Pencarian

Kuil Atap Langit 2

Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Bagian 2


pun tidak! Bayangan yang baru muncul tegak dua belas lang-
kah di sebelah samping sana. Joko memperhatikan se-
jenak. Tiba-tiba sepasang matanya mementang lebar.
Keningnya berkerut. Dan seolah belum percaya pada
pandang matanya, dia sorongkan kepala ke depan. Ma-
tanya makin dibeliakkan.
"Astaga! Kurasa mataku benar-benar melihat
bayangan tanpa melihat wajahnya!"
Dewi Bunga Asmara tak kalah kejutnya. Sepasang
matanya juga membelalak. Saat lain dia menoleh pada
Ratu Selendang Asmara. Namun yang dipandang tetap
tegak tanpa berpaling ke arah bayangan yang baru
muncul yang ternyata hanyalah bayangan satu sosok
tubuh. Anehnya, bayangan itu tidak memperlihatkan
wajah orang! Sebaliknya bayangan itu hanyalah se-
buah sosok hitam tanpa bentuk!
"Han Ko! Orang yang kutunggu akan segera mun-
cul! Lekas tinggalkan tempat ini!" Ratu Selendang Asmara berkata pada murid
Pendeta Sinting tanpa gerak-
kan kepala. Mungkin masih terkesima dengan apa yang dilihat,
Joko tidak turuti ucapan si nenek. Dia terus pandangi
bayangan hitam tanpa bentuk.
Karena ucapannya tak dituruti orang, si nenek ce-
pat melompat. Tangan kanannya bergerak mendorong
ke arah tubuh murid Pendeta Sinting.
Karena masih tercenung, terlambat bagi Joko untuk
berkelit dari dorongan tangan si nenek. Hingga sosoknya terlempar satu tombak!
Entah agar tidak dicurigai orang, meski Joko bisa
saja kuasai diri, namun dia tak berusaha untuk mem-
buat gerakan. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya ja-
tuh terjengkang!
Saat itulah terdengar suara.
Busss! Pendekar 131 segera berpaling. Bayangan tanpa
bentuk keluarkan asap hitam. Saat lain si bayangan
tanpa bentuk lenyap tak berbekas! Belum lagi asap hitam sirna, dari arah mana
tadi si bayangan tanpa bentuk datang, berkelebat dua bayangan hitam. Kejap lain
tahu-tahu dua bayangan hitam telah tegak tidak jauh
dari bayangan yang baru saja lenyap.
Lagi-lagi Joko dan Dewi Bunga Asmara pentangkan
mata. Di depan sana tegak dua sosok bayangan. Hanya
saja dua bayangan ini punya bentuk mirip sosok ma-
nusia. Cuma keduanya tidak memiliki wajah! Bagian
wajah bayangan hanya merupakan lapisan daging rata.
Ratu Selendang Asmara lagi-lagi tidak pedulikan
dua bayangan sosok manusia tanpa wajah yang baru
muncul, sebaliknya putar kepala ke arah Joko yang
masih terduduk di atas tanah. Sepasang matanya
mendelik angker. Saat lain terdengar bentakannya.
"Kau akan menyesal jika tidak turuti ucapanku!"
Tangan kanan si nenek terangkat. Namun dia urung-
kan niat ketika tiba-tiba dari arah dua bayangan terdengar deruan menyambar!
Ratu Selendang Asmara cepat putar tangan kanan-
nya yang sesaat tadi hendak lepaskan pukulan ke arah murid Pendeta Sinting.
Kejap lain tangan kanannya disentakkan ke arah dua bayangan hitam tanpa wajah
yang ternyata telah gerakkan tangan masing-masing.
Dari gerakan tangan dua bayangan hitam tanpa wa-
jah mencuat dua gelombang hitam disertai menderu-
nya dua gelombang angin dahsyat. Anehnya, begitu ge-
rakkan tangan, dua bayangan hitam tanpa wajah per-
dengarkan suara.
Busss! Busss! Saat kemudian dua bayangan hitam tanpa wajah
kepulkan asap hitam dan lenyap tanpa bekas!
Blammm! Blammm!
Terdengar dua kali ledakan keras ketika gelombang
angin dari gerakan dua bayangan hitam tanpa wajah
bertemu dengan gelombang yang menyambar dari ta-
ngan kanan Ratu Selendang Asmara.
Beberapa tumbuhan bunga di tempat itu porak-po-
randa membubung ke angkasa. Tanahnya bergetar dan
muncrat pula ke udara.
"Bayangan Tanpa Wajah!" Si nenek berteriak lan-
tang. "Mengapa kau takut unjuk diri"!"
Teriakan Ratu Selendang Darah belum selesai, satu
bayangan hitam berkelebat. Saat lain satu sosok tubuh telah tegak berjarak
sepuluh langkah dari tempat tegaknya Ratu Selendang Asmara.
Pendekar 131 segera bergerak bangkit. Lalu arah-
kan pandang matanya pada sosok tubuh yang tegak di
hadapan Ratu Selendang Asmara.
Dia adalah seorang laki-laki mengenakan pakaian
terusan warna hitam panjang sebatas lutut. Rambut-
nya hitam lebat digelung tinggi ke atas. Raut wajahnya telah dipenuhi dengan
kerutan tanda laki-laki ini usia-
nya sudah tidak muda lagi. Parasnya agak bulat de-
ngan sepasang mata sipit. Kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Anehnya, bukan
hanya pakaiannya yang
berwarna hitam, namun sekujur kulit laki-laki ini juga berwarna hitam legam!
Hingga yang terlihat putih dari raut wajahnya adalah larikan kecil pada bagian
kedua matanya! "Bayangan Tanpa Wajah.... Hem.... Itu pasti gelar
laki-laki aneh itu!" kata Joko dalam hati. "Ternyata bukan hanya di tanah Jawa
ada beberapa orang yang
memiliki keanehan. Dan...." Murid Pendeta Sinting putuskan kata hatinya.
Sepasang matanya mendelik. "As-
taga.... Keanehan apa lagi ini"!"
Laki-laki berwajah hitam di depan sana, tiba-tiba
tersenyum perlihatkan giginya yang putih. Namun saat lain samar-samar raut
wajahnya laksana ditutup dengan daging! Kejap kemudian raut wajahnya berubah
datar tanpa bentuk! Tapi hal itu cuma berlangsung sesaat. Saat lain kembali
parasnya membentuk raut wa-
jah. Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara terkesima.
Keduanya memandang tak berkesip. Lain halnya de-
ngan Ratu Selendang Asmara. Nenek ini tetap tegak
dan hanya melirik sesaat pada wajah orang yang beru-
bah. Saat lain si nenek telah buka suara.
"Bayangan Tanpa Wajah! Hampir dua belas tahun
aku menunggu pertemuan seperti ini! Kau pasti masih
ingat ucapan terakhirku pada dua belas tahun yang la-lu!" Sosok laki-laki hitam
yang dipanggil Bayangan Tanpa Wajah yang kini rautnya telah kembali membentuk
seperti raut orang biasa, buka matanya lebar-le-bar.
Bukannya memandang ke arah Ratu Selendang Asma-
ra, melainkan menatap tajam pada Dewi Bunga Asma-
ra. Lalu kepalanya bergerak. Kini sepasang mata-nya
diarahkan pada sosok murid Pendeta Sinting yang te-
gak di belakang sana.
Masih dengan arahkan pandang matanya pada Pen-
dekar 131, Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan sua-
ra. "Apa yang terjadi pada dua belas tahun lalu masih terpacak pada mata dan
telingaku! Tapi rupanya kau
masih belum percaya diri! Kau takut kejadian lalu ter-ulang lagi"!"
Ratu Selendang Asmara dapat menangkap maksud
ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Dia tertawa pendek.
Lalu buka mulut.
"Aku memang penuhi undanganmu dengan mem-
bawa satu muridku! Tapi kau tak perlu khawatir! Dia
hanya akan menyaksikan apa yang akan terjadi!"
Ucapan si nenek disambut Bayangan Tanpa Wajah
dengan perdengarkan suara tawa bergelak panjang.
"Tapi aku bukannya melihat satu orang yang kau ba-
wa!" Ratu Selendang Asmara putar sedikit kepalanya ke
arah Pendekar 131. Di lain pihak, karena dapat me-
nangkap gerakan kepala si nenek, Joko buru-buru a-
lihkan pandang matanya ke jurusan lain dengan mulut
perdengarkan siulan!
"Anak manusia itu bukan aku yang membawa! Dia
berada di sini sebelum aku datang! Kau jangan berpu-
ra-pura membalik kenyataan! Bukankah dia adalah
anak manusia yang kau suruh menyelidik sebelum
aku datang"!"
"Aku punya beberapa sahabat yang kupercaya! Aku
tak butuh bantuan seorang anak manusia! Percuma
aku bergelar Bayangan Tanpa Wajah kalau masih
membutuhkan bantuan manusia!"
Mendengar ucapan Bayangan Tanpa Wajah, Joko
putuskan siulannya. Lalu tanpa memandang ke arah
orang yang berada di situ, dia angkat bicara.
"Nek.... Apa kubilang.... Aku datang ke sini karena
punya janji dengan seseorang!"
"Hem.... Dari penampilan dan sosoknya, sepertinya
dia bukan orang sini! Jangan-jangan...." Bayangan
Tanpa Wajah membatin. Namun belum sempat dia te-
ruskan membatin, Ratu Selendang Asmara telah ber-
suara. "Kau telah dengar ucapannya, Bayangan Tanpa Wa-
jah! Kalau kau tak suka pertemuan dilihat orang lain, tidak sulit aku
mengusirnya dari sini!"
"Ratu Selendang Asmara! Sebenarnya aku memang
tak ingin pertemuan ini dihadiri orang lain tak terke-cuali gadis cantik di
belakangmu itu!" Sepasang mata Bayangan Tanpa Wajah mengarah pada dada dan paha
Dewi Bunga Asmara. "Namun, karena sudah terjadi,
apa boleh buat.... Hanya saja kau harus tahu. Unda-
nganku bukannya untuk meneruskan kejadian dua
belas tahun silam!"
Si nenek kerutkan dahi. Kepalanya menyentak
menghadap Bayangan Tanpa Wajah. Sepasang mata-
nya menyengat tajam. Saat lain dia membentak.
"Kau terlambat memberi tahu! Apa pun tujuan un-
danganmu, yang jelas kedatanganku untuk tuntaskan
kejadian dua belas tahun silam! Kau tahu, selama ku-
run waktu dua belas tahun, hatiku tidak bisa tenang, tidurku tak bisa nyenyak!
Aku selalu menunggu dan
menanti pertemuan seperti ini! Jadi jangan coba-coba berdalih untuk mengalihkan
persoalan!"
Bayangan Tanpa Wajah tertawa panjang seraya ge-
lengkan kepala. "Aku tahu apa yang kau rasakan! Ma-
lah sebenarnya aku ingin sekali pertemuan seperti ini
segera berlangsung agar bebanku segera selesai! Aku
tak ingin dendam di dadamu terus membara! Tapi
keadaan rupanya berubah.... Ada sesuatu yang meng-
haruskan kita untuk sementara waktu melupakan ke-
jadian lama!"
"Tak ada keadaan yang bisa merubah niatku, Baya-
ngan Tanpa Wajah!"
"Pada mulanya aku berpendapat sepertimu! Tapi
keadaan ini benar-benar dapat merubah niatanku ju-
ga! Dan kalaupun kau tak setuju dengan usulku nanti, harap kau sabar menunggu!
Aku akan selesaikan tugas terlebih dahulu lalu kita adakan pertemuan lagi
untuk selesaikan sengketa lama!"
"Aku tak bisa menunggu lagi! Aku tak ingin nyawa-
mu tercabut tangan orang lain!" kata si nenek seraya angkat tangan kiri
kanannya. "Aku bisa menjaga selembar nyawaku! Kau tak per-
lu gelisah pikirkan nyawaku! Dan kuharap kau dengar
dulu ucapanku!"
Ratu Selendang Asmara tertawa sinis. "Baiklah....
Aku akan dengar ucapanmu. Tapi harus kau ingat,
apa pun nanti yang akan kau ucapkan, semua itu tak
dapat merubah niat yang kupendam selama dua belas
tahun!" Bayangan Tanpa Wajah tak pedulikan ancaman o-
rang. Dia buka mulut tanpa membuat gerakan meski
tahu kalau si nenek telah siap lepaskan pukulan.
"Aku mendapat undangan dari Yang Mulia Baginda
Ku Nang. Dia menjanjikan hadiah besar untuk satu
pekerjaan mudah!"
"Hem.... Jadi kau telah menjadi antek kerajaan! Te-
ruskan bicaramu!" kata Ratu Selendang Asmara seraya
tertawa. "Aku hanya diberi tugas untuk menangkap seorang
pemuda asing!"
"Hik.... Hik.... Hik...! Untuk menangkap seorang
pemuda asing saja kau mau bersekongkol denganku!"
ujar si nenek dengan tertawa cekikikan.
"Pada awalnya aku memang tidak tertarik dengan
tawaran itu. Hadiah sebesar apa pun juga tak ada gu-
nanya bagiku! Namun satu hal yang membuatku terta-
rik dan menerima tawaran itu...."
"Cukup!" putus Ratu Selendang Asmara. "Aku tidak
tertarik dengan lanjutan ucapanmu! Itu adalah uru-
san-mu dan sekarang kita selesaikan urusan kita!"
"Aku belum selesai berkata!" bentak Bayangan Tan-
pa Wajah yang sedari tadi telah menindih gejolak amarah mendapati ejekan si
nenek. "Pemuda asing itu me-
nyembunyikan seseorang bernama Yang Kui Tan yang
diduga membawa bagian dari peta wasiat yang selama
ini diincar kalangan rimba persilatan!"
Sekonyong-konyong Ratu Selendang Asmara pu-
tuskan tawanya. Kedua tangannya serentak diluruh-
kan ke bawah. Saat lain dia melompat lalu tegak enam langkah di hadapan Bayangan
Tanpa Wajah. Di lain pihak, mendengar percakapan Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Pendekar
131 terkesiap kaget. Paras wajahnya berubah tegang.
Dari percakapan kedua orang tadi, dia sudah maklum
siapa gerangan yang dimaksud pemuda asing oleh
Bayangan Tanpa Wajah.
"Apakah aku harus segera tinggalkan tempat ini"!
Ah.... Itu akan menambah kecurigaan mereka! Se-
baiknya aku menunggu seraya mencuri dengar perca-
kapan mereka!" kata Joko dalam hati. Dia kembali ber-siul namun sepasang
telinganya dipasang dengan sek-
sama. Kepalanya didongakkan seolah acuh dengan
keadaan di tempat itu. Namun begitu, dadanya masih
berdebar dan dia makin tingkatkan kewaspadaan.


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak main-main dengan ucapanmu"!" Ratu Se-
lendang Asmara ajukan tanya.
Mendapati perubahan sikap si nenek, Bayangan
Tanpa Wajah tertawa seraya gelengkan kepala. "Aku
sengaja mengundangmu untuk lakukan pekerjaan ini,
karena aku tahu kaulah salah satu orang yang memi-
liki ilmu tinggi di daratan ini!"
"Tapi kalau nanti aku setuju, bukan berarti aku
mengharapkan imbalan hadiah! Yang kuinginkan ada-
lah peta wasiat itu! Peduli setan dengan keinginan
Yang Mulia Baginda Ku Nang!" kata Ratu Selendang
Asmara. "Kita punya maksud yang sama! Dan aku tahu ba-
gaimana caranya setelah nanti peta wasiat itu berada di tangan kita!"
"Tapi menurut yang pernah kudengar, sebagian dari
peta wasiat itu berada di Perguruan Shaolin."
"Rupanya kau telah lama tak turun gunung hingga
tak tahu apa yang telah terjadi!"
"Apa maksudmu..."!" tanya si nenek.
"Dua atau tiga malam yang lalu, terjadi peristiwa
berdarah di Perguruan Shaolin. Maha Guru Besar Su
Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi tewas dalam peristiwa itu!"
"Tapi masih ada Guru Besar Liang San dan Guru
Besar Wu Wen She!"
"Guru Besar Wu Wen She lenyap begitu peristiwa
terjadi. Kini perguruan itu dipimpin Guru Besar Liang San! Tanpa Maha Guru Besar
Su Beng Siok dan Guru
Besar Pu Yi, rasanya mudah bagi kita untuk menero-
bos masuk!"
"Baik, aku terima usulmu! Kita bersatu untuk men-
dapatkan pemuda asing itu! Tapi apa tidak lebih baik
kalau kita menerobos dahulu Perguruan Shaolin" Begi-
tu kita berhasil, baru kita cari pemuda asing itu!"
Bayangan Tanpa Wajah gelengkan kepala. "Kalau
Yang Mulia Baginda Ku Nang menginginkan peta wa-
siat dari pemuda asing itu, tentu dia tak akan lengah untuk membiarkan Perguruan
Shaolin tanpa penjagaan beberapa orang sahabat Baginda Ku Nang. Aku ya-
kin saat ini Perguruan Shaolin dalam pengawasan pi-
hak kerajaan meski pengawasan itu dilakukan bebera-
pa orang dari luar orang kerajaan. Baginda Ku Nang
tidak mungkin ceroboh untuk menempatkan orang-
orang kerajaan untuk mengawasi, karena hal itu akan
menimbulkan urusan!"
Bayangan Tanpa Wajah hentikan ucapannya sesaat.
Lalu meneruskan. "Untuk sementara ini kita terpaksa
mencari pemuda asing itu! Dan sambil lalu kita pasang telinga mencari kabar
bagaimana keadaan di Perguruan Shaolin!"
"Siapa nama pemuda asing itu" Dan bagaimana ci-
ri-cirinya"!"
Pertanyaan Ratu Selendang Asmara membuat Joko
segera palingkan kepala dengan kuduk merinding. Na-
mun dia sengaja bersikap biasa malah keraskan siu-
lannya dan bergumam tak jelas seperti orang tengah
dendangkan nyanyian.
"Dia mengenakan jubah hitam. Wajahnya tampan.
Tidak seorang pun yang mengetahui siapa namanya!
Hanya saja menurutku dia bukan pemuda sembara-
ngan! Dia berhasil lolos dari hadangan Panglima Muda Lie dan beberapa pengawal
kerajaan! Untuk itulah
mengapa Yang Mulia Baginda Ku Nang mengundang
beberapa sahabatnya yang dikenal memiliki ilmu tinggi untuk mencari sekaligus
menangkap pemuda itu!"
"Bagaimana Baginda bisa yakin pemuda itu yang
membawa peta wasiat"!"
"Aku sendiri tak tahu persis bagaimana duduk uru-
sannya hingga Baginda Ku Nang terlibat dalam masa-
lah ini! Tapi dari peristiwanya, jelas Yang Mulia punya hubungan dekat dengan
orang dalam Perguruan Shaolin. Kalau tidak, bagaimana dia tahu kalau seseorang
bernama Yang Kui Tan mengadakan perjalanan untuk
mengambil peta wasiat itu dari tempat penyimpanan-
nya"!" Bayangan Tanpa Wajah hentikan lagi ketera-
ngannya seraya menghela napas. Saat kemudian dia
buka mulut lagi.
"Menurut kabar yang kudengar dari Baginda, Yang
Kui Tan telah terluka parah. Namun dia masih sempat
merebut sebuah perahu milik pengawal kerajaan. Pan-
glima Muda Lie bersama beberapa anak buahnya sege-
ra mengejar. Namun karena besarnya gelombang, Pan-
glima Muda Lie dan beberapa pengawal kerajaan serta
beberapa orang sahabat Baginda kehilangan jejak. Ke-
tika gelombang telah reda, tiba-tiba Panglima Muda Lie dan anak buahnya melihat
perahu yang tadi ditum-pangi Yang Kui Tan. Namun mereka jadi tercengang
ketika mendapati si penumpang perahu bukanlah
Yang Kui Tan. Melainkan seorang pemuda asing!"
Bayangan Tanpa Wajah mengatur napasnya sejenak
sebelum melanjurkan.
"Namun Panglima Muda Lie merasa curiga pada se-
buah barang di lantai perahu yang ditutup dengan se-
buah jubah hitam. Panglima Muda Lie menduga tubuh
Yang Kui Tan berada di balik jubah hitam itu! Tapi si pemuda asing penumpang
perahu tak mau mengaku!
Akhirnya terjadi bentrok. Beberapa anak buah Pang-
lima Muda Lie tewas. Panglima sendiri terluka! Perahu itu terus menuju ke
pesisir Tibet. Namun sejak kejadian itu, si pemuda asing dan Yang Kui Tan lenyap
tak ada kabar beritanya!"
"Apa kira-kira mereka tidak menyelinap masuk ke
dalam Perguruan Shaolin?"
"Beberapa orang kerajaan dan sahabat Baginda Ku
Nang telah diperintahkan berjaga-jaga di perbatasan
daerah yang memasuki Perguruan Shaolin. Tapi sam-
pai sejauh ini tidak ada laporan tentang kedatangan
pemuda asing itu ke Perguruan Shaolin hingga terjadi peristiwa berdarah yang
menewaskan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi!"
"Hem.... Lalu apa rencanamu sekarang"!" tanya Ra-
tu Selendang Asmara.
"Kita mulai mencari dari pesisir!"
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah hen-
dak berkelebat. Namun diurungkan ketika matanya
melirik dia tidak lagi mendapati sosok murid Pendeta Sinting.
"Siapa pemuda itu tadi"!" Bayangan Tanpa Wajah
bertanya. Sepasang matanya mengedar berkeliling
mencari-cari. Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara
sama arahkan pandang matanya ke tempat di mana
tadi Pendekar 131 tegak berdiri. Keduanya sama terkejut melihat sosok murid
Pendeta Sinting telah tidak
ada lagi di tempatnya.
"Dia mengaku bernama Han Ko! Dia tengah me-
nunggu seseorang di sini!" Si nenek menjawab.
"Aneh.... Meski aku hanya melihat sebagian wajah-
nya, namun aku hampir merasa yakin dia bukan orang
sini!" gumam Bayangan Tanpa Wajah.
"Dia memang mengaku dilahirkan jauh dari sini.
Lagi pula mengapa kau menaruh curiga padanya" Dia
tidak memiliki ilmu.... Jadi bukan dia pemuda asing
itu!" kata Ratu Selendang Asmara.
"Sebagai orang yang tengah diburu, tak mungkin
dia mau tunjukkan siapa dia sebenarnya! Dia pasti
akan memerankan sebagai orang bodoh agar luput dari
perhatian orang! Kau tertipu.... Kita kejar dia! Pasti belum jauh dari sini!"
Tanpa menunggu sambutan Ratu Selendang Asma-
ra, Bayangan Tanpa Wajah berkelebat. Ratu Selendang
Asmara menyeringai dan tersenyum mengejek. Namun
dia segera memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara.
Saat lain kedua guru dan murid ini berkelebat menyu-
sul Bayangan Tanpa Wajah!
*** ENAM PENDEKAR 131 Joko Sableng berlari laksana di-
kejar setan. Karena dia belum paham benar daerah
yang dilewati, dia berlari tanpa memperhatikan arah.
Yang terpikir dalam benaknya, dia harus menjauh dari tempat di mana terjadi
pertemuan antara Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara. Malah dia
sendiri belum tahu apa yang akan dilakukan. Yang terpikir hanya berlari dan
berlari menjauh.
Sementara di tempat terpisah, Bayangan Tanpa Wa-
jah tiba-tiba hentikan larinya. Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara ikut
berhenti. "Kalau dia merasa tak ada kaitannya dengan uru-
san yang tengah kita lakukan sekarang ini, tak mung-
kin dia pergi begitu saja! Dan melihat kita kehilangan jejaknya, apa kau kira
dia pemuda bodoh yang tak mengerti ilmu silat?" Bayangan Tanpa Wajah buka mulut
seraya edarkan pandangan.
"Hem...." Ratu Selendang Asmara hanya mendehem
tanpa menyahut. Namun diam-diam dalam hati dia
membenarkan ucapan Bayangan Tanpa Wajah. Se-
mentara Dewi Bunga Asmara juga membatin. "Tak ku-
sangka jika pemuda tampan itu memiliki ilmu tinggi!
Raut wajahnya memang seperti bukan orang daerah
sini! Tapi apa mungkin dia pemuda asing yang dicari
Bayangan Tanpa Wajah"!"
"Kau harus lakukan sesuatu! Setinggi apa pun ilmu
yang dimiliki, pasti dia belum jauh dari sini!" kata Ratu Selendang Asmara.
Bayangan Tanpa wajah anggukkan kepala. Kedua
tangannya ditakupkan di depan kepala. Saat lain dia perdengarkan bentakan keras
seraya buka takupan
kedua tangannya.
Saat bersamaan dari kedua tangan Bayangan Tanpa
Wajah mengepul asap hitam. Asap itu membentuk ja-
lur lurus ke udara. Lalu melayang jatuh ke bawah. Begitu asap hitam menyentuh
tanah, terjadi hal yang luar biasa.
Asap hitam perdengarkan suara deruan. Saat lain
asap hitam membentuk dua bayangan hitam seperti
sosok manusia. Hanya saja raut wajahnya rata tak
berbentuk. Inilah ilmu 'Bayangan Asap'. Sebuah ilmu
yang membuat Wang Cen digelari rimba persilatan de-
ngan Bayangan Tanpa Wajah. Karena dia bisa meru-
bah asap hitam menjadi sosok bayangan manusia tan-
pa wajah. Bukan hanya itu saja, dua bayangan tanpa
wajah itu bisa melepas pukulan yang dimiliki Wang
Cen dan bisa menghadang pukulan orang!
Wang Cen alias Bayangan Tanpa Wajah hentakkan
kaki kanan. Saat yang sama mulutnya perdengarkan
perintah. "Kejar pemuda itu!"
Seolah punya telinga seperti manusia biasa, dua
bayangan hitam putar diri. Saat berkelebat satu berlari ke arah kanan dan
satunya lagi berlari mengambil
arah berlawanan.
"Kita mengambil arah tengah!" kata Bayangan Tan-
pa Wajah. Lalu berkelebat. Ratu Selendang Asmara ti-
dak menunggu lama. Dia memberi isyarat pada Dewi
Bunga Asmara lalu berlari di belakang Bayangan Tan-
pa Wajah. Sementara itu, di satu tempat yang dirasa agak
aman dan banyak tempat berlindung dari batu-batuan
besar, murid Pendeta Sinting memperlambat larinya.
Dia memilih batu agak besar lalu menyelinap dan du-
duk bersandar seraya menarik napas dalam-dalam.
"Langkahku kini semakin tak bebas lagi! Selain ru-
paku mudah dikenali kalau bukan berasal dari daerah
ini, kini banyak orang yang telah diperintah untuk
mencariku! Hem.... Urusan ini ternyata tak semudah
yang kubayangkan!" gumam Joko lalu pejamkan sepa-
sang matanya berpikir apa yang kini harus dilakukan.
Belum lagi dia dapat menemukan jalan apa yang
harus dilakukan, dia merasakan deruan angin pelan
dari samping kiri. Tanpa buka mata dan berpaling,
murid Pendeta Sinting sudah maklum kalau sekarang
dia tidak berada sendirian di tempat itu. Dan belum
sampai Joko membuat gerakan, satu suara terdengar.
"Jangan mimpi kau bisa lolos sebelum jawab bebe-
rapa pertanyaanku!"
Dengan dada berdebar, Joko bergerak bangkit. Lalu
perlahan-lahan buka sepasang matanya dengan bibir
tersenyum. Namun jelas senyum itu untuk menutupi
rasa kejutnya. "Bayangan Tanpa Wajah!" gumam Joko dalam hati
begitu melihat sosok yang tegak tidak jauh dari sam-
pingnya. "Ke mana Ratu Selendang Asmara dan Dewi
Bunga Asmara?" Joko edarkan pandangan. Namun ba-
ru saja dia gerakkan kepala, satu suara menyeruak.
"Kau mencariku, Han Ko"!"
Pendekar 131 putar diri. Di belakangnya tegak Ratu
Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara. Joko ter-
senyum seraya mainkan ujung caping lebarnya.
"Kalian mencariku..."! Atau sengaja lewat sini"!" Jo-ko ajukan tanya.
"Bukan kami yang harus jawab tanyamu! Tapi kau
yang harus jawab pertanyaan kami!" Bayangan Tanpa
Wajah perdengarkan suara. Saat lain kedua tangannya
ditakupkan di depan kepala. Kaki kirinya menghentak
ke tanah. Tiba-tiba dari arah barat dan timur tampak membubung asap hitam. Asap
hitam membentuk jalur
lurus lalu menukik deras dan kejap lain asap hitam
masuk ke dalam kedua tangan Bayangan Tanpa Wa-
jah. "Siapa kau sebenarnya"!" Bayangan Tanpa Wajah
ajukan tanya dengan suara keras.
Murid Pendeta Sinting putar wajah menghadap
Bayangan Tanpa Wajah. "Apakah kau belum diberi ta-
hu oleh sang Ratu"!"
"Aku tanya! Jangan berani balik ajukan tanya!" sen-
tak Bayangan Tanpa Wajah.
"Masa kecilku aku diberi nama Lon Tong Bu Lim....
Nama itu kusandang hingga aku menginjak usia sepu-
luh tahun. Sepuluh tahun ke atas, aku jumpa dengan
seorang sahabat di sekitar daerah sini. Dia bilang aku tak cocok menyandang nama
Lon Tong Bu Lim. Lalu


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia memberiku nama Han Ko! Nama itulah yang kini
kusandang! Tapi aku menyerah saja pada orang mau
panggil yang mana boleh!"
"Kau dilahirkan di mana"!" Kembali Bayangan Tan-
pa Wajah ajukan tanya.
Murid Pendeta Sinting terdiam sesaat. "Aku lahir
di.... Di...."
"Di mana"!" bentak Bayangan Tanpa Wajah karena
Joko tidak segera lanjutkan ucapannya.
"Di kampung Nang Ku!" kata Joko dengan menahan
tawa dalam hati.
Seperti halnya saat ditanya Ratu Selendang Asmara
tengah menunggu siapa, Joko hanya membalik nama
Mei Hua menjadi Hua Mei. Dan begitu ditanya oleh
Bayangan Tanpa Wajah, karena merasa kesulitan un-
tuk mencari nama, akhirnya Joko hanya membalik
nama Baginda Ku Nang menjadi Nang Ku.
Sementara mendengar jawaban murid Pendeta Sin-
ting, kening hitam Bayangan Tanpa Wajah tampak ber-
kerut. Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Dewi Bunga Asmara saling lirik.
"Hem.... Selama hidup aku baru dengar nama kam-
pung yang disebut pemuda ini! Jangan-jangan dia
hanya mengarang!" kata Bayangan Tanpa Wajah dalam
hati. Saat lain orang berwajah hitam legam ini kembali buka mulut ajukan tanya.
"Kau dari perguruan mana"!"
"Ah.... Aku tidak masuk dalam perguruan mana
pun! Aku hidup berkelana dari satu daerah ke daerah
lainnya! Cuma aku memang agak lama di daerah ini!
Karena terus terang saja, aku punya seorang kekasih
di daerah ini! Jadi tak mungkin aku teruskan perjalanan berkelana! Hanya...."
"Hanya apa"!" Kali ini yang menyahut adalah Ratu
Selendang Asmara. Sementara Dewi Bunga Asmara
tampak unjukkan wajah tak senang mendengar kete-
rangan Joko. "Hanya aku tadi merasa menyesal! Kekasihku tak
menepati janji! Kami telah sepakat untuk bertemu hari ini di tempat aku jumpa
kalian tadi! Namun kalian ta-hu sendiri. Dia tidak datang untuk tepati janji!
Padahal...."
"Cukup!" tukas Bayangan Tanpa Wajah. Dia me-
langkah mendekati murid Pendeta Sinting. Kuduk Jo-
ko jadi dingin. Namun sekuat tenaga dia coba mena-
han diri agar tidak gugup dan membuat orang curiga.
"Kau berkata dusta! Berpuluh-puluh tahun aku hi-
dup di sini. Tapi belum pernah aku dengar kampung
bernama Nang Ku!"
Joko tunjukkan tampang terkejut. Bukan karena o-
rang telah tahu kalau dibohongi, namun karena seolah heran dengan keterangan
orang. "Jadi kau belum pernah dengar Kampung Nang
Ku"!" tanya Joko seraya tertawa bergelak. "Sekarang
aku tanya, apakah kau dengar kampung bernama San
Liang"!"
Bayangan Tanpa Wajah lagi-lagi kernyitkan kening.
Perubahan sikap orang telah membuat Joko maklum.
Dia alihkan pandang matanya pada Ratu Selendang
Asmara dan Dewi Bunga Asmara. "Kalian pernah de-
ngar"!"
Ratu Selendang Asmara tidak buka mulut menja-
wab atau membuat gerakan jawaban. Di sebelahnya
Dewi Bunga Asmara gelengkan kepala. Joko kembali
arahkan pandangan pada Bayangan Tanpa Wajah.
"Bagaimana"! Kau pernah dengar"!"
"Di daerah ini tak ada kampung bernama San
Liang!" "Hem.... Aku sekarang tak heran. Kalau kalian tak
tahu Kampung San Liang, mana mungkin kalian akan
tahu Kampung Nang Ku!" kata Joko seraya dongakkan
kepala. Tangan kanannya diangkat lalu berucap.
"Kalian pasti tahu Gunung Sim Yao In. Sebelah se-
latan gunung itu berjarak kira-kira seribu lima ratus tombak, ada sebuah dusun
kecil yang dihuni beberapa
orang. Itulah Kampung San Liang. Dari Kampung San
Liang ke arah selatan lagi berjarak lima puluh tombak, ada sebuah kampung yang
juga dihuni beberapa orang
saja. Itulah Kampung Nang Ku! Kalau kalian tak per-
caya, aku bisa mengantar kalian! Tapi tidak hari ini.
Sebab aku masih harus bertemu kekasihku untuk
mengetahui duduk soalnya mengapa dia sampai tak
datang tepati janji!"
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra saling pandang. Joko tersenyum lalu berkata. "Ma-
sih ada yang hendak kalian tanyakan"!"
"Kau bisa berlari cepat. Sementara kau tak berguru
pada perguruan mana pun! Itu adalah hal yang mus-
tahil!" Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Di kam-
pung kelahiranku, meski hanya dihuni beberapa o-
rang, namun setiap tujuh hari sekali diadakan lomba
lari mengitari sebuah lapangan! Setiap pemenang akan mendapatkan hadiah. Malah
untuk calon kepala kampung, dia harus orang yang paling cepat larinya! Itulah
sebabnya setiap orang pasti berlatih lari tiap pagi dan sore. Selain untuk
merebut hadiah, siapa tahu dia kelak bisa menjadi kepala kampung! Jadi harap
tidak heran kalau aku bisa berlari cepat!"
Pendekar 131 pandang silih berganti pada ketiga
orang yang ada di situ. Lalu tengadah dan berkata.
"Hari sudah akan sore. Aku harus menemui keka-
sihku!" Joko luruskan kepala dan berpaling pada Dewi Bunga Asmara. Sepasang
matanya melirik pada dada
dan paha gadis cantik itu. Lalu tersenyum sembari ke-dipkan sedikit mata
kirinya. Saat lain dia melangkah.
Wajah si gadis tampak sedikit berubah namun bibir-
nya sunggingkan senyum.
"Jangan berani beranjak dari tempatmu!" Bayangan
Tanpa Wajah menahan. Pendekar 131 hentikan lang-
kah lalu menoleh. Tapi kali ini dia tak berusaha untuk angkat bicara.
"Aku tidak percaya pada semua keteranganmu! Pas-
ti kau orang asing di negeri ini!" kata Bayangan Tanpa Wajah.
"Hem.... Aku tak aneh mendengar ucapanmu! Kare-
na bukan sekali ini saja aku mendengarnya! Beberapa
orang yang baru pertama kali melihatku pasti menga-
takan seperti ucapanmu!"
"Aku harus mencobanya! Kalau benar-benar tak
dapat menahan pukulanku, berarti bukan dia pemuda
asing itu!" kata Bayangan Tanpa Wajah dalam hati.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi, dia angkat kedua ta-
ngannya. Sekonyong-konyong dia sentakkan tangan
kiri kanan melepas pukulan jarak jauh ke arah murid
Pendeta Sinting!
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang deras menghampar. Meski Joko su-
dah waspada dan bisa menahan pukulan orang, na-
mun karena tak mau dicurigai, dia sengaja tidak
menghadang pukulan yang datang ke arahnya. Seba-
liknya dia takupkan kedua tangannya di atas caping
lebarnya. Saat bersamaan dia lorotkan tubuh lalu disentakkan ke bawah. Hingga
saat itu juga sosoknya te-
lungkup sejajar tanah! Namun demikian gerakannya
itu menyelamatkannya dari gelombang yang datang
menghajar. Brakk! Brakk! Dua gugusan batu di belakang sana langsung pecah
berantakan terhantam pukulan gelombang yang luput
menghajar sasaran.
"Mengapa kalian hendak membunuhku"! Apa salah
dan dosaku"! Apa ada ucapanku yang menyinggung
perasaan kalian"! Apa ada tindakanku yang membuat
kalian...."
Belum sampai murid Pendeta Sinting lanjutkan
ucapannya, dua gelombang kembali telah melabrak ke
arahnya. Tanah tampak berhamburan ke udara karena
tersapu gelombang yang sengaja diarahkan menyusur
tanah karena sosok Joko masih telungkup sejajar ta-
nah. "Celaka!" gumam Joko seraya mendelik.
Karena pukulan itu dilepas dari jarak yang tidak
jauh, sementara posisi Joko dalam keadaan telungkup, maka sulit baginya untuk
membuat gerakan menghindar. Sebab biarpun dia membuat gerakan melenting Ke
udara, sambaran gelombang itu pasti masih akan me-
labraknya! Maka karena satu-satunya jalan adalah
menghadang pukulan yang datang, terpaksa Joko ang-
kat kedua tangannya lalu disorong ke depan.
Bummm! Bummm! Terdengar ledakan dua kali. Tanah yang tadi hanya
tersapu kini muncrat sampai satu setengah tombak ke
udara. Bukan hanya itu saja, mungkin masih mengira
orang tidak akan menghadang pukulannya, Bayangan
Tanpa Wajah tidak siap menahan bentroknya pukulan.
Hingga begitu bentrok pukulan terjadi, sosoknya sem-
pat terhuyung tiga langkah ke belakang. Saat bersa-
maan, murid Pendeta Sinting bergerak bangkit sambil
terus tekan caping lebarnya karena khawatir akan tersapu bias bentroknya
pukulan. Dan begitu melihat
huyungan sosok Bayangan Tanpa Wajah, dengan mi-
mik seolah tak mengerti dia angkat suara.
"Apa yang terjadi..."!"
Bayangan Tanpa Wajah tegak dengan mata mende-
lik berkilat dan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.
"Hem.... Pemuda ini ternyata membekal ilmu! Na-
mun dia coba menutupi dengan lagak konyol!" batin
Ratu Selendang Asmara. "Jangan-jangan dugaan
Bayangan Tanpa Wajah benar jika pemuda inilah
orang asing itu!"
"Han Ko!" bentak Ratu Selendang Asmara. "Kami ti-
dak akan membuat urusan denganmu meski dunia
kami hanya ada dua pilihan yaitu membunuh dan di-
bunuh! Beri keterangan yang jelas di mana kau sem-
bunyikan orang yang bernama Yang Kui Tan! Jika itu
kau lakukan, maka kau akan kubebaskan dalam uru-
san ini!" "Nek.... Jangan membuatku jadi bingung dengan
pertanyaan yang tak kumengerti! Aku tak kenal de-
ngan orang yang kau sebut!"
"Berarti kau pilih masuk duniaku! Membunuh atau
dibunuh!" "Tidak, tidak!" kata Joko sembari geleng kepala.
"Aku tak pilih duniamu! Karena duniaku lebih asyik....
Tak ada kata bunuh-bunuhan! Yang ada kata mesra-
mesraan!" Belum sampai ucapan Joko selesai, Bayangan Tan-
pa Wajah sudah membuat gerakan melompat. Bukan
ke arah Joko melainkan mendekati Ratu Selendang
Asmara. Saat lain dia berbisik.
"Aku makin yakin pemuda inilah orang asing itu.
Tapi ingat, jangan sampai dia mampus! Kita hanya
perlu melumpuhkannya lalu kita korek keterangan da-
ri mulutnya!"
Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala. Kejap
lain kedua orang tua ini telah angkat kedua tangan
masing-masing. "Aku sudah bilang tak mau masuk dunia kalian!
Mengapa kalian sepertinya memaksa"!"
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra tidak ada yang menyahut. Sebaliknya cepat sentak-
kan tangan masing-masing melepas satu pukulan!
*** TUJUH TERDENGAR deruan dua gelombang luar biasa ga-
nas. Dua angin berkiblat laksana prahara. Untuk ke-
sekian kalinya udara di tempat itu disamaki muncra-
tan tanah yang tersapu gelombang.
Murid Pendeta Sinting tak punya pilihan lain kecua-
li harus menghadang pukulan yang datang. Dia cepat
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan
serta-merta lepaskan pukulan dengan dorong kedua
tangannya. Dua gelegar segera terdengar saat pukulan yang di-
lepas Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa
Wajah bentrok dengan pukulan jarak jauh yang di-
lepas Joko. Sosok Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang
Asmara tampak tersurut dua langkah dengan wajah
sama berubah pucat. Tangan masing-masing orang
bergetar keras. Di lain pihak, sosok murid Pendeta
Sinting juga tersapu dan mundur dua tindak. Paras
wajahnya juga pias. Sementara di sebelah samping,
Dewi Bunga Asmara segera melompat begitu bentrok
pukulan terjadi. Namun entah mengapa, begitu leda-
kan terdengar, gadis cantik bertubuh menggoda ini bukannya berpaling ke arah
Ratu Selendang Asmara, me-
lainkan menoleh ke tempat Joko tadi tegak berdiri
menghadang pukulan! Wajahnya jelas membayangkan
rasa khawatir dan cemas!
"Hem.... Aku sekarang jadi yakin...." Ratu Selendang Asmara bergumam dengan
kepala menoleh pada
Bayangan Tanpa Wajah. "Pemuda ini membekal ilmu
tinggi! Kita tak boleh memandang sebelah mata kalau
tidak ingin mendapat celaka!"
"Tapi ingat! Keterangan dari mulutnya sangat kita
perlukan! Kalau sampai dia mampus, lepas pula apa
yang kita inginkan!" sahut Bayangan Tanpa Wajah.
"Kita coba dengan bentrok langsung!"
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah sege-
ra berkelebat ke depan. Ratu Selendang Asmara tidak
menunggu. Begitu Bayangan Tanpa Wajah berkelebat,
dia segera pula melesat ke depan.
Joko tak mau bertindak ayal. Dia tidak menunggu
datangnya pukulan lawan. Begitu melihat gerakan o-
rang berkelebat, dia cepat pula melompat dan me-
nyongsong. Tangan kiri kanan menghadang pukulan
Bayangan Tanpa Wajah, sementara kaki kanannya


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat gerakan menghadang sergapan kedua tan-
gan Ratu Selendang Asmara!
Sergapan Joko membuat Bayangan Tanpa Wajah
dan Ratu Selendang Asmara sempat terkesiap kaget
karena mereka sama sekali tidak menduga. Hingga
mereka berdua lepaskan pukulan tanpa pengerahan
tenaga dalam penuh karena telah dipotong oleh serga-
pan gerakan murid Pendeta Sinting.
Bukkk! Bukkk! Bukkk!
Terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut.
Tubuh Pendekar 131 mental balik dan terhuyung se-
saat. Namun segera dapat kuasai diri meski dia mera-
sakan dadanya nyeri dan kedua tangan serta kaki ka-
nannya laksana menghantam dinding kokoh. Aliran
darahnya menyentak-nyentak dan mulutnya tampak
terbuka menutup megap-megap!
Di pihak lain, tubuh Bayangan Tanpa Wajah mence-
lat terbang seraya perdengarkan seruan tertahan.
Orang berwajah hitam ini memang tidak sampai jatuh
menghantam tanah. Namun karena sewaktu lepaskan
pukulan dalam keadaan belum siap betul, maka tak
ampun lagi dia merasakan dadanya sesak dan kedua
tangannya lunglai. Dia cepat salurkan tenaga dalam
dan mengurut dadanya ketika merasakan perutnya
mual tanda ia mengalami cedera dalam walau tidak
parah. Di sebelahnya, begitu benturan terjadi, kedua tan-
gan Ratu Selendang Asmara tampak terlempar balik ke
belakang. Hal ini membuat sosoknya terputar di udara sebelum akhirnya
terpelanting di atas udara. Untung
nenek ini cepat membuat gerakan jungkir balik satu
kali, hingga meski sempat terhuyung-huyung kala
mendarat di atas tanah, namun tidak sampai terjerem-
bab! "Harap dimaafkan.... Aku tidak punya waktu ba-
nyak untuk terus berada di sini! Aku harus menemui
kekasihku...," ujar Joko.
"Kau tak akan meninggalkan tempat ini tanpa men-
jawab jujur pertanyaan kami!" sahut Ratu Selendang
Asmara. Si nenek telah sentakkan selendang hitam di
pundaknya. Selendang hitam panjang itu diputar-pu-
tar perdengarkan deruan angker. Tidak jauh dari Ratu Selendang Asmara, Bayangan
Tanpa Wajah memandang tajam dengan mulut terkancing rapat. Kedua
tangannya menakup di atas kepala.
Pendekar 131 sempat terkesiap ketika melihat paras
wajah Bayangan Tanpa Wajah. Karena wajah orang ini
berubah-ubah. Sesaat tampak membentuk seperti raut
wajah orang biasa, namun saat lain berubah menjadi
tanpa bentuk. Hal ini berlangsung terus menerus. Inilah tanda jika Bayangan
Tanpa Wajah telah dilanda
kemarahan besar!
Mendadak Bayangan Tanpa Wajah hentakkan kaki
kanannya. Dari takupan kedua tangannya melesat
asap hitam ke udara. Dengan cepat asap hitam menu-
kik dan menghantam tanah. Begitu bersentuhan de-
ngan tanah, asap hitam membentuk dua bayangan so-
sok manusia tanpa wajah.
Bayangan Tanpa Wajah buka takupan kedua tan-
gannya lalu disentakkan ke depan. Saat yang sama
dua sosok bayangan hitam tanpa wajah ikut pula ge-
rakkan kedua tangan masing-masing. Bukan hanya
sampai di situ, begitu lepas pukulan, dua sosok
bayangan hitam tanpa wajah segera membuat gerakan
berputar-putar. Kini dua sosok bayangan hitam itu berubah menjadi beberapa
bayangan hitam!
Tiga gelombang asap hitam menyergap ganas ke
arah Pendekar 131. Saat bersamaan dua sosok bayan-
gan hitam yang berputar dan berubah menjadi bebera-
pa bayangan terus mengitari sosok murid Pendeta
Sinting. Mereka seolah tidak terpengaruh dengan ge-
lombang asap hitam yang baru saja melesat.
Pendekar 131 cepat siapkan pukulan 'Lembur Ku-
ning'. Saat itu juga kedua tangannya berubah disem-
burati warna kekuningan. Namun Joko tidak bisa be-
nar-benar pusatkan perhatian. Karena perhatiannya
pecah oleh beberapa bayangan hitam yang terus ber-
putar dan mendekat ke arahnya. Dia jadi serba salah.
Kalau menghadang pukulan orang, dia khawatir bebe-
rapa bayangan hitam yang berputar akan langsung
menyergapnya. Namun kalau tidak menghadang puku-
lan orang, niscaya jiwanya tidak akan selamat!
Dalam keadaan begitu rupa, Joko berpikir cepat.
Dia segera melepas pukulan 'Lembur Kuning'. Dan be-
gitu kedua tangannya telah bergerak, dia melompat ke atas.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat segera menyambar disertai
bertebarannya hawa panas luar biasa. Sinar warna
kuning berkiblat silaukan mata.
Tiga gelombang asap hitam tampak tertahan di atas
udara. Lalu tersapu begitu sinar kuning berkiblat. Tiga gelombang asap hitam
bertabur berantakan. Sinar
kuning mental lalu porak-poranda! Terdengar tiga gelegar ledakan.
Sosok Bayangan Tanpa Wajah terbang tersapu sam-
pai satu setengah tombak ke belakang. Bersamaan
dengan itu putaran beberapa bayangan hitam terhenti
lalu ikut bergerak mundur beberapa langkah! Kedua
kaki Bayangan Tanpa Wajah tampak menekuk lalu ja-
tuh terduduk dengan mulut semburkan darah. Hebat-
nya, beberapa bayangan hitam yang sesaat mundur,
tiba-tiba bergerak dan berputar lagi! Malah puta-
rannya makin cepat dan Joko laksana hanya melihat
bayangan samar-samar!
Saat itulah Pendekar 131 mendengar beberapa de-
ruan dahsyat. Joko tak mau menunggu. Dia kembali
siapkan pukulan 'Lembur Kuning' meski sosoknya
sempat terpelanting jungkir balik di atas udara.
Namun belum sampai kedua tangan Joko bergerak
lepaskan pukulan ke arah beberapa bayangan di ba-
wah, satu benda hitam meliuk ganas perdengarkan
suara angker. Murid Pendeta Sinting urungkan niat untuk le-
paskan pukulan 'Lembur Kuning'. Sebaliknya segera
hantamkan kedua tangannya ke arah benda hitam
yang bukan lain adalah selendang hitam milik Ratu
Selendang Asmara!
Namun ternyata gerakan selendang hitam lebih ce-
pat dari hantaman kedua tangan Joko. Hingga tanpa
ampun lagi ujung selendang hitam menyambar ke arah
lambung murid Pendeta Sinting.
Breett! Pakaian Joko langsung robek menganga. Saat yang
sama beberapa gelombang dahsyat menyambar dari
bawah! Joko tersentak. Kedua tangannya yang belum
sempat menghantam cepat ditarik pulang lagi lalu di-
hantamkan ke arah beberapa gelombang yang datang.
Bummm! Bummmm! Bummm! Bummmm!
Terdengar beberapa kali ledakan keras. Beberapa
bayangan hitam langsung perdengarkan suara laksana
api terkena siraman air. Lalu kepulkan asap hitam
membubung ke angkasa. Saat itulah terdengar benta-
kan keras dari mulut Bayangan Tanpa Wajah. Asap hi-
tam menukik deras lalu melesat dan masuk ke dalam
takupan kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah yang
tampak duduk bersila dengan mata terpejam.
Di atas udara sana, sosok murid Pendeta Sinting
terbanting dua kali. Saat lain sosoknya melayang ke
bawah. Ratu Selendang Asmara tak menunggu lagi. Tangan
kanannya segera bergerak. Selendang hitam meliuk
ganas. Joko masih dapat menangkap gerakan selen-
dang hitam. Namun sudah terlambat baginya untuk
membuat gerakan menghadang atau berkelit.
Ratu Selendang Asmara menyeringai. Tangan ka-
nannya yang memegang selendang hitam bergerak dua
kali. Tahu-tahu tukikan sosok murid Pendeta Sinting
tertahan. Joko melirik karena dia tidak bisa bernapas.
Ternyata bagian perut dan dadanya telah terlilit selendang hitam si nenek!
Walau masih menahan sakit pada kedua tangan
dan dadanya akibat bentrok pukulan, namun Joko
masih berusaha untuk hantamkan kedua tangannya
untuk memotong gerakan selendang. Tapi si nenek le-
bih cepat bergerak. Dia sentakkan tangan kanannya.
Selendang hitam yang melilit perut dan dada murid
Pendeta Sinting pun terlepas. Namun bersamaan itu
sosok Joko menukik deras dan akhirnya jatuh terka-
par di atas tanah dengan mulut kucurkan darah!
Bayangan Tanpa Wajah tak sia-siakan kesempatan.
Dia segera melesat ke depan dengan posisi masih du-
duk bersila. Tangan kiri kanannya berkelebat hendak
sarangkan dua totokan dahsyat.
Pendekar 131 hanya bisa memandang pada gerakan
kedua tangan Bayangan Tanpa Wajah tanpa bisa mem-
buat gerakan apa-apa!
Takkkk! Tangan kanan Bayangan Tanpa Wajah lakukan to-
tokan pada lambung kiri Pendekar 131. Sementara
tangan kiri terus berkelebat hendak sarangkan totokan pada pundak kanan murid
Pendeta Sinting.
Joko berseru tertahan. Dia merasakan lambungnya
kaku dan separo anggota tubuhnya sebelah kiri tegang tak bisa digerakkan! Namun
Joko masih coba gerakkan tangan kanan untuk menghadang kelebatan tan-
gan kiri Bayangan Tanpa Wajah. Tapi gerakan tangan
kiri Bayangan Tanpa Wajah rupanya lebih cepat. Hing-
ga baru saja murid Pendeta Sinting angkat tangan ka-
nannya, tangan kiri Bayangan Tanpa Wajah sudah
menyusup ke arah ketiaknya!
Satu telunjuk jari lagi tangan kiri Bayangan Tanpa
Wajah sarangkan totokan, mendadak satu bayangan
putih berkelebat. Tidak terdengar adanya gelombang
yang menyambar. Namun bersamaan itu sosok tubuh
murid Pendeta Sinting tersapu ke belakang lalu me-
nyusur tanah dan akhirnya menghantam satu gugu-
san batu di belakang sana. Namun sapuan itu mem-
buat dirinya selamat dari totokan tangan kiri Bayan-
gan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah perdengarkan dengusan ke-
ras. Dia cepat berpaling ke samping kanan. Dia tidak bisa melihat dengan jelas
siapa adanya bayangan putih. Namun Bayangan Tanpa Wajah tidak peduli. Dia
maklum kalau ada orang yang ikut campur urusan-
nya. Hingga tanpa melihat siapa adanya orang, dia segera hantamkan kedua
tangannya. Ratu Selendang Asmara terlengak melihat muncul-
nya orang. Tanpa pedulikan pula siapa adanya orang,
dia sentakkan selendang di tangan kanannya. Selen-
dang hitam meliuk ganas.
Orang berbaju putih membuat gerakan berputar sa-
tu kali. Tangan kiri kanannya bergerak.
Gelombang yang menggebrak dari kedua tangan
Bayangan Tanpa Wajah langsung ambyar lenyap! Bah-
kan bersamaan itu sosok Bayangan Tanpa Wajah ter-
jengkang jatuh di atas tanah.
Di lain pihak, tiba-tiba gerakan selendang hitam Ra-
tu Selendang Asmara laksana dihempas gelombang
luar biasa dan mental balik! Tangan kanan si nenek
terlempar ke belakang.
Orang berbaju putih gerakkan tangan kirinya sekali
lagi ke arah ujung selendang yang ikut tertarik ke belakang. Selendang hitam
milik Ratu Selendang Asmara
meliuk dan tahu-tahu melilit pada tubuh si nenek sendiri!
Orang berbaju putih putar pandangan sesaat. Lalu
berkelebat ke arah jatuhnya murid Pendeta Sinting.
Tanpa perdengarkan suara, dia gerakkan tangan ka-
nannya. Tahu-tahu sosok tubuh Joko sudah berada di
pundak kanan orang.
Bayangan Tanpa Wajah menggeram marah. Dia ce-
pat bergerak duduk. Kembali kedua tangannya lepas
pukulan. Ratu Selendang Asmara tak berdiam diri.
Tangan kirinya ikut lepas pukulan.
Di sebelah samping, Dewi Bunga Asmara yang sejak
tadi hanya melihat seraya bergerak mundur hindarkan
diri dari bias bentroknya pukulan, segera pula han-
tamkan kedua tangan begitu melihat orang berbaju
putih angkat tubuh murid Pendeta Sinting.
Gabungan pukulan tiga orang melesat angker ke
arah orang berbaju putih. Di depan sana, orang berba-ju putih hanya memandang
sesaat. Tanpa berusaha
menghadang pukulan, dia sentakkan kedua kakinya.
Sosoknya melesat ke samping lalu berkelebat tinggal-
kan tempat itu.
Blarr! Blarrr! Blarrr!
Gugusan batu di belakang mana tadi Joko terkapar
langsung semburat. Tanahnya ikut bertabur menutup
pemandangan. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra hendak mengejar. Namun mendadak mereka urung-
kan niat masing-masing tatkala mereka berdua mera-
sakan sekujur tubuhnya kaku tak bisa digerakkan!
Di lain pihak, karena tidak merasakan seperti apa
yang dialami Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-
dang Asmara, Dewi Bunga Asmara segera berkelebat.
"Tahan!" seru Ratu Selendang Asmara, membuat
Dewi Bunga Asmara hentikan gerakan. Dia berpaling
pada gurunya yang perlahan-lahan melorot jatuh di
atas tanah dengan selendang masih melilit tubuhnya.
"Bang Sun Giok! Cepat lepas lilitan selendang ini!
Lalu lepas pula totokan keparat di tubuhku!" Ratu Selendang Asmara berteriak.
"Aneh.... Bagaimana mungkin dia bisa terkena toto-
kan"!" kata Bang Sun Giok alias Dewi Bunga Asmara
dalam hati seraya melompat ke arah gurunya. Dia ce-
pat lepaskan lilitan selendang pada tubuh Ratu Selendang Asmara.


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa lagi yang kau tunggu! Lepas totokan di empat
jalur darah punggungku!" kata Li Muk Cin alias Ratu
Selendang Asmara ketika mendapati Dewi Bunga As-
mara masih diam memperhatikan.
Walau masih merasa heran, namun Dewi Bunga
Asmara cepat melangkah ke belakang. Kedua tangan-
nya bergerak di empat tempat punggung Ratu Selen-
dang Asmara. Ratu Selendang Asmara sendiri tampak
pejamkan kedua matanya. Dan begitu Dewi Bunga
Asmara telah gerakkan kedua tangannya, si nenek
menghela napas panjang. Perlahan-lahan sepasang
matanya dibuka lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah Bayangan Tanpa Wajah
yang duduk bersimpuh
tak bergerak-gerak.
Ratu Selendang Asmara duduk bersila di depan
Bayangan Tanpa Wajah. Saat bersamaan kedua tan-
gan-nya bergerak. Jari telunjuk kedua tangannya dilipat lalu dihantamkan
perlahan pada empat tempat di
sekitar dada dan lambung Bayangan Tanpa Wajah.
Bayangan Tanpa Wajah mendongak. "Orang itu me-
lepas pukulan ilmu 'Sembilan Gerbang Matahari' ting-
kat tiga!"
"Bagaimana mungkin" Bukankah satu-satunya o-
rang yang menguasai ilmu 'Sembilan Gerbang Mataha-
ri' sudah dikabarkan tewas karena beberapa puluh ta-
hun terakhir tidak terdengar lagi beritanya"!" sahut
Ratu Selendang Asmara dengan wajah keheranan.
"Kabar yang tersiar tidak selamanya benar. Terbukti
masih ada orang yang bisa melepas ilmu 'Sembilan
Gerbang Matahari'!"
"Jadi...?"
"Aku yakin orang tadi itu adalah Bu Beng La Ma!
Satu-satunya orang di daratan Tibet yang menguasai
ilmu 'Sembilan Gerbang Matahari'!"
"Hem.... Ini satu tanda kalau rencana kita akan ter-
ganjal! Mustahil kita mampu berhadapan dengan Bu
Beng La Ma!"
"Ini juga satu isyarat jika pemuda itulah yang kita
cari! Tak mungkin Bu Beng La Ma turun tangan tanpa
ada sesuatu yang sangat penting! Apalagi akhir-akhir ini namanya sudah lenyap
dari peredaran rimba persilatan. Bahkan hampir semua orang sudah menduga
kalau dia telah tewas ditelan usia!" kata Bayangan
Tanpa Wajah seraya beranjak bangkit mengikuti Ratu
Selendang Asmara yang bangkit dahulu.
"Lalu apa yang harus kita perbuat"!"
"Kita teruskan rencana pencarian ini! Tak mungkin
Bu Beng La Ma akan terus mengikuti ke mana langkah
pemuda itu!" jawab Bayangan Tanpa Wajah seraya
menahan dadanya dengan kedua tangan karena masih
terasa nyeri. "Selama ini aku hanya mengenal Bu Beng La Ma
tanpa tahu di mana tempat tinggalnya! Kau tahu di
mana tokoh itu berdiam diri"!" tanya Ratu Selendang
Asmara. "Mendiang guruku pernah bercerita. Bu Beng La Ma
tinggal di sebuah kuil di puncak bukit. Karena kuil itu tidak beratap, kalangan
rimba persilatan saat itu me-namakannya Kuil Atap Langit."
"Tempatnya..."!"
"Perjalanan dua hari dua malam dari pesisir ke arah
utara!" "Kita harus ke sana!" kata Ratu Selendang Asmara.
"Kita tunggu sampai pemuda itu turun bukit! Dan se-
dapat mungkin kita hindari bentrok dengan Bu Beng
La Ma!" Tanpa menunggu jawaban dari Bayangan Tanpa
Wajah, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Dewi
Bunga Asmara. "Sun Giok! Kau pulanglah! Perjalanan ini sangat
berbahaya!"
Dewi Bunga Asmara geleng kepala. "Aku ikut!"
Karena sudah tahu bagaimana sifat muridnya, mes-
ki amat berat pada akhirnya Ratu Selendang Asmara
tak bisa mencegah.
"Tapi kau harus berhati-hati! Jangan berani lancang
melepas pukulan kalau tidak dalam keadaan terpaksa!
Kau kuajak hanya untuk berjaga-jaga bila sesuatu terjadi padaku!"
Dewi Bunga Asmara anggukkan kepala meski dalam
hati dia mengatakan sebaliknya. "Aku sudah besar.
Aku tahu apa yang harus kulakukan!"
"Kita berangkat sekarang!" kata Ratu Selendang As-
mara. Dia memberi isyarat pada Dewi Bunga Asmara.
Saat lain si nenek mendahului berkelebat. Disusul kemudian oleh Dewi Bunga
Asmara. Bayangan Tanpa
Wajah menyusul di belakang.
*** DELAPAN YANG Mulia Baginda Ku Nang melangkah mondar-
mandir di ruangan tidak begitu besar yang hanya dite-rangi sebuah lampu kecil,
hingga suasana ruangan itu tampak temaram. Ruangan itu terletak di bagian
samping ruang tidur yang besar. Namun ruangan di mana
sekarang Baginda Ku Nang berada lebih penting ke-
beradaannya. Karena di ruangan inilah Baginda Ku
Nang meletakkan semua pusaka kerajaan. Di ruangan
ini pula Baginda Ku Nang sering menyendiri.
Yang Mulia Baginda Ku Nang hentikan langkahnya
ketika telinganya mendengar suara langkah-langkah
kaki mendekati ruangan di mana dia berada. Saat lain pintu ruangan diketuk
orang. "Masuk!" kata Baginda Ku Nang.
Pintu ruangan berderit membuka. Cahaya lampu te-
rang menerobos masuk dari lampu di luar. Satu so-sok tubuh kekar tampak tegak di
ambang pintu. Orang ini
bungkukkan tubuh.
"Panglima Su Jin! Masuklah!" Baginda Ku Nang
kembali buka mulut.
Orang di ambang pintu yang dipanggil Panglima Su
Jin kembali bungkukkan tubuh. Dia adalah seorang
laki-laki berumur empat puluh tahun. Wajahnya ga-
rang. Rambutnya disanggul tinggi. Dia mengenakan
pakaian kebesaran seorang panglima. Tanpa buka mu-
lut, dia melangkah masuk. Setelah menutup pintu dia
melangkah mendekati Baginda Ku Nang yang begitu
buka mulut langsung balikkan tubuh.
"Bagaimana"! Apakah pekerjaan itu selesai"!" Ba-
ginda Ku Nang ajukan tanya dengan tubuh masih
membelakangi Panglima Su Jin. Tangan kirinya tam-
pak dirangkapkan di depan dada, sementara tangan
kanan mengelus jenggotnya.
"Pekerjaan itu selesai, Yang Mulia!"
Baginda Ku Nang cepat balikkan tubuh menghadap
Panglima Su Jin. Sepasang matanya memandang ta-
jam. Bukan pada paras wajah orang di hadapannya,
melainkan pada kedua tangan orang yang memegang
dua kotak kulit.
"Hem.... Bagus! Aku ingin lihat hasilnya!" kata Ba-
ginda Ku Nang. Kedua tangannya diulurkan ke depan.
Panglima Su Jin memberikan dua kotak di tangannya.
Dengan tersenyum Baginda Ku Nang membawa dua
kotak kulit ke sebuah meja. Lalu perlahan-lahan dua
kotak kulit diletakkan berdampingan. Saat lain tangan kiri kanan sang Baginda
telah bergerak membuka dua
kotak kulit di atas meja.
Pada masing-masing kotak, terlihat satu gelang a-
gak besar terbuat dari baja. Lingkaran pada setiap gelang itu sebesar jari
telunjuk berwarna putih. Pada setiap gelang terlihat satu sambungan yang nyaris
tidak tampak. Di bawah gelang terlihat kain beludru berwarna merah.
"Hem.... Nyaris sempurna tanpa cacat!" gumam Ba-
ginda Ku Nang dalam hati sambil anggukkan kepala.
"Panglima! Mendekatlah kemari!"
Panglima Su Jin melangkah mendekati Baginda Ku
Nang lalu tegak di sampingnya. Matanya memandang
silih berganti pada gelang di dalam kotak kulit.
"Kau tunjuk mana yang asli!" kata Baginda Ku
Nang. Panglima Su Jin sorongkan kepalanya. Untuk bebe-
rapa lama dia pentangkan mata memandang silih ber-
ganti pada gelang baja.
"Maaf, Yang Mulia.... Mataku tak bisa membedakan
mana yang asli dan mana yang buatan!" ujar Panglima
Su Jin seraya gelengkan kepala.
Baginda Ku Nang tertawa perlahan. "Mundurlah!"
perintahnya. Panglima Su Jin surutkan langkah. Baginda Ku
Nang maju lalu mengambil salah satu gelang di dalam
kotak. Dia pegang bagian samping kiri kanan sambun-
gan gelang yang nyaris tidak terlihat.
Perlahan-lahan Baginda Ku Nang menarik sambun-
gan gelang. Sambungan gelang bergerak ke samping
kanan kiri. Bersamaan itu terlihat sebuah gulungan
kain kecil berwarna putih di dalam batangan gelang.
Baginda Ku Nang menarik gulungan kain di bata-
Tengkorak Maut 19 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 1
^