Pencarian

Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis 2

Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis Bagian 2


Tampaknya akan sulitlah bagi lawan untuk menghin-
dar, atau kalaupun dapat mengelak, serangan berikutnya pastilah akan
mencelakakan dirinya. Namun
sungguh di luar perhitungan Karta, lelaki itu menunduk sambil membuka mulutnya
lebar-lebar dan den-
gan sangat jitu berhasil menggigit gagang tombak yang sedang meluncur dengan
kecepatan luar biasa.
"Krek!" Terdengar suara gemeretak, namun
sungguh luar biasa gigi laki-laki bertubuh raksasa itu tidak copot sama sekali,
padahal Karta sudah mengerahkan hampir segenap tenaga dalamnya. Lebih terke-
jut lagi dia ketika menarik senjata itu, ternyata tidak bisa. Gigi lawannya
seperti jepitan baja saja.
"Kurang ajar!" bentak Karta geram bercampur kagum melihat kehebatan lawan.
Sebelum sempat berbuat apa-apa, lawannya
menggerak-gerakkan leher sambil berputar cepat. Akibatnya tubuh Karta ikut
terangkat dan berputar-putar sesuai gerakan lawan.
"Eit!" teriak Karta kaget lantaran merasa tubuhnya bagaikan kapas saja
dipermainkan seperti itu.
Untunglah ia segera mencabut pedangnya, lalu secepat kilat membacok gagang
tombak itu hingga putus seketika.
Lawannya tampak terpana melihat kecepatan
gerak Karta. Sebelum sempat menguasai perasaannya,
tiba-tiba ia melihat kilatan cahaya menyambar dari
atas ke arah ubun-ubunnya. Ia hendak mengelak, na-
mun terlambat sudah. Pedang Karta dengan telak
membabat kepalanya hingga terbelah dua dari ubun-
ubun sampai ke dada.
"Blug!" Tubuh raksasa itu pun roboh bersimbah darah. Hanya beberapa saat
menggelepar-gelepar, kemudian diam tak bernyawa lagi.
"Mampus kau!" bentak Karta geram. Ia segera memperhatikan keadaan kedua
sahabatnya. Ternyata
mereka pun sudah dapat menyudutkan lawan masing-
masing. Hanya beberapa saat setelah Karta meroboh-
kan lawannya, si Kaki Tunggal pun berhasil menghun-
jamkan tongkatnya ke dada musuhnya hingga tembus
ke punggung. "Huk!" Laki-laki tinggi besar itu menjerit ter-
tahan, lalu roboh bagaikan sebatang pohon tumbang
ditebang. Darah menyembur dari luka di tubuhnya ke-
tika tongkat Baureksa dicabut.
"Rasakan kau!" geram si Kaki Tunggal mema-ki.
Pada saat bersamaan, Pampani pun berhasil
menyudutkan lawannya hingga tersandar ke sudut gua
tanpa berani berkutik. Ujung tombak Pampani telah
menempel di lehernya, siap menghujam kalau ia berani bergerak.
"Ayo, jawab! Siapa kalian dan siapa yang me-
merintahkan kalian di sini, hah" Kalau kau tidak menjawab, tombak ini akan
menembus lehermu!" bentak Pampani geram. Agaknya Kepala Suku itu tadi sengaja
tidak membunuh lawan karena ingin memaksanya untuk mengungkapkan rahasia
dirinya. "Hu....u!" Lelaki bertubuh raksasa itu tidak menyahut, selain sambil
mengeluarkan suara yang mirip orang gagu,
"Diam! Kau jangan coba-coba berlagak bodoh
di hadapanku! Lihat tombak ini siap mencabut nya-
wamu!" Karta memperhatikan raut wajah lawan Pampani. Agaknya lelaki itu bersama
kedua temannya tadi telah gagu, karena Karta tadi sempat memperhatikan
lawannya mempunyai lidah yang buntung, seperti sen-
gaja dipotong agar mereka tidak bisa bicara.
"Bunuh saja dia, Pampani! Percuma kita me-
maksanya, karena pasti tidak akan memperoleh jawa-
ban. Lihat, lidah mereka semua telah dipotong hingga tidak bisa bicara lagi!"
Entah sengaja atau hanya karena kebetulan
saja, laki-laki itu membuka mulut sampai setengah
menganga. Pampani memperhatikan lidahnya. Ternya-
ta benar juga ucapan Karta.
Maka Kepala Suku itu pun kecewa sekali, lalu
menghunjamkan tombak di tangannya ke leher lawan
hingga tembus sampai ke gagangnya.
"Kurang ajar! Nyaris saja kita celaka karena
kelicikan mereka. Untung kita waspada tadi!" kata Pampani. Mereka kemudian
mengalihkan perhatian
terhadap sebuah peti berbentuk bulat dengan diameter sekitar satu meter dan
panjang sekitar dua setengah meter, terletak di bagian sudut gua itu. Bentuk
peti itu sangat unik dan dihiasi ukir-ukiran tradisional, sehingga tampak cukup
indah dan terlihat lebih cende-
rung sebagai peti tempat penyimpanan harta pusaka
daripada peti mati.
"Saya rasa Wori ada di dalam peti itu!" kata Baureksa pelan.
Mereka sama-sama melangkah menghampiri
peti itu. Sejenak ketiga pendekar itu saling berpandangan, seolah-olah ingin
bertanya apa yang harus dilakukan. "Sebaiknya kita buka peti ini. Kita periksa
apa isinya. Pasti sesuatu yang sangat penting," ujar Pampani.
"Ya, tapi kita harus hati-hati. Firasatku men-
gatakan peti ini bukan peti sembarangan. Rasa-
rasanya ada sesuatu yang membahayakan di dalam-
nya," kata Baureksa yang tampaknya mempunyai na-luri tajam dan sering bicara
berdasarkan bisikan hati nuraninya.
"Kelihatannya tidak dikunci. Mari kita buka!"
Karta dan Pampani membuka tutup peti yang ternyata
tidak dikunci. "Hah" Wori?" Ketiga pendekar itu sama-sama berseru kaget menyaksikan Wori
terbaring kaku di dalam peti itu. Wajah mereka menjadi pucat pasi, karena
sekilas pandang tak terlihat lagi tanda-tanda sahabat mereka itu masih hidup.
Dadanya tidak turun naik lagi dan desah nafasnya pun tak terdengar.
"Wori....?" kata Pampani tercekat
"Tenang! Biar aku periksa, mudah-mudahan
saja jantungnya masih berdenyut!" kata Karta. Lalu ia meraba-raba bagian dada
pendekar bumerang itu. Tetapi tiba-tiba lengan Wori yang kekar dan kuat itu
menghantam dada Karta dengan telak.
"Buk!"
"Aaaaakh!" Karta menjerit panjang. Demikian kuatnya hantaman Wori, sehingga
tubuh si Gila terpelanting dan langsung terbanting ke dinding gua. Tu-
buhnya kemudian bergedebuk ambruk ke lantai gua
dalam keadaan sangat memprihatinkan. Segumpal da-
rah kehitam-hitaman tersembur dari mulutnya, per-
tanda luka dalamnya kambuh lagi akibat pukulan tadi.
"Karta!" Pampani dan Baureksa berteriak kaget dan bermaksud memburu sahabat
mereka. Namun tiba-tiba peti itu berderak keras dan hancur berkeping-keping. Bersamaan dengan
itu, tubuh Wori meloncat
ke luar bagaikan harimau lapar keluar dari sarangnya.
*** 6 Tubuh Wori langsung melayang ke arah Pam-
pani dan Baureksa dari belakang. Kedua lengannya
menyambar ke arah punggung kedua lelaki itu.
"Buk! Buk!" Kedua tangan Wori mendarat telak di punggung Pampani dan si Kaki
Tunggal. Akibatnya, tubuh keduanya pun terjerembab. Agaknya tadi,
kedua pendekar itu belum menyadari apa yang telah
terjadi, sehingga mereka tidak sempat mengelak.
Sambil menahan rasa sakit luar biasa di ba-
gian punggung, Pampani dan si Kaki Tunggal meloncat bangun. Ketika keduanya
berpaling, alangkah terkejutnya mereka setelah menyadari bahwa yang menye-
rang mereka adalah Wori sendiri.
"Wo.... Wori?" teriak Pampani terkejut.
"Kau Wori" Kenapa kau menyerang kami?" Si Kaki Tunggal pun bertanya.
Akan tetapi Wori tidak menyahut. Ia malahan
menggereng sambil mengatupkan gigi hingga gemere-
tak. Kedua matanya melotot dan tampak merah sekali
bagaikan memancarkan api. Tampaknya ia belum
mengenali ketiga pendekar yang merupakan sahabat
baiknya itu. "Wori, ada apa denganmu" Kenapa kau tega
menyerang kami?" tanya Pampani lagi.
Dengan perasaan ragu-ragu, Pampani dan
Baureksa melangkah mendekati pendekar bumerang
itu. Keduanya mengira Wori masih terpengaruh oleh
racun gas yang dihisapnya, sehingga kesadarannya belum pulih seperti sedia kala.
"Wori, kami adalah sahabatmu!" kata Pampa-ni lembut.
Tetapi tiba-tiba Wori menerkam dengan ga-
nas. Kedua tangannya langsung mencengkeram lutut
kaki Pampani dan si Kaki Tunggal.
"Awas!" Baureksa berteriak kaget sambil berusaha meloncat mundur. Namun sudah
terlambat, kakinya dan kaki Pampani sudah tercengkeram oleh
Wori dengan sangat kuatnya. Kedua pendekar itu be-
rusaha meronta, tetapi cengkeraman Wori bagaikan jepitan baja, bukan hanya tak
bisa dilepaskan, tetapi ju-ga menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Karena kesal, si Kaki Tunggal mengayun-kan
tongkatnya menghantam kepala gundul Wori.
"Tak!" Tongkat itu mendarat telak di kepala Wori. Namun karena terdorong rasa
persahabatan, si
Kaki Tunggal hanya mengerahkan sedikit saja tena-
ganya, sehingga tidak mencelakakan Wori. Namun aki-
batnya sungguh di luar dugaan. Pendekar bumerang
itu malah semakin beringas. Sekali menggerakkan tangan, maka terlemparlah tubuh
Pampani dan Baureksa.
Pampani tidak sempat menguasai keseimban-
gan tubuh, sehingga punggungnya terbanting keras ke dinding gua. Si Kaki Tunggal
agak beruntung, karena berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat
tinggi, ia masih sempat berjumpalitan di udara untuk mengatur keseimbangan
tubuh, lalu mendarat dengan
ringan sekitar tujuh meter dari hadapan Wori.
"Gila kau, Wori!" bentak Pampani kesal.
"Eh, kenapa kau jadi begitu, Wori" Apakah
kau tidak mau perduli pada kami teman-temanmu
ini?" Karta yang masih sadar walaupun sangat le-
mah lebih cepat menyadari apa yang telah terjadi pada diri Wori. Dari sinar mata
Wori, ia dapat menilai bahwa sahabat mereka itu bertindak tanpa kesadaran
sendiri, melainkan telah dikuasai orang lain yang memiliki il-mu sihir atau ilmu
menguasai jiwa. Ilmu seperti itu sangat jahat dan berbahaya, sehingga jangankan
kawan, membunuh istri atau saudara sendiri pun Orang
yang terkena pengaruh jahat ilmu itu mau. Semua tin-dakannya dikendalikan,
sehingga apapun yang dilaku-
kannya bukanlah atas kehendak atau kemauannya
sendiri melainkan orang yang mengendalikannya.
Di Pulau Jawa pun, si Gila Dari Muara Bon-
det yang bertahun-tahun malang melintang dalam du-
nia persilatan, sudah sering menghadapi ilmu sihir seperti itu. Cuma ilmu sihir
yang menguasai Wori tam-
paknya jauh lebih kuat, dan tentu saja lebih berba-
haya. Pendekar bumerang itu tampak telah dikuasai
nafsu membunuh yang sangat besar dan terasa oleh
Karta, sahabatnya itu tidak akan puas sebelum berhasil melampiaskan gejolak di
dadanya. "Hentikan!" teriak Karta dengan suara agak tersendat-sendat akibat rasa sakit di
bagian dadanya,
"Kalian jangan meladeni dia! Kita akan saling membunuh teman sendiri. Rupanya
Wori telah kena pengaruh sihir jahat!"
"Benar kata Karta! Pampani, ayo kita lari dari sini!" teriak si Kaki Tunggal.
Lalu bersama si Gila, mereka segera melarikan diri dari ruangan itu. Tetapi ti-
ba-tiba Wori mencabut senjata bumerangnya, kemu-
dian melemparkannya. Senjata berbentuk bulan sabit
itu meluncur bagaikan kilat.
"Awas....!" teriak Karta sambil tiarap diikuti kedua sahabatnya, sehingga
senjata unik itu tidak
mengenai sasaran dan segera meluncur kembali ke
arah pemiliknya. Wori menangkapnya, lalu menyam-
bitkan kembali senjatanya ke arah ketiga sahabatnya.
"Cepat kalian menuju pintu belimbing itu!
Aku akan melindungi kalian!" teriak Baureksa.
Saat bumerang Wori meluncur lagi, ia segera
mengangkat tongkatnya untuk menangkis.
"Traaak!" Bumerang itu melilit pada tongkat Baureksa dan berputar seperti
kitiran. Lalu dengan do-rongan tenaga dalam, Kaki Tunggal melemparkan bu-
merang itu kembali kepada tuannya.
"Yeaaa!" teriak Kaki Tunggal, sambil memperhatikan senjata unik itu meluncur
bagaikan kilat ke arah Wori. Tetapi bumerang itu seperti lengket di tangan Wori,
dengan mudah ia menyambutnya, kemudian
menyambitkan kembali ke arah Baureksa. Daya lun-
curnya malah lebih hebat lagi, hingga nyaris meme-
cahkan batok kepala Baureksa. Untunglah pendekar
berkaki tunggal itu berkelit ke samping.
"Trak!" Bumerang itu menghantam dinding
gua, sehingga tidak berbalik lagi kepada pemiliknya.
Kesempatan itu digunakan Baureksa melarikan diri
dari ruangan itu menyusul Pampani dan Karta.
"Dia benar-benar telah kesetanan!" kata Baureksa setelah bersama kedua temannya
itu berlari melalui lorong-lorong
"Sial, kita hampir saja terkena senjata maut-
nya," sambung Pampani. Mereka terus berlari sambil sesekali berpaling ke
belakang, ingin memastikan apakah Wori masih mengejar. Tetapi sampai mereka ke-
luar dari tempat dan tiba di tepian pantai karang, tidak ada lagi hambatan atau
serangan. Mereka sama-sama merasa lega. Namun ke-
mudian Pampani dan si Kaki Tunggal merasa cemas,
karena kondisi Karta tampak semakin parah. Setelah
berada di luar lorong itu, Karta kembali memuntahkan darah segar. Kepala Suku
dan Kaki Tunggal terpaksa
harus memapah sahabat mereka itu.
"Tampaknya keadaanmu semakin mempriha-
tinkan. Biarlah aku membimbingmu sampai ke istana.
Kuatkan hatimu," kata Pampani sedih melihat keadaan adik iparnya itu.
"Tidak! Kalian tak usah repot-repot. Biarlah
aku kembali ke laut. Dalam keadaan seperti ini, berada di laut lebih
menguntungkan bagiku daripada di darat.
Aku masih kuat, kalian tak perlu cemas, sebaiknya kalian pulang ke istana. Siapa
tahu ada sesuatu hal yang harus segera kalian tangani!"
"Tapi....."
"Saya rasa lebih baik begitu," sela si Kaki Tunggal, "Biarlah Karta kembali ke
laut. Itu memang lebih baik. Sekarang marilah kita kembali ke istana.
Saudara Karta, harap kau menjaga dirimu baik-baik."
"Terimakasih! Aku akan memperhatikan sa-
ranmu!" Si Kaki Tunggal dan Pampani segera meninggalkan tempat itu. Lama
keduanya berdiam diri memi-
kirkan keadaan Karta, maupun sikap Wori yang ham-
pir tidak masuk di akal. Cukup lama mereka hidup se-penderitaan dengan pendekar
Pulau Kanguru itu, ber-


Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan beriringan, berat sama dipikul, ringan sama di-jinjing. Hubungan di antara
mereka pun rasanya bu-
kan hanya sekedar persahabatan, tetapi sudah meru-
pakan persaudaraan, saling mengasihi dan saling
membantu. Akan tetapi sekarang, sahabat baik mereka
tiba-tiba saja berubah, tak ada lagi rasa persahabatan.
Yang ada cuma permusuhan dan nafsu membunuh
yang sangat besar. Tidak disangka dan tidak diduga
sahabat baik jadi musuh.
Hanya saja, kedua pendekar itu masih mera-
sa agak terhibur karena menyadari bahwa Wori bersi-
kap begitu hanyalah karena terpengaruh ilmu sihir
yang sangat jahat. Kalau saja dia sadar sepenuhnya, mustahil dia bersikap
sekasar itu. "Untung saja Wori kehilangan jejak atau tidak
mampu mengejar kita. Apa boleh buat, untuk semen-
tara kita harus berpisah dengannya," kata Pampani yang tampak masih sangat sedih
memikirkan keadaan
sahabatnya itu.
"Ya! Dan satu hal yang patut kita syukuri, dia masih hidup. Masalah sikapnya
yang aneh itu, saya
rasa masih bisa berubah. Kita cari akal untuk membe-baskannya dari pengaruh
sihir. Entah siapa sebenar-
nya yang menguasai pikirannya."
"Entahlah. Tapi yang pasti, Iblis Pulau Aru
pun memiliki ilmu sihir seperti itu. Aneh, kuburannya
kosong dan ilmunya pun mendadak muncul kembali.
Sepertinya....." Tiba-tiba Pampani menghentikan ucapannya, karena di hadapan
mereka kini telah berdiri Wori.
"Hah" Wori?" Pampani dan si Kaki Tunggal
berseru kaget. Rupanya Karta yang tadi sudah sempat turun
ke laut sempat mendengar kedatangan Wori. Maka ia
pun memaksakan diri menghampiri kedua sahabatnya.
Ia memegang bahu Baureksa sebagai tumpuan agar ti-
dak terjatuh karena hampir tak bertenaga lagi.
"Wori, kami adalah sahabatmu! Apakah kau
masih tega hendak membunuh kami" Lihatlah, sauda-
ra kita Karta sedang menderita luka-luka akibat puku-lanmu barusan. Sadarlah,
sahabatku! Mudah-
mudahan angin segar di alam terbuka ini membuat
otakmu jernih kembali," kata si Kaki Tunggal dengan suara lembut dan bersahabat.
"Aku tahu, kau sedang dipengaruhi orang
lain. Ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya dan siapa yang sedang kau hadapi.
Wori, temukan dirimu, ingat bangsamu yang sedang dijajah Inggris. Ingatlah
kami!" Tetapi Wori diam saja, mematung seperti ro-
bot yang belum menerima perintah melalui otak kom-
puternya, Baureksa mengira kata-katanya itu sudah
mulai dapat mempengaruhi pikiran Wori. Maka ia pun
tambah bersemangat meneruskan ucapannya:
"Ingat, Wori! Kau jauh-jauh mengembara dari
negerimu untuk menuntut ilmu demi bangsamu! Nasib
bangsamu ada di tanganmu, di tanganmu, Wori! Oleh
karena itu, jaga dirimu baik-baik sampai usahamu itu berhasil!" "Nasib bangsamu
adalah sama dengan nasib bangsaku, Jadi kita sama-sama senasib dan seper-
juangan." Rupanya kata-kata si Kaki Tunggal sedikit
banyak dapat mempengaruhi pikiran Wori. Wajah dan
sinar matanya tampak mulai meredup dan lebih te-
nang. Si Kaki Tunggal dan kedua sahabatnya mulai
gembira dan mulai mempunyai harapan bahwa usaha
mereka menyadarkan Wori akan berhasil.
*** 7 Sementara itu, suasana di dalam istana Kepa-
la Suku tampak sepi di malam yang diterangi sinar
rembulan. Atap istana terlihat berkilauan, cukup indah namun terasa mengandung
ketegangan. Di kehe-
ningan malam itu, sekali-sekali terdengar suara bu-
rung hantu, mungkin sebagai sebuah isyarat bahwa
sesuatu yang tidak diinginkan akan segera terjadi.
Di dahan pepohonan rindang di belakang is-
tana, burung-burung itu terbang dari satu pohon ke
pohon lainnya. Matanya yang tajam serta bercahaya
menatap liar ke dalam istana. Tetapi kemudian, bu-
rung itu terbang menjauh. Suaranya pun terdengar
sayup-sayup, kemudian hilang terbawa angin.
"Ooooaaaaa!"
Tiba-tiba suasana hening itu dikejutkan sua-
ra jeritan tangis bayi dari dalam kamar tidur sang putri. Mirah yang sedang
tidur di kamar sebelah menjadi terkejut dan semakin kaget lagi ketika mendengar
suara langkah kaki yang sangat mencurigakan di dalam
kamar permaisuri. Mendengar suara tangis bayi itu,
yakinlah Mirah bahwa si bayi sedang dibawa oleh se-
seorang yang masuk ke dalam istana tanpa diketahui.
Maka Mirah pun meloncat dari tempat tidur-
nya, kemudian menerjang dinding pemisah kamar
yang terbuat dari papan hingga jebol. Alangkah terkejutnya ia menyaksikan Nomina
terkapar dalam kea-
daan tak berdaya di lantai. Sementara si bayi pun tidak ada lagi di atas tempat
tidur. "Astaga! Tuanku Putri" seru Mirah dengan
suara gemetar menahan rasa kaget dan amarah yang
meluap-luap. Dengan tatapan mata liar si wanita cantik itu menyapu ke
sekelilingnya, nyaris memekik kaget tatkala menyaksikan sesosok tubuh berkepala
ikan hiu sedang berdiri di sudut kamar sambil memangku
bayi sang putri, menangis menjerit-jerit.
Tak terkatakan betapa terkejutnya Mirah me-
lihat orang aneh itu. Sebetulnya kepala lelaki itu bukannya terbuat dari ikan
hiu, melainkan hanyalah semacam topeng dari kulit ikan hiu yang dikeringkan
yang bagian tubuh dan ekornya terus memanjang
sampai ke lutut. Wajahnya pun tidak dapat dilihat, sebab yang terlihat hanyalah
sepasang matanya dari lubang kecil di kulit ikan hiu itu.
Akan tetapi bukan itu yang membuat Mirah
terkejut setengah mati, melainkan karena orang itu
sangat mirip dengan Iblis Pulau Aru. Tokoh sesat itu pun demikian adanya. Ketika
Mirah mengamatinya rasanya tidak ada bedanya. Lantas hatinya pun ber-
tanya-tanya, apakah memang betul Iblis Pulau Aru
yang beberapa waktu lalu tewas telah hidup kembali"
"Kau.... kau Iblis Pulau Aru" Tapi.... tak, tidak mungkin. Tidak mungkin....."
kata Mirah tersendat-sendat karena belum bisa menguasai rasa kagetnya.
Tiba-tiba beberapa berkas sinar menyambar
ke arah bagian-bagian tubuh Mirah, yang tak lain tak bukan adalah tulang-tulang
ikan hiu yang dibuat menjadi semacam senjata rahasia. Senjata rahasia itu
meluncur cepat sekali sehingga yang tampak hanyalah ki-
latan cahayanya saja.
"Yeaaa!" Mirah meloncat kemudian jungkir
balik menghindari serangan yang sangat mendadak
itu. Setelah menginjakkan kakinya di lantai, wanita itu lalu meloncat menerjang
lawan dengan goloknya. Ia
segera mengeluarkan ilmu simpanannya, karena dis-
adarinya lawannya sekarang bukanlah orang semba-
rangan. Goloknya diayunkan membabat dan terdengar
mengeluarkan suara mendesing nyaring ketika dielak-
kan laki-laki berpakaian hiu itu. Golok yang lolos dari sasaran itu membuat
gerakan melengkung dan membalik, menyambar dari bawah ke atas sebagai serangan
susulan yang lebih dahsyat lagi.
Kembali si Manusia Hiu itu mengelak dengan
gerakan cepat, lalu dari samping mendorong dengan
kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan itu tim-
bul angin pukulan yang membuat Mirah nyaris ter-
jengkang. Wanita itu berseru kaget dan meloncat ke
belakang. Kesempatan itu digunakan si Manusia Hiu
untuk melarikan diri melalui jendela. Tetapi Mirah tentu saja tidak mau
mendiamkannya, secepat kilat ia
meloncat bagaikan terbang mengejar lawan.
Si Manusia Hiu yang sudah menyadari seran-
gan lawan cukup berbahaya, berkelit. Berhasil dia
mengelak dengan cara meloncat tinggi ke atas, namun bayi di tangannya terlepas
dan tanpa ampun lagi jatuh terhempas ke bawah.
"Ya, Allah! Bayi itu terlempar ke luar!" pekik Mirah terkejut bagaikan disambar
petir. Secepat kilat ia mengulurkan tangan melalui jendela hendak men-jangkau
tubuh bayi itu, namun sudah terlambat. Ma-
sih dengan suara tangisnya yang melengking, tubuh
bayi itu terus terhempas dari atas.
"Ya, Allah! Terlambat, bayi itu......!"
Kesempatan itu tidak disia-siakan manusia
berkerudung kulit ikan hiu, sambil berteriak nyaring ia menyambitkan senjata
rahasia di tangannya. Mirah
yang masih terperangah melihat si bayi terjatuh tidak sempat mengelak.
"Aaaakh!" Ia menjerit ketika tulang-tulang dan taring ikan hiu menancap di
bagian punggungnya.
Sebelum sempat berbuat apa-apa sebuah pukulan
kembali menghantam punggungnya.
"Buk!" Tubuh Mirah terlempar lalu terbanting keras ke lantai kamar. Cairan darah
segar dan kehitam-hitaman tersembur dari mulut wanita itu. Golok di tangannya
terlempar entah ke mana, tetapi ia masih berusaha bangkit karena tak ingin
diserang lagi. Kembali ia memuntahkan darah segar dan ketika berpaling ke
samping, terlihatlah olehnya Manusia Hiu itu telah berkelebat melarikan diri
dari jendela. Mirah sebenarnya hampir tak berdaya lagi,
dadanya terasa nyeri bukan main, seperti diaduk-aduk atau seperti dibebani
ribuan kilo batu. Akan tetapi melihat si Manusia Hiu melarikan diri, semangatnya
terasa berkobar kembali. Ia menyambar goloknya yang ternyata terlempar tak jauh
dari tempatnya.
"Jangan lari, bangsat!" teriak Mirah sambil mengayunkan golok di tangannya
meluncur deras ke
arah si Manusia Hiu yang sedang melarikan diri. Na-
mun karena sangat terburu-buru dan keadaannya pun
cukup memprihatinkan, sasarannya tidak tepat lagi.
Golok itu tertancap di dinding. Dengan sangat gesitnya, sosok tubuh misterius
itu menghilang di kegelapan malam.
Hampir tubuh Mirah terhenyak lemas karena
rasa sakit yang dideritanya serta karena sangat kece-wa. Ia tidak berhasil
meringkus musuh, bahkan di-
rinya yang terluka dan yang lebih gawat lagi, bayi Nomina terjatuh dari jendela.
Ingat akan bayi itu, seman-
gat Mirah menyala kembali. Dicabutnya golok yang tertancap di dinding, lalu
sambil berteriak nyaring ia meloncat turun.
Mata wanita itu menatap liar ke sekelilingnya,
tetapi ia menjadi lemas ketika menyadari bahwa bayi itu tidak ada di sekitar
tempatnya sekarang berdiri. Ke mana gerangan bayi itu" Apakah si Manusia Hiu
yang memungutnya tadi lalu membawanya kabur" Mirah
memeriksa tanah di sekitar tempat itu. Kalau misalnya jatuh terhempas ke tanah,
paling tidak akan meninggalkan bekas atau tidak mustahil berdarah. Namun tidak
ada sama sekali. Maka hampir saja ia menangis
karena tidak bisa menguasai perasaan.
Menurut perkiraan Mirah kalau tidak terjadi
sesuatu hal yang luar biasa bayi itu tentulah sudah tewas. Tulang-tulangnya yang
masih muda tentu remuk, karena tempatnya terjatuh cukup tinggi, sekitar enam
meter. Tapi paling tidak, ia harus menemukan
mayatnya. Maka ia pun bergegas memeriksa setiap su-
dut-sudut gelap dan kolong-kolong rumah panggung
itu dengan hati cemas. Malam semakin larut, Mirah
belum juga berhasil menemukan tanda-tanda di mana
bayi itu berada, sementara keadaannya semakin pa-
rah. Setiap kali menghela nafas, dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.
Tetapi ia belum mau berhenti mencari sebelum berhasil menemukannya!
Tiba-tiba sebuah bayangan serba hitam ber-
kelebat, entah dari mana datangnya langsung saja menerkam Mirah dari belakang.
Sosok itu tak ubahnya
seekor monyet tinggi besar. Mulai dari kepala hingga kakinya ditutupi bulu-bulu
hitam. Mulutnya tampak
sangat lebar dengan gigi-gigi yang panjang dan runcing-runcing. Kuku kaki dan
tangannya pun pan-jang-
panjang melengkung dan sangat runcing. Tangan ka-
nannya mencengkeram bahu Mirah dari belakang.
"Ah!" Mirah berseru kaget dan dengan gerak reflek menyabetkan goloknya sambil
memutar kedua kaki. Senjata itu menyambar dahsyat, namun dengan
gerakan yang sangat ringan, sosok itu meloncat ke
atas. Mirah masih mencoba memutar senjatanya dari
posisi menyabet ke samping menjadi menyambar lurus
ke atas. Namun baru saja memutar pergelangan tan-
gan, lengan lawan sudah menyambar mencengkeram
ubun-ubunnya "Akh!" Mirah terkejut bukan main, sungguh tak menyangka lawan bisa bergerak
secepat dan sete-pat itu. Ia terpaksa meloncat mundur untuk menghin-
dar. Namun lawan yang dihadapinya kini sepertinya
mempunyai seribu kaki yang bergerak secara aneh,
sehingga membuat tubuhnya seperti bisa menghilang
lalu muncul dari arah yang sama sekali tidak terduga.
Setiap kali golok Mirah menyambar, tubuh itu
lenyap dan langsung menyambar dari arah lain. Aki-
batnya, senjata di tangan Mirah hanya bisa menerpa
angin membuatnya semakin penasaran. Semua ilmu
yang dikuasainya sudah ia keluarkan, namun jangan-
kan mendesak sekedar mengimbangi pun tidak mam-
pu. Sebetulnya tubuh manusia Kera itu tidak bisa
menghilang, tetapi karena gerakannya sangat cepat
dan gesit disertai langkah kaki yang aneh tubuhnya
seperti menghilang. Apalagi dalam keadaan tubuh
yang sudah terluka-luka, gerakan Mirah jauh lebih
lamban dan tenaganya pun sudah hampir habis.
Makin lama ia makin terdesak. Kuku-kuku
panjang Manusia Kera itu berkali-kali menjambret kemudian merobek-robek pakaian
yang melekat di tubuh
Mirah. Inginlah wanita itu menjerit dan menangis ketika kain penutup dadanya pun
sudah terbang entah ke
mana. Secara reflek ia menutupi dadanya dengan tan-
gan kiri. Kesempatan itu digunakan lawan untuk me-
nerkamnya dengan kedua tangan mencengkeram den-
gan kecepatan luar biasa. Mirah hanya sempat melihat bayangan hitam berkelebat.
Ia ingin mengelak sambil berteriak, namun suaranya tercekat, karena lehernya
sudah dicekik kuat sekali. Tubuh Mirah pun terjengkang ke belakang, namun tubuh
si Manusia Kera tetap menindih sambil mencengkeram lehernya bagaikan jepitan


Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baja. Habislah harapan Mirah untuk bisa menye-
lamatkan diri. Nafasnya sudah hampir putus, pandan-
gan matanya pun berkunang-kunang dan kepala pus-
ing tujuh keliling. Namun di saat yang genting itu, mendadak sebuah bayangan
berkelebat dan langsung
menerjang punggung si Manusia Kera.
"Deg!"
Tendangan yang menghantam tubuh si Ma-
nusia Kera kuat luar biasa, sehingga terpelanting
hampir enam meter! Dan beberapa saat tidak mampu
bangkit lagi. Mirah merasa lega karena selamat dari maut,
dan lebih senang lagi karena yang menyelamatkannya
adalah Umang, suaminya sendiri. Umang datang sam-
bil menggendong si bayi yang masih menangis me-
raung-raung. "Mirah! Apa yang telah terjadi?"
"U.... Umang! Bayi itu?"
"Kau tak perlu cemas, dia tidak kurang suatu
apapun. Tadi secara kebetulan aku mendengar suara
ribut-ribut di kamar sang putri dan secepatnya keluar ingin melihat apa yang
terjadi. Tapi saat itu aku melihat si bayi terjatuh dan aku berhasil
menangkapnya. Beberapa saat kemudian aku melihat orang bertopeng
itu melarikan diri, lalu kukejar. Sayang sekali, ia se-
perti setan saja. Aku kehilangan jejak."
"Syukurlah putra Karta selamat. Apakah kau
tidak tahu siapa sebenarnya si Manusia Hiu itu?"
"Mirah, awas di belakangmu!" Umang tidak
menjawab pertanyaan istrinya, karena tiba-tiba mah-
luk berwujud monyet raksasa itu telah menerjang Mirah kembali.
Mirah segera meloncat ke dekat suaminya, la-
lu menatap liar ke arah lawannya tadi terlempar. Ternyata si Manusia Kera itu
sudah bangkit kembali dan tampak siap menyerang dengan buas.
"Mirah, kau telah mengalami luka-luka. Lebih
baik kau selamatkan bayi ini dulu. Aku akan meng-
hambat monyet besar itu," Umang menyerahkan bayi itu kepada istrinya, lalu
menyuruh Mirah secepatnya melarikan diri.
Saat itu, si Manusia Kera telah menerjang
Umang dengan ganas. Tubuhnya yang tinggi besar me-
layang dan kedua tangan diulurkan menyambar dah-
syat ke arah kepala dan ulu Umang. Tentu saja Umang tidak mau tinggal diam,
sambil berteriak nyaring ia berkelit ke kiri dan hanya beberapa saat kemudian
goloknya sudah menyambar bagaikan kilat ke arah dada
lawan. "Krep!" Si Manusia Kera menundukkan kepala sehingga sabetan golok si
Lengan Tunggal tepat
menghantam ke arah mulutnya. Lalu entah bagaimana
caranya, senjata itu telah digigitnya dan menempel
kuat sekali seolah-olah gigi-giginya terbuat dari jepitan baja.
"Akh!" Umang berseru terkejut bukan main.
Tadi ia sudah girang melihat senjatanya tampak tidak akan bisa ditangkis oleh
lawan lagi. Namun sungguh di luar perhitungannya, senjatanya malah lengket dan
ketika ia berusaha membetotnya ia kembali berseru
kaget karena tidak kuat melepaskan senjatanya dari
gigitan lawan. Monyet besar itu menggerak-gerakkan kepa-
lanya ke kiri dan ke kanan, sehingga golok itu terlepas dari tangan Umang dan
langsung menyambar cepat
sekali ke arah lehernya,
"Ehh!" Umang kaget dan buru-buru memban-
tingkan diri ke belakang. Golok itu pun melayang melintas di atas kepalanya lalu
tertancap di dinding. Sebelum sempat berbuat apa-apa, Manusia Kera itu telah
menerkamnya dan mencekik leher Umang hingga nafas pendekar berlengan tunggal itu
megap-megap. Untunglah di saat itu Mira berpapasan den-
gan laskar-laskar Pampani.
"Cepat! Tolonglah Umang! Hati-hati monyet
itu sangat ganas!" teriak Mira. Puluhan laskar segera berlari ke arah
pertarungan itu dengan senjata tombak terhunus.
"Ciaaaat! Hayiiit!" Laskar-laskar itu menyerbu dari segala penjuru. Ujung tombak
menyambar-nyambar dahsyat ke arah Manusia Kera. Akibatnya,
Manusia Kera itu lalu melarikan diri. Para laskar semakin bersemangat mengejar
sambil berteriak-teriak
nyaring. Tetapi tanpa diduga-duga, monyet besar itu berbalik dan sekali gebrak,
tombak-tombak itu patah berantakan.
"Kurang ajar!" Para laskar berteriak kaget, namun sebelum sempat berbuat apa-apa
kedua tangan dan kaki makhluk berwujud monyet itu sudah berge-
rak menyambar-nyambar dahsyat.
Satu per satu tubuh para penjaga istana itu
roboh berpelantingan dengan luka-luka parah, bahkan beberapa di antaranya
langsung tewas. Kuku-kuku
monyet itu ternyata tajam dan kuat sekali, setiap menyambar dan mengenai
sasaran, maka tubuh laskar
itu langsung tercabik-cabik.
Menyaksikan keadaan itu, Umang menjadi
terkejut. Hanya dalam sekejap mata saja puluhan pa-
sukan kerajaan telah roboh bermandikan darah. Pen-
dekar Lengan Tunggal itu pun berteriak menyuruh pa-
sukan itu mundur untuk mencegah semakin banyak-
nya korban berjatuhan. Ia sendiri segera bangkit dan menerjang melancarkan
serangan mautnya, tetapi kali ini ia sudah lebih berhati-hati, karena dalam
pertarungan pertama tadi ia sudah merasakan sendiri betapa
lihainya makhluk aneh itu.
Dengan tangkas, monyet besar itu melesat ke
udara menghindari sabetan golok Umang. Lalu dengan
gerak kilat, tangan kanannya menyambar ulu hati
pendekar lengan tunggal. Salah seorang laskar melompat memapaki cengkeraman
tangan monyet itu, se-
mentara Umang menyabet sehingga makhluk aneh itu
menjadi terdesak.
"Cecar terus! Jangan kasih kesempatan!" teriak Umang memberi aba-aba. Monyet
besar dan serba
hitam itu makin terdesak, namun karena gerakannya
sangat gesit, tak satu pun tombak laskar yang berhasil melukainya. Ia kemudian
meloncat bagaikan terbang
dan bersalto beberapa kali dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan mata.
Para laskar menjadi ter-kejut dan ketika mereka menengadahkan wajah tampaklah
Manusia Kera itu telah berada di atas atap istana. Sekali loncat, tubuhnya
berkelebat bagaikan angin dan menghilang di kegelapan malam.
"Kurang ajar! Kejar!" teriak para laskar itu geram.
"Tidak perlu!" teriak Umang sambil memben-tangkan kedua tangannya. Ia menatap
para laskar itu satu per satu, lalu dengan suara penuh wibawa, ia
berkata lagi "Kita tidak akan mampu mengejarnya seka-
rang. Sebaiknya kita mengurus teman-teman yang
menderita luka-luka."
"Luar biasa, makhluk itu bagaikan setan sa-
ja!" "Ya, tadi kita memang bisa mendesaknya wa-
laupun belum berhasil melukainya. Aku rasa lain wak-tu ia pasti akan datang lagi
untuk meminta korban berikutnya. Kita harus tetap waspada untuk menghada-
pinya. Ayo, rawatlah teman-teman kita yang luka-luka.
Kasihan, teman kita ada yang meninggal!" ujar Umang sedih. Sementara itu, Mira
dengan tergesa-gesa memasuki istana sambil menggendong bayi Karta. Ia se-
gera memasuki kamar putri Nomina yang tadi tergele-
tak dalam keadaan tak berdaya,
Tetapi mendadak langkahnya terhenti! Ia ka-
get luar biasa menyaksikan sesosok tubuh wanita tua renta itu bertongkat berdiri
di hadapannya. Rambut
wanita tua itu semuanya sudah memutih dan dikuncir
ke atas. Wajahnya kurus panjang dan penuh keriput
dengan dagu yang tampak sangat panjang. Lehernya
yang kurus kecil tampak pula lebih jenjang dari yang lazim. Kaki kanannya sudah
buntung sebatas lutut
hingga kalau berjalan ia selalu bertumpu pada tong-
katnya. Sorot matanya tampak sangat dingin dan ta-
jam, seolah-olah sanggup menembus relung-relung ha-
ti setiap orang yang memandangnya. Pakaiannya yang
serba hitam tampak bagai bayang-bayang di bawah si-
nar penerangan yang remang-remang.
"Hah" Astaga! Si... siapa kau" Kau.....kau
Pendeta Naomi...." kata Mirah tercekat. Jiwanya kembali tergoncang karena tokoh
sesat pendeta Naomi sudah tewas beberapa waktu lalu. Tetapi sama-sama
halnya si Manusia Kera, tiba-tiba saja berdiri di hada-
pannya mengherankan jika ia terperangah, walaupun
ia sebenarnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian cukup tinggi.
Sosok tubuh kurus itu tidak menyahut, tetapi
sinar matanya terus menatap Mirah dengan tajam tan-
pa berkedip. "Tidak mungkin! Aku tahu kau sudah mati.
Tubuhmu tak berwujud lagi ketika jatuh ke jurang!" teriak Mirah antara geram dan
takut. Lalu bagaikan dalam mimpi, ia menerjang sosok tubuh itu. Goloknya
diayunkan cepat sekali menyambar bagian pinggang
wanita tua itu hingga putus menjadi dua. Sinar mata senjatanya kemudian
menyambar leher, tangan dan
kaki lawan hingga terpotong-potong berserakan di lantai.
"Mampus kau! Mampus, Manusia iblis!" teriak Mirah sambil menyabet-nyabetkan
goloknya. Suara ribut-ribut itu rupanya mengundang perhatian Bungoru, yang
segera berlari ke ruangan itu. Alangkah terkejutnya ia melihat Mirah mengamuk
membabi buta memo-
tong-motong sebuah boneka dari gabus.
"Mirah, apa yang terjadi padamu" Tenanglah,
Mirah! Hentikan! Hentikan golokmu! Ya, Dewa, tenan-
glah Mirah"
Mendengar teriakan itu, Mirah tampak sema-
kin beringas. Ia menatap Bungoru dengan tatapan ma-
ta liar dan buas. "Jangan coba-coba merampas anak itu dari tanganku. Kubunuh
kau!" teriaknya mengancam bagaikan singa betina yang terluka.
Dengan tangkas, Bungoru menangkap lengan
Mirah yang memegang golok, "Tenanglah, Mirah! Atur nafasmu baik-baik dan
tenangkan pikiran. Curahkan
perhatianmu pada diri sendiri."
"Oh, kau Bungoru. Hh.......Hh...!" kata Mirah dengan nafas tersengal-sengal.
"Kini lihatlah apa yang ada di hadapanmu,
Mirah" Tadi kau hanya mengiris-iris sebuah boneka
kecil dari gabus. Agaknya kau telah dipengaruhi sihir yang sangat jahat,
sehingga kau merasa seperti betul-betul sedang menghadapi musuh yang paling kau
ta- kuti!" Mirah menjadi tersentak setelah menyadari
apa yang telah terjadi. Di hadapannya memang berse-
rakan potongan-potongan boneka gabus yang entah
bagaimana tadi dilihatnya sebagai pendeta Naomi.
"Astaga! Benar apa katamu! Tapi tadi aku se-
perti melihat pendeta Naomi hendak merampas bayi ini dari tanganku."
"Ini pasti ilmu sihir dari Pulau Kolepom dekat muara sungai Digul, di pulau yang
semua penghu-ninya orang-orang berkulit hitam. Tetapi siapa yang memasukkan ilmu
jahat itu ke sini, Mirah?"
"Sihir Pulau Kolepom?" tanya Mirah mengere-nyitkan kening.
"Ya. Berarti sekarang kita sedang menghadapi
musuh yang sangat tangguh dari luar Kepulauan Aru.
Tidak salah lagi! kita harus hati-hati, Mirah!"
"Kurang ajar! Kalau ketemu orangnya, akan
kucincang tubuhnya! Kubunuh bedebah itu!" kata Mirah geram karena merasa
dipermainkan dengan ilmu
sihir yang sangat jahat.
"Jangan terlalu cepat emosi, Mirah! Ingat, il-
mu sihir seperti itu akan lebih cepat mempengaruhi
pikiran kalau kita tidak tenang. Seperti tadi, kau langsung panik hingga mengira
boneka kecil sebagai pendeta Naomi!"
"Ah, terima kasih, Bungoru! Aku akan mem-
perhatikan nasehatmu ini. Lalu bagaimana dengan tu-
anku putri?"
"Dia berhasil kita selamatkan! Kini beliau
berbaring di bangsal dalam keadaan yang tidak
mengkhawatirkan. Oh, tampaknya kau mengalami lu-
ka-luka juga. Lihat punggungmu mengucurkan darah.
Kurang ajar! Tampaknya seseorang telah melukaimu
dengan senjata rahasia!"
"Ya, sebelum Manusia Kera itu muncul, aku
sudah terlebih dulu melihat Iblis Pulau Aru. Dia hendak membawa kabur bayi ini
dan sempat terjatuh dari jendela. Untung Umang masih sempat menangkapnya.
Kalau tidak....," Mirah tidak meneruskan ucapannya, karena ia pun tidak berani
membayangkan apa jadinya bayi itu kalau sampai terhempas ke tanah dari
ketinggian sekitar enam meter.
"Sebaiknya kita ke kamar keputrian dulu. Se-
telah itu, aku akan mengobati luka-lukamu. Sekarang bangsal dijaga ketat oleh
laskar-laskar pilihan. Walaupun aku tahu kekuatan mereka mungkin belum bisa
menandingi kekuatan musuh kita." Bungoru mem-
bimbing Mirah ke dalam kamar keputrian.
Nomina ternyata sudah berbaring di atas
tempat tidur, dijaga ketat puluhan laskar pilihan dengan senjata tombak siap di
tangan. "Kasihan, agaknya dia masih pingsan," ujar Mirah.
"Dia terkejut, menderita rasa takut luar biasa.
Tapi tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya pasti akan pulih seperti sedia
kala. Sekarang, biarlah bayi itu berbaring di sini. Aku akan mengobati lukamu."
"Terima kasih!"
*** 8 Sementara itu, si Kaki Tunggal, Pampani dan
Karta masih berdiri berhadap-hadapan dengan pende-
kar bumerang Wori. Ketiganya masih menunggu den-
gan harap-harap cemas. Tampaknya tadi sikap Wori
agak berubah menjadi jinak. Tetapi ia belum mengu-
capkan sepatah kata pun terhadap sahabat-
sahabatnya. Pendekar dari Negeri Kanguru itu tetap
berdiri tegak bagaikan patung. Matanya menatap ko-
song, seperti kehilangan dirinya sendiri.
"Bagaimana, Wori" Apakah kau belum mau
ikut dengan kami" Sadarlah, kami sangat mengha-
rapkan kedatanganmu!" kata si Kaki Tunggal.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan, menda-
dak sikap Wori berubah menjadi ganas sekali. Ia
menggeram hebat dengan wajah merah padam dan si-
nar matanya pun tampak merah sekali bagaikan men-
geluarkan api. Giginya gemeretak, siap menerkam keti-ga pendekar yang berada di
hadapannya. "Wori, kau..... "


Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yeeaaaaa!" Wori berteriak nyaring dengan sekujur tubuh bergetar hebat, sehingga
bukit batu yang diinjaknya bergetar bagai diguncang gempa dah-
syat. Batu-batuan pun berjatuhan mengelinding ke
arah Pampani dan kedua sahabatnya yang berdiri di
bawahnya. "Astaga! Pengaruh ilmu iblis keparat itu lebih kuat daripada kita dan dirinya
sendiri," teriak Baureksa terkejut.
"Awas! Lari!" teriak Pampani melihat hujan batu yang berguguran dari atas bukit
mengancam keselamatan jiwa mereka. Ketiga pendekar itu pun men-
jadi kerepotan berloncatan ke sana ke mari menghin-
dari terjangan batu yang sebagian di antaranya sebesar kerbau dewasa.
"Hyaaaaat!" pekikan Wori kembali membelah angkasa dan menggetarkan bumi.
Tubuhnya mencelat
bagaikan terbang ke arah tiga tokoh silat itu. Wori mendorong dengan kedua
tangannya sehingga serang-kum angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Bau-
reksa serta kedua sahabatnya.
"Awas!"
"Haiit!" Si Kaki Tunggal berteriak memberikan peringatan dan secara spontan
Karta meloncat tinggi untuk menghindari terkaman Wori. Akan tetapi karena kurang
hati-hati dan kondisi tubuhnya pun sudah
sangat lemah, si Gila Dari Muara Bondet menjadi salah tindak dan berakibat
fatal. Tubuhnya tergelincir dan langsung terhempas dari atas tebing ke tepi
pantai cu-ram, di mana batu-batu cadas runcing siap menyam-
but tubuhnya. "Aaaaaaa!" Karta berteriak panjang. Putuslah harapannya untuk bisa menyelamatkan
diri dari incaran maut di dasar tebing. Si Kaki Tunggal pun tidak kalah
terkejutnya, karena ia sadar sekali tubuh Karta terhempas ke jurang yang penuh
batu cadas itu, nyawanya tidak akan terselamatkan lagi.
Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal me-
luncurkan topi pandannya ke bawah sana, "Kartaaaa!
Ini topiku!" teriak pendekar berkaki tunggal itu. Karena topi itu dilemparkan
sambil mengerahkan tenaga dalam, maka benda itu pun meluncur cepat sekali dan
dapat mendahului tubuh Karta yang sedang meluncur.
Dalam keadaan nyawa terancam, Karta masih
sempat mendengar teriakan sahabatnya. Ia juga sem-
pat melihat si Kaki Tunggal meluncur dengan kecepa-
tan tinggi. Maka dengan sisa tenaga yang ada pende-
kar gagah perkasa itu bersalto di udara dan kedua
ujung kakinya dengan tepat menjejak topi yang dilemparkan Baureksa. Sungguh
suatu pemandangan yang
sangat mendebarkan, sebab salah sedikit saja, nyawa Karta tentu akan melayang.
Tetapi rupa-nya nasib mu-
jur masih menyertai pendekar itu, sehingga dengan
menjejak topi ajaib itu, ia dapat meloncat lebih jauh lagi hingga tubuhnya
tercebur ke laut, bukannya terhempas ke batu karang tajam.
"Byur!" Tubuh pendekar itu masuk ke dalam air laut yang kebetulan cukup dalam
dan terus meluncur ke bawah tersedot oleh bobot tubuhnya sendiri
menuju dasar laut. Beberapa ekor ikan kecil yang tadi berenang-renang riang
gembira di laut itu menjadi terkejut, lalu berpencaran menjauh karena ketakutan.
Namun celakanya, Karta tidak sadarkan diri
lagi. Rupanya hempasan yang cukup keras sewaktu
terhempas ke permukaan air laut tadi membuatnya
pingsan seketika. Hal itu karena dirinya memang su-
dah terluka parah, sehingga sekarang tidak berdaya
lagi menyelamatkan diri dari sedotan air laut
Tiba-tiba tubuh yang tak berdaya itu bergerak
berputar, makin lama makin kencang. Ternyata ia te-
lah terkena jaringan air pusaran di dasar laut. Arus air dalam laut itu akhirnya
menyeret tubuh si Gila Muara Bondet dengan derasnya dari poros putaran.
*** 9 Arus itu semakin kencang, sehingga membuat
tubuh Karta meluncur semakin jauh dari tempat se-
mula. Makin lama tubuhnya tampak makin kecil dan
akhirnya hilang tergulung ombak laut yang besar.
Kepala Suku Pampani pun sebenarnya ikut
juga terjatuh tadi. Tetapi ia sempat berpegangan pada pinggiran tebing hingga
tidak ikut terhempas ke bawah sana. Sedangkan si Kaki Tunggal nasibnya sedikit
le- bih baik, hanya sempat terjengkang di atas tanah.
"Baiklah. Aku sudah siap!"
"Maafkan kami, Wori. Kita terpaksa harus
bermusuhan!"
Sambil berteriak nyaring, kedua pendekar itu
menyerang Wori dengan dahsyat. Tongkat si Kaki
Tunggal menyambar bagaikan kilat ke arah leher Wori.
Sedangkan Pampani mengulurkan kedua tangan den-
gan cengkeraman mautnya mengarah ke bagian ubun-
ubun dan pusar Wori.
Sungguh suatu serangan yang sangat dahsyat
dan mematikan. Salah satu saja serangan itu menge-
nai sasaran, maka Wori akan menderita luka-luka pa-
rah bahkan tidak mustahil akan menemui ajalnya.
Akan tetapi dengan gerakan yang sangat ce-
pat, ia menundukkan kepala sehingga hantaman tong-
kat Kaki Tunggal luput. Pada saat hampir bersamaan, tangan kanan Wori menangkis
pukulan Pampani, sedang tangan kirinya menyambar dahsyat ke arah dada
Kaki Tunggal. "Duk! Buk!" Kaki tangan Wori beradu keras dengan tangan Pampani sedangkan tangan
kirinya dengan telak berhasil menghantam dada Kaki Tunggal.
Akibatnya, tubuh Pampani terdorong beberapa lang-
kah sedangkan tubuh Baureksa sempat terpelanting
beberapa meter.
"Kurang ajar!" bentak pendekar berkaki tunggal itu sambil meloncat bangun. Ia
kini mengandalkan ilmu meringankan tubuh untuk menyerang lawan. Ge-takannya
sangat cepat sehingga tubuhnya lenyap dan
berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar
dari segala penjuru disertai hantaman tongkat yang
sangat berbahaya.
Namun kembali Wori menggeram dan men-
gimbangi serangan lawan dengan gerakan kaki berlon-
catan cepat dan kuat, sehingga semua serangan Bau-
reksa dapat dihindarkan atau ditangkisnya. Kalau gerakan lawan sangat cepat,
gerakan pendekar bume-
rang itu sendiri sangat aneh, seolah-olah geseran kakinya sudah cukup untuk
menghindar dan jika ada
kesempatan, tangannya pun langsung menyambar
dahsyat. Pampani pun tidak mau tanggung-tanggung
lagi, sebab bukan hanya sekali tetapi bahkan sudah
beberapa kali ia dan sahabat-sahabatnya nyaris tewas di tangan Wori. Itu sudah
cukup baginya untuk tidak mau bermain-main lagi. Tepat seperti yang diucapkan si
Kaki Tunggal biarpun menghadapi sahabat kental
sendiri, yang namanya bertarung adalah lebih baik
membunuh daripada dibunuh. Maka ia pun segera
mengeluarkan segenap kemampuannya untuk mero-
bohkan lawan. Memang sungguh tragis, dua belah pihak
yang dulunya bersahabat bahkan sudah merasa sena-
sib seperuntungan, kini bertarung mati-matian. Sedikit lengah saja, mereka bisa
celaka! Tetapi itulah kenya-taannya, di mana pengaruh ilmu sihir yang sangat
jahat telah menguasai pikiran Wori, sehingga tampak
bahwa dia tak segan-segan untuk berbuat kejam.
Memasuki jurus yang keempat puluh, Pam-
pani dan Baureksa berhasil mendesak Wori. Bahkan
Kepala Suku itu berhasil mendaratkan pukulan tangan kirinya ke dada lawan,
menyusul hantaman tongkat si Kaki Tunggal ke dada pendekar bumerang. Akan tetapi
agaknya hal itu memang sengaja dibiarkan Wori, karena pada saat yang hampir
bersamaan, kedua sikut
tangannya berhasil mendarat telak di dada kedua la-
wannya. "Duk" Tubuh Pampani dan si Kaki Tunggal terpelanting beberapa meter,
kemudian terbanting ke-
ras ke tanah. Ketika keduanya berusaha bangkit, tampaklah beberapa gumpal darah
kental tersembur dari
mulut mereka pertanda keduanya telah menderita luka dalam yang cukup parah.
"Celaka, Pampani! Ternyata dia bukan tan-
dingan kita. Dia terlalu tangguh dan bertenaga raksa-sa!"
Pampani mengeluh perlahan. Pandangan ma-
tanya mulai berkunang-kunang, sama seperti nasib
temannya si Kaki Tunggal. Meskipun demikian, seba-
gai pendekar yang gagah perkasa, mereka tentu saja
tak mau menyerah begitu saja. Keduanya segera bang-
kit sambil berusaha menahan rasa sakit di dada.
Kembali terjadi pertarungan dahsyat, namun
tidak sehebat tadi lagi, karena baik Pampani maupun si Kaki Tunggal tidak berani
lagi terlalu memaksakan tenaga dalam mereka. Bagaimanapun juga, dalam
keadaan terluka seperti itu adalah tidak baik mengerahkan tenaga karena tentu
akan membuat luka da-
lam mereka bertambah parah. Kedua pendekar itu
hanya mengandalkan kelincahan tubuh tanpa mau
mengadu tenaga lagi, namun jika mempunyai kesem-
patan mereka melancarkan serangan mautnya.
Akan tetapi diam-diam kedua pendekar itu
mengeluh. Mereka sudah berusaha bertarung sebaik
mungkin dan telah mengeluarkan segenap kemam-
puan, tetapi serangan kedua pendekar itu seperti
membentur tembok yang sangat kuat dan kokoh. Ma-
kin lama, kondisi mereka pun makin lemah. Kesempa-
tan itu digunakan Wori melancarkan serangan maut-
nya, sehingga kedua lawannya kembali terpelanting
dan tidak mampu bangkit lagi.
"Pampani, kita benar-benar tak berdaya lagi,"
kata Baureksa dengan suara tercekat.
"Apa boleh buat, mungkin sudah takdir kita
harus mati di tangan sahabat sendiri. Semoga Dewa
yang Agung mengampuni kesalahannya."
Pada saat itu, pendekar bumerang melangkah
dengan pasti ke arah musuh-musuhnya. Sorot ma-
tanya yang sangat dingin dan tajam menandakan bah-
wa tak mungkin lagi dia, mau mengampuni Pampani
maupun si Kaki Tunggal
Mendadak kedua pendekar itu berseru kaget
melihat perubahan dalam diri Wori. Makin dekat kepa-da mereka, tubuh laki-laki
itu tampak semakin tinggi besar, bagaikan balon ditiup. Hampir tak di percaya,
sehingga berulang kali Pampani dan Baureksa mengejap-ngejapkan mata, seolah-olah
belum yakin akan
pandangan mata mereka sendiri.
Hanya beberapa langkah lagi, Wori berdiri di
hadapan kedua pendekar yang sedang tergeletak tak
berdaya itu. Tubuh pendekar bumerang tampak telah
setinggi pohon kelapa atau belasan meter sehingga ia tampak seperti seorang
manusia dewasa di hadapan
dua ekor semut.
"Heh" Astaga! Dia berubah menjadi raksasa!"
seru si Kaki Tunggal.
"Ya, Dewa!" teriak Pampani pula.
"Lari, Pampani!" pekik si Kaki Tunggal yang tiba-tiba saja merasa menemukan
kekuatannya kembali. Sewaktu telapak kaki Wori yang lebarnya hampir satu meter
itu hendak menginjak tubuhnya, ia segera bergulingan.
"Bum!" Terdengar suara berdebum dahsyat
ketika telapak kaki berukuran raksasa itu menginjak tanah hanya beberapa jengkal
dari tubuh si Kaki
Tunggal. Tanah di sekitar tempat itu pun terguncang bagaikan dilanda gempa
dahsyat. Pampani pun masih
sempat mengelak dengan cara seperti yang dilakukan
sahabatnya. Dalam keadaan semakin terdesak, si Kaki
Tunggal masih sempat mengayunkan tongkatnya
menghantam kaki Wori.
"Duk!" Dengan telak, tongkat itu menghantam kaki Wori. Tetapi laki-laki bertubuh
raksasa itu tampak tidak kesakitan sama sekali, bahkan tongkat si
Kaki Tunggal berbalik keras, seolah-olah memukul
benda berupa karet.
"Grrrrrr!" Wori menggeram dan langsung
menginjak tubuh si Kaki Tunggal dan Pampani sekali-
gus. Demikian besarnya telapak kaki Wori, sehingga
tubuh kedua pendekar itu tenggelam diinjaknya, tak
ubahnya manusia menginjak semut.
"Aaaaaaa!" Pampani dan Baureksa menjerit
panjang ketika merasakan tubuh mereka telah remuk
tertimpa benda keras yang beratnya ribuan ton. Wa-
laupun demikian, Wori tidak kasihan sama sekali. Ia terus menginjak, hingga
kedua lawannya hampir tak
bisa bernafas lagi, selain menggigit bibir menahan rasa sakit luar biasa.
Tiba-tiba sebuah bayangan sosok tubuh serba
hitam mengenakan pakaian jubah, muncul di atas teb-
ing tak jauh dari arena pertarungan itu. Dialah si ahli sihir Womere, yang entah
dari mana datangnya tiba-tiba saja sudah berada di tempat itu. Sambil terse-
nyum puas, laki-laki itu berujar dengan suara yang
penuh wibawa.......
"Cukup, Wori! Untuk kali ini kau telah me-
nunjukkan kesetiaan terhadap perintah-perintahku!
Lepaskan saja kunyuk-kunyuk kecil itu. Lepaskanlah!"
Wori mengurungkan niatnya dan mengangkat
kakinya, sehingga si Kaki Tunggal dan Pampani mera-
sa bagaikan lepas dari beban yang teramat berat serta menyakitkan. Pada saat
itu, keduanya juga terkejut
menyaksikan tubuh Wori telah mengecil kembali se-
perti sediakala. Lalu dengan langkah perlahan-lahan,
meninggalkan kedua pendekar yang tadi hampir saja
remuk redam ia injak.
"He, lihat! Dia berubah jadi kecil!" teriak Pampani seperti tanpa sadar.
"Naiklah ke mari, Wori!" ujar Womere lagi.
"Kau kini betul-betul sudah dapat dipercaya untuk menjalankan tugas selanjutnya.
Mengenai nyawa tikus-tikus kecil itu, kita tangguhkan dulu. Tapi lain waktu
mereka tidak akan bisa lolos lagi. Itu persoalan kecil. Masih ada tugas yang
lebih penting bagimu dan harus kau lakukan sebaik-baiknya. Tuanmu ingin
berbicara langsung denganmu, Wori! Kini marilah ikut
dengan aku!"
Pampani dan si Kaki Tunggal sangat terkejut
menyaksikan kehadiran lelaki yang tampaknya adalah
ahli sihir yang menguasai pikiran Wori. Setiap kali berbicara, suaranya
terdengar sangat berwibawa, sehingga sedikit pun pendekar bumerang itu tidak mau
membantah. "Kurang ajar! Rupanya dialah biang kela-
dinya!" kata si Kaki Tunggal geram.
"Ya, pasti dialah orangnya. Tapi aneh sekali,
kita belum mengenalnya. Agaknya dia baru datang ke
pulau ini. Dia bukan penduduk peribumi kepulauan
Aru ini. Dia pasti datang dari negeri lain.


Jaka Sembung 14 Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara Pampani dan si Kaki Tunggal bica-
ra perlahan-lahan namun mengandung emosi yang
membara, Womere dan Wori pun masih terlibat pembi-
caraan dengan nada seorang hamba terhadap maji-
kannya. "Sekarang adalah waktunya untukmu untuk beristirahat. Kau perlu
mengumpulkan tenaga, sebab
aku lihat kau sudah cukup capek. Mari, Wori! Kau harus turut semua perintahku!"
Wori cuma mengangguk dan mengikuti lang-
kah tokoh sesat itu bagaikan kerbau dicucuk hidung.
Sejenak masih terdengar suara Womere sayup-sayup
di keheningan malam itu, lalu tak lama berselang tubuh keduanya pun lenyap di
balik tebing-tebing.
Pampani dan Baureksa bagaikan terpaku
memandang kepergian sahabat mereka. Tak dapat di-
lukiskan bagaimana perasaan mereka sekarang. Ada
rasa lega, karena barusan dapat selamat dari maut.
Tapi ada juga rasa sedih, sebab kawan baik mereka
sekarang telah dikuasai seorang tokoh sesat berilmu tinggi. Terbayang di benak
Kepala Suku maupun si
Kaki Tunggal ketika mereka masih hidup bersama-
sama dengan Wori. Pendekar Benua Kanguru itu san-
gat baik, selalu dengan tulus hati memberikan ban-
tuan atau bahkan berkorban demi suku yang dipimpin
Pampani. Wori selain ramah tamah, juga sangat suka
bercanda, sehingga kehadirannya terasa membuat su-
asana jadi semarak penuh tawa ceria. Entah dosa apa sebenarnya yang
dilakukannya, sehingga jatuh ke dalam cengkeraman tokoh sesat berilmu jahat.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, sau-
dara Kaki Tunggal?" Pampani bertanya setelah beberapa saat terdiam dan hanyut
dalam pikiran masing-
masing. "Aku sendiri pun masih bingung. Tapi kau jangan berkecil hati atau
terlalu menyesali keadaan ini.
Sebaiknya kita sama-sama mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini.
Tampaknya di Pulau Aru ini telah muncul tokoh sesat berilmu tinggi yang ingin
menobatkan dirinya sebagai penguasa. Cepat atau
lambat, kita akan menghadapi persoalan yang tidak
boleh dianggap remeh. Mulai sekarang kita harus bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan. Sayang.....
kawan kita yang cukup bisa diandalkan sudah berada
dalam cengkeraman musuh. Ini merupakan suatu ke-
rugian besar bagi kita."
"Ya, saya pun memikirkannya. Ancaman yang
kita hadapi kini tidak boleh dianggap remeh, terutama karena tampaknya musuh
yang ada sekarang datang
dari luar pulau. Bisa jadi kedatangan lelaki tadi merupakan isyarat bagi kita
bahwa mereka telah bersiap-
siap melakukan penyerbuan. Mudah-mudahan kita
berhasil mengatasi mereka nanti. Lalu sekarang, ba-
gaimana dengan saudara Karta" Marilah kita menca-
rinya. Tadi ia jatuh ke bawah tebing, entah bagaimana nasibnya kini."
"Entahlah! Tadi sewaktu terjatuh, keadaan-
nya sudah sangat parah. Tetapi aku sempat melihat ia menginjakkan kakinya di
atas topi yang kulemparkan.
Mudah-mudahan ia masih mempunyai kekuatan un-
tuk menyelamatkan diri."
"Kalau begitu, marilah kita bersama-sama
mencarinya!"
"Tunggu, Pampani! Biarlah aku sendiri yang
mencarinya. Kau sebaiknya pulang saja ke istana. Kau berjaga-jaga di sana.
Firasatku mengatakan bahwa istana kita pun sedang dalam incaran musuh."
"Baiklah kalau begitu. Maafkan, aku bukan-
nya tak mau mencari saudara Karta. Tetapi tampaknya aku harus kembali ke istana
sekarang. Setibanya di
sana nanti, aku akan mengirimkan sejumlah laskar
untuk membantumu mencari saudara Karta. Semoga
dia selamat tak kurang suatu apapun!"
Pampani segera mengayunkan langkah me-
ninggalkan tempat itu. Ia tampak sedih, tetapi juga agak tegang karena sudah
dapat merasakan kehadiran
orang yang sedang mengancam keselamatan suku
pimpinannya, maupun kedudukannya sebagai Kepala
Suku di Kepulauan Aru. Wajah laki-laki tadi yang
tampaknya telah benar-benar menguasai pikiran Wori, terbayang lagi di benaknya.
Dadanya menjadi penuh
gejolak amarah nan membara. Dikepalnya kedua tin-
junya dan dalam hati bertekad, suatu saat nanti ia ingin berhadapan dengan orang
itu kemudian membu-
nuhnya! Setelah berpisah dengan Pampani, si Kaki
Tunggal bergegas menuruni tebing-tebing cadas itu.
Yang pertama kali ia temukan adalah tudungnya, yang segera dipakainya dengan
perasaan lega dan mengha-rapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi sege-ra
dapat menemukan Karta. Akan tetapi di sekitar
tempat itu ia tak berhasil menemukan sahabatnya itu.
Bahkan tak terlihat adanya tanda-tanda bahwa si Gila Dari Muara Bondet berada di
sekitar tempat itu.
Pendekar berkaki tunggal itu kemudian me-
nyelusuri pantai karang tajam sambil mempertinggi
daya tangkap panca inderanya. Dia sengaja turun ke
dalam air laut, karena jika Karta berada di dalam laut, pendengarannya yang
sangat tajam seperti kuping lin-tah, tentu akan dapat mendengar suara langkah
kaki Baureksa. Tetapi sampai ia kelelahan dan hari mulai subuh, ia tetap tidak
berhasil menemukan Karta.
Pendekar dari Muara Bondet itu seolah-olah
hilang ditelan bumi. Tidak meninggalkan bekas sama
sekali. Si Kaki Tunggal mulai putus asa, lalu berteriak sekuat-kuat tenaga
memanggil Karta. Suaranya ber-gema ke segala penjuru berbaur dengan desah ombak
laut yang datang bergulung-gulung. Tidak ada sahu-
tan! Dan suara teriakan si Kaki Tunggal pun hilang ditelan angin malam.
TAMAT Bagaimanakah nasib si Gila Dari Muara Bon-
det selanjutnya" Apakah dia akan menemui ajalnya di dasar laut" Bagaimana pula
nasib Pendekar Bumerang
Wori yang sudah dikuasai ilmu sihir lawan. Tampak-
nya dalam waktu dekat akan terjadi pertumpahan da-
rah di kepulauan Aru, setelah munculnya dua tokoh
sesat. Ikuti kisah selanjutnya dalam episode:
'Raja Sihir Dari Kolepom'
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Playboy Dari Nanking 4 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Pendekar Aneh Naga Langit 9
^