Pencarian

Kakek Sakti Gunung Muria 2

Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria Bagian 2


Mendadak kedua tangannya mengepal dan
dari kepalan itu mengeluarkan asap putih. Ru-
panya Madewa sudah mengeluarkan pukulan an-
dalannya, pukulan bayangan sukma yang amat
ditakuti. Madurka tahu ilmu itu dan tahu bagaima-
na akibatnya jika mengenai tubuh. Bisa hancur
tanpa bentuk. Angkasena dan Sumpila pun ber-
siap. Lawan sudah mengeluarkan pukulan maut-
nya. Mereka pun segera mengeluarkan jurus-
jurus andalannya untuk memapaki.
Dengan memperpadukan dengan jurus
Ular Meloloskan Diri, Madewa maju menerjang
dan kali ini tak ada yang berani memapaki atau
menangkis, mereka kebanyakan menghindar
sambil sekali-sekali membalas. Rupanya pukulan
maut itu telah mereka dengar kesaktiannya.
Aryo Gembala berpikir, kalau mereka tidak
membalas, akhirnya mereka akan kewalahan
sendiri karena tidak rutin membalas.
Akhirnya dia nekat menyerang dengan pu-
kulan Naga Hitam Menembus Bumi dan Madewa
menyambut dengan pukulan bayangan suk-
manya. Dua pukulan sakti itu beradu dengan he-
batnya. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Dari
kedua tangan itu keluar kepulan asap dan dari
asap itu sesosok tubuh terpental ke belakang dan
roboh dengan tubuh tanpa nyawa.
"Aryo Gembala!" jeritan kaget terdengar da-ri mulut Sumpila dan dia memburu
tubuh yang hancur itu dan mendadak dia bangkit dengan be-
ringas, menatap Madewa penuh nafsu membu-
nuh. "Kau harus membayar nyawa sahabatku ini, Madewa!" Lalu berkelebat menyerang
dengan pukulan patuk bangaunya yang hebat.
Tetapi Madewa tidak mengelak. Tidak pula
menangkis. Pukulan Sumpila siap bersarang di
tubuhnya, tetapi mendadak tubuh Sumpila ber-
balik bergulingan ke belakang. Dia merasakan tu-
buhnya dihantam sesuatu yang kuat. Sumpila ro-
boh termakan pukulannya sendiri. Tetapi masih
bisa bernafas, tidak langsung mampus.
Itulah keajaiban yang keluar dari tubuh
Madewa, sejak dia menghisap sari rumput ke-
langkamksa. Keajaiban yang hanya bisa diguna-
kan dengan kesabaran dan yang memilikinya ti-
dak dikuasai oleh marahnya.
Madurka menjadi jeri melihat kedua te-
mannya roboh. Tetapi dia bukanlah orang yang
pengecut. Sebenarnya pukulan Rajawali Saktinya
mampu menahan pukulan bayangan sukma Ma-
dewa tetapi dia kuatir tenaganya kalah kuat oleh
Madewa. Karena Madewa bisa menghantam mela-
lui dua tangannya, sedangkan dia hanya satu
tangan. Tangan kirinya tak berfungsi dalam jurus
Rajawali Sakti itu.
Madewa membentak, "Cepat tunjukkan ke-
padaku, di mana kerangka Paksi Uludara disim-
pan! Dan di mana pedang Sakti Naga Emas! Ce-
pat, sebelum aku berniat untuk mencabut nya-
wamu pula, Madurka!"
Madurka mendengus. Dia tidak takut den-
gan ancaman itu. Kalau perlu dia akan mengadu
nyawa dengan Madewa.
"Sampai kapan pun kau tak akan tahu di
mana orang dan benda yang kau cari itu berada!"
Tiba-tiba Madurka bersalto ke belakang dan men-
gibaskan tangannya ke depan. Tanda menyerang.
Beberapa murid perguruan Cakar Naga menye-
rang dengan serentak. Dengan cakar-cakar yang
bersambaran. Madewa berkelit ke sana-kemari,
menghindari serangan itu. Dia hendak mengejar
Madurka, tetapi sulit, karena serangan itu begitu banyak.
Tiba-tiba dia memekik panjang dan bersal-
to ke atas wuwungan rumah. Murid-murid pergu-
ruan Cakar Naga berseru penasaran, malah ada
beberapa orang yang sudah naik ke atas. Madewa
menyepak turun mereka satu per satu. Tidak
sampai melukai, hanya menjatuhkan mereka sa-
ja. Mereka adalah orang-orang tak bersalah,
hanya menuruti perintah.
Memang, sebenarnya mereka jerih untuk
menghadapi Madewa, tetapi karena kuatir Resi
Sendaring marah, mau tak mau mereka menahan
kejerihannya itu.
Madewa berseru, "Madurka, keluar kau!!"
Madurka belum keluar juga. Madewa kem-
bali dibuat sibuk oleh serangan-serangan ringan
itu. Tetapi mendadak terdengar tawa Madurka.
"Ha... ha... lihat kau kemari, Madewa!" serunya seraya mengangkat sesuatu
tinggi-tinggi. Madewa melengak. Ia melihat seorang bocah yang
siap dibanting dan Madewa lebih terkejut lagi ke-
tika melihat siapa bocah itu, Pranata Kumala.
"Pranata!" jeritnya hampir saja cakar salah seorang mampir ke tubuhnya.
Ditendangnya orang itu hingga jatuh dengan deras dan ambruk.
Ia membentak Madurka lagi, "Madurka!
Lepaskan anakku! Ingat, kalau dia terluka, kau
akan kubunuh!"
"Ha... ha... ancaman kosong kau berikan
kepadaku! Turunlah, Madewa! Buktikan ucapan-
mu itu. Kalau tidak, anakmu ini kubanting hingga
lumat." Madewa bersalto turun dan beranjak mendekati Madurka sambil waspada.
Madurka terta- wa. Dia mengayun-ngayunkan tubuh Pranata
Kumala yang menjerit-jerit ketakutan. Ia menan-
gis dan memanggil ayahnya begitu dia melihat
Madewa berdiri tak jauh darinya.
"Ayah!"
Hati Madewa teriris mendengar jeritan ke-
takutan itu. Kasihan bocah itu, tangisnya sema-
kin mengeras. Madewa menggeram. Kedua tan-
gannya mengepal.
"Akan kulumat dirimu kalau tidak mele-
paskan anakku!" bentaknya keras.
Madurka tertawa.
"Ha... ha... silahkan, silahkan, Orang ga-
gah. Aku ingin lihat sampai di mana keberanian-
mu membuktikan ucapanmu tadi! Majulah, kalau
tidak... ha... ha... anak ini akan mampus kulem-
par!!" Madewa menjadi serba salah. Di satu sisi
dia ingin membunuh Madurka, tetapi di sisi lain
dia ingin menyelamatkan Pranata. Sebelum dia
berhasil mengambil keputusan, Madurka sudah
membentak keras, "Berlutut kau, Madewa kalau tidak mau anak ini kulempar!
Cepat!" Mata Madewa geram melotot, tetapi tak da-
pat berbuat apa-apa. Dengan terpaksa dia berlu-
tut. Madurka terbahak keras, kemenangan sudah
di tangannya. Ia memerintahkan beberapa orang
murid untuk mengikat erat-erat tubuh Madewa.
Madewa hanya mandah saja, tidak berontak sedi-
kit pun. Nasib Pranata Kumala lebih penting dari-
pada nyawanya! Madurka terbahak lagi.
"Nyawamu kini ada di tanganku, Madewa!
Masukkan dia ke ruangan khusus!"
Madewa kembali mandah saja ketika digir-
ing ke ruang khusus itu. Beberapa orang murid
perguruan Cakar Naga bersorak gembira. Madur-
ka menurunkan Pranata dan menotok tubuhnya
hingga kaku. Lalu ia sendiri menghampiri Sumpi-
la yang masih dalam keadaan terluka dalam. Ia
memberinya dua butir pil warna merah. Dan
membantu Sumpila berdiri untuk beristirahat ke
dalam. Sementara mayat Aryo Gembala di ma-
kamkan di halaman depan perguruan itu. Pranata
dimasukkan kembali ke kamar dan totokannya
dilepas. Ruangan khusus yang dipakai untuk me-
menjara Madewa berada di ruang bawah yang
amat pengap dan sempit. Matahari tak masuk ke
sana. Madewa didorong masuk dengan kasar. Me-
reka bangga karena pendekar kenamaan berhasil
mereka tangkap.
Padahal kalau tidak ingat nyawa Pranata
Kumala, Madewa akan mengamuk hebat dan
mengobrak-abrik semua. Tetapi untuk sementara
dia mengalah. Membiarkan dirinya ditangkap.
Nanti kalau ada kesempatan untuk meloloskan
diri akan dia hancurkan semuanya!
"Selamat mendekam, Pendekar gagah!" ejek orang itu sambil mengonci kuat-kuat
penjara itu. 6 Sementara itu begitu keluar dari perguruan
Cakar Naga, Resi Sendaring, Nimas Sertani dan
Tidasewu langsung bergerak menuju sasaran. Lu-
ka di kedua bahu dan paha Tidasewu sudah agak
sembuh. Sudah bisa dipakai untuk memainkan
pedangnya. Resi Sendaring ternyata juga ahli da-
lam hal mengobati.
Di tangan Tidasewu terpegang sebuah pe-
dang berkilau. Pedang itu adalah mestika pergu-
ruan Topeng Hitam. Pedang Sakti Naga Emas. Ka-
rena yang pandai memainkan pedang adalah Ti-
dasewu, maka Resi Sendaring memberikan pe-
dang itu kepadanya.
Mereka bergegas dengan menggunakan il-
mu lari mereka agar cepat sampai di perguruan
Topeng Hitam. Tetapi mendadak mereka menghentikan la-
rinya. Di hadapan mereka berdiri dua sosok tu-
buh dengan gagah. Seorang wanita muda yang ki-
ra-kira berusia dua puluh limaan. Gagah dengan
sepasang pedang di punggungnya. Dan di sam-
pingnya berdiri seorang laki-laki tua dengan tongkat bambu kuning. Keduanya
adalah Ratih Nin-
grum dan Ki Ageng Jayasih.
Merasa mereka menghadang perjalanan-
nya, Resi Sendaring membentak, "Kenapa kalian menghadang kami?"
Terdengar tawa Ki Ageng Jayasih. Agak
menakutkan dan memekakkan telinga.
"Ha... ha... kalian adalah orang-orang yang
berpikiran sesat!"
Resi Sendaring maju selangkah dan terbe-
lalak begitu kelihatan jelas wajah wanita yang
berdiri di samping laki-laki tua itu. Ratih Nin-
grum! Ia terbahak. "Ha... ha... rupanya andika Ratih Ningrum yang datang
menjemput. Bukan
main, andika rupanya sudah rindu kepadaku,
bukan?" Mendengar suara yang jelek itu, Ratih Nin-
grum meludah. "Ciiih! Tak kau pandang wajahmu sendiri dalam cermin, Resi tua!
Tak kusangka, selama ini kau mendendam kepada perguruan To-
peng Hitam, dan secara licik memanfaatkan salah
seorang murid Topeng Hitam!"
"Ha... ha... Bayuseta" Dia datang sendiri
kepadaku, Ratih Ningrum.... Dia pun membenci
kepada suamimu. Dia ingin membunuhnya den-
gan bantuanku! Dan kau pun, sebentar lagi akan
datang ke pelukanku, bukan" Ayolah, Ratih...
Andika pasti berbahagia dalam rangkulanku"
Wajah Ratih Ningrum memerah karena ma-
rah. Perkataan itu sangat menjijikkannya dan
membuatnya ingin muntah!
"Resi Sendaring...! Di mana anakku kau
sembunyikan" Cepat kau tunjukkan kepadaku!"
"Tak jauh dari sini, Ratihku sayang.... Dia
dalam keadaan baik-baik...."
"Cepat tunjukkan, sebelum aku marah!!"
Padahal Ratih Ningrum sudah marah. Kalau dia
langsung menyerang, belum tentu dia berhasil
mengorek keterangan di mana putranya berada.
"Kau pemarah, Manis. Tak jauh dari sini.
Kalau kau mau menjadi kekasihku, akan kutun-
jukkan di mana dia berada!" seru Resi Sendaring sambil menyeringai lebar.
Kali ini Ratih Ningrum tidak dapat mena-
han marahnya. Dengan cepat dia menyambar se-
pasang pedangnya dan bergerak dengan pedang
terhunus ke arah leher dan jantung Resi Sendar-
ing. Sigap Resi Sendaring melompat ke kiri, rin-
gan sekali gerakannya. Tetapi masih menerjang
Ratih Ningrum mengibaskan tangan kirinya ke
belakang. "Wuttt...!"
Resi Sendaring bersalto dengan ringannya.
Serangan itu pun luput. Mendadak Ratih Nin-
grum memekik keras dengan pedang yang beru-
bah menjadi gulungan-gulungan putih. Menyam-
bar dengan cepatnya. Resi Sendaring menghindar
ke sana-kemari dengan sigap dan mendadak me-
nyongsong serangan kedua pedang itu.
Ketika salah satu pedang menyambar le-
hernya, dia merunduk dan menangkap tangan
kanan Ratih Ningrum tetapi langsung dilepaskan
karena Ratih Ningrum menotok dengan hulu pe-
dang di tangan kirinya.
Resi Sendaring menghindar ke belakang


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tertawa-tawa.
"Bukan main, calon istriku. Sungguh hebat
permainan ilmu pedangmu, Manis!" serunya ceri-wis. Ratih Ningrum semakin marah,
tetapi keti- ka dia akan menyerang lagi, terdengar suara di telinganya, "Tahan emosimu. Dalam
keadaan ma- rah, seranganmu akan kacau!"
Ratih Ningrum tak jadi bergerak, langsung
menoleh pada Ki Ageng Jayasih yang masih me-
natap ke depan. Kakek sakti itu seolah tak bicara, tetapi Ratih Ningrum yakin,
kalau kakek itu yang
mengirimkan suara tadi.
Ia pun hanya mengikuti sarannya. Ratih
Ningrum berusaha meredakan kemarahannya.
Resi Sendaring tertawa.
"Tidak jadi menyerang kami, Ratihku ma-
nis?" Mendengar kata-kata itu, telinga Ratih
Ningrum panas sekali. Ia menoleh gusar.
"Kurobek mulutmu, Resi!"
"Lakukanlah, aku pun tak puas hanya
memegang tanganmu!"
Ratih Ningrum menahan emosinya. Tetapi
dia langsung menyerang, kali ini rasa marahnya
agak berkurang namun belum sampai pedangnya
menyentuh tubuh Resi Sendaring, tangannya su-
dah ditangkis dengan kuat.
Kalau pegangan pada pedangnya tak kuat,
tentu akan terlepas. Ratih Ningrum bersalto ke
belakang. Nimas Sertani sudah berdiri di hada-
pannya. Mendongakkan kepala penuh tantangan.
"Kau hadapi aku, Nyonya ketua! Waktu itu,
aku dikalahkan oleh suamimu! Dan hari ini, akan
kutebus dengan membunuhmu!"
Ratih Ningrum bersiap. Dia sudah men-
dengar kesaktian Dewi Mulia Berhati Busuk. Be-
gitu Nimas Sertani menyerang, dia mengayunkan
sepasang pedangnya secara berlawanan.
"Wuuutt...! Wuuutt,..!"
Nimas Sertani berkelit dengan lincah. Ratih
Ningrum terus mengejar dengan gencar. Suatu
ketika pedangnya mendadak dilemparkan ke atas
membuat Nimas Sertani agak bingung. Tak men-
gerti maksudnya. Tetapi dia harus menghindari
serangan pedang Ratih Ningrum yang satu lagi.
Bertepatan dia menghindar, pedang yang dilem-
par tadi menukik tepat di atas ubun-ubunnya.
Sebuah gerakan ilmu pedang yang luar biasa. Ta-
di Ratih Ningrum sengaja menggiring Nimas Ser-
tani untuk berdiri tepat di atas jatuhnya pedang
yang dia lemparkan.
"Awasss, Nimas!" terdengar seruan itu dan berkelebat bayangan itu dengan cepat,
menjamb-ret pedang yang siap memakan kepala Nimas Ser-
tani. "Luar biasa!" seru orang itu yang ternyata Tidasewu. "Baru kali ini
kulihat permainan pedang yang sangat luar biasa. Aku pun ingin men-
jajal kehebatan ilmu pedangmu. Waktu itu aku
kalah karena dibokong. Nah, terimalah kembali
pedangmu ini!" Tidasewu melemparkan pedang
itu dengan tenaga dalam yang kuat. Andaikata
Ratih Ningrum tidak cepat berkelit, pasti akan
ambruk termakan pedang itu. Pedang itu menan-
cap ke pohon sampai pangkalnya! Bisa dibayang-
kan jika menusuk tubuh Ratih Ningrum.
Tiba-tiba Ki Ageng Jayasih menghampiri
pedang itu. Dan dengan sekali tepuk pada pohon
itu, pedang tercabut begitu saja.
Semua terbelalak kaget. Pertunjukan tena-
ga dalam yang luar biasa!
"Kau hadapi dia, Ratih," kata Ki Ageng
Jayasih sambil memberikan pedang itu kepada
Ratih Ningrum. "Hati-hati, kulihat dia memegang pedang pusaka. Ingat, dia adalah
Dewa Pedang saat ini!"
Ratih Ningrum mengangguk. Biarpun Tida-
sewu orang sakti macam apa, dia akan bertempur
dengannya. Dia pun mulai menyerang dengan he-
bat. Tidasewu berkelit sambil meloloskan pedang
Sakti Naga Emas. Pedang itu indah dan berki-
lauan. Sementara itu, Ki Ageng Jayasih sudah me-
langkah maju, berhadapan dengan Resi Sendaring
dan Nimas Sertani yang sudah menguraikan ke-
rudung putihnya menjadi sebuah senjata.
"Maafkan aku yang tua ini turut campur
dalam urusan kalian.... Tetapi, aku paling tak su-ka dengan kejahatan! Apalagi
kulihat, adik seper-
guruanku bersekutu dengan kalian. Ingat, aku
tak segan membunuh kalian!"
Resi Sendaring tertawa dibentak begitu.
Disangkanya dia takut menghadapi orang macam
ini" Bah, sedikit pun dia tak akan lari.
"Aku mengenalmu, Kakek. Kau adalah Ki
Ageng Jayasih, majikan Gunung Muria...."
"Nah, kenapa tidak lekas sujud kepadaku,"
sahut Ki Ageng Jayasih tenang.
"Bangsat!" geram Resi Sendaring. "Kau sangka aku takut denganmu. Baik, Kakek...
kita buktikan sekarang! Aku pun tak suka dengan
orang yang menghalangi perbuatanku!"
Sesudah berkata begitu, Resi Sendaring
menerjang dengan cakar naganya yang amat he-
bat. Dimainkan oleh muridnya saja sudah sede-
mikian hebat, apalagi dengan sang ketua. Kecepa-
tan gerak tangannya sungguh mengagumkan.
Ki Ageng Jayasih melompat ke belakang
dan menotok dengan tongkatnya.
"Hiiaa...!" Resi Sendaring menggempos tu-
buhnya ke atas dan menyambar kepala Ki Ageng.
Lagi Ki Ageng hanya merunduk sambil menyo-
dokkan tongkatnya. Tangan Resi Sendaring me-
nangkis tongkat itu.
"Des!"
Walaupun tidak berbenturan langsung
dengan tangan Ki Ageng Jayasih, tangan Resi
Sendaring agak ngilu juga. Rupanya tongkat
bambu kuning itu sudah dialiri tenaga dalam
yang lumayan. Resi Sendaring mendengus. Nimas Sertani
pun bersiap. Ia mengebut-ngebutkan kerudung
putihnya. Dan di setiap kebutan itu terdengar
bunyi "pletar!" yang keras.
Ki Ageng Jayasih hanya tertawa. Dia me-
nyambut kedua serangan itu dengan sikap te-
nang, tidak menggeser dari tempatnya berdiri.
Kedua ujung tongkatnya dengan lincah menang-
kis serangan mereka dan membuat keduanya se-
makin penasaran. Serangan mereka tingkatkan
lagi. Resi Sendaring rupanya hanya menjajagi tadi dengan cakar naganya, karena
sekarang dia mengeluarkan inti-inti jurusnya.
Dan barulah Ki Ageng Jayasih menggeser
dari tempatnya karena desakan-desakan Resi
Sendaring. Selain kecepatan tangannya luar bi-
asa, tenaganya pun besar. Selain itu, juga kebu-
tan-kebutan kerudung putih Nimas Sertani, yang
mengincar setiap kali dia bergerak.
Kali ini Ki Ageng mulai membalas. Sodokan
tongkat dan pukulan kakinya bergerak dengan
cepat pula. Bahkan dia mulai mengeluarkan pu-
kulan jarak jauhnya berupa sinar merah.
"Sreeet...!"
Sinar itu berkelebat ke arah Nimas Sertani
yang menghindar dengan jalan berguling dan
mengebutkan kerudung putihnya hingga mem-
buat Ki Ageng Jayasih berkelit. Namun kembali
sebuah sambaran cakar membuatnya melompat
bersalto. Serangan-serangan kedua orang itu
sungguh hebat dan cepat, agak membuat kewala-
han majikan gunung Muria itu. Bisa dibayang-
kan, menghadapi adik seperguruannya saja dia
harus bersusah payah, apalagi mengalahkan Resi
Sendaring yang dengan mudah mengalahkan adik
seperguruannya. Belum lagi dengan dibantu oleh
Nimas Sertani yang tak kalah hebatnya.
Resi Sendaring tertawa, mengejek.
"Ternyata majikan Gunung Muria hanya
segitu saja kehebatannya! Nama kosong yang di-
besar-besarkan orang! Dasar bodoh!"
Ki Ageng Jayasih hanya balas dengan ta-
wanya. Ia berkata dengan sikap merendah, "Ketua perguruan Cakar Naga, sudah
menjulang namanya. Apalah dayaku untuk menghadapinya
yang amat sakti!"
Tetapi perkataan itu dirasakan sebagai eje-
kan oleh Resi Sendaring. Orang itu memang ber-
temperamen panasan. Dia menyerang lagi dengan
kedua tangan yang siap menyambar dengan dah-
syat. Ki Ageng Jayasih menekan tongkatnya sam-
pai setengah ke dalam tanah. Lalu dia sendiri
bersalto ke depan menyambut serangan itu.
"Des...! Plak!"
Dua tangan itu saling memukul dan me-
nangkis lalu sama-sama bersalto. Nimas Sertani
menyerang dengan kerudung putihnya. Ki Ageng
Jayasih menangkis ujung kerudung itu dan ber-
kelit ke kiri menyerang Resi Sendaring dengan ju-
rus andalannya. Tangan Bayangan.
Keduanya saling serang dan tangkis den-
gan kecepatan yang sama-sama mengagumkan.
Benar-benar sebuah pertempuran yang menga-
gumkan sekaligus mengerikan. Keduanya sudah
memperlihatkan ketangkasan, kelihaian dan ke-
saktian yang luar biasa. Bahkan kalau dilihat ke-
duanya berimbang. Namun di satu sisi, usia Ki
Ageng Jayasih sudah agak lanjut. Tenaganya su-
dah agak berkurang dan kesempatan ini tak dis-
ia-siakan oleh Resi Sendaring yang tahu akan hal
itu. Dia terus mendesak dengan hebat sampai
suatu ketika Resi Sendaring menjerit dan mener-
jang dengan cakar naganya ke arah leher!
Tetapi belum lagi dia menyerangkan cakar-
nya, tiba-tiba dia sudah bersalto ke belakang dan bergulingan dengan cepat. Ki
Ageng Jayasih sudah melepaskan pukulan sinar merahnya hingga
mengurungkan niat Resi Sendaring.
Resi Sendaring bangkit dengan gusar.
"Sungguh hebat kau, Ki Ageng! Tetapi jan-
gan berbangga dulu, tahan serangan!" bentak Re-si Sendaring dan menyerang dengan
lebih dah- syat. Tetapi lagi-lagi Ki Ageng Jayasih melepaskan pukulan sinar merahnya, yang
membuat Resi Sendaring kerepotan menghindar.
Tiba-tiba kerudung putih Nimas Sertani
melibat kedua tangan Ki Ageng hingga sukar dige-
rakkan. Nimas Sertani berseru, "Resi, hantam ka-
kek gila ini!"
Resi Sendaring berbalik dan memekik den-
gan keras. Ki Ageng Jayasih tidak mau mati ko-
nyol. Mendadak dia menghentakkan kakinya dan
mengerahkan tenaganya untuk menarik tubuh
Nimas Sertani. Nimas Sertani terkejut karena sen-
takan itu. Tubuhnya melayang ke atas dan Ki
Ageng membetotnya ke arah Resi Sendaring yang
siap dengan cakarnya.
Resi Sendaring pun terkejut ketika tubuh
Nimas Sertani melayang ke arahnya. Dia berusa-
ha untuk menghindar dan menghentikan puku-
lannya. Namun sukar sekali, karena dia telah
mengerahkan seluruh tenaganya dan dorongan
tenaga itu sukar untuk dihentikan. Tanpa ampun
lagi kedua cakarnya menyambar ke arah dada
Nimas Sertani. "Auggh...!" Nimas Sertani menjerit keras.
Dia merasakan dadanya dimasuki sebuah pisau.
Setelah itu roboh tanpa ingat apa-apa lagi, karena nyawanya sudah melayang.
Resi Sendaring terkejut, memandang tak
percaya kepada dua tangannya yang berlumuran
darah. Ia memandang tubuh Nimas Sertani yang
mengeluarkan darah di bagian dada. Dia telah
membunuh sekutunya sendiri.
Tidak, ini gara-gara kakek tua itu. Ki Ageng
Jayasih hanya tertawa, merasa bersyukur karena
terhindar dari serangan.
"Kau lupa, Resi.... Akulah musuhmu, bu-
kan wanita cantik itu...!"
Resi Sendaring menggeram marah. Karena
dalam keadaan marah, gerakannya menjadi ka-
cau. Dia menyerang tanpa arah yang pasti dan
kesempatan itu tidak mau disia-siakan Ki Ageng
Jayasih. Dia mencabut tongkatnya kembali dan
mengayunkan tongkatnya dengan keras ke arah
perut Resi Sendaring.
"Heeekgh...!"
Resi Sendaring mendengus kesakitan tu-
buhnya ambruk ke tanah. Sebelum dia bangkit,
Ki Ageng Jayasih sudah mengirimkan dua buah
pukulan sinar merahnya yang menghantam bun-
tung kedua tangan Resi Sendaring!
Resi itu menjerit kesakitan.
Sementara itu, pertempuran antara Ratih
Ningrum dengan Tidasewu juga sudah mencapai
titik akhirnya. Rupanya Ratih Ningrum tidak
sanggup menahan serangan-serangan pedang Ti-


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dasewu. Apalagi yang dipegangnya pedang mesti-
ka yang ampuh. Kini Ratih Ningrum hanya me-
megang sebuah pedang, pedangnya yang satu su-
dah jatuh. Dia terdesak hebat. Ilmu pedangnya masih
berada jauh di bawah Tidasewu. Mendadak Tida-
sewu menjerit dengan keras dan menyodokkan
pedangnya ke ulu hati Ratih Ningrum. Sebisanya
Ratih Ningrum menangkis dan berhasil, lalu dia
bersalto ke belakang, tetapi Tidasewu tidak mau
melepaskan mangsanya begitu saja, dia mengejar
dengan tusukkan pedangnya kembali. Kali ini su-
lit bagi Ratih Ningrum untuk menghindar. Dia
benar-benar terdesak. Tidasewu siap mencabut
nyawa Ratih Ningrum, tetapi muncul sinar merah
menghalangi gerakan tangannya dan membuat-
nya bersalto. Ki Ageng Jayasih tertawa melihat wajah
pias Tidasewu. Apalagi setelah melihat kedua te-
mannya sudah dalam keadaan tak mampu ber-
tempur. Tetapi dia bukanlah orang yang penakut,
dia tidak gentar oleh Ki Ageng Jayasih. Kakek itu sungguh luar biasa, ketua
perguruan Cakar Naga
mampu dibuatnya tak berdaya, tetapi hal itu ma-
lah membangkitkan kemarahan di hati Tidasewu.
Dengan teriakan keras Tidasewu menye-
rang tapi kali ini arahnya kepada Ki Ageng Jaya-
sih. Sambaran pedangnya sangat cepat. Ki Ageng
memapakinya dengan tongkat bambu kuningnya
itu. Tetapi tongkat itu buntung terkena sabetan
pedang mestika di tangan Tidasewu.
Betapa hebat tekanan tenaga yang dipa-
merkan Tidasewu dan betapa tajamnya pedang
pusaka itu. Ki Ageng Jayasih surut ke belakang
menghindari serangan beruntun Tidasewu.
"Ha... ha... kau jerih melihat kelihaianku,
Kakek?" tawa Tidasewu penuh ejekan.
Ki Ageng Jayasih hanya tersenyum. Pedang
mestika itu hanya bisa dilayani dengan senjata
pusaka juga. Tetapi saat ini dia tidak membawa
senjata pusaka selain tongkat bambu kuningnya
itu. Kalau saja dia bertemu dengan muridnya
yang membawa lari keris Naga Merah, pasti orang
ini akan bisa diimbanginya.
Entah pikiran apa yang melintas di benak
Ratih Ningrum, karena tahu-tahu dia ingat, kalau
dia membawa keris pusaka yang diberikan sua-
minya. Kata suaminya itu keris Naga Merah.
Mungkin dengan keris ini, pedang mestika itu bi-
sa dihadapi. Tiba-tiba Ratih Ningrum menyerang, kali
ini dengan keris itu. Sejak dulu, yang tidak per-
nah digunakan adalah jurus-jurus yang diajarkan
oleh gurunya yang bernama Patidina atau si keris
tunggal. Jurus keris yang tangguh dan cakap.
Dan dengan keris itu sekarang Ratih Ningrum
menggunakan ajaran Patidina.
Tidasewu mengibaskan pedangnya, mena-
han. "Trang!"
Dari pertemuan dua senjata pusaka itu
menimbulkan pijaran api yang agak terang. Ratih
Ningrum surut ke belakang sambil memperhati-
kan keris yang dipegangnya. Sedikit pun keris itu tak tergores apalagi gompal.
Pedang pusaka yang
di tangan Tidasewu pun demikian. Tidasewu ak-
hirnya sadar, kalau senjata yang dipegang Ratih
Ningrum sebuah senjata pusaka pula.
Tetapi yang terkejut adalah Ki Ageng Jaya-
sih. Dia mengenali keris yang dipegang Ratih Nin-
grum itu, keris yang selalu memancarkan sinar
merah. Keris pusakanya yang dibawa kabur oleh
murid murtadnya.
"Nyonya ketua!" panggilnya seraya bersalto mendekati Ratih Ningrum. Dia langsung
menyambar keris yang dipegang Ratih Ningrum. "Tepat dugaanku," desahnya
kemudian. "Keris Naga Merah. Nyonya ketua, dari mana kau dapatkan
keris ini?"
Ratih Ningrum agak kebingungan karena
tahu-tahu Ki Ageng Jayasih bertanya demikian,
tetapi belum dia menjelaskan, terasa ada doron-
gan angin dari depan yang menyambar ke arah
mereka. Tidasewu sudah menyerang dengan ga-
nasnya. Tetapi kali ini Ki Ageng Jayasih lebih cepat, sambil bersalto ke depan
dia melempar keris
pusaka itu. "Creeep...! Auugh...!"
Kulit setebal apa pun dan sekebal bagai-
manapun, akan tembus dimasuki keris itu. Tu-
buh Tidasewu kelojotan dan roboh dengan mere-
gang nyawa. Ki Ageng Jayasih buru-buru menca-
but keris itu dan bersamaan dengan itu, hilanglah nyawa Tidasewu. Dewa pedang
dari golongan sesat! Ki Ageng Jayasih memperhatikan keris Na-
ga Merah itu lagi. Keris pusakanya yang selalu di-carinya. Entah bagaimana bisa
sampai ke tangan
Ratih Ningrum. "Akhirnya aku menjumpai juga keris ini,"
desis Ki Ageng Jayasih gembira.
Ratih Ningrum yang keheranan bertanya,
"Memangnya itu milik kau, Kakek Sakti?" Suara Ratih Ningrum walau bernada
keheranan juga mengandung kelegaan, karena lawan-lawannya
sudah ambruk semua.
Ki Ageng Jayasih manggut-manggut cepat.
"Ya, ini milikku. Milikku, yang dicuri oleh
muridku yang murtad."
"Murid?"
"Yah...." Tatapan Ki Ageng Jayasih berubah menjadi sendu. "Seorang murid wanita
yang ku didik ilmu kepandaian dan kesaktian selama lima
tahun di gunung Muria. Tetapi dia mengkhianati-
ku dan melarikan keris pusakaku ini. Entah di
mana dia sekarang... padahal kalau dia kembali,
aku akan mengampuninya...."
Ratih Ningrum akan bertanya lagi, tetapi Ki
Ageng Jayasih sudah memotong, "Kita harus segera ke perguruan Cakar Naga,
sebelum anakmu dibuat sandera!"
Ratih Ningrum tidak membantah lagi. Tadi
dadanya bergetar mendengar murid wanita Ki
Ageng Jayasih. Tetapi Ratih Ningrum tidak bisa
meneruskan pikirannya, karena Ki Ageng Jayasih
sudah menyambar tangannya dan membawanya
lari dengan cepat sekali.
7 Setelah berhasil menaklukan Madewa Gu-
milang, Madurka terbahak-bahak kemenangan.
Ternyata siasatnya dengan menjadikan Pranata
Kumala sebagai sandera berhasil bahkan bisa
menangkap pendekar sakti itu. Nanti kalau Resi
Sendaring tiba, akan dilaporkannya semua itu
dengan bangga. Pasti Resi Sendaring akan memu-
ji hasil kerjanya.
Pranata Kumala saat ini benar-benar men-
jadi barang yang sangat berharga. Namun Ma-
durka tidak tahu, kalau anak itu sedang berusa-
ha membongkar jendela. Rupanya akal cerdik bo-
cah itu berjalan setelah melihat ayahnya datang
dan ditangkap. Ia mencari bambu kecil dan itu
didapatinya dari gagang sapu yang ada di sana.
Dengan bantuan gagang itu, dia berhasil membu-
ka jendela. Pranata cerdik, tidak mau langsung me-
lompat melarikan diri, tetapi melihat-lihat dulu.
Setelah dirasakannya aman, barulah dia melom-
pat dan berguling menyelinap di balik rimbunnya
semak. Dia mengintip, ada dua orang yang men-
jaga di bagian samping rumah itu. Sulit untuk te-
rus menerobos mereka. Namun di samping cerdik,
Pranata juga punya keberanian yang luar biasa.
Nalurinya mengatakan dia harus segera melari-
kan diri. Dan dengan nekat dia bersalto melompa-
ti kedua penjaga itu yang langsung kaget dan ber-
lari hendak menangkap.
"Hei... kau...!"
Pranata cepat menghindar dengan cepat.
Kedua orang itu memburu dan suatu ketika ber-
hasil mengurungnya. Salah seorang dari mereka
menggeram. "Bocah sialan! Rupanya kau berhasil ke-
luar juga!" bentaknya sambil menubruk. Pranata berkelit ke samping, anak itu
sudah mempergunakan kepandaiannya bersalto. Orang itu nyu-
sruk mencium tanah. Tetapi yang seorang lagi se-
gera mengejar, Pranata gesit bersalto ke depan
dan ketika orang itu berbalik, dia melancarkan
tendangannya. "Buk...!"
Memang tidak sakit tendangan itu, tetapi
membuat penjaga itu terkejut, karena tak me-
nyangka bocah itu mampu menendangnya.
"Bocah sialan!" geramnya seraya menu-
bruk, lagi-lagi Pranata menggunakan kepan-
daiannya bersalto untuk menghindari tangkapan
itu. Penjaga itu kembali tersuruk dan kesempatan
itu digunakan Pranata untuk bersalto ke arah
penjaga itu dan jatuh terduduk di atasnya.
"Heeikk...!"
Pranata tertawa kegirangan. Dasar bocah,
disangkanya orang-orang itu bisa diajaknya ber-
main, dia sudah tidak memikirkan lagi akan ba-
haya yang mengancamnya. Salah seorang yang
tadi terjatuh, bangkit dengan perlahan. Mengen-
dap-ngendap dari belakang. Pranata masih me-
lompat-lompat kegirangan. Orang itu dengan ce-
pat menyergap Pranata, namun sungguh di luar
dugaan, bocah itu masih mampu bersalto karena
dirasakannya dorongan angin yang kuat datang
kepadanya. Hingga orang itu menubruk temannya
sendiri. "Aduuhh...!"
Pranata tertawa-tawa, lalu berlari mening-
galkan mereka. Kali ini dia semakin berhati-hati, begitu ada yang lewat dia
menyelinap di samping
tembok. Mendadak dia melihat orang pendek gemuk
itu keluar dari dalam. Dada Pranata berdebar,
orang itu sangat kejam dan galak. Dia harus ber-
hati-hati. Tetapi mendadak orang itu sudah berdi-
ri di hadapannya dan terkekeh dengan tatapan
ingin membunuh.
Pranata menjadi amat ketakutan. Dia tahu
orang itu lihai, dia sempat melihat ayahnya ber-
tempur tadi. Dan ayahnya kalah.
"Bocah, bocah! Rupanya kau pandai juga
meloloskan diri!"
Pranata mundur sedikit demi sedikit dan
mendadak dia berlari. Melihat itu, Madurka men-
jadi geram dia berputar bagai baling-baling dan
menghalangi jalan Pranata. Lalu tertawa.
"He... he... mau lari ke mana, kau?"
Pranata sigap melompat ke kiri dan bersal-
to dua kali lalu berlari lagi. Madurka menjadi geram, bocah itu sengaja
mempermainkannya.
Tiba-tiba dia berguling dan melompat me-
nerkam. Ketika dia bergulingan, Pranata meng-
hindar dengan berkelit ke samping, tetapi Madur-
ka sudah menerkamnya. Tipis bagi Pranata untuk
mengelak. Dia hanya mundur sambil menutup
matanya. "Blarr...!"
Terdengar letusan keras. Pranata heran,
dia belum ditangkap dan terdengar letusan itu.
Perlahan dia membuka matanya. Madurka sedang
berbalik menghadapi seorang kakek yang meme-
gang tongkat dan seorang wanita cantik. Ibunya!
Pranata memekik gembira, "Ibu...!"
Ratih Ningrum pun gembira, dia berlari
dengan mengembangkan kedua tangannya. Tetapi
Madurka bergerak dengan cepat menghalangi Ra-
tih Ningrum dengan mengibaskan tangan kirinya.
"Wuutt...!"
Ratih Ningrum cepat bersalto ke samping,
kalau tidak mau tubuhnya yang mulus termakan
besi bulat yang tajam itu. Melihat serangannya
gagal, Madurka mencecar namun segera mundur
ketika selarik sinar merah hampir menerjangnya.
Kesempatan itu dipakai Ratih Ningrum untuk
menyambar putranya dan memeluknya dengan
penuh kerinduan.
"He... he...!" Ki Ageng Jayasih tertawa melihat adik seperguruannya melotot
marah. "Adi
Madurka... sudah selayaknya kau insyafi semua
perbuatanmu. Marilah tinggal bersamaku di pun-
cak gunung Muria.... Kita yang sudah tua-tua,
sudah sepatutnya untuk meninggalkan segala
urusan dunia...!"
"Kembalilah kau ke sana, Kakang Jayasih!
Jangan ganggu urusanku!"
"Adi, Adi.... Kalau saja kau mau menuruti
kata-kataku, tak akan terjadi perang saudara ma-
cam begini...!"
"Kau saja yang usil mengganggu urusan-
ku!" "Karena aku tak suka kau bertindak jahat dan semberono! Aku ingin kita


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua ada pada
pihak yang benar, orang-orang golongan putih
yang menentang kejahatan!"
"Tutup bacotmu, Kakang Jayasih...! Aku
tak suka kau mencampuri urusanku! Tinggalkan
tempat ini... atau segera terjadi pertumpahan da-
rah di antara kita!"
"Sampai kapan pun aku tetap tak beranjak
dari sini...." Ki Ageng Jayasih menggeleng. "Aku ingin... kita sama-sama kembali
ke gunung Muria...." "Kau membuatku bosan, Kakang Jayasih!
Sebelum mereka kukirim ke akhirat, sebaiknya
kau dulu!" sambil membentak Madurka melayang maju dengan ganas. Tangan kanannya
memukul dengan cepat dan tangan kirinya menyambar
dengan buas. Tetapi Ki Ageng Jayasih hanya
mundur lima tombak dengan sekali lompatan dan
membalas dengan tongkat bambu kuningnya.
Gerakan tongkat itu ditangkis oleh tangan
kin Madurka yang terbuat dari besi bulat yang ta-
jam dan menyodok perut Ki Ageng Jayasih den-
gan cepat. Ki Ageng berkelit dan menyepak kaki
Madurka. Madurka hengkang ke atas dan bersal-
to ke depan ketika hinggap di tanah, dia berbalik dan menggerakkan tangan
kirinya. "Wuuutt...!" gerakannya cepat dan ganas.
Ki Ageng Jayasih menangkis dengan tong-
kat bambu kuningnya. Kedua saudara sepergu-
ruan itu sama-sama luar biasa dan tangguh. Me-
reka sudah memperlihatkan kesaktian dan ke-
pandaiannya. Sementara itu, Ratih Ningrum sudah
menghadapi beberapa orang pengawal yang da-
tang. Mereka semua memasang jurus cakar naga.
Ratih Ningrum mengkuatirkan putranya. Tetapi
dia tersenyum melihat putranya sudah membuka
jurus. Mendadak Ratih Ningrum mencabut sepa-
sang pedangnya dan sebuah diberikan kepada
Pranata Kumala.
"Gunakan ini, sabet jika yang mendekati-
mu!" setelah berkata begitu dia menghindar ke samping karena tiga orang sudah
menyerangnya dengan cepat. Rupanya Ratih Ningrum tidak mau
membuang tenaga percuma, dia langsung menge-
luarkan jurus andalannya dan tiga orang itu am-
bruk dengan berlumur darah.
Pranata Kumala benar-benar bocah tang-
guh, apalagi kini dekat dengan ibunya. Dia men-
gibaskan pedangnya. ke sana-kemari dengan
menggunakan kepandaiannya bersalto. Dan seo-
rang termakan bahunya oleh pedang itu. Melihat
serangannya berhasil, Pranata semakin mantap
menggerakan pedangnya.
Ratih Ningrum pun bergerak cepat. Tiba-
tiba dia mendengar suara putranya berseru,
"Ibu... ayah ada di dalam! Tadi aku lihat diikat!"
Mendengar itu, Ratih Ningrum segera
menghabisi lawan-lawannya dan menarik Pranata
yang masih sempat menghadiahkan luka di paha
kiri lawannya. Ratih Ningrum tidak mau mening-
galkan Pranata di luar. Begitu dia masuk, tiga
orang menyambutnya. Sigap Ratih Ningrum men-
gibaskan pedangnya dan ketiganya roboh ber-
mandikan darah.
Tetapi tiba-tiba muncul puluhan orang
yang mengepungnya. Melihat itu, Ratih Ningrum
agak gugup juga. Tenaganya bisa dikuras habis
dan lama kelamaan dia akan melemah. Dengan
cepat dia mendorong Pranata ke samping, "Minggir kau dari sini! Cepat ke luar!"
Tetapi bocah itu malah menyusup ke da-
lam sambil berseru, "Aku akan mencari Ayah!"
Ratih Ningrum menjadi gugup, dia hendak
mengejar tetapi sambaran, tamparan cakaran,
dan tendangan orang-orang itu harus dihinda-
rinya. Sulit untuknya meloloskan diri dan menyu-
sul Pranata. Hatinya semakin galau melihat bebe-
rapa orang mengejar putranya. Dia tidak bisa
berbuat apa-apa, selain melayani serangan orang-
orang itu. Ratih Ningrum menjerit keras dan me-
nyeruak ke depan. Empat orang ambruk terma-
kan pedangnya tetapi yang lain segera mengu-
rung, tak memberinya sedikit jalan pun padanya.
Sementara itu, Pranata semakin masuk ke
dalam. Dia belum tahu lorong-lorong perguruan
Cakar Naga itu dengan asal saja dia berlari. Tiba-tiba di telinganya terdengar
suara, "Belok kiri, Anakku.... Lalu berjalan dan lihat pintu yang kedua dari
sana... kau masuklah...."
Pranata kebingungan, siapa yang berkata
itu. Namun dia segera mematuhinya, bukan ka-
rena yakin tetapi karena beberapa orang penge-
jarnya sudah nongol. Rupanya itu suara Madewa
Gumilang yang telah melihat apa yang telah terja-
di dengan ilmu pandangan menembus sukmanya.
Dan dia melihat putranya sedang dikejar! Lang-
sung dia mengirimkan suara agar putranya bisa
meloloskan diri. Sebenarnya dia bisa mendobrak
pintu penjara itu. Tetapi dia sedang berkonsen-
trasi dengan ilmu pandangan menembus sukma
itu, hanya dengan ilmu itu dia bisa melihat pu-
tranya. Madewa kuatir, kalau dia menghentikan
konsentrasinya tidak dapat memberi petunjuk
kepada putranya dan orang itu bisa menangkap
putranya. "Ya... terus, Pranata...." suara itu terus didengar Pranata. "Sekarang kamu
berjalan lurus dan turuni tangga itu, lalu belok ke kanan dan terus ke depan...
di pintu pertama kamu harus bisa
masuk...?"
Pranata mematuhi semua itu tetapi dia se-
sampai di pintu yang disebutkan suara tadi, dia
kebingungan karena pintu itu tidak bisa dibuka.
Madewa sendiri terkejut, apalagi beberapa orang
pengejar anaknya sudah dekat. Dengan menda-
dak dia menghentikan konsentrasinya dan men-
dobrak pintu itu dengan pukulan bayangan suk-
manya. Dengan suara keras. Pintu itu roboh den-
gan dinding rumah berjatuhan. Madewa berkele-
bat dengan cepat dan sampai di pintu di mana
anaknya sedang kebingungan mencari jalan
menghindar. Dia mendobrak pintu itu pula dan
langsung menyambar putranya yang akan dis-
erang. Dia bersalto ke depan, melompati orang-
orang itu. Pranata Kumala kegirangan mengeta-
hui siapa yang menyelamatkannya. Ayahnya sen-
diri dan ayahnya amat hebat bisa mendobrak pin-
tu itu. Madewa segera bergerak. Masih menggen-
dong Pranata dia menangkis dan mengelakkan
cakar-cakar yang dilancarkan secara beruntun.
Tetapi dia pun enggan untuk berbuat lama. Masih
menggendong Pranata Kumala, dia mengibaskan
tangannya dan menimbulkan dorongan angin
yang amat kuat hingga orang-orang itu bergulin-
gan menabrak tembok.
Tetapi orang-orang itu memang tak men-
genal takut, mereka lebih takut kepada Resi Sen-
daring. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kali
ini, dengan pukulan Tembok Menghalau Badai,
Madewa memukul roboh mereka hingga tak kuat
bangkit kembali.
Sesudah itu dia melesat cepat dan mene-
mui istrinya yang sedang terdesak hebat. Istrinya
sudah tidak memegang pedangnya dan sebisanya
menangkis tamparan, pukulan, sepakan, tendan-
gan orang-orang itu.
Madewa menjadi geram. Dia menurunkan
Pranata dan melesat ke depan, mengobrak-abrik
kurungan orang-orang itu dan menarik tangan is-
trinya ke samping lalu mengibaskan tangan hing-
ga orang-orang itu terpelanting.
"Kau istirahat saja, Rayi. Biar ini menjadi
urusanku," kata Madewa sambil menggiring
orang-orang itu menjauhi istri dan anaknya. Ma-
dewa tidak bermaksud membunuh mereka, hanya
membuat mereka kapok saja. Berkali-kali dia
mengibaskan tangannya hingga orang-orang itu
jatuh tunggang langgang. Tetapi orang-orang itu
tidak kapok. Madewa berkelebat dengan sangat
cepatnya dan tahu-tahu lima orang sudah berdiri
kaku, terkena totokannya. Dia pun berkelebat la-
gi. Begitu seterusnya sampai orang-orang itu ber-
diri semua dengan kaku. Sungguh ilmu totokan
yang sangat hebat.
Ratih Ningrum sendiri kagum melihat ke-
hebatan yang dipamerkan suaminya. Pranata
Kumala bertepuk tangan.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari depan. Me-
reka segera ke halaman depan. Di sana, Madurka
terhuyung karena terhantam tongkat Ki Ageng
Jayasih. Dia mengerang marah. Jurus andalan-
nya Rajawali Sakti dia keluarkan. Ki Ageng Jaya-
sih pun tak mau kalah, jurus Tangan Bayangan
diperlihatkan. Keduanya sama-sama menjajaki dan seren-
tak menyerang dengan tenaga dorongan yang
amat kuat. "Plak... duaar...!" benturan kedua tenaga sakti itu menimbulkan suara dan
masing-masing terdorong beberapa langkah. Menandakan tenaga
keduanya sama-sama hebat. Tetapi kemudian ter-
lihat, kalau lengan Ki Ageng Jayasih berdarah.
Rupanya ketika benturan itu terjadi, Madurka
sempat menggores lengan Ki Ageng Jayasih den-
gan besi bulatnya yang lancip.
Melihat itu, Madurka terbahak kegirangan.
"Maafkan aku, Kakang. Aku tak sengaja...!
Tetapi syukurlah, karena kalau tidak, lengan ki-
rimu akan sama dengan lengan kiriku! Sekarang
kau terimalah semua ini!"
Madurka melesat kembali dengan jurus Ra-
jawali Saktinya. Cepat dan hebat. Ki Ageng Jaya-
sih mengibaskan tangan kanannya dengan kelima
jari mengembang dan melesat lima buah sinar
merah ke arah Madurka. Madurka memekik kaget
namun dia segera bergulingan dan menyodokkan
tangan kirinya ke arah kemaluan Ki Ageng Jaya-
sih. Ki Ageng dengan ringan berkelit sambil
menahan nyeri di bahu kirinya tetapi Madurka
kembali mencecar dengan ganas. Sebisanya Ki
Ageng Jayasih berkelit. Melihat posisi Ki Ageng
Jayasih agak terdesak, Madewa segera bersalto ke
depan dan menghantam punggung Madurka.
Madurka menjerit dan terhuyung ke depan.
Tetapi dia segera berbalik dengan marah. Dilihat-
nya seorang laki-laki muda berdiri dengan sikap
gagah dan menantang. Mendidih darah Madurka.
"Hmm... rupanya ketua perguruan Topeng
Hitam turun tangan juga! Baik, rasakan pukulan
Rajawali Saktiku!" geram Madurka seraya melesat. Madewa merangkum pukulan
saktinya di tangan hingga mengeluarkan asap putih. Ketika
Madurka mendekat, dia menyambut pukulan itu
dengan hebat. "Des...!"
Tubuh keduanya terhuyung ke belakang,
benturan tadi amat sangat hebatnya. Tetapi Ma-
durka roboh dengan muntah darah. Sejenak dia
meregang nyawa tetapi nyawanya pun segera per-
gi. Madewa mendesah. Pukulan Bayangan
Sukmanya, masih nomor satu. Dia menghampiri
dan memapah Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng terse-
nyum. Nama Madewa Gumilang bukan omong ko-
song. Pukulan sakti adiknya mampu ditahan,
bahkan membunuh adiknya!
"Aku beruntung... yang sudah tua ini...
masih sempat berkenalan dengan kau, Pendekar
gagah...." desisnya.
Madewa tersenyum. "Jangan kau panggil
demikian, Kakek Sakti. Apalah artinya kepan-
daian, kalau hati kita jahat, penuh nafsu untuk
merusak...."
"Kau bukan saja sakti sebagai orang gagah,
kau juga sakti dalam ucapan...."
Madewa tersenyum, melangkah membe-
baskan totokannya kepada murid-murid Cakar
Naga lalu berkata, "Kalian semua kubebaskan....
Hilangkanlah perasaan silang sengketa dengan
perguruan Topeng Hitam. Semua ini terjadi kare-
na ambisi Resi Sendaring untuk menguasai se-
mua perguruan silat! Rencana yang kotor hingga
terjadilah pertumpahan darah. Kalian semua, di-
rikanlah kembali nama perguruan Cakar Naga.
Lanjutkan semua cita-cita dan perjuangannya....
Kalian jangan mendendam, karena dendam hanya
membawa kita kepada kejahatan...!"
Semua menunduk mendengar kata-kata
itu. Memang, sebenarnya mereka ingin hidup
dengan tentram, tetapi karena tekanan dari ketua
mereka, semua menurut daripada dijatuhi huku-
man yang berat. Tetapi di mana Resi Sendaring
sekarang" Salah seorang mencetuskan hal itu.


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Madewa yang sudah mengetahui dari is-
trinya menjawab, "Resi Sendaring... telah menemui ajalnya.... Dia tetap sebagai
orang gagah yang sakti.... Tetapi telah dikuasai oleh hawa naf-sunya.... Untuk
itu, kalian semua harus bersabar, harus bisa menahan hawa nafsu...."
Setelah itu, Madewa kembali kepada Ki
Ageng Jayasih dan Ratih Ningrum serta Pranata
Kumala. Saat itu, Ki Ageng Jayasih hendak kem-
bali ke gunung Muria.
"Aku sudah tua... biarlah aku mendiam di
sana sampai akhir hayatku.... Yah... aku tak ber-
hasil menjumpai murid kesayanganku, yang juga
mengecewakan hatiku...."
Mendengar itu, Ratih Ningrum yang selama
ini memendam keheranan segera berkata, "Ki
Ageng Jayasih... muridmu... yang bernama Nin-
diakah?" Mata Ki Ageng Jayasih membelalak kaget.
"Ya, ya... dia muridku! Kau tahu dia berada di mana, Nyonya ketua?"
Ratih Ningrum menunduk. Sedih dia meli-
hat wajah tua itu yang begitu kegirangan. Perla-
han dia mengangkat wajahnya. Ki Ageng Jayasih
mendesak. Dengan hati-hati Ratih Ningrum men-
jawab, "Muridmu... telah mati sebagai orang sesat...." Ki Ageng Jayasih
terkejut, tetapi kemudian menunduk sedih. Ratih Ningrum menceritakan
semuanya, kalau yang membunuh muridnya ada-
lah suaminya sendiri. Juga tentang keris Naga
Merah (baca : Petaka Cinta Berdarah).
Ki Ageng Jayasih mendesah. Ia sedih kare-
na muridnya pun mati sebagai orang sesat. Baru
beberapa detik tadi adik seperguruannya menyu-
sul. Menyusul dalam kesesatan. Kini tak ada lagi
yang diharapkannya, yang diharapkan dapat me-
neruskan cita-citanya dan mewarisi ilmunya.
Tetapi mendadak matanya bersinar ketika
melihat Pranata Kumala. Semua itu bisa dilaku-
kan kepadanya" Dengan segera Ki Ageng Jayasih
menyampaikan maksudnya, "Maafkan aku Ketua
dan Nyonya... kini tak ada lagi orang yang bisa
meneruskan cita-citaku untuk menegakkan kea-
dilan dan kebenaran.... Untuk itu... kepada kalian berdua kuminta... bolehkah
bocah cilik ini untuk
ikut denganku dan ku didik sebagai orang ga-
gah?" Mendengar itu semua, istri itu saling ber-pandangan. Perasaan berat
melepaskan Pranata
Kumala terpancar dari sinar mata Ratih Ningrum.
Dia baru saja bertemu dengan anaknya, kini anak
itu hendak pergi. Entah untuk berapa lama. Teta-
pi dia kasihan melihat Ki Ageng Jayasih yang be-
gitu mengharap.
"Dia pun mengangguk. Melihat istrinya
mengangguk, Madewa pun mengangguk.
"Kalau itu permintaan, Kakek Sakti... kami
perkenankan putra kami dibawa serta...."
Ki Ageng Jayasih mengangguk gembira. Dia
bertanya langsung kepada Pranata dan sungguh
di luar dugaan, bocah itu menjawab, "Aku ingin seperti Ayah. Kalau kakek bisa
menjadikan aku demikian, aku akan ikut."
Ki Ageng Jayasih tertawa. "Aku akan buat
kau melebihi ayahmu. Kami mohon diri."
"Sebentar!" Madewa mengeluarkan sesuatu dari angkinnya. Seruling Naga dan
diberikannya kepada putranya. "Ini untukmu, Anakku. Jaga
baik-baik."
Pranata hanya mengangguk dan mendadak
tubuhnya sudah berkelebat dengan Ki Ageng
Jayasih. Ratih Ningrum melambai sambil mena-
han air matanya. Dia rela putranya dididik oleh
kakek sakti itu. Madewa menghibur istrinya. Lalu
segera mencari kerangka Paksi Uludara dengan
bantuan salah seorang murid Cakar Naga.
Kerangka itu masih utuh. Madewa mengu-
burkan kembali bersama pedang Sakti Naga
Emas ke makamnya Paksi Uludara semula.
Bersama istrinya, mereka kembali ke per-
guruan Topeng Hitam.
8 Rombongan itu bergerak beriring-iringan,
mengawal sebuah kereta kuda yang terdapat tiga
orang pengawal di atasnya dan delapan ekor kuda
yang mengiringi, lengkap dengan penunggang dan
senjatanya. Mereka adalah para pengawal yang bertu-
gas menjaga barang yang ada di dalam kereta ku-
da itu yang hendak diantarkan kepada pemesan.
Mereka pengawal-pengawal pilihan Sandirwo,
tuan tanah yang kaya-raya. Juga bergerak di bi-
dang penjualan emas. Hari ini dia menugaskan
pengawal-pengawalnya itu untuk mengantarkan
emas pesanan seseorang di desa Pacitan, daerah
Laut Pantai Selatan. Emas yang dipesan berjum-
lah beribu kilogram, dengan bayaran ribuan hek-
tar tanah. Sudah tentu Sandirwo mengerahkan
sepuluh orang pengawal dan seorang kusir kuda
untuk menjaga pesanan itu.
Akhir-akhir ini daerah menuju ke desa Pa-
citan, banyak orang-orang jahat. Mereka bermun-
culan bagaikan jamur, pesat dan berkembang. Pe-
rampok-perampok itu sangat kejam, mereka tak
segan-segan untuk melukai para mangsanya,
bahkan membunuh dan memperkosa jika di sana
terdapat wanita!
Daerah itu sudah merupakan daerah nera-
ka bagi mereka yang hendak ke desa Pacitan. Se-
kali ini apa yang akan terjadi dengan rombongan
yang mengawal emas itu" Pemimpin rombongan
bernama Sangadi, seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun yang amat kuat dan hebat. Dengan
kepastian yang kuat, dia menyerukan agar semua
tenang dan bersiaga, karena sebentar lagi mereka
akan memasuki daerah neraka itu.
Semua pun bersiap. Rombongan berjalan
perlahan-lahan. Mata Sangadi melihat ke sana-
kemari dengan waspada. Tak ada tanda-tanda
orang-orang jahat yang kelihatan. Namun demi-
kian, Sangadi tetap memerintahkan rombongan-
nya agar waspada, jangan termakan suasana
yang tenang ini.
Benar saja, mendadak lima tombak dari
mereka berjatuhan batu-batu dari atas. Berge-
linding dengan cepat. Suasana jadi agak kacau,
karena kuda-kuda mereka meringkik dengan he-
bat. Sangadi segera menguasai rombongan.
Dia berseru, "Jangan panik! Kalian semua
bersiap...!"
Rombongan itu menenangkan kuda mereka
masing-masing. Tiga orang sudah melompat tu-
run dan berdiri di sekeliling kereta kuda.
Sangadi berseru lagi, "Perampok-perampok
itu sudah pasang kasi! Jaga kereta kuda dan
berwaspada!"
Belum habis Sangadi bicara, tiba-tiba dari
atas dan belakang mereka bermunculan kuda-
kuda dengan penunggangnya yang bengis. Mereka
berjumlah dua puluh orang dengan senjata di
tangan. Dan langsung mengurung mereka.
Sangadi segera berbalik dan membentak
"Hhh, kalian rupanya orang-orang jahat
yang ditakuti di daerah ini! Benar-benar mena-
kutkan... tetapi hanya berani dengan cara mem-
bokong dan bergerak dengan jumlah banyak...!"
Perampok-perampok itu hanya tertawa saja
menyambuti perkataan Sangadi. Salah seorang
yang bertubuh tinggi besar, dengan wajah seram
penuh berewok menyahut dengan keras, "Ha...
,ha... kalianlah yang terlalu berani melalui daerah ini...! Tetapi tak apa...
kami akan membebaskan
kalian untuk meneruskan perjalanan... hanya, se-
rahkan bawaan kalian di dalam kereta kuda itu
kepada kami...!"
Digertak begitu, Sangadi malah menyahut
galak, "Kau sudah mimpi barangkali! Tak semudah itu mengambil barang yang kami
bawa!" Orang itu terbahak lagi. "Hoa... ha... ha...!
Aku, Jedangmoro, ketua perampok Golok Iblis tak
akan mengganggu kalau kalian menyerah secara
damai.... Tetapi, kalau kalian nekat dan menen-
tang, Jedangmoro, tak akan tanggung-tanggung
lagi menurunkan tangan!"
"Kau kira kami takut, Jedangmoro! Kawan-
kawan, separuh jaga kereta kuda dan separuh
bantu aku menghadapi orang-orang busuk ini!"
Jedangmoro terbahak. Ia marah karena
orang itu berani membentaknya. Dengan cepat
tangannya terangkat dan sepuluh orang berkuda
dengan senjata golok besar maju menerjang den-
gan serentak. Sangadi pun menyambut mereka dengan
gebrakan kudanya dan sebentar saja di tempat itu
sudah terjadi hiruk-pikuk yang sangat ramai. De-
bu berkepulan karena pijakan kuda-kuda mereka.
Terdengar suara ramai dan gemercing senjata
yang beradu. Sangadi mengamuk dengan dahsyat. Pe-
dangnya berkelebat ke sana-kemari dengan buas.
Dua orang anggota perampok itu terjatuh ber-
mandikan darah, tetapi anak buah Sangadi pun
mulai berjatuhan. Jedangmoro sudah menyuruh
anak buahnya yang separuh lagi terjun memban-
tu. Keadaan semakin kacau dan rombongan
Sangadi terdesak hebat. Beberapa orang Jedang-
moro sudah menyelusup ke kereta kuda. Tiga
orang yang menjaga berusaha bertahan mati-
matian. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak, me-
reka tak mampu bertahan lagi, menangkis atau
menghindari sambaran, bacokan golok-golok itu.
Dengan jeritan yang mengerikan mereka
tumbang dan jatuh dari atas kereta kuda. Dengan
leluasa orang-orang itu masuk dan mengambil pe-
ti berisikan emas.
Melihat itu, Sangadi menjadi sangat marah.
Dia mengibaskan pedangnya dengan ganas. Tiga
orang yang mengurungnya ambruk bermandikan
darah. Dia cepat melesat ke arah orang-orang
yang sedang menggotong peti dan mengibaskan
pedangnya dengan cepat dan ganas.
Orang-orang itu berkelit sambil membuang
peti dan membalas serangan itu dengan serentak.
Sangadi agak kewalahan, karena mereka terlalu
banyak. Peluh sudah bermandi di wajah dan selu-
ruh tubuhnya. Luka juga sudah mampir di selu-
ruh tubuhnya. Anak buahnya sudah tak ada yang
mampu bertahan, mereka sudah menemui ajal di
golok orang-orang itu.
Dengan sisa tenaganya Sangadi berusaha
bertahan, namun itu tak bisa berlangsung lama
karena dia pun terkulai dengan bermandikan da-
rah dan nyawanya melayang menyusul teman-
temannya. Melihat itu, perampok-perampok itu berso-
rak, Jedangmoro tersenyum sambil mengusap be-
rewoknya. "Cepat bawa peti itu, rampas kuda-
kudanya! Dan bakar kereta kuda itu!" serunya memerintah, lalu dia sendiri
berbalik dan memacu kudanya.
Anak buahnya segera menjalankan perin-
tahnya. Bagi mereka, merampok, membunuh dan
membakar kereta kuda itu, membuat suatu kese-
nangan sendiri, dengan tertawa-tawa mereka me-
lakukan semua itu.
Api segera berkobar, memakan kereta kuda
dan mayat-mayat yang bergeletakan di situ. Lalu
mereka segera naik ke kuda masing-masing dan
membawa kuda-kuda rampasan itu dengan tawa
kemenangan. Kembali gerombolan Golok Iblis itu mem-
buat onar yang mengerikan dan seenaknya mem-
bunuh dan membakar mayat-mayat itu. Suatu
perbuatan yang mengerikan. Mereka segera me-
nyusul pemimpin mereka si Jedangmoro ke mar-
kas mereka yang berdiam di ujung Laut Selatan.
Tawa mereka begitu gembira, tetapi men-
gundang maut bagi setiap mangsa mereka.
Mengerikan! Orang-orang yang tak berdosa mereka bu-
nuh dan rampok. Mereka benar-benar orang yang
tak berperikemanusiaan. Mencari kesenangan,
kekayaan, kenikmatan dengan jalan yang salah.
*** Matahari telah melenceng dari tempatnya
yang tepat di atas kepala. Bergeser ke barat. Uda-ra mulai sejuk, tidak serasa
sepanas tadi. Senja
mulai merambat perlahan-lahan.
Pemuda itu melangkah dengan ringan,
riang sambil meniup serulingnya. Langkahnya
mencerminkan kegembiraannya dengan nada se-
rulingnya. Kadang-kadang kakinya bergerak men-
gikuti nada serulingnya.
Dia adalah seorang pemuda tampan. Tu-


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buhnya tegap dan ganteng. Rambutnya gondrong
tetapi tak mengurangi ketampanan pemuda itu.
Di keningnya terdapat sebuah ikat kepala biru.
Pemuda itu kira-kira baru berusia delapan belas
tahun. Masih riang memainkan serulingnya.
Tiba-tiba saja dia menghentikan meniup
serulingnya. Langkahnya terhenti dan tertegun,
menatap ke depan. Sesuatu yang hangus dan ma-
sih mengeluarkan asap. Juga tercium bau busuk
yang sengit. Pemuda itu melangkah mendekati sambil
menutup hidungnya. Bau sangit itu seperti bau
kulit dibakar. Ia meneliti benda yang hangus ter-
bakar itu. Hmm, sebuah kereta kuda. Tetapi begi-
tu dia menyentuhnya, benda itu luruh menjadi
debu. Pemuda itu berjungkat ke belakang, meng-
hindari debu itu.
Tetapi mendadak dia terpekik, kakinya
menginjak sesuatu yang lunak, ketika dia meno-
leh kembali dia terkejut. Sebuah tangan yang be-
lum terbakar. Entah tangan kanan atau kiri. Pe-
muda itu kini tahu, apa yang menyebabkan bau
sangit. Rupanya bau tubuh manusia yang diba-
kar. "Hmm, apa yang telah terjadi di tempat ini tadi?" gumam pemuda itu. "Begitu
mengerikan sekali...."
Pemuda itu terdiam sambil berpikir-pikir
memikirkan apa yang menyebabkan semua ini.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara derap kuda dari
belakangnya. Dia cepat menoleh dan melihat se-
puluh ekor kuda datang mendekati dengan tung-
gangannya masing-masing.
Pemuda itu tidak mengenali mereka, tetapi
dia tidak berusaha menghindari mereka. Orang-
orang itu sudah mendekat dan turun. Memperha-
tikan benda yang hangus itu.
"Tak salah lagi," gumam orang itu yakin
"Dugaanku tepat, mereka sudah mampus
semua dan peti berisi emas itu hilang entah ke
mana..." Pemuda tampan itu hanya mendengarkan,
tidak mengerti maksud gumaman orang itu. Teta-
pi orang itu mendadak menoleh. Dia adalah putra
tunggal Sandirwo yang diutus untuk melihat apa-
kah kiriman emas itu sampai kepada pemesan-
nya. Pemuda itu bernama Kadir, saat pengiri-
man emas itu dilakukan dia sedang pergi, jadi ti-
dak bisa ikut mengawal. Namun Sandirwo menja-
di bingung, karena utusan pengiriman emas itu
sampai sore begini belum kembali, dia kuatir ka-
lau terjadi apa-apa pada mereka. Itulah sebabnya, dia menyuruh putranya untuk
menyelidiki. Kadir menatap pemuda yang memegang se-
ruling itu dengan tajam. Matanya memancarkan
sorot curiga yang amat dalam. Pemuda itu te-
nang-tenang saja, tak merasa dicurigai. Kadir
mencurigainya, karena hanya pemuda itu yang
berada di sekitar sini.
"Apa yang telah kau lakukan kepada mere-
ka, Kisanak?" Karena merasa yakin pemuda itu yang melakukannya, Kadir langsung
bertanya. Pemuda itu jelas keheranan. Keningnya
berkerut. "Apa yang kulakukan?" tanyanya bingung.
"Aku tidak melakukan apa-apa sejak tadi, hanya meniup serulingku ini."
"Kau jangan mungkir, Kisanak. Semua ini
pasti kau yang melakukan..."
Pemuda itu baru mengerti kalau dia ditu-
duh. Tentu saja dia marah dan membantah.
"Aku yang melakukan" Mimpi apa kau se-
malam menuduhku begini" Saudara... aku baru
saja tiba di tempat ini... dan melihat semua kejadian ini.... Aku tidak tahu apa
yang terjadi, dan siapa yang melakukannya...."
"Kau jangan mempermainkan aku, Kisa-
nak. Emas seribu kilogram tentu membuat semua
orang menjadi silau ingin memiliki. Kau pasti in-
gin memiliki pula.... Serahkan emas itu kepadaku
sekarang, karena kau yang memilikinya sedang-
kan engkau hanya merampas secara kotor!"
Pemuda itu kini benar-benar marah. Dia
dituduh sembarangan! Emas itu dia yang meram-
pasnya" Tuduhan keji untuknya. Dia tidak teri-
ma. "Saudara... kau menuduhku sembarangan.
Aku membantah semua tuduhanmu...."
"Hhh, baik! Aku akan merebut kembali
emas itu dari tanganmu!" Kadir mengangkat tangannya dan serentak sembilan orang
yang bertu- gas mengawalnya mengurung pemuda itu.
Namun pemuda itu nampak tenang-tenang
saja. Dia hanya memperhatikan mereka dengan
tatapan waspada.
"Kau tak percaya bukan aku yang melaku-
kan semua ini, Saudara...."
"Siapa lagi kalau bukan kau! Hanya kau
yang ada di sini! Pasti emas itu sudah kau sem-
bunyikan! Serang pemuda itu dan tangkap"
Serentak sembilan orang itu menyerang
dengan pedang mereka. Pemuda itu menghindari
semuanya dengan mudah. Bahkan dia memutar
serulingnya dan berkelebatan dengan cepat yang
merupakan gulungan-gulungan hitam. Tiga orang
roboh terkena sambaran seruling itu. Mendadak
pemuda itu bersalto menghindari kurungan itu.
Lalu katanya kepada Kadir, "Saudara! Aku
tidak suka dituduh begini! Aku bukanlah peram-
pok dan pembunuh yang kejam. Tetapi karena
tuduhanmu ini.... Aku bisa berbuat demikian!"
Kadir mendengus. Dia pun menghunus pe-
dangnya. "Orang jahat seperti kau, harus dile-
nyapkan dari muka bumi ini! Tak ada gunanya
kau hidup, karena hanya menyengsarakan orang
lain dan membuat keonaran. Lihat seranganku,
Kisanak!" bentak Kadir seraya berkelebat ke depan dan pedangnya sudah menyambar
dengan dahsyat. Sabetan dan tusukannya begitu cepat
dan kuat. Tetapi pemuda itu hanya menghindari se-
muanya dengan tenang. Dia bukanlah orang yang
kejam, tetapi dia bisa menjadi kejam, apalagi tu-
duhan itu begitu membuat sakit hatinya. Walau-
pun demikian, dia belum menjatuhkan tangan-
nya. Semua ini karena salah paham.
Dia hanya menghindar sambil memutar-
mutar serulingnya. Kadir menjadi penasaran, dia
menyerang semakin ganas bahkan berseru kepa-
da anak buahnya untuk membantu.
Menerima serangan yang banyak itu, pe-
muda itu segera balas menyerang. Totokan dan
kelebatan serulingnya kembali membuat tiga
orang penyerangnya roboh. Melihat hal itu, Kadir
semakin yakin, kalau pemuda ini yang telah me-
rampok dan membunuhi mereka.
Pemuda ini amat sakti dan tangguh, tidak
mustahil dia mampu menghadapi pengawal-
pengawal yang mengawal kereta kuda itu tadi.
Mengingat hal itu, Kadir semakin kalap,
pedangnya menyambar dengan cepat, tetapi lagi-
lagi pemuda itu hanya menghindar dengan ringan
dan lincah. Tetapi lama kelamaan dia berpikir,
pemuda sombong itu harus segera ditaklukkan-
nya, lalu diberi penjelasan.
Mendadak pemuda itu berjumpalitan,
membuat Kadir kebingungan dengan arah seran-
gan pemuda itu. Dia menyabetkan pedangnya as-
al saja, tetapi pemuda itu dengan lincah berkelit dan menotoknya hingga berdiri
kaku. Anak buah Kadir segera maju hendak me-
nyerang lagi, tetapi pemuda itu membentak se-
raya berdiri di belakang Kadir, serulingnya siap
mencoblos leher Kadir. "Kalian semua mundur, kalau tidak ingin melihat pemuda
ini mampus! Cepat!" Orang-orang itu mundur, mereka pun sudah jerih melihat kelihaian pemuda
itu. Mereka pasti tak mampu untuk menangkapnya. Tapi se-
puluh orang saja mereka gagal, apalagi kini ting-
gal bertiga. Pemuda itu berseru lagi, "Kalian semua sa-
lah paham, kalian salah menuduhku demikian!
Aku tidak melakukan apa-apa terhadap kereta
kuda itu. Aku membantah semua tuduhan kalian.
Sungguhan, aku tidak melakukan apa-apa. Aku
baru saja melihat semua itu ketika kalian datang
dan menuduhku sebagai pelakunya!"
"Tetapi hanya kau yang ada di sana!" bentak Kadir seraya berusaha bergerak,
tetapi toto- kan pemuda itu sungguh hebat. Sukar untuk di-
lepaskan dan Kadir hanya bisa memaki dalam ha-
ti. "Kebetulan aku belum pergi dari tempat itu
ketika kalian datang. Aku masih heran, ada apa
dan siapa yang telah melakukan pembakaran
dengan keji itu!"
"Aku tak percaya!"
"Kau memang keras kepala... Sudara. Ka-
lau saja orang-orang itu masih hidup dan bisa bi-
cara, pasti mereka akan mengaku, siapa yang
menyerang mereka!"
Mendengar suara yang mantap itu, hati
Kadir agak meluluh tetapi masih waspada.
Mendadak pemuda itu melepaskan toto-
kannya dan berkelebat. Suaranya terdengar, "Aku bosan berhadapan dengan orang
macam kau! Orang yang sembarangan menuduh! Biar semua
itu terjadi, akan kucari orang-orang yang telah
melakukan perampokan dan pembakaran itu!"
Suaranya menghilang dan tubuhnya pun
tak nampak. Kadir menghela napas. Pemuda tadi
sangat lihai sekali dan dia yakin kalau bukan pe-
muda itu yang melakukan semuanya. Dia meme-
rintahkan anak buahnya untuk kembali dan
mengangkut tubuh kawan mereka yang terluka.
9 Sebenarnya, siapakah pemuda yang lihai
dan perkasa itu" Yang suka meniup serulingnya
dan melagukan tembang-tembang yang menga-
syikkan" Pemuda itu adalah Pranata Kumala, bocah
yang sembilan tahun lalu dibawa oleh Ki Ageng
Jayasin ke puncak gunung Muria untuk digem-
bleng dan dilatih ilmu kejayaan dan kesaktian.
Kini bocah itu sudah tumbuh menjadi pe-
muda yang gagah perkasa dan tampan. Setelah
dirasakan cukup berguru selama sembilan tahun,
Pranata Kumala memohon izin kepada gurunya,
Ki Ageng Jayasin untuk menjenguk orang tuanya.
Selama sembilan tahun itu dia tidak pernah-
bertemu dengan orang tuanya, orang tua yang di-
tinggalkan sejak dia berumur sembilan tahun.
Dan membuatnya rindu.
Ki Ageng Jayasin sebenarnya enggan untuk
melepas kepergian pemuda itu. Selama sembilan
tahun bocah itu menunjukkan bakti dan kecin-
taannya kepada Ki Ageng Jayasih. Ki Ageng Jaya-
sih sendiri sangat menyayangi pemuda itu. Pe-
muda yang welas asih dan sopan. Tetapi dia tidak
bisa menahan karena pemuda itu bukanlah mi-
liknya, dia milik kedua orang tuanya dan sudah
bebas menentukan pilihan.
Setelah memberi wanti-wanti panjang lebar
dan agar Pranata bisa menggunakan kepandaian-
nya untuk membela yang lemah dan kebenaran,
Ki Ageng Jayasih, melepaskan pemuda itu. Prana-
ta menjura hormat sebelum dia melangkah pergi.
Lalu mulai beranjak, meninggalkan puncak gu-
nung yang dia diami sejak sembilan tahun.
Kini semua itu ditinggalkannya. Pegunun-
gan yang indah. Hawa yang dingin. Pemandangan
yang elok dan indah. Bunga-bunga yang bagus.
Semua ditinggalkannya demi rasa rindu kepada
orang tuanya. Mulailah perjalanan Pranata Kumala dalam
kembali ke pelukan ayah bundanya, Madewa
Gumilang dan Ratih Ningrum. Sudah lama dia ti-
dak melihat dunia ramai dan betapa senangnya
dia melihat semua itu. Sebelum menuju ke tem-
pat ayah bundanya berada yaitu di perguruan To-
peng Hitam, Pranata menggunakan kesempatan
itu untuk singgah dari dusun ke dusun.
Sejak kecil dia telah mendengar akan nama
Laut Pantai Selatan. Laut yang indah dan sunyi.
Itulah sebabnya, dia segera menuju ke sana. Ingin membukti cerita ayah bundanya
tentang keinda-han laut pantai selatan.
Belum lagi dia tiba di sana, kesulitan su-
dah datang kepadanya. Dia dituduh sebagai pe-
rampok dan pembunuh oleh pemuda gagah tadi
dan anak buahnya. Tentu saja Pranata menjadi
marah dan kesal, namun dia ingat akan nasehat
Ki Ageng Jayasih, agar mempergunakan akal se-
hat untuk menghadapi sesuatu, jangan main ma-
rah saja, apalagi memukul!


Pendekar Bayangan Sukma 6 Kakek Sakti Dari Gunung Muria di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi dia pun harus mempertahankan diri
dan berlari kalau tidak ingin urusan itu semakin
panjang. Sekarang pemuda itu duduk di sebuah ba-
tu, matanya menatap deburan ombak yang me-
nabrak tebing. Burung camar berterbangan di
atas laut yang tak mau berhenti bergelombang.
Juga tak melepas lelah sedikit pun. Dia terus bergulung dan berdeburan.
Pranata merenung, hampir sebulan dia
meninggalkan gunung Muria dan baru kali ini dia
mendapat kesulitan. Kalau tahu begini lebih baik
dia langsung ke perguruan Topeng Hitam. Entah
bagaimana sekarang rupa perguruan itu, juga
murid-muridnya, apakah mereka masih seperti
dulu ataukah sudah banyak yang menikah lalu
keluar. Mengingat itu, Pranata bangkit, hendak
mencari tempat bermalam. Matahari sudah ham-
pir tenggelam di barat sana. Cahaya merahnya
membias menerangi langit, membuat warna langit
agak memerah dan nampak bagus sekali. Pranata
memperhatikan itu sebentar. Betapa besar dan
agungnya kekuasaan Tuhan, yang membuat sega-
la sesuatunya begitu bagus dan sempurna.
Pranata mulai melangkah. Dia mengambil
serulingnya dan meniup menembangkan sebuah
lagu merdu. Mengalunkan suara seruling itu.
Betapa merdu dan enaknya alunan serul-
ing itu didengar, tak membosankan. Seruling itu
buatannya sendiri ketika dia masih di gunung
Muria sana, untuk melepaskan kesendiriannya
kalau sudah selesai berlatih.
Pranata pun ingat, kalau ayahnya dulu
memberinya sebuah seruling. Kata ayahnya, itu
seruling naga. Di tubuh seruling itu terdapat dua ekor naga yang sedang
bertempur. Selama sembilan tahun, Pranata baru sekali meniupnya, itu
pun sudah dilarang oleh Ki Ageng Jayasih yang
mendengar alunan nadanya.
"Boleh kulihat seruling yang kau tiup itu,
Pranata?" tanya Ki Ageng Jayasih waktu itu.
Pranata memberikannya. Ki Ageng Jayasih
mengamati. Dia juga tahu, seruling itu pemberian
ayahnya Pranata Kumala. Tadi ketika nada serul-
ing itu terdengar, Ki Ageng Jayasih merasakan te-
linganya sakit sekali, suara seruling itu seakan
menusuk telinganya dan itu yang membuatnya
heran. Makanya dia ingin melihat seruling itu.
"Pranata... waktu tadi kau meniup seruling
ini, apakah kau merasakan sakit di telingamu?"
tanya Ki Ageng Jayasih.
Pranata menggeleng keheranan, tak men-
gerti maksud gurunya.
"Tidak Kakek."
"Hmm." Ki Ageng Jayasih mengamati seruling itu dan mendadak dia meniup seruling
itu. Pranata tersentak, dia bergulingan, karena telin-
ganya terasa disengat oleh suara yang keluar dari seruling itu. Keras dan
menusuk. Sakit sekali.
Cepat Pranata duduk bersila. Dia sudah digem-
bleng dalam hal tenaga dalam dan hawa murni,
dia pun menggunakan kepandaiannya untuk
membendung suara seruling itu.
Ki Ageng Jayasih melihat muridnya berge-
tar. Hmm, pasti ini semua gara-gara seruling itu.
Ia menghentikan tiupannya.
"Pranata...."
Pranata membuka matanya perlahan. Dia
menghentikan aliran tenaga dalam dan hawa
murninya ke telinga.
"Ya, Kakek...."
"Kau merasakan sakit di telingamu?"
"Ya, Kakek. Sangat pedih sekali. Suara se-
ruling itu sangat menusuk telingaku..."
Ki Ageng Jayasih tersenyum. "Itulah yang
ku maksud tadi, suara seruling itu tadi pun me-
nusuk telingaku. Pranata, rupanya ayahmu
memberikan sebuah seruling, bukan sebuah se-
ruling biasa. Ini seruling sakti dan dinamakan seruling naga. Baru aku tahu apa
kesaktian serul-
ing ini... dia bisa menusuk dengan suaranya dan
mengalahkan lawan-lawannya tanpa membuang
tenaga.... Sungguh beruntung kau memiliki serul-
ing ini..., Namun Pranata, jangan kau gunakan
seruling ini sembarangan.... Ini seruling sakti...."
Sampai disini berakhir sudah kisah ini se-
lanjutnya nantikan episode berikutnya dalam ki-
sah Pendekar Kedok Putih.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Baju Putih 4 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 8
^