Pencarian

Karma Manusia Sesat 3

Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat Bagian 3


dadari Delapan Samudera. Namun baru mendapat bebera-
pa langkah, Bidadari Delapan Samudera sudah berkelebat
menghambur ke arah Datuk Kala Sutera dan tegak dua
langkah di hadapannya dengan mata berkaca-kaca dan ba-
hu berguncang keras.
"Anakku...." Datuk Kala Sutera sekuat tenaga coba buka
mulut seraya duduk tatapi sosok Bidadari Delapan Samu-
dera. "Kau menginginkan nyawaku bukan"! Lakukanlah apa
yang ingin kau lakukan!" Datuk Kala Sutera pejamkan se-
pasang matanya.
"Dosa yang kulakukan telah melampaui batas... Aku bu-
kan saja telah membuatmu menderita. Namun juga telah
membunuh orang yang mengasuhmu... Pantas kalau tan-
ganmulah yang berhak untuk menghabisiku..."
Bidadari Delapan Samudera gelengkan kepala. Mulutnya
sudah terbuka. Namun justru bukan suara yang kemudian
terdengar sebaliknya isakan tangis. Lalu kej ap lain Bidadari
Delapan Samudera sudah menghambur ke arah Datuk Kala
Sutera dan merangkulnya dengan berbisik.
"Ayah...." Bidadari Delapan Samudera tak kuasa lan-
jutkan ucapan. Sementara Datuk Kala Sutera perlahan-
hnpuslt! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
lahan buka sepasang matanya. Melihat Bidadari Delapan
Samudera telah rangkul tubuhnya, laki-laki ini tak mampu
lagi menahan diri. Sepasang matanya berlinang dengan ke-
dua tangan bergerak membalas rangkulan Bidadari Dela-
pan Samudera. "Terima kasih kau masih mau menyebutku sebagai Ayah
meski sebenarnya hal itu tak pantas kuterima dan keluar
dari mulutmu...."
"Ayah... Jangan ucapkan kata-kata itu lagi... Sekarang
kau harus menemui Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Ti-
ga Purnama..."
Habis berbisik begitu, tiba-tiba Bidadari Delapan Samu-
dera bergerak bangkit. Saat kemudian dia angkat sosok Da-
tuk Kala Sutera. Lalu perlahan-lahan dia melangkah ke
arah bidadari Tujuh Langit yang masih berpelukan dengan
Dayang Tiga Purnama.
Belum sampai langkah Bidadari Delapan Samudera
mendekati tempat Bidadari Tujuh Langit, Bidadari Pedang
Cinta sudah berpaling. Kejap lain gadis berbaju hijau ini
bangkit lalu menghambur menyongsong sosok Datuk Kala
Sutera yang berada dalam bopongan Bidadari Delapan Sa-
mudera. Saat kemudian terdengar lagi isakan tangis Bida-
dari Pedang Cinta begitu dia merangkul sosok Datuk Kala
Sutera yang sudah didudukkan oleh Bidadari Delapan Sa-
mudera. Bidadari Tujuh Langit dan Dayang Tiga Purnama cepat
menoleh. Melihat apa yang terjadi, kedua orang segera le-
paskan pelukan masing-masing lalu laksana terbang.
Dayang Tiga Purnama sudah melompat dan ikut memeluk
sosok Datuk Kala Sutera. Sementara Bidadari Tujuh Langit
merangkak menghampiri.
Begitu dekat, Bidadari Delapan Samudera segera me-
nyongsong lalu memeluk Bidadari Tujuh Langit. Hingga un-
tuk beberapa saat tempat itu hanya dipenuhi dengan suara
isakan tangis. Agak jauh di sebelah samping, Galuh Sembilan Gerhana
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
dan Galuh Empat Cakrawala pandang berlama-lama tanpa
ada yang buka mulut. Mereka berdua seolah tidak percaya
dengan apa yang dilihat dan didengar. Hingga pada satu
saat, Galuh Sembilan Gerhana berbisik pada Galuh Empat
Cakrawala. "Rasanya aku belum percaya dengan kejadian ini! Mung-
kinkah benar"!"
"Jangan bertanya padaku... Aku sendiri masih tak bisa
membayangkan... Bagaimana sikap kita seandainya dia be-
nar-benar orangtua kita"! Padahal..." Galuh Empat Cakra-
wala tak mampu lanjutkan gumaman. Sebaliknya berpaling
ke jurusan lain dengan mata berkaca-kaca. Dia teringat ba-
gaimana dia telah diperlakukan secara tidak senonoh oleh
Bidadari Tujuh Langit.
"Tidak!!!" Tiba-tiba Galuh Empat Cakrawala berteriak
histeris. Kedua tangannya diangkat ditakupkan pada wa-
jahnya. Teriakan Galuh Empat Cakrawala membuat Bidadari Tu-
juh Langit lepaskan pelukan dari Bidadari Delapan Samu-
dera. Lalu berpaling pada Galuh Empat Cakrawala dan Ga-
luh Sembilan Gerhana.
Sosok Bidadari Tujuh Langit terlihat bergetar hebat. Dia
seolah tahu apa yang dirasakan Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala. Hingga setelah memejamkan
sepasang matanya, dia merangkak mendekati kedua gadis
itu. "Galuh Empat Cakrawala... Galuh Sembilan Gerhana...
Tak ada ucapan yang pantas kalian dengar dari mulutku...
Bahkan tidak ada maaf yang layak kalian berikan pada-
ku..." Bidadari Tujuh Langit angkat kedua tangannya begitu
berhenti tiga langkah di hadapan Galuh Sembilan Gerhana
dan Galuh Empat Cakrawala. Sepasang matanya dibuka la-
lu memandang beberapa saat silih berganti pada kedua ga-
dis di hadapannya.
"Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala...
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
Aku memang telah bertindak yang mungkin tidak bisa di-
maafkan! Tapi kuharap kalian tidak segan mengakui Datuk
Kala Sutera sebagai ayah kalian..."
Habis berucap begitu, mendadak Bidadari Tujuh Langit
hantamkan kedua tangannya ke arah kepalanya!
"Ibu!" Bidadari Delapan Samudera berteriak seraya me-
lompat dan menahan gerakan kedua tangan Bidadari Tujuh
Langit yang hendak menghantam kepalanya sendiri.
"Anakku Bidadari Delapan Samudera...," ucap Bidadari
Tujuh Langit seraya pandangi sosok Bidadari Delapan Sa-
mudera yang tegak disampingnya. Kepalanya menggeleng
"Aku malu dengan apa yang telah kulakukan pada kedu-
anya... Aku... Aku..." Bidadari Tujuh Langit tidak mampu
lagi lanjutkan ucapan. Sebaliknya coba gerakkan lagi kedua
tangannya yang ditahan Bidadari Delapan Samudera.
"Galuh Sembilan Gerhana... Galuh Empat Cakrawala..."
Berkata Bidadari Delapan Samudera dengan suara seten-
gah berbisik. "Kalau kalian masih mau mengakui aku sebagai sauda-
ra, kuharap kalian mau menerimanya sebagai Ibu, meski
apa pun tindakan yang telah dilakukannya pada kalian..."
Galuh Empat Cakrawala berpaling dengan mata berkaca-
kaca dan dipentang besar-besar. Lalu melangkah satu tin-
dak menghampiri Bidadari Tujuh Langit.
*ak* SEMBILAN "KAU bisa berkata begitu karena kau tidak merasakan
derita aib yang telah kualami!" Galuh Empat Cakrawala
berteriak seraya menunjuk pada Bidadari Delapan Samude-
ra. "Anakku Bidadari Delapan Samudera... Apa yang di-
ucapkannya memang benar. Aku telah melakukan tindakan
hitam yang rasanya sulit untuk dihapus! Begitu hitamnya
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
tindakan yang telah kulakukan, ucapan pembelaan pun ra-
sanya sudah tidak pada tempatnya lagi! Semua sudah te-
lanjur terjadi... Dan ini semua memang karena aku sudah
tenggelam dalam angkara nafsu. Sebenarnya aku ingin hi-
dup lebih lama lagi apalagi aku telah menemukan kembali
apa yang sudah hilang dari tanganku enam belas tahun la-
manya. Namun kalau tewas lebih diinginkan oleh Galuh
Empat Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana, aku den-
gan senang hati akan menyerahkan diri pada mereka...
Aku maklum, tewasnya diriku mungkin belum sebanding
dengan aib yang telah kucorengkan. Tapi di atas semua itu,
aku masih bersyukur. Karena pada akhirnya aku bisa ber-
temu kembali dengan anak-anakku..."
Bidadari Tujuh Langit arahkan pandang matanya pada
Galuh Empat Cakrawala yang tegak dua tindak dihadapan-
nya. "Galuh Empat Cakrawala... Aku siap menghadapi apa
yang akan kau lakukan... Ayo, lakukanlah anakku... Mam-
pus di tanganmu kurasa lebih baik..." Bidadari Tujuh Lan-
git tersenyum seraya anggukkan kepala.
Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Da-
tuk Kala Sutera saling lepaskan rangkulan. Lalu meman-
dang pada Bidadari Tujuh Langit dan Galuh Empat Cakra-
wala. Sementara semua orang ditempat itu juga sama tuju-
kan pandangan ke satu arah dengan dada berdebar.
"Galuh Empat Cakrawala... Harap kau tidak bimbang,
Percayalah, kau tidak salah jika membunuhku... Lakukan-
lah, Nak..."
Galuh Empat Cakrawala gigit bibirnya sendiri. Sosoknya
bergetar. Dia pandangi lekat-lekat sosok Bidadari Tujuh
Langit. Sementara Galuh Sembilan Gerhana dan Bidadari
Delapan Samudera saling pandang.
"Anakku... Sekiranya..." Hanya sampai disitu ucapan Bi-
dadari Tujuh Langit. Karena mendadak saja Galuh Empat
Cakrawala melompat ke hadapan Bidadari Tujuh Langit dan
memeluk tubuhnya dengan tangis melengking.
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
Sesaat tadi Bidadari Delapan Samudera sempat mem-
buat gerakan berjaga-jaga takut Galuh Empat Cakrawala
turunkan tangan kasar lakukan ucapan Bidadari Tujuh
Langit. Dia lepaskan kedua tangannya yang sedari tadi me-
nahan kedua tangan Bidadari Tujuh Langit. Lalu diam-diam
kerahkan tenaga dalam untuk menghadapi segala kemung-
kinan. Tapi begitu mendapati apa yang dilakukan Galuh Empat
Cakrawala, Bidadari Delapan Samudera cepat surutkan
langkah satu tindak dengan mata berlinang. Sementara Ga-
luh Sembilan Gerhana segera berlari lalu ikut memeluk so-
sok Bidadari Tujuh Langit!
Untuk beberapa saat kembali tempat itu dipecah dengan
isak tangis dan helaan-helaan napas panjang.
"Anak-anakku... Mari kita bergabung dengan mereka..."
Datuk Kala Sutera berbisik pada Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama.
Tanpa perdengarkan sahutan, Bidadari Pedang Cinta
dan Dayang Tiga Purnama segera membopong sosok Datuk
Kala Sutera lalu melangkah mendekati Bidadari Tujuh Lan-
git yang tengah bertangis-tangisan dengan Galuh Empat
Cakrawala dan Galuh Sembilan Gerhana.
"Terima kasih, Anak-anakku..." Bidadari Tujuh Langit
berucap dengan suara tersendat serak.
"Di akhir usiaku ini, aku Ingin menghabiskan dengan
mensucikan diri dan merawat kalian... Aku ingin menebus
apa yang selama ini tidak kulakukan sebagai seorang ibu..."
"Dan sejak hari ini, kuharap tidak ada lagi kata berpisah
diantara kita!" Tiba-tiba Datuk Kala Sutera yang sudah ti-
dak auh dari Bidadari Tujuh Langit menyahut.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
berpaling. Saat berikutnya kedua gadis ini bangkit lalu
menghampiri Datuk Kala Sutera. Sang Datuk tersenyum se-
raya lebarkan kedua tangannya.
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
bungkukkan tubuh lalu keduanya masuk dalam rengkuhan
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
kedua tangan Datuk Kala Sutera tanpa ada yang buka sua-
ra. Yang paling resah dan gelisah melihat pemandangan ber-
temunya anak dan orangtua itu adalah Nenek Selir. Sedari
tadi sepasang matanya terus memperhatikan sosok Bidada-
ri Tujuh Langit. Namun beberapa kali kepala nenek ini
membuat gerakan menggeleng. Lalu saat lain bergumam
tak jelas. Saat itulah ekor mata Nenek Selir menangkap ge-
rakan satu sosok tubuh keluar dari balik rumpun bambu.
Hanya dengan ekor mata, tampaknya si nenek sudah bi-
sa menebak siapa gerangan adanya sosok yang muncul.
Laksana orang kalap, sambil berteriak tinggi Nenek Selir
melompat dan menghadang gerakan orang yang baru mun-
cul. Teriakan si nenek membuat Galuh Empat Cakrawala
dan Galuh Sembilan Gerhana lepaskan pelukannya pada
sosok Datuk Kala Sutera. Saat bersamaan, semua mata
berpaling pada sosok yang baru muncul. Dia adalah seo-
rang kakek berambut putih mengenakan jubah tanpa
lengan berwarna abu-abu.
"Bagus! Tampaknya kau bukan laki-laki pengecut yang
takut unjuk tampang!" Nenek Selir membentak. Tangan ki-
rinya yang masih memegang pedang diangkat ke udara.
Sementara tangan kanannya diletakkan di atas pinggang
dengan mata membeliak angker.
"Sahabatku Nenek Selir... Kau ingat ucapan Dewi Kea-
badian"! Aku takut untuk mengulanginya. Tapi rasanya
kau masih tidak lupa..." Paduka Seribu Masalah angkat su-
ara. Nenek Selir mendengus lalu tanpa berpaling ke arah Pa-
duka Seribu Masalah, dia berteriak.
"Jangan ada yang berani buka suara ikut campur! Dan
jangan mimpi aku percaya membabi buta dengan ucapan
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
keterangan orang! Di tempat ini tidak ada urusan yang ada
hubungannya dengan masalahku! Kalaupun ada, itu adalah
urusan selembar nyawa manusia bangsat ini!" Pedang di
tangan Nenek Selir bergerak lurus menunjuk ke arah wajah
laki-laki berjubah abu-abu tanpa lengan yang bukan lain
adalah Wang Su Ji alias Manusia Tanah Merah, kkekasih
Nenek Selir semasa masih muda. Paduka Seribu Masalah
perdengarkan tawa pendek lalu berucap.
"Sahabatku Nenek Selir... Percaya membabi-buta me-
mang tidak baik. Tapi tidak ada salahnya kalau kau mem-


Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buktikan dahulu... Siapa tahu kau menemukan satu kebe-
naran!" "Apa yang perlu dibuktikan, hah"!" bentak Nenek Selir
seraya sentakkan wajah berpaling ke arah Paduka Seribu
Masalah. "Aku tak berani mengatakannya. Karena kau tentu su-
dah tahu apa yang seharusnya kau buktikan!"
"Tidak ada yang perlu dibuktikan di tempat ini! Tidak
ada manusia yang layak mendapat pembuktian di tempat
ini! Kau dengar"!"
"Tapi. . . . "
"Sialan! Kau pikir di tempat ini ada makhluk yang dika-
takan Dewi sialan tadi"! Coba tunjuk! Yang mana"! Yang
mana"! Dia.."!" Tangan kiri Nenek Selir yang memegang pe-
dang bergerak memutar menunjuk lurus ke arah Putri Pu-
sar Bumi seraya perdengarkan cekikikan. Lalu sambungi
ucapannya. "Kau kira dia pantas menjadi anakku, hah..."! Coba ang-
kat kepalamu dari belakang rangkapan kedua kakimu! Lalu
lihat baik-baik! Apa kesamaan antara aku dengan dia"! Wa-
jahnya..."! Gumpalan dagingnya"! Atau potongan tubuh-
nya"!"
"Yu Sin Yin..." Manusia Tanah Merah buka mulut
dengan suara pelan.
"Aku telah dengar apa yang diucapkan Dewi Keabadian.
Harap maafkan aku kalau aku sendiri tidak tahu bagaima-
hnpuslt! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
na mengenali anak yang kau lahirkan meski itu adalah da-
rah dagingku. Karena aku tidak menyaksikannya saat kau
melahirkan... Jadi kuharap. . . ."
"Tutup mulutmu, Wang Su Ji! Urusanmu denganku ada-
lah masalah nyawa! Bukan masalah anak yang kulahirkan!"
"Seperti sudah kukatakan, aku memang bersalah pada-
mu... Tapi kau harus sadar, bagaimanapun juga yang kau
lahirkan adalah anakku!"
"Hem.... Begitu kau sudah tidak laku lagi, lalu kau me-
rengek-rengek padaku dengan alasan anak! Jangan mimpi!
Jangan berharap!"
"Jangan salah duga, Yu Sin Yin... Kalaupun aku berha-
rap bisa bertemu dengan anak kita, hal itu karena aku
ingin menebus kesalahanku... Aku akan minta maaf... Sete-
lah itu mati pun aku akan tenang."
"Kau terlalu bermimpi, Wang Su Ji!" Nenek Selir putar
arah pedangnya pada sosok Wang Su Ji alias Manusia Ta-
nah Merah. Di lain pihak, entah karena apa Manusia Tanah Merah
tenang-tenang saja menghadapi acungan pedang Nenek Se-
lir. Bahkan kakek ini hanya memandang sekilas. Lalu arah-
kan pandang matanya pada Bidadari Tujuh Langit.
"Hem.... Pandanglah sepuasmu perempuan itu! Karena
hari ini terakhir kalinya kau dapat memandang perempuan
cantik!" "Ah... Ah... Tampaknya dia masih cemburu! Hik... Hik...
Hik...!" Tiba-tiba Putri Pusar Bumi angkat suara seraya ter-
tawa cekikikan.
Tampang Nenek Selir berubah merah mengelam. Sepa-
sang matanya mendelik. Namun sebelum nenek ini sempat
buka mulut, Paduka Seribu Masalah perdengarkan suara.
"Sahabatku Nenek Selir... Sebenarnya aku takut untuk
berkata. Tapi demi mendengar keterangan Dewi Keabadian,
aku percaya di tempat ini ada seseorang yang selama ini
kau cari!"
"Jahanam! Sedari tadi kau hanya bicara tapi tak mau
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
tunjuk orang!" bentak Nenek Selir.
"Sahabatku... Seandainya aku tunjuk orang, kau mau
percaya"!"
Nenek Selir terdiam dengan dada berdebar. Entah kare-
na apa mendadak dia ikut arahkan pandang matanya pada
Bidadari Tujuh Langit yang saat itu duduk di antara Bida-
dari Delapan Samudera, serta Bidadari Pedang Cinta, dan
Dayang Tiga Purnama.
Bidadari Tujuh Langit tampak tersentak kaget menden-
gar ucapan Paduka Seribu Masalah serta mendapati tata-
pan Manusia Tanah Merah dan Nenek Selir. Dia balas me-
natap silih berganti pada Manusia Tanah Merah dan Nenek
Selir dengan menghela napas panjang.
"Bidadari Tujuh Langit!" Mendadak Nenek Selir berucap
dengan suara lantang. "Siapa kau sebenarnya"!"
Yang ditanya berpaling sesaat pada anak-anaknya. Lalu
berucap pelan. "Apa maksudmu, Nek"!"
"Bodoh! Aku tanya siapa kau sebenarnya"! Dari mana
asal-usulmu! Siapa orangtuamu!"
*ak* SEPULUH BIDADARI Tujuh Langit terdiam beberapa saat dengan
kepala ditengadahkan. Lalu berucap dengan suara agak pa-
rau. "Waktu masih kecil aku hidup bersama seorang laki-laki
tua dan seorang nenek. Pada mulanya aku menduga mere-
ka berdua adalah orangtuaku. Tapi begitu si laki-laki akan
meninggalkan dunia, dia sempat memberi tahu kalau sebe-
narnya diriku bukanlah anak kandungnya..." Bidadari Tu-
juh Langit hentikan ucapan dengan kepala diluruskan dan
pandang matanya menerawang jauh. Saat kemudian dia
lanjutkan ucapannya.
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
"Aku berusaha bertanya pada nenek. Tapi aku tidak
memperoleh jawaban pasti. Dia tidak tahu-menahu soal di-
riku. Yang jelas ketika suaminya pulang, dia telah memba-
waku. Sang suami mengatakan aku adalah anak dari saha-
batnya! Aku telah berusaha mencari tahu. Namun hingga
aku besar, aku tidak mampu menyingkap siapa kedua
orangtuaku sebenarnya..."
Nenek Selir tampak tercekat diam dengan mata melotot
tak berkesip. Dada nenek ini laksana dihimpit beban berat
hingga untuk beberapa lama dia tak kuasa buka mulut
meski mulutnya telah terbuka hendak berucap.
"Yu Sin Yin...." Manusia Tanah Merah berkata pada Ne-
nek Selir dengan menyebut nama asli si nenek.
"Bukankah kau bisa mengenali anakmu"!"
Nenek Selir berpaling pada Manusia Tanah Merah. Un-
tuk beberapa lama kedua orang tua ini saling perang pan-
dang. Dendam yang sudah tertanam di dasar hati si nenek
memang sukar dihapus begitu saja. Namun entah mengapa,
begitu agak lama saling berpandangan, perlahan-lahan hati
si nenek berubah. Malah kejap lain dia berpaling dengan
bahu sedikit terguncang.
Manusia Tanah Merah memberanikan diri melangkah
mendekati. Dan begitu mendapati si nenek tidak buka mu-
lut atau membuat gerakan, Manusia Tanah Merah pegang
lengan kanan Nenek Selir seraya berkata.
"Yu Sin Yin.... Kau jangan merasa bersalah dalam hal
ini. Semuanya adalah berpulang pada diriku! Akulah yang
harus menanggung semua dosa ini! Sekarang harap kau ti-
dak keberatan untuk membuktikan siapa sebenarnya Bida-
dari Tujuh Langit... Kau tidak menolak permintaanku, bu-
kan..."! Percayalah. Setelah kita tahu siapa anak kita, aku
akan menepati ucapanku rela mati di tanganmu..."
Nenek Selir menghela napas panjang. Perlahan dia lu-
ruhkan pegangan tangan Manusia Tanah Merah. Lalu me-
langkah ke arah Bidadari Tujuh Langit yang duduk dengan
sosok bergetar.
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
"Bidadari Tujuh Langit..," kata Nenek Selir begitu tegak
hanya beberapa langkah di hadapan Bidadari Tujuh Langit.
"Kau tidak keberatan kalau aku...."
"Nenek Selir..." ujar Bidadari Tujuh Langit sebelum si
nenek selesaikan ucapan.
"Aku telah menemukan anak-anakku dengan bantuan
beberapa orang. Sekarang aku tidak akan keberatan untuk
membantumu! Katakan apa yang akan kau lakukan...."
"Berbaliklah! Lalu singkapkan rambutmu hingga teng-
kukmu kelihatan!"
Bidadari Tujuh Langit anggukkan kepala. Tanpa buka
mulut dia putar diri. Kedua tangannya diangkat kebelakang
lalu sibakkan uraian rambutnya yang telah memutih hingga
tengkuknya kelihatan.
Sepasang mata si nenek tampak membeliak besar begitu
melihat tepat pada tengkuk Bidadari Tujuh Langit sebuah
lingkaran hitam menyerupai tahi lalat.
"Aku tidak akan pernah lupa! Anakku memiliki tanda
lingkaran hitam pada tengkuknya! Jadi..." Sosok Nenek Se-
lir bergetar. Kedua lututnya goyah. Pedang di tangan ki-
rinya perlahan-lahan jatuh ke atas tanah. Saat bersamaan
dia melompat ke arah Bidadari Tujuh Langit.
"Aku percaya... Aku percaya... Kau adalah anakku!" de-
sis Nenek Selir seraya pandangi lingkaran hitam di tengkuk
Bidadari Tujuh Langit. Saat kemudian dia ulurkan kedua
tangannya membalikkan sosok Bidadari Tujuh Langit.
Begitu Bidadari Tujuh Langit berputar menghadap si ne-
nek, Nenek Selir segera saja merangkulnya lalu menciumi
dengan tangis meledak!
"Anakku... Maafkan aku yang selama ini tidak..."
Bidadari Tujuh Langit tercekat dengan kedua tangan
membalas pelukan tangan si nenek.
"Tak ada yang harus dimaafkan, Ibu..." Akhirnya Bidada-
ri Tujuh Langit berhasil buka suara. Sepasang matanya
berlinang. "Kalau anak-anakku mau mengakui dan memaafkan
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
aku, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama pada di-
rimu?" Melihat apa yang terjadi, Manusia Tanah Merah tegak
termangu dengan mulut terkancing. Dia seolah tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Hingga pada akhirnya Nenek Se-
lir berpaling seraya berkata.
"Wang Su Ji.... Mengapa kau masih tegak seperti pa-
tung"!"
Manusia Tanah Merah usap mukanya. Lalu perlahan
melangkah mendekat. Namun belum sampai ke hadapan
Nenek Selir yang masih memeluk Bidadari Tujuh Langit,
Bidadari Pedang Cinta, Dayang Tiga Purnama, dan Bidadari
Delapan Samudera sudah mendahului menghambur me-
nyongsong Manusia Tanah Merah lalu sama berebutan
memeluk. "Kek...I" Hampir bersamaan ketiga gadis itu berucap.
Manusia Tanah Merah tak kuasa lagi menahan gejolak
dadanya. Seraya membelai rambut ketiga gadis yang meme-
luknya, kakek ini tersedu-sedu seraya berucap.
"Cucu-cucuku.... Aku tak tahu harus berkata apa atas
pengakuan kalian ini...."
"Galuh Sembilan Gerhana, Galuh Empat Cakrawala..."
Datuk Kala Sutera berkata pada kedua gadis yang berada di
sampingnya. "Kau juga adalah cucu kakek itu...."
Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Cakrawala
segera bergerak bangkit. Lalu berlari dan ikut menghambur
dalam pelukan Manusia Tanah Merah.
Begitu Galuh Sembilan Gerhana dan Galuh Empat Ca-
krawala menghambur ke arah Manusia Tanah Merah, Da-
tuk Kala Sutera perlahan-lahan seret dirinya dengan duduk
ke arah Bidadari Tujuh Langit. Lalu jatuhkan diri berlutut
di hadapan Nenek Selir.
"Ibu... Aku juga minta maaf... Terimalah juga salam
hormatku. . . "
Nenek Selir berpaling dengan anggukkan kepala. Lalu
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
pegangi bahu Datuk Kala Sutera dan membantunya untuk
bergerak angkat wajahnya.
"Menantuku... Jangan ucapkan permintaan maaf. Diri ki-
ta semua memiliki andil dosa dalam hal ini..."
Bidadari Tujuh Langit ikut menoleh pada Datuk Kala Su-
tera. Keduanya sesaat saling pandang. Lalu secara bersa-
maan tangan keduanya bergerak dan saling genggam den-
gan mata sama linangkan air mata.
"Bidadari Tujuh Langit... Mari kita sambut Ayah kita...,"
kata Datuk Kala Sutera. Bidadari Tujuh Langit tersenyum
dengan anggukkan kepala. Saat kemudian, masih dengan
berpegangan tangan, kedua orang Ini bergerak seret diri
masing-masing ke arah Manusia Tanah Merah.
"Cucu-cucuku... Aku harus menemui ibu dan ayahmu
dahulu..." Manusia Tanah Merah berbisik begitu melihat
Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera bergerak ke
arahnya. Kelima gadis yang tengah merangkul sosok Manusia Ta-
nah Merah sama lepaskan pelukan masing-masing. Saat
kemudian Manusia Tanah Merah melompat ke hadapan Bi-
dadari Tujuh Langit dan Datuk Kala Sutera. Lalu memeluk
keduanya. Mungkin gembira dan haru, ketiga orang itu tidak ada
yang sempat buka suara. Ketiganya hanya berpelukan
dengan sama terisak-isak.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar orang bersua-
ra. "Nenek... Mulai saat ini kuharap tidak ada lagi kebencian
di hatimu pada Kakek! Dan kami semua ingin lihat kalian
berdua saling berpelukan..." Yang bersuara adalah Bidadari
Delapan Samudera.
"Aku tak mau!" Nenek Selir menyahut dengan tampang
merah padam dan cemberut.
"Cucu-cucuku... Harap jangan terlalu banyak meminta
pada nenekmu... Semua kejadian ini berpangkal pada diri-
ku yang tidak menghiraukan Nenek dan Ibu kalian. Penga-
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
kuan kalian semua pada diriku sudah merupakan sesuatu
yang lebih. Dan dengan peristiwa ini, rasanya mati pun aku
tersenyum. Dan tak ada yang lebih berhak atas nyawaku
selain nenekmu..." Berkata Manusia Tanah Merah seraya


Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lepaskan pelukan Bidadari Tujuh Langit dan Datuk Kala
Sutera. Lalu perlahan-lahan melangkah ke arah Nenek Se-
lir. Manusia Tanah Merah berhenti tiga langkah dihadapan
si nenek. Dia memandang sesaat lalu menunduk dan ber-
kata. "Yu Sin Yin... Tuhan telah memberiku lebih dari apa
yang selama ini selalu kuminta... Seperti ucapanku, seka-
rang aku pasrahkan diri ini padamu..."
Nenek Selir menatap tajam. Dia tidak menyahut ucapan
orang. Lalu alihkan pandangannya pada Bidadari Tujuh
Langit dan kelima cucunya.
"Sahabat sekalian... Apa yang selama ini tertutup sudah
terbuka jelas. Rasanya kurang bijaksana kalau semua ini
masih harus dicampuri dengan balas dendam dan kesom-
bongan diri... Bukankah lebih baik kita melupakan apa
yang telah terjadi dan menebus semuanya dengan hidup
berdampingan secara damai" Kita semua tidak tahu kapan
datangnya ajal. Sebelum hal itu terjadi, kurasa tidak ada
yang lebih baik daripada saling memaafkan..." Paduka Se-
ribu Masalah perdengarkan suara.
"Nek... Harap tidak usah malu-malu... Kalau seandainya
kakek di depanmu harus mati, aku yakin kau akan terus
tersiksa seumur-umur..." Pendekar 131 yang sedari tadi
hanya diam ikut buka suara.
"Lagi pula rasanya tidak mungkin orang akan menemu-
kan cinta di kala usia sudah bau tanah begitu rupa! Hik....
Hik.... Hik...! Jika kesempatan ini disia-siakan, hanya ada
satu kemungkinan yang terjadi..." Putri Pusar Bumi me-
nyahut. "Betul!" Joko kembali buka mulut menimpali. "Kemung-
kinannya adalah pasti sudah ada orang ketiga yang me-
nunggu dengan membawakan sekeranjang cinta... Cuma
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
aku tidak begitu yakin. Masalahnya, kakek-kakek yang ja-
tuh cinta biasanya hanya mencari sesuatu! Lebih dari itu,
aku khawatir. Seandainya kakek yang menunggu Nenek Se-
lir tahu bagaimana paras kelima cucunya, jangan-jangan
dia nanti berpaling..."
Nenek Selir berpaling dengan pasang tampang angker.
"Kau pikir aku punya laki-laki lain, hah"!"
"Kalau tidak, mengapa kau tidak memaafkan sahabatku
itu"!" Iblis Pedang Kasih berujar.
"Siapa tidak memaafkan"!" Si nenek balik bertanya.
"Nah, apa lagi yang kau tunggu Kakek Manusia Tanah
Merah"!" Joko menyahut.
Manusia Tanah Merah melirik ke arah murid Pendeta
Sinting. Lalu perlahan bergerak mendekati Nenek Selir.
Yang didekati alihkan pandangan ke jurusan lain dengan
wajah berubah. Manusia Tanah Merah berbisik seraya pe-
gang kedua lengan si nenek.
"Yu Sin Yin... Terima kasih kau mau memaafkan
diriku..."
Nenek Selir tidak menjawab. Namun sikapnya jelas kalau
dia sudah mampu melupakan perasaan dendam kesumat-
nya yang telah mendera dirinya selama berpuluh-puluh ta-
hun. "Wan Su Ji! Jangan berbuat memalukan di depan
orang!" Tiba-tiba Nenek Selir mendesis tajam begitu mera-
sakan wajah Manusia Tanah Merah mendekati wajahnya.
"Ah... Ah... Tampaknya kita tidak jadi melihat adegan se-
ru...." Putri Pusar Bumi berteriak lalu tertawa cekikikan
hingga gumpalan daging pada wajah dan perutnya bergun-
cang-guncang. "Ah, Itu karena di sini banyak mata yang melihat. Kelak
kalau sudah berduaan, aku percaya, bukan si kakek yang
mendekat tapi si nenek yang minta!" Joko menimpali lalu
ikut tertawa. "Sialan! Kau kira aku masih memimpikan hal-hal begitu,
hah"!" Nenek Selir membentak sambil luruhkan kedua tan-
hnpuslt! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
gan Manusia Tanah Merah yang memegangi bahunya.
"Ah Sudahlah... Apa yang nanti akan dilakukan kedua-
nya, itu menjadi urusan mereka! Yang jelas urusan di tem-
pat ini kurasa sudah selesai! Dan tiba waktunya aku mohon
diri!" Paduka Seribu Masalah buka suara. Lalu putar du-
duknya menghadap murid Pendeta Sinting dan berkata.
"Pendekar 131! Sampaikan salam perkenalanku pada
semua sahabat di negeri asalmu. Kalau nanti ada waktu
dan takdir menuliskan, bukan tak mungkin kita akan ber-
temu lagi..."
"Paduka Seribu Masalah... Sebenarnya aku ingin menga-
jakmu sekarang juga! Aku bukan saja mempunyai banyak
kenalan sahabat. Tapi juga memiliki beberapa nenek-nenek
yang wajahnya masih sedap untuk dilihat! Bodi yang layak
untuk memikat!"
"Terima kasih, Anak Muda... Sebenarnya itu tawaran ba-
gus. Tapi aku masih punya pekerjaan. Jadi untuk sementa-
ra waktu aku harus menunggu hingga saat yang baik untuk
berkunjung ke negeri asalmu!"
Habis berucap begitu, Paduka Seribu Masalah putar du-
duknya. "Sahabat sekalian. Aku harus pergi sekarang. Selamat
tinggal..." Paduka Seribu Masalah membuat satu kali gera-
kan. Sosoknya melesat dengan masih duduk rangkapkan
kaki tinggalkan tempat itu.
Hanya sesaat setelah Paduka Seribu Masalah berlalu,
Putri Pusar Bumi buka mulut seraya memandang pada
Dayang Tiga Purnama.
"Cucuku Dayang Tiga Purnama... Hari ini kau telah me-
nemukan apa yang selama ini kau cari. Dengan begitu tu-
gasku telah selesai..."
"Eyang...!" Dayang Tiga Purnama yang selama ini menja-
di murid dan diasuh oleh Putri Pusar Bumi berlari mende-
kati. "Sebenarnya . . . "
"Aku tahu..." Putri Pusar Bumi sudah memotong ucapan
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
Dayang Tiga Purnama.
"Sekarang yang penting kau telah bertemu dengan kedua
orangtua dan kakek nenekmu. Jangan terburu mengambil
keputusan... Dan kalaupun kau ingin bertemu denganku,
kau tahu di mana dapat menemuiku..."
Dayang Tiga Purnama anggukkan kepala.
"Eyang... Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Se-
telah aku menghabiskan hari bersama kedua orangtua, ne-
nek-kakek, dan saudara-saudaraku, aku akan datang me-
nemuimu. . . "
Putri Pusar Bumi anggukkan kepala. Lalu berpaling pada
saudaranya Iblis Pedang Kasih. Saat itulah Bidadari Pedang
Cinta berkelebat dan tegak dihadapan Iblis Pedang Kasih
seraya berucap.
"Eyang... Kalau kau tidak keberatan, kuharap kau mau
ikut bersama kami..."
Iblis Pedang Kasih yang selama ini mengasuh Bidadari
Pedang Cinta geleng kepala.
"Cucuku Bidadari Pedang Cinta... Setiap pertemuan pas-
ti ada perpisahan. Lagi pula kau telah bertemu dengan
orang yang lebih berhak atas dirimu... Aku ikut gembira
dengan peristiwa ini meski sebenarnya aku juga berat un-
tuk berpisah denganmu... Jagalah dirimu baik-baik. Dan
kalau ada kesempatan, aku akan senang jika kau datang
berkunjung ke tempatku. . . "
"Putri Pusar Bumi, Iblis Pedang Kasih... Kuucapkan te-
rima kasih atas semua waktu dan jerih payahmu untuk
membesarkan anak-anakku. Jika nanti ada kesempatan,
kami semua akan berkunjung ke tempat kalian berdua..."
Bidadari Tujuh Langit berucap seraya menjura hormat.
"Aku juga mengucapkan terima kasih!" Nenek Selir me-
nyahut. "Aku berharap kalian berdua cepat dapat pasangan! Un-
tuk sementara waktu sebaiknya kalian berdua menerima
tawaran Pendekar 131! Di negeri asing, tentunya kalian
akan mudah untuk mendapatkan pasangan! Karena bi-
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
asanya orang baru akan menjadi pusat perhatian... Apalagi
jika kalian bertindak gila-gilaan!"
Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih tertawa.
"Aku bukannya unjuk kesombongan. Kalau hanya untuk
cari pasangan, tidak usah jauh-jauh harus ke negeri orang.
Apalagi ditambah dengan bertindak gila-gilaan! Di sini saja
kalau aku mau, banyak kakek-kakek yang antri menunggu
jawaban!" Putri Pusar Bumi berkata. Lalu menoleh pada
Iblis Pedang Kasih.
"Rasanya waktu kita sudah cukup! Kita harus segera
pergi!" Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih sudah putar di-
ri. Namun belum sampai keduanya bergerak lebih jauh,
Pendekar 131 berteriak.
"Tunggu!"
Berbarengan Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih
berpaling. "Jangan menawarkan yang tidak-tidak, Sahabat Muda..!"
Iblis Pedang Kasih yang angkat suara.
"Kalau masalah pasangan, di negeri ini kami berdua su-
dah banyak yang naksir!"
"Bukan itu masalahnya!" ujar Pendekar 131.
"Lalu"!" tanya Iblis Pedang Kasih.
"Aku datang ke negeri ini tanpa sengaja. Aku belum tahu
seluk-beluk negeri ini dengan baik. Jika kalian tidak kebe-
ratan, aku minta petunjuk pada kalian untuk memberi ke-
terangan mana jalan yang harus kuambil agar cepat men-
capai pesisir!"
"Sayang sekali, Anak Muda.... Bukannya aku tidak mau
memberi keterangan. Namun kurasa nantinya ada orang
yang lebih berhak memberi petunjuk!" Putri Pusar Bumi
menyahut. Lalu melirik pada Bidadari Pedang Cinta dan
Dayang Tiga Purnama. Saat lain dia menarik tangan Iblis
Pedang Kasih dan menyeretnya berkelebat tinggalkan tem-
pat itu. Begitu sosok Putri Pusar Bumi dan Iblis Pedang Kasih ti-
hnpuslt! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
dak kelihatan lagi, Joko arahkan pandang matanya pada
Bidadari Pedang Cinta dan Dayang Tiga Purnama.
Sebenarnya Pendekar 131 hendak berkata. Namun entah
karena apa dia batalkan niat untuk buka mulut. Sebaliknya
buru-buru balikkan tubuh lalu berkelebat tinggalkan tem-
pat itu tanpa bicara.
"Hai! Kau kira urusanmu di tempat ini sudah selesai,
hah"!" Mendadak Nenek Selir berteriak.
Joko tersentak kaget. Lalu putar diri menghadap Nenek
Selir dengan tampang berubah heran.
"Apa maksudmu, Nek"!" tanya Joko sambil sapukan
pandangan berkeliling.
"Kau pura-pura tidak tahu atau pura-pura lupa, hah"!"
"Nek! Bukankah urusanmu dengan kakek itu sudah se-
lesai"! Kurasa di antara kita sudah tidak ada yang perlu
diselesaikan! Atau barangkali kau ingin pesan sesuatu pa-
daku"! Maaf, Nek... Bukannya aku tidak mau membawa pe-
sanmu. Aku takut.. Seandainya saja kau masih sendirian,
mungkin aku tak segan menawarkan beberapa saha-
batku...."
"Sialan! Ini urusanmu!"
"Hah... Urusan apa, Nek"!"
Nenek Selir tidak menjawab. Sebaliknya berpaling silih
berganti pada Bidadari Pedang Cinta dan Bidadari Delapan
Samudera serta Dayang Tiga Purnama.
Gerakan kepala Nenek Selir membuat Joko tersentak ka-
get. "Astaga! Jangan-jangan Ini ada kaitannya dengan per-
soalan ketiga gadis itu! Ah... Aku harus segera tinggalkan
tempat ini! Urusannya akan jadi ruwet dan tak karuan!" Di-
am-diam Pendekar 131 membatin. Lalu tanpa buka mulut
lagi dia berlari tinggalkan tempat itu.
*ak* hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
SEBELAS SEBENARNYA Nenek Selir sudah hendak berkelebat
mengejar. Namun Bidadari Delapan Samudera cepat me-
lompat menghadang di depan si nenek dan berkata.
"Nek.... Aku punya hal yang harus kubicarakan dengan
pemuda itu! Harap nenek dan kakek menungguku di tem-
pat ini! Demikian juga Ayah dan Ibu!"
Tanpa menunggu sahutan, Bidadari Delapan Samudera
sudah berkelebat mengejar ke arah mana Pendekar 131
berlari. Melihat apa yang dilakukan Bidadari Delapan Samudera,
Bidadari Pedang Cinta jadi tidak enak hati. Dia berpaling
sesaat pada Nenek Selir dan kedua orang- tuanya.
"Aku harus menjelaskan semuanya! Aku tak ingin ada
perselisihan!" membatin Bidadari Pedang Cinta. Dia sebe-
narnya hendak mengutarakan maksudnya pada Dayang Ti-
ga Purnama yang tegak tidak jauh dari tempatnya. Namun
setelah dipikir sejenak, gadis berbaju hijau ini urungkan
niat. Hingga tanpa buka suara lagi, dia berkelebat mengejar
Bidadari Delapan Samudera.
Mendapati kelebatan Bidadari Delapan Samudera dan
Bidadari Pedang Cinta, diam-diam Dayang Tiga Purnama
Ikut-ikutan jadi merasa tidak enak. Hingga tanpa pikir pan-
jang lagi, gadis yang pernah diasuh oleh Putri Pusar Bumi
ini ikut berlari mengejar.
"Ada apa ini"!" Manusia Tanah Merah bertanya pada Ne-
nek Selir. "Sebelum peristiwa ini, aku telah berjumpa dengan me-
reka. Aku tahu, di antara mereka ada ganjalan hati yang
harus diselesaikan! Kalau tidak, bukan tak mungkin nan-
tinya akan menjadi penghalang persaudaraan!
"Maksudmu"!"
"Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta
serta Dayang Tiga Purnama sama-sama tertarik dengan
pemuda asing sialan itu!"


Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
Seperti diketahui, ketika awal berjumpa dengan murid
Pendeta Sinting, secara diam-diam Bidadari Pedang Cinta
sudah tertarik. Hanya saja karena saat Itu dia bersama Iblis
Pedang Kasih dan baru saja berkenalan, Bidadari Pedang
Cinta tidak berani berterus terang meski sikapnya sudah
berubah. Namun begitu terjadi pertemuan dengan Bidadari Dela-
pan Samudera, Bidadari Pedang Cinta salah duga. Dia
menduga Bidadari Delapan Samudera adalah kekasih Pen-
dekar 131. Apalagi saat itu Joko mengucapkan kata-kata
yang seolah-olah Bidadari Delapan Samudera memang ke-
kasihnya. Di lain pihak, begitu bertemu dengan Joko, diam-diam
Bidadari Delapan Samudera sudah tertarik. Namun begitu
mendengar ucapan Joko, Bidadari Delapan Samudera jadi
salah tanggap. Dia menyangka Bidadari Pedang Cinta ada-
lah kekasih Joko.
Sementara itu, Dayang Tiga Purnama sendiri sebenarnya
juga tertarik dengan murid Pendeta Sinting. Hanya saja ga-
dis ini tidak mau menunjukkan sikap. Lain halnya dengan
Bidadari Delapan Samudera dan Bidadari Pedang Cinta
yang terang-terangan tampak cemburu ketika mengetahui
salah satunya berada berdua-duaan dengan Pendekar 131.
"Ibu.... Jika benar keteranganmu, kita harus mengejar
mereka! Mereka masih muda. Aku takut terjadi apa-apa...
Aku tidak mau pertemuan ini dikacaukan dengan masalah
pemuda itu!" Bidadari Tujuh Langit berkata pada Nenek Se-
lir. Nenek Selir geleng kepala.
"Tidak, Anakku.... Kalau kita ikut campur, justru bukan
mustahil akan terjadi salah paham! Biarkan mereka menye-
lesaikan urusan mereka dengan caranya sendiri! Aku per-
caya. Rasa persaudaraan mereka tentu lebih penting dari-
pada urusan seorang laki-laki!"
"Tapi. . . . "
"Sudahlah, Anakku! Percayalah pada mereka! Kita tung-
hnpuslt! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
gu mereka di sini!"
Sebenarnya Bidadari Tujuh Langit masih ingin mengejar
anak-anak mereka. Sebagai seorang ibu yang baru saja me-
nemukan anak-anaknya, rasa khawatir lebih mendera da-
danya. Apalagi dia maklum, anak-anaknya adalah perem-
puan sementara yang jadi persoalan adalah seorang laki-
laki. Dia juga sadar kalau perempuan akan lebih mendahu-
lukan perasaan daripada akal.
Namun begitu sadar akan keadaan dirinya yang masih
terluka dalam dan telapak kaki kirinya yang terputus sepa-
ro, Bidadari Tujuh Langit terpaksa harus memendam
keinginannya dan akhirnya dengan dada tidak enak dia te-
tap diam di tempat itu.
Sementara itu, walau yakin Nenek Selir tidak mengejar
namun Pendekar 131 tidak mau bertindak ayal. Dia kerah-
kan segenap ilmu peringan tubuhnya dan berlari sekuat
yang dia mampu.
Pada satu tempat agak sepi jauh dari hutan bambu, ba-
ru murid Pendeta Sinting memperlambat larinya setelah be-
rulang kali pulang balikkan kepala menyiasati keadaan.
Dan begitu merasa keadaan benar-benar aman, Joko henti-
kan larinya dan langsung menyelinap sembunyi di balik sa-
tu batangan pohon agak besar.
Pendekar 131 tengadahkan kepala dengan mata dipe-
jamkan dan kedua tangan mengusap wajah dan basah.
"Aku harus segera ke pesisir! Aku tidak mau lagi terlibat
dengan urusan di negeri ini! Apalagi urusannya berkaitan
dengan perempuan! Lebih-lebih lagi mereka adalah sauda-
ra!" Baru saja Joko bergumam begitu, mendadak satu sosok
tubuh berkelebat dan tegak hanya beberapa langkah di ba-
lik mana Joko bersembunyi.
"Pendekar 131! Harap keluar dari balik pohon! Kita perlu
bicara!" Dalam kagetnya, Joko cepat berpaling. Dia melihat Bida-
dari Delapan Samudera tegak dengan mata memandang
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
jauh ke depan. "Pendekar 131! Waktuku tidak banyak.... Kau sendiri
tentu harus segera tinggalkan tempat ini. Maka kuharap
kau segera keluar...!"
Dengan sapukan pandangan berkeliling, perlahan Joko
melangkah keluar dari balik pohon.
Bidadari Delapan Samudera menoleh. Untuk beberapa
saat gadis ini memandang tajam pada murid Pendeta
Sinting. Lalu buka mulut dengan suara lirih dan bergetar.
"Pendekar 131... Harap kau memaafkan atas semua si-
kapku padamu. Terus terang, aku memang tertarik pada-
mu. Tapi aku tidak mau melukai hati saudaraku... Jadi ka-
laupun kau memang punya hubungan dengan saudaraku,
kuharap kau mau menjelaskan bahwa di antara kita tidak
ada hubungan apa-apa!"
Bidadari Delapan Samudera masih menduga kalau anta-
ra Joko dan Bidadari Pedang Cinta benar-benar ada hu-
bungan kekasih.
"Bidadari Delapan Samudera... Ucapan itu tidak perlu
kau katakan. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan...."
"Pendekar 131!" Bidadari Delapan Samudera memotong.
"Harap tidak menutup-nutupi! Ini demi kedamaian persau-
daraanku... Sekali lagi kuharap kau mau mengerti!"
Habis berkata begitu, Bidadari Delapan Samudera ber-
paling ke belakang.
"Aku tahu. Bidadari Pedang Cinta mengejar mengikuti-
ku! Aku harus segera pergi...."
"Pendekar 131! Aku harus segera tinggalkan tempat ini.
Sekali lagi kuharap kau turuti permintaanku...." Bidadari
Delapan Samudera arahkan pandang matanya pada Joko
dengan paksakan diri sunggingkan senyum. Saat lain tanpa
buka mulut lagi gadis berbaju biru ini berkelebat tinggalkan
tempat itu. Joko hendak menahan, namun tampaknya dia bisa
membaca gelagat kepala Bidadari Delapan Samudera. Hing-
ga dia urungkan niat buru-buru berpaling. Saat itulah dari
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
arah seberang terlihat satu sosok tubuh berlari cepat.
"Bidadari Pedang Cinta...," gumam Joko mengenali siapa
adanya sosok yang berkelebat cepat ke arahnya.
"Pendekar 131!" kata sosok yang baru muncul dan me-
mang Bidadari Pedang Cinta adanya begitu tegak beberapa
langkah di hadapan murid Pendeta Sinting.
"Kau tentunya sudah tahu apa hubunganku dengan Bi-
dadari Delapan Samudera. Untuk itu aku berharap kau tadi
sudah menjelaskan padanya!"
"Bidadari... Sebenarnya tidak ada yang perlu dijelaskan!
Dan kuharap kau mau percaya. Aku tidak punya hubungan
tertentu dengan Bidadari Delapan Samudera!"
Bidadari Pedang Cinta menghela napas panjang seraya
sedikit dongakkan kepala.
"Aku tak bisa memastikan apakah ucapannya benar
atau tidak! Seandainya saja hal ini tidak berkaitan dengan
Bidadari Delapan Samudera yang ternyata adalah saudara-
ku sendiri... Tapi aku tidak mau mengambil risiko. Aku
memang tertarik pada pemuda ini. Namun daripada nan-
tinya terjadi hal-hal yang kurang enak dengan Bidadari De-
lapan Samudera, lebih baik aku berusaha melupakannya
walau aku perlu waktu..." Diam-diam Bidadari Pedang Cin-
ta berkata sendiri dalam hati. Lalu berkata.
"Pendekar 131.... Apa pun ucapanmu, seandainya kau
memang punya hubungan, aku tetap meminta agar kau ke-
lak mau menjelaskan sendiri pada Bidadari Delapan Samu-
dera." Mendengar ucapan Bidadari Pedang Cinta, Joko tertawa
pelan. "Kau ini aneh... Kelak kapan yang kau maksud"! Kau ta-
hu. Hari ini aku tengah dalam perjalanan pulang kam-
pung!" Bidadari Pedang Cinta terdiam beberapa lama. Entah
apa yang dirasakan gadis ini. Yang jelas dia menghela na-
pas panjang beberapa kali seraya bergumam tak jelas. Dan
saat lain tanpa buka suara lagi, gadis yang pernah diambil
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
dari Istana Lima Bidadari oleh Iblis Pedang Kasih ini putar
diri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
Hanya beberapa saat setelah sosok Bidadari Pedang Cin-
ta berkelebat, satu sosok tubuh berlari dan tahu-tahu telah
tegak di hadapan Joko.
"Kau akan segera tinggalkan negeri ini"!" tanya sosok
yang baru muncul dan tak lain adalah Dayang Tiga Purna-
ma. "Rasanya memang begitu! Ada pesan untukku"!" Joko
balik bertanya seraya menatap lekat-lekat gadis dihadapan-
nya. Yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya balas
memandang. "Kau tak usah takut mengatakannya..."
Dayang Tiga Purnama geleng kepala. Lalu berkata.
"Aku menemui hanya untuk minta maaf atas tindakanku
tempo hari!"
"Hanya itu!"
Dayang Tiga Purnama terdiam tidak buka suara atau
memberi isyarat dengan gerakan anggota tubuhnya.
Joko tertawa lalau berucap.
"Seharusnya aku yang minta maaf. Karena sejak perte-
muan kita pertama kali, aku telah berdusta padamu..."
Dayang Tiga Purnama tersenyum. Lalu alihkan pan-
dangan dan berujar.
"Kuucapkan selamat jalan..."
"Hanya itu"!"
Dayang Tiga Purnama tidak menyahut. Sebaliknya sege-
ra berlari tinggalkan tempat itu tanpa buka suara.
"Hai! Tunggu!" Joko berteriak menahan. Namun yang di-
teriaki seolah tidak mendengar. Dia terus saja berlari.
"Mengejar gadis itu bukan tak mungkin akan menda-
tangkan bencana baru. Lebih baik aku segera teruskan per-
jalanan pulang. Negeri ini sudah memberikan beberapa
urusan aneh yang sering tidak kumengerti! Tapi aku ber-
syukur karena bisa bertemu dengan gadis-gadis cantik yang
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
anehnya ternyata adalah masih saudara!"
Joko pandangi kelebatan sosok Dayang Tiga Purnama
hingga lenyap. Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan
tempat itu dengan pikiran kembali melayang pada peristiwa
yang menyebabkan dia sampai ke negeri Tibet hingga keja-
dian pertemuan antara anak, ibu, dan cucu yang baru saja
terjadi. Setelah melakukan perjalanan sehari semalam dan ber-
tanya kian kemari, pada akhirnya Pendekar 131 sampai ju-
ga di pesisir. Saat itulah Joko mulai sadar dan merasa ke-
bingungan. "Bagaimana aku harus pulang"! Tak mungkin aku bere-
nang melewati hamparan laut seluas ini! Aku perlu perahu!
Tapi dari mana aku bisa mendapatkan"!" Joko layangkan
pandangan ke bentangan laut luas dihadapannya. Saat itu-
lah dia melihat sebuah perahu bergerak menepi lurus ke
arahnya. Joko pentangkan mata besar-besar dengan sekali mem-
buat gerakan yang serta-merta membawa sosoknya seakan
menyongsong perahu yang tengah menepi.
"Aneh... Perahu itu bergerak menuju kemari! Tapi aku
tidak melihat penumpangnya!" Joko bergumam dengan
memperhatikan gerakan perahu dan meneliti dengan sek-
sama. Perahu yang tengah menuju lurus ke arah Pendekar 131
ternyata memang tidak kelihatan penumpangnya.
"Keanehan apa lagi ini"! Jangan-jangan ini awal babak
baru dari satu hadangan!" Kuduk Joko jadi dingin.
"Kuucapkan selamat tinggal, Anak Muda!" Tiba-tiba ter-
dengar satu suara.
"Kalau ada waktu, negeri ini masih bersedia menerima
kedatanganmu lagi!" Satu suara lain menyahut.
Joko tercekat. Karena dua suara yang terdengar jelas da-
tangnya dari arah perahu yang terus melaju ke arahnya!
"J angan-j angan dugaanku benar!" pikir Joko dengan ma-
ta makin dipentang.
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
Baru saja Joko berpikir begitu, mendadak dari arah pe-
rahu muncul dua sosok tubuh tegak duduk di lantai pera-
hu. "Astaga! Mereka tadi sengaja sembunyikan diri dengan
menelentang di lantai perahu hingga batang hidungnya ti-
dak kelihatan!" Joko mendesis dengan mata makin dije-
rengkan. "Sepertinya aku pernah melihat mereka!" Joko mendelik
makin besar. "Dewa Asap Kayangan! Dewa Cadas Pangeran!" Joko ber-
teriak begitu mampu mengenali siapa adanya kedua orang
yang duduk di lantai perahu.
"Terima kasih kau masih mengenaliku!" Berkata orang
yang duduk di sebelah kanan. Dia adalah seorang laki-laki
berusia lanjut. Pada mulutnya terlihat sebuah pipa yang
kepulkan asap putih. Sementara dipundaknya menyelem-
pang sebuah ikat pinggang besar yang dihiasi beberapa pi-
pa. Kakek ini bukan lain memang seorang tokoh negeri Ti-
bet yang dikenal dengan julukan Dewa Asap Kayangan.
Duduk di sebelah Dewa Asap Kayangan adalah seorang
kakek berpakaian compang-camping. Raut wajah kakek ini
tidak kelihatan karena tepat di hadapan wajahnya terlihat
sebuah batu putih yang digantungkan pada satu tambang
yang berpangkal pada punggungnya. Kakek ini tidak bukan
adalah Dewa Cadas Pangeran.
Habis berkata, Dewa Asap Kayangan bergerak bangkit
disusul kemudian oleh Dewa Cadas Pangeran. Kejap lain


Joko Sableng 43 Karma Manusia Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua kakek ini berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di
hadapan Pendekar 131. Sementara perahu yang ditumpangi
keduanya tampak mengapung di dekat pesisir.
"Pendekar 131!" kata Dewa Cadas Pangeran.
"Kami berdua tidak bisa memberimu bekal apa-apa!
Mungkin hanya perahu itu yang dapat kami berikan sebagai
kenang-kenangan! "
"Ah... Terima kasih! Sebenarnya benda itulah yang
paling kubutuhkan saat Ini!"
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
"Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang hendak kau sam-
paikan"!" Yang bicara adalah Dewa Asap Kayangan.
Joko terdiam dengan dada berdebar tidak enak. Dia
maklum ke mana arah bicara Dewa Asap Kayangan.
"Pasti ini ada hubungannya dengan tawaran mereka
tempo hari yang memintaku untuk mengawini Dewi Bunga
Asmara! Apa yang harus kukatakan pada mereka?"
Selagi Joko membatin begitu, Dewa Cadas Pangeran su-
dah berkata. "Anak muda.... Lupakan urusan kawin tempo hari! Na-
mun kau harus tahu. Seandainya saat itu kau mau mene-
rima, mungkin kau tidak akan terlibat jauh dengan urusan
para gadis-gadis Itu! Mereka tidak akan terlalu berharap
padamu karena mereka tahu jika kau telah memiliki istri!"
Sambil berkata kepala Dewa Cadas Pangeran bergerak
berputar. "Lihat! Mereka datang untuk mengucapkan selamat jalan
padamu! Tapi aku tahu. Mereka sebenarnya ingin lebih da-
ripada hanya mengucapkan selamat jalan...." Dewa Cadas
Pangeran sambungi ucapannya.
Pendekar 131 kernyitkan kening. Lalu gerakkan kepala
mengikuti gerakan kepala Dewa Cadas Pangeran. Joko ter-
surut kaget ketika di ujung seberang utara sana dia melihat
seorang gadis berbaju hijau tegak dengan mata memandang
ke arahnya. "Bidadari Pedang Cinta..." Joko mendesis dalam hati
mengenali siapa adanya gadis berbaju hijau.
Joko menghela napas. Lalu teruskan gerakan kepala.
Lagi-lagi dia tersentak ketika di ujung sebelah barat dia me-
lihat seorang gadis berbaju biru tegak dengan kepala sedikit
mendongak. "Bidadari Delapan Samudera!" gumam Joko dengan sua-
ra bergetar. "Masih ada satu lagi, Anak Muda!" ujar Dewa Cadas
Pangeran ketika Joko hendak arahkan pandangannya kem-
bali pada sosok Bidadari Pedang Cinta.
hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
Joko hentikan gerakan kepalanya yang akan berpaling
pada Bidadari Pedang Cinta. Lalu teruskan berpaling ke
arah samping. Di sana tegak seorang gadis berwajah cantik
mengenakan pakaian warna ungu.
"Astaga! Dayang Tiga Purnama!" Joko mengenali siapa
adanya gadis berbaju ungu.
"Pendekar 131! Saatnya kau pulang!" Dewa Asap Kayan-
gan berujar. "Mereka memang menarik. Tapi kalau kau turuti keingi-
nan, aku tidak bisa menjamin apakah nanti kau bisa pu-
lang ke negeri asalmu atau tidak!" Dewa Cadas Pangeran
menimpali. Pendekar 131 anggukkan kepala.
"Terima kasih atas nasihat kalian berdua. Sekarang aku
harus pergi! Sampaikan salamku pada Dewi Bunga Asma-
ra!" Dewa Asap Kayangan dan Dewa Cadas Pangeran sama
anggukkan kepala. Joko menjura hormat. Lalu sapukan
pandangan ke arah Bidadari Pedang Cinta, Bidadari Dela-
pan Samudera, dan Dayang Tiga Purnama. Joko tersenyum
lalu balikkan tubuh dan berkelebat ke arah perahu.
Begitu tegak di atas perahu, Joko lambaikan kedua tan-
gannya. Bidadari Pedang Cinta perlahan angkat tangan ka-
nannya lalu membalas lambaian tangan Joko. Saat bersa-
maan Bidadari Delapan Samudera ikut angkat tangan ka-
nannya dan melambai. Sementara Dayang Tiga Purnama
hanya tegak diam. Namun pandang matanya terus tak ber-
kesip menatap pada sosok Pendekar 131 yang perlahan-
lahan balikkan tubuh sebelum akhirnya dibawa melaju oleh
perahu. SELESAI hnpu?t! urai-n-:uukzis-:Lulog s pluLculn
Segera terbit: DARAH KERAMAT Scan: Clickers Editor: Raden Restu Jagad
PDF: Abu keisel
https://www.faceb00k.com/D
uniaAbuKeisel kitty:fsiziuntaahukuisdlblogspalcutn
Bukit Pemakan Manusia 17 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2
^