Pencarian

Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 1

Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis Bagian 1


KEBANGKITAN ILMU-ILMU IBLIS
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Alih Versi Oleh: Danny Situmenang
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Debur ombak menggelegar! Gelombang air
laut menciptakan garis-garis putih, memanjang seolah-olah saling berkejaran atau
saling berlomba lebih dulu sampai di pantai. Terdengar air laut berdesah meman-
jat tepi pantai yang landai, kemudian turun dan kembali bersatu dengan gelombang
yang datang menyusul.
Hari masih pagi, namun karena sang surya
sedang cerah, permukaan laut tampak berkilau-kilau.
Cukup indah. Tetapi hempasan ombak yang datang
bergulung-gulung seolah-olah menutupi keindahannya
dan kemudian menimbulkan kesan menakutkan. Gu-
lungan ombak itu terkadang sampai sekitar sepuluh
meter, tampak siap melumat benda apa saja yang ada
di sekitarnya. Burung-burung camar terbang berkelompok-
kelompok di langit biru. Beberapa ekor di antaranya menukik cepat sekali,
kemudian melesat lagi ke atas, bergabung dengan rombongannya.
Dinding batu karang di tepi laut menjadi ge-
ronggang terkikis hantaman ombak. Tak diragukan la-
gi, laut di tempat itu sangat ganas! Siapa saja yang pernah terjun langsung ke
lautan itu atau hanya men-dengarnya, mengakui hal tersebut. Ganasnya gelom-
bang tidak hanya dapat menghanyutkan perahu uku-
ran besar, tetapi juga mampu membuatnya hancur
berkeping-keping.
Itulah laut Arafuru!
Laut Arafuru merupakan rangkaian samudra
Hindia dari Barat ke Timur, sampai sekarang masih
dikenal sebagai laut berombak besar dan ganas. Merupakan pemisah Kepulauan
Tanimbar dan Kepulauan
Aru dengan benua Australia, yang dikenal sebagai ne-
geri Kanguru. Di sebelah Barat adalah laut Timor, dan di sebelah Barat Laut
membentang laut Banda.
Kepulauan Aru yang merupakan gugusan pu-
lau-pulau kecil berada di sebelah Barat Daya Irian
Jaya sekarang. Dari kepulauan itulah kisah ini dimulai beratus-ratus tahun
silam. Kisah petualangan para
pendekar muda dari Pulau Jawa.
Jika sebagian orang mendengar debur ombak
yang menggelegar di laut Arafuru sudah ngeri atau ciut nyalinya, justru sekarang
tampak seorang lelaki berusia muda duduk berendam di perairan yang dangkal.
Usianya baru sekitar dua puluh lima tahun.
Tubuhnya tegap dan kekar. Rambutnya yang panjang
sebatas bahu diikat dengan sepotong kain. Tampaknya ia sudah cukup lama dan
terbiasa pula duduk bersemedi di laut, sehingga wajahnya berubah agak kehi-
tam-hitaman. Namun wajahnya yang mencerminkan
kejujuran itu tetap terlihat tampan dan simpatik.
Itulah dia Karta yang lebih dikenal dengan ju-
lukan si Gila Dari Muara Bondet. Pendekar itu duduk di perairan dengan sikap
tegak, kedua tangan dilipat di dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan.
Walaupun arus ombak cukup kuat, tubuhnya tetap tegak ti-
dak bergerak-gerak sehingga dari kejauhan tampak
seperti patung.
Nun jauh di atas tebing, berdiri pula seorang
wanita sambil menggendong anaknya yang masih kecil.
Ia masih muda, sekitar dua puluh satu tahun. Ram-
butnya yang panjang dikuncir dan dihiasi manik-
manik. Wajahnya yang bulat lonjong berkulit putih
bersih kelihatan memancarkan kecantikan. Namun ki-
ni wajah itu tampak muram, bagaikan cakrawala di-
hiasi mendung, sepasang matanya juga redup, mena-
tap suaminya yang sedang bersemedi di laut.
Nomina, adik kandung Kepala Suku bernama
Pampani adalah istri Karta. Mereka sekarang sudah
dikaruniai seorang anak. Kehidupan rumah tangga
Karta selama ini sebetulnya cukup sejahtera, selalu diwarnai keceriaan. Nomina
dan Karta saling mencintai dan pengertian satu sama lain.
Namun kedamaian itu tidak terlalu lama me-
reka rasakan. Bukan karena di antara mereka terjadi kesalah pahaman. Tetapi
karena suku yang dipimpin
Pampani sedang terlibat perang suku dengan kelom-
pok-kelompok Wan-Da-I dan Womere. Tokoh dari go-
longan sesat ini sudah sekian lama berambisi menggu-lingkan Pampani. Segala cara
mereka tempuh untuk
bisa menjadi penguasa di Kepulauan Aru
Dalam suatu pertempuran baru-baru ini Kar-
ta menderita luka dalam yang cukup parah, sehingga
berhari-hari ia harus bersemedi di laut untuk memu-
lihkan kesehatannya. Dengan setia, Nomina istrinya
itu sering menjenguknya dari atas tebing dan berharap suaminya itu secepatnya
sembuh seperti sedia kala.
Dari arah belakang Nomina, terdengar suara
langkah tertatih-tatih. Lelaki itu menutupi kepalanya dengan topi jenis caping
lebar sehingga wajahnya ter-lindung dari sengatan terik matahari. Ia sudah cukup
tua, mungkin sudah mencapai empat puluh tahun
atau lebih. Ia selalu menggunakan tongkat, karena ka-ki kanannya telah buntung
sebatas lutut. Namanya Baureksa. Namun karena kakinya
yang buntung tetapi tetap mempunyai ilmu silat yang tinggi, di kalangan
persilatan ia dijuluki Pendekar Kaki Tunggal. Ia sekarang melangkah menghampiri
Nomina. Sejenak Baureksa menatap Nomina dengan mata sen-
du. Ia merasa sangat terharu, karena terasa benar
olehnya betapa besar cinta dan kesetiaan adik Kepala Suku itu terhadap suaminya,
Karta. "Tuanku Ratu," ujar si Kaki Tunggal dengan
suara lembut. Nomina sudah mengenal suara itu.
Mungkin itu sebabnya ia tidak berpaling, masih me-
layangkan pandangan matanya ke hamparan laut di
bawah sana. "Sudahlah tuanku putri. Hari sudah mulai
petang. Sebaiknya kalian berdua pulang saja. Uda-
ranya tidak baik untuk si orok yang masih lemah. Kasihan, nanti jadi sakit."
Perlahan-lahan Nomina membalikkan badan,
menatap Baureksa dengan mata berkaca-kaca.
"Biarlah aku yang menunggui suamimu. Da-
lam beberapa hari lagi ia tentu akan selesai bersemedi.
Ia telah mengalami luka dalam cukup parah. Karena
itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk me-
nyembuhkannya. Tapi pasti sembuh! Ayolah biar aku
antarkan kalian pulang."
Akhirnya dengan gerak perlahan, Nomina
mengangguk, "Terima kasih," ujarnya lirih. Di tengah perjalanan pulang, mereka
berpapasan dengan suami
istri Umang dan Mirah. Sepasang pendekar muda itu
mengangguk hormat, lalu tersenyum ramah.
"Oh, kau Umang dan Mirah. Kebetulan, tolong
kawal tuan permaisuri ke istana. Aku akan berjaga-
jaga di sini."
"Baik, kami akan antarkan!"
Sementara itu di sudut lain pantai karang,
tampaklah seorang lelaki tegap dan tinggi besar berjalan menyusuri pantai
karang. Ia mempunyai tinggi tubuh sekitar dua meter. Tubuhnya yang penuh otot
itu hanya ditutupi semacam cawat, menutupi kemaluan-nya. Kedua lengan atas dan
pergelangan tangannya
dihiasi gelang-gelang perak, demikian juga pergelangan kakinya. Sementara di
daun telinganya dihiasi anting-anting bulat besar.
Wori, demikian nama lelaki raksasa itu. Ia se-
benarnya bukan penduduk pribumi Kepulauan Aru,
melainkan suku asli dari negeri Kanguru yang seka-
rang bernama Australia. Sama seperti suku asli di ne-gerinya, ia juga
menggunakan senjata bumerang, ter-
buat dari logam campuran baja dan kuningan. Senjata itu berbentuk setengah
lingkaran hingga mirip bulan sabit, yang kedua ujungnya sangat runcing. Adapun
keistimewaan senjata bumerang adalah jika dilempar-
kan namun tidak mengenai sasaran, akan kembali ke-
pada si pemiliknya.
Setiap senjata memang mempunyai kelebihan
dan kekurangan tersendiri. Namun karena sudah san-
gat ahli menggunakannya, senjata andalan Wori ha-
nyalah bumerang itu. Makanya di kepulauan Aru ia dijuluki Pendekar Bumerang. Ia
sudah cukup lama ber-
gabung dengan suku pimpinan Pampani, setelah da-
lam petualangannya terdampar di Kepulauan Aru.
Kini ia sedang berdiri tegak di dekat dinding
cadas tepi pantai. Sepasang matanya yang besar me-
natap liar, mengamati batu cadas. Lalu dengan gera-
kan cepat, ia melemparkan bumerang di tangannya,
meluncur menghantam batu cadas. Bumerang itu ke-
mudian berbalik ke tangan Wori.
"Bukan! Suaranya biasa saja," kata Wori pada dirinya sendiri. Berkali-kali
lelaki kekar dan tinggi besar itu melemparkan senjatanya yang unik ke setiap
dinding cadas yang dijumpainya. Sampai suatu saat
suara benturan bumerang terdengar lain. Wajah Wori
tiba-tiba berubah jadi berseri-seri, matanya bersinar-sinar.
"Nah, ini dia! Suaranya agak lain!" katanya.
Lalu ia mengetuk-ngetuk dinding cadas sambil mele-
katkan telinganya. Setelah yakin bahwa dinding itulah yang dicarinya, maka ia
pun mundur beberapa langkah dan memasang kuda-kuda. Kedua tangannya dis-
ilangkan di dada, nafasnya ditahan beberapa saat.
Sambil berteriak dengan suara menggelegar,
tiba-tiba Wori menyeruduk dinding cadas itu. Kepa-
lanya yang botak menghantam dengan dahsyat bagai-
kan godam raksasa.
"Bruuk!" Dinding cadas itupun jebol, hancur berkeping-keping, membuat lubang
yang cukup besar,
Wori agak pusing juga, tetapi ia menarik nafas lega, karena telah berhasil
menemukan sebuah terowongan
yang belum pernah diketahui sebelumnya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Wori segera
masuk ke terowongan itu. Hanya beberapa saat kemu-
dian, ia masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup
besar, yang sekelilingnya merupakan dinding batu cadas pula. Di sudut ruangan
itu tampak sebuah pintu
terbuat dari sebongkah batu besar.
"Aku akan menggeser pintu ini," pikir Wori sambil mengerahkan tenaga. Namun
jangankan tergeser, bergeming pun tidak. Kembali ia mencoba sam-
pai sekujur tubuhnya dibasahi keringat, tetapi usa-
hanya tetap sia-sia, karena pintu batu itu mempunyai urat-urat yang saling
menjalin. "Mungkin ada cara khusus untuk membu-
kanya," kata Wori, lalu memeriksa sudut-sudut batu itu. Namun ia tak menemukan
apa-apa. Dengan rasa
penasaran, ia mencoba lagi mengerahkan segenap te-
naganya menggeser pintu rahasia tadi.
Karena belum juga berhasil, pendekar bume-
rang itu akhirnya memutuskan cara lain. Ia mundur
beberapa langkah, lalu berdiri tegak lurus dengan posisi kedua kaki setengah
terbuka. Kedua tangannya
disilangkan di dada. Sepasang matanya mencorong ta-
jam menatap ke pintu batu, udara dihirup banyak-
banyak dan untuk beberapa saat ditahan hingga da-
danya tampak membusung.
"Hiyaaaat!" Wori berteriak dengan suara
mengguntur dan bersamaan dengan itu ia berlari ken-
cang. Tangan kanannya ditarik ke belakang, lalu ia
menghantam batu itu dengan telapak tangan seperti
sedang menampar.
Tenaga dalam pendekar bumerang itu me-
mang dahsyat luar biasa. Sewaktu tangannya mendo-
brak lurus ke urat nadi pintu batu, terdengar suara menggelegar bagaikan gunung
runtuh. Pintu batu itu
pun hancur berkeping-keping.
Dengan, wajah berseri-seri, namun tetap
waspada, Wori segera melangkah masuk. Pintu batu
itu ternyata menutupi sebuah lorong yang cukup sem-
pit, sehingga Wori harus agak menunduk sewaktu me-
nyusurinya. Suasana di dalam itu cukup gelap, karena cahaya hanya sedikit yang
masuk. Baru sekitar sepuluh meter melangkah, Wori
melihat sebuah obor tergantung di dinding batu. Tim-bullah niat di dalam hatinya
untuk menyalakannya.
Lalu ia menarik obor itu dengan tangan kanan. Tetapi tanpa diduga-duga,
terdengar suara berderak. Batu
yang diinjak Wori bergeser dan sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi,
tubuhnya amblas ke bawah.
Ternyata obor itu adalah jebakan, yang diatur
sedemikian rupa sehingga jika ditarik, batu yang diinjak akan amblas. Wori ingin
meraih lantai batu yang tidak ikut amblas, namun terlambat sudah, tubuhnya
sudah keburu melayang jatuh. Ia hanya bisa berteriak kaget. "Buk!" Bagian
punggung Wori terbanting keras ke dasar lubang, membuatnya kembali berteriak
kesakitan. Lelaki bertubuh raksasa itu geram dan
mengumpat dalam hati. Punggungnya terasa sakit, te-
tapi bukan hanya itu yang membuatnya kesal, tetapi
terutama adalah karena merasa tertipu dan diper-
mainkan. Ia segera bangkit berdiri dan menyapu kea-
daan di sekelilingnya dengan tatapan mata liar.
Sebelum sempat berbuat apa-apa, terdengar
suara berdesir kalajengking yang jumlahnya mungkin
ratusan atau bahkan ribuan, menyerbu Wori dari sega-la jurusan. Binatang itu
sangat berbisa, sekali menggigit korbannya bisa tewas, atau paling tidak akan
kera-cunan yang sangat berbahaya. Tak terkatakan betapa
terkejutnya Pendekar Bumerang, apalagi karena bina-


Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tang-binatang berbisa itu mulai merayapi sekujur tubuhnya. Kalau saja Wori
bukanlah pendekar berilmu
tinggi dan belum mempunyai pengalaman, pastilah ia
akan berteriak-teriak panik sambil berlari-larian ke sana ke mari. Tetapi dengan
ketabahan yang luar biasa, ia berdiri tegak tanpa bergerak-gerak. Nafasnya ia
tahan beberapa saat dan mengeluarkannya sepelan
mungkin. Memang itulah satu-satunya jalan terbaik
bagi Wori, sebab kalau ia bergerak sedikit saja, kalajengking itu pasti akan
menyengatnya. *** 2 Cukup lama juga Pendekar Bumerang diam
bagaikan patung. Hingga akhirnya ketika mulai cemas tidak mampu bertahan,
terdengar suara air meluncur
dari celah-celah dinding batu yang retak, terkena pukulannya tadi. Karena tempat
itu kebetulan lebih rendah dari permukaan laut, dalam sekejap sudah penuh
dengan air. Sungguh suatu pertolongan yang sangat
menguntungkan, karena kalajengking takut air, se-
hingga segera berlarian dari tubuh Wori.
Barulah pendekar dari pulau Kanguru itu bi-
sa menarik nafas lega. Makin lama, air yang masuk ke tempat itu makin tinggi
hingga akhirnya hampir me-nenggelamkan dirinya sendiri.
Tetapi justru hal itu membuatnya dengan
mudah mencapai pintu lubang jebakan. Ia berenang ke atas, lalu meraih pinggir
jebakan dan akhirnya dapat keluar dari dasar yang dalam serta gelap itu.
Kembali ia meneruskan langkahnya dengan
sikap yang lebih hati-hati lagi. Apalagi karena lorong berikutnya jauh lebih
gelap lagi. Langkah kakinya di-usahakan seringan mungkin, sementara kedua telin-
ganya dipasang sewaspada mungkin, siapa tahu ada
suara mencurigakan.
Akan tetapi tampaknya lorong itu penuh den-
gan jebakan yang sangat membahayakan. Tiba-tiba
Wori menginjak kayu melintang di dasar lorong. Hanya beberapa saat kemudian,
dari kiri kanan dinding meluncur tombak-tom-bak runcing yang dirangkai hingga
menyerupai pagar, mengarah ke tubuh Wori.
Sambil berseru kaget, laki-laki tegap itu
membantingkan tubuh ke samping. Loloslah pendekar
bertenaga dahsyat itu dari maut, walaupun tangan dan kakinya terluka
mengeluarkan darah segar. Lelaki itu menggeram, kembali nyawanya nyaris terbang
meninggalkan raga. Dipukulnya jebakan maut itu hingga je-
bol. Wori menghela nafas dalam-dalam dalam ke-
tertegunannya. Ia tak berani membayangkan bagaima-
na kalau pintu bergigi runcing itu menggencet tubuhnya. Hanya dalam beberapa
helaan nafas saja, ia tentu akan tewas. Keadaan itu membuatnya merasa perlu
meningkatkan kewaspadaan, walaupun tidaklah mem-
buatnya gentar dan mengurungkan niat.
Ia terus melangkah menyusuri lorong di de-
pannya dan tak lama berselang sampailah dirinya ke
sebuah ruangan yang cukup besar, berukuran sekitar
empat kali empat meter dan semua dindingnya terbuat dari batu cadas.
Di dinding itu ada pula gagang kayu yang
tampaknya merupakan kunci dari gerbang batu di de-
pannya. Wori sekarang lebih berhati-hati. Diperiksanya lantai kayu yang
diinjaknya, karena ia bermaksud
akan memutar gagang kayu itu. Namun tidak terjadi
sesuatu yang tak diinginkan ketika gagang itu diputar, bahkan secara perlahan-
lahan gerbang batu di depannya terbuka, setelah bergerak naik ke atas.
Masuk ke lorong melalui gerbang tadi itu, Wo-
ri menemukan lorong yang sedikit lebar. Kira-kira sepuluh meter di depannya
terdapat sebuah belokan. Di ujung belokan itu terlihat cahaya memancar membuat
Wori ingin secepatnya mengetahui benda apa yang
bercahaya itu. Astaga! Wori hampir tak percaya pada pengli-
hatannya sendiri. Matanya terbelalak lebar. Sekitar li-ma meter di depannya ada
sebuah cungkup (sumur)
berbentuk segi empat, agak tinggi tempatnya. Di empat sudutnya terdapat alat
penerangan terbuat dari api
alam (gas bumi), sehingga tempat itu terang bende-
rang. Cungkup itu terbuat dari batu pualam yang
ditata apik hingga tampak sangat indah dan di bawahnya dua anak tangga, mirip
seperti singgasana raja.
Wori melangkah mendekat dan ia kembali terbelalak
menyaksikan cungkup berukuran sekitar enam kali
enam meter itu penuh butir-butir mutiara. Seumur hidup Wori belum pernah melihat
mutiara sebanyak itu, bahkan membayangkannya pun tidak. Lama pendekar
bumerang itu tertegun memikirkan untuk apa tumpu-
kan mutiara sebanyak itu dan dari mana saja dikum-
pulkan. Di hadapannya terpampang pula sebuah
akuarium raksasa. Dindingnya terbuat dari batu kaca yang langsung dipahat hingga
cukup tipis dan halus, serta tembus pandang. Di balik akuarium itu tampak
dasar laut sepanjang kanal buatan itu. Di dalam akuarium itu berkeliaran
berpuluh-puluh ekor ikan hiu.
Sungguh suatu pemandangan yang menakjubkan. Te-
tapi lebih menakjubkan lagi kemahiran teknik Maleang Pangaru membangun cungkup
berisi mutiara, akuarium dari kaca batu dan kanal buatan.
Wori sendiri tidak pernah membayangkan
bahwa tokoh sesat Maleang Pangaru sudah mencapai
kemahiran sehebat itu. Maleang Pangaru yang dijuluki Iblis Pulau Aru sebetulnya
adalah adik dari ayah Pampani, tetapi selama hidupnya ia tidak pernah akur
dengan kakaknya pemimpin suku di pulau tersebut.
Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, tokoh sesat ini juga dikenal
memiliki ilmu sihir yang tiada ban-dingannya.
Dalam petualangannya sebagai jagoan dari
dunia hitam, Maleang Pangaru sering pula dijuluki si Manusia Hiu, karena bentuk
mukanya persis kepala
ikan hiu, yang bagian ekornya memanjang sampai ke
batas lututnya melalui punggung.
Agaknya semasa hidupnya Iblis Pulau Aru itu
telah mengumpulkan banyak sekali mutiara di dalam
lorong rahasia. Setelah ia meninggal, lorong rahasia atau bangunan bawah tanah
itupun dikuasai anaknya
Wan-Da-I, yang juga mewarisi sifat buruk ayahnya.
Dalam keadaan seperti itu, Wan-Da-I yang menaruh
dendam kesumat kepada Pampani bermaksud meng-
gunakan timbunan mutiara itu untuk bisa menjadi
penguasa di Kepulauan Aru.
Sekarang Wori yang merupakan sahabat de-
kat musuh besarnya itu sedang di tempat penyembu-
nyian mutiara. Pendekar bumerang itu meraup mutia-
ra-mutiara itu dan memandangnya sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Ia tak habis pikir untuk apa mutiara sebanyak itu. Tetapi
menurut perkiraannya, kalau
hendak membangun istana terbuat dari mutiara tentu-
lah bisa. Ketika Wori masih tetap mengagumi mutiara-mutiara itu, tiba-tiba
sebuah bayangan bergerak di be-lakangnya, lalu melemparkan beberapa lembar
kertas. Wori menjadi terkejut mendengar suara gemerisik itu.
Secepat kilat ia berbalik dan menatap liar keadaan di sekelilingnya.
"Heh! Siapa itu?" bentaknya sambil mema-
sang kuda-kuda. Ia segera meloncat ke balik lorong
itu, di mana terdapat sebuah lemari kayu. Kebetulan ada seekor tikus melintas di
antara kertas-kertas itu.
Ah, cuma seekor tikus, pikir Wori, lalu memungut kertas. Kertas itu diperiksanya
sejenak, ternyata berisi tulisan. Sayang sekali ia tidak bisa membaca sama seka-
li. Wori kemudian memasukkannya ke sela-sela cawat-
nya dan nanti akan ia tunjukkan kepada Pampani,
siapa tahu tulisan itu berisikan sesuatu yang sangat penting.
Sementara itu, penduduk pimpinan Pampani
masih sibuk membangun kembali istana baru di atas
puing-puing istana yang lama. Mereka tampak bekerja sangat tekunnya, sehingga
tanpa terasa hari sudah
siang. Pampani melangkah menghampiri para peker-
ja itu. Wajahnya tampak berseri-seri melihat kesung-guhan warganya. Bentuk kasar
istana itu sudah terlihat dan menurut perkiraannya, dalam beberapa hari
lagi pastilah akan rampung. Sebuah istana yang mirip dengan rumah tradisional,
cuma jauh lebih besar dan
indah karena ditata bagus dan diberi warna-warni kon-tras seperti kebiasaan
penduduk pribumi di sekitar
laut Arafuru. Seperti halnya rumah lainnya, istana itu di-
bangun dengan tiang penyangga yang cukup tinggi dan bagian atapnya dibuat
melengkung dari ujung ke
ujung. Terdiri dari beberapa ruangan yang luasnya
berbeda-beda sesuai keperluannya, ruang pertemuan,
kamar tidur dan peristirahatan, tempat singgasana,
ruang penyimpanan buku-buku dan harta istana lain-
nya, ruang penjagaan dan yang lainnya.
Pekarangan istana itu sangat luas dan diberi
pagar rapat dan tinggi sekitar enam meter, di mana
ujung-ujungnya dibuat runcing, sehingga akan sulitlah bagi orang melewatinya
tanpa diketahui penjaga karena di sudut kanan pekarangan istana itu dibangun pu-
la menara pengawas. Walaupun belum rampung, da-
patlah diyakini bahwa istana baru itu jauh lebih bagus dan kuat dibandingkan
istana lama. "Waktu bersantap sudah tiba. Marilah tamu-
tamu kehormatanku! Berkumpullah untuk bersantap!"
kata Pampani dengan ramah.
Para pekerja itu sama-sama menghentikan
pekerjaannya. Mereka segera berkumpul di ruang ten-
gah istana itu. Di bagian paling ujung duduklah Pampani. Di sebelah kanannya
Pendekar Kaki Tunggal dan Bungoru, yang tubuhnya tinggi besar. Perawakannya
hampir sama dengan Wori, hingga mirip raksasa. Di
sebelah kiri Pampani duduklah sepasang suami istri
Umang dan Mirah. Sedangkan di hadapan mereka te-
lah terhidang makanan serta lauk pauknya.
"Di manakah saudara kita Wori" Barangkali
ia sedang sibuk di luar," kata Pampani.
"Sejak tadi aku belum melihatnya," sahut
Bungoru. "Kita tunggu saja barang sebentar. Lebih
nikmat rasanya kalau bersantap bersama-sama,"
Umang menimpali.
Sejenak mereka berdiam diri sambil menung-
gu Wori yang sejak tadi tidak kelihatan batang hidungnya. Setelah itu, si Kaki
Tunggal berkata: "Hm, sayang sekali! Di saat-saat seperti ini sudah berhari-hari
saudara Karta tak hadir di tengah-tengah kita. Kurang
nikmat rasanya."
"Ya, apa boleh buat! Kita harapkan saja se-
moga dia lekas sembuh. Hm, Bungoru. Coba kau
panggil saudara Wori!" kata Pampani.
"Daulat, tuanku!"
Tepat ketika Bungoru bangkit dari duduknya,
muncullah Wori di ambang pintu. Laki-laki bertubuh
raksasa itu tertawa terkekeh-kekeh, "Tak usah repot-repot. Aku sudah datang!"
katanya. "Huh dari mana saja kau?" kata Bungoru.
"Maafkan aku! Rupanya kalian agak cemas
menunggu. Aku kebetulan sedang menemukan sesua-
tu yang sangat penting."
"Apakah yang kau maksudkan itu?" tanya
Baureksa, si Kaki Tunggal.
"Sebaiknya kita makan saja dulu! Aku pun
sudah sangat lapar!"
Mereka pun segera bersantap dengan sangat
lahapnya. Sama seperti Bungoru, Wori pun makannya
sangat cepat dan banyak. Mulut lelaki raksasa itu ber-decap-decap diiringi gerak
perut yang gendut turun
naik sehingga kelihatan sangat lucu. Orang lain tentulah akan geli melihat cara
makan Wori dan Bungoru.
Tetapi orang-orang di ruangan itu sudah ter-
biasa melihatnya, jadi telah dianggap hal yang biasa pula.
Usai makan, Wori segera menceritakan pen-
galaman dan temuannya di dalam bangunan rahasia
Iblis Pulau Aru.
"Aku membawa kabar penting untuk baginda
Kepala Suku dan kita semua. Menjelang matahari ter-
bit, aku telah berhasil menemukan gudang penyimpa-
nan mutiara dari Iblis Pulau Aru. Banyak sekali, hampir aku tidak percaya di
sini ada mutiara sebanyak itu."
"Hah" Jadi kau telah menemukannya?" kata
Bungoru terkejut.
"Ya! Tak percuma kan aku dijuluki Pendekar
Bumerang?" kata Wori bangga.
"Lalu bagaimana keadaan di sana?" tanya
Baureksa. "Penuh dengan jebakan mematikan. Aku
hampir saja masuk liang kubur." Lalu Wori menyodor-kan berkas-berkas kertas yang
ditemukannya, "Aku tak bisa membaca. Tolong kau yang membacanya.
Mungkin berisi sesuatu yang sangat penting!"
Baureksa menjadi tertawa masam, "Wah, sa-
rua keneh! Waktu kecil aku cuma diajari tulisan Arab di pesantren. Kalau tulisan
Belanda mah' teu tiasa
jang, he-he-he!"
"Kalau tulisan Latin sebaiknya serahkan saja
pada Mirah. Dia adalah putri bekas pejabat di Kuningan, tentu bisa baca!" kata
si Lengan Tunggal Umang.
Wori segera menyerahkan kertas-kertas itu
kepada Mirah. Tetapi wanita itu pun rupanya rada-
rada buta huruf pula. Dengan susah payah ia mencoba mengeja huruf demi huruf,
namun tetap saja ia tak bi-sa membacanya dengan sempurna.
"Ini... ini surat penjualan mutiara-mutiara
kepada Belanda," kata Mirah agak ragu-ragu.
"Hah?" Pampani berseru kaget mendengar
ucapan Mirah, "Benarkah itu?"
"Ya, benarkah itu, Mirah?" tanya Baureksa pula ingin memperoleh kepastian.
Mirah kembali mengeja-ngeja huruf demi hu-
ruf. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk mantap,
"Benar! Tidak salah lagi, Tulisan ini memang surat penjualan mutiara kepada
Belanda!" Para pendekar di ruangan itu saling pandang
satu sama lain, seolah-olah ingin bertanya, kalau memang benar demikian, apakah
gerangan maksud Wan-
Da-I menjual mutiara-mutiara itu kepada Belanda"
Dapat diterka, tokoh sesat itu pun tentu telah meren-canakan sesuatu yang lebih
hebat lagi untuk bisa jadi penguasa di Kepulauan Aru. Dan itu membuat Pampani
serta teman-temannya pendekar dari Pulau Jawa
merasa harus meningkatkan kewaspadaan.
***

Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

3 Di tepi pantai, si Gila Dari Muara Bondet ma-
sih duduk bersemedi di antara terpaan gelombang laut yang cukup kuat. Kedua
matanya terpejam dan tubuhnya tegak diam, pertanda bahwa ia benar-benar
hanyut dalam semedinya.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali di
atas tebing, lalu mengintai dari balik pepohonan. Tangannya yang kekar memegang
sebatang lembing yang
ukurannya kecil dan pendek, sehingga mirip anak pa-
nah. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, lelaki
misterius itu menyambitkan lembing itu dari atas tebing ke arah punggung si Gila
Dari Muara Bondet.
Agaknya lelaki yang melancarkan serangan
gelap itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuat-
nya, sehingga benda runcing bergagang panjang itu
meluncur bagaikan kilat dan menimbulkan suara ber-
desing. "Club!" Dengan kecepatan luar biasa, si Gila Dari Muara Bondet meloncat
ke atas, sehingga senjata rahasia itu hanya menancap di dasar air tempat Karta
tadi duduk bersemedi. Dalam semedinya, si Gila Dari Muara Bondet ternyata tetap
memasang kewaspadaan,
sehingga ketika senjata itu meluncur ke arahnya, ia segera mengetahui lewat
pendengarannya yang sangat
tajam. Tubuhnya bersalto beberapa kali dengan ge-
rakan yang sangat ringan dan cepat. Kakinya, kemu-
dian mendarat di atas tebing dengan gerakan yang
hampir tidak menimbulkan suara, pertanda ia sudah
memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.
"Haiiiit!" Karta langsung memasang kuda-
kuda sambil menatap liar ke sekelilingnya. Tetapi
alangkah kecewanya dia, manakala menyadari bahwa
orang yang menyerangnya telah lenyap. Sadarlah Karta bahwa orang itu pasti
memiliki ilmu yang sangat tinggi dan mempunyai sifat kejam serta sadis. Kalau
saja senjata itu tadi mengenai sasaran, kemungkinan Karta akan tewas, atau paling
tidak akan menderita luka parah.
Dengan kesal, Karta meloncat turun dan
kembali duduk bersemedi di dalam air. Sebelum ha-
nyut dalam semedinya, pendekar itu masih sempat
bertanya-tanya siapakah gerangan musuh yang me-
nyerangnya secara diam-diam tadi"
Sementara itu, Pampani dan kawan-
kawannya masih duduk berbicara serius mengenai pe-
nemuan Wori yang sangat menakjubkan. Dari wajah
mereka, terlihat adanya ketegangan.
"Bagaimana pendapat kalian mengenai pen-
jualan mutiara-mutiara peninggalan Iblis Pulau Aru?"
tanya Pampani. "Menurut pendapatku lebih baik jual beli ini
tidak diteruskan. Kita ambil mutiara-mutiara itu dan kita kembalikan kepada
rakyat yang berhak," kata Mirah mengajukan pendapatnya.
"Hm, aku ada akal lain," sahut Baureksa,
"Lebih baik mutiara-mutiara itu kita jual ke lain bangsa, tetapi bukan kepada
Belanda. Kita jual saja kepada bangsa Inggris, kita cari persaingan harga yang
lebih tinggi. Siapa yang berani bayar tinggi, merekalah yang dapat." "Tapi apa
bedanya?" kata Wori tampak kurang setuju dengan saran si Kaki Tunggal, "Dengan
ca-ra seperti itu, sama saja meneruskan pekerjaan Ma-
leang." "Tunggu dulu! Maksudku, dengan cara seperti itu maka akan timbul perang
dagang di antara orang-orang kulit putih. Biarlah mereka saling cakar-cakaran
satu sama lain. Kita yang makan untungnya. Apakah
kalian setuju?"
"Ha ha ha!" Wori tertawa tergelak-gelak sehingga perutnya berguncang-guncang,
"Bagus! Bagus sekali. Aku setuju. Inggris kita adu dengan Belanda!"
Pampani tampak manggut-manggut. Wajah-
nya pun tampak berseri-seri, dan dengan nada ceria ia berkata: "Aku pun setuju!
Tapi siapa orangnya yang bisa menghubungi bangsa Inggris?"
Sebelum sempat ada yang menjawab, tiba-
tiba si Kaki Tunggal berteriak nyaring. Tongkatnya
yang ujungnya bergagang dua disambitkan sambil
mengerahkan tenaga dalam, sehingga meluncur bagai-
kan kilat ke atas atap istana.
"Hiyaaaat!" Suami istri Umang dan Mirah pun meluncurkan golok mereka. Wori pun
tak ketinggalan,
bumerang mautnya menyambar bagaikan kilat menyu-
sul senjata teman-temannya.
Hampir secara berbarengan, semua senjata
itu menembus atap. Terdengar suara seruan kaget se-
seorang yang sejak tadi rupanya mengintai dari atas atap. Tetapi agaknya lelaki
itu bukanlah orang sembarangan. Tubuhnya segera berkelebatan di antara kilatan-
kilatan cahaya senjata dari Pulau Jawa itu.
Tidak sampai satu helaan nafas berselang,
tubuh keempat pendekar itu sudah melesat naik ke
atap istana. Senjata bumerang Wori mencoba mengha-
dang laki-laki misterius itu. Namun sambil bersalto di udara, kaki kanannya
menendang bumerang itu dengan gerakan yang sangat cepat dan kuat, sehingga
senjata itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya. Hampir saja senjata makan
tuan, karena gerakan lelaki itu
sungguh tidak terduga-duga. Untunglah Wori segera
berkelit disertai seruan kaget, dari bumerang itupun tertancap ke dinding
istana. Sewaktu para pendekar kawan akrab Pampa-
ni itu mendaratkan kakinya di atap istana, mereka
hanya sempat menyaksikan sesosok bayangan berke-
lebat bagaikan anak panah, sehingga wajahnya tidak
sempat terlihat.
"Setan! Gerakannya cepat luar biasa! Apa ka-
lian sempat melihat wajahnya tadi?" tanya si Kaki Tunggal dengan wajah merah
padam karena marah, tetapi juga bercampur kagum. Kalau pendekar berilmu
tinggi seperti Baureksa sampai memaki lantaran ka-
gum, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu me-
ringankan tubuh laki-laki misterius tadi.
"Sayang sekali tidak sempat. Cuma potongan
tubuhnya agak kurus," sahut Umang. Pendekar berlengan tunggal ini pun sangat
kagum dan diam-diam
harus mengakui bahwa kepandaiannya belum tentu
lebih tinggi dari orang itu.
"Maleang Pangaru memang bertubuh kurus.
Tetapi Wan-Da-I pun demikian. Entah siapa sebenar-
nya orang itu?" kata Baureksa sambil menghela nafas dalam-dalam. Agaknya orang
tua itu mulai dapat merasakan bahwa saat ini musuh yang teramat lihai telah
muncul yang setiap saat tidak mustahil dapat mencelakakan mereka. Karena itu ia
pun berfikir bahwa dalam waktu dekat mereka pasti akan menghadapi kesu-
litan yang tak boleh dianggap remeh.
"Saya rasa itu bukan Wan-Da-I." kata Umang mantap. Bukankah pemberontak berilmu
sihir itu belum memiliki kelihaian setinggi itu" Demikianlah perhitungan si
Lengan Tunggal sehingga ia merasa sangat yakin akan kebenaran tebakannya.
Mereka kemudian meloncat turun ke hala-
man istana, di mana Pampani sudah menunggu den-
gan wajah yang sedikit memancarkan ketegangan. Be-
tapa tidak, empat temannya pendekar dari Pulau Jawa itu bukanlah orang
sembarangan. Namun rupanya tidak berhasil menangkap lelaki yang tadi mencoba
mencuri dengar pembicaraan mereka. Tidak mungkin
ada tokoh persilatan yang bisa lolos dari tangan teman-temannya, kalau tak
memiliki kesaktian yang
sangat tinggi. "Sudahlah," kata Pampani menghibur diri
sendiri, "Sekarang mari kita buktikan siapa sebenarnya dia! Kita bongkar kuburan
Maleang Pangaru! Ka-
lau betul dia sudah mati, jenazahnya tentu akan terlihat, tapi kalau masih hidup
seperti yang dikatakan
Wan-Da-I, apa boleh buat kita terpaksa harus menga-
du nyawa dengannya!"
"Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita be-
rangkat, makin cepat makin baik," kata Baureksa.
"Ya, tetapi kita harus tetap hati-hati dan siap
siaga. Siapa tahu nanti datang musuh berikutnya. Kita harus membagi kekuatan.
Sebaiknya saudara Umang
dan Mirah menjaga dalam istana, melindungi tuan pu-
tri. Sedangkan aku, Wori serta Pendekar Kaki Tunggal pergi ke kuburan itu."
"Baik, kami siap berjaga-jaga di istana!" sahut Umang. "Berhati-hatilah, engkau
saudaraku! Awasi setiap gerakan yang mencurigakan. Kami secepatnya
akan kembali!"
Pampani, Wori dan Baureksa segera menyu-
suri jalan kecil, menembus hutan di malam yang gelap itu. Perjalanan menuju
lembah kuburan Iblis Pulau
Aru cukup memakan waktu, karena selain cukup jauh,
langkah mereka pun sering terhambat semak-semak
dan akar pepohonan yang kurang jelas terlihat. Un-
tunglah saat itu rembulan bersinar cukup terang, sehingga sangat membantu ketiga
pendekar itu. Setelah hampir satu jam menempuh perjalanan menurun, mereka
akhirnya sampai ke kuburan Maleang Pangaru.
Keadaan di tempat itu sangat sepi, bahkan terasa me-nyeramkan. Gundukan tanah
dan batu nisan makam
tokoh sesat itu tampak seperti menyimpan sebuah
misteri yang terlalu sukar dimengerti maknanya. Beberapa ekor burung malam
terbang dari dahan pohon di
dekat kuburan itu karena terkejut menyaksikan keda-
tangan tiga laki-laki tadi. Beberapa Saat terdengar burung memecah kesunyian
malam, berbaur dengan de-
sah dedaunan diterpa angin.
Pampani dan kedua sahabatnya berdiri tegak
di sisi kuburan itu. Sejenak Pampani memeriksa kuburan itu, lalu sambil menatap
si Kaki Tunggal dan Wori bergantian, ia berkata: "Inilah kuburan Maleang
Pangaru. Oleh karena dia adalah adik dari ayahku, maka ia berhak mendapat cara
penguburan kehormatan. Te-
tapi ia tidak berhak dikuburkan di halaman istana,"
kata Pampani. "Bagaimana dengan Wan-Da-I?" tanya Bau-
reksa. "Wan-Da-I telah dianggap sebagai musuh su-ku, karena ia adalah anak haram
dari pamanku. Oleh
karena itu, derajatnya sama dengan pendeta Naomi,
mayatnya dibuang begitu saja."
"Sudahlah, kita tak perlu terlalu banyak bica-
ra sekarang. Sebaiknya kita menggali kuburannya!"
kata Wori. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, ia
menggali kuburan itu dengan peralatan yang salah sa-tu ujungnya berfungsi
seperti cangkul sedang ujung
yang satunya lagi berfungsi sebagai sekop.
Wori yang memiliki tenaga bagaikan banteng,
dengan sangat cekatan melakukan pekerjaan itu, se-
dangkan Pampani dan si Kaki Tunggal menunggu di
dekat kuburan. Tak lama kemudian peti kuburan itu
sudah kelihatan.
"Bukalah!" kata Pampani dengan wajah te-
gang. Hanya dengan jari-jari tangannya, Wori mem-
buka peti itu. Terdengar suara gemeretak, dan peti itu pun terbuka.
"Hah" Kosong?" seru Pampani dan Baureksa
berbarengan. Ternyata peti itu kosong melompong. Tidak ada mayat Maleang di
dalamnya seperti yang me-
reka perkirakan sebelumnya. Bukankah Iblis Pulau
Aru itu sudah tewas" Bagaimana mungkin petinya ko-
song" Apakah mayatnya diambil orang atau memang ia
hidup kembali"
"Tak mungkin ia dapat hidup kembali. Racun
buatan paman Cebol sangat ampuh. Tidak pernah
gagal!" kata Pampani masih belum bisa mengatasi rasa kagetnya. Ia memang tahu
persis, beberapa waktu lalu
Maleang Pangaru tewas oleh racun paman Cebol dan
setelah itu dikuburkan di lembah, agak jauh dari istana.
"Kalau begitu...." sahut Wori ragu-ragu.
"Pasti ada orang lain yang telah membongkar
kuburannya!" sela Pampani cepat, "Mungkin orang itu mempunyai maksud tertentu.
Tidak mungkin hidup
kembali!" "Jika demikian, siapakah gerangan yang membongkarnya?"
Sebelum sempat menjawabnya, tiba-tiba se-
buah jaring berupa jala menyambar turun dan lang-
sung menyergap ketiga pendekar itu. Tanpa sempat
mengelak, mereka menjadi terjebak. Sambil berseru
kaget, ketiganya mencoba mengerahkan segenap tena-
ga untuk meronta. Namun rupanya jala itu terbuat da-ri benda yang sangat lemas
tapi kuat sekali, sehingga makin meronta tubuh ketiga pendekar itu makin
terjerat. "Keparat! Kupecahkan kepalamu!" bentak Wo-ri dengan suara mengguntur. Tiba-tiba
terdengar suara terbahak-bahak, sambung-menyambung sehingga terasa menggetarkan
daun-daunan di sekitar lembah itu.
"Ha-ha-ha! Sekali tanggok tiga nyawa sekali-
gus! Terima kasih karena kalian telah menggali kubur sendiri. Nah, sekarang
nikmatilah ajal kalian!"
Bersamaan dengan itu, menyemburlah gum-
palan asap berwarna ungu dari atas tebing dan lang-
sung menyelimuti Pampani dan kedua sahabatnya.
"Ahhh....! Asap beracun!" teriak Baureksa terkejut. Ia mencoba menahan
pernafasannya, tetapi ra-
cun berupa gas itu sudah terlanjur masuk ke paru-
parunya. Demikian juga halnya Pampani dan Wori.
Dada mereka terasa sangat sesak, seolah-olah hendak meledak dan nyeri sekali.
Sekujur tubuh mereka ba-
gaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum dan seketika le-
maslah tubuh mereka, seperti telah kehilangan semua tenaga dan kesaktian mereka.
Tak diragukan lagi, gas beracun itu sangatlah berbahaya, sehingga pendekar
sakti seperti Baurekso, Wori dan Pampani langsung
terkulai lemas dalam waktu yang sangat singkat. Beberapa saat, tubuh mereka
berkelojotan, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
"Nah, sudah mampus!" teriak lelaki itu sambil tertawa puas.
Muncullah dua lelaki bertubuh tinggi besar
bagaikan raksasa. Rambut kedua lelaki itu dikuncir ke atas, sama seperti Wori
keduanya pun mengenakan
anting-anting besar di daun telinga dan hanya mengenakan cawat. Usia mereka
sekitar empat puluh lima
tahun. Tetapi melihat gerak-gerik dan cara mereka
memandang sesuatu, dapat diterka keduanya memiliki
sifat yang sangat kejam, seperti hewan buas yang siap diperintah setiap saat
untuk melakukan apa saja.
Di tempat itu telah berdiri pula si ahli sihir
Womere. Ternyata laki-laki itulah yang memasang je-
bakan dan meracuni Pampani dan kedua sahabatnya.
Ia berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh
yang sedang namun tegap dan tampak penuh otot be-
risi pertanda bahwa dirinya memiliki tenaga yang sangat kuat. Rambutnya keriting
dan hitam dan selalu


Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengembang membuat kepalanya terlihat lebih besar.
Tidak seperti penduduk asli Pulau Aru, tokoh sesat ini mengenakan pakaian berupa
jubah. Matanya terlihat
jarang sekali berkedip dan selalu memancarkan sesua-tu yang sangat mudah karena
mempengaruhi orang
lain. Hal itu tidak mengherankan, karena ia me-
mang adalah ahli ilmu sihir yang sangat jahat dan setiap saat bisa mencelakakan
lawan bila berhadapan
dengannya "Angkat mereka ke atas!" perintah Womere
dengan berwibawa.
Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu segera
mengeluarkan tubuh ketiga tawanan mereka dari da-
lam jaring. Lalu hanya sekali cemplak, tubuh Pampani dan Baureksa telah
tergantung lemas di atas pundak
kedua laki-laki raksasa itu.
"Sekarang lemparkan Pampani dan si Bun-
tung ke dalam kanal ikan-ikan hiu. Tetapi si pendekar bumerang Wori harus kalian
bawa ke markas! Jalankan tugas kalian dengan baik! Aku masih ada urusan
lain!" Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ke-
dua orang bertubuh raksasa itu menjalankan perintah atasannya dengan patuh.
Mereka berjalan melalui terowongan air, yang merupakan bangunan alam. Lo-
rong-lorong gelap itu cukup panjang dan banyak ber-
kelok-kelok. Akhirnya mereka sampai ke dalam gua di bawah tanah. Lorong di
tempat itu jauh lebih sempit, sehingga kadang-kadang kedua anak buah Womere itu
terpaksa harus membungkukkan badan agar bisa le-
wat. *** 4 Di pinggir lorong itu, terlihat tumpukan tu-
lang-belulang dan tengkorak manusia berserakan.
Agaknya tempat itu dulunya merupakan ruangan yang
khusus dibangun untuk tempat pembantaian orang-
orang yang dianggap pembangkang atau musuh. Meli-
hat keadaan tulang-belulang dan tengkorak itu sudah
mulai lapuk, kemungkinan mereka dibunuh beberapa
tahun atau bahkan mungkin puluhan tahun silam.
Penduduk biasa tentulah akan ngeri atau se-
dikitnya merasa terkejut melihat pemandangan itu.
Tengkorak-tengkorak itu seperti menyeringai buas,
seolah-olah siap menerkam siapa saja. Tetapi kadang-kadang terlihat seperti
merintih kesakitan, bagaikan hendak mengungkapkan penderitaan yang sangat me-
nyiksa sebelum mereka dihabisi. Kedua anak buah
Womere melewatinya dengan tenang, bahkan ada ka-
lanya menginjak tengkorak-tengkorak itu dengan mi-
mik wajah biasa-biasa saja.
Tak jauh dari tumpukan-tumpukan tengko-
rak itu, terdapat kanal buatan tempat tersekapnya
ikan-ikan hiu yang sangat ganas, karena sangat jarang diberikan makan. Itu
memang disengaja, sehingga kalau ada seseorang yang dilemparkan ke sana sebagai
hukuman, maka orang tersebut akan segera menemui
ajalnya disantap habis-habisan oleh ikan-ikan hiu itu.
Kedua laki-laki bertubuh raksasa tadi memu-
tar-mutar tubuh Baureksa dan Pampani dengan cepat
sekali hingga berubah bagaikan baling-baling. Agaknya keduanya sengaja membuat
ancang-ancang agar dapat
melempar tawanannya lebih jauh.
Yang mendapat giliran pertama adalah Kepala
Suku berusia muda Pampani. Setelah dibuat baling-
baling beberapa saat, tubuhnya dilemparkan melayang tinggi ke arah kanal maut
itu. Tubuh itu kemudian
meluncur turun dan agaknya tidak akan dapat disela-
matkan lagi. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat bagaikan kilat
menyambar tubuh Pampani hing-
ga terhindar dari kanal maut itu. Sesosok bayangan itu sambil mengapit tubuh
Pampani bersalto beberapa kali dan akhirnya mendarat ringan di pinggir kanal.
"Bangsat!" Anak buah Womere berteriak, lan-
taran merasa terkejut bukan main. Sungguh tak di-
nyana masih ada yang berani menggagalkan pekerjaan
mereka. Dan lebih hebat lagi, tubuh Pampani yang
hanya tinggal beberapa jengkal dari permukaan kanal buatan itu dapat
diselamatkan. Sungguh merupakan
kelihaian yang luar biasa! Entah kapan pula lelaki itu masuk ke dalam ruang
bawah tanah. Tak terkatakan betapa marahnya kedua anak
buah Womere. Biarpun mereka sama-sama menyadari
bahwa musuh yang muncul cepat bagaikan siluman
itu sangat tinggi ilmunya, keduanya tampak tidak gentar sedikitpun juga.
Keduanya segera memasang kuda-
kuda dan dari sinar mata mereka terlihat jelas bahwa mereka akan membunuh lelaki
itu. (Ternyata bayangan yang berkelebat menyambar tubuh Pampani ada-
lah si Gila Dari Muara Bondet Karta. Tadi kebetulan saja ia keluar dari air
tempatnya bersemedi dan sempat menyaksikan Baureksa serta Pampani dibawa ke
dalam gua bawah tanah. Pendekar dari Bondet itu pun segera menguntit dari
belakang. Karena ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi, kehadirannya
sama sekali tidak diketahui. Maka ketika tubuh Kepala Suku itu dilemparkan ke
dalam kanal ikan hiu, ia segera bertindak cepat, sehingga loloslah Pampani dan
cengkeraman maut.
Sambil berteriak nyaring, kedua raksasa hi-
tam itu menerjang dari sebelah kiri dan kanan. Walaupun tubuh mereka tinggi
besar, namun ternyata bisa
bergerak cepat. Sebelum tubuh mereka menyentuh tu-
buh Karta, sudah terasa angin pukulan menyambar
pertanda tenaga mereka sangat dahsyat.
Karta yang sejak tadi sudah menurunkan tu-
buh Pampani segera bersiap-siap menghadapi seran-
gan maut kedua lawan. Ketika pukulan tangan kiri lawan menyambar lehernya, ia
segera menunduk dan
hampir bersamaan dengan itu, ia mengangkat lutut
kanannya menyambar perut lawan.
"Buk!" Serangan itu mendarat telak, membuat lawan berteriak kesakitan. Namun
sebelum ia sempat
mengatur keseimbangan, pukulan tangan kanan Karta
sudah menyusul menghantam punggungnya
Demikian kuatnya tenaga dalam yang dike-
rahkan si Gila Dari Muara Bondet, sehingga tubuh
raksasa itu terlempar dan melayang ke dalam kanal
buatan. "Byuuur!" Tubuh itu pun tercebur dan hampir bersamaan dengan itu air
kanal berdeburan karena
rontaan lelaki bertubuh raksasa itu. Air kanal itu seketika berubah menjadi
merah, karena puluhan ekor
ikan hiu yang sedang lapar dengan amat ganasnya
mencabik-cabik sekujur tubuh korbannya.
"Mampus kau!" teriak Karta geram, karena
tadi hampir saja sahabat sekaligus kakak iparnya yang jadi korban kanal maut.
Tetapi kemudian tiba-tiba ia berseru kaget, karena ikan-ikan hiu itu terlempar
dari dalam kanal.
Hanya beberapa saat kemudian, muncullah
laki-laki bertubuh raksasa itu dari dalam kanal, dengan keadaan tubuh yang
sangat mengerikan berlumu-
ran darah. Kaki kanannya telah buntung sebatas lutut terkena sambaran ikan-ikan
hiu, demikian juga pergelangan tangan kanannya telah buntung. Bahkan wa-
jahnya hampir tidak mempunyai bentuk lagi, karena di beberapa bagian tubuh
tulang-tulangnya sudah kelihatan. Darah dan air mengucur deras dari tubuh laki-
laki itu. Akan tetapi sungguh luar biasa, ia dalam
keadaan yang sangat mengerikan itu masih dapat ber-
jalan tertatih-tatih ke arah Karta, dengan cara melompat-lompat. Mata kirinya
mengalami luka yang sangat
parah, sehingga pendekar sakti yang sudah sangat
berpengalaman dan sudah sangat sering pula mengha-
dapi beraneka macam kesulitan seperti si Gila Dari
Muara Bondet sempat tertegun dibuatnya.
Sambil menggereng bagaikan singa kelapa-
ran, lelaki bertubuh raksasa yang sangat mengerikan menerkam Karta. Tubuhnya
melayang dan tangan kirinya mencengkeram ke arah leher lawan. Tentu saja si Gila
tidak mau jadi korban keganasan lawan. Ia segera berkelit, sehingga tubuh yang
sudah berlumuran darah itu terpelanting ke belakang.
Karta membalikkan badan dan ia kembali
berteriak kaget manakala menyaksikan lawannya su-
dah bangkit kembali. Bahkan dengan gerakan yang
cukup cepat laki-laki bertubuh raksasa itu sudah me-nerjangnya kembali,
"Hiyaaaat!" Karta berteriak nyaring, lalu kemudian membantingkan tubuh ke
samping. Bersa-
maan dengan itu, kaki kirinya yang telah dialiri tenaga dalam menyambar tubuh
lawan dengan dahsyat.
"Buk!" Tendangan yang sangat telak meng-
hantam perut, sehingga tubuh raksasa mengerikan itu kembali terlempar. Tetapi
seperti dikendalikan tenaga gaib, laki-laki itu bangkit kembali. Hampir tak bisa
dipercaya, karena menurut pengalaman Karta, tendan-
gan yang dilakukan sambil mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya tentulah akan meremukkan perut lawan.
Jika tidak tewas seketika, sedikitnya akan menderita luka yang sangat parah.
Entah bagaimana caranya lelaki bertubuh raksasa itu mampu berbuat sehebat itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Karta
geram. Akan tetapi tanpa memperdulikan bentakan-
nya, laki-laki bertubuh raksasa itu kembali telah menerkamnya dengan dahsyat.
Temannya yang satu lagi
juga telah menurunkan tubuh Baureksa dan ikut serta menyerang, dari arah yang
berlawanan. Karta berteriak nyaring sambil meloncat cepat
di depan hidung lawannya yang kedua, yang tampak
masih segar bugar. Tetapi karena kurang memperhati-
kan lawannya yang satu lagi tadi, ia hampir saja dapat dilumpuhkan. Untunglah
secepat yang bisa dilakukan
ia membantingkan diri ke depan.
Gerakan Karta sebetulnya masih cepat, tetapi
karena tadi ia sempat terpengaruh oleh keadaan la-
wan, ia jadi terlambat bertindak sehingga kedua ka-
kinya dapat ditangkap lawan. Akibatnya tubuh pende-
kar dari Muara Bondet itu pun terjungkal dan terbanting keras ke tanah.
"Aduh!" Karta mengaduh kesakitan akibat ra-sa nyeri luar biasa di punggungnya.
Ia berusaha me-
ronta, namun tenaga kedua lelaki raksasa itu sangat kuat. Tubuhnya kini
terjembreng seperti selembar ser-bet dapur yang hendak dirobek-robek.
Kembali pendekar gagah perkasa itu meringis
menahan sakit pada pangkal pahanya. Ia mencoba
mengangkat tubuh dengan cara menumpukan kedua
tangan ke tanah. Tetapi justru hal itu membuat pangkal pahanya semakin sakit,
seolah-olah sudah lepas
persendiannya. Adalah satu hal yang luar biasa, seorang lela-
ki berkaki buntung dan masih mengucurkan darah bi-
sa memiliki tenaga sekuat itu sehingga Karta sama sekali tidak bisa berkutik.
Makin lama, kaki kiri dan kanannya yang ditarik dari dua arah berlawanan mem-
buatnya semakin tak berdaya. Hampir saja pendekar
itu putus asa, namun tiba-tiba ia teringat kepada pedang di pinggangnya.
Dengan sangat bersusah payah, Karta berha-
sil mencabut senjata itu. Dan tanpa menunggu lebih
lama lagi, ia segera mengayunkannya, menyambar pe-
rut kedua lawan.
"Akh!" Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu menjerit. Pedang Karta dengan telah
merobek tubuh lawan, sehingga ususnya terburai menyemburkan da-
rah segar. Karena sangat kaget dan kesakitan, pegangan kedua anak buah Womere
tadi terlepas. Karta se-
gera meloncat dan menyaksikan kedua tubuh yang
bersimbah darah itu menggelepar-gelepar beberapa
saat. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya pun melayang sudah
meninggalkan raga.
Karta menghela nafas lega. Hampir saja tadi
ia celaka di tangan kedua lawannya. Kalau saja tidak berhasil membabat tubuh
lawan, kedua kakinya akan
terpisah sebatas selangkangan. Sungguh memalukan
bagi seorang pendekar seperti dia tewas dengan cara seperti itu.
Setelah menyarungkan senjatanya, ia segera
menolong Pampani dan si Kaki Tunggal yang sedang
sekarat akibat gas beracun yang mereka hirup melalui pernafasan sewaktu terjerat
perangkap musuh. Diperiksanya denyut nadi kedua sahabatnya itu, masih
berdenyut walaupun sangat lemah. Berarti mereka
masih hidup dan mempunyai harapan bisa disela-
matkan. Karta segera menyedot gas racun dari rongga paru-paru mereka. Lalu
kemudian langsung dimun-tahkan kembali. Cara pengobatan seperti itu memerlukan
perhitungan yang sangat tepat, karena kalau salah misalnya menghirup gas beracun
itu tanpa sengaja,
malah dia sendiri yang akan celaka. Karta menempel-
kan mulutnya ke mulut kedua sahabatnya itu secara
bergantian, dan menghisap gas beracun secara beru-
lang-ulang. Setelah yakin gas beracun sudah habis dari
rongga paru-paru Pampani dan si Kaki Tunggal, Karta segera membuat pernafasan
buatan. Dada kedua lelaki yang sedang sekarat itu diurut-urut serta dikembang-
kempiskan dengan cermat. Usahanya ternyata tidak
sia-sia. Beberapa saat kemudian, Pampani dan Bau-
reksa siuman kembali.
Kedua mengejap-ngejapkan kelopak mata, ka-
rena pandangan yang masih kabur dan agak berku-
nang-kunang. Sekujur tubuh mereka pun terasa san-
gat lemas, namun begitu melihat kehadiran Karta, mereka sangat bersyukur.
Semangat pun menyala, se-
hingga dengan perlahan-lahan dapat bangun dan du-
duk. "Alhamdulillah!" kata Baureksa sembari me-mijit-mijit kepalanya yang terasa
pening. "Syukurlah kau segera datang, Karta! Kalau
tidak, tentu kami hanya akan tinggal nama saja. Ah, entah bagaimana bisa kami
telah berada di sini. Dan....
oh, ikan-ikan hiu itu tampaknya berdarah. Apa sebe-
narnya yang telah terjadi" Kenapa kedua orang ini?"
tanya Pampani sambil mengernyitkan kening.
"Sudahlah, nanti saja aku ceritakan semua-
nya. Sekarang marilah kita mencari saudara kita Wori.
Tadi ia dibawa secara terpisah entah ke mana. Kita harus secepatnya menemukan
dia. Tampaknya ia pun
sedang menghadapi bahaya!"
"Ya! Tapi bagaimana dengan tongkatku" Aku
tidak bisa berjalan tanpa itu. Atau apakah engkau mau menggendong aku?" tanya
Baureksa.

Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tenang! Aku menyimpannya di dalam lorong
itu!" Karta segera berlari masuk ke dalam lorong gelap di ujung ruangan rahasia
itu. Tak lama kemudian, ia balik lagi sambil membawa tongkat dan caping si Kaki
Tunggal, "Kaki kananmu sudah kubawa ke sini. Ini dia! Dan ini senjata piring
terbangmu yang sangat am-
puh!" "Ha-he-he! kau ada-ada saja, kawan!"
"Ayo, kita cari sahabat kita!"
"Ya, tapi kita harus hati-hati. Menurut Wori,
tempat ini penuh jebakan maut. Salah sedikit saja
nyawa kita bisa melayang," kata Pampani.
Mereka segera menempuh lorong-lorong ba-
wah tanah di sekitar kanal maut itu. Tetapi sampai ke ujung lorong, ketiganya
tidak menemukan hambatan
apa-apa. Di ujung lorong itu terdapat pintu putar terbuat dari batu cadas yang
dibuat berbentuk persegi
empat. Tanpa melepaskan kewaspadaan, ketiga pen-
dekar itu segera menghampiri pintu yang bentuknya
sangat aneh itu. Seperti buah belimbing, sehingga jika dilewati langsung
tertutup kembali karena berputar.
"Lihat, seperti pintu. Tetapi aneh sekali ben-
tuknya," kata Karta sambil mengamati pintu itu dengan seksama.
"Awas hati-hati! Siapa tahu di balik pintu itu maut sedang menanti. Kurasa Wori
disembunyikan di
sana," kata Pampani was-was.
"Biar aku yang memeriksa," ujar Baureksa.
Lalu ia dan Karta mendekati pintu aneh itu. Keduanya meraba-raba hendak
menemukan sesuatu yang mungkin merupakan kunci rahasia pintu.
"Tidak ada engselnya! Aneh sekali!" kata Baureksa. "Ini pasti pintu putar. Mari
kita dorong bersama-sama!"
Kedua pendekar yang memiliki tenaga dalam
yang sangat kuat itu sama-sama mengerahkan sege-
nap kemampuannya mendorong pintu. Namun jan-
gankan berputar, bergeming pun tidak. Akhirnya ke-
duanya merasa yakin bahwa untuk bisa membuka pin-
tu itu tidak boleh dengan kekerasan, melainkan harus
melalui rahasianya.
*** 5 Ketika Baureksa dan Karta sedang meraba-
raba pintu itu, Pampani pun memeriksa setiap jengkal dinding batu cadas. Telapak
tangannya ditempelkan
dan bergerak turun-naik mencari kunci rahasia itu.
Namun belum juga berhasil.
"Tunggu dulu! Aku masih berusaha mencari
kuncinya. Pasti ada di sekitar dinding ini," kata Pampani. Tiba-tiba ia
menyentuh benda agak menonjol di dinding. Namun sebelum sempat memeriksanya, ia
sudah dikejutkan suara berderak di pintu. Sewaktu ia berpaling, tampaklah
olehnya pintu berbentuk buah
belimbing itu berputar, sehingga kedua sahabatnya
pun terbawa ikut berputar.
"Oh, Dewa! Celaka, saudara Karta dan Kaki
Tunggal sudah masuk jebakan!" kata Pampani dengan dada berdebar-debar.
Karta dan Baureksa pun tidak kalah kaget-
nya. Tubuh mereka terus berputar di sela-sela pintu rahasia. "Hei, kita
terjebak!" teriak Karta.
"Ya, pintu ini berputar terus!"
Kemudian tubuh mereka muncul lagi di ha-
dapan Pampani setelah pintu itu berputar seratus delapan puluh derajat. Tetapi
Karta dan Baureksa tidak segera dapat menyadari keistimewaan pintu itu, sehingga
keduanya sempat menduga pintu itu merupa-
kan jebakan yang dilengkapi ilmu siluman.
"Hei, kenapa kita berada di luar kembali" Itu
Pampani!" teriak si Kaki Tunggal terheran-heran.
"Hai, kalian berdua tidak apa-apa!" teriak pemimpin suku itu pula girang.
Tiba-tiba Karta tertawa tergelak-gelak seolah-
olah lupa bahwa saat ini mereka sedang berada di sarang musuh. Ia telah mengerti
rahasia pintu itu, karena merupakan pintu putar, kalau diam tetap di tempat
tentu saja akan ikut terus berputar.
"Kenapa aku jadi tolol begini" Pintu ini jelas berbentuk buah belimbing. Tentu
saja kita akan terus berputar. Lihat, dasar pintu tempat kita berdiri bentuknya
bulat. Jadi kalau kita hendak masuk ke dalam sana, begitu tubuh kita ikut
berputar, kita harus segera melangkah!"
"Kurasa juga begitu. Tadi aku sempat melihat
sebuah pintu di dalamnya," sambung Baureksa.
"Tak salah lagi! Kalau begitu, kita harus men-
dorongnya perlahan-lahan saja agar tidak melewati
ambang pintu itu!"
"Mari, aku akan ikut membantu mendorong-
nya!" kata Pampani. Ia memberi aba-aba, sehingga secara perlahan-lahan pintu
rahasia itu berputar dan
membawa ketiga pendekar itu ke depan sebuah ruan-
gan besar dan luas.
"Kita sudah berhasil masuk!" kata Karta girang.
"Ya, tapi hati-hati langkahmu, Karta. Di sini
tidak mustahil telah dipasang jebakan," si Kaki Tunggal menasehati sambil
menatap liar keadaan di sekelilingnya. "Heran, rupanya teknik bangunan mereka
sudah sangat tinggi, sehingga kita sudah ketinggalan jauh. Entah dari mana
mereka mempunyai pengeta-huan membangun pintu ajaib seperti ini," ujar Pampani
kagum. "Tidak dapat diragukan lagi, mereka pasti
mempunyai ahli bangunan yang sangat pintar. Karena
itu kita harus lebih hati-hati. Coba perhatikan...."
Sebelum Baureksa sempat meneruskan uca-
pannya, mendadak tiga kilatan cahaya menyambar ke
arah ketiga pendekar itu. Ternyata adalah tiga buah lembing runcing melesat
cepat sekali ke arah bagian tubuh yang sangat berbahaya bagi lawan.
"Hait!" Karta berteriak kaget, karena sungguh tak menyangka akan diserang secara
mendadak dan secepat itu. Secepat kilat ia menundukkan badan, namun masih sempat merobek baju
di bagian bahunya
sehingga kembali ia berseru kaget tanpa sadar. Namun dengan gerakan yang cukup
mantap dan meyakinkan,
pendekar gagah perkasa itu masih sempat menangkap
tombak yang nyaris melukai dirinya. Baureksa yang
berada beberapa langkah di belakang Karta tidak se-
kaget si Gila. Ia mengangkat tongkatnya menangkis
senjata lawan sehingga terdengar suara berdentang keras, agaknya tombak terbuat
dari logam yang keras,
hingga tidak patah sewaktu beradu keras dengan
tongkat Baureksa. Setelah memapaki senjata lawan, si Kaki Tunggal menangkap
tombak itu dengan tangan
kirinya. "Hayiiiit!" Pampani pun berteriak kaget melihat kilatan senjata lawan
menyambar ke arah leher-
nya. Tetapi dengan gerakan yang sangat cepat dan
kuat, ia mundur selangkah lalu menangkap tombak itu dengan kedua tangannya. Sama
seperti kedua sahabatnya Kepala Suku itu pun merasa kedua tangannya
bergetar, menandakan tenaga dalam musuh tidak bo-
leh dianggap remeh.
Hampir bersamaan dengan itu, berloncatan-
lah tiga laki-laki di ruangan itu. Perawakan mereka tinggi besar dan kekar,
sangat mirip dengan dua laki-laki bertubuh raksasa yang tadi hendak melemparkan
Pampani serta Baureksa ke dalam kanal ikan hiu.
Agaknya ketiga pria yang tampak sangat bengis itu
memiliki tenaga yang sangat besar dan hanya men-
gandalkan nya hingga tak seorang pun di antaranya
memegang senjata. Ketiga-tiganya sama-sama mengge-
reng bagaikan singa kelaparan hendak menerkam
mangsa. Sadarlah Pampani dan kedua sahabatnya
bahwa saat ini mereka sedang menghadapi musuh
yang tangguh dan kuat. Ketiga musuh yang baru mun-
cul itu sudah memasang kuda-kuda. Gerakannya ter-
lihat agak lamban, namun terasa sangat kuat. Setiap kali menghentakkan kakinya,
terdengar suara berdebum disertai ber-getarnya ruangan itu.
"Hati-hati!" teriak Baureksa, lalu bersama Karta dan Pampani segera memasang
kuda-kuda dengan senjata lembing yang mereka tangkap tadi, siap digunakan
merobohkan lawan.
Tak lama kemudian, terjadilah pertarungan
sengit. Ketiga laki-laki tinggi besar itu menerkam lawan masing-masing. Sewaktu
tubuhnya masih me-
layang di udara, kedua tangan diulurkan dengan posisi hendak mencengkeram.
"Ciyaat!" Pampani berteriak nyaring. Tombak di tangannya diayunkan dan dengan
telak menghantam paha lawan. Namun sungguh luar biasa, laki-laki itu tidak
bergeming sama sekali, bahkan merasa sakit pun tampaknya tidak. Ia justru
menerjang Pampani
hingga Kepala Suku itu terpaksa harus membanting-
kan diri ke samping menghindari cengkeraman lawan.
Secepat kilat ia bangkit lagi, lalu melancarkan serangan yang lebih dahsyat
lagi. Ujung tombak di tangannya diarahkan ke bagian-bagian tubuh vital, supaya
dapat secepatnya merobohkan laki-laki bertubuh rak-
sasa itu. Si Gila Dari Muara Bondet juga harus menga-
kui kekuatan lawan, yang memiliki tenaga bagaikan
banteng. Setiap kali mengadu kekuatan terasa betapa lengannya bergetar hebat dan
kesemutan. Itulah sebabnya ia selalu berusaha menghindari bentroknya
pukulannya dengan lawan. Akan tetapi lawannya itu
agaknya menyadari keunggulan tenaganya. Setiap kali pukulan tangan kiri Karta
menyambar, ia sengaja tidak mengelak, bahkan memapakinya, dengan posisi jari-
jari tangan mencengkeram.
Karta tentu saja tidak mau melayani keingi-
nan lawan. Ia pun tidak terlalu banyak melancarkan
pukulan, kecuali kalau benar-benar dalam posisi menguntungkan. Ia lebih banyak
memainkan tombak di
tangannya, memutarnya cepat sekali hingga mencipta-
kan gulungan sinar kehitam-hitaman dan menimbul-
kan suara menderu-deru. Sekali-sekali gulungan sinar senjata itu mencuat
menyambar ke arah tubuh lawan
yang vital. Memasuki jurus kedua puluh, Karta dapat
mendesak lawan. Ujung senjatanya beberapa kali nya-
ris menghunjam telak. Untunglah laki-laki bertubuh
raksasa yang dihadapinya itu memiliki gerakan yang
cukup cepat, sehingga masih bisa menghindar. Karta
menjadi penasaran. Ia meningkatkan tekanannya den-
gan mengeluarkan jurus-jurus mautnya.
Suatu ketika ujung tombaknya menyambar
ke arah lawan ketika penjaga gua itu sedang terdesak.
Raja Silat 15 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Ikat Pinggang Kemala 1
^