menjadi
pendamping Paksi Uludara di dalam goa itu.
Nindia, gadis murni yang lembut dan pe-
nakut menjadi seorang dewi penyebar maut den-
gan gelar yang menyeramkan pula.
Di ujung dari hutan itu, terdapat sebuah
goa. Di dalam goa itulah makam Paksi Uludara
berada. Madewa melompat turun dan menjura ke
arah goa itu. Memberi hormat sebelum masuk ke
dalam. Mulut goa merupakan lorong yang agak
sempit namun begitu ke dalam agak membesar
dan Madewa tiba di sebuah ruangan yang besar.
Ruangan itu terang, karena dia setiap tahun sela-
lu mengganti obor yang bisa mencapai lebih dari
dua tahun terangnya.
Di tengah rongga itu, terdapat sebuah
singgasana dari batu. Di singgasana itu terdapat
emas, intan dan permata. Berkilauan dengan in-
dah. Dulu singgasana itu milik Dewi Cantik Pe-
nyebar Maut! Madewa berdebar setiap kali melihat sing-
gasana itu. Seolah dia masih melihat bayangan
Nindia duduk sambil tersenyum antara benci dan
cinta kepadanya.
Madewa tidak mau memikirkan soal itu la-
gi. Dia langsung beranjak ke makam Paksi Uluda-
ra, dan bukan main terkejutnya ketika melihat
makam itu telah dibongkar! Tanah-tanah berse-
rakan dengan berantakan.
"Tuhan!" desis Madewa terkejut. Siapa yang telah melakukan semua ini" Ia
melongokkan kepala. Kerangka Paksi Uludara tidak ada, begitu
pula dengan pedang sakti naga emas!
Madewa terhenyak lesu. Marah. Benci dan
gusar. Buat apa makam Paksi Uludara diganggu-
ganggu. Betapa berdosanya orang yang melaku-
kan semua ini. Dia menggigit bibirnya sedih. Ba-
gaimana tidak sedih, orang yang telah tenang di
alamnya sana, diganggu dan dibangkitkan dari
kuburnya! Ia berlutut di hadapan makam yang telah
acak-acakan itu. Menyatukan kedua tangannya di
dada dan merunduk.
"Paksi... maafkan semua kelalaianku. Kau
telah tenang, tapi masih ada orang yang mau
mengganggumu.... Aku akan mencari orang itu,
Paksi. Dan meletakkan kembali kerangkamu ke
dalam makam ini...."
Setelah menganggukkan kepala tiga kali,
tanda minta maaf, Madewa berbalik dari berlari
keluar goa. Dia melompat ke kudanya. Wajahnya
menampakkan kemarahan, kesedihan dan kegu-
saran yang luar biasa. Dia akan mencari dan
membunuh orang yang telah merusak makam itu.
Salah satunya adalah Aryo Gembala!
Namun tiba-tiba kudanya meringkik keras
sampai membuat Madewa terlepas dari tali ken-
dali. Dengan sigap dia melompat dan bersamaan
dengan itu, kudanya ambruk meregang nyawa
dan nyawanya lepas dari tubuhnya.
Madewa segera waspada. Ia menggeram,
"Bangsat!"
Tiba-tiba dari balik pohon dan semak, ber-
keluaran sepuluh orang berpakaian pendekar
dengan memakai angkin berwarna kuning. Made-
wa sulit mengenali dari perguruan mana orang-
orang itu. Rupanya mereka hendak menyembu-
nyikan identitas asli mereka.
Mereka langsung mengambil sikap mengu-
rung. Salah satu dari mereka memegang sebuah
golok besar. Orang-orang itu adalah utusan dari
Resi Sendaring atau anggota perguruan Cakar
Naga dan yang memegang golok besar itu sudah
tentu Joko Mandra yang bertugas memimpin
sembilan anak buahnya untuk membunuh Ma-
dewa. Begitu diberi perintah, mereka langsung
menjalankannya, yaitu menuju makam Paksi
Uludara dan menghancurkan makam itu. Ke-
rangka dan pedang mestika yang didapat oleh
mereka secara tidak sengaja harus dibawa pu-
lang. Dan kalau berjumpa dengan Madewa Gumi-
lang, mereka ditugaskan untuk membunuh!
Sekarang orang-orang itu sudah mengu-
rung Madewa. Madewa yang merasa perjalanan-
nya untuk mencari Aryo Gembala terhambat, dia
menggeram marah.
"Ada apa kalian mengurungku dan meng-
halangi perjalananku?" bentaknya gusar. Matanya melihat dengan waspada.
Pemuda yang memegang golok besar mem-
bentak, "Kami ingin membunuhmu!"
"Apa sebab kalian ingin membunuhku?"
"Terus terang, kami membenci orang-orang
Topeng Hitam! Apalagi ketuanya! Hari ini... kami
berniat ingin membunuh ketua perguruan Topeng
Hitam itu!"
"Baik, kalian dari perkumpulan mana?"
"Persetan dengan perkumpulan!" bentak
orang itu yang tak lain Joko Mandra. Lalu berseru menyerang, "Habisi orang itu
dan ganyang mayatnya!!"
Serentak lima orang bergerak secara ber-
samaan dengan cepat. Madewa menghindar ke
belakang belum mengerti mengapa orang-orang
itu menyerangnya. Makanya dia belum mau
membalas menyerang, masih menghindari seran-
gan-serangan mereka. Agaknya murid-murid per-
guruan Cakar Naga itu tidak mau mengeluarkan
ilmu cakar naga mereka. Mungkin kuatir keta-
huan oleh Madewa dan bisa menebak dari partai
mana mereka datang.
Namun lama kelamaan Madewa merubah
gerakannya. Dia tidak hanya menghindar, bahkan
mulai balas menyerang. Menghadapi orang-orang
itu dia tidak perlu lembut-lembut. Apalagi orang
yang memegang golok besar itu sudah maju me-
nyerang. Sambaran-sambaran goloknya begitu dah-
syat. Sabetannya saja menimbulkan desiran an-
gin yang amat kuat. Kini sepuluh orang itu sudah
turun tangan semua mengeroyok Madewa. Made-
wa kembali memperlihatkan jurus Ular Melo-
loskan Diri, yang dipakai untuk menghindari se-
rangan-serangan itu.
Dia juga menangkis, menghindar dan balas
menyerang. Dua orang dari mereka termakan pu-
kulan dan tendangannya. Kedua orang itu ter-
huyung menahan rasa sakit.
Melihat teman mereka kena, orang-orang
itu semakin beringas. Serangan mereka semakin
beruntun. Belum lagi yang memegang golok besar
itu. Joko Mandra menyambarkan goloknya den-
gan hebat. Dia jengkel dua orang temannya ter-
kena pukulan. Gerakannya bagaikan kilat. Golok besarnya
bergulung-gulung dan menyambar dengan dah-
syat. Madewa merasa, lama-kelamaan dia bisa
kehabisan tenaga. Tiba-tiba dia bersalto ke udara dan mengibaskan tangan
kanannya. Sebuah dorongan angin yang besar meng-
hantam orang-orang itu hingga jatuh berantakan.
Kesempatan itu dipakai oleh Madewa untuk ber-
tanya, "Katakan, kalian dari partai mana"!"
Joko Mandra sudah berdiri dan menye-
rang, "Kau tak perlu tahu kami dari partai mana!
Makan golokku!!"
Kembali golok itu menyambar, Madewa
berkelit ke kiri dan menyodokan tangannya. Ju-
rus Ular Mematuk Katak. Gerakan tangannya ba-
gai bergelombang, tahu-tahu Joko Mandra mera-
sakan tulang iganya digedor oleh tangan yang ke-
ras. Joko Mandra terhuyung. Tulang iganya sera-
sa patah. Tetapi belum lagi Madewa berkata-kata,
sembilan orang yang lain sudah menyerang. Men-
gingat lawan yang mereka hadapi demikian tang-
guh, mereka lupa untuk menyembunyikan identi-
tas mereka. Dengan gerakan serempak mereka
menyerang dengan cakar naga! Kelima jari mere-
ka membentuk sebuah cakar dan menyerang
dengan ganas. Mula-mula Madewa tidak menyadari hal
itu, tetapi ketika dia menyerang dan ditangkis
dengan gerakan menekuk dan mencakar, dia bu-
ru-buru menarik tangannya pulang dan berseru,
"Cakar Naga!"
Seruannya itu mengejutkan orang-orang
itu. Dengan serentak mereka merubah jurus me-
reka, tetapi Madewa sudah mengetahui dari partai
mana mereka datang. Jurus cakar naga hanya
dipunyai oleh orang-orang Perguruan Cakar Naga.
Tetapi mereka mau apa ingin membunuhnya"
Joko Mandra menyesali anak buahnya
yang sudah mengeluarkan jurus perguruan mere-
ka. Namun tak bisa disembunyikan lagi. Madewa
sudah mengetahui hal itu.
Joko Mandra membentak, "Kami memang


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang dari perguruan Cakar Naga! Kau ta-
hu... kami semua membenci orang-orang pergu-
ruan Topeng Hitam!"
"Kenapa?" Madewa bertanya, berusaha
mengorek keterangan lebih lanjut.
"Karena perguruan Topeng Hitam, menga-
lahkan ketenaran nama perguruan Cakar Naga!"
Madewa geleng-geleng kepala. "Hanya ka-
rena itu kalian ingin membunuhku" Kalian se-
mua salah, sebaiknya kita bersaing secara sehat.
Bukan saling membunuh demikian!"
"Tidak, kami tetap menginginkan nyawa-
mu! Bersiaplah!" Joko Mandra membuang golok
besarnya. Ia membuka jurus cakar naganya, me-
lihat itu, kesembilan anak buahnya berbuat yang
sama. Inilah jurus-jurus cakar naga yang hebat
dan kejam! Madewa pun bersiap. Jurus-jurus ular sak-
tinya akan dia perlihatkan. Joko Mandra sudah
berseru menyerang dan serentak sepuluh orang
itu menerjang. Sambaran-sambaran tangan me-
reka kali ini lebih dahsyat. Jurus cakar naga
sungguh keji. Selalu mengarah kepada tiga titik
kematian. Urat leher, jantung dan kemaluan. Me-
nerima serangan yang serentak dan beruntun itu,
membuat Madewa agak kewalahan. Namun ke-
mudian dia berhasil menembus formasi itu dan
mulai balas menyerang.
Madewa sudah mengeluarkan jurus Ular
Mematuk Katak dan pukulan Tembok Menghalau
Badai. Dengan kedua jurus yang diperpadukan
itu, dia berhasil menotok kaku tiga orang dari mereka. Dan menggedor dada dua
orang dari mereka
dengan Tembok Menghalau Badai. Kedua orang
itu muntah darah dan roboh.
Joko Mandra Semakin menggeram dengan
marah. Bersama empat orang temannya, mereka
menyerang lagi. Namun biarpun berlima, mereka
bukanlah tandingan Madewa Gumilang, pendekar
yang namanya menggegerkan dunia persilatan se-
jak menumpas perkumpulan Telapak Naga!
Dengan mudah saja kelima orang itu diro-
bohkan dan dibuat tunggang langgang.
Joko Mandra mengeluh karena dadanya di-
rasakan amat sakit. Dia merasa tidak mampu un-
tuk menghadapi Madewa. Sekarang baru dia ya-
kin, akan kehebatan dan kesaktian Madewa Gu-
milang! Melihat lawan-lawannya ambruk, Madewa
tidak menyerang lagi. Dia mengambil sebuah ke-
rikil kecil dan menyambitkan ke arah Joko Man-
dra yang sedang mengeluh.
"Tuk!"
Joko Mandra tersentak dan mendadak tu-
buhnya kaku. Rupanya Madewa menotoknya dari
jauh dengan batu kerikil itu. Lalu dia mengham-
piri Joko Mandra.
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian
berbuat begini padaku?" serunya dengan geram.
Joko Mandra malah mendengus. Tatapan-
nya penuh kemarahan, tak ada rasa ketakutan
sedikit pun. "Sampai kapan pun aku tak mau bicara!"
dengusnya seraya meludah ke tanah.
Madewa merasa diejek dengan ludah itu.
Dia menggeram jengkel. Dan mendadak dia me-
langkah ke sebuah pohon jati yang ada di sana.
Di pohon itu terdapat banyak semut-semut yang
bisa menggigit. Diambilnya lima ekor dan diletak-
kannya di leher Joko Mandra
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian"
Kalau tidak, semut-semut itu akan mengerayangi
seluruh tubuhmu!"
Joko Mandra terdiam, tetapi begitu semut-
semut itu melangkah menelusuri tubuhnya, dia
agak menggigil. Geli dirasakannya dan salah see-
kor dari semut itu sudah menggigit pipinya.
"Auuu!" Joko Mandra menjerit, panas seka-
li dirasakannya gigitan itu. Tetapi semut-semut
itu seakan tak mau perduli, mereka terus berjalan dan menggigit dengan
seenaknya, sampai Joko
Mandra menjerit-jerit kesakitan. "Baik, baik! Aku katakan!" serunya terengah-
engah. Madewa tersenyum.
"Katakan...."
"Ambil, ambil semut-semut itu!" suara Joko Mandra memohon dan agak kesakitan.
Madewa mengambil ke lima ekor semut itu
yang masih bergerak di sekitar kepala Joko Man-
dra. "Katakan, siapa yang menyuruh kalian"
Aku yakin, kalian adalah orang-orang perguruan
Cakar Naga yang membenci Perguruan Topeng Hi-
tam. Aku tidak tahu... semua itu kemauan kalian
atau ketua kalian yang menyuruh...."
"Baik, baik.... Kami memang membenci ka-
lian dan kami... aughhh!" Joko Mandra menjerit kesakitan dan kepalanya terkulai
lemah. Lalu roboh ke tanah.
Madewa terkejut ia segera memeriksa tu-
buh Joko Mandra. Tubuh itu telah menjadi mayat
dan di lehernya terdapat sebuah pisau kecil ta-
jam. Rupanya disambitkan oleh seorang yang
sangat ahli. Madewa melesat ke depan, mencari
jejak orang itu, tetapi tak nampak sedikit pun je-jaknya. Ia kembali lagi hendak
bertanya pada yang lain. Namun dia kembali terkejut. Orang-
orang itu sudah menjadi mayat semua dengan
sembilan buah pisau di leher mereka masing-
masing. Madewa menggeram marah. Ia cepat me-
lompat ke kudanya dan memacu dengan cepat. Ia
mencurigai ketua perguruan Cakar Naga di balik
semua ini. Teringat akan makam Paksi Uludara, kege-
raman Madewa semakin menjadi-jadi!
4 Matahari muncul di ufuk timur. Cahayanya
mulai menyelimuti seluruh dunia. Matahari tak
pernah mengeluh akan tugas rutinnya itu. Dia se-
lalu menyinari dengan penuh kelembutannya se-
tiap hari. Di perguruan Topeng Hitam sedang terse-
limut duka. Maka Ratih Ningrum memerah. Ia
menangis sejak semalam. Apalagi orang-orang
yang diutus Jayalaksa kembali dengan tangan
hampa. Mereka tidak menemui jejak Pranata Ku-
mala. Ratih Ningrum semakin sedih dan kuatir.
Karena repotnya menghadapi orang-orang jahat
kemarin, dia sampai lupa akan anaknya.
Akhirnya Ratih Ningrum memutuskan un-
tuk berangkat mencari Pranata Kumala. Dia
berpesan kepada Jayalaksa untuk memimpin
perguruan sampai dia atau suaminya kembali.
Mendengar rencana itu, Bayuseta segera
manggut-manggut dalam hati. Dia harus mela-
porkan semua ini kepada Resi Sendaring. Sebe-
narnya, kehilangan Pranata Kumala adalah oleh-
nya. Ketika Pranata masuk ke dalam kemarin, dia
langsung menyergapnya dan membawa bocah itu
ke perguruan Cakar Naga. Setelah itu buru-buru
kembali dan berlagak kehilangan dan mencari ke-
tika Pranata dinyatakan hilang.
Sekarang Ratih Ningrum akan pergi men-
cari Pranata Kumala, itu kesempatan yang baik
untuk Bayuseta membuntuti Ratih Ningrum.
Sebelum matahari sepenggalah, Ratih Nin-
grum sudah pergi dengan menaiki seekor kuda.
Tak berapa lama, Bayuseta pun menyusul dengan
kuda yang disembunyikannya tak jauh dari per-
guruan. Ia berusaha menjaga jarak agar tidak dike-
tahui oleh Ratih Ningrum. Melihat wanita itu pergi sendiri, di benak Bayuseta
melintas sebuah pikiran jelek. Kesempatan yang paling bagus adalah
saat ini, kapan lagi dia bisa memiliki wanita itu secara utuh.
Berpikiran demikian, dia menunggu sam-
pai Ratih Ningrum tiba di tempat yang sepi. Begi-
tu keduanya memasuki sebuah hutan kecil,
Bayuseta mempercepat laju kudanya dan me-
manggil-manggil, "Nyonya ketua! Nyonya ketua!"
Merasa dirinya dipanggil, Ratih Ningrum
menghentikan laju kudanya. Ia menoleh, Bayuse-
ta yang memanggilnya dan menjajari kudanya.
Hmm, pemuda ini sudah melanggar aturan yang
telah ditetapkan. Keluar tanpa seizinnya atau su-
aminya. "Ada apa, Bayuseta?" tanya Ratih Ningrum agak tidak senang.
Bayuseta menunduk, menghindari tatapan
ketuanya yang memancarkan sinar agak marah.
Tetapi dalam hati, dia tertawa. Sebentar lagi wani-ta yang sangat dicintainya
itu berada dalam. ke-
kuasaannya. "Maafkan aku, Nyonya ketua. Aku keluar
tanpa seizin siapa pun," suara Bayuseta sopan.
"Kau mau apa menyusulku?" Melihat pe-
muda itu agak menyesali kesalahannya, suara
Ratih Ningrum sudah agak mereda. Lembut se-
perti biasa. "Aku ingin menemanimu, Nyonya ketua.
Aku kuatir, saat ini banyak sekali orang-orang jahat yang ingin merebut
perguruan Topeng Hitam
dan tidak mustahil perjalanan Nyonya ketua di-
jegal oleh mereka."
Ratih Ningrum tersenyum. Agak senang
karena dikuatirkan.
"Kau tak perlu mengkuatirkan aku, Bayu-
seta. Aku sanggup menjaga diri."
"Bukan maksudku untuk merendahkan-
mu, Nyonya ketua. Tapi aku kuatir, orang-orang
jahat itu beramai-ramai mengeroyokmu dan kau
ditawan oleh mereka. Nyonya ketua... izinkan aku
untuk menemanimu...."
Ratih Ningrum tersenyum, Bayuseta sema-
kin naik nafsu birahinya melihat senyum yang
menggetarkan jiwanya itu. Ratih Ningrum men-
gangguk, tak ada salahnya kalau Bayuseta me-
nemaninya. Lagipula, lebih baik ada teman dari-
pada sendiri. Ia pun menjalankan kudanya dan
Bayuseta menjajarinya. Tak sedikit pun pikiran
jelek mampir di benaknya.
Hutan kecil itu sunyi. Angin bertiup meng-
gesek dedaunan. Suasana agak dingin, matahari
hanya bisa menembuskan sinarnya sedikit. Hawa
yang agak dingin itu, membuat Bayuseta tak
mampu menahan diri lama-lama. Dengan cepat ia
menubruk Ratih Ningrum hingga jatuh bergulin-
gan dan disergapnya dengan cepat.
Ratih Ningrum terkejut karena tak me-
nyangka Bayuseta akan berbuat demikian, dia
meronta. Tetapi Bayuseta yang sudah berada di
atas tubuhnya tidak mau melepaskan kesempa-
tan yang susah payah dicari dan ditunggunya.
Dengan beringas dia menciumi seluruh tubuh Ra-
tih Ningrum. Ratih Ningrum meronta dengan memukul
wajah Bayuseta. Bayuseta meringis sakit. Dia me-
lotot dengan marah. Ditotoknya Ratih Ningrum
hingga tak dapat bergerak.
Bayuseta terbahak melihat Ratih Ningrum
mendelik gusar.
"Ha...ha... akhirnya aku memiliki juga wa-
nita yang kucintai selama ini. Aku mencintaimu,
Nyonya ketua atau... lebih mesra kupanggil... Ra-
tih Ningrum.... Oh, nama yang indah sekali...."
Ratih Ningrum menggigil melihat wajah
Bayuseta yang berubah. Wajah itu bukan milik
Bayuseta, tetapi milik iblis yang telah merasu-
kinya. Ia meratap. "Bayu... kau... hendak berbuat apa padaku?"
Bayuseta terbahak.
"Sudah jelas ingin memiliki dirimu, Ratih
ku sayang.... Lama aku mencari kesempatan ini.
Dan hari ini aku memiliki dirimu...".
"Lepaskan aku, Bayu! Lepaskan!" bentak
Ratih Ningrum ketakutan. "Kubunuh kau, Bayu!
Kubunuh kau!"
Tetapi mana mau Bayuseta melepaskan
mangsa yang sudah tersedia di hadapannya. Dia
menciumi tubuh Ratih Ningrum dengan buas dan
tentu saja Ratih Ningrum memaki-maki, kalau sa-
ja tubuhnya bisa digerakkan dia akan hajar
Bayuseta ini sampai minta ampun-ampun.
Bayuseta hanya tertawa-tawa saja men-
dengar makian Ratih Ningrum.
"Ha... ha... makilah, Ratih! Sebenarnya aku
enggan memperkosamu... tetapi kini aku minta
dengan baik-baik. Ingat Ratih Ningrum... kau
berhutang budi kepadaku dan bermaksud mem-
balasnya. Hari ini aku minta balasan ini...."
"Tidak, tidak dengan cara begini, Bayu! Le-
paskan aku, Bayu!"
"Ha... ha... ternyata kau orang yang melu-
pakan budi, Ratih. Kalau tidak ada diriku, kau
sudah mampus waktu itu. Iya atau tidak, aku


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminta balasan budiku itu sekarang.... Dan
kuminta kau menyerahkannya secara suka re-
la...!" Ratih Ningrum memaki, "Tidak, bangsat kau, Bayuseta! Kau setan! Kau
iblis! Kubunuh kau... kubunuh!!"
Tiba-tiba suara Bayuseta. terdengar bengis,
"Diam, Ratih! Sudah kuminta baik-baik, kau masih berontak! Baik, jika kau tak
mau diam, aku akan membunuh anakmu, Pranata Kumala!"
Ratih Ningrum terbelalak. Kaget. Rontaan-
nya berhenti. Anaknya, mana, mana" Tetapi ke-
mudian Ratih Ningrum sadar, kalau anaknya be-
rada dalam kekuasaan Bayuseta.
"Kau... kau benar-benar iblis, Bayu!" bentak Ratih Ningrum dengan kebencian yang
luar biasa. "Kau benar-benar... aahh... jangan, jangan!" Bayuseta sudah menciumi lagi
dengan beringas. Tak diperdulikannya makian Ratih Nin-
grum, dengan buas dia menyobek baju di bagian
dada Ratih Ningrum. Terdengar suara robek dan
nampak payudaranya yang telanjang. Bayuseta
semakin menjadi ganas. Nafsu birahi sudah
membuatnya buta dan lupa segalanya. Lupa sia-
pa orang yang hendak diperkosanya itu. Lupa
akan kebaikan orang yang hendak diperkosa itu.
Ratih Ningrum sendiri sudah memejamkan
matanya. Sudah letih dia memaki. Dia pun tak
berhasil membebaskan dirinya dari totokan Bayu-
seta. Dia pasrah. Kini dia tahu, kalau Bayuseta
adalah musuh dalam selimut. Dia yang menculik
anaknya. Dia yang hendak merusak kehormatan-
nya. Pada saat yang gawat akan kehormatan
Ratih Ningrum, terdengar suara kekehan dari
samping. Bayuseta yang sudah diamuk birahi ti-
dak memperdulikan tawa itu. Tiba-tiba dia mera-
sakan tubuhnya dihantam benda keras dan ter-
guling dengan rasa sakit di pinggangnya.
Orang yang menendang itu memetik se-
buah daun dan melemparkan ke arah Ratih Nin-
grum. Tiba-tiba Ratih Ningrum merasakan tu-
buhnya sudah terlepas dari totokan. Buru-buru
dia merapikan pakaiannya yang acak-acakan.
Dan melihat siapa yang telah menolongnya.
Majikan gunung Muria, Ki Ageng Jayasih!
Buru-buru dia menjura hormat.
"Lagi-lagi Ki Ageng Jayasih yang menyela-
matkan aku," kata Ratih Ningrum penuh terima kasih. Ki Ageng Jayasih tertawa.
"Hanya kebetulan saja, Nyonya ketua."
Sementara itu, Bayuseta melihat siapa
yang telah menendangnya. Dia terkejut ketika
mengenali orang itu. Majikan gunung Muria. Bu-
ru-buru dia melompat ke kudanya, tetapi menda-
dak kuda itu tak mau melangkah. Digembraknya
berkali-kali tetap diam saja.
Ki Ageng Jayasih terbahak. Barulah Bayu-
seta sadar, kalau kakek sakti itu telah menotok
kudanya. Melihat kenyataan itu, dia turun dan
berlari, namun sebuah bambu kuning menancap
tepat di depannya dan menghalanginya lari.
Pucat wajah Bayuseta, tubuhnya menggigil.
Apalagi ketika Ki Ageng Jayasih menghampirinya.
Tubuhnya terasa lemah, tak kuat untuk berlari
lagi. Ia jatuh bersimpuh dengan tubuh penuh ke-
ringat. Ki Ageng Jayasih terbahak.
"Ha... ha... hanya begini nyali orang yang
hendak berbuat jahat," suaranya pelan tetapi terdengar amat menyeramkan.
Bayuseta benar-benar kehilangan tena-
ganya. Mendengar nama Ki Ageng Jayasih dis-
ebutkan saja, dia sudah bergetar. Kelihaian Ki
Ageng Jayasih sudah tidak disangsikannya lagi.
Ia hanya tersimpuh dengan wajah tertun-
duk. Ki Ageng Jayasih mencabut tongkat bambu
kuningnya dan tertawa penuh ejekan.
"Berbuat zina saja sudah dihukum berat,
apalagi hendak memperkosa," katanya pelan namun jelas didengar oleh telinga
Bayuseta semen-
tara Ratih Ningrum hanya diam saja. Dia setuju
Bayuseta dihukum berat. Tetapi bagaimana den-
gan putranya yang diculik Bayuseta. Didengarnya
lagi suara Ki Ageng Jayasih,
"Aku sebenarnya bukan orang kejam. Teta-
pi aku paling tak suka melihat perbuatan hina
dan amat menjijikkan itu! Kau tahu apa huku-
mannya?" Bayuseta mengangkat wajahnya, menatap
Ki Ageng Jayasih. Dia buru-buru menunduk, ta-
tapan itu memancarkan sorot mata yang mena-
kutkan. "Hukuman yang pantas buatmu, diseret
oleh kuda yang lari dengan kencang!" kata Ki Ageng Jayasih tegas.
Bayuseta terbelalak, tubuhnya semakin
lemah saja rasanya. Namun dia tidak mau mati
secara demikian. Lebih baik dilawannya saja ka-
kek sakti itu. Mendadak dia memekik dan me-
nyambar kaki Ki Ageng Jayasih. Kakek sakti itu
hanya melompat sambil tertawa.
"Ternyata masih ada keberanian pula. Aku
pun tak segan untuk membunuh orang macam
kau!" Ki Ageng mengibaskan tongkat. "Wuutt!"
Hampir saja kepala Bayuseta tersambar kalau sa-
ja Bayuseta tidak cepat menunduk.
Ratih Ningrum maju ke depan. "Ki Ageng
Jayasih, jangan kau bunuh dia! Dia masih punya
rahasia di mana putraku berada!"
Tetapi Ki Ageng Jayasih tak perduli. Dia
mengibaskan lagi tongkatnya, gerakannya cepat. :
"Plak!" Tongkat itu menampar pinggang Bayuseta yang menjerit kesakitan dan
ambruk dengan pinggang serasa mau patah. Ki Ageng bukanlah
orang yang kejam tetapi dia sangat marah melihat
perbuatan jijik Bayuseta. Menurut Ki Ageng,
hanya hukuman mati yang pantas untuk orang
macam itu. Dia berkelebat dan mengayunkan
tongkatnya. Mendadak terdengar bunyi, "Trak!" Ayunan
tongkat itu melenceng. Rupanya Ratih Ningrum
menahan ayunan tongkat Ki Ageng Jayasih den-
gan pedangnya. Ki Ageng agak heran. Ia menatap Ratih
Ningrum penuh tanda tanya, buru-buru Ratih
Ningrum menjura.
"Maafkan aku, Ki Ageng. Bukan maksudku
untuk menahan serangan tadi. Tetapi pemuda itu
masih mempunyai rahasia di mana putraku bera-
da." Mendengar itu, Bayuseta tertawa penuh
kemenangan. Dia sudah sangat tidak mampu un-
tuk bangkit dan hanya itu satu-satunya yang
mungkin bisa menyelamatkan dirinya.
"Ha... ha... kau bunuhlah aku.... Putramu
tak akan tertemukan selama hidupmu dan dia
akan mati kelaparan."
Tetapi lain halnya dengan Ki Ageng Jaya-
sih. Dia adalah orang yang adil, yang salah harus dihukum. Tanpa ampun lagi,
mendadak dia mengayunkan tongkatnya.
"Craasss...!"
Tongkatnya itu tepat mengenai batok kepa-
la Bayuseta yang langsung terkulai mati. Ratih
Ningrum menjerit kaget.
"Kakek!"
"Orang macam dia harus dibunuh, itu hu-
kuman yang paling tepat untuknya..."
"Tapi putraku?"
"Aku tahu di mana dia berada?"
"Kau... kau tahu, Kakek" Di mana, di mana
putraku?" tanya Ratih Ningrum gembira.
Ki Ageng Jayasih tersenyum. Ia memang
mengetahui di mana Pranata Kumala berada. Se-
belum membela Ratih Ningrum dari ancaman
Angkasena dan Sumpila, Ki Ageng Jayasih meli-
hat sosok tubuh berkelebat dengan seorang anak
yang terkulai di bahunya. Tetapi saat itu, keingin-tahuan Ki Ageng Jayasih
dengan apa yang tengah
terjadi di perguruan Topeng Hitam mengurungkan
niatnya untuk mencari tahu siapa bayangan yang
berkelebat tadi.
Setelah keadaan mereka, baru Ki Ageng
Jayasih mencari bayangan yang berkelebat itu.
Itulah sebabnya dia menolak diajak mampir oleh
Ratih Ningrum. Ketika Ki Ageng Jayasih tiba di
suatu tempat, dia melihat sosok bayangan keluar
dari sebuah bangunan besar dan Ki Ageng Jaya-
sih yakin kalau bayangan itu adalah sosok tubuh
yang keluar dari perguruan Topeng Hitam.
Mengingat itu dia segera memeriksa ban-
gunan tempat orang itu keluar tadi, bangunan itu
adalah perguruan Cakar Naga! Di sebuah kamar,
Ki Ageng Jayasih melihat seorang bocah yang se-
dang menangis. Mungkin bocah ini yang dipang-
gul orang itu tadi. Tahu-tahu Ki Ageng Jayasih
melihat beberapa orang masuk ke kamar itu. Sa-
lah satu orang itu adalah adik seperguruannya,
Madurka! Setelah itu, Ki Ageng Jayasih berkelebat
dan menghilang. Keesokan harinya, dia bermak-
sud datang ke perguruan Topeng Hitam dan hen-
dak bertanya tentang bocah yang dilihatnya tadi.
Tetapi ketika dia tiba di sana, dia melihat nyonya ketua perguruan Topeng Hitam
hendak bepergian
dengan seekor kuda. Mulanya Ki Ageng Jayasih
hendak pergi saja tetapi tiba-tiba dia melihat sosok tubuh dengan seekor kuda
menyusul. Entah kenapa Ki Ageng Jayasih hendak
melihatnya. Dia yakin sekali, bentuk badan orang
itu sama dengan yang dilihatnya semalam. Ki
Ageng Jayasih pun menyusul.
Dan dugaannya benar, orang itu hendak
berbuat jahat. Orang itu Bayuseta. Ki Ageng
Jayasih gusar melihat perbuatan yang sangat hi-
na itu. Karena dia sudah tahu di mana Pranata
Kumala berada, maka dia tak ambil perduli den-
gan membunuh Bayuseta.
Menurut Ki Ageng Jayasih, orang macam
ini tak ada gunanya hidup. Selain mengkhianati
perguruan, menculik anak ketuanya, juga hendak
berbuat tidak senonoh dengan istri ketuanya sen-
diri. Sungguh keterlaluan!
Ki Ageng Jayasih menatap wajah Ratih
Ningrum yang kelihatan agak gembira.
"Putramu dalam tawanan orang-orang per-
guruan Cakar Naga."
"Perguruan Cakar Naga?" Ratih Ningrum
terbelalak. "Kenapa, kenapa bisa sampai ke sa-na?" "Orang yang bernama Bayuseta
itu, seorang pengkhianat. Dia bersekutu dengan orang
Cakar Naga untuk menghancurkan perguruan
Topeng Hitam. Orang-orang sakti yang menyerang
ke perguruan Topeng Hitam kemarin itu, adalah
sekutu Cakar Naga. Termasuk adik sepergurua-
nku yang bernama Madurka, atau Orang Cacat
Sakti. Rupanya ketua perguruan Cakar Naga iri
pada kejayaan perguruan Topeng Hitam. Mereka
bermaksud menghancurkan perguruan Topeng
Hitam dengan bantuan orang-orang golongan hi-
tam!" "Jadi ketua Cakar Naga yang telah menga-tur semua rencana itu?"
"Begitulah kira-kira, Nyonya ketua."
Mendadak wajah Ratih Ningrum kemera-
han. Ia tersipu. "Kakek sakti... jangan panggil aku nyonya ketua. Panggil namaku
kenapa?" "Karena kau memang nyonya ketua. Tak
ada panggilan yang pantas selain itu."
"Lalu Ki Ageng Jayasih, hendak ke mana
sekarang?"
"Sebenarnya, aku tengah mencari muridku.
Tetapi, karena ada tugas yang kulihat di depan
mataku, aku harus melaksanakan tugas itu."
"Tugas apa gerangan?"
"Menumpas orang-orang sesat itu yang
hendak membuat onar."
Ratih Ningrum tersenyum. Kalau begitu, Ki
Ageng Jayasih mau membantunya. Ia mengang-
guk. "Kebaikan dan bantuan kakek sakti, sangat saya harapkan."
Ki Ageng Jayasih terbahak.
"Baik, baik! Mari kita pergi ke perguruan
Cakar Naga untuk menyelamatkan putramu!"
Ratih Ningrum menaiki kudanya. Ki Ageng
Jayasih membebaskan totokannya pada kuda
Bayuseta. Tetapi ia tidak menaiki, malah dige-
buknya kuda itu hingga lari terbirit-birit. Sedangkan dia hanya berlari
mengikuti kuda Ratih Nin-
grum. Padahal Ratih Ningrum sudah sedemikian
cepat melarikan kudanya, tetapi Ki Ageng Jayasih
masih tetap berada di depan!
5 Di perguruan Cakar Naga sedang terjadi
rapat. Resi Sendaring dengan kelima bawahan-
nya, tengah merundingkan dan merencanakan
penyerangan langsung ke perguruan Topeng Hi-
tam. Saat ini ketua yang bernama Madewa Gu-
milang, sedang tidak ada di tempat. Suatu ke-
sempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk
bertindak. Jadi tidak perlu susah-susah menak-
lukkan perguruan Topeng Hitam. Apalagi Pranata


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kumala ada dalam tawanan mereka, bisa dijadi-
kan sebagai sandera agar perguruan Topeng Hi-
tam menyerah. Setelah diobrak-abrik oleh Ki Ageng Jaya-
sih, mereka melaporkan kegagalan itu pada Resi
Sendaring. Madurka yang mendengarnya mengge-
ram marah, rupanya kakak seperguruannya ikut
campur dalam urusan ini. Dia berkata, nanti biar
dia yang menghadapi kakek sakti itu.
Resi Sendaring lalu memerintahkan kepada
Angkasena untuk melihat sepuluh orang murid
Cakar Naga yang ditugaskan untuk membongkar
makam Paksi Uludara.
Sesampai di sana, Angkasena melihat me-
reka baru melakukan hal itu dan sungguh di luar
dugaannya, di dalam makam itu terdapat sebuah
pedang mestika yang berkilat. Itulah pedang Sakti Naga Emas.
Setelah itu Angkasena memerintahkan un-
tuk segera meninggalkan tempat itu dan bersa-
maan dengan munculnya Madewa Gumilang. Dia
pun memerintahkan untuk sembunyi dan menye-
rang Madewa jika laki-laki itu keluar. Dan terjadilah pertempuran. Di saat
sepuluh murid pergu-
ruan Cakar Naga kalah dan dipaksa mengaku
siapa yang menyuruh mereka, Angkasena me-
nyambitkan pisaunya membunuh semuanya.
Lalu pergi dengan membawa kerangka dan
pedang Sakti Naga Emas. Semua itu dilaporkan-
nya kepada Resi Sendaring. Tetapi Resi Sendaring
malah merencanakan untuk menyerbu bukan un-
tuk menyambut kedatangan Madewa Gumilang.
Tak ada yang membantah, karena alasan Resi
Sendaring tepat.
Dia akan menempatkan dua orang di sini
dan yang lain membantunya menyerbu perguruan
Topeng Hitam. Diputuskan, yang tinggal Aryo
Gembala, Sumpila dan Madurka. Sisanya menye-
rang dengan beberapa anak buah.
Yang menyerang pun segera berangkat
dengan lima puluh anak buah perguruan Cakar
Naga. Sisanya membentuk barisan untuk me-
nyambut kedatangan Madewa Gumilang.
Hanya selang lima menit dari yang berang-
kat, Madewa datang dan langsung menerobos
masuk pintu gerbang. Dia tidak mau bertindak
setengah-setengah lagi. Kerangka Paksi Uludara
semakin membuatnya marah.
Begitu dia masuk, puluhan murid pergu-
ruan Cakar Naga mengurungnya. Madewa memu-
tar-mutar kudanya yang sekali-sekali meringkik.
"Di mana Resi Sendaring! Panggil!" bentaknya garang. "Aku ada perlu dengannya!"
"Kalau ingin bertemu dia, langkahi dulu
mayat kami!" membentak salah seorang.
Ini membuat Madewa semakin geram. Dia
mengibaskan tangannya ke arah orang itu yang
langsung jumpalitan terhantam dorongan angin
yang sangat kuat. Orang itu roboh dengan ber-
muntah darah. Yang lain terkejut dan bergerak menyerang.
Dengan sigap Madewa bersalto dan hing-
gap di wuwungan atap. Kudanya menjadi sasaran
tangan-tangan yang membentuk cakar. Kuda itu
ambruk bermandikan darah.
"Kejam!" desis Madewa.
Tiba-tiba dia merasakan dorongan angin
panas menyambarnya. Dengan cepat Madewa
bersalto ke samping dan "Duar!" dorongan angin itu menghantam genting hingga
berantakan. Madewa melihat ke bawah. Tiga orang ber-
diri dengan gagah di hadapan murid-murid Cakar
Naga. "Ha... ha... selamat datang di tempat kami, Madewa Gumilang!" seru Madurka
terbahak. Tubuhnya yang pendek gemuk terguncang. Tangan
kirinya yang terbuat dari besi mengkilat ditimpa
matahari. "Ini bukan tempatmu, orang cacat!" balas Madewa. "Aku kemari bukan ingin bertemu
denganmu, tetapi dengan Resi Sendaring! Ke mana
Resi sesat itu" Dia telah berani-beraninya mem-
bongkar makam Paksi Uludara dan mengambil
kerangkanya serta pedang saktinya!"
"Ha... ha... kau terlambat, Orang gagah!
Resi Sendaring baru saja pergi. Tapi jika ada urusan, kami sanggup menangani!
Turunlah!"
Madewa menggeram. Jumlah mereka san-
gat banyak dan ada tiga orang yang kepandaian-
nya tak boleh disangsikan. Tetapi dia melompat
juga ke bawah dan berdiri berhadapan dengan ti-
ga orang gagah itu. Sumpila terkikik.
"Rupanya Pendekar Pukulan Bayangan
Sukma bukan orang yang pengecut!"
"Baik, kini kita yang punya urusan!" seru Madewa gusar namun tenang. "Katakan,
di mana kerangka Paksi Uludara dan pedang Sakti Naga
Emas disembunyikan! Cepat, kalau tidak, kuhan-
curkan kalian semua!"
Tetapi ancamannya hanya disambut tawa
oleh ketiga orang itu.
"Kami ingin bukti dari ucapanmu, Made-
wa," ejek Aryo Gembala.
Madewa tidak dapat menahan marahnya.
Ia pun bersiap. Ketiga orang itu masih tertawa.
Mendadak Madewa mendorong kedua tangannya
ke depan. Ketiga orang itu tersentak kaget. Mereka
langsung mengerahkan tenaga dalam untuk me-
nahan dorongan angin itu. Tetapi tak urung me-
reka terdorong beberapa langkah. Dorongan tena-
ga yang hebat. Lalu ketiganya pun bersiap dan secara se-
rentak menyerang dengan dahsyat, membuat Ma-
dewa sejenak kebingungan. Serangan itu sedemi-
kian cepatnya. Madurka menyambarkan besi bu-
latnya yang runcing. Sumpila sudah menggerak-
kan jurus-jurus patuk bangaunya yang hebat.
Aryo Gembala sudah memperlihatkan kelinca-
hannya sambil melepaskan pukulan-pukulan
saktinya. Namun Madewa bukanlah jago sembaran-
gan, dia adalah murid tunggal Ki Rengsersari,
Pendekar Ular Sakti yang tangguh. Dengan lincah
dia menghindari serangan-serangan itu dan mulai
balas memukul dan menendang. Agak membuat
mereka bertahan, tidak meneruskan serangan.
Madewa sudah mengeluarkan pukulan Tembok
Menghalau Badai yang sangat ampuh.
Sambaran tangan kiri Madurka juga mem-
buatnya agak repot. Tapi tidak sampai terdesak.
Mendadak dia melenting ke atas dan bergulingan
ke bawah, menyusup sambil melancarkan jurus
ularnya dengan cepat, mengancam kedua kaki
Madurka. Madurka terkejut tidak menyangka
Madewa akan berbuat demikian, dia buru-buru
menghindar dengan jalan bersalto.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Made-
wa mengganti arah sasarannya. Ia berbalik ke
arah Aryo Gembala dan menggerakkan patukan
ularnya dengan cepat. Aryo Gembala berkelit dan
balas memukul, tetapi Madewa lebih cepat, tan-
gannya sudah menghantam bahu Aryo Gembala
hingga terhuyung. Betapa besarnya sambaran te-
naga Madewa. Melihat kedua kawannya dibuat kalang ka-
but, Sumpila menerjang. Wanita berwajah buruk
itu menyambar dengan jurus-patuk bangaunya.
Dan bisa ditebak, dua jurus yang hampir punya
gaya bersamaan, saling serang dan memukul. Ke-
duanya benar-benar bagaikan bangau dan ular
yang sedang bertarung sungguh hebat dan se-
runya. Saling bergerak dengan cepat dan tangkas.
Tiba-tiba Madewa mengubah jurusnya ketika
Sumpila maju menyerang, Madewa tidak menge-
lak dia malah menyambut.
Dua tangan penuh tenaga saling bertemu
dan membuat keduanya reflek menarik tangan
namun kemudian saling menyerang lagi. Tetapi
kali ini Madewa sudah memakai pukulan Tembok
Menghalau Badainya.
Begitu Sumpila memukul dia memapaki
dengan pukulan itu. Akibatnya sungguh berbeda
dengan tadi. Sumpila terhuyung ke belakang lima
tombak, sedangkan Madewa hanya tiga langkah.
Tetapi biarpun begitu, dia harus segera
menghindari serangan Aryo Gembala yang sudah
mengerahkan jurus andalannya Naga Hitam Me-
nembus Bumi. Sungguh luar biasa jurus itu,
menggempur dengan kecepatan hebat dan selalu
mengincar kedua mata kaki. Madewa berkali-kali
menghindar dengan jalan bergulingan dan sekali-
sekali kakinya menendang. Tiba-tiba pula dia
bangkit dengan tubuh memutar bagaikan ular
dan tangannya bergerak dengan cepat. Kembali
tubuh Aryo Gembala tergedor telapak tangannya.
Aryo Gembala terhuyung. Lawannya itu
begitu sakti. Madurka sendiri sudah membuka ju-
rus andalannya warisan gurunya yang amat tang-
guh. Jurus Rajawali Sakti. Jurus yang hanya bisa
disaingi oleh jurus tangan Bayangan milik Ki
Ageng Jayasih. Dia menyerang dengan ganasnya.
Madewa bertahan dengan sekuat tenaga. Peluh
sudah bermain di wajahnya. Tenaganya pun ter-
peras. Ketiga lawannya amat tangguh.
Tetapi jurus Rajawali Sakti bergerak den-
gan dahsyat. Dua kali dia berhasil menggedor da-
da Madewa dengan keras. Madewa tak mau ber-
tindak ayal lagi. Ketika ada kesempatan dia ber-
salto ke belakang dan terdiam sejenak.
Prabarini 6 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Seruling Sakti 24
^