Pencarian

Wasiat Agung Dari Tibet 3

Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet Bagian 3


Dua gelombang dahsyat menghampar. Gerak lang-
kah kelima prajurit mendadak terhenti. Saat lain ke-
lima sosok ini mencelat balik ke belakang. Kelima pedang di tangan masing-masing
orang lepas mental. La-
lu terdengar suara bergedebukan lima kali berturut-
turut. Pendekar 131 bergerak bangkit dan segera melom-
pat ke depan lalu tegak berjarak sepuluh langkah dari lima sosok yang terkapar
di atas tanah. Joko menyeringai dengan tampang dibuat garang. Kedua tangannya
diangkat ke atas.
"Kalian telah ingkari janji yang hendak memberiku
beberapa gadis cantik! Sekarang kalian harus meneri-
ma hukuman!"
Kelima orang prajurit sama tegang dan melirik satu
sama lain. "Kita harus cepat tinggalkan tempat ini!" ka-ta pimpinan rombongan. ,
"Tapi kita akan menerima hukuman lebih berat dari
kerajaan!" bisik satunya.
"Itu nanti bisa kita atur! Kita lapor tidak bertemu
orang yang kita cari!"
"Tapi...."
"Kerajaan masih bisa kita bohongi! Tapi tindakan
pemuda itu tidak mungkin bisa kita halangi! Jangan
banyak bicara di sini! Ayo kita segera lari!" bisik pimpinan rombongan. Dia
beranjak dahulu dengan mata
terus memperhatikan pada kedua tangan Joko. Saat
berikutnya dia berbalik lalu menghambur lari.
Melihat pimpinan rombongannya telah kabur, ke-
empat anak buahnya sama saling lirik dengan tubuh
tergetar. Hampir bersamaan, mereka bergerak bangkit
lalu lari tunggang langgang!
"Kalian bisa lari sampai ujung dunia, tapi jangan
harap bisa lolos!" teriak Joko lalu sentakkan kedua
tangannya. Namun Joko sengaja arahkan pukulannya
pada hamparan tanah di belakang keempat orang yang
lari. Bummm! Bummm! Terdengar dua ledakan keras. Tanah bertabur ke
udara. Keempat orang yang lari belakangan makin per-
cepat larinya. Namun karena suasana berubah gelap
akibat taburan tanah, keempat prajurit ini tidak bisa lagi melihat ke depan. Dua
orang sama bertabrakan la-lu jatuh bergulingan. Dua lainnya menabrak pohon la-
lu mental dan jatuh berkaparan dengan mulut dan hi-
dung kucurkan darah karena berbenturan dengan ba-
tangan pohon. Begitu tanah telah luruh kembali dan suasana te-
rang, keempat prajurit perlahan-lahan sama buka ke-
lopak mata masing-masing dengan wajah makin te-
gang. Namun keempatnya sama menghela napas lega
tatkala mata mereka tidak lagi melihat orang lain di tempat itu. Tapi mungkin
masih kurang yakin dan tidak mau membuat urusan lebih panjang, begitu tidak
melihat orang lain, keempatnya saling pandang. Saat
lain mereka cepat beranjak bangkit lalu menghambur
lari! "Dasar manusia-manusia pengecut!" Tiba-tiba ter-
dengar satu suara bergumam dari balik salah satu ba-
tangan pohon. Lalu satu sosok tubuh keluar. Dia me-
mandang ke arah empat orang prajurit yang terus ber-
lari laksana dikejar setan dan tidak pedulikan kanan kiri. Malah di antaranya
ada yang jatuh bangun. Namun segera berlari kembali!
Orang yang baru muncul dari batangan pohon pu-
tar kepala. "Hem.... Apa yang kudengar benar adanya.
Pemuda itu memiliki ilmu tinggi! Namun dia tidak ja-
hat. Terbukti, kalau saja dia mau, tidak sulit baginya membunuh kelima prajurit
tadi! Padahal kelima prajurit tadi telah memperlakukannya dengan kasar!
Hem.... Siapa dia sebenarnya"! Apakah benar dia telah menyembunyikan Yang Kui
Tan..."! Aku belum mengerti dengan jelas apa sebenarnya yang dicari kera-
jaan hingga memerintahkan seluruh orang kerajaan
mencari Yang Kui Tan atau pemuda itu!"
Orang yang tadi keluar dari balik batangan pohon
arahkan pandang matanya ke arah mana tadi dia me-
lihat Pendekar 131 berkelebat.
"Menurut arah yang diambil, pasti dia tengah me-
nuju Perguruan Shaolin! Berarti dia memang berhu-
bungan dengan Yang Kui Tan. Apa yang harus kula-
kukan"! Dia pasti tidak tahu kalau arah jalan yang
menuju Perguruan Shaolin telah dikepung dengan be-
berapa orang kerajaan berilmu tinggi!" Orang ini sesaat bimbang.
"Aku harus memberi tahu padanya.... Tapi bagai-
mana kalau nanti.... Ah. Itu bisa kuatur!" orang ini tersenyum sendiri namun
tiba-tiba senyumnya pupus.
Dia bergumam lagi. "Aneh.... Mengapa aku tak tega
melihat dia nanti mendapat celaka"! Ada apa dengan
diriku"!" orang ini gelengkan kepala perlahan seraya menarik napas. Dia adalah
seorang gadis berparas jelita berkulit putih kekuningan. Sepasang matanya bu-
lat. Rambutnya panjang digeraikan dan diberi pita di atas. Gadis ini mengenakan
pakaian warna merah mu-da. "Dia belum jauh.... Aku harus segera menyusul!"
Gadis berbaju merah muda berkata dalam hati. Den-
gan senyum mengembang di bibirnya yang merah, dia
segera berkelebat ke arah yang tadi diambil murid
Pendeta Sinting.
*** SEMBILAN SEMENTARA sambil berlari, Pendekar 131 terus di-
buncah berbagai pertanyaan dalam hati. "Apakah be-
nar kantong putih ini benda milik kerajaan yang dicuri oleh Yang Kui Tan"!
Melihat yang memburu bukan sa-ja beberapa prajurit, namun Panglima Muda Lie ikut
turun tangan, berarti benda ini sangat berharga! Tapi mengapa Yang Kui Tan
berpesan agar memberikan
benda ini pada Guru Besar Pu Yi"! Hem.... Kalau benar benda ini milik kerajaan,
berarti ada apa-apa antara kerajaan dengan Perguruan Shaolin! Aku harus segera
jumpa dengan Guru Besar Pu Yi.... Hem.... Sebenarnya apa isi kantong putih
ini"!"
Terusik akan pertanyaannya sendiri, murid Pendeta
Sinting hentikan larinya. Dia putar kepala sesaat. Lalu tangan kanannya
diselinapkan ke balik pakaiannya.
Saat ini dia masih mengenakan Jubah Tanpa Jasad
yang kesaktiannya telah lenyap. (Mengenai Jubah
Tanpa Jasad, silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : "Jubah Tanpa Jasad").
Dia sesaat menimang-nimang kantong putih yang
diberikan Yang Kui Tan. Kedua tangannya sudah ber-
gerak untuk membuka kantong. Namun tiba-tiba dia
urungkan niat. "Ah.... Rasanya tak pantas kalau mem-
buka kantong orang! Lebih baik aku nanti bertanya
pada Guru Besar Pu Yi. Karena aku yang membawa,
mungkin dia tak akan keberatan memberitahukan pa-
daku!" Pendekar 131 selinapkan kembali kantong putih ke
balik pakaiannya. Saat lain dia berkelebat lagi menuju ke arah barat seperti
pesan Yang Kui Tan. Namun belum sampai sosoknya bergerak, satu suara menahan.
"Tunggu!"
"Suara perempuan! Hem.... Baru kali ini aku jumpa
dengan perempuan. Mudah-mudahan paras dan ben-
tuk tubuhnya tidak mengecewakan dan enak dipan-
dang! Tapi bagaimana kalau dia adalah salah seorang
utusan kerajaan yang juga tengah memburuku" Apa-
kah aku harus teruskan perjalanan saja"!" Joko u-
rungkan niat seraya berpikir namun belum juga balik-
kan tubuh melihat siapa adanya orang yang baru saja
berseru. "Boleh aku tahu, hendak ke mana kau"!"
Suara itu kini terdengar agak dekat. Menunjukkan
bahwa orangnya tidak berada jauh. Namun pertanyaan
itu membuat dada murid Pendeta Sinting jadi tak
enak. Masih tanpa balikkan tubuh dia berkata menja-
wab. "Aku cuma ingin jalan-jalan! Kau sendiri hendak ke
mana"!"
"Hem.... Orang ini aneh...," kata orang di belakang
Joko pelan seraya pandangi punggung Joko. Lalu ber-
kata. "Jalan-jalan ke mana"!"
"Kau tahu di mana ada aliran sungai"!"
"Kau hendak ke sungai"!"
Pendekar 131 menjawab dengan anggukkan kepala.
"Perutku dari tadi mulas! Rasanya aku hampir tak ta-
han lagi! Harap tunjukkan padaku ke mana arah me-
nuju sungai!"
Terdengar suara tawa merdu tertahan. Sebenarnya
Joko ingin berpaling begitu mendengar suara tawa
merdu orang. Namun khawatir orang di belakangnya
adalah salah seorang yang tengah memburunya, Joko
menahan keinginannya.
"Pergilah ke arah selatan. Dua puluh lima tombak
dari sini kau akan menemukan sebuah sungai kecil!"
terdengar suara jawaban dari belakang.
"Terima kasih.... Kau mau ikut"!" tanya Joko.
Tidak terdengar sahutan. Joko sudah memutuskan
untuk berkelebat pergi. Namun kali ini dia tak kuasa menahan diri untuk
mengetahui orang di belakangnya.
Hingga seraya hendak berkelebat, dia berpaling ke belakang.
Murid Pendeta Sinting hentikan gerakannya. Saat
lain justru dia balikkan tubuh. Sepasang matanya se-
dikit dibeliakkan. Dia melihat seorang gadis berparas jelita dengan rambut
digerai dan diberi pita di bagian atasnya. Gadis itu mengenakan pakaian warna
merah muda. Dipandangi orang begitu rupa, membuat gadis di
hadapan Joko jadi salah tingkah dan tundukkan ke-
pala. Wajahnya bersemu merah. Tapi ingat akan ha-
dangan beberapa orang dan ingat pula bahwa perta-
nyaan si gadis sama dengan beberapa orang yang
sempat menghadangnya, membuat murid Pendeta Sin-
ting memutuskan untuk pergi meski hatinya ingin se-
jenak berbincang-bincang.
"Benar di sebelah selatan ada sungai"!" Joko ajukan
tanya. Si gadis anggukkan kepala tanpa memandang. Joko
balikkan tubuh. Namun entah mengapa dia tidak sege-
ra berkelebat. Sebaliknya putar diri lagi menghadap si gadis dan bertanya.
"Kau sendiri hendak ke mana"!"
Si gadis berpakaian merah muda angkat kepalanya
memandang wajah murid Pendeta Sinting. Lalu kepa-
lanya menggeleng.
"Jadi kau tak punya tujuan" Kau tersesat..."!"
Lagi-lagi gadis jelita di hadapan Joko gelengkan. La-lu bergumam. "Ditanya
hendak ke mana menggeleng.
Ditanya tidak punya tujuan menggeleng. Ditanya ter-
sesat menggeleng...."
"Kau bilang perutmu mulas.... Mengapa masih juga
tidak segera ke sungai"!" Gadis di hadapan Joko buka suara.
"Tadinya memang begitu. Tapi demi melihat wajah-
mu, perutku tidak mulas lagi! Tidak keberatan menga-
takan siapa dirimu"!"
Paras wajah si gadis kembali bersemu merah. Mu-
lutnya sudah membuka, namun suaranya tidak juga
terdengar. "Aku Joko.... Joko Sableng!" Murid Pendeta Sinting
mendahului memperkenalkan diri.
"Dari namamu.... Pasti kau bukan berasal dari dae-
rah sini! Kalau orang datang dari seberang jauh dan
mengadakan perjalanan di sini, pasti bukan semata
untuk mencari sebuah sungai karena perut mulas!"
Gadis berpakaian merah muda berujar.
"Hem.... Gadis ini bukan hanya berwajah cantik,
namun juga cerdik!" kata Joko dalam hati. Lalu berka-ta. "Dugaanmu benar....
Tapi tidak seluruhnya! Aku ta-di benar-benar tengah mencari sungai karena perut-
ku mulas...."
Si gadis tertawa pendek. "Aku tahu ke mana sebe-
narnya tujuanmu!"
Murid Pendeta Sinting kerutkan kening. "Siapa ga-
dis cantik ini sebenarnya..." Kemarin malam aku jum-
pa dengan orang tua yang ucapannya seakan ingin ta-
hu apa tujuanku. Orang tua itu sebut-sebut Gunung
Sim Yan In dalam syairnya. Padahal aku belum menga-
takan pada siapa-siapa ke mana aku hendak melang-
kah. Sekarang juga aku jumpa dengan gadis cantik
yang mengatakan dia tahu ke mana sebenarnya tujua-
nku! Heran.... Jangan-jangan daerah ini tempat ber-
kumpulnya beberapa tukang ramal...."
Mungkin karena penasaran dengan ucapan si gadis,
Joko segera buka mulut bertanya. "Coba katakan ke
mana tujuanku!"
Gadis di hadapan Joko sesaat memandang pada pa-
ras wajah murid Pendeta Sinting. Lalu alihkan pan-
dang matanya ke arah bergeraknya sang matahari.
Saat kemudian dia berkata.
"Kau hendak menuju Perguruan Shaolin!"
Joko sempat tersentak. Namun dia coba menutupi
rasa kejutnya dengan tertawa panjang. Lalu menyusuli suara tawanya dengan
ucapan. "Kau salah tebak.... Aku sampai di daerah ini kare-
na terbawa perahu. Jadi sebenarnya aku tidak punya
tujuan pasti! Kalaupun aku punya tujuan, itu bagai-
mana aku bisa pulang ke kampung halamanku lagi!"
Kini gadis di hadapan Joko yang ganti kernyitkan
kening. Murid Pendeta Sinting tersenyum. Lalu sam-
bungi ucapannya. "Aku memang tidak sepandai kau,
tapi aku mungkin bisa menebak ke mana sebenarnya
tujuanmu!"
Karena penasaran juga, si gadis bertanya. "Coba ka-
takan!" "Kau pasti akan melangkah mengikutiku!"
Paras wajah si gadis berubah merah padam. Semen-
tara Joko sendiri sebenarnya sudah tidak enak karena mendapati si gadis tahu ke
mana sebenarnya dia hendak pergi.
"Kau juga salah tebak!" Mendadak si gadis buka su-
ara. "Aku tidak bermaksud mengikutimu! Aku hanya


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin...." Si gadis tidak lanjutkan ucapan. Melainkan putar kepalanya dengan
mata menyelidik.
"Ingin apa" Ingin ikut ke sungai"!"
Si gadis gelengkan kepala. "Aku tahu kau berdus-
ta.... Kau akan pergi ke Perguruan Shaolin. Kau tak
usah khawatir kalau aku akan terus mengikutimu.
Aku hanya ingin menyarankan agar kau berhati-
hati...." Murid Pendeta Sinting melompat. Tanpa sadar ke-
dua tangannya memegang kedua lengan si gadis. "Sia-
pa kau sebenarnya"! Dan ada apa..."!"
"Beberapa orang telah menutup jalan masuk me-
nuju Perguruan Shaolin. Mereka bukan orang semba-
rangan! Kalau kau masih berniat menuju shaolin, lebih baik kau tunda dulu
keinginanmu sampai suasana
agak aman!"
"Siapa kau sebenarnya"!" Joko ulangi pertanyaan-
nya. Si gadis gelengkan kepala dengan mata memandang
ke arah kedua tangan Joko yang memegang kedua len-
gannya. Murid Pendeta Sinting buru-buru sadar dan
lepaskan pegangan kedua tangannya.
"Aku.... Namaku Mei Hua...."
"Kau tahu banyak tentang diriku. Siapa kau se-
benarnya"!"
"Aku tidak punya waktu banyak.... Silakan kau per-
gi ke sungai. Di sana nanti kau bisa merenung apa
yang baru kukatakan!"
Habis berkata begitu, gadis yang sebutkan diri Mei
Hua balikkan tubuh. Namun Joko cepat pegang lengan
kanan si gadis.
"Tunggu! Bagaimana...."
Belum sampai Joko teruskan ucapan, Mei Hua telah
menukas. "Kalau kita terus bicara di sini, bukan saja kau yang akan mendapat
celaka, tapi aku juga akan
ikut terlibat!"
"Lalu di mana kita bisa bicara"!" tanya Joko.
"Untuk sementara ini keadaan tidak memungkin-
kan. Mungkin kelak kita akan punya banyak waktu....
Aku harus segera pergi...." Tangan kanan Mei Hua
mencekal tangan murid Pendeta Sinting yang meme-
gang lengannya. Perlahan-lahan tangan gadis ini le-
paskan tangan Joko. Saat lain si gadis berpaling dengan tersenyum. Lalu
anggukkan kepala dan berkelebat
pergi. Pendekar 131 pandangi punggung Mei Hua hingga
lenyap di depan sana. "Hem.... Ucapannya kuyakin
pasti benar.... Apakah aku harus turuti ucapannya untuk menunda pergi ke
Perguruan Shaolin"! Lalu aku
hendak ke mana"! Daerah ini masih asing bagiku....
Ah, lebih baik aku cepat menemui Guru Besar Pu Yi....
Aku akan memasuki shaolin saat hari telah gelap. De-
ngan begitu aku tidak punya beban lagi...."
Berpikir begitu, akhirnya Pendekar 131 teruskan
perjalanan ke arah barat. Namun kali ini dia makin
waspada dan sengaja memperlambat larinya dengan
maksud menunggu hari gelap.
Sementara Mei Hua terus berlari. Namun begitu
mendapat dua puluh tombak, mendadak gadis ber-
wajah cantik ini hentikan larinya. Saat lain dia berbalik dan kembali berkelebat
dari arah mana dia tadi berlari.
Ketika matanya dapat menangkap kembali sosok
murid Pendeta Sinting, Mei Hua memperlambat larinya
dan berkelebat dengan secara sembunyi-sembunyi
mengikuti Pendekar 131 Joko Sableng dengan wajah
sedikit tegang dan cemas!
*** SEPULUH SETELAH melakukan perjalanan satu hari dan me-
lewati lima kawasan hutan, akhirnya Pendekar 131
Joko Sableng tiba di satu kawasan tanah lapang. Saat itu matahari hampir
tenggelam tapi suasana belum gelap. Memandang jauh ke depan, Joko melihat aliran
sungai yang membelah kawasan tanah lapang. Dan ke-
tika murid Pendeta Sinting palingkan kepala ke ka-
nan, tampaklah sebuah bangunan tinggi berbentuk
kuil. Joko anggukkan kepala. Lalu putar kepala me-
nyiasati keadaan.
Dalam perjalanannya Joko memang sengaja berke-
lebat secara hati-hati dan sembunyi-sembunyi. Dia
akhirnya juga membuktikan kebenaran Mei Hua. Ka-
rena dia sempat melihat beberapa orang yang mende-
kam sembunyi di balik pohon. Namun sejauh ini dia
tidak sadar kalau secara diam-diam pula Mei Hua te-
rus mengikuti di belakangnya.
Paras wajah Mei Hua tampak semakin cemas dan
gelisah ketika tahu jika jarak antara Pendekar 131 dan Perguruan Shaolin tidak
jauh lagi. Dan dia hentikan
larinya ketika di depan sana terlihat murid Pendeta
Sinting hentikan kelebatan.
Murid Pendeta Sinting tampak putar kepala me-
nembusi suasana yang hampir, gelap. Dia masih bisa
me-lihat keadaan sekeliling karena meski malam su-
dah menjelang, namun sang rembulan tampak pan-
carkan cahayanya dari arah sebelah timur.
"Hem.... Banyak orang di depan sana." gumam Joko
ketika matanya bisa menangkap beberapa orang di ke-
remangan malam. "Terpaksa aku harus jalan memuta-
ri" putus Joko. Saat lain dia balikkan tubuh itu berlari balik.
Melihat hal ini Mei Hua terkesiap kaget karena Joko
berlari menuju ke arahnya. Dia segera turunkan tubuh dan langsung telungkup
sejajar tanah. Gadis cantik ini tidak berani membuat suara atau membuat gerakan.
Hanya sepasang matanya yang tampak bergerak-gerak
memperhatikan arah kelebatan murid Pendeta Sinting.
Gadis ini sempat menahan napas ketika Joko berkele-
bat hanya berjarak tujuh langkah di sebelah samping-
nya. Namun ketegangan gadis cantik ini pupus tatkala melihat Joko teruskan
kelebatannya. Mei Hua tidak mengerti benar mengapa tiba-tiba
murid Pendeta Sinting berkelebat balik. Namun kelebatan ini membuat dada Mei Hua
sedikit merasa lega.
Dia menduga Joko urungkan niat untuk pergi ke Per-
guruan Shaolin. Hingga dengan bibir tersenyum, Mei
Hua segera bangkit begitu melihat sosok murid Pen-
deta Sinting sudah berada jauh di depan sana.
Namun mata Mei Hua sedikit menyipit ketika tiba-
tiba melihat sosok murid Pendeta Sinting membelok
dan berkelebat kembali ke arah Perguruan Shaolin.
"Hem.... Tampaknya dia cuma menghindari ketat-
nya penjagaan orang! Dia akan teruskan niat menuju
Perguruan Shaolin!" Ketegangan di wajah Mei Hua
kembali terbayang. Dengan cepat gadis cantik ini sege-ra berkelebat mengikuti
larinya Joko. Dugaan Mei Hua ternyata tidak meleset. Murid Pendeta Sinting
memang teruskan niat menuju Perguruan Shaolin hanya dengan mengambil jalan di
sisi lain. Pada satu tempat kembali Joko hentikan larinya.
"Busyet! Rupanya memang tidak ada jalan yang lowong
tanpa orang!" gumamnya saat matanya menangkap ti-
ga orang tengah mendekam sembunyi. "Apa boleh
buat. Aku harus melewatinya meski harus membuat
se-dikit urusan!"
Berpikir begitu, akhirnya Joko teruskan larinya.
Namun baru saja dia hendak berkelebat, satu sosok
bayangan melesat di sebelah samping sana. Karena
suasana agak gelap dan sosok itu berkelebat amat ce-
pat, Joko tidak bisa menentukan siapa adanya orang.
Dia hanya bisa melihat berkelebatnya satu bayangan.
Sosok bayangan itu terus berkelebat menuju tiga orang yang sembunyi di depan
sana. Saat lain mendadak
bayangan itu angkat kedua tangannya. Terdengar de-
ruan keras. Dua gelombang berkiblat ke arah tiga
orang yang mendekam sembunyi.
Tiga orang yang mendekam sembunyi sama berke-
lebat keluar dari tempat masing-masing lalu melompat hindarkan diri. Begitu dua
gelombang lewat, salah seorang di antaranya segera berteriak.
"Kejar!"
Tiga orang berkelebat. Karena ternyata begitu le-
paskan satu pukulan, si bayangan langsung berkele-
bat. "Hem.... Apa maksud orang tadi"! Kalau dia berniat
menyerang tentu tidak akan terus berlari begitu lepas pukulan. Ah.... Itu urusan
mereka. Yang jelas sekarang aku agak leluasa bergerak!" Joko sempat memikirkan
tindakan si bayangan. Namun karena tak mau sia-
siakan kesempatan, dia cepat berkelebat dan melewati tempat di mana tiga orang
tadi mendekam sembunyi.
Murid Pendeta Sinting terus berkelebat. Karena sa-
dar tempat di sekitarnya banyak orang, dia sengaja kerahkan segenap ilmu
peringan tubuhnya. Dengan ban-
tuan suasana malam, akhirnya murid Pendeta Sinting
tiba di tempat yang dari tempat itu terlihat bangunan megah shaolin tanpa
rintangan berarti.
Empat pemuda berkepala gundul segera menyong-
song begitu mereka melihat satu sosok tubuh melang-
kah cepat ke arah pintu gerbang.
"Amitaba...." Salah seorang dari keempat murid Per-
guruan Shaolin takupkan kedua tangan di depan dada
seraya melangkah dua tindak lebih maju dari tiga te-
mannya yang tegak di belakang. "Harap terangkan apa
tujuanmu datang ke shaolin...!"
Joko ikut-ikutan takupkan kedua tangan di depan
dada. Lalu anggukkan kepala dan berkata.
"Aku ingin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi!"
Salah seorang dari Perguruan Shaolin yang tegak
paling depan sesaat pandangi Pendekar 131 dari atas
hingga bawah. "Sebutkan siapa dirimu dan apa keperluanmu hen-
dak bertemu Guru Besar Pu Yi!"
"Wah.... Peraturan di sini terlalu ketat! Padahal aku harus segera bertemu
dengan Guru Besar Pu Yi!" kata
Joko dalam hati. Lalu enak saja dia buka mulut.
"Aku Han Ko.... Dan harap dimaafkan. Aku tak bisa
memberi tahu apa keperluanku bertemu dengan Guru
Besar Pu Yi!"
"Amitaba.... Mohon dimaafkan juga. Kami tidak bisa
memberimu izin bertemu dengan Guru Besar Pu Yi.
Kau kembalilah besok pagi...."
"Amitaba...." Joko ikut-ikutan buka mulut. "Aku tak
bisa menunggu! Malam ini juga aku harus bisa berte-
mu dengan Guru Besar Pu Yi! Ada masalah penting
yang harus kubicarakan dengannya!"
"Guru Besar Pu Yi sedang berada di kamar per-
sembayangan. Dia tidak bisa diganggu! Harap maafkan
kami...." "Katakan saja ada masalah penting! Pasti dia dapat
memaklumi!"
Pemuda berkepala gundul yang tampaknya jadi
pimpinan regu jaga gelengkan kepala. "Amitaba.... Menurut peraturan yang
berlaku, masalah apa pun tidak
bisa mengganggu jika Guru Besar telah masuk ruang
persembayangan!"
"Sial! Bagaimana sekarang"! Aku tidak bisa me-
nunggu lagi! Malam ini juga aku harus lepaskan be-
ban!" kata Joko dalam hati. Dia berpikir sesaat lalu berkata.
"Kapan dia akan keluar dari kamar persembayan-
gan"!"
"Tak bisa ditentukan waktunya. Kadang-kadang dia
baru keluar setelah tiga hari tiga malam!"
"Busyet! Ini tidak boleh terjadi!" batin Joko lalu
kembali bertanya.
"Kalau Guru Besar Pu Yi tidak bisa ditentukan ka-
pan keluarnya dari kamar persembayangan, mengapa
kau menyuruhku untuk kembali ke sini besok"!"
"Siapa tahu Guru Besar Pu Yi sudah keluar. Lagi
pula kau nanti bisa bertemu dengan Guru Besar Liang
San dan Guru Besar Wu Wen She jika Guru Besar Pu
Yi belum juga keluar dari kamar persembayangan...."
"Amitaba.... Aku hanya hendak bertemu dengan
Guru Besar Pu Yi! Bukan Guru Besar lainnya!" kata
Joko. "Itu urusanmu. Yang jelas kalau kau ingin bertemu
dengan Guru Besar Pu Yi, kau harus menunggu sam-
pai dia keluar dari kamar persembayangan! Waktunya
kami tidak bisa menentukan!"
"Bagaimana kalau sekali ini saja kalian beri tahu
pada Guru Besar Pu Yi"!"
"Amitaba.... Kami tidak berani melakukannya!"
"Kalian takut dihukum"!"
"Bukan hukuman yang kami takutkan. Tapi kami
tidak mau melanggar peraturan!"
"Kalau begitu, antar saja aku ke tempat kamar per-
sembayangan. Aku nanti yang akan memberi tahu
maksud kedatanganku!"
"Harap dimaafkan. Kami juga tidak berani me-
lakukan tindakan itu!"
"Apa boleh buat.... Terpaksa aku harus menerobos!"
kata Joko dalam hati. Lalu memperhatikan suasana
sebentar. Saat lain dia buka mulut.
"Baiklah.... Aku akan kembali besok pagi! Amita-
ba...." Joko anggukkan kepala lalu putar diri dan melangkah perlahan
meninggalkan halaman Perguruan
Shaolin. "Selamat jalan.... Silakan kau datang besok pagi!"
sahut pemuda yang tegak di sebelah depan seraya ikut anggukkan kepala. Keempat
pemuda berkepala gundul
ini segera balikkan tubuh lalu melangkah kembali ke
arah pintu gerbang.
Namun keempat pemuda ini tersentak tatkala ma-
tanya melihat satu sosok bayangan berkelebat melewa-
tinya dari sebelah samping.
Tanpa ada yang buka suara, keempat pemuda sege-
ra mengejar. Namun karena sadar tidak bisa mengejar


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang, salah seorang dari keempat pemuda ini segera
berteriak. "Ada tamu menerobos masuk! Semua harus siap!"
Joko tidak pedulikan teriakan orang. Dia teruskan
kelebatan. Namun baru saja hendak melewati tangga
di bawah pintu gerbang, mendadak satu bayangan
kuning berkelebat dari dalam pintu gerbang dan tahu-
tahu tegak menghadang. Tangan kanannya diangkat
memberi isyarat. Keempat pemuda berkepala gundul
yang masih berada di halaman pintu gerbang sama
hentikan larinya. Lalu takupkan kedua tangan masing-
masing dan mengangguk.
"Amitaba.... Harap katakan perlumu, Anak Muda...."
Orang yang tegak menghadang Joko anggukkan kepala
dengan bibir tersenyum. Namun matanya memperhati-
kan orang di hadapannya dengan seksama.
Murid Pendeta Sinting yang berhenti ketika melihat
munculnya orang, segera pula mengawasi orang. Dia
adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahunan. Sosoknya kekar.
Kepalanya gundul dan terda-
pat beberapa titik putih. Paras wajahnya agak bulat.
Pada sebelah samping kanan matanya terdapat tahi la-
lat yang ditumbuhi helaian beberapa rambut panjang.
Laki-laki ini mengenakan pakaian warna kuning tanpa
leher. Pada pundaknya melapis kain warna merah
yang terus dililitkan pada pinggangnya.
Karena Joko tidak segera menjawab, laki-laki di ha-
dapannya kembali buka mulut.
"Amitaba.... Mau sebutkan siapa dirimu, Anak Mu-
da"!"
"Namaku Han Ko.... Aku ingin bertemu dengan Gu-
ru Besar Pu Yi! Mereka itu tidak mengizinkan aku ma-
suk. Maka terpaksa aku berusaha menerobos!" kata
Joko berterus terang.
Laki-laki di hadapan murid Pendeta Sinting sekali
lagi perhatikan orang di hadapannya lebih seksama.
Keningnya berkerut. Mulutnya bergumam perlahan.
"Ucapan Tiyang Pengembara Agung jadi kenyataan!
Akhirnya aku kedatangan tamu tak dikenal! Hem....
Dia sebutkan diri bernama Han Ko.... Rasanya baru
kali ini aku mendengar nama itu!" Kepala orang ini
berpaling ke kanan kiri lalu ke belakang. "Tak mung-
kin aku mengajaknya masuk.... Urusan ini sangat ra-
hasia jika benar masih ada hubungannya dengan tidak
kembalinya Yang Kui Tan...."
"Anak muda...," kata laki-laki di hadapan Joko se-
raya menuruni tangga mendekat ke arah murid Pende-
ta Sinting. "Aku tahu kau akan datang.... Aku adalah orang yang kau cari! Tapi
kita tak bisa bicara di sini....
Kita harus cari tempat di luar shaolin...."
"Amitaba.... Kau tidak berdusta"!"
Orang di hadapan Joko dan bukan lain memang
Guru Besar Pu Yi angkat tangan kanannya seraya ber-
kata pelan. "Bagi kalangan shaolin, berdusta adalah tindakan
tidak terpuji!"
"Bagaimana aku bisa mempercayai kalau kau ada-
lah Guru Besar Pu Yi"!" tanya Joko dengan suara pe-
lan pula hingga keempat pemuda di halaman pintu
gerbang tidak bisa mendengar percakapan mereka
berdua. "Itu akan kujelaskan nanti, Anak Muda...."
"Lalu kenapa kau takut untuk bicara di sini"!"
"Amitaba.... Keadaan saat ini sangat rawan. Aku tak
mau ambil risiko terjadi keributan...."
"Baik.... Lalu di mana kita bisa bertemu"! Namun
kuharap pertemuan itu berlangsung malam ini juga.
Aku tidak bisa menunggu sampai besok!"
Guru Besar Pu Yi anggukkan kepala. "Pergilah ke
sebelah utara berjarak tiga puluh tombak dari sini!"
Joko gelengkan kepala. "Kurasa itu tak bisa kula-
kukan!" "Mengapa"!" tanya Guru Besar Pu Yi sambil ke-
rutkan dahi. Orang ini benar-benar tidak tahu atau pura-pura?"
tanya Joko dalam hati. Lalu berkata. "Di perbatasan
menuju tempat ini, kulihat beberapa orang mendekam
sembunyi!"
Guru Basar Pu Yi terkejut. "Amitaba.... Benar ucap-
anmu, Anak Muda"!"
"Walau aku bukan dari kalangan shaolin, namun
bagiku berkata dusta tetaplah hal yang tak patut di-
lakukan!" "Hem.... Baiklah.... Tunggu saja di sebelah utara li-ma belas tombak dari sini!"
Murid Pendeta Sinting anggukkan kepala. Tanpa
berkata apa-apa lagi dia balikkan tubuh lalu berkelebat.
Keempat pemuda yang tadi berjaga di pintu gerbang
segera melangkah mendekati Guru Besar Pu Yi. Guru
Besar Pu Yi menuruni tangga lalu berkata.
"Salah satu dari kalian masuk ke dalam. Beri pe-
ringatan seluruh regu jaga agar lebih waspada. Aku
akan mengikuti ke mana anak muda itu tadi!"
Keempat pemuda di hadapan Guru Besar Pu Yi sa-
ma anggukkan kepala. Dan begitu Guru Besar Pu Yi
berkelebat, pemuda yang menjadi pimpinan regu jaga
segera berlari masuk untuk laksanakan perintah Guru
Besar Pu Yi. Sementara itu di perbatasan jalan menuju Pergu-
ruan Shaolin, terdengar makian orang. Lalu tiga sosok tubuh berkelebat dan tegak
berjajar dengan mata ter-pentang tembusi kegelapan.
"Jahanam! Manusia itu lenyap!" maki salah se-
orang. "Siapa dia"! Mengapa tiba-tiba membokong kita dari
belakang!" salah seorang lainnya buka mulut per-
dengarkan tanya.
"Siapa pun adanya jahanam itu, yang jelas kita te-
lah terkecoh!"
"Terkecoh bagaimana"!"
"Aku sempat menangkap berkelebatnya seseorang
begitu kita mengejar orang yang telah membokong kita!
Jadi jelas orang tadi itu sebagai umpan untuk menga-
lihkan perhatian kita! Sialnya orang itu ciri-cirinya hampir seperti orang yang
harus kita buru dan kita
hadang!" "Kita harus mengejarnya!"
"Tak mungkin lagi. Kita hanya bisa bergerak di per-
batasan ini, kecuali besok malam! Itu pun harus kita tunggu perintah!"
"Lalu..."!" Terdengar lagi pertanyaan.
"Apa hendak dikata. Daripada kita mendapat cela-
ka, kita pura-pura tidak tahu jika ada orang yang telah berhasil menerobos
melewati kita!"
Setelah terdengar ucapan itu, tiga orang ini segera
berkelebat lalu kembali mendekam sembunyi dengan
mata masing-masing diarahkan jauh ke depan, di ma-
na terlihat tegak hitam bangunan utama Perguruan
Shaolin. Berjarak dua puluh lima langkah dari tempat men-
dekatnya tiga orang yang baru saja berbicara, Mei Hua tampak menarik napas lega.
"Hem.... Siasatku berhasil. Pemuda itu bisa lewat
dengan selamat! Tapi aku tak bisa terus-terusan bera-da di sini! Aku harus
segera kembali!"
Mei Hua arahkan pandang matanya ke tempat di
mana tiga orang bersembunyi. Perlahan-lahan dia ke-
luar dari tempat mendekamnya. Lalu berkelebat ting-
galkan tempat itu.
*** SEBELAS BARU saja Pendekar 131 tegak di tempat agak ter-
lindung lima belas tombak dari halaman Perguruan
Shaolin, dia merasakan desiran angin dari sebelah belakang. Dengan cepat, murid
Pendeta Sinting balikkan tubuh. Ternyata Guru Besar Pu Yi telah tegak di bela-
kangnya dengan tersenyum dan kedua tangan mena-
kup di depan dada.
"Harap buktikan kalau kau adalah Guru Besar Pu
Yi!" Joko langsung angkat suara.
"Amitaba.... Semua orang pasti menjalani takdirnya,
Anak Muda! Kau telah ditulis untuk bertemu dengan-
ku meski sebelumnya kita tak pernah jumpa! Aku
memang tak bisa membuktikan dengan jelas kalau aku
adalah orang yang kau cari! Tapi mungkin kau bisa
menerima keteranganku...."
"Keterangan apa"!"
"Sebelum kukatakan, harap kau mau berjanji untuk
tidak memberitahukan hal ini kepada siapa saja. Kare-na kaulah satu-satunya
orang di luar shaolin yang ta-hu!"
"Baik.... Katakanlah...!" kata Joko seraya angguk-
kan kepala. "Pada beberapa waktu lalu, aku mengutus salah
seorang kepercayaanku. Seharusnya dia sudah datang
enam hari yang lalu. Tapi hingga kini dia tidak juga kunjung muncul.... Dia
bernama Yang Kui Tan...."
Guru Besar Pu Yi menghela napas panjang. Lalu terus-
kan ucapan. "Namun kini aku tidak mengharapkan ke-
hadirannya lagi.... Seorang sahabat telah mengatakan padaku jika dia tidak akan
kembali!" "Dari mana sahabatmu tahu kalau orang keper-
cayaanmu tidak akan kembali"!"
"Aku tidak tahu.... Tapi yang jelas semua ucapan-
nya banyak yang jadi kenyataan. Dia adalah seorang
tokoh di daratan Himalaya yang ilmunya sulit dijajaki!
Bukan itu saja.... Dia memiliki ilmu langka yang tak bisa dipelajari orang
biasa.... Siapa nama sebenarnya sampai kini tidak ada orang yang tahu. Dia hanya
dikenal dengan julukan Tiyang Pengembara Agung.... Ka-
lau tidak salah, dia pernah bertemu denganmu...."
"Astaga! Jangan-jangan orang tua bertangan dan
berkaki satu itu!" gumam Joko lalu dia mengatakan ci-ri-ciri orang yang pernah
ditemuinya setelah mengu-
burkan mayat Yang Kui Tan.
"Amitaba.... Memang dialah orangnya...," kata Guru
Besar Pu Yi. "Hem.... Makanya orang tua itu tahu apa yang ada
dalam benakku meski dia ucapkan lewat syairnya...,"
Joko terus membatin begitu mendengar ucapan Guru
Besar Pu Yi. "Anak muda.... Aku juga tahu akan kedatanganmu
dari Tiyang Pengembara Agung.... Sayang dia tak mau
memberi penjelasan lebih jauh soal maksud kedata-
nganmu! Kalau kau tidak keberatan, harap, kau kata-
kan apa perlumu menemuiku...."
Keterangan Guru Besar Pu Yi membuat Joko jadi
yakin kalau orang di hadapannya adalah Guru Besar
Pu Yi. Maka tanpa bicara lagi, dia segera selinapkan tangan kanan ke balik
pakaiannya. Kantong putih di-keluarkan lalu diberikan pada Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi terbelalak. "Amitaba.... Ternyata
Sang Pencipta masih menyelamatkan peta wasiat itu
dari tangan orang yang tidak bertanggung jawab!" kata Guru Besar Pu Yi. Namun
sejauh ini dia belum juga
ulurkan tangan untuk menerima.
"Aku bertemu Yang Kui Tan di tengah laut. Dia da-
lam keadaan terluka parah. Sebelum menghembuskan
napas terakhir, dia sempat memberikan kantong putih
ini padaku. Dia berpesan agar memberikan kantong ini pada Guru Besar Pu Yi.
Terimalah!"
"Amitaba...," ujar Guru Besar Pu Yi. Kedua tangan-
nya yang menakup di depan dada diturunkan. Lalu
dengan sedikit bergetar dia ambil kantong putih dari tangan Joko.
"Terima kasih, Anak Muda.... Tapi seharusnya uca-
pan itu belum cukup kalau dibandingkan dengan jasa-
mu!" "Aku bisa bertemu dan memberikan kantong itu pa-
da orang yang berhak, merupakan satu kebahagiaan
tersendiri bagiku. Tanpa itu, mungkin kita tak akan
bertemu dan aku tidak akan bisa melihat indahnya da-
ratan Himalaya!"
Guru Besar Pu Yi memperhatikan sejenak kantong
putih di tangan kanannya. Dia tampak bimbang. Murid
Pendeta Sinting dapat menangkap kebimbangan orang.
"Guru Besar Pu Yi.... Aku belum membuka kantong
itu!" "Amitaba.... Jangan salah sangka, Anak Muda. Ter-
lalu tak pantas kalau aku menuduhmu yang bukan-
bukan. Bahkan seandainya kau telah membuka kan-
tong ini, aku merasa maklum...."
Pendekar 131 tersenyum. "Guru Besar Pu Yi.... Aku
telah memberikan kantong pesanan itu padamu. Be-
rarti urusanku telah selesai.... Aku harus segera kembali!"
"Anak muda ini dapat dipercaya.... Hem.... Keadaan
di shaolin tampaknya tidak aman lagi. Aku tak tahu
apa yang akan terjadi.... Tapi dari ucapan Tiyang Pengembara Agung, aku mendapat
firasat akan terjadi
sesuatu...."
"Anak muda...," kata Guru Besar Pu Yi setelah ber-
pikir beberapa saat. "Kuharap kau mau membantuku
sekali lagi! Kau tak keberatan, bukan"!"
"Membantu apa"!"
Guru Besar Pu Yi memberikan kantong putih di
tangannya pada Joko. "Simpan ini baik-baik!"
Pendekar 131 gelengkan kepala. "Aku tak mau
membawa sesuatu yang belum kuketahui apa isinya
dan untuk apa...."
"Amitaba.... Anak Muda, aku akan memberi kete-
rangan padamu! Tapi terimalah kantong ini terlebih
dahulu!" Murid Pendeta Sinting ulurkan tangan kanan untuk
menerima kantong putih kembali dari tangan Guru
Besar Pu Yi. "Anak muda.... Perguruan Shaolin memiliki sebuah
peta wasiat. Peta itu tertulis dalam dua kain yang ber-beda. Salah satunya
adalah yang berada di kantong
putih itu. Sementara setengahnya lagi berada di ruang penyimpanan. Semua


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalangan dunia persilatan telah
mendengar tentang itu. Beberapa orang memang ada
yang coba mencari peta itu. Namun karena kerahasia-
annya sangat dijaga, maka sampai sekarang peta itu
masih utuh meski tempatnya berlainan...."
"Lalu mengapa peta ini berada di tangan Yang Ku
Tan"!"
"Peta itu baru bisa dibuka pada hari ganda sepuluh
bulan ini! Untuk itulah aku memerintahkan pada Yang
Kui Tan untuk mengambil dari tempat penyimpanan-
nya di luar shaolin...."
"Bagaimana bisa begitu?"
"Aku sendiri kurang tahu. Yang pasti dua peta ter-
pisah itu baru bisa terlihat gambarnya saat hari ganda sepuluh nanti! Berarti
waktu itu tinggal sepuluh hari lagi."
"Lalu mengapa kau memberikan ini padaku"!"
"Aku mendapat firasat kurang baik. Apalagi me-
nurutmu ada beberapa orang bersembunyi di perbata-
san menuju Perguruan Shaolin. Kuharap kau menyim-
pan kantong itu sampai menjelang hari ganda sepuluh.
Jika sampai menjelang hari itu, tidak terjadi apa-apa, kuharap kau menemuiku
lagi di Perguruan Shaolin!"
"Ah.... Bukankah lebih baik kau yang menyimpan-
nya"!"
"Tidak, Anak Muda.... Tindakanmu telah membua-
tku percaya bahwa kaulah yang harus menyimpan-
nya!" "Ah.... Ini membuatku harus lebih lama lagi di tem-
pat ini!" kata Joko dalam hati. Namun dia tidak bisa menolak permintaan Guru
Besar Pu Yi. Apalagi dia pikir hal itu masih ada hubungannya dengan urusan
rimba persilatan.
"Anak muda.... Aku harus segera kembali! Terima
kasih atas kesediaanmu membantuku.... Mudah-mu-
dahan kita nanti bisa bertemu kembali. Aku belum
mengenal betul siapa dirimu. Aku ingin tahu siapa kau sebenarnya.... Kuharap kau
nanti tak keberatan untuk menceritakannya padaku. Sekarang aku harus pergi...."
Tanpa menunggu sahutan Joko, Guru Besar Pu Yi
anggukkan kepala seraya takupkan kedua tangannya
di depan dada. Saat lain dia balikkan tubuh lalu berkelebat.
Pendekar 131 masukkan kembali kantong putih ke
balik pakaiannya. Dia memandang sampai sosok Guru
Besar Pu Yi lenyap di depan sana. Saat kemudian dia
berkelebat pula tinggalkan tempat itu.
*** DUA BELAS SATU malam kemudian....
Awan Hitam sudah tampak berarak begitu matahari
akan tenggelam. Saat bersamaan angin kencang ber-
tiup. Ketika matahari benar-benar tenggelam, di sebelah utara bentangan langit
berkiblat kilatan warna
kuning sekejap. Disusul terdengarnya petir. Sang rembulan yang tadi sempat
hendak muncul lenyap seketi-
ka ditelan awan hitam yang laksana dimuntahkan dari
seantero bentangan langit. Gelapnya suasana karena
tenggelamnya matahari makin membuat dataran bumi
hitam pekat. Tidak berapa lama kemudian, hujan pun datang
mengguyur meningkahi suara petir dan bertiupnya an-
gin. Di tengah cuaca yang sedang menggila, satu sosok
tubuh tampak berkelebat melayang dari salah satu
atap ruangan yang berderet di sebelah kanan ba-
ngunan utama Perguruan Shaolin. Sosok ini menero-
bos curahan hujan dan salakan petir menuju arah ti-
mur. Pada satu tempat, si sosok bayangan hentikan lari-
nya. Belum sampai dia bergerak lebih jauh, dari balik sebatang pohon muncul satu
sosok tubuh. Lalu terdengar suara.
"Kau Guru Besar Liang San..."!"
Sosok yang tadi berkelebat dari Perguruan Shaolin
memandang sesaat pada sosok yang baru keluar dari
balik batangan pohon.
"Benar, Yang Mulia Baginda Ku Nang...!" sosok yang
tadi berkelebat dari Perguruan Shaolin angkat suara
menjawab. Sosok bayangan yang muncul dari balik batangan
pohon melangkah mendekat. Dia adalah seorang laki-
laki berpakaian hitam-hitam. Seluruh anggota tubuh-
nya tertutup. Yang terlihat hanya sepasang mata dan
kedua telapak tangan serta kakinya.
Sementara orang yang tadi berkelebat dari Pergu-
ruan Shaolin juga laki-laki yang seluruh anggota tu-
buh-nya juga tertutup pakaian hitam-hitam. Dari
orang ini, yang terlihat juga hanya sepasang mata dan kedua telapak tangannya.
Meski kedua laki-laki berpakaian hitam-hitam, ini
tidak bisa dikenali wajahnya, namun dari ucapan me-
reka jelas jika orang yang berkelebat dari Perguruan Shaolin adalah Guru Besar
Liang San. Sementara laki-laki yang muncul dari balik batangan pohon adalah
Baginda Ku Nang.
"Bagaimana..." Apakah rencana itu kita laksanakan
sekarang juga"!" Bertanya Baginda Ku Nang.
"Kita tak boleh lagi membuang-buang waktu. Cuaca
begini membantu kita untuk lebih enak bergerak! Aku
akan kembali dahulu. Kau atur beberapa anak buah-
mu. Pancing beberapa penjaga di pintu gerbang. Seba-
gian langsung masuk melalui pagar samping dan bela-
kang. Aku akan memberi isyarat dengan suitan kapan
waktunya masuk ke sasaran utama. Kau langsung ke
ruang Maha Guru Besar. Beberapa orang lainnya me-
nerobos ke ruang Guru Besar Pu Yi dan Guru Besar
Wu Wen She. Aku akan menelusup ke ruang penyim-
panan! Begitu kau selesaikan tugas, segera kau sam-
but aku di pojok ruangan sebelah ruang penyimpanan!
Setelah itu kita berpencar dan bertemu tiga hari ke-
mudian di tempat biasa!" Guru Besar Liang San mem-
beri keterangan.
Baginda Ku Nang anggukkan kepala. Dia angkat
tangannya. Sat itu juga dari balik beberapa batangan pohon muncul beberapa
orang. Mereka semua mengenakan pakaian hitam-hitam. Yang terlihat dari me-
reka juga hanya mata dan telapak tangannya.
Guru Besar Liang San memandang sesaat pada be-
berapa orang yang baru muncul. Lalu berujar pelan.
"Aku tak mengenal mereka. Tapi aku yakin kau ti-
dak akan salah memilih orang!"
"Ini adalah peristiwa berbahaya karena menyangkut
harkat! Aku tak mau mengalami kegagalan!" Baginda
Ku Nang perdengarkan suara lalu mengusap wajahnya
yang tertutup kain. Sekujur tubuh orang ini telah ba-
sah kuyup. "Aku harus segera kembali. Begitu aku bergerak,
kau bisa memulai!" kata Guru Besar Liang San. Tanpa
menunggu sahutan orang, Guru Besar Liang San ber-
kelebat dari arah mana dia tadi datang.
Bersamaan dengan berkelebatnya sosok Guru Besar
Liang San, Baginda Ku Nang bertepuk lima kali. Kali
ini muncul beberapa orang lagi dari balik ranggasan
semak. Baginda Ku Nang sapukan pandang matanya. Meski
suasana gelap gulita, namun seakan dia tahu di mana
tegaknya beberapa orang itu. Lalu dia buka mulut.
"Lima di antara kalian langsung menyongsong dari
arah pintu gerbang. Lima lainnya berjaga-jaga di setiap sudut luar halaman.
Begitu terdengar suitan, kalian
semua langsung melompat dan menerobos masuk le-
wat atas. Setelah itu rencana berjalan seperti yang telah kita atur!"
"Titah tang Mulia akan kami laksanakan!" Terde-
ngar suara sahutan hampir bersamaan.
"Tapi ingat! Ini adalah tugas kerajaan! Lebih baik
mati daripada harus menjadi tawanan! Kalian dengar
itu"!"
"Kami dengar, Yang Mulia!"
"Bagus! Kita berangkat sekarang!"
Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang berkelebat
diikuti beberapa orang. Begitu halaman dan bangunan
Perguruan Shaolin sudah terlihat, beberapa orang ini berpencar. Hanya lima sosok
hitam yang terus berkelebat lurus menuju pintu gerbang.
Di lain pihak, begitu samar-samar dapat menang-
kap gerakan orang di halaman depan, empat penjaga
pintu gerbang segera menyongsong. Namun baru saja
mereka injakkan kaki di halaman, lima orang berpa-
kaian hitam-hitam telah menyambut dengan sentak-
kan tangan masing-masing.
Lima gelombang dahsyat melabrak ganas menera-
bas curahan hujan. Mungkin karena tidak menduga,
keempat penjaga terlambat untuk menghadang puku-
lan atau membuat gerakan menghindar. Hingga tanpa
ampun lagi, keempat orang penjaga pintu gerbang
langsung mental dan jatuh menghantam tangga. Ter-
dengar beberapa seruan tertahan. Lima orang yang da-
tang tidak memberi kesempatan. Begitu sosok para
penjaga mental, mereka lepas lagi pukulan!
Mendapati hal demikian, salah seorang penjaga
yang sigap segera berteriak.
"Kita diserbu!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara itu, keempat
penjaga yang sudah terlambat untuk menghadang pu-
kulan orang ini kembali mencelat. Dua di antaranya
langsung lewat pintu gerbang dan jatuh terkapar di halaman depan bangunan utama.
Beberapa saat kemudian terdengar suara hiruk-
pikuk. Beberapa sosok pemuda gundul segera berla-
rian. Saat itulah terdengar suara suitan beberapa kali.
Kejap lain beberapa sosok hitam telah melayang dari
tembok samping lalu melayang turun ke halaman de-
pan bangunan utama. Tiga orang tampak berkelebat
menuju ruang persembayangan. Setelah menghantam
dua penjaga, pintu ruang persembayangan didobrak.
Ketiga orang ini seakan sudah tahu situasi ruangan,
segera berkelebat ke sebuah pintu. Orang sebelah de-
pan segera hantamkan kedua tangannya.
Brakkk! Pintu di sebelah ruang persembayangan terhantam
porak-poranda. Tanpa banyak bicara, ketiganya lang-
sung menerobos masuk dan mendekati sebuah ranjang
agak besar di mana terbaring satu sosok tubuh.
Lagi-lagi tanpa buka suara, orang yang tadi meng-
hantam pintu segera sentakkan kedua tangannya ke
arah sosok yang terbaring di atas ranjang. Dua gelombang melesat ganas.
Sosok yang terbaring di atas ranjang dan bukan lain
adalah Maha Guru Besar Su Beng Siok buka kelopak
matanya. Kedua tangannya yang tampak lemah dige-
rakkan. Hebatnya, gerakan yang lemah itu mampu me-
lesatkan dua gelombang ganas!
Bummm! Bummm! Ruang kamar tempat Maha Guru Besar Su Beng
Siok bergetar keras. Sosok hitam yang tadi melepas
pu-kulan ke arah Maha Guru Besar Su Beng Siok ter-
pental dan terhuyung-huyung. Dari mulutnya tampak
muncratkan darah. Di lain pihak, sosok Maha Guru
Besar Su Beng Siok langsung mencelat dan terguling
jatuh dari ranjang. Mulutnya juga semburkan darah.
Dua sosok hitam lainnya segera memburu. Saat lain
sama sentakkan tangan masing-masing ke arah Maha
Guru Besar Su Beng Siok. Karena dalam keadaan sa-
kit, terlambat bagi Maha Guru Besar Su Beng Siok un-
tuk menghadang pukulan yang datang. Hingga saat itu
juga sosoknya terbang sebelum akhirnya menghantam
dinding dan jatuh bergedebukan dengan nyawa me-
layang. Orang yang melepas pukulan pertama kali segera
memberi isyarat lalu mereka bertiga berkelebat keluar.
Di ruang lain, Guru Besar Pu Yi tampak terkesiap
mendengar kegaduhan di luar. Namun baru saja dia
hendak buka pintu, pintu ruangannya telah dilabrak
satu pukulan hingga hancur porak-poranda. Saat lain
enam sosok hitam berkelebat masuk dan sekonyong-
konyong lepaskan pukulan ke arah Guru Besar Pu Yi.
Guru Besar Pu Yi tak tinggal diam. Dia angkat ke-
dua tangannya lalu dipukulkan dengan tubuh diputar.
Terdengar beberapa kali ledakan keras. Tiga sosok
hitam yang menerobos masuk terpental keluar ruan-
gan. Sementara tiga lainnya terjengkang menghantam
dinding ruangan. Namun Guru Besar Pu Yi tak luput
dari bias bentroknya pukulan. Apalagi dia harus menghadang pukulan enam orang.
Hingga begitu terdengar
ledakan, sosok Guru Besar Pu Yi terlempar ke bela-
kang dan jatuh terkapar dengan mulut kucurkan da-
rah. Saat itulah tiga orang yang keluar dari ruangan Ma-
ha Guru Besar Su Beng Siok menerabas masuk. Den-
gan cepat ketiga orang ini segera pula lepaskan pukulan ke arah Guru Besar Pu
Yi. Dengan posisi duduk, Guru Besar Pu Yi pejamkan
mata. Kedua tangan diangkat sejajar dada. Lalu dibu-
ka dan didorong ke depan.
Blammm! Blammm! Blammm!
Ruangan Guru Besar Pu Yi laksana dilanda gempa
luar biasa. Langit-langitnya runtuh. Dinding ruangan rengkah. Sosok Guru Besar
Pu Yi kembali terpental la-lu jatuh ke atas lantai setelah terlebih dahulu
menghantam dinding hingga jebol. Darah makin banyak
mengucur dari mulut dan hidungnya. Namun orang
tua ini segera menotok jalan darahnya hingga saat itu juga kucuran darahnya
terhenti. Namun sekonyong-konyong tiga orang yang tadi menghantam dinding se-
gera berkelebat. Disusul dengan berkelebatnya tiga sosok yang tadi mencelat
keluar. Keenam sosok ini ber-
kelebat ke arah Guru Besar Pu Yi. Kali ini mereka tidak lepaskan pukulan jarak
jauh. Namun arahkan ke-
lebatan tangan masing-masing ke arah sosok Guru Be-
sar Pu Yi. Guru Besar Pu Yi jatuhkan diri sama rata dengan
lantai ruangan. Saat bersamaan kakinya diangkat. La-


Joko Sableng 31 Wasiat Agung Dari Tibet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lu diputar dengan gerakkan tubuhnya terputar. Kedua
tangannya pun ikut berkelebat.
Terdengar beberapa kali benturan keras. Putaran
tubuh Guru Besar Pu Yi tampak tersentak-sentak. La-
lu kembali mental. Saat yang sama keenam sosok yang
menghujani sosok Guru Besar Pu Yi dengan hanta-
man, tersapu ke belakang dan sama jatuh terjengkang
dengan mulut keluarkan darah.
Saat itulah ketiga sosok yang menerabas belaka-
ngan segera berkelebat maju setelah tadi sama terka-
par akibat bentrok pukulan dengan Guru Besar Pu Yi.
Walau sudah terluka agak parah, namun Guru Be-
sar Pu Yi tidak begitu saja mengalah. Dengan sisa tenaga dalam yang dimiliki,
dia angkat kedua tangan-
nya. Ketiga orang yang menyergap maju, tak berani ber-
tindak ayal meski mereka tahu Guru Besar Pu Yi telah terluka parah. Malah mereka
bertiga urungkan niat
untuk teruskan kelebatan. Namun kini lepas pukulan
jarak jauh. Kembali terdengar gelegar ledakan. Untuk kesekian
kalinya sosok Guru Besar Pu Yi mencelat mental dan
jatuh kembali ke atas lantai setelah menghantam din-
ding. Namun karena telah terluka dalam cukup parah,
kali ini Guru Besar Pu Yi tak kuasa lagi untuk bergerak bangkit. Saat itulah
keenam orang yang tadi ter-
jengkang roboh sama lepaskan pukulan dengan posisi
duduk. Walau tenaga dalam keenam orang ini sudah tidak
sedahsyat yang pertama, namun karena pukulan itu
gabungan dari enam orang, sementara Guru Besar Pu
Yi tidak kuasa lagi untuk menghadang, maka tanpa
ampun lagi sosok Guru Besar Pu Yi terlempar. Lalu roboh ke atas lantai dengan
jiwa melayang! Di tempat ruang penyimpanan, satu sosok tubuh
hitam itu dengan mudah dapat melumpuhkan enam
penjaga. Saat lain dia mendobrak pintu lalu berkelebat
masuk. Dia putar pandangan sesaat. Lalu melompat ke
arah sebuah almari agak besar dari kayu.
Sekali sentak almari kayu porak-poranda dan ter-
buka. Orang ini cepat mengambil sebuah kotak dari
kulit. Saat lain berkelebat keluar lalu berlari ke arah pojok ruangan di samping
ruang penyimpanan.
Saat itulah kesembilan orang keluar dari ruangan
Guru Besar Pu Yi. Salah seorang di antaranya memberi isyarat. Lalu sendirian
orang ini berkelebat ke arah sosok yang memegang kotak dan tegak di pojok
ruangan dekat ruang penyimpanan.
Tanpa banyak bicara, orang yang memegang kotak
memberikan kotak kulit pada sosok hitam yang da-
tang. Saat lain orang ini berkelebat lalu menerobos ke bagian belakang sebelum
akhirnya lenyap.
Orang yang baru memberikan kotak kayu berkele-
bat ke sebuah ruangan lalu lenyap. Sementara hiruk-
pikuk masih terdengar di seluruh penjuru ruangan di-
tingkahi suara seruan tertahan dan jeritan.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suitan pan-
jang. Beberapa sosok hitam yang masih melepas puku-
lan menghadang beberapa murid Perguruan Shaolin,
segera lepas pukulan sekali lagi. Saat berikutnya mereka berkelebat berpencar.
Ada sebagian yang berkelebat dengan melewati pagar. Sebagian lagi tampak ber-
kelebat melewati pintu gerbang di depan.
Beberapa murid Perguruan Shaolin ada yang terus
lari mengejar. Namun suasana gelap dan curahan hu-
jan membuat murid Perguruan Shaolin akhirnya kehi-
langan jejak orang yang mereka kejar.
Ketika hujan telah reda dan matahari mulai pan-
carkan warna kekuningan di bentangan sebelah timur,
terlihat pemandangan lain di Perguruan Shaolin. Aro-
ma hawa kematian menebar di mana-mana hampir di
setiap ruangan!
SELESAI Segera menyusul:
KUIL ATAP LANGIT
Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Si Dungu 5 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Dendam Empu Bharada 4
^