Pencarian

Kidung Maut Bulan Purnama 1

Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama Bagian 1


--------------------------------------------------------------------------------
--------------------
SATU --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
UKAN hanya Ratu Pemikat dan Pendekar 131 yang
terkejut besar, namun Dewi Siluman juga terlihat
B pentangkan mata sambil perdengarkan dengusan
keras. Malah karena merasa orang mencampuri urusan-
nya, perempuan berjubah hitam panjang ini segera angkat kedua tangannya. Tapi
sadar kalau tindakannya terlambat, akhirnya perempuan anak Daeng Upas ini
urungkan niat lepaskan pukulan, tapi kedua tangannya tetap di atas udara.
Di lain pihak, Ratu Pemikat cepat bergerak hendak
menghadang laju sosok tubuh orang yang secara men-
dadak lakukan serangan pada murid Pendeta Sinting yang ternyata adalah perempuan
bercadar putih. Tapi gerakan Ratu Pemikat juga terlambat. Hingga sosok perempuan
bercadar putih terus melaju bersamaan dengan meng-
hamparnya gelombang dahsyat ke arah Joko!
Seperti diketahui, saat murid Pendeta Sinting dan Ratu Pemikat bercumbu mendadak
muncul Dewi Siluman. Dan
ternyata di tempat itu bukan hanya ada Dewi Siluman. Tapi juga ada perempuan
bercadar putih yang sebenarnya
sudah sejak tadi berada di balik batu. Dewi Siluman akan membebaskan Joko dan
Ratu Pemikat. Tapi dengan syarat murid Pendeta Sinting harus menyerahkan Pedang
Tumpul 131 dan dua kitab ditangannya. Yang dimaksud Dewi
Siluman dengan kedua kitab tidak lain adalah Kitab Serat Biru dan Kitab Sundrik
Cakra. Tapi begitu Dewi Siluman ulurkan kedua tangannya
meminta dengan kepala mendongak, dan di pihak lain
murid Pendeta Sinting serta Ratu Pemikat bersiap-siap akan berkelebat loloskan
diri, tiba-tiba saja perempuan bercadar putih sudah melesat lakukan serangan
pada Pendekar 131 (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : "Bidadari Cadar Putih").
Merasa orang telah lepaskan pukulan padanya, murid
Pendeta Sinting tidak tinggal diam. Seraya melompat
mundur hindari gelombang, kedua tangannya didorong ke depan.
Terdengar debuman. Sosok perempuan bercadar putih
yang melesat di belakang pukulannya sesaat tampak
tertahan. Namun belum sampai suara debuman lenyap,
sosoknya telah melaju kembali ke arah Joko dengan kedua tangan berkelebat.
Joko tidak mau bertindak ayal. Kedua tangannya
diangkat dipalangkan di atas kepala.
Bukkk! Bukkk! Dua benturan keras terdengar. Joko sempat mundur
satu tindak. Di depannya perempuan bercadar putih tarik pulang kedua tangannya
yang baru saja bentrok dengan kedua tangan Joko. Sosoknya bergetar. Tapi
perempuan ini rupanya tidak mau memberi kesempatan. Baru saja kedua kakinya
menjejak tanah, kedua tangannya kembali
lepaskan pukulan. Malah jelas terlihat kalau tenaga yang dikerahkan lebih besar
dari pukulannya yang pertama.
Mendapati hal demikian, Dewi Siluman sentakkan kaki
kanannya ke atas tanah. Kedua tangannya yang berada di atas udara cepat
disentakkan ke arah perempuan bercadar putih.
Melihat apa yang dilakukan Dewi Siluman, niat awal
Ratu Pemikat yang hendak berkelebat tinggaikan tempat itu berubah. Dia menduga
Dewi Siluman hendak
mengeroyok murid Pendeta Sinting. Hingga begitu kedua tangan Dewi Siluman
bergerak, perempuan berparas cantik ini segera menghadang dengan lepaskan
pukulan. Di seberang sana, murid Pendeta Sinting juga cepat
angkat kedua tangannya lalu disentakkan ke depan
memangkas pukulan perempuan bercadar putih.
Terdengar benturan dua kali berturut-turut. Satu akibat bentroknya pukulan
perempuan bercadar putih dengan
pukulan yang dilepas murid Pendeta Sinting, satunya
berasal dari bertemunya pukulan Dewi Siluman dan Ratu Pemikat.
Sosok murid Pendeta Sinting sesaat tampak bergetar.
Wajahnya berubah. Sejarak enam langkah di hadapannya, sosok perempuan bercadar
putih terlihat bergoyang-goyang. Sementara di sebelah belakang kedua orang ini,
sosok Dewi Siluman tegak dengan mata mendelik angker.
Tujuh langkah di hadapannya, Ratu Pemikat memandang
tajam ke dalam bola mata Dewi Siluman dengan bibir
sunggingkan senyum seringai.
Karena dari wajah orang di hadapannya yang terlihat
hanya sepasang matanya, maka untuk beberapa lama
Pendekar 131 arahkan pandangan pada bola mata orang.
Yang dipandang balas menatap. Murid Pendeta Sinting
tidak melihat adanya keangkeran di kedua bola mata
orang. Malah sepasang mata itu tampak memandang sayu dan agak sembab!
"Aneh.... Siapa perempuan ini adanya"! Matanya
sembab seperti orang baru menangis! Tapi mengapa itu kupikirkan" Dia baru saja
hendak membuatku celaka!"
membatin Joko. Lalu kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya ketika dilihatnya
perempuan bercadar putih gerakkan kedua tangannya terangkat ke atas.
Namun untuk beberapa saat perempuan bercadar putih
terdiam. Jelas sikapnya menunjukkan kalau dia bimbang.
Bahkan kedua matanya memandang ke jurusan lain!
Joko kerutkan dahi. Mulutnya bergerak hendak per-
dengarkan suara. Namun sebelum suaranya terdengar,
perempuan bercadar putih telah sentakkan kedua
tangannya. Bersamaan dengan itu sosoknya berkelebat
menjauh. Tindakan perempuan bercadar putih membuat murid
Pendeta Sinting sedikit heran.
"Dia berkelebat menjauh. Ada yang tak beres dengan perempuan ini...."
Joko cepat dorong kedua tangannya memangkas
pukulan yang dilepas si perempuan bercadar putih. Lalu berkelebat ke arah si
perempuan. Kembali tempat itu dibuncah ledakan tatkala pukulan
perempuan bercadar putih dipangkas pukulan Joko.
"Siapa kau sebenarnya"!" tanya Joko begitu sosoknya tegak di hadapan si
perempuan bercadar putih.
Yang ditanya tidak perdengarkan jawaban. Hanya
sepasang matanya yang memandang sayu. Lalu kepalanya bergerak menggeleng
perlahan, membuat Joko makin
heran. "Aku tahu. Kau datang sebelum perempuan berbaju biru itu! Kau mengejarku
terlebih dahulu! Apa maksudmu..."!"
Pertanyaan Joko membuat perempuan bercadar putih
lebarkan sepasang matanya. "Jadi dia sebenarnya tahu kalau aku berada di sekitar
tempat ini! Tapi mengapa dia berpeluk cium seakan tidak pedulikan adanya orang"!
Apakah sifatnya memang begitu...?" Si perempuan bercadar putih menghela napas.
Seperti diketahui, saat perempuan bercadar putih
berada sendirian, tiba-tiba matanya menangkap satu sosok yang berkelebat. Tanpa
pikir siapa adanya orang,
perempuan bercadar putih segera berkelebat mengejar.
Namun yang dikejar ternyata adalah murid Pendeta Sinting menghilang. Di lain
pihak, sebenarnya Joko sendiri sudah merasa kalau langkahnya diikuti orang.
Hingga pada satu tempat, dia segera berkelebat cepat lalu menyelinap
sembunyi. Saat itu Joko memang sedikit agak heran
karena dia tahu jelas kalau orang yang mengikutinya masih berada jauh di
belakang. Namun sebelum dia berkelebat dan menyelinap, dia merasa orang telah
tidak jauh lagi di belakangnya. Anehnya, begitu Joko sembunyi, dia tidak lagi
menangkap adanya orang. Dan beberapa saat kemudian,
muncullah Ratu Pemikat.
Waktu Joko keluar dari tempat persembunyiannya dan
berseru, sebenarnya dia masih merasa bimbang apakah
masih ada orang lain selain Ratu Pemikat di tempat itu.
Namun kebimbangan Joko mulai lenyap tatkala matanya
tidak menangkap orang lain selain Ratu Pemikat. Dan dia benar-benar jadi lupa
pada kecurigaannya semula ketika terlibat perbincangan dengan Ratu Pemikat,
apalagi begitu si perempuan cantik ini perlahan-lahan telah dapat
menggelorakan gejolaknya.
Mendapati perempuan bercadar putih tidak menjawab,
Joko ajukan tanya lagi.
"Kau temannya perempuan berbaju biru itu"! Lalu kalian berdua bersandiwara di
hadapanku"! Atau kau berkomplot dengan perempuan bergelar Dewi Siluman itu
hah"!"
Dari orang yang ditanya, yang terlihat menunjukkan
perubahan hanyalah pandangan sepasang matanya.
Sepasang bola mata itu kini sedikit membelalak tajam.
"Aneh...," gumam Joko melihat sikap orang di hadapannya. "Ditanya siapa dirinya
menggeleng! Ditanya apa maksudnya diam! Dibilang teman dan komplotannya
malah mendelik!" Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala.
Lalu enak saja dia teruskan gumamannya. "Jangan-jangan kau nenek-nenek yang suka
mengejar pemuda...."
Mata milik perempuan bercadar putih makin mendelik.
Bahkan saat itu juga terdengar gumaman tidak jelas.
Namun sejauh ini si perempuan belum juga perdengarkan suara, membuat Joko buka
mulut lagi. "Nek! Katakan saja terus terang apa maumu!"
Dipanggil Nenek, mata perempuan bercadar putih
mengerjap. Lalu terdengarlah suaranya. Sangat pelan
namun masih jelas di telinga murid Pendeta Sinting.
"Di sini bukan tempatnya bertanya jawab apalagi bersenda gurau!"
"Hem.... Lalu tempatnya apa"!"
"Kau masih mengkhawatirkan jiwa kekasihmu
perempuan cantik berbaju biru itu"!"
"Eh.... Kenapa dia tanyakan itu..." Nada suaranya seperti cemburu! Tapi, astaga!
Mengapa aku terlalu gede rasa pada ucapan orang...?" Joko diam-diam bertanya
jawab dengan batinnya sendiri. Lalu berujar.
"Dia bukan kekasihku. Dia hanyalah seorang sahabat!
Jadi...." "Jangan terlalu banyak bicara!" tukas perempuan bercadar putih. "Aku tanya
sekali lagi. Kau masih mengkhawatirkan jiwa perempuan itu"!"
Joko terdiam sesaat. Dia melirik sejenak pada Ratu
Pemikat yang saat itu terlihat masih saling perang pandang dengan Dewi Siluman.
"Pura-puralah menghindar dari pukulanku! Kau masih punya tugas lebih besar di
depan sana!" ujar perempuan bercadar putih masih dengan suara perlahan, membuat
Joko terlengak.
Belum hilang rasa kaget Joko, perempuan bercadar
putih telah sentakkan kedua tangannya ke arah Joko.
Satu gelombang luar biasa dahsyat menghampar. Joko
masih berpikir sejurus tentang ucapan si perempuan. Lalu cepat-cepat keluarkan
bentakan sambil berkelebat untuk hindarkan diri. Gelombang dari kedua tangan si
perempuan lewat menggebrak udara kosong di mana tadi murid
Pendeta Sinting berada.
Begitu Joko injakkan sepasang kakinya, perempuan
bercadar putih telah berkelebat mengejar. Lalu dari jarak dua belas langkah,
kembali si perempuan lepaskan
pukulan. Kali ini Joko tidak tinggal diam. Dia pun segera sentakkan kedua
tangannya. Tapi pukulannya sengaja
diarahkan ke satu tempat yang tidak bertubrukan dengan pukulan yang dilepas
perempuan bercadar putih. Pada
saat yang sama, sosoknya berkelebat menjauhi tempat di mana Ratu Pemikat dan
Dewi Siluman berada.
Di pihak lain, antara Ratu Pemikat dan Dewi Siluman
untuk beberapa saat keduanya saling perang pandang.
Namun diam-diam kedua perempuan ini saling bertanya-
tanya sendiri dalam hati tentang siapa adanya parampuan bercadar putih dan
mengapa tiba-tiba lepaskan pukulan ke arah murid Pendeta Sinting. Malah hampir
berbarengan kedua orang ini saling lirikkan mata masing-masing ke arah perempuan
bercadar putih yang terlihat masih lepaskan pukulan setelah sejenak mereka
mendengar pertanyaan-pertanyaan Joko yang tidak mendapat jawaban dari si
perempuan. Tapi ingat akan tindakan Ratu Pemikat yang
menghadang di depannya, Dewi Siluman lupakan sejenak tentang perihal siapa dan
apa maksud si perempuan
bercadar putih. Kegeraman perempuan berjubah hitam
panjang ini memuncak.
"Di Pulau Biru kau berhasil lolos! Tapi jangan harap kali ini kau bisa berbuat
sama, Perempuan Binal!" Dewi Siluman membentak sambil angkat tangannya.
Dada Ratu Pemikat yang sejak tadi sudah mendidih
dengan ucapan-ucapan Dewi Siluman makin menggelegak.
Tapi tiba-tiba perempuan cantik bertubuh bahenol ini teringat akan pertemuan
yang telah diaturnya.
"Hem.... Pengorbananku hanya akan sia-sia kalau aku melayani perempuan jahanam
ini!" Ratu Pemikat berpikir sejenak.
"Dewi Siluman!" kata Ratu Pemikat. "Bukankah sebenarnya di antara kita tidak ada
silang sengketa"
Malah bukankah kita pernah saling membantu di Pulau
Biru"!"
Seperti diketahui, antara Ratu Pemikat dan Dewi
Siluman memang pernah saling membantu saat terjadi
peristiwa di Pulau Biru. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode: "Neraka Pulau Biru").
Dewi Siluman tertawa pendek mendengar ungkapan
Ratu Pemikat. Karena dia paham benar kenapa saat di
Pulau Biru mengajak Ratu Pemikat saling bantu dan tahu pula apa yang akan
dilakukan pada Ratu Pemikat
seandainya dia dapat mengatasi lawan-lawannya saat itu, maka dengan nada
mengejek, dia buka suara.
"Hem.... Apa yang ada di balik ucapanmu, Perempuan Binal"! Kau kira aku tidak
tahu apa yang ada dalam
benakmu, he"!"
Ratu Pemikat tersenyum meski dipaksakan. "Kau masih menginginkan barang yang kau
minta tadi"!" Ratu Pemikat kali ini lantas tertawa pendek dan tanpa menunggu
jawaban orang, dia teruskan ucapannya. "Kau kira pemuda itu akan memberikan
begitu saja apa yang kau minta"!
Buang jauh-jauh impian itu!"
"Kau akan saksikan benar tidaknya ucapanmu saat ini juga!"
Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Percuma kau lakukan itu! Kau hanya akan menelan
kecewa untuk kedua kalinya.
Bahkan mungkin kekecewaan yang terakhir kali! Karena nyawamu akan melayang
sendiri! Meski saat ini dia
sendirian, tapi apa yang dimilikinya saat ini tidak lebih rendah dibanding saat
dia di Pulau Biru yang dibantu beberapa temannya! Kedua kitab di tangannya...."
"Keparat!" potong Dewi Siluman. "Kau tak perlu memberi banyak keterangan!"
"Kau mungkin belum tahu...!" ujar Ratu Pemikat kalem.
"Seandainya saja aku menginginkan Pedang Tumpul 131
dan kedua kitab di tangannya, bagiku semudah mencabut rumput di padang luas!
Bahkan memutus nyawanya
sekaligus bagiku tidak sesulit membalik telapak tangan!
Tapi aku tidak melakukannya! Kau tahu apa sebabnya"!"
Dewi Siluman terdiam. Dari apa yang tadi dilihatnya, apa yang baru saja didengar
dari mulut Ratu Pemikat membuat Dewi Siluman mau tak mau harus sedikit
membenarkan ucapan perempuan berbaju biru tipis itu. Dan pertanyaan Ratu Pemikat membuat


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Siluman penasaran meski dia tadi masih sempat mendengar perbincangan antara
Ratu Pemikat dan Pendekar 131 yang sebut-sebut sebuah
pertemuan dan sebuah Kitab Hitam. Hingga pada akhirnya dia buka mulut juga.
"Aku memberi kesempatan padamu menjawab sendiri pertanyaan mu!'
"Pada purnama ini akan ada satu pertemuan di Kedung Ombo! Sebelum kulanjutkan
keteranganku, mau jawab
satu pertanyaanku"!" tanya Ratu Pemikat seraya melirik pada Pendekar 131 yang
saat itu tampak masih berkelebat menghindar dari pukulan yang dilepas perempuan
bercadar putih.
Setelah melirik pula pada murid Pendeta Sinting, Dewi Siluman berkata.
"Apa yang kau tanyakan"!" Suaranya masih terdengar ketus.
"Kau pernah mendengar sebuah kitab sakti bernama Kitab Hitam"!"
"Hem.... Meski aku mendengar selentingan tapi aku belum yakin benar akan adanya
kitab itu!" kata Dewi Siluman dalam hati. Tapi karena tidak mau dikira tak
banyak tahu tentang apa yang terjadi dalam dunia
persilatan, walau dia masih belum tahu benar tentang seluk beluk Kitab Hitam,
Dewi Siluman akhirnya menjawab.
"Apa yang terjadi dalam dunia persilatan, tak akan luput dari tanganku!"
"Hem.... Lalu apakah kau juga telah tahu, siapa gerangan orang yang beruntung
mendapatkannya"!"
Karena Dewi Siluman tidak juga buka mulut memberi
jawaban, Ratu Pemikat telah maklum kalau sebenarnya
Dewi Siluman tidak tahu banyak mengenai kitab itu.
Namun Ratu Pemikat tidak mau bicara mengejek. Dia
cepat memutar otak dan tahu bagaimana harus bertindak.
"Itulah mengapa sebabnya aku tidak lagi menginginkan kedua kitab serta Pedang
Tumpul 131 sekaligus nyawa
Pendekar 131 saat ini, meski hal itu tidak terlalu sulit bagiku!"
"Kau terlalu bicara berbelit! Katakan saja terus terang!"
"Kitab Hitam telah jatuh ke tangan seseorang yang aku yakin hanya Pendekar 131
yang dapat mengalahkannya!"
"Peduli setan siapa orang yang mendapatkan Kitab Hitam! Yang pasti Pedang Tumpul
131 dan kedua kitab di tangan Pendekar 131 harus kuambil sekarang juga!"
"Kau kira bagimu masih mudah mengambil dari tangannya"!" Ratu Pemikat kembali
tertawa pendek sambil gelengkan kepala. "Kusarankan padamu. Tunggulah sampai
urusan di Kedung Ombo selesai! Dan aku akan
mengambilkan untukmu apa yang kau inginkan dari tangan Pendekar 131!"
"Ucapan perempuan binal sepertimu mana bisa
dipercaya"!"
Ratu Pemikat masih menekan perasaan. Lalu berkata
sambil tersenyum.
"Pedang Tumpul 131 dan kedua kitab di tangannya tidak ada lagi gunanya bagiku!
Kalaupun saat ini aku mem-biarkan dia hidup, waktunya hanya sampai purnama ini!"
"Hem.... Jadi kau menginginkan Kitab Hitam itu"!"
"Benar!" sahut Ratu Pemikat berterus terang. "Saat ini kita saling bergantung!
Dan aku menawarkan kesempatan baik padamu!"
"Apa maksudmu"!"
"Aku tak akan dapat memiliki Kitab Hitam tanpa
Pendekar 131! Dan kau tidak akan bisa mendapatkan
Pedang Tumpul 131 serta kedua kitab itu tanpa aku!"
Dewi Siluman arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting yang terus berkelebat sambil sesekali keluarkan bentakan dan
makin lama makin agak menjauh.
Perempuan ini sejurus memikirkan kebenaran ucapan Ratu Pemikat. Namun jelas
pandangannya masih tampak kalau dia dilanda kebimbangan. Malah dia terlihat
hendak berkelebat begitu mendapati perkelahian antara perempuan bercadar putih
dan Pendekar 131 telah jauh berada di seberang sana.
Namun Ratu Pemikat cepat-cepat menghadang sambil
berkata. "Kurasa dia hendak loloskan diri! Jangan dikejar!"
"Aku tidak percaya dengan semua keteranganmu tadi!"
bentak Dewi Siluman.
"Kalau begitu terserah! Silakan kau mengejar dan antarkan nyawa! Asal kau tahu,
dia bukan lagi orang yang sama seperti waktu berada di Pulau Biru!"
"Peduli setan!" sentak Dewi Siluman. Namun meski nada ucapannya seolah tidak
pedulikan saran Ratu Pemikat, tapi dia tidak juga lakukan gerakan apa-apa.
"Tunda keinginanmu sampai purnama ini! Bukankah purnama hanya tinggal delapan
hari lagi"! Begitu Kitab Hitam telah berpaling ke tanganku, aku akan ambilkan
barang yang kau inginkan! Bukankah itu adil" Lagi pula kita akan sama-sama
memperoleh barang yang kita inginkan
tanpa harus keluarkan tenaga!"
"Kau yakin Pendekar 131 akan muncul di Kedung
Ombo"! Tadi kudengar...."
"Betul! Dia tadi memang mengatakan tidak akan hadir pada pertemuan di Kedung
Ombo...!" kata Ratu Pemikat menukas ucapan Dewi Siluman. "Tapi aku yakin dia
akan muncul di sana!"
"Bagaimana kau punya keyakinan begitu"!"
"Sebenarnya sejak semula Pendekar 131 telah mencari-cari Kitab Hitam. Bukan
maksud untuk memilikinya,
melainkan untuk memusnahkannya! Dia kini telah tahu
kalau Kitab Hitam telah berada di tangan seseorang. Dan orang yang telah
memiliki Kitab Hitam itu akan muncul di Kedung Ombo! Apakah menurutmu dia akan
sia-siakan kesempatan ini"!"
"Apa kata-katanya bisa dipercaya" Apa dia tidak punya maksud tertentu di balik
ucapannya..."!" Dewi Siluman masih ragu-ragu.
Saat itulah tiba-tiba terdengar ledakan keras di depan sana. Tanah bertabur
menutupi pemandangan. Dewi
Siluman dan Ratu Pemikat rasakan pijakan kaki masing-masing bergetar keras.
Dewi Siluman cepat sentakkan kepala. Sementara Ratu
Pemikat hanya melirik tenang-tenang saja. Perempuan ini rupanya telah maklum apa
yang terjadi. "Jahanam itu lenyap!" desis Dewi Siluman sambil pentangkan mata menembusi
hamburan tanah yang mulai
luruh. Ratu Pemikat berpaling. Ucapan Dewi Siluman benar.
Karena sosok Pendekar 131 dan perempuan bercadar
putih telah tidak terlihat lagi.
"Tidak lama!" ujar Ratu Pemikat. "Kita pasti akan segera bertemu lagi!"
"Baik!" kata Dewi Siluman pada akhirnya walau sebenarnya perempuan ini masih
menyimpan keragua.n
"Hari ini aku masih percaya ucapanmu! Tapi ingat, bila kelak kenyataan tidak
sesuai, itulah akhir dari hidupmu!"
Ratu Pemikat tidak sambuti ancaman Dewi Siluman.
Namun diam-diam dalam hati dia berkata. "Kelak
kenyataan itu akan terjadi, Perempuan Busuk! Tapi justru kenyataan itu adalah
kenyataan pahit bagimu!"
Dewi Siluman arahkan pandangan ke tempat mana dia
yakin murid Pendeta Sinting berkelebat pergi. Lalu tanpa berkata atau berpaling
pada Ratu Pemikat yang tegak
memandang ke arahnya, dia melangkah. Tapi baru saja
melangkah empat tindak, kepalanya berpaling pada Ratu Pemikat.
"Siapa perempuan bercadar putih tadi"!'
Ratu Pemikat gelengkan kepala. "Wajahnya ditutup cadar sepertimu. Bagaimana aku
tahu siapa dia adanya"!
Tapi satu hal yang pasti, dia mengenalmu! Dan aku yakin dia orang yang telah kau
kenal!" Dewi Siluman mendengus. Lalu menoleh lagi ke jurusan lain sambil kembali buka
mulut. "Kau tadi mengatakan Kitab Hitam telah dimiliki seseorang! Siapa orang
itu"!"
"Jawaban pastinya akan kau lihat sendiri di Kedung Ombo purnama ini!"
Dewi Siluman sebenarnya tidak senang dengan jawaban
Ratu Pemikat. Tapi entah karena apa dia tiba-tiba
melupakan hal itu. Dia tengadah sesaat lalu angkat bicara lagi.
"Masih ada yang perlu kuketahui!"
Ratu Pemikat angkat kedua alis matanya. Wajahnya
tampak sedikit tegang. "Aku dengan senang hati akan menjawab bila tahu
persoalannya!"
"Waktu di Pulau Biru, jelas-jelas kau inginkan kitab di tangan Pendekar 131.
Kenapa kini berubah" Anehnya lagi, kau bisa berbaik-baikan dengannya bahkan jika
aku tidak muncul, pasti kalian berdua akan teruskan perbuatan gila itu!"
Ketegangan di wajah Ratu Pemikat sirna. Perempuan ini tertawa panjang sebelum
akhirnya menjawab.
"Kita satu sama lain punya kesamaan! Sayangnya aku lebih beruntung dibanding
kau!" "Aku tidak mengerti maksudmu!"
"Kita sama-sama punya dendam pada Pendekar 131!
Namun jujur saja, kita sebenarnya juga tidak menolak kalau dia memberi
kehangatan pada kita! Dan aku
beruntung bisa mendapatkannya! Kalau saja kau mau
membuka cadarmu dan berlaku sedikit gila, kurasa kau tidak menemui kesulitan
kalau hanya inginkan
kehangatan!"
Dewi Siluman sentakkan kepalanya ke arah Ratu
Pemikat. Namun dia urung keluarkan makian yang sudah ada di mulutnya karena Ratu
Pemikat telah berkelebat dengan tertawa panjang.
Dewi Siluman menggumam pelan tidak jelas. Lalu
kepalanya mendongak. Berlama-lama perempuan berjubah hitam ini tegak dengan
kepala tengadah. Entah apa yang ada dalam pikirannya, yang jelas sepasang
matanya memandang kosong dan dadanya naik turun hembuskan
napas panjang dan dalam.
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
DUA --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
INI hari dua hari menjelang malam purnama. Langit
perlahan-lahan tampak berubah warna. Kegelapan
D serta kabut mulai bergerak bersamaan dengan
berhembusnya angin pagi.
Pada sebuah goa di tempat sepi, satu sosok tubuh
bertelanjang dada tampak duduk bersila menghadap mulut goa. Napasnya berhembus
teratur. Jelas pertanda jika orang ini sedang pusatkan mata batin. Namun melihat
sekujur tubuh serta celana yang dikenakan tampak basah kuyup padahal saat itu
baru saja menjelang pagi, jelas pula menunjukkan kalau orang ini pusatkan mata
batin sambil kerahkan tenaga dalam.
Ketika cahaya sang surya mulai membias di bentangan
langit sebelah timur, perlahan-lahan sosok bertelanjang dada di dalam goa yang
ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan buka sepasang matanya. Bola mata
itu sejenak memandang lurus keluar goa. Karena di bagian luar goa banyak
ditumbuhi jajaran pohon, maka yang
kelihatan hanyalah hijau jajaran pohon meski masih samar-samar.
Si pemuda lepaskan sedekapan kedua tangannya.
Tangan kanannya terangkat lalu menyisir rambutnya yang hitam panjang dan lebat
dengan jari-jarinya. Sementara tangan kirinya mengusap-usap dada dan wajahnya
yang basah karena keringat.
Kepala si pemuda lalu bergerak sedikit tengadah.
"Menurut ucapan perempuan itu, hari ini dia akan datang!
Hem.... Tapi aku tak akan menunggu kedatangannya. Aku justru yang akan
menjemput. Sekalian ingin tahu apa yang telah dilakukannya!"
Si pemuda bergerak bangkit. Lalu melangkah ke pojok
goa di mana tampak sebuah batu tidak begitu besar yang di atasnya tampak
gulungan pakaian hitam dan putih.
Tangan kanan si pemuda menyambar gulungan pakaian
hitam. Menatapnya sejenak. Lalu membukanya perlahan-
lahan. Ternyata di dalam pakaian hitam itu terlihat sebuah kitab bersampul hitam
yang telah ditalikan sedemikian rupa hingga begitu si pemuda mengenakan pakaian
hitam, kitab itu tetap tidak terjatuh dan tepat i berada di depan perutnya.
Tangan kiri si pemuda lalu menyambar pakaian putih
yang ternyata adalah sebuah jubah panjang. Seperti halnya tadi, sesaat mata si
pemuda memperhatikan jubah di
tangan kirinya. Jelas jubah putih itu tidak ada apa-apanya.
Namun untuk beberapa lama si pemuda memperhatikan.
"Hem.... Tak ada salahnya aku mengenakan jubah ini.
Inilah satu-satunya pemberian Guru.... Selain tentu saja impian besarnya yang
telah disampaikannya padaku!" Si pemuda bergumam seraya sunggingkan senyum aneh.
Lalu mengenakan jubah putih merangkapi pakaian hitamnya.
"Hem.... Sayang Guru tidak mau hadir pada purnama nanti. Seandainya dia mau
datang, dia akan tahu bahwa muridnya akan ditasbihkan sebagai raja diraja rimba
persilatan! Dia akan tahu, bagaimana musuh-musuhku
akan jatuh berkaparan! Dia akan tahu, bagaimana air
jernih Kedung Ombo akan berubah warna dibuncah darah Pendekar 131 dan teman-
temannya!"
Si pemuda yang di balik pakaiannya membekal kitab
bersampul hitam dan tidak lain adalah Kitab Hitam yang menunjukkan bahwa si
pemuda adalah Malaikat Penggali Kubur melangkah perlahan ke mulut goa.
Kepalanya melongok sejenak keluar goa dengan mata
memandang berkeliling. Kejap lain kedua tangannya
menyentak ke dinding mulut goa. Tahu-tahu sosoknya telah lenyap dari mulut goa!
Dan di saat matahari mulai tergelincir dari titik
tengahnya, sosok Malaikat Penggali Kubur tampak ber-
kelebat melewati Dusun Sumber Suko sebelum akhirnya
lenyap lagi di satu kawasan yang menuju Bukit
Selamangleng. *** Matahari sudah sedikit condong ke arah barat tatkala satu penunggang kuda
berpacu cepat memasuki kawasan Bukit Selamangleng. Penunggang kuda ini tidak
melewati jalan yang menuju bukit, meski jelas kalau tempat yang dituju adalah
Bukit Selamangleng, karena di sekitar kawasan bukit itu hanya ada jurang
menganga. Ini jelas menunjukkan kalau si penunggang kuda sudah paham betul
dengan kawasan yang dilalui. Dan hal itu semakin
kelihatan tatkala pada satu tempat di lamping sebelah utara bukit, si penunggang
kuda hentikan lari kuda
tunggangannya. Lalu berkelebat menerabas jajaran pohon menaiki bukit.
Hanya dalam beberapa saat, sosok orang yang tadi
menunggang kuda telah berada beberapa tombak saja dari puncak bukit. Namun tiba-
tiba orang ini hentikan
langkahnya. Kepalanya yang gundul berkilat-kilat karena baru saja tertimpa sinar
matahari tampak bergerak ke kiri kanan. Sepasang matanya yang melotot besar
memandang berkeliling.
"Apakah mereka sudah sampai di sini"! Aku merasa ada orang yang mengawasi
langkahku!" membatin orang berkepala gundul yang tidak lain adalah Iblis Rangkap
Jiwa. "Menurut perjanjian, memang hari ini mereka akan datang! Hem.... Mudah-mudahan
perempuan sundal itu
bisa memberi kepercayaan pada Malaikat Penggali Kubur!
Kalau tidak, urusanku bisa jadi tak karuan! Dan kalau dia benar-benar gagal,
selembar nyawanya adalah imbalan
yang harus dia tebus! Tapi sebelum dia meregang ajal, dia harus layani aku
dahulu dua hari dua malam! Bukankah purnama masih kurang dua hari lagi...?"
Iblis Rangkap Jiwa tersenyum sambil usap-usap kepalanya.
Tapi gerakan tangan Iblis Rangkap Jiwa tertahan
seketika tatkala mendadak saja dia dikejutkan dengan satu bentakan dahsyat.
"Berani teruskan langkah, nyawamu amblas!"
Wuuutt! Wuuut! Dari arah terdengarnya bentakan, dua gelombang angin luar biasa keras
menghampar. Meski Iblis Rangkap Jiwa dikenal sebagai manusia yang kebal terhadap


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan, namun orang berkepala gundul ini tidak mau begitu saja umpankan
tubuhnya. Hingga seraya berseru keras dia
melompat ke samping. Saat bersamaan kedua tangannya
berkelebat lepaskan pukulan.
Bummm! Kesunyian puncak Bukit Selamangleng terbuncah
dengan ledakan keras akibat bertemunya pukulan orang yang bersembunyi dengan
pukulan yang dilepas Iblis
Rangkap Jiwa. Beberapa pohon yang tidak begitu besar tampak bergoyang-goyang
keras sebelum akhirnya ber-derak tumbang dengan terbangkan daun-daunnya.
Buncahan di dekat puncak bukit tidak terhenti. Karena begitu derakan dan debuman
tumbangnya pohon lenyap,
terdengar suara orang tertawa panjang bergelak.
"Hem.... Suara manusia laki-laki! Berarti bukan mereka berdua!" desis Iblis
Rangkap Jiwa. Tanpa berpaling lagi, kedua tangannya bergerak lepaskan pukulan ke
arah sumber suara tawa.
"Berani kau gerakkan tangan, nasibmu jelek!" Tiba-tiba terdengar bentakan di
sela suara tawa orang.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa hendak teruskan
gerakan kedua tangannya tidak pedulikan ancaman orang.
Namun laki-laki berkepala gundul ini sesaat mengernyit.
Lalu tarik pulang kedua tangannya urungkan niat. Bersamaan itu sosoknya memutar
menghadap di mana suara
tawa dan bentakan tadi terdengar.
Satu sosok tubuh berbalut jubah putih panjang me-
layang turun dari sebuah pohon. Dan tegak sejarak lima langkah di hadapan Iblis
Rangkap Jiwa. "Malaikat Penggali Kubur!" gumam Iblis Rangkap Jiwa mengenali siapa adanya orang
yang kini tegak di
hadapannya. Sesaat orang yang baru melayang turun dan tidak lain memang Malaikat Penggali
Kubur perhatikan Iblis Rangkap Jiwa dari atas sampai bawah. Sementara yang
dipandang tampak berubah paras dan tegang.
"Kau!" mendadak Malaikat Penggali Kubur arahkan jari tangan kirinya lurus ke
mata orang, membuat Iblis Rangkap Jiwa laksana sirap darahnya. "Jangan-jangan
perempuan sundal itu gagal meyakinkan pemuda ini! Hem.... Apa boleh buat! Meski
dia membekal Kitab Hitam, tapi aku tak akan tinggal diam!" membatin Iblis
Rangkap Jiwa lalu kerahkan tenaga dalam.
"Berlutut!" Malaikat Penggali Kubur lanjutkan ben-takannya.
"Akan kuturuti kemauan jahanam ini dahulu!" kata Iblis Rangkap Jiwa dalam hati
lalu dia tekuk lututnya dan
perlahan-lahan lorotkan tubuh. Namun diam-diam dia lipat gandakan tenaga dalam,
hingga sesaat sosoknya tampak bergetar.
Bersamaan dengan melorotnya sosok Iblis Rangkap Jiwa dan berlutut, Malaikat
Penggali Kubur tarik pulang tangan kirinya dengan kepala ditengadahkan. Lalu
terdengar suara gelakan tawanya menggembor keras.
"Bagus! Kau dengar, Manusia Iblis! Kapan dan di mana kau bertemu dengan Malaikat
Penggali Kubur, hal pertama yang harus kau lakukan adalah berlutut! Kau
mengerti"!"
Iblis Rangkap Jiwa menyumpah habis-habisan dalam
hati. Namun sejauh ini dia tidak menyambuti ucapan
Malaikat Penggali Kubur. Dia masih menunggu apa yang akan diucapkan dan
diperbuat si pemuda. Tapi tekadnya telah bulat. Dia akan mengadu jiwa saat itu
juga kalau Ratu Pemikat yang disuruh meyakinkan Malaikat Penggali Kubur tentang
urusannya dengan Dewa Orok mengalami kegagalan dan Malaikat Penggali Kubur tidak
mau mengerti. Seperti diketahui, Iblis Rangkap Jiwa mendapat tugas dari Malaikat Penggali
Kubur untuk membunuh Dewa Orok.
Sebenarnya Iblis Rangkap Jiwa sudah hampir dapat
selesaikan tugas dengan baik. Sayang waktu itu dia bersama Ratu Pemikat. Dan
sialnya dia menuruti usul Ratu Pemikat untuk menunda dahulu urusannya dengan
Dewa Orok. Lalu meninggalkan Dewa Orok dalam keadaan ter-
tanam dan ditotok. Tapi usul dan dugaan Ratu Pemikat pada akhirnya hanya
mendatangkan kecewa pada Iblis
Rangkap Jiwa. Karena waktu dilihat kembali, Dewa Orok telah lenyap tidak
meninggalkan bekas!
Malaikat Penggali Kubur putuskan gelakan tawanya.
Kepalanya lurus menghadap Iblis Rangkap Jiwa. "Aku senang punya pembantu macam
kau! Sigap dan tepati
janji!" Iiblis Rangkap Jiwa sedikit merasa lega mendengar
ucapan Malaikat Penggali Kubur. Namun dia bertahan
untuk tidak buka mulut dahulu. Dia masih merasa
bimbang. "Ceritakan padaku bagaimana dengan tugasmu!" kata Malaikat Penggali Kubur.
Iblis Rangkap Jiwa bergerak hendak bangkit.
"Jangan berani bangkit tanpa perintahku!" bentak Malaikat Penggali Kubur menahan
gerakan bangkit Iblis Rangkap Jiwa.
"Bangsat keparat!" maki Iblis Rangkap Jiwa dalam hati.
Tapi dia urungkan juga niatnya untuk bangkit. Mungkin masih tidak bisa menahan
gejolak hawa amarahnya atas perlakuan Malaikat Penggali Kubur, dia segera buka
mulut dengan suara gemetar dan agak keras.
"Kau sudah bertemu dengan Ratu Pemikat"!"
Meski nada suara Iblis Rangkap Jiwa bertanya, namun
laki-laki gundul ini tidak perlu menunggu jawaban Malaikat Penggali Kubur. Dia
lanjutkan ucapannya. "Dari perempuan itu mungkin kau telah tahu semuanya!"
Iblis Rangkap Jiwa sengaja tidak menunggu jawaban
Malaikat Penggali Kubur karena dia sendiri sebenarnya masih ragu apakah Ratu
Pemikat benar-benar telah
bertemu dengan Malaikat Penggali Kubur dan dapat
meyakinkannya. Dan kalaupun Ratu Pemikat belum
sempat bertemu, maka masih ada kesempatan baginya
untuk mencari alasan dan mengatakan apa yang telah
terjadi dengan cerita yang tidak sebenarnya. Dan degnan jalan begitu, dia akan
tahu apakah Ratu Pemikat benar-benar berhasil meyakinkan Malaikat Penggali Kubur
kalau perempuan itu telah berhasil jumpa dengan Malaikat
Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur rangkapkan kedua tagnan.
"Lalu bagaimana urusannya dengan Cucu Dewa"!"
"Hem.... Dia tidak sebut-sebut lagi urusan Dewa Orok!
Berarti Ratu Pemikat telah bertemu dan berhasil meyakinkan manusia keparat ini!"
simpul Iblis Rangkap Jiwa begitu mendengar pertanyaan yang diajukan Malaikat
Penggali Kubur. Ketegangan di dada Iblis Rangkap jiwa mereda.
"Terus terang! Manusia cebol itu tidak berhasil kutemukan meski tempatnya sudah
kuobrak-abrik! Tapi kau tak usah khawatir. Urusan manusia cebol itu masih
menjadi tanggung jawabku!"
Malaikat Penggali Kubur anggukkan kepala. Mulutnya
hendak perdengarkan suara. Tapi Iblis Rangkap Jiwa telah mendahului
"Lalu bagaimana dengan janjimu"!"
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur menatap
angker. "Janji apa"!"
"Kitab Hitam itu...."
Belum sampai Iblis Rangkap Jiwa lanjutkan ucapannya, Malaikat Penggali Kubur
telah tertawa terbahak-bahak.
"Kau belum selesaikan tugasmu dengan sempurna!
Malah aku masih meragukan apakah kau benar-henar
telah membunuh manusia itu!"
"Tapi bukankah keterangan Ratu Pemikat...."
"Benar!" kembali Malaikat Penggali Kubur sudah manukas ucapan Iblis Rangkap
Jiwa. "Tapi kalian tidak tunjukkan bukti kuat! Hanya dot busuk! Siapa pun juga
bisa lakukan hal seperti itu!"
Kembali paras Iblis Rangkap Jiwa menegang. "Jadi kau tidak percaya kalau Dewa
Orok telah putus nyawanya"!"
"Ratu Pemikat mengatakan kalian berdua hanya
menanam manusia itu di satu tempat sepi dalam keadaan tertotok! Kalian tidak
membunuhnya!"
"Tapi pasti dia sudah tewas!"
"Nyawa manusia tidak bisa dipastikan! Kecuali jika kalian waktu itu benar-benar
telah membunuhnya!"
"Jadi..."!"
"Aku tanya padamu. Apakah kau telah lihat kembali tempat di mana kau menanam
manusia itu"!"
Dada Iblis Rangkap Jiwa berdebar keras. Sesaat dia
terdiam. Dan mungkin tidak mau orang merasa curiga,
akhirnya dia buka mulut juga.
"Karena aku menduga dia pasti tewas, untuk apa aku perlu melihatnya"!"
"Jawabanmu juga tidak pasti! Kau masih menduga!"
"Tapi mustahil dia bisa selamat!" Iblis Rangkap Jiwa masih ajukan alasan.
"Kau tidak dapat memastikan benar tidaknya ucapanmu kalau tidak melihat
sendiri!" Merasa orang tidak bisa diyakinkan, pada akhirnya Iblis Rangkap Jiwa pasrah.
Tekadnya yang semula hendak
mengadu jiwa muncul kembali. Sambil bangkit dia berkata.
"Lalu apa kemauanmu"!"
Meski tadi telah mengancam agar Iblis Rangkap Jiwa
tidak bangkit tanpa perintahnya, namun begitu melihat Iblis Rangkap Jiwa
bergerak bangkit dan meradang, Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek.
"Kau masih ingat apa yang kau alami saat kita baru pertama jumpa"!"
Iblis Rangkap Jiwa tidak segera menjawab. Pada
pertemuan pertama dengan Malaikat Penggali Kubur, Iblis Rangkap Jiwa memang
dengan mudah dapat membuat si
pemuda bertekuk lutut. Namun begitu Malaikat Penggali Kubur mendapatkan Kitab
Hitam, meski Iblis Rangkap Jiwa dikenal tidak mempan pukulan, namun pada
akhirnya laki-laki berkepala gundul ini harus menyerah, karena akibat yang
dialami dari bentrokan yang terjadi, dia merasa lama kelamaan akan mampus juga.
Hal itulah yang membuat
Iblis Rangkap Jiwa mau melakukan perintah Malaikat
Penggali Kubur meski tindakannya itu hanya untuk
sementara waktu sambil menunggu saat yang tepat.
Mendapati Iblis Rangkap Jiwa tidak menjawab
pertanyaannya, Malaikat Penggali Kubur keraskan suara lawanya. "Dengar! Kau
boleh tidak mempan pukulan, tapi kau telah merasa bagaimana akibatnya berhadapan
denganku! Dan hal yang lebih mengerikan akan kau alami kalau kau bersikap
meradang padaku! Kau dengar"!"
Iblis Rangkap Jiwa belum juga buka mulut memberi
sahutan. "Dengar, Manusia Iblis! Saat ini kuyakin rimba persilatan telah banyak
mendengar tentang adanya
pertemuan di Kedong Ombo dua hari mendatang! Saat
itulah baru aku bisa memastikan kalau tugasmu selesai dengan sempurna!"
"Bagaimana kau memastikannya"!"
"Kau menghadapi manusia bernama Dewa Orok itu
bersama Ratu Pemikat. Meski aku belum pernah bertemu dengan manusia itu, namun
aku yakin manusia itu bukan orang sembarangan! Kalau dia belum mampus, pasti dia
telah mendengar tentang pertemuan di Kedung Ombo. Dan pasti akan muncul purnama
nanti!" Habis berkata begitu, tiba-tiba kepala Malaikat Penggali Kubur menyentak ke
bawah. Sesaat sepasang matanya
memandang tak berkesip ke bawah bukit. Iblis Rangkap Jiwa serta-merta juga
turunkan pandangannya ke bawah bukit.
"Dugaanku tidak salah! Dia muncul dahulu di sini!"
gumam Malaikat Penggali Kubur dalam hati sambil angkat kepalanya.
"Kurasa tenaga perempuan itu sudah tidak ada gunanya lagi!" ujar Iblis Rangkap
Jiwa seraya terus arahkan pandangan ke bawah bukit. "Apa tidak sebaiknya dia
dihabisi sekarang"!"
"Nyawamu dan nyawa perempuan itu ada di tanganku!
Jangan kau berani bertingkah macam-macam!" bentak Malaikat Penggali Kubur. "Dan
jangan kau buka mulut saat aku nanti bertanya padanya! Kau dengar"!"
Iblis Rangkap Jiwa sambuti ucapan Malaikat Penggali
Kubur dengan dengusan, lalu melangkah ke arah puncak bukit.
"Nyawamu tinggal dua hari, Jahanam!" desis Iblis Rangkap Jiwa lalu duduk
bersandar pada sebatang pohon dengan mata melirik ke arah di mana tadi Malaikat
Penggali Kubur berada. Iblis Rangkap Jiwa sesaat besarkan sepasang matanya yang
berada dalam rongga mata yang
menjorok keluar dan hampir tidak tertutup daging di kanan kirinya. Ternyata
Malaikat Penggali Kubur sudah tidak kelihatan batang hidungnya!
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
TIGA --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
ELUM sampai Iblis Rangkap Jiwa sempat edarkan
pandangan mencari di mana gerangan Malaikat
B Penggali Kubur, satu sosok tubuh berkelebat cepat
menuju puncak bukit. Namun kelebatan sosok ini tidak berlanjut. Karena beberapa
tombak lagi mencapai puncak bukit di mana Iblis Rangkap Jiwa berada, satu suara
membuat kelebatan sosok yang mendaki bukit terhenti.
"Tahan dulu niatmu!"
Sosok yang mendaki serta-merta hentikan kelebatan-
nya. Kedua tangannya dipentangkan. Kepalanya tengadah lurus ke arah puncak
bukit. Meski samar-amar, namun
orang ini masih dapat menangkap sosok Iblis Rangkap Jiwa yang duduk bersandar.
"Jelas suara tadi tidak datang dari puncak bukit! Berarti ada orang lain selain
manusia iblis itu!" desis orang yang larinya tertahan. Dia adalah seorang
perempuan berparas cantik jelita mengenakan pakaian tipis warna biru.
Perempuan ini tidak lain adalah Ratu Pemikat.
Belum sampai dapat menduga siapa adanya orang yang
perdengarkan suara, satu sosok berkelebat dan tegak
hanya empat langkah di hadapan Ratu Pemikat. Ratu
Pemikat cepat tarik pulang kedua tangannya begitu
mengenali siapa adanya orang.
Raut wajah Ratu Pemikat tampak berubah sedikit
tegang. Sesaat dia tampak arahkan pandangannya pada
orang di hadapannya yang tidak lain adalah Malaikat
Penggali Kubur, lalu beralih pada Iblis Rangkap Jiwa.
"Pada saat di goa tempo hari, kurasa dia yakin akan keteranganku. Tapi apakah
Iblis Rangkap Jiwa tidak
memutar lidah membalik ucapan" Dia datang men-
dahuluiku dan pasti sudah sempat berbincang-bincang
dengan pemuda ini! Hem.... Tapi tak mungkin Iblis Rangkap Jiwa membalik ucapan.
Bukankah nyawanya tergantung
pada urusan itu?" Ratu Pemikat membatin. Namun begitu, masih jelas kalau
wajahnya membayangkan rasa khawatir.
Apalagi dilihatnya Iblis Rangkap Jiwa duduk tercenung bahkan tidak berpaling ke
arahnya meski dia tahu kalau laki-laki itu mengetahui ke-munculannya.
"Ah.... Kebetulan kalau kau berada di sini. Jadi aku tidak usah...."
Ratu Pemikat yang coba menutupi ketegangan dengan
mulut terbuka lebih dahulu mendadak tidak lanjutkan
ucapannya tatkala dilihatnya sepasang mata Malaikat
Penggali Kubur memandangnya berkilat-kilat.
"Ada apa ini" Apa manusia iblis itu benar-benar telah membalik lidah" Atau ada
yang salah dengan diriku"!"
Gumaman terakhir Ratu Pemikat sempat terdengar
Malaikat Penggali Kubur.
"Kau tak sadar dengan kesalahan dirimu?" bentak Malaikat Penggali Kubur membuat
Ratu Pemikat makin
yakin akan kebenaran dugaannya.
"Aku melakukan kesalahan"!" ujar Ratu Pemikat pelan.


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang kau hadapi saat ini"!" kembali Malaikat Penggali Kubur membentak.
Ratu Pemikat takut-takut memandangi pemuda di
hadapannya dengan seksama. "Kurasa...." Hanya itu ucapan yang sempat terdengar
dari mulut Ratu Pemikat karena bersamaan dengan itu Malaikat Penggali Kubur
telah menghardik.
"Berlutut!"
Ratu Pemikat mendesah panjang. Lalu turuti ucapan
Malaikat Penggali Kubur meski dalam hati memaki habis-habisan. Di lain pihak,
Malaikat Penggali Kubur tersenyum lalu buka mulut dengan tangan berkacak
pinggang. "Bagaimana dengan tugas dan perjalananmu"!"
Ratu Pemikat melirik dahulu pada puncak bukit di mana Iblis Rangkap Jiwa duduk
bersandar. Lalu angkat bicara.
"Kita tinggal menunggu saat-saat yang sudah kita atur!"
"Hem.... Berarti kau telah berhasil jumpa dengan Pendekar 131!"
Ratu Pemikat anggukkan kepala. Wajah perempuan ini
kembali ceria. Karena Malaikat Penggali Kubur tidak
menyebut-nyebut urusan tentang Dewa Orok, berarti Iblis Rangkap Jiwa tidak
melakukan seperti apa yang tadi
sempat diduganya. Namun begitu, masih ada yang mem-
buat perempuan ini sedikit ragu-ragu. Hal ini berkaitan dengan munculnya Dewi
Siluman yang selama ini tidak
disangka. Dengan Kitab Hitam di tangan Malaikat Penggali Kubur, mungkin kemunculan Dewi
Siluman tidak perlu membuatnya ragu-ragu. Tapi keterus terangan pada Dewi
Siluman tentang apa yang menjadi maksudnya mau tak mau membuatnya tidak enak.
Dia masih khawatir kalau Dewi
Siluman bertemu lagi dengan Pendekar 131 sebelum
purnama dua hari mendatang, dan Dewi Siluman mem-
beberkan semuanya pada murid Pendeta Sinting.
"Kau ingin mengutarakan sesuatu"!" ujar Malaikat Penggali Kubur tatkala pemuda
ini menangkap kebimbangan pada raut wajah perempuan di hadapannya.
"Apa perlu kukatakan juga tentang pertemuanku dengan Dewi Siluman" Ah.... Urusan
perempuan itu biar kuselesaikan purnama nanti!" Diam-diam akhirnya Ratu Pemikat
memutuskan sendiri dalam hati. Lalu kepalanya menggeleng sambuti ucapan Malaikat
Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur menatap sejurus, lalu arahkan pandangannya pada Iblis
Rangkap Jiwa. "Perempuan tua bangka Ni Luh Padmi itu, apakah akan muncul di sini
hari ini juga"!"
Ratu Pemikat bangkit berdiri. "Menurut kesepakatan kami memang begitu! Tapi
siapa tahu dia mendapat
halangan bertemu dengan seorang pemuda tampan, lalu
tertarik dan melupakan apa yang harus dilakukan"! Kau tahu bukan" Urusan nenek
itu sebenarnya hanya mencari laki-laki!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai. "Kalau itu yang diperbuat, dia akan tebus
mahal tindakannya!'
"Tua bangka macam dia memang sebaiknya tidak usah diberi waktu sampai purnama
nanti! Aku khawatir dia akan melakukan sesuatu yang dapat merusak rencana!"
berkata Ratu Pemikat sambil arahkan pandangannya pada puncak bukit.
Iblis Rangkap Jiwa dapat menangkap pandangan Ratu
Pemikat. Hingga enak saja dia menyahut. "Sebenarnya sejak kedatangannya pertama
kali di sini, aku sudah muak melihat tampangnya!"
"Dengar! Aku yang berhak membuat aturan! Bukan
kalian!" bentak Malaikat Penggali Kubur.
Ratu Pemikat hanya tersenyum dingin mendengar
bentakan Malaikat Penggali Kubur. Lalu tanpa buka mulut lagi, dia melangkah
hendak ke puncak bukit. Namun tiba-tiba Malaikat Penggali Kubur melompat dan
tegak menghadang jalannya, bukan saja membuat si perempuan
terkesiap kaget namun juga membuat Iblis Rangkap Jiwa menduga-duga apa
sebenarnya yang hendak dilakukan si pemuda.
Malaikat Penggali Kubur menatap aneh untuk beberapa
lama. Tiba-tiba dia maju dua tindak. Tepat berada di depan Ratu Pemikat, tangan
kanannya bergerak. Ratu Pemikat berseru kaget. Tubuhnya laksana didorong tenaga
luar biasa kuat dan terjerembab ke dada si pemuda.
Belum bisa menduga apa sebenarnya maksud si
pemuda, wajah Malaikat Penggali Kubur sudah menunduk lalu tanpa hiraukan
pandangan Iblis Rangkap Jiwa,
pemuda murid Bayu Bajra ini telah mencium wajah Ratu Pemikat dengan beringas.
Sadar apa yang dilakukan Malaikat Penggali Kubur,
Ratu Pemikat segera bisa sesuaikan diri. Kedua tangannya cepat melingkar pada
pinggang Malaikat Penggali Kubur.
Lalu membalas ciuman si pemuda dengan mata sekali
melirik ke tempat Iblis Rangkap Jiwa.
"Bangsat! Jahanam!" Iblis Rangkap Jiwa hanya bisa memaki-maki sendiri seraya
alihkan pandangannya ke
jurusan lain. "Hari ini kau bisa seenakmu bercumbu di depan hidungku! Aku
bersumpah kelak akan mencumbui
perempuan sundal itu di kala ajal hendak menjemputmu!"
Beberapa saat berlalu. Malaikat Penggali Kubur sudah mulai tenggelam dalam
gejolak nafsu. Sementara Ratu
Pemikat sesekali masih coba meronta karena bagaimanapun juga dia merasa tidak
enak dengan Iblis Rangkap Jiwa.
Hingga tatkala kedua tangan Malaikat Penggali Kubur
mulai bergerak ke dada dan membuka kancing-kancing
bajunya, si perempuan berujar pelan.
"Kita masih menunggu seorang lagi. Tidak enak rasanya kalau kemunculannya kita
sambut dengan sikap begini....
Lagi pula bukankah waktu kita masih banyak" Aku akan selalu siap melayanimu
kapan kau mau dan berapa malam kau minta...."
Malaikat Penggali Kubur tidak hiraukan ucapan Ratu
Pemikat. Kedua tangannya terus bergerak. Saat lain dada sang Ratu telah terbuka
hingga terlihat jelas.
Di puncak bukit, meski memaki habis-habisan, namun
tak urung juga Iblis Rangkap Jiwa ingin mengetahui apa yang diperbuat Malaikat
Penggali Kubur. Hingga meski kepala laki-laki gundul ini menghadap jurusan lain,
namun dua pasang ekor matanya melirik ke bawah.
Mungkin tak sadar melihat apa yang terlihat di bawah, kepala Iblis Rangkap Jiwa
akhirnya ikut juga bergerak menghadap ke bawah. Dada laki-laki ini berdebar
keras. Sepasang matanya melotot besar-besar. Jakunnya turun naik tak teratur.
"Sialan betul!" lagi-lagi hanya makian yang keluar dari mulut Iblis Rangkap Jiwa
melihat bagaimana dada Ratu Pemikat terbuka.
Di lain pihak, melihat Malaikat Penggali Kubur sudah tidak sabar, Ratu Pemikat
cepat angkat kedua tangannya lalu menahan gerakan kedua tangan Malaikat Penggali
Kubur di dadanya.
"Kau...." Malaikat Penggali Kubur tarik wajahnya dan menatap Ratu Pemikat dengan
rahang terangkat.
Ratu Pemikat anggukkan kepala. Sambil tersenyum dia
berujar. "Aku sebenarnya juga sudah tidak sabar. Tapi bukan di sini tempatnya
bukan"! Lebih dari itu masih ada urusan yang harus kita selesaikan dahulu...."
Sehabis berujar, sepasang mata Ratu Pemikat
mengerling pada Iblis Rangkap Jiwa yang saat itu mungkin karena terkesima, belum
sempat palingkan kepala.
Malaikat Penggali Kubur ikut arahkan pandangannya pada Iblis Rangkap Jiwa. Dia
perdengarkan dengusan. Saat
bersamaan kedua tangannya yang terpegang tangan Ratu Pemikat ditarik pulang.
"Boleh kututup"!" tanya Ratu Pemikat menjaga agar Malaikat Penggali Kubur tidak
tersinggung. "Terserah kalau kau ingin tunjukkan pada manusia iblis itu!" jawab Malaikat
Penggali Kubur lalu arahkan pandangannya ke bawah bukit.
Ratu Pemikat lagi-lagi sambuti ucapan Malaikat Pcnggali Kubur dengan tersenyum
lalu tangannya kancingkan
kembali pakaiannya. Kepala perempuan ini bergerak ke arah barat. Matahari saat
itu sudah lebih condong.
"Kenapa nenek itu belum muncul juga" Apakah dia lupa..." Atau jangan-jangan
memang mendapat halangan!
Atau barangkali telah berhasil bertemu dengan Pendeta Sinting"!" Ratu Pemikat
bertanya-tanya dalam hati. Lalu utarakan apa yang ada dalam hatinya pada
Malaikat Penggali Kubur.
Sesaat Malaikat Penggali Kubur tidak tanggapi ucapan Ratu Pemikat. Tapi kejap
lain pemuda ini kepalkan tangan kiri seraya berteriak.
"Dia manusia bodoh kalau sampai bertindak macam-macam!"
"Tapi sebaiknya kita tunggu sampai matahari terbenam.... Siapa tahu ada sesuatu
yang membuatnya terlambat!"
Namun ditunggu sampai matahari hampir terbenam, ter-
nyata Ni Luh Padmi tidak muncul. Hingga sambil hentakkan kaki kiri, Malaikat
Penggali Kubur berteriak marah.
"Tua bangka jahanam itu! Dia adalah manusia pertama yang akan kualirkan darahnya
di Kedung Ombo!"
Habis berteriak, Malaikat Penggali Kubur arahkan
pandangannya silih berganti pada Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa.
"Kalian berdua! Kuperintahkan untuk menyiapkan
segala sesuatunya untuk keperluan purnama nanti! Pasang beberapa tanda untuk
tempat orang-orang yang bergabung dengan kita! Karena kuyakin banyak orang
kalangan rimba persilatan yang muncul meski tanpa kita undang! Tapi ingat, kalau
kalian melakukan hal yang tidak-tidak, kalian akan menjadi manusia kedua dan
ketiga yang darahnya
akan kutumpahkan!"
Malaikat Penggali Kubur sekali lagi pentangkan mata
memandangi Ratu Pemikat dan Iblis Rangkap Jiwa. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia
berkelebat menuruni bukit yang mulai dibungkus kegelapan karena matahari sudah
terbenam. Sesaat setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu, Iblis Rangkap Jiwa berkelebat
dan tegak di hadapan Ratu
Pemikat. Jelas pandangan laki-laki berkepala gundul ini membayangkan kalau
dadanya masih disentak-sentak oleh gejolak nafsu setelah tadi melihat dada Ratu
Pemikat. Seakan dapat menangkap arti pandangan orang, Ratu
Pemikat cepat buka mulut.
"Kita bertemu besok pagi di kawasan Kedung Ombo!
Malam ini ada yang masih harus kuselesaikan!"
Iblis Rangkap Jiwa tersenyum. Kepalanya menggeleng.
"Aku sudah lama menunggu janji-janjimu! Namun makin hari kulihat kau seakan
hendak melupakan janji-janji itu!
Besok pagi kita memang harus bertemu di kawasan
Kedung Ombo! Tapi malam ini, kita selesaikan janji-
janjimu!" Seakan tidak sabar, Iblis Rangkap Jiwa sudah gerakkan tangan hendak merengkuh
tubuh Ratu Pemikat.
"Janji yang pernah kukatakan adalah gantungan jiwaku padamu. Jadi kau tak usah
punya prasangka buruk! Malah setelah urusan Kedung Ombo selesai, kau bisa
memiliki diriku sampai kapan kau mau!"
Tangan Ratu Pemikat mendorong dada Iblis Rangkap
Jiwa hingga sosok laki-laki ini tersurut satu tindak dan tangannya yang hendak
merengkuh tubuh Ratu Pemikat
hanya menangkap tempat kosong.
Meski sesaat bisa menahan gerak Iblis Rangkap Jiwa
tapi diam-diam Ratu Pemikat dilanda perasaan gelisah. Dia maklum, kalau sampai
Iblis Rangkap Jiwa paksakan
kehendaknya, rasanya tidak mudah baginya untuk
menolak. Namun sebagai orang yang berpengalaman
menghadapi laki-laki, dia masih punya jalan keluar. Hingga begitu selesai
berkata, perempuan ini menatap Iblis
Rangkap Jiwa sesaat lalu berujar lagi.
"Menghadapi urusan Kedung Ombo, kita tidak boleh main-main! Meski ada Malaikat
Penggali Kubur, bukan
berarti kita tinggal berpangku tangan! Untuk itulah dalam sisa dua hari ini aku
akan pusatkan tenaga! Dan hal itu tidak akan bisa kulakukan kalau aku harus
mendahului dengan perbuatan yang tidak-tidak!"
"Kau masih juga bisa cari alasan!" sahut Iblis Rangkap Jiwa. "Kau tadi begitu
menggebu membalas perbuatan pemuda keparat itu!"
Ratu Pemikat tertawa. "Kau harus tahu. Kita sekarang dalam keadaan terbelenggu!
Kita tidak bisa berbuat
banyak! Kalau kita berulah macam-macam, itu sama saja dengan bunuh diri! Yang
harus kita lakukan sekarang
adalah mempersiapkan diri baik-baik! Bukankah urusan kita bukan hanya sampai di
Kedung Ombo"! Kedung Ombo hanyalah batu loncatan! Kalau kita gagal melalui
jembatan ini, gagal pula maksud kita masing-masing!"
Iblis Rangkap Jiwa terdiam beberapa lama. Laki-laki ini mulai merasa ada
benarnya juga ucapan Ratu Pemikat.
Hingga kalau tadi nafsunya menggelegak, kini malah diam saja meski dilihatnya
Ratu Pemikat sudah melangkah
menuruni bukit.
Entah karena untuk meyakinkan orang, begitu turun
beberapa tombak, Ratu Pemikat hentikan langkah lalu berpaling ke atas.
Dilihatnya Iblis Rangkap Jiwa masih tegak di tempatnya semula.
"Kau dengar. Aku menantimu di bukit ini begitu urusan Kedung Ombo selesai! Kita
isi siang malam dengan ber-senang-senang!"
Habis berteriak, Ratu Pemikat perdengarkan tawa
panjang. Lalu teruskan langkah menuruni bukit.
"Siapa sudi terus-terusan bermain dengan perempuan yang telah banyak dijamah
tangan laki-laki sepertimu! Kau kelak hanya kujadikan gundik dan harus
melayaniku kapan aku ingin!" desis Iblis Rangkap Jiwa lalu berkelebat ke puncak
bukit yang telah tertutup kegelapan malam.
*** --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
EMPAT --------------------------------------------------------------------------------
--------------------
AGI hari menjelang malam purnama. Matahari
muncul tanpa sambutan segumpal awan pun. Langit
P terhampar biru cerah. Angin bertiup semilir. Sebuah kawasan yang dikenal orang
dengan Kedung Ombo pagi ini sangat indah meski kalau diperhatikan dengan
seksama, ada sesuatu yang lain yang tidak terlihat pada hari-hari sebelumnya.
Kedung Ombo adalah sebuah telaga air besar. Pada
sebelah kanan kedung tampak kawasan berbatu yang
pada salah satunya terlihat batu besar membentuk bukit.
Di sebelah kiri kedung juga membentang kawasan berbatu yang salah satu batunya
terlihat menggunung menyerupai bukit. Kawasan berbatu sebelah kanan dan kiri
Kedung Ombo dipisah oleh hamparan pasir yang berjarak kurang lebih seratus
tombak. Tepat di depan kedung, di antara celah-celah batu yang bertaburan di dua
kawasan berbatu itu tampak jalan-jalan setapak berpasir hitam yang terlihat laksana gerakan merambat tubuh seekor ular.
Lurus tepat di depan kedung laksana diapit kawasan berbatu, terlihat pula
gugusan batu-batu cadas putih yang salah satunya tampak menjulang sangat tinggi
malah melebihi batu yang membentuk bukit di sebelah kanan kiri kedung. Jarak
antara kawasan berbatu sebelah kanan dan kiri kedung dengan gugusan batu cadas
putih kira-kira empat puluh tombak.
Sesuatu lain yang sebelumnya tidak terlihat di kawasan Kedung Ombo adalah
berdirinya sebuah gubuk di sebelah kiri kedung. Gubuk itu didirikan tegak tepat
di puncak batu besar yang membentuk bukit. Empat tiangnya terdiri dari bambu
sebesar paha orang. Tapi bukan tiang bambu ini yang terlihat agak aneh. Karena
ternyata tiap tiang bambu tegak dengan bagian bawah bambu masuk ke dalam batu!
Dan sekitar tiap tiang bambu yang masuk ke dalam batu tidak tampak taburan batu
atau rengkahan! Jelas siapa pun yang menancapkan tiang bambu pastilah bukan
orang yang berilmu rendah.
Ada sedikit keanehan lagi. Gubuk di puncak bukit batu itu terbuka bagian depan
dan belakangnya. Sementara


Joko Sableng 5 Kidung Maut Bulan Purnama di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tertutup adalah bagian samping kiri kanan serta atapnya. Anehnya, dinding
penutup samping kiri kanan serta atap gubuk bukan terdiri dari pelepah daun,
melainkan dari kain besar berwarna hitam! Hingga tatkala dihembus angin, gubuk
hitam itu berkibar-kibar keluarkan suara angker.
Dan yang memperjelas kalau Kedung Ombo akan lain
dari hari-hari biasanya adalah membuncahnya suara tawa bersahut-sahutan yang
tiba-tiba terdengar jauh dari arah belakang gugusan batu-batu cadas putih yang
tepat menghadap kedung. Melihat arahnya suara tawa, jelas
kalau orang yang sedang terbahak-bahak itu sedang
menuju ke arah kedung.
Begitu suara tawa bersahut-sahutan mendekati gugusan batu-batu cadas putih,
laksana direnggut setan mendadak suara tawa bersahut-sahutan terputus. Lalu di
antara batu-batu cadas putih yang menghadap kedung terlihat
melangkah dua sosok tubuh.
Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki. Dia me-
langkah terbungkuk-bungkuk dengan tangan kanan me-
megang tongkat. Laki-laki ini tidak bisa dikenali wajahnya karena orang ini
membedaki seluruh wajah serta rambutnya dengan arang hitam. Karena pakaian yang
dikenakan juga berwarna hitam, maka yang terlihat putih hanyalah sedikit di
bagian matanya!
Sementara orang di sebelah kiri ternyata juga adalah seorang laki-laki. Dia
melangkah tersaruk-saruk mundur dengan kepala sedikit mendongak. Seperti halnya
laki-laki sebelah kanan, orang ini juga membedaki sekujur mukanya dengan arang
hitam. Rambutnya yang awut-awutan juga
diberi arang hitam.
Orang yang melangkah mundur tiba-tiba hentikan
langkah. Lalu sambil tetap dongakkan kepala, orang ini lorotkan tubuh dan
letakkan pantatnya di salah satu batu cadas putih yang banyak bertebaran di
situ. Kepalanya bergerak ke kiri kanan memandang langit. Mulutnya bergerak
membuka. "Hai! Apa kau tidak salah menghitung hari" Apa kau juga tidak keliru alamat
datang kemari" Jangan sampai kita ter-jebak dan mendapat celaka sendiri! Apalagi
aku telah mati-matian mempercantik diri! Kita akan kecewa besar me-
lakukan perjalanan jauh mencari-cari. Kalau akhirnya yang kita temui lain dengan
yang kita telusuri!"
Orang yang melangkah terbungkuk-bungkuk hentikan
langkah. Sesaat sepasang matanya memandang lurus ke
arah kedung. Namun karena sebagian pandangannya
tertutup gugusan batu cadas putih yang menjulang tinggi, dia hanya dapat melihat
sebelah kiri kanan kedung jauh di depan sana. Saat dia palingkan kepala ke kiri,
sepasang matanya mendelik membelalak. Karena saat itu dia berada menghadap
matahari, mungkin karena pandangannya
silau, orang ini tadangkan tangan kiri ke depan keningnya lalu kembali memandang
berlama-lama ke sebelah kiri
kedung di mana tampak gubuk hitam di puncak batu membukit. Tanpa berpaling pada
orang yang kini duduk dia buka mulut.
"Kau jangan berkeluh kesah. Kurasa perhitunganku tepat. Alamat betul. Dan kita
pasti tidak sia-sia sampai di tempat ini! Pemandangan indah dan telah disediakan
tempat bagus untuk berteduh! Lihat di sana itu!"
Orang yang tadi melangkah terbungkuk-bungkuk angkat
tongkat di tangan kanannya lalu ditunjukkan ke arah gubuk hitam di sebelah kiri
kedung. Orang yang tadi melangkah mundur dan kini duduk di
atas batu cadas putih segera luruskan kepala dan arahkan pandangan ke arah mana
tongkat menunjuk.
"Gubuk hebat! Mungkin sengaja didirikan karena tahu kita akan datang! Jadi tidak
ada salahnya kita cepat bertandang. Sesaat lagi terik sinar matahari akan
meradang. Daripada kepala panas laksana dipanggang, lebih baik kita ke sana bisa
rebahan sambil melepas pandang...."
"Ah.... Betul juga ucapanmu! Aku sudah capek dan ingin sekali picingkan mata!
Tentu di sana enak. Apalagi
seandainya tiba-tiba muncul seorang gadis cantik...."
"Otakmu selalu berpikir yang busuk-busuk! Tidak sadar kalau jalan saja sudah
terbungkuk-bungkuk! Kau lupa apa akibat yang kini harus kau tangguk. Sebab
tindakanmu dahulu yang tidak pandang tengkuk!"
Orang yang pegang tongkat sentakkan kepala berpaling.
Tongkatnya diputar dan kini ditujukan pada orang yang duduk di atas batu cadas
putih. "Jangan seenakmu bicara! Aku tadi bilang seandainya, mengapa bicaramu ngelantur
tidak karuan!" Meski nada bicara orang ini ketus, namun saat mengucapkan orang
ini tampak tersenyum-senyum! Malah begitu habis berkata, orang ini tertawa.
"Kau bicara seandainya, tapi bukankah perjalanan ini masih ada kaitan ceritanya"
Seandainya kau dahulu tidak berlaku seenaknya, mana mungkin di hari tua begini
kau terbirit-birit karenanya"!"
"Ah.... Kau selalu saja usil urusanku dahulu!" kata orang pemegang tongkat lalu
tanpa mengajak, dia melangkah terbungkuk-bungkuk. "Semuanya sudah terjadi! Tak
mungkin dapat kutarik lagi...."
"Uhh.... Itu lagi, itu lagi ucapan yang selalu kau katakan!
Ungkapan umumnya laki-laki setelah mendapat yang
diinginkan!" gumam orang yang duduk. Dan begitu melihat si pemegang tongkat
sudah berada jauh di depan sana, orang ini dongakkan kepala. Pantatnya berputar
melingkar. Lalu dia turun dari batu cadas. Saat lain ia mulai tersaruk-saruk melangkah
mundur menyusul si pemegang tongkat.
Begitu kedua laki-laki bertampang arang ini sampai di bawah batu yang membentuk
bukit di sebelah kiri kedung, keduanya hentikan langkah masing-masing. Si orang
yang tadi melangkah mundur balikkan tubuh, lalu melihat ke arah gubuk hitam. Di
sebelahnya si pemegang tongkat
tadangkan tangan kiri di depan kening dan putar kepala dengan mata melirik ke
kanan kiri kedung. Lalu tengadah melihat langit.
"Hem.... Waktunya masih panjang. Kita masih leluasa tidur-tiduran melepas
lelah...," kata si pemegang tongkat.
Dia melangkah satu tindak ke belakang orang yang tadi melangkah mundur. Tongkat
di tangan kanannya serta-merta ditusukkan pada pantat orang di depannya.
"Hai! Apa yang kau lakukan"!" bentak orang yang tadi melangkah mundur. Yang
ditanya tidak buka mulut
menjawab, sebaliknya sentakkan tongkat di tangannya
perlahan saja. Bersamaan dengan itu kaki kirinya menjejak tanah berpasir yang
menghampar di depan kedung. Wuutt!
Wuuutt! Laksana didorong gelombang angin luar biasa dahsyat, saat itu juga sosok kedua
orang berwajah hitam itu
melesat ke udara lalu mendarat tepat di samping kanan gubuk hitam di puncak
batu. Kedua orang itu sesaat memperhatikan kain hitam yang dibuat dinding dan atap
gubuk. Lalu perlahan-lahan
keduanya masuk ke dalam gubuk. Si pemegang tongkat
menghadap kedung, sementara si orang yang melangkah
mundur memunggungi kedung.
"Ah.... Ternyata enak juga.... Aku jadi cepat ingin tidur!"
ujar si pemegang tongkat. Lalu orang ini tekuk kedua kakinya bergerak duduk. Si
orang yang tadi melangkah mundur melirik ke kanan kiri. Lalu tanpa buka mulut
dia melangkah satu tindak ke samping kiri dan ikut-ikutan duduk.
Si pemegang tongkat tarik tangan kanannya yang
memegang tongkat ke belakang. Tongkat kayu di tangan kanannya lalu dilintangkan
Pedang Keadilan 10 Panji Sakti Karya Khu Lung Pedang Berkarat Pena Beraksara 9
^