Pencarian

Kembang Darah Setan 3

Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan Bagian 3


kediaman Guru sejak kita berpisah di Pulau Biru itu.
Aku hanya dengar-dengar kau punya urusan dengan
Malaikat Penggali Kubur dan beberapa tokoh lainnya!
Mau kau bercerita padaku...?"
Joko pandangi gadis di hadapannya berlama-
lama membuat yang dipandang merasa jengah hingga
dia alihkan pandangannya ke jurusan lain dengan da-
da berdebar. "Urusan dengan Malaikat Penggali Kubur sudah
selesai. Tapi justru urusan yang kini kuhadapi lebih sulit dibanding urusan
dengan Malaikat Penggali Kubur! Beberapa orang yang tidak kukenal tiba-tiba saja
menuduhku mengambil benda pusakanya dan mati-matian hendak membunuhku kalau aku
tidak membe- rikan benda itu! Dan rupanya kabar itu telah menebar.
Terbukti aku sempat jumpa dengan seseorang. Dia ju-
ga mengatakan kalau aku mendapatkan benda pusaka
orang! Padahal aku yakin dan percaya. Aku tidak per-
nah mengenal orang-orang itu apalagi mengambil ba-
rang pusakanya!"
"Bagaimana bisa begitu"!" gumam Dewi Seribu Bunga. "Kau saja pasti bingung.
Apalagi aku! Tapi nyatanya itulah yang terjadi! Padahal barang yang diminta dan
katanya kuambil, baru kali ini aku mendengar
namanya. Belum lagi yang meminta adalah seorang
yang selain punya kepandaian sangat tinggi, juga mengerikan!"
"Hai...." Tiba-tiba terdengar suara dari arah bagian dalam. Saat Joko berpaling,
si pemilik kedai tampak tersenyum lalu melangkah mendekat. Tangan ka-
nannya menggenggam kantong berwarna hitam.
"Anak muda...," kata orang tua pemilik kedai.
"Aku tadi sempat membicarakan mu dengan gadis ini.
Sama sekali tidak kusangka kalau kalian berdua ada-
lah dua sahabat...."
Si pemilik kedai memandang silih berganti pada
Joko dan Dewi Seribu Bunga. Lalu meletakkan kan-
tong kain hitam di atas meja.
"Seperti perjanjian kita. Hanya inilah imbalan
yang bisa kuberikan!"
Joko kerutkan dahi. Dewi Seribu Bunga terse-
nyum. Sementara melihat sikap Joko, si pemilik kedai tersenyum. Dalam hati orang
tua ini diam-diam berkata. "Dasar laki-laki! Akan selalu berpura-pura jika be-
langnya ketahuan!"
"Anak muda! Kau yakin si nenek tidak akan
kembali ke sini lagi, bukan"!" kata si pemilik kedai.
Matanya mengerling pada Dewi Seribu Bunga.
Untuk sesaat Joko terdiam. Namun kejap lain
sudah tersenyum seraya berkata.
"Tak usah khawatir. Aku menjamin kalau dia
tak akan kembali!"
Si pemilik kedai angkat bahu lalu melangkah ke
belakang sambil menggumam. "Ditaruh di mana nenek tadi"! Ah.... itu urusannya!
Yang penting dia tak akan muncul lagi di sini...."
Begitu si orang tua berlalu, Joko cepat berbisik
pada Dewi Seribu Bunga. "Apa yang diceritakan orang tua itu tadi padamu"!"
Dewi Seribu Bunga hanya tersenyum sambil ge-
lengkan kepala. "Sudahlah. Kurasa dia sangat berterima kasih padamu.... Hem....
Kembali pada urusanmu
tadi. Siapa orang yang katamu meminta barang pusa-
kanya dan menurutmu berkepandaian sangat tinggi
dan mengerikan itu"!"
"Kita cari tempat untuk saling cerita.... Di sini kurasa kurang aman...."
Tanpa menunggu sahutan, Joko sudah bangkit.
Di lain pihak, karena bertemu dengan orang yang dica-ri dan selama ini
dirindukan, Dewi Seribu Bunga buru-buru ikut bangkit. Lalu melangkah mengikuti
Joko yang sudah mendahului.
Begitu mereka berdua telah berada di halaman
kedai, dari ruangan dalam kedai si orang tua tampak
memperhatikan dengan kepala menggeleng. "Besar sekali rezeki anak muda itu....
Sekali jalan mendapat dua keuntungan! Tapi aku menduga dia bukan orang yang
bisa dipercaya.... Ah, kenapa aku menduga orang yang tidak-tidak" Gadis itu
sendiri sudah merasa yakin kalau anak muda itu baik! Hem.... Gadis itu sendiri
rupanya lupa, bahwa dengan munculnya si pemuda, dia
tidak ingat kalau apa yang masuk dalam perutnya be-
lum dibayar.... Dasar orang muda! Pasti dia sedang jatuh cinta...."
* * * Pada satu tempat yang sepi dan banyak ditum-
buhi jajaran pohon, Joko hentikan langkah. Dia memi-
lih batangan pohon paling besar dan berdaun rindang
yang di kanan kirinya ditumbuhi rumput hijau tebal.
Joko langsung sandarkan punggung ke batangan po-
hon lalu pandangi Dewi Seribu Bunga yang kini telah
tegak di hadapannya.
"Dewi.... Aku sangat gembira bertemu dengan-
mu lagi. Karena pada saat-saat seperti ini, aku butuh seseorang yang bisa kuajak
memecahkan urusan yang
sedang kuhadapi...."
Dewi Seribu Bunga laksana terbang mendengar
ucapan Joko. "Aku akan dengan senang hati menemani-
mu...," kata Dewi Seribu Bunga lirih. Dada gadis ini berbunga-bunga. Kalau saja
dia tidak segera sadar dan perturutkan hati, gadis ini ingin sekali memeluk
pemuda yang selama ini tidak bisa dilupakan dan selalu dirindukan.
"Kau tadi belum mengatakan orang...."
"Dia menggelari dirinya Setan Liang Makam!"
tukas Joko memotong ucapan Dewi Seribu Bunga.
"Barang pusaka miliknya dia sebut-sebut Kembang Darah Setan.... Kau pernah
mendengar gelar dan nama
barang itu"!" tanya Joko.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. Joko
rangkapkan kedua tangannya bersedekap. "Apa kau juga pernah dengar tentang
seseorang bernama Kiai
Lidah Wetan..."!"
Kembali Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala.
Joko arahkan pandangannya jauh. Lalu bertanya lagi.
"Kau pernah dengar sebuah kampung yang dinamai
Kampung Setan?"
Untuk kesekian kalinya Dewi Seribu Bunga
menjawab dengan gelengan kepala. Joko menghela na-
pas panjang. "Itulah beberapa hal yang membuatku pusing!
Seperti halnya dirimu, aku juga tak pernah tahu ten-
tang nama-nama orang, benda pusaka serta kampung
yang baru saja kukatakan! Herannya.... Semua itu ti-ba-tiba muncul dan
melibatkan diriku...."
"Kita perlu segera menyelidik! Mungkin di bela-
kang semua ini ada orang yang sengaja memasang di-
rimu sebagai umpan...," ujar Dewi Seribu Bunga.
Joko tertawa pendek. "Lalu apa untungnya me-
reka melibatkan diriku bahkan menjadikan aku seba-
gai umpan"!"
"Kau seorang pendekar yang sudah dikenal. Ti-
dak mustahil akan banyak orang yang merasa kecewa
dengan semua tindakanmu selama ini! Mereka tidak
berani langsung menghadapimu, lalu mencari jalan
lain.... Buktinya orang sudah mengenalmu padahal
kau yakin belum pernah bertemu! Kalau tidak diberi
tahu orang yang sudah mengenalmu, dari mana mere-
ka tahu"!"
"Aku sudah berpikir ke arah sana. Tapi aku su-
dah menelusuri satu persatu orang yang kuduga bera-
da di balik semua ini. Tapi sejauh ini tidak seorang pun yang kurasa pantas
diduga sebagai biang kela-dinya!" "Kalau begitu dugaanmu, sekarang tinggal hanya
ada satu kemungkinan...."
"Apa..."!" tanya Joko dengan bersungguh-
sungguh. "Kau harus telusuri satu persatu orang yang
berada dekat denganmu. Tidak mustahil orang yang
selama ini baik terhadapmu tapi di belakangnya
menghunus belati dan sewaktu-waktu menikam mu ji-
ka kau lengah! Orang seperti ini memang sulit ditelusuri, tapi bencana yang
diakibatkan akan lebih berbahaya daripada musuh yang terang-terangan!"
Joko tengadahkan kepala. "Tapi apa mung-
kin..."!" Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Kau tentunya masih ingat peristiwa di
Pulau Biru, bukan"!"
Joko tidak menyahut. Dewi Seribu Bunga tidak
menunggu. Dia lanjutkan ucapannya. "Kau pasti masih ingat bagaimana gadis cantik
berjubah merah ber-
nama Sitoresmi mengkhianati gurunya Dewi Siluman.
Dewi Siluman sendiri selama itu pasti tidak menduga
kalau duri itu muncul dari orang terdekatnya!"
"Kau tidak bermaksud mengatakan bahwa di
belakang semua ini adalah eyang guruku sendiri, bu-
kan"!" tanya Joko.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Aku ya-
kin, Pendeta Sinting tidak akan lakukan ini! Tapi kau harus mulai mencari orang
yang berada dekat denganmu!"
Joko pejamkan sepasang matanya seolah ber-
pikir. Setelah agak lama, tiba-tiba Joko buka matanya lebar-lebar. Lalu berkata.
"Aku bodoh! Untung kau memberi jalan! Aku
ingat sekarang. Pasti dia!"
"Joko...! Kau kali ini berhadapan dengan orang
dalam selimut. Kau jangan gegabah memastikan sebe-
lum jelas benar! Karena risikonya akan membuatmu
putus hubungan. Jadi kau harus menyelidik dahu-
lu...." "Betul! Tapi sedikit banyak aku kini sudah ta-hu! Dan aku hampir yakin
dialah orangnya!"
"Siapa..."!"
"Cucu Dewa!"
Dewi Seribu Bunga pandangi pemuda di hada-
pannya dengan mata sedikit menyipit. "Aku belum kenal dengan orang yang baru
saja kau katakan. Tapi
kau mau mengatakan apa alasanmu menduga dialah
orangnya"!"
"Dia pernah bersekutu dengan Malaikat Peng-
gali Kubur! Hanya anehnya, tiba-tiba saja dia berpihak padaku waktu terjadi
peristiwa di Kedung Ombo! (Baca serial Joko Sableng dalam episode : "Bara di
Kedung Ombo"). "Aku tidak tahu kejadian di Kedung Ombo. Aku hanya mendengarnya
saja. Tapi kalau demikian halnya, kau harus berhati-hati padanya! Hanya saja kau
masih harus menyelidik dahulu...."
Joko anggukkan kepala. "Kau mau bukan me-
nemaniku menyelidik"!"
* * * SEPULUH GADIS berbaju merah di hadapan Joko terse-
nyum lalu berkata. "Seandainya kau tidak meminta, aku akan menawarkan diri untuk
ikut menyelidik urusanmu ini! Aku.... Aku sebenarnya memang mencari-
mu...." Dewi Seribu Bunga alihkan pandangannya begitu sadar apa yang baru saja
diucapkannya. Paras
wajahnya berubah merah. Dalam hati gadis ini berkata sendiri. "Mengapa aku
berkata terus terang padanya..."
Apa nanti dia tidak memandang rendah padaku..."
Apa...." Dewi Seribu Bunga tidak lanjutkan kata hatinya. Karena saat itu kedua
bahunya terasa dipegang.
Dia makin tidak berani arahkan pandangannya pada
Joko yang saat itu telah tegak tepat di hadapannya
dengan kedua tangan memegang bahunya. Tapi diam-
diam gadis ini merasa damai meski dadanya mulai
berdebar. "Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Dewi...
Ucapan terima kasih mungkin terlalu tidak ada artinya dibandingkan kerelaanmu
untuk ikut menyelidik urusan ku...."
Dewi Seribu Bunga berpaling. Wajah keduanya
kini hanya terpaut satu setengah jengkal. "Kau tak usah mengatakan apa-apa. Aku
sudah merasa bahagia
kau tidak menolak ku ikut terlibat dalam urusan ini.
Mulanya aku ragu-ragu. Karena kau pernah menolak
ku waktu geger peristiwa Kitab Serat Biru...."
Joko lepaskan pegangan bahu tangannya pada
bahu Dewi Seribu Bunga. Kini kedua tangannya men-
gambil kedua tangan si gadis dan digenggamnya erat-
erat. Seraya memandang lekat-lekat wajah gadis di hadapannya, Joko berkata
pelan. "Saat ini urusannya beda dengan urusan Kitab
Serat Biru. Lagi pula terus terang saja, selama ini aku selalu teringat
padamu...."
Mendengar ucapan Joko, seolah tak sadar, De-
wi Seribu Bunga rebahkan wajahnya di dada Joko.
"Aku mencarimu karena sebenarnya aku tak kuasa
memendam rasa rindu ingin jumpa denganmu...."
Joko lepaskan pegangan pada kedua tangan
Dewi Seribu Bunga. Kedua tangannya terangkat ke
atas. Lalu sibakkan kunciran rambut si gadis. Saat
yang sama wajahnya bergerak dan mencium kuduk
Dewi Seribu Bunga.
Dewi Seribu Bunga lingkarkan kedua tangan-
nya pada pinggang si pemuda. Dadanya makin berge-
lora. Di pihak lain, Joko terus ciumi kuduk si gadis dan perlahan-lahan menjalar
pada lehernya. Dewi Seribu Bunga tarik wajahnya dari dada
Joko. Saat itulah Joko langsung dekatkan wajahnya ke wajah si gadis. Bibirnya
mengulum bibir merah bergetar milik Dewi Seribu Bunga. Mula-mula Dewi Seribu
Bunga hanya diam, tapi tak lama kemudian mulai
membalas ciuman Joko dengan mata setengah dipe-
jamkan. Sosok Joko tampak bergetar. Aliran darahnya
menyentak-nyentak. Entah berapa lama keduanya sal-
ing berciuman, yang pasti pada satu saat tiba-tiba De-wi Seribu Bunga tepiskan
kedua tangan Joko yang
mulai buka kancing pakaiannya. Malah sebagian da-
danya telah terbuka hingga lembahan dua pasang
payudaranya yang putih mencuat terlihat jelas.
Namun Joko tidak peduli. Dia angkat kembali
kedua tangannya lalu kembali diletakkan di dada si
gadis. Sementara wajahnya disorongkan untuk menca-
ri wajah Dewi Seribu Bunga.
Mungkin karena terlalu keras sorongan Joko,
sementara Dewi Seribu Bunga coba menghindar, tak
ampun lagi Joko menubruk sosok Dewi Seribu Bunga


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga kedua orang ini saling jatuh bertindihan di atas rumput tebal.
Dewi Seribu Bunga memekik tertahan. Dia coba
meronta dari tindihan sosok Joko. Tapi Joko rupanya
sudah tenggelam dalam amukan nafsu. Dia tidak
memberi kesempatan pada Dewi Seribu Bunga. Dia
langsung menciumi wajah si gadis. Sementara kedua
tangannya menggapai ke sana kemari. Malah mulai
menarik pakaian bawah Dewi Seribu Bunga hingga
paha gadis ini tersingkap lebar.
"Joko! Jangan teruskan...!" bisik Dewi Seribu Bunga sambil pegang tangan Joko
yang terus hendak
singkapkan pakaiannya.
Joko tidak menyahut. Malah semakin liar dan
agak kasar. Dewi Seribu Bunga pejamkan sepasang
matanya dengan dada berdebar keras. Gadis ini tam-
pak bimbang. Lalu buka kelopak matanya sambil ber-
kata. Kali ini suaranya sedikit keras.
"Joko! Kau dengar ucapanku, bukan" Ku mo-
hon jangan teruskan...!"
Joko seolah tidak mendengar ucapan orang.
Dia terus menciumi wajah Dewi Seribu Bunga dengan
tangan coba terus singkap pakaiannya.
Dewi Seribu Bunga pegang kedua pundak Joko
lalu disentakkan ke belakang. Namun sebelum kedua
tangannya menyentak. Kedua tangan Joko telah me-
nangkapnya dan ditindih dengan kedua tangannya.
"Joko! Jangan lupa diri! Aku tak segan memu-
kulmu kalau kau hendak berbuat yang tidak-tidak!"
ancam Dewi Seribu Bunga.
Joko lagi-lagi tidak mau hentikan perbuatan-
nya. Malah dengan satu gerakan cepat, tangan kirinya bergerak!
Brettt! Pakaian bagian dada Dewi Seribu Bunga robek,
hingga sepasang payudaranya terbuka lebar. Saat yang sama, tangan Joko satunya
bergerak ke bawah.
"Gila! Apa yang akan kau lakukan"!" teriak De-wi Seribu Bunga. Kedua tangannya
yang telah lepas
dari tindihan kedua tangan Joko menggapai lalu te-
piskan wajah Joko. Kakinya disentakkan ke atas.
Joko rupanya tahu gelagat. Dia cepat tekankan
kedua kakinya, hingga sentakan kedua kaki Dewi Se-
ribu Bunga tertahan. Malah karena tertekan dan baru
saja bergerak ke atas, kini kedua kaki si gadis tampak terbuka agak melebar ke
samping. Dewi Seribu Bunga tahu bahaya yang akan
mengancam. Dia cepat kerahkan tenaga dalamnya.
Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke arah
punggung Joko yang masih menindih tubuhnya. Joko
sejenak tersentak. Sepasang matanya berapi-api me-
mandang pada wajah di bawahnya.
"Joko! Sadarlah!" teriak Dewi Seribu Bunga.
Joko menyeringai. Senyumnya kali ini lain. Dan
seraya tertawa pendek dia gerakkan wajahnya hendak
mencium lagi. Saat bersamaan kedua tangannya ber-
gerak. Dewi Seribu Bunga tidak tinggal diam. Dia
membiarkan wajahnya diciumi, tapi bersamaan itu
tangannya bergerak lagi menghantam dari bawah ke
arah lambung samping kanan Joko. Sementara tangan
satunya menyentak bahu Joko.
Karena dalam keadaan sangat bernafsu, Joko
tidak bisa kuasa diri. Sosoknya terguling ke samping.
Sebelum tubuhnya benar-benar terguling, kaki sebelah Dewi Seribu Bunga yang
telah bebas lakukan satu
tendangan. Bukkk! Tubuh Joko terpental bergulingan di atas rum-
put. Dewi Seribu Bunga cepat bergerak bangkit. Saat Joko hendak angkat
kepalanya, Dewi Seribu Bunga
melompat lalu tangan kiri kanannya bergerak.
Plakkk! Plaaakkk!
Kepala Joko tersentak ke samping kanan kiri
dengan keras. Lalu kepalanya kembali menyentuh
rumput dengan mulut berdarah.
Dewi Seribu Bunga sesaat pandangi sosok Joko
dengan dada disarati berbagai perasaan. Saat lain gadis ini balikkan tubuh
begitu sadar kalau pakaian bagian dadanya terbuka. Setelah rapikan pakaian sea-
danya tanpa berkata lagi dia melangkah tinggalkan
tempat itu. "Tunggu!" teriak Joko sambil bergerak bangkit dan usap darah yang keluar dari
mulutnya. Sepuluh langkah di depan sana, Dewi Seribu
Bunga hentikan langkah. Tanpa berpaling gadis ini
berkata. "Rupanya kita tidak bisa bersama-sama lagi....
Aku melihatmu lain dengan dulu! Kau telah mem-
buyarkan kerinduan yang selama ini kupendam! Kau
telah membuatku kecewa! Tidak kusangka kalau kau
hendak tega berbuat tidak senonoh padaku! Aku....
Aku menyesal bertemu denganmu! Kau rupanya tak
beda dengan serigala berbulu domba! Aku selama ini
salah duga.... Dan aku hampir yakin, bahwa semua
urusan yang baru saja kau katakan hanyalah dusta
belaka! Dusta! Kau kejam! Kau laki-laki keparat!"
Habis berteriak begitu, Dewi Seribu Bunga ten-
gadahkan kepala. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu dengan sepasang
mata berlinang air mata.
Joko bergerak bangkit. Dia tidak berusaha ber-
kelebat menyusul. Dia hanya pandangi sosok Dewi Se-
ribu Bunga hingga lenyap di depan sana. Bibirnya
yang berdarah sunggingkan senyum. Lalu sambil rapi-
kan pakaian dan rambutnya dia tinggalkan tempat itu.
* * * Dewi Seribu Bunga tidak tahu jelas sudah be-
rapa jauh dia berkelebat. Dia baru hentikan kelebatan tubuhnya saat dirasakan
nafasnya tersengal dan dadanya sedikit sesak. Dia memandang berkeliling. Ter-
nyata dia berada pada satu lembah menurun sarat
dengan batu-batu karang dan jauh di depan sana ter-
lihat julangan puncak bukit.
Dewi Seribu Bunga menghela napas panjang.
Kedua tangannya masih terlihat bergetar keras. Da-
danya turun naik. Selain baru saja berlari, dirinya juga masih dibungkus
guncangan hebat. Lalu perlahan-lahan melangkah dan duduk di salah satu lamping
ba- tu seraya berusaha menindih perasaan dan tenteram-
kan diri. "Joko...," gumam Dewi Seribu Bunga dengan
mata memandang jauh ke bawah. "Mengapa semua itu kau lakukan padaku..." Aku
datang jauh-jauh mencarimu karena aku tak bisa melupakan dan menyimpan
rasa rindu. Tapi setelah kau kutemukan, kau malah
membuatku kecewa dan menyesal. Apa sifatmu sebe-
narnya memang begitu" Aku hampir saja tidak percaya
pada diriku sendiri! Pada apa saja yang baru terjadi!
Seandainya kau cepat sadar saat kuperingatkan,
mungkin aku masih bisa maklum.... Tapi nyatanya
kau tidak peduli dengan peringatanku! Malah seolah
kau buat-buat dan sepertinya semua ini sudah kau
rencanakan terlebih dahulu!"
Dewi Seribu Bunga angkat kedua tangannya
mengusap matanya yang basah. "Apa yang harus ku-perbuat sekarang" Perjalananku
kini rasanya sudah
tidak ada ujung pangkalnya! Apa aku harus kembali
saja"!" Dewi Seribu Bunga menghela napas panjang.
"Dalam keadaan begini, tempat yang sunyi hanya akan menambah beban pikiranku!
Namun, melanjutkan perjalanan, aku sudah tak punya tujuan lagi.... Mengapa
nasibku demikian jelek" Mengapa aku merindukan
orang yang ternyata selama ini memendam rencana ji-
jik padaku"! Mengapa"!"
Dewi Seribu Bunga tengadah. Bahunya masih
tampak berguncang. "Joko.... Apakah kau berbuat begitu karena tahu aku mencarimu
dan merindukan mu"
Kau lalu memandangku begitu rendah.... Ah, rasanya
aku masih belum percaya semua ini benar-benar terja-
di! Aku juga hampir tidak percaya dengan segala uru-
san yang kau ceritakan padaku! Tentang Setan Liang
Makam, tentang Kembang Darah Setan, tentang Kiai
Lidah Wetan bahkan tentang Kampung Setan! Mung-
kin itu hanya karangan mu belaka agar aku tertarik
dan hatiku luluh! Kau tak tahu, Joko! Tanpa adanya
ceritamu itu, aku sudah tertarik padamu! Tapi kini
aku jadi ragu.... Apakah masih tersisa setitik perasaan padamu! Aku jadi
takut.... Perasaan cintaku akan berubah jadi benci berkarat dan tak akan sirna
sebelum tanganku berlumuran darahmu...."
Tanpa sadar Dewi Seribu Bunga angkat kedua
tangannya kembali dan dikembangkan di depan wa-
jahnya. Gadis cantik bekas murid tokoh tingkat tinggi golongan hitam yang
dikenal dengan julukan Maut Ma-ta Satu dan akhirnya diambil murid oleh Dewi Es
setelah peristiwa Pulau Biru ini tersentak kaget. Sepasang matanya melihat paras
wajah Joko di kedua telapak
tangannya! Dan dari sela-sela jarinya terlihat darah merah mengalir deras hingga
sirnakan bayangan wajah
Joko. Dewi Seribu Bunga menggigit bibirnya. Bayan-
gan tumpahan darah di telapak tangannya lenyap.
Saat lain gadis ini telah tekapkan kedua telapak tangan pada wajahnya. Lalu
terdengar isakan tangisnya....
* * * SEBELAS DEWI Seribu Bunga tidak tahu sampai sebera-
pa lama dia tenggelam dalam gejolak yang membuat
dadanya laksana hendak pecan dan air matanya men-
galir. Yang pasti, pada satu saat tiba-tiba dia merasa tidak sendirian di tempat
itu. Gadis berparas cantik yang kini telah diangkat
jadi murid oleh Dewi Es ini cepat seka air matanya.
"Apakah dia mengikutiku"! Kalau benar, apa yang harus kulakukan"! Menemuinya dan
memaklumi apa yang baru saja hendak diperbuatnya padaku" Atau
langsung saja menggebuknya"! Hem.... Aku memang
selalu merindukannya, tapi kalau dia punya niat keji padaku, apa artinya"! Dia
baru saja akan bertindak
kurang ajar padaku. Manusia macam dia perlu diberi
pelajaran agar tidak mengambil korban lebih banyak
lagi!" Dewi Seribu Bunga tegarkan hati. Bagaimanapun juga orang yang akan
dihadapinya adalah seorang
yang selama ini dirindukan dan orang mana dia telah
tetapkan pilihan sebagai labuhan hati. Dia tindih kuat-kuat perasaan bimbang dan
ragu. Seraya kerahkan te-
naga dalam pada kedua tangannya, dia cepat sentak-
kan kepala ke belakang.
Sesaat sepasang mata Dewi Seribu Bunga
membesar. Hanya sejarak lima langkah di belakangnya
duduk seorang nenek berambut putih. Sepasang ma-
tanya melotot besar. Pada rambutnya yang disanggul
tinggi tampak tusuk konde besar berwarna hitam. Ne-
nek ini mengenakan pakaian panjang warns coklat.
Melihat dirinya diperhatikan, si nenek sunggingkan
senyum. Namun karena wajahnya angker, senyumnya
tidak membuat Dewi Seribu Bunga merasa lega.
"Gadis cantik.... Apakah keberadaanku di sini
membuatmu terganggu"!" menegur si nenek. "Aku tadi sebenarnya hendak mengatakan
keberadaanku di sini.
Tapi karena kulihat kau sedang terlena, niatku kuba-
talkan...."
Mungkin karena masih merasa geram dengan
peristiwa yang baru saja dialaminya, Dewi Seribu Bun-ga segera menyahut dengan
suara agak keras.
"Kita belum saling kenal! Kuharap katakan sia-
pa kau sebenarnya...!"
Si nenek tersenyum meski terlihat sekali dipak-
sakan. "Aku seorang perempuan yang telah banyak makan garam kehidupan! Melihat
kau berada di tempat sepi begini dan tenggelam dalam isak tangs sampai tidak
merasa kehadiran orang lain, aku bisa menebak
apa yang saat ini menimpamu! Siapa pun orang yang
mengalami apa yang kini sedang menimpamu, pasti
akan lebih senang berada sendirian di tempat sepi! Ta-pi menurutku, itu bukanlah
satu-satunya jalan yang
dapat mengubah keadaan! Kau akan makin tengge-
lam...!" "Harap tidak menduga-duga seenaknya! Aku pun tidak butuh nasihatmu!
Kalau kau tak mau sebutkan diri, adalah lebih baik segera tinggalkan tempat
ini!" Si nenek kerutkan dahi seraya memandang le-
kat-lekat pada gadis di hadapannya. Entah sadar atau tidak, si nenek bergumam.
"Kalau saja aku tidak pernah mengalami hal yang sama sepertimu saat masih
muda, sudah sejak tadi-tadi aku tinggalkan tempat
ini!" Lalu seraya bergerak bangkit, si nenek berkata agak keras.
"Aku Ni Luh Padmi! Selamat tinggal!"
Si nenek yang sebenarnya tidak lain memang Ni
Luh Padmi adanya segera putar diri. (Mengenai Ni Luh Padmi baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Muslihat Sang Ratu").
"Nek, tunggu!" Dewi Seribu Bunga menahan gerakan Ni Luh Padmi yang hendak
melangkah. Tanpa berpaling ke belakang, Ni Luh Padmi be-
rucap. "Aku Ingin tahu, apakah kau telah dapat tenangkan diri"! Kalau tidak,
percuma kita bicara!" Nada suara si nenek terdengar agak ketus.
"Ucapannya tadi membuktikan kalau dia me-
mang pernah mengalami seperti hal yang saat ini se-
dang ku alami. Tidak ada salahnya aku berbincang
dengan nya! Aku perlu orang yang bisa kuajak berbagi rasa...." Membatin begitu,
akhirnya Dewi Seribu Bunga berkata seraya bergerak putar tubuh.
"Maafkan kalau aku tadi bicara keras padamu.
Nek.... Aku...." Dewi Seribu Bunga tak kuasa lanjutkan ucapannya.
Ni Luh Padmi balikkan tubuh. Memandang se-
jurus pada si gadis yang duduk bersandar menghadap
dirinya. Kepala si nenek menggeleng perlahan.
"Aku tahu mengapa kau berkata keras padaku.
Aku maklum...." Ni Luh Padmi maju dua tindak lalu perlahan-lahan duduk di
hadapan Dewi Seribu Bunga.
"Siapa namamu, Gadis Cantik...."
Dewi Seribu Bunga usap sepasang matanya


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dirasa kabur karena masih tergenang air mata.
"Nek.... Rasanya tidak ada artinya pujian mu itu. Ka-
rena wajah cantik hanya mendatangkan nafsu kotor!"
"Aku tahu.... Itu kita bicarakan nanti. Sekarang katakan dahulu namamu, atau
barangkali kau punya
gelar" Kulihat dari gerak-gerik mu, kau seorang gadis yang punya ilmu...."
"Aku hanya gadis biasa, Nek! Aku Dewi Seribu
Bunga...."
"Nama bagus. Sesuai dengan yang menyan-
dang!" puji Ni Luh Padmi membuat paras wajah Dewi Seribu Bunga merebak merah
merona. "Sayang.... Nasibmu mungkin tidak sebagus
namamu! Mau katakan apa yang sedang kau alami,
Dewi..."!"
Dewi Seribu Bunga tidak segera menjawab. Pa-
rasnya bimbang. Seolah dapat menangkap kebimban-
gan orang, Ni Luh Padmi segera sambung ucapannya.
"Kita memang baru saling kenal! Di antara kita
tidak ada silang sengketa! Lebih dari itu, kita sama-sama perempuan! Aku tidak
berniat ikut campur uru-
sanmu.... Tapi bicara dari hati ke hati kurasa tidak ada ruginya bagi kita!
Hem.... Namun kalau kau ragu-ragu, memang tidak usah kau katakan!"
"Nek.... Ucapanmu tadi membuatku bertanya-
tanya. Apa kau memang pernah mengalami seperti
yang saat ini kuhadapi"!"
"Tiap manusia punya pengalaman sendiri-
sendiri! Tapi sikap seorang gadis sepertimu mudah sekali ditebak sedang dilanda
kemelut apa!" Ni Luh Padmi arahkan pandangannya ke jurusan lain. Tatapan-
nya terlihat kosong. "Asmara.... Dan kecewa! Bukankah itu yang kini sedang
menyelimuti hatimu?" tanya Ni Luh Padmi seraya masih memandang jauh.
Lag Magi Dewi Seribu Bunga tidak segera me-
nyahut. Ni Luh Padmi berpaling pada Dewi Seribu
Bunga. "Tiga hal yang harus kau lakukan, Dewi.... Pertama, lupakan laki-laki
yang membuatmu kecewa! Ke-
dua, cari segera pengganti! Kalau kau tidak bisa lakukan keduanya, pilih paling
akhir, bunuh laki-laki yang membuatmu kecewa!"
Dewi Seribu Bunga tersentak mendengar uca-
pan si nenek. "Dari nada bicaranya, jelas kalau nenek ini pernah disakiti!"
Membatin si gadis lalu berkata.
"Tiga hal yang mudah diucapkan. Tapi rasanya
tidak mudah melakukannya, Nek!"
Ni Luh Padmi mendadak tertawa panjang. "Itu-
lah kebodohan yang sering dilakukan perempuan! Dia
lebih mendahulukan perasaan daripada kenyataan!
Dia lebih suka menderita berkepanjangan daripada
membuat perhitungan tuntas!"
"Apakah kau sekarang sedang melakukan per-
hitungan itu, Nek?" tanya Dewi Seribu Bunga.
"Hem.... Kau pintar juga melihat arah bicara
orang! Tapi bukan berarti aku akan cerita padamu tentang urusanku...."
Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Nek.... Kau tadi
mengatakan kita memang baru kenal. Di antara kita
juga tidak ada silang sengketa! Kita pun sama-sama
perempuan. Aku tidak bermaksud ikut campur uru-
sanmu. Tapi menurutmu tadi, tidak ada ruginya kita
bicara dari hati ke hati.... Menurut dugaanku, kau juga sedang di landa asmara,
dan kecewa! Dan saat ini kau tengah lakukan pilihan paling akhir...."
Paras muka si nenek berubah. Dia menahan
napas dengan kepala mendongak. Namun sejauh ini
dia belum buka mulut lagi. Dia seakan masih coba
menekan perasaan. Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga
menunggu dengan dada berdebar keras. Dia kembali
teringat akan kejadian yang baru saja dialaminya. Dan
diam-diam dia memikirkan ucapan si nenek.
"Apakah mungkin aku dapat begitu saja mela-
kukannya" Dan kurasa sulit untuk mencari penggan-
tinya! Tapi bisakah aku melakukan pilihan terakhir
seperti ucapan nenek itu"! Membunuh Joko..."!" Kepala gadis ini bergerak
menggeleng perlahan. "Rasanya sulit bagiku melakukan ketiganya...."
"Dewi...," tiba-tiba Ni Luh Padmi sudah buka suara. "Karena kita sama perempuan,
memang ada baiknya kita saling membagi cerita. Tapi kau harus cerita dahulu padaku...."
Dewi Seribu Bunga sejurus memandang pada si
nenek. Lagi-lagi si nenek dapat menangkap perasaan
bimbang gadis di hadapannya. Tapi kali ini si nenek tidak mau menunggu. Dia
segera buka mulut mendahu-
lui Dewi Seribu Bunga.
"Siapa laki-laki yang membuatmu berada di sini
tenggelam dalam tangis dan kecewa"!"
"Untuk menjaga agar kita tidak saling ikut
campur urusan yang lain, bagaimana kalau aku tidak
sebutkan namanya"!"
"Hem.... Begitu, terserah padamu!"
Dewi Seribu Bunga memandang sekali lagi pada
Ni Luh Padmi, lalu beralih ke bawah sana ke lereng-
lereng lembah seraya berkata.
"Pada mulanya aku mendapat tugas dari guru-
ku untuk mencari sebuah benda pusaka. Namun ter-
nyata seseorang telah mendahuluiku! Guruku lantas
memerintahkan padaku merebut benda itu dari orang
yang telah berhasil mendapatkannya dan membunuh
pemiliknya! Tapi aku gagal melaksanakan tugas Guru.
Malah aku mulai tertarik pada orang yang seharusnya
kubunuh karena orang itulah yang telah mendapatkan
benda pusaka itu! Hingga pada satu saat, terjadi peris-
tiwa besar yang membuat guruku tewas! Aku lantas
diambil murid oleh seseorang!"
Sejenak Dewi Seribu Bunga hentikan keteran-
gannya, Masih dengan memandang jauh ke lereng
lembah, gadis ini lanjutkan keterangan. "Selama berpisah dengan pemuda yang
telah mendapatkan benda
pusaka, itu, siang malam aku tak bisa melupakannya.
Aku selalu ingin jumpa. Namun karena guruku masih
mencegah kepergianku, aku terpaksa memendam ke-
rinduan ini! Hingga pada satu kesempatan, guruku
mengizinkan aku keluar dari tempatnya. Kesempatan
ini tak ku sia-siakan. Aku berusaha mencarinya....
Dan usahaku tidak percuma. Aku jumpa dengannya.
Aku sangat gembira. Lebih-lebih setelah dia mengata-
kan kalau sebenarnya dia juga tidak bisa melupakan
ku! Tapi kegembiraan dan tumpahan rindu ku nya-
tanya tidak berlangsung lama, karena...."
"Dia telah punya kekasih lain! Dan kau melihat
dengan mata kepalamu sendiri!" tukas Ni Luh Padmi.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala perlahan,
membuat Ni Luh Padmi kerutkan dahi. "Kalau hanya punya kekasih lain, mungkin aku
masih bisa memak-luminya, karena dia adalah seorang pemuda tampan
dan berilmu. Gadis-gadis pasti akan berusaha mende-
kati.... Malah kalaupun dia bersama gadis lain di depan mataku, aku mungkin
masih bisa menahan diri.
Karena dialah orang yang selama ini memenuhi hari-
hari ku.... Kalau aku tidak menyukainya, aku bahkan
akan mengatakan suka!"
"Gila! Itu hanya akan membawamu terperosok
ke jurang kehancuran! Kau hanya turutkan perasaan!
Tanpa menimbang baik buruknya! Bahkan mungkin
kau akan mengatakan baik meski dia manusia keji!
Bukankah begitu..."! Selanjutnya kau akan rela kor-
bankan nyawa walau demi kehidupannya dengan pe-
rempuan lain!"
Dewi Seribu Bunga terdiam mendengar, ucapan
keras Ni Luh Padmi. Di hadapannya, si nenek tampak
komat-kamitkan mulut. Lalu berucap lagi meski na-
danya sudah direndahkan. "Dewi.... Aku dahulu hampir punya perasaan yang sama
dengan dirimu. Namun,
pada akhirnya aku menyesali semua ketololan itu! Kau tahu apa akhirnya yang
kudapat" Duka rana seumur
hidup! Dan dendam berkarat!"
"Nek.... Jadi itukah yang membuatmu memilih
jalan paling akhir?" Bertanya Dewi Seribu Bunga.
"Aku tahu. Saat ini juga pasti kau tidak bisa
melupakannya dan mencari pengganti! Bahkan mung-
kin kau masih ragu-ragu untuk lakukan pilihan terak-
hir membunuhnya! Tapi perlu kau ketahui, Anak Can-
tik.... Itulah akhirnya yang membuatku sengsara! Aku tidak cepat ambil keputusan
dan bimbang! Kalau tidak, hari ini pasti aku tidak berada di sini!"
"Hem.... Berarti nenek ini sedang dalam perja-
lanan mencari kekasihnya dahulu! Dan yang pasti, dia akan membunuhnya!" kata
Dewi Seribu Bunga dalam hati. Lalu gadis ini utarakan apa yang ada di dalam
hatinya. "Siapa orang yang saat ini tengah kau cari,
Nek..."!"
"Agar antara kita tidak ada yang saling ikut
campur urusan, lebih baik kau tak usah tahu siapa
orangnya!"
"Dari namamu kuduga kau bukan dari daerah
tanah Jawa.... Bukan aku bermaksud ikut campur.
Tapi kalau kau berada di sini, pasti orang yang kau ca-ri dari tanah Ni Luh
Padmi tidak menyahut. Dewi Seri-bu Bunga lanjutkan ucapannya. "Nek, aku
dilahirkan di daerah tanah Jawa. Sedikit banyak aku tahu siapa
orang yang namanya sudah dikenal. Mungkin aku bisa
membantumu...."
Ni Luh Padmi tertawa. "Terima kasih.... Tapi
aku tidak mau merepotkan mu. Aku memang bukan
dari tanah Jawa. Dan orang yang kucari memang di
tanah Jawa ini. Lebih dari itu aku telah menemukan
orang yang kucari!"
"Ah.... Berarti kau telah membunuhnya...!"
Ni Luh Padmi gelengkan kepala. "Jahanam itu
berhasil lolos dari tanganku! Tapi bukan berarti nyawanya akan lama bersemayam
di tubuhnya! Ini gara-
gara kebodohan ku sendiri!" Entah sadar atau tidak, Ni Luh Padmi akhirnya
menceritakan perjalanannya.
"Belum lama berselang terjadi kegegeran di Ke-
dung Ombo. Dari beberapa orang yang kutemui, serta
dari penyelidikanku sendiri, aku menduga orang yang
kucari akan muncul di Kedung Ombo. Dugaanku tidak
meleset. Namun aku sedikit lengah dan terkecoh. Ka-
rena jahanam itu muncul di Kedung Ombo dengan
menyamar. Aku baru mengetahuinya setelah aku dito-
long olehnya." (Baca peristiwa ini pada episode : "Bara di Kedung Ombo").
Ni Luh Padmi menghentikan penuturannya se-
jenak. Lalu lanjutkan ucapannya. "Saat itu aku menyesal! Membiarkan orang yang
harus kubunuh mem-
beri pertolongan padaku! Aku memaki diri sendiri yang bodoh dan lengah. Tapi aku
juga masih menimbang,
kalau saat itu aku membunuhnya, hal itu tak mung-
kin. Aku turut terlibat dalam kegegeran itu dan terlu-ka. Sementara jahanam itu
meski juga terluka, namun
saat itu bersama-sama beberapa orang sahabatnya
yang ku maklumi berilmu tinggi-tinggi. Hingga aku
menindih perasaan dan mencari saat yang baik...."
Kembali Ni Luh Padmi hentikan penuturannya
seraya menghela napas panjang. Lalu sambung uca-
pannya. "Jahanam itu berusaha merayu ku. Tapi sejak pertama kali melangkah dari
lereng Gunung Agung,
aku telah bertekad untuk mencabut nyawanya, hingga
jangankan dia merayu, menyembah tujuh hari tujuh
malam mencium kakiku, aku tidak akan surutkan
niat! Begitu kami telah terpisah dari beberapa saha-
batnya, dia mengatakan hendak mengajakku ke tem-
pat tinggalnya! Saat itulah kupikir waktu yang baik
untuk lenyapkan nyawanya. Aku bukan saja menolak
diajak ke tempat tinggalnya, tapi aku langsung menye-rangnya habis-habisan!"
"Pada mulanya jahanam itu pura-pura tidak
mau melawan. Aku tidak peduli! Baik melawan atau
tidak, bagiku nyawanya harus putus! Aku menghuja-
ninya dengan beberapa pukulan. Hingga nyawanya
hampir saja melayang seandainya tidak muncul seseo-
rang yang menyelamatkannya dan membawanya per-
gi!" Ni Luh Padmi mendongak. Wajahnya menge-
lam. Jelas kalau si nenek coba menekan perasaan ge-
ram. Di hadapannya, Dewi Seribu Bunga mendengar-
kan dengan seksama. Gadis ini belum buka mulut me-
nyahut. Dia seolah menunggu sampai si nenek selesai
dengan penuturannya, karena diam-diam dia merasa
tidak enak begitu mengetahui kalau Ni Luh Padmi ikut terlibat dalam kegegeran di
Kedung Ombo. Karena dia
baru saja mendapat keterangan dari Joko apa saja
yang terjadi di Kedung Ombo. Dia merasa yakin kalau
si nenek telah tahu siapa Joko.
"Aku berusaha mengejar. Tapi keparat yang
menyelamatkan jahanam itu berilmu tidak rendah. Dia
berhasil hilang dari kejaranku! Bahkan aku juga tidak
berhasil mengetahui siapa dia orangnya! Yang pasti dia adalah seorang perempuan!
Mungkin saja gendak ba-runya!" "Kau tidak mendatangi tempat tinggalnya"!"
Dewi Seribu Bunga bertanya. Gadis ini coba bertanya
dengan kaitkan tempat tinggal orang yang dicari si nenek dengan harapan dia
akhirnya akan mengetahui
siapa orangnya.
"Percuma aku ke tempat tinggalnya. Dia pasti
tidak mungkin bersembunyi di sana!"
"Kau tahu di mana tempat tinggalnya"!"
"Aku pernah mengobrak-abrik tempat tinggal-
nya! Tapi jangan tanya di mana tempat itu!"
Dewi Seribu Bunga simpan rasa kecewanya, Ni
Luh Padmi tidak sebutkan di mana tempat tinggal
orang yang dicari. Namun gadis ini tidak kehilangan
akal, dia bertanya lagi. "Kalau dia seorang yang terkenal dalam kalangan dunia
persilatan, tentu dia
punya seorang murid. Kau tidak coba mencari kete-
rangan dari muridnya?"
"Jahanam itu memang punya seorang murid!
Tapi rasanya percuma juga mencari keterangan dari
murid jahanam itu! Karena antara murid dan gurunya
tidak ada bedanya!"
"Tidak ada bedanya bagaimana, Nek"!" Dewi Seribu Bunga terus menyelidik.
"Keduanya sama gilanya! Bahkan si murid ku-


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasa akan lebih gila lagi di masa mendatang! Tapi aku tak akan membiarkan murid
jahanam itu, karena dia
telah berani mempermainkan aku! Dia kelak juga ha-
rus mendapat hajaran!"
"Apakah muridnya juga muncul di Kedung Om-
bo, Nek..."!"
Ni Luh Padmi kali ini tidak segera menjawab.
Sebaliknya memandang lekat-lekat pada Dewi Seribu
Bunga. "Jangan-jangan kau hendak mengorek kete-
rangan dari mulutku!"
Dewi Seribu Bunga terkejut. Wajahnya merah
padam. Namun gadis ini segera sunggingkan senyum
seraya menggeleng. "Apa untungnya keterangan darimu, Nek.... Kalaupun aku
bertanya, semata-mata ka-
rena ingin tahu.... Kudengar seorang pemuda juga
muncul di Kedung Ombo saat kegegeran itu terjadi...."
"Hem.... Kau tadi belum katakan apa sebabnya
kau tenggelam menangis sendirian di sini!" Ni Luh Padmi alihkan pembicaraan,
membuat Dewi Seribu
Bunga harus menelan kecewa lagi. Dan pertanyaan si
nenek membuat wajahnya berubah murung.
"Kalau bukan karena ada perempuan lain, pasti
ada sesuatu yang hebat yang membuatmu kecewa
dengan laki-laki pujaan mu itu! Aku ingin tahu...," ujar Ni Luh Padmi.
"Dia telah menuturkan ceritanya. Tidak baik
kalau aku sembunyikan perihal ini. Lagi pula dia tidak akan kuberi tahu siapa
adanya orang yang membuatku kecewa...."
Setelah membatin begitu, akhirnya Dewi Seribu
Bunga berkata. "Dia telah berani hendak berbuat tidak senonoh
padaku...."
"Keparat!" Tiba-tiba Ni Luh Padmi memaki,
membuat Dewi Seribu Bunga tersentak. Tapi sebelum
lebih jauh Dewi Seribu Bunga memberi keterangan, si
nenek telah buka mulut. "Pada laki-laki macam begitu kau masih menimbang-
nimbang"! Pada laki-laki jahanam begitu kau masih rela keluarkan air mata"!" Ni
Luh Padmi tertawa, namun laksana direnggut setan,
dia putuskan tawanya sendiri lalu berucap.
"Jika saja aku jadi kau, Dewi.... Aku tidak akan pikir panjang lagi! Bukan hanya
membunuhnya tiga
kali, tapi membetot senjatanya!"
Mendengar ucapan si nenek, paras muka Dewi
Seribu Bunga merah padam. Namun gadis ini masih
bisa memahami mengapa si nenek sampai berkata be-
gitu. Dia adalah orang yang baru saja gagal lam-
piaskan dendam meski telah menemukan orangnya.
"Dewi...," kata Ni Luh Padmi. "Siapa laki-laki itu"!" Dewi Seribu Bunga
gelengkan kepala. "Biarlah dia jadi urusanku sendiri, Nek.... Kau masih punya
urusan lain!"
"Tapi setidaknya aku bisa memberi sedikit haja-
ran pada senjatanya biar tidak berlaku kurang ajar
pada gadis-gadis lain! Orang macam dia pasti sudah
banyak memakan korban!"
"Ah.... Dugaanmu mungkin tidak benar, Nek....
Mungkin saja saat itu...."
"Gila!" Si nenek telah memotong ucapan Dewi Seribu Bunga. "Pada orang yang telah
benar-benar hendak menghancurkan masa depanmu kau masih ju-ga membelanya!"
"Aku tidak membelanya, Nek! Karena menurut
penglihatanku selama ini, juga menurut yang banyak
kudengar, dia orang baik.... Hanya...."
"Hanya apa..."!" sahut Ni Luh Padmi.
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Gadis ini
sendiri sebenarnya masih bimbang. Dia masih bingung
tak habis pikir mengapa Joko tega hendak melakukan
itu padanya. Melihat Dewi Seribu Bunga tidak menyahut, Ni
Luh Padmi segera berkata.
"Kau tidak bisa teruskan ucapanmu. Berarti te-
rusannya adalah, dia orang baik, tapi tingkahnya men-jijikkan dan keji! Kau
tahu, Dewi.... Seorang laki-laki yang tulus, tidak akan berbuat macam-macam!
Apalagi sampai hendak memperkosa mu! Sebaliknya dia akan
menjaga perasaan dan kehormatanmu! Kau jangan
perturutkan cinta dan cinta! Cinta hanya berkaitan
dengan nafsu! Begitu nafsunya terpenuhi, maka den-
gan sendirinya cinta itu akan pudar dan lenyap!"
"Apa kau mengalami begitu, Nek"!"
"Sialan! Kalau jahanam yang kucari itu sampai
berani berbuat begitu, sudah dulu-dulu nyawanya ku
cabut dan senjatanya ku rencah!"
Meski ngeri mendengar ucapan Ni Luh Padmi,
tapi mau tak mau membuat Dewi Seribu Bunga mena-
han tawa. Gadis ini hendak buka mulut, namun ber-
samaan dengan itu, Ni Luh Padmi telah berkata sambil hadapkan wajahnya ke arah
barat. "Sebentar lagi hari akan gelap! Aku harus pergi.
Tapi sebelumnya kau mau katakan siapa laki-laki ku-
rang ajar itu"!"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala. "Kita su-
dah sepakat tidak akan libatkan diri dengan urusan
masing-masing! Jadi biarlah urusan ini kuselesaikan
sendiri.... Kalau kita nanti berjumpa lagi, pasti akan kuceritakan padamu siapa
dia, asalkan kau juga berte-rus terang mengatakan siapa orang yang kau cari un-
tuk yang kedua kalinya ini...."
"Hem...." Ni Luh Padmi menggeleng perlahan.
"Cinta kadangkala memang membelenggu tangan dan kaki, bahkan mulut! Tapi jika
cinta itu pudar, bukan saja belenggunya yang akan lepas, tapi tidak tertutup
kemungkinan belenggu itu sendiri yang akan jadi senjata pembunuh!"
Ni Luh Padmi beranjak bangkit Dia memandang
sekilas pada Dewi Seribu Bunga. "Satu hal lagi yang harus kau perhatikan, Dewi.... Jangan percaya pada
cinta! Karena sekali langkahmu masuk, itulah awal
langkahmu menuju kehancuran! Dan sekali kau ma-
suk, tidak mungkin kau menapak langkah untuk kem-
bali!" Habis berkata begitu, Ni Luh Padmi tersenyum lalu berkelebat ke arah
timur. Dewi Seribu Bunga sejenak perhatikan sosok si nenek. "Ucapannya ada
benarnya, tapi terlalu berlebihan.... Hem.... Mungkin karena dia masih dibungkus
dengan dendamnya akibat
cinta...."
Begitu sosok Ni Luh Padmi lenyap di depan sa-
na, Dewi Seribu Bunga berkelebat menuruni lembah.
Namun pikirannya kini tambah bingung. Dan berbagai
hal makin sarat memenuhi dadanya.
* * * DUA BELAS BAIK Dewi Seribu Bunga maupun Ni Luh Padmi
tidak sadar, bahwa sejak tadi satu sosok tubuh tam-
pak mengendap-endap pada salah satu lamping batu
tanpa membuat gerakan atau suara. Meski orang ini
sembunyi agak jauh, namun telinganya masih dapat
mendengar apa yang diperbincangkan si gadis dan si
nenek. Begitu Dewi Seribu Bunga berkelebat menuruni
lembah, orang di lamping batu bergerak keluar. Me-
mandang sejenak ke arah kelebatannya sosok Dewi Se-
ribu Bunga. Bibir orang ini sunggingkan senyum. Dia
bukan lain adalah Joko yang baru saja akan memper-
kosa Dewi Seribu Bunga. Lalu pemuda ini arahkan
pandangannya ke timur, arah yang diambil Ni Luh
Padmi. Saat lain pemuda ini berkelebat ke arah timur.
Meski malam telah jatuh, namun cahaya sang
rembulan yang tinggal separo masih mampu membuat
lintasan bumi agak terang. Apalagi saat itu hamparan langit tidak digantungi
buntalan awan hitam. Hingga
walau sejenak tadi tampak kebingungan tentukan
arah, namun pada akhirnya si pemuda yang mengejar
kelebatan sosok Ni Luh Padmi dapat mengetahui jejak
si nenek. Di lain pihak, mungkin karena baru mengenai
daerah yang dilewati, Ni Luh Padmi tampak tidak
mempercepat larinya. Kalaupun dia terlihat berkelebat cepat, itu hanya saat
melewati jalan agak besar dan lurus.
Pada satu tempat agak lapang yang jauh dari
jajaran pohon dan semak belukar, mendadak Ni Luh
Padmi hentikan larinya. Kepalanya mendongak semen-
tara sepasang matanya melirik ke samping kanan kiri.
Telinganya dipasang baik-baik.
"Sejak dari lembah menurun tadi, kurasa ada
orang yang mengikutiku! Apakah gadis tadi"! Hem....
Mengapa dia mengikutiku"! Tapi...." Si nenek tak teruskan kata hatinya. Dia
lebih pertajam pendengaran.
"Hem.... Dia berada tidak jauh dari sini. Mungkin berada di potion yang
berbatasan dengan tanah lapang
ini.... Aku harus memancingnya keluar! Di depan sana ada beberapa pohon dan
semak belukar. Saat aku tiba
di sana, pasti dia akan melewati tanah lapang ini....
Hem...." Si nenek sekali lagi tajamkan telinga. Lalu berkelebat teruskan lari.
Begitu sampai pada jajaran pohon di depan, Ni
Luh Padmi makin percepat larinya, lalu tiba-tiba mem-belok pada salah satu
batangan pohon dan menyelinap
sembunyi dengan mata memandang tak berkesip ke
arah tanah lapang yang baru dilewatinya.
Ni Luh Padmi tidak menunggu lagi. Baru saja
sepasang matanya mementang, dari satu batangan po-
hon di seberang, satu sosok bayangan putih berlari cepat melintasi tanah lapang.
"Jahanam! Manusia lain!" desis si nenek, lalu cepat berkelebat keluar dan tahu-
tahu sosoknya telah tegak menghadang lajunya orang yang berlari melintasi tanah
lapang. "Sebutkan nama dan apa tujuanmu mengikuti-
ku!" bentak si nenek.
Orang yang berlari sesaat tampak tersentak ka-
get. Dan buru-buru hentikan larinya seraya meman-
dang ke depan. Belum sampai orang yang ditanya buka mulut,
tiba-tiba si nenek telah melompat ke depan dan tegak hanya sejarak lima langkah
dari hadapan orang. Sepasang matanya langsung mendelik angker.
"Kau!" desis Ni Luh Padmi saat mengetahui siapa orang di hadapannya.
Lagi-lagi orang di hadapan Ni Luh Padmi yang
bukan lain adalah si pemuda yang mencuri dengar
pembicaraan Ni Luh Padmi dan Dewi Seribu Bunga
tersentak. Namun saat lain pemuda ini telah sung-
gingkan senyum.
"Bagus! Nyatanya aku tidak usah mencarimu!
Kau yang datang sendiri mencari mati! Tapi nyawamu
masih kuampuni asal kau mau jawab satu perta-
nyaanku!" Ni Luh Padmi sudah buka mulut. "Di mana kau simpan gurumu!"
Yang ditanya tidak segera menjawab. Namun
diam-diam si pemuda membatin. "Aku belum mengen-al betul nenek jahanam ini! Tapi
dari kaitan pembica-raannya tadi dengan apa yang ditanyakan, aku bisa
segera menduga kalau yang dicari adalah Pendeta
Sinting! Hem.... Satu kebetulan yang tidak terduga...."
"Anak sinting! Kau dengar ucapanku! Lekas ja-
wab!" Yang dibentak lagi-lagi sunggingkan senyum sebelum akhirnya buka mulut.
"Nek! Yang kau maksud guruku, guruku yang mana"!"
"Keparat! Siapa lagi kalau bukan manusia sint-
ing itu!" "Bukankah kau pergi berdua saja setelah peristiwa Kedung Ombo"!
Bagaimana kau bisa tanya pada-
ku"! Justru seharusnya aku yang tanya padamu! Kau
bawa ke mana guruku"!"
Ni Luh Padmi sejenak tampak terdiam. Tapi
saat lain dan telah membentak lagi.
"Gurumu lolos dari tanganku bersama gendak-
nya! Kau pasti tahu di mana mendekamnya gendak
gurumu! Katakan padaku!"
"Ah.... Nek! Aku sekarang tidak akan memper-
mainkan mu lagi! Apalagi setelah aku mendengar apa
urusanmu dengan guruku! Terus terang aku tidak su-
ka punya seorang Guru yang menyia-nyiakan seorang
perempuan...."
"Hem.... Bagus! Tapi jangan harap aku percaya
ucapanmu! Kau pasti tak beda dengan gurumu!"
"Ah.... Kau masih juga salah sangka! Aku...."
"Jangan banyak mulut! Katakan di mana men-
dekamnya gendak gurumu!" potong Ni Luh Padmi.
"Nek... guruku mempunyai beberapa gendak
dan perempuan simpanan! Kau bisa katakan bagaima-
na ciri-cirinya"!"
Meski saat itu pancaran sinar rembulan tidak
begitu terang, namun si pemuda dapat dengan jelas
melihat perubahan pada wajah si nenek di hadapan-
nya. Malah tubuh nenek itu bergetar keras dengan
mulut komat-kamit. Tanda sedang menindih perasaan
geram. "Bajingan betul! Saat itu aku tidak jelas melihat bagaimana orangnya....
Hemm. Tapi kalau dia mau sebutkan beberapa nama dan tempat tinggalnya, sudah
cukup bagiku mencari jejaknya...." Ni Luh Padmi membatin dalam hati. Lalu
berkata. "Gendak gurumu tidak jelas kulihat tampang-
nya! Tapi kurasa kau dapat menduga-duga siapa
orangnya dan di mana tempatnya! Tapi ingat, Anak
Sinting. Kalau kau berkata dusta, kelak kulumat mu-
lutmu!" Si pemuda mendongak seolah berpikir. Sesaat kemudian dia angkat bicara.
"Guruku punya beberapa gendak. Tapi yang
paling disayang dan berilmu tinggi cuma satu.... Kura-sa dia berada di sana...."
"Persetan disayang atau berilmu tinggi! Aku
tanya siapa dan di mana!" hardik Ni Luh Padmi dengan mata mendelik besar.
"Namanya Nyai Tandak Kembang...."
"Hem.... Tinggalnya"!" Tak sabar si nenek menyahut. "Di sebuah goa di sebelah
samping Bukit Kalingga. Perjalanan setengah hari dari sini ke arah utara!"
"Hem.... Bagaimana ciri-cirinya tampang manu-
sia itu"!"
"Kau kelak akan tahu sendiri jika sampai di sa-
na...." "Hem.... Lalu siapa lagi kira-kira yang kau duga di tempati gurumu saat
ini"!"
"Nek! Antara beberapa gendak guruku tidak
saling akur! Malah saat ini mereka saling berlomba untuk membunuh Guru meski
dengan jalan belakang
dan diam-diam! Jadi kalau kau tidak menemukan di
Bukit Kalingga, kau bisa tanyakan pada Nyai Tandak
Kembang! Pasti dia akan tunjukkan padamu! Asal kau
bisa merayu..."
"Keparat! Siapa sudi merayu! Kalau dia tidak


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau katakan, aku tak segan memutus sekalian nya-
wanya!" sentak Ni Luh Padmi.
"Ah, kalau begitu maumu, silakan! Aku pun se-
benarnya sangat tidak suka pada beberapa gendak gu-
ruku! Jika saja tidak memandang Guru, sudah ku ca-
but nyawanya satu persatu!"
Ni Luh Padmi tampak sunggingkan senyum
dingin mendengar ucapan si pemuda.
"Siapa percaya pada ucapan murid manusia
sinting sepertimu, Bocah! Bagaimanapun juga kau
pasti masih mendapat didikan dari gurumu cara men-
dustai orang! Tapi, kau jangan coba-coba berkata dusta pa-
daku!" Si pemuda tertawa panjang mendengar kata-kata Ni Luh Padmi. "Sejahat-
jahatnya seorang Guru, tak mungkin dia mengajari cara mendustai orang, Nek!
Dan kalaupun seorang murid berkata dusta, itu...."
"Sudah!" tukas si nenek. "Kau banyak mulut seperti jahanam gurumu!"
"Ah.... Dari tadi kau selalu memaki-maki guru-
ku! Padahal kulihat kalian begitu mesra saat di Ke-
dung Ombo...."
"Sialan! Kalau saat itu jahanam gurumu tidak
menyamar, sudah sejak kemunculannya kutamatkan
riwayatnya! Dan kau jangan coba-coba berani men-
gungkit peristiwa Kedung Ombo! Saat itu aku tidak
minta bantuanmu! Jadi jangan berkata tentang segala
budi!" Si pemuda lagi-lagi tertawa mendengar ucapan si nenek. "Aku tidak
mengatakan segala budi! Aku hanya mengingatkan, bahwa kau harus berhati-hati!"
Seperti diketahui, saat terjadi peristiwa Kedung
Ombo, Pendekar 131 sempat menyelamatkan nyawa Ni
Luh Padmi waktu bentrok dengan Dewi Siluman. (Le-
bih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : "Bara di Kedung Ombo").
"Anak sinting! Dengar, sekali lagi kau berani
memperingatkan diriku, aku tidak sulit mencopot li-
dahmu!" Si pemuda tidak acuhkan ancaman si nenek.
Malah saat lain dia berkata.
"Nek.... Boleh aku tanya sesuatu"!"
Ni Luh Padmi tatapi paras wajah pemuda di
hadapannya untuk beberapa lama. Entah karena apa
si nenek lantas menjawab. "Kau mau tanya apa"!"
"Guruku sama sekali tidak pernah cerita ten-
tang dirimu. Kalau kau tidak...."
Belum sampai ucapan orang selesai, Ni Luh
Padmi sudah angkat bicara memotong.
"Mungkin kau lupa aku pernah mengatakan
padamu mengenai diriku dan niatku mencari gurumu.
Tapi, tak apalah ku ulangi sekali lagi. Aku bernama Ni Luh Padmi! Datang dari
seberang pulau! Dan tujuanku
semata-mata mencabut nyawa gurumu! Dari karena
kau adalah muridnya, sekaligus kau telah memberi ke-
terangan padaku, maka tujuanku jadi bertambah...."
"Bertambah bagaimana, Nek"!"
"Kalau keteranganmu dusta, tujuan tambahan
itu adalah mencabut nyawamu!"
"Kalau keteranganku benar"!"
Ni Luh Padmi tidak menjawab. Dia balikkan tu-
buh lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat
tinggalkan tanah lapang.
Si pemuda tidak menunggu lama. Begitu Ni Luh
Padmi berkelebat pergi, si pemuda putar tubuh seten-
gah lingkaran menghadap ke arah utara. Saat lain so-
soknya telah melesat menembusi kegelapan yang se-
makin merangkak.
* * * Ujung langit sebelah timur sudah terang keku-
ningan tatkala Ni Luh Padmi mencapai kawasan se-
buah bukit. Pada satu tempat si nenek hentikan la-
rinya. Tubuh dan pakaian coklat panjang yang dikena-
kan basah kuyup. Jelas kalau si nenek baru saja ke-
rahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya untuk
segera sampai di tempat tujuan. Ini pula menunjukkan kalau si nenek sebenarnya
sudah tidak sabaran dan
tidak kuat menekan gejolak hawa kemarahan dan
dendam. Untuk beberapa lama Ni Luh Padmi putar kepa-
la dengan mata memandang berkeliling. "Menurut arah yang ditunjuk anak sinting
itu, tanpa bertanya mungkin dugaanku benar bahwa inilah Bukit Kalingga! Ka-
rena di sekitar daerah ini kulihat tidak ada lagi julangan bukit...." Si nenek
mengambil kesimpulan. Lalu
mulai arahkan pandang matanya ke bagian lamping
bukit. "Hem.... Di sebelah sini rupanya tidak ada goa!
Aku akan berputar...." Ni Luh Padmi segera melangkah mengitari bagian bawah
bukit. Langkahnya baru terhenti tatkala lamat-lamat sepasang matanya melihat
sebuah lobang di lamping bukit yang sebagian tertutup rindang dedaunan. Hingga
kalau orang tidak teliti,
maka lobang itu akan lewat dari pandangannya.
"Hem.... Mungkin inilah tempat yang dimaksud
anak sinting itu! Aku harus tetap berhati-hati. Meski ucapannya seperti
bersungguh-sungguh, tapi aku belum percaya! Siapa tahu dia malah menjerumuskan!
Tapi kalau. benar demikian, ke mana pun langkahnya,
anak sinting itu akan kukejar!"
Seraya kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya, Ni Luh Padmi perlahan-lahan melangkah
mendekati lobang yang sebagian tertutup rindang de-
daunan. Sepasang matanya tidak henti liar melirik kanan kiri. Sementara
telinganya dipasang baik-baik.
Lima langkah dari hadapan lobang, Ni Luh
Padmi hentikan langkah. "Hem.... Lobang mulut goa tertutup daun. Aku tak bisa
melihat bagian dalamnya!
Apakah aku akan menunggu terbitnya matahari biar
bisa melihat bagian dalam..."!" Si nenek arahkan kepalanya ke timur. Lang it
memang semakin terang. Na-
mun belum mampu menerabas kawasan bukit di mana
si nenek berada.
"Ah.... Terlalu lama menunggu sinar matahari!"
desis Ni Luh Padmi. Saat lain nenek ini telah melompat dan tegak di samping
kanan mulut goa. Tangan kiri
kanannya bergerak.
Wuusss! Wuusss!
Satu gelombang menghampar. Rindang dedau-
nan yang menutup lobang mulut goa tersapu amblas
dengan dahan dan ranting langsung porak-poranda.
Lobang mulut goa kini terbuka menganga tanpa peng-
halang. Ni Luh Padmi sesaat tegak menunggu. "Hem....
Tak ada gerakan orang! Tak ada suara!" kata si nenek dalam hati. "Jangan-jangan
goa ini tak berpenghuni!
Tapi belum lega rasanya kalau belum menyelidik sen-
diri ke dalam!"
Ni Luh Padmi angkat kedua tangannya lalu me-
lompat dan langsung tegak di mulut goa. Sepasang
matanya terpentang besar tak berkesip memandang ke
dalam goa. Sesaat matanya hanya melihat kegelapan.
Namun setelah agak lama, matanya mulai terbiasa dan
perlahan-lahan dapat melihat ke dalam goa. Namun
sejauh ini si nenek belum melihat siapa-siapa! Mem-
buat dadanya mulai dibungkus rasa geram dan marah.
"Jangan-jangan anak sinting itu tunjukkan tempat yang salah! Atau barangkali aku
keliru menuju sasaran"!" Baru saja Ni Luh Padmi membatin begitu, satu kejutan
besar membuat si nenek melengak kaget. Karena tiba-tiba satu suara terdengar!
"Pagi-pagi begini rupanya ada tamu berkun-
jung...." Ni Luh Padmi tegak dengan dada berdebar. Bukan hanya heran karena dia
tidak bisa menentukan
suara itu milik seorang laki-laki atau perempuan, namun dia juga tersentak,
karena suara tadi bukan ter-
dengar dari dalam goa, melainkan dari luar goa dan jelas tidak jauh dari
tempatnya tegak berdiri!
Laksana disentak setan, kepala Ni Luh Padmi
cepat berpaling ke arah mana suara tadi terdengar.
Sepasang mata si nenek langsung mendelik.
Hanya sejarak tujuh langkah dari arah sam-
pingnya, di antara ranggasan semak belukar yang agak rimbun, si nenek melihat
satu kepala berambut putih, menunjukkan kalau si pemilik kepala telah berusia
lanjut. Karena Ni Luh Padmi belum bisa melihat wajah orang, nenek ini cepat
menghardik dengan kedua tangan diangkat siap lepaskan pukulan.
"Siapa kau"!"
Kepala di antara semak belukar bergerak te-
rangkat. Ni Luh Padmi menggereng marah. Karena si
pemilik kepala itu ternyata adalah seorang laki-laki!
Padahal yang dicari si nenek adalah seorang perem-
puan! SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode: GEGER TOPENG SANG PENDEKAR
E-Book by Abu Keisel Pusaka Negeri Tayli 12 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Sumpah Palapa 7
^