Pencarian

Rahasia Makam Mahesa 1

Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa Bagian 1


1 PRINGGO MINTA KAWIN
ATU MESUM tertawa merdu sambil menggeliakan
tubuhnya hingga menambah rangsangan dalam diri
R pemuda anak pemilik perkebunan tebu yang kaya
raya itu. "Anak Muda, siapa namamu...!" bertanya sang ratu
seraya menggelitik telinga pemuda itu dengan ujung lidahnya.
"Pringgo, namaku Pringgo. Nama jelek," jawab pemuda itu seperti minta dimanja.
"Tidak jelek. Namamu bagus. Kau cakap. Aku suka padamu."
"Betulkah...?" tanya Pringgo.
"Eh, aku tidak berdusta. Ngg... apakah kau pernah bermesraan dengan perempuan
sebelum ketemu aku?"
"Tidak."
"Pernah tidur dengan perempuan sebelumnya?" tanya sang ratu lagi.
"Apa lagi itu!" sahut Pringgo.
Ratu Mesum tertawa. "Aku tahu kau tidak dusta. Aku akan ajarkan padamu."
"Ajarkan apa?"
"Lihat saja nanti," bisik perempuan cantik itu.
"Dengar, aku harus memanggilmu apa" Aku tidak sudi menyebutmu Ratu Mesum," kata
Pringgo pula. "Terserah kau mau panggil aku apa."
"Kau berpakaian merah. Bagaimana kalau kupanggil Mawar Merah?"
Perempuan itu kembali tertawa. Hatinya terasa senang juga. Barisan gigi-giginya
tampak rata dan putih membuat Pringgo blingsatan dan mencium mulut perempuan
itu. "Aku senang nama itu. Kau boleh panggil aku begitu,"
kata sang ratu yang kini diberi nama Mawar Merah. Sang mawar lalu himpitkan
tubuhnya ke badan Pringgo hingga pemuda ini rebah dan keduanya terguling di atas
ranjang. Menjelang dinihari, ketika udara di luar dingin sekali, Mawar Merah lepaskan
rangkulannya dari tubuh Pringgo lalu turun dari tempat tidur dan kenakan
pakaiannya. Begitu selesai berpakaian dia mendekati tempat tidur kembali dan sesaat pandangi
wajah Pringgo. "Anak muda," kata Mawar Merah dalam hati. "Kau telah memberikan kepuasan padaku.
Kau hebat. Tidak seperti laki-laki lain. Lemah pucuk. Kau luar biasa. Sayang,
apapun kehebatanmu kau terpaksa harus mati di tanganku!"
Ratu Mesum lalu ulurkan tangan kanannya ke arah
leher Pringgo, siap untuk mencekik matinya. Justru saat itu si pemuda tampak
membuka kedua matanya, memandang pada perempuan yang sangat memikatnya itu,
tersenyum dan berkata: "Hai, kulihat kau sudah rapi berpakaian...."
Ratu Mesum alias Mawar Merah terpaksa batalkan niat-nya untuk membunuh dan tarik
pulang tangannya kembali.
Pringgo bangun dan duduk di tepi ranjang masih tersenyum tanpa mengetahui bahaya
maut yang barusan meng-ancamnya. "Kau hendak ke mana, Mawar?"
Sesaat perempuan putih cantik itu tak bisa menjawab.
Hanya dalam hati dia berkata, "Aih kenapa aku jadi tak tega membunuh pemuda satu
ini?" "Kau mau pergi ke mana" Kau hendak meninggalkan
aku Mawar?" ujar Pringgo lalu berdiri dan menekap pipi perempuan itu dengan
kedua tangannya.
"Aku harus pergi Pringgo."
Pemuda itu kaget. Lalu gelengkan kepalanya. "Tidak Mawar, kau tidak boleh pergi.
Dengar, aku akan temukan kau dengan ayah dan ibu. Aku minta akan minta agar kita
dikawinkan. Pasti mereka akan menyetujui dan mengadakan pesta besar-besaran. Aku
anak lelaki satu-satunya.
Kita akan hidup bahagia Mawar...."
Ratu Mesum tak menjawab. Hatinya mendorong-dorong agar dia segera membunuh
pemuda itu. Tapi entah
mangapa sampai saat itu masih juga belum dilakukannya.
"Mawar, kenapa kau diam saja?" tanya Pringgo lalu menciumi wajah perempuan itu.
"Aku tak bisa memenuhi permintaanmu," menerangkan Mawar Merah.
"Kenapa tidak bisa" Kau tidak suka padaku?"
"Aku suka padamu. Hanya saja ... aku terpaksa harus pergi."
"Terpaksa harus pergi" Bagaimana ini. Aku tak mengerti.
Atau sebenarnya kau khawatir orang tuaku tak mau menerimamu sebagai menantu?"
"Bukan, bukan karena alasan itu. Aku benar-benar haus pergi."
Pringgo lantas saja memeluk tubuh perempuan yang kencang tapi lembut itu erat-
erat sambil berulang kali menyebut namanya. Pemuda ini benar-benar takut
kehilangan si cantik jelita ini.
"Katakan saja sebenarnya kau tak suka padaku. Kau punya kekasih lain...." Pringgo
terduduk lemas di atas tempat tidur sambil menutupkan kedua tangannya ke muka.
Dia seperti berusaha menahan tangis. Menyaksikan ini hiba juga hati sang ratu
yang biasanya keras dan kejam itu. Satu hal yang tak pernah dialaminya
sebelumnya. Memang sebelumnya tak ada pemuda yang begitu disukai-nya seperti yang satu ini.
Umumnya mereka menemui ajal di tangannya setelah merasa puas. Mawar Merah mem-
belai rambut Pringgo.
"Kita tak mungkin kawin, Pringgo. Orang tuamu pasti tak setuju. Mereka sama
sekali tidak mengenal siapa aku atau asal usulku. Kalau mereka ingin
mengawinkanmu, tentu bukan dengan aku. Tapi dengan seorang gadis turunan
bangsawan, kaya raya dan cantik jelita."
"Tidak! Aku bersumpah tidak akan kawin dengan siapa pun selain kau!"
"Ah, kalau begini jadi repot urusannya," kata Mawar Merah dalam hati. "Baiknya
kubunuh saja dia saat ini juga!" Perempuan ini lalu luruskan jari-jari
tangannya. Ketika dia siap ayunkan pinggiran tangan untuk menghantam hancur kepala pemuda
itu tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk orang dari luar.
"Pringgo!" terdengar suara laki-laki memangil. Suara ayah pemuda itu. "Pringgo,
kudengar suara orang di dalam.
Kau bercakap-cakap dengan siapa?"
Pringgo kaget, memandang ke pintu. Ratu Mesum tegak dengan waspada. Kalau
terpaksa dia tak akan segan-segan membunuh anak dan ayahnya itu. Pringgo
kedipkan matanya lalu membuka mulut: "Tak ada siapa-siapa di sini ayah.
Mungkin ayah mendengar suaraku mengingau."
Di luar kamar sang ayah termangu sesaat. Sambil ucap-ucap dagunya dia berkata,
"Kalau begitu tidurlah kembali.
Besok pagi-pagi sekali kita harus pergi ke kebun." Sesaat orang tua ini masih
berdiri di depan pintu itu dan geleng-gelengkan kepalanya. "Aneh, jelas kudengar
anak itu seperti bicara dengan seseorang. Tapi yah, dengan siapa pula dia
bicara. Mungkin telinga ini sudah mulai macam-macam." Lalu orang tua ini
tinggalkan ambang pintu kamar puteranya.
Pringgo berpaling dan tersenyum pada Mawar Merah lalu memeluk perempuan ini
seraya berkata, "Mawar, kau tidak akan pergi bukan" Kau tidak boleh meninggalkan
aku. Aku akan bahagia jadi suamimu dan kau akan
bahagia jadi istriku. Kau harus percaya hal itu. Ak akan cari hal yang baik
bagaimana memperkanalakanmu dengan kedua orang tuaku...."
"Eh, kau sungguhan dengan semua ucapanmu itu
Pringgo?" tanya Mawar Merah.
"Aku bersedia bersumpah. Atau katakan apa yang harus kulakukan agar kau mau
percaya." Perlahan-lahan Mawar Merah duduk di tepi tempat tidur.
Sekilas dia mengerling pada pemuda yang duduk
disampingnya itu. Selintas pikiran tiba-tiba muncul dalam benaknya. Selama ini
dia malang melintang menempuh hidup sepenurut hati dan langkah kakinya. Yaitu di
mana ada lelaki culikannya ke waduk Karangkates di mana dia memiliki sebuah
rumah besar berkamar tujuh belas. Untuk ini dia kerap kali haus melakukan
perjalanan sangat jauh dan meletihkan. Alangkah baiknya jika selain di
Karangkates dia juga mempunyai sebuah rumah lain yang bisa dimanfaatkan untuk
kepentingannya. Jika dia menerima ajakan untuk kawin, bukankah berarti dia akan
memiliki rumah bagus, lalu dengan hidup sebagai seorang istri putera pengusaha
perkebunan tebu dia mendapat kedudukan terhormat. Hal ini akan dipergunakannya
sebagai kedok untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya.
Jadi, harta dapat, suami gagah punya dan yang lebih penting secara diam-diam dia
bisa meneruskan
kesenangannya mencari pemuda gagah pemuas nafsu.
Orang-orang dunia persilatan yang mencari-carinya pasti akan sulit menemui
jejaknya. "Mawar," bisik Pringgo. "Kulihat kau diam saja. Seperti termenung. Kau sama
sekali tidak memberi jawaban."
"Pringgo," kata Mawar Merah setelah diam sesaat. "Kau seorang pemuda yang baik
sekali. Jika kau sungguhan meminta aku jadi istrimu, aku tidak keberatan...."
Mendengar kata-kata itu Pringgo melompat dari tempat tidur, menarik Mawar Merah
dan memeluknya sambil berdiri. "Aku tahu. Jawabanmu pasti mau!"
"Ya, aku memang mau. Hanya saja...."
"Hanya saja apa, Mawar?" tanya si pemuda.
"Aku ada syarat."
"Syarat apa" Rumah bagus, pakaian bagus, harta dan perhiasan?"
"Aku tahu kau pasti dapat mengadakan semua itu," ujar Mawar Merah. "Tapi bukan
syarat itu yang aku minta."
"Kalau begitu katakan!"
"Aku adalah seorang pengelana. Hidupku lebih banyak di perjalanan dari pada diam
di rumah. Jika aku jadi istrimu nanti belum tentu aku bisa merubah sifatku itu.
Aku akan pergi ke mana-mana."
"Kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku akan belikan kau kereta kuda. Lengkap
dengan kusir, bahkan ditambah seorang pengawal. Aku akan menyertaimu ke mana kau
pergi...."
Mawar Merah alias Ratu Mesum tersenyum lalu
gelengkan kepala. "Aku tidak perlu kereta kuda, kusir ataupun pengawal. Kalau
aku pergi aku hanya akan pergi seorang diri....."
"Eh, bagaimana ini. Suami istri tidak boleh pergi sama-sama." kata Pringgo
heran. "Tentu, tentu kita bisa pergi sama-sama. Tapi jika aku mengurus urusanku
sendiri, kau tidak boleh ikut."
"Apa sih urusanmu itu, Mawar?"
"Aku tak bisa menyatakan padamu Pringgo. Kau mau menerima syarat itu?"
"Ah, berat juga syaratmu itu. Tapi yah. Baiklah. Aku harus mau menerimanya demi
cintaku padamu." lalu Pringgo kembali mencium perempuan itu dan kedua
tangannya menjalar kian kemari.
"Itu syarat yang pertama Pringgo. Masih ada syarat lainnya." terdengar kata-kata
Mawar Merah. "Hem... katakanlah," ujar Pringgo sementara mukanya dibenamkan di belahan dada
kencang perempuan berkulit putih mulus itu.
"Syarat yang kedua, apapun yang aku lakukan setelah kita kawin nanti, kau sama
sekali tak boleh bertanya."
Pringgo angkat wajahnya dan pandangi paras cantik jelita itu beberapa ketika.
"Syarat apa pula itu?" ujarnya kemudian.
"Kau mau menerima syarat itu. Atau keberatan?"
"Tentu saja!" sahut Pringgo. Saat itu dia benar-benar sudah jatuh di kaki sang
mawar, terpikat pada kecantikan dengan keindahan tubuh yang berada dalam
pelukannya itu. Tak ada lagi waktu untuk berpikir-pikir atau menimbang-nimbang.
Malah dia menambahkan: "Kau
boleh berbuat seribu syarat Mawar. Pasti akan kuturuti."
"Kau memang pemuda baik," bisik Mawar Merah.
Pakaian yang baru saja dikenakannya ditanggalkannya kembali. Pringgo yang mabuk
kepayang langsung menarik perempuan itu kembali dan keduanya berguling-guling
lagi di atas tempat tidur.
*** 2 NYANYIAN ANEH DI DALAM HUTAN
EDUA ORANG tua Pringgo terkejut bukan main
ketika malam itu di meja makan putera satu-satunya K itu mengatakan bahwa dia
sudah ada gadis pilihan untuk dijadikan calon istri. Dan dia ingin agar pesta
perkawinan diadakan secepatnya.
Abadseto, sang ayah sesaat menatap wajah puteranya itu, memandang istrinya
sebentar lalu setelah meneguk air putih di dalam gelas besar, lelaki kaya raya
pemilik kebun tebu berhektar-hektar ini tersenyum, baru membuka mulut.
"Pringgo, ini benar-benar satu kejutan bagi kami orang tuamu. Tapi ini
menunjukkan kenyataan bahwa kau sudah jadi seorang dewasa walau umurnya masih
muda belia. Masih hijau kata orang. Berapa usiamu sekarang Pringgo?"
"Delapan belas," jawab sang anak sementara ibunya hanya duduk berdiam diri.
"Setahu kami kau tidak punya kawan perempuan yang akrab. Calon yang kau katakan
itu pastilah seorang gadis cantik hingga kau begitu cepat terpikat dan minta
buru-buru dikawinkan!"
"Dia bukan hanya cantik ayah, tapi cantik luar biasa.
Kulitnya putih halus. Tanpa cacat sama sekali dari ujung kaki sampai ke rambut."
"Eh....," Abadseto pegang bahu puteranya. Sambil tersenyum dia berkata, "Tanpa
cacat dari ujung kaki sampai ke rambut katamu. Bagaimana kau bisa tahu pasti hal
itu Pringgo?"
Wajah pemuda itu tiba-tiba saja menjadi merah. Sang itu tundukkan kepala sedang
Abadseto kemudian tertawa gelak-gelak sampai keluarkan air mata.
"Baiklah Pringgo. Aku percaya bahwa gadismu itu cantik jelita. Selangit. Mungkin
selangit tembus. Siapa namanya.
Di mana tinggalnua dan anak siapa dia...."
Mendengar pertanyaan itu Pringgo jadi agak gugup.
"Namanya Mawar Merah," kata pemuda ini kemudian.
"Wah, nama bagus sekali. Pasti sebagus orangnya. Lalu berasal dari mana dia,
siapa orang tuannya?"
"Dia berasal dari selatan. Kedua orang tuanya sudah meninggal selagi dia masih
kecil. Dia dibesarkan oleh pamannya. Tapi pamannya meninggal pula tahun silam.
Dia sekarang sebatang kara..."
Abadseto tarik nafas dalam.
"Anakku," kata sang ayah. "Kau tentu tahu. Jika aku punya menantu maka palng
tidak dia harus sesuai
derajatnya dengan kita. Di samping itu yang paling penting kita harus tahu asal-
usulnya. Kalau tidak hanya akan memberi malu!"
Pringgo tersenyum. Senyum itu terasa aneh di mata kedua orang tuanya.
"Ayah, apa yang ayah katakan tadi benar semua. Namun itu mungkin hanya berlaku
pada zaman ketika ayah seusia saya. Sekarang segala sesuatunya sudah berubah...."
"Berubah" Berubah bagaimana maksudmu, Pringgo?"
tanya Abadseto.
"Maksud saya, manusia itu, kebahagiaan hidup itu tidak tergantung dari harta
atau dari asal-usul turunan....."
"Celaka!" kata ayah seraya berdiri dan betulkan letak blangkonya. "Kalau kau
berkata begitu celaka Pringgo. Apa yang masuk ke dalam benakmu hingga kau punya
jalan pikiran seperti itu?"
Pringgo tak menjawab. Dan Abadseto kembali membuka mulut.
"Jika kau berkata begitu lantas apakah kau mau hidup dengan pandangan remeh
orang banyak, tanpa harta tanpa uang. Hingga untuk memberi makan dirimu sendiri
dan istrimu, belum lagi anakmu, kau tidak mampu melakukannya...?"
"Maksud saya tidak seperti dan sejauh itu ayah,"
menangkis Pringgo.
Ketiganya diam sesaat. Kesunyian kemudian dipecahkan oleh ucapan Pringgo yang
mengejutkan kedua orang tuanya. "Besok Mawar akan datang dan saya antar
menemui ayah serta ibu...."
"Pringgo!" seru ibu. Lalu mulut perempan ini kembali terkancing sedang Abadseto
saat itu sudah berdiri dam memandang dengan mata melotot pada anaknya.
"Pringgo! Kau jangan main-main....."
"Saya tidak main-main ayah. Mawar besok akan
datang." "Gila! Kau hendak memberi malu keluarga kita! Adat mana pun tak ada perempuan
yang datang lebih dulu ke rumah calon suaminya, sendirian pula! Jelas gadismu
itu tidak beradat tidak berbangsa! Tidak punya keluarga alias anak luntang
lantung. Entah anak haram entah...."
Pringgo jadi panas. Segera dia memotong ucapan
ayahnya. "Gadis itu memang orang miskin, tidak berbangsa tidak berharta. Tapi
dia bukan anak haram. Dan di atas semua itu saya menyukainya. Saya


Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencintainya!"
"Cinta. O ladalah Gusti Allah!" kata Abadseto terhenyak ke kursinya. "Jadi
cinta! Itulah semua pertimbanganmu minta dikawinkan dengan gadis bernama Mawar
Merah itu. Yang tampangnya belum kulihat sama sekali. Tobat Pringgo! Sama saja kau membunuh
kami berdua orang tuamu!"
"Ibu tidak bisa menerima kedatangannya dengan cara seperti itu Pringgo. Paling
tidak ada sanak ada kadangnya yang harus mengantar."
"Sekalipun ada sanak kadangnya aku tidak suka
menerimanya!" ujar Abadseto menyentak.
"Kau dengar kata-kata ayahmu Pringgo?" ujar sang ibu.
Kedua mata perempuan ini mulai berkaca-kaca. Pringgo berdiri dari kursi.
"Baiklah ayah, ibu. Jika ayah dan ibu berdua tidak mau menerimanya berarti juga
tidak akan merestui perkawinan kami. Apalagi mengadakan segala macam pesta. Saya
terima itu sebagai kenyataan. Besok pagi saya akan pergi meninggalkan rumah
ini!" "Pringgo!" pekik si ibu.
"Pringgo! Kembali!" teriak Abadseto. Tapi pemuda itu seudah lari masuk ke dalam
kamarnya dan mengunci diri.
Di dalam kamar ini sudah Mawar Merah, sejak malam tadi memang berada di situ.
"Aku sudah mendengar semua percakapan kalian," kata Mawar Merah dan duduk di
samping Pringgo. "Apa yang kusangka betul semua, bukan?"
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan Mawar," kata Pringgo perlahan. "Ayahku memang
keras. Tapi lihat saja nanti hatinya akan lumer. Jangan lupa, aku anak lelaki
satu-satunya. Apa yang aku minta pasti diluluskan...."
*** Apa yang dikatakan Pringgo memang betul. Takut putera tunggal mereka minggat
maka dengan berat hati kedua orang tuanya terpaksa menuruti kemauan Pringgo.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pemuda itu menyiapkan kereta. Dia sendiri
yang bertindak sebagai kusir dan meninggalkan rumah besar setelah berpesan
kepada kedua orang tuanya agar menunggu sampai dia kembali bersama gadis calon
istrinya. Baik Abadseto maupun istrinya sama sekali tidak mengetahui kalau Mawar
Merah lebih dahulu sudah disembunyikan Pringgo di dalam kereta itu. Si pemuda
memacu kereta meninggalkan perkebunan.
Di situ tempat dia membelok memasuki hutan lalu hentikan kereta. Seraya membuka
pintu kereta pemuda ini berkata, "Calon pengantinku, keluarlah. Kau tak usah
sembunyi lagi. Sebentar lagi kita kembali ke rumah. Kau akan menemui kedua orang
tuaku lalu ssuatu akan beres."
Ratu Mesum alias Mawar Merah yang bersembunyi di lantai kereta berdiri sambil
tersenyum. "Kalau saja tidak untuk jadi istrimu tak akan mau aku menyiksa diri
seperti ini." katanya.
Pringgo tertawa dan cepat dia memeluk serta menciumi perempuan itu. Belum apa-
apa menyusul tangannya meng-gerayang.
"Hus! Kau ini selalu tidak sabaran. Nanti bedak, gincu dan alisku berantakan..."
ujar Mawar Merah seraya lepaskan rangkulan Pringgo.
Pemuda ini tertawa gelak-gelak. "Tidak berdandanpun kau tetap cantik," katanya.
Saat itu sebenarnya Ratu Mesum tengah berusaha
menahan dorongan hati jahatnya yang menginginkan agar dia membunuh pemuda itu
saat itu juga. Namun ingat akan rencana yang ingin dilakukannya maka niat itu
terpaksa di-urungkan.
"Kita kembali sekarang?" tanya Pringgo.
"Jangan buru-buru. Orang tuamu nanti curiga," jawab Mawar Merah. Pringgo
mengangguk menyetujui. Pada saat kedua orang itu saling berdiam diri tiba-tiba
terdengar suara orang bernyanyi. Yang menyanyi jelas lebih dari dua atau tiga
orang. Dan suara mereka seperti suara anak-anak. Pringgo memandang berkeliling
keheranan. "Aneh! Anak-anak mena pula yang menyanyi itu. Di mana mereka. Bagaimana bisa dan
berani masuk dalam hutan ini?" Pringgo terus mencari-cari ke arah datangnya
suara nyanyian itu. Kemudian dia berpaling pada Mawar Merah dan melihat paras
calon istrinya itu berubah.
"Mawar, ada apakah" Kau tampak pucat," Pringgo berkata seraya pegangi tangan
perempuan itu. "Kau
mengenali suara yang nyanyi itu?"
"Pasti mereka!" desis Ratu Mesum seraya memandang tajam ke arah kerapatan pohon-
pohon tinggi di sebelah kirinya.
"Mereka siapa?" tanya Pringgo lagi. Ratu Mesum tak menjawab. Yang ada dibenaknya
saat itu adalah ingatan akan kejadian di gudang padi beberapa waktu lalu. Ketka
orang-orang bersembunyi melemparinya dengan buah kecapi hingga dia tidak mampu
membunuh Iblis Gila Tangan Hitam.
"Sudahlah. Kita kembali saja ke rumahmu, Pringgo!"
"Tidak, aku ingin mendengar seluruh nyanyian itu lebih dulu!" sahut si pemuda.
Ratu Mesum tak bisa berbuat apa-apa kecuali masuk ke dalam kereta dengan hati
kesal tapi juga ada asa khawatir. Selain nyanyian hal apa pula yang akan
dilakukan oleh mahluk-mahluk yang tak kelihatan itu.
Manusia atau setankah mereka"
Dari kerapatan pepohonan tinggi di ujung kiri kembali terdengar suara ramai
nyanyian. Naik kereta bagus
Masuk ke dalam rimba
Menyusun rencana mulus
Mandustai orang tua
Naik kereta kuda
Berdua tertawa-tawa
Hari ini penuh gembira
Besok lusa entah terjadi apa
Warna merah warna indah
Indah kalau itu bunga
Celaka kalau itu warna darah
"Pringgo, ayo kita tinggalkan tempat ini," kata Ratu Mesum yang jadi tidak enak
mendengar kalimat-kalimat dalam nyanyian itu. Dia khawatir kalau-kalau kata-kata
dalam nyanyian itu akan menyerempet dan membuka
rahasia dirinya.
Meskipun merasa aneh dengan kejadian itu namun
Pringgo naik juga ke atas kereta. Selagi dia memutar kendaraan itu, dari jendela
kereta Ratu Mesum angkat tangan kanannya dan lepaskan satu pukulan tangan kosong
ke arah rimbunan pohon di sebelah kiri atas. Yaitu dari jurusan mana tadi dia
mendengar datangnya suara nyanyian. Pringgo terkejut ketika didengarnya suara
patahan cabang-cabang serta ranting-ranting pohon disusul dengan suara pekik
ramai sekali. Tapi orang-orang yang berteriak itu tetap tidak kelihatan.
"Rasakan! Paling tidak di antara kalian ada yang celaka!" ujar Ratu Mesum dalam
hati. Lalu dia berkata pada Pringgo agar lekas-lekas tingglakan tempat itu.
Namun di depan sana terdengar suara pemuda berteriak:
"Mawar! Aneh! Kuda ini tak mau jalan!" pemuda itu tarik-tarik tali kekang bahkan
pukul pnggul kuda penarik kereta.
Tetap saja binatang itu tidak mau jalan bahkan
bergerakpun tidak.
Ratu Mesum maklum apa yang terjadi. Dia keluar dari kereta dan memeriksa kuda
itu dengan cepat.
"Binatang ini ditotok," dia membatin. Memandang ke tanah dilihatnya sebuah batu
kecil. "Hemmm...." Ratu Mesum raba tubuh kuda itu di beberapa bagian. Lalu dia
memukul kuda ini di bagian kuduk. Demikian kerasnya hingga binatang itu
meringkik, terlonjak dan lari. Ratu Mesum cepat melompat masuk ke dalam kereta.
"Mawar, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Pringgo yang masih tidak mengerti.
Ratu Mesum tak mau menceritakan. Dia menjawab:
"Pegang saja tali kekang baik-baik. Jangan sampai menabrak. Tak ada apa-apa.
Binatang itu mungkin hanya keletihan!"
Karena ingin cepat-cepat sampai agar urusan per-
kawinannya dengan perempuan itu lekas selesai, Pringgo pun tak bertanya apa-apa
lagi. *** 3 PESTA PERKAWINAN BERDARAH
BADSETO dan istrinya tegak menunggu di tangga
langkan depan rumah besar ketika kereta yang
A dikemudikan putera mereka memasuki pintu
halaman. Dengan tersenyum lebar dan penuh bangga Pringgo membuka pintu kereta
lebar-lebar lalu menuntun Mawar Merah turun dari kereta langsung membawanya ke
hadapan kedua orang tuanya.
"Ayah, ibu. Ini Mawar Merah, calon menantu ayah dan ibu," kata Pringgo pula.
Baik Abadseto maupun istrinya harus mengakui bahwa Mawar Merah memang memiliki
kecantikan luar biasa.
Hanya saja di mata mereka gadis itu terlalu menyolok dandannya. Dan kelihatannya
orang yang ingin dijadikan istri oleh putera mereka ini berusia lebih tua dari
Pringgo sendiri.
Sesuai dengan yang telah diatur lebih dulu maka Mawar Merah menjura hormat
menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Pringgo. Meskipun agak kaku, sang
ibu kemudian membawa calon menantunya itu masuk ke
dalam. Bau harum yang keluar dari pakaian dan tubuh Mawar Merah memenuhi ruangan
dalam di mana mereka duduk. Pembicaraan terasa kurang lancar karena calon
pengantin perempuan ini tidak banyak bicara. Pringgo yang lebih sering membuka
mulut menjawab segala pertanyaan.
Bahkan pemuda ini enak saja berkata agar pesta perkawinan dilangsungkan paling
lambat tiga hari dimuka.
"Kalau itu memang mau kalian, kami hanya menurut saja. Lebih cepat tidak
selamanya lebih baik. Buruk baiknya kalian sendiri nanti yang akan menanggung.
Dan kami orang tua hanya menerima malunya saja," kata Abadseto.
Laki-laki ini sudah kesal. Hanya karena sayang pada putera tunggalnya ini saja
maka dia mau meluluskan kemauan Pringgo. Sang ibu yang tak banyak bicara
akhirnya mengundurkan diri lebih dulu, masuk ke dalam kamar hanya untuk
menangis. Siangnya di rumah besar pemilk perkebunan tebu itu mulai tampak kesibukan luar
biasa. Panggung besar berikut tenda dibangun orang. Dua orang juru masak dengan
dua lusin pembantu mengatur membuatan
makanan dan kue-kue. Beberapa ekor sapi dan belasan ekor kambing, puluhan ayam
didatangkan, siap untuk disembelih. Pokoknya pesta besar-besaran memang akan
dilangsungkan demi menurut kemauan Pringgo.
Pada hari Jum'at Legi pesta mewah meriah itupun
dimulai. Suara gamelan mengalun tiada henti. Tetamu yang datang seperti tak
habis-habisnya, malam harinya akan diadakan pula pertunjukan wayang kulit dengan
dalang terkenal dari Semarang.
Pengantin lelaki kelihatan selalu tersenyum simpul.
Pengantin perempuan tampak tenang dan sesekali juga ikut tersenyum. Dalam
hatinya Ratu Mesum hampir tak habis pikir kalau hari itu dia benar-benar akan
duduk di pelaminan, jadi pengantin! Namun ketenangannya itu tidak berjalan lama.
Senyum simpulnya yang sejak pertama kali datang bersalaman selalu memandang
kepadanya sambil berbisik-bisik satu sama lain. Ratu Mesum coba mengingat-ingat
di mana dia sebelumnya pernah melihat kedua orang itu. Akhirnya dia ingat. Dua
lelaki itu adalah dua orang tamu penting pada pesta perkawinan Ungguljati di
mana dia menculik pengantin lelaki itu. Melihat gelagat keduanya jangan-jangan
mereka mengenali dirinya. Begitu Ratu Mesum berpikir. Karena gerak-gerik kedua
tamu itu tak pernah lepas dari perhatian dan sudut mata Ratu Mesum.
Tamu yang memakai belangkon putih berbunga-bunga biru berbisik pada kawannya
yang memakai baju lurik coklat bertopi hitam.
"Liku, kau ingat peristiwa berdarah pada pesta perkawinan puteri Gede Ageng
Kuntjoro di Sumbersari tempo hari?"
"Tentu saja," jawab kawannya yang bernama Tombo.
Keduanya adalah pedagang beras terkenal dari daerah selatan. Mereka sempat
menghadiri pesta perkawinan Sri Pujiati dengan Ungguljati yang kemudian menjadi
kacau bahkan berubah menjadi bencana mengerikan. "Siapa yang bisa melupakan
kejadian itu. Aku sampai tak bisa makan beberapa hari karena ngeri dan mual
membayangi mayat-mayat yang bergelimpangan dan darah ber-genangan. Eh, kenapa
kau bertanyakan hal itu Tombo?"
"Coba kau perhatikan wajah pengantin perempuan itu.
Apa pendapatmu...?" ujar Tombo.
"Tentu saja parasnya cantik jelita. Lucu, kenapa kau bertanya begitu?"
"Coba kau perhatikan baik-baik Liku. Lalu kau ingat-ingat wajah perempuan
berjuluk Ratu Mesum yang menjatuhkan malapetaka maut di pesta di Sumbersari
itu." Mendengar kata-kata kawannya itu Liku kembali
memandang wajah pengantin perempuan yang duduk di pelaminan. Astaga! Berubahlah
paras Liku dan dia berpaling pada Tombo. Sambil pegangi lengan kawannya Liku
yang kini merasakan tengkuknya menjadi dingin lantas berbisik dengan suara
bergetar: "Tombo, mataku bisa salah. Tapi ingatanku sekarang terang. Paras
pengantin perempuan itu persis sama dengan wajah Ratu Mesum!"
"Nah, sekarang kau tahu apa maksudku menyuruh
memperhatiakan. Apa pendapatmu?"
"Terus terang, lama-lama berada di sini aku menjadi ngeri. Kalau dia benar-benar
Ratu Mesum lebih baik kita angkat kaki dari sini. Tapi, bagaimana dia bisa
diambil menantu oleh Abadseto?"
"Ini memang mengherankan. Bagaimana kalau kita
cepat-cepat kembali ke Sumbersari melaporkan hal ini pada Pujiati dan ayahnya?"
"Aku setuju rencanamu. Tapi kita harus menyelidik dulu.
Jangan sampai kesalahan. Kalau pengantin itu nanti ternyata bukan Ratu Mesum,
kita bisa berabe...."
"Lalu apa tindakanmu?" tanya Tombo.
"Kau duduk saja di sini. Aku akan mencari keterangan di kalangan para tamu."
sahut Liku. Kawannya mengangguk.
Liku berdiri dan menyeruak di antara tetamu yang ber-jubalan.
Ditunggu beberapa lama Liku tak muncul. Waktu
berjalan terus. Sampai lewat sepenanakan nasi lelaki itu tak juga kembali. Tombo
memandang berkeliling mencari-cari. Tak kelihatan sang kawan. Di pelaminan
pengantin lelaki duduk seorang diri. Ke mana pengantin perempuan"
Rupanya sedang ke belakang, pikir Tombo. Tak lama kemudian pengantin perempuan
diiringi dua dayang-dayang kecil pengiringnya muncul kembali dan duduk di
pelaminan. Juru rias menyeka keringat yang ada di kening pengantin perempuan.
Tombo kembali mencari-cari. Liku tak kunjung muncul. Akhirnya dia berdiri,
memutuskan untuk mencari. Pada saat itulah terjadi kehebohan di dekat dapur. Dua
orang pembantu juru masak menemukan
sesososk tubuh mengeletak mati. Mukanya hancur tak dapat dikenali. Dengan susah
payah Tombo menyeruak di antara orang banyak. Begitu dia sampai di hadapan sosok
tubuh yang mengeletak di tanah itu, pucatlah wajah Tombo. Lututnya goyah dan
hampir saja dia mengeluarkan seruan. Manusia yang telah jadi mayat itu, walaupun
mukanya rusak sulit dikenali, namun namun Tombo jelas mengetahui dari pakaian
dan blangkonnya yang ber-campak di tanah, orang itu adalah Liku, kawannya.
Didorong oleh rasa takut yang amat sangat Tombo
bukannya berusaha menolong atau mengangkat jenazah kawannya, malah dia dia
cepat-cepat meninggalkan tempat pesta itu, memacu kudanya sekencang yang bisa
dilakukannya, kembali menuju Sumbersari.
*** KEESOKAN harinya pesta yang direncanakan tiga hari tiga malam itu dilanjutkan
kembali. Pengantin lelaki dan perempuan duduk bersanding. Tamu kembali pula
datang membanjir. Hari ini kebanyakan tamu datang dari jauh.
Peristiwa ditemukannya mayat malam tadi sudah
terlupakan. Liku yang malang dikuburkan orang di tepi kali.
Kelihatannya tak ada yang berusaha mencari tahu apa sebenarnya yangterjadi
dengan lelaki itu. Mengapa dia dibunuh dan siapa pembunuhnya yang kejam.
Menjelang tengah hari serombongan tamu berkuda
muncul. Kelihatannya nereka datang dari jauh. Orang-orang ini ternyata adalah
rombongan dari Sumbarsari.
Tombo bertindak sebagai penunjuk jalan. Dalam
rombongan itu tampak Gede Ageng Kuntjoro bersama puterinya yang menjadi janda
dimalam pengantin yakni Sri Pujiati. Lalu tampak pula dua orang lelaki tua
berpakaian serba biru. Kedua kakek ini bukan lain adalah Sepasang Ular Biru, dua
tokoh silat yang pernah baku hantam dengan Ratu Mesum di pesta perkawinan Sri
Pujiati. Rombongan dari Sumbersari ini tidak langsung masuk namun menyelinap keperbagai
penjuru lalu beberapa saat kemudian berkumpul lagi di pintu depan. Karena
terhalang oleh kerapatan orang banyak Ratu Mesum yang duduk di pelaminan tidak
dapat melihat kemunculan orang-orang itu. "Puji, kau yakin pengantin perempuan
itu adalah iblis liar yang menculik suamimu tempo hari?" bertanya Gede Ageng


Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuntjoro kepada anaknya.
"Saya yakin sekali. Saya tidak akan melupakan tampang perempuan durjana itu!"
menyahuti Sri Pujiati.
Sang ayah berpaling pada Sepasang Ular Biru dan bertanya pula untuk menyakinkan.
"Menurut kalian bagaimana?"
Wirasona, kakek yang berjanggut menjawab: "Aku dan kawanku Sukat Rampe merasa
pasti. Perempuan itu
memang dajal yang kita cari-cari! Sekarang kita tunggu apa lagi. Hanya kita
harus berhati-hati. Betina liar ini tinggi sekali ilmunya."
"Kalau begitu mari kita masuk!" kata Gede Ageng
Kuntjoro dan melangkah mendahului.
Abadseto dan istrinya yang mendampingi kedua mempelai di pelaminan tidak menaruh
perasaan apa-apa ketika melihat empat orang tetamu mendatangi. Seperti tamu-tamu
lainnya tentu saja mereka menyangka keempat orang ini adalah tetamu yang datang
untuk memberi doa restu ucapan selamat. Namun Abadseto jadi terkejut ketika
tiba-tiba Gede Kuntjoro berkata, "Ki sanak, dan kau mempelai perempuan. Kami
ingin bicara dengan kalian. Tapi bukan di tempat ini."
"Eh, kalian ini tetamu dari mana dan datang kemari punya maksud apa?" balik
bertanya Abadseto seraya memandang meneliti pada keempat tamunya itu. Pringgo
yang merasa tidak enak dengan sikap orang-orang itu membuka mulut pula.
"Ayah, kalau kau tidak kenal dengan mereka, akupun tidak kenal keempatnya.
Mereka datang jelas tidak diundang. Tapi punya maksud lain."
Sri Pujiati kini angkat bicara, " Kami memang tidak diundang. Kami datang atas
kemauan sendiri. Kami punya urusan dengan pengantin perempuan. Tapi agar tidak
kesalahan tangan kami ingin tahu dulu siapa nama pengantin perempuan menantumu
ini!" "Gadis lancang!" damprat Pringgo. Sementara itu orang banyak mulai memandang dan
memperhatikan orang-orang itu dengan perasaan heran. Mereka berusaha mencuri
dengar pembicaraan untuk mengetahui apa
sebenarnya yang terjadi. "Perlu apa kau ingin tahu nama istriku! Jika tahu tidak
diundang mengapa tidak lekas angkat kaki dari sini!"
Sejak tadi pengantin perempuan berdiam diri saja. Tapi otaknya bekerja. Dia tahu
jelas siapa orang-orang yang datang itu. Si gadis yang membekal pedang di
punggung-nya adalah istri pemuda bernama Ungguljati yang pernah diculik lalu
dibunuhnya. Lelaki tua itu adalah ayah si pemuda sedang dua orang kakek
berpakaian serba biru adalah Sepasang Ular Biru yang pernah bentrokan di pesta
perkawinan Ungguljati. Kedatangan orang-orang itu pastilah untuk mencarinya guna
menuntut balas. Siapa lagi yang melaporkan dirinya kalau bukan dua orang tetamu
yang sebelumnya malam tadi dilihatnya bicara kasak-kusuk. Secara diam-diam dia
berhasil membunuh orang yang bernama Liku, namun Ratu Mesum tak punya
kesempatan untuk menyingkirkan kawannya yang satu lagi.
"Ayah, saya memang kenal dengan orang-orang ini.
Mereka rupanya punya urusan penting yang tak bisa ditunda. Sementara ayah ibu
serta mas Pringgo tetap di sini, saya akan ajak mereka bicara di ruang atas.
Mohon izin kalian."
Tanpa menunggu jawaban ketiga orang itu pengantin perempuan lalu melangkah ke
ruangan dalam di mana terletak tangga menuju tingkat atas. Di bagian belakang
gedung besar itu memang terdapat sebuah ruangan besar di sebelah atas. Ke
sinilah Ratu Mesum membawa
keempat tamunya itu. Karena merasa khawatir dan tidak enak, pengantin lelaki
segera menyusul.
"Mawar, aku harus menyertaimu. Aku tak percaya pada itikat empat orang tak
dikenal ini!" kata Pringgo pula.
"Mas, ini hanya urusan kecil saja. Akan kuselesaikan dengan cepat. Kau tak usah
khawatir. Sebaiknya tetap mendampingi ayah dan ibu menunggu para tamu," kata
Ratu Mesum alias Mawar Merah dengan halus. Tapi
Pringgo tetap bersikeras hendak ikut ke atas. Terpaksa pengantin perempuan itu
bicara mengancam. "Mas, kau ingat syarat perjanjian kita tempo hari" Jika kau
banyak ingin tahu dan tak mau mengikuti kata-kataku, mau mencampuri urusanku
sebaiknya perkawinan ini dibatal-kan saja!"
"Maksudku......" Pringgo tak meneruskan kata-katanya.
Dengan sangat khawatir dia terpaksa kembali ke
pelaminan. "Urusan kecil!" tiba-tiba Sri Pujiati mendamprat. "Enak saja kau berkata begitu.
Kami datang ke sini justru untuk urusan darah dan nyawa suami yang kau...."
"Sudahlah!" Ratu Mesum cepat memotong. Dia khawatir ucapan gadis yang menjadi
janda di hari perkawinannya itu terdengar oleh orang. "Mari kita ke atas. Tak
ada persoalan yang tak bisa diselesaikan. Hanya sayang mengapa dalam urusan ini
kau dan ayahmu membawa serta pula dua kambing tua ini?"
Merahlah paras kedua kakek berpakaian biru. Jelas pengantin perempuan itu
menghina diri mereka. Namun keduanya terpaksa menahan diri sementara perempuan
yang mereka yakini adalah Ratu Mesum telah menaiki tangga.
Ruangan di tingkat atas itu besar sekali, berlantai papan dan tak ada sepotong
perabotanpun di situ. Wirasona, kakek berjanggut berbisik pad kawannya, "Melihat
keadaan tempat ini kau harus maklum apa maksud
perempuan durjana ini membawa kita ke sini. Hati-hati Sukat. Besiap-siaplah!"
Kakek bernama Sukat Rampe mengangguk. Dia cukup
waspada. Terlebih ketika dilihat pengantin perempuan bukan saja mengunci pintu,
tapi memalangnya sekaligus.
Kemudian dia membalik menghadapi keempat orang itu.
Dan berkata, "Aku tak punya banyak waktu untuk bicara dengan kalian. Tapi kalian
ingin tahu siapa namaku bukan"
Coba kalian perhatikan baik-baik!"
Habis berkata begitu perempuan itu tanggalkan pakaian pengantinnya. Di balik
pakaian pengantin itu kelihatanlah baju merah darah!
"Jadi jelas! Kau adalah Ratu Mesum penculik dan pembunuh suamiku!" teriak Sri
Pujiati. Gadis ini segera cabut pedangnya. Gede Ageng Kuntjoro ayahnya menghunus
keris. Sedang Sepasang Ular Biru pun tidak tinggal diam.
Masing-masing loloskan senjata berupa cambuk pendek berwarna hitam berbelang
kuning hingga sepintas lalu kelihatan seperti seekor ular. Keempat orang itu
menyerbu dengan ganas.
Ratu Mesum maklum dia harus bertindak cepat dan
keluarkan seluruh kepandaiannya. Tak ada jalan lain keempat orang itu harus
dilenyapkan kalau rahasia dirinya tak mau terbuka di malam pengantin itu. Dia
tidak khawatir terhadap Sri Pujiati ataupun ayahnya. Tapi terhadap dua kakek
berbaju biru itu dia memang tidak boleh memandang enteng. Dengan kerahkan
seluruh tenaga dalam yang ada Ratu Mesum sambut serangan keempat musuh-nya.
Gede Ageng Kuntjoro adalah orang yang pertama sekali terjengkang ke lantai
ketika tusukan kerisnya ditangkis Ratu Mesum dengan pukulan keras yang
mematahkan tulang lengannya. Sri Pujiati dengan kalap dan penuh dendam menebaskan pedangnya
ke leher Ratu Mesum
namun dengan mudah dielakkan seraya memukul ke arah kakek di samping kanan yang
menghantam dengan
cambuk anehnya. Terdengar suara seperti petir
menyambar disertai asap hitam kuning ketika cambuk itu berkiblat.
"Kambing tua, kau mampuslah!" bentak Ratu Mesum
seraya membungkuk dan lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam
dahsyat. Wirasona yang
menerima serangan balasan itu dibikin kaget. Dia terlalu mempercayai kehebatan
senjatanya yang asapnya bisa melukai kulit lawan, karena dia hanya menyingkir
sedikit ke samping tapi tetap susupkan ujung cambuknya ke arah leher lawan.
Tidak terduga Ratu Mesum justru angkat tangannya untuk menangkap dan membetot
cambuk di tangan si kakek. Karena tenaga dalam perempuan ini jauh lebih tinggi,
ketika si kakek coba mempertahankan diri akibatnya dia ikut terseret ke depan.
Sebelum dia sanggup mempertahankan diri, tendangan kaki kanan Ratu Mesum cepat
sekali melabrak perutnya. Kakek malang ini keluarkan seruan kematian. Korban
kedua jatuh sudah. Kalau Sukat Rampe jadi terkesiap kecut melihat kematian
kawannya, lain halnya dengan Sri Pujiati. Dengan kalap membabi buta gadis ini
menggempur Ratu Mesum dengan serangan pedang yang berkelebat kian kemari,
menabur mengurung tubuh lawan.
Sambil tertawa Ratu Mesum berkata, "Gadis cantik tapi tolol. Kau datang kemari
hanya mengantar nyawa. Rupanya kau ingin buru-buru menyusul suamimu!"
"Iblis durjana, kalaupun aku mati di tanganmu aku tak gentar. Tidak aku tapi
satu hari kelak kau bakal menerima hukuman!"
Ratu Mesum tertawa panjang. "kalau kau memang
sudah pasrah untuk mampus aku tak segan-segan lagi menunjukkan pintu akhirat!"
Lalu Ratu Mesum membuat gerakan tubuh seperti
hendak menyerbu ke arah Sukat Rampe, namun ia hanya satu tipuan saja. Begitu Sri
Pujiati hendak menggempurnya dari samping, dia berbalik menyongsong. Lengan
kanan memukul tangan Sri Pujiati yang memegang pedang
sedang tangan kiri menjambak rambut gadis itu. Dengan tenaga yang luar biasa
Ratu Mesum bantingkan kepala Sri Pujiati ke dinding. Begitu kerasnya hingga
kepala gadis itu pecah dan tubuhnya angsrok ke lantai tanpa nyawa lagi!
"Perempuan biadab! Aku mengadu nyawa denganmu!"
teriak Skat Rampe. Mulutnya komat-kamit, entah membaca mentera entah
mengeluarkan kutuk serapah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Cambuk pendek di
tangan kanannya dikiblatkan kian kemari hingga mengeluarkan suara berdentam-
dentam dan asap hitam kuning menggebubu menutupi pemandangan. Ratu Mesum cepat
tutup jalan nafas. Dia maklum kakek satu ini lebih tinggi kepandaiannya dari
kawannya yang sudah menemui
kematian. Setelah saling baku serang selama empat jurus tiba-tiba. Ratu Mesum
melompat tinggi ke atas hampir menyondak langit-langit ruangan. Sukat Rampe tahu
kalau musuh memiliki kepandaian menebar semacam hawa
harum yang bisa membuat lemas dan lumpuh. Sambil tutup jalan nafasnya dia putar
cambuk lindungi diri tapi apa lacur ketika dia melihat ke depan dan ke atas,
lawan tak tampak lagi. Lenyap entah ke mana. Tiba-tiba ada sambaran angin datang
dari belakang. Sukat Rampe berpaling seraya hantamkan cambuk di tangan kanan dan
lepaskan pukulan tangan kiri. Namun terlambat. Satu pukulan pinggiran telapak
tangan yang keras mendarat di pangkal lehernya. Krak! Terdengar suara patahnya
tulang leher kakek itu. Tubuhnya roboh ke lantai tanpa bisa berkutik. Mati.
Sudut mata Ratu Mesum menangkap gerakan di
samping kiri. Yang begerak adalah Gede Ageng Kuntjoro yang tengah berusaha
bangkit sambil pegangi lengannya yang patah. Ratu Mesum menyeringai dan pungut
pedang milik Sri Pujiati yang tercampak di lantai. Senjata itu diacungkannya
pada orang tua itu. "Kau boleh pilih, mau mati bunuh diri atau minta kubantu!"
"Perempuan terkutuk! Aku memilih bunuh diri!" sahut Gede Ageng Kuntjoro. Lalu
dirampasnya senjata itu dari tangan Ratu Mesum. Sikapnya seperti memang mau
bunuh diri. Tapi tiba-tiba ujung pedang dibalikkannya, secepat kilat ditusukkan
ke perut perempuan itu.
Bret! Untung Ratu Mesum cepat berkelit. Kalau tidak perutnya pasti kena tembus, itupun
pakaian pengantinnya sempat robek. Dengan menggembor marah Ratu Mesum rampas
pedang itu dari tangan Gede Ageng Kuntjoro lalu
menusukkannya hingga tembus ke punggung. Lelaki ini roboh di lantai dengan
pedang masih menancap di dadanya.
Pada saat keributan berlangsung di tingkat atas itu seorang anggota keluarga
datang berlari menemui
Abadseto dan berkata, "Celaka kakangmas! Aku mendengar suara ribut-ribut di
tingkat atas. Seperti perkelahian!"
Mendengar itu Abadseto dan Pringgo langsung
melompat dari pelaminan dan lari menaiki tangga. Pringgo sampai di depan pintu
ruangan atas lebih dulu. Pintu ini digedornya seraya berteriak.
"Mawar! Buka pintu! Apa yang terjadi di dalam!"
"Mawar lekas buka pintu!" Abadseto yang juga sudah sampai di situ ikut berteriak
malah coba mendobrak pintu, tapi tak berhasil. Sementara itu sebagian tamu dan
para anggota keluarga sudah ikut pula lari menuju pintu tingkat atas itu.
"Mawar! Lekas buka pintu!" teriak Pringgo lagi.
Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Mawar Merah
muncul. Sikapnya tenang saja. Lewat pintu yang terbuka semua mata memandang
mendelik ketika menyaksikan empat mayat yang terkapar di lantai. Darah kelihatan
di mana-mana! "Gusti Allah! Apa yang terjadi!" seru Abadseto.
Pringgo peluk istrinya. "Mawar! Kau tak apa-apa" Siapa mereka. Apa yang mereka
lakukan terhadapmu"!"
"Tiga lelaki itu, dibantu oleh gadis itu berusaha hendak memperkosaku!" jawab
Ratu Mesum. Lalu dia tunjukkan pakaian pengantinnya yang robek dibagian dada di
sebelah bawah perut. Padahal sebelum dia membuka pintu, dia sempat sendiri yang
sengaja merobeknya. Perempuan ini memang cerdik dan licik.
*** 4 HARI KESERATUS ITA tinggalkan malapetaka berdarah yang terjadi
pada pesta perkawinan Ratu Mesum alias Mawar
K Merah dengan Pringgo, putera Abadseto pengusaha perkebunan tebu kaya raya itu.
Hari itu adalah hari ke seratus. Hari perjanjian untuk bertemu kembali antara
Datuk Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah dengan kekasih dimasa mudanya
yakni Kunti Kendil, guru Wirapati (Iblis Gila Tangan Hitam) dan juga guru
Mahesa. Pagi-pagi sekali Kunti Kendil telah berpakaian rapi dan duduk di cabang
pohon tinggi di puncak gunung Iyang. Dari tas pohon itu bukan saja dia dapat
mengawasi seantero lamping gunung sampai jauh ke bawah, tapi juga dapat juga
memperhatikan setiap orang yang naik dan datang ke tempat kediamannya. Hatinya
gembira kerena Lembu Surah sudah berjanji akan datang hari itu. Namun diam-diam
ada dua kekhawatiran dalam hatinya. Pertama apakah bekas kekasihnya itu benar
dan pasti akan datang. Kedua bagaimana dengan Mahesa.
Muridna itu telah mengetahui apa yang dulu terjadi seratus hari lalu di sini.
Bukan mustahil dia akan datang pula ke puncak Iyang untuk mengetahui kelanjutan
peristiwa itu. Jika murid nakal itu datang rusaklah acara pertemuannya dengan Lembu Surah.
Di langit matahari mulai bersinar terik. Namun angin gunung yang sejuk
mengalahkan hawa panas sang surya.
Kunti Kendil duduk uncang-uncang kaki di cabang pohon.
Kedua matanya mulai terkantuk-kantuk. Menjelang tengah lereng gunung dilihatnya
sesosok tubuh berlari cepat menuju puncak.
"Aih, akhirnyadia benar-benar muncul!" kata si nenek tertawa lega. Dia siap
melompat turun dari atas pohon.
Namun ketika dia memandang sekali lagi ke arah sosok tubuh yang mendatangi dan
semakin dekat itu,
berubahlah paras keriput perempuan tua ini.
"Edan! Bukan dia!" seru si nenek dengan tenggorokan tercekat. "Dan bukan pula
Mahesa murid setan itu!
Keparat siapa yang datang ini! Kalau dia tidak segera angkat kaki dari sini
terpaksa aku membunuhnya!" Begitu Kunti Kendil merutuk serapah dalam hati
Tepat ketika dia melompat dan turun ke tanah, orang yang datang dari lereng
gunung sampai di dekat tumpukan katu lalu melangkah ke arahnya. Memandangi orang
yang datang ini Kunti Kendil coba mengingat-ingat siapa adanya orang itu dan
kapan serta di mana dia pernah bertemu.
Mungkin mereka pernah berjumpa sekitar puluhan tahun silam.
"Tamu tak diundang dari mana yang berani datang ke puncak Iyang in?" menegur
Kunti Kendil dengan
membentak keras.
Orang yang datang tertawa lebar. Seperti tak acuh atas teguran galak itu dia
duduk di atas sebuah batu besar. Lalu keluarkan sebatang rokok kawung,
menyalakannya, menyedotnya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap rokoknya dia memandang pada
Kunti Kendil dan kembali tertawa. Tentu saja sikap orang ini membuat si nenek
jadi seperti cacing kepanasan menahan jengkel.
"Aku menegurmu apa kau tuli tidak mendengar"!"
hardik Kunti Kendil.
"Aih, nenek tua kau masih saja bawel seperti masa mudamu. Rupanya kau tidak lagi
mengenaliku. Memang di usia setua ini tampangku tambah buruk, aku tidak
menyalahkanmu, kita hanya pernah bertemu satu kali, empat puluh tiga tahun
lalu!" "Anak setan! Aku tidak tanya segala usia ataupun mem-persoalkan tampang burukmu,
aku tanya apa kau tuli hingga tidak menjawab mengapa kau datang tanpa
diundang!"
Si kakek kembali tertawa dan sedot rokoknya. Tubuhnya kurus kerempeng.
Pakaiannya rombeng dan mukanya
menyeramkan karena hanya dilapisi kulit tipis hingga tidak beda dengan
tengkorak!

Mahesa Edan 1 Rahasia Makam Mahesa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kunti Kendil, tentu saja aku tidak tuli," menjawab si kakek. "Bicara soal
undangan, jika segala kedatangan harus memakai surat undangan, berapa ratus ribu
surat undangan yang harus dilayangkan orang di dunia ini" Hik...
hik... hik...!"
Dijawab seperti itu tambah jengkellah Kunti Kendil. Dia masih sulit menebak
siapa adanya kakek muka jerangkong ini. Anehnya si kakek mengetahui namanya. Dan
melihat rokok kawung yang dihisapnya Kunti Kendil ingat pada rokok yang dihisap
Mahesa. Bentuk dan jenisnya sama.
Jangan-jangan kakek jelek inilah yang mengajarkan kepada muridnya merokok!
"Aku tak ingat siapa dirimu adanya. Empat puluh tiga tahun bukan waktu sebentar.
Lagi pula tak ada perlunya aku mengingat-ingat. Katakan saja lekas apa maksud
kedatanganmu kemari!"
Kakek mka jerangkong itu yang bukan lain adalah
Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil cabut rokonya dari sela bibir, lalu
menjawab: "Aku kemari mencari si buyung!"
"Sompret!" maki Kunti Kendil. "Tak ada orok atau anak kecil yang pantas kau
panggil si buyung di tempat ini!
Jangan bicara ngaco!"
"Nenek cerewet! Kalau tidak ada masakan aku jauh-jauh datang kemari!"
Kunti Kendil menggendeng. "Kalau begitu lekas katakan siapa yang kau maksudkan
dengan si buyung itu!" ujar si nenek pula.
"Sahabatku. Muridmu yang bernama Mahesa itu!"
"Hemmm... dia" Mana aku tahu anak setan itu sahabat-mu. Dia tak ada di sini!"
"Mungkin kau tahu di mana aku dapat mencarinya?"
"Mana aku tahu. Lagi pula aku tak perduli dia ada di mana. Cuma apa perlumu
mencarinya. Maksud baik atau maksud jahat"!"
"Kalau aku mencari sahabat tentu dengan maksud baik.
Aku perlu beberapa keterangan dari dia."
"Keterangan apa?" tanya Kunti Kendil ingin tahu.
Kakek itu tertawa. "Tak ada salahnya jika kukatakan padamu," katanya kemudian.
"Pertama aku ingin tahu di mana beradanya Roko Nuwu alias dukun bejat berjuluk
Embah Bromo Tunggal...."
"Hemmm... apa perlumu mencari dukun itu?" tanya
Kunti Kendil. "Dia mencuri sesuatu dariku. Sesuatu itu harus ku-kembalikan kepada pemiliknya."
jawab Pendekar Muka Tengkorak.
"Aku tidak tahu di mana dukun keparat itu berada. Nah, katakan apa keperluanmu
yang lain." kata Kunti Kendil pula.
"Yang lain itu hanyalah untuk ngobrol-ngobrol saja dengan muridmu itu. Lama tak
bertemu tentu banyak bahan obrolan!"
"Muridku tak ada di sini. Tempatku ini bukan tempat untuk mengobrol. Karenanya
silakan kau angkat kaki dari sini!" ujar Kunti Kendil.
Si kakek hisap sisa rokoknya dalam-dalam lalu campakkan puntung rokoknya ke
tanah. Sesaat dia mengusap dagunya lalu memandang ke jurusan timur lantas
berkata: "Aku kenal baik dirimu meskipun hanya sekali bertemu.
Biasanya kau cukup ramah bertemu dengan orang-orang seangkatan. Hari ini kulihat
kau seperti tidak suka menerima tamu yang tak diundang. Rupanya kau tengah
menunggu kedatangan seseorang. Dan orang yang kau tunggu itu sudah datang.
Baiklah, aku tak mengganggumu lebih lama." Kakek muka tengkorak itu berdiri lalu
sebelm pergi dia berkata: "Jika muridmu si buyung itu muncul di sini, katakan
aku si muka tengkorak mencarinya." Lalu orang tua kerempeng muka jerangkong
inipun berkelebat pergi.
"Aneh, bagaimana dia bisa tahu aku tengah menunggu seseorang," pikir Kunti
Kendil. Baru saja nenek itu berkata begitu sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah
tegak dihadapannya.
"Kunti Kendil, aku Lembu Surah datang memenuhi
janji!" "Lembu! Aku gembir kau datang!" seru si nenek. Memperhatikan keadaan lelaki tua
itu si nenek tambah gembira. Betapakah tidak. Mukanya yang walaupun masih
tertutup topeng berwarna kuning kini tampak lebih kelimis.
Pakaiannya rapi, putih bersih bergambar kelabang hitam.
Hanya saja dia masih menyandang kantong kulit berisi cairan darah yang biasanya
menebar bau busuk. Tapi kali ini cairan busuk itu tidak tercium lagi.
"Aku sudah memutuskan untuk menuruti kemauanmu
Kunti. Kupikir tubuh yang sudah bau busuk ini tak akan lama lagi bisa hidup.
Mungkin ada baiknya kalau sisa hidup ini kuhabisakan dalam jalan lurus dan baik.
Berbuat kebajikan!" Begitu Lembu Surah yang bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah
eluarkan kata-katanya dengan polos.
Sepasang mata Kunti Kendil tampak berkaca-kaca. "Jai kau terima seluruh syarat-
syaratku?" tanya si nenek ingin kepastian.
"Kau lihat sendiri aku tak lagi membekali darah busuk itu. Kantung ini berisi
tuak kelas rendah yang tak akan me-mabukkan sekalipun diminum samai tujuh
gentong!" menyahuti Lembu Surah
"Bagus. Tapi itu baru satu syarat yang kau penuhi.
Perjanjian kita tempo hari ada beberapa syarat," ujar Kunti Kendil. "Kau ingat?"
Lembu Surah Mengangguk "Memang di sisa usia yang tak seberapa ini tak pantas
lagi rasanya terlibat dalam soal bunuh membunuh yang tak kau sukai itu. Aku
bersedia tidak melakukan hal itu lagi. Tapi kau harus mengerti.
Musuhku terlalu banyak. Sekalupun aku keluar dari kesesatan mereka mungkin akan
tetap terus mencariku.
Nah jika musuh datang tak mungkin aku berdiam saja...."
"Jika mereka berani datang aku akan katakan pada mereka bahwa kau sudah
meninggalkan cara hidup yang sesat itu. Lantas kalau mereka masih keras kepala,
tak mau mengerti dan tetap melampiaskan dendam kesumat juga, maka aku sendiri
tak akan segan-segan turun tangan membantumu. Hanya bagiku dua syarat tadi itu
hanya syarat-syarat pemdamping. Yang penting aku ingin tahu apakah kau bersedia
mengawiniku..."!"
"Soal itu memang sudah kupikirkan. Ada satu kenyataan yang harus kau sadari
Kunti..." "Kenyataan apa?"
"Kita sudah sangat tua. Malah tua bangka kata orang.
Hampir masuk liang kubur. Kalau kita kawin secara resmi tentu akan diketawai
orang-orang persilatan..."
"Perduli setan dengan mereka!" tukas Kunti Kendil.
Datuk Iblis tertawa lalu gelengkan kepalanya. "Selama kita merupakan bagian dari
dunia persilatan, selama itu pula kita tak bisa lepas dari mereka."
"Orang-orang persilatan. Huh!" dengus Kunti Kendil.
"Jika kita susah apa mereka mau tahu" Jika kita senang mereka menfitnah. Karena
itulah aku sudah mengambil keputusan untuk menghabiskan sisa hidup dengan
berdiam di puncak Iyang ini saja. Dan tentunya bersamamu sebagai suami istri.
Sekalipun memang kita tak perlu kawin resmi seperti yang kau takutkan itu!"
"Kalau begitu urusan kita rampung sudha," kata Lembu Surah.
Kunti Kendil tersenyum gembira. "Jadi mulai hari ini kau tinggal di sini,
Lembu." "Mauku begitu. Hanya mungkin hari ini aku tak bisa lama-lama. Ada beberapa
urusan yang harus kuselesaikan.
Paling lama satu minggu dimuka sudah ada lagi di sini..."
Mendengar hal itu berubahlah paras si nenek. "Kau hendak mempermainkan aku atau
bagaimana, Surah?"
tanyanya. Lembu Surah mendekat dan pegang lengan Kunti
Kendil. "Kalau aku sudah berjanji, aku tak akan
memungkiri. Kalau memang aku ingin mempermainkan kau atau bicara dusta perlu apa
hari ini aku datang kemari?"
Kunti Kendil terdiam. Dia seperti merenung. Sesaat kemudian nenek ini berkata.
"Baiklah, aku percaya padamu. Aku sudah membangun sebuah pondok kayu di puncak
sebelah timur. Tidak bagus. Tapi cukup indah buat kita berdua. Kau perlu
istirahat Surah. Paling tidak ber-malam satu malam, besok pagi-pagi kau boleh
pergi. Atau mungkin aku boleh ikut bersamamu?"
Lembu Surah menggeleng. "Tak usah. Lebih baik jika aku menyelesaikan semua
urusanku sendiri. Aku khawatir jika kau muncul lagi masalah-masalah baru...."
Kakek ini kembali pegang lengan si nenek dan berkata, "Mana, tunjukkan aku
pondok barumu itu." Sambil berpegangan kedua nenek dan kakek ini melangkah
menuju arah timur puncak gunung Iyang.
*** Keesokan paginya Lembu Surah meninggalkan puncak
Iyang dilepas oleh Kunti Kendil. Pagi tampak cerah, udara sejuk dingin terasa
sedap di jalan pernafasan. Karena merasa tidak perlu buru-buru Lembu Surah
berlari santai saja. Karena menjelang tengah hari baru dia sampai di kaki gunung
Iyang. Mendongak ke atas dia melihat puncak gunung tertutup awan. Terbayang
olehnya wajah Kunti Kendil. Wajah tanpa kedok kulit tipis yang cantik jelita.
Terbayang juga olehnya semua yang terjadi malam tadi. Kakek ini geleng-gelengkan
kepala sambil tersenyum. Lalu dia teruskan perjalanan kembali. Baru saja dia
melangkah beberapa belas langkah tiba-tiba dari balik sebuah batu besar
terdengar suara orang berkata: "Dewiku! Pembunuh yang kita tunggu sudah muncul!
Mari kita cegat untuk dimintai nyawanya! Waw waw waw!"
Lembu Surah terkejut. Dia kenal betul suara itu.
"Ah ini urusan berabe yang tak bisa dielakkan!" keluh si kakek yang memakai
topeng kulit tipis berwarna kuning.
Dua sosok tubuh berkelebat dan menghadang di depannya. Yang satu, seperti
diduganya adalah Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam, murid Kunti Kendil yang
sejak kemarin menjadi istrinya walaupan dalam satu perkawinan tanpa disaksikan
siapapun! Orang kedua adalah sama sekali tidak diduganya. Orang ini adalah gadis
cantik berpakaian kuning yang dulu pernah digilainya hingga di-kejarnya ke mana-
mana. "Ada hubungan apa pemuda gila ini dengan gadis
Pendekar Penyebar Maut 31 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 15
^