Pencarian

Kitab Serat Biru 1

Joko Sableng Kitab Serat Biru Bagian 1


scan+Djvu : Ardiansyah Kaskus Conv
er+Edit+Pdf : Abu Keisel
Format Ebook : Hanaoki
Episode I : Rahasia Pulau Biru
Episode II : Malaikat Penggali Kubur Episode III : Kitab Serat Biru SATU
DATUK Hitam tegak di atas tanah ruangan gua dengan air muka berubah beringas.
Sepasang bola matanya mendelik angker bergerak liar ke seluruh ruangan dan
keluar mulut gua. Tapi kakek ini makin dibuat terhenyak, karena dia tidak
menangkap adanya seseorang!
"Pendengaranku jelas baru saja mendengar suara orang! Jahanam betul! Mana
bangsat manusianya"!" sang datuk perdengarkan makian keras. Sementara sepasang
matanya terus perhatikan keadaan sekeliling. Namun sejauh ini dia tetap tak bisa
menangkap adanya seseorang, hingga seraya palingkan kepala ke arah Dewa Sukma
yang tetap memejamkan mata seolah tak hiraukan bahaya sedang mengancam, Datuk
Hitam menenangkan diri sendiri dengan bergumam pelan.
"Mungkin telingaku yang tergoda....
Lagi pula perlu apa turuti ucapan orang kalau hendak membunuh bangsat ini"!"
Namun meski si kakek telah berusaha menenangkan diri, jelas wajahnya masih
membayangkan kebimbangan. Hingga untuk sekian kalinya, sang datuk edarkan
pandangannya sekali lagi. Ketika yakin bahwa sepasang matanya memang tidak
melihat adanya orang, dia angkat kedua tangannya kembali siap lepaskan pukulan
maut pada Dewa Sukma.
Belum sampai kedua tangan sang datuk bergerak lepaskan pukulan, kembali
terdengar suara teguran. Malah kali ini terngiang jelas di telinga si kakek
seolah suara itu diperdengarkan di depan telinganya!
"Aneh. Orang telah menyuruhnya pergi.
Tapi masih tegak melotot bahkan hendak teruskan niat lepaskan pukulan. Hik...
hik... hik...! Apakah dia mengira sebagai malaikat maut yang seenaknya saja bisa
cabut nyawa orang"!"
Datuk hitam cepat sentakkan kepala dengan kedua tangan bergerak memukul ke
samping, hingga saat itu juga lamping ruangan gua bagian sisi kanan berantakan
dan untuk beberapa saat ruangan gua itu bergetar keras! Seraya angkat kembali
kedua tangannya Datuk Hitam membentak.
"Bertampang apa pun kau adanya, kenapa tak berani tampakkan diri, nah"!
Terdengar suara orang tertawa panjang. Lalu terdengar ucapan.
"Tampangku mungkin akan membuatmu kecewa. Tapi agar kau tak penasaran, kuturuti
kata-katamu! Hik... hik...
hik...!" Suara tawa orang belum lenyap, tahu-tahu ruangan gua disesaki bau busuk. Namun
sesaat kemudian berubah menjadi bau luar biasa harum. Tatkala Datuk Hitam
menoleh ke samping kiri, terlihat tegak seorang nenek mengenakan jubah warna
merah menyala sepuluh langkah dari tempatnya berdiri.
Nenek ini berambut putih sebatas tengkuk. Sepasang kelopak matanya besar tapi
matanya yang menjorok masuk amat sipit. Mulutnya selalu bergerak-gerak memainkan
gumpalan tembakau hitam keluar masuk!
"Ratu Malam!" desis Datuk Hitam mengenali siapa adanya nenek berjubah merah.
"Kemunculannya pasti untuk urusan peta itu!" duga Datuk Hitam lalu turunkan
kedua tangannya.
"Untung kau masih mengenali tampangku, Datuk Hitam...! Kuharap kau tak kecewa
dengan tampang ini! Hik... hik...
hik...! Lebih dari itu, mudah-mudahan rasa penasaranmu sirna...."
"Ratu Malam! Terangkan apa hubunganmu dengan manusia tergantung ini sampai kau
menghalangi urusanku"!"
Ratu Malam tertawa lebih dulu sebelum berkata. "Seribu keterangan tak akan
membuatmu mengerti! Lebih baik segera tinggalkan tempat ini!"
"Aku yang punya urusan dahulu. Aku berhak melakukan apa yang kumau! Harap kau
jangan mengganggu urusanku! Dan lekas angkat kaki dari hadapanku!"
"Wah. Bagaimana bisa begitu"! Kau boleh punya urusan dahulu, tapi tidak berarti
kau berhak melakukan apa yang kau mau!"
Habis berkata begitu Ratu Malam putar tubuh membelakangi Datuk Hitam. Kepalanya
ditengadahkan, lalu dari mulutnya terdengar siulan dendangkan nyanyian.
Kedua kakinya pun ikut bergerak-gerak seakan mengikuti irama siulan.
Untuk sesaat Datuk Hitam pandangi punggung si nenek. Dan setelah ditunggu agak
lama Ratu Malam tetap bersiul malah kini dengan goyang-goyangkan kepalanya ke
kanan dan kiri, Datuk Hitam keluarkan bentakan keras.
"Ratu Malam! Kau benar-benar ingin berurusan denganku!"
Ratu Malam putuskan siulannya, tapi kepalanya masih tetap bergoyang-goyang.
Lalu terdengar nenek ini berujar.
"Itu dugaanmu! Aku punya urusan dengan orang yang digantung, bukan dengan kau!"
Sejurus Datuk Hitam terdiam. Namun sepasang
mata kakek ini berkilat, rahangnya mengembang. Mulutnya bergerak membuka, namun
sebelum ucapannya terdengar, Ratu Malam telah berujar lagi.
"Harap kau dengar ucapanku, tinggalkan tempat ini, atau...."
"Jahanam!" potong Datuk Hitam.
"Urusanku belum selesai!" sentaknya dengan sepasang mata di-pentangkan besar
pandangi bagian belakang tubuh Ratu Malam.
"Selesai atau belum bukan urusanku!
Hik... hik... hik...! Yang kuminta kau lekas angkat kaki dari belakangku!"
Meski dadanya bergemuruh mendengar kata-kata Ratu Malam, namun kakek ini cepat
berpikir. "Meski mulut gua berantakan, lalu pemuda bangsat yang menyebut dirinya
Malaikat Penggali Kubur barusan dari sini, tapi aku belum mendapat jawaban pasti
dari mulut Dewa Sukma sendiri tentang peta itu. Hemmm.... Siapa tahu Dewa Sukma
sebenarnya masih menyimpan peta itu. Aku harus membawanya dan mengorek
keterangan dari mulutnya!"
Datuk Hitam segera putar diri menghadap Dewa Sukma. Lalu kedua tangannya
bergerak menjulur menakup pada pinggang Dewa Sukma. Kejap kemudian sang datuk
sentakkan tubuh Dewa Sukma yang menggantung. Namun kakek ini jadi terkesiap.
Jangankan sosok Dewa Sukma melorot jatuh, bergeming pun tidak! Bahkan saat itu
juga Datuk Hitam segera lepaskan kedua tangannya dari pinggang Dewa Sukma dan
mundur dua langkah. Sepasang matanya membeliak menatap pada kedua tangannya yang
baru saja memegang pinggang Dewa Sukma. Ternyata kedua telapak tangan sang datuk
telah menggembung!
"Laknat! Sinar apa sebenarnya yang menggantung dan membelit tubuh Dewa Sukma
ini"!" maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya yang
menggembung dan terasa luar biasa panas.
Selagi Datuk Hitam dilanda keheranan dengan apa yang baru saja dialami, Ratu
Malam yang tegak membelakangi tiba-tiba menegur.
"Datuk! Apakah perlu kuulangi lagi ucapanku"!"
"Persetan! Urusanku belum tuntas.
Jangan harap aku tinggalkan tempat ini tanpa mendapat apa-apa!"
Lalu tanpa acuhkan ucapan Ratu Malam, Datuk Hitam kerahkan tenaga dalam dan
cepat kedua tangannya menakup pinggang Dewa Sukma. Mula-mula sang datuk
merasakan hawa hangat masuk melalui kedua telapak tangannya. Sadar akan apa yang
hendaK terjadi, kakek ini segera lipat gandakan tenaga dalam. Hingga hawa hangat itu
meski pelan-pelan berubah panas namun si kakek masih mampu untuk menahannya.
Tak menunggu lama, Datuk Hitam segera lorot-kan sepasang kakinya ke bawah.
Serentak kedua tangannya membetot. Namun hingga keringat keluar membasahi
tubuhnya, tali berupa sinar yang menggantung tubuh Dewa Sukma tak juga lepas.
"Gila! Aku tak bisa menunggu lama-lama!" seru Datuk Hitam. Lalu dia lepaskan
telapak tangannya dari pinggang Dewa Sukma. Kejap lain kedua tangannya bergerak
menghantam ke atas, ke arah tali berupa sinar hitam yang menggantung tubuh Dewa
Sukma. Beettt! Beettt!
Pukulan Datuk Hitam menyambar tali berupa sinar, namun sang datuk jadi melengak.
Walau pukulannya mengenai sasaran, namun tali itu hanya bergoyang-goyang!
"Setan keparat!" maki sang datuk.
Cepat dia kembali kerahkan tenaga dalam.
Mendadak sentak kedua telapak tangannya mengembang dan didorong keras ke atas,
lepaskan pukulan sakti 'Puspa Jagat'.
Suasana pekat kejap itu segera menyungkup ruangan gua. Lalu terdengar suara....
Tass! Tasss! Berulangkah, disusul dengan suara bergede-bukan benda jatuh.
Saat suasana terang kembali, tampak sosok Dewa Sukma telentang di lantai gua
dengan mata terpejam rapat dan napas megap-megap. Perlahan-lahan Dewa Sukma buka
kelopak matanya. Lalu hendak bergerak bangkit. Namun kakek ini jadi kernyitkan
dahi, sementara sepasang matanya perhatikan Datuk Hitam.
Datuk Hitam tertawa mengekeh. "Dewa Sukma. Maaf, untuk sementara waktu tubuhmu
kubuat tidak bisa bergerak!"
Ternyata seraya menarik pinggang Dewa Sukma selagi hendak dibetot ke bawah,
Datuk Hitam lancarkan totokan, hingga saat tubuh Dewa Sukma telah jatuh di
lantai gua, orang tua itu tak bisa membuat gerakan! Bahkan suaranya pun laksana
tersumbat di tenggorokan!
Tanpa berkata-kata lagi, Datuk Hitam melangkah dua tindak ke depan. Tangan kiri
kanan bergerak hendak meraih tubuh Dewa Sukma yang masih dalam keadaan tertotok.
Namun baru saja kedua tangannya menyentuh pinggang, Ratu Malam perdengarkan
ucapan. "Harap tinggalkan tempat ini sendirian, Datuk Hitam!"
Datuk Hitam tarik pulang kedua tangannya. Lalu dengan mata melotot besar dia
angkat kepalanya dan putar diri menghadap Ratu Malam. Raut wajahnya yang
berwarna hitam makin mengelam. Dari hidungnya terdengar dengusan keras. Jelas
pertanda kakek berwajah hitam angker ini sedang menahan marah besar. Tapi
kembali dada Datuk Hitam diusik urusan peta. Jika turuti hawa kemarahan ingin
rasanya sang datuk segera lepaskan pukulan pada Ratu Malam. Namun kakek berwajah
hitam ini sekali lagi masih berpikir. Dia sadar, siapa adanya Ratu Malam. Kalau
pun dia dapat mengimbangi tak urung pasti akan mengalami cedera, padahal dia
harus membawa tubuh Dewa Sukma.
Berpikir sampai di situ akhirnya Datuk Hitam berujar.
"Ratu Malam! Kalau kau punya urusan dengan anak manusia ini, cepat selesaikan!"
Ratu Malam balikkan tubuh. Sepasang matanya sejenak berputar bergantian menatap
ke arah Dewa Sukma dan Datuk Hitam. Kejap kemudian terdengar dia tertawa panjang
sebelum akhirnya berkata.
"Urusanku dengannya tak boleh dilihat dan didengar orang lain! Jadi harap angkat
kaki dari sini!"
Tubuh Datuk Hitam tampak bergetar menahan marah. "Kau manusia serakah tak tahu
diuntung! Jangan berani ucapkan perintah dan berani bergerak dari tempatmu, kau
cari mampus!"
Habis berkata demikian, Datuk Hitam bergerak memutar. Tubuhnya sedikit
membungkuk, sementara tangan kanannya bergerak ke bawah. Saat sang datuk kembali
menghadap Ratu Malam, tubuh Dewa Sukma telah berada di pundaknya!
Tanpa memandang lagi pada Ratu Malam, Datuk Hitam segera berkelebat. Tapi
langkah sang datuk tertahan tatkala tiba-tiba Ratu Malam gerakkan jubahnya dan
tahu-tahu sosoknya tegak menghadang empat langkah di hadapan Datuk Hitam!
"Kau cari mati berani hadang langkahku!" gertak Datuk Hitam. Kedua telapak
tangannya dikembangkan. Kakek ini tahu siapa lawan yang dihadapi, hingga dia
langsung siapkan pukulan sakti 'Puspa Jagat'.
Begitu mengetahui Ratu Malam tetap tak beranjak dari hadapannya, Datuk Hitam
segera dorong kedua tangannya kirimkan pukulan 'Puspa Jagat'! Ruangan gua
kembali diselimuti kegelapan. Lalu menghampar udara luar biasa panas disusul
dengan menggebraknya gelombang angin kencang!
Ratu Malam tak tinggal diam. Begitu keadaan gelap, nenek ini segera pukulkan
kedua tangannya ke depan.
Di antara kegelapan suasana terlihat cahaya menyeruak. Lalu menghampar hawa luar
biasa dingin yang tak lama kemudian menindih lenyap hawa panas yang keluar dari
pukulan Datuk Hitam. Gelombang angin kencang yang melesat dari telapak tangan
sang datuk laksana ditekan kekuatan hebat dari sebelah atas, hingga bukan saja
membuat gelombang angin itu tertahan namun kejap itu juga menukik deras ke bawah
menghantam lantai ruangan gua.
Bummm! Lantai ruangan gua pecah berantakan membentuk lobang menganga lebar. Di sebelah
depan sana, sosok Datuk Hitam tampak tersapu deras ke belakang sebelum terhenti
setelah menghantam bagian samping ruangan gua. Sosok Dewa Sukma yang tadi ada di
pundaknya mencelat mental dan jatuh berge-debukan di lantai.
Di seberang, sosok Ratu Malam terhuyung-huyung. Tapi sebelum tubuhnya menghantam
bagian samping ruangan gua. si nenek dapat kuasai diri. Seraya memainkan
gumpalan tembakau hitam di mulutnya, Ratu Malam tertawa pendek lantas melangkah
maju tiga tindak
Sambil bersandar punggung pada bagian samping ruangan gua, Datuk Hitam sibakkan
rambut yang menghalangi sepasang matanya.
Kedua tangan kakek ini tampak bergetar.
Dadanya bergerak turun na*k tak karuan.
Dan samar-sama' dari balik rambut yang menutupi sebagian wajahnya tampak darah
kehitaman kei jar dari sela mulutnya.
"Jahanam! Ini gara-gara Malaikat Penggali Kubur keparat! Jika saja tidak bentrok
lebih dulu dengannya, tak mungkin aku terluka begini rupa! Sialan betul!"
maki Datuk Hitam sambil kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi rasa sakit pada
dadanya. Seperti diketahui, sebelum ini Datuk Hitam sempat bentrok dengan Malaikat
Penggali Kubur. (Lebih jelasnya baca episode: "Malaikat Penggali Kubur"). Meski
saat itu tak mengalami cedera, namun mau tak mau membawa pengaruh saat pukulan
yang dilepaskan bentrok dengan pukulan Ratu Malam.
"Jika urusan ini tak cepat selesai, bisa-bisa aku yang akan celaka!" bisik Datuk
Hitam. Serta-merta kakek ini alirkan tenaga dalamnya kembali pada kedua telapak
tangan dan sepasang kakinya. Di lain kejap tiba-tiba tubuh Datuk Hitam melenting
satu tombak ke atas. Membuat gerakan telentang di udara. Masih dengan telentang
sosoknya berputar-putar melesat ke arah Ratu Malam.
Kedua tangannya pun serta-merta mendorong lepaskan pukulan. Kakek ini telah
kerahkan jurus 'Mendera Bayu' sekaligus kirimkan pukulan 'Puspa Jagat'. Selama
malang melintang dalam rimba persilatan hanya beberapa orang yang benar-benar
berilmu tinggi yang dapat lolos jika Datuk Hitam telah kerahkan gabungan jurus
'Mendera Bayu' dan 'Puspa Jagat'.
Ratu Malam sendiri sejenak tampak terpana dengan sepasang mata dibeliakkan dan
mulut terkancing rapat. Nenek ini bukan hanya merasakan hawa panas dan
menderunya gelombang angin yang luar biasa dahsyat, namun juga tak dapat
memastikan di "ana beradanya sosok Datuk Hitam, karena ruangan gua telah berubah
gelap gulita! Sambil menggerendeng panjang pendek, akhirnya Ratu Malam membuat gerakan
berputar-putar. Terdengar deruan mendesis-desis. Lalu tampak kabut putih
membungkus tubuh si nenek laksana pembatas yang memagari.
Gelombang angin menebar hawa panas dan sepasang kaki Datuk Hitam terus mendekat.
Sejengkal lagi gelombang angin dan tendangan kaki menggebrak tubuh Ratu Malam
yang terbungkus kabut putih, sang datuk keluarkan bentakan keras.
Braakkk! Bummm!
Terdengar benturan keras yang disusul dengan dentuman menggelegar. Ruangan gua
bergetar keras. Mulut gua yang berantakan tampak ambrol menganga. Langit-langit
ruangan gua rontok menaburkan batu-batu kecil.
Sosok Datuk Hitam terlihat mental balik laksana menghantam benda keras.
Begitu kerasnya mental-an tubuhnya, sampai tak sempat bagi sang datuk untuk
berusaha hentikan laju tubuhnya, hingga kejap kemudian sosoknya menghantam
bagian samping ruangan gua. Perlahan-lahan tubuh Datuk Hitam melorot jatuh
dengan punggung bersandar pada bagian samping ruangan gua.
Darah kehitaman kini mengalir dari mulut dan hidungnya pertanda luka dalamnya
cukup parah. Di seberang, sosok Ratu Malam tampak bersandar pada bagian samping ruangan gua.
Meski masih terlihat berdiri, namun tubuhnya agak melorot. Wajahnya pun berubah
pias. Jubah merahnya bagian samping hangus hitam. Untuk beberapa saat nenek
berambut putih sebatas tengkuk ini usap-usap dadanya dengan mulut komat-kamit
mainkan gumpalan tembakau hitam di dalamnya. Malah beberapa kali tampak menghela
napas seraya menghisap gumpalan tembakau di mulutnya.
"Puluhan tahun terjun dalam kancah persilatan, baru kali ini aku menemui lawan
yang tak mempan gabungan pukulanku!
Jahanam betul! Meneruskan bentrok hanya akan membawa celaka...," gumam Datuk
Hitam. Sejurus dia memandang ke arah Ratu Malam yang kini telah tegak dan hendak
melangkah. Lalu alihkan pandangannya pada sosok Dewa Sukma yang ternyata telah
mental jauh dari tempat semula.
"Hem.... Kalau aku tetap ingin membawa Dewa Sukma, nenek tua itu tidak bisa
kulewati hari ini. Terpaksa aku pergi bertangan kosong!" Datuk Hitam bergerak
bangkit.

Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil arahkan pandangan matanya keluar gua, sang datuk berucap.
"Tua bangka Ratu Malam! Saat ini aku bersumpah. Siapa pun tak akan kubiarkan
menyentuh nya-w .mu! Raga dan nyawamu keiak akulah yang menentukan!"
Di seberang, mendengar sumpah Datuk Hitam,
Ratu Malam tertawa panjang.
"Aku tahu. Ucapanmu hanya untuk menghindar. Namun aku ingin buktikan juga,
apakah kelak ucapanmu akan jadi kenyataan.
Hik... hik... hik...!"
Dagu Datuk Hitam di balik uraian rambutnya yang menutupi wajahnya tampak
mengembang. Kedua kakinya bergetar keras.
Tapi daripada mencari celaka jika perturutkan kemarahan, akhirnya tanpa berkata
apa-apa lagi Datuk Hitam berkelebat tinggalkan ruangan gua.
Ratu Malam pandangi kepergian Datuk Hitam dengan tertawa mengekeh panjang.
Lalu begitu so-" *k sang datuk lenyap, si nenek melangkah mende k?.i ke arah
Dewa Sukma yang masih tergeletak diam dengan mata terpejam dan napas megap-
megap. DUA SI nenek cepat duduk bersila di samping tubuh Dewa Sukma. Tangan kanan kirinya
bergerak cepat membuat ketukan beberapa kali di bagian tertentu dari tubuh Dewa
Sukma. Seketika itu juga Dewa Sukma buka kelopak matanya. Tubuhnya ikut bergerak-gerak.
Mulutnya perlahan-lahan membuka seolah hendak bicara. Namun sebelum ucapannya
terdengar, Ratu Malam telah mendahului.
"Nanti saja bicara. Sekarang bantu aku mengembalikan tenagamu!"
"Sekar Mayang...," bisik Dewa Sukma memanggil nama asli Ratu Malam. "Kau ini
bagaimana" Tubuhku laksana tak bertenaga.
Bagaimana mungkin aku bisa membantumu"!"
Sejurus Ratu Malam perhatikan sekujur tubuh Dewa Sukma. Ternyata tubuh kakek ini
telah mengembung di beberapa bagian dan membentuk libatan di balik pakaiannya
yang ternyata juga telah robek tak karuan.
"Hemm.... Ini akibat libatan sinar celaka itu! Hanya ada satu orang yang punya
pekerjaan seperti ini. Apakah memang dia orangnya..." Ah, bisa bahaya jika
benar-benar dia!" kata Ratu Malam dalam hati. Lalu tanpa bicara lagi dia
balikkan tubuh Dewa Sukma. Kedua tangannya ditempelkan pada punggung si kakek
yang juga adalah kakak seperguruannya itu.
Dewa Sukma tampak keluarkan keluhan, sosoknya berguncang-guncang. Namun Ratu
Malam tak hiraukan keluhan orang. Malah dia lipat gandakan
tenaga dalamnya, hingga untuk beberapa saat sosok Dewa Sukma terlihat naik turun
sejengkal dari lantai gua! Tapi beberapa saat kemudian, tubuh Dewa Sukma tampak
diam, dan bersamaan dengan itu napasnya bergerak teratur
Ratu Malam buka kelopak matanya dan menarik napas lega. Lalu kedua tangannya
mengusap bagian yang mengembung dari tubuh Dewa Sukma. Sedikit demi sedikit
bagian yang mengembung dan membentuk libatan itu mengempis.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewa Sukma perdengarkan batuk berulang kali.
Ratu Malam tarik pulang kedua tangannya.
Lalu menatap pada Dewa Sukma yang perlahan-lahan membuat gerakan hendak bangkit.
Tapi tubuhnya oleng dan sebentar kemudian jatuh kembali telengkup di atas lantai
gua. "Jalu Paksi...," ucap Ratu Malam dengan sebut nama asli Dewa Sukma.
"Alirkan tenaga dalammu untuk pulihkan tenaga. Aliran darahmu masih tersumbat!"
Dewa Sukma segera balikkan tubuh menelen-tang. Kedua tangannya merangkap di atas
dada. Sementara sepasang matanya dipejamkan rapat. Dari mulutnya terdengar
gumaman pelan tak jelas.
Setelah merasa aliran darahnya normal, Dewa Sukma buka matanya. Lalu pelan-pelan
bergerak bangkit dan duduk bersila dengan kedua tangan diletakkan di atas paha
kiri kanan. "Sekar Mayang.... Tumben kau
menyambangi diriku! Kukira kau telah menganggapku tidak ada!"
Ratu Malam komat-kamitkan mulut mainkan gumpalan tembakau hitam. Sepasang
matanya dilebarkan pandangi sosok Dewa Sukma
"Dasar Tua bangka tak tahu diri!
Sudah ditolong masih juga mengomel bicara tidak karuan!" gerendengnya lalu
berkata. "Siapa manusia yang membuatmu tak berkutik kaki di atas kepala di bawah, he"!"
Dewa Sukma tak memberi jawaban. Kakek ini terlihat arahkan pandangannya keluar
gua: Lalu beralih pada mulut gua sebelah kiri yang porak poranda.
"Jalu Paksi!" kata Ratu Malam setelah agak lama ditunggu Dewa Sukma tidak juga
buka mulut. "Sesuatu telah terjadi di luaran sana! Aku melihat beberapa orang
berkeliaran dan aku menduga mereka memegang rahasia yang selama ini kita simpan!
Jangan-jangan kau memberikan pada orang yang salah....
"Rupanya kau tahu banyak, Sekar Mayang...."
"Eh. Apa maksudmu"!"
"Penggalan peta itu memang telah jatuh pada orang yang salah! Tapi itu bukan
salahku!" "Sialan! Sudah jelas berbuat salah masih juga berdalih!" maki Ratu Malam
setengah berteriak. Lalu menyambung.
"Siapa keparatnya yang mengambil peta itu"
Katakan cepat!"
Dewa Sukma gelengkan kepala. "Aku tak bisa pastikan siapa dia...."
"Setan!" tukas Ratu Malam. "Bagaimana bisa begitu"!"
"Kau tak juga berubah, Mayang....
Selalu marah-marah...," gumam Dewa Sukma sambil menarik napas dalam-dalam.
"Bagaimana aku akan enak-enakan.
Sedang penggalan peta itu adalah pesan mendiang guru yang harus dijaga dan
diserahkan pada orang yang telah ditentukan! Dunia persilatan akan mengalami
kiamat jika peta itu sampai berada di tangan orang lain. Apa kau berani tanggung
jawab, heh"!"
"Tapi...."
Belum usai ucapan Dewa Sukma, kembali Ratu Malam telah memotong. "Tidak ada
tapi! Meski kau tak bisa memastikan siapa adanya orang itu, setidak-tidaknya kau
bisa menduga! Ayo katakan!"
"Hemm.... Melihat pukulannya serta sinar hitam yang menggantungku, aku menduga
dia adalah Dur-ga Ratih. Tapi menilik pakaian yang dikenakan, aku jadi ragu-
ragu!" "Apa pakaian yang dikenakan" Apakah potongan pakaiannya merangsang sampai kau
bertekuk lutut" Dadanya terbuka, pananya ternganga"!"
Dewa Sukma yang tahu bagaimana sifat adik seperguruannya hanya geieng-geieng
kepala. "Kau salah besar, Mayang. Justru orang itu menutup seluruh anggota
tubuhnya. Malah wajahnya pun ditutup dengan cadar hitam!"
"Kau tadi menduga siapa"!" tanya Ratu Malam.
"Durga Ratih...!"
"Persis! Aku pun menduga dialah pembuat ulah ini! Tapi bagaimana tahu-tahunya
banyak orang yang berkeliaran dan seoiah-olah tahu betul seluk-beluk urusan peta
itu?" "Tak ada jawaban yang pasti daripada mencari tahu sendiri, Mayang!"
"Hem.... Jika begitu, kita cepat pergi dari sini!" ujar Ratu Malam seraya
bangkit berdiri.
"Hei, ada apa denganmu, hah" Kau menyembunyikan sesuatu! Wajahmu berubah!"
kata Ratu Malam begitu bangkit dan dilihatnya Dewa Sukma tak juga beranjak dari
tempatnya. "Dengar, Mayang..."
"Sialan! Kau kira sejak tadi aku tuli, heh"!"
"Ada urusan lain yang harus kau ketahui, Mayang...."
"Urusan penggalan peta dan menyelamatkannya jauh lebih pentingi Urusan lain
belakangan!" sahut Ratu Malam seraya sedikit pelototkan sepasang matanya.
"Justru urusan ini ada sangkut-pautnya dengan penggalan peta itu!"
"Hemm.... Aku pasang telinga. Katakan apa urusannya!"
Beberapa saat Dewa Sukma diam. Namun sesaat kemudian dia buka mulut.
"Mendiang Eyang guru memberikan sebuah kotak padaku. Kotak itu berisi peta
sempurna yang menunjukkan arah ke Pulau Biru. Eyang sengaja memberikan padaku
untuk menjaga kemungkinan jika salah satu di antara kita berlima ada yang
mendapat halangan dan tak bisa sampaikan penggalan peta di tangannya pada orang
yang ditentukan."
"Mana sekarang kotak itu"! Orang yang ditentukan itu sekarang sudah muncui!
Daripada dia mencari penggalan peta, lebih baik kotak itu kita serahkan. Seperti
kukatakan, telah banyak orang berkeliaran.
Jika tidak bertindak cepat, tidak mustahil akan kedahuluan orang, apalagi peta
di tanganmu telah raib!"
"Kotak itu juga telah raib, Mayang...."
"Apa"!" teriak Ratu Malam keras.
Nenek ini tersentak kaget dan maju satu tindak dengan sepasang mata mendelik
menatap lekat pada Dewa Sukma.
"Kau jangan bercanda, Jalu Paksi!"
"Aku tahu mana tempat bercanda, dan mana tempat harus bersungguh-sungguh!"
"Kiamat! Benar-benar kiamat!"
gerendeng Ratu Malam seraya melangkah mondar-mandir dengan kedua tangan mengepal
dan sesekali dipukulkan satu sama lain.
"Apakah perempuan keparat itu juga yang menggondolnya"!"
"Bukan. Dia seorang pemuda yang menyebut dirinya Malaikat Penggali Kubur.
Dia mengaku murid Bayu Bajra...."
"Sialan! Betul-betul sialan! Berarti makin banyak orang telah tahu rahasia Pulau
Biru! Ini semua akibat kesalahanmu, Jalu Paksi! Kesalahanmu!" kata Ratu Malam
sambil bantingkan kedua kakinya.
"Aku tertipu, Mayang...."
"Alasan! Bagaimanapun cerdiknya orang menipu, kalau kau berpegang teguh pada
pesan Eyang guru tak mungkin kotak itu jatuh pada orang! Apalagi urusan kotak
itu hanya kau satu-satunya dari kelima murid Eyang guru yang dipercaya
menyimpannya! Atau karena dia murid dari adik kandungmu hingga kau begitu gampang menyerah-
kannya"!"
"Mayang! Kau jangan menduga yang tidak-tidak! Sudah kukatakan aku ditipu!"
kata Dewa Sukma dengan suara sedikit keras.
"Aku tidak menduga buruk, Jalu Paksi.
Tapi saat itu tidak ada orang lain yang melihat! Hanya kau dan orang berjuluk
Malaikat Penggali Kubur. Jadi hanya kalian berdua yang tahu pasti apa yang
terjadi!" "Nada ucapanmu masih mencurigaiku!"
Ratu Malam tertawa pendek. "Terus terang, meski aku tak mendapat kepercayaan
Eyang guru, tapi setidak-tidaknya aku punya kewajiban untuk ikut campur. Apakah
salah jika muncul satu dugaan karena aku tidak tahu apa sebenarnya yang
terjadi"!"
"Mayang! Tak ada gunanya kita berdebat!"
"Lantas"!"
"Kita menemui Iblis Ompong, Gendeng Panuntun, dan Dewi Es!"
Untuk beberapa saat Ratu Malam tegak diam. Sepasang matanya memandang keluar
gua. "Aku kini mengkhawatirkan pemuda itu!
Jangan-jangan dia mendapat halangan sebelum berhasil menemukan penggalan peta
itu!" "Siapa namanya?" tanya Dewa Sukma seraya bangkit.
"Seperti ciri-ciri yang dikatakan Eyang guru, karena dia memiliki Pedang Tumpu!
131 maka rimba persilatan menggelarinya Pendekar Pedang Tumpul 131."
"Kalau begitu, hem.... Bagaimana kalau kita berpencar, aku menemui Iblis Ompong,
Gendeng Panuntun dan Dewi Es, sementara kau menyusur jalan mencari pemuda itu!
Bukankah kau sedikit banyak tahu ke mana arah pemuda itu?"
Ratu Malam tampak berpikir. Lalu berpaling pada Dewa Sukma dan berkata.
"Baik. Berhasil atau tidak setengah purnama di depan kau kutunggu di tempatku!"
Setelah berkata begitu, Ratu Malam melangkah ke arah mulut gua. Sejurus dia
berhenti di mulut gua dan perhatikan mulut gua sebelah kiri yang porak-poranda.
Nenek berjubah merah menyala ini terdengar bergumam tak jelas. Lalu menoleh ke
arah Dewa Sukma.
Seakan dapat menangkap apa yang ada dalam benak Ratu Malam, Dewa Sukma segera
berucap. "Jangaa mengajak betdebat lagi.
Mayang! Semuanya sudah terjadi!"
Ucapan Dewa Sukma belum selesai, Ratu Malam telah kembali berpaling keluar gua.
Lalu sekali berkelebat, sosoknya lenyap dari pandangan kakak seperguruannya.
Dewa Sukma menarik napas panjang.
Lalu edarkan pandangannya ke seluruh ruangan gua yang be-rantakan. Kejap lain
sosoknya melesat keluar dari gua!
TIGA MATAHARI mulai menggelincir turun dari titik tengahnya. Satu sosok bayangan
putih ber kelebatan cepat laksana dikejar hantu genta yangan. Pada satu tempat
si sosok hentikan larinya Kepalanya berputar dengan sepasang mata menya pu
seantero tempat tak jauh dari tempatnya berdiri Ternyata dia berada di lereng
sebuah bukit kecil.
"Hemm.... Tempat ini agaknya aman...," gumam si sosok yang ternyata adalah
seorang pemuda berparas tampan berpakaian putih-putih dengan rambut sedikit
acak-acakan dibalut ikat kepala yang juga berwarna putih.
Sang pemuda berpaling ke sebelah kanan, di mana pada bahu kanannya tampak
sesosok tubuh. Setelah meyakinkan sekali lagi bahwa tempat di mana dia berada
aman, sang pemuda perlahan-lahan turunkan sosok yang ada di bahunya.
Di hadapan si pemuda kini tampak telentang seorang gadis muda berwajah jelita
mengenakan pakaian warna merah dengan rambut panjang hitam lebat yang dikuncir
tinggi menggunakan ikat kepala warna putih. Hidungnya mancung dengan bulu mata
lentik dan ditingkahi bibir membentuk bagus.
Perlahan-lahan si gadis buka kelopak matanya. Sejenak tampak rasa terkejut
membayang pada raut wajahnya. Namun kejap kemudian berubah malah bibirnya
sunggingkan senyum meski parasnya agak kemerahan.
"Pendekar 131.... Terima kasih...,"
ucap si gadis dengan sepasang mata menatap tajam pada pemuda yang jongkok di
sampingnya. Si pemuda menggeleng pelan. "Dewi Seribu Bunga.... Simpan dulu ucapan itu.
Aku perlu memeriksa lukamu...."
Seperti dituturkan dalam episode:
"Malaikat Penggali Kubur", saat terjadi pertemuan antara Pendekar 131 Joko
Sableng dengan Ayu Laksmi tiba-tiba muncullah Dewi Seribu Bunga. Karena menuruti
pesan gurunya Dewi Siluman yang harus menyingkirkan siapa saja yang bertemu di
jalan dan diduga berat memburu Kitab Serat Biru, Ayu Laksmi segera lepaskan
pukulan. Karena Ayu Laksmi merasa geram dengan ucapan Dewi Seribu Bunga, gadis
ini langsung lepaskan pukulan pertamanya pada Dewi Seribu Bunga.
Di lain pihak, Dewi Seribu Bunga yang diam-diam merasa cemburu dengan Ayu Laksmi
karena melihat gadis itu berdua-dua dengan pemuda yang diam-diam juga
dirindukannya, tak tinggal diam. Akhirnya terjadilah bentrok. Saat itulah muncul
Wulandari, salah seorang saudara seperguruan Ayu Laksmi. Kedua gadis ini segera
lepaskan pukulan bersama-sama pada Pendekar 131
yang saat itu menolong Dewi Seribu Bunga.
Karena tak mau dirinya celaka juga untuk selamatkan Dewi Seribu Bunga, murid
Pendeta Sinting segera pula menangkis dengan pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Begitu bentrok pukulan terjadi, Pendekar 131 cepat menyahut sosok Dewi Seribu
Bunga dan berkelebat tinggalkan tempat.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala seraya bangkit. "Aku tak apa-apa.... Maaf,
aku mengganggu.... Seharusnya aku tak muncul di tempat mana kau berada dengan
gadis itu...," kata si gadis dengan su ra agak tersendat sambil arahkan
pandangannya pada jurusan lain.
"Dewi.... Harap jangan menduga terlalu jauh. Dia...."
Belum habis kata-kata Pendekar 131, Dewi Seribu Bunga telah menukas.
"Sebagai seorang gadis, aku tahu kenapa gadis berjubah biru itu mengucapkan
kata-kata kasar padaku. Lebih dari itu dia menginginkan nyawaku!"
"Tidak hanya kau. Tapi dia juga menginginkan selembar nyawaku...."
Dewi Seribu Bunga sunggingkan senyum seraya tertawa perlahan. Kepalanya
dipalingkan menghadap murid Pendeta Sinting. Menatap sejurus lalu berkata.
"Itu karena kehadiranku di tempat itu dan karena kau menolongku."
Murid Pendeta Sinting balas menatap ke bola mata si gadis. Seraya ganti
tersenyum dia berujar.
"Dengar, Dewi! Aku memang dua kali bertemu dengan gadis itu. Namun sejauh ini
aku belum tahu apa maksudnya! Yang jelas dia selalu menginginkan nyawaku!" *
Dewi Seribu Bunga sedikit arahkan kepalanya ke samping. Tapi raut wajahnya masih
membayangkan keraguan dengan ucapan yang baru saja didengarnya. Sejenak gadis
berpakaian merah ini menarik napas dalam, lalu berkata pelan.
"Namun nada ucapannya sepertinya dia menyimpan sesuatu padamu...."
Joko tertawa membuat Dewi Seribu Bunga menoleh kembali dengan dahi mengernyit.


Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puas tertawa murid Pendeta Sinting ini segera berujar.
"Dewi.... Boleh saja kau menduga, tapi...."
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan ucapannya mendadak terdengar orang
melantunkan bait-bait syair.
Tataplah hari ini
Hari ini adalah kehidupan dari segala kehidupan
Hari kemarin tak lain hanyalah mimpi Sedang hari esok adalah merupakan bayangan
Menatap hari ini, membuat hari kemarin berubah jadi mimpi indah.
Menatap hari ini, membuat hari esok berubah bayangan penuh harapan.
Hari ini, petunjuk datang untuk menghadapi badai, keangkaramurkaan, dan
kesombongan Buatlah hari ini yang terindah dalam hidup Sebelum kita ditantang kelaliman
orang-orang sesat.
Sebelum kita turun ke dalam tanah Dari tanah menjadi tanah, di bawah tanah kita
terbaring Tanpa anyelir, tanpa syair, dan tanpa akhir.
Joko dan Dewi Seribu Bunga untuk sesaat saling berpandangan satu sama lain.
Namun murid Pendeta Sinting segera tengadahkan kepala.
"Hari ini petunjuk datang...,"
gumamnya dalam hati mengulangi bait-bait syair yang baru saja terdengar.
"Hemm.... Jangan-jangan syair tadi ada hubungannya dengan apa yang selama ini sedang ku-
hadapi.... Petunjuk! Mungkin ada kaitannya dengan penggalan peta!"
"Dewi...," ucapnya setelah agak lama berpikir. "Tunggulah di sini. Aku akan
melihat ke sana! Ja-ncv pergi sebelum aku datang kembali. Aku tahu kau masih
terluka. Gadis-gadis tadi tidak tertutup kemungkinan masih mencari kita. Kalau
ada apa-apa cepat beri tanda!"
"Joko...!" seru Dewi Seribu Bunga dengan nada khawatir. Namun yang diteriaki
sudah berkelebat ke arah puncak bukit dari mana suara syair terdengar.
"Ah.... Dia masih memperhatikan diriku. Tapi apakah perhatiannya itu hanya cuma
perhatian" Apakah dia menyimpan rindu selama tidak berjumpa seperti apa yang
kualami?" Gadis berbaju merah murid Maut Mata Satu ini sejenak tengadahkan kepala
memandang ke arah puncak bukit.
"Aneh. Kenapa Pendekar 131 sepertinya tertarik dengan lantunan syair-syair itu.
Menilik suaranya, orang yang perdengarkan syair adalah seorang perempuan.
Hemmm.... Apakah aku harus ikut ke sana" Gadis yang tadi menginginkan nyawanya adalah
seorang perempuan. Lalu orang di atas sana juga perempuan. Jangan-jangan...."
Dewi Seribu Bunga sekali lagi tajamkan sepasang matanya memandang ke arah puncak
bukit. Tapi karena bukit itu ditumbuhi pohon-pohon besar serta rimbun semak
belukar, hingga meski gadis ini sampai pelototkan mata dan kepalanya berputar,
dia tak bisa menangkap keadaan di puncak bukit.
Dan tanpa sepengetahuan Dewi Seribu Bunga, diam-diam sejak tadi sesosok tubuh
tampak mendekam di balik sebuah pohon dengan sepasang mata tak berkedip
memperhatikan ke arah Dewi Seribu Bunga.
"Gadis beruntung...," gumam orang di balik pohon pelan. "Mendapat perhatian dari
seorang pemuda yang bukan hanya tampan namun juga berbudi. Seandainya aku
bukan...," gumam orang di balik pohon terputus. Sepasang matanya yang ternyata
ada di balik cadar berlobang kecil-kecil membelalak dengan dahi mengernyit.
Menatap lurus ke arah mana Dewi Seribu Bunga tegak berdiri dengan wajah dibalut
kebimbangan. Di depan sana, Dewi Seribu Bunga yang diliputi keragu-raguan dan kecemasan
tersurut mundur satu langkah ketika tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan tegak
dengan sikap menghadang lima langkah di hadapannya!
Mungkin karena terkejut dengan kedatangan orang apalagi baru saja bentrok dengan
Ayu Laksmi dan Wulandari, tanpa melihat siapa adanya orang, gadis berpakaian
merah ini cepat angkat kedua tangannya siap lepaskan pukulan seraya berteriak
menegur. "Jangan berani berbuat macam-macam atau ku-putus kepalamu!"
Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga tak membuat gerakan. Sebaliknya dia
perdengarkan tawa pendek sambil alihkan pandangan. Namun jelas jika wajahnya
berubah bahkan kedua tangannya terlihat mengepal keluarkan suara berkeretekan.
Mendadak Dewi Seribu Bunga turunkan kedua tangannya. Sepasang matanya membelalak
menyipit. Tanpa pikir panjang tiba-tiba si gadis membuat gerakan berkelebat ke
depan menghambur pada orang seraya menjura dalam-dalam.
"Guru...."
Terdengar dengusan keras. Tanpa memandang pada Dewi Seribu Bunga orang yang
dipanggil guru ini membentak keras.
"Larasati! Kau benar-benar murid tak tahu diun-tung! Apa kau lupa akan ucapanku
tempo hari, hah"!"
"Maafkan, Guru...."
Orang di hadapan Dewi Seribu Bunga berpaling. Dia ternyata adalah seorang laki-
laki berusia lanjut. Parasnya bulat besar dilapis kulit tipis dan pucat.
Rambutnya putih dan dikuncir ke belakang.
Raut wajahnya hanya tampak samar-samar karena sebagian wajah itu tertutup
jambang, kumis dan jenggot lebat. Kakek ini mengenakan rompi panjang berwarna
kuning. Matanya yang hanya sebelah, sementara sebelahnya lagi ditutup dengan
sebuah kulit bundar yang dikaitkan dengan tali ke belakang kepalanya membuat
kakek ini tambah angker.
"Aku tanya padamu. Apa kau lupa dengan ucapanku tempo hari! Jawab!" bentak si
kakek bermata satu yang bukan lain adalah seorang tokoh dan momok rimba
persilatan yang tak asing lagi di kalangan dunia persilatan. Yakni seorang tokoh
yang bergelar Maut Mata Satu. (Tentang Maut Mata Satu, silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Ratu Pemikat").
Dewi Seribu Bunga untuk beberapa saat tak juga buka mulut memberi jawaban. Tapi
tatkala Maut Mata Satu perdengarkan lagi dengusan keras, si gadis cepat angkat
bicara meski dengan kepala menunduk.
"Aku tidak lupa dengan ucapan Guru....!"
"Hemm.... Lantas kenapa kau berkeliaran di tempat ini, hah"! Apa yang kau cari"!
Jawab cepat!"
"Maaf, Guru. Selama kepergianmu, aku selalu cemas akan keselamatanmu. Apalagi
kau tak juga kunjung kembali...."
"Teruskan kata-katamu. Tapi ingat.
Sekali tak masuk akal jangan kira aku enggan menampar mulutmu!" sela Maut Mata
Satu. "Guru. Apa maksudmu?"
"Sejak kita gagal mendapatkan Pedang Tumpul 131 dan kembali ke Teluk Panarukan,
kulihat sikapmu berubah! Kau sering menyendiri dan termenung! Aku menduga bukan
keselamatanku yang membuatmu cemas dan meninggalkan Teluk Panarukan. Ada hal
lain lebih dari itu! Jangan mendustaiku, Larasati!"
Larasati alias Dewi Seribu Bunga parasnya berubah. Dadanya berdebar keras.
Dia tampak menunduk Jebih dalam. Diam-diam gadis ini berkata dalam hati.
"Aku tak boleh mengatakannya. Guru pasti tidak menyukai pemuda itu! Dan aku juga
tidak boleh mengatakan jika pemuda itu ada di sini. Tapi bagaimana kalau tiba-
tiba Pendekar 131 muncul" Ah.... Ini pasti akan membuatku celaka! Lebih-lebih
Pendekar 131. Aku harus...."
"Eh. Kenapa kau diam"! Apa jawabmu dengan ucapanku tadi, h e"!" kata Maut Mata
Satu dengan suara masih keras memutus kata hati Dewi Seribu Bunga.
Dewi Seribu Bunga angkat kepalanya.
Menatap lekat-lekat pada gurunya lalu berkata.
"Guru. Kau telah kuanggap sebagai orangtuaku sendiri. Apa gunanya berkata dusta
padamu?" Maut Mata Satu tertawa pelan.
"Larasati! Perubahan sikapmu tak bisa menipu pandanganku! Tapi.... Hemmm.... Aku
tanya padamu, siapa saja yang sempat kau temui sejak kau meninggalkan Teluk
Panarukan"!"
Sesaat pandangan Dewi Seribu Bunga melirik ke arah puncak bukit. Namun kali ini
si gadis coba menindih perasaan agar raut kecemasan tak membayang di air
mukanya. "Aku hanya sempat jumpa dengan dua orang gadis. Mereka tak sebutkan siapa
adanya. Tapi yang membuatku heran, mereka sepertinya ingin membunuhku!"
"Selain dua gadis itu"!"
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala.
"Hanya mereka yang sempat kutemui!"
"Pemuda itu"!" tanya Maut Mata Satu.
Meski Dewi Seribu Bunga sudah tegarkan hati, namun saat gurunya ajukan tanya
tentang pemuda yang dimaksud bukan lain Pendekar Pedang Tumpul 131, mau tak mau
membuat gadis berpakaian merah ini terkesiap kaget.
"Kau sempat jumpa dengan pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131
bukan"!" Maut Mata Satu ulangi tanyanya.
"Tidak!" kata Dewi Seribu Bunga dengan suara bergetar agar keras.
"Hanya...."
"Katakan! Kenapa kau putus kata-katamu"!" sahut Maut Mata Satu.
"Aku menangkap kelebatan tubuhnya saat aku bentrok dengan dua gadis itu! Dia
menuju arah selatan!"
"Bagus! Kau sebelah sana, aku lewat sini!" kata Maut Mata Satu seraya arahkan
telunjuk tangannya. "Kita bertemu sebelum petang!"
"Aku belum mengerti maksud Guru....!"
Maut Mata Satu pelototkan matanya yang hanya sebelah. "Kejar dia! Ingat ucapanku
tempo hari. Rebut pedangnya dengan cara apa pun! Dengar"!"
Meski dengan berat akhirnya kepala Dewi Seribu Bunga membuat gerakan mengangguk.
Setelah melirik sejurus ke arah puncak bukit, Dewi Seribu Bunga menjura. "Aku
berangkat sekarang, Guru...."
Maut Mata Satu menyeringai. "Ingat!
Jika kejadian dahulu terulang lagi, bukan saja tak kuizlnkan kau tinggalkan
Teluk Panarukan, tapi kau akan tinggalkan dunia ini selamanya!"
Dada Dewi Seribu Bunga membuncah dengan berbagai perasaan mendengar ucapan
gurunya. Namun karena berpikir tak ada gunanya berdebat mencari perkara,
akhirnya gadis ini segera berkelebat tinggalkan iereng bukit menuju arah selatan
seperti yang ditunjuk Maut Mata Satu.
"Heemmm.... Anak itu tampak sangat cemas. Berulangkali kulihat matanya memandang
ke arah puncak bukit...," desis Maut Mata Satu begitu sosok Dewi Seribu Bunga
telah lenyap. "Jangan-jangan dia masih menyembunyikan sesuatu padaku...." Maut Mata Satu untuk
beberapa lama tidak segera beranjak dari tempatnya. Malah seraya bergumam tak
jelas sebelah matanya mendelik angker memandang ke arah puncak bukit. Malah kini
perlahan-lahan dia melangkah menuju puncak bukit.
Orang di balik pohon pentangkan sepasang matanya dari balik cadar.
"Jelas orang ini punya niat jahat!
Gadis itu juga!
Hemm.... Meski aku belum tahu apa sebenarnya yang terjadi di puncak bukit, tapi
aku harus mencegah orang bermata satu itu!" kata orang yang mendekam di balik
pohon dalam hati seraya alirkan tenaga dalam siapkan satu pukulan. Dia segera
bergerak hendak bangkit keluar dari balik pohon. Tapi gerakannya tertahan malah
dia rundukkan kembali tubuhnya ke balik pohon.
Di depan sana, Maut Mata Satu tiba-tiba hentikan langkah. Satu matanya
memperhatikan berkeliling lalu ke puncak bukit.
"Sialan! Kenapa aku turuti rasa curiga yang belum pasti" Larasati mengatakan
pemuda itu menuju arah selatan.
Hemm.... Meski urusan Kitab Serat Biru kail Ini lebih penting, tapi adalah satu
kebanggaan tersendiri jika Pedang Tumpul 131 berhasil jatuh ke tanganku!"
Berpikir sampai di situ, Maut Mata Satu segera putar diri. Hal inilah yang
membuat sosok di balik pohon urungkan niat untuk keluar. Malah makin rundukkan
diri ketika mata Maut Mata Satu mengedar berkeliling.
"Hemm.... Jangan-jangan dia tahu dan urungkan niat menuju puncak bukit!" kata
sosok di balik pohon dalam hati. Tapi sosok ini segera menarik napas lega ketika
di depan sana dilihatnya Maut Mata Satu membuat gerakan berputar lalu berkelebat
tinggalkan lereng bukit.
"Aku akan menunggu sampai Pendekar 131 turun. Aku harus mengatakan padanya siapa
sebenarnya gadis berbaju merah itu!
Gadis liar! Berkedok cinta untuk satu tujuan busuk! Tak akan kubiarkan jika aku
bertemu dengannya lagi!"
Sosok ini segera bangkit dan keluar dari balik pohon. Ternyata dia adalah
seorang perempuan mengenakan pakaian panjang. Wajahnya mengenakan cadar
berlobang-lobang kecil, sementara di punggungnya tampak punuk besar!
EMPAT PENDEKAR 131 terus berkelebat ke puncak bukit. Namun mendadak murid Pendeta
Sinting ini hentikan larinya dengan kening berkerut dan kepala berputar. Karena
nyanyian bait-bait syair itu terdengar kembali. Namun bukan karena suara itu
Joko Sableng hentikan langkah. Melainkan suara bait-bait syair itu laksana
datang dari arah sebelah kanan lamping bukit. Namun kejap kemudian beralih ke
lamping bukit sebelah kiri. Saat lain laksana terdengar dari puncak bukit.
"Heran. Jika bukan orang berkepandaian tinggi, tak mungkin bisa lakukan hal
seperti ini. Aku akan terus menuju puncak. Dari sebelah sana mungkin agak mudah
menentukan di mana beradanya orang itu...." Joko segera teruskan langkah mendaki
ke puncak bukit.
Saat itulah kembali terdengar lantunan bait-bait syair. Tapi kali ini jelas
datangnya dari arah puncak bukit.
Hari penentuan telah datang
Hilangkan rasa ragu dan bimbang Di hati yang bersih dan cemerlang Di sana
petunjuk itu akan menjelang Gelombang arakan awan hitam telah menghadang
Laskar maut telah memekik meradang Hanya dengan kuasa yang Maha Pengasih dan
Penyayang Sang penentu dapat membuat jalan terang
Untuk beberapa lama, Joko simak baik-baik bait syair yang didengarnya.
"Apakah ini betul-betul ada kaitannya dengan petunjuk penggalan peta itu"
Hemm.... Aku belum sempat melihat penggalan peta yang diberikan orang tua yang
sebutkan dirinya Gendeng Panun-tun.
Jangan-jangan aku salah jalan dan tertipu...."
Murid Pendeta Sinting segera ambil gulungan kulit dari balik pakaiannya.
Gulungan kulit berwarna coklat dari Ratu Malam, iblis Ompong, serta Gendeng
Panuntun itu segera dibuka dan diletakkan bersambung satu sama lain. Tiba-tiba
Joko mendelik besar dengan putar kepalanya berkeliling.
"Astaga! Peta terakhir ini menunjukkan tempat ini! Jadi lantunan syair tadi
betul-betul ada kaitannya dengan penggalan peta ini!"
Joko cepat masukkan kembali tiga gulungan kulit di balik pakaiannya. Lalu
berkelebat ke arah puncak bukit. Begitu sampai puncak bukit murid Pendeta
Sinting ini merasakan keanehan.
Puncak bukit yang tidak berapa luas itu terasa dingin luar biasa. Malah sempat
membuat sepasang kaki Joko bergetar menggigil. Rahangnya pun mengatup rapat.
Dan sepasang matanya menangkap kepulan asap di seluruh puncak bukit! Dan ketika
sepasang matanya terbiasa dengan asap yang menyelimuti puncak bukit, murid
Pendeta Sinting ini makin membeliak. Ternyata rimbun dedaunan di puncak bukit
bukanlah dedaunan biasa, melainkan gumpalan es!
Selagi dada Joko disesaki keheranan, tiba-tiba terdengar suara teguran.
"Anak manusia! Harap sebutkan nama dan gelarmu!"
Sesaat Joko terkesiap. Karena dia belum bisa
melihat orang yang keluarkan suara teguran, sepasang matanya dibeliakkan
jelalatan menembusi kepulan asap.
"Anak manusia!" kembali satu teguran terdengar. "Harap suka jawab pertanyaanku
atau lekas tinggalkan puncak bukit!"
"Aku.... Aku Joko Sableng...."
Dari tengah kepulan asap puncak bukit terdengar gumaman ulangi nama Joko. Lalu
terdengar suara agak keras.
"Kau belum sebutkan siapa gelarmu!"
Seraya menahan rasa dingin, Joko gelengkan kepala, lalu berujar.
"Aku tidak punya gelar. Hanya orang-orang kampung memberi julukan padaku
Pendekar Pedang Tumpul 131. Padahal...."
"Adakah kau ke sini membawa bekal?"
suara di tengah kepulan asap menukas terlebih dahulu sebelum ucapan Joko
selesai. "Aku tak mengerti bekal yang kau maksud!" ujar murid Pendeta Sinting setelah
agak lama terdiam.
"Melihat keadaanmu, tentu kau telah mengadakan perjalanan cukup jauh. Adakah
puncak bukit ini jadi tujuanmu ataukah kau hanya anak manusia yang tersesat
jalan"!"
"Dikatakan tujuan bisa, namun dikatakan tersesat jalan juga boleh!"
"Hemm.... Bisa jelaskan padaku apa maksud ucapanmu itu"!"
"Sebenarnya aku sampai di tempat ini secara kebetulan. Namun ternyata setelah


Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulihat dengan seksama, tempat inilah yang harus kutuju!"
"Apa tujuanmu ke tempat ini"!"
"Aku mendapat tugas dari Eyang guru Pendeta
Sinting serta Manusia Dewa untuk menyelidik ke Pulau Biru yang diduga keras
menyimpan Kitab Serat Biru yang sekarang dibicarakan dan diburu beberapa tokoh
rimba persilatan. Baik Eyang guru maupun Manusia Dewa tak memberi petunjuk apa-
apa mengenai Pulau Biru, hingga akhirnya aku berjalan menurutkan langkahan kaki
seraya tanya sana tanya sini. Tapi pada satu tempat aku bertemu dengan seorang
nenek yang terakhir kuketahui bergelar Ratu Malam. Dari padanya aku mendapatkan
penggalan peta. Lalu ketika aku teruskan perjalanan, aku berjumpa dengan seorang
tokoh yang berjuluk Iblis Ompong. Dari tokoh ini aku juga mendapatkan penggalan
peta. Terakhir kali, aku bersua dengan orang aneh yang sebutkan diri Gendeng
Panuntun. Dari orang ini, aku juga mendapatkan penggalan peta. Saat aku
mendengar bait-bait syair dari puncak bukit ini seakan aku merasa bahwa bait-
bait itu ada kaitannya dengan penggalan peta yang ada padaku. Dan ketika
penggalan-penggalan peta itu kusambung, ternyata berakhir di puncak bukit ini."
"Aku tanya!" kata suara dari tengah kepulan asap dingin. "Mengapa kau bersedia
mengemban tugas yang bukan hanya berat namun satu-satunya nyawamu juga akan jadi
taruhannya"!"
"Menurut penuturan Eyang dan Manusia Dewa, Kitab Serat Biru adalah sebuah kitab
sakti. Jika kitab itu sampai jatuh pada orang yang tidak bertanggung jawab, maka
rimba persilatan akan ditimpa malapetaka besar! Demi keselamatan rimba
persilatan, aku bersedia mengemban tugas dan aku rela satu-satunya nyawa milikku
dipertaruhkan!"
Dari tengah kepulan asap dingin terdengar lantunan bait-bait syair yang tadi
didengar Joko. Setelah lantunan syair itu selesai, terdengar suara.
"Kemarilah, Anak muda!"
Ucapan orang belum selesai, tiba-tiba dari lamping bukit sebelah kanan menyambar
gelombang angin pelan. Anehnya kepulan asap dingin di puncak bukit laksana
dihantam gelombang luar biasa dahsyat dan seketika ambyar lalu membumbung ke
angkasa! Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta Sinting melihat seorang perempuan yang
wajahnya hanya tampak samar-samar, karena dari atas kepalanya tampak curahan air
rintik-rintik yang menyelimuti sekujur tubuhnya! Anehnya, baik wajah maupun
jubah putih yang dikenakan serta tubuhnya tidak basah! Rambutnya panjang
bergerai hitam dan lebat. Perempuan ini duduk bersila di atas sebuah altar batu.
Curahan air dari atas kepala si perempuan begitu sampai di altar batu langsung
meresap, dan sesaat kemudian lenyap. Hingga altar batu yang diduduki si
perempuan tetap kering!
"Anak muda! Aku tidak suka bicara berulang-ulang! Harap segera turuti ucapanku
atau putar diri dan turun bukit!"
Tiba-tiba si perempuan buka mulut.
Murid Pendeta Sinting sekali lagi pentangkan sepasang matanya. Perlahan-lahan
dia rasakan hawa dingin di sekitar puncak bukit berganti hangat. Dan dengan
benak masih diliputi rasa heran, Joko perlahan maju mendekat ke arah si
perempuan. Lima langkah dari tempat si
perempuan, Joko Sableng hentikan langkah.
Kini agak jelas raut wajah si perempuan.
Ternyata dia adalah seorang perempuan berparas cantik jelita meski umurnya tidak
muda lagi. Sepasang matanya lembut ditingkah bulu mata lentik. Hidungnya sedikit
mancung dengan bi-Wr merah.
"Pendekar 131! Aku telah lama menunggu kedatanganmu! Tiap hari aku selalu
lantunkan bait-bait syair yang tadi kau dengar. Memang banyak anak manusia yang
datang ke tempat ini. Namun mereka tidak membawa bekal seperti yang kau miliki.
Dan sejak hari ini aku sudah tidak akan lagi lantunkan syair itu!"
"Berarti apakah kau salah seorang saudara seperguruan Ratu Malam?" tanya Joko
dengan mata memandang tak berkedip.
Si perempuan anggukkan kepala.
"Betul! Akulah yang termuda di antara lima saudara seperguruan!"
"Boleh aku tahu siapa namamu"!"
"Anak muda! Untuk namaku, biarlah hanya empat saudara seperguruanku yang
tahu...." Murid Pendeta Sinting angkat alis matanya seraya menggeleng perlahan.
"Lalu harus bagaimana aku memanggilmu"!"
"Selama ini orang-orang memanggilku Dewi Es!"
Hening sejenak. Tiba-tiba si
perempuan berjubah putih yang mengaku bernama Dewi Es ulurkan kedua tangannya ke
depan. "Tunjukkan padaku barang yang kau miliki dari tiga orang yang kau sebutkan
tadi!" Joko terlihat ragu-ragu. Lenyapnya Pedang Tumpul 131 dari tangannya membuat
murid Pendeta Sinting ini selalu dihantui perasaan khawatir pada setiap orang
yang baru dikenalnya.
"Pendekar 131! Harap ingat peringatanku. Aku tak suka bicara berulang kali!"
kata Dewi Es tetap dengan kedua tangan terulur ke depan.
Dengan sikap waspada, perlahan-lahan Joko keluarkan tiga gulungan kulit dari
balik pakaiannya.
Dan dengan kerahkan tenaga dalam unti
"k menjaga segala kemungkinan, murid Pendeta Sinting melangkah maju.
Di depan sana, Dewi Es perdengarkan suara tawa perlahan.
"Tak perlu siapkan pukulan 'Lembur Kuning', Anak muda! Dan simpan kembali kulit
itu!" Murid Pendeta Sinting tersentak kaget mendapati orang tahu dirinya siapkan
pukulan 'Lembur Kuning'. Dengan air muka berubah, Joko cepat masukkan kembali
gulungan kulit ke balik pakaiannya dan beringsut mundur.
Tapi Joko terkesiap. Sepasang kakinya laksana dipantek tak bisa digerakkan meski
dia coba dengan kerahkan tenaga dalamnya.
"Dewi! Apa yang kau lakukan" Jangan coba-coba memuslihatiku!" teriak Joko dengan
angkat kepalanya menatap tajam pada Dewi Es.
Dewi Es tidak membuka mulut. Malah kini bangkit lalu melangkah ke arah Joko.
Dua langkah di hadapan Pendekar 131, Dewi Es hentikan langkah. Kedua tangannya
kembali menjulur ke depan.
Menangkap gelagat tidak baik, murid Pendeta Sinting cepat membuka gerakan dengan
angkat kedua tangannya. Namun darah Joko laksana sirap. Kedua tangannya kejang
kaku tak bisa digerakkan!
"Celaka jika sampai perempuan ini mengambil gulungan kulit itu!" keluh Joko
dalam hati. Diam-diam dia coba kerahkan tenaga dalamnya. Namun aliran tenaga
dalamnya laksana beku tak bisa diarahkan!
"Ilmu apa yang dimiliki perempuan ini"! Tangan dan kakiku kejang kaku.
Tenaga dalamku membeku! Benar-benar celaka!"
"Dewi!" teriak Joko Sableng. Namun sepasang mata Joko jadi membelalak besar
karena suaranya tidak terdengar! Suara itu seperti tersekat di tenggo-rokan!
"Jika dia berani bertindak macam-macam, tak akan kuampuni nyawanya!" kata Joko
dalam hati dengan rahang mengembung dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak
pertanda menindih hawa marah.
Kedua tangan Dewi Es terus menjulur ke depan. Lalu menangkap kedua telapak
tangan Joko. Sepasang mata sang Dewi mendadak terpejam rapat. Belum tahu apa
yang hendak diperbuat Dewi Es. Pendekar 131 merasakan kedua telapak tangannya
dialiri hawa luar biasa dingin hingga tubuhnya bergetar menggigil. Ketika Joko
melirik, nyawanya laksana terbang.
Ternyata sekujur tubuhnya perlahan-lahan diselimuti cairan membeku! Bahkan
sedikit demi sedikit sepasang matanya terasa berat. Murid Pendeta Sinting
merasakan matanya dialiri cairan, hingga mau tak mau dia segera pejamkan
sepasang matanya.
Bersamaan dengan terpejamnya mata, murid Pendeta Sinting rasakan tubuhnya
laksana ditimpa beban berat yang sangat dingin. Lalu dia rasakan tubuhnya
terhuyung dan kakinya melipat. Kejap lain tubuhnya jatuh berdebam ke atas tanah!
Dewi Es tarik kedua tangannya dari telapak tangan Joko. Dan sekali bergerak
tubuhnya melesat mundur dan tahu-tahu telah duduk bersila kembali di atas batu
altar. Sesaat kedua tangannya bergerak ke atas mengusap keringat yang membasahi
wajah dan lehernya. Lalu menarik napas dalam-dalam dengan sepasang mata
memandang tajam ke arah sosok Joko yang telentang.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Dewi Es tengadahkan kepala. Kedua tangannya
mendorong ke depan ke arah Joko. Dari telapak tangan sang Dewi muncrat cairan
bening namun mengepulkan asap.
Buusss! Gumpalan es yang membungkus sekujur tubuh Pendekar 131 mendadak mencair dan
murid Pendeta Sinting ini rasakan hawa hangat menjalari tubuh. Hingga dia
perlahan-lahan buka kelopak matanya.
Joko sejurus terkesima. Pandangan matanya terasa tambah tajam Dan saat dia
bergerak bangkit, dia juga tersentak.
Gerakannya begitu ringan dan cepat!
"Jangan-jangan ini karena...," Joko segera arahkan pandangannya pada Dewi Es.
Perempuan berjubah putih ini tampak tetap duduk bersila dengan sekujur tubuh laksana dicurahi
rintik-rintik air.
"Pendekar 131!" ucap Dewi Es sebelum murid Pendeta Sinting sempat buka mulut.
"Dalam dirimu sekarang ada satu kekuatan.
Jika kau kerahkan tenaga dalam pada pangkal lenganmu lalu kedua tanganmu kau
dorong menghantam, maka dari kedua tanganmu akan keluar satu gelombang kekuatan
yang luar biasa dingin. Jika kau memegang sesuatu, maka barang yang kau pegang
akan membatu! Jika tenaga dalam kau kerahkan pada dada, maka pukulan lawan akan
mental atau setidak-tidaknya meski mengena namun tidak akan mencederaimu! Kau
sekarang telah memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'!"
Entah karena terpesona dengan ucapan orang, hingga untuk beberapa saat murid
Pendeta Sinting Ini masih tegak terpaku dengan mata tak berkeriap r *>natap pada
Dewi Es. Begitu tersadar Pendekar 131
segera menjura dalam-dalam.
"Maaf atas dugaanku yang terlalu jauh, Dewi...."
Dewi Es gelengkan kepala. "Kita bukan sebagai murid dan guru. Harap kau tidak
membuatku malu dengan peradatan begitu rupa!"
Murid Pendeta Sinting tarik pulang tubuhnya dan angkat kepalanya.
"Terima kasih, Dewi...."
"Pendekar 131! Perjalananmu sudah dekat. Namun justru di situlah tantangan dan
rintangan makin berat. Terimalah penggalan peta terakhir ini!" kata Dewi Es
seraya ulurkan tangan kanannya yang memegang gulungan kulit.
Joko melangkah maju. Lalu menyambuti gu-lu igan kulit dari tangan Dewi Es.
Begitu gulungan kulit berada di tangan Joko, mendadak puncak bukit diselimuti
asap. Namun kali ini Joko tidak merasakan dingin, hanya sepasang matanya tidak
bisa lagi menangkap sosok Dewi Es!
"Selamat jalan, Pendekar 131!" Joko pentangkan sepasang matanya menembusi asap
yang menyungkup puncak bukit, tapi tetap saja matanya tidak bisa menangkap sosok
Dewi Es. Hingga pada akhirnya murid Pendeta Sinting ini hanya menjura seraya
berkata. "Terima kasih, Dewi.... Aku berangkat meneruskan perjalanan!"
Habis berkata begitu, Joko putar diri lalu berkelebat menuruni puncak bukit.
Mendadak murid Pendeta Sinting ini hentikan langkah. Kepalanya berputar dengan
mata memandang sekeliling. Di kanan kirinya tampak berjajar pohon-pohon besar
dan rangasan semak belukar lebat.
"Hemmm.... Dewi Es mengatakan aku memiliki pukulan dan kekuatan 'Sukma Es'.
Aku ingin buktikan bagaimana pukulan
'Sukma Es' itu!" kata Joko dalam hati lalu kerahkan tenaga dalam pada pangkal
lengan tangan kanan kirinya. Kejap kemudian kedua tangannya mendorong ke depan,
ke arah sebatang pohon besar.
Wuuuttt! Wuuttt!
Dari kedua tangan Joko menyambar gelombang angin dahsyat yang taburkan hawa luar
biasa dingin. Lalu terdengar suara berderak. Kejap lain pohon besar di hadapan
Joko tumbang dengan batang hancur berantakan dibungkus gumpalan-gumpalan es!
Murid Pendeta Sinting jadi
terperangah sendiri. Saat Itulah tiba-tiba dia teringat pada Dewi Seribu Bunga
yang ditinggal di lereng bukit. Tanpa pikir panjang lagi, Joko segera berkelebat
kembali menuruni bukit.
Sampai di tempat tadi Dewi Seribu Bunga ditinggalkan, murid Pendeta Sinting jadi
tidak enak ketika dia tidak melihat si gadis.
"Ke mana dia" Jangan-jangan dua gadis yang mengejar itu menemukannya. Atau
barangkali...."
"Pendekar 131...!" satu suara membuat murid Pendeta Sinting putuskan kata
Senopati Pamungkas I 2 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang 2
^