Pencarian

Kuil Atap Langit 1

Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Bagian 1


SATU DARI salah satu ruangan di deretan sebelah kiri
bangunan utama, Guru Besar Liang San keluar den-
gan langkah terhuyung dan hampir saja roboh jika sa-
lah seorang pemuda berkepala gundul tidak segera
menyongsong lalu menahan sosok Guru Besar Liang
San dengan kedua tangannya.
"Guru Besar Liang San...," kata si pemuda.
Guru Besar Liang San gelengkan kepala seraya le-
paskan pegangan tangan si pemuda. "Aku tak apa-
apa.... Kumpulkan semua murid perguruan!"
Si pemuda masih memandang dengan khawatir. Na-
mun setelah melihat Guru Besar Liang San meman-
dang ke arahnya dengan mata agak melotot, si pemuda
buru-buru berkelebat untuk lakukan perintah Guru
Besar Liang San.
Hanya beberapa saat, di halaman depan bangunan
utama telah tegak berbaris beberapa pemuda berke-
pala gundul. Sebagian di antara mereka ada yang ma-
sih tampak terluka dengan mulut kucurkan darah.
"Dengar.... Kumpulkan semua yang terluka. Lalu
kuburkan yang sudah meninggal! Mulai nanti malam,
lipat gandakan penjagaan! Untuk sementara semua
tamu yang tidak dikenal jangan izinkan masuk!" Guru
Besar Liang San berkata seraya bersandar pada se-
buah tiang bangunan. Sepasang matanya menyapu ke
seluruh halaman. Lalu ke deretan ruang di sebelah
kanan dan kiri bangunan utama. Terakhir dia arahkan
pandang matanya pada ruang penyimpanan.
"Ingat! Jangan ada yang masuk ruang penyimpa-
nan!" "Amitaba...." Serentak para pemuda di halaman de-
pan bangunan utama takupkan kedua tangan seraya
anggukkan kepala. Saat lain mereka pun bubar.
Begitu halaman depan bangunan utama kosong,
Guru Besar Liang San berkelebat. Tahu-tahu sosoknya
telah tegak di depan pintu sebuah ruangan. Dia melirik ke kanan kiri.
"Aku tidak melihat Guru Besar Wu Wen She.... Apa-
kah mereka gagal menghabisinya"! Ini tidak boleh terjadi. Walau dia mungkin
tidak tahu peristiwa di balik semua ini, namun bagaimanapun juga dia akan jadi
penghalang jika masih hidup!"
Guru Besar Liang San dorongkan tangan kanan ke
pintu. Perlahan-lahan pintu terbuka. Guru Besar Liang San memandang berkeliling
ke dalam ruangan. Dahi-nya berkerut. "Kosong...!" desisnya dengan seringai
dingin. Dengan membuat satu kali gerakan, sosok Guru
Besar Liang San telah berada di dalam ruangan. Kem-
bali sepasang matanya menyapu. Namun dia tidak me-
lihat siapa-siapa!
"Hem.... Mungkinkah dia berhasil meloloskan diri"!
Aku harus segera dapat kepastian! Tapi aku harus
memastikan dahulu keadaan Maha Guru Besar Su
Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!"
Berpikir begitu, Guru Besar Liang San segera berke-
lebat keluar dan terus berlari ke ruang persembaya-
ngan. Matanya segera tertuju pada satu ruangan di sebelah kanan ruang
persembayangan. Pintunya tampak
terbuka. Beberapa pemuda tampak hilir mudik.
Ketika salah seorang pemuda melihat kemunculan
Guru Besar Liang San, si pemuda segera mendekati.
Kedua tangannya ditakupkan di depan dada. Sambil
mengangguk dia berkata.
"Amitaba.... Guru Besar Liang San.... Maha Guru
Besar Su Beng Siok...!" Hanya sampai di situ si pemu-da berucap. Dia tidak kuasa
untuk lanjutkan ucapan.
Sebaliknya hanya arahkan pandang matanya pada sa-
tu sosok tubuh yang diangkat beberapa pemuda dari
sebelah kiri ranjang.
Guru Besar Liang San ikut arahkan pandang mata-
nya pada sosok berlumuran darah yang dipandang
pemuda tadi. Dia bukan lain adalah sosok Maha Guru
Besar Su Beng Siok.
Hanya dengan sekali pandang, Guru Besar Liang
San sudah tahu bagaimana keadaan Maha Guru Besar
Su Beng Siok. Dia menghela napas panjang lalu buka
mulut. "Kuburkan mayat Maha Guru Besar Su Beng
Siok...!" Si pemuda di hadapan Guru Besar Liang San segera
anggukkan kepala. Saat lain meninggalkan Guru Besar
Liang San mendekati beberapa pemuda yang meng-
angkat sosok Maha Guru Besar Su Beng Siok.
Baru saja si pemuda berlalu dan belum sampai
Guru Besar Liang San balikkan tubuh, salah seorang
pemuda buru-buru mendekati dari luar ruangan. Se-
telah anggukkan kepala dia berucap.
"Guru Besar Liang San.... Guru Besar Pu Yi te-
lah...." Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, Guru
Besar Liang San telah angkat tangan kanannya. Tanpa
berkata apa-apa lagi dia putar diri lalu berkelebat dan berlari ke salah satu
ruangan di sebelah kanan bangunan utama.
Beberapa pemuda terlihat mengangkat satu sosok
tubuh. Guru Besar Liang San yakinkan diri sebentar.
Lalu berkata. "Makamkan Guru Besar Pu Yi berdampingan de-
ngan Maha Guru Besar Su Beng Siok!"
Beberapa pemuda yang mengangkat sosok tubuh,
dan bukan lain adalah sosok mayat Guru Besar Pu Yi,
sempat terkesiap. Namun saat mengetahui siapa ada-
nya orang yang baru saja berkata, mereka anggukkan
kepala. Guru Besar Liang San balikkan tubuh. "Hem.... Gu-
ru Besar Wu Wen She benar-benar lenyap! Aku tahu
apa yang harus kulakukan untuk hindarkan diri dari
rintangannya!"
Setelah membatin begitu, tanpa balikkan tubuh dia
berkata. "Setelah pemakaman, semua kumpul di halaman!"
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San berke-
lebat. Dia terus berlari menuju ruang penyimpanan.
Karena di sana tidak ada orang, dia segera masuk. Dia meneliti sesaat. Lalu
anggukkan kepala.
"Sekarang tinggal memburu pemuda asing itu! De-
ngan bantuan prajurit Yang Mulia Baginda Ku Nang,
tidak perlu waktu lama untuk menemukannya!"
Tidak berapa lama, di halaman depan bangunan
utama telah tegak berbaris beberapa pemuda. Guru
Besar Liang San melangkah perlahan-lahan dengan
kepala menunduk. Beberapa pemuda di halaman juga
tundukkan kepala dengan kedua tangan menakup di
depan dada. Tidak ada yang buka suara atau membuat
gerakan. "Hari ini kita harus belasungkawa atas terbunuhnya
Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu
Yi..," kata Guru Besar Liang San dengan suara tersendat.
"Aku sangat menyesal dan kecewa dengan peristiwa
inil Aku merasa berdosa tidak bisa menyelamatkan
Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu
Yi.... Setelah ini.... Aku harus meninggalkan kalian semua! Kalian bebas memilih
jalan yang kalian kehenda-
ki!" "Guru Besar Liang San...!" Salah seorang pemuda yang tampak berusia paling
tua angkat suara. "Ini semua bukanlah semata-mata kesalahan Guru Besar
Liang San.... Harap Guru Besar Liang San tidak me-
ninggalkan kami! Kami masih menginginkan Guru Be-
sar Liang San untuk memimpin perguruan ini! Dan
kami siap melakukan apa saja untuk menemukan sia-
pa di balik peristiwa terbunuhnya Maha Guru Besar
Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!"
Guru Besar Liang San gelengkan kepala. "Rasanya
tidak mudah menuruti permintaan kalian.... Lagi pula aku tidak punya niat untuk
memimpin perguruan ini!
Kalian kubebaskan mencari orang yang bisa memim-
pin dan meneruskan perguruan ini!"
"Amitaba.... Guru Besar Liang San...," kata pemuda
yang tadi angkat suara. "Harap jangan tinggalkan ka-
mi. Kalaupun kami harus mencari orang yang harus
memimpin perguruan ini, tidak lain hanyalah Guru
Besar Liang San! Hari ini juga kami mengangkat Guru
Besar Liang San sebagai pemimpin perguruan ini!"
Habis berkata begitu, si pemuda tekuk kedua lutut-
nya dengan kedua tangan ditakupkan di atas kepala.
"Benar! Kami mengangkat Guru Besar Liang San
menjadi pemimpin perguruan!" serentak beberapa pe-
muda di halaman depan bangunan utama membuat
sikap seperti pemuda yang tadi berkata.
"Amitaba...!" Guru Besar Liang San takupkan kedua
tangan di depan dada dengan kepala mengangguk.
"Sebenarnya aku tak menginginkan semua ini. Tapi
kalau kalian mengharapkan, aku tidak bisa menolak!"
"Amitaba.... Terima kasih, Guru Besar Liang San!"
Para pemuda hampir bersamaan buka mulut. Lalu te-
gakkan tubuh masing-masing. Kedua tangan mereka
kini ditarik dan menakup di depan dada.
"Apa kalian ada yang melihat Guru Besar Wu Wen
She"!" tanya Guru Besar Liang San.
Para pemuda di halaman sama gelengkan kepala.
Guru Besar Liang San tersenyum dingin. Lalu berkata
dengan suara berat.
"Tadi malam terjadi peristiwa yang menyebabkan
terbunuhnya Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Gu-
ru Besar Pu Yi. Lalu satu benda di ruang penyimpanan lenyap! Bersamaan itu Guru
Besar Wu Wen She tidak
kelihatan! Benda yang lenyap dari ruang penyimpanan
adalah benda berharga dan salah seorang yang tahu
rahasianya adalah Guru Besar Wu Wen She...!" Guru
Besar Liang San hentikan sesaat ucapan sebelum ak-
hirnya melanjutkan.
"Aku tak menaruh prasangka buruk. Tapi adalah
aneh kalau tiba-tiba Guru Besar Wu Wen She meng-
hilang! Untuk menjunjung tinggi martabat perguruan
dan menyelesaikan urusan ini, satu-satunya jalan adalah minta keterangan pada
Guru Besar Wu Wen She!
Setelah itu, aku akan mengutus beberapa orang dari
kalian untuk mencari jejak Guru Besar Wu Wen She.
Tapi sekali lagi ini bukanlah pernyataan kalau Guru
Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa tadi malam. Ini semua kita
lakukan untuk mencari kebenaran siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa tadi
malam!" "Kami siap lakukan perintah, Guru Besar Liang
San!" kata beberapa pemuda serentak.
"Bagus! Mulai saat ini perketat penjagaan. Dan un-
tuk beberapa lama aku harus meninggalkan kalian.
Ada satu urusan yang harus kuselesaikan yang masih
ada kaitannya dengan peristiwa tadi malam! Nanti
akan kuputuskan siapa yang akan memimpin kalian
selama aku tidak ada! Sekarang kalian benahi seluruh ruangan!"
Para pemuda sama anggukkan kepala. Guru Besar
Liang San memandang sejurus pada beberapa pemuda
yang berbaris di halaman bangunan Utama. Saat lain
dia melangkah menuju ruangannya.
*** Tiga hari kemudian....
Malam sudah jauh bergulir. Angin dan udara dini
hari telah menggantikan udara malam. Satu sosok tu-
buh tampak melangkah mondar-mandir di sebuah bu-
kit yang banyak diranggasi pohon-pohon besar dan
semak belukar rimbun. Dia adalah seorang laki-laki
bertubuh kekar mengenakan pakaian hitam-hitam. Dia
juga mengenakan caping lebar dan dimasukkan da-
lam-dalam ke atas kepalanya hingga di tengah gelap
suasana, bukan hanya sosoknya yang terlihat samar-
samar, namun wajahnya sulit dikenali.
Laki-laki berpakaian hitam-hitam bercaping lebar
ini sesekali menghela napas panjang seraya usap ba-
gian bawah wajahnya dengan telapak tangan. Saat lain dia angkat bagian depan
caping lebarnya. Sepasang
matanya memandang lurus ke bawah bukit.
Dari gerak-gerik dan sikap orang, jelas kalau laki-
laki berpakaian hitam-hitam dan bercaping lebar te-
ngah menunggu sesuatu, atau setidaknya tengah me-
nanti kedatangan seseorang.
"Seharusnya dia datang malam ini! Tapi mengapa
hingga hari akan berganti pagi dia belum kelihatan batang hidungnya"!" gumam si
laki-laki seraya turunkan
tangan dari bagian depan capingnya hingga matanya
tidak kelihatan lagi. Dia kembali menghela napas da-
lam lalu melangkah perlahan-lahan di puncak bukit.
Namun baru saja kedua kakinya bergerak, dia sege-
ra balikkan tubuh. Kepalanya sedikit didongakkan.
Sepasang matanya melirik ke bawah.
"Hem.... Akhirnya dia muncul!" desis si laki-laki berpakaian hitam-hitam. Dia
luruskan kepala lalu putar
diri. Laki-laki berpakaian hitam-hitam tidak menunggu
lama. Bersamaan dengan putaran tubuhnya, satu
bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu satu sosok
tubuh telah tegak di sampingnya.
Si laki-laki berpakaian hitam-hitam berpaling pada
sosok yang baru muncul. Perasaan lega yang sesaat
terpancar dari nada desisan si laki-laki yang tadi berada di puncak bukit
mendadak sirna.
"Hem.... Tampaknya bukan dia yang datang!
Aneh...." "Siapa kau"!" Laki-laki berpakaian hitam-hitam ber-
caping buka mulut dengan suara meradang. Dia pa-
lingkan kembali kepalanya lurus ke depan.
"Guru Besar Liang San.... Harap dimaafkan.... Yang
Mulia Baginda Raja Ku Nang tidak dapat menemui Gu-


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ru Besar malam ini. Dia menugaskan aku untuk me-
wakilinya.... Aku adalah Wang Su Chin, salah seorang pengawal kerajaan...."
"Kenapa dia tidak datang"!" Laki-laki berpakaian hi-
tam-hitam dan bercaping lebar yang ternyata adalah
Guru Besar Liang San ajukan tanya dengan suara ma-
sih keras meradang. Jelas kalau orang ini mulai di-
amuk hawa amarah.
"Ada beberapa tamu yang tidak bisa ditinggalkan....
Tapi dia membawa pesan untukmu...."
"Ini adalah urusan sangat rahasia! Tidak seharus-
nya Baginda Ku Nang mewakilkan pada seseorang
meski dia adalah orang kepercayaannya! Baginda Ku
Nang.... Tampaknya dia sudah menomor-satukan tamu
lain setelah kotak berisi peta wasiat itu jatuh ke tangannya! Aku tak mau
dibodohi!" Guru Besar Liang
San membatin. "Guru Besar Liang San.... Yang Mulia...."
"Cukup!" tukas Guru Besar Liang San. "Tinggalkan
tempat ini! Katakan pada Baginda Ku Nang aku me-
nunggunya besok malam di tempat ini juga! Ingat, su-
ruh dia datang sendiri! Aku tak mau bicara dengan
orang lain! Kau dengar"!"
Tapi...." Lagi-lagi belum sampai orang teruskan ucapan, Gu-
ru Besar Liang San telah menukas. "Kau dengar uca-
panku. Tinggalkan tempat ini!"
Tanpa menyahut ucapan Guru Besar Liang San,
orang yang baru muncul balikkan tubuh. Dia perde-
ngarkan gumaman tak jelas, lalu putar diri dan berkelebat menuruni bukit.
"Aku telah korbankan beberapa nyawa! Aku tak
mau pengorbanan ini tidak ada hasilnya! Kalau besok
malam dia tidak muncul, terpaksa aku akan menuju
istana!" Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San tekan
caping lebarnya hingga wajahnya makin sulit dikenali.
Saat lain dia berkelebat menerabas dinginnya pagi menuruni bukit.
*** DUA LAKI-LAKI berbaju kuning berupa pakaian khas
orang Budha dengan kepala mengenakan caping lebar
dan dimasukkan dalam-dalam ke kepalanya seakan
wajahnya tidak ingin dikenali itu hentikan langkahnya di satu kaki bukit. Dia
celingukan sebentar lalu melangkah lagi mendekati sebatang pohon. Saat lain
laki-laki ini telah duduk bersandar dengan tangan kanan
diletakkan di atas capingnya hingga raut wajahnya makin tertutup sulit dikenali.
Sementara tangan kirinya ditopangkan pada dagunya.
"Hem.... Sudah enam hari aku berada di negeri
orang. Tapi banyak kejadian tak terduga yang kualami!
Kalau saja tidak turuti ucapan Guru Besar Pu Yi, tentu aku sudah tiba di tanah
kelahiranku! Namun tujuh
hari lagi bukanlah waktu yang lama.... Mudah-muda-
han tidak terjadi apa-apa dengan Guru Besar Pu Yi.
Hanya saja untuk sementara ini aku harus terus me-
nyamar untuk selamatkan diri dari kejaran beberapa
prajurit kerajaan! Aku juga harus menjauh dari Per-
guruan Shaolin untuk menjaga kecurigaan orang!" La-
ki-laki di bawah pohon perhatikan dirinya dengan ke-
pala ditundukkan. "Untung aku bisa memperoleh pa-
kaian ini dari seseorang penduduk yang baik hati...."
Dia perdengarkan tawa perlahan. Lalu kepalanya kem-
bali diangkat dan diluruskan ke depan.
"Aku heran.... Mengapa Guru Besar Pu Yi memberi-
kan kantong yang katanya berisi peta wasiat padaku"!
Padahal dia baru saja mengenalku dan belum tahu sia-
pa aku sebenarnya! Seharusnya dia tak boleh melaku-
kan hal ini.... Dia terlalu percaya pada orang yang belum dikenalnya....
Tapi.... Ah, mungkin dia telah memi-
kirkan tindakannya dengan matang. Lagi pula me-
ngapa aku berpikir sampai ke sana" Bukankah dia ti-
dak memberikan kantong ini padaku" Dia hanya me-
nitipkan padaku untuk jangka waktu tertentu. Dan
waktu itu tinggal tujuh hari di depan!" Si laki-laki terus bergumam sendiri.
"Setelah tujuh hari di depan, aku harus segera ting-
galkan negeri ini! Dengan peristiwa di atas laut beberapa hari yang lalu, aku
tidak akan aman jika terus
berada di...." Si laki-laki bercaping putuskan guma-
mannya. "Ada seseorang berlari ke arah bukit ini!" Dia tengadahkan kepala agar
matanya dapat melihat.
"Dari pakaiannya jelas dia bukanlah prajurit kera-
jaan. Tapi mengapa dia berlari ke arah bukit ini" Apakah dia salah seorang....
Ah. Siapa pun dia adanya
yang jelas aku tak akan membuat urusan!"
Si laki-laki di bawah pohon tundukkan kepala hing-
ga wajahnya seakan tenggelam di dalam caping lebar-
nya. Namun baru saja kepala si laki-laki bercaping
bergerak menunduk, tahu-tahu orang yang tadi di-
lihatnya berlari dari arah depan sana, mendadak su-
dah tegak hanya berjarak tujuh langkah!
"Heran...," gumam si laki-laki bercaping di bawah
pohon. Walau kepala orang ini menunduk dan tidak
melihat orang, namun tampaknya dia bisa merasakan
kehadiran orang yang tidak jauh dari tempatnya du-
duk. "Dia tadi masih berada jauh di sana.... Tapi tahu-tahu dia sudah tidak jauh
lagi dari tempatku! Melihat dia tidak lanjutkan larinya, pasti dia punya
kepenti-ngan denganku! Tapi bagaimana dia tahu kalau
aku...." Belum selesai si laki-laki bercaping teruskan kata
hatinya, terdengar orang berdehem beberapa kali. Na-
mun laki-laki bercaping coba bertahan untuk tidak
angkat kepala meski dia tahu kalau suara deheman
orang memberi petunjuk akan kehadirannya.
"Selamat jumpa lagi, Sahabat jauh...."
Laki-laki bercaping tersentak. "Telingaku pernah
dengar suaranya!" katanya dalam hati namun dia be-
lum juga angkat kepala untuk dapat melihat siapa
adanya orang yang baru saja perdengarkan suara.
"Dua hari aku mencarimu.... Tak tahunya kau be-
rada di sini! Kuharap keadaanmu baik-baik saja...."
"Betul! Aku pernah dengan suaranya! Dan seper-
tinya dia telah mengenaliku meski aku yakin dia tidak bisa melihat wajahku!"
Laki-laki bercaping di bawah
pohon terus bergumam lalu perlahan-lahan angkat ke-
palanya tengadah. Dari balik capingnya yang lebar, dia melirik ke depan.
Di depan sana, terlihat seorang laki-laki berusia
lanjut berwajah bulat bermata sipit. Rambutnya pan-
jang dikelabang dan dilingkarkan melilit pada batang lehernya. Pada daun telinga
sebelah kiri tampak meng-gantung sebuah anting-anting besar. Kakek ini menge-
nakan sebuah jubah tanpa leher berwarna putih.
Laki-laki bercaping di bawah pohon terus arahkan
matanya ke bagian bawah wajah orang. Ternyata ka-
kek di depan sana hanya memiliki tangan sebelah kiri dan juga kaki sebelah kiri!
"Kakek yang pernah bertemu denganku saat aku
baru saja mengubur mayat Yang Kui Tan!" desis laki-
laki bercaping. "Menurut Guru Besar Pu Yi, kakek ini bergelar Tiyang Pengembara
Agung.... Seorang tokoh
berilmu tinggi dan juga memiliki kepandaian sangat
langka! Hem.... Dengan penyamaran ini, dia masih bisa tepat menebak, padahal
kepalaku sempat kutunduk-kan!"
Tiyang Pengembara Agung!" kata laki-laki bercaping
lebar seraya bergerak bangkit lalu menjura hormat.
"Hem.... Rupanya kau sudah tambah pengetahuan
meski selama ini kau baru bertemu beberapa orang!"
kata si kakek bertangan dan berkaki satu yang tidak
lain memang seorang tokoh daratan Himalaya yang di-
kenal kalangan persilatan dengan gelar Tiyang Pe-
ngembara Agung.
"Kau mencariku.... Tanpa aku bertanya tentu kau
akan mau menjelaskan!" kata laki-laki bercaping lebar seraya tersenyum. Dia
teringat akan pertemuannya dengan si kakek di dekat pesisir beberapa hari
berselang. Saat itu baik si kakek maupun si laki-laki bercaping saling tawar menawar untuk
jawab pertanyaan satu
sama lain. Namun karena tak ada yang mau mengalah,
akhirnya keduanya gagal mengadakan pembicaraan.
Hanya saja sebelum si kakek pergi, orang tua itu sempat perdengarkan sebuah
syair. Dilihat dari sini, jelas membuktikan kalau laki-laki bercaping tidak
bukan adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
(Lebih jelasnya tentang pertemuan Joko dengan Tiyang Pengembara Agung silakan
baca serial Joko Sableng
dalam episode : "Wasiat Agung Dari Tibet").
Tiyang Pengembara Agung membuat gerakan satu
kali. Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga langkah di depan murid Pendeta Sinting
yang saat itu memang
tengah menyamar dengan mengenakan pakaian mirip
seorang Budha dan mengenakan caping lebar.
"Anak muda.... Satu peristiwa besar telah terjadi...."
Dada Joko berdebar. Tanpa sadar dia melompat ke
depan lalu buka mulut.
"Harap kakek mau jelaskan peristiwa besar apa
yang telah terjadi!"
"Kau telah bertemu orang yang selama ini kau ca-
ri"!" Tiyang Pengembara Agung bertanya.
Karena telah tahu dari Guru Besar Pu Yi siapa se-
benarnya Tiyang Pengembara Agung, tanpa ragu-ragu
lagi murid Pendeta Sinting anggukkan kepala seraya
berkata. "Aku memang telah bertemu dengan orang yang ku-
cari! Apakah peristiwa besar yang kau katakan masih
ada hubungannya dengan orang itu"!" Joko balik ber-
tanya dengan dada makin berdebar.
Tiyang Pengembara Agung tidak segera menjawab.
Dia putar kepala sebelum akhirnya buka mulut. "Sebe-
lum pertanyaanmu kujawab, harap kau mau jawab du-
lu pertanyaanku. Kau masih memegang amanat itu"!"
"Hem.... Yang dimaksud tentu kantong ini!" kata
murid Pendeta Sinting dalam hati. Karena tidak lagi
merasa curiga pada Tiyang Pengembara Agung, tanpa
ragu-ragu Joko kembali anggukkan kepala tanpa ang-
kat suara. Meski tidak melihat orang, tapi Tiyang Pengembara
Agung dapat merasakan gerakan isyarat kepala Joko.
Hingga saat lain dia anggukkan kepala dengan meng-
hela napas panjang dan berujar.
"Syukur.... Berarti mereka belum bisa laksanakan
niatnya! Tapi keselamatanmu makin terancam!"
"Aku belum mengerti maksud ucapanmu, Kek!"
"Anak muda.... Tiga malam yang lalu, telah terjadi
peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin! Sahabat baik ku Maha Guru Besar Su Beng
Siok dan Guru Besar Pu
Yi tewas dalam peristiwa itu! Lalu sebuah kotak lenyap dari ruang penyimpanan!"
Pendekar 131 terlengak. Paras wajahnya langsung
berubah tegang. "Siapa yang melakukannya"!"
"Sekarang tengah dalam penyelidikan! Namun dari
caranya, jelas peristiwa ini melibatkan orang dalam
meski yang banyak berperan adalah orang luar!"
Tiyang Pengembara Agung putar lagi kepalanya meng-
hadap Joko. Lalu lanjutkan ucapannya. "Guru besar Wu Wen She menghilang. Kini
Perguruan Shaolin dipegang oleh Guru Besar Liang San!"
"Apakah kau menduga lenyapnya Guru Besar Wu
Wen She karena dia terlibat dalam peristiwa berdarah itu"!"
"Aku hanya mengenal baik Guru Besar Pu Yi dan
Maha Guru Besar Su Beng Siok. Namun aku tidak be-
rani menduga keterlibatan Guru Besar Wu Wen She
meski kini semua orang telah menduga bahwa Guru
Besar Wu Wen She adalah orang di balik peristiwa itu!"
"Mengapa kau tidak berani menduganya" Bukan-
kah tindakannya itu telah menunjukkan kalau Guru
Besar Wu Wen She terlibat" Jika tidak, mengapa dia
harus melenyapkan diri"!"
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. "Tidak
semudah itu menduga orang, Anak Muda.... Dalam
pandangan dan teori, tindakan Guru Besar Wu Wen
She memang mengarah pada dugaan yang kini telah
meluas. Tapi kita juga harus memandangnya dari sisi
lain!" "Maksudmu..."!"
"Mungkin saja kepergiannya karena dia merasa ti-
dak mampu melawan dan tahu banyak di balik apa
yang telah terjadi!"
"Sebagai salah seorang pemimpin, seharusnya dia
tidak meloloskan diri demi keselamatan pribadi!" ujar Pendekar 131.
"Seharusnya memang demikian! Tapi kita pun ha-
rus berpikir panjang. Kalau keselamatannya demi un-
tuk membuka siapa sebenarnya dalang di balik peris-
tiwa berdarah itu dan demi untuk menyusun kekuatan
baru, kurasa apa yang dilakukan Guru Besar Wu Wen
She bisa kita terima.... Meski dia sekarang harus
membangun kepercayaan orang!"
"Baiklah kalau begitu. Sekarang kau dapat men-
duga siapa orang luar yang terlibat dan berperan banyak dalam peristiwa berdarah
itu"!" kata Joko.
"Itu pun masih sulit diduga! Karena harus kau keta-
hui, apa yang lenyap dari ruang penyimpanan adalah
benda yang sejak bertahun-tahun lamanya jadi inca-
ran kalangan Bu Lim...!"
"Bu Lim.... Apa itu"!"
Tiyang Pengembara Agung tertawa. "Bu Lim adalah
istilah negeri ini untuk kalangan orang persilatan!"
Joko ikut tertawa. Tiyang Pengembara Agung ker-
nyitkan dahi. "Apa yang lucu, Anak Muda"!"
"Di kampung halamanku, kalau ada orang menye-
but Bu Lim pasti artinya dia adalah istrinya Pak Lim!"
"Hem.... Ucapanmu membuatku ingat jika kau ada-
lah orang asing di sini. Lebih dari itu kau belum per-kenalkan diri padaku!
Sekarang kau tak merasa kebe-
ratan bukan untuk mengatakannya padaku"!" kata
Tiyang Pengembara Agung.
"Aku berasal dari tanah Jawa bagian timur. Nama-
ku Joko Sableng...."


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tentu punya seorang guru berilmu tinggi! Sia-
pa dia"!"
"Guruku bergelar Pendeta Sinting dari Jurang Tla-
tah Perak!"
Tiyang Pengembara Agung picingkan matanya yang
sipit. "Selain memiliki guru berilmu tinggi, tampaknya kau juga membekal senjata
sakti.... Kau harus hati-hati membawa senjata saktimu itu, Anak Muda! Kau
tahu.... Kalangan Bu Lim di negeri ini selalu tergila-gila dengan benda
mustika!" "Hem.... Dia bisa melihat pedang di balik pakaian-
ku!" kata Joko dalam hati. Lalu berujar. "Terima kasih atas nasihatmu, Kek!"
"Lain daripada itu, kau sekarang harus lebih was-
pada lagi. Kau kini membawa amanat besar! Kau telah
bertemu dengan Guru Besar Pu Yi, jadi aku tak perlu
menjelaskan lagi!"
"Tapi aku minta petunjukmu, Kek. Apa yang harus
kulakukan sekarang"! Guru Besar Pu Yi menitipkan
amanat ini padaku. Sekarang Guru Besar Pu Yi telah
tiada. Kepada siapa amanat ini harus kuberikan" Saat bertemu dengan Guru Besar
Pu Yi, dia tidak mengatakan kepada siapa amanat ini harus kuberikan!"
"Karena amanat itu diberikan padamu dan Guru
Besar Pu Yi tidak mengatakan kepada siapa lagi ama-
nat itu harus diberikan, berarti kaulah yang harus
mengemban amanat itu!"
"Jadi..."!"
"Mungkin takdir sudah menuliskan meski kau o-
rang dari negeri jauh, namun kau harus mengemban
amanat di negeri ini dan menyelesaikannya sampai
tuntas!" "Kek! Demi rimba persilatan, sebenarnya aku tidak
keberatan untuk melakukan amanat ini! Tapi bukan-
kah di negeri ini masih banyak orang berilmu tinggi
dan salah satunya adalah kau sendiri" Bukankah lebih baik kau yang
melakukannya"! Apalagi kau telah mengenal benar negeri ini dan orang-orang yang
terlibat di dalamnya?"
Tiyang Pengembara Agung gelengkan kepala. "Tak-
dir telah ditulis, Anak Muda.... Siapa pun tak bisa me-rubahnya!"
"Tapi sampai di mana amanat ini harus selesai"!"
"Sampai misteri di dalamnya terbuka dan semua o-
rang sadar jika mereka tidak ditakdirkan untuk me-
lakukan amanat itu! Sekaligus mereka harus maklum
jika mereka tidak akan mendapat apa-apa meski me-
reka rela korbankan nyawa untuk mendapatkannya!"
"Hem.... Ini isyarat jika aku masih harus lama di
negeri ini!" Joko membatin. Lalu setelah agak lama
berpikir, dia angkat suara.
"Lalu apa pertama-tama yang harus kulakukan"!"
"Kau harus mendapatkan kembali benda yang le-
nyap dari ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin!
Karena dengan bersatunya kembali benda itu dengan
apa yang ada padamu, baru pergolakan di negeri ini
bisa tenang! Jika tidak, gelombang itu akan makin
menggila dan akan banyak jatuh korban!"
Tengkuk murid Pendeta Sinting menjadi dingin de-
mi mendengar keterangan Tiyang Pengembara Agung.
Dengan suara agak bergetar dia berucap.
"Kek.... Dalam perjalananku menuju negeri ini, di
tengah laut aku telah dihadang beberapa prajurit kerajaan. Demikian juga pada
beberapa malam yang lalu....
Apakah ini satu bukti jika pihak kerajaan juga meng-
inginkan benda yang ada padaku" Dan apakah tidak
mungkin peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin di-
dalangi juga oleh pihak kerajaan"!"
"Itu satu hal yang tidak harus kau tanyakan pada-
ku! Tapi sebaliknya harus segera kau selidiki! Karena secara tidak langsung kau
telah terlibat di dalamnya!"
"Tapi akan lebih enak bagiku jika mendapat sedikit
keterangan darimu, karena aku masih asing dengan
negeri ini!"
"Tidak, Anak Muda.... Tahu dengan pengalaman
sendiri akan lebih baik daripada tahu dengan ketera-
ngan dari mulut orang! Aku harus segera pergi...."
Suara Tiyang Pengembara Agung belum selesai, o-
rang tua bertangan dan berkaki satu itu telah mem-
buat satu gerakan. Sosoknya melesat dan tahu-tahu
sudah berada jauh di depan sana. Saat orang tua ini
membuat gerakan lagi, sosoknya telah lenyap.
"Akar urusan ini dari Perguruan Shaolin. Sementara
orang yang mencurigakan adalah Guru Besar Wu Wen
She. Jalan satu-satunya sekarang adalah menemukan
orang itu! Tapi.... Aku belum pernah bertemu dengan
orangnya! Bagaimana aku bisa mencarinya"!" Murid
Pendeta Sinting kebingungan. Saat itulah terlintas
bayangan seorang gadis cantik di pelupuk matanya.
"Mei Hua.... Ah.... Benar! Aku harus mencarinya!
Siapa tahu dia mengenali Guru Besar Wu Wen She!
Pada beberapa hari yang lalu dia telah memberi kete-
rangan dan ternyata keterangannya benar! Mungkin
dia bisa membantuku lagi.... Kalaupun tidak bisa, setidaknya aku punya teman
untuk bicara. Apalagi dia
seorang gadis berwajah jelita!" Joko tersenyum lalu dia berkelebat begitu saja
tanpa arah tujuan meski maksud sebenarnya adalah mencari Mei Hua. (Tentang per-
temuan Joko dengan Mei Hua silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Wasiat Agung Dari Tibet").
*** TIGA MALAM telah turun ketika satu bayangan hitam
berkelebat laksana kesetanan menuju ke satu bukit.
Dalam beberapa saat si bayangan hitam telah mendaki
dan tahu-tahu telah tegak di puncak bukit dengan ke-
pala lurus ke bawah dan mata terpentang besar mem-
perhatikan ke rimbun pepohonan di bawah sana yang
makin menambah pekatnya suasana.
"Kalau malam ini dia tidak muncul, terpaksa aku
akan mendatangi ke tempatnya! Aku telah melewati
bahaya besar dengan taruhan nyawa! Aku tak akan
tinggal diam kalau dia berani coba-coba mengelabui-
ku!" Orang di atas puncak bukit mendesis. Dia adalah seorang laki-laki berkepala
gundul mengenakan pakaian hitam-hitam. Raut wajahnya agak tirus. Kumis-
nya tipis dengan jenggot jarang dan agak panjang. Sepasang matanya besar. Dia
bukan lain adalah Guru
Besar Liang San.
Seperti diketahui, Guru Besar Liang San berse-
kongkol dengan Yang Mulia Baginda Ku Nang pengua-
sa kerajaan saat ini. Dengan bantuan Baginda Ku
Nang akhirnya kotak berisi peta wasiat lenyap dari
ruang penyimpanan di Perguruan Shaolin. Namun se-
telah tiga hari berlalu dari peristiwa berdarah di Perguruan Shaolin, Baginda Ku
Nang tidak muncul di
tempat yang telah disepakati. Malah sang Baginda
mengutus seseorang sebagai wakilnya untuk menemui
Guru Besar Liang San. Tapi Guru Besar Liang San ti-
dak mau bicara dengan utusan Baginda Ku Nang. Dia
berpesan pada si utusan agar Baginda Ku Nang me-
nemuinya sendiri pada malam berikutnya di tempat
yang sama. Beberapa saat berlalu. Guru Besar Liang San masih
coba menahan diri untuk menunggu meski dengan da-
da mulai geram karena orang yang ditunggu belum ju-
ga menunjukkan tanda-tanda akan muncul.
"Tampaknya dia tidak akan hadir malam ini! Dia pi-
kir aku akan berdiam diri dengan tindakannya!" Guru
Besar Liang San kembali bergumam dengan seringai
dingin. "Dia tak tahu.... Kalau dia coba-coba mengeta-huiku, berarti baik aku
ataupun dia tidak akan men-
dapatkan peta wasiat itu! Apalagi separo peta wasiat
itu masih harus dicari!"
Guru Besar Liang San dongakkan kepala. "Kalau
aku berhasil dengan baik merencanakan peristiwa di
Perguruan Shaolin, apa dia pikir aku tak dapat mene-
robos penjagaan istana"!" Guru Besar Liang San terta-wa pendek. Saat lain dia
putar tubuh. Dia telah memutuskan untuk meninggalkan puncak bukit.
Tapi belum sampai Guru Besar Liang San lakukan
niat, sepasang matanya menangkap gerakan satu
bayangan hitam yang berkelebat di kaki bukit.
"Hem.... Ada orang menuju kemari! Kalau yang
muncul adalah selain orang yang kutunggu, berarti
orang itu bernasib jelek! Dia tak akan turun bukit lagi dengan nyawa masih
utuh!" Guru Besar Liang San
kembali balikkan tubuh. Kepalanya ditengadahkan la-
gi. Dia menunggu dengan kedua tangan telah dialiri
tenaga dalam! "Harap kau mengerti akan keterlambatan...!" Men-
dadak satu suara terdengar dari arah belakang Guru
Besar Liang San.
"Hem.... Rupanya dia sendiri yang muncul!" kata
Guru Besar Liang San dalam hati lalu balikkan tubuh
dengan kedua tangan menakup di depan dada dan ke-
pala mengangguk.
"Amitaba.... Aku gembira melihat kau sendiri yang
hadir, Yang Mulia Baginda Ku Nang...." Guru Besar
Liang San angkat bicara. Sepasang matanya melirik tajam pada orang di
hadapannya. Dia adalah seorang laki-laki berusia lima puluh ta-
hunan. Kumisnya lebat, jenggotnya lebat, dan panjang.
Kedua alis matanya mencuat ke atas. Sepasang mata-
nya tajam. Rambutnya yang putih panjang digeraikan
di bagian samping. Bagian belakangnya dikuncir agak
tinggi. Dialah orang yang kini menduduki takhta kera-
jaan di daerah Himalaya. Dia dahulu hanya seorang
pemimpin perguruan silat. Namun karena ambisinya
besar ditambah dengan kepandaiannya mempengaruhi
orang, lambat laun dia hampir bisa menguasai seluruh perguruan silat yang ada di
daratan Tibet. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Dengan caranya sendiri dia
berhasil menghasut beberapa pembesar kerajaan yang
saat itu berkuasa di daratan Tibet. Lalu menggandeng beberapa tokoh aliran
sesat. Pada satu saat yang dirasa tepat, Ku Nang bergerak
dan akhirnya bisa menggulingkan raja yang saat itu
memerintah. Mungkin karena tak mau di kelak kemu-
dian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Ku
Nang sengaja tidak menyisakan satu pun dari kerabat
raja yang digulingkan.
Begitu berhasil memegang tampuk kekuasaan, Ku
Nang tidak segan-segan menyingkirkan orang yang di-
duga akan menjadi duri penghalang. Namun sejauh ini
dia coba menghindarkan diri dari perselisihan dengan perguruan silat. Tampaknya
dia sadar, meski di belakangnya ada beberapa pesilat tangguh, namun sebuah
perguruan silat akan menjadi petaka bagi kekua-
saannya jika dia coba-coba membuat urusan.
Namun begitu, Ku Nang bukanlah orang bodoh. Dia
sengaja memasang beberapa orangnya di setiap pergu-
ruan silat. Atau bahkan dia sengaja mendekati para
pemimpin perguruan silat. Dengan begitu selain ke-
kuasaannya aman, dia tahu apa yang tengah terjadi di dalam satu perguruan.
Sejak masih menjadi pemimpin sebuah perguruan
silat, Ku Nang telah mendengar jika Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta
rahasia. Dan begitu dia berhasil naik takhta, dia tidak buang kesempatan. Dia
mendekati salah satu pemimpin Perguruan Shaolin.
Karena yang dirasa dapat didekati adalah Guru Besar
Liang San, maka dia pun segera mengadakan pendeka-
tan. Dugaan Baginda Ku Nang tampaknya tidak me-
leset. Guru Besar Liang San menerima uluran tangan
Baginda Ku Nang. Hingga untuk beberapa lama di an-
tara kedua orang ini terjalin persahabatan.
Perlahan-lahan Baginda Ku Nang mengutarakan
maksudnya. Tampaknya Guru Besar Liang San me-
nyambut baik maksud Baginda Ku Nang karena dia
sendiri ternyata menginginkan peta wasiat itu. Apalagi dia tahu jika peta wasiat
itu tidak akan jatuh ke tangannya karena Maha Guru Besar Su Beng Siok lebih
cenderung dan sangat dekat dengan Guru Besar Pu Yi
yang juga adalah kakak seperguruannya.
"Guru Besar Liang San...," kata Baginda Ku Nang
setelah agak lama terdiam. "Kuharap kau mengerti me-
ngapa aku tidak bisa menepati janji pada malam ke-
marin. Ada beberapa sahabat datang. Aku tak bisa
meninggalkan mereka! Lagi pula aku harus bisa men-
jelaskan peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin meski sebenarnya itu
bukanlah urusan kerajaan. Namun kalau mereka tahu dariku soal duduk permasa-
lahannya, kurasa posisimu akan lebih aman!"
"Amitaba.... Tapi apakah kau juga menceritakan
tentang lenyapnya kotak berisi peta wasiat itu"!" Tanya Guru Besar Liang San.
"Itu harus kuceritakan! Dengan begitu mereka akan
penasaran dan pasti mencari-cari Guru Besar Wu Wen
She!" "Dari mana kau tahu Wu Wen She lolos"!"
Baginda Ku Nang tertawa pendek. "Itu bukan uru-
san yang sulit bagiku! Dan tentunya kau setuju de-
ngan langkah yang kutempuh! Karena dengan begitu
namamu jadi bersih dan kau tak perlu memusingkan
urusan Guru Besar Wu Wen She! Dia kini telah men-
jadi orang buruan. Bukan saja dari pihak kerajaan namun juga bagi para kalangan
rimba persilatan!"
"Amitaba.... Tapi hal itu akan membuat suasana ja-
di kacau!"
"Urusan keamanan daratan Tibet ada di tanganku!
Aku yang menciptakan suasana itu, tentu aku bisa
mengendalikannya! Dan sementara kalangan rimba
persilatan berburu, kita akan teruskan langkah yang
sudah setengah jalan ini!"
"Tapi untuk lebih amannya, harap kau serahkan
kotak itu padaku! Aku akan menyimpannya di tempat
aman sebelum kita menemukan pasangannya!"
Baginda Ku Nang gelengkan kepala perlahan. "Di
tempatmu baru saja terjadi peristiwa berdarah. Itu sa-tu bukti jika tempat itu
tidak aman lagi!"
"Benar! Namun peristiwa itu kita yang merencana-
kan!" "Kalau rencana kita berhasil, apa orang lain tak bisa merencanakannya"! Apalagi
Perguruan Shaolin tanpa


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditulang-punggungi Maha Guru Besar Su Beng Siok
dan Guru Besar Pu Yi!"
"Aku masih punya kekuatan untuk menghadang se-
tiap orang yang hendak menerobos! Dan aku tak akan
menyimpan kotak itu di tempatnya semula!"
"Bukannya aku meremehkan kekuatanmu! Tapi
bagaimanapun juga kharisma Maha Guru Besar Su
Beng Shiok dan Guru Besar Pu Yi masih melekat di be-
nak siapa saja! Kalau masih ada Maha Guru Besar Su
Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, mungkin orang akan
berpikir tiga kali untuk datang menerobos. Kini, tanpa mereka berdua, mungkin
mereka hanya berpikir satu
kali!" "Jadi..."!"
"Kau tak usah khawatir! Untuk sementara ini biar-
lah kotak itu aku yang menyimpannya! Kuharap kau
percaya! Urusan kotak peta wasiat itu, hanya kita berdua yang tahu!"
"Tapi untuk lebih adilnya, bagaimana kalau kita
simpan kotak itu secara bersama-sama"! Maaf.... Bu-
kannya aku tidak percaya. Tapi kotak itu adalah pe-
ninggalan perguruanku! Aku harus tahu di mana letak
penyimpanannya!"
Baginda Ku Nang terdiam beberapa lama. "Baik-
lah.... Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit ini!
Dan agar kau tidak bimbang, aku menurut saja di ma-
na akan kau simpan kotak itu!"
"Amitaba.... Terima kasih atas pengertianmu! Seka-
rang harap kau jelaskan bagaimana pengejaran terha-
dap orang asing yang kau katakan sebagai orang yang
telah menolong dan menyembunyikan Yang Kui Tan!"
"Sampai saat ini belum ada kabar beritanya! Orang
asing itu seakan lenyap!"
"Jangan-jangan dia sudah meninggalkan negeri ini!"
Baginda Ku Nang gelengkan kepala. "Seluruh perba-
tasan baik darat maupun laut telah dijaga ketat! Tak mungkin seseorang bisa
lolos keluar dari negeri ini!"
"Bisa diketahui siapa nama orang itu dan dari mana
asalnya"!"
"Belum bisa diketahui siapa nama orang asing itu!
Namun dari arah datangnya, mungkin dia berasal dari
negeri di sebelah selatan daratan Tibet! Dia seorang pemuda berparas tampan.
Tubuhnya sedang. Namun
melihat dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Mu-da Lie dan beberapa
pengawal kerajaan, pasti dia
membekal ilmu tinggi! Dan kalau benar dia bersahabat dengan Yang Kui Tan, cepat
atau lambat dia akan
muncul di tempatmu!"
Kali ini kepala Guru Besar Liang San menggeleng.
"Peristiwa di perguruan telah tersebar luas. Kalau sampai hari ini dia tidak
muncul, kecil kemungkinan dia akan datang ke tempatku! Apalagi jika telah
mendengar kalau Guru Besar Pu Yi telah mampus!"
"Hem.... Lalu menurutmu, apa sebaiknya yang ha-
rus kita lakukan"!" tanya Baginda Ku Nang.
"Tak ada jalan lain. Kita harus kerahkan orang se-
banyak mungkin untuk mendapatkannya! Tapi mereka
hanya perlu menangkap tanpa harus membunuhnya!
Karena keterangan dari mulutnyalah yang kita perlu-
kan! Karena urusan ini sangat penting, aku juga akan turun tangan sendiri!"
"Ah.... Terima kasih kalau kau punya gagasan begi-
tu! Tapi harap kau mau memaklumi kalau aku tidak
dapat membantumu!"
"Amitaba.... Aku tahu, Baginda! Lagi pula urusan
ini sangat berbahaya kalau kau ikut turun tangan
sendiri! Kita sedapat mungkin harus hindarkan diri
dari dugaan orang kalau pihak kerajaan ikut campur
urusan perguruan silat! Apalagi ini masih ada hubu-
ngannya dengan peta wasiat yang telah berpuluh-
puluh tahun jadi incaran orang!"
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih. Kita harus se-
gera berpisah. Besok malam kita bertemu lagi di kaki bukit! Kuharap kau telah
mendapatkan tempat yang
aman untuk menyimpan kotak itu!"
Guru Besar Liang San menjura. Baginda Ku Nang
anggukkan kepala lalu balikkan tubuh dan berkelebat
menuruni bukit. Tak berselang lama, Guru Besar Liang San ikut berkelebat dan
berlari menuruni bukit. Di ka-ki bukit, Baginda Ku Nang terus berlari ke arah
barat, sementara Guru Besar Liang San ke arah timur.
*** EMPAT PADA awalnya Joko memang kebingungan untuk
menemukan arah di mana dia dapat menemukan Mei
Hua. Namun begitu teringat di mana dia bertemu per-
tama kali, murid Pendeta Sinting segera berkelebat ke tempat di mana dia pernah
berjumpa dengan Mei Hua.
Namun Pendekar 131 lebih waspada. Selain dia telah
tahu benda apa yang kini berada di tangannya, dia ju-ga tahu tempat di mana dia
pernah bertemu dengan
Mei Hua bukanlah tempat yang aman. Karena di tem-
pat itu Joko sempat dihadang beberapa prajurit.
Begitu memasuki kawasan luas yang hanya ditum-
buhi bunga-bunga dan ilalang, Joko hentikan larinya.
Caping lebarnya diangkat sedikit ke atas. Dia meman-
dang berkeliling.
"Meski saat itu malam hari, namun aku yakin di
tempat inilah aku berjumpa dengan gadis cantik itu!
Tapi mana dia"!" Murid Pendeta Sinting kembali putar pandangan. Namun hingga
beberapa lama, dia tidak
melihat siapa-siapa!
"Mengapa aku jadi begini bodoh"! Satu purnama
pun aku mencari di sini, gadis itu tak mungkin kute-
mukan! Di sini tidak ada tempat yang didiami pendu-
duk! Yang ada hanya bunga-bunga dan ilalang! Saat
itu pasti dia tengah kebetulan berada di sini! Hem....
Ke mana aku harus mencarinya"!" Joko menggumam
seraya arahkan pandang matanya ke arah barat.
"Perguruan Shaolin tidak jauh dari sini. Apa sebaik-
nya aku menyelidik ke sana"! Tapi dengan peristiwa
berdarah itu, tentu keadaan di sana masih sangat ke-
tat! Setiap orang yang datang apalagi secara diam-diam pasti akan mendapat
tuduhan buruk! Belum lagi jika
melihat orang asing sepertiku! Ah.... Untuk sementara ini aku memang harus
menjauhi Perguruan Shaolin!
Tapi ke mana sekarang aku harus pergi"! Aku butuh
seseorang yang...."
"Kau mencari seseorang"!" Mendadak Joko dike-
jutkan dengan satu suara.
"Hem.... Suara perempuan! Tapi rasanya bukan su-
ara gadis cantik itu! Mudah-mudahan perempuan yang
ini tak kalah cantiknya dengan gadis yang tengah ku-
cari! Lebih-lebih bisa membantuku...," kata Joko da-
lam hati seraya mengatasi rasa kejutnya. Namun dia
tidak segera putar diri menghadap ke arah sumber su-
ara yang tiba-tiba terdengar. Joko tetap tegak tak
membuat gerakan. Kalaupun dia bergerak, itu adalah
tangan kanannya yang menekan caping lebarnya hing-
ga masuk dalam-dalam pada kepalanya hingga raut
wajahnya makin sulit dikenali. Saat lain dia buka sua-ra menjawab.
"Aku memang tengah mencari dan menunggu sese-
orang! Bahkan hampir saja aku putus asa dan hendak
pergi! Namun syukur kau telah datang!"
Dari tempat suara perempuan yang tadi terdengar,
dua bayangan berkelebat. Lalu terlihat dua sosok tu-
buh tegak sepuluh langkah di belakang murid Pendeta
Sinting. Untuk beberapa saat kedua orang yang baru
muncul saling palingkan kepala ke arah tegaknya ma-
sing-masing orang. Mereka berpandangan sesaat. Jelas paras wajah mereka
membayangkan keheranan.
Orang di sebelah kanan adalah seorang perempuan
berusia lanjut berambut putih. Sepasang matanya sipit tanpa ditingkahi kedua
alis mata di atasnya. Dia mengenakan pakaian panjang warna hitam. Di pundak-
nya tampak selendang panjang warna hitam yang di
sampirkan hingga menjulai hampir menyapu tanah.
Di sebelah si nenek, tegak seorang gadis berparas
jelita. Rambutnya yang hitam lebat dibiarkan bergerai sampai punggung. Sepasang
matanya bulat. Kulitnya
putih. Gadis cantik ini mengenakan pakaian warna
kuning agak tipis. Pada bagian dadanya dibuat rendah dan diberi renda-renda.
Hingga busungan dadanya
yang mencuat tampak semakin menggoda. Pinggulnya
besar ditingkah dengan pakaian bawah yang sengaja
diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga gadis ini tegak dengan kaki sedikit
direnggangkan, maka tampak
jelas pahanya yang padat dan mulus. Di pinggangnya
yang ramping melingkar sebuah ikat pinggang dari
kain yang juga berwarna kuning. Tepat di bagian sisi kiri pinggang terlihat satu
pedang pendek bergagang
batu berwarna kuning pula.
Si gadis sorongkan kepala ke arah si nenek lalu
berbisik. "Guru.... Apakah dia yang hendak kau temui"!"
Si nenek luruskan kepala menatap punggung Joko.
"Dari sikap dan suaranya, meski aku belum tahu wa-
jahnya aku bisa memastikan bukan dia orang yang ki-
ta cari dan sepakat untuk bertemu di sini!"
"Tapi mengapa dia yang muncul" Dan dari ucapan-
nya tadi jelas dia menunggu kita! Jangan-jangan orang yang hendak kau temui
tidak bisa hadir dan dia mewakilkan pada orang itu!"
Si nenek menyeringai. "Kalau itu yang dilakukan,
berarti Wang Cen membuat satu kesalahan besar! Na-
ma gelaran si Bayangan Tanpa Wajah yang disandang-
nya hanya besar di suara tapi kosong dalam Kenya-
taan! Terbukti dia tidak berani datang sendiri meng-
hadapiku! Tapi mewakilkan pada manusia kecil tak
berguna! Aku akan memberi peringatan pada Wang
Cen agar tidak meremehkan orang!"
Habis berbisik begitu, si nenek maju dua langkah.
"Mengapa Wang Cen tidak datang sendiri menemuiku"!
Mengapa dia memberiku undangan untuk bertemu di
sini kalau dia takut datang, hah"!" Si nenek perde-
ngarkan bentakan garang.
Ucapan si nenek membuat Pendekar 131 terlengak
kaget. Kali ini dia tak dapat lagi sembunyikan rasa kejutnya. Namun dia masih
coba menahan diri untuk ti-
dak segera berbalik menghadap orang. Hanya saja dia
tahu, jika orang di belakangnya bukan satu orang! Dia tadi mendengar suara
bisik-bisik namun dia tak bisa
jelas menangkap apa yang dibicarakan orang.
"Busyet! Dari ucapannya jelas kalau mereka sudah
sepakat untuk bertemu di sini dengan seseorang! Dan
ucapanku tadi tentu mereka artikan akulah orang
yang hendak menemuinya! Sial betul.... Padahal aku
tadi cuma bercanda!" Joko membatin seraya lebih te-
kankan caping di atas kepalanya.
"Kau dengar ucapanku! Kau jawab atau tidak, sama
saja nasib yang akan kau terima!"
"Gawat! Aku harus segera mencari dalih sambil me-
nunggu orang yang sebenarnya hendak ditemuinya
muncul di sini!" gumam murid Pendeta Sinting lalu
perlahan-lahan dia putar diri.
Si nenek dan si gadis sama pentangkan mata. Na-
mun karena caping di kepala Joko masuk terlalu da-
lam, kedua orang di hadapannya tidak bisa mengenali
paras wajah orang. Hal ini membuat dada si nenek
makin bergolak dibuncah rasa marah.
Pendekar 131 angkat kedua tangannya ditakupkan
di depan dada. Seraya bungkukkan sedikit tubuhnya
dia berkata. "Amitaba.... Harap dimaafkan.... Aku tadi menduga
kalian orang yang tengah kutunggu! Tapi ternyata ka-
lian bukanlah orang yang saat ini kutunggu! Sekali lagi harap maafkan
kekeliruanku...."
Sebenarnya Joko ingin melihat paras kedua orang
di hadapannya. Namun karena dia tak ingin wajahnya
diketahui orang, terpaksa Joko berkata dengan tanpa
angkat caping lebarnya hingga dia sendiri tidak bisa melihat tampang kedua orang
di hadapannya. Hanya
saja Joko bisa menduga-duga berapa kira-kira usia
orang yang tadi angkat suara membentak. Hal ini pulalah yang membuatnya enggan
untuk angkat caping le-
barnya karena dia sudah bisa mengira kalau perem-
puan di hadapannya tidak muda lagi!
Sementara itu, mendengar ucapan murid Pendeta
Sinting, gadis berparas jelita bertubuh montok di hadapannya berpaling ke arah
si nenek yang dari panggi-lannya tadi jelas menunjukkan kalau si nenek adalah
gurunya. Namun kali ini si nenek tidak ikut menoleh.
Sebaliknya makin pentangkan mata seakan coba tem-
busi caping di kepala orang untuk dapat melihat wajah di baliknya. Saat lain
tiba-tiba si nenek buka suara.
"Kalau bukan aku yang kau tunggu, siapa yang kau
tunggu di sini"! Tak mungkin terjadi satu pertemuan
dalam waktu dan tempat yang sama namun beda
orang!" "Amitaba.... Kukira kebetulan itu bisa terjadi kapan dan di mana saja! Dan bisa
menimpa pada siapa saja!
Buktinya kebetulan itu terjadi pada kita...."
"Tapi itu adalah hal yang mustahil! Kau pasti orang-
nya Wang Cen!" kata si nenek masih dengan suara ke-
ras. Joko gerakkan kepala menggeleng. "Harap kalian
percaya padaku! Apa pun yang kau katakan mustahil
terjadi, nyatanya kebetulan itu telah benar-benar terjadi.... Aku menunggu
seseorang di tempat ini, tapi
bukan kalian. Aku juga bukan orangnya Wang Cen...!"
"Lalu siapa orang yang hendak kau temui"!" Kali ini
yang angkat suara adalah gadis cantik di sebelah si
nenek. Dahi di balik caping lebar Pendekar 131 tampak
mengernyit. Diam-diam murid Pendeta Sinting berkata
dalam hati. "Suaranya merdu meski keras. Hem.... Da-
ri suaranya mungkin dia seorang gadis.... Apakah aku harus melihat parasnya"!


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi untuk apa" Aku yakin
suara itu bukan milik Mei Hua...."
"Katakan siapa orang yang kau tunggu!" Si nenek
membentak. "Waduh bagaimana ini" Bagaimana aku harus men-
cari nama..." Tak mungkin aku berterus terang tengah mencari Mei Hua!"
"Jangan buat kesabaran kami pupus!" kata si gadis
begitu agak lama Joko belum juga mau menjawab.
Entah karena kesulitan mencari nama, akhirnya
enak saja murid Pendeta Sinting angkat suara.
"Aku menunggu seorang bernama Hua Mei...."
"Kau sendiri siapa"!" tanya si nenek.
"Aku.... Aku Lon Tong Bu Lim...."
Si nenek dan si gadis sama kerutkan dahi dan ham-
pir bersamaan sama gerakkan kepala berpaling dan
saling pandang satu sama lain.
"Hidup berpuluh tahun di daratan ini, baru kali ini
aku dengar nama itu!" ujar si nenek. "Sikap orang ini mencurigakan! Aku makin
yakin dia adalah orangnya
Wang Cen! Apalagi dia takut dikenali!"
Rupanya Joko mendengar ucapan si nenek meski
suara tadi sangat pelan. Maka sebelum si nenek sem-
pat angkat bicara, Joko telah buka mulut.
"Harap tidak salah duga.... Nama Lon Tong Bu Lim
memang belum pernah kau dengar dan tak mungkin
akan kau dengar kalau tidak bertemu denganku. Ka-
rena nama itu pemberian seseorang di daerah asalku
yang jauh dari sini!"
"Hem.... Jadi kau orang asing"!" tanya si gadis.
"Dikatakan asing sekali tidak. Karena aku menetap
di sini sudah hampir setengah dari usiaku! Hanya saja aku dilahirkan jauh dari
sini! Kalau orang daerah sini memanggilku Han Ko! Tentu kalian pernah dengar na-
ma itu.... Nama bagus pemberian seorang sahabat!"
"Lalu mengapa kau tutupi wajah dengan caping"!
Orang yang punya niat baik tentu tak takut tunjukkan tampang!" ucap si nenek.
"Ini sudah menjadi kebiasaanku.... Dan biasanya
pula, aku baru akan tunjukkan tampang jika orang te-
lah mengatakan siapa dia sebenarnya!"
Mungkin karena ingin dan penasaran untuk segera
melihat tampang orang, si nenek segera menyahut.
"Aku Li Muk Cin. Namun orang lebih mengenalku de-
ngan Ratu Selendang Asmara!"
"Hem.... Gelaran bagus.... Dan orang di sebelah-
mu"!" kata Joko.
"Dia Bang Sun Giok! Tapi kalangan persilatan Hi-
malaya lebih mengenalinya dengan Dewi Bunga Asma-
ra!" Yang menjawab adalah si nenek yang tadi se-
butkan diri dengan gelar Ratu Selendang Asmara.
"Hem.... Gelar kalian membuatku jadi ingin melihat
bagaimana paras wajah kalian! Kalau gelarannya ada
hubungannya dengan kata asmara, tentu orangnya
cantik...."
Seraya berkata, tangan kanan murid Pendeta Sin-
ting terangkat ke atas. Perlahan-lahan caping di kepalanya diangkat. Si nenek
dan si gadis sama meman-
dang tak berkesip.
"Hem.... Dari tampangnya, jelas anak muda ini bu-
kan orang daerah sini!" kata si nenek begitu melihat tampang Pendekar 131.
Di lain pihak, gadis yang bergelar Dewi Bunga As-
mara diam-diam juga membatin. "Hem.... Ternyata seo-
rang pemuda berwajah tampan!"
Pendekar 131 sempat tersentak kala melihat paras
wajah gadis di hadapannya. "Dugaanku ternyata tidak
jauh meleset. Dia benar-benar gadis cantik jelita! Hanya saja aku tidak
menyangka kalau dia mengenakan
pakaian begitu menggoda!" Tanpa sadar sepasang ma-
ta Joko terpaku pada dada dan paha Dewi Bunga As-
mara yang tampak jelas busungan dan kemulusannya.
Mendapati pandangan orang, Dewi Bunga Asmara
tersenyum seraya busungkan dadanya dan lebarkan
pentangan kedua kakinya. Hingga cuatan buah dada-
nya makin terlihat dan pakaian bawahnya makin ter-
singkap membuat dada Joko berdebar!
"Han Ko...," Dewi Bunga Asmara angkat suara. "Ada
yang salah pada diriku"!"
Ucapan si gadis membuat Joko sadar. Dia buru-
buru alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang
Asmara dengan tersenyum lebar dan gelengkan kepala.
Caping lebarnya kembali dimasukkan pada kepalanya
namun kini dia sengaja perlihatkan matanya.
"Kau benar-benar tengah menunggu seseorang"!"
tanya Ratu Selendang Asmara.
Joko menjawab dengan isyarat anggukan kepala-
nya. Ratu Selendang Asmara menyeringai dingin. Lalu
kembali buka suara.
"Kalau benar ucapanmu, harap kau tunda niatmu!
Hari ini aku akan bertemu seseorang di sini!"
"Hem.... Begitu"! Baiklah.... Aku akan menunggu-
nya di sana...." Joko angkat tangan kanannya menun-
juk pada satu arah.
Si nenek gelengkan kepala. "Kau dengar ucapanku!
Urungkan niatmu! Kau harus pergi tinggalkan tempat
ini! Aku tak mau urusanku dilihat apalagi didengar
orang lain!"
"Nek.... Aku telah berjanji untuk bertemu hari ini di tempat ini! Kalau kau tak
mau urusanmu dilihat atau
didengar orang lain, aku akan pejamkan mata dan tu-
tup telinga! Urusan beres, bukan"!"
"Aku tak mau ada orang lain di tempat ini! Cepat
tinggalkan tempat ini!" hardik si nenek.
Joko alihkan pandangannya pada Dewi Bunga As-
mara. Namun dia segera alihkan pandang matanya ke
jurusan lain, tatkala dilihatnya si gadis tersenyum memandangnya.
"Hem.... Sebenarnya aku ingin melihat apa yang
akan terjadi. Ini untuk menambah pengetahuanku ten-
tang beberapa orang di daerah sini! Tapi kalau dia tidak menghendaki, apa boleh
buat. Daripada cari pe-
nyakit, lebih baik aku pergi...."
Membatin begitu, Pendekar 131 Joko Sableng arah-
kan kembali pandang matanya pada Ratu Selendang
Asmara lalu pada Dewi Bunga Asmara. Namun saat
melihat ke arah si gadis, mata Joko bukannya mena-
tap ke arah wajah orang, melainkan pada busungan
dada Dewi Bunga Asmara. Saat bersamaan dia berka-
ta. "Untuk hari ini aku bersedia mengalah.... Tapi jika terjadi kebetulan untuk
kedua kalinya, kuharap kalian yang ganti mengalah...."
Joko tersenyum. Lalu gerakkan kaki hendak ting-
galkan tempat itu. Namun baru saja melangkah tiga
tindak, dari arah samping terlihat satu bayangan ber-
kelebat! *** LIMA PENDEKAR 131 hentikan gerakan. Kepalanya ber-
paling ke samping. Si gadis berpakaian kuning pen-
tangkan mata lalu ikut menoleh. Hanya si nenek yang
tetap tegak tanpa membuat gerakan! Malah melirik
Si Pemanah Gadis 6 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Manusia Harimau 5
^