Pencarian

Kuil Atap Langit 3

Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Bagian 3


ngan gelang. Kain itu agak keras hingga mudah untuk
menarik dari luar. Dengan masih sunggingkan se-
nyum, sang Baginda membuka gulungan kain. Ternya-
ta kain putih itu kosong tanpa ada tulisan atau gam-
bar! Baginda Ku Nang memperhatikan sesaat. Lalu ang-
kat kain putih dan diterawangkan pada lampu kecil di sudut meja. Dia anggukkan
kepala lalu kembali meng-gulung kain putih hingga kecil dan saat lain dimasukkan
kembali ke dalam batangan gelang.
Kedua kotak kulit ditutup kembali. Lalu Baginda Ku
Nang putar tubuh menghadap Panglima Su Jin.
"Bagaimana dengan si pembuatnya"!"
Panglima Su Jin bungkukkan tubuh. "Sesuai perin-
tah, si pembuat telah kami kubur!"
"Bagus! Ingat, Panglima! Hanya kau seorang yang
tahu urusan ini! Kalau mulutmu membuka, kau tahu
akibatnya!"
Panglima Su Jin anggukkan kepala. "Kami tahu apa
akibatnya, Yang Mulia! Harap Yang Mulia tidak mera-
gukan tindakan kami!"
"Hem.... Sekarang keluarlah! Mulai malam ini per-
ketat penjagaan istana. Jangan biarkan masuk orang
yang tidak dikenal! Lalu cari kabar mengenai beberapa orang sahabatku yang
mendapat tugas mengawasi Per-
guruan Shaolin. Malam ini aku ada urusan. Siapa pun
yang hendak menemuiku, katakan suruh menunggu
sampai besok!"
Panglima Su Jin kembali anggukkan kepala. Saat
lain dia melangkah ke arah pintu. Setelah membung-
kuk sekali lagi, dia tutupkan pintu dan melangkah
menjauhi ruangan.
Begitu pintu tertutup, Baginda Ku Nang balikkan
tubuh. Dia mengambil salah satu kotak kulit lalu
membuka sebuah almari kecil di pojok ruangan. Kejap
lain dia melompat kembali mendekati meja. Lampu ke-
cil dimatikan. Beberapa saat kemudian dia keluar dari ruangan dengan mengenakan
pakaian hitam-hi-tam.
Tangan kanannya menjinjing kotak kulit.
*** Di kaki bukit, sosok berpakaian hitam-hitam itu
tampak tegak bersandar pada sebatang pohon. Sese-
kali kepalanya bergerak memandang ke satu jurusan.
Meski suasana gelap, namun sosok ini tampaknya bisa
melihat keadaan. Terbukti ketika satu sosok hitam
berkelebat ke arahnya, sosok yang tegak bersandar ke batangan pohon ini langsung
menyongsong. "Amitaba.... Aku sudah merasa khawatir, Yang Mu-
lia!" kata laki-laki yang tadi bersandar di batangan pohon seraya takupkan kedua
tangan di depan dada.
Orang yang baru muncul dan ternyata laki-laki ber-
pakaian hitam-hitam yang tangan kanannya membawa
sebuah kotak kulit dan bukan lain adalah Yang Mulia
Baginda Ku Nang tertawa pendek.
"Kita telah melangkah menempuh bahaya, Guru
Besar Liang San! Dan aku tak mau semuanya berakhir
dengan sebuah pengkhianatan!"
"Amitaba.... Terima kasih, Yang Mulia!" kata laki-
laki yang tadi tegak bersandar di batangan pohon yang ternyata adalah Guru Besar
Liang San. "Kau telah menemukan tempat yang aman dan se-
suai untuk menyimpan kotak ini"!" tanya Baginda Ku
Nang. Guru Besar Liang San menjawab dengan angguk-
kan kepala. Baginda Ku Nang tersenyum lalu membe-
rikan kotak kulit di tangannya pada Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San memandang sesaat dengan
sikap bimbang. Baginda Ku Nang lagi-lagi tersenyum.
"Kau yang memilih tempat. Kuharap kau yang mem-
bawanya pula!"
Kebimbangan pada raut wajah Guru Besar Liang
San lenyap seketika. Dia segera sambuti kotak kulit
dari tangan Baginda Ku Nang. Dia memandang sejenak
lalu anggukkan kepala dan berucap.
"Harap Yang Mulia mengikutiku...."
Baginda Ku Nang memberi isyarat dengan lempang-
kan tangan kanannya mempersilakan Guru Besar
Liang San bergerak dahulu.
Tanpa menunggu lama, Guru Besar Liang San ber-
kelebat. Baginda Ku Nang mengikuti dari belakang se-
telah putar pandang berkeliling.
Setelah berlari kira-kira seratus tombak, pada se-
buah aliran sungai kecil, Guru Besar Liang San hentikan larinya. Baginda Ku Nang
ikut hentikan gerakan.
Lalu mendekati Guru Besar Liang San.
"Kau percaya tempat ini aman"!" tanya Baginda Ku
Nang. "Aku telah menyelidik tempat ini beberapa purna-
ma. Harap Yang Mulia percaya!"
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San me-
langkah mendekati sebuah batu padas. Sang Baginda
mengikuti dari belakang dengan mata terus memper-
hatikan berkeliling.
Guru Besar Liang San jongkok di dekat batu padas.
Perlahan tangan kirinya bergerak. Batu padas terang-
kat. Terlihatlah satu batu yang di tengahnya berlobang agak besar.
"Hem.... Ternyata dia sudah menyiapkan tempat!
Jadi dia benar-benar telah merencanakan semua ini
dengan cermat!" kata sang Baginda dalam hati.
Guru Besar Liang San pandangi kotak kulit di tan-
gan kanannya. Lalu beralih pada Baginda Ku Nang
yang tegak tidak jauh di sampingnya. Rupanya sang
Baginda dapat menangkap arti pandangan orang.
Hingga seraya tersenyum dia berkata.
"Agar tidak terjadi ganjalan hati, harap Guru Besar
Liang San sudi membuka kotak itu!"
Paras wajah Guru Besar Liang San tampak beru-
bah. Namun kotak kulit segera diletakkan di atas ta-
nah. Perlahan-lahan dia buka kotak kulit. Sepasang
matanya membesar memperhatikan gelang di dalam
kotak. Dada Baginda Ku Nang berdebar. Dia tidak per-
hatikan gelang di dalam kotak, melainkan pada gera-
kan kepala Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San tutupkan kembali kotak ku-
lit. Kepalanya berpaling tengadah ke arah sang Bagin-da dengan bibir tersenyum.
Baginda Ku Nang meng-
hela napas. Dengan cepat Guru Besar Liang San angkat kotak
kulit. Lalu diletakkan ke dalam lobang batu. Tangan
kirinya yang masih menahan batu padas segera ditu-
runkan. Batu padas kembali ke tempatnya seperti se
mula. Lobang di dalam batu lenyap tidak kelihatan.
"Yang Mulia.... Tempat ini hanya kita berdua yang
tahu. Harap tidak mengambilnya tanpa adanya salah
satu dari kita!"
"Aku mengerti, Guru Besar Liang San! Dan kita ha-
rus cepat tinggalkan tempat ini!"
Baginda Ku Nang berkelebat terlebih dahulu. Guru
Besar Liang San tersenyum lalu melesat menyusul.
Pada satu tempat, Baginda Ku Nang berhenti dan
langsung buka mulut.
"Kau masih tetap dengan rencanamu untuk turun
tangan sendiri memburu setengah dari peta wasiat
itu"!"
"Perjalanan ini telah sampai pada pertengahan. A-
kan sia-sia semua yang telah kita lakukan kalau ber-
henti sampai di sini! Kuharap Yang Mulia bersabar
menunggu kabar! Begitu aku berhasil, aku akan segera menemuimu!"
"Tapi...."
"Aku tahu, Yang Mulia.... Hari ganda sepuluh me-
mang enam hari di muka. Berarti aku cuma memiliki
waktu enam hari. Tapi aku yakin, dalam kurun waktu
enam hari ini, aku bisa mendapatkan setengah dari pe-ta wasiat itu! Sekarang
juga aku akan mulai melaku-
kan perjalanan!"
Baginda Ku Nang anggukkan kepala tanpa perde-
ngarkan suara. Guru Besar Liang San takupkan kedua
tangan di depan dada. Tanpa berkata lagi, dia segera berkelebat tinggalkan
Baginda Ku Nang yang perhatikan kepergian Guru Besar Liang San dengan bibir
sunggingkan senyum!
*** SEMBILAN KARENA tahu dirinya diselamatkan, Pendekar 131
tidak berusaha buka mulut bertanya pada orang yang
membawanya lari. Bahkan dia juga tidak berusaha un-
tuk mengenali paras wajah orang dengan angkat ke-
palanya yang kini menggelantung tepat di dada orang.
Sebaliknya dia pejamkan mata lalu salurkan tenaga
dalam untuk mengatasi rasa sakit pada dada sekaligus untuk membuyarkan totokan
pada lambung kirinya.
Namun setelah agak lama kerahkan tenaga dalam,
murid Pendeta Sinting hanya bisa kurangi rasa nyeri
pada dadanya dan gagal buyarkan totokan yang bersa-
rang pada lambung.
"Jangan paksakan diri untuk membuyarkan toto-
kan itu, Anak Muda!" Tiba-tiba terdengar teguran dari mulut orang yang membawa
lari ketika Pendekar 131
berusaha lagi kerahkan tenaga dalam untuk mem-
buyarkan totokan orang. "Ilmumu memang tinggi, na-
mun bukan berarti kau mudah untuk melepaskan diri
dari totokan itu! Dibutuhkan cara sendiri untuk lakukan hal itu!"
Pendekar 131 urungkan niat. Perlahan-lahan dia
buka sepasang matanya lalu dia coba angkat kepala
untuk mengenali orang. Namun baru saja kepalanya
bergerak, terdengar lagi ucapan.
"Kau nanti akan tahu. Tak usah khawatir atau ce-
mas!" Murid Pendeta Sinting batalkan angkat kepala. Dan
tanpa banyak mulut, dia pejamkan lagi matanya.
Joko tidak tahu ke mana arah yang tengah dituju
orang yang membawanya lari. Dia baru buka matanya
yang membawanya terasa memperlambat larinya. Ma-
lah kini melangkah. Karena saat itu suasana telah gelap, Joko tidak tahu tengah
berada di mana. Yang je-
las dia merasa ada di tempat ketinggian karena begitu arahkan pandangan
berkeliling, yang terlihat adalah
hamparan tempat kosong!
Pendekar 131 mulai khawatir. Dia putar kepala me-
lihat ke bawah. Samar-samar matanya melihat tangga
naik dari batu. Tapi Joko segera pejamkan matanya
kembali tatkala merasakan orang yang membawanya
mulai berlari lagi hingga membuat kepalanya pening
jika terus memandang ke arah tangga naik di bawah-
nya. Joko baru buka matanya kembali ketika merasakan
orang yang membawanya hentikan langkah dan perla-
han-lahan meletakkan tubuhnya di atas lantai batu.
Joko cepat bergerak hendak bangkit. Dia lupa akan
keadaan dirinya yang masih tertotok lambung kirinya
hingga separo tubuhnya tak bisa digerakkan.
"Jangan bergerak dulu, Anak Muda!" Terdengar su-
ara teguran. Saat yang sama Joko merasakan sentu-
han lembut pada dua tempat di lambungnya. Bersa-
maan itu Joko merasakan aliran darahnya lancar. Ke-
tegangan pada lambung kirinya lenyap!
Merasa sudah bisa bergerak, Joko cepat bergerak
duduk. Pandang matanya membentur pada satu sosok
tubuh seorang kakek mengenakan jubah putih duduk
bersila di hadapannya. Parasnya agak tirus. Kumis dan jenggotnya panjang serta
putih. Rambutnya yang juga
telah memutih disanggul tinggi ke atas dan diikat dengan kain warna merah.
Sepasang matanya agak sipit.
Tepat di tengah keningnya terdapat bundaran sebesar
ibu jari berwarna putih mengkilat.
"Terima kasih atas bantuanmu, Kek...," kata Joko
sambil menjura.
Orang tua yang di keningnya terdapat gambar bun-
daran warna putih berkilat tersenyum lalu balas ang-
gukkan kepala. "Kek.... Boleh aku tahu siapa dirimu"!"
"Itu tidaklah begitu penting, Anak Muda. Sebaliknya
justru aku yang harus ajukan tanya untuk tahu siapa
dirimu dan mengapa sampai terlibat bentrok dengan
tokoh negeri ini yang dikenal orang dengan Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara...."
Pendekar 131 berpikir sesaat. Dia memandang agak
lama pada orang tua yang duduk di hadapannya. O-
rang yang dipandang tampaknya tahu apa yang di-
pikirkan murid Pendeta Sinting. Dengan tersenyum dia buka mulut.
"Anak muda.... Kau tak usah memaksakan diri ka-
lau merasa keberatan dengan pertanyaanku tadi...."
Joko gelengkan kepala. "Dia telah menyelamatkan
aku. Rasanya tidak pantas kalau aku berdusta pada-
nya. Apalagi kulihat sikapnya seperti orang baik-baik!"
kata Joko dalam hati lalu buka suara.
"Aku Joko Sableng, Kek...."
"Hem.... Dari nama dan paras wajahmu, tentu kau
bukan berasal dari negeri ini!" kata si orang tua berjubah putih.
"Benar.... Aku hanya kebetulan hingga sampai di
negeri ini!" Lalu Joko menceritakan mengapa sampai
terlibat bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan
Ratu Selendang Asmara. Namun Joko masih coba ti-
dak menyinggung-nyinggung soal peta wasiat.
"Hem.... Biasanya, kalau tokoh macam Bayangan
Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara turun dari
kediamannya, pasti ada sesuatu yang sangat penting!
Dan melihat mereka coba membuat urusan denganmu,
tentu urusan penting itu ada padamu! Dan kalau di-
hubungkan dengan kejadian yang peristiwanya baru
saja terjadi di Perguruan Shaolin, mungkin kau masih ada hubungannya dengan


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua itu!"
Pendekar 131 tidak menyahut. Dia tengah tengge-
lam dalam kebimbangan antara menceritakan terus te-
rang apa yang dialaminya semenjak dari pertemuan-
nya dengan Yang Kui Tan hingga sampai terlibat ben-
trok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-
dang Asmara. "Anak muda.... Kau masih beruntung. Saat bentrok
tadi kulihat Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selen-
dang Asmara belum perlihatkan jurus-jurus andalan-
nya! Sepertinya mereka hanya ingin membuatmu lum-
puh. Hal ini makin membuatku yakin jika mereka me-
merlukan sesuatu atau setidaknya ada yang diha-
rapkan darimu! Aku tidak memaksamu untuk mem-
beri keterangan. Namun kalau kau mau mengatakan-
nya, tentu sedikit banyak aku bisa mencarikan jalan
keluar. Karena mereka berdua pasti akan terus menge-
jarmu sebelum mereka dapatkan apa yang mereka ha-
rapkan!" Mendengar ucapan si orang tua dan setelah menim-
bang-nimbang, akhirnya murid Pendeta Sinting men-
ceritakan terus terang apa yang dialaminya mulai dari pertemuannya dengan Yang
Kui Tan sampai terlibat
bentrok dengan Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Se-
lendang Asmara.
Orang tua di hadapan Pendekar 131 tampak sedikit
tercengang mendengar penuturan keterangan Joko.
Dia beberapa kali menghela napas panjang. Lalu ber-
kata setelah Joko mengakhiri penuturannya.
"Kau bernasib baik, Anak Muda.... Tapi kau juga
harus menanggung beban bahaya dalam mengarungi
kebaikan nasibmu ini.... Sejak berpuluh-puluh tahun
yang lalu, urusan peta wasiat itu memang telah ba-
nyak dibuat pembicaraan kalangan rimba persilatan
sampai para penguasa kerajaan meski secara diam-
diam. Hanya saja karena kharisma Maha Guru Besar
Su Beng Siok dan Guru Besar Pu Yi, selama ini tidak
pernah terjadi hal-hal buruk apalagi sampai pertum-
pahan darah demi peta wasiat itu! Walau aku punya
dugaan, selama ini banyak orang yang menunggu saat
tepat untuk bergerak dan mengambil peta wasiat itu!"
Si orang tua berjubah putih sesaat hentikan ucapan.
Lalu melanjutkan setelah menghela napas beberapa
kali. "Beberapa hari yang lalu, aku hendak berkunjung
menemui Maha Guru Besar Su Beng Siok. Ini adalah
untuk pertama kalinya aku turun dari tempatku ini selama hampir sepuluh tahun
terakhir. Sebenarnya aku
sudah tak ingin lagi turun, tapi demi mendengar Maha Guru Besar Su Beng Siok
yang juga adalah sahabat
baikku tengah mengalami sakit keras, aku ter-paksa
hendak menemuinya! Tapi ternyata kedatangan-ku
sudah terlambat...." Karena sudah mendengar apa
yang terjadi di Perguruan Shaolin dari Tiyang Pengembara Agung, Joko segera
angkat suara. "Orang tua.... Kau dapat menduga siapa kira-kira di
balik peristiwa berdarah itu"!"
Yang ditanya gelengkan kepala perlahan. "Tidak
baik mencurigai orang tanpa melihat dahulu bukti-
bukti yang kuat! Tapi aku bisa memastikan jika ada
orang dalam yang ikut terlibat dalam peristiwa itu!"
"Orang tua! Kau juga telah dengar kalau Guru Be-
sar Wu Wen She tiba-tiba lenyap begitu peristiwa terjadi"!"
"Aku dengar hal itu. Tapi itu bukanlah satu-satunya
yang dapat dijadikan bukti keterlibatan Guru Besar
Wu Wen She!"
"Lalu mengapa dia melenyapkan diri"! Bukankah
tindakannya itu akan menimbulkan kecurigaan"!"
"Bagi orang yang berpikir panjang, tidak akan se-
mudah itu menjatuhkan kecurigaan!"
"Kau bisa memberikan alasan"!"
"Secara diam-diam aku berhasil masuk Perguruan
Shaolin. Rupanya bukan hanya Guru Besar Wu Wen
She yang lenyap begitu saja!"
Dahi murid Pendeta Sinting berkerut.
"Jadi..."!"
"Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun juga le-
nyap! Kuduga anak itu dibawa Guru Besar Wu Wen
She!" "Tapi apa hubungannya anak kecil itu dengan peris-
tiwa yang terjadi"!"
"Anak muda.... Beberapa tahun yang lalu, saha-
batku Maha Guru Besar Su Beng Siok sempat berkun-
jung kemari. Saat itu baru saja terjadi pergantian kekuasaan dari Yang Mulia
Baginda Lo pada Baginda Ku
Nang yang menjadi penguasa sekarang! Dia bercerita
bahwa kalau dirinya telah menyelamatkan seorang
anak kecil. Dan anak kecil Ku adalah putra dari Yang Mulia Baginda Lo yang
digulingkan dengan kekerasan
oleh Yang Mulia Baginda Ku Nang...." Si orang tua berjubah putih berhenti
sebentar. Dia alihkan pandang
matanya ke jurusan lain lalu melanjutkan.
"Aku memberi ingat padanya agar berhati-hati. Ka-
rena jika sampai tindakannya itu diketahui pihak kerajaan, maka malapetaka tidak
akan bisa dihindari lagi.
Maha Guru Besar Su Beng Siok memberi alasan, jika
penyelamatan itu semata-mata didasarkan pada kema-
nusiaan tanpa menghubung-hubungkan dengan kedu-
dukan. Dan dia ingin menjadikan dan membimbing
anak itu agar nantinya dapat menerima kenyataan
tanpa harus membalas apa yang telah terjadi! Dan dia juga merahasiakan hal ini.
Mungkin hanya aku dan
Guru Besar Pu Yi yang tahu. Dan kalau pada akhirnya
Guru Besar Wu Wen She lenyap bersama anak itu, be-
rarti salah satu dari Maha Guru Besar Su Beng Siok
atau Guru Besar Pu Yi telah memberitahukan siapa
sebenarnya anak itu pada Guru Besar Wu Wen She....
Itulah salah satu alasanku mengapa aku menduga
Guru Besar Wu Wen She bukan orang yang di bela-
kang peristiwa berdarah itu!"
"Bagaimana dengan Guru Besar Liang San atau pi-
hak kerajaan sendiri" Karena waktu di atas laut, Panglima Muda Lie jelas-jelas
menginginkan tubuh Yang
Kui Tan! Pihak kerajaan tampaknya sudah tahu jika
Yang Kui Tan membawa sebagian peta wasiat itu! Di-
tambah dengan percakapan Ratu Selendang Asmara
dan Bayangan Tanpa Wajah, aku yakin pihak kerajaan
terlibat dalam urusan ini!"
"Ini memang sesuatu yang aneh. Selama ini pihak
kerajaan tidak pernah melibatkan diri dalam urusan
rimba persilatan secara terang-terangan. Dan melihat pihak kerajaan tahu persis
siapa Yang Kui Tan dan
apa yang tengah diembannya, jelas ini memberi bayan-
gan ada orang dalam yang berhubungan erat dengan
pihak kerajaan! Tapi untuk saat ini hal itu tidak begitu penting untuk
dipikirkan, Anak Muda...."..
"Mengapa begitu, Kek"!"
"Kalau kau memikirkan dan hendak menyelidik
urusan itu, dibutuhkan waktu lama. Sementara hari
ganda sepuluh di mana peta wasiat itu bisa terlihat, sudah tidak lama lagi! Jadi
yang penting sekarang adalah mencari jejak di mana peta yang lenyap dari Per-
guruan Shaolin saat terjadinya peristiwa berdarah itu!"
"Tapi tanpa mengetahui siapa orang dalam yang ter-
libat, rasanya akan sulit mencari jejak peta yang lenyap itu!"
"Betul, Anak Muda. Tapi kau harus hindarkan diri
menyelidik orang-orang kerajaan! Itu akan membuat
langkahmu tersendat. Kalaupun kau ingin menyelidik,
mulailah dari orang dalam Perguruan Shaolin!"
Joko anggukkan kepala. "Kalau Guru Besar Wu
Wen She sudah termasuk orang yang bersih dari keter-
libatan dengan urusan ini, sekarang tinggal Guru Besar Liang San!" kata murid
Pendeta Sinting dalam hati lalu ajukan tanya.
"Orang tua. Menurut penilaianmu, bagaimana Guru
Besar Liang San"!"
"Aku tak begitu banyak tahu tentang dia. Aku ha-
nya akrab dengan Maha Guru Besar Su Beng Siok dan
Guru Besar Pu Yi!"
"Terima kasih atas semua keteranganmu, Orang
Tua. Tapi sebelum aku pergi, mau kau mengatakan
siapa dirimu?"
Orang tua di hadapan Joko tersenyum. "Aku Bu
Beng La Ma.... Waktu seusiamu dulu, aku memang
pernah melibatkan diri dalam kancah rimba persilatan.
Namun begitu eyang guruku meninggal, aku diberi pe-
san oleh mendiang eyang guruku untuk menetap di si-
ni. Ini adalah tempat tinggal eyang guruku.... Orang-orang menamakan tempat ini
Kuil Atap Langit! Kau li-
hat ke atas...."
Pendekar 131 dongakkan kepala. Tempat di mana
dia berada ternyata memang tidak beratap. Hingga
tatkala kepala Joko mendongak, yang terlihat adalah
hamparan langit!
Joko luruskan kepala. Lalu diputar dengan mata
memperhatikan. Ternyata dia berada di satu ruangan
agak besar dari batu. Di pojok sebelah kanan terlihat beberapa patung Budha. Di
sebelah depan terdapat
sebuah jalan masuk tanpa daun pintu. Joko beranjak
bangkit lalu melangkah ke arah jalan masuk.
Pendekar 131 tercengang sesaat. Di depan jalan
masuk itu ternyata terdapat tangga menurun dari ba-
tu. Tapi bukan tangga batu itu yang membuat Joko
tercengang. Karena ternyata tangga batu itu lurus ke bawah dan karena saking
panjangnya, Joko tidak bisa
melihat tangga di bagian paling bawah! Padahal meski saat itu malam telah
datang, namun sang rembulan
tampak pancarkan sinar terang benderang, hingga ke
mana mata diarahkan, orang tentu masih bisa melihat.
"Anak muda.... Sebenarnya aku sendiri dahulu me-
rasa gamang waktu pertama kali tinggal bersama e-
yang guruku di sini. Namun pada akhirnya aku jadi
terbiasa. Dan sebenarnya, kalau tidak karena pesan
Eyang Guru agar aku menetap di sini, tentu aku pilih berdiam diri di bawah
sana...." Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh. Orang tua
yang mengaku bernama Bu Beng La Ma sudah bang-
kit. "Kek.... Aku akan pergi sekarang...."
"Anak muda.... Kuharap kau tunda dulu niatmu!
Perjalananmu nanti menempuh bahaya yang tidak ke-
cil. Tidak tertutup kemungkinan kau akan berhadapan
dengan beberapa tokoh negeri ini. Apalagi kini jika kabar lenyapnya peta wasiat
itu telah tersebar!"
"Tapi...."
"Aku tahu.... Kau membekal ilmu tinggi. Tapi jangan
lupa, kau kini berada di negeri asing. Kau belum ba-
nyak mengenal tokohnya dan bagaimana kehebatan il-
munya! Aku ingin memberikan sedikit apa yang ku-
miliki. Siapa tahu pemberianku ini nantinya bisa
membantumu dalam perjalanan. Karena hanya ban-
tuan itulah yang dapat kuberikan padamu!"
Pendekar 131 tercenung sesaat lalu memandang Bu
Beng La Ma dengan pandangan hampir tak percaya.
Saat lain Joko telah jatuhkan diri berlutut.
"Terima kasih.... Mulai saat ini kau adalah guruku!"
"Ah.... Aku tidak layak dipanggil Guru! Berdirilah....
Anggap saja kita dua sahabat! Sebagai sahabat, apa
yang kumiliki, patut juga kau miliki!"
Bu Beng La Ma kembali duduk bersila. "Mendekat-
lah. Dan duduklah bersila membelakangiku! Kosong-
kan pikiran!"
Perlahan-lahan Joko beranjak bangkit lalu turuti
ucapan Bu Beng La Ma.
*** SEPULUH KARENA telah memiliki dasar ilmu silat dan tenaga
dalamnya sudah sangat terlatih, tidak sulit bagi Joko untuk menyergap semua
jurus yang diajarkan Bu
Beng La Ma begitu orang tua ini memberikan petunjuk
setelah sebelumnya sempat alirkan tenaga dalamnya
lewat telapak kedua tangannya pada punggung Pende-
kar 131. Hingga dalam waktu semalam, Joko telah da-
pat kuasai apa yang diajarkan Bu Beng La Ma.
"Anak muda...," kata Bu Beng La Ma. Saat itu Bu
Beng La Ma dan Pendekar 131 tengah duduk berha-
dap-hadapan. "Kuharap sedikit ilmu yang kuberikan
padamu dapat membantu dalam perjalananmu nanti.
Aku tak akan beri nasihat, kau tentu sudah dapat
mengerti apa yang layak dan tidak layak kau lakukan!"
Pendekar 131 anggukkan kepala. Bu Beng La Ma
arahkan pandang matanya ke jurusan lain. Lalu buka
mulut lagi. "Hindari bentrok selama hal itu bisa kau lakukan! Dan sedapat
mungkin jangan membuat urusan dengan pihak kerajaan. Karena hal itu nantinya
dapat menyulut terjadinya salah paham dan bentrok
antara kalangan persilatan negeri ini dengan pihak kerajaan yang berkuasa. Bila
itu terjadi, kalangan persilatan yang akan merugi. Sebab biasanya, pihak kera-
jaan dengan mudah akan menuduh kalangan persila-
tan sebagai orang-orang yang membawa para pembe-
rontak!" "Tapi Guru.... Selama ini banyak pihak kerajaan
yang memburuku! Bagaimana aku harus menghindari-
nya"!" Joko memanggil Bu Beng La Ma dengan sebutan
Guru karena ia sudah menganggapnya sebagai guru.
Bu Beng La Ma terdiam beberapa saat mendengar
ucapan Joko. "Hem.... Tampaknya keadaan keruh a-
kan terjadi...," gumamnya dengan nada menyesal.
"Anak Muda! Aku tak bisa mengatakan bagaimana ca-
ra menghindarinya. Tapi kalau memang keadaan ti-
dak memungkinkan, dan pihak kerajaan memang be-
nar-benar terlibat dalam urusan ini, kau tentu dapat memilih jalan terbaik! Dan
ingat.... Jangan sekali-kali mudah turunkan tangan sebelum kau tahu pasti bukti
keterlibatannya! Kau sekarang hanya punya tugas un-


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tuk mendapatkan peta yang lenyap dari Perguruan
Shaolin. Jadi hindari semua urusan yang tidak ada
hubungannya dengan peta wasiat itu. Karena kau sen-
diri pasti telah tahu, di mana-mana orang rimba persilatan pasti akan terpecah
dalam dua golongan! Dalam
hal ini kau harus berada di pihak tengah! Tidak mem-
bela pihak putih namun jangan membuat urusan de-
ngan pihak hitam! Sekarang pergilah...."
Pendekar 131 sekali lagi anggukkan kepala. Setelah
menjura dia bergerak bangkit. "Aku akan datang ke-
mari begitu peta wasiat itu telah kudapatkan!"
Habis berkata begitu, Joko melangkah ke arah jalan
masuk. Dia memandang sesaat ke bawah. Karena saat
itu matahari telah muncul dari langit timur, kali ini meski samar-samar Joko
dapat melihat tangga batu
paling bawah. Murid Pendeta Sinting berpaling lagi pada Bu Beng
La Ma. Menjura sekali lagi lalu mulai melangkah ke-
luar dari ruangan. Saat lain dia berkelebat menuruni anak tangga menurun dari
batu. Begitu injakkan kakinya di atas tanah, Joko berpa-
ling dengan kepala tengadah. Kuil di mana semalam
dia berada tampak hanya merupakan onggokan batu
hitam yang dihubungkan dengan tangga batu naik
yang tinggi dan panjang.
Joko menunggu beberapa saat berharap Bu Beng La
Ma tunjukkan diri. Namun hingga agak lama dia me-
nunggu, di atas sana tidak terlihat adanya sosok yang muncul. Joko menghela
napas lalu berkelebat.
Baru saja berlari dua puluh lima tombak, murid
Pendeta Sinting mendadak hentikan langkah. Meman-
dang ke depan, dia melihat satu sosok tubuh tegak
dengan sikap menghadang.
Pendekar 131 memperhatikan sesaat. Dia adalah
seorang perempuan berparas cantik berusia empat pu-
luh tahunan. Rambutnya hitam lebat disanggul sedikit ke atas, sebagian lagi
digeraikan di bagian samping pi-pi kanan kirinya. Bibirnya dipoles merah
menyala. Kedua alis matanya ditambah pewarna hitam. Pada le-
hernya yang putih dan jenjang terlihat tato bergambar bulan sabit. Perempuan
cantik ini mengenakan pakaian warna putih tipis hingga seluruh lekuk anggota tu-
buhnya terlihat sangat jelas. Pada kepalanya juga
mengenakan sebuah mahkota yang atasnya bergambar
bulan sabit berwarna kuning keemasan.
Dari sikap orang, tampaknya Joko sudah menang-
kap gelagat tidak baik. Dan karena tidak mau mem-
buat urusan, Joko coba menahan diri untuk tidak bu-
ka mulut bertanya. Dia hanya anggukkan kepala den-
gan tersenyum. Saat kemudian dia menyisi ke samping
lalu hendak teruskan melangkah.
Si perempuan melirik gerakan murid Pendeta Sin-
ting. Tiba-tiba dia perdengarkan bentakan kala Joko
mulai melangkah.
"Tahan gerakan kakimu! Kita perlu bicara!"
Pendekar 131 hentikan tindakan kakinya. Dia ber-
paling dengan dahi berkerut.
"Rasanya kita baru pertama kali ini bertemu. Sebe-
lum kita mulai pembicaraan, harap kau suka sebutkan
diri...." Si perempuan dongakkan kepala hingga Joko bisa
melihat jelas tato bergambar bulan sabit pada leher-
nya. "Aku Ouw Kiu Lan! Namun hanya sebagian orang
yang tahu nama itu. Mereka lebih mengenaliku dengan
Bidadari Bulan Emas!"
"Hem.... Aku adalah...."
"Aku tahu siapa kau!" tukas si perempuan yang se-
butkan diri sebagai Ouw Kiu Lan alias Bidadari Bulan Emas. "Aku hanya perlu
menawarkan sesuatu. Ini de-mi keselamatan jiwamu!"
"Terima kasih kau mau menawarkan jasa baik pa-
daku! Tapi rasanya aku masih bisa menjaga diri. Lagi pula adalah aneh kalau kau
katakan jiwaku perlu diselamatkan! Aku tidak pernah membuat urusan!"
Bidadari Bulan Emas tertawa pendek. "Kau tak per-
lu berpura-pura! Kau tadi telah dengar ucapanku. Aku tahu siapa kau! Dengar
sekali lagi. Aku tahu siapa
kau!" Joko gelengkan kepala. "Kalau kau yakin jiwaku
perlu diselamatkan, itu satu petunjuk kalau kau tidak tahu siapa aku!"
Bidadari Bulan Emas rangkapkan kedua tangan di
depan dada. "Kau seorang pemuda dari negeri asing.
Kau yang menyelamatkan jiwa seorang kepercayaan
Perguruan Shaolin yang membawa tugas mengambil
setengah peta wasiat!" Bidadari Bulan Emas berpaling.
"Serahkan peta wasiat itu. Telah kusiapkan perahu
untukmu! Dan beberapa orang akan mengawal sampai
kau benar-benar aman dan bisa pulang ke kampung
halamanmu dengan selamat!"
Pendekar 131 tersentak. Namun dia masih coba
menutupi dengan tersenyum dan berkata. "Harap kau
perhatikan sekali lagi siapa orang yang ada di hada-
panmu! Mungkin kali ini kau salah lihat!"
"Kau jangan coba memerintahku! Aku tahu banyak
apa yang mungkin tak kau duga!" Bidadari Bulan
Emas melangkah pulang balik. "Di negerimu sana, kau
boleh punya nama besar dengan gelar Pendekar Pe-
dang Tumpul 131 Joko Sableng!" Bidadari Bulan Emas
gelengkan kepala. "Tapi di sini, nama besarmu tak a-
kan ada artinya!" Bidadari Bulan Emas gerakkan ke-
dua tangan membuat sikap seperti orang meminta.
"Serahkan saja peta wasiat itu! Setelah itu pulanglah!
Kehadiranmu di negeri ini hanya akan membuat mala-
petaka! Mungkin di negerimu kau masih dibutuhkan.
Tapi tidak di sini!"
Pendekar 131 tercekat. Kali ini dia tidak bisa lagi
sembunyikan rasa kagetnya. "Busyet! Bagaimana dia
bisa tahu banyak tentang diriku"! Siapa perempuan
cantik ini sebenarnya"!"
"Kurasa keteranganku sudah terlalu banyak! Aku
tak akan ulangi permintaanku! Dan satu hal yang ha-
rus kau ketahui, aku tak akan membiarkan seseorang
pergi jika aku menginginkan sesuatu darinya!"
"Tapi kuharap aku adalah orang pertama yang kau
biarkan pergi meski rasanya aku tidak dapat meme-
nuhi keinginanmu!" ujar Joko seraya tersenyum lebar.
"Syarat yang kuminta tidak sulit, Pendekar 131 Jo-
ko Sableng! Kau tinggal serahkan peta wasiat itu! Dan kau bebas pergi bahkan aku
telah menyiapkan perahu
dan beberapa orang untuk mengawalmu!"
"Bidadari.... Aku belum berniat untuk balik kam-
pung!" "Kau tahu akibatnya"!"
"Aku tak pernah pikirkan akibat karena aku tak
membuat sebab!"
Bidadari Bulan Emas perdengarkan tawa. "Kau jan-
gan berpikir bodoh! Kedatanganmu ke negeri ini ada-
lah sebab utama yang membuat kau kelak akan men-
dapat akibat yang mungkin tidak pernah terbayang da-
lam benakmu!"
"Aku datang ke negeri ini hanya karena kebetulan!
Tidak terbetik sebelumnya niatan hati untuk datang ke negeri ini apalagi membuat
sebab!" "Tapi justru kebetulan itulah yang kelak akan men-
gantarmu menemui kesulitan!"
"Aku tidak percaya!" sahut murid Pendeta Sinting
dengan gelengkan kepala.
"Aku akan menunjukkan!" kata Bidadari Bulan E-
mas. Perempuan berparas cantik ini tarik pulang ke-
dua tangannya ke belakang. Saat lain dia membuat ge-
rakan melompat ke arah Joko. Kedua tangannya mele-
sat cepat. Pendekar 131 terkesiap melihat gerakan cepat o-
rang. Namun dia cepat mundur satu langkah. Kedua
tangannya bergerak menghadang gerakan kedua tan-
gan Bidadari Bulan Emas.
Ternyata Bidadari Bulan Emas bukan lepas puku-
lan, melainkan cepat memutar arah gerakan tangan
dan lancarkan totokan ke arah pergelangan kedua tan-
gan Joko. Gerakan Bidadari Bulan Emas ternyata sudah da-
pat dimaklumi Joko. Apalagi dia telah mendapat ba-
nyak keterangan dari Bu Beng La Ma tentang gerakan-
gerakan kebanyakan kaum persilatan di negeri Tibet.
Hingga begitu Bidadari Bulan Emas coba lancarkan to-
tokan, Joko segera pula putar arah gerakan kedua
tangannya. Bidadari Bulan Emas tersentak sesaat melihat gera-
kan kedua tangan murid Pendeta Sinting yang bukan
saja mampu membaca gerakan kedua tangannya na-
mun kini malah balik lakukan penyergapan dengan le-
paskan totokan ke arah lambungnya!
Bidadari Bulan Emas tarik pulang kedua tangannya
lalu cepat disentakkan menghadang lajunya gerakan
kedua tangan Joko.
Bukk! Bukkkk! Terdengar benturan. Kedua tangan Bidadari Bulan
Emas tampak terpental ke atas. Sementara kedua ta-
ngan Joko terlempar ke bawah. Namun, Bidadari Bu-
lan Emas cepat putar tubuh. Dengan bertumpu pada
kaki kanan, kaki kirinya diangkat membuat gerakan
menendang ke arah dada!
Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya. Bi-
dadari Bulan Emas tersentak ketika merasakan kaki
kirinya bukan menendang sasaran, melainkan terta-
han di udara dan terasa dipegang tangan orang!
Bidadari Bulan Emas terbelalak melihat bagaimana
kakinya dipegang kedua tangan Joko. Sementara sepa-
sang mata murid Pendeta Sinting tampak terpentang
besar memperhatikan ke arah sibakan pakaian si pe-
rempuan karena kakinya terangkat dan tertahan di
udara. "Jahanam!" sentak Bidadari Bulan Emas. Kaki kiri-
nya ditarik sedikit ke belakang. Saat lain disentakkan lagi ke depan. Namun
sebelum kaki itu sempat menyentak, Pendekar 131 cepat lepaskan pegangan ta-
ngannya pada kaki si perempuan. Lalu rundukkan ke-
pala dengan mata makin dipentang melihat ke arah
kangkangan kaki Bidadari Bulan Emas!
Mendapati tendangannya menghantam tempat ko-
song, Bidadari Bulan Emas cepat tarik kedua tangan-
nya ke belakang begitu kaki kirinya telah berada di
atas tanah kembali. Kejap lain kedua tangannya me-
lepas pukulan. Wuutt! Wuuttt! Satu gelombang angin menderu angker. Karena ja-
rak antara sang Bidadari serta Pendekar 131 tidak ja-uh, tidak ada jalan lain
bagi Joko selain harus menghadang dengan pukulan pula. Maka dia sentakkan ke-
dua tangannya. Bumm! Sosok Bidadari Bulan Emas tersapu tiga langkah ke
belakang. Sementara karena saat menghadang puku-
lan dengan posisi setengah merunduk, sosok murid
Pendeta Sinting tempat terhuyung empat langkah.
"Heran... Dia sepertinya menguasai salah satu jurus
aliran negeri ini! Dia berhasil berkelit dari jurus tingkat pertama dari
'Delapan Gerbang Rembulan'! Padahal
tak mungkin aliran jurus negeri ini diketahui orang asing! Aku memang belum
jelas bisa memperhatikan ju-
rus apa yang dilakukan. Tapi jelas-jelas jurus tadi adalah aliran di negeri
ini!" Bidadari Bulan Emas berkata dalam hati dengan sepasang mata mendelik tak
berkesip memperhatikan pada murid Pendeta Sinting.
"Bidadari.... Mungkin kau benar dengan apa yang
kau ketahui tentang diriku. Tapi percayalah, kau salah jika mengatakan aku
membawa atau menyimpan peta
wasiat! Dan aku memang pernah menolong seseorang.
Tapi aku tak tahu siapa dia. Saat itu dia tengah terluka parah. Aku tak tega
untuk ajukan pertanyaan. Ha-
nya saja sebelum dia meninggal, dia berpesan agar ce-burkan mayatnya ke laut!
Setelah itu aku terbawa ge-
lombang sampai negeri ini!"
Bidadari Bulan Emas terdiam sepertinya menyimak
ucapan murid Pendeta Sinting, namun sebenarnya di-
am-diam perempuan ini berkata sendiri dalam hati ti-
dak hiraukan ucapan Joko.
"Hem.... Mengapa aku tidak bertanya pada beberapa
orang yang kusuruh menyelidik ke tempat negeri kela-
hiran pemuda itu tentang ilmu apa saja yang dimiliki"!
Namun itu tidak begitu penting, yang jelas aku masih yakin dialah yang menyimpan
peta wasiat itu, atau setidaknya dia tahu di mana tempat disembunyikannya
peta wasiat itu! Jika tidak, tak mungkin pihak kera-
jaan ikut terlibat memburu pemuda ini! Kalau pi-hak
kerajaan sudah ikut campur tangan, berarti peristiwa di Perguruan Shaolin
melibatkan orang dalam dan kemungkinan besar bersekongkol dengan seseorang dari
pihak kerajaan! Lenyapnya peta wasiat di ruang pe-
nyimpanan Perguruan Shaolin dan ikut turun ta-
ngannya pihak kerajaan memburu pemuda ini mem-
buktikan semua itu!"
Setelah membatin begitu, Bidadari Bulan Emas bu-
ka suara. "Pendekar 131 Joko Sableng! Aku akan memberita-
hukan sesuatu...."
Belum sampai Bidadari Bulan Emas lanjutkan uca-
pan, Joko telah menukas. "Bidadari.... Aku tak punya waktu banyak! Lain kali
saja kita lanjutkan pembicaraan ini! Dan kalau nanti aku sudah punya niat dan
rindu kampung halaman, aku akan mencarimu...."
Pendekar 131 berkelebat. Namun Bidadari Bulan
Emas ikut berkelebat memotong gerakan murid Pen-
deta Sinting. Kembali tangan kanannya menjulur ke
depan membuat gerakan orang meminta.
"Ke mana kau pergi, kau akan mendapat halangan
yang sama! Namun aku masih berbaik hati dengan
menyediakan perahu dan beberapa pengawal untuk-
mu! Jika orang lain, mereka pasti menginginkan peta


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wasiat itu sekaligus selembar nyawamu!"
"Kau meminta pada orang yang salah!"
Bidadari Bulan Emas tegak dengan mata mendelik
dan pelipis bergerak-gerak.
"Baik! Aku telah tawarkan jalan terbaik, namun
nyatanya kau inginkan agar aku mengambil peta wa-
siat itu beserta nyawamu sekalian!"
Bidadari Bulan Emas angkat kedua tangannya dan
ditarik ke depan kepala. Telapak kedua tangannya diletakkan di kening sesaat
lalu diangkat ke atas kepala.
Saat bersamaan tampak cahaya kekuningan meman-
car dari kedua tangan sang Bidadari.
"Hem.... Dari sikapnya, mungkin dia tengah menge-
rahkan ilmu andalannya. Aku tadi telah coba jurus
pemberian Bu Beng La Ma tingkat pertama. Karena dia
sekarang tidak main-main dan ingin membunuhku,
terpaksa aku akan menghadang dengan coba tingkat
delapan!" Joko membatin. Lalu angkat kedua tangan-
nya membentuk bundaran besar dengan ujung kedua
jari-jari tangan bertemu di atas kepala. Kaki kanannya ditarik ke belakang
sementara kaki kiri ditekuk.
Bidadari Bulan Emas tersentak. Saat itulah tiba-
tiba terdengar suara.
"Ouw Kiu Lan! Tahan! Biarkan dia pergi!"
Joko berpaling ke arah sumber datangnya suara.
Namun dia tidak melihat siapa-siapa. Namun kesem-
patan ini tak disia-siakan Joko. Dia memandang sesaat pada Bidadari Bulan Emas
untuk yakinkan jika perempuan itu benar-benar lakukan ucapan orang. Begitu
yakin, Joko segera balikkan tubuh lalu tanpa berkata-kata lagi, dia berlari
seperti orang kesetanan!
*** SEBELAS BERSAMAAN dengan berlalunya Pendekar 131, satu
sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu di hadapan Bi-
dadari Bulan Emas telah tegak seorang laki-laki. Orang ini berambut tipis tapi
panjang sampai punggung. Kedua alis matanya juga menjulai panjang hampir menu-
tupi mata. Sepasang matanya melotot besar. Paras wa-
jahnya bulat dengan kumis dan jenggot lebat. Tepat di tengah kedua alis matanya
terlihat tato bergambar bulan sabit berwarna kekuningan. Laki-laki ini menge-
nakan pakaian berupa jubah panjang warna kuning.
Pada bagian dada kanannya juga terdapat gambar bu-
lan sabit. "Pemuda asing itu tampaknya telah menguasai ilmu
'Sembilan Gerbang Matahari'!" kata laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas
sambil arahkan pandang
matanya pada kelebatan sosok murid Pendeta Sinting.
Bidadari Bulan Emas memandang sesaat pada laki-
laki yang baru muncul. Pandang matanya jelas mem-
bayangkan rasa tidak senang. Di lain pihak, meski tidak melihat ke arah orang,
namun si laki-laki tampaknya bisa menangkap bayangan sikap Bidadari Bulan
Emas. Masih tanpa memandang dia berkata.
"Aku tahu kau tak suka dengan teguranku tadi! Ta-
pi...." Belum sampai si laki-laki teruskan ucapan, Bidada-
ri Bulan Emas telah memotong dengan sengatkan pan-
dangannya pada laki-laki di hadapannya.
"Guru! Aku telah bersusah payah menyelidik! Kalau
pada akhirnya hanya begini yang kudapat, rasanya
percuma apa yang selama ini kulakukan!"
"Ouw Kiu Lan! Selama ini ilmu 'Delapan Gerbang
Rembulan' yang kita miliki memang dapat mengim-
bangi ilmu 'Sembilan Gerbang Matahari'. Namun kau
harus sadar, pemuda itu memiliki ilmu lain yang be-
lum kita kenal! Terlalu berbahaya jika berhadapan
dengan orang yang telah tahu ilmu kita tapi kita tidak tahu ilmu yang
dimilikinya!"
"Aku heran.... Bagaimana mungkin pemuda itu da-
pat menguasai ilmu 'Sembilan Gerbang Matahari'! Pa-
dahal menurut yang pernah Guru katakan, ilmu itu
hanya ada di negeri ini!"
Laki-laki di hadapan Bidadari Bulan Emas putar di-
ri. Namun pandang matanya bukan mengarah pada
sang Bidadari, melainkan jauh ke depan menembusi
jajaran beberapa pohon.
"Ternyata kabar yang tersiar dalam rimba persilatan
lain dengan kenyataan!" kata si laki-laki yang dari cara sebut Bidadari Bulan
Emas, menunjukkan jika si laki-laki bertato bulan sabit di antara kedua alis
matanya ini adalah gurunya. "Kenyataan kalau pemuda tadi
menguasai ilmu 'Sembilan Gerbang Matahari' menun-
jukkan kalau Bu Beng La Ma masih bernapas! Pemuda
itu dengan singkat dapat menguasai ilmu 'Sembilan
Gerbang Matahari' mungkin saja karena pemuda itu
telah memiliki dasar yang kuat! Hem.... Dengan Kenyataan ini, berarti musuh
besarku bukan tinggal satu,
namun kini bertambah satu lagi!"
"Ouw Kiu Lan! Ilmu 'Sembilan Gerbang Matahari'
memang hanya ada di negeri ini!" kata si laki-laki di hadapan Bidadari Bulan
Emas setelah terdiam beberapa lama. "Kau tak usah heran kalau pemuda itu dapat
menguasai ilmu itu. Justru ini sangat membuatku
gembira! Karena itu menunjukkan satu hal yang sela-
ma ini masih menjadi tanya bagiku!"
Bidadari Bulan Emas kerutkan dahi. Dia sudah
hendak buka mulut akan bertanya. Namun sebelum
suaranya terdengar, sang Guru sudah mendahului.
"Ini satu pertanda jika orang yang selama ini dika-
barkan tewas berarti masih hidup!"
"Maksudmu..."!"
"Bu Beng La Ma masih bernyawa! Dan rupanya tak-
dir telah menuliskan jika manusia itu akhirnya akan
mampus di tanganku!"
"Guru! Saat ini kurasa yang paling penting adalah
memburu peta wasiat itu! Urusan nyawa Bu Beng La
Ma bisa ditunda!"
"Ouw Kiu Lan! Seribu peta wasiat tidak ada artinya
bagiku dibanding satu nyawa milik Bu Beng La Ma!
Aku mengajakmu turun gunung dengan dua tujuan.
Memburu peta wasiat sekaligus menjajaki kabar berita tentang Bu Beng La Ma! Kini
keduanya sudah jelas ba-gi kita! Kau tahu siapa pembawa peta wasiat itu, dan aku
yakin Bu Beng La Ma masih hidup! Masih hidup-nya Bu Beng La Ma membuat aku tidak
tertarik lagi dengan peta wasiat itu!"
"Guru...."
"Ouw Kiu Lan!" potong sang Guru sembari angkat
tangan kirinya. "Aku akan mencari Bu Beng La Ma di
Kuil Atap Langit. Kau teruskan tujuanmu! Tapi harus
kau ingat. Kau tak bisa menghadapi pemuda asing itu
hanya dengan andalkan ilmu 'Delapan Gerbang Mata-
hari'! Kau harus pergunakan cara lain! Kau adalah perempuan, sementara orang
yang kau hadapi adalah
seorang laki-laki. Tentu kau paham maksudku...."
Bidadari Bulan Emas tersenyum. Sang Guru me-
langkah tiga tindak, lalu lanjutkan ucapan. "Sementa-ra ini kita harus berpisah!
Berhati-hatilah!"
Habis berkata begitu, sang Guru arahkan kembali
pandangannya ke arah jauh di depan sana. Dan tanpa
berkata-kata lagi dia membuat satu kali gerakan. So-
soknya melesat sebelum akhirnya lenyap di kerapatan
jajaran pohon. Bidadari Bulan Emas berpaling memperhatikan a-
rah kelebatan gurunya. Saat lain perempuan cantik ini melesat mengambil arah ke
mana tadi murid Pendeta
Sinting berkelebat.
*** Kita tinggalkan dahulu pengejaran yang dilakukan
Bidadari Bulan Emas terhadap Pendekar 131 Joko
Sableng. Sekarang kita ikuti perjalanan guru Bidadari Bulan Emas.
Laki-laki yang tepat di tengah kedua alis matanya
terdapat tato bergambar bulan sabit itu hentikan larinya ketika memasuki sebuah
kawasan terbuka di ma-
na ketika mata dilayangkan ke depan, berjarak dua
puluh langkah, terlihat satu tangga naik dari batu.
Tangga naik ini lurus ke atas berujung pada sebuah
onggokan batu berbentuk kuil. Karena ketinggiannya, bangunan kuil di atas sana
terlihat sangat kecil sekali.
Guru Bidadari Bulan Emas tengadahkan kepala
dengan mata dipicingkan. Kejap lain dia berkelebat.
Namun belum sampai sosok tubuhnya melesat, ti-
ba-tiba terdengar satu suara dari puncak bangunan
kuil di atas sana.
"Kwe Bun Lim...! Rasanya tidak baik kalau perte-
muan kita kembali harus diwarnai dengan sisa urusan
lama.... Dan kehadiranmu kali ini kuharap tanpa sisa-sisa itu!"
Guru Bidadari Bulan Emas yang dipanggil dengan
Kwe Bun Lim batalkan niat menaiki tangga batu. Dia
dongakkan kepala dengan seringai dingin. Lalu mem-
batin. "Bu Beng La Ma! Ternyata kau benar-benar masih
hidup! Sayang sekali.... Justru sisa urusan itulah aku datang ke sini!"
Setelah membatin begitu, dia berteriak lantang.
"Bu Beng La Ma! Aku datang memang bukan untuk
sisa-sisa urusan lama! Namun aku datang untuk men-
cabut selembar nyawamu!"
"Kwe Bun Lim! Harap maafkan aku. Kalau itu uru-
sannya, aku tak bisa menemuimu! Rasanya terlalu
sayang jika di akhir usia kita ini harus dilembari dengan kucuran darah! Apa
yang pernah tertumpah biar-
lah berlalu...."
"Bu Beng La Ma! Itu urusanmu! Kau mau atau ti-
dak, yang jelas aku ingin kucuran darah beberapa pu-
luh tahun yang lalu berakhir hari ini! Turunlah! Atau aku akan menjemputmu ke
atas! "Kwe Bun Lim! Aku tidak coba mengguruimu. Tapi
kurasa lebih baik kau pikirkan dahulu semuanya....
Cuma, apa pun keputusanmu nanti, aku tetap tidak
akan menemuimu!"
"Bu Beng La Ma! Aku telah punya keputusan. Kau
pun juga telah memutuskan! Mari kita lihat keputusan siapa yang akan berlaku!"
Habis berteriak begitu, Kwe Bun Lim berkelebat.
Namun baru saja tubuhnya akan bergerak, matanya
menangkap satu sosok bayangan. Kwe Bun Lim cepat
berpaling. Di seberang samping sana tegak seorang la-ki-laki bertubuh kekar
mengenakan pakaian selem-
pang tanpa leher berwarna kuning. Di bagian pundak-
nya melapis kain berwarna merah yang terus dililitkan pada pinggangnya. Laki-
laki ini berkepala gundul dan tampak beberapa titik putih di batok kepalanya.
Paras wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya jarang namun panjang.
Kwe Bun Lim sipitkan mata. "Guru Besar Liang
San...," gumamnya mengenali siapa adanya laki-laki
berpakaian selempang kuning tanpa leher.
"Amitaba...." Laki-laki berpakaian selempang warna
kuning dan bukan lain memang Guru Besar Liang San
adanya buka mulut seraya anggukkan kepala dengan
kedua tangan ditakupkan di depan dada. "Bukankah
yang tegak di hadapanku saat ini adalah sahabat Kwe
Bun Lim..."! Tokoh ternama negeri ini yang dikenal
dengan Hantu Bulan Emas"!"
Kwe Bun Lim yang di negeri Tibet memang lebih di-
kenal kalangan rimba persilatan dengan gelar Hantu
Bulan Emas tidak menyahut. Sebaliknya diam-diam
dia membatin. "Untuk apa dia datang ke sini"! Apakah peristiwa berdarah di
perguruannya melibatkan Bu
Beng La Ma"!"
Masih tanpa buka mulut, Hantu Bulan Emas me-
lesat dan tegak lima langkah di hadapan Guru Besar
Liang San. Guru Besar Liang San melirik tajam lalu
kembali anggukkan kepala.
"Guru Besar Liang San...," kata Hantu Bulan Emas
dengan nada pelan namun jelas nadanya terdengar
sumbang. "Senang bisa bertemu kau lagi.... Tapi rasanya pertemuan kita kali ini
sungguh di luar dugaan!"
Guru Besar Liang San tersenyum. "Aku paham apa
maksudmu. Tapi harap kau tidak berprasangka. Aku
terpaksa keluar sendirian karena ada sesuatu yang harus segera kuselesaikan.
Beberapa..."
Belum sampai Guru Besar Liang San lanjutkan
ucapan, Hantu Bulan Emas sudah menukas. "Aku ikut
belasungkawa dengan peristiwa yang terjadi beberapa
malam yang lalu! Dan kurasa kehadiranmu di sini pas-
ti masih ada hubungannya dengan peristiwa itu! Be-
nar"!"
"Amitaba...! Dugaanmu tidak meleset. Aku perlu
bertemu dengan Bu Beng La Ma.
Hantu Bulan Emas melirik dengan kepala disentak-
kan ke jurusan lain. Sebelum guru Bidadari Bulan
Emas ini buka suara. Guru Besar Liang San telah
sambungi ucapannya. "Guru Besar Wu Wen She le-
nyap begitu saja saat terjadinya peristiwa berdarah di perguruan kami. Untuk
itulah aku perlu datang hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma. Mungkin dia ta-
hu atau setidaknya dapat memberi petunjuk ke mana
kira-kira lenyapnya adik Wu Wen She! Bagaimanapun
juga aku harus segera menemukan adik Wu Wen She.
Sebab dalam peristiwa itu, bukan saja Maha Guru Be-
sar Su Beng Shiok dan kakak Pu Yi yang terbunuh,
namun sebuah benda juga hilang dari ruang penyim-
panan!" "Kau menduga Guru Besar Wu Wen She yang mela-
rikan benda itu"!"
"Amitaba.... Aku tidak berani menduga. Tapi aku
harus menemukan adik Wu Wen She!"
"Hem.... Kalau dia datang ke sini dan langsung
mengatakan hendak bertemu dengan Bu Beng La Ma,
berarti selama ini dia telah tahu kalau Bu Beng La Ma masih hidup! Aku tidak
yakin akan kebenaran ucapannya.... Mungkin saja dia yang bersekongkol dengan Bu
Beng La Ma! Apalagi pemuda asing itu jelas telah
bersahabat dengan Bu Beng La Ma, sementara peta
wasiat yang setengahnya, menurut penyelidikan Ouw
Kiu Lan memang berada di tangan pemuda asing itu!
Jadi, Guru Besar Liang San bersekongkol dengan Bu
Beng La Ma untuk mendapatkan peta yang masih ter-
simpan, sementara Bu Beng La Ma bersekutu dengan


Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti peta wasiat itu telah utuh! Dan untuk
menghilangkan jejak, mereka sengaja mengkambing-hitamkan Guru Besar Wu
Wen She! Kalau Maha Guru Besar Su Beng Siok dan
Guru Besar Pu Yi mampus, bagaimana mungkin Wu
Wen She bisa lolos! Wu Wen She mungkin sudah te-
was, hanya saja sengaja mereka sembunyikan untuk
dijadikan kambing hitam! Hem...." Hantu Bulan Emas
berkata sendiri menduga-duga dalam hati.
"Sobat Hantu Bulan Emas! Aku tahu kau punya
urusan dengan Bu Beng La Ma.... Tapi kuharap kau
memberiku kesempatan!"
Ucapan Guru Besar Liang San membuat keyakinan
Hantu Bulan Emas makin kuat. "Tentu mereka akan
membicarakan hasil tindakan mereka! Ini satu rejeki
besar bagiku! Berhasil menemukan Bu Beng La Ma se-
kaligus mendapatkan peta wasiat itu dengan utuh!"
Habis membatin begitu, Hantu Bulan Emas buka
mulut. Tapi bersamaan dengan itu, dari kuil di puncak sana terdengar suara.
"Guru Besar Liang San.... Maaf jika aku tidak bisa
menyambutmu dengan layak! Namun perlu kau keta-
hui, aku tidak tahu menahu dengan lenyapnya Guru
Besar Wu Wen She.... Aku juga tak bisa memberi pe-
tunjuk apa-apa tentang dia...."
"Amitaba.... Sungguh sayang sekali! Tapi harap kau
memberikan izin untuk bertemu denganmu.... Karena
masih ada yang perlu kubicarakan!"
"Guru Besar Liang San.... Aku tak mau membuat
urusan dengan buka mulut membicarakan apa yang
telah terjadi! Aku sudah berniat tak akan ikut campur dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan dunia persilatan.... Mohon dimaafkan!"
Guru Besar Liang San dongakkan kepala meman-
dang ke arah kuil di puncak sana. "Hem.... Kurasa
pemberitahuan ini cukup. Dengan begitu para sahabat
Maha Guru Besar Su Beng Siok tidak akan menaruh
curiga padaku.... Aku harus segera pergi! Hantu Bulan Emas tampaknya sudah tak
sabar! Tapi aku harus ta-hu bagaimana akhir dari bentrok mereka. Dan kalau
keadaan memungkinkan, aku tak segan membunuh
mereka berdua!" kata Guru Besar Liang San dalam ha-
ti. Lalu luruskan kepala menghadap Hantu Bulan
Emas dan berkata kalem.
"Tampaknya kehadiranku mengganggu urusan ka-
lian. Aku harus segera pergi...."
Hantu Bulan Emas gelengkan kepala, membuat Gu-
ru Besar Liang San kerutkan dahi. Dan belum sempat
dia menduga lebih jauh isyarat gelengan kepala orang, Hantu Bulan Emas telah
angkat suara. "Tidak akan ada yang pergi dari sini!"
Guru Besar Liang San tersentak. Hantu Bulan E-
mas tertawa panjang. Lalu berkata lagi. "Kau tak usah bertanya mengapa, karena
jawabannya sudah ada padamu!" Hantu Bulan Emas teruskan suara tawanya se-
raya mendongak. Guru Besar Liang San menduga-
duga dengan paras berubah tegang!
SELESAI Ikuti lanjutannya dalam episode:
DEWA CADAS PANGERAN
Scanned by Clickers
Edited by Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
SATU *** *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** ***
SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** SELESAI
Golok Halilintar 6 Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin Keng Pat Karya Rajakelana Pedang Golok Yang Menggetarkan 23
^