Pencarian

Si Cakar Rajawali 2

Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali Bagian 2


kekanak-kanakan, Ranti sendirilah yang selalu berusaha berdekatan dengan Parmin.
Tanpa malu-malu, ia datang ke sawah tempat Parmin bekerja. Atau ke rumah petani
tua hanya sekadar untuk bisa berbincang-bincang dengan
pendekar itu. Sekarang sebaliknya, Karta yang
tampaknya selalu mengejar-ngejar Ranti. Sementara Ranti sendiri
kelihatannya selalu berusaha
menghindar, meskipun ia sendiri harus
mengakui bahwa sikapnya itu tidak sesuai dengan hati nuraninya. Bahkan mungkin
hanya sekadar kompensasi untuk menutupi isi hatinya yang sebenarnya.
Diam-diam dara jelita itu merasa khawatir, kalau-kalau Karta tidak mau lagi
memaafkannya. Alangkah malangnya nasibnya jika ia akan kehilangan seorang pria
yang demikian baik. Tanpa terasa air matanya menetes membasahi wajahnya yang
pucat. Aku harus kembali dan minta maaf padanya, kata hati Ranti. Tetapi saat itu juga
hatinya berteriak lain.
Tidak! Aku tidak boleh merengek-rengek di hadapannya untuk minta dibelas-
kasihani. Biarlah aku melupakannya! Ia selalu berusaha mendekatiku hanya karena
suaraku mirip dengan mendiang kekasihnya. Kalaupun dia merasa cinta, yang ia
cintai hanyalah suaraku."
Tangis Ranti semakin menjadi-
jadi. Matahari mulai gelap, bundar bagai bola dan mengembang di atas mega-mega
di kaki langit. Udara
menjelang kelam. Cahaya senja merah tembaga antara terang dan gelap, terasa
lebih cepat kusam dan padam.
Nun jauh di sana, udara senja mulai hitam, menodai jaringan-jaringan halus
pepohonan di tengah hutan. Seperti sedang mengisyaratkan sebuah prahara yang
telah datang mengacaukan
segalanya. Ranti tidak tahu harus melakukan apa agar pikirannya dapat tenang.
Dengan putus asa, ia menyandarkan kepala sambil memejamkan mata, lalu berbisik
sedih: "Tuhan, daripada hidup tersiksa seperti ini, mengapa Tuhan tidak mencabut
nyawaku saja?"
Tatkala malam semakin larut,
Ranti naik ke dahan pohon dan kembali duduk bersandar. Ia sudah memutuskan akan
melewatkan malam itu di tengah hutan. Sebab mau ke mana lagi dia" Ia belum
mengenal daerah di sekitar hutan itu. Kalau ia nekad meneruskan
perjalanan, ia bisa tersesat makin jauh ke tengah hutan. Dengan air mata yang
masih bercucuran dan suara isak tangis yang tersendat-sendat, gadis itu akhirnya
tidur kelelahan.
Esok harinya, ia terbangun
ketika matahari telah tinggi menerpa wajahnya dari sela-sela dedaunan.
Ranti terbangun karena matanya yang silau terkena sinar matahari. Sambil
mengeluh, ia turun dari atas pohon.
Ranti tidak tahu hendak ke mana
sekarang. Perutnya terasa sangat lapar, pedih bagaikan dililit-lilit.
Tetapi kemanakah ia harus pergi
mencari makanan"
Gadis itu akhirnya memutuskan
untuk pergi ke muara kali Cimanuk dan mengharap di tempat itu nanti ia bisa
menemukan perkampungan kaum nelayan.
Mudah-mudahan aku masih bisa menemukan orang yang mau memberiku sedikit makanan,
kata hati Ranti penuh harap.
Ranti akhirnya sampai di muara
kali Cimanuk, di pesisir pantai laut Jawa. Ia menyusuri pantai pasir putih dan
matanya menatap liar ke sana ke mari dengan harapan bisa menemukan orang yang
mempunyai makanan.
Pada usia semuda itu, Ranti
telah hidup luntang lantung ke sana kemari. Semua itu sebetulnya hanya karena
tuntutan hatinya yang kesepian dan butuh kasih sayang. Keadaan itu sangat jauh
berbeda dengan kehidupan-nya pada waktu kecilnya. Dulu Ranti hidup serba
berkecukupan. Sekarang untuk makan saja sudah terancam. Wajar kalau ia merasa
sangat tersiksa, sebab ia belum terbiasa hidup dalam
keprihatinan. Keadaan itu telah membuka mata
hatinya, bahwa dalam hidup ini banyak tantangan dan rintangan. Bahwa dalam
kehidupan ini manusia saling
membutuhkan, saling tergantung satu sama lainnya tanpa terkecuali. Yang kaya
bukan berarti tak pernah
membutuhkan yang miskin, begitu juga sebaliknya yang miskin pun membutuhkan
orang kaya. Ranti tak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi pada dirinya jika dalam
pengembaraannya itu tidak
menemukan orang lain. Mungkin ia akan mati kelaparan.
7 Tak jauh dari tempat Ranti
sekarang berjalan menyusuri pasir pantai, tampaklah asap mengepul, di dekat
pohon nyiru. Seorang lelaki muda duduk di batang pohon kelapa yang telah
tumbang. Ia sedang memasak ikan di dalam sebuah kuali.
Lelaki itu masih cukup muda,
berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Tubuhnya tegap kekar dengan kulit hitam legam. Kumisnya panjang dan melingkar.
Alis matanya tebal,
sedangkan matanya kelihatan selalu melotot. Ia mengenakan ikat kepala sehingga
rambutnya yang cukup panjang tidak awut-awutan.
Jika diperhatikan cara lelaki
itu memasak, orang pasti akan
terkejut. Betapa tidak, ia sama sekali tidak
menggunakan sendok untuk
mengaduk rebus ikan yang sedang
mendidih itu, melainkan dengan tangan kanannya sendiri. Anehnya, lelaki itu
kelihatan tenang-tenang saja, tak merasa kepanasan sedikitpun juga.
Perlahan-lahan, lelaki itu
mengangkat tangan kanannya dari dalam kuali. Maka tampaklah tangannya yang
hitam legam dan bentuknya aneh itu mengeluarkan uap. Tangan itu mirip garpu
besar dan terlihat seperti terbuat dari baja.
Apakah lelaki itu sedang
mengenakan sarung tangan yang terbuat dari baja" Sama sekali tidak! Tangan
kanannya itu berubah jadi seperti itu adalah berkat latihan yang tak kenal lelah
dan putus asa. Itulah dia si Cakar Rajawali!
Seperti diceritakan di bagian
awal, lelaki itu berlatih tekun siang dan malam untuk memperdalam ilmu silatnya
di pantai teluk Cirebon.
Tangan kanannya yang cacat itu
dilatih, mulai dengan cara membenam-kannya di pasir pantai yang panas, kemudian
di dalam air mendidih hingga akhirnya di dalam kobaran api. Dan jika malam telah
tiba, lelaki itu berlatih jurus-jurus silat sehingga tingkat kepandaiannya makan
lama makin tinggi.
Si Cakar Rajawali yang nama
aslinya adalah Barna telah bertekad untuk membalaskan dendam kesumat atas
kematian gurunya di tangan Jaka
Sembung. Ia telah bersumpah tidak akan mau berhenti sebelum berhasil membunuh
lelaki pengembara yang mengalahkan gurunya itu. Itulah sebabnya ia
berlatih dan terus berlatih tanpa kenal lelah dan putus asa.
Barna menjilat-jilat kuah rebus
ikan yang membasahi tangan kanannya.
Ia tampak lega, mungkin karena merasa bumbu masakannya telah sesuai dengan yang
ia inginkan. Lalu ia bangkit dan menoleh ke sana ke mari, mencari ayahnya.
"Ayah! Di mana kau" Kemarilah, sarapan sudah siap!" teriak pendekar itu dengan
suara menggelegar, sehingga suaranya bergema ke sepanjang pantai Karena tidak
ada sahutan, Barna
berlari agak jauh ke sebelah Selatan pantai itu. Benar saja, ayahnya sedang
terkekeh-kekeh.
"Ayah, kembalilah. Mari kita makan!" teriak Barna.
Ayahnya tak menyahut. Lelaki tua itu terus merangkak sambil berkata-kata seorang
diri, "He-he he, mau lari ke mana kau setan cilik" Jangan kira kau bisa lolos
dari tanganku," katanya sambil terus merangkak bagaikan anak kecil yang belum
bisa berjalan. Lelaki tua kurus kerempeng itu
tertawa keras-keras ketika berhasil menangkap seekor udang. Ia sangat girang,
lalu merangkak lagi menangkap udang yang banyak berkeliaran di sekitar pantai
itu. Agaknya pikiran lelaki tua itu
tidak waras lagi. Tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang
lelaki yang telah berumur lanjut. Ia
bertelanjang dada sehingga tulang-tulang rusuknya terlihat menonjol, seolah-olah
hanya dibungkus kulit saja. Kumisnya yang tebal dan sudah mulai memutih
dibiarkan tumbuh dengan liar, sehingga wajahnya tampak
menyeramkan. Siapakah sebenarnya laki-laki
tua dan kurus itu" Dia lah salah seorang dukun gadungan penyambung lidah Bergola
Ijo. Dulu ia dikenal sebagai tokoh sesat yang sangat
ditakuti banyak orang. Namun ia tidak kuat mental sehingga menjadi gila setelah
majikannya terbunuh. Menurut sebagian orang, dukun itu menjadi gila adalah
karena 'supata'(kutukan) Kyai Haji Subekti Achmad, ulama besar dari Gunung
Sembung. Melihat keadaan ayahnya itu,
makin berkobarlah dendam di hati Barna. Semua ini gara-gara musuh-musuhnya yang
kelak akan ia tumpas habis sampai ke anak cucunya hingga lenyap dari permukaan
bumi ini. "Ayah dengarlah aku ayah!
Sarapan pagi kita sudah kusiapkan.
Ayah tentunya sudah lapar. Ayolah, kita makan sekarang," kata Barna membujuk-
bujuk ayahnya. "He-he-he, sarapan katamu"
Inilah sarapanku. Cukup perbekalan selama tiga hari. Enak, manis dan gurih.
Kalau kau suka kau boleh ambil.
Nih, makanlah!" Tangan kiri orang tua itu diulurkan kepada Barna. Sedangkan
tangan kanannya memasukkan udang yang masih hidup itu ke dalam mulutnya.
Sambil tak henti-hentinya tertawa terkekeh-kekeh, lelaki tua itu
mengunyah-ngunyah dengan sangat
lahapnya. Cakar Rajawali tidak bisa
berbuat apa-apa. Kalaupun dia berusaha mencegah, tidak akan ada gunanya karena
ayahnya pasti akan tetap makan udang itu. Bahkan mungkin akan menjadi marah
karena merasa kesenangannya diganggu.
Memang demikianlah adat orang
tua itu setelah pikirannya tak waras lagi. Masih mending kali ini ia cuma makan
udang hidup. Pada waktu lalu ia malah pernah hendak memakan
kalajengking yang ia tangkap di
pinggir hutan. Untunglah anaknya segera melihat dan mencegahnya.
Kadang-kadang orang tua itu
tertawa-tawa tak henti-hentinya, tetapi tak lama kemudian tiba-tiba menangis
tersedu-sedu menyesali masa lalunya. Jika malam tiba, lelaki tua itu suka duduk
menyendiri lama sekali.
Entah apa saja yang ia pikirkan tak ada yang tahu. Tetapi kalau anaknya
menyuruhnya tidur, ia tidak mau bahkan sering menjadi beringas.
"Ayah, marilah kita makan. Saya
sudah sangat lapar, ayah! Apakah ayah tidak merasa kasihan padaku?" tanya Barna
lagi. Ia menarik tangan ayahnya dengan harapan ayahnya mau diajak meninggalkan
pantai itu. "Heh, kau berani kurang ajar padaku, ya?" bentak orang tua itu dengan sikap yang
tiba-tiba berubah jadi beringas.
"Oh, ayah jangan marah. Saya tak bermaksud kurang ajar. Aku hanya ingin mengajak
ayah sarapan pagi."
"Aku sudah sarapan. Nih,
sarapannya enak sekali. Cobalah, kau pasti senang," kata lelaki tua itu sambil
menyodorkan beberapa ekor udang kepada anaknya.
Si Cakar Rajawali tidak berkata
apa-apa lagi. Dengan langkah lesu, ia meninggalkan tempat itu, kembali ke
tempatnya tadi merebus ikan.
Akan tetapi setibanya di tempat
itu, alangkah terkejutnya ia melihat ikan rebusnya sudah habis dimakan orang.
Tinggal tulang-tulangnya saja berserakan di sekitar tempat itu.
"Bangsat! Siapa yang menghabiskan ikanku" Bajingan, akan kurobek-robek mulutnya
jika aku tahu siapa yang berani mencuri ikanku!" kata Barna geram.
Pendekar itu melirik ke seke-
lilingnya, mencari orang yang berani mempermainkannya. Tiba-tiba matanya
mendelik ketika melihat seorang gadis dengan tenang mencuci tangannya di pinggir
pantai. "Bangsat, pasti dialah yang telah menghabiskan ikan rebusku,"
pikirnya. "Hei, siapa kau bangsat?" bentak Si Cakar Rajawali sambil menatap ke arah wanita
yang duduk membelakanginya, yang tak lain tak bukan adalah Ranti.
Tadi ketika sedang melangkah
sendirian di pasir pantai itu, Ranti mencium bau lezat ikan dimasak. Tak lama
kemudian, ia melihat kepulan asap tak jauh dari tempat itu. Ranti
mempercepat larinya ke arah kepulan asap
itu. Ia menjadi kegirangan
melihat ikan rebus di dalam kuali.
Ranti sebenarnya ingin meminta
secara baik-baik kepada orang yang punya. Tetapi karena di tempat itu tidak ada
siapa-siapa, dan karena sudah sangat lapar, maka ia segera memakan ikan rebus
itu sampai habis.
"Nanti aku akan minta maaf pada orang yang punya ikan ini!" pikir Ranti. Ia
nantinya rela bekerja untuk orang yang punya ikan sebagai ganti makanannya itu.
Setelah selesai mencuci tangan-
nya, Ranti membalikkan badan lalu menatap ke arah Barna.
"Bajingan, kau telah menghabiskan ikan rebusku!" bentak Si Cakar
Rajawali marah.
"Maafkan aku, tuan. Aku sangat kelaparan tadi," ujar Ranti hati-hati Melihat
gadis di hadapannya
sangat cantik, Barna menjadi berubah sikap. Tadinya ia sudah memutuskan akan
menghajar siapa pun yang telah mencuri ikannya tanpa perduli apapun alasannya.
Sekarang melihat Ranti sangat
cantik dan masih sangat muda pula, timbullah niat busuk di hati Si Cakar
Rajawali. Ia ingin memperalat
kesalahan gadis itu untuk menuruti kemauannya.
"Tak kusangka maling ikanku seorang gadis yang sangat cantik.
Rupanya kau tersesat ke tempat ini, nona manis."
"Ya, tuan. Saya sangat berterima kasih atas kebaikan tuan. Aku tak tahu harus
bagaimana membalas budi baik tuan."
"Ah, tidak apa. Orang yang lapar memang perlu makan. Orang yang haus perlu
minum. Tapi sebagai seorang pengembara dan sebagai pendekar yang ksatria, kau
pun tentunya tahu
membalas budi baik orang, nona."
"Ya, saya sangat berterima kasih pada tuan. Apakah yang harus kulakukan untuk
membalas kebaikanmu ini?"
"Mudah saja, Nona. Seperti yang saya katakan tadi, orang lapar perlu
makan dan orang haus perlu minum.
Demikian juga orang kesepian perlu ditemani dan dihibur."
"Apa maksudmu?" tanya Ranti sambil mengernyitkan alis matanya.
"Maksudku, kau harus menemani aku tidur nanti malam. Tidak susah, bukan" Aku
sudah sangat lama tidak bertemu dengan gadis apalagi yang sangat cantik seperti
dirimu." Mendengar ucapan lelaki itu,
menjadi merah padamlah wajah Ranti.
Perasaan kewanitaannya sangat tersinggung. Ia memang berhutang budi
terhadap lelaki di hadapannya itu, karena telah menghabiskan ikan


Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rebusnya. Tetapi apakah ikan rebus seperti itu harus dibayar dengan
kehormatannya sebagai seorang gadis"
Sampai mati pun dan demi apapun, Ranti tidak akan sudi. Ia memilih lebih baik
mati daripada harus disuruh membayar ikan dengan kehormatannya.
Maka Ranti pun segera meloncat ke hadapan Si Cakar Rajawali. Sikapnya sekarang
tampak sangat beringas.
Matanya mencorong tajam dan merah bagaikan memancarkan api.
"Kau keterlaluan! Aku memang bersalah karena telah menghabiskan ikan rebusmu.
Tetapi jangan kira aku mau membayarnya dengan kehormatanku.
Akan kucabut nyawamu kalau berani berkata seperti itu lagi."
"Ah, nona cantik yang sangat galak! Kau tambah cantik saja kalau sedang marah.
Mengapa kau menolak maksud baikku" Apa salahnya kita tidur bersama-sama hanya
untuk satu malam saja?"
Ranti makin marah. Membayangkan
tidur bersama Parmin saja selama ini belum pernah. Apalagi tidur bersama lelaki
yang baru dikenalnya itu.
"Dasar lelaki bajingan. Kalau abangku si Jaka Sembung tahu kau berani kurang
ajar padaku, mulutmu itu tentu akan dirobek-robek!" bentak Ranti. Karena sangat
marah dan tadi sempat teringat kepada Parmin, tanpa sengaja ia menyebut nama
lelaki itu. Dan rupanya kata 'Jaka Sembung'
yang keluar dari mulut Ranti benar-benar membuat sikap Si Cakar Rajawali
berubah. Wajahnya merah padam,
kumisnya tegak dan bergerak-gerak kaku. Kalau tadi sinar matanya
memancarkan nafsu birahi, maka kini nafsu yang terpancar dari matanya adalah
nafsu membunuh yang tampaknya tak bisa dicegah lagi.
8 Jaka Sembung, adalah salah
seorang musuh besarnya. Pendekar dari Gunung Sembung itulah yang telah
memberikan kehidupan suram padanya.
Jaka Sembung telah membunuh orang yang dicintainya, gurunya yang bergelar
Bergola Ijo. Bahkan selama ini ia memperdalam ilmunya adalah untuk membalaskan
dendamnya kepada Jaka Sembung.
Ia tahu Jaka Sembung memiliki
ilmu yang sangat tinggi. Karena itulah ia menuntut ilmu bertahun-tahun dan
melatih tangan kanannya yang cacat menjadi cakar maut. Barna telah
bersumpah akan membalaskan dendam kesumatnya, melenyapkan Jaka Sembung serta
saudara-saudaranya. Sebab hanya dengan cara itu ia bisa merasa
dendamnya terlampiaskan, atau merasa hutangnya impas.
Dendam memang sering membuat
orang menjadi mata gelap. Jika dendam telah merasuki pikiran dan menguasai hati
seseorang, maka orang tersebut tidak akan pernah merasa tenang
sebelum melampiaskan dendamnya. Cara apa pun akan ia tempuh demi
membalaskan dendamnya.
Itulah sebabnya permusuhan di
antara sesama pendekar atau para jagoan silat lainnya sering ber-
kepanjangan dan bahkan bisa menjadi semacam mata rantai yang berkesinam-bungan.
Seperti Si Cakar Rajawali misalnya, ia menaruh dendam kesumat kepada Jaka
Sembung, karena gurunya pernah dirobohkan jagoan dari Gunung Sembung itu.
Kalau misalnya Parmin juga
terbunuh di tangan Cakar Rajawali, kawan-kawan Parmin pun tentu akan dendam
kepada Cakar Rajawali. Demikian seterusnya, sehingga merupakan ling-karan setan
yang tak ada habis-
habisnya. Kebanyakan di antara para pendekar yang kurang bijaksana menilai nyawa
harus dibayar dengan nyawa.
Padahal itu belum tentu merupakan penyelesaian yang baik dan benar.
Kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan. Ada kalanya
jalan kekerasan harus dihin-darkan. Artinya harus mau mengalah untuk menang.
Sekarang mendengar Ranti mengaku sebagai adik Jaka Sembung, amarah Cakar
Rajawali pun tak terkendalikan lagi. Ia merasa tak perlu berpikir dua kali untuk
membunuh Ranti.
"Hm, jadi si Parmin itu adalah abangmu" Bagus, berarti kau adalah adiknya. Demi
langit dan bumi dan demi arwah guruku, aku telah bersumpah untuk menumpas Jaka
Sembung, termasuk sanak familinya hingga habis dari muka
bumi ini. Dan kau adalah korban yang pertama!" kata Barna dengan suara meledak-
ledak. Ranti terkejut juga menyaksikan
perubahan sikap Si Cakar Rajawali.
Rupanya lelaki di hadapannya itu menaruh dendam kesumat kepada Jaka Sembung,
bahkan telah bersumpah akan menumpas habis siapa saja yang punya hubungan
kekeluargaan dengan pendekar Gunung Sembung itu.
Diam-diam Ranti merasa ngeri
juga, karena ia tahu Si Cakar Rajawali bukanlah orang sembarangan. Pastilah
memiliki kesaktian yang sangat tinggi.
Apalagi saat memperhatikan tangan kanan Si Cakar Rajawali yang hitam legam dan
keras bagaikan baja. Tangan itu pastilah sangat berbahaya.
Dulu ayah angkat Ranti, Gembong
Wungu telah sering menceritakan tentang kehebatan-kehebatan para pendekar
kesohor. Para jagoan tersebut selalu memiliki keistimewaan tersendiri, misalnya
mempunyai senjata yang tidak lazim dimiliki orang, atau jurus-jurus langka.
Tetapi Gembong Wungu belum pernah menceritakan adanya jagoan yang memiliki
senjata berupa tangan kanan keras dan bagaikan baja.
Jika bertarung dengan pendekar
aneh itu, Ranti tentu akan merasa kikuk sebab selama hidupnya ia belum pernah
berhadapan dengan orang seperti
itu. Selain itu, melihat sikap Si Cakar Rajawali, tahulah Ranti bahwa lelaki itu
memiliki tabiat yang sangat ganas dan buas.
Ranti merasa cemas juga. Tetapi
ia tak mungkin lagi menghindari
pertarungan dengan musuh yang tangguh.
Maka ia pun segera mencabut
senjatanya. Kalau ia memang harus mati, biarlah. Toh tidak akan ada yang
menangisinya. Bukankah ia tidak punya siapa-siapa lagi"
"Bersiaplah untuk mampus, nona.
Si Cakar Rajawali akan merobek-robek tubuhmu sebagai pelampiasan dendamku kepada
Jaka Sembung. Akan kucabut jantung dan hatimu, lalu kuberikan kepada abangmu itu
sebagai tanda mata yang sangat berharga," kata Barna sambil bersiap-siap untuk
menerjang Ranti.
"Jangan kira aku takut padamu, bangsat! Jika kau telah bersumpah menumpas Jaka
Sembung dan keluarganya, maka aku pun telah bersumpah
melenyapkan kau serta penjahat-
penjahat lainnya dari muka bumi ini."
"Rupanya kau tak berbeda dengan abangmu itu. Mulutmu terlalu besar, nona. Kau
betul-betul tak tahu diri.
Ajalmu sudah dekat, tapi kau masih berani bicara sesumbar seperti itu."
"Jangan banyak bicara, bedebah!"
"Baiklah, nona sombong. Hada-
pilah seranganku!"
Usai berkata demikian, Si Cakar
Rajawali segera menerjang Ranti dengan dahsyat. Tubuhnya melayang cepat sekali,
kaki kanannya ditekuk dan hampir menempel ke dada, tangan
kirinya terulur ke depan, sedangkan tangan kanannya yang hitam keras itu ditarik
ke belakang, sewaktu-waktu siap melancarkan serangan maut tak terduga.
Ranti menggeser kaki kanannya ke samping untuk mengelakkan tendangan kaki lawan.
Lalu dengan gerakan yang sangat cepat, ia mengayunkan pedangnya ke arah punggung
Cakar Rajawali. Orang lain yang ilmunya tak terlalu tinggi tentu akan gugup
diserang secepat itu.
Namun Si Cakar Rajawali tampak tetap tenang. Sambil tersenyum mengejek, ia
mengulurkan tangan kanannya menangkis sabetan senjata lawan.
Terdengar suara berdenting
ketika senjata Ranti bertemu dengan tangan kanan lawan, seolah-olah golok itu
mengenai benda logam yang sangat kuat. Tak terlihat Si Cakar Rajawali merasa
kesakitan, bahkan Ranti sendiri yang merasa tangannya kesemutan karena kuatnya
tenaga dalam lawan. Ketika ia belum bisa menguasai perasaan
kagetnya, tangan maut
itu telah terulur mencengkeram senjata di tangan Ranti.
Sambil berseru kaget, Ranti
membanting diri ke samping. Tubuhnya berguling-gulingan di atas tanah, lalu ia
kemudian meloncat jauh ke belakang.
Gadis itu menenangkan perasaan. Hampir saja tadi, hanya dalam satu gebrakan saja
ia tewas di tangan lawan.
Melihat sikap Ranti, maka Si
Cakar Rajawali pun tertawa kegirangan.
Ia benar-benar anggap remeh kepada gadis di hadapannya.
"Tak kusangka kepandaian adik Jaka Sembung hanya seperti itu.
Rasanya aku jadi malu jika harus bertarung denganmu. Kalau saja aku belum sempat
bersumpah untuk membunuh-mu, aku tidak akan mau bertarung denganmu. Tapi
walaupun demikian, biarlah aku melanggar sumpahku.
Sebaiknya kau menyerah saja dan mau menjadi istriku. Sayang kalau nona secantik
kau mati dengan sia-sia di tanganku."
"Bangsat! Kau jangan sombong, monyet!" Ranti segera menerjang dengan dahsyat.
Sekarang ia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang paling tinggi. Pedang diputar
cepat sekali sehingga seolah-olah berubah jadi banyak sekali, menyerang Si Cakar
Rajawali dari segala penjuru.
Melihat kecepatan gerak Ranti,
agak terkejut juga Si Cakar Rajawali dan diam-diam harus mengakui bahwa
dalam hal kecepatan gerak, Ranti cukup bisa mengimbanginya. Si Cakar Rajawali
pun segera mengeluarkan jurus-jurus mautnya. Setiap pedang lawan menyambar ke
arah tubuhnya, ia langsung
memapakinya dengan tangan bajanya.
Ranti yang sudah mengetahui
kehebatan tangan itu terpaksa harus menarik serangannya, untuk kemudian
menyerang dari arah lain. Akibatnya gadis itu menjadi kerepotan sendiri.
Apalagi karena jurus-jurus yang
dikeluarkan Si Cakar Rajawali selalu penuh dengan perkembangan yang tak terduga.
Begitu Ranti menarik pedangnya, Si Cakar Rajawali segera balas menyerang dengan
gerakan cepat bagaikan kilat.
Pertarungan yang tak disaksikan
siapa-siapa itu berlangsung sampai berpuluh-puluh jurus. Namun makin lama,
perlawanan Ranti makin lemah. Ia sekarang tak punya kesempatan lagi melakukan
serangan balasan, sebab untuk bertahan pun ia harus berjuang mati-matian.
"Kau akan mampus di tanganku, nona!" teriak Si Cakar Rajawali.
Serangan-serangannya makin gencar, mengurung lawan dari segala penjuru.
Tangan kirinya menyambar ke arah ke dua mata gadis itu dengan kecepatan yang
sukar diikuti pandangan mata. Tak terkatakan betapa terkejutnya Ranti
mendapat serangan seperti itu, karena kalau mengenai sasaran, kedua biji matanya
pasti akan hancur.
Secepat yang bisa ia lakukan,
Ranti mundur dengan posisi menyamping.
Serangan tangan kiri lawan bisa ia elakkan, namun pada saat itu cakar maut lawan
menyambar dari arah kanan.
Ranti makin terkejut, lalu membanting tubuhnya ke atas tanah. Tetapi
terlambat sudah, cakar maut lawan telah menyambar tubuhnya.
"Bret!" terdengar suara kain robek di bagian punggung Ranti,
sehingga kulit tubuhnya yang putih mulus kelihatan. Hal itu rupanya membuat Si
Cakar Rajawali menjadi berubah sikap. Murid Bergola Ijo itu tadinya ingin
menghabisi nyawa Ranti secepatnya, tetapi sekarang ia
mengurungkan niatnya, dan ingin mempermainkan gadis
itu sepuas hati
sebelum membunuhnya.
"Ha-ha-ha, nona manis. Kulit tubuhmu sangat halus. Hatiku jadi berdebar-debar
melihatnya," ejek Si Cakar Rajawali sambil tertawa
kegirangan. Cakar maut tangan kanannya
kembali menyambar baju di bagian bahu Ranti hingga sobek hampir sebatas dada.
"Bangsat! Kubunuh kau!" bentak Ranti, geram bercampur cemas. Ia
kembali menyerang dengan ganas, tetapi karena tenaganya sudah sangat
terkuras, dengan mudah lawan dapat menghindar.
"Aku senang melihat wanita
telanjang menari-nari, nona manis.
Ayo, teruskan seranganmu! Nah,
sekarang giliran dadamu yang montok itu, nona...."
Benar saja, dengan gerakan cepat dan penuh tipu daya, Si Cakar Rajawali kembali
merobek baju di bagian dada Ranti.
Putri Gagak Ciremai itu
menjerit. Dadanya hampir telanjang sekarang. Sebagai seorang gadis, apalagi yang
masih sangat muda belia, ia merasa sangat malu dan merasa sangat terhina. Ingin
rasanya ia menangis saking kesal dan marahnya.
"Bangsat! Kalau kau bukan
pengecut, bunuhlah aku sekarang juga!"
teriak Ranti putus asa.
"Kau pikir aku setolol itu, nona manis" Lelaki mana yang tak tergiur melihat
mulus dan montoknya tubuhmu, nona?"
"Diam kau, bangsat!"
"Kau boleh memaki aku sepuas hatimu, nona. Kau berhak memaki-maki aku, sama
seperti halnya saat ini aku pun berhak menikmati tubuhmu itu." Si Cakar Rajawali
menghentikan serangannya. Ia mundur beberapa langkah.
Setelah itu, ia menatap tubuh Ranti dari bawah sampai ke atas dengan mata
mendelik. Kedua mata Ranti memerah menahan air mata. Perasaannya tak menentu lagi. Tangan
kanannya memegang senjata, sedangkan tangan kirinya
didekapkan untuk menutupi dadanya yang tak ditutupi pakaian lagi. Pada saat
seperti itu, Ranti merasa lebih baik mati. Ia tak tahan lagi menanggung malu,
dibuat hampir telanjang bulat di hadapan lawan.
"Mana abangmu si Jaka Sembung itu" Seandainya ia ada di sini, dia tentu akan
senang melihatmu menari-nari sambil telanjang."
Si Cakar Rajawali kembali me-
nyerang Ranti. Karena tak bisa lagi menguasai perasaannya, Ranti tidak berpikir
lagi untuk menyerang. Makin lama pakaiannya makin habis tersobek-sobek oleh
cakar maut lawannya. Dan akhirnya, dara itu benar-benar
telanjang bulat.
Sambil menjerit, Rand berlari
menyembunyikan diri ke balik batang pohon kelapa yang banyak tumbuh di sekitar
pantai. Ia menangis sedih dan geram. Ia ingin dibunuh secepatnya dan jika ia
masih dibiarkan hidup, suatu saat nanti ia bersumpah akan membunuh Si Cakar
Rajawali. Ranti tak dapat membayangkan
betapa besarnya aib yang akan menimpa dirinya jika Si Cakar Rajawali
memperkosanya. Ia sedih dan putus asa, juga geram, dan entah apa lagi
sehingga perasaannya tidak berbentuk lagi.
"Bunuhlah aku! Oh, jangan siksa aku seperti ini. Bunuhlah, bajingan!"
teriak Ranti, dengan air mata menetes membasahi wajahnya.
Si Cakar Rajawali tertawa ter-
gelak-gelak, sambil melangkah ke arah pohon kelapa tempat Ranti menyembunyikan
tubuh bugilnya. Lelaki itu tampak merasa semakin puas melihat Ranti menangis
ketakutan dan merintih-rintih meminta dirinya agar segera dibunuh.
"Sabarlah sedikit, nona manis!
Sebentar lagi permintaanmu itu akan kupenuhi. Sayang sekali gadis cantik dan
molek seperti kau harus tinggal jadi tumpukan daging yang tak laku dijual.
Tetapi perlu kau ketahui bahwa ini merupakan langkah awal bagiku untuk
membalaskan kesombongan pendekar dari Gunung Sembung."
"Jangan banyak omong kau!
Bunuhlah aku! Bedebah kau!" teriak Ranti lagi.
"Baiklah, agaknya kau memang tidak sabar lagi untuk segera
meninggalkan dunia ini." Si Cakar Rajawali segera mempersiapkan jurus
mautnya. Ia membungkukkan badan dengan posisi kaki kanan di depan. Tangan
kirinya dilipatkan di dada, sedangkan tangan kanannya yang merupakan cakar maut
itu diangkat tinggi-tinggi. Ia telah siap merobek-robek tubuh Ranti dengan cakar


Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mautnya. "Tunggulah abangmu si Jaka
Sembung di pintu akherat..." kata Si Cakar Rajawali dengan suara bergetar akibat
nafsu membunuh yang tak
terkendalikan lagi.
Tetapi di saat yang sangat
genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat. Begitu cepatnya bayangan itu
sehingga Si Cakar Rajawali tidak sempat menghindar ketika dadanya dipukul.
Tak ayal lagi, tubuhnya
terlempar ke belakang beberapa meter.
Ketika ia bangkit kembali,
tampaklah seorang pemuda berdiri di tempat itu, yang tak lain tak bukan adalah
Si Gila Dari Muara Bondet.
9 Setelah berhasil menyelamatkan
Ranti dari pusaran arus air di muara Cimanuk, dan Ranti pergi setelah menuduhnya
telah berbuat kurang ajar, perasaan Karta menjadi hancur luluh.
Ia tidak menyangka gadis cantik jelita yang suaranya mirip dengan mendiang
kekasihnya sampai hati menuduhnya seburuk itu, padahal ia telah
mempertaruhkan nyawa menyelamatkan gadis itu,
Karta sangat kecewa. Ia memang
dapat memahami perasaan Ranti yang tampaknya sedang mengalami pukulan batin yang
sangat berat. Jadi kalau sikapnya kurang simpatik, bolehlah dianggap wajar.
Tetapi saat itu, Karta segera memutuskan untuk tidak mau lagi mendekati Ranti.
Hati gadis itu terlalu keras. Karta takut jika
pertemuannya dengan Ranti akan
menambah penderitaannya selama ini.
Maka pendekar itu pun segera
melangkah meninggalkan tebing di pinggir muara kali Cimanuk. Langkahnya terasa
goyah. Berkali-kali ia memaki dirinya sendiri karena tidak bisa melupakan Ranti.
Karta mengingat saat Ranti menuduhnya telah berbuat kurang ajar, atau telah
merusak kesucian gadis itu sewaktu tergeletak dalam keadaan tak sadarkan diri.
Bahkan kata-kata itu sangat jelas terngiang-ngiang di telinga Karta. Entah apa
alasan Ranti hingga sampai hati
menuduhnya seperti itu.
Karta terus melangkah, tanpa
tujuan pasti. Ia hanya mengikuti langkah kakinya, dan tidak menyadari bahwa ia
sedang melangkah menyusuri pantai laut Jawa. Angin kencang
mengiringi langkah kakinya yang tak pasti. Rambut dan ikat kepalanya melambai-
lambai, sepertinya sedang mengucapkan selamat tinggal dunia cinta. Oh, cinta!
Engkau yang memberiku kebahagiaan dahulu kala, namun kemudian engkau juga yang
memberikan kegersangan hidup bagiku, keluh hati pemuda itu.
Ketika sedang melangkah dengan
pikiran yang hanyut di dalam
kesedihan, tiba-tiba telinga Si Gila Dari Muara Bondet mendengar suara orang
sedang bertempur. Ia segera berlari ke arah suara itu dan semakin terkejutlah ia
ketika menyadari bahwa suara itu suara seorang perempuan yang tampaknya sedang
bertarung dengan seorang lelaki.
Setelah berada tak jauh dari
arena pertarungan itu, alangkah
terkejutnya Karta menyaksikan yang sedang bertarung itu adalah Ranti sendiri.
Celakanya lagi, saat itu Ranti dalam keadaan bugil dan
menyembunyikan dirinya di balik pohon kelapa. Sementara seorang laki-laki tak
dikenal sudah bersiap-siap
menyerangnya dengan dahsyat.
Maka tanpa pikir panjang lagi,
Karta segera menerjang Si Cakar
Rajawali. Tubuhnya melesat dan
berkelebat bagaikan anak panah. Karena saat itu Si Cakar Rajawali kurang
waspada, ia tak menyadari bahwa
seseorang sedang menerjangnya. Ia pun terpental terkena hantaman lawan.
"Bangsat! Kau berani menyerang aku, ya" Siapa kau, hah?" bentak Si Cakar
Rajawali sambil melompat
berdiri. Wajahnya merah padam bagaikan terbakar api, dan sepasang matanya
mencorong tajam seolah-olah hendak menelan Karta hidup-hidup.
"Kau keterlaluan, sobat! Sikapmu ini tidak akan bisa dibenarkan siapa pun juga,"
kata Karta dengan tenang.
Pendekar Muara Bondet itu sebenarnya sangat marah melihat Ranti diper-lakukan
seperti itu. Namun sebagai pendekar yang telah bertahun-tahun melanglang buana
dalam dunia persilatan, ia merasa lebih baik bersikap tenang. Lain persoalannya
kalau misalnya Si Cakar Rajawali tetap ngotot bersikap keras. Bagaimana pun bagi
pendekar seperti Karta, mencari musuh itu adalah pantangan. Tetapi jika bertemu
musuh, artinya ditantang, ia pantang mundur.
"Bedebah kau! Berani kau
mencampuri urusanku! Rupanya belum tahu siapa aku. Akulah si Cakar
Rajawali, jagoan tanpa tanding di pantai Cirebon ini. Siapa pun yang berani
menantang aku, berarti ia sudah bosan hidup! Atas kelancanganmu ini, maka aku
tidak akan memberikan ampun
lagi bagimu!"
"Sahabat yang baik hati, sungguh merupakan kehormatan bagiku dapat bertemu
dengan pendekar gagah perkasa seperti Si Cakar Rajawali. Saya yakin kau adalah
seorang pendekar kesatria, yang tidak akan mau berbuat kejam pada orang lain
tanpa ada alasannya. Jika boleh aku tahu. Kesalahan apakah gerangan yang
dilakukan sahabatku itu hingga kau memperlakukannya seperti itu?"
"Oh, jadi kau adalah temannya"
Bagus kalau begitu. Berarti kau pun termasuk orang yang harus kulenyapkan dari
permukaan bumi ini. Ketahuilah, perempuan jalang itu telah menghabiskan ikan
rebusku. Tetapi bukan itu yang membuatku harus mencabut
nyawanya, melainkan karena dia adalah adik si Jaka Sembung. Aku telah
bersumpah akan melenyapkan Jaka
Sembung dan semua keluarganya dari muka bumi ini! Kau pun termasuk salah seorang
di antaranya."
Diam-diam Karta terkejut juga
mendengar kata-kata Si Cakar Rajawali.
Rupanya lelaki itu pun menaruh dendam kesumat kepada Jaka Sembung. Tetapi apakah
memang betul Ranti adalah adik pendekar dari Gunung Sembung itu"
Sejak tadi, Karta telah
memperhatikan tangan kanan Si Cakar Rajawali, yang hitam legam dan keras
bagaikan baja. Agaknya kehebatan tangannya itulah yang membuatnya dijuluki Si
Cakar Rajawali. Karta mereka-reka dalam hati sambil bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan.
Sebab melihat sikap dan perkataan Si Cakar Rajawali, dapatlah dipastikan bahwa
lelaki itu pastilah tidak akan mau mengurungkan niatnya apa lagi untuk berdamai.
"Maafkan saya, pendekar Cakar Rajawali. Agaknya kau punya persoalan pribadi yang
sangat serius dengan pendekar Jaka Sembung. Tetapi kalau yang berbuat salah
hanyalah Jaka Sembung, kenapakah yang lain harus ikut jadi korban" Saya rasa itu
bukan lah sikap yang bijaksana."
"Jangan banyak bacot kau,
bedebah! Sekarang sebutkan namamu, agar kau tidak mati penasaran di tanganku.
Selain itu, aku pun enggan membunuh orang yang belum kuketahui namanya."
"Baiklah sobat. Namaku adalah Karta. Tetapi orang sering menyebut diriku sebagai
Si Gila Dari Muara Bondet."
"Oh, pantas saja kata-katamu seperti orang gila. Rupanya pikiranmu tidak waras
lagi. Baiklah, sekarang bersiap-siaplah untuk mampus di
tanganku!"
"Pendekar Cakar Rajawali, aku
sebenarnya tak ingin bertarung
denganmu, karena selama ini di antara kita tidak ada persoalan apa-apa.
Tetapi karena tampaknya kau tetap memaksaku, aku akan menerima
tantanganmu. Kita sama-sama laki-laki.
Kau boleh menyerang aku sekarang, aku sudah siap!"
"Mampus kau, bangsat!" Si Cakar Rajawali tiba-tiba meloncat tinggi ke arah
Karta. Serangannya persis seperti ketika ia tadi menyerang Ranti. Tangan kirinya
dilipat di dada sedang tangan kanannya di angkat tinggi, siap
melancarkan serangan maut.
Melihat serangan lawan, Karta
menjadi terkejut karena serangan itu sangat berbahaya. Lengah sedikit saja nyawa
bisa melayang. Karta pun segera menghunus goloknya, lalu memapaki tubuh lawan
dengan sabetan senjata dengan gerakan kilat.
Si Cakar Rajawali tidak menge-
lak. Ia mengulurkan tangan kanannya menangkis sabetan senjata lawan.
Akibatnya, Karta menjadi terkejut sekali, karena goloknya tidak mempan melukai
tangan lawan. Bahkan senjata di tangannya terasa ditolak tenaga dalam luar
biasa, hingga nyaris
terpental dari genggaman tangannya.
Karta terpaksa meloncat jauh ke
belakang untuk mempersiapkan serangan baru. Kali ini, ia sendiri yang mulai
menyerang. Ia meloncat tinggi ke udara, dan sewaktu tubuhnya meluncur turun,
goloknya diayun-ayunkan
menyerang lawan dari segala penjuru.
Pertarungan sengit pun terjadi.
Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu silat tinggi itu saling
mengeluarkan segenap kemampuan untuk merubuhkan lawan.
Ranti menyaksikan pertarungan
itu dari balik batang pohon kelapa.
Diam-diam ia merasa kagum juga
menyaksikan bahwa Karta memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi. Tetapi si Cakar
Rajawali pun tidak kalah
hebatnya. Tangan kanannya yang luar biasa itu berulangkali merepotkan Karta.
Setiap kali diserang, ia selalu menangkis dengan tangan kanannya itu.
Ranti menjadi cemas, karena kalau Karta sampai kalah, maka tiada harapan lagi
baginya untuk bisa lolos dari maut.
Agaknya Karta pun menyadarinya.
Pendekar itu mengeluarkan segenap kemampuannya untuk bertahan menghadapi
gempuran lawan, karena ia sadar saat ini ia bukan hanya mempertahankan nyawanya
sendiri, tetapi juga nyawa Ranti. Sadar atau tidak sadar, ia sudah bertekad
untuk melindungi Ranti sekalipun terpaksa harus mengorbankan nyawa.
10 Makin lama, pertarungan itu
makin menegangkan. Memasuki jurus yang ke enam puluh, terlihatlah bahwa ilmu
silat Karta masih berada di bawah kehebatan Si Cakar Rajawali. Perlawanan
pendekar dari muara Bondet itu makin lama makin lemah, bahkan
akhirnya hanya bisa bertahan.
"Kau akan mampus di tanganku, Gila!" teriak Si Cakar Rajawali dengan suara
mengejek. "Kaulah yang akan mampus,
bangsat!" Sambil tertawa mengejek, Si
Cakar Rajawali menerjang Karta dengan jurus mautnya. Diawali tendangan kaki
kanan mengarah ke pusar, tangan
kirinya kemudian menyambar ke arah ulu hati lawan dengan kecepatan luar biasa.
Karta sangat terkejut menyadari
betapa berbahayanya serangan lawan.
Buru-buru ia menggeser kakinya ke sebelah kanan, sehingga serangan kaki dan
tangan kiri lawan dapat ia
hindarkan. Tetapi tanpa di duga-duga, tangan kiri Si Cakar Rajawali tetap
mengikutinya, meluncur ke arah samping dengan posisi menukik bagaikan burung
camar menyambar ikan di laut.
Tiada jalan lain bagi Karta
selain membantingkan tubuhnya ke
sebelah kanan. Sambaran tangan kiri lawan pun lolos, namun pada saat yang hampir
bersamaan, tangan kanan Cakar Rajawali menyambar dahsyat ke arah leher Karta.
"Buk....!" Sambaran cakar maut itu mendarat telak. Akibatnya, tubuh Karta
terpental beberapa meter. Bagian lehernya mengeluarkan darah kental kehitam-
hitaman. Dan ketika tubuh pendekar itu terbanting ke tanah, darah segar yang
juga berwarna kehitam-hitaman tersembur dari mulut serta hidungnya.
Ranti yang menyaksikan keadaan
itu menjadi terkejut. Gadis itu ingin meloncat dari balik pohon kelapa untuk
menolong Karta tetapi ia mengurungkan niatnya karena menyadari dirinya dalam
keadaan bugil. "Mampus kau, bangsat!" bentak Si Cakar Rajawali sambil menerjang Karta dari arah
belakang. Dengan sisa-sisa tenaganya,
Karta yang baru saja bangkit berdiri segera menunduk kemudian menangkap tangan
lawan yang saat itu mengincar lehernya. Hanya karena kebetulan saja Karta
berhasil menangkap tangan lawan karena mungkin Cakar Rajawali mengira nya tak
berdaya lagi. Ketika Cakar Rajawali masih
berada di atas punggungnya, ia
membantingkan tubuh pendekar sakti itu
ke laut. Sebelum Si Cakar Rajawali muncul di permukaan air laut, Karta sudah
menerkamnya. Terjadilah
pertarungan sengit di dalam laut, saling banting-membanting, saling menerkam dan
saling berusaha
membenamkan lawan.
Makin lama tubuh kedua pendekar
yang sedang mengadu nyawa itu makin jauh ke tengah laut. Keduanya hanya kadang-
kadang saja muncul ke permukaan, tetapi hanya beberapa saat kemudian sudah
terbenam kembali
bersama ombak yang datang bergulung-gulung.
Pada pertarungan di dalam laut
itu, cakar maut Si Cakar Rajawali ingin mencekik Karta hingga tewas.
Namun berkat kegigihan Karta, ia berhasil melepaskan diri walaupun lehernya
menjadi terluka.
Setelah itu, sambil mengerahkan
segenap sisa kekuatannya, Karta muncul ke permukaan air untuk menarik nafas.
Sementara tangan dan kakinya tetap menjepit lawan hingga tetap terbenam di dalam
air. Di sinilah terlihat bahwa ilmu
berkelahi dalam air Karta lebih unggul di banding Si Cakar Rajawali. Sejak lama
Karta sudah terbiasa bermain-main dengan derasnya air kali Bondet.
Sedikit banyaknya kebiasaan itu telah memberinya kepandaian yang sangat
membantunya sekarang, dalam menghadapi lawan. Sedangkan Si Cakar Rajawali
sendiri, sekalipun selama ini berlatih di pinggir pantai, ia agak jarang
bermain-main dengan derasnya ombak lautan.
Makin lama, perlawanannya pun
makin lemah, sebab nafasnya mulai hampir putus. Bahkan perutnya terasa mulai
kembung karena air laut makin banyak masuk perutnya, tanpa bisa dicegah.
Barangkali ini memang hanya
suatu keberuntungan belaka bagi Karta.
Ia sendiri harus mengaku bahwa sewaktu bertarung di darat tadi, ia hampir tak
bisa memberikan perlawanan berarti lagi bahkan jika pertarungan itu masih
berlanjut, tipis harapan baginya untuk memenangkannya.
Makin lama, perlawanan Si Cakar
Rajawali makin lemah. Tubuhnya
menggeliat-geliat beberapa saat.
Setelah itu, jagoan cakar maut itu diam. Sekujur tubuhnya telah lemas dan tidak
mempunyai kekuatan lagi untuk menyelamatkan diri. Setelah tubuhnya berkelojotan,
nyawanya pun melayang.
Karta pun sebenarnya hampir
tidak mempunyai tenaga lagi. Ia nyaris turut tenggelam dalam keadaan lemas.
Namun tatkala teringat bahwa di darat masih ada Ranti, ia memaksakan diri untuk
berenang. Sewaktu berada di pinggir


Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pantai, ia hampir tak sadarkan diri lagi. Tubuhnya limbung dan nyaris terjatuh
ke laut. Tetapi ia tetap memaksakan diri, tidak mau menyerah pada nasib.
Akhirnya dengan langkah
sempoyongan, ia berhasil sampai di pantai. Ia menatap Ranti dengan mata
mengabur. "Karta," kata Ranti dengan suara bergetar. Seandainya tidak dalam keadaan
telanjang, ia pasti sudah berlari menyongsong pemuda itu,
kemudian memeluknya erat-erat.
Karta melangkah lebih dekat ke
arah gadis itu. Lalu ia membuka kain sarungnya. Diulurkannya kain sarung itu dan
sambil memalingkan muka, Karta berkata: "Maafkan aku, dik Ranti. Jika kau sudi,
pakailah kain sarung ini."
Setelah kain sarung itu
berpindah tangan, Karta melangkah agak menjauh dari pohon kelapa itu.
Tubuhnya masih limbung, dan hanya karena ketabahannya saja ia masih bisa
berdiri. Ranti segera melilitkan kain
sarung itu ke tubuhnya sebatas dada.
Ia merasa seperti lepas dari neraka.
Baru sekarang ia sadari bahwa kalau sedang telanjang bukan main
tersiksanya perasaan.
"Karta..." kata gadis itu sambil
melangkah malu-malu ke arah Karta yang saat itu sedang membelakanginya.
Karta membalikkan badan. Maka
tampaklah oleh Ranti bahwa dada dan leher pendekar itu masih mengeluarkan darah
akibat luka cakar dari lawannya tadi.
"Ah, kau kembali telah menyelamatkan nyawaku," ujar Ranti dengan perasaan tak
menentu. Wajahnya masih bersemu merah, karena teringat bahwa tadi Karta pun
telah mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan telanjang.
"Tidak apa-apa. Dan syukurlah kalau kau tidak kurang suatu apapun,"
ujar Karta dengan suara hampir tak terdengar.
"Tapi tampaknya kau sedang
mengalami luka yang cukup parah," kata Ranti cemas.
"Ah, hanya luka kecil saja.
Nanti juga akan sembuh sendiri. Aku tidak apa-apa."
"Pendekar budiman, berilah aku kesempatan untuk membalas budi baikmu.
Tapi... aku... ah, maafkanlah
kesalahanku karena aku telah terlanjur menuduhmu yang bukan-bukan. Sebenarnya
aku tidak bermaksud...."
"Sudahlah, dik Ranti. Lupakan saja," sela Karta pelan.
"Tapi aku..."
"Maafkan aku, dik. Aku harus pergi. Selamat tinggal...." Setelah
berkata begitu, Karta melangkah
meninggalkan Ranti. Namun baru beberapa langkah, tubuhnya limbung dan ambruk ke
tanah dalam keadaan
tertelungkup. Ranti segera menubruk tubuh
pemuda itu. Alangkah cemasnya hati gadis itu manakala menyadari bahwa Karta
sedang dalam keadaan tak
sadarkan diri. Rupanya di samping sangat kele-
lahan, Si Gila Dari Muara Bondet itu juga menderita keracunan yang sangat
berbahaya. Tubuhnya membiru, terutama di bagian dada dan lehernya yang terkena
cakaran Si Cakar Rajawali.
"Oh, maafkanlah semua
kesa- lahanku..." bisik Ranti sambil membopong tubuh Karta ke bawah pohon rindang tak
jauh dari pantai. Ia membaringkan tubuh pemuda itu dengan posisi kepala
tersandar pada batang pohon kelapa.
Melihat keadaan tubuh Karta,
tahulah Ranti bahwa pemuda itu sedang keracunan yang sangat berbahaya.
Sewaktu kecil ia sudah sering
mempelajari berbagai jenis racun dari ayah angkatnya Gembong Wungu. Sebagai
tokoh sesat, si raja rampok itu pun mengetahui banyak sekali tentang racun.
Ranti pun mempelajari sedikit
cara-cara pengobatan terhadap orang
yang keracunan. Rupanya cakar maut itu mengandung racun, pikir Ranti sambil
berharap agar ia dapat mengobati luka yang diderita Karta,
Tanpa merasa sungkan-sungkan
lagi, Ranti segera menempelkan bibirnya kepada luka cakar di bagian leher Karta.
Lalu ia menyedotnya, sehingga darah semakin banyak mengucur masuk ke mulut gadis
itu. "Aku akan menyembuhkanmu, pendekar budiman!" bisik Ranti sambil menyemburkan
darah yang telah
disedotnya itu ke tanah. Setelah itu ia kembali menyedot darah dari luka-luka
yang diderita Si Gila sampai menurut perkiraannya racun itu tidak terlalu
berbahaya lagi.
Ranti lalu berlari-lari kecil ke pinggir hutan untuk mencari daun-daunan yang
bisa diramu jadi obat, baik berupa obat yang dioleskan maupun yang diminumkan.
Ramuan obat dari daun-daunan itu dioleskan ke semua luka-luka di tubuh Karta.
Sehabis itu, ia membalut luka Karta dengan kain baju pemuda itu sendiri.
Selama merawat luka pemuda itu,
sadarlah Ranti bahwa Karta sebenarnya adalah pendekar yang sangat baik hati.
Karta telah dua kali menyelamatkan nyawanya. Ingat akan kekasaran dan kata-
katanya yang keterlaluan, maka penyesalan pun makin menjadi-jadi di
dalam hati Ranti.
Saat itu juga, makin sadar juga
Ranti bahwa ia mulai merasakan bahwa ia sangat membutuhkan Karta. Diam-diam
hatinya tak ingin lagi berpisah dengan pemuda itu. Tetapi hal itu sekaligus
membuatnya cemas. Karena bagaimana kalau misalnya tidak mau memaafkan lagi" Tadi
pendekar itu tampaknya benar-benar telah bertekad bulat untuk meninggalkan
Ranti, kalau saja
tubuhnya tidak limbung kemudian tak sadarkan diri akibat pengaruh racun di
tubuhnya. Biarlah nanti, setelah ia
siuman, aku akan minta maaf padanya.
Mudah-mudahan saja hatinya masih terbuka menerima perkataan maaf
dariku, kata hati gadis itu penuh harap.
Tiba-tiba terdengar suara
jeritan panjang seorang lelaki tak jauh dari tempat itu. Ranti menjadi terkejut
dan buru-buru bangkit dari duduknya, berpaling ke arah asal suara itu. Tetapi
pandangan matanya masih terhalang oleh batang pohon kelapa yang banyak tumbuh di
pantai. Siapakah gerangan lelaki yang
menjerit itu tadi" Agaknya ia berada di pinggir pantai, pikir Ranti hati-hati.
Siapa tahu di sekitar tempat itu masih ada orang lain yang bermaksud jelek
terhadap dirinya atau Karta.
Ranti bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dan sudah siap mengorbankan
nyawanya sekalipun jika
seandainya ada yang bermaksud
mencelakakan Karta.
Perlahan-lahan Ranti melangkah
ke arah asal suara itu tadi. Matanya menatap liar ke sekelilingnya. Kemudian ia
menyaksikan seorang lelaki tua menggelepar-gelepar di atas pasir pantai. Seekor
ular belang sebesar jari kelingking menempel di lengan kanannya.
Agaknya lelaki tua itu dipatuk
ular berbisa hingga membuatnya menderita keracunan yang sangat berbahaya.
Ranti melangkah lebih dekat untuk meneliti wajah lelaki itu sekaligus untuk
memastikan apakah ia mengenalnya atau tidak.
Ranti tidak mengenal laki-laki
tua bertubuh kurus kerempeng itu.
Melihat keadaannya yang sangat tidak terawat, Ranti menduga lelaki itu adalah
gelandangan yang sedang
menderita penyakit yang entah bagaimana bisa sampai ke pantai. Di dekat lelaki
itu ada bekas-bekas sisa udang hidup. Agaknya lelaki itu sendirilah yang nekad
memakannya karena sangat kelaparan.
"Oh, kasihan," kata Ranti bergumam. Tubuh lelaki itu mulai membiru kehitam-
hitaman. Matanya terbalik
sehingga yang kelihatan hanya bagian mata yang putih saja, sedangkan
mulutnya mengeluarkan busa. Diam-diam Ranti bergidik ngeri menyaksikan betapa
berbahayanya racun ular yang menjalar di tubuh lelaki itu. Hanya beberapa saat
kemudian, tubuh laki-laki itu tidak bergerak-gerak lagi.
Denyut nadinya pun diam, beku dan mati. Setelah mengerang perlahan, lelaki itu
menghembuskan nafas
terakhir. "Sungguh malang nasibmu," bisik Ranti prihatin melihat nasib tragis lelaki itu
Ranti sama sekali tidak tahu
bahwa lelaki yang baru saja menemui ajalnya itu adalah ayah Barna yang merupakan
ayah Si Cakar Rajawali.
Seandainya Ranti tahu, entah bagaimana sikapnya. Entah ia akan memaki-maki
sambil tersenyum puas atau tetap merasa prihatin.
Tadi ketika orang tua itu sedang merangkak-rangkak mencari udang di pasir
pantai, tiba-tiba seekor ular belang mematuk tangannya. Bisa ular yang sangat
berbahaya itu segera menjalar ke sekujur tubuhnya, masuk ke dalam jantungnya.
Ular belang-belang itu sebenar-
nya tidak terlalu banyak berkeliaran di sekitar pantai laut Jawa. Tetapi
penduduk terutama para nelayan,
mengetahui bahwa ular itu sangat berbahaya. Jika sudah digigit,
korbannya dalam waktu yang tidak terlalu lama akan meninggal. Itulah sebabnya
ular tersebut sangat ditakuti orang, karena dianggap merupakan binatang yang
paling berbahaya di sekitar pantai.
Maka berakhirlah sudah riwayat
salah seorang kaki tangan dari tokoh sesat Bergola Ijo, menyusul anaknya Si
Cakar Rajawali yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Takkan terdengar lagi
sepak terjang mereka yang sangat kejam dan menggegerkan dunia persilatan di
tanah Cirebon. 11 Si Cakar Rajawali selama ber-
tahun-tahun memperdalam ilmu terutama kehebatan cakar maut tangan kanannya.
Semua itu ia lakukan demi melampiaskan dendam
kesumatnya terhadap lawan-
lawannya. Namun sebelum dendamnya terbalaskan, Si Cakar Rajawali telah
meninggal. Bahkan setelah memperdalam ilmu silatnya, ia tidak sempat bertemu
dengan musuh besarnya, Jaka Sembung.
Si Cakar Rajawali hanya sempat
bertemu dengan Ranti, kemudian Si Gila Dari Muara Bondet. Dan dari pertarungan
itu terbuktilah bahwa jerih
payah Si Cakar Rajawali selama
bertahun-tahun ini tidak sia-sia.
Jangankan Ranti, Karta sendiri pun nyaris kehilangan nyawanya di tangan Si Cakar
Rajawali. Mungkin ini sudah takdir, atau merupakan kehendak Tuhan sendiri untuk
menunjukkan bahwa ilmu yang dikuasai bukan satu-satunya faktor penentu
kemenangan. Tetapi juga kejujuran dan kebaikan hati!
Ranti telah kembali duduk di
sisi Karta. Gadis itu tak henti-
hentinya menatap wajah Karta yang pucat. Tampaknya pendekar itu masih sangat
lemah. Namun melihat perna-fasannya sudah mulai teratur, legalah perasaan Ranti
bahwa kesehatan pemuda itu dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan sembuh
seperti sedia kala.
"Cepatlah sembuh, pendekar
budiman!" bisik Ranti sambil membelai rambut Karta dengan penuh kasih
sayang. Agaknya bisikan dan sentuhan
yang lembut itu membuat Karta
terbangun. Ia membuka kedua kelopak matanya dan mencoba menatap ke
sekelilingnya dengan pandangan mata yang masih kabur.
"Oh, di manakah aku
sekarang...?" bisik Karta hampir tak terdengar karena sangat pelan.
"Oh, kau sudah sadar kembali,
pendekar budiman" Syukurlah. Aku sangat cemas melihatmu tadi," kata Ranti
gembira melihat lelaki itu telah siuman.
"Kau... kau Ranti, bukan?"
"Ya, ,aku Ranti. Tapi tunggulah sebentar. Jangan terlalu banyak
bergerak. Kau masih sakit. Aku akan mengambil obat untukmu," kata Ranti.
Lalu dengan terburu-buru ia meramu obat jamu yang berkhasiat untuk
memulihkan tenaga dan mematikan sisa-sisa racun di tubuh Karta.
Dara jelita itu ternyata cukup
cekatan juga membuat jamu obat. Tadi ia sudah mencuci mangkok milik Si Cakar
Rajawali yang terletak tak jauh dari tempat itu. Jamu obat hasil ramuannya di
tampung dalam mangkok, lalu disuguhkannya kepada Karta:
"Pendekar budiman, minumlah jamu ini, agar kau cepat segar dan tenagamu pulih
kembali." "Terima kasih," kata Karta lalu meneguk jamu itu sampai habis masuk ke dalam
perutnya. Tenggorokan dan
dadanya terasa lebih hangat dan lega, membuat Karta merasa sangat berterima
kasih kepada gadis di hadapannya.
Tetapi ketika ia teringat
kembali akan kata-kata Ranti yang keterlaluan, menjadi patahlah sema-ngatnya
kembali. Ranti menuduhnya telah berbuat kurang ajar, telah
menodai gadis itu sewaktu dia dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Dik Ranti, kenapa kau
menolongku" Bukankah..."
"Oh, tidak apa-apa," sela Ranti cepat. "Kau sendiri telah beberapa kali menolong
bahkan menyelamatkan nyawaku. Aku pun merasa wajib
menolongmu. Bukankah manusia harus saling menolong" Manusia tidak bisa hidup
sendiri, harus mempunyai kawan."
Karta menghela nafas mendengar
kata-kata gadis itu. Manusia memang harus berkawan, tidak bisa hidup menyendiri,
pikirnya. Tapi dalam keadaan seperti itu, apakah masih terbuka kemungkinan
baginya untuk berkawan dengan Ranti"
Karta terkenang lagi kepada
Nuraini, mendiang kekasihnya yang lembut dan penuh kasih sayang.
Seandainya gadis itu masih hidup atau sekarang berada di sisinya, Karta tentu
akan merasa terhibur. Ia bahkan kemungkinan tidak akan merasakan sakit sekarang.
"Mengapa kau diam saja?" tanya Ranti.
"Tidak apa-apa."
"Kau tentunya masih marah karena sikapku kemarin. Maafkanlah aku, pendekar
budiman. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan, padahal kau tidak berbuat apa-
apa, bahkan telah
menyelamatkan nyawaku. Sungguh, aku sangat menyesali keterlanjuranku."
"Jadi kau tidak menuduh aku lagi seperti itu, dik Ranti?"
Ranti tidak segera menyahut.
Sebetulnya, walau pun mulutnya berkata seperti itu pada waktu lalu, hatinya
tidaklah berkata demikian. Semua itu hanyalah karena tekanan batin yang masih
membekas dalam hatinya akibat kegagalan cintanya terhadap Parmin serta lantaran
ia merasa sangat
kesepian. Sedangkan pada saat ia bertemu
dengan Karta dan setelah melihat keperkasaan dan sifat kesatria lelaki itu
timbullah rasa simpatik dan kagum dalam hatinya. Namun ia khawatir jika kemudian
ia jatuh cinta, tetapi Karta tidak merasa demikian, dalam arti kata akan menolak
cintanya seperti halnya Parmin. Mengalami kegagalan sekali saja Ranti sudah
merasa sangat tersiksa, apalagi kalau sampai dua kali.
Sesungguhnya itulah yang membuat sikap Ranti tidak menentu terhadap Karta.
"Dik Ranti, kenapa kau diam saja?" tanya Karta membuat gadis manis itu tersentak
dari lamunannya.
"Aku tidak apa-apa. Tapi aku masih sangat berdosa padamu. Aku malu pada diriku
sendiri, juga terhadap
dirimu. Tapi... sebenarnya tak ada niat di hatiku untuk menyakitimu. Ah, aku tak


Jaka Sembung 6 Si Cakar Rajawali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu harus berkata apa lagi padamu. Biarlah semuanya kusimpan saja di dalam
hati." Ranti menatap Karta dengan
tatapan sendu. Bola matanya tampak berkaca-kaca bagaikan kristal-kristal ditimpa
sinar rembulan. Dari situ terpancar sinar redup cinta berpadu dengan keputus-
asaan. Atau mungkin ada perasaan lain, hanya gadis itulah yang tahu.
Karta terkejut juga menyaksikan
perubahan sikap gadis itu. Ia merasa dadanya berdebar tak karuan manakala
disadarinya bahwa dari sinar mata Ranti terpancar sesuatu yang selalu ia temukan
dari sinar mata Nuraini.
Apalagi ketika mendengar suara gadis itu mirip sekali dengan suara Nuraini, maka
makin tak karuanlah perasaan Si Gila Dari Muara Bondet. Ia hampir saja tak bisa
menahan diri, dan hendak memeluk gadis itu erat-erat seperti ketika ia mendekap
Nuraini pada waktu silam.
"Dik Ranti, kenapa kau masih juga diam?" tanya Karta sambil berusaha agar
suaranya tetap kedengaran wajar.
"Entahlah, aku tak tahu. Tapi semuanya terserah padamu saja. Aku sudah
menyatakan penyesalanku. Kalau
kau masih tetap tidak mau memaafkan aku, biarlah. Mungkin aku akan
mengalami perpisahan yang menyakitkan lagi..." Dan setelah itu, meneteslah air
mata Ranti, jatuh satu per satu membasahi pipinya.
Jiwa Karta seakan-akan melayang-
layang mendengar ucapan dara jelita itu. Ia merasa dirinya dibawa terbang oleh
malaikat-malaikat ke masa silam, ke taman harum wangi penuh kembang mekar
berseri. Seolah-olah dalam mimpi, pendekar gagah perkasa itu menyeka air mata
Ranti. Kemudian dibelai-belainya rambut gadis itu dengan segenap perasaannya.
"Jangan menangis, dik Ranti!"
bisiknya. Ranti juga merasa seperti tak
sadar ketika menjatuhkan dirinya ke dada Karta yang bidang. Dan tangisnya pun
semakin menjadi-jadi.
Setelah kedua insan itu sama-
sama bisa menguasai perasaan, maka bertanyalah Karta tentang keheranannya tadi
mendengar kata-kata Si Cakar Rajawali ketika mereka belum
bertarung. "Dik Ranti, tadi Si Cakar
Rajawali mengatakan kau adalah adik Jaka Sembung. Apakah memang benar demikian?"
"Tidak. Antara aku dan dia
sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa.
Tapi aku sudah menganggapnya saudara sendiri. Ketika Si Cakar Rajawali
mengatakan aku harus membayar ikannya dengan imbalan tidur bersamanya, aku
sangat marah dan tanpa sadar
menyebutkan nama Jaka Sembung."
Karta manggut-manggut mendengar
penjelasan Ranti. Sebagai pendekar gagah perkasa yang sering melanglang buana,
Jaka Sembung pun pasti dimusuhi oleh banyak jagoan-jagoan dari dunia hitam.
Karena pendekar itu selalu membela kaum lemah dari penindasan para penjahat, mau
pun kaum penjajah.
Dan itu memang merupakan
tantangan yang harus selalu dihadapi para pendekar, termasuk Karta sendiri.
Namun sejak dulu, pemuda itu tidak pernah gentar. Apalagi sekarang Ranti telah
berada di sisinya.
Esok harinya, ketika matahari
mulai bersinar cerah di ufuk timur, Karta dan Ranti meninggalkan pantai laut
Jawa. Keduanya melangkah
beriringan ke arah barat daya. Ketika mereka memasuki hutan, terdengar burung-
burung berkicau merdu seolah-olah sedang mendendangkan tembang nan syahdu.
Semilir angin menyambut kedua insan itu, sejuk dan lembut. Dan daun-daun pun
melambai-lambai, seakan-akan mengucapkan selamat jalan kedua
pendekar; selamat menunaikan tugas bagi nusa dan bangsa.
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pertemuan Di Kotaraja 6 Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 6
^