Pencarian

Kembang Darah Setan 2

Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan Bagian 2


tupi pemandangan. Setan Liang Makam yang menduga
diserang lawan tidak tinggal diam. Kedua tangannya
pun menghantam ke depan.
Bummm! Untuk kedua kalinya terdengar ledakan dah-
syat. Pemandangan makin pekat. Dan Setan Liang Ma-
kam rupanya tahu gelagat orang. Hingga begitu pe-
mandangan tertutup hamburan tanah, orang ini tidak
menunggu. Dia cepat melesat menembus kepekatan
tanah. Namun tak berapa lama kemudian terdengar
suara makian panjang pendek Setan Liang Makam.
"Jahanam bangsat! Kau saat ini bisa lolos! Tapi ucapanku tetap berlaku! Kau tak
akan bisa sembunyi
dari jangkauan tanganku!"
Setan Liang Makam tegak dengan tubuh berge-
tar keras dan kedua tangan mengepal. Dia tidak peduli tubuhnya terkena hamburan
tanah yang luruh.
Satu kejutan membuat Setan Liang Makam
pentangkan bola matanya besar-besar. Telinganya me-
nangkap suara orang berkata.
"Kulihat kau sedang mengalami keadaan tidak
enak! Mau berbagi keterangan denganku"!"
"Suaranya beda. Tapi siapa tahu manusianya
sama"!" desis Setan Liang Makam. Dia cepat putar diri karena terdengarnya suara
datang dari arah belakangnya. Kedua tangan diangkat tinggi siap lepaskan
pukulan. Namun karena hamburan tanah belum benar-
benar sirna, Setan Liang Makam untuk beberapa saat
menunggu. Begitu hamburan tanah sirna dan peman-
dangan terang, Setan Liang Makam mendelik tak ber-
kesip memandang ke depan. Saat yang sama mulutnya
perdengarkan bentakan keras.
"Katakan siapa kau"!"
Kira-kira sejarak lima belas langkah dari tem-
pat tegaknya Setan Liang Makam, tampak berdiri seo-
rang laki-laki berusia agak lanjut mengenakan pakaian putih. Sepasang matanya
besar tajam. Kumisnya lebat
juga berwarna putih. Rambutnya panjang sebahu telah
berwarna putih pula.
Sejenak laki-laki berambut dan berkumis putih
ini memandang tajam pada Setan Liang Makam. Baik
paras maupun sikapnya orang ini tak menampakkan
rasa terkejut sama sekali meski saat ini Setan Liang Makam pasang tampang
angker, apalagi baru saja dia
kehilangan orang yang dicari.
"Mau sedikit berbagi keterangan denganku"!"
Bertanya laki-laki di seberang.
"Keparat! Aku tanya siapa kau"! Kalau kau ti-
dak segera jawab, aku tak ada beban mencabut nya-
wamu!" Sambil mengancam, Setan Liang Makam arahkan pandangannya ke kiri kanan.
Orang yang diancam angkat bahu seraya terse-
nyum. Namun pandang matanya menyengat tajam. Se-
saat kemudian dia buka mulut.
"Jangan terlalu keras bicara, Kawan! Aku
hanya seorang yang kebetulan lewat. Tak ada maksud
hati untuk ikut campur urusanmu! Aku hanya mena-
warkan berbagi keterangan denganmu! Itu pun kalau
kau tidak keberatan...!"
"Bangsat! Kau terlalu banyak buka mulut! Aku
tanya sekali lagi siapa kau"!" hardik Setan Liang Makam. Orang di seberang
alihkan pandangannya ke
jurusan lain. "Aku Kiai Laras!"
Setan Liang Makam dongakkan kepala. Kedua
tangannya yang tadi diangkat tinggi perlahan-lahan di-turunkan. "Hem.... Rasa-
rasanya aku pernah mendengar nama yang baru dikatakan manusia itu! Tapi aku
lupa, siapa dan di mana! Gara-gara kuburan terkutuk
itu, aku jadi lupa segalanya! Sampai-sampai aku lupa apa nama tempat tinggal
orang yang harus kubunuh!
Sialan benar!" Setan Liang Makam diam-diam berkata sendiri dalam hati. Lalu
arahkan pandang matanya ke
depan. "Manusia!" bentak Setan Liang Makam. "Dari ucapanmu tadi, kurasa kau telah tahu
apa yang baru saja terjadi! Kuperintahkan kau menyingkir dari sini!"
"Hem.... Jadi kau keberatan jika kuajak berbagi keterangan denganku"!"
"Jahanam! Keterangan apa yang bisa kau beri-
kan padaku, hah"! Kau tahu apa soal aku"! Jangan
mencari mampus tak berguna!" Mungkin karena masih tenggelam dalam kecewa, Setan
Liang Makam sampai
lupa kalau saat ini dia sebenarnya membutuhkan ke-
terangan dari orang lain, karena tiga puluh enam ta-
hun bukanlah waktu yang pendek. Segalanya bisa be-
rubah bahkan mungkin tak bisa dikenali lagi.
"Aku tidak tahu apa urusanmu dengan pemuda
yang tadi lolos dari kejaran mu.... Tapi aku tahu betul siapa pemuda itu
sebenarnya!" kata orang yang sebutkan diri sebagai Kiai Laras.
"Hem.... Begitu"! Dengar baik-baik, Manusia!
Kau tak akan kubiarkan tinggalkan tempat ini sebelum member! keterangan tentang
pemuda laknat tadi! Kau
dengar"!"
"Hem.... Sebenarnya itu tidak adil!" ujar Kiai Laras. "Tapi untukmu aku dengan
senang hati akan berikan keterangan! Hanya saja aku tidak akan berikan
keterangan pada orang yang tidak kukenal siapa
namanya...."
"Aku Setan Liang Makam!"
"Tunggu!" Tiba-tiba Kiai Laras menyahut cepat.
"Rasanya baru kali ini aku dengar gelarmu itu! Apakah kau seorang tokoh yang
baru saja muncul dalam kalangan dunia persilatan"!"
Setan Liang Makam tertawa panjang. "Dunia
persilatan bukan barang baru bagiku! Kalau selama ini orang belum kenal gelarku,
karena aku baru menyan-
dangnya lima hari yang lalu!"
"Hem.... Pasti kau baru saja melakukan sesua-
tu yang luar biasa! Keadaan tubuhmu lain dengan ke-
banyakan orang...," kata Kiai Laras dengan tersenyum.
"Jahanam! Ini bukan karena kehendakku! Ada
tangan manusia yang membuatku jadi begini rupa!
Dan kemunculanku saat ini salah satunya adalah
mencari manusia yang membuat tubuhku jadi begini
ini!" "Ah.... Kau mau katakan siapa orang yang kau
cari itu"!"
"Sialan! Kau bertanya atau sedang menyelidik,
hah"!" hardik Setan Liang Makam.
"Jangan salah sangka! Aku hanya bertanya
tanpa maksud menyelidik. Siapa tahu aku bisa mem-
berimu keterangan! Melihat kau tidak kenal betul dengan pemuda yang lolos dari
tanganmu tadi, aku men-
duga kau telah sekian lama tidak muncul di kalangan
dunia persilatan walau kau menyatakan dunia persila-
tan bukanlah barang baru bagimu!"
"Joko Sableng! Apa keparat itu begitu dikenal
dalam dunia persilatan"!"
"Saat ini siapa pun pasti mengenalnya! Dialah
Pendekar Pedang Tumpul 131!"
Setan Liang Makam tertawa pendek. "Semua
orang boleh mengenalnya! Jahanam itu boleh bergelar
siapa saja! Tapi jangan kira aku kesulitan menekuk
tubuhnya!"
Kiai Laras anggukkan kepala. "Masih mau ka-
takan siapa orang yang kau cari selain Joko Sableng"!"
tanya sang Kiai.
"Itu urusanku! Aku bisa mencari dan menemu-
kan sendiri! Dan siapa pun yang berani menjamahnya,
itu pertanda nasib buruk baginya!" Setan Liang Makam
hentikan ucapannya sejenak sebelum akhirnya melan-
jutkan. "Sekarang aku ingin tahu siapa sebenarnya pemuda keparat Joko Sableng
itu!" "Kau pernah dengar tentang cerita kitab sakti
bernama Kitab Serat Biru dan Kitab Sundrik Cakra"!"
"Dalam dunia persilatan, beredarnya cerita ten-
tang kitab sakti bukan hal baru lagi! Tapi selama ini aku belum bisa buktikan
kebenaran cerita itu!"
"Kau pernah dengar seorang tokoh bergelar
Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak"!"
"Namanya pernah singgah di telingaku. Tapi
aku belum pernah lihat tampangnya!"
"Kau pernah dengar tentang kegegeran di Pulau
Biru dan di Kedung Ombo"!"
"Sialan! Kau malah yang balik bertanya!" hardik Setan Liang Makam. "Aku tidak
pernah dengar segala macam kegegeran!"
Kiai Laras tersenyum. "Dengar, Kawan! Joko
Sableng adalah anak manusia yang berhasil menda-
patkan kitab sakti Kitab Serat Biru dan Kitab Sundrik Cakra! Sementara Pendeta
Sinting adalah gurunya!
Menurut kabar yang beredar, banyak tokoh kelas ting-
gi harus menemui ajal di tangannya saat terjadi kegegeran di Pulau Biru serta
Kedung Ombo!"
"Hem.... Rupanya banyak juga pengetahuanmu!
Siapa kau sebenarnya"!" bertanya Setan Liang Makam.
Kiai Laras gelengkan kepala. "Aku hanyalah
orang biasa. Kalaupun aku mengetahui perihal pemu-
da itu, karena saat ini siapa pun pasti mengetahuinya juga! Karena cerita
tentang anak manusia itu sudah
jadi buah bibir semua orang!"
"Hem.... Rupanya telah banyak perubahan se-
menjak aku terkubur dalam makam celaka itu!" kata Setan Liang Makam dalam hati
lalu pandangi Kiai La-
ras dengan seksama. "Manusia ini tidak berkata dusta!
Dia bukan orang biasa! Tampang dan sikapnya tidak
membayangkan rasa takut sama sekali saat bertemu
denganku! Kedatangannya juga tak dapat kuketahui!
Hem.... Seandainya dia tidak memberi keterangan ten-
tang pemuda itu, ingin sekali aku menggebuknya!"
Setan Liang Makam dongakkan kepala. Tanpa
buka suara, laki-laki yang anggota tubuhnya hanya
berupa kerangka tanpa daging ini balikkan tubuh. La-
lu terdengarlah suaranya. "Lekas angkat kaki dari si-ni!"
Kiai Laras belalakkan sepasang matanya. Sebe-
lum orang ini sempat buka suara, Setan Liang Makam
telah sambung ucapannya. "Aku tidak akan mengatakan sekalipun pada setan orang
yang kucari!"
Sosok Kiai Laras bergetar keras tanda orang ini
menindih perasaan geram. "Kalau saja aku tidak membutuhkan orang yang selama ini
dia cari, sudah sejak tadi-tadi ku pecah tulang mulutnya!"
"Manusia!" bentak Setan Liang Makam dengan suara bergetar keras. "Kalau kau
masih di situ, aku tak segan membuatmu angkat kaki tanpa nyawa!"
Kiai Laras menggumam tak jelas. Kejap lain
orang ini membuat gerakan berputar lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Tanpa balikkan tubuh, Setan Liang Makam te-
lah tahu kalau orang di belakangnya telah berkelebat pergi. "Hem.... Dugaanku
makin kuat. Manusia yang katakan diri sebagai Kiai Laras bukan orang biasa. Dia
ingin mengorek keterangan dariku tentang orang yang
kucari dan harus kubunuh! Jangan-jangan...." Setan Liang Makam tidak teruskan
kata hatinya. Sebaliknya
dia cepat putar diri. Bola mata liar memandang berkeliling. "Astaga! Jangan-
jangan dia tahu rahasia Kam-
pung Setan! Apa rahasia itu telah muncul menebar da-
lam rimba persilatan"! Terkutuk! Kalau hal itu be-
nar.... Dan Kembang Darah Setan masih belum bisa
ku genggam, celakalah aku! Pemuda jahanam itu ha-
rus kutemukan dahulu! Tidak bertemu dengannya, gu-
runya pun jadilah! Sang murid pasti tidak akan tinggal diam kalau gurunya dalam
kesulitan!"
Setan Liang Makam mendongak. "Pendeta Sint-
ing.... Jurang Tlatah Perak!"
Setan Liang Makam membuat gerakan satu
kali. Sosoknya melesat tinggalkan tempat itu laksana dikejar setan!
* * * ENAM MURID Pendeta Sinting berlari tanpa pedulikan
kanan kiri. Yang terpikir dalam benaknya adalah
menghindar sejauh mungkin dari orang yang baru per-
tama kali ditemuinya dan sebutkan diri dengan gelar
Setan Liang Makam. Dia yakin benar, bahwa orang itu
baru pertama kali dijumpai. Nama gelarnya juga baru
didengarnya. Namun yang membuatnya tak habis pikir
dan bingung, Setan Liang Makam telah mengenal di-
rinya! Meminta Kembang Darah Setan dan bertanya
tentang Kampung Setan! Nama-nama yang juga baru
didengarnya. Ketika telah berlari sejarak dua ratus tombak,
baru Joko memperlambat larinya. Selain berusaha
mencari tempat berlindung, dia juga merasakan da-
danya agak sesak. Ini akibat bentrokan dengan Setan
Liang Makam. Walau tidak mengalami luka dalam yang
cukup parah, namun tak urung mempengaruhi jalan
pernafasannya. Setelah merasa yakin langkahnya tidak diikuti
orang, Pendekar 131 hentikan larinya. Lalu buru-buru menyelinap di balik
bongkahan tunggul pohon kelapa
besar yang banyak bertebaran di sekitar tempat mana
dia kini berada.
Joko segera henyakkan pantat dengan pung-
gung bersandar. Sepasang matanya dipejamkan lalu
menghela napas dalam-dalam.
"Anak muda! Kau kira tempat ini aman untuk
berlindung"!" satu suara mendadak terdengar.
Paras wajah murid Pendeta Sinting seketika be-
rubah tegang. Helaan nafasnya terputus. Meski dia yakin suara yang baru saja
terdengar bukan suara Setan Liang Makam, namun tak urung membuatnya tersentak
kaget. Laksana disentak setan, Joko cepat berpaling.
Dari bongkahan tunggul pohon kelapa bertaut tiga
buah, satu raut wajah milik seorang laki-laki berusia agak lanjut muncul
menghadap ke arahnya. Karena
orang ini juga duduk bersandar, murid Pendeta Sinting belum bisa melihat


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana sosoknya. Namun hal
ini sudah membuat Joko merasa agak lega. Karena
yang muncul bukanlah raut Setan Liang Makam.
"Apa dia memang telah berada di situ sebelum
aku datang"! Tapi mengapa dia seolah tahu aku men-
cari tempat sembunyi"!" diam-diam Joko membatin sambil memperhatikan raut wajah
orang di seberang.
Raut wajah orang tua di seberang bergerak ke
jurusan lain lalu terdengar dia bersuara. "Anak muda!
Kau benar-benar seorang yang sangat beruntung!"
Pendekar 131 kernyitkan kening. "Jangkrik!
Urusan gila apa lagi ini"! Dengan orang tua ini pun
aku rasa baru jumpa pertama kali! Anehnya, dia seo-
lah sudah mengenalku dan mengatakan aku berun-
tung!" Belum sampai Joko buka mulut bertanya,
orang tua di seberang sana telah berkata tanpa berpaling. "Kalau tak salah,
bukankah kau Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng murid seorang tokoh dari
Jurang Tlatah Perak bergelar Pendeta Sinting"!"
Murid Pendeta Sinting tidak menyahut. Dia ru-
panya masih terkesima dengan ucapan orang. Dan di-
am-diam dadanya berdebar. Dia rupanya dapat me-
nangkap apa yang akan dibicarakan orang selanjut-
nya. "Dia mengatakan aku beruntung. Jangan-jangan maksud ucapannya ini masih ada
kaitannya dengan
pembicaraan Setan Liang Makam...."
"Anak muda! Kau tahu apa kegunaan barang
pusaka yang ada di tanganmu"!" si orang tua di seberang ajukan tanya.
"Barang pusaka"! Barang pusaka apa"!" gu-
mam Joko dengan kepala menggeleng.
"Orang Tua! Aku tidak mengerti juntrungan bi-
caramu! Siapa kau"!"
Orang tua di seberang sana putar tubuh. Kini
orang tua itu tepat menghadap ke arah Joko. Dan Joko dengan jelas dapat melihat
siapa adanya orang. Dia
adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih panjang. Raut wajahnya
telah disamaki kerut-
kerutan. Sepasang matanya besar agak sayu. Kumis
dan jenggotnya lebat juga telah berwarna putih. Orang ini mengenakan pakaian
warna putih yang dilapis dengan jubah besar warna hitam. Pada cuping hidung se-
belah kiri tampak melingkar anting kecil dari akar hitam.
"Anak muda! Buanglah rasa curiga! Aku sama
sekali tidak menginginkan barang pusaka itu meski
siapa pun yang tahu ceritanya akan mati-matian
memburu!" "Gila! Dua kali aku harus berhadapan dengan
orang-orang yang tak ku mengerti apa maksud bica-
ranya!" Joko berkutat sendiri dengan batinnya. Lalu sekali lagi buka suara
bertanya. "Orang tua! Kau telah mengenalku! Harap kau
sudi sebutkan diri!"
"Hem.... Aku Kiai Lidah Wetan...!"
"Benar dugaanku. Berarti aku baru kali ini ber-
jumpa dengannya!" kata Joko dalam hati begitu mendengar orang sebutkan nama.
"Orang tua! Kau mau menerangkan apa mak-
sud ucapanmu tadi"!"
Orang tua yang sebutkan diri sebagai Kiai Li-
dah Wetan tertawa perlahan. "Aku tidak bisa menerangkan
panjang lebar! Lagi pula kalau kau mencari
benda itu pasti kau lebih tahu banyak dibandingkan
diriku!" "Orang tua! Kau dari tadi sebut-sebut barang benda pusaka! Aku benar-
benar tidak mengerti!"
"Ah.... Kau masih juga berpura-pura! Itu me-
nunjukkan kalau kau curiga jika aku menginginkan
Kembang Darah Setan itu...."
Murid Pendeta Sinting melengak. Tanpa sadar
dia bergerak merangkak mendekati Kiai Lidah Wetan.
Begitu tepat berada di hadapan si orang tua, Pendekar 131 segera angkat bicara.
"Orang tua! Dua kali ini aku mendengar orang
sebut-sebut Kembang Darah Setan! Perlu kau ketahui,
aku tidak tahu menahu tentang Kembang Darah Se-
tan!" Joko hentikan ucapannya seraya memperhatikan orang tua yang duduk di
hadapannya. Lalu teruskan
bicara. "Kau ada hubungan apa dengan Setan Liang Makam"!"
"Hem.... Ini satu bukti kalau kau berkata dusta, Anak Muda!" ujar Kiai Lidah
Wetan. "Kau baru saja sebut nama Setan Liang Makam, adalah satu hal aneh
kalau kau tidak mengenal Kembang Darah Setan!"
"Aku baru saja bertemu dengan manusia setan
itu!" kata Joko agak keras karena mulai jengkel dengan urusan pelik yang tidak
juga bisa terjawab.
"Alasan mudah dicari, Anak Muda! Dan setiap
orang yang telah berhasil mendapatkan barang pusaka
pasti akan mencari alasan agar barangnya tidak pin-
dah ke tangan orang lain!"
"Edan! Ini benar-benar edan!" gumam murid
Pendeta Sinting dengan gelengkan kepala. Lalu berujar dengan suara agak parau.
"Orang tua! Kau mengira aku membawa Kem-
bang Darah Setan"!"
Yang ditanya hanya menjawab dengan perden-
garkan suara tawa perlahan, membuat Joko makin
merasa kebingungan. Dalam puncak kebingungannya
akhirnya Joko buka mulut. "Orang tua! Apa yang kau maksud Kembang Darah Setan
adalah seorang nenek
cantik yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan orang itu"!" Yang ditanya lagi-
lagi hanya perdengarkan tawa perlahan tanpa buka mulut menjawab.
"Hem.... Mungkin ini satu isyarat kalau aku ha-
rus tinggalkan tempat ini jauh-jauh agar tidak lebih dalam terlibat tentang
urusan gila ini!" kata Joko dalam hati. Tanpa buka mulut lagi, murid Pendeta
Sint- ing bergerak bangkit meski sebenarnya dia ingin men-
gorek keterangan lebih banyak dari orang tua di hadapannya.
Acuh tak acuh bahkan tanpa memandang Kiai
Lidah Wetan berkata. "Kusarankan agar kau berlaku hati-hati, Anak Muda! Setan
Liang Makam pasti tidak
akan membiarkan mu enak berkeliaran! Bahkan se-
bentar lagi mungkin akan banyak orang yang menca-
rimu!" Murid Pendeta Sinting berpaling. "Simpan dahulu ramalan mu, Orang Tua!
Aku tidak tahu urusan
Kembang Darah Setan gila itu! Dan persetan dengan
orang-orang yang akan mencariku!"
Kiai Lidah Wetan hanya tersenyum mendengar
ucapan keras murid Pendeta Sinting. Dia ikut bergerak bangkit. Memperhatikan
Joko sekilas lalu berkata.
"Kau telah membuka sebagian rahasia Kam-
pung Setan! Mudah-mudahan semua urusan selanjut-
nya bisa berjalan dengan lancar!"
Habis berkata begitu, Kiai Lidah Wetan putar
tubuh setengah lingkaran. Lantas melangkah tanpa
memandang lagi pada Pendekar 131.
"Tunggu!" Joko melompat dan tegak mengha-
dang jalan Kiai Lidah Wetan. "Di mana Kampung Setan itu"!" Kiai Lidah Wetan
pandangi Joko dari rambut sampai ujung kaki. "Pertanyaan yang seharusnya tidak
memerlukan jawaban, Anak Muda! Karena di mana
kau mendapatkan Kembang Darah Setan, itulah Kam-
pung Setan!"
"Benar-benar hebat! Dalam waktu hampir satu
purnama, telah terjadi hal-hal aneh yang kurasa tidak masuk akal tapi jadi
kenyataan!"
"Kau tak usah heran, Anak Muda! Keajaiban bi-
sa saja terjadi sewaktu-waktu tanpa satu isyarat!" ujar
Kiai Lidah Wetan. Orang tua ini tersenyum lalu menyi-si ke samping sebelum
akhirnya lanjutkan langkah.
Joko baru putar diri ketika dirasa si orang tua
sudah agak jauh. Sesaat murid Pendeta Sinting pan-
dangi langkah-langkah si orang tua di depan sana.
"Aku tak tahu pasti apa sebenarnya yang terjadi! Dan mendengar ucapan-ucapannya,
orang tua itu sepertinya tahu banyak urusan ini! Hem.... Aku jadi penasaran!"
Joko segera berkelebat ke jurusan mana Kiai Lidah Wetan melangkah jauh di depan
sana dilihatnya si orang tua hampir saja lenyap dari pandangannya. Joko jadi
lupa kalau dia sudah memutuskan untuk pergi
jauh-jauh dari tempat itu dan tidak ingin terlibat lebih jauh dalam urusan yang
tidak pernah dimengerti dan
tidak bisa terjawab.
Pada satu tempat Joko tegak kebingungan, ke-
palanya celingukan ke samping kiri kanan. "Heran.
Apa dia tahu kalau kuikuti lalu sembunyi"!"
Sekian lama pentang mata dengan kepala ber-
putar, namun matanya tidak melihat siapa-siapa di
sekitar tempat itu. "Ah.... Lebih baik aku...."
"Anak muda! Mengapa kau mengikutiku"!" satu suara mengejutkan Joko. Satu sosok
tubuh muncul keluar dari balik batangan pohon.
Belum sampai Joko buka mulut, orang yang
baru saja muncul dan tidak lain adalah Kiai Lidah Wetan telah mendahului. "Anak
muda! Tentang Kembang Darah Setan dan rahasia Kampung Setan, pengetahu-anku
tidak lebih banyak darimu! Jadi percuma kau
mengikuti langkahku! Kau tidak akan mendapatkan
apa-apa!" "Orang tua! Terus terang aku buta sama sekali
dengan Kembang Darah Setan serta Kampung Setan!"
Kiai Lidah Wetan menggeleng. "Aku tidak tahu
harus berkata apa, Anak Muda! Tapi dengan Kembang
Darah Setan yang ada di tanganmu, kau kelak tentu
akan tahu sendiri...."
Seolah tidak memberi kesempatan pada murid
Pendeta Sinting, Kiai Lidah Wetan sudah sambung
ucapannya sebelum Joko angkat bicara. "Kuharap kau tidak mengikutiku!"
Joko kancingkan mulut dengan mata memper-
hatikan ke arah Kiai Lidah Wetan. Yang dipandang ti-
dak peduli. Dia putar tubuh !alu berkelebat.
"Urusan pelik dan gila!" desis murid Pendeta Sinting. Lalu melangkah perlahan-
lahan dengan dada
disarati berbagai hal yang membuatnya tertawa den-
gan dahi berkerut.
* * * Saat matahari sejengkal lagi masuk tenggelam
ke kaki langit di sebelah barat, sosok yang berkelebat laksana angin itu
hentikan larinya. Di depan sana terlihat sebuah tanah menggunung tinggi yang
pada sa- lah satu lamping samping kanannya terdapat lobang
goa. Di sekitar lobang goa, meranggas semak belukar
lebat hingga kalau orang tidak perhatikan dengan seksama, pasti tidak tahu kalau
di balik ranggasan semak belukar lebat ada sebuah lobang goa.
Untuk beberapa saat, orang yang tegak di de-
pan lobang goa yang samar-samar terlihat gerakkan
kepala ke samping kiri kanan. Sepasang matanya yang
besar agak sayu memandang menyelidik. Saat lain dia
berkelebat menerabas semak belukar sebelum akhir-
nya lenyap masuk melewati lobang goa.
Lima langkah melewati lobang goa, orang yang
tadi masuk yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan
jubah hitam melapis pakaian
warna putih berambut panjang warna putih dan pada
sebelah kiri cuping hidungnya melingkar anting dari
akar hitam dan bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan,
hentikan kelebatannya. Kepalanya cepat berputar den-
gan mata mengawasi bagian dalam goa yang ternyata
tidak begitu besar. Pada bagian ujung, tampak tanah
agak tinggi. "Hem.... Kiai Laras belum datang...," gumam Kiai Lidah Wetan. Perlahan-lahan
orang tua ini melangkah ke arah tanah yang agak tinggi di sebelah
ujung dalam goa.
Baru saja Kiai Lidah Wetan injakkan kakinya di
atas tanah yang-agak tinggi, semak belukar di luar
mulut goa bergerak-gerak. Saat lain satu sosok tubuh telah tegak di mulut bagian
dalam goa. Kiai Lidah Wetan cepat berpaling. Kedua tan-
gannya terbuka mengembang. Jelas jika orang tua ini
sewaktu-waktu siap lepaskan pukulan. Namun begitu
mengenali siapa adanya sosok yang tegak di mulut
goa, Kiai Lidah Wetan cepat buka suara.
"Adikku.... Bagaimana dengan pekerjaanmu"!"
Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Dia
melompat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Kiai
Lidah Wetan. Dia adalah seorang pemuda berparas
tampan mengenakan pakaian putih-putih. Rambutnya
hitam sedikit acak-acakan. Siapa pun yang melihat
pemuda ini dan pernah bertemu dengan Pendekar 131,
pasti tidak akan melihat perbedaannya!
"Aku gagal mengorek keterangan dari manusia
setan si Setan Liang Makam tentang siapa orang yang
di carinya!" berkata pemuda yang wajahnya sama persis dengan murid Pendeta
Sinting. Kiai Lidah Wetan anggukkan kepala. "Kita me-
mang perlu waktu!"
Pemuda di hadapan Kiai Lidah Wetan angkat
tangannya. Tangan kiri ke arah leher, tangan kanan ke arah rambut. Perlahan-
lahan tangan kiri mengelupas
kulit tipis mulai dari lehernya. Sementara tangan kanan menarik rambutnya.
Begitu kulit tipis terkelupas, tampaklah seraut
wajah orang berusia agak lanjut berkumis lebat ber-
warna putih. Sepasang matanya besar. Dan di bawah
rambut hitam sedikit acak-acakan yang tertarik tangan kanan tampak kepala
berambut putih sepanjang bahu.
Orang ini ternyata bukan lain adalah Kiai Laras!
"Kau sendiri bagaimana"!" tanya Kiai Laras yang tadi mengenakan kulit tipis yang
membuat raut wajahnya sama persis dengan murid Pendeta Sinting.
"Apa yang kita rencanakan berjalan dengan
baik! Pemuda itu sedang dalam kebingungan! Kita
tinggal lanjutkan rencana! Dan sejak saat ini kau harus selalu mengenakan
penyamaran!" "Tapi...."
"Kau harus hindari pertemuan dengan Setan
Liang Makam!" tukas Kiai Lidah Wetan. "Kalaupun kau terpaksa ingin bertemu
dengannya, kau harus lepas
dahulu penyamaranmu!"
"Hem.... Meski aku gagal membuat Setan Liang
Makam buka mulut, tapi satu hal yang pasti, manusia
setan itu untuk sementara ini akan mencari Pendekar
131 atau Pendeta Sinting!" ujar Kiai Laras. "Hanya apakah mungkin Setan Liang


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Makam bisa tundukkan
guru dan murid itu"!"
"Tak usah gelisah! Setan Liang Makam bukan
manusia sembarangan! Aku yakin, selama ini dia be-
lum tunjukkan semua kepandaiannya! Di lain pihak,
kau harus segera buat kegegeran di mana-mana! Se-
mentara perlahan-lahan aku akan mengikuti langkah
Setan Liang Makam! Kalau saatnya tiba, Kembang Da-
rah Setan kita berikan pada Setan Liang Makam dan
diam-diam kita memotongnya dari belakang!"
"Sayang.... Seandainya Setan Liang Makam
mau buka mulut, kita tidak usah repot-repot harus
mengikutinya! Karena Kembang Darah Setan sudah
berada di tangan kita!" kata Kiai Laras seraya menghela napas dalam.
"Ini urusan besar, Adikku! Wajar kalau Setan
Liang Makam tidak akan gegabah buka suara! Tapi
percayalah, saatnya akan tiba juga!" sahut Kiai Lidah Wetan sambil memandang
adiknya berlama-lama. Saat
lain dia sambung ucapannya. "Hem.... Adikku. Kau telah mengatakan Kembang Darah
Setan berhasil kau
ambil dari tangan Setan Liang Makam! Tapi selama ini kau belum tunjukkan
padaku...."
Kiai Laras balas memandang kakaknya dengan
pandangan lain.
"Kau tidak percaya?"
Kiai Lidah Wetan tertawa pendek. "Kalau aku
tidak percaya, untuk apa kulakukan semua ini"! Aku
hanya ingin melihatnya...."
"Kembang Darah Setan bukan barang semba-
rangan. Jadi aku menyimpannya di satu tempat!"
"Hem.... Aku tak yakin dengan ucapannya!
Kembang Darah Setan pasti berada di balik pakaian-
nya! Hem.... Tunggulah, kau nanti akan tahu siapa
aku! Dan kau akan menyesal! Begitu Setan Liang Ma-
kam berhasil menemukan orang yang dicari, saat itu
tidak ada urusan antara adik dan kakak!" membatin Kiai Lidah Wetan.
Kalau diam-diam Kiai Lidah Wetan membatin
begitu, di pihak lain Kiai Laras juga berkata sendiri da-
lam hati. "Jangan harap kau bisa memuslihati aku!
Kembang Darah Setan tetap akan berada di tanganku
sampai saatnya tiba! Dan aku tidak segan mengantar
nyawamu ke neraka kalau kau berani berbuat macam-
macam!" Kiai Laras berpaling ke mulut goa. "Keadaan
sudah gelap. Kalau tidak ada yang perlu kita bicara-
kan, kita berpisah dahulu dan lakukan seperti apa
yang kita rencanakan!"
Kiai Lidah Wetan tersenyum dingin. "Dalam
urusan ini, kita memang tidak boleh buang-buang
waktu!" Kiai Laras berkelebat ke arah mulut goa. Tangan kiri kanannya bergerak.
Tatkala sesaat kemudian
sosoknya melesat keluar dari mulut goa, tampangnya
sudah berubah menjadi seorang pemuda berparas
tampan tak ada bedanya dengan Pendekar 131!
Kiai Lidah Wetan mengawasi kepergian adiknya
dengan seringai. Lalu perlahan-lahan duduk di atas
tanah agak tinggi. Saat lain orang tua ini telah pejamkan sepasang matanya
dengan kedua tangan bersede-
kap di depan dada.
* * * TUJUH PENDEKAR 131 Joko Sableng hentikan langkah
di satu persimpangan. Saat itu matahari sudah be-
rangkat agak tinggi. Memandang ke sebelah kanan
tampak hamparan ladang yang ditumbuhi ubi jalar
dan jajaran pohon kelapa. Lurus ke depan terlihat se-
buah kedai agak besar. Sejurus murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya ke
hamparan ladang lalu
beralih ke kedai yang tampak sepi.
Kali ini sikap murid Pendeta Sinting tampak
bimbang. Malah sesekali kepalanya celingukan dan
berpaling ke belakang.
"Busyet! Gara-gara urusan aneh itu aku jadi
serba salah! Hem.... Apa sebaiknya yang kulakukan
sekarang"! Kembali ke Jurang Tlatah Perak menemui
Eyang Guru"! Ke mana sebenarnya Eyang Guru ber-
sama Nenek Ni Luh Padmi"! Kalau tidak ada apa-apa
seharusnya Eyang Guru harus berada di Jurang Tla-
tah Perak. Apalagi dia sudah mengatakan padaku agar
menemuinya tiga hari setelah peristiwa Kedung Ombo!
Tapi nyatanya hingga hampir satu purnama kutunggu,
Eyang Guru tidak ada kabar beritanya! Hem.... Apa sebaiknya aku menemui Kakek
Gendeng Panuntun" Tapi
di mana orang tua itu harus kucari..."!" Mengingat Gendeng Panuntun, tiba-tiba
Joko teringat Sitoresmi.
"Gadis cantik itu.... Belum begitu lama diambil oleh Kakek Gendeng Panuntun
sudah maju demikian
pesat! Seandainya aku tahu di mana tempat tinggal-
nya.... Beberapa kali dia selamatkan nyawaku! Malah
dia mau berbalik pikiran dan menentang gurunya....
Saat-saat seperti ini aku ingin seorang teman bicara!"
Joko menghela napas panjang.
Dengan wajah kusut, murid Pendeta Sinting
melangkah ke arah kedai. Sejenak langkahnya dihenti-
kan di pintu kedai. Sepasang matanya mengedar ke
dalam kedai. Lalu perlahan-lahan dia masuk.
Seorang berusia agak lanjut buru-buru mende-
kat lalu mempersilakan. Setelah memesan makanan
Joko mengambil duduk di bangku yang pandangannya
bisa leluasa ke halaman kedai.
Saat itulah baru Joko tahu kalau di bagian po-
jok kedai duduk seorang perempuan berusia lanjut.
Karena perempuan ini duduk lurus sejajar, dengan je-
las Joko dapat melihat raut wajahnya.
Nenek itu mengenakan pakaian warna merah
menyala. Tapi bukan warna merah itu yang membuat
murid Pendeta Sinting sempat terbelalak. Baju bagian atas yang dikenakan si
nenek adalah baju tanpa lengan. Hingga seluruh tangannya yang berkulit gelap
terlihat sampai pundak! Dan potongan baju itu amat
cingkrang. Hingga sebagian kulit perutnya yang juga
berwarna gelap kelihatan. Kalau Joko melihat si nenek dari arah depan, pasti
akan jelas dapat melihat pusar si nenek!
Sementara pakaian bawah si nenek juga ber-
warna merah menyala. Pakaian bawahnya merupakan
celana pendek sejengkal di atas lutut. Hingga pahanya yang berkulit gelap tampak
jelas sekali. Pada lehernya melingkar tiga untai kalung dari kerang. Rambutnya
yang telah berwarna putih dikepang dua dan pada
ujungnya diberi pita kembang-kembang. Rambut de-
pannya di poni menutupi sebagian keningnya yang te-
lah mengeriput dan berwarna gelap. Sepasang ma-
tanya besar menjorok masuk ke dalam rongga yang ge-
lap dan dalam. Alis matanya tebal dan hitam saling
bertautan. Dari raut wajahnya, yang tampak menco-
rong hanyalah bibirnya. Karena bibir si nenek dipoles warna merah tebal!
Saat Joko melirik, si nenek tampak kedipkan
sebelah matanya, membuat murid Pendeta Sinting bu-
ru-buru alihkan bola matanya ke depan dengan mem-
batin. "Mudah-mudahan hanya cara berhiasnya saja yang aneh! Tidak sampai ikut-
ikutan dengan urusan
gila seperti kemarin yang membuat kepalaku seperti
pecah memikirkannya...."
Entah karena apa, Joko tidak bisa berlama-
lama memandang ke depan. Dia seolah ingin meyakin-
kan bahwa si nenek bukan seperti dua orang yang di-
temuinya sebelum ini. Hingga dia perlahan-lahan ge-
rakkan kepalanya ke samping, arah mana si nenek be-
rada. Tapi mendadak gerakan kepala Joko terhenti.
Di samping sana, si nenek terlihat angkat tangan ka-
nannya dengan siku bertumpu pada meja. Jari-jari
tangan kanannya digerak-gerakkan melambai! Kedua
matanya di kedip-kedipkan berulang kali. Sementara
bibirnya yang merah mencorong dibikin tersenyum le-
bar! Karena sudah telanjur berpaling dan dilihatnya
si nenek melambai dengan bibir tersenyum, akhirnya
murid Pendeta Sinting angkat tangannya dengan siku
ditumpukan pada meja. Jari-jari tangannya digerakkan melambai. Bibirnya pun
dibuat tersenyum, malah sebelah matanya sejenak dikedipkan berulang kali.
Mungkin merasa mendapat sambutan, nenek di
seberang buka mulut.
"Hai...!"
"Hai...!" Joko menyambut. Lalu buru-buru alihkan pandangannya berharap semuanya
akan berakhir sampai di situ. Dia mulai merasa ada yang tidak beres dengan si nenek.
Namun belum sampai Joko arahkan pandan-
gannya ke jurusan lain, nenek di seberang telah sam-
bung ucapannya.
"Tidak keberatan ku temani makan"!"
Dada murid Pendeta Sinting mulai berdebar.
Pertemuannya dengan Setan Liang Makam dan orang
tua yang sebutkan diri sebagai Kiai Lidah Wetan mem-
buat nya selalu merasa khawatir. Apalagi melihat dan-danan aneh si nenek. Untung
saat itu dari bagian da-
lam kedai muncul si orang tua yang mendekat ke arah
mejanya dengan membawa makanan yang dipesan.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Joko.
Begitu si orang tua yang rupanya sebagai pemilik kedai hidangkan makanan, Joko
buka mulut. "Kelihatannya sepi. Apa pada hari-hari lainnya
juga begini?"
Si pemilik kedai memandang sejurus pada mu-
rid Pendeta Sinting. Lalu melirik pada si nenek. "Kedai ini biasanya ramai
pengunjung. Hanya tiga hari ini terasa sepi...," jawab si pemilik kedai dengan
suara pelan setengah berbisik.
"Kalau biasanya ramai dan tiga hari ini sepi,
tentu ada sebabnya...," ujar Joko.
"Aku tak tahu apa sebab sebenarnya! Hanya
sedikit banyak mungkin karena kedatangan nenek itu!
Tiga hari berturut-turut dia muncul di kedai ini.... Herannya, ia sampai
setengah hari berada di kedai! Seolah dia menunggu seseorang...."
"Bisa menduga siapa kira-kira yang ditunggu"!"
Entah karena apa Joko tiba-tiba menanyakan hal itu.
"Aku tak berani bertanya.... Dia selalu berkata keras membentak-bentak....
Kalaupun dia tampak tersenyum, itu terlihat saat kau datang! Hem....
Janganjangan kaulah orang yang ditunggu...."
Murid Pendeta Sinting makin berdebar. Hatinya
gelisah. Dia tidak mau melihat pada si nenek di seberang. "Pernah tanya siapa
namanya"!" tanya Joko dengan suara makin dikecilkan.
Mungkin agar tidak terlalu dicurigai, si pemilik
kedai tampak membersihkan meja dengan sehelai kain
yang sedari tadi dibawanya sambil berkata.
"Pernah seorang pembantuku iseng bertanya.
Tapi jawabannya adalah sambaran tangannya! Tampa-
ran itu memang tidak keras. Anehnya orang yang ber-
tanya langsung terjengkang roboh! Sejak saat itu dia berhenti jadi pembantu....
Sejak saat itu pula orang-orang yang hendak masuk kedai buru-buru berbalik
begitu melihat si nenek...." Si pemilik kedai memandang pada Joko. "Anak
muda.... Makanan dan minuman yang terhidang di depanmu tidak usah kau bayar,
bahkan aku akan memberi tambahan uang kalau kau
bisa mengajak nenek seronok itu pergi jauh-jauh dari sini!" "Busyet! Rupanya aku
harus menemui hal yang tak kalah aneh dan lucunya!" ujar Joko dalam hati seraya
menarik napas panjang. Namun sejauh ini dia be-
lum melirik lagi ke arah si nenek. Malah untuk mere-
dakan debaran dadanya dia mulai makan apa yang
terhidang di hadapannya.
Di hadapannya, sambil terus membersihkan
meja dan tidak memandang pada murid Pendeta Sint-
ing, si pemilik kedai berkata.
"Bagaimana, Anak Muda"! Kau bersedia bukan
membawa nenek itu"! Kulihat dia tadi menyapa mu
dengan ramah dan tersenyum lebar! Kau pun berwajah
tampan. Dari penampilan mu, kurasa kau seorang
yang suka menggandeng beberapa teman wanita. Un-
tuk kali ini tidak apa bukan menggandeng seorang ne-
nek-nenek"! Kau tinggal sebutkan berapa imbalan
yang kau minta...."
Mendengar ucapan si pemilik kedai, mau tak
mau Joko harus tahan tawanya hingga bahunya berge-
rak turun naik. Namun mendadak gerakan kedua ba-
hu Joko terhenti. Sepasang matanya tak berkesip me-
mandang ke depan. Karena tahu-tahu si nenek ber-
dandan seronok telah tegak tidak jauh dari mejanya
dengan tangan kanan melambai dan bibir tersenyum.
"Hai...!" kata si nenek. "Kau tadi belum jawab pertanyaanku!"
Joko tergagu. Di hadapannya si pemilik kedai
buru-buru angkat kaki tapi sebelum berlalu, orang tua ini masih sempat kerdipkan
mata dan tersenyum.
"Hai...! Tidak keberatan bukan aku menemani-
mu duduk"!" Si nenek berkata lagi. Tapi tanpa menunggu jawaban orang, nenek
berdandan seronok
yang pusarnya kelihatan ini sudah duduk berseberan-
gan di hadapan Joko dengan sebelah kaki diangkat
dan diletakkan di paha kaki satunya.
"Sendirian"!" tanya si nenek sambil tangannya mainkan untaian kalung yang
melingkari lehernya.
Kali ini sambil bertanya, si nenek tidak menatap langsung melainkan melirik
malu-malu! Karena belum dapat redakan gejolak, murid
Pendeta Sinting menjawab dengan anggukan kepa-
lanya. Sementara matanya memandang ke jurusan
lain. "Boleh tahu siapa namamu"!" Si nenek kembali ajukan tanya.
"Joko.... Joko Sableng...."
"Nama bagus, sebagus tampang orangnya....
Punya gelar"!"
Joko gelengkan kepala. Tapi kali ini sudah mu-
lai berani memandang ke arah si nenek. Di hadapan-
nya, si nenek pun tidak malu-malu lagi arahkan pan-
dangannya pada murid Pendeta Sinting.
"Boleh tahu hendak ke mana"!" tanya si nenek.


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mencari kakekku yang sudah hampir satu purnama
ini tidak kunjung pulang...," sahut Joko sambil perhatikan lebih seksama pada
nenek yang duduk di hada-
pannya. "Dasar laki-laki! Pasti kakekmu telah tergoda
seorang perempuan hingga lupa pulang dan tidak ingat cucu! Siapa nama kakekmu
yang hilang itu"!"
" Jangkrik! Bagaimana aku harus menjawab"!"
Joko bingung sendiri. Namun karena tak mau dicurigai berkata dusta, dan saat itu
teringat akan peristiwa di Kedung Ombo beberapa waktu lalu, Joko segera
menjawab. "Namanya Raden Mas Antar Bumi...."
"Hem.... Jadi kau masih keturunan darah bi-
ru...." "Kau sendiri siapa, Nek..."!" tanya Joko untuk alihkan pembicaraan.
Namun begitu teringat akan cerita si pemilik kedai, tampang Joko seketika
berubah. Si nenek tertawa panjang dan bergelak-gelak
hingga si pemilik kedai sempat nongolkan kepalanya di belakang sana.
"Kau pasti mendapat kabar dari orang tua pe-
milik kedai waktu kalian bisik-bisik tadi...!" ujar si nenek di sela gelakan
tawanya. "Kau tahu, aku terpaksa menampar orang itu karena sambil bertanya,
matanya iseng memelototi pusar dan ketiak ku!"
Murid Pendeta Sinting tersedak mendengar ke-
terangan si nenek. Dan tanpa sengaja matanya tertuju pada ketiak kanan kiri si
nenek. "Hai!" Tiba-tiba si nenek berteriak keras. "Apa kau ingin mengalami nasib
sama"!"
Cepat-cepat Joko berpaling dengan tawa dita-
han-tahan. "Bagaimana orang tidak akan iseng melihat ketiaknya, karena daerah
itulah yang paling mudah dilihat daripada yang lainnya!" kata Joko dalam hati
lalu berucap. "Nek.... Kau belum jawab tanya ku...."
"Kau tahu, Anak Muda! Kaulah seorang yang
beruntung!"
Joko tersentak kaget. Wajahnya kembali beru-
bah tegang. Dia teringat akan ucapan Kiai Lidah We-
tan. "Dia juga mengatakan aku orang yang beruntung!
Jangan-jangan ini masih ada hubungannya dengan
urusan gila itu...."
"Kau beruntung, karena kaulah satu-satunya
orang yang mengetahui namaku dari mulutku sendi-
ri...." Ketegangan Joko mereda. "Siapa, Nek..."!"
Si nenek angkat kedua tangannya dirang-
kapkan ke depan dada. Kepalanya bergerak mengang-
guk-angguk. Saat yang sama bibirnya yang merah ter-
buka. "Alam memberi ku nama Dayang Sepuh...!" Si nenek lepaskan rangkapan kedua
tangannya. "Menurutmu, bagaimana nama yang diberikan alam pada-
ku"!" "Hem.... Sesuai!" sahut murid Pendeta Sinting.
"Lalu alam memberimu gelar apa, Nek"!"
Kembali si nenek yang baru saja sebutkan na-
manya Dayang Sepuh angkat kedua tangannya me-
rangkap di depan dada. Lalu buka suara.
"Alam memberi ku gelar Dayang Sepuh!" Seperti tadi, habis berkata, si nenek buka
rangkapan kedua
tangannya, lalu bertanya. "Bagaimana gelaran alam yang diberikan padaku"!"
"Hem.... Tepat!" ujar Joko meski dalam hati berkata. "Apa dia tidak tahu kalau
nama dan gelar biasanya berbeda"! Atau dikiranya nama itu gelar, dan
gelar itu nama.... Hem.... Tapi aku harus waspada.
Dandannya aneh dan seronok. Jangan-jangan ini
hanya penutup agar siapa dia sebenarnya tidak dike-
tahui! Dua kali aku bertemu dan harus berhadapan
dengan orang aneh. Mungkin yang satu ini juga aneh
hanya belum kuketahui...."
"Nek.... Dari sikapmu, sepertinya kau sedang
menunggu seseorang! Kekasih atau teman biasa"!" Jo-ko mulai berani bertanya.
Dayang Sepuh tertawa pendek. "Kau bukan
menduga, Anak Muda! Kau mendengar dari bisikan
pemilik kedai tadi! Hik.... Hik.... Hik...! Aku memang tengah menunggu
kemunculan seseorang!"
"Kau yakin dia akan muncul di sini"! Atau kau
memang sudah sepakat untuk bertemu di sini"!"
"Seumur hidup aku tak pernah bersepakat!"
"Hem.... Barangkali kau sering melihatnya da-
tang ke kedai ini"!"
"Jika aku melihatnya, aku tidak tunggu dua
kali!" "Ah.... Mungkin kau dengar dari seseorang kalau orang itu akan muncul di
sini!" "Siapa saja yang bisa menunjukkan, aku berani
memberi imbalan besar!"
"Hem.... Orang itu musuh besarmu...?"
"Aku tidak pernah membuat permusuhan!"
"Sulit menebak!" gumam Pendekar 131 setelah merenung sejenak. "Ditebak kekasih
kurang pas. Ditebak teman biasa, nadanya mengancam. Ditebak lawan,
katanya tidak punya musuh.... Jangan-jangan dia me-
nunggu kakekku...!" Joko tertawa sendiri dalam hati.
Lalu bertanya. "Kalau kau sudah tiga hari menunggu di sini,
berarti kau merasa pasti orang itu akan muncul di si-ni. Bukankah begitu"!"
"Alam memberi ku pelajaran agar aku tidak
memastikan sesuatu!"
Tak sabar akhirnya Joko bertanya. "Siapa se-
benarnya orang yang kau tunggu"!"
"Seorang pemuda yang dikenal dengan julukan
Pendekar Pedang Tumpul 131!"
* * * DELAPAN LAKSANA disentak kekuatan dahsyat, kepala
murid Pendeta Sinting berpaling sembunyikan peruba-
han wajahnya. Deburan dadanya laksana disentak-
sentak. Dia coba mengalihkan perhatian ke belakang
di mana tadi si pemilik kedai lenyap masuk. Diam-
diam dia berkata dalam hati.
"Pasti ini masih ada kaitannya dengan urusan
gila itu! Daripada kepala makin pusing, lebih baik aku tinggalkan tempat ini!"
"Aku melihat wajahmu berubah kaku tegang!
Jangan-jangan kau mengenal orang yang baru kuka-
takan!" berkata Dayang Sepuh lalu tertawa cekikikan.
"Atau kau tegang karena melihat ketiak ku tadi, he"!"
Joko arahkan pandangannya ke arah Dayang
Sepuh. Bibirnya tersenyum. Lalu kepalanya digerak-
kan menggeleng. "Begitu kau katakan nama orang
yang kau tunggu, aku baru teringat sesuatu...."
"Apa...!" tanya Dayang Sepuh dengan suara keras. "Kakekku pernah cerita, kalau
orang yang kau sebut tadi sudah meninggal dunia pada beberapa purna-
ma yang lalu!"
Dayang Sepuh pentangkan mata besar-besar.
"Katakan di mana dia mati dan dikuburkan! Lalu siapa yang membunuhnya"!"
Joko gelengkan kepala. "Aku tidak sempat me-
nanyakannya pada Kakek. Karena aku tidak tertarik
dengan hal-hal berbau kematian.... Tapi kalau kau ingin tahu, kelak aku akan
menanyakan pada Kakek,
dan jika kita bertemu lagi, akan kukatakan padamu!"
Habis berkata begitu, Joko beranjak bangkit.
Dayang Sepuh memperhatikan dengan tangan main-
kan untaian kalung di lehernya.
"Hendak ke mana, Anak Muda"!"
"Cerita tentang Kakek membuatku teringat apa
yang harus kulakukan!" Joko melangkah ke arah pintu kedai. Namun langkahnya
tertahan tatkala dari arah
belakang tiba-tiba Dayang Sepuh angkat bicara.
"Anak muda! Aku nenek yang sudah banyak
makan pengalaman dari yang manis-manis sampai
yang terpahit! Aku tahu pasti di mana tempat yang ki-ra-kira di tongkrongi
kakekmu!" Saat Joko berpaling hendak menyahut, murid
Pendeta Sinting terkesiap. Ternyata si nenek telah satu langkah di belakangnya
dan berkata dengan bibir tersenyum lebar. "Aku ikut mencari kakekmu...."
Pendekar 131 putar tubuh. Lagi-lagi belum
sempat Joko buka mulut, si nenek telah mendahului
angkat bicara. "Apa aku kurang pantas mendampingi-mu"!" Si nenek angkat kedua
tangannya berkacak
pinggang. Lalu putar tubuhnya dua kali.
"Tapi bukankah kau menunggu seseorang..."!"
"Kau telah mengatakan orang itu sudah me-
ninggal! Apa kau kira orang yang sudah mampus bisa
muncul di sini"! Dan mendengar cerita tentang ka-
kekmu, aku jadi penasaran ingin tahu. Siapa nyana
aku ada jodoh dengan kakekmu"! Melihat cucunya
berwajah tampan, sang kakek pasti tak jauh berbe-
da...." Tidak menunggu sahutan orang, Dayang Sepuh telah melangkah maju. Tangan
kanannya tiba-tiba
menggandeng tangan Joko, lalu enak saja dia menyen-
tak hingga tubuh Joko berputar. Saat lain si nenek telah keluar dari pintu
dengan tangan menggandeng
erat-erat lengan murid Pendeta Sinting!
Yang membuat murid Pendeta Sinting heran
dan dadanya berdebar keras, bagaimanapun dia coba
lepaskan diri namun sia-sia.
Ketika si nenek dan Joko telah berada di hala-
man kedai, dari arah kedai tiba-tiba terdengar suara teriakan.
"Hai, Anak Muda...."
Joko berpaling. Di pintu kedai, si orang tua
pemilik kedai tegak dengan bibir tersenyum lalu berteriak. "Perjanjian kita
tadi! Kau bisa ambil imbalannya kapan kau mau!"
Joko tidak menyahut. Hanya dalam hati dia
mengomel. "Hari ini kau yang beruntung! Dan aku yang mendapat celaka!"
"Cucuku...! Apa kau pernah dengar selentingan
kalau kakekmu sudah punya kekasih"!" Dayang Sepuh berkata seraya menarik lengan
murid Pendeta Sinting
teruskan langkah.
Joko terpaksa tersaruk-saruk mengikuti lang-
kah si nenek. Meski dia mendengar ucapan si nenek,
namun Joko tidak menjawab. Dia seolah tenggelam
dengan apa yang akan dihadapinya. Namun beg itu,
dia sedikit merasa agak lega, karena Dayang Sepuh tidak mengenal siapa dirinya.
"Cucuku...! Mengapa kau diam tak menjawab"!"
"Cucuku! Cucuku!" kata murid Pendeta Sinting dalam hati. Lalu berkata.
"Aku tidak pernah mencampuri urusan kakek-
ku! Hanya kudengar dia akan mengawini seorang ga-
dis...!" "Ah.... Dengan begitu dugaanku tidak meleset!
Pasti kakekmu berparas jantan! Berkumis lebat, ber-
jambang keren, dan dadanya berbulu...."
"Kau salah, Nek! Kakekku kepalanya plontos
gundul! Dia memang berkumis. Tapi kumisnya bisa
dihitung dengan jari! Soal dadanya, jangankan bulu,
tempat tumbuhnya bulu hampir-hampir tidak ada! Ka-
lau jambang, dia memang berjambang. Tapi jangan ka-
get. Jika tertarik, jambangnya akan jatuh! Dia mengenakan jambang palsu!"
"Ah.... Kalau begitu, tampang kakekmu pasti
sangat lucu! Kau tahu, Cucuku.... Tampang yang lucu-
lucu begitu yang kucari selama ini...!"
"Busyet! Gawat kalau sudah begini! Hem....
Mumpung dia tidak mengenalku, ada baiknya kuta-
nyakan mengapa dia menungguku! Siapa tahu, dari
mulutnya aku bisa sedikit membuka urusan pelik yang
kuhadapi...."
Berpikir begitu, kalau tadi Joko coba lepaskan
diri dari gandengan tangan si nenek, kini justru tangan satunya memegang lengan
Dayang Sepuh. Hingga kedua orang ini melangkah sambil saling memegang len-
gan satu sama lain.
"Nek...! Kakekku biasanya tidak pernah bicara
sungguhan. Hingga aku hampir tidak percaya apakah
cerita tentang seorang pemuda yang dikatakannya su-
dah meninggal dan ternyata orang yang kau tunggu,
adalah benar adanya! Kau sendiri mengapa menunggu
pemuda itu"!"
"Cucuku...! Rupanya aku dan kakekmu benar-
benar ada jodoh! Sekarang aku tidak peduli, apakah
kakekmu akan mengawini seorang gadis atau tidak!
Aku akan merebut hati kakekmu!"
"Nek.... Apa maksudmu..."!"
"Kalau kakekmu tidak pernah bicara sunggu-
han, aku pun seharusnya demikian!" "Jadi...."
"Aku tidak menunggu seseorang! Kalaupun aku
sampai tiga hari berturut-turut berada di kedai itu, hanya karena mengikuti
suara alam!"
"Apa yang dikatakan alam padamu..."!" tanya Joko meski dengan dahi berkerut.
"Aku akan bertemu jodoh...."
"Tapi mengapa kau sebut-sebut Pendekar Pe-
dang Tumpul 131!" Dayang Sepuh hentikan langkah.
Saat itu mereka berada di satu tempat yang sejauh
mata memandang tampak hamparan ladang ubi jalar
yang sangat rapat. Si nenek berpaling menghadap mu-
rid Pendeta Sinting.
"Kulihat kau begitu tertarik sekali dengan orang itu!" "Hem.... Karena aku
pernah dengar sedikit tentang dia meski aku tidak kenal siapa dia sebenar-
nya...." "Ah.... Sayang sekali, Cucuku! Aku tidak bisa menambah pengetahuanmu
tentang orang itu! Tapi
suara alam membisikkan, kakekmu tahu banyak ten-
tang orang itu! Untuk itulah mengapa aku berkata,
aku ada jodoh dengan kakekmu!"
"Suara alam lagi, suara alam lagi!" desis murid Pendeta Sinting. "Bagaimana
sekarang" Aku harus dapat lepaskan diri dari nenek ini! Tak mungkin aku
membawanya ke hadapan Eyang Guru! Urusannya
akan jadi makin panjang dan tak karuan! Apalagi jika
Nenek Ni Luh Padmi masih ada bersama Eyang
Guru.... Bisa-bisa kedua nenek ini akan saling pentang tangan adu jiwa!"
"Nek...! Kau bersungguh-sungguh hendak ikut
mencari kakekku"!" tanya Joko setelah agak lama berpikir. "Jodoh telah di depan
mata! Lautan luas akan ku arungi. Gelombang badai akan ku langkahi. Koba-ran api
pun akan ku seberangi. Apakah itu belum
membuatmu yakin"!"
Joko cengar-cengir meski dadanya makin dis-
arati pikiran-pikiran yang membuatnya makin gelisah.
"Nek.... Kalau kau benar-benar ingin ikut mencari, bagaimana kalau kita
berpencar saja" Lima hari di muka kita jumpa lagi di dekat kedai tadi.... Kalau
kita sama-sama gagal menemukan, aku akan mengajak mu ke
tempat kakekku!"


Joko Sableng 19 Kembang Darah Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cucuku...! Kau memang telah katakan siapa
nama kakekmu, kau juga telah katakan ciri-cirinya.
Namun rasanya sulit bagiku mengenalinya! Mungkin
ada orang yang serupa dengan kakekmu, tapi bukan
dia! Kalau itu nanti yang kutemui, apa kau tidak akan menyesal"!"
"Kau bisa menanyakan padanya kalau aku juga
sedang mencarinya. Kalau dia mengenalku, berarti di-
alah orangnya! Kau tak usah ragu-ragu lagi!"
"Cucuku...! Seorang laki-laki, kalau sudah tertarik dengan perempuan, apa pun
akan dilakukan!
Maksud ku, seandainya aku jumpa dengan orang yang
mirip kakekmu tapi sebenarnya bukan. Lantas dia ja-
tuh cinta padaku.... Dia mengatakan kenal denganmu
dan sialnya aku juga tertarik padanya. Apa jadinya
nanti"! Kau tahu, Cucuku.... Selama ini banyak kakek-kakek yang menaruh hati
padaku. Bahkan pemuda-
pemuda pun banyak juga yang coba-coba mendekati-
ku.... Tapi, Cucuku.... Sejak suara alam membisikkan padaku, terus terang aku
jatuh cinta pada kakekmu...!" "Edan! Rupanya yang kuhadapi kali ini lebih gi-la
dari dua yang sebelumnya!"
"Jadi...." Si nenek lanjutkan ucapannya sambil melangkah lagi. Namun kali ini
Joko tidak lagi menggandeng lengan si nenek. "Daripada aku salah jatuh cinta,
lebih baik kita terus mencari bersama-sama!
Atau kau ingin berpencar karena melihat dandan ku
kurang aduhai..."!" Si nenek lepaskan gandengan tangannya pada lengan murid
Pendeta Sinting. Kedua
tangannya terangkat rapikan kepangan rambutnya lalu
menatap poni di depan keningnya. Saat lain dia kebut-kebutkan kedua tangannya
pada bajunya yang
cingkrang dan celana pendeknya ditarik-tarik sedikit ke bawah seakan malu
pahanya yang gelap terlihat.
Kalau saja Joko tidak sedang menghadapi uru-
san aneh dan memusingkan kepalanya, tentu dia su-
dah akan meledak tawanya melihat tingkah nenek di
sampingnya. Apalagi saat bersamaan, si nenek putar
tubuh membelakangi. Dari saku bajunya nenek ini
mengeluarkan bungkusan kecil yang ternyata berisi
serbuk berwarna merah. Si nenek angkat wajah sedi-
kit, lalu jari telunjuknya diusap-usapkan pada serbuk merah dan tak lama
kemudian diangkat ke wajahnya.
Murid Pendeta Sinting tak tahu apa yang dilakukan si nenek. Yang dilihatnya,
begitu si nenek balikkan tubuhnya lagi, bibirnya makin merah menyala. Sementa-
ra pada bagian kiri pipinya tampak rona warna merah!
Namun karena kulit wajahnya gelap, rona warna me-
rah pada kedua pipinya membuat wajahnya makin jadi
angker! "Cucuku.... Kita lanjutkan perjalanan cinta
ini...!" "Untuk sementara aku akan mengikutinya sambil cari jalan untuk
lolos.... Siapa tahu pula dia nanti mau katakan apa sebenarnya yang membuatnya
menungguku! Aku pikir, dia menyimpan sesuatu...."
Berpikir begitu, akhirnya Joko melangkah men-
gikuti langkahan Dayang Sepuh yang sambil berjalan
terus menerus menata poni rambutnya yang tersibak
terkena hembusan angin.
* * * SEMBILAN TIDAK lama setelah murid Pendeta Sinting ber-
lalu bersama Dayang Sepuh dari kedai, dari jurusan
barat tampak satu sosok tubuh melangkah ke arah
kedai. Orang ini hentikan langkah di halaman kedai.
Memandang sejurus ke dalam ruangan kedai lalu per-
lahan-lahan melangkah mendekat.
Si pemilik kedai buru-buru melangkah mende-
kati. "Hem.... Untung pemuda itu tadi berhasil membawa si nenek berdandan
seronok. Kalau tidak, pasti
orang ini pun akan balik langkah...." Si pemilik kedai sejurus beliakkan mata
memandang orang di depan
pintu. "Hem.... Gadis cantik.... Kalau saja tiap hari ada gadis begini yang
datang, kedaiku pasti akan makin ramai pengunjung...."
"Silakan.... Silakan masuk...," kata si pemilik kedai dengan senyum lebar. Orang
yang disapa terse-
nyum lalu luruskan langkah memasuki kedai. Dia ada-
lah seorang gadis berparas cantik jelita. Mengenakan pakaian warna merah.
Rambutnya dikuncir ekor kuda
hingga lehernya yang jenjang dan putih terlihat jelas.
Si gadis memesan makanan lalu melangkah
mencari tempat duduk membelakangi halaman kedai.
Si pemilik kedai tersenyum-senyum lalu cepat menghi-
lang di belakang. Dan tak lama kemudian muncul lagi
dengan membawa pesanan si gadis.
"Hem.... Sebenarnya Anak Muda tadi sepantas-
nya berpasangan dengan gadis ini.... Bukan dengan
nenek yang umbar pusar serta ketiaknya! Masih lu-
mayan kalau kulitnya putih mulus. Hem.... Sudah ku-
litnya gelap, bulu ketiaknya bergerombolan! Bau lagi!"
Si pemilik kedai tanpa sadar bergidik sambil terse-
nyum. Tapi wajahnya jelas membayangkan perasaan
ngeri dan geli.
"Ada sesuatu yang salah dengan ku..."!" bertanya si gadis baju merah tatkala
melihat gidikan pada raut wajah si pemilik kedai.
Yang ditanya buru-buru gelengkan kepala sam-
bil tersenyum. Entah karena tidak mau menyinggung
perasaan pengunjung kedainya, si orang tua berkata.
"Baru saja ada kejadian yang lucu! Tapi men-
guntungkan bagi kedaiku...." Tanpa diminta, si pemilik kedai menceritakan
kejadian yang baru saja berlangsung. Si gadis tampak tersenyum mendengar cerita
si orang tua. "Untungnya pemuda itu suka canda dan ko-
nyol.... Dan herannya si nenek seronok itu tiba-tiba berubah sikap. Dia begitu
ramah dan selalu senyum-
senyum begitu bertemu si pemuda! Malah keduanya
saling bergandengan tangan saat keluar dari sini...."
"Bisa gambarkan ciri-ciri si pemuda yang
menggaet hati nenek itu"!" Iseng si gadis bertanya sambil mengunyah makanan di
hadapannya. "Parasnya tampan. Rambutnya segini!" Si pemilik kedai lintangkan tangan di atas
pundaknya. "Rambutnya sedikit acak-acakan. Mengenakan ikat kepala
warna putih. Baju dan celananya juga berwarna putih.
Matanya tajam meski dia sangat ramah dan banyak
omong...."
Si gadis tiba-tiba hentikan gerakan mulutnya
yang mengunyah. Dahinya berkerut. "Mendengar ciri-ciri yang dikatakan orang tua
itu, jangan-jangan dia....
Ah. Tapi mungkin saja orang lain yang sama...."
Menangkap sikap si gadis, si pemilik kedai ter-
mangu sejenak. "Jangan mudah tertarik.... Meski dia pemuda tampan dan sepintas
serasi denganmu, namun aku menduga dia bukan pemuda yang cocok un-
tuk di jadikan teman hidup! Aku laki-laki dan tahu sedikit tentang perangai
laki-laki. Pemuda yang kuceritakan tadi tampaknya orang yang mudah jatuh cinta,
meski hal itu bisa sedikit menolong kedaiku...."
"Mungkin dengar pemuda tadi sebutkan na-
ma...?" tanya si gadis.
"Telingaku sudah agak berkurang. Lagi pula
aku berada di belakang saat keduanya berbincang-
bincang. Namun aku lamat-lamat masin dengar dia
sebutkan nama Joko.... Entah Joko apa, aku sudah ti-
dak mendengarnya lagi...."
Kali ini si gadis tak dapat lagi sembunyikan pe-
rubahan raut wajahnya. Si pemilik kedai kernyitkan
kening. "Kau pernah bertemu dengannya"! Kau harus berhati-hati...," ujar si
orang tua. "Ke mana mereka pergi"!" Si gadis ajukan
tanya. Si orang tua memandang sejurus pada si pe-
nanya. Sambil menggeleng perlahan tangannya me-
nunjuk pada satu arah. Namun mendadak si orang tua
tarik pulang tangannya laksana disentak setan. Sepa-
sang matanya mendelik menyipit. Mulutnya hendak
berkata namun tidak ada suara yang terdengar.
"Ada apa..."!" Si gadis bertanya heran.
"Dia.... Dia muncul lagi...." Terbata-bata si pemilik kedai berucap. Namun di
lain saat dia bisa te-
nangkan gejolak. Dia tersenyum sambil berkata.
"Mungkin dia mau ambil imbalan yang kujanji-
kan.... Aku tadi terkejut. Kukira dia muncul bersama si nenek. Tak tahunya dia
sendirian...."
Belum sampai ucapan si orang tua selesai, si
gadis telah beranjak bangkit lalu putar tubuh dengan mata memandang ke arah mana
si orang tua tadi menunjuk. Seorang pemuda berwajah tampan berambut
sedikit acak-acakan yang diikat dengan ikat kepala
warna putih tampak melangkah perlahan-lahan menu-
ju arah kedai. Pemuda ini sempat hentikan langkah
tatkala merasa dirinya diperhatikan dua orang dari dalam kedai. Sejenak paras si
pemuda berubah. Tapi saat lain bibirnya telah tersenyum seraya lanjutkan
langkah. "Joko...." Si gadis berbaju merah bergumam.
Si pemilik kedai berpaling. "Hem.... Rupanya
kau telah mengenalnya.... Kuharap kau tidak menceri-
takan apa yang tadi kukatakan padamu! Aku tadi
hanya menduga-duga tanpa punya prasangka apa-
apa...." Paras wajah si pemilik kedai tampak merah padam. Si gadis tersenyum
sambil gelengkan kepala.
"Tidak usah gelisah.... Justru aku berterima kasih karena kau telah memberi
nasihat padaku. Hanya mung-
kin dugaanmu tentang pemuda ini keliru.... Aku sedi-
kit banyak telah mengenalnya...."
"Hemm.... Pemuda temanmu itu telah meno-
longku. Untuk itu kau pun kali ini kubebaskan mem-
bayar...."
Si gadis berbaju merah menggeleng. "Urusanku
denganmu lain dengan urusannya denganmu.... Aku
tidak akan membiarkan sesuap nasi yang ku makan
ku peroleh dengan cuma-cuma...."
Si pemilik kedai tidak menyahut. Dia segera
berlalu ke belakang. Saat si pemilik kedai lenyap di ruangan belakang, si pemuda
yang tadi berada di luar telah tegak di pintu kedai dan edarkan pandangannya
ke bagian dalam.
Sepasang matanya tampak sedikit terbeliak
tatkala membentur pada sosok gadis berbaju merah.
Di lain pihak, si gadis memandangnya dengan bibir
tersenyum. Namun senyum si gadis mendadak putus
tatkala ditunggu agak lama si pemuda tidak juga buka suara menyapa. Dia hanya
memandang dan tampak
gugup. "Heran.... Apa dia lupa padaku..."! Padahal pertemuan itu belum lama
sekali.... Atau ada perubahan
pada diriku hingga dia tidak ingat"!" Si gadis membatin seraya tundukkan kepala
perhatikan dirinya.
Si pemuda teruskan langkah lalu duduk di se-
buah bangku yang berseberangan dengan gadis berba-
ju merah. Sesekali matanya melirik dengan dahi berkerut.
"Aku yakin benar kalau dia adalah Joko Sab-
leng Pendekar 131!" Si gadis kembali berkata sendiri dalam hati. "Hem.... Aku
sengaja meninggalkan Guru hanya untuk mencarinya.... Tapi rasanya percuma saja
perjalananku ini kalau orang yang kucari sudah kute-
mukan namun tak mengenalku lagi.... Hem.... Ru-
panya nasihat orang tua tadi ada benarnya.... Tapi kurasa adalah aneh kalau dia
berubah demikian cepat.
Atau sebaiknya aku menegur dahulu"!"
Si gadis berbaju merah arahkan pandangannya
pada si pemuda. Mulutnya membuka hendak berkata.
Namun saat lain tiba-tiba si gadis urungkan bicara.
Dia tampak ragu-ragu. Sementara di seberang sana si
pemuda tampak tersenyum sambil anggukkan kepala,
membuat keraguan si gadis lenyap. Dia kembali buka
mulut lalu berkata.
"Kau.... Kau Joko, bukan..."!"
Yang ditanya mengernyit lalu tersenyum lebar.
"Tidak salah...," katanya seraya beranjak bangkit dan melangkah ke arah si
gadis. Namun pandangannya ke
jurusan lain jauh ke halaman kedai.
"Maaf...," kata Joko begitu dekat dengan tempat duduk gadis berbaju merah.
"Akhir-akhir ini banyak urusan yang membuat kepalaku pusing. Hingga jangankan
kau, orang yang sudah kukenal betul kadang-
kadang aku jadi tidak ingat...."
"Hem.... Menurut yang kudengar, akhir-akhir
ini memang dia sedang terlibat dalam urusan besar.
Aku maklum kalau dia lupa padaku.....Padahal apa dia tahu kalau selama ini aku
tidak bisa melupakannya....
Atau jangan-jangan ada gadis lain yang membuatnya
lupa pada orang yang pernah dikenalnya.... Ah, dia
seorang pendekar. Tugas menyelamatkan rimba persi-
latan akan dijadikan tujuan utama daripada yang
lainnya!" Berpikir begitu, akhirnya gadis berbaju merah
buka mulut lagi.
"Aku Dewi Seribu Bunga...."
"Ah.... Aku ingat sekarang...," ujar Joko lalu
duduk di depan gadis berbaju merah yang baru saja
sebutkan nama Dewi Seribu Bunga.
"Tidak disangka kalau kita jumpa di sini.... Aku tadi sebenarnya sudah menduga-
duga. Aku yakin benar telah mengenalmu! Aku hanya mencoba, apakah
kau masih ingat padaku...."
Dewi Seribu Bunga tersenyum. "Sifatnya tidak
berubah! Jadi dia tadi hanya pura-pura tidak mengen-
al ku.... Dasar sableng!"
"Pendekar 131...."
Joko lintangkan telunjuk jari tangan pada bi-
birnya membuat Dewi Seribu Bunga tidak lanjutkan
ucapannya. "Dewi.... Harap panggil namaku saja...."
"Hem.... Aku dengar kau memang sedang
menghadapi urusan besar. Aku baru saja keluar dari
Putera Sang Naga Langit 1 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Pedang Sinar Emas 2
^