Pencarian

Dewa Cadas Pangeran 1

Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran Bagian 1


SATU DARI kuil di puncak atas sana yang dikenal kala-
ngan rimba persilatan dengan Kuil Atap Langit terde-
ngar suara batuk-batuk tiga kali. Guru besar Liang
San dan Hantu Bulan Emas saling lontarkan lirikan
tajam. Lalu sama dongakkan kepala. Saat bersamaan
terdengar ucapan dari atas sana.
"Sebenarnya aku sangat gembira bisa bertemu de-
ngan sahabat. Namun kalau perjumpaan harus diper-
ciki dengan ganjalan, rasanya lebih baik tidak ada pertemuan...."
"Aku datang untuk bertanya!" Guru Besar Liang
San angkat suara. "Sekarang aku harus pergi!" Guru
Besar Liang San balikkan tubuh. Tapi sebelum sosok-
nya bergerak lebih jauh, Hantu Bulan Emas buka mu-
lut. "Aku sudah berkata, tidak akan ada yang pergi dari sini!"
Guru Besar Liang San urungkan niat untuk berke-
lebat pergi. Tanpa balikkan tubuh dia berucap.
"Harap kau katakan apa maksudmu sebenarnya!"
Hantu Bulan Emas tertawa dahulu sebelum berka-
ta. "Aku tahu jika peta wasiat itu ada di tangan kalian berdua! Serahkan dulu
peta wasiat itu padaku!"
Dari kuil di puncak atas sana terdengar suara tawa.
Sementara Guru Besar Liang San kerutkan dahi. Kete-
gangan di wajahnya tidak bisa disembunyikan lagi.
Seperti diketahui, Kwe Bun Lim atau yang lebih di-
kenal dengan Hantu Bulan Emas telah bertahun-tahun
mencari jejak Bu Beng La Ma untuk menyelesaikan u-
rusan dendam lama. Pada mulanya dia sudah mendu-
ga jika Bu Beng La Ma telah meninggal seperti apa
yang selama ini tersiar dalam kalangan rimba persilatan. Namun begitu dia
bertemu dengan Pendekar 131
Joko Sableng dan tahu jurus apa yang dilakukan mu-
rid Pendeta Sinting, dia mulai yakin jika Bu Beng La Ma masih hidup. Pada
akhirnya dia menuju Kuil Atap
Langit tempat tinggal seorang tokoh yang dulu dikenal sebagai Guru Bu Beng La
Ma. Dugaan Hantu Bulan Emas tidak meleset. Dia a-
khirnya bisa mengetahui kalau Bu Beng La Ma masih
hidup meski Bu Beng La Ma tidak menunjukkan diri
dan hanya berucap dari Kuil Atap Langit di atas sana.
Namun sebelum Hantu Bulan Emas laksanakan mak-
sudnya, tiba-tiba muncul Guru Besar Liang San yang
datang ke Kuil Atap Langit dengan tujuan untuk mem-
beritahukan lenyapnya Guru Besar Wu Wen She. De-
ngan pemberitahuan ini, Guru Besar Liang San berha-
rap agar Bu Beng La Ma tidak menaruh curiga pada-
nya atas peristiwa yang terjadi di Perguruan Shaolin.
Namun kemunculan Guru Besar Liang San ternyata
merubah maksud Hantu Bulan Emas. Dia menduga
Guru Besar Liang San dan Bu Beng La Ma bersekong-
kol untuk mendapatkan peta wasiat.
"Hantu Bulan Emas!" Terdengar ucapan dari kuil di
puncak sana yang bukan lain adalah suara Bu Beng
La Ma. "Kau boleh percaya atau tidak. Tapi yang pasti, selama hampir sepuluh
tahun terakhir ini, aku tidak
meninggalkan Kuil Atap Langit. Jadi kau salah alamat jika menduga peta wasiat
ada di tanganku.... Lagi pula aku sudah tidak tertarik dengan urusan yang ada
hubungannya dengan dunia persilatan...."
"Siapa percaya dengan keteranganmu! Selama ini
kau sengaja sembunyikan diri dan siarkan kabar ke-
matian agar semua orang menduga kau telah mampus.
Dengan begitu kau leluasa lakukan rencana perse-
kongkolan! Dan kau sengaja pula mengundang seorang
pemuda asing untuk alihkan perhatian orang!" Hantu
Bulan Emas berkata dengan kepala disentakkan ke ju-
rusan lain. Mendengar ucapan Hantu Bulan Emas, Guru Besar
Liang San terkesiap. Bukan karena tuduhan orang,
melainkan karena ucapan Hantu Bulan Emas yang se-
but-sebut seorang pemuda asing.
"Hem.... Berarti dia telah bertemu dengan pemuda
itu! Aku harus tahu di mana pemuda itu! Dia harus
mengatakannya padaku!" Guru Besar Liang San mem-
batin lalu putar diri.
"Hantu Bulan Emas! Aku tak hendak membuat u-
rusan denganmu meski kau telah menjatuhkan tudu-
han yang tidak benar! Tapi ternyata kau tahu sesuatu yang saat ini tengah
kucari!" Guru Besar Liang San
tersenyum. "Harap kau sudi katakan padaku di mana
pemuda asing yang baru kau katakan!"
Hantu Bulan Emas balik tersenyum seraya menye-
ringai. Dia sudah buka mulut. Namun sebelum suara-
nya terdengar, Guru Besar Liang San telah sambungi
ucapannya. "Hantu Bulan Emas! Harap kau tidak punya pra-
sangka jika aku menanyakan perihal pemuda asing
itu! Aku tidak kenal siapa dia dan dari mana asalnya!
Kalaupun aku bertanya tentang dia, karena menurut
yang kudengar, pemuda asing itu datang hendak me-
nuju Kuil Shaolin! Karena di perguruan kami baru saja terjadi musibah, mungkin
dia menunda niatnya hingga
sampai sekarang dia belum juga muncul di Kuil Shao-
lin! Aku perlu bertemu dengannya, siapa tahu pemuda
asing itu bisa memberikan penjelasan!"
"Hem.... Begitu" Penjelasan apa yang kau inginkan
dari seorang pemuda asing"!" tanya Hantu Bulan E-
mas. "Beberapa waktu yang lalu, Perguruan Shaolin me-
ngutus seseorang. Namun utusan itu tidak ada kabar
beritanya hingga hari ini! Aku menduga pemuda asing
itu bisa memberikan keterangan tentang utusan shao-
lin yang tidak ada kabar beritanya!"
"Dari mana kau bisa menduga demikian"!"
Untuk beberapa lama Guru Besar Liang San tidak
menjawab. Dia memandang tajam pada Hantu Bulan
Emas, lalu dongakkan kepala arahkan pandang mata-
nya ke arah kuil di atas sana sebelum akhirnya berka-ta. "Seorang pemuda asing
tak mungkin datang jauh-
jauh tanpa urusan penting! Dan selama ini Perguruan
Shaolin tak pernah membuat urusan. Kalaupun ada
urusan, itu adalah tentang utusan shaolin! Jadi.... Kedatangan pemuda itu pasti
ada kaitannya dengan utu-
san shaolin!"
"Bisa kau katakan, apa yang dilakukan utusan itu"!
Dan ke mana dia pergi mengemban perintah"!"
Guru Besar Liang San takupkan kedua tangan di
depan dada. "Amitaba.... Urusan dalam Perguruan
Shaolin tidak layak dikatakan pada orang lain.... Harap kau mengerti...."
Hantu Bulan Emas gelengkan kepala. "Aku tahu di
mana pemuda asing yang kau cari!"
"Kalau begitu, harap kau sudi mengatakannya pa-
daku!" sahut Guru Besar Liang San meski dia tahu ka-
lau Hantu Bulan Emas belum selesai bicara.
Lagi-lagi Hantu Bulan Emas gelengkan kepala sera-
ya berkata. "Kalau kau bisa mengatakan tak layak
orang di luar Perguruan Shaolin tahu urusan dalam
perguruan, tentu orang di luar pun pantas mengata-
kan jika orang Perguruan Shaolin tak layak tahu uru-
san orang di luar perguruan!"
Dada Guru Besar Liang San mulai bergemuruh di-
landa hawa amarah mendengar ucapan Hantu Bulan
Emas. Namun orang ini masih berpikir panjang dan
tak mau membuat urusan apalagi dia tahu antara Bu
Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas telah ada ganja-
lan. Dia berharap Hantu Bulan Emas dan Bu Beng La
Ma terlibat bentrok.
"Baiklah.... Kalau kau keberatan mengatakannya,
aku tidak memaksa!" ujar Guru Besar Liang San. "Ta-
pi...." "Aku juga tidak percaya pada keteranganmu!" Han-
tu Bulan Emas telah menukas sebelum Guru Besar
Liang San lanjutkan ucapan. "Aku tak akan ajukan
alasan mengapa aku tidak percaya! Karena jawaban-
nya sudah ada padamu!"
"Hem.... Lalu apa maumu"!" tanya Guru Besar
Liang San. Hantu Bulan Emas tidak segera menjawab. Seba-
liknya gerakkan kedua tangan mengulur ke depan
membuat sikap seperti orang meminta. Saat lain dia
berucap. "Kalau kau ingin kalangan rimba persilatan tidak
mencium tindakan persekongkolan ini, dan kau masih
ingin dianggap orang suci dalam Perguruan Shaolin,
serahkan peta wasiat itu padaku!"
Kalau perturutkan amarah, ingin rasanya Guru Be-
sar Liang San langsung lepaskan pukulan ke arah
Hantu Bulan Emas. Namun lagi-lagi Guru Besar Liang
San masih menindih hawa amarah. Sembari terse-
nyum dan anggukkan kepala dia angkat suara.
"Sebagai orang shaolin, aku tidak berharap ingin
dikatakan orang suci! Lebih dari itu, aku tidak bersekongkol untuk mendapatkan
peta wasiat itu! Karena
kalau aku mau, tanganku sendiri mampu mengambil-
nya!" Hantu Bulan Emas tertawa pendek. "Mengambil pe-
ta wasiat dari tempatnya memang pekerjaan mudah
bagimu! Tapi...."
"Hantu Bulan Emas!" Kali ini Guru Besar Liang San
telah menukas. "Aku tidak punya waktu banyak! Se-
lamat tinggal!" Guru Besar Liang San balikkan tubuh
lalu berkelebat.
Hantu Bulan Emas tidak tinggal diam. Dia segera
melesat dari memotong gerakan Guru Besar Liang San
lalu tegak menghadang. Guru Besar Liang San henti-
kan kelebatan. Sepasang matanya membeliak tak ber-
kesip. "Aku telah mengatakan apa maksud kedatanganku
menemui Bu Beng La Ma! Aku juga telah mengatakan
urusanku dengan pemuda asing itu! keduanya tidak
ada hubungannya denganmu! Harap kau tidak me-
maksakan diri untuk membuka urusan!"
Hantu Bulan Emas tertawa panjang. "Aku tidak ber-
maksud membuka urusan! Aku hanya meminta! Kare-
na aku yakin apa yang kuminta ada padamu! Ini juga
demi kedudukanmu di mata dunia persilatan dari Per-
guruan Shaolin!"
"Kau tidak akan mendapatkan apa yang kau minta!
Bahkan kalau kau memaksakan kehendak, kau tahu
apa akibatnya!"
Habis berkata begitu, Guru Besar Liang San angkat
kedua tangannya. Lalu ditakupkan kembali di depan
dadanya. Meski gerakan Guru Besar Liang San seperti gera-
kan biasa, namun sebagai tokoh yang telah kenyang
pengalaman, Hantu Bulan Emas tahu jika gerakan
Guru Besar Liang San bukanlah gerakan biasa. Dia
cepat alirkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Se-
pasang matanya menyengat tajam pada kedua bola
mata Guru Besar Liang San.
"Sahabat sekalian!" Bu Beng La Ma berkata dari
Kuil Atap Langit. "Pertumpahan darah bukanlah hal
yang menyelesaikan urusan! Kuharap kalian bisa kua-
sai diri.... Apalagi kalian adalah orang terpandang!"
Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San tidak
pedulikan ucapan Bu Beng La Ma. Belum sampai uca-
pan Bu Beng La Ma selesai, Hantu Bulan Emas telah
berkelebat ke depan. Guru Besar Liang San tidak mau
menunggu. Begitu Hantu Bulan Emas membuat ge-
rakan, orang berkepala gundul ini segera menyong-
song. Dua pasang tangan tampak berkelebat di atas
udara. Bukkk! Bukkk! Terdengar benturan keras. Sosok Hantu Bulan E-
mas terjajar dua langkah ke belakang. Paras wajahnya berubah. Di seberang, Guru
Besar Liang San tersurut
pula dua tindak. Kedua tangannya bergetar.
Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya.
Saat lain kedua matanya kembali dipentang. Tiba-tiba dari tato bergambar bulan
sabit yang tertera di antara kedua alis matanya pancarkan sinar kuning berkilat.
Guru Besar Liang San renggangkan kedua kakinya.
Kedua tangannya ditarik ke belakang sejajar dada dengan telapak terbuka ke
depan. "Hantu Bulan Emas!" kata Guru Besar Liang San.
"Aku tahu ganjalan antara dirimu dan Bu Beng La Ma!
Kau tak menyesal kalau ganjalan itu tidak terlaksa-
na"!"
"Aku mampu menghadapimu sekaligus Bu Beng La
Ma!" sahut Hantu Bulan Emas dengan angkat kedua
tangannya ke atas kepala.
"Sahabat sekalian!" Lagi-lagi terdengar ucapan Bu
Beng La Ma dari Kuil Atap Langit di atas sana. "Aku tidak coba menggurui kalian.
Namun kalian harus sa-
dar, urusan peta wasiat tidak akan selesai dengan cara kekerasan! Kalian juga
harus maklum, peta wasiat itu akan jatuh ke tangan seseorang yang telah
ditakdirkan untuk mendapatkannya!"
"Bu Beng La Ma!" teriak Hantu Bulan Emas. "Me-
ngapa kau hanya berani berucap tanpa berani unjuk
diri"!"
"Kau jangan salah sangka. Aku hanya tak ingin me-
libatkan diri dalam urusan yang aku yakin tak ada gunanya karena aku sadar peta
wasiat itu tak mungkin
jatuh ke tanganku!"
"Kau jangan sembunyi di balik ucapan!" teriak Han-
tu Bulan Emas. "Kau masih juga salah duga! Tak ada sulitnya jika
aku ingin turun ke bawah sana. Tapi kalau hanya un-
tuk sesuatu yang tidak ada gunanya, kurasa itu hanya buang-buang waktu...."
Karena memang berharap terjadi bentrok antara Bu
Beng La Ma dan Hantu Bulan Emas, Guru Besar Liang


Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

San tidak coba angkat suara. Sebaliknya dia segera
putar pandangan. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Hantu Bulan Emas sentakkan kepala ke arah ber-
kelebatnya Guru Besar Liang San. Dia menyeringai na-
mun tak membuat gerakan apa-apa. Namun begitu ke-
lebatan Guru Besar Liang San agak jauh dan sosoknya
hampir lenyap di balik sebuah pohon, kedua tangan
Hantu Bulan Emas bergerak.
Wuutt! Wuuttt! Satu gelombang angin berkiblat ganas. Saat bersa-
maan satu sinar kuning melesat keluar dari tato ber-
gambar bulan sabit di tengah kedua alis mata Hantu
Bulan Emas. Guru Besar Liang San sedikit tersirap. Dia cepat
rundukkan kepala. Saat yang sama sosoknya berputar.
Kedua tangannya dikelebatkan ke depan dengan tela-
pak terbuka. Bummmm! Bummmm!
Dua gelegar keras terdengar. Tanah muncrat ke u-
dara menutup pemandangan. Sosok Guru Besar Liang
San tampak terhuyung. Namun orang ini tidak segera
coba kuasai diri, sebaliknya melompat ke belakang.
Saat lain kembali kedua tangannya bergerak. Karena
ternyata saat itu sinar kuning terus menerabas me-
nembus hamparan tanah di udara!
*** DUA BLAMMM! Sinar kuning yang melesat keluar dari tato bergam-
bar bulan sabit di antara kedua alis mata Hantu Bulan Emas semburat ke udara
ketika dari kelebatan kedua
tangan Guru Besar Liang San menderu satu gelom-
bang yang bukan saja membuat hamburan tanah lang-
sung tersapu amblas namun juga memporak-poranda-
kan sinar kuning yang keluar dari tato bergambar bu-
lan sabit di antara kedua alis mata Hantu Bulan Emas.
Hantu Bulan Emas mencelat mental. Sosoknya tam-
pak terbanting di atas udara. Tapi sebelum tubuhnya
jatuh menghantam tanah, guru Bidadari Bulan Emas
ini cepat putar kedua tangannya ke atas kepala. Men-
dadak gerakan sosoknya terhenti di atas udara. Lalu
perlahan melayang turun ke bawah dengan kaki men-
jejak tanah terlebih dahulu.
Di seberang sana, Guru Besar Liang San tampak te-
gak bersandar pada batangan pohon. Kedua tangannya
menakup di depan dada. Orang ini coba kuasai aliran
darahnya yang laksana tersumbat. Namun sebelum dia
sempat kerahkan tenaga dalam, Hantu Bulan Emas
melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak dengan
jari telunjuk ditekuk.
Guru Besar Liang San tak mau bertindak ayal. Kaki
kanannya ditekuk lalu diangkat. Tangan kanan dilu-
ruskan sementara tangan kiri dilipat. Ketika kedua
tangan Hantu Bulan Emas datang lakukan totokan,
Guru Besar Liang San cepat tarik tangan kanannya.
Saat lain kedua tangannya dihantamkan ke arah ke-
dua tangan Hantu Bulan Emas.
Namun sebelum kedua pasang tangan itu saling
berbenturan di udara, mendadak Hantu Bulan Emas
tarik pulang kedua tangannya. Lalu tiba-tiba kedua
kakinya bergerak membuat tendangan!
Guru Besar Liang San tarik tubuhnya ke samping.
Kaki kanannya disentakkan memotong gerakan kedua
kaki Hantu Bulan Emas.
Bukkk! Bukkk! Hantu Bulan Emas terbanting ke samping. Semen-
tara kaki kanan Guru Besar Liang San tampak mental
balik. Sosoknya ikut tertarik sebelum akhirnya ter-
jungkal. Mungkin khawatir orang akan susuli pukulan, baik
Hantu Bulan Emas maupun Guru Besar Liang San ce-
pat bangkit tegak meski keduanya sempat terhuyung-
huyung. Dari mulut masing-masing orang ini tampak
kucurkan darah.
Hantu Bulan Emas tak pedulikan keadaan. Begitu
huyungan tubuhnya terhenti, kedua tangannya diang-
kat di depan dada. Tangan kanan diluruskan ke samp-
ing dan diletakkan di atas tangan kiri. Saat lain mendadak kedua tangannya
disentakkan dengan telapak
terbuka. Wuttt! Wuutt! Dari kedua tangan Hantu Bulan Emas terlihat dua
bundaran sinar membentuk bulan sabit berwarna ke-
kuningan. Terdengar deruan dahsyat kala dua bunda-
ran sinar kuning melesat ke arah Guru Besar Liang
San. Guru Besar Liang San cepat pejamkan kedua mata-
nya. Kedua kakinya dihentakkan ke atas tanah. Kedua
kaki Guru Besar Liang San amblas masuk hampir lu-
tut ke dalam tanah. Saat yang sama kedua tangan-nya
ditakupkan di depan dada. Dia tidak membuat gerakan
lagi meski sinar kuning terus melaju ke arah-nya.
Busss! Busss! Dua bundaran sinar kuning menghantam dada
Guru Besar Liang San. Hantu Bulan Emas tersentak.
Senyum di mulutnya yang sesaat tadi mengembang
karena Guru Besar Liang San tidak membuat gerakan
apa-apa pupus ketika mendapati bundaran dua sinar
kuning mental lalu ambyar berkeping-keping! Bahkan
sosok Hantu Bulan Emas langsung terjengkang roboh!
Guru Besar Liang San sesaat tetap tak bergeming.
Namun bersamaan dengan robohnya sosok Hantu Bu-
lan Emas, tubuh Guru Besar Liang San melorot jatuh.
Karena kedua kakinya masuk ke dalam tanah, dia ja-
tuh terduduk dengan pantat menghantam tanah.
"Jurus kelima dari 'Delapan Gerbang Rembulan'
mampu ditahannya tanpa membuat gerakan!" desis
Hantu Bulan Emas seraya bangkit berdiri. "Aku ingin
lihat apakah dia mampu menahan jurus keenam dan
ketujuh 'Delapan Gerbang Rembulan'!"
Hantu Bulan Emas pejamkan sepasang matanya.
Kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
"Hantu Bulan Emas!" Tiba-tiba Guru Besar Liang
San angkat bicara dengan kedua tangan tetap mena-
kup di depan dada dan sepasang mata terpejam. "Jan-
gan berlaku bodoh! Kalau aku mampu menahan puku-
lanmu tanpa membuat gerakan, seharusnya kau sadar
jika..." Sebelum Guru Besar Liang San lanjutkan ucapan,
Hantu Bulan Emas telah menyahut. "Jangan terlalu
gembira dahulu, Liang San! Apa yang baru kau terima
bukanlah apa-apa dari apa yang kumiliki!"
Guru Besar Liang San tersenyum. Namun diam-
diam orang dari Perguruan Shaolin ini salurkan ham-
pir setengah dari tenaga dalam yang dimiliki pada kedua telapak tangannya.
Sementara di seberang, Hantu
Bulan Emas cepat tekuk kedua kakinya lalu sosoknya
dilorotkan ke bawah. Saat lain guru dari Bidadari Bulan Emas ini telah duduk
bersila dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Sepasang matanya dipentang
besar-besar. Bukan menatap ke arah Guru Besar
Liang San, namun kepalanya ditengadahkan dan sepa-
sang matanya menatap pada hamparan langit. Tubuh-
nya bergetar keras.
Mendapati sikap Hantu Bulan Emas, Guru Besar
Liang San tarik ke atas kedua kakinya yang masuk ke
dalam tanah. Kejap lain, dia telah membuat sikap se-
perti Hantu Bulan Emas. Hanya sepasang matanya
menatap tajam pada sosok Hantu Bulan Emas.
Mendadak Hantu Bulan Emas buka dekapan kedua
tangannya. Guru Besar Liang San tak berdiam diri. Dia cepat pula lepas rangkapan
kedua tangannya. Saat
lain, hampir bersamaan kedua orang ini sentakkan
tangan masing-masing ke depan.
Namun belum sampai dari tangan masing-masing
orang melesat pukulan, dari Kuil Atap Langit di atas sana, menderu satu
gelombang dahsyat.
Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San sen-
takkan kepala melirik ke atas. Keduanya terkesiap kaget. Belum sampai keduanya
membuat gerakan, ge-
lombang dari puncak kuil telah menderu dan kejap
lain telah menghantam tanah tepat di antara sosok
Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San.
Blaaarrr! Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang San rasa-
kan tanah pijakannya bergetar hebat. Keduanya cepat
kerahkan tenaga dalam untuk kuasai diri. Namun tin-
dakan keduanya terlambat. Baru saja keduanya kerah-
kan tenaga dalam, mereka rasakan sosoknya tersapu
mental ke belakang dan saat lain sama terkapar di atas tanah.
Hantu Bulan Emas mendengus marah. Begitu bang-
kit, dia dongakkan kepala. Kedua tangannya diangkat
hendak lepaskan pukulan. Namun tiba-tiba dia sadar
kalau tindakannya sangat berbahaya karena jika dia
lepaskan pukulan ke puncak kuil dan saat bersamaan
Guru Besar Liang San lepas pukulan ke arahnya, ma-
ka dia tidak akan bisa hindarkan diri.
Hantu Bulan Emas cepat sentakkan kepalanya ke
arah di mana tadi Guru Besar Liang San berada. Na-
mun mendadak dia pentang mata dengan pelipis ber-
gerak-gerak. Karena ternyata sosok Guru Besar Liang San sudah tidak kelihatan
lagi! Hantu Bulan Emas tumpahkan kemarahannya pada
Bu Beng La Ma. Hingga begitu tidak lagi melihat sosok Guru Besar Liang San, dia
cepat berteriak.
"Bu Beng La Ma! Turunlah atau nyawamu akan ku-
cabut dan kulempar dari atas sana!"
"Hantu Bulan Emas! Aku hanya ingin kau tidak ter-
libat dalam urusan yang tak berguna! Dan kuharap
mulai sekarang kau lupakan semua yang pernah terja-
di!" Hantu Bulan Emas kancingkan mulut tidak menya-
hut. Sebaliknya dia cepat melompat dan tahu-tahu so-
soknya telah tegak di tangga batu pertama. Kepalanya tengadah dengan mata
terpentang tak berkesip memandang ke arah Kuil Atap Langit. Kedua tangannya
diletakkan di atas pinggang kiri kanan. Saat kemudian dia berseru lantang.
"Bu Beng La Ma! Selama kau masih bisa bernapas,
aku tak akan melupakan peristiwa yang pernah terjadi di antara kita! Jadi
lupakan harapanmu! Dan sekali la-gi kuperingatkan kau agar segera turun!"
"Nyawanya bukan saja menjadi bagianmu, tapi aku
punya bagian juga!" Tiba-tiba terdengar suara menya-
hut. Hantu Bulan Emas palingkan kepala. Sepasang ma-
ta-nya melihat dua sosok bayangan berkelebat cepat
ke arahnya. Saat lain sejarak sepuluh langkah di ha-
dapan Hantu Bulan Emas, tegak dua orang dengan
mata bukannya memandang ke arah Hantu Bulan
Emas, melainkan ke arah Kuil Atap Langit.
Di sebelah kanan adalah seorang laki-laki berpa-
kaian hitam panjang sebatas lutut. Rambutnya hitam
lebat digelung tinggi ke atas. Raut mukanya telah di-penuhi dengan kerutan tanda
laki-laki ini telah berusia lanjut. Parasnya agak bulat dengan sepasang mata
sipit, kumis dan jenggotnya lebat serta hitam. Anehnya, bukan hanya rambut,
kumis, dan jenggot serta pakaiannya yang hitam, namun sekujur kulit tubuh laki-
laki ini juga berwarna hitam legam! Hingga yang terli-
hat putih hanyalah larikan kecil pada bagian kedua
matanya! Di sebelah laki-laki berwajah hitam, tegak seorang
perempuan berusia amat lanjut berambut putih. Sepa-
sang matanya sipit tanpa ditingkahi alis mata. Dia juga mengenakan pakaian warna
hitam panjang. Di pundaknya tampak menyelempang sebuah selendang hi-
tam yang menjulai panjang hingga menyapu tanah.
"Bayangan Tanpa Wajah!" desis Hantu Bulan Emas
dengan mata menyengat tajam pada laki-laki berwajah
hitam legam. Lalu melirik pada si perempuan beram-
but putih. "Ratu Selendang Asmara! Hem.... Sepertinya mereka berdua juga punya
urusan dengan Bu Beng La
Ma.... Tapi ada satu keanehan. Selama ini kuketahui
antara kedua manusia itu terjadi silang sengketa! Namun kali ini keduanya tampak
bersahabat!" Hantu Bu-
lan Emas membatin. Dia menyeringai dengan dada
mulai dibungkus rasa marah melihat sikap kedua
orang yang baru muncul, dan bukan lain memang
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara.
Tanpa buka suara, Hantu Bulan Emas kembali sen-
takkan kepala mendongak ke atas. Lalu perdengarkan
suara. "Bayangan Tanpa Wajah! Ratu Selendang Asmara!
Kalian datang terlambat! Apa pun bagianmu atas nya-
wa Bu Beng La Ma, yang pasti kalian harus menunggu
sampai urusanku selesai!"
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra saling luruskan kepala lalu saling pandang sesaat.
Kejap lain keduanya memandang pada sosok Hantu
Bulan Emas. "Hantu Bulan Emas! Kita sama punya urusan! Ha-
rap kau tidak memperhitungkan siapa yang datang le-
bih dulu!" Yang angkat suara adalah si nenek Ratu Se-
lendang Asmara.
Hantu Bulan Emas putar diri. Namun sepasang ma-
tanya tidak memandang pada Bayangan Tanpa Wajah
atau Ratu Selendang Asmara, membuat kedua orang
ini mulai geram dan sama menyeringai.
"Baiklah...!" Hantu Bulan Emas angkat suara de-
ngan mata memandang pada jurusan lain. "Tapi kata-
kan dahulu apa urusan kalian dengan Bu Beng La
Ma!" "Aku menginginkan sesuatu darinya! Tapi kalau dia
tidak menyerahkan apa yang kuminta, aku tak segan
untuk membuat bagian hidupnya terhenti hari ini!"
Bayangan Tanpa Wajah menyahut.
Hantu Bulan Emas kerutkan dahi. Perlahan sepa-


Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sang matanya mengarah pada Bayangan Tanpa Wajah
dan Ratu Selendang Asmara. Dia membatin. "Hem....
Apakah yang akan mereka minta adalah peta wasiat
itu"!"
"Mau katakan apa yang hendak kalian minta dari-
nya"!" tanya Hantu Bulan Emas.
Bayangan Tanpa Wajah geleng kepala lalu berkata.
"Apa yang akan kami minta biarlah menjadi rahasia
kami berdua!"
"Hem.... Melihat urusan kalian, rasanya urusanku
lebih penting! Karena urusanku adalah urusan lama
yang telah hampir berkarat dan tidak akan lenyap se-
belum di antara aku atau Bu Beng La Ma menemui aj-
al!" Kali ini Ratu Selendang Asmara yang geleng kepala mendengar ucapan Hantu
Bulan Emas. "Aku tahu...
urusanmu memang penting dan menyangkut nyawa!
Tapi kau harus tahu, urusan kami lebih dari itu! Ha-
nya saja kami sudah sepakat untuk tidak mengatakan
urusan kami pada siapa saja!"
Habis berkata begitu, Ratu Selendang Asmara me-
langkah mendekati tangga. Hantu Bulan Emas me-
mandang gerakan kaki si nenek dengan wajah dingin.
Begitu empat tindak lagi sampai tangga, Hantu Bulan
Emas berucap. "Kau harus langkahi dulu mayatku sebelum te-
ruskan langkah naik!"
Ratu Selendang Asmara hentikan langkah dengan
tersenyum. "Sebenarnya aku tidak menginginkan uru-
sanku bertambah! Namun jika kau menghendaki, den-
gan senang hati aku akan melayanimu!"
Seperti diketahui, antara Ratu Selendang Asmara
dan Bayangan Tanpa Wajah memang terjadi silang
sengketa. Bahkan keluarnya si nenek justru untuk
menyelesaikan urusan dengan Bayangan Tanpa Wajah.
Hanya saja, begitu mereka bertemu dan Bayangan
Tanpa Wajah mengemukakan apa yang saat ini tengah
dijalani, Ratu Selendang Asmara merasa tertarik. Hing-ga akhirnya kedua orang
ini melupakan apa yang men-
jadi sengketa antara mereka.
Dan seperti dituturkan pula, Bayangan Tanpa Wa-
jah mendapat tugas dari Yang Mulia Baginda Ku Nang
untuk mencari jejak murid Pendeta Sinting. Begitu
berjumpa dengan Ratu Selendang Asmara, dia segera
mengatakan apa maksudnya. Pada akhirnya kedua
orang ini sepakat. Bahkan mereka sempat pula berte-
mu dengan Pendekar 131 Joko Sableng. Mereka sem-
pat bentrok. Hanya saja begitu hampir dapat melum-
puhkan murid Pendeta Sinting, muncul Bu Beng La
Ma yang menyelamatkan nyawa murid Pendeta Sin-
ting. Tahu siapa yang menyelamatkan Pendekar 131,
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara
segera mengejar dan menuju tempat kediaman Bu
Beng La Ma. Pada mulanya, Ratu Selendang Asmara
tidak keberatan jika Dewi Bunga Asmara ikut serta ke Kuil Atap Langit. Namun di
tengah jalan Bayangan
Tanpa Wajah memberi saran pada Ratu Selendang As-
mara agar Dewi Bunga Asmara tidak usah ikut. Sete-
lah menimbang dan maklum siapa yang hendak diha-
dapi, akhirnya Ratu Selendang Asmara memerintah-
kan pada Dewi Bunga Asmara untuk pulang terlebih
dahulu. Sebenarnya Dewi Bunga Asmara tidak suka
dengan perintah gurunya.
Apalagi sejak bertemu dengan Pendekar 131, entah
karena apa diam-diam dia tertarik. Tapi karena tahu
bagimana sifat gurunya, akhirnya dengan berat hati
Dewi Bunga Asmara turuti perintah gurunya untuk
pulang terlebih dahulu. (Lebih jelasnya pertemuan antara Bayangan Tanpa Wajah
dengan Ratu Selendang
Asmara dan Dewi Bunga Asmara serta pertemuan me-
reka dengan Pendekar 131 Joko Sableng, silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode: "Kuil Atap Langit")
*** TIGA DADA Hantu Bulan Emas Laksana terbakar men-
dengar ucapan Ratu Selendang Asmara. Meski tidak
membuat gerakan, namun diam-diam laki-laki ini ke-
rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Sementara tanpa diketahui oleh Hantu Bulan Emas,
Bayangan Tanpa Wajah, dan Ratu Selendang Asmara,
sepasang mata menatap tak berkedip silih berganti pa-da ketiganya dari balik
batangan pohon.
Si pemilik mata dari balik batangan pohon adalah
seorang laki-laki berkepala gundul mengenakan pa-
kaian panjang warna kuning tanpa leher. Di bagian
pundaknya melapis kain berwarna merah yang terus
dililitkan pada pinggangnya. Paras wajahnya agak tirus dengan kumis tipis.
Jenggotnya jarang tapi menjulai
panjang. Orang ini tidak lain adalah Guru Besar Liang San.
Saat terjadi bentrok dengan Hantu Bulan Emas dan
keduanya siap hendak lepaskan pukulan, tiba-tiba da-
ri arah Kuil Atap Langit menderu satu gelombang dah-
syat yang bukan saja mampu menyapu sosok Han-tu
Bulan Emas dan Guru Besar Liang San hingga ter-
jengkang roboh, namun juga membuat pemandangan
jadi gelap karena tertutup hamburan tanah yang ter-
kena hantaman gelombang.
Saat pemandangan tertutup, Guru Besar Liang San
yang memang tidak mengharap terlibat bentrok de-
ngan Hantu Bulan Emas segera berkelebat pergi. Na-
mun sebenarnya dia tidak segera meninggalkan tempat
itu. Sebaliknya menyelinap diam-diam untuk mengeta-
hui apa yang terjadi antara Hantu Bulan Emas dengan
Bu Beng La Ma. Namun begitu muncul Bayangan Tanpa Wajah dan
Ratu Selendang Asmara serta mendengar percakapan
ketiganya, dada Guru Besar Liang San jadi berdebar-
debar. Diam-diam dia berkata dalam hati.
"Apa yang hendak diminta Bayangan Tanpa Wajah
dan nenek itu"! Hem.... Hantu Bulan Emas menduga
Bu Beng La Ma memegang peta wasiat itu. Lalu apa-
kah yang diminta keduanya juga peta wasiat itu"! Ba-
gaimana hal ini bisa terjadi" Mungkinkah benar Bu
Beng La Ma memegang separo dari peta wasiat itu"!
Tapi dari mana"! Menurut Baginda Ku Nang, Yang Kui
Tan diselamatkan pemuda asing di tengah laut, berarti Yang Kui Tan belum sampai
bertemu dengan Bu Beng
La Ma. Atau mungkinkah pemuda asing itu yang mem-
berikan peta wasiat pada Bu Beng La Ma..."! Hem....
Urusan ini jadi makin rumit! Padahal hari ganda se-
puluh tidak lama lagi...! Apa yang harus kulakukan"!"
Selagi Guru Besar Liang San membatin begitu, tiba-
tiba dari arah depan sana terdengar Hantu Bulan E-
mas angkat suara. Suaranya terdengar bergetar tanda
orang ini telah dilanda hawa amarah yang meluap.
"Ratu Selendang Asmara! Seperti halnya dirimu, se-
benarnya aku pun tidak ingin menambah urusan. Tapi
jika kau hendak teruskan niat, aku pun siap melade-
ni!" Belum sampai Ratu Selendang Asmara sambuti
ucapan Hantu Bulan Emas, dari Kuil Atap Langit, Bu
Beng La Ma perdengarkan suara.
"Sahabat Ratu Selendang Asmara dan Bayangan
Tanpa Wajah.... Aku minta maaf kalau tempo hari ter-
paksa ikut campur dalam masalah kalian berdua. Aku
tahu apa yang membawa kalian jauh-jauh datang ke
tempatku ini! Pasti kehadiran kalian masih ada hu-
bungannya dengan urusan tempo hari...."
Ratu Selendang Asmara dongakkan kepala. "Bu
Beng La Ma! Syukur kalau kau telah tahu apa maksud
kedatangan kami berdua! Kuharap kau juga tahu dan
sadar apa sebaiknya yang harus kau lakukan!"
"Sahabat berdua! Aku telah lakukan apa yang me-
nurutku terbaik!" Bu Beng La Ma menyahut dari pun-
cak kuil. "Bagus! Sekarang harap kau serahkan dia padaku!
Dan urusan di antara kita selesai sampai di sini!" Ratu Selendang Asmara
berujar. "Kalian berdua datang terlambat! Dia telah pergi...."
Mendengar ucapan Ratu Selendang Asmara dan Bu
Beng La Ma, Hantu Bulan Emas dan Guru Besar Liang
San yang mendekam sembunyi di balik batangan po-
hon sama kerutkan dahi. Keduanya sama membatin.
"Siapa yang dimaksud mereka"!"
Sementara itu mendengar sambutan Bu Beng La
Ma, Ratu Selendang Asmara berpaling pada Bayangan
Tanpa Wajah. "Aku tidak percaya dengan ucapannya sebelum aku
melihat buktinya!" kata Bayangan Tanpa Wajah. "Kita
harus buktikan dahulu kebenaran ucapannya!"
Seraya berkata, Bayangan Tanpa Wajah melangkah
dan tegak menjajari Ratu Selendang Asmara. Sementa-
ra Guru Besar Liang San makin pentang mata dengan
dada makin dilanda berbagai pertanyaan.
"Hantu Bulan Emas!" kata Bayangan Tanpa Wajah.
"Kami hanya perlu membuktikan kebenaran ucapan
Bu Beng La Ma! Harap kau tidak menghalangi!"
Hantu Bulan Emas tidak segera menyahut. Dia ter-
diam beberapa lama sebelum akhirnya berkata.
"Kita sama punya urusan. Aku bukannya takut
menghadapi kalian berdua, tapi aku tawarkan jalan
terbaik!" "Maksudmu"!" tanya Ratu Selendang Asmara.
Hantu Bulan Emas dongakkan kepala mengarah
pada Kuil Atap Langit. "Kita naik bersama-sama!"
Ratu Selendang Asmara dan Bayangan Tanpa Wa-
jah saling palingkan kepala dan saling pandang untuk beberapa saat.
"Kita tidak boleh membuat urusan baru.... Sebaik-
nya kita terima usulnya! Lagi pula untuk sementara ini kita harus hindari urusan
yang tidak ada hubungannya dengan peta wasiat!" Bayangan Tanpa Wajah ber-
bisik. Ratu Selendang Asmara anggukkan kepala meski je-
las wajahnya membayangkan rasa enggan dengan usul
Bayangan Tanpa Wajah.
"Hantu Bulan Emas bukan orang baik-baik! Walau
kita setuju usulnya, kita harus tetap berhati-hati!" Ra-tu Selendang Asmara
berkata dengan suara ditekan.
"Kalau dia berbuat macam-macam, dia manusia
yang bernasib jelek!" ujar Bayangan Tanpa Wajah de-
ngan suara pelan pula lalu hadapkan wajah ke arah
Hantu Bulan Emas dan angkat suara.
"Hantu Bulan Emas! Kita naik bersama-sama!"
Habis berkata begitu, Bayangan Tanpa Wajah me-
langkah ke arah tangga. Ratu Selendang Asmara men-
gikuti dari belakang dengan mata terus melirik mem-
perhatikan gerak-gerik Hantu Bulan Emas.
Hantu Bulan Emas tampaknya dapat menangkap
pandangan curiga Ratu Selendang Asmara. Dengan se-
ringai dingin dan seraya palingkan kepala ke atas,
Hantu Bulan Emas bersuara.
"Aku paling tidak suka dengan sikap pura-pura di
balik ucapan! Kalau kalian tidak setuju dengan usul-ku, jangan...."
Belum sampai Hantu Bulan Emas teruskan ucapan,
dari puncak kuil terdengar ucapan.
"Sahabat sekalian! Bukan aku tak suka atas kun-
jungan kalian ke tempatku. Namun sesungguhnya ke-
hadiran kalian tidak akan mendapatkan apa-apa! Se-
baiknya kalian segera tinggalkan tempat ini.... Mungkin di luaran sana kalian
akan mendapatkan apa yang
kalian cari!"
Hantu Bulan Emas yang ucapannya dipotong tam-
pak pasang tampang garang. Dia berpaling pada
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara
yang sudah berada di dekatnya.
"Jangan pedulikan ucapannya!" kata Bayangan
Tanpa Wajah lalu melompat dan tahu-tahu telah tegak
di samping Hantu Bulan Emas. Ratu Selendang Asma-
ra tidak tinggal diam. Dia segera pula melesat dan tegak di tangga pertama.
Namun si nenek tidak Hirau-
kan ucapan Bu Beng La Ma, sebaliknya terus melirik
curiga pada Hantu Bulan Emas.
Hantu Bulan Emas tidak bisa lagi menahan rasa ge-
ram. Dengan nada dingin dia berkata.
"Ratu Selendang Asmara! Aku telah tawarkan se-
suatu. Kalau kau masih merasa curiga, aku tanya apa
maumu sebenarnya!"
Bayangan Tanpa Wajah yang tidak menginginkan
terjadi urusan baru segera menyahut. "Kita telah sama sepakat! Hilangkan
prasangka dan rasa curigai!"
Hantu Bulan Emas berpaling pada Ratu Selendang
Asmara. Si nenek juga sentakkan kepala menatap pa-
da Hantu Bulan Emas. Kedua orang ini perang pan-
dang beberapa lama dengan mulut sama terkancing.
Bayangan Tanpa Wajah memandang silih berganti
pada Hantu Bulan Emas dan Ratu Selendang Asmara.
Lalu berkata dengan suara agak keras.
"Sebelum kita lanjutkan, aku ingin tanya pada ka-
lian." "Tidak ada yang perlu ditanyakan!" Ratu Selendang
Asmara sudah menyahut dengan mata terus menatap
pada Hantu Bulan Emas. "Aku tahu siapa orang-orang
dunia persilatan di negeri ini! Aku tahu pula bagaima-na tabiat mereka!"
Hantu Bulan Emas mendengus. Dia sudah buka
mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, dia rasakan
tangga batu pijakannya bergetar. Dia berpaling ke arah Bayangan Tanpa Wajah lalu
menghadap lagi pada Ratu
Selendang Asmara.
Di lain pihak, Ratu Selendang Asmara dan Bayan-
gan Tanpa Wajah tampak sedikit terkejut. Seperti hal-
nya Hantu Bulan Emas, si nenek dan laki-laki berwa-
jah hitam legam ini juga merasakan tangga batu di
mana mereka kini tegak berdiri juga bergetar.


Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum sempat ketiga orang ini lakukan sesuatu dan
tahu apa yang terjadi, mendadak dari Kuil Atap Langit terdengar gemuruh. Hantu
Bulan Emas, Bayangan
Tanpa Wajah, serta Ratu Selendang Asmara sama do-
ngakkan kepala. Namun bersamaan itu dari atas sana
tampak menebar hamparan kabut hitam. Bukan saja
menutup tangga batu, melainkan meluncur deras ke
arah ketiganya!
"Cepat menyingkir!" teriak Hantu Bulan Emas se-
raya melompat. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Se-
lendang Asmara tertegun sesaat. Namun saat lain ke-
duanya melesat ketika merasakan hawa panas mulai
menyungkup tempat itu! Padahal kabut hitam masih
sejarak tujuh tangga di atas sana.
Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang
Asmara injakkan kaki di bawah, kabut hitam telah me-
nutup seluruh tangga batu hingga yang terlihat hanyalah warna hitam. Sementara
udara mendadak berubah
jadi panas menyengat!
Ratu Selendang Asmara menoleh pada Bayangan
Tanpa Wajah. "Kita harus menerobos ke atas!"
"Jangan bertindak gegabah! Ini bukan kabut biasa!"
kata Bayangan Tanpa Wajah.
"Lalu apa yang akan kita lakukan"!"
"Kita tunggu apa yang akan dilakukan Hantu Bulan
Emas! Habis menjawab begitu, Bayangan Tanpa Wajah
berpaling pada Hantu Bulan Emas. Sementara kabut
hitam terus berputar. Anehnya kabut hitam itu hanya
menyungkup di sekitar tangga batu yang menuju Kuil
Atap Langit. Hingga bukan saja membuat tangga batu
itu tidak kelihatan dan tebarkan hawa panas menyen-
gat, namun juga keluarkan suara bergemuruh!
"Hem.... Jurus 'Sembilan Gerbang Matahari' tingkat
empat!" desis Hantu Bulan Emas. Dia cepat melompat
sejajar di depan kabut hitam yang terus berputar me-
nutup tangga batu. Saat lain kedua tangannya disen-
takkan ke arah kabut hitam.
Wuutt! Wuuttt! Dari kedua telapak tangan Hantu Bulan Emas me-
nebar sinar berwarna kuning. Kabut hitam tampak
menyibak laksana membuat jalan setapak. Saat itu ju-
ga samar-samar terlihat tangga batu yang tadi tertutup kabut hitam.
Hantu Bulan Emas tidak menunggu lama. Begitu
kabut hitam menyibak, dia segera melesat menerobos
kabut hitam. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra pentang mata memandang ke arah sosok Hantu Bu-
lan Emas yang begitu melompat langsung lenyap lak-
sana ditelan kabut hitam.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba dari arah puncak
kuil terdengar suitan nyaring. Saat yang sama tampak sinar berkilau putih
menerobos hamparan kabut hitam.
Hampir bersamaan dengan melesatnya sinar putih,
dari tengah kabut hitam berkiblat hamparan cahaya
kuning menyongsong sinar putih.
Blammmm! Terdengar ledakan keras. Kabut hitam langsung
buyar porak-poranda. Sinar putih dan cahaya kuning
bertabur ke udara. Lalu terlihat sosok Hantu Bulan
Emas terpental dari atas.
Melihat hal demikian, Ratu Selendang Asmara yang
masih memendam geram pada Hantu Bulan Emas ce-
pat angkat kedua tangannya hendak lepas pukulan ke
arah Hantu Bulan Emas.
"Jangan membuat masalah!" bentak Bayangan Tan-
pa Wajah seraya melompat dan memegang kedua len-
gan Ratu Selendang Asmara.
Si nenek mendengus tidak senang. Namun dia u-
rungkan niat. Sementara Hantu Bulan Emas terus me-
luncur deras ke bawah sebelum akhirnya jatuh terka-
par di atas tanah!
Meski merasakan sekujur tubuhnya laksana remuk,
namun karena merasa malu pada Bayangan Tanpa
Wajah dan Ratu Selendang Asmara, Hantu Bulan E-
mas cepat bergerak bangkit. Saat lain dia sudah me-
lesat dan menerobos kembali ke hamparan kabut hi-
tam! Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra hanya memandang tanpa ada yang buka suara. Se-
mentara Hantu Bulan Emas terus berkelebat menaiki
tangga dengan kerahkan hampir segenap tenaga da-
lamnya. Namun kali ini Hantu Bulan Emas sedikit me-
rasa lega, karena hingga hampir mencapai puncak
kuil, dia tidak merasakan atau melihat gerakan men-
curigakan dari Kuil Atap Langit. Tapi Hantu Bulan
Emas tak mau bertindak ayal. Dia tetap waspada, ma-
lah begitu sepasang kakinya menginjak bagian depan
Kuil Atap Langit, laki-laki ini segera angkat kedua tangannya. Sepasang matanya
dipentang memandang
berkeliling. Mungkin karena pandangannya masih tertutup ka-
but hitam, dan khawatir orang akan lakukan pukulan
tanpa dapat disiasati, Hantu Bulan Emas sentakkan
tangan kirinya.
Wutttt! Satu gelombang cahaya kuning berkiblat. Hampa-
ran kabut hitam langsung semburat amblas. Saat ber-
samaan suasana berubah terang benderang!
Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asma-
ra dongakkan kepala. Mereka dapat melihat sosok
Hantu Bulan Emas yang tegak dengan kedua tangan
diangkat. "Kita harus segera naik!" kata Bayangan Tanpa Wa-
jah. Tanpa menunggu sahutan Ratu Selendang Asmara,
Bayangan Tanpa Wajah segera melesat menaiki tangga
batu yang kini telah terlihat lagi. Ratu Selendang Asmara cepat pula mengikuti
dari belakang. Di lain pi-
hak, begitu keadaan terang benderang, Hantu Bulan
Emas cepat melompat dan tegak di ambang pintu yang
terbuka di Kuil Atap Langit.
Namun hingga agak lama edarkan pandangan ke
dalam kuil, Hantu Bulan Emas tidak melihat siapa-
siapa! "Keparat! Ke mana jahanam itu"!" desis Hantu Bu-
lan Emas. Dia sudah buka mulut hendak berteriak,
namun sebelum suaranya terdengar, satu suara men-
dahului. "Ke mana dia"!"
Hantu Bulan Emas berpaling. Bayangan Tanpa Wa-
jah dan Ratu Selendang Asmara telah tegak di sam-
pingnya. "Dengan melihat keadaan, seharusnya kalian tidak
ajukan tanya!" sahut Hantu Bulan Emas lalu sentak-
kan kepala memandang ke dalam kuil.
Jawaban Hantu Bulan Emas serta sepintas melihat
suasana, tampaknya Bayangan Tanpa Wajah sudah
bisa membaca situasi. Tanpa buka suara, Bayangan
Tanpa Wajah melompat ke dalam kuil. Kepalanya ber-
putar dengan mata memperhatikan sekeliling. Semen-
tara Ratu Selendang Asmara tetap tegak di samping
Hantu Bulan Emas dengan mata sesekali melirik ke
arah Hantu Bulan Emas.
"Dia telah meninggalkan tempat ini!" gumam
Bayangan Tanpa Wajah. Dia arahkan pandang ma-
tanya sesaat pada Hantu Bulan Emas, saat lain, masih tanpa perdengarkan suara,
dia berkelebat keluar dari kuil.
"Kita harus segera tinggalkan tempat ini!" bisik
Bayangan Tanpa Wajah begitu tegak kembali di samp-
ing Rata Selendang Asmara.
Tanpa menunggu lama, Bayangan Tanpa Wajah se-
gera melesat menuruni tangga batu. Ratu Selendang
Asmara memandang sesaat ke dalam kuil sebelum ak-
hirnya menumbuk pada sosok Hantu Bulan Emas.
Saat yang sama Hantu Bulan Emas berpaling me-
mandang ke arah si nenek. Unjuk kesekian kalinya
kedua orang ini saling perang pandang.
Kalau perturutkan hati, rasanya ingin si nenek
langsung lepaskan pukulan ke arah Hantu Bulan
Emas apalagi dia tahu benar jika Hantu Bulan Emas
dalam keadaan terluka dalam. Namun ingat akan uca-
pan Bayangan Tanpa Wajah dan urusan yang tengah
dihadapi, Ratu Selendang Asmara cepat balikkan tu-
buh lalu berkelebat menuruni tangga batu.
Kepergian Ratu Selendang Asmara membuat Hantu
Bulan Emas sedikit merasa lega. Sesaat tadi dia kha-
watir. Dia sadar, jika terjadi bentrok dengan si nenek, tak urung dia akan
kewalahan karena dia memang telah terluka dalam. Bukan saja karena mental dari
tengah tangga batu, namun juga karena bentrok dengan
Guru Besar Liang San.
Begitu Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang
Asmara lenyap di bawah sana, Hantu Bulan Emas ce-
pat melangkah memasuki Kuil Atap Langit. Seolah ma-
sih tidak percaya, Hantu Bulan Emas mengitari bagian dalam kuil dengan sikap
waspada. Namun begitu maklum kalau kuil itu kosong, Hantu Bulan Emas hen-
takkan kaki seraya berteriak.
"Bu Beng La Ma! Di bawah langit sudah tidak ada
lagi tempat bagimu! Sia-sia kau lari dari tanganku!"
Hantu Bulan Emas hentakkan kaki sekali lagi, lalu
melesat keluar dan menuruni tangga batu dengan
tampang beringas!
*** EMPAT PENDEKAR 131 Joko Sableng terus berlari laksana
dikejar setan. Bahkan mungkin karena khawatir diiku-
ti orang, sesekali dia palingkan kepala ke belakang. Setelah merasa yakin tidak
ada orang yang mengikuti,
barulah murid Pendeta Sinting memperlambat larinya.
"Mungkin aku tidak bisa bertemu lagi dengan Mei
Hua.... Hem.... Apa aku harus langsung menyelidik ke Perguruan Shaolin"! Hari
ganda sepuluh sudah tidak
lama lagi! Aku tak punya waktu banyak...."
Baru saja murid Pendeta Sinting membatin begitu,
mendadak ekor matanya menangkap kelebatan satu
sosok bayangan. Joko cepat menyelinap. Namun be-
lum sampai bergerak lebih jauh, di depan sana sejarak lima belas langkah, telah
tegak menghadang seorang
gadis muda! Pendekar 131 hentikan larinya dengan mata dibe-
liakkan memandang pada orang. Dia adalah seorang
gadis berwajah jelita mengenakan pakaian merah.
Rambutnya panjang digeraikan menutup sebagian
pundak kanan kirinya. Matanya bulat dengan hidung
mancung dan bibir merah ranum.
"Hem.... Gadis-gadis di negeri ini ternyata cantik-
cantik juga! Sayang sekali aku tengah menjalankan sesuatu yang sangat
penting...," kata Joko dalam hati.
Dia tersenyum dengan anggukkan kepala. Namun dia
merasa heran, gadis berpakaian merah di seberang te-
tap diam tidak membuat gerakan atau berusaha buka
mulut, membuat Joko pentang mata sekali lagi untuk
memperhatikan hingga untuk beberapa saat lama-nya
kedua orang ini baling tatap dengan tegak tak bergerak dan tak bersuara.
Tampaknya murid Pendeta Sinting tak betah ber-
diam diri dan hanya saling pandang. Akhirnya dia angkat suara.
"Gadis cantik...." Hanya sampai di situ Joko ber-
ucap. Karena si gadis berpakaian merah telah bersua-
ra. "Orang, tak dikenal! Benar kau adalah pemuda a-
sing yang...."
Karena tadi ucapannya dipotong oleh si gadis, kini
sebelum si gadis sempat lanjutkan ucapan, murid Pen-
deta Sinting ganti menukas.
"Kau mungkin salah lihat! Aku bukan pemuda as-
ing.... Aku orang negeri ini seperti halnya dirimu! Dan aku tidak heran dengan
tuduhanmu, karena hal itu
sudah sering terjadi! Aku sendiri heran, banyak orang yang pertama kali jumpa
denganku mengatakan aku
adalah orang asing!"
Si gadis melangkah maju. Sepasang matanya yang
bulat dijerengkan memperhatikan dengan seksama so-
sok murid Pendeta Sinting dari atas hingga bawah.
Melihat sikap si gadis, Pendekar 131 tidak tinggal
diam. Dia ikut-ikutan melangkah maju dengan mata
dipentang besar-besar memperhatikan orang. Dan se-
belum si gadis sempat angkat suara, Joko telah men-
dahului. "Aku harus teruskan perjalanan. Harap kau tidak
menghadangi"
Si gadis hentikan langkah. Kepalanya bergerak
menggeleng. Joko ikut hentikan langkah lalu kepala-
nya bergerak mengangguk. Bibirnya tersenyum.
"Aku tidak akan menghadang jalanmu! Tapi kau
harus berterus terang!"
"Hem.... Aku telah berterus terang padamu bahkan
sebelum kau bertanya lebih jauh!" sahut murid Pen-
deta Sinting. Si gadis tersenyum dingin. Dia alihkan pandang ma-
tanya ke jurusan lain seraya berkata. "Jangan kau salah duga kalau aku bertanya
tentang siapa dirimu!"
"Hem.... Aku tidak berburuk sangka. "Hanya aku
merasa heran jika ada orang yang mengatakan aku
adalah orang asing! Coba katakan apa yang mem-
buatmu mengatakan aku orang asing"!"
Kepala si gadis kembali berpaling dan matanya me-
mandang tajam pada murid Pendeta Sinting. "Aku tak
bisa mengatakan. Tapi aku hampir merasa yakin kau
bukan orang negeri ini!"
Karena tak mau membuang waktu dan lebih lagi tak
mau dirinya diketahui, Pendekar 131 segera angkat


Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara seraya melangkah.
"Gadis cantik.... Harap katakan saja apa maumu
sebenarnya!"
"Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!"
"Maksudmu...?"
Si gadis terlihat sunggingkan senyum. "Kau telah
dengar. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya!"
"Tentu kau punya maksud dengan keinginanmu
itu!" "Aku tak punya maksud apa-apa! Aku hanya seka-
dar ingin tahu!"
"Baik! Aku akan katakan apa keinginanmu. Tapi
sebelumnya kau harus katakan siapa dirimu sebenar-
nya!" "Aku Siao Ling Ling...."
"Aku.... Kue Tong-Tong...."
Baru saja Joko sebutkan diri dengan Kue Tong-
Tong, mendadak satu bayangan berkelebat. Gadis ber-
baju merah yang memperkenalkan diri bernama Siao
Ling Ling palingkan kepala. Raut wajahnya seketika
berubah. Sepasang matanya membelalak besar.
Pendekar 131 menoleh. "Mei Hua...," desisnya keti-
ka matanya melihat seorang gadis berparas cantik je-
lita tegak tidak jauh di seberang samping sana. Dia
adalah seorang gadis muda mengenakan pakaian war-
na merah muda dengan rambut diberi pita. Gadis ini
bukan lain memang Mei Hua. (Tentang pertemuan an-
tara murid Pendeta Sinting dengan Mei Hua silakan
baca serial Joko Sableng dalam episode : "Wasiat
Agung Dari Tibet").
Seperti halnya Siao Ling Ling, Mei Hua juga terlihat kaget demi melihat Siao
Ling Ling. Sepasang matanya
menatap tajam untuk beberapa saat dengan mulut
terkancing rapat.
"Hem.... Dari gelagatnya, mereka berdua telah sa-
ling kenal. Hanya saja, mengapa mereka tampak terke-
jut"!" Joko membatin. Lalu buka suara.
"Mei Hua.... Aku senang bisa bertemu denganmu.
Dengan begitu apa yang menjadi ganjalan hati gadis
itu bisa lenyap!"
Mei Hua berpaling pada murid Pendeta Sinting. Na-
mun gadis ini belum juga buka suara menyahut. Bah-
kan dia hanya memandang sesaat pada Joko. Di lain
saat dia telah memandang kembali pada Siao Ling
Ling. "Hem.... Pemuda ini telah mengenal Mei Hua! Jadi
apa benar bukan pemuda ini yang selama ini dikata-
kan orang asing dan tengah dicari beberapa orang"!
Hanya saja, mengapa Mei Hua tiba-tiba muncul di si-
ni"!" Siao Ling Ling berkata dalam hati. "Aku harus segera pergi.... Aku tak mau
orang lain tahu apa yang
tengah kulakukan!"
Membatin begitu, tanpa buka suara lagi Siao Ling
Ling berkelebat. Namun bersamaan dengan itu Mei
Hua melesat dan memotong gerakan Siao Ling Ling se-
raya berujar. "Harap tidak segera pergi! Kita perlu bicara!"
Siao Ling Ling urungkan niat teruskan kelebatan.
Dia berpaling sesaat pada Pendekar 131 sebelum arah-
kan pandang matanya pada Mei Hua dan berucap.
"Aku akan turuti keinginanmu. Tapi bukan di sini!"
"Hem...!" Mei Hua mendehem seraya anggukkan ke-
pala dengan mata melirik pada murid Pendeta Sinting.
Diam-diam gadis cantik berpakaian merah muda itu
membatin. "Aku belum tahu apa maksud tujuannya
sampai dia ikut campur tangan dalam urusan ini. Se-
lama ini belum pernah kulihat dan kudengar dia turun tangan dalam urusan
persilatan! Mungkinkah ini masih ada hubungannya dengan peta itu...?"
"Aku tak punya banyak waktu! Kalau kau ingin bi-
cara, ikuti aku!" kata Siao Ling Ling. Dia menatap sejenak pada murid Pendeta
Sinting. Saat lain dia berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mei Hua tegak memperhatikan sesaat. Tanpa buka
suara dan memandang pada Pendekar 131, dia berke-
lebat mengikuti Siao Ling Ling.
"Ada yang tak beres dengan mereka berdua! Sikap
kedua gadis ini mencurigakan!" kata Joko dalam hati sembari melompat dan tegak
menghadang gerakan Mei
Hua. "Kita juga perlu bicara!" kata Joko.
Mei Hua hentikan gerakan. Dia masih memandang
pada kelebatan sosok Siao Ling Ling saat buka mulut.
"Katakan apa yang akan kau bicarakan!"
"Siapa gadis tadi"!" tanya Joko.
Raut wajah Mei Hua sedikit berubah. "Kau tertarik
padanya"!"
Joko tersenyum seraya gelengkan kepala. "Dia me-
mang cantik. Tapi kau lebih menarik...."
Air muka gadis di hadapan murid Pendeta Sinting
tampak bersemu merah. Dia cepat sentakkan kepala
sembunyikan perubahan wajahnya seraya berkata
dengan suara pelan. "Kau telah dengar jika aku akan
bicara dengan gadis tadi! Jadi harap segera katakan
apa maumu!"
"Aku ingin tahu siapa sebenarnya gadis tadi!"
"Mengapa kau ingin tahu"!"
"Sebagai orang baru di negeri ini, sudah selayaknya
aku ingin tahu...."
"Dia sahabatku.... Dan tentu kau masih ingat nama
yang disebutkan!"
Joko anggukkan kepala. "Boleh aku tahu, apa yang
akan kalian bicarakan?"
"Ini urusan sahabat dan perempuan! Harap kau ti-
dak tertarik dengan apa yang akan kubicarakan de-
ngannya karena kau sendiri punya tugas yang harus
segera kau selesaikan!"
"Hem.... Gadis ini tampaknya telah tahu banyak
tentang diriku! Tapi aku harus tetap hati-hati. Dia
memang telah memberi peringatan tempo hari hingga
aku bisa menyelinap ke shaolin. Tapi bukan berarti
aku boleh mempercayainya! Siapa tahu ini adalah se-
buah jebakan!"
"Masih ada yang ingin kau katakan"!" tanya Mei
Hua seraya berpaling ke arah mana tadi Siao Ling Ling berkelebat.
Karena Pendekar 131 tidak segera menjawab, Mei
Hua menoleh dan berkata,
"Kau harus tetap waspada dan lebih berhati-hati!
Kejadian di Kuil Shaolin telah menyulut rasa saling curiga antara kaum
persilatan di negeri ini. Hal ini tentu akan membuat pekerjaanmu tambah berati
Seka-rang aku harus pergi!"
Belum sampai Joko sempat menyahut, Mei Hua su-
dah berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Kalau saja tidak tengah menghadapi urusan pen-
ting, aku ingin tahu apa yang akan mereka bicarakan!
Urusan perempuan tentu sangat menarik.... Sebagai
gadis muda dan berparas cantik, yang akan mereka bi-
Misteri Pulau Neraka 9 Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Jago Kelana 16
^