Pencarian

Kitab Serat Biru 2

Joko Sableng Kitab Serat Biru Bagian 2


hatinya dan cepat putar tubuh ke arah datangnya suara.
"Kau...," gumam Joko memandang lurus ke depan di mana di bawah sebatang pohon
agak besar tegak berdiri seorang perempuan yang wajahnya ditutup menggunakan
cadar berlobang-lobang kecil dan di punggungnya terlihat punuk besar.
LIMA HERAN. Bagaimana perempuan ini bisa berada di sini" Mungkinkah dia mengikuti
langkahku" Melihat sikapnya sepertinya dia sengaja menungguku! Tapi ke mana
gerangan Dewi Seribu Bunga?"
"Pendekar 131! Kau mencari atau menunggu seseorang?" tanya perempuan berpunuk.
"Hemm.. Perempuan ini sengaja menekan nada suaranya. Siapa sebenarnya perempuan
ini" ~ empo hari dia menolongku dan tidak mau sebutkan diri. Sekarang muncul
lagi tapi bersamaan itu Dewi Seribu Bunga lenyap! Jangan-jangan perempuan
ini...." "Kau tak mau jawab pertanyaanku...,"
ujar perempuan berpunuk menukas kata hati Joko. "Mungkin keberadaanku tidak
berkenan di hatimu."
Wajah di balik cadar perempuan berpunuk sejurus terlihat berubah. Setelah
sepasang mata dari balik cadar menatap tajam, sosok perempuan berpunuk itu putar
dirinya setengah lingkaran lalu berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" teriak murid Pendeta Sinting membuat kelebatan perempuan berpunuk
tertahan. "Aku memang mencari seseorang!" ujar Joko. "Seorang gadis mengenakan pakaian
warna merah. Rambutnya dikuncir...."
"Kenapa kau mencari di sini"!" tanya perempuan berpunuk sambil hadapkan kembali
sosoknya ke arah Joko.
"Hemm.... Dia tadi kutinggalkan di tempat ini sendirian...."
Joko tidak teruskan keterangannya karena perempuan berpunuk terdengar tertawa
perlahan lalu berkata.
"Tentu gadis berbaju merah berambut dikuncir itu seorang gadis jelita. Kau
terlalu sembrono tinggalkan seorang gadis jelita sendirian di tempat sunyi
seperti ini!"
"Dia masih dalam keadaan terluka. Aku coba mencari daun-daunan untuk obat...,"
kata Joko sengaja sembunyikan apa sebenarnya yang dialami di puncak bukit.
"Pemuda ini pandai juga berkata bohong. Aku tadi jelas mendengar suara orang
lantunkan bait-bait syair dari puncak bukit. Tapi.... Itu bukan hal penting
bagiku...." Perempuan berpunuk diam-diam membatin.
"Harap kau tunjukkan di mana gadis itu!" Mendadak Joko berujar dengan tatapan
menyelidik ke arah perempuan berpunuk.
"Aku tadi pergi tidak lama. Kalau sekarang tiba-tiba dia tidak ada pasti ada
orang yang usil!"
Air muka di balik cadar tampak tegang. "Nada bicaramu sepertinya menuduh
padaku!" "Di sini tidak ada orang lain! Jadi harap jangan membuat urusan meski aku pernah
berhutang budi padamu!"
"Pendekar 131! Jangan sebut-sebut lagi hutang budi! Dan harap jangan pula
menduga yang bukan-bukan!"
"Jika tidak mau dituduh, katakan di mana gadis itu berada!"
"Kau tetap menuduhku menyimpan gadismu itu!" kata perempuan berpunuk dengan
suara agak keras. "Dengar, Pendekar 131! Tidak ada gunanya
aku menyimpan seorang gadis!"
Joko Sableng tegak dengan mulut terkancing diam. Di depan sana perempuan
berpunuk tampak tengadahkan sedikit kepalanya. Dari mulutnya terdengar ucapan
tak jelas. Tak selang lama, si perempuan berpunuk luruskan kepalanya menghadap
Pendekar 131. "Maaf. Mungkin ucapanku terlalu keras dan kasar. Tapi aku memang tidak
sembunyikan gadis berbaju merah itu.
Aku...." Perempuan berpunuk tak lanjutkan ucapannya, hanya kepalanya terlihat
menggeleng. Melihat perubahan sikap si perempuan cepat-cepat Pendekar 131 menyahut.
"Ah. Seharusnya aku yang minta maaf.
Dan terlalu lancang menuduhmu yang bukan-bukan...."
Sepasang mata di balik cadar
berlobang-lobang kecil menatap tajam pada Pendekar 131. "Haruskah kukatakan apa
yang kudengar dan kulihat tentang gadis berbaju itu" Kalau dia tidak
mempercayaiku" Ah....
Percaya atau tidak dia harus tahu! Ini demi keselamatan dirinya meski aku
sendiri tahu bahwa Pedang Tumpul 131 saat ini berada di tangan Dewi Siluman...,"
pikir perempuan berpunuk lalu berkata.
"Pendekar 131. Waktu aku sampai di sini, aku memang melihat seorang gadis
berbaju merah. Namun tiba-tiba saja muncul seorang kakek mengenakan rompi
panjang warna kuning. Dari percakapan mereka berdua, aku menangkap gelagat bahwa
gadis itu punya niat tersembunyi padamu!"
Untuk sesaat murid Pendeta Sinting tampak terkejut mendengar ucapan si
perempuan. "Kakek berompi kuning. Hemm....
Siapa" Dewi Seribu Bunga menyimpan niat tersembunyi" Ah. Apakah mungkin?"
Melihat bayang kebimbangan di wajah si pemuda, perempuan berpunuk segera
lanjutkan ucapannya. "Aku tak berharap kau percaya begitu saja ucapanku! Namun
setidaknya kau harus berhati-hati! Jika kau ingin menyusul, dia pergi menuju
arah selatan. Selamat tinggal...!"
"Tunggu!" kembali Joko Sableng berteriak menahan kelebatan perempuan berpunuk.
Tapi kali Ini si perempuan teruskan kelebatan tubuhnya dan kejap kemudian
sosoknya lenyap dari pandangan Pendekar 131.
"Apakah ucapannya tidak mengada-ada"
Tapi apakah mungkin Dewi Seribu Bunga betul-betul menyimpan sesuatu padaku"
Apakah urusan Pedang Tumpul 131 seperti halnya beberapa waktu yang lalu"
Hemm.... Siapa pula kakek yang disebutkan perempuan tadi" Ah. Aku jadi bingung! Tapi ada
baiknya aku turuti ucapan perempuan tadi.
Siapa tahu Dewi Seribu Bunga memang hendak teruskan urusannya yang gagal pada
beberapa waktu yang silam...."
Seperti dituturkan dalam episode:
"Ratu Pemikat", Dewi Seribu Bunga mendapat tugas dari gurunya si Maut Mata Satu
untuk merebut Pedang Tumpul 131. Namun pada akhirnya Dewi Seribu Bunga gagal
melaksanakan tugas gurunya bahkan kalau saja tidak ditolong Pendekar 131,
mungkin malapetaka akan menimpa si gadis.
Memikir sampai di situ, murid Pendeta Sinting segera hendak tinggalkan tempat
itu. Namun langkahnya tertahan ketika dari arah puncak bukit terdengar lantunan
bait-bait syair.
Manusia tak akan bisa lari menghindar Dari belenggu asmara jika telah mengejar
Pada sang rembulan segalanya di tumpahkan
Pada gelombang laut semuanya
dicurahkan Cinta suci tidak mengharap imbalan Meski nyawa harus lepas dari badan Joko
Sableng arahkan kepalanya ke puncak bukit. Sepasang matanya menatap tajam dengan
kening mengernyit seolah berusaha menembus rimbun dedaunan dan semak belukar
serta mengetahui arti bait-bait syair yang baru didengar.
"Hemm.... Belum bisa kuselami arti bait-bait syair tadi...," gumam Joko seraya
terus memandang ke puncak bukit.
Dia seolah menunggu orang lantunkan syair kembali. Tapi hingga sepasang kakinya
terasa pegal, murid Pendeta Sinting tidak lagi mendengar lantunan syair.
"Heemmm.... Sudah waktunya aku teruskan perjalanan...," Joko Sableng segera
keluarkan gulungan kulit yang baru saja diberikan Dewi Es. Setelah menyimak
sebentar dia masukkan kembali gulungan kulit ke balik pakaiannya dan segera
berkelebat tinggalkan lereng bukit.
ENAM PEMUDA berjubah putih itu berkelebat laksana angin. Beberapa saat lalu dia
berada di kawasan hutan kecil, namun dalam beberapa saat kemudian sosoknya
lenyap dan tahu-tahu telah berada di ujung hutan yang jarang ditumbuhi semak
belukar. Kejap kemudian sosoknya sudah jauh meninggalkan kawasan hutan kecil.
Ketika memasuki kawasan yang tanahnya agak berpasir, si pemuda baru memperlambat
larinya. Malah dia tampak mendekati sebatang pohon besar lalu bersandar punggung
duduk berselonjor kaki.
"Heemmm.... Menurut peta, kawasan ini sudah tidak jauh lagi dari Pulau Biru!"
gumam si pemuda dengan kepala berputar dan sepasang matanya yang tajam liar
memperhatikan. "Mudah-mudahan peta ini bukan palsu! Jika nanti terbukti palsu,
aku tak segan kembali ke Watugedeg dan membungkam mulut Dewa Sukma!"
Dari balik jubahnya si pemuda keluarkan gulungan kain putih. Sepasang matanya
kini tertuju pada kain yang dibentangkan di depan matanya. Kejap kemudian tampak
kepalanya mengangguk dengan bibir sunggingkan senyum aneh.
"Kitab Serat Biru! Hemm.... Menurut Eyang guru adalah kitab maha sakti. Yang
berhasil mendapatkannya pasti akan jadi raja di raja dunia persilatan! Sebuah
cita-cita yang sekian tahun kupendam!" Pemuda yang bersandar pada batang pohon
kepalkan kedua tangannya.
Saat itulah mendadak si pemuda dikejutkan dengan terdengarnya suara orang
tertawa mengekeh panjang. Makin lama suara kekehan tawa makin keras pertanda
orang makin dekat.
Kertakkan rahang, si pemuda cepat selinapkan kain putih ke balik jubahnya, lalu
dengan mata mendelik angker kepalanya disentakkan ke samping kanan, dari arah
mana suara tawa orang terdengar.
"Akan kubuat mulutnya pecah jika orang gila ini tak mau hentikan ulahnya!"
desis si pemuda dengan sepasang mata tak berkesip memandang ke depan.
Dari tempatnya duduk, si pemuda melihat seorang bertubuh besar mengenakan
pakaian gom-brong duduk bersandar pada batu yang tidak begitu besar. Kepalanya
mendongak sementara tangan kanannya mengusap-usap perutnya, di mana dari bagian
yang diusap-usap itu terlihat cahaya memantul.
Si pemuda kernyitkan kening dengan mata makin terpentang besar. Orang yang duduk
bersandar pada batu tampak sudah kancingkan mulut, namun suara tawanya masih
juga terdengar keras! Pertanda siapa pun dia orangnya, pasti memiliki kepandaian
tinggi. Mungkin karena terburu geram merasa terganggu dengan suara tawa, si pemuda
sampai berpikir sejauh itu! Malah dengan suara keras dia membentak.
"Hai! Tutup mulutmu atau kuhancurkan dan ku-betot lidahmu!"
Orang bertubuh besar luruskan kepala ke arah si pemuda. Sepasang matanya untuk
beberapa lama mengerjap. Ternyata bola mata orang ini hanya tampak putih,
pertanda jika orang ini buta.
"Ah.... Rupanya ada seorang sobat di tempat ini. Maaf jika aku mengganggu...."
Habis berkata begitu, orang bertubuh besar dan matanya buta ini buka mulut
perdengarkan tawa!
"Sialan! Orang ini sengaja bertingkah atau benar-benar orang gila"! Kalau orang
gila kenapa mengerti ucapan orang"!" Si pemuda menduga-duga dengan mata tak
berkesip memperhatikan.
Sementara orang bertubuh besar terus buka mulut perdengarkan tawa, membuat si
pemuda makin geram dan untuk kedua kalinya si pemuda berteriak keras.
"Hai! Aku tidak main-main! Kau dengar ucapanku, tutup mulutmu dan minggat dari
sini atau mulutmu kubuat tidak bisa tertawa lagi!"
Orang di depan sana putuskan suara tawanya. Namun cuma sekejap. Kejap lain
mulutnya kembali membuka dan perdengarkan tawa! Membuat si pemuda putus
kesabarannya. Seraya kertakkan rahang pemuda ini bergerak bangkit dan sekali
lompat, dia telah tegak lima langkah di hadapan orang yang tertawa.
"Orang ini sepertinya bukan orang gila! Dan pasti dia sengaja mengumbar tawa!"
batin si pemuda dengan perhatikan lebih seksama pada orang di hadapannya yang
tetap buka mulut tertawa. Namun kali ini suara tawanya makin lama makin lemah.
Tapi pada saat bersamaan, si pemuda tersentak. Tanah di mana dia berpijak terasa
bergetar! "Orang muda!" Mendadak orang bertubuh besar bermata buta di hadapan si pemuda
berucap. "Mungkin kau hendak teruskan perjalanan, silakan! Aku pun akan teruskan
langkahan kaki. Jika ada umur panjang kelak aku ingin berkata sepatah kata
denganmu...."
Selesai berkata begitu, orang bertubuh besar yang mengenakan pakaian gombrong
besar berwarna hijau ini tertatih-tatih bangkit. Setelah membungkuk sejenak
kepalanya tengadah lalu mulai melangkah dengan tangan kanan mengusap-usap
pangkal ikat pinggangnya yang ada di depan perutnya yang ternyata adalah sebuah
cermin bulat. "Orang aneh. Meski sepasang matanya buta, namun dia tahu bahwa aku adalah orang
muda. Lalu dia juga seolah tahu bahwa aku hendak mengadakan perjalanan!
Hemm.... Siapa orang tua ini" Jangan-jangan dia seorang...." Si pemuda cepat
berkelebat lalu tegak menghadang langkah si orang bertubuh besar dan bermata
buta. "Ada apa Anak muda" Bukankah kau tadi memerintahku minggat dari tempat ini"!"
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya"!"
si pemuda balik bertanya.
Tetap dengan kepala tengadah, orang di hadapan si pemuda berucap.
"Anak muda. Sebenarnya aku ingin berbincang denganmu pada suatu waktu kelak,
bukan sekarang. Tapi karena kau telah ajukan tanya, tidak baik berdiam diri...."
Sejurus orang itu hentikan ucapannya. Kepalanya kini lurus menghadap ke arah si
pemuda. Sepasang matanya mengerjap. Lalu dia melanjutkan.
"Orang-orang memanggilku Gendeng Panuntun. Orang tua yang melangkah turutkan
kemana kaki membawa dan berteman dengan sebuah cermin.... Anak muda.... Kau
telah tahu siapa aku, tidak keberatan sebutkan dirimu?"
"Aku Malaikat Penggali Kubur!" jawab si pemuda seraya perhatikan cermin bulat di
depan perut orang bertubuh besar bermata buta yang bukan lain memang Gendeng
Panuntun adanya.
"Ah. Nama bagus. Tentu kau banyak mendapat rezeki bagus pula! Tapi...."
Gendeng Panuntun menggantung ucapannya, membuat si pemuda yang bukan lain memang
Malaikat Penggali Kubur cepat menyahut.
"Tapi apa"!"
"Aku melihat kabut menghalangi langkahmu!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek dengan bibir menyeringai. Seraya arahkan
pandangannya pada jurusan lain dia berkata.
"Orang buta kadang-kadang ucapannya aneh. Aku yang tidak buta saja tidak melihat
kabut, bagaimana mungkin orang tua seperti mu melihat kabut"!?
Gendeng Panuntun balik tertawa pendek. "Anak muda. Bentuk mata kita berbeda.
Jadi jangan heran jika pandangan kita juga jadi berbeda! Kau bisa melihat apa
yang tak bisa kulihat, tapi kau tak bisa melihat apa yang bisa kulihat! Dan
jangan lupa, penglihatan orang sepertiku kadangkala lebih tajam dari penglihatan
orang bermata biasa...."
"Katakan padaku, kabut apa yang menghalang langkahku!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala.
"Anak muda. Seperti ucapanku tadi, namamu bagus, rezekimu juga bagus. Tapi
karena ada penghalang, pada akhirnya kau tidak akan mendapat apa-apa!"
Malaikat Penggali Kubur terdiam beberapa saat mendengar ucapan Gendeng Panuntun.
Entah karena apa, mendadak pemuda ini merasa dadanya berdebar. Namun pemuda ini
tidak begitu saja pertu-rutkan ucapan orang. Seraya tersenyum aneh, dia berkata
dengan nada sedikit keras.
"Orang tua! Kau mengatakan rezekiku bagus.
Coba katakan, rezeki apa yang kau maksud!"
Gendeng Panuntun geleng-gelengkan kepala. "Tidak Anak muda. Aku tidak mau usil
beberkan rezeki orang. Apalagi rezeki itu (tak layak didengar orang lain."
Malaikat Penggali Kubur makin tidak enak perasaan. Namun karena penasaran dia
segera berucap.
"Orang tua! Kaiau kau tidak mau disebut pembual besar, katakan apa yang kau
maksud dengan rezeki bagus itu! Di sini tidak ada orang lain, jadi jangan
berdalih!"
Kembali kepala Gendeng Panuntun bergerak menggeleng. "Anak muda. Tidak baik
membuka aib orang. Aku malu, apalagi nanti jika kau mendengarnya! Harap jangan
memaksakan diri ingin tahu.... Karena kau telah tahu!"
"Orang tua!" kata Malaikat Penggali Kubur membentak. "Jangan membuat kesabaranku
habis. Kau tak perlu malu. Aku juga tak merasa malu mendengarnya! Lekas
katakan!" "Hemm... kau mau pegang kata-katamu, Anak muda?"
"Jangan banyak mulut lagi!" sentak Maiaikat Penggali Kubur tak sabar.
"Baiklah. Aku hanya turuti kemauanmu...," kata Gendeng Panuntun pada akhirnya.
Tangan kanannya bergerak mengusap-usap cermin, lalu mulutnya membuka berucap.
"Kau baru saja mendapat rezeki bagus, karena mendapatkan sesuatu yang tersimpan
selama puluhan tahun lamanya. Lebih dari itu, sesuatu itu menunjukkan tempat
yang saat ini banyak dibicarakan kahngan orang-orang yang menamakan diri sebagai
orang persilatan. Hanya karena kau mendapatkannya dengan cara tidak wajar, kelak
aku menduga kau tidak akan mendapatkan apa-apa! Tapi Ingat. Itu bukan karena
perbuatanmu, melainkan karena kau bukan orang yang ditentukan untuk


Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkannya...."
Paras Malaikat Penggali Kubur kontan berubah. Matanya terpentang angker dengan
rahang sedikit terangkat. "Gila! Siapa sebenarnya orang buta ini" Semua
ucapannya benar! Apakah dugaannya juga akan terbukti?"
Selagi Malaikat Penggali Kubur tegak dengan dada dibungkus berbagai tanya,
Gendeng Panuntun telah kembali buka mulut.
"Anak muda. Kalau boleh kusarankan.
Kembalikan saja barang tipuan itu! Dan lebih baik jangan teruskan perjalanan
sia-sia ini!"
Dada Malaikat Penggali Kubur
menggemuruh mendengar ucapan Gendeng Panuntun. Kalau saja perturutkan gemuruhnya
hawa marah yang menggelegak, ingin dia bungkam mulut orang di hadapannya, namun
Malaikat Penggali Kubur adalah pemuda licik dan tidak mau begitu saja percaya
pada ucapan orang. Diam-diam pemuda murid Bayu Bajra ini membatin.
"Orang buta ini bilang aku bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkan.
Pasti yang dimaksud adalah mendapatkan Kitab Serat Biru! Hemm.... Berarti peta
ini asli adanya dan Kitab Serat Biru benar-benar ada! Lebih dari itu, pasti ada
orang yang ditentukan mendapatkan kitab itu! Aku harus tahu siapa adanya orang
itu! Orang ini tentu tahu!"
Berpikir sampai di situ, Malaikat Penggali Kubur lalu berujar.
"Orang tua. Ucapanmu memang ada benarnya. Sebaiknya aku memang mengembalikan
barang yang ada padaku ini, juga memutuskan perjalanan sampai di sinil"
"Ah, aku gembira mendengar ucapanmu, Anak mudai"
"Orang tua. Sebelum aku kembalikan barang ini, lalu pergi tak meneruskan
perjalanan yang kau sebut sia-sia ini, maukah kau jawab beberapa tanyaku?"
"Hemm...." Gendeng Panuntun bergumam.
"Sebenarnya.... Tapi tak apalah. Silakan tanya, tapi aku tidak menjamin bisa
jawab semua pertanyaanmu, Anak muda!"
"Kau tadi sebutkan aku bukan orang yang ditentukan untuk mendapatkannya.
Apakah yang kau maksud Kitab Serat Biru yang menurut kabar tersimpan dalam Pulau
Biru" Jika aku bukan orang yang ditentukan, pasti ada orang lain yang ditentukan
mendapatkannya. Siapa dia"!"
Sesaat Gendeng Panuntun tampak terkejut dengan pertanyaan Malaikat Penggali
Kubur. Namun kejap kemudian dia tertawa perlahan dan berujar.
"Aku tidak dapat memastikan berupa apa yang tak bisa kau dapatkan itu!
Tentang siapa orang yang kelak ditentukan mendapatkannya, aku juga kesulitan
untuk mengetahuinya!"
Malaikat Penggali Kubur menyeringai.
"Kalau kau tidak dapat menjawab tanyaku, percuma aku turuti saranmu! Aku malah
curiga padamu, jangan-jangan kau punya urusan yang sama denganku, lalu berpura-
pura jadi tukang bual untuk melapangkan jalanmu!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak.
"Anak muda! Aku orang buta. Segala yang ada di muka bumi seindah dan semahal apa
pun harganya tidak akan ada artinya! Kau paham yang kumaksud bukan"!"
Malaikat Penggali Kubur sengatkan sepasang matanya menusuk tajam pada kedua mata
Gendeng Panuntun yang berwarna putih seolah ingin meyakinkan bahwa orang di
hadapannya benar-benar buta.
"Nah, Anak muda. Kita telah banyak bicara. Sudah saatnya aku lanjutkan langkahan
kaki ini! Selamat jalan...."
Gendeng Panuntun menyisi ke samping, lalu melangkah hendak tinggalkan tempat
itu. Tapi ternyata Malaikat Penggali Kubur tidak tinggal diam. Sebelum Gendeng
Panuntun teruskan langkah, dia melompat dan lagi-lagi tegak dengan sikap
menghadang. "Ada apalagi, Anak muda?" tanya Gendeng Panuntun sambil hentikan langkah dan
kibas-kibaskan pakaiannya yang gombrong.
Malaikat Penggali Kubur kepalkan kedua tangannya dan rahangnya tampak mengembang
dan cepat kerahkan tenaga dalam, karena bersamaan dengan kibasan tangan Gendeng
Panuntun, pemuda murid Bayu Bajra ini rasakan sambaran angin deras!
"Orang tua! Kau bisa tinggalkan tempat ini, tapi sebutkan dulu siapa orangnya
yang kelak mendapatkan kitab itu!"
"Jangan memaksakan hati, Anak Muda...."
"Dengar, Orang tua! Kau mau sebutkan atau nyawamu akan dikubur di sini!" hardik
Malaikat Penggali Kubur.
Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau orang muda yang keras kepala. Baiklah.
Tentang siapa orang yang kelak mendapatkannya, menurut dugaanku adalah seorang
anak manusia berkepandaian tinggi dan pukulan sakti yang kau miliki dapat diatasinya! Orang
itulah yang ditentukan mewarisi apa yang terpendam dalam Pulau Biru!"
Malaikat Penggali Kubur tegak di atas tanah dengan sepasang mata berkilat-kilat.
"Jahanam! Siapa yang bisa mengatasi pukulan sakti 'Tegala Surya'-ku?" desis si
pemuda dengan kepala mendongak dan dahi mengernyit.
Saat itulah terdengar orang tertawa panjang. Malaikat Penggali Kubur cepat
sentakkan kepalanya ke depan. Pemuda ini melengak. Gendeng Panuntun ternyata
sudah berada jauh dari tempatnya berdiri, dan melangkah perlahan-lahan menuju
arah selatan. "Hem.... Pasti orang itu bukan orang yang bisa dipandang enteng.... Kalau mau
ingin kuremukkan mulutnya sekarang juga.
Tapi siapa tahu kelak orang seperti dia kubutuhkan...," gumam Malaikat Penggali
Kubur seraya kembali tengadah.
Saat itulah mendadak suara tawa Gendeng Panuntun diputus laksana direnggut
setan! Malaikat Penggali Kubur cepat arahkan kepalanya kembali. Untuk kedua
kalinya dia terkejut. Sosok Gendeng Panuntun ternyata sudah lenyap!
Belum hilang rasa kejut Malaikat Penggali Kubur, tiba-tiba satu deruan keras
terdengar menyambar dari samping. Di lain kejap satu gelombang angin melanggar
ganas ke arahnya!
TUJUH SAMBIL kertakkan rahang, cepat Malaikat Penggali Kubur menyingkir dengan
melompat ke samping, lalu berpaling ke arah asal datangnya sambaran angin.
Sepasang matanya mendelik menyipit, lalu bibirnya sunggingkan senyum aneh. Enam
tombak dari tempatnya berdiri murid Bayu Bajra melihat seorang gadis berwajah
cantik mengenakan jubah warna kuning tegak dengan sepasang mata memperhatikan
tak berkesip ke arahnya.
Sejenak Malaikat Penggali Kubur perhatikan tampang si gadis. Lalu kepalanya
mendongak. "Lima belas tahun lamanya dilatih guru hanya berteman gelombang
pantai. Hem.... Rezekiku memang bagus. Tanpa bersusah payah mencari, muncul
gadis cantik yang tentu membawa kehangatan...," desisnya dengan bibir tersenyum.
Namun kejap kemudian senyumnya pupus saat dia teringat ucapan Gendeng Panuntun.
"Orang tua itu tidak mengatakan siapa orangnya yang kelak bakal mendapatkan
Kitab Serat Biru. Tapi dia mengatakan bahwa orang itu dapat mengatasi pukulanku.
Jangan-jangan gadis ini orang yang dikatakan orangtua itu.... Hemm....
Harus kucoba, apakah dia dapat menangkis pukulan sakti 'Telaga Surya'-ku!"
Berpikir sampai di sana, Malaikat Penggali Kubur segera melangkah mendekat.
Sepasang matanya tak berkesip perhatikan si gadis dari bawah hingga atas.
"Gadis cantik!" teriak Malaikat Penggali Kubur. "Katakan siapa kau!"
Gadis berjubah kuning tunjukkan tampang angker tatkala mendengar dirinya disebut
gadis cantik. Seraya tertawa pendek, dia berucap dengan suara keras.
"Siapa aku, kau tak perlu tahu! Yang jelas aku butuhkan selembar nyawamu!"
Malaikat Penggali Kubur tertawa bergelak-ge-lak. "Rupanya kau belum tahu siapa
yang tegak di hadapanmu! Ha... ha...
ha...! Kau butuh nyawaku, heemm....
Bagaimana kalau sebelum kuserahkan nyawaku padamu, serahkan dulu tubuhmu
padaku"!"
Paras wajah gadis berjubah kuning yang bukan lain adalah Wulandari, salah
seorang murid Dewi Siluman berubah mengelam. Sepasang matanya mem-beliak.
Seperti dituturkan, Dewi Siluman memerin-tahkan pada ketiga muridnya untuk
meneruskan perjalanan menuju arah selatan.
Dan harus menyingkirkan siapa saja yang ditemui di tengah jalan. Wulandari yang
selain itu mendapat tugas mengikuti gerak-gerik Sitoresmi pada satu tempat
kehilangan jejak Sitoresmi. Hingga akhirnya dia melanjutkan perjalanan seraya
terus mencari Sitoresmi. Saat itulah dia mendengar suara orang tertawa. Cepat
dia berkelebat ke arah datangnya suara. Ketika sampai yang terlihat adalah
pemuda berjubah putih. Wulandari yang tak sabaran segera saja melompat ke depan
begitu mendengar ucapan Malaikat Penggali Kubur.
Serentak dia buat putaran dengan kaki kiri terpacak sebagai tumpuan tubuh,
sedangkan kaki kanan lepaskan satu tendangan keras.
Satu gelombang angin menderu mendahului kaki yang menendang, pertanda tendangan
itu dilepas dengan tenaga dalam kuat!
Malaikat Penggali Kubur tidak membuat gerakan menghindar, bahkan tidak bergerak
menangkis ketika tendangan si gadis berada di hadapannya, hingga mau tak mau tendangan
kaki kanan Wulandari menghantam bahu kirinya! Bukkk!
Sosok Malaikat Penggali Kubur hanya bergoyang-goyang dan mundur setengah
langkah. Kejap lain tubuhnya telah tegak diam.
"Hemm.... Tenaga dalamnya tidak seberapa! Tapi siapa tahu dia masih menyimpan
tenaga sesungguhnya...," gumam Malaikat Penggali Kubur dalam hati. Dia memang
sengaja tidak membuat gerakan menghindar atau menangkis tendangan yang dilepas
gadis berjubah kuning. Dia ingin tahu sampai di mana tenaga dalam yang dimiliki
si gadis. Dari sana dia mungkin akan segera bisa menduga apakah orang kelak
dapat mengatasi pukulan saktinya Telaga Surya'.
"Gadis sialan!" bentak Malaikat Penggali Kubur dengan bibir tersenyum aneh. "Kau
telah berlaku kurang ajar pada Malaikat Penggali Kubur. Kalau tadi aku hanya
inginkan tubuhmu, sekarang nyawamu sekalian!"
Entah karena sadar bahwa pemuda yang dihadapi memiliki kepandaian yang tidak
sembarangan, Wulandari segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan
pukulan sakti 'Kabut Neraka'. Dan serta-merta kedua tangannya disentakkan ke
depan. Wuuttt! Wuuuttt!
Gelombang kabut berwarna kuning tampak melesat ke arah Malaikat Penggali Kubur
dengan hamparkan hawa luar biasa panas.
Di depan sana, Malaikat Penggali Kubur angkat tangan kirinya yang mengepal.
Lalu sekonyong-konyong tangan kiri itu bergerak memukul ke depan. Beettt!
Sekejap tampak sinar terang. Kejap lain terdengar deru hebat yang disusul dengan
menggebraknya gelombang angin luar biasa dahsyat. Kabut dan hawa panas pukulan
Wulandari tersapu, sesaat kemudian terdengar ledakan keras mengguncang tempat
itu. Sosok Wulandari tampak terhuyung-huyung dan tersapu mundur sampai satu tombak.
Parasnya berubah pucat dengan mulut mengatup rapat. Tubuhnya bergetar keras
sementara jubah yang dikenakannya berkibar-kibar.
Di seberang, Malaikat Penggali Kubur sung-gingkan senyum seringai. Sosoknya
hanya mundur satu langkah. Dari bentrok pukulan tadi, murid Bayu Bajra ini sudah
dapat menebak jika gadis berjubah kuning bukankan orang yang ditentukan
mendapatkan Kitab Serat Biru, karena si gadis tidak dapat menahas pukulan yang
dilancarkan, padahal pukulan itu masih dilancarkan dengan tangan kiri dan tenaga
dalam belum setengahnya.
Di lain pihak, Wulandari tampak kertakkan rahang. Setelah dapat kuasai diri dia
cepat arahkan tenaga dalam pada kedua matanya. Didahului bentakan keras
membahana, sepasang kakinya bergerak menghentak tanah. Bersamaan dengan itu dari
sepasang matanya yang terpentang besar melesat sinar berwarna kuning.
Malaikat Penggali Kubur terperangah kaget. Tanah di hadapan si gadis tampak
membentuk jalur panjang dan rengkah selebar setengah tombak! Rengkahan itu terus
bergerak cepat ke arahnya!
"Gadis sialan! Benar-benar minta mampus!" teriak Malaikat Penggali Kubur lalu
mundur dua langkah. Kedua tangannya dikepalkan lalu dipukulkan ke depan.
Sejurus dari kedua tangan Malaikat Penggali Kubur tampak sinar terang, lalu
terdengar deru dahsyat yang kemudian disusul dengan menghamparnya gelombang
angin luar biasa kencang.
Wulandari yang saat itu lepaskan kilatan 'Sinar Setan' dari kedua matanya
perdengarkan seruan tertahan. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang. Namun kejap
kemudian sosoknya tersapu mental ke belakang lalu jatuh telentang dengan mulut
keluarkan darah.
Gadis berbaju kuning salah seorang murid Dewi Siluman ini cepat bergerak
bangkit. Tapi begitu tegak, tubuhnya limbung dengan kedua kaki melipat. Dan tak
lama kemudian sosoknya jatuh terduduk!
Paras wajah gadis ini semakin pias.
Sementara mulutnya makin banyak keluarkan darah pertanda dia terluka bagian
dalam. Dan ketika Wulandari meneliti, gadis ini tersentak. Jubah kuningnya robek besar
di bagian depan dan hangus!
Di seberang, meski sosok Wulandari mencelat mental terhantam pukulan 'Telaga
Surya', namun kilatan Sinar Setan yang dilepaskannya melesat ke atas tanah dan
terus melabrak ke arah Malaikat Penggali Kubur. Jalur rengkahan tanah bergerak
cepat laksana alunan gelombang ombak. Dan saat sosok Wulandari mental, rengkahan
tanah telah sampai ke Malaikat Penggali Kubur dan perdengarkan gelegar hebat!
Malaikat Penggali Kubur segera berkelebat selamatkan diri. Tapi tak urung
kakinya tersambar pukulan Wulandari.
Malaikat Penggali Kubur terlihat sunggingkan senyum tatkala kakinya tak
mengalami cedera. Tapi kejap kemudian dia merasakan perubahan pada kedua
kakinya. Hawa luar biasa panas perlahan-lahan merasuki tubuh bermula dari kedua kakinya.
Ketika dia meneliti kembali, sepasang matanya membelalak besar. Ternyata kedua
kakinya mulai mengembung dan panas laksana dipanggang bara!
"Benar-benar gadis keparat!" maki Malaikat Penggali Kubur. Lalu cepat kerahkan
tenaga dalam dan menotok jalur darah pada kedua kakinya. Perlahan-lahan
gembungan pada kedua kakinya mengempis meski rasa panas masih terasa.
Tatkala Malaikat Penggali Kubur kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi cedera
pada kakinya, di seberang sana Wulandari cepat lemparkan sesuatu ke udara. Di
atas sana mendadak tampak sinar terang berwarna kuning.
"Apa yang dilakukan gadis jahanam itu"!" desis Malaikat Penggali Kubur sambil
angkat kepalanya. "Hem.... Mungkin itu satu isyarat menunjukkan di mana dia
berada!" Malaikat Penggali Kubur sunggingkan senyum aneh. Lalu gerakkan tubuh.
Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak dengan kepala tengadah lima langkah di
hadapan Wulandari!
Di hadapannya, Wulandari yang baru saja memberi isyarat segera kerahkan sisa
tenaga dalamnya.
"Kalau mulutmu tak bicara muluk di hadapan Malaikat Penggali Kubur, tentu kau
tak akan mengalami nasib buruk!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu luruskan
kepalanya ke arah Wulandari.
"Jangan kira aku telah kalah!" sentak Wulandari dengan mata menatap tajam.
Malaikat Penggali Kubur tertawa gelak-gelak. "Aku ingin tahu, apakah ucapanmu
benar!" Habis berkata begitu, tangan kanan Malaikat Penggali Kubur tampak terangkat ke
atas membuat Wulandari katupkan mulut rapat-rapat dengan kuduk merinding. Gadis
ini sadar, sisa tenaga dalamnya tidak mungkin bisa menahan pukulan si pemuda
"palagi dirinya telah terluka. Tapi gadis berjubah kuning ini tidak mau begitu
saja menyerah. Saat dilihatnya tangan kanan Malaikat Penggali Kubur terangkat,
dia sentakkan kedua tangannya lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'. Namun karena keadaannya udah terluka, lesatan kabut yang keluar
dari kedua tangannya kalah cepat dengan gelombang angin dahsyat yang menggebrak
dari tangan kanan Malaikat Penggali Kubur, membuat Wulandari hanya bisa b
rteriak tanpa bisa membuat gerakan menghindar!
Sesaat lagi gelombang angin dahsyat pukulan Malaikat Penggali Kubur melabrak
sosok Wulandari yang tak bisa menghindar, mendadak terdengar satu teriakan yang
disusul dengan terdengarnya deruan keras.
Malaikat Penggali Kubur merasakan ada sambaran angin deras memangkas pukulannya,
tidak saja membuat gelombang angin pukulannya melenceng namun juga sempat
membuat sosoknya terjajar dua langkah!
Selagi Malaikat Penggali Kubur hendak berpaling ke arah datangnya gelombang
angin yang memangkas pukulannya, terdengar lagi satu bentakan lalu terdengar
orang bantingkan kaki ke atas tanah. Kejap lain tiba-tiba satu sinar biru
menggebrak ke arahnya dengan didahului rengkahnya tanah di hadapan si pemuda
murid Bayu Bajra ini!
Tahu gelagat buruk, Malaikat Penggali Kubur tak mau lagi bertindak ayal. Sebelum
rengkahan tanah sampai, dia cepat jatuhkan diri bergulingan. Pada gulingan
kelima, kedua tangannya segera lepaskan pukulan.
Sinar terang yang hanya sekejap tampak berkiblat. Lalu disusul menggebraknya
gelombang angin dahsyat, pertanda Malaikat Penggali Kubur telah lepaskan kembali
pukulan 'Telaga Surya'.
Tiba-tiba dari arah seberang
terdengar orang memekik. Lalu tampak satu sosok mental sejauh dua tombak ke


Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang dan bergedebukan di atas tanah.
Malaikat Penggali Kubur cepat bergerak bangkit. Lalu berkelebat ke depan.
Di depan sana satu sosok biru tampak menggeliat. Lalu bergerak-gerak akan
bangkit. Tapi gerakan tubuhnya tertahan tatkala mendadak satu telapak kaki dari
sosok berjubah putih menekan bagian perutnya, membuat sosok biru tak mampu
berbuat banyak.
Orang yang menekankan satu kakinya ke perut sosok biru yang bukan lain adalah
Malaikat Penggali Kubur sejenak pentangkan sepasang matanya perhatikan orang di
bawahnya yang tak bisa bergerak.
Ternyata orang itu adalah seorang gadis berparas cantik mengenakan jubah besar
warna biru. Rambutnya sebatas bahu dengan mata bulat.
"Hem.... Melihat wajah dan pakaian yang dikenakan, berat dugaan dia masih ada
hubungan dengan gadis berjubah kuning itu!" kata Malaikat Penggali Kubur lalu
berpaling ke samping.
Sejarak lima belas langkah dari tempatnya terlihat Wulandari tergeletak dengan
napas megap-megap dan mulut keluarkan erangan. Gadis berjubah kuning ini
sosoknya mencelat saat pukulan orang dari arah samping sempat menyambar
tubuhnya. "Keparat! Angkat kakimu!" Mendadak ada suara dari bawah, membuat Malaikat
Penggali Kubur menoleh namun tak juga angkat kakinya dari perut sigadis.
"Hmm... Kukira kau sudah mampus tak bisa bicara" ucap Malaikat Penggali Kubur
seraya sunggingkan senyum.
Gadis berjubah biru yang perutnya ditekan kaki Malaikat Penggali Kubur, dan
bukan lain adalah Ayu Laksmi angkat tangan kanan kirinya. Serta-merta dia
pukulkan kedua tangannya ke arah kaki Malaikat Penggali Kubur.
Tapi setengah jalan, Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan dua kali.
Bukkk! Bukkk! Kedua tangan Ayu Laksmi mental balik menghantam tanah, dan bersamaan dengan itu
sosoknya mencelat lalu terkapar lima langkah dari tempatnya semula.
Wulandari yang telah bisa bangkit duduk segera keluarkan pekikan saat melihat
sosok Ayu Laksmi mencelat terkena tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur.
"Setan alas! Siapa kau"!" teriak Ayu Laksmi begitu bangkit duduk seraya
pelototkan mata ke arah Malaikat Penggali Kubur.
Yang ditanya menjawab dengan tertawa bergelak dan melangkah mendekat, membuat
Ayu Laksmi cepat salurkan tenaga dalamnya.
Namun gadis berjubah biru yang juga salah satu murid Dewi Siluman ini tersentak.
Kedua tangannya seraya lunglai. Dan ketika dia meneliti ternyata kedua tangannya
telah berubah warna menjadi kehitaman!
Dua langkah di hadapan Ayu Laksmi, Malaikat Penggali Kubur berhenti. Menatapi
sejenak sekujur tubuh si gadis, iaiu berujar dengan senyum aneh.
"Bila ingin tahu siapa yang berdiri di hadapanmu, nanti bisa kau tanyakan pada
gadis sialan berjubah kuning itu. Kau dengar"! Sekarang aku tanya siapa kau"!"
"Aku tak mau jawab pertanyaanmu!"
jawab Ayu Laksmi dengan balas menatap.
"Baik. Kau dan gadis berjubah kuning itu sama sialnya! Kau tak mau beri
keterangan, berarti minta dipercepat untuk mampus!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur angkat kedua tangannya.
"Masih ada kesempatan untuk bicara!"
ujar Malaikat Penggali Kubur.
"Jangan kira aku takut dengan gertakanmu!" kata Ayu Laksmi dengan salurkan
tenaga dalamnya pada sepasang matanya siap lepaskan pukulan 'Sinar Setan'. Namun
gadis ini tampak bingung, karena jika hendak lepaskan pukulan sakti
'Sinar Setan' terlebih dahulu sepasang kakinya harus menggebrak tanah. Sedangkan
dia kini dalam posisi duduk.
Sementara di hadapannya, pelipis kanan kiri Malaikat Penggali Kubur bergerak-
gerak, rahangnya mengembang dan terangkat pertanda amarahnya telah sampai pada
puncak. "Jahanam! Kenapa hanya berani turunkan tangan maut pada orang tak berdaya"!"
Tiba-tiba dari arah samping terdengar ucapan.
Malaikat Penggali Kubur tengadahkan kepala. Jari telunjuknya bergerak lurus ke
arah Wulandari yang baru saja keluarkan ucapan.
"Tutup mulutmu, Gadis Sialan! Habis gadis ini, baru kau menyusul!"
Habis berucap begitu tangannya yang menunjuk pada Wulandari cepat ditarik
pulang. Sosoknya lantas berkelebat. Dan tahu-tahu tubuhnya telah dua langkah di
belakang Ayu Laksmi. Seraya menyeringai, kedua tangannya bergerak lepaskan
jotosan ke arah kepala Ayu Laksmi
Wulandari perdengarkan seruan tertahan. Sementara Ayu Laksmi yang kebingungan
untuk lepaskan pukulan 'Sinar Setan' segera gulingkan tubuh alamatkan diri.
Namun gadis berjubah biru ini jadi tercekat, karena baru saja hendak bangkit,
dua tangan telah melabrak ganas ke arah kepalanya! Namun gadis ini tak mau
menyerah begitu saja, dia segera pula angkat kedua tangannya.
Namun gerakan kedua tangan Ayu Laksmi tertahan tatkala dari arah samping
melabrak sinar hitam pekat yang kemudian disusul dengan datangnya gelombang
angin dahsyat dari seberang.
Sinar hitam dan gelombang yang datang dari dua arah ini langsung memangkas
gerakan kedua lengan Malaikat Penggali Kubur.
Malaikat Penggali Kubur tarik kedua tangannya, lalu membuat gerakan berputar
sambil melompat mundur. Belum sampai kakinya menginjak tanah, kedua tangannya
telah lepaskan pukulan!
Bummm! Buummm! Dua ledakan keras segera mengguncang tempat itu tatkala pukulan Malaikat
Penggali Kubur bentrok dengan dua pukulan yang tadi memangkas gerakan tangannya
yang hendak menghantam rengkah kepala Ayu Laksmi.
DELAPAN TANAH terlihat muncrat menghalangi pandangan. Dan samar-samar di antara pekatnya
suasana taburan tanah, sosok Ayu Laksmi yang dekat dengan terjadinya ledakan
mencelat lalu Jatuh bergulingan.
Sedangkan sosok Malaikat Penggali Kubur terjajar lima langkah. Terhuyung-huyung
sebentar, namun cepat membuat gerakan melejit satu tombak ke udara dan melayang
turun dengan kaki terpentang dan sosok tegak!
Pada saat bersamaan, terdengar suara bergemeretakan dan hentakan kaki kuda.
Ketika Malaikat Penggali Kubur berpaling, tampak sebuah kereta bergerak ke
arahnya. Di atas bangku kusir tampak duduk seorang kakek berwajah pucat dan tirus.
Sepasang matanya besar masuk ke dalam lipatan rongga yang besar dan dalam.
Rambutnya putih panjang disanggul ke atas.
Kakek kusir ini mengenakan jubah besar berwarna hitam. Sebelah tangannya tampak
memegang tali kekang kuda penarik kereta sedangkan tangan sebelahnya lagi masuk
ke dalam saku jubahnya.
Di belakang tempat duduk kusir tampak sebuah peti persegi panjang dari kayu
berwarna putih mengkilat, membuat Malaikat Penggali Kubur yang tegak mengawasi
pentangkan sepasang matanya. Bukan pada peti di bagian belakang karena melainkan
pada sosok yang tegak dengan kepala tengadah dan tangan merangkap di depan dada
di atas peti! Sosok yang tegak tengadah di atas peti adalah seorang perempuan berambut pirang.
Mengenakan jubeh panjang sebatas lutut. Kedua tangannya yang
merangkap di depan dada terlihat dibungkus dengan sarung tangan dari kulit yang
juga berwarna hitam. Perempuan ini tak bisa diduga umurnya, karena mengenakan
cadar hitam menutupi wajahnya. Dari wajah yang tertutup cadar itu yang tampak
hanyalah sepasang matanya yang tajam menyengat dan berbulu lentik!
"Heran. Suara gemeretak roda kereta dan ladam kak! kuda sebelumnya tidak
terdengar. Tapi tiba-tiba muncul di sini!
Dan pasti yang memangkas pukul-anku tadi adalah salah seorang atau kedua-duanya
orang di atas kereta itu! Hemm.... Siapa mereka ini" Apakah masih ada sangkut-
pautnya dengan kedua gadis itu"!" Diam-diam Malaikat Penggali Kubur menduga-duga
dengan sepasang mata tak beranjak memandangi kedua orang silih berganti di atas
ketela. "Hemmm.... Di tempat ini ternyata telah banyak manusia berkeliaran. Pasti mereka
memburu Kitab Herat Biru!
Seandainya orang tua bermata buta itu aebutkan dengan jelas manusia yang kelak
mendapatkan kitab itu, aku tidak usah bersusah-susah mencari tahu dengan
lepaskan pukulan 'Telaga Surya'! Tapi apa boleh buat. Aku harus coba semua orang
yang kutemui dengan pukulan 'Telaga Surya', karena hanya orang yang dapat
menahan pukulanku Itulah ciri orang yang kelak mendapatkan kitab itu!"
"Orang di atas kereta!" teriak Malaikat Penggali Kubur setelah untuk beberapa
saat diam berpikir. "Sebutkan diri kalian! Juga katakan apa sangkut-paut kailan
dengan dua gadis sialan itu!"
"Anak muda!" Yang menjawab adalah kakek yang duduk di bangku kusir kereta.
"Kau belum layak tahu siapa kami! Juga tak pantas tahu apa sangkut-paut kami
dengan kedua gadis itu! Yang layak dan pantas bagimu menerima kematian!"
Meski nada suara si kakek terdengar pelan, namun mampu menusuk gendang telinga!
Hal ini menyadarkan pemuda murid Bayu Bajra ini bahwa orang di atas kereta
memiliki tenaga dalam tinggi. Namun karena merasa dirinya berbekal ilmu
kepandaian, juga karena ingin coba orang apakah mampu menangkis pukulan 'Telaga
Surya'-nya untuk mencari tahu orang yang kelak mendapatkan Kitab Serat Biru,
Malaikat Penggali Kubur tidak unjukkan paras takut. Dia tetap memandang tajam
tak berkeslp, malah kini bibirnya sunggingkan senyum aneh!
"Kakek!" kata Malaikat Penggali Kubur. "Sebelum bicara soal kematian, pasang
mata baik-baik dan lihat dulu apa akibatnya jika ngomong semba-rangan di
hadapanku!"
Sambil berkata, telunjuk Malaikat Penggali Kubur mengarah silih berganti pada
sosok Ayu Laksmi dan Wulandari yang masih tak bisa bangkit berdiri.
Kakek di atas kereta tertawa panjang.
"Anak muda! Buka matamu besar-besar! Kami bukan mereka!"
"Ki Buyut!" Tiba-tiba terdengar orang di belakang kakek kusir berucap. "Jangan
terlalu banyak bicara!"
Sebelum ucapan orang perempuan berjubah dan bercadar hitam yang bukan lain
adalah Dewi Siluman selesai, kakek kusir yang dipanggil KI Buyut dan memang Ki
Buyut Pagar Alam adanya lepaskan tali kekang kereta dan goyangkan bahunya.
Malaikat Penggali Kubur tampak tersirap kaget, karena kakek berjubah hitam kusir
kereta itu teiah tidak ada lagi di bangku kusir! Yang masih tampak adalah
perempuan berjubah dan bercadar hitam yang tetap tegak di atas peti.
"Heemmm...," Malaikat Penggali Kubur bergumam. Lalu bola matanya berputar liar.
Namun pemuda ini tidak mengetahui di mana beradanya si kakek. Entah karena
khawatir, dia segera palingkan kepala ke samping kanan.
Saat itulah dari arah samping kiri Malaikat Penggali Kubur mendengar suara orang
tertawa pelan. Secepat kitei Malaikat Penggali Kubur tarik pulang kepalanya
disentakkan ke samping kiri.
Tujuh langkah dari tempatnya tegak, terlihat kakek berjubah hitam berdiri dengan
kedua tangan masuk ke dalam saku jubahnya.
"Kau mencariku"!" kata Ki Buyut Pagar Alam dengan sunggingkan senyum.
Meski terkejut, namun Malaikat Penggali Kubur segera dapat kuasai diri.
Bahkan dia cepat pula sunggingkan senyum seraya menggeleng dan berkata.
"Orang berbau mayat tak perlu dicari!
Dia akan datang sendiri!"
"Hemm.... Begitu" Mau sebutkan dulu siapa kau sebelumnya...."
"Aku Malaikat Penggali Kubur!" tukas si pemuda sebelum ucapan Ki Buyut selesai.
"Gelaran indah!" ujar Ki Buyut tanpa sedikit pun tampakkan rasa kaget. "Hanya
sayang tidak seindah nasib penyandangnya!
Kasihan....! Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur mem-beliak angker. Mulutnya membuka hendak
bicara, tapi sebelum terdengar ucapannya, Ki Buyut Pagar Alam teiah menyambung
kata-katanya. "Mendengar gelaran yang kau sandang, tentu kau anak manusia yang baru saja
berpijak di atas rimba persilatan! Melihat kemunculanmu di tempat ini, berat
dugaan kau salah seorang yang kini sedang memburu barang sakti! Betul"!"
Malaikat Penggali Kubur alihkan pandangannya dengan seringai buruk.
"Kau tak berhak mendengar jawaban dari mulutku! Kau nanti bisa cari jawaban di
liang kubur!"
"Baiklah. Aku akan cari jawaban di sana, tapi kau harus tunjukkan dulu
jalannya!"
"Kuturuti ucapanmu!" sentak Malaikat Penggali Kubur seraya meloncat ke arah Ki
Buyut Pagar Alam. Kedua tangannya seketika bergerak lepaskan satu pukulan.
Ki Buyut Pagar Alam hanya melihat kelebatan G in menderunya gelombang angin.
Kejap lain tahu-tahu kedua tangan Malaikat Penggali Kubur telah berada dua
jengkal di depan kepalanya!
Ki Buyut Pagar Alam tarik pulang sedikit kepalanya ke belakang. Bersamaan dengan
itu tangan kanannya yang masuk ke dalam saku jubahnya berkelebat ke atas.
Bukkk! Buukkk! Sepasang tangan Malaikat Penggali Kubur beradu dengan tangan kanan Ki Buyut.
Malaikat Penggali Kubur tampak kernyitkan kening dan buru-buru tarik pulang
kedua tangannya. Lalu membuat putaran dengan kaki kanan langsung lepas satu
tendangan. Ki Buyut Pagar Alam tak menangkis tendangan kaki Malaikat Penggali Kubur.
Malah ia masukkan tangan kanannya kembali ke dalam saku jubahnya. Lalu dengan
busungkan dada dan menatap tajam dia tegak menunggu.
Buukkk! Kaki kanan Malaikat Penggali Kubur telak
menghantam dada Ki Buyut Pagar Alam.
Namun pemuda ini terkesiap. Sosok si kakek tidak bergeming dari tempatnya! Malah
sesaat kemudian perdengarkan tawa panjang!
"Anak muda! Inikah jalan yang kau katakan itu"!" ujar Ki Buyut, lalu kembali
tertawa mengekeh.
Malaikat Penggali Kubur diam-diam menindih rasa kejut. Kalau orang bisa menahan
tendangan kakinya yang bukan tendangan biasa, bisa dibayangkan bagaimana daya
tahan orang itu. Tapi Malaikat Penggali Kubur tidak begitu saja mudah terkecoh.
Meski orang dapat menahan tendangan kakinya belum tentu orang itu bisa
membendung pukulan Telaga Surya'-nya.
Berpikir sampai di sana, Malaikat Penggali Kubur cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Lalu diangkat ke atas dan serta-merta dipukulkan dengan
telapak mengepal ke arah Ki Buyut.
Sinar terang sekejap tampak berkiblat pertanda murid Bayu Bajra ini hendak
lepaskan pukulan Telaga Surya'.
DI depannya, Ki Buyut Pagar Alam tampak kenakan dahi. Sepasang matanya tak
berkesip mem-11 rhatikan Malaikat Penggali Kubur.
"Tunggu!" Mendadak Ki Buyut berseru.
"Anak ujda! Apa hubunganmu dengan Bayu Bajra"!"
Dengan tangan masih di atas dan siap teruskan h paskan pukulan, Malaikat
Penggali Kubur tersenyum aneh. Lalu berucap.
"Aku Malaikat Penggali Kubur! Tak ada hubung-ngan siapa pun! Dengar"!"
"Heemm.... Selama aku malang
melintang dalam ih iba persilatan, orang yang kuketahui memiliki pukulan seperti
pemuda ini adalah Bayu Bajra! Pasti pemuda ini masih ada hubungan dengan tokoh
itu. Hemm.... Bayu Bajra adalah adik kandung Dewa Sukma. Sementara Dewa Sukma adalah
pemegang penggalan peta itu. Jangan-jangan pemuda Ini...," Ki Buyut Pagar Alam
manggut-manggurt.
Saat itulah mendadak Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya.
Wuuttt! Wuuttt!
Cahaya terang berkiblat sekejap, disusul dengan deruan keras dan menggebraknya
gelombang angin luar biasa dahsyat!
Seakan tahu kehebatan pukulan si pemuda, begitu deruan keras terdengar, Ki Buyut
cepat keluarkan kedua tangannya lalu diangkat sejajar dada. Kejap lain kedua
tangannya didorong ke depan.
Tidak ada sambaran angin, juga tidak terdengar deruan, namun pada saat
bersamaan, gelombang angin dahsyat pukulan Malaikat Penggali Kubur laksana
disedot kekuatan dahsyat, dan perlahan-lahan gelombang angin itu mengarah pada
kedua tangan Ki Buyut.
Malaikat Penggali Kubur sesaat jadi terkesiap melihat bagaimana pukulannya
tersedot hendak masuk ke tangan lawan.
Selain itu diam-diam pula dia terkejut mengetahui si kakek mengenali Bayu Bajra
yang bukan lain adalah gurunya.
Merasa gelagat buruk, Malaikat Penggali Kubur cepat lipat gandakan tenaga
dalamnya. Sosok pemuda ini terlihat bergetar keras pertanda dia kerahkan segenap
tenaga dalamnya. Dan untuk kedua kalinya Malaikat Penggali Kubur pukulkan kedua
tangannya lepaskan pukulan Telaga Surya'.
Mendapati hal demikian, Ki Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Dia segera
sentakkan kedua tangannya, hingga gelombang angin dahsyat pukulan Telaga Surya'
Malaikat Penggali Kubur yang pertama tertahan dan kejap kemudian berbalik dan
kini memapak pukulan Telaga Surya'


Joko Sableng Kitab Serat Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dilepas Malaikat Penggali Kubur untuk yang kedua kalinya.
Belum sampai dua pukulan 'Telaga Surya' itu bentrok di udara, mendadak dari arah
kereta terdengar suara bentakan. Lalu terlihat cahaya hitam menggebrak setelah
terlebih dahulu membuat tanah rengkah membentuk jalur panjang!
Bummm! Bummm! Bummm!
Tiga ledakan berturut-turut membuat tempat itu laksana dihantam gempa hebat.
Sosok Ki Buyut Pagar Alam tampak terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun sebelum
kakinya melipat, bahunya bergerak dua kali. Kejap itu juga tubuhnya laksana
mental. Membumbung ke udara setinggi dua tombak. Tanpa membuat gerakan berputar,
kakek ini melayang turun dan menjejak tanah dengan kaki tegak dan kedua tangan
masuk ke dalam saku jubah hitamnya.
Di seberang, sosok Malaikat Penggali Kubur tampak terjengkang dan terkapar di
atas tanah dengan mulut keluarkan darah.
Jubah putihnya berubah menjadi kehitaman hangus. Namun pemuda ini segera bangkit
tatkala yakin bahwa luka dalamnya tidak begitu parah.
Tapi baru saja tubuhnya tegak, satu bayangan hitam berkelebat dan belum sempat
pemuda ini membuat gerakan, satu tendangan keras menghantam dadanya.
Bukkk! Malaikat Penggali Kubur berseru tertahan. Tubuhnya tersapu sampai dua tombak ke
belakang. Meski murid Bayu Bajra ini mampu bertahan tidak sampai roboh namun tak urung
dadanya terasa sesak dan sesaat kemudian dia batuk-batuk sebelum akhirnya
meludah keluarkan darah hitam!
"Jahanam keparat!" maki Malaikat Penggali Kubur sambil usap-usap dadanya dan
berpaling ke samping kanan. Sejarak tiga tombak, tampak perempuan berjubah dan
bercadar hitam tegak dengan kedua tangan tetap melipat di depan dada.
"Hem.... Orang-orang ini memang mampu menangkis pukulanku. Tapi belum bisa
kupastikan apakah dapat mengatasi pukulanku! Mereka hanya menangkis dengan
mengembalikan pukulanku! Berarti bukan orang-orang ini yang kelak mendapatkan
kitab itu! Kalau kuteruskan urusan ini, perjalananku akan tertunda. Dan bukan
tak mungkin ada orang yang mendahului! Hemm
... Daripada berurusan dengan orang-orang tak berguna, lebih baik aku teruskan
perjalanan!"
"Kalian dengar!" kata Malaikat Penggali Kubur. "Urusan ini belum selesai!
Kelak Malaikat Penggali Kubur akan mencari kalian!"
Habis berkata begitu, Malaikat Penggali Kubur putar diri. Namun gerakan tubuhnya
yang hendak berkelebat tinggalkan tempat itu tertahan ketika De wi Siluman tiba-
tiba perdengarkan tawa panjang yang mendadak pula diputus.
"Urusan memang belum selesai. Dan tak ada waktu lagi kelak!"
Dewi Siluman angkat kedua tangannya, sementara sepasang kakinya dibantingkan ke
tanah. Pertanda perempuan berjcbah dan bercadar hitam ini siap iepaskan pukulan
'Kabbt Neraka' sekaligus dengan pukulan
'Sinar Setan! Namun sebelum sempat lepaskan pukulan, Ki Buyut telah berkelebat dan mencekal
kedua tangan Dewi Siluman.
"Dewi....Tahan pukulan. Kita memer-lukan pemuda itu!" bisik Ki Buyut Pagar Alam.
Dewi Siluman berpaling dengan mendengus. "Apa maksudmu Ki Buyut"!"
"Biarkan dia pergi dulu!" ujar Ki Buyut Pagar Alam seraya terus pegangi kedua
tangan Dewi Siluman. Meski menahan rasa geram, tapi akhirnya Dewi Siluman turuti
ucapan si kakek.
Sementara di depan sana, begitu tak ada pukulan atau ucapan lagi, Malaikat
Penggali Kubur teruskan berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Dewi...," kata Ki Buyut Pagar Alam setelah Malaikat Penggali Kubur berlalu.
"Aku yakin pemuda itu masih ada hubungan dengan Bayu Bajra. Sedangkan Bayu Bajra
adalah adik kandung Dewa Sukma, orang yang memegang penggalan peta yang berhasil
Dewi rebut. Kalau dia sampai di daerah sini, tidak tertutup kemungkinan dia
memegang peta menuju arah Pulau Biru!"
"Hemm.... Lalu"!" tanya Dewi Siluman dengan sepasang mata memandang ke arah mana
Malaikat Penggali Kubur berkelebat.
"Kita ikuti pemuda itu! Kereta kita serahkan pada Wulandari dan Ayu Laksmi!"
Tanpa menunggu ucapan Dewi Siluman, Ki Buyut Pagar Alam melesat ke arah
Wulandari yang masih terduduk.
"Ki Buyut...," kata Wulandari dengan suara pelan. Ki Buyut Pagar Alam tidak buka
mulut. Kakek ini hanya ulurkan kantong kecil ke arah Wulandari yang segera
disambut oleh gadis berjubah kuning ini.
"Telan obat di dalam kantong ini dua butir. Ayu Laksmi juga beri dua butir.
Setelah itu kalian bawa kereta menuju tempat yang telah ditentukan!"
Habis memberikan kantong, Ki Buyut Pagar Alam kembali berkelebat mendekat Dewi
Siluman. Dewi. Kita harus bergerak cepat!"
"Hemm.... Aku heran. Dua kali ini Sitoresmi tak kutemui bersama dua saudara
seperguruannya! Jangan-jangan anak itu berlaku bodoh!" kata Dewi Siluman sambil
melirik ke arah Wulandari.
"Dewi.... Itu bisa kita urus belakangan! Ini kesempatan baik. Kalau dugaanku
tidak meleset, tanpa harus mencari penggalan sisa, kita bisa sampai ke Pulau
Biru!" "Tapi...."
"Dewi!" tukas Ki Buyut Pagar Alam.
"Urusan yang kita hadapi membutuhkan gerak cepat. Siapa yang pandai manfaatkan
situasi dan waktu dialah yang akan berhasil! Sekali kesempatan lolos, kita akan
kecewa!" Tanpa pedulikan Dewi Siluman yang masih tegak berpikir, Ki Buyut Pagar Alam
telah berkelebat mendahului ke arah mana Malaikat Penggali Kubur pergi.
Meski masih diliputi tanda tanya dengan dugaan Ki Buyut Pagar Alam, namun sesaat
kemudian Dewi Siluman juga berkelebat menyusul.
Tak berapa lama setelah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam pergi, Wulandari
tampak bergerak bangkit, lalu melangkah ke arah Ayu Laksmi. Gadis berjubah
kuning ini segera berikan dua butir obat pada Ayu Laksmi. Lantas menolong gadis
berjubah biru itu untuk bergerak bangkit dan menuntunnya ke arah kereta.
Tak berselang lama, di tempat itu terdengar gemeretak roda kereta ditingkah
suara derap ladam kaki kuda. Kereta yang tadi dikusiri oleh Ki Buyut Pagar Alam
itu kini bergerak ke arah selatan dengan dikusiri oleh Wulandari, sementara Ayu
Laksmi tampak duduk di sebelahnya dengan sesekali mengusap dadanya.
SEMBILAN MATAHARI telah tenggelam di ujung laut sebelah barat ketika Joko jejakkan kaki
di pesisir Laut Selatan. Namun karena saat itu rembulan bersinar terang, murid
Pendeta Sinting ini masih dengan jelas bisa melihat kawasan pesisir laut.
"Peta terakhir yang kuperoleh dari Dewi Es menunjuk tempat ini. Lalu di situ
tertera perahu. Hem.... Berarti aku harus menyeberangi laut....11 Joko Sableng
arahkan pandangannya ke tengah laut.
Dari tempatnya berdiri, murid Pendeta Sinting ini melihat gundukan hitam nun
jauh di tengah laut. Lalu terlihat pula kelap-kelip perahu nelayan di seberang.
"Pulau Biru.... Dalam situasi begini, sulit menentukan di mana pulau itu berada.
Terpaksa aku harus menunggu sampai suasana terang. Sementara menunggu waktu, aku
akan membuat rakit...."
Ketika ujung laut di sebelah timur terlihat mulai agak terang berwarna
kekuningan pertanda sang matahari tak lama lagi akan muncul menerangi hamparan
bumi, tampak sebuah rakit meluncur deras membelah ombak Laut Selatan.
Tegak di atas rakit adalah seorang pemuda .berpakaian putih rambut panjang
diikat dengan ikat kepala warna putih. Di tangannya tampak sebatang kayu yang
sesekali diayunkan ke dalam air laut.
"Meski belum dapat kupastikan mana Pulau Biru, tapi aku akan menuju salah satu
pulau itu!" kata sang pemuda yang bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131
seraya arahkan pandangannya jauh ke tengah laut, di mana tampak dua gugusan
pulau yang dari tempatnya murid Pendeta Sinting berdiri terlihat hitam.
"Mudah-mudahan aku tidak salah alamat...," gumam Joko Sableng lalu ayunkan kayu
di tangan kanannya ke dalam air laut. Rakit yang ditumpangi makin kencang melaju
membelah gelombang menuju salah satu gugusan pulau di depan sana.
Sang mentari hampir tepat di titik tengahnya tatkala rakit yang ditumpangi murid
Pendeta Sinting sampai pada bagian pinggiran pulau. Sebelum rakit merapat, Joko
Sableng telah berkelebat dan tegak di pinggiran pulau dengan mata memandang
berkeliling ke seantero pulau.
Ternyata pulau itu tidak begitu besar. Tidak tampak adanya pohon atau tumbuhan.
Yang terlihat hanyalah gugusan batu-batu padas dan tanah berpasir.
Anehnya, gugusan batu-batu padas dan pasir yang bertebaran di tempat itu
berwarna biru! "Melihat keadaannya, aku tidak datang ke tempat yang salah! Semua yang ada di
tempat ini berwarna biru!" kata Joko dalam hati seraya sekali lagi putar kepala
dengan sepasang mata memperhatikan.
Tiba-tiba kening murid Pendeta Sinting ini berkerut. Sepasang matanya menebar
sementara telinganya dipasang baik-baik. "Aneh...," gumamnya. "Mataku tak
melihat adanya orang. Telingaku tidak menangkap suara gerakan. Namun kenapa
tanah yang kupijak terasa bergetar! Ini bukan karena gelombang ombak.... Ada
sesuatu yang lain!"
"Astaga!" murid Pendeta Sinting ini tepuk jidatnya sendiri. "Bukankah Manusia
Dewa pernah mengatakan Kitab Serat Biru ada di tangan seorang sakti bernama Ki
Ageng Mangir Jayalaya" Jangan-jangan ini adaiah...." Tanpa pikir panjang lagi,
Pendekar 131 segera berkelebat menuju tengah pulau. Namun sesaat Joko jadi
bingung sendiri. Karena hingga matanya lelah mencari, ia tak menemukan siapa-
siapa. Sementara getaran-getaran itu makin lama makin keras.
"Pulau ini tampaknya kosong tak berpenghunil Lalu ke mana aku harus mencari
kitab itu" Peta itu hanya menunjukkan jalan menuju Pulau. Tidak ada petunjuk
lebih lanjut ke mana aku harus menuju setelah sampai di pulau! Hem....
Tapi kenapa getaran-getaran ini makin keras"!"
Joko tengadahkan kepala. "Aku akan menelusur dari pinggiran pulau!"
Murid Pendeta Sinting segera
berkelebat dan kini dengan mata nyalang ia melangkah menyusur pinggiran pulau
berpasir biru itu. Namun hingga tidak ada celah yang tertinggal, dia tetap tak
menemukan siapa-siapa!
"Ah. Mungkin benar apa yang dikatakan sebagian orang. Cerita Kitab Serat Biru
hanyalah isapan jempol belaka! Atau....
Mungkin ada orang yang mendahuluiku sampai di tempat ini. Bertemu dengan orang
sakti itu, lalu orang sakti yang dikatakan Manusia Dewa itu pergi tinggalkan
pulau! Tapi kenapa orang-orang aneh seperti Ratu Malam, Gendeng Panuntun mengisyaratkan
bahwa...." Murid dari jurang Tlatah Perak ini tidak teruskan kata hatinya karena
saat itu terdengar orang lantunkan nyanyian.
Suratan telah ditulis, takdir sudah digurat
Tidak satu kekuatan pun yang bisa merobah dan menggugat
Bahkan hingga air mata kering dan tubuh melipat
Kecuali dengan izin Tuhan Sang Penguasa Jagat.
Pendekar Satu Jurus 8 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Kisah Membunuh Naga 31
^