Pencarian

Lagu Rindu Puncak Ciremai 1

Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai Bagian 1


LAGU RINDU DARI
PUNCAK CIREMAI Karya Djair Warni
Penerbit SARANA KARYA
Cetakan pertama 1991
Setting oleh : Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
1 Di suatu pagi yang cerah matahari mulai memancarkan sinar keemasannya menyinari
alam sekitarnya. Angin berhembus sepoi-sepoi basah menambah sejuk udara yang
dihirup oleh makhluk-makhluk yang ada di permukaan bumi ini. Udara yang begitu
segar jauh dari polusi.
Nun jauh di sana di kaki gunung
Ciremai, di mana mata memandang terlihat pemandangan yang sangat indah. Para
petani begitu asyiknya mencangkul
tanahnya di sawah. Padi-padi yang hijau maupun yang telah menguning dengan latar
belakang Ciremai yang menjulang kokoh ke angkasa raya menambahkan keindahan alam
sekitarnya. Pemandangan yang begitu indah dan tertata rapi itu seperti goresan lukisan yang
begitu indah dari sang Pencipta. Puncaknya yang perkasa menembus cakrawala
dengan awan bergumpal-gumpal di udara laksana kapas raksasa mengambang.
Di sana Ciremai berdiri tegak membiru dalam kebisuannya. Semakin kita telusuri
ke dalam, terlihatlah di atas tebing-tebing terjal di sebelah Utara, suatu benda
bergerak merayap, perlahan tapi pasti.
Benda itu sangat kecil bila
dibandingkan dengan alam di sekitarnya,
batu-batu cadas yang besar begitu besar bila dibandingkan dengan benda tersebut.
Gerakannya seolah-olah ingin menak-lukkan gunung perkasa itu dengan jalan
merayap ke puncaknya. Ternyata benda yang sedang merayap naik itu adalah seorang
manusia. Sesosok tubuh manusia berpakaian
seperti seorang pendekar silat dengan ikat kepala yang berwarna sama dengan kain
yang melilit di pinggangnya. Setiap kali kakinya menginjak tebing, maka setiap
kali pula batu-batu kerikil berguguran ke dasar jurang yang sangat dalam
Apakah sebenarnya yang mendorong
semangatnya untuk bertarung melawan keterjalan lereng gunung itu" Barangkali
saja apabila ia tergelincir sedikit saja, maka tubuhnya akan melayang ke dasar
jurang nun jauh di bawah sana. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya, sementara
batu yang berjatuhan saja hancur di bawah sana, apalagi tubuh manusia.
Sambil terus merayap, sesekali
tampak ia mengusap peluh di tubuhnya.
Manusia itu terus merayap dengan penuh perhitungan. Selang beberapa saat ia
telah sampai di puncak tebing itu. Tampak kemudian ia mengangkat tangannya
seperti sedang mengucapkan syukur kehadirannya atas keselamatannya sampai di
tempat tersebut. Manusia itu lalu menengok ke bawah sana di mana terlihat sungai-sungai yang
berliuk-liuk seperti seekor naga yang sedang menari, menggeliat lincah ke sana
ke mari dengan airnya yang jernih. Di kejauhan, horison melengkung menggambarkan
langit yang seperti sedang berpelukan dengan bumi bak sepasang suami istri yang
sedang berkasihan.
"Sungguh menakjubkan! Oh.. Yang Maha Pencipta, betapa indah alam yang Kau
ciptakan ini. Semua yang ada di sini adalah untuk umat-Mu. Sungguh Engkau Maha
Pemurah," gumam orang itu sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Setelah puas memandang, ia lalu
menyandarkan tubuhnya ke sebuah batu besar untuk beristirahat. Mendadak ia
seperti teringat akan sesuatu. Diambilnya sebuah
suling dari bambu itu, maka
mengalunlah sebuah irama yang melantunkan bayangan kerinduan sebuah hati di
antara tebing-tebing cadas yang menyeramkan itu Tutuliliut... Tetiutiut..
tuiiii... ... Kasih yang jauh di sana,
... Aku selalu terbayang-bayang,
... Di kala tidur maupun terjaga,
... Engkau selalu hadir sayang..."
Dalam kesendiriannya di puncak
tebing itu, tak seorang pun menemaninya, kecuali seruling bambu satu-satunya
yang merupakan pelipur duka hati manusia tersebut.
Siapakah orang itu" Wajahnya begitu simpatik dengan pakaian bersahaja yang
mencerminkan kesederhanaan jiwanya pula.
Dia tak lain adalah Parmin alias si Jaka Sembung! Pendekar dari gunung Sembung
yang terkenal. Ketika lelahnya telah berkurang
banyak dan tenaganya mulai pulih kembali, tampak Parmin berdiri dan kembali
melanjutkan perjalanannya merayapi tebing Ciremai. Seorang diri ia kembali
menanjaki tebing demi tebing untuk mencapai puncak Ciremai yang sesungguhnya.
Keesokan harinya ketika matahari
mulai bergenit kembali dengan sinarnya yang terang, Parmin telah sampai di
sebuah dataran yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Udara sangat sejuk dan
nyaman terasa di kulit. Parmin terus melangkah. Matanya berkeliling mencari
sesuatu. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan pandangan matanya tertumbuk pada
suatu tempat. Tempat tersebut sangat bersih dan rapi, seolah-olah ada tangan yang mengurus dan
mengaturnya. Sungguh unik dan fantastis sekali keadaannya. Sembilan buah batu
berkeliling membentuk garis
oval, tersusun rapi seperti diatur untuk mengadakan suatu pertemuan.
"Inikah tempat yang dikatakan guru"
Tempat Wali Sanga bermusyawarah?" gumam Parmin dalam hati. Pandangan matanya
lalu tertuju pada sebuah batu besar di sebelah kanannya. Parmin lalu mendekati
batu besar tersebut. Terlihatlah beberapa baris tulisan dalam huruf Arab Jawi
yang menerangkan nama beberapa orang.
Sunan Gunung Jati pada baris
pertama! Sunan Kalijaga pada baris kedua.
Demikian seterusnya sampai jumlah nama tersebut mencapai sembilan orang.
Waktu pun tak terasa lagi oleh
Parmin. Ternyata matahari telah tepat berada di atas ubun-ubunnya. Parmin lalu
segera bergegas melakukan salah satu kewajiban rukun Islam, yaitu melakukan
shalat Dzuhur. Ia segera bertayamum karena tak ada sumber air di sekitar situ,
dan segera melaksanakan niatnya.
Ketika Parmin telah mencapai tahap akhir shalatnya, tepat di bagian Tahyatul
Akhir, indranya menangkap sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Tepat ketika
ia mengucapkan salam kedua menjelang salam ketiga, telinganya yang sangat
terlatih mendengar suara kaki bergeser dengan halus dan mendekat ke arahnya.
Tiba-tiba secara refleks tubuhnya
meletik ke udara bagaikan seekor belalang ketika empat buah senjata rahasia
dengan kilatan cahaya berwarna hijau meluncur dengan deras ke arahnya.
"Ser...! Seerrrr...! Siuuut...!"
Serangan yang tiba-tiba itu dapat dihindari Parmin dengan manis, namun belum
sempat kakinya menginjak tanah kembali, ia harus jungkir balik lagi untuk
menghindari serangan kedua.
"Hiiiihhh...!"
"Tep!"
Sambil berjungkir balik itu Parmin berhasil menangkap salah satu senjata rahasia
itu dan melontarkannya kembali ke si pemilik yang menyerangnya secara gelap itu.
Parmin berusaha untuk mendarat kembali di tanah setelah melemparkan senjata
rahasia tersebut sebagai serangan balasan. Namun sebelum kakinya mencapai tanah,
kembali seberkas sinar merah menyergap ke arahnya.
"Wuuussss... Duaarrr...!"
Sinar itu meledak di udara dan
mengeluarkan asap berwarna hitam merah.
Senjata rahasia yang tadi dilemparkan Parmin secara jitu berhasil memukul
senjata berupa sinar merah tersebut di tengah jalan. Kembali Parmin terpaksa
berjumpalitan beberapa kali untuk menghindari serangan dan menjaga kemungkinan
serangan berikutnya.
Bersamaan dengan itu melayanglah
sesosok tubuh dengan dua bilah pedang di tangan yang langsung menyerbu ke arah
Parmin. Jaka Sembung melompat beberapa kali ke belakang dan memandang dengan
mata membelalak melihat keberingasan orang menyerbu ke arahnya karena ia merasa
tak mengenali siapa penyerangnya itu.
"Tunggu dulu! Siapakah gerangan anda
dan kenapa tiba-tiba anda
menyerangku?" bentak Parmin sambil terus bersiaga terhadap serangan berikutnya
yang sewaktu-waktu menyusul.
Belum habis keheranan Parmin atas serangan bertubi-tubi terhadap dirinya itu,
kini di hadapannya telah muncul seorang dara manis berpakaian ala pendekar dari
daratan Tiongkok. Rambutnya diikat dengan pita merah yang membelah rambut itu
menjadi dua bagian. Pakaian berwarna merah membungkus ketat tubuh langsing namun
berisi dara tersebut.
Seperti kilat, dara itu kembali
menyerang bagian-bagian tertentu dari tubuh Parmin dengan dua buah pedangnya
yang dimainkan sekaligus. Sekalipun begitu berbahaya, namun gerakannya begitu
indah dipandang mata seperti sebuah tarian ballet yang menakjubkan. Semula
Parmin agak kerepotan menghindarinya.
Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau
tak segera menguasai keadaan. Dengan segera ia dapat membaca gerakan-gerakan
lawan, dan dengan cekatan pula ia dapat menghindar sambil sesekali melancarkan
serangan gertakan terhadap lawan.
"Hmm, gadis asing ini sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk bicara
dengannya," gumam Parmin dalam hati sambil terus menghindar. "Apakah aku harus
terus menghindar?" tanyanya lagi dalam hati. Di suatu kesempatan yang baik
Parmin melancarkan sebuah serangan balasan.
"Traangg...!" Dua buah senjata beradu sampai mengeluarkan percikan api.
"Au...!" Si dara berteriak kesakitan lalu melompat ke belakang sambil memegangi
kedua telapak tangannya yang terasa kesakitan sewaktu senjatanya kena dihantam
oleh Jaka Sembung. Bibirnya menyeringai menahan sakit karena rasa panas di kedua
telapak tangannya.
Dengan suatu gerakan manis, Parmin kembali melompat ke udara untuk menangkap dua
bilah pedang yang terlempar dari tangan gadis tersebut, ia lalu
menyerahkan pedang itu kepada pemiliknya.
Tanpa diduganya sama sekali, dara itu justru menyerangnya dengan sebuah
tendangan lurus ke arah ulu hati Parmin.
Dengan sedikit egoskan pinggangnya, Parmin kembali lolos dari serangan yang
dilakukan dari jarak dekat itu.
"Tunggu, nona beri aku kesempatan bicara!" teriak Parmin sambil bersiaga ketika
dilihatnya si dara bersiap menyerangnya lagi.
"Minggirlah Ling Pei! Dia memang bukan tandinganmu!" sebuah suara keras dari
belakang Parmin telah mengejutkan-nya. Dara itu segera mundur ke belakang dengan
pedang tetap terhunus siap menyerangnya sewaktu-waktu.
Parmin menoleh ke belakang dengan penuh tanda tanya di kepalanya, ia geser letak
kaki kanannya ke samping untuk berjaga-jaga terhadap serangan dari dua arah.
"Heh, siapakah anda?" tanya Parmin dengan nada terkejut karena datangnya orang
tersebut. Keningnya berkerut mengingat-ingat siapakah orang yang baru datang
tersebut. "Hmm, kalau tidak salah, bukankah kau si Dewa Suci Penyebar Bala dari Tiongkok
itu?" sergah Parmin masih bertanya-tanya, ia khawatir dugaannya keliru dan ia
salah mengenali orang.
Orang yang diajak bicara itu
bertengger di atas sebuah batu besar dengan kaki terbuka dan terpentang lebar
sambil bertolak pinggang. Pakaiannya tampak seperti pakaian pendekar dari
daratan Tiongkok. Tubuhnya gemuk pendek
dengan kepala plontos yang ikut
bergoyang-goyang sewaktu tertawa.
"Ha ha ha... Ha ha ha... Betul!
Bettuuull... Agaknya ingatanmu masih cukup baik, haiyaa...!" katanya dengan
aksen Cina yang kental. "Dunia belum kiamat, dan secara kebetulan kita bertemu
lagi di tempat yang jauh dan sunyi ini.
hiiyyya..." sambungnya lagi.
Dengan wajah serius, Parmin
memperhatikan sikap di Dewa Suci Penyebar Bala yang terus saja berbicara.
"Tentu anda masih ingat perhitungan kita beberapa waktu yang lalu di desa
Kandang Haur! Setahun sudah cukup bagi Dewa Suci untuk memperdalam ilmunya. Demi
nama leluhurku, akan kubuktikan bahwa ilmu silat kami lebih unggul dibanding
orang-orang di tanah Jawa ini. Kami akan menebus kembali kekalahan yang pernah
dialami oleh nenek moyang kami, Sam Poo Toa Lang yang gugur di tanah Jawa
beberapa waktu berselang!"
Nama Sam Poo Toa Lang yang baru
saja disebut si Dewa Suci Penyebar Bala adalah seorang pendekar pengembara
Tiongkok yang legendaris. Ia pernah datang ke tanah Jawa dan kemudian dikenal
dengan nama Dampo Awang. Niatnya adalah hendak menguasai tanah Jawa, namun
berhasil dikalahkan oleh para pendekar di tanah Jawa.
Sam Poo Toa Lang mengira ilmunya
tak mungkin dikalahkan oleh pendekar-pendekar pribumi, namun ternyata ia salah
perhitungan. Karena kegagalannya itulah, maka Dewa Suci Penyebar Bala lantas
berusaha menebus kekalahan yang merupakan legenda tersebut.
"Dewa Suci! Bangsa kami adalah bangsa yang cinta damai, tetapi juga lebih
mencintai kemerdekaan." Parmin berkilah. "Nenek moyangmu datang ke tanah Jawa
dengan maksud menguasai dan menjajah kami, maka sudah kewajiban pula bagi kami
untuk menumpasnya!" sahut Parmin kembali sambil berusaha menekan emosi di
dadanya mendengar kesombongan lawan.
Dewa Suci Penyebar Bala yang
berwajah bundar dengan mata sipit tersembunyi di antara pipinya yang tembem dan
hidung yang pesek terus tertawa.
Matanya yang sipit itu kelihatan seperti orang tertidur.
"Ha ha ha... Ha ha ha... Bangsamu adalah bangsa yang suka merendah dalam
berkata-kata, tetapi di balik kata-kata halus itu tersembunyi senjata tajam yang
mematikan lawan. Sudahlah, kita tak perlu banyak bicara lagi. Mari kita buktikan
siapa yang lebih unggul!" lantang Dewa Suci sambil menyunggingkan senyum sinis.
Bersamaan dengan selesainya kata-
katanya. Dewa Suci melesat seperti
gumpalan batu yang melesat dari kawah gunung berapi yang sedang meletus. Tubuh
si Dewa Suci langsung menyergap Parmin yang telah siap siaga sejak tadi.
"Haiiiayaaat...!" bentaknya mengguntur.
"Hup!" Parmin telah bersiap dengan tenaga dalamnya.
"Gedebruuuk...!"
Terdengar suara benturan yang cukup keras. Tubuh Parmin yang kekar terpental
jauh ke belakang menghantam sebuah batu besar di belakangnya. Batu besar itu
hancur berkeping-keping, Parmin meringis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Dalam segebrakan tadi Parmin telah dapat mengukur tenaga dalam lawannya.
Sengaja ia hanya menerima serangan, dan dengan demikian diketahuinya bahwa
kepandaian lawan telah jauh meningkat dibanding setahun lalu ketika keduanya
bentrok di Kandang Haur, sewaktu Parmin berusaha menyelamatkan Bajing Ireng dari
cengkeraman pendekar Tiongkok itu.
"Hebat juga tenaga dalam si botak ini," gumam Parmin dalam hatinya, la segera
bangkit memusatkan konsentrasi.
Tangannya menyilang di depan dada, kaki kirinya digeser ke depan sedikit. Kuda-
kuda yang kokoh itu disertai tatapan matanya yang tajam menatap setiap gerakan
Dewa Suci. Kedua orang perkasa itu
melangkah perlahan melingkar dengan posisi kuda-kuda yang berbeda.
Masing-masing berusaha mengukur
gerak tipu dan tenaga dalam lawannya.
Tiba-tiba dengan teriakan keras yang merobek kesunyian di tempat itu, keduanya
meloncat bersamaan.
"Heaaat...!"
"Ciaatt...!"


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bentrokan tenaga dalam terjadi di udara. Parmin menyalurkan hawa panas ke
tangannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Dewa Suci Penyebar Bala. Bahkan tak
kalah hebat, tangannya sampai
mengeluarkan asap berwarna putih.
"Braaakkk...!"
Keduanya terpental jauh ke
belakang. Tubuh Parmin jatuh berdebam menimpa tanah, persis seperti nangka
malang yang jatuh dari atas pohon.
"Weesss..."
Rumput di tanah yang tertimpa tubuh Parmin langsung menghitam hangus karena
dahsyatnya pengaruh pukulan Dewa Suci Penyebar Bala. Sementara itu tubuh Dewa
Suci pun terpental jauh sampai menerobos semak-semak di belakangnya dan kemudian
berhenti ketika sebuah pohon sebesar dua pelukan orang dewasa menahannya.
"Krosssaaakkk... Bukk!"
Dewa Suci Penyebar Bala merasakan dada dan punggungnya sesak dan remuk,
kepalanya berkunang-kunang. Pendekar Tiongkok itu segera bersila menghimpun
pernafasannya untuk mengusir rasa sakit tersebut.
Parmin berusaha untuk bangkit
kembali dari jatuhnya dan bersiap memasang kuda-kuda. Ketika ia berdiri,
dirasakannya perutnya seolah akan meledak. Rasa mual berontak ke atas.
Parmin merasakan hal yang tidak beres, ia pun segera bersila mengheningkan nafas
untuk memusatkan tenaganya.
Perlahan Parmin mulai mempersiapkan jurus Wahyu Taqwa yang menjadi
andalannya. Sebuah jurus maut dari ilmu silat gunung Sembung ciptaan Ki Sapu
Angin guru si Jaka Sembung. Jurus itu hanya dipergunakan Parmin pada saat-saat
terdesak. Kakinya terpentang lebar membuat kuda-kuda. Tangan kirinya ditekuk
sedikit di depan dada sedang tangan kanannya sejajar dengan daun telinga sebelah
kanan. Melihat hal itu, tahulah Dewa Suci Penyebar Bala bahwa lawan tengah
menyiapkan sebuah ilmu andalan, ia pun segera memasang kuda-kuda dengan kaki
membentang, kedua tangannya terangkat sebatas muka dengan jari-jari terpentang
seolah akan menerkam. Dewa Suci Penyebar Bala telah menyiapkan jurus Naga Liar
Menerkam Bumi. Salah satu jurus yang
sangat diandalkannya.
Kedua seteru itu mulai bermandikan keringat karena pengaruh ilmu yang mereka
amalkan. Butir-butir keringat sebesar biji jagung menetes di kening mereka.
Suasana tegang mencekam dan menyelimuti puncak Ciremai dalam kebisuannya. Rumput
ilalang di sekitar mereka pun ikut tegang.
Ling Pei yang sedari tadi
memperhatikan hal itu menjadi ikut tegang dan waswas, ia sadar bahwa kedua orang
di hadapannya itu telah langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan yang tentunya
sangat berbahaya buat keselamatan jiwa mereka. Suatu perasaan aneh berdesir
dalam hatinya. Di satu sisi ia
mengkhawatirkan keselamatan jiwa ayahnya, tetapi di lain sisi ia pun merasa
sayang jika pemuda berwajah tampan yang menjadi lawan ayahnya itu akan tewas di
tangan ayahnya, ia menahan nafas ketika tubuh kedua orang itu melesat di udara
dalam waktu bersamaan.
"Heeeaaatttt...!" teriak mereka berbarengan.
"Plak! Tak! Duaaarrr..."
Beberapa kali terdengar bunyi
pukulan beradu dengan diakhiri oleh sebuah suara ledakan yang sangat keras.
Ling Pei tercengang ketika melihat asap putih membumbung ke udara sewaktu
telapak tangan kedua orang itu beradu.
Ling Pei yang melihat hal itu
menjadi tercengang. Tubuh Parmin yang tepat berada di pinggir jurang tadi
terpental kehilangan keseimbangannya.
Tubuhnya mental dan langsung jatuh ke jurang yang sangat dalam itu.
Sebaliknya tubuh si Dewa Suci
sendiri terus terpental jauh ke belakang dan kembali menerabas semak serta
akhirnya berhenti di sebuah batu besar berwarna hitam yang menahan daya luncur
tubuhnya yang telah tak terkendalikan itu. Kali ini Dewa Suci merasakan akibat
yang jauh lebih parah dibanding tadi, ia segera memusatkan perhatian penuh untuk
membantu memulihkan tenaganya sekaligus menghilangkan rasa sakit yang
menyergapnya. Dari jubahnya keluar asap, sementara pakaiannya robek-robek tak
keruan lagi bentuknya.
"Ayaah...!" Ling Pei segera memburu tubuh ayahnya dengan perasaan penuh
kekhawatiran dan haru. Sementara itu tubuh Parmin terus meluncur ke dasar jurang
yang terjal. "Aaaaaa.....!" menggema suaranya.
Dalam kecepatan tinggi, tubuh
Parmin terus meluncur tak terkendali ke bawah jurang yang sangat dalam. Sejenak
ia seperti kehilangan semangat dan kesadarannya. Untunglah ia sempat
menguasai kembali dirinya. Matanya yang tajam menangkap bayangan sebuah pohon
yang tumbuh di permukaan tebing. Parmin berusaha mengerahkan ilmu peringan
tubuhnya untuk menggaet dahan pohon tersebut.
"Hait! Hup!"
Dengan tepat, tangan Parmin meng-
gaet dahan pohon tepi tebing itu untuk kemudian
bergelantungan. Cepat ia
pergunakan tenaga penahan dari dahan pohon tersebut, kemudian dengan meminjam
daya penahan itu, ia angkat tubuhnya ke dataran yang terdapat di pinggir tebing
tersebut. "Alhamdulillah, Tuhan masih
menyelamatkan jiwaku," gumam Parmin mengucapkan syukur ke hadiratNya atas
keselamatan yang diperolehnya sampai saat itu. "Aku harus berhati-hati untuk
mencapai tempat itu kembali," gumam Parmin.
Dewa Suci Penyebar Bala telah
berhasil mengatasi luka dalam yang dideritanya. Ia segera melangkah
menghampiri tepi tebing untuk melihat ke bawah di mana Parmin terjatuh.
"Aku rasa ia masih dapat
menyelamatkan dirinya." katanya perlahan.
"Ling Pei, mari kita berangkat sekarang.
Mungkin di lain saat kita dapat bertemu lagi dengannya," kata si Dewa Suci
kepada putrinya. "Dia belum mati, ayah?" tanya Ling Pei dengan satu kekhawatiran yang tak dapat
dimengertinya segera, ia sendiri heran kenapa di hatinya muncul sedikit
kekhawatiran tentang nasib pemuda itu.
"Belum," jawab ayahnya singkat.
"Ling Pei, mari kita tinggalkan tempat ini segera. Kulihat ada tanda-tanda akan
datangnya halimun maut di tempat ini,"
sambung Dewa Suci Penyebar Kulit sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Ling
Pei hanya menganggukkan kepalanya saja untuk kemudian mengikuti langkah ayahnya.
Tak lama kemudian terlihat dua
bayangan tubuh melesat dengan cepatnya bagaikan kijang dan kemudian lenyap di
balik kesunyian tebing cadas. Mereka menuruni lembah tersebut dengan cepat.
2 Parmin masih berjuang melawan
keterjalan tebing menuju tempat di mana tadi ia terjatuh. Parmin terus merayap
ke atas dengan langkah pasti. Dengan susah payah disertai keringat yang
menggeros keluar dari tubuhnya dengan deras, akhirnya ia sampai ke tempatnya
semula. Tempat itu telah sepi kembali. Dewa Suci Penyebar Bala dengan putrinya telah
lama meninggalkan tempat itu.
Parmin menemukan kembali sarung dan serulingnya yang tadi tertinggal. Hari telah
sore, ia segera mencari sumber air di sekitar tebing itu untuk membersihkan
tubuhnya dan melakukan shalat Ashar yang telah tiba waktunya.
Selesai shalat, Parmin berdoa
memohon lindunganNya dalam menunaikan tugas suci yang sedang diembannya.
Tujuannya masih sangat jauh di atas sana.
Puncak Ciremai belum digapainya. Namun belum jauh kakinya melangkah, seekor
burung kecil berwarna ungu menyambar-nyambar di sekitarnya.
"Hmm, menurut guru, burung kecil itu memberi tanda kepada manusia bahwa akan
datang halimun yang mengerikan dan membahayakan jiwa manusia," gumam Parmin
sambil mengingat kembali pesan Ki Sapu Angin, gurunya. Benar saja, dalam waktu
singkat segumpal awan tebal telah datang menghampiri tempat tersebut.
Parmin segera merasakan rasa dingin yang menyergap sekujur tubuhnya. Kabut
berwarna kelabu yang datang dari lembah sebelah Barat itu hampir menutupi
seluruh kawasan lereng Ciremai. Pendekar dari gunung Sembung itu berusaha sekuat
tenaga untuk mengatasi rasa dingin yang mulai membekukan tubuhnya itu. Ia
merasakan dadanya mulai sesak karena kekurangan udara segar.
"Aduh, dadaku sesak," keluh Parmin dalam hati. Ia berdoa memohon kebesaran Yang
Maha Kuasa. Segera Parmin memusatkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga
dalamnya dan mengatur pernafasannya untuk menghasilkan hawa panas dari dalam
tubuhnya guna mengusir hawa dingin yang semakin membekukan tubuhnya itu.
Sekuat tenaga Parmin berkonsentrasi menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya.
Sementara ia menggigil hebat, tampaknya kekuatan tubuh Parmin belum dapat
melawan dingin yang disebabkan oleh halimun (kabut yang sangat tebal) tersebut.
Dinginnya menyusup sampai ke tulang sumsum.
Dingin yang disebabkan oleh halimun tersebut memang sangatlah dingin, sampai
jauh di bawah titik beku. Tak heran jika sampai saat ini banyak pendaki gunung
yang hilang dan di kemudian hari baru ketahuan mati beku oleh tim pencari dan
penyelamat. Demikian pula yang terjadi pada
diri Parmin. sekalipun ia telah
mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun tetap saja kekuatannya tak mampu
menandingi kekuatan alam yang sangat dahsyat. Parmin segera merasakan panda-
ngannya berkunang-kunang, nafasnya mulai sesak, dadanya seperti hendak pecah
sementara telinganya didera oleh suara
seribu air terjun yang jatuh berbarengan.
Parmin tak kuat lagi menahan
kebekuan yang mengungkung dirinya, ia tak dapat bertahan lebih lama lagi. Tak
lama kemudian ia jatuh tak sadarkan diri dalam kondisi kaku dan posisi kuda-kuda
jurus Hening Cipta ajaran gurunya. Demikian dahsyat pengaruh halimun yang datang
itu. Dalam kesamaran halimun yang pekat itu mendadak terlihat sesosok bayangan
melayang ke arah Parmin. Wajah orang itu kurang jelas terlihat, tetapi ia
sepertinya tak terpengaruh oleh rasa dingin yang menggila itu. Dengan santai
bayangan tubuh itu lantas menghampiri Parmin.
"Kasihan! Kasihan kau, anak muda yang belum berpengalaman, begitu berani
menentang bahaya," desahnya dalam hati sambil meraba tubuh Parmin. Orang yang
baru datang itu berpakaian serba putih dengan ikat kepala berupa kain putih
menutupi seluruh rambutnya. Di tangannya terlihat sebatang tongkat besi untuk
menyanggah tubuhnya yang tua itu.
"Kasihan! Sungguh kasihan, ia masih hijau dan memerlukan banyak pendidikan,"
gumam orang itu sambil mengangkat tubuh Parmin yang berdiri kaku lalu
meletakkannya di atas pundak. Orang itu mengangkat Parmin seperti mengangkat
sekarung kapas saja, begitu ringan ia
melangkah. Hawa dingin di sekitarnya sama sekali tak berpengaruh terhadap
dirinya. Bisa dibayangkan bahwa ia merupakan orang yang memiliki ilmu dalam yang
sempurna. Beberapa saat kemudian sampailah
sudah ia di kediamannya, sebuah lembah yang terletak di lereng Ciremai itu.
Tubuh Parmin lalu diletakkannya di sebuah dipan, kemudian orang itu membuat api
unggun untuk menghangatkan suasana. Malam telah menyelubungi seluruh alam,
langit berwarna pekat. Malam merambat terus merangkak dan merayap menuju
dinihari. Langit di sebelah Timur lembah berwarna lembayung ketika Parmin siuman.
"Uhh, di mana aku" Ya Allah, ya Rabbi... apa yang terjadi...?" Parmin berkata
pelan seperti kepada dirinya sendiri ketika sadar. Rasa pedih yang disebabkan
oleh lambatnya tubuh
beradaptasi dari dingin yang membekukan ke udara hangat yang terhembus dari api
unggun orang itu terasa menyengat di sekujur tubuhnya. Bola matanya bergerak ke
sana ke mari memperhatikan keadaan sekelilingnya.
"He he... Syukurlah kau telah sadar!" terdengar sebuah suara lembut menyapanya.
Parmin menoleh dan melihat seorang tua dengan wajah lembut
mengulurkan sebuah mangkuk berisi air hangat ke wajahnya.
"Kau berada di tempat yang aman, anak muda," katanya kemudian dengan nada penuh
kasih sayang, kentara sekali sikap bijak dan arif yang dimilikinya.
"Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri untuk menyegarkan kembali pembuluh-
pembuluh darahmu yang membeku. Kau akan segera merasakan kehangatan yang segar
setelah meminumnya." Orang tua itu menjelaskan apa yang diberikannya pada
Parmin. "Siapakah orang tua ini" Anda begitu baik hati, mau menolongku," tanya Parmin
sambil menerima mangkuk tersebut.
Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu sepertinya ia sedang bergulat dengan
kematian yang diantarkan oleh kebekuan udara yang disebabkan datangnya halimun
tadi. Orang tua yang kulitnya sudah
keriput dan giginya tinggal dua serta alis mata dan jenggot yang sudah memutih
itu tidak segera menjawab.
Diperhatikannya wajah Parmin dengan seksama. Perlahan ia menarik nafas, untuk
kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu didengar.
"He he he... Orang menjuluki aku dengan nama Begawan Sokalima, mungkin karena
rupaku yang buruk ini mirip dengan penggambaran Begawan Dorna dalam cerita
pewayangan itu. Aku tak menolak julukan
tersebut, bahkan senang karenanya,"
jawabnya merendah.
"Terima kasih. Semoga Allah
membalas kebaikan hati anda," sahut Parmin hormat, ia lalu menenggak habis isi
ramuan yang diberikan orang tua itu tanpa ragu karena telah melihat sikap orang
yang menyenangkan hatinya.
"Kau, anak muda, boleh juga
memanggilku dengan sebutan itu, he he he..." kata Begawan Sokalima seraya
tersenyum lembut. "Siapakah namamu, anak muda?" tanyanya lagi.
"Parmin." jawab Parmin singkat dan sopan. Tangan kirinya mengulurkan kembali
mangkuk minumannya. Suasana hening sejenak. Begawan Sokalima menatap Parmin
dengan tajam seolah-olah akan menelan habis tubuh pemuda itu. Yang ditatap tetap
tenang sekalipun ia tahu orang tengah mengawasi dirinya.
"Parmin" Hmmm, aku sudah lama sekali berkeinginan untuk mengangkat murid, namun
kiranya baru hari ini keinginanku terkabul. Aku sudah tua, sayang sekali bila
ilmu yang kumiliki ini tak bisa kuturunkan kepada siapapun,"
katanya tiba-tiba sambil memegang pundak Parmin erat-erat. Sikapnya seolah
meminta kesediaan Parmin untuk menjadi muridnya.
"Terima kasih atas kebaikan orang tua, tetapi saya telah mempunyai seorang
guru. Tentunya tidak baik bila saya harus menerima ilmu dari orang lain tanpa
sepengetahuan beliau," kata Parmin takut membuat Begawan Sokalima kecewa
mendengar jawabannya, ia pun sebenarnya tertarik untuk menjadi murid Begawan
Sokalima, cuma perasaan hormatnya terhadap Ki Sapu Angin membuatnya tak enak
bila sembarangan memperoleh ilmu dari orang atau cabang lain.
"Aku mengerti kekhawatiranmu itu.
Katakanlah siapa gurumu yang telah beruntung memperoleh murid sepertimu?"
tanya Begawan Sokalima setelah meneliti bakat yang terpendam dalam diri Parmin,
yang terlihat dari sorot mata dan bentuk tulangnya.
"Guruku dikenal orang dengan sebutan Ki Sapu Angin dari Ciremai..."
jelas Parmin yang disambut dengan senyum gembira di wajah Begawan Sokalima.
"He he he bagus, bagus... Kau murid Ki Sapu Angin, berarti bukan orang lain
bagiku. Gurumu adalah sahabat dekatku, dan ilmu yang kami miliki sama-sama
berasal dari satu sumber. Bagus. Kalau kau murid Ki Sapu Angin, berarti tak
perlu berizin-izin segala. Dia pasti mau mengerti, he he... Beruntunglah aku,
ilmuku jatuh tak jauh dari sumbernya."
Orang tua itu tampak senang sekali mendengar nama guru Parmin. Melihat sikap
orang yang tampak seperti orang senang dan kangen, Jaka Sembung dapat memper-
cayai ucapan orang. Dalam hatinya ia berkata bahwa tak ada salahnya ia menerima
ilmu dari orang yang merupakan sahabat gurunya, tentunya hal itu bukan berarti
ia telah berkhianat terhadap perguruan maupun gurunya.
"He he he, tapi kau juga harus melewati ujianku dulu sebelum kuterima sebagai


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muridku. Nah, bersiaplah untuk esok pagi. Kau harus bertempur di lembah Banyu
Panas. Sanggupkah kau?" tanya Begawan Sokalima yang memperoleh jawaban berupa
anggukan kepala tanda setuju dari Parmin.
"Kalau kau berhasil lulus, aku akan mengajarkanmu ilmu tongkat yang sangat ampuh
untuk menandingi jago-jago keba-tilan yang selalu membuat rusuh dunia ini! Kau
tak bisa hanya mengandalkan ilmu silat dengan golok pendek yang kau miliki itu!"
Begawan Sokalima berkata-kata
sambil mengelus-elus jenggotnya yang berwarna putih. Parmin memperhatikan dengan
serius apa yang diucapkan Begawan Sokalima. Sementara sang Begawan berbalik
untuk menambahkan kayu bakar ke api unggun yang mulai meredup nyalanya. Ia lalu
menambahkan lagi.
"Jangan kaget, Parmin. Aku bisa
menebak ilmu silat yang kau miliki ketika melihat kau berdiri dalam keadaan beku
di atas sana. Caramu melakukan jurus Hening Cipta itu segera memperlihatkan
siapa dan darimana asal ilmumu," Orang tua itu menghembuskan nafas panjang
sejenak, lalu berkata lagi dengan perhatian serius dari Parmin.
"Aku tahu ilmu Gunung Sembung merupakan ilmu silat yang sangat ampuh, tetapi
pelaksanaan dan penghayatan ilmu tersebut harus disertai dengan penyempur-naan
yang tidak tanggung-tanggung," jelas Begawan Sokalima memberi petunjuk pada
Parmin. Jaka Sembung sama sekali tidak
tersinggung karena ilmu silat perguruannya dinilai orang tua itu, justru ia
merasa bahwa matanya baru terbuka sekarang dengan adanya petunjuk dari Begawan
Sokalima. Ia mengangguk tersenyum mendengarkan ucapan Begawan Sokalima untuk
menyatakan kesediaannya menjadi murid orang tua yang bermata awas dan memiliki
wawasan yang cukup luas itu.
"Istirahatlah dulu kau, besok pagi kau harus sudah bersiap. Atur per-nafasanmu
perlahan-lahan, jangan di paksakan apabila tidak kuat," kata Begawan Sokalima
lagi sambil berbalik meninggalkan Parmin.
"Baik, guru," sahut Parmin.
Pagi-pagi sekali di lembah Banyu
Panas telah terlihat dua sosok tubuh saling berhadapan dan berdiri tegak di
tengah-tengah lembah yang penuh asap belerang dan air mendidih di sekitarnya.
Bau belerang yang tidak enak itu membuat dada serasa sesak dan susah bernafas.
"Sudah siap kau, Parmin?" tanya Begawan Sokalima.
"Siap, guru!" sahut Parmin cepat.
Bersamaan dengan selesainya perkataan Parmin, entah dari mana datangnya tiba-
tiba sebuah rajawali besar melayang menghampiri dan kemudian bertengger di
pundak sebelah kanan Begawan Sokalima dengan enaknya seolah terbiasa berlaku
seperti itu. "He he he... Parmin. Lihatlah di sekelilingmu, sedikit saja kau salah langkah,
tak ayal lagi kau pasti jadi daging rebus di bawah sana!" tegur Begawan Sokalima
memperingatkan. Parmin berdiri tegak dengan penuh konsentrasi bersiap menghadapi
segala kemungkinan.
"Kau lihat rajawali di tanganku ini" Burung ini pernah mentotol mata seorang
raja rampok sakti yang coba-coba menggangguku," jelas Begawan Sokalima.
Burung rajawali itu lantas
mengkepak-kepakkan sayapnya pertanda mengerti bahwa orang tengah membicarakan
dirinya. "Pernahkah engkau mendengar tentang seorang perampok yang kejam dan ganas
bernama Gembong Wungu"!" tanya Begawan Sokalima yang membuat hati Parmin
terkejut juga mendengar nama itu.
"Orang itu sudah mati!" jawab Parmin cepat.
"He he he, sudah mati" Bagus!
Berarti satu lagi jenis manusia pembawa malapetaka tersingkir dari muka bumi
ini," kata Begawan Sokalima dengan wajah lega. Parmin hanya terdiam saja, ia
terus memusatkan perhatiannya.
"Baik! Sekarang bersiaplah kau,"
sentak sang Begawan. Tiba-tiba mata sang Begawan memancarkan sinar merah dan
melotot tajam ke arah Parmin.
"Sekarang... mulai!" seru Begawan Sokalima dengan suara keras. Rajawali itu
segera melesat bak peluru dari pundak Begawan Sokalima langsung menuju tempat di
mana Parmin berdiri.
"Ayo, terkam dia rajawaliku!"
Begawan Sokalima berteriak memberi perintah. Ternyata rajawali itu tak langsung
menyerbu, ia justru membumbung tinggi ke angkasa dan berputar-putar di atas
kepala Parmin. "Yak, habisi dia!"
Terdengar kembali Begawan Sokalima berseru.
Parmin yang berada di bawah terus mengikuti gerak rajawali tersebut.
Tubuhnya ikut berputar dengan penuh kesiagaan untuk menjaga segala kemungkinan.
"Rajawali ini tak dapat dipandang ringan! Betapa tidak, perampok tangguh macam
Gembong Wungu saja dapat
dipecundangi oleh rajawali ini. Rupanya itulah sebabnya Gembong Wungu menjadi
buta sebelah!" Parmin bergumam sambil terus mengawasi rajawali tersebut.
Tiba-tiba burung rajawali tersebut menukik keras ke bawah dengan cepat seperti
luncuran sebuah meteor, kedua cakarnya mengembang di muka. Parmin segera
memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di depan untuk melindungi mukanya.
"Swiiingggg...! Brett...!"
Baju Parmin robek di bagian pundak kanannya. Sekalipun Parmin sempat mengelakkan
serangan rajawali tersebut, namun tetap saja pundaknya kena
tersambar. Burung perkasa itu kembali melesat ke udara untuk kemudian dengan
cepat berbalik menukik dan mengancam Parmin lagi.
Untunglah Jaka Sembung cukup lincah mengelak ke sana ke mari. Rajawali itu terus
terbang dan menyambar-nyambar berulang kali. Parmin kewalahan juga pada
akhirnya. Seberapapun cepatnya ia bergerak menghindar, tetap saja bajunya kena
tersambar. Masih untung ia dapat
menyelamatkan bagian wajahnya dari cakaran rajawali tersebut.
Kelihatannya rajawali itu sangat
terlatih untuk bertempur. Ia terus mendesak Parmin ke tempat-tempat yang sangat
berbahaya. Sementara harus menghindarkan serangan-serangan maut si rajawali itu,
uap belerang semakin menyengat hidung Parmin. Semakin lama ia semakin terdesak
ke pinggir jurang.
"Asap belerang ini menyesakkan nafasku dan juga melemahkan gerakan-gerakanku,"
desah Parmin khawatir.
Rajawali itu terus menyerang dan berhasil menyudutkan Parmin ke sudut yang
berbahaya. Lama-lama Parmin kehilangan kesabarannya pula, ia segera berteriak
kepada Begawan Sokalima.
"Begawan Sokalima," Parmin memanggil sang Begawan dengan sebutannya, bukan
dengan panggilan guru karena rasa kesalnya telah memuncak. "Apakah kau
menginzinkan ku untuk membunuh rajawali mu?" teriak Parmin dengan suara lantang.
"He he he... Parmin, berbuatlah sesuka hatimu. Kalau kau tidak mau membunuh
rajawali itu, akhirnya engkau sendiri yang akan dibunuhnya!" sahut sang Begawan
mengancam. Ia tertawa bangga atas kehebatan rajawalinya.
"Hmm, dia terus menyambarku dari belakang. Aku bisa menghantamnya dengan
berpura-pura lengah. Kesempatan baik buatku," pikir Parmin. Ia terus mengawasi
dengan ekor matanya ke setiap gerakan rajawali itu.
"Keeaakk...!"
Terdengar seruan rajawali itu
diiringi sambaran mautnya ke arah tengkuk Parmin yang saat itu tengah berdiri
membelakanginya, ia telah membayangkan sekumpulan urat nadi yang empuk di leher
Parmin itu. Ketika jarak burung itu semakin
dekat dengan dirinya, tiba-tiba Jaka Sembung miringkan tubuhnya ke kiri dan
tangan kanannya bergerak dengan kecepatan yang sulit dilihat mata biasa. Leher
rajawali tersambar tepat di bagian yang diincar Parmin.
"Beuuuttt...! Kraaak...! Kek...!"
Sambaran tangan Jaka Sembung
berhasil menyambar leher burung tersebut tepat di bawah paruhnya. Tangannya
segera bergerak kilat mematahkan leher burung tersebut dalam sekali puntir. Ia
lalu membanting tubuh rajawali itu ke tengah-tengah telaga yang mendidih airnya.
Rajawali itu mati seketika ketika lehernya dipatahkan Parmin, tubuhnya melayang
tak berdaya ke telaga itu dan dalam waktu singkat menjadi matang karena panasnya
air telaga tersebut.
"He he he... bagus! Kau ternyata
cukup tangkas dan cerdik, Parmin.
Meskipun aku merasa sayang kehilangan rajawali yang telah sangat berjasa dalam
hidupku itu, tetapi aku bangga mendapat murid sepertimu. He he he... Marilah,
anak muda. Hari ini juga akan kuajarkan jurus pertama dari serangkaian ilmu
tongkatku!" ajak Begawan Sokalima dengan hati gembira.
"Alhamdulillah," gumam Parmin bersyukur. Demikianlah setelah melewati ujian itu
dan berhasil. Parmin lalu diangkat sebagai murid oleh Begawan Sokalima sesuai
dengan janji yang telah diucapkannya. Sejak saat itu Begawan Sokalima menurunkan
ilmu tongkat yang dimilikinya kepada Parmin dan pemuda itu menerimanya dengan
sepenuh hati. Dalam hatinya, Jaka Sembung telah berjanji untuk mempelajari ilmu
itu dengan sungguh-sungguh dan akan mengamalkannya demi kebaikan.
Begawan Sokalima segera mempera-
gakan jurus yang sangat diandalkannya itu. Ia menggunakan sebatang tongkat
sebagai senjata andalannya.
"Lihat! Tangan kanan digunakan sebagai sumbu putar atau semacam engsel dan
tangan kiri kita pergunakan sebagai alat kemudinya. Kuda-kuda yang mesti kau
lakukan adalah seperti ini," Begawan Sokalima memberi petunjuk yang diamati
oleh Jaka Sembung dengan serius.
"Heaat...!"
Kuda-kuda yang digambarkan oleh
Begawan Sokalima adalah mementang kaki lebar dengan lutut sebelah kanan hampir
menyentuh tanah, sementara lutut kiri ditekuk sedikit sejajar dengan pangkal
paha. Tubuh Begawan Sokalima miring sedikit ke kiri dengan sebatang tongkat besi
menyilang depan dada.
Setelah memberikan peragaan
tersebut. Begawan Sokalima mempersilahkan Parmin untuk memulai latihan. Ia
sendiri lantas meloncat ke atas sebuah batu besar berwarna hitam yang dilapisi
lumut berwarna hijau tua sekali. Batu itu sangatlah licin, kalau tak memiliki
keseimbangan tubuh dan kepandaian meringankan tubuh yang tinggi, pasti akan
terpeleset berdiri di atas batu tersebut.
Parmin lantas mengikuti contoh
gerakan yang telah diperlihatkan oleh Begawan Sokalima. Dengan penuh semangat
serta keseriusan yang tinggi, dengan dukungan bakat serta kecerdasan yang
dimiliknya, Parmin dengan cepat dapat memahami segala perintah dan petunjuk yang
datang dari sang guru Begawan Sokalima yang dikerjakannya dengan bersungguh-
sungguh Begawan Sokalima pun sangat bangga dengan kesungguhan anak asuhnya itu
mempelajari ilmu yang diberikannya. Ia memperhatikan dengan seksama apa yang
diperlihatkan Parmin di awal latihannya.
Setelah melihat kesungguhan dan kecerdasan Parmin, Begawan Sokalima tak sungkan-
sungkan lagi untuk menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Ilmu silat gunung
Sembung yang dimiliki Parmin sangat mirip dengan ilmu silat yang diajarkannya,
oleh karena itu Parmin tak banyak mengalami kesulitan dalam menye-rapnya. Hari
demi hari, minggu demi minggu, dan beberapa bulan berlalu.
Parmin terus menjalankan dengan tekun apa yang diperintahkan oleh guru barunya
itu tanpa sedikit pun mengeluh. Begawan Sokalima semakin sayang padanya melihat
sikap Parmin. Di suatu pagi yang cerah setelah
menginjak bulan kedelapan, seperti biasanya Parmin menjalankan latihannya
bersama-sama dengan gurunya.
"Perhatikan gerak putar balik jurus yang keempat puluh lima. Lirikan matamu
harus dibarengi gerakan balik menyabet ke belakang dan tangan kiri siap
menangkis ke muka" perintah Begawan Sokalima dengan penuh wibawa. Parmin
melaksanakannya dengan baik sekali setiap perintah dan wejangan yang diberikan
gurunya itu. Ia menanamkan setiap perintah dengan baik dalam benaknya.
Pada suatu malam di bulan
berikutnya, di tengah malam saat bulan purnama bersinar terang menyinari lembah
Banyu Panas, terlihat dua sosok sedang bersila di atas sebuah batu besar yang
berada tepat di tengah-tengah lembah. Bau belerang menyebar di mana-mana, tetapi
dua tubuh yang sedang bersila berhadapan itu tampak tak terpengaruh sama sekali.
Keduanya saling berhadapan dengan telapak tangan menjadi satu dan mata mereka
terpejam. Tampaknya kedua orang itu sedang berkonsentrasi penuh.
Tubuh Begawan Sokalima terlihat
bergetar, dari ubun-ubunya keluar gumpalan asap berwarna putih pertanda
pengerahan tenaga dalam seseorang telah mencapai puncaknya. Parmin yang duduk di
hadapannya tetap duduk bersila dengan tenang dan mala terpejam.
"Sekarang, bersiaplah. Melalui telapak tanganmu aku akan menyalurkan tenaga
dalamku," bisik Begawan Sokalima perlahan. Parmin segera melaksanakan petunjuk
gurunya. Malam semakin merambat, perlahan
tapi pasti menuju pergantian hari. Fajar mulai menyingsing di ufuk Timur, dan
Begawan Sokalima telah selesai pula, mereka telah kembali ke pondoknya.
Menurut perhitungan Begawan
Sokalima, ilmu tongkat sakti yang
diturunkannya itu paling cepat dipelajari dalam waktu paling tidak dua tahun.
Namun Parmin berhasil menamatkan pelajaran itu dan menguasainya dalam bulan yang
keduabelas. Singkat cerita, hari itu juga Parmin minta diri pada gurunya untuk
turun gunung guna menunaikan tugas dan perjalanannya yang telah tertunda sekian
lama. Begawan Sokalima dengan hati berat terpaksa merelakan Parmin yang telah
dianggapnya sebagai anak sendiri.
"Baiklah. Kurestui perjalanan menunaikan tugas sucimu itu, anakku. Tugasmu jauh
lebih penting dari segala-galanya dibanding rasa sentimen karena kita harus
berpisah. Kita pasti akan bertemu lagi suatu saat," Begawan Sokalima berkata
perlahan sambil menghela nafas berat.
Bagaimanapun ia telah menyayangi Parmin sebagai anaknya sendiri, dan kini tiba
waktunya mereka harus berpisah.
"Kuwariskan tongkat besi ini padamu sebagai pelengkap bagimu dalam menjalankan
tugasmu itu. Sampaikan salamku pada kakang Sapu Angin kalau kau bertemu
dengannya lagi. Selamat jalan. Parmin, selamat jalan Jaka Sembung!" kata Begawan
Sokalima dengan suara menggeletar. Tanpa terasa dari kedua belah matanya menitik
air mata. Telah puluhan tahun ia tak merasakan kesedihan seperti itu.
"Selamat tinggal, guru," kata
Parmin perlahan tapi sendu sambil mencium tangan gurunya. Ia pun dapat merasakan
kesedihan itu, tetapi sebagai orang berjiwa besar ia dapat mengatasinya
"Berangkatlah sekarang juga, nak.
Jangan sekali-kali kau menengok ke belakang bila kau pergi meninggalkan orang
dan tempat yang kau cintai, karena hal itu hanya akan menimbulkan beban dalam
hatimu." Sambung Begawan Sokalima lagi sambil memegang pundak Parmin.
Tak lama kemudian terlihat Jaka
Sembung telah meninggalkan pondokan Begawan Sokalima yang telah menjadi
perguruannya yang kedua. Di tengah perjalanan ia kembali teringat akan pesan Ki
Sapu Angin, gurunya yang pertama.
Pesan Ki Sapu Angin kembali terngiang-ngiang di telinganya seolah gurunya itu
tengah berkata pada dirinya saat itu.
"Pergilah ke arah Selatan dan satukanlah para pendekar di sana. Sayang, aku
sudah tua dan tak bertenaga lagi, kalau tidak... Pergilah kau mendaki gunung
Ciremai sampai ke puncaknya karena ada sesuatu yang sangat penting yang akan kau
temui di sana, selain juga untuk menguji mental dan kemampuanmu."
Semangat Parmin kembali timbul, ia berjalan dengan penuh keyakinan. Seminggu
kemudian Jaka Sembung telah berhasil mencapai tempat yang ditujunya. Ter-
lihatlah kepundan Ciremai tinggal beberapa langkah lagi. Udara di
sekitarnya terasa sangat dingin. Angin berhembus pelahan dan awan menggumpal-
gumpal terasa begitu dekat dengannya.
"Angin seperti ini biasanya
menandakan hujan akan turun," kata Parmin pada dirinya sendiri. Dugaannya memang
betul, dalam waktu singkat langit telah berubah menjadi gelap sekali. Tak lama
kemudian gerimis segera turun membasahi bumi. Parmin segera berlari-lari mencari
tempat berteduh. Beberapa lama ia berlari, akhirnya pendekar dari gunung Sembung
itu berhasil menemukan sebuah goa.
Sesampainya di goa itu, Parmin
segera masuk dan beristirahat di dalam untuk menghilangkan rasa penat dan lelah
setelah mendaki gunung Ciremai. Matanya memandang jauh ke depan menembus rintik-
rintik hujan gerimis.
Parmin termenung sejenak. Dikeluarkannya sebatang seruling yang merupakan teman


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setianya selama perjalanan. Tak lama kemudian segera mengalun irama penuh
kerinduan dari hati yang nelangsa, menggema ke seluruh goa. Binatang-binatang di
dalam goa pun seolah berhenti bergerak seakan-akan larut dalam irama seruling
yang syahdu. "Tuliit... tiut tut tuilliiiiiut...
... Betapa rindunya hati ini...
... Siang dan malam engkau selalu kukenang...
... Wajahmu selalu terbayang-bayang Tiba-tiba senandung Parmin
terhenti, matanya yang tajam menembus ke dalam kegelapan di sela-sela hujan
gerimis, ia menangkap gerakan suatu bayangan di depannya.
"He, siapakah itu...?" gumam Jaka Sembung tersentak sambil berdiri dan terus
memperhatikan sosok tubuh yang tampak dari kejauhan itu. Ia melihat sesosok
bayangan sedang berlari-lari menuju tempatnya berteduh itu. Jaka Sembung alias
Parmin berusaha menajamkan indera pendengaran dan penglihatannya agar dapat
menangkap bayangan orang itu lebih jelas lagi. Bayangan itu tampak seperti
memakai payung pelindung agar bajunya tidak basah.
Orang itu semakin dekat menuju goa tempat Parmin berteduh. Dari gerakannya yang
lincah dan tangkas, tentunya ia adalah seorang pendekar yang berilmu cukup
tinggi. Jaka Sembung terkejut ketika melihat dengan jelas bahwa yang berlari-
lari ke tempatnya berteduh itu ternyata seorang wanita muda. Lebih terkejut lagi
pendekat gunung Sembung itu
ketika melihat bahwa ternyata bukan payung yang berada di tangan wanita muda
itu, melainkan sebuah pedang bermata dua yang diputarnya sedemikian cepat di
atas kepalanya. Begitu cepatnya putaran pedang itu sehingga membentuk payung
yang tak tembus oleh air hujan sekalipun. Betapa kagumnya Parmin melihat
kepandaian si gadis yang kini telah berdiri tegak di hadapannya itu.
"Hei, siapakah anda?" tanyanya penuh selidik.
"Aku seorang musafir yang tersesat ke puncak Ciremai ini," jawab Parmin sedikit
berbohong untuk memancing reaksi dara muda di hadapannya itu.
Dara manis itu memakai pakaian
ketat yang menggambarkan bentuk tubuhnya dengan jelas. Lekuk tubuhnya tampak
jelas sedang mekar-mekarnya, diperindah dengan sepasang buah dada yang bulat
kencang. Pinggangnya ramping. Bulu matanya lentik dengan sepasang alis yang tersusun
rapi. Bibirnya mungil. Rambutnya disanggul ke belakang, diikat dengan pita biru muda
yang sewarna dengan kemeja dan celana yang dipakainya.
"Begitu sempurna," pikir Parmin.
Kejadian itu berlangsung hanya sekejap, sepasang mata mereka bertemu pandang dan
keduanya lalu sama-sama tertunduk. Jaka Sembung tertunduk, sementara itu sekilas
ia merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Aneh, aku serasa pernah mengenal gadis ini, entah di mana dan kapan,"
pikir Parmin dalam hati.
Wajah si dara memerah dadu dalam
sekejap adu pandang tadi. Maklumlah baru kali ini dipandang oleh sorotan mata
seorang pemuda yang gagah dan tampan.
Demikian pula Parmin. Sebagai manusia normal, apalagi statusnya masih bujangan,
pantaslah bila Parmin memandang dara manis itu dengan sorotan mata yang agak
lain. Ketika Jaka Sembung hendak mencuri pandang sekali lagi, pada saat yang
bersamaan si gadis itu pun memergokinya.
Wajahnya semakin kemerah-merahan, semula ia tertunduk, tetapi tak lama kemudian
segera berubah. Matanya melotot, sambil bertolak pinggang ia membentak Parmin.
"Mengapa anda menatapku
seperti itu?" tanya dara itu dengan cepat.
Suaranya tak terdengar lembut seperti tadi. Parmin terkesiap, untuk sejenak
mulutnya seakan-akan tersumbat sesuatu sehingga ia tak segera menjawab.
Terdengar kembali dara itu memaki-maki.
"Anda pikir aku wanita apa" Jangan mengira karena aku perempuan, maka anda dapat
menganggap remeh dan berbuat sesuka hati hendak melampiaskan nafsu dan
keisengan anda yang rakus! Jangan gegabah!" bentak si gadis tanpa memberikan
kesempatan pada Parmin untuk menjelaskan masalahnya.
"Apa maksud anda, nona?" tanya Parmin gugup.
"Huh! Dasar laki-laki hidung belang, mata keranjang! Tak usah berlagak tolol
kalau sudah kepergok, kurang ajar!"
gadis itu membentak lebih keras untuk melampiaskan kemarahannya. Ia segera
mengayunkan pedangnya
menusuk titik kematian di tubuh Jaka Sembung yang masih tidak memahami kenapa gadis itu tiba-
tiba menjadi sangat marah.
"Ciaaattt...!" Pedang si gadis telah mengayun dengan deras ke tubuh Parmin.
Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau hanya untuk menghindari serangan seperti itu
saja tak mampu. Dengan meletikkan tubuhnya ke atas seperti seekor jangkrik kena
geprak, Jaka Sembung bersalto beberapa kali ke udara melewati kepala gadis
tersebut. Dara manis yang berpakaian serba
biru muda itu merasa penasaran karena serangannya hanya mengenai tempat kosong
belaka, ia kembali mengulangi serangannya dengan mempercepat gerakan pedangnya
untuk memburu tubuh Parmin yang masih bersalto di udara. Gadis itu memutar
pedangnya ke depan seperti sebuah mata bor dengan cepat sampai menimbulkan
cahaya kehijauan yang membentuk lingkaran-lingkaran kecil langsung menerjang ke
arah Parmin. Dengan ketenangan yang luar biasa, mengingat ia pun baru lepas dari
gemblengan gurunya yang luar biasa, Parmin tak menjadi gugup, ia hanya menggeser
kakinya ke samping kanan, maka luputlah serangan dara tersebut.
Dara manis berbaju biru muda yang bernama Sri Ayu Ningrum itu kembali
melanjutkan serangannya. Ketika untuk kesekian kalinya Sri Ayu menyerang dan
menyabetkan pedangnya ke arah lambung, dengan seenaknya Parmin menggunakan
tongkat pemberian Begawan Sokalima untuk menangkisnya.
"Traangg...!"
"Auhhh...!"
Terdengar denting nyaring dua
senjata tajam yang beradu. Gadis itu tampak mundur beberapa tindak sambil
meringis kesakitan. Pedangnya terlepas dari tangannya, sementara ia merasakan
tangannya seperti kesemutan. Beberapa saat ia celingukan mencari ke mana
jatuhnya pedang yang tadi dipegangnya.
Ternyata pedang itu tidak jatuh ke tanah.
Sri Ayu Ningrum jadi penasaran. Apa yang terjadi"
Ternyata pedangnya itu sudah
bertengger dan melekat dengan kerasnya di tongkat besi yang dipegang Parmin.
Tongkat pemberian Begawan Sokalima itu ternyata terbuat dari bahan berupa magnit
yang dapat menarik dan menempelkan benda-benda logam lainnya.
"Tunggu, nona! Aku sama sekali tak bermaksud buruk terhadapmu. Ambillah pedangmu
ini kembali." sapa Parmin dengan sopan seraya menyerahkan pedang tersebut.
Belum sampai tangannya terulur
penuh, tiba-tiba Parmin harus menghindar kembali dengan satu loncatan karena
ternyata Sri Ayu Ningrum telah
menyabetkan sesuatu yang sejak tadi melilit di pinggangnya.
"Ctar! Ctarrrr...!"
Suara tali pinggang yang dilecutkan dengan keras itu terdengar menggema di dalam
goa. Ujungnya menerpa dinding goa sampai mengeluarkan percikan api dan batu
dinding itu lantas menjadi hancur lebur berkeping-keping.
Parmin menjadi semakin kagum kepada dara berbaju biru muda itu, ia terus saja
menghindar tanpa membalas. Rupanya ujung ikat pinggang itu merupakan sebuah
benda yang runcing dan tajam, semacam senjata rahasia yang bentuknya seperti
sehelai angkin.
Jaka Sembung merasa geraknya di
dalam goa yang sempit dan gelap itu tidak leluasa apabila ia terus diserang
bertubi-tubi. Lagipula ia tak ingin sampai salah tangan dan melukai dara manis
yang belum dikenalnya itu.
Belum sempat kakinya menginjak
tanah, gadis itu telah kembali menyerang dengan ganasnya. Rupanya gadis itu
menjadi marah dan penasaran karena sedemikian jauh ia belum dapat mengenai
lawan. Hujan masih turun dengan derasnya, dan tidak terlihat tanda-tanda akan
berhenti. Tanah di sekitar goa dan mulut goa itu sendiri telah basah dan menjadi
becek. Sri Ayu tetap penasaran tanpa
memperdulikan pakaiannya menjadi basah kuyup dan memperlihatkan bentuk tubuhnya
yang padat berisi dengan jelas. Lekuk-lekuk tubuh yang membayang jelas itu
membuat Parmin menjadi kikuk dan canggung memandangnya sehingga gerakannya
menjadi lamban. Hal ini membuat si gadis menjadi semakin bernafsu untuk
menyerang dan mengalahkannya.
"Jangan merasa bangga dulu dengan tongkatmu! Tali pinggangku ini terbuat dari
logam anti besi berani!" Suara Sri Ayu begitu keras terdengar.
Sementara pertarungan itu terus
berlangsung. Di bawah sana terdapat pemandangan yang indah dengan pohon-pohon
rindang dan padi-padi yang sedang menguning serta tanaman palawija yang mulai
siap dipanen. Seorang pemuda remaja bertelanjang dada tampak sedang
beristirahat di sebuah saung beratap daun kelapa, menantikan hujan yang tak kunjung reda sejak tadi.
Wajahnya sejak tadi berseri-seri
memandang hasil jerih payahnya bersama keluarga selama ini. Dalam hatinya ia
bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rahmat-Nya selama ini.
Pemuda itu bertubuh ramping dan berotot kekar, matanya tajam, rambutnya sebatas
bahu dengan senjata kesayangan berupa sebuah beliung yang sedang ia bersihkan
dengan hati-hati. Pemuda itu bernama Kaswita.
"Lama sekali mbakyu pergi ke puncak Ciremai," keluh Kaswita pada dirinya
sendiri. "Biasanya ia tidak lama di sana.
Apakah ada sesuatu yang terjadi pada dirinya?" desah Kaswita mulai khawatir.
Sri Ayu terus mencecar Parmin
dengan jurus-jurus kilat yang berbahaya pada saat Parmin merasa terdesak,
sehingga pendekar dari gunung Sembung itu mulai merasa kehilangan sabarnya, ia
memutuskan untuk segera bertindak.
Traaakk...! Dengan penuh perhitungan Parmin
menyambut senjata Sri Ayu dengan tongkat besi beraninya. Di saat kedua senjata
itu beradu, kedua seteru itu berkutat mempertahankannya. Senjata tongkat khas Jaka
Sembung kini terlibat oleh ikat pinggang milik Sri Ayu.
"Maafkan jika tindakanku kasar, nona. Kau pasti tak akan mau percaya padaku,"
bentak Parmin masih dalam nada sopan. Sri Ayu tak mau mendengar ucapan Parmin,
ia terus saja berusaha menarik kembali senjatanya sekuat tenaga. Matanya
bersinar merah karena marah.
Sewaktu Jaka Sembung membelot
tongkatnya, Sri Ayu ngotot untuk tidak melepaskannya. Dengan satu sentakan,
Parmin berhasil melepaskan belitan ikat pinggang Sri Ayu.
"Hup, maaf, nona," kata Parmin sopan.
"Ah," si gadis berteriak kesakitan dan juga terkejut, yang disusul dengan suara
gedebuknya tubuh yang jatuh.
Buk! Hentakan Jaka Sembung tadi membuat Sri Ayu merasakan tongkatnya seperti ditarik
dengan keras sehingga ia berusaha menahannya sekuat tenaga. Siapa yang menyangka
di saat ia tengah berusaha bertahan sekuat tenaga menahan itu, lawan justru
melepaskannya dengan sebuah sentakan kecil tetapi bertenaga besar.
Akibatnya tubuh Sri Ayu terjerembang ke belakang dengan kerasnya, langsung
menimpa kubangan lumpur yang tercipta karena derasnya hujan di tanah. Pakaian
dara manis itu jadi kotor sekali.
"Oh, maafkan aku, nona," kata Jaka Sembung merasa tidak enak, tetapi juga merasa
lucu melihat keadaan lawan. Ia segera mengulurkan tangannya untuk menolong
orang. Tanpa disangka-sangka, Sri Ayu
justru menyambuti uluran tangan Jaka Sembung dengan suatu gerakan kilat yang
sangat cepat. Tangannya cekalan melontarkan tiga buah senjata rahasia ke tubuh
Parmin. Langkah Parmin terhenti seketika, tongkat besinya bergerak menghentak tanah di
bawah. Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara untuk menghindarkan diri dari
serangan gelap yang dilancarkan Sri Ayu.
Gadis itu langsung mencecar Jaka Sembung dengan beberapa senjata rahasia yang
dilontarkan secara beruntun. Dengan memutar-mutar tongkatnya, Parmin terus
bersalto di udara beberapa kali lalu menjauh dari tempat itu.
Tep! Tep! Beberapa senjata rahasia yang
dilontarkan Sri Ayu melekat di tongkat Parmin yang mengandung besi berani itu.
Ia kembali melayang turun dengan
lincahnya. "Tahan, nona! Kalau tidak, aku akan
menghajarmu!"
gertak Parmin menakut-
nakuti. "Coba, kalau kau berani!" Sri Ayu berkata kesal dan marah bercampur satu sambil
melemparkan beberapa senjata rahasia yang masih berada di tangannya.
Bersamaan dengan berdesingnya
senjata rahasia itu, meluncurlah sesosok bayangan ke arah Parmin.
Telinga Jaka Sembung yang terlatih dapat menangkap suara berdesirnya angin
serangan yang datang dari belakang tubuhnya, ia menyadari bahwa ada orang lain
yang membokongnya dari belakang.
Sebuah benda runcing yang sangat keras tengah mengancam jiwanya saat itu.
Dengan gerakan yang sangat cepat
Parmin mengeluarkan jurus Elang Terbang Mematuk Anak Itik, dan tubuhnya meletik
ke samping kiri unluk menghindari serangan gelap tersebut sementara tongkatnya
masih bergerak menangkis senjata rahasia yang dilontarkan oleh Sri Ayu.
Creeeppp...! Tanah di bekas tempat Parmin
berdiri tadi langsung berlubang terhantam sebuah beliung bermata runcing yang
merupakan senjata penyerang Jaka Sembung barusan.
"Tahan! Siapakah anda" Mengapa menyerangku secara tiba-tiba?" bentak
Parmin dengan penuh tanda tanya.
"Heaaatt...! Pengembara tersesat!
Jangan coba-coba mengganggu kakakku.
Bangsat kau!" jawab anak muda yang kini telah bersikap mengancam lagi dengan
sebuah beliung melintang di dadanya.
Jaka Sembung dengan tenang
mengawasi anak muda bertelanjang dada dengan senjata berupa beliung tajam di
depannya itu. Pemuda itu adalah Kaswita yang datang menyusul kakak perempuannya,
dan mendapatkan mbakyunya sedang
bertarung dengan Parmin, maka ia pun segera turun tangan membantu kakaknya.
"Hati-hati, adikku! Ia sangat tangguh," sergah Sri Ayu.
"Jangan takut, mbakyu!" jawab Kaswita yakin.
"Tunggu, saudara! Sabar... Aku sungguh-sungguh tak bermaksud buruk terhadap
mbakyumu ini. Anda berdua telah salah paham," Parmin berusaha mencegah
terjadinya kesalahpahaman yang lebih ruwet.
Kaswita sama sekali tak menggubris omongan Jaka Sembung, ia segera menyerang
dengan beliung yang merupakan senjata andalannya dengan cepat dan bertubi-tubi.
"Yeeeaaahhhh...!" teriak Kaswita keras dan panjang. Beliungnya mengarah dengan
deras ke arah ubun-ubun Parmin.
Pendekar dari gunung Sembung itu
merundukkan kepalanya dan ujung beliung yang runcing itu lolos lewat belakang
kepalanya. Sama sekali tak terduga oleh lawannya, Parmin membuat sebuah gerakan
yang cepat. Tiba-tiba saja tongkat Parmin menyusup melalui dada sampai ke celah paha Kaswita dan dengan cepat pula tubuh
Kaswita yang kekar itu terangkat ke atas sehingga untuk beberapa detik tubuh
Kaswita dapat berdiri tegak di tanah dengan ringannya setelah tubuhnya
berjungkir balik beberapa kali di udara.
Belum habis rasa heran Parmin,
Kaswita telah kembali menyerang dengan jurus Beliung Menyambar Alang-alang.
Parmin melompat kian ke mari menghindar seperti seorang penari ballet. Kaswita
sama sekali tak memberi peluang sedikit pun pada Jaka Sembung yang terus
menghindar. Di suatu ketika yang baik, Parmin berhasil melewati tubuh Kaswita


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menepak pundaknya.
"Aahhh...!" teriak Kaswita, tubuhnya segera jatuh bergulingan beberapa kali di
tanah. Namun ia segera bangkit kembali dan siap menyerang Parmin lagi.
Sementara itu Sri Ayu telah siap pula untuk membantu adiknya dalam menghadapi
lawan yang cukup tangguh buat mereka berdua.
"Tunggu, anak muda! Kalian telah
salah paham," cegah Parmin sambil menghindar ke samping kanan. Namun Kaswita tak
mau memperdulikan kata-kata Parmin dan terus menyerang dengan nafsu membunuh.
"Adikku, mari kita sama-sama menyerang!" suara Sri Ayu terdengar tegas memberi
komando. "Baik, mbakyu! Aku pun telah siap sejak tadi!" terdengar Kaswita menimpali.
Kedua kakak beradik itu lalu mundur membuat jarak untuk menyerang dari tempat
Parmin berdiri. Kaswita di sebelah kanan, sedangkan Sri Ayu di sebelah kiri.
Dengan senjata di tangan, kedua kakak beradik itu telah bersiap-siap menyerang
Parmin. "Ciiaaattt...!" berbarengan mereka menyerang. Dengan penuh kewaspadaan Parmin
menanti serangan itu sampai tepat pada jarak yang diperhitungkannya.
"Haaattt...!" Jaka Sembung berteriak sambil melompat ke atas membuat beberapa
kali putaran. Traaaanngg...! Dua buah senjata beradu
menge- luarkan percikan api, kiranya senjata mereka beradu satu sama lainnya sehingga
kedua kakak beradik itu sama-sama tercengang. Kini mereka melanjutkan
serangannya kembali secara bersama-sama untuk mendesak Parmin.
Ketiga pendekar muda yang berkelahi
itu terus terlibat dalam kemelut sampai ke bibir kepundan Ciremai. Gulungan-
gulungan cahaya yang keluar dari senjata-senjata mereka saling menindih. Dari
kejauhan kelihatan tubuh mereka seolah-olah seperti makhluk-makhluk ajaib yang
melenting ke sana ke mari.
3 Di bawah tebing itu terlihat
sesosok bayangan berkelebat dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa.
Gerakannya sangat lincah dan cekatan melompat ke sana ke mari, dari batu ke batu
tanpa membuat batu-batu yang dipijaknya tergeser, seolah-olah
tak pernah tersentuh kakinya.
Bayangan itu kian mendekat dan kini terlihat bentuknya. Sesosok manusia
berpakaian serba putih, kepalanya dililit sorban berwarna putih pula.
Penampilannya mencerminkan seorang mualim yang saleh.
Orang yang berpakaian serba putih itu bernama Elang Sutawinata, umurnya sudah
mencapai setengah ahad.
Elang Sutawinata mendaki tebing Ciremai dengan maksud mencari anak-anaknya yang belum kembali.
Sri Ayu dan Kaswita terus menyerang Parmin sampai ke pinggir jurang ke pundan.
Parmin yang hanya menghindar dan
terus berkelit sejak tadi hingga
kelihatan terdesak. Hal itu semata-mata dilakukan Parmin alias Jaka Sembung
karena ia enggan menangani orang-orang yang tidak mutlak menjadi musuhnya.
Kali ini Sri Ayu dan Kaswita
membuat kuda-kuda yang cukup aneh. Mereka saling berpegangan tangan dan bersama-
sama seperti lengket saja tubuh mereka, keduanya membuat gerakan menyerang.
Jurus ini mereka namakan jurus Menyatukan Sukma.
"Ciaaattt...!" lengking suara mereka berbarengan.
"Heeeaatt...!" Parmin alias Jaka Sembung pun tak mau kalah. Ia bersalto beberapa
Pendekar Pemanah Rajawali 14 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Sepak Terjang Hui Sing 1
^