Pencarian

Lagu Rindu Puncak Ciremai 2

Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai Bagian 2


kali dan terus berlaku demikian hingga mendarat tepat di bibir tebing. Di
bawahnya kawah Ciremai menganga siap menyambut siapa pun yang jatuh ke dalamnya.
Di saat yang genting itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan lain
memecahkan suasana tegang itu dan berdiri di tengah-tengah mereka dengan sikap
gagah dan berwibawa. Wajahnya arif bijaksana, yang baru datang itu tak lain
adalah si orang tua Elang Sutawinata adanya.
"Tahan!" terdengar suara berat penuh wibawa menggema.
Seketika itu juga pertarungan
terhenti, Sri Ayu dan Kaswita segera menghampiri orang tersebut.
"Ayah!" kedua kakak beradik itu berteriak hampir bersamaan. Di wajah mereka
terbayang kegembiraan.
"Kalian tidak tahu malu mengeroyok orang yang tidak melawan dan membiarkan
kalian menyerangnya," suara Elang Sutawinata terdengar halus tetapi penuh
teguran kepada kedua putra putrinya.
"Dia telah kurang ajar padaku, ayah!" ujar Sri Ayu dengan penuh kemanjaan.
"Aku hanya membantu mbakyu, ayah,"
potong Kaswita membela diri. Sekalipun usianya sudah remaja, namun sikap pemuda
ini masih seperti anak-anak bila
berhadapan dengan orang tuanya.
"Kalianlah yang terburu nafsu, anakku," sahut Elang Sutawinata menimpali
pembelaan kedua anaknya itu. Parmin kembali tertegun melihat kejadian di
depannya itu. "Ketiga anak dan bapak ini seakan-akan pernah kulihat, tetapi entah di mana."
pikirnya dalam hati. Kini Elang Sutawinata memandang Parmin dengan penuh
selidik, demikian pula halnya dengan Parmin. Seolah ada sesuatu yang mereka
percakapkan dalam pertemuan mata itu.
"Maafkanlah kelakuan anak-anakku yang masih hijau ini, mereka belum
mengerti bagaimana menjadi pendekar-pendekar yang baik," kata Elang Sutawinata
dengan sopan. "Oh, tidak mengapa, pak! Paling tidak, mereka telah menunjukkan bakat dan
keuletan mereka sebagai calon pendekar dalam latihan barusan," jawab Parmin
merendah. Ia merasa suka dengan sikap orang tua tersebut.
"Hendak ke manakah kau, anak muda?"
tanya orang tua Elang Sutawinata.
"Saya hendak mencapai puncak Ciremai ini."
"Apa tujuanmu hendak mendaki ke atas itu?"
"Saya hanya memenuhi perintah guru saya, pak."
"Siapakah kau anak muda" Dan siapakah gurumu" Maafkan bila pertanyaan ku seolah
mendesakmu. Aku bertanya seperti ini karena mendadak dalam hatiku berkata sebuah
firasat yang belum kuketahui juntrungannya," sergah Elang Sutawinata. Tak salah
memang apa yang dikatakannya, ia merasa hatinya berdegup tiba-tiba tanpa
diketahui sebabnya.
"Nama saya, Parmin, murid Ki Sapu Angin dari Eretan. Saya diperintahkan oleh
beliau untuk mengembara mencari pengalaman dan berjuang mengumpulkan para
pendekar untuk mencapai tujuan menumpas penjajah dari bumi Nusantara ini," jawab
Jaka Sembung jujur dan apa adanya.
"Parmin..." Murid Ki Sapu Angin"
Ya, Allah, Ya Rabbi!" si orang tua Elang Sutawinata mendesah pelan
hampir tak terdengar. Di bibirnya tersungging senyum yang masih belum dapat ditebak
maknanya oleh Jaka Sembung. Kegembiraan jelas terlukis di wajah putih bersih itu
"Parmin, aku sangat gembira bertemu denganmu! Inilah saat yang ditunggu-tunggu
selama dua puluh tiga tahun!
Marilah kita bercakap-cakap dalam pondok kami. Ke marilah, nak," Elang
Sutawinata berkata ramah dan terus menggandeng Parmin. Yang digandeng menurut
saja, cuma dalam hatinya timbul sedikit rasa heran.
Selama dalam perjalanan. Parmin
terus bertanya-tanya dan berfikir dalam hatinya, siapakah mereka ini sebenarnya"
Wajah mereka sangat mirip dengan dirinya sendiri, ia merasa seperti berkaca pada
tiga buah cermin, Parmin alias si Jaka Sembung seolah melihat ketiga bayangannya
sendiri. Keempat orang itu lalu menuruni
tebing meninggalkan bibir kepundan menuju sebuah pondok kecil yang terletak di
sebuah dataran yang luas dan indah.
Tempat itu sangat indah, sebuah rumah yang seluruhnya terbuat dari bambu dengan
pohon rindang di sekelilingnya. Di samping kanan ada sebuah kolam dengan
ikan-ikan yang besar-besar dan siap untuk dipanggang. Tempat itu sungguh asri
dan elok dilihat, diperindah dengan pemandangan di sekitar lereng-lereng Ciremai
yang menghijau. Jaka Sembung terus menatap dengan kagum. Ketika mereka sampai di
pondok itu, hujan pun telah berhenti.
"Nah duduklah, nak. Semoga kau dapat menganggap tempat ini seperti rumahmu
sendiri," bersilah
Elang Sutawinata. "Terima kasih, pak! Tapi saya ingin membersihkan diri dulu sebelumnya," kata
Parmin sopan. Elang Sutawinata
menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Sepeninggal pendekar muda dari gunung Sembung itu, ia pun segera mengatakan pada
Sri Ayu untuk menyiapkan hidangan berupa teh hangat dan singkong rebus untuk
dihidangkan pada tamu mereka itu.
Setelah selesai, barulah ia kembali memanggil anak-anaknya untuk berkumpul.
"Sri! Kaswita! Duduklah di dekat ayah. Akan ayah ceritakan siapakah tamu kita
ini sebenarnya," ujarnya lembut.
"Siapakah orang itu, ayah?" Sri Ayu tak sabar bertanya.
"Ya. ayah. Ceritakanlah segera,"
Kaswita ikut mendesak. Jawab Elang Sutawinata menyabarkan kedua anaknya. Tak
lama kemudian Parmin telah selesai dan ia
pun ikut duduk berhadapan dengan Elang Sutawinata yang dikelilingi oleh Sri Ayu
dan Kaswita. "Ah, sayang ibu kalian telah meninggal, kalau tidak, pertemuan ini akan lebih
menggembirakan." desah Elang Sutawinata dengan nada haru mengenang masa silam.
Matanya menerawang sesaat, memandang jauh ke masa silam. Parmin pun ikut terharu
melihatnya. "Sri! Kaswita! Tentunya tak akan terjadi baku hantam antara kalian kalau kalian
tahu siapa pengembara yang gagah perkasa ini. Sebetulnya kalian berdua memang
bukan apa-apa bila dibandingkan dengannya." ujar Elang Sutawinata mengingatkan
kedua anaknya. Parmin hanya tersenyum mendengarnya.
"Nah, pak. Ceritakanlah apa yang ingin bapak ceritakan. Saya ingin segera
mendengarnya," desak Parmin halus.
"Sabarlah, nak. Sebelum aku mulai bercerita, minumlah dulu teh hangat dan
singkong rebus ini untuk menghangatkan tubuhmu," Elang Sutawinata mempersilahkan
Parmin untuk mencicipi hidangan di depannya.
"Terima kasih, pak!" ujar Parmin sambil tersenyum. Tangannya segera terulur
mengambil cangkir air teh dan sepotong singkong yang masih hangat.
Setelah mengucapkan bismillah, Parmin
memakan singkong yang masih hangat itu.
"Semua ini hasil tanaman Sri dan Kaswita, nak Parmin."
"Ayah juga turut menanamnya." sela Sri Ayu manja. Heran, langsung hilang begitu
saja rasa kesalnya terhadap Parmin setelah kedatangan ayahnya. Ia pun merasakan
ada hal yang aneh dalam dirinya, seperti yang dirasakan oleh Elang Sutawinata
dan juga Parmin.
Demikian pula halnya dengan Kaswita yang tak luput dari perasaan seperti itu.
"Betul, nak Parmin. Selama lebih dari dua puluh tahun kami di sini bercocok
tanam. Semuanya kami lakukan bersama-sama sampai detik ini," jawab Elang
Sutawinata. "Apakah bapak tidak punya pekerjaan sampingan?"
"Tidak, nak. Pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidup bapak karena bapak
tak mau lagi mencampuri urusan orang lain." Mata Elang Sutawinata menerawang
kembali jauh ke masa silam.
Tidak terasa saking asyiknya mereka mengobrol, matahari di ufuk Barat telah
menghilang dan diganti dengan seberkas sinar di ufuk Timur yang berupa cahaya
keemasan dari sang rembulan pertanda malam lelah menjelang.
Elang Sutawinata pun segera
mengajak Parmin dan anak-anaknya untuk
melakukan kewajiban sebagai orang muslim untuk mendirikan shalat Maghrib
berjamaah dengan dia sendiri bertindak selaku imam.
4 Dua puluh tiga tahun yang lalu pada saat itu di Keraton Kanoman yang pilar-
pilarnya berdiri megah dengan dinding berukir hasil buah tangan pemahat yang
mahir, serta lantai rumah tangga yang hampir semuanya berlapis emas, terasa
sekali suasana yang lenggang.
Di sudut sebelah kanan terlihat
seperangkat guci yang terbuat dari keramik pilihan dengan ukiran-ukiran yang
sangat indah tertata rapi dengan beralas sebuah meja yang ukirannya sendiri tak
kalah indah dibanding dengan ukiran-ukiran keramik tersebut.
Keraton tersebut diperintah oleh
seorang Sultan dengan gelar Sultan Anom Wicaksana. Di bangunan bagian dalam
terlihat lima orang sedang duduk di lantai yang berlapis permadani tebal dengan
kombinasi warna kuning dan hijau dengan garis pinggir berwarna hitam.
Seseorang yang tak lain adalah Sultan Kanoman duduk di sebuah kursi berukiran
sangat indah, ia tampak sedang berbicara serius dengan seseorang di hadapannya
itu. Di hadapan Sultan Kanoman terlihat seorang lelaki duduk dengan sikat takzim.
Lelaki itu masih tergolong keluarga keraton Kanoman sendiri karena ia adalah
saudara dari selir sang Sultan sendiri.
Lelaki bernama Sutawinata yang baru berumur dua puluh lima tahun. Dalam usia
semuda itu, Sutawinata sudah memiliki kepandaian dalam soal agama dan
pemerintahan. Oleh karena itulah ia sangat disayang oleh Sultan Kanoman.
Segala persoalan pemerintahan yang sulit dapat diselesaikan dengan baik berkat
saran-sarannya. Oleh sebab itu tak heranlah kalau Sultan Kanoman
mengangkatnya sebagai seorang penasehat yang sangat diandalkan.
"Sutawinata! Hari ini kau akan kuberi gelar karena engkau telah banyak berjasa
terhadap keraton ini," ujar Sultan Kanoman tegas dan penuh wibawa.
"Terima kasih, kanjeng tuanku. Cuma hamba rasa hamba tak pantas menerima gelar
tersebut," jawab Sutawinata merendah.
"Tidak, Sutawinata! Kau harus menerimanya karena ini sudah menjadi keputusanku.
Tak boleh ada yang
membantah!" tegas Sultan Kanoman.
Mendengar kata-kata tersebut, Sutawinata terdiam dengan kepala tertunduk,
meskipun hatinya sebenarnya menerima dengan senang hati.
"Nah. Sutawinata. Kini engkau bergelar "Elang Sutawinata," tegas Sultan Kanoman.
'Elang' adalah sebutan bagi kedudukan di kalangan bangsawan Cirebon yang
tingkatnya kira-kira setaraf dengan sebutan 'Raden Mas' di kalangan bangsawan di
Jawa. "Terima kasih, kanjeng Ratu. Terima kasih," Sutawinata bersujud berkali-kali di
hadapan Sultan Kanoman karena sangat gembira hatinya, ia menyembah penuh hormat
pada junjungannya itu.
Sultan Kanoman tersenyum puas. Ia lalu berdiri dan memegang pundak Elang
Sutawinata sebagai tanda selamat yang segera diikuti oleh sesepuh keraton dan
pejabat-pejabat istana lainnya.
Setelah acara itu. Sultan Kanoman pun minta diri dan Elang Sutawinata serta para
punggawa dan orang-orang lain yang tadinya berkumpul di ruangan itu pelahan-
lahan mundur untuk kembali ke tempat masing-masing.
Sementara itu di salah satu
bangunan yang terletak di pojok belakang istana keraton terdengar suara anak
kecil menangis manja. Rupanya anak kecil itu sedang menantikan ibunya yang
sedang mempersiapkan hidangan di atas meja makan. Setelah hidangan tersedia,
digendongnya anak tersebut dan dibelainya dengan penuh kasih sayang. Seketika
itu juga tangis si anak berhenti dan kemudian ia tertidur dalam pelukan ibunya.
Rupanya anak lelaki berumur dua
tahun itu sedang mulai disapih atau dipisah dari ibunya agar tidak menyusu lagi
pada ibunya. Baru saja sang ibu meletakkan anaknya di tempat tidur, terdengar
suara pintu diketuk dari luar.
"Tok tok tok...!"
"Diajeng! Diajeng! Buka pintu!"
suara itu memanggil.
"Sebentar, kangmas!" suara itu terdengar lembut di telinga. Tak lama kemudian
pintu pun terbuka dan terlihat sesosok tubuh berdiri dengan wajah gembira dan
senyum tersungging di bibirnya, ia lalu mengecupkan bibirnya dengan mesra di
kening istrinya.
Orang yang baru datang itu tak lain adalah Elang Sutawinata yang baru kembali
dari keraton. Ia segera menggendong istrinya dengan mesra yang disambut dengan
lingkaran tangan di leher.
Istrinya menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu suaminya, mereka memasuki
ruangan dalam. "Kangmas. Kau kelihatannya gembira sekali malam ini." sapanya mesra dan manja.
"Diajeng, aku baru saja diangkat
menjadi penasehat keraton dan memperoleh gelar Elang." ujarnya sambil membelai
rambut istrinya yang terurai dengan penuh kasih sayang.
"Syukurlah, tetapi janganlah Kangmas jadi sombong dan angkuh dengan kedudukan
itu," istrinya mengingatkan.
"Tidak, diajeng. Aku tak akan silau dengan gemerlapannya harta benda, sanjungan,
kedudukan, dan juga gelar!"
jawab Sutawinata yang kini telah bergelar Elang Sutawinata.
"Sudahlah, kangmas. Lupakanlah itu dulu. Apakah kangmas tak ingin makan dulu?"
tanya istrinya manja sambil tersenyum manis sehingga semakin jelas lesung pipit
di pipinya. "Aku belum lapar, diajeng. Aku ingin mengajakmu ke peraduan dulu," kala Elang
Sutawinata sambil membopong tubuh istrinya yang menggelendot manja ke dalam
kamar. "Cumbulah aku, kangmas..." desah istrinya hangat.
"Ah..." Elang Sutawinata mendesah lirih. Tak ada lagi kata-kata yang terucap
setelah itu, yang terdengar
hanyalah desah nafas yang hampir rak beraturan. Suasana di kamar itu menjadi
misteri tersendiri.
Pada masa itu penjajah kompeni
Belanda sudah menguasai beberapa pulau.
Di setiap daerah yang dikuasai oleh penjajah selalu dikenakan pajak.
Bermacam-macam jenis pajak yang dikenakan terhadap penduduk, mulai dari pajak
hasil bumi. Tak perduli apakah tanah itu merupakan tanah milik perorangan maupun
tanah milik keraton yang seharusnya berdaulat secara otonom.
Pada suatu hari dalam Keraton
Kanoman terlihat Sultan Kasepuhan sedang berbincang-bincang dengan Sultan
Kanoman. Mereka duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati dan diukir sangat indah. Di
depan mereka tersedia seperangkat minuman teh lengkap dengan hidangan lainnya di
atas sebuah meja marmer yang berukiran semotif dengan kursinya. Di wajah mereka
tercermin ketegangan.
"Aku tak mau memenuhi keinginan penjajah itu untuk membayar pajak," ucap Sultan
Kasepuhan tegas.
"Itu terserah kangmas, tetapi apa daya kita" Kita tak punya kekuatan untuk
menentang penjajah Belanda. Aku akan tetap mengikuti peraturan dan membayar
pajak seperti yang diinginkan," ujar Sultan Kanoman tegas.
"Tidak, Dimas! Kita harus berontak!
Kalau tanah keraton mau dikenakan pajak, itu sudah sangat keterlaluan dan
menginjak harga diri kita. Dimas!"
tukasnya cepat dengan nada agak kesal.
"Sia-sia saja usaha kita, Kangmas.
Berfikirlah baik-baik, bangsa Belanda menjajah hampir seluruh kepulauan
Nusantara!" sanggahnya sambil berdiri.
"Bagaimana pun aku akan tetap berontak!" tegas Sultan Kanoman menjadi semakin
sengit, seakan-akan mereka berdua tidak dapat mencapai kata sepakat.
"Kangmas, penjajah Kumpeni Belanda berpusat di Batavia itu sewaktu-waktu
mengerahkan kekuatan untuk mematahkan kita punya kekuatan, sedangkan kita cuma
merupakan kesultanan kecil yang mempunyai keraton di dalam kota yang juga
dikuasai oleh Belanda. Setiap gerak kita tentunya diawasi." jelas Sultan Kanoman
memperingatkan saudaranya.


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi kau tidak mau berontak" Kau mau dijadikan budak oleh Belanda?" tanya
Sultan Kasepuhan dengan nada ditekan menahan emosi.
"Bukan begitu, Kangmas. Jangan salah paham. Kita bukan pengecut, tetap kita
harus menyusun kekuatan secara perlahan-lahan."
"Tapi sampai kapan" Belanda sudah terlalu menginjak kepala kita! Apakah kita tak
percaya pada kekuatan sendiri, kita bukan bangsa lemah yang mudah diinjak-injak
begitu saja, Dimas!"
"Akan sia-sia, Kangmas! Akan sia-sia! Percayalah kekuatan kita tak ada
seujung rambut pun dibandingkan kekuatan Belanda," lanjut Sultan Kanoman dengan
wajah sinis. Mendengar kata-kata Sultan Kanoman itu, wajah Sultan Kasepuhan menjadi merah
padam menahan marah. Ia lalu meninggalkan ruangan keraton itu tanpa berkata apa-
apa lagi. Sultan Kasepuhan segera kembali ke keraton Kasepuhan tempat
kediamannya. Kepergiannya diikuti pandangan mata Sultan Kanoman yang juga merasa kecewa
melihat sikap saudaranya yang paling tua itu.
Demikianlah dualisme yang terjadi dalam kepemimpinan keraton itu berlangsung
tanpa suatu jalan keluar yang bersifat musyawarah untuk mencapai kata mufakat.
Sultan Kasepuhan menghendaki suatu revolusi, sedangkan sebaliknya Sultan Kanoman
menghendaki evolusi.
Kini tinggallah Sultan Kanoman
seorang diri sambil mondar-mandir di ruangan pendopo keraton Kanoman. Wajahnya
muram, langkahnya gontai memikirkan tindakan apa yang harus dilakukan
selanjutnya, ia lalu memerintahkan seorang punggawa untuk memanggil penasehat
nya. Elang Sutawinata.
Dengan tergopoh-gopoh Elang
Sutawinata dalang ke pendopo di mana Sultan Kanoman telah menunggu dengan wajah
bingung atas kejadian yang baru
saja dialaminya.
"Ampun kanjeng Ratu, ada apakah gerangan hamba diminta menghadap Kanjeng
Tuanku?" tanya Elang Sutawinata setelah menyembah hormat pada saudara tua yang
juga sekaligus merupakan iparnya itu.
"Elang Sutawinata! Saat ini
penjajah Kumpeni Belanda meminta kita untuk membayar pajak atas tanah keraton
ini. Bagaimanakah pendapatmu?" tanya Sultan Kanoman Raden Agung Anom Wicaksana
itu. Elang Sutawinata tidak langsung
menjawab, keningnya berkerut tanda ia sedang berfikir keras. Hatinya terbakar
setelah mendengar betapa kurang ajarnya pihak Kumpeni Belanda yang telah lancang
hendak memungut pajak atas tanah keraton yang merupakan lambang kebanggaan
leluhur itu. "Ampun Kanjeng Ratu, menurut pendapat hamba lebih baik paduka jangan menuruti
kehendak penjajah Kumpeni Belanda, dan lebih baik kita diamkan saja karena tanah
keraton ini merupakan lambang kedaulatan kita sebagai bangsa yang mampu
menyelenggarakan pemerintahan sendiri!" jawab Elang Sutawinata tegas.
"Bagaimana kalau penjajah Belanda dalang menyerang keraton?" tanya Sultan
Kanoman kembali dengan gigi gemeretak menahan amarah.
"Kita lawan penjajah Belanda itu dan minta bantuan pada Kanjeng Sultan
Kasepuhan," jawab Elang Sutawinata dengan cepat, ia memang belum mengetahui
adanya perbedaan paham yang meruncing antara kedua orang Sultan di daerah
Cirebon tersebut.
Mendengar jawaban Elang Sutawinata sebagai penasehat keraton, wajah Sultan
Kanoman menjadi merah padam. Ia menjadi sangat gusar karenanya. Ternyata saran
dari penasehat utamanya itu justru sependapat dengan Sultan Kasepuhan. Hal ini
telah membuat Sultan Kanoman menjadi marah bukan kepalang. Elang Sutawinata sama
sekali tak mengetahui hal ini, karenanya ia hanya bisa memandang tak mengerti
saja ketika Sultan Kanoman tiba-tiba meledak marah terhadapnya.
"Kau sama tololnya dengan Kangmas Kasepuhan! Mulai delik ini juga keluarlah kau
dari tempat ini dan jangan pernah injak tanah keraton ini lagi! Cepat enyah dan
pergi!!!" bentak Sultan Kanoman histeris sambil bertolak pinggang sambil
membuang muka. "Ampunilah kebodohan hamba, kanjeng Ratu," kata Elang Sutawinata lirih dengan
wajah tertunduk lesu. Ia tahu betul watak kakak iparnya itu yang tak pernah mau
dibantah. "Tidak! Tidaaakk...! Kataku pergi,
pergi! Aku sudah muak melihat wajahmu!"
lanjut Sultan Kanoman sambil membelakangi Elang Sutawinata.
Tanpa berkata apa-apa lagi. Elang Sutawinata lalu melangkah gontai
meninggalkan ruangan keraton untuk kembali ke rumahnya. Tinggallah Sultan
Kanoman seorang diri sambil menahan marah dan bingung atas apa yang harus
dilakukannya setelah itu.
Sesampai di rumah. Elang Sutawinata menjumpai istrinya yang sudah menunggu
dengan tatapan mata yang sayu dan hati penuh tanda tanya apakah gerangan yang
telah terjadi pada diri suaminya itu.
Dilihatnya suasana wajah suaminya sangatlah muram dan bertolak belakang dengan
keadaannya kemarin malam.
"Kangmas, apakah yang telah terjadi pada dirimu" Wajahmu tampak muram dan
bersedih," kata istri Elang Sutawinata sambil menyambut kedatangan suaminya.
Elang Sutawinata tidak langsung
menjawab pertanyaan istrinya, ia hanya diam tak berkata sepatah pun. Dipeluknya
leher istrinya dengan penuh perasaan haru sehingga debaran dadanya dapat
dirasakan oleh Purnamasari, istrinya. Setelah dapat menenangkan hatinya, barulah
Elang Sutawinata dapat menceritakan kemalangan yang baru saja dialaminya.
"Oh, Kangmas. Kenapa nasib kita
jadi begini..." lirih istrinya berkata sambil menyandarkan kepalanya di dada
Elang Sutawinata. Ia mulai menangis sesenggukan, sementara Elang Sutawinata
dengan penuh kasih sayang membelai kepala istrinya. Demikianlah mereka sebagai
suami istri hidup dengan penuh saling pengertian dan saling membagi perasaan.
Memang demikianlah semestinya hidup bersuami istri di mana keterbukaan menjadi
faktor yang menentukan bagi kelanggengan hidup suami istri. Saling berbagi rasa
dan saling menjaga perasaan masing-masing. Setiap pihak berlaku jujur kepada
pasangannya dalam keadaan suka maupun duka.
"Sudahlah, Diajeng," kata Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati istrinya.
"Tak ada yang perlu disesalkan lagi, barangkali memang demikianlah takdir bagi
kita." "Apakah Kanjeng Ratu Sultan Kanoman tak mungkin memaafkan dirimu. Kangmas?"
tanya istrinya penasaran di sela isak tangisnya.
"Tidak, Diajeng. Kanjeng Sultan berhati keras, dan kata-katanya tak mungkin
dicabut kembali. Kata-katanya
adalah undang-undang, setiap kata-katanya tak bisa dibantah dan digugat,"
suaminya menjelaskan pada istrinya.
"Sudahlah, Diajeng. mari kita
berkemas-kemas sekarang sebelum Kanjeng Sultan marah untuk kedua kalinya. Justru
lebih parah lagi keadaannya bila hal itu terjadi," tegas Elang Sutawinata.
Suami istri itu kemudian berkemas-kemas untuk mengumpulkan barang-barang yang
bekal mereka perlukan dalam
pengasingan tersebut.
Hari pun telah berganti malam,
bulan telah muncul walau masih selengah ditutupi oleh awan gelap yang seakan-
akan turut bersedih dengan keluarga yang sedang tertimpa musibah tersebut.
Elang Sutawinata dan istri bersama anaknya yang baru berumur dua tahun
meninggalkan keraton Kanoman diam-diam dengan perasaan sedih yang tak terkira.
Dengan seekor kuda dan perbekalan yang diperlukan, mereka memulai perjalanan
yang belum diketahui arah dan tujuannya.
Elang Sutawinata menuntun kuda yang membawa istri dan anaknya. Mereka berjalan
gontai dengan hati pilu dan resah.
Mereka terus berjalan meninggalkan perbatasan keraton Kanoman dan terus
menyusuri jalan yang ada di depan mereka.
Bila malam tiba, mereka menginap dan beristirahat di rumah-rumah yang dijumpai
serta bersedia menerima mereka menginap di situ.
Jika fajar kembali menyingsing,
mereka kembali melanjutkan pengembaraan yang tanpa tujuan, berjalan dan berjalan
ke arah Selatan. Hari demi hari, Minggu demi Minggu mereka terus berjalan,
keluar dan masuk kampung menuruti
ke mana langkah kaki membawa mereka.
Akhirnya dengan tak terasa mereka telah sampai di kaki gunung Ciremai yang
berhawa sejuk dengan keindahan alam yang belum terjamah oleh tangan manusia.
"Akan ke manakah kita, Kangmas?"
tanya istri yang masih tetap setia bertekad akan mengikuti suaminya
tercinta. "Apakah kau tidak lelah.
Kangmas?" Betapa terharunya hati Elang
Sutawinata demi mendengar perkataan istrinya yang masih memperhatikan suaminya
walaupun keadaan dirinya sendiri lebih payah. Sebagai wanita, tentunya Ajeng
Purnamasari memiliki kekuatan terbalas, berbeda dengan Elang
Sutawinata. "Entahlah. Diajeng. Mungkin di puncak Ciremai sana kita bisa memulai hidup yang
tentram." sahut Elang Sutawinata sambil tangannya menunjuk ke arah puncak
Ciremai yang berdiri kokoh di depan mereka.
"Kangmas, marilah kita beristirahat dulu di bawah pohon itu," ajak istrinya.
Peluh mulai deras mengalir di kening
istri tercintanya.
"Baiklah, Diajeng. Aku pun sudah merasa lelah," jawab Elang Sutawinata sambil
menuntun kudanya menuju pohon yang rindang di depan mereka.
Keluarga itu lalu berhenti di bawah sebuah pohon yang rindang. Elang
Sutawinata lalu menurunkan anaknya dari gendongan istrinya. Setelah itu barulah
ia membimbing Ajeng Purnamasari dari atas kudanya. Mereka lalu bersandar di
batang pohon itu untuk melepas lelah dengan pandangan kosong menatap jauh ke
puncak gunung Ciremai. Sebersit harapan yang belum jelas segera membayang.
Suami istri itu lalu membuka
bungkusan makanan yang mereka bawa untuk dicicipi sedikit. Setelah memakan
sedikit bekal untuk mengisi perut, mereka segera membungkus kembali makanan itu
untuk bekal di perjalanan selanjutnya.
Ajeng Purnamasari lalu meraih si
kecil yang masih berada dalam gendongan ayahnya. Si kecil yang diberi nama
Parmin itu memang masih belum mengerti apa-apa.
Ia tertidur begitu tenang seolah-olah tak ada persoalan apa pun bagi dirinya.
Kini ia tertidur di pangkuan ibunya dengan damai.
Setelah cukup lama beristirahat,
Elang Sutawinata lalu mengajak istrinya untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Dengan keyakinan dan doa memohon
perlindunganNya, kedua suami istri yang saling setia itu kembali melanjutkan
perjalanannya untuk mencapai puncak Ciremai yang menjanjikan sedikit harapan
untuk dapat hidup tentram dan damai, jauh dari segala persoalan manusia.
5 Di sebuah hutan yang sangat lebat dan angker, yaitu hutan Geger Pati terdapat
segerombolan perampok yang dipimpin oleh seorang bertubuh tinggi besar dan
kasar. Kumis dan brewoknya tumbuh
lebat menutupi sebagian besar
wajahnya. Tindakan pemimpin gerombolan
perampok sangat ganas dan kejam. Tak ada satu pun anak buahnya yang berani
melawan maupun membantah bila diperintah oleh sang pemimpin. Sepak terjangnya
sungguh tak pandang bulu, siapa saja yang berani melawannya akan dihabisi segera
nyawanya tanpa perduli perempuan maupun anak-anak.
Dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kasar serta wajahnya yang seram ia
menjuluki dirinya sendiri Gembong Kuning Pencabut Nyawa.
Di dalam hutan tersebut terdapat
sebuah goa tempat para begundal di bawah pimpinan Gembong Kuning. Dari dalam goa
tersebut terdengar gelak tawa yang tak henti-hentinya. Kiranya kawanan perampok
itu sedang berpesta pora merayakan keberhasilan mereka setelah beraksi
menggondol harta milik saudagar dari desa Lambu Karang, sebelah Utara hutan
Geger Pati itu. Bau minuman keras berbaur dengan wangi hidangan yang sedang
mereka santap. Di dalam goa sang pemimpin rampok itu sedang menenggak tuak dan membuang kendi
yang sudah kosong, ia berdiri bertolak pinggang sambil tertawa keras terbahak-
bahak sambil membentak-bentak.
"Ha ha ha... Japra! Tambah lagi tuakku ini!"
"Baik... baik tuanku!" jawab Japra cepat. Ia segera bergerak dengan cepat
mengambil apa yang dimakan oleh
majikannya. Sebuah guci besar berisi tuak segera diserahkannya pada Gembong
Kuning. Tiba-tiba Gembong Kuning berdiri
dan tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya. Suaranya menggema ke seluruh sudut
ruangan goa dan memekakkan telinga anak buahnya yang sedang berpesta.
Kegembiraan itu terhenti sejenak karena suara sang Gembong yang mengandung
tenaga dalam itu telah memotong suasana. Ia terus tertawa tiada henti.
Suara Gembong Kuning terus
membahana, melengking tinggi menyengat
telinga anak buahnya yang mendengar suara tertawa tersebut. Beberapa anak
buahnya yang tidak memiliki kepandaian apa-apa.
kecuali tenaga kasar saja lantas
menggelosor ke lantai tanpa daya.
Sebagian lagi berusaha bertahan dengan menekap telinganya rapat-rapat.
Akibat suara tertawa Gembong Kuning sungguh dahsyat bagi anak buahnya. Mereka
yang tak sanggup mendengarnya langsung jatuh pingsan, sebagian lagi berteriak-
teriak berusaha mengatasi suara tersebut.
Beberapa orang tampak mulai mengeluarkan darah dari telinga dan hidungnya.
"Aduuuh, toloooooong...!!"
"Kupingku copot, auuuwwww...!"
"Ampuuunn, guuusttiiii...!" jerit si Pincang sambil berguling-gulingan tanpa
memperdulikan lagi kakinya yang pincang.
"Aku tidak tahaaan, hentikkaann..!"
si Picak terkencing-kencing, sementara telinganya telah mengeluarkan darah tanpa
bisa dihentikan.
Suasana di dalam goa menjadi hiruk pikuk dengan jeritan di sana sini, sementara
tubuh mereka lantas menerjang ke sana ke mari dalam upaya mengatasi rasa sakit
dan nyeri karena pengaruh suara yang menghantam pendengaran mereka tanpa ampun.
Suara kendi-kendi tuak yang jatuh
ke tanah, meja-meja yang porak poranda menambah tidak keruan keadaan. Di sudut
kanan goa sudah terlihat lima orang bertumpang tindih satu dan lainnya dengan
hidung dan telinga mengucurkan darah menahan rasa sakit yang tak terhingga.
Di sudut lain yang hanya diterangi sebuah obor terlihat meja dan kursi serta
kendi-kendi tuak sudah berserakan di lantai dengan orang-orang yang
menggelepar gelepar seperti ikan mahok.
"Maaak, tolooong...!" suara si Codet meraung-raung berusaha menahan rasa sakit.
Tubuhnya telah beberapa kali menimpa tubuh temannya.
"Hentikaaan... Aku tak tahaaan...!"
si botak telah meggeliat-geliat di tanah tak kuat menahan siksaan itu.
Beberapa saat keadaan di dalam goa itu sudah tidak menentu. Kegembiraan yang
semula mereka rasakan sebelumnya, kini menjadi kacau balau setelah mendengar
suara tertawa yang mengandung tenaga dalam begitu tinggi sehingga melumpuhkan
urat syaraf mereka yang mendengarkannya.
Setelah merasa puas mempermainkan anak buahnya. Gembong Kuning segera
menghentikan tawanya dan terdiam sejenak sambil menenggak tuak sepuas-puasnya.
Dengan berhentinya tawa sang
Gembong, berhenti pula siksaan yang mendera anak buahnya. Teriakan serta
jeritan mereka berhenti seketika.
Sebagian besar di antara mereka sudah berada dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sebagian lagi berupaya mengembalikan tenaga mereka dengan berbagai cara.
Beberapa lama kemudian, suasana
sudah kembali seperti semula. Mereka kembali hanyut dengan suasana pesta pora
yang sangat meriah, penuh gelak tawa yang tak berkesudahan. Sepertinya mereka
telah melupakan kejadian yang baru saja mereka alami.
Guci-guci tuak dan kendi-kendi arak telah kembali dikeluarkan. Berbagai hidangan
pun segera disajikan, mereka segera melahapnya dengan penuh nafsu seperti tak
pernah makan sebelumnya.


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tambah lagi hidangannya!" teriak beberapa orang hampir bersamaan dengan suara
sangat keras. "Jangan lupa tuaknya!" terdengar suara dari sudut kiri goa yang diterangi oleh
pelita yang terbuat dari minyak jarak, namun mampu menerangi seluruh isi goa.
"Keluarkan daging kambingnya!" si Buntung tak mau kalah berteriak dari yang
lainnya. "Jangan lupa penghiburnya!" Lodra ikut berteriak. Para pelayan itu adalah
tawanan yang dijadikan budak dengan
tergopoh-gopoh menyiapkan semua
permintaan mereka dengan segera. Budak-budak yang terdiri dari wanita-wanita
cantik itu dengan sangat terpaksa menyediakan makanan dan minuman kepada para
begundal yang berteriak-teriak itu.
Mereka pun tak dapat menghindari tangan-tangan usil mereka menyelusup ke dalam
kutang atau ke celah paha mereka.
"Ayo, manis. Temani Kangmas saja di sini!" kata si pitak sambil mencolek pantat
seorang pelayan yang lewat di depannya.
"Dengan aku saja tidurnya, ya, manis," si Bopeng pun tak mau kalah sambil
mencium pipi pelayan yang sedang membungkuk di depannya.
"Aku mau kelonan sama kamu, neng,"
sergah si Sumbing sambil meraba dada budak di depannya dengan tangan kanan,
sementara tangan kirinya menyambar pantat budak lainnya.
Selagi mereka asyik dengan wanita-wanita itu sambil menikmati hidangan serta
minuman keras di hadapan mereka, tiba-tiba terdengar kembali suara menggeledek
yang membuat mereka terpaksa menghentikan tindakannya. Suasana segera menjadi
sunyi seketika.
"Hei, anak buahku! Lihatlah ke mari semuanya!"
Gembong Kuning kembali mengejutkan anak buahnya dengan teriakannya itu.
Mereka menoleh secara bersamaan ke arah suara yang baru datang itu.
Para begundal itu melihat Gembong Kuning berdiri dengan seguci tuak di
tangannya. Diminumnya tuak tersebut langsung dari mulut guci. Untuk sesaat ia
berkumur-kumur, lalu disemburkannya tuak dari dalam mulutnya ke udara.
Sungguh mengagumkan. Dengan meng-
gunakan tenaga panas dari dalam tubuhnya.
Gembong Kuning telah menjadikan tuak yang tersembur dari mulutnya itu menjadi
api yang berkobar-kobar sehingga seluruh ruangan goa tersebut menjadi terang
benderang. Kiranya Gembong Kuning kembali
memamerkan keahliannya di hadapan anak buahnya. Para begundal itu memandangi
dengan perasaan kagum, takut, dan juga bangga terhadap pemimpin mereka. Setelah
puas dengan permainannya. Gembong Kuning kembali berteriak.
"Ayo, anak-anak! Kita rayakan pesta ini sampai pagi!"
Mendengar aba-aba dari sang
pemimpin, anak buahnya segera menyambut dengan teriak-teriakan riuh bersemangat.
"Hidup Gembong Kuning!" teriak si Picak bersemangat.
"Hidup sang pemimpin!" sahut yang lainnya.
"Gembong Kuning tetap jaya!" teriak
si Pincang bersemangat sambil menenggak tuaknya. Ia lupa pada luka di telinganya
yang masih mengeluarkan darah.
Teriakannya segera disambut oleh teman-temannya dengan bersemangat. Mereka
berjingkrak-jingkrak tak keruan seperti orang kehilangan akal sehat.
"Hidup! Hidup! Hidup! Horreeee...
Horrreeee...!"
Sorak sorai mereka bertambah riuh ketika melihat Gembong Kuning melambai-
lambaikan tangannya menambah semangat.
Sambil menenggak tuak tangan kanan Gembong Kuning menyusup masuk ke dada seorang
wanita cantik yang berada dalam pelukannya. Tampak ia meremas-remas beberapa
saat di dalam, lalu tangannya bergerak turun. Wanita itu
tampak meringis kesakitan dan juga ketakutan, tetapi ia sama sekali tak berdaya apa-
apa. Melihat kelakuan sang pemimpin,
yang kini bertambah gila dengan
menyelomoti leher wanita itu dengan penuh nafsu, anak buahnya ikut mencontohnya.
Mereka segera meraih budak terdekat untuk diperlakukan seperti itu. Beberapa
orang tampak sudah bergerak-gerak tak keruan dalam keadaan tengkurap di pojok-
pojok goa. Sungguh malang nasib wanita-wanita tawanan yang dijadikan budak tersebut.
Mereka hanya bisa meronta-ronta dan berteriak-teriak diperlakukan seperti
binatang. Namun perbuatan mereka justru menambah nafsu para pemerkosanya.
Sementara di tengah maksiat yang
tengah berlangsung di ruangan goa itu, ada sebuah ruangan khusus tertutup di
balik dinding goa yang memang disediakan Gembong Kuning untuk suatu acara khusus
yang sengaja ia persiapkan untuk
menyenangkan hati anak buahnya.
Tiga orang wanita penghibur tampak berbincang-bincang dengan genit di ruangan
itu. Mereka hampir tak berpakaian sama sekali. Hanya beberapa carik kain tipis
yang tembus pandang yang menutupi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka.
Wajah yang telah dipoles dengan bedak dan gincu yang tebal menambah seronok
penampilan mereka.
Ketiga wanita itu bertubuh montok menggiurkan, dengan buah dada yang membusung
menantang dan pinggul yang melebar indah yang mampu merontokkan iman lelaki yang
melihatnya. Masing-masing menggunakan kain penutup dengan warna yang khas.
Salah satu di antara mereka bernama Jamilah. Ia hanya mengenakan secarik kain
tipis tembus pandang berwarna merah menyala yang hanya menutupi bagian di antara
kedua belah pahanya yang
membayangkan warna hitam penggoda imajinasi lelaki yang menatapnya. Di dadanya
ia hanya menempelkan dua carik kain tembus pandang, sewarna dengan yang menutupi
bagian vital nya.
Satunya lagi mengenakan kain tipis berwarna kuning dengan tali melilit di
pinggangnya. Kain tipis tembus pandang itu pun sepertinya hanya menempel di
balik bayangan hitam di antara kedua belah pahanya, demikian pula dengan bagian
dadanya. Alis matanya dicukur membentuk garis tipis memanjang. Pinggul-nya
ramping dengan pinggang yang melebar ke bawah, kulitnya kuning langsat. Ia
bernama Lastri Sari.
Wanita satunya lagi punggungnya
bongkok udang. Namanya adalah Anggun Puspa. Betisnya indah seperti padi bunting,
dengan kuku-kuku kaki yang panjang dan diberi pewarna merah. Rambutnya terurai
sebatas pinggang.
Seperti kedua wanita penghibur
lainnya, ia pun hanya mengenakan kain tipis tembus pandang berwarna merah
menyala di bagian antara kedua belah pahanya yang juga membayangkan setumpuk
warna hitam. Dadanya ditutup dengan dua buah pita berwarna merah menyala yang
melintang sampai ke bahu.
Ketiga wanita itu sedang
berbincang-bincang tentang apa saja yang
akan mereka lakukan di hadapan begundal-begundal anak buah Gembong Kuning.
Mereka cekikikan sendiri membayangkan apa yang akan mereka lakukan nanti.
"Akan kubuat mereka sampai ileran melihatku," kata Lastri Sari.
"Kalau aku tak akan memberikan kesempatan untuk mereka bernafas," sahut Jamilah
tak mau kalah. "Aku akan bikin mereka menggelosor untuk mereka memegang tongkat antik masing-
masing." sahut Anggun Puspa sambil tertawa cekikikan.
Sementara itu di ruangan goa, para begundal anak buah Gembong Kuning semakin
parah keadaannya. Mereka tengah mengumbar maksiat dengan para budak wanita yang
mereka paksa untuk melayani nafsu mereka.
Di salah satu sudut terlihat si Botak yang jalannya sudah goyang karena terlalu
banyak minum tengah merayu seorang pelayan yang lewat di depannya.
Dengan nafas terengah-engah di
Botak meraih pelayan wanita itu dan kemudian melumat bibirnya dengan penuh
nafsu. Wanita itu meronta-ronta tak
berdaya, sementara tangan si Botak mulai menyibak kain wanita tersebut. Kasihan
wanita itu, padahal baru saja ia selesai dipaksa melayani nafsu begundal
lainnya. Namun baru saja tangan si Botak
meraih apa yang diinginkannya, tiba-tiba
terdengar suara teriakan Gembong Kuning menghentikan perbuatannya.
"Anak-anak. sekarang kalian
dengarkan aku! Sebentar lagi kalian akan memperoleh pertunjukan yang sangat
menarik, nantikanlah. Japra! Cepat panggil mereka!"
Dengan hati mendongkol si botak
terpaksa menghentikan perbuatannya, sementara budak itu cepat-cepat berlari
menyelamatkan diri. Orang yang dipanggil Japra itu pun segera berlari ke ruangan
di balik dinding tersebut.
Mendengar kata-kata tersebut, semua yang ada di dalam goa tersebut menjadi
girang bukan kepalang. Mereka semua adalah lelaki-lelaki kasar yang setiap
harinya berurusan dengan kekerasan, wajarlah bila mereka jadi haus dengan
bentuk-bentuk hiburan semacam itu. Mereka tahu apa yang dimaksudkan oleh sang
pemimpin, karenanya
mereka segera menyambut dengan perasaan yang sangat gembira.
Terdengar tepukan-tepukan tangan
dan suara teriakan serta suit-suitan di sana sini. Keriuhan itu seolah tak ada
henti-hentinya.
Plok....! Ploookk..! Ploook...!
"Cepat. Japra!"
"Ayo, Japra, segera panggil mereka, aku sudah tak sabar menanti-nanti dari
tadi...!" "Cepatlah, montok! Aku sudah tak sabar ingin menelanmu bulat-bulat!"
"Ayolah, manis! Keluarlah segera!"
Teriakan-teriakan itu semakin
menjadi-jadi diiringi tepukan-tepukan tangan ketika tiga orang penari bahenol
itu ke luar berbaris. Mata mereka melotot seolah akan ke luar dari tempatnya
ketika melihat kemontokan penari-penari yang dipanggil oleh Gembong Kuning itu.
Masing-masing berusaha untuk bisa lebih dekat melihat dan memegang bagian apa
saja dari para wanita itu. Apa saja bagian tubuh penari-penari itu langsung
menjadi sasaran tangan-tangan jahil dibarengi dengan teriakan-teriakan manja
menggoda dari wanita-wanita penghibur itu. Suasana yang sudah kacau itu menjadi
semakin kacau, mereka langsung berdesak-desakan satu sama lain.
"Tenang! Tenang! Beri mereka jalan!" teriak Japra berusaha mengatasi keadaan.
"Minggir! Minggir, biarkan si bahenol lewat!"
"Beri jalan, hei, beri jalan!" yang lain segera menimpali dengan berteriak-
teriak. Suasana yang sudah kacau itu
bertambah kacau dengan adanya teriakan-teriakan itu. Akhirnya Gembong Kuning
sendiri yang berteriak untuk mengatasinya.
"Minggir semuanya!" bentak Gembong Kuning menggelegar. Dengan seketika keriuhan
itu dapat teredam. Anak buahnya dengan patuh memberi jalan untuk wanita-wanita
penghibur yang berjalan dengan lagak yang centil dan genit seolah-olah menantang
kejantanan setiap lelaki yang melihatnya.
Dengan berlenggak-lenggok, mereka berjalan melewati para begundal itu dan
langsung menuju ke arah Gembong Kuning yang telah berdiri dengan tangan
terentang seolah akan merangkul mereka bertiga. Ketiga penghibur itu langsung
berdiri berjejer mengapit Gembong Kuning yang bergaya dan berlaku seolah raja
besar saja. Dua orang budak wanita berdiri di samping Gembong Kuning yang tengah diapit
wanita-wanita penghibur itu. Mereka berdiri sambil memegangi sebuah kipas
bertangkai panjang dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari bulu burung merak yang
indah. "Kalian semua! Buatlah lingkaran!"
kembali terdengar Gembong Kuning memberi perintah yang segera dipatuhi oleh anak
buahnya. Mereka segera berlarian
membentuk sebuah lingkaran besar dengan bagian tengah kosong, yang akan
dipergunakan sebagai panggung nantinya.
Setelah lingkaran itu terbentuk.
Gembong Kuning mencium ketiga wanita penghibur itu sambil tangannya bergerak
memegang bagian-bagian tertentu mereka.
Terakhir tangannya bergerak menepuk pantat ketiga wanita itu. Mereka lalu
berjalan berlenggak lenggok memasuki arena.
Tetabuhan gendang segera terdengar bertalu-talu mengiringi para penari tersebut.
Mula-mula gerakan tarian mereka begitu lemah gemulai dengan goyangan-goyangan
yang merangsang menggoda iman.
Ketiga wanita penghibur itu lalu
melakukan gerakan-gerakan seperti orang sedang melakukan hubungan intim. Dari
perlahan, gerakan mereka bertambah cepat seiring dengan bertambah cepatnya irama
tabuhan gendang. Mereka lantas berputar-putar dan bergoyang sambil mengangkat
kepalanya tinggi seperti sedang mencapai kepuasan yang tiada taranya.
Mata para penonton mengikuti
gerakan-gerakan para penari tersebut dengan mulut menganga membayangkan diri
sendiri sedang berada dalam pelukan para penari itu.
Suasana bertambah riuh ketika para penari itu merubah gerakan tarian mereka.
Ketiga penari tersebut mendadak duduk dengan paha terlipat, mereka lantas
menggoyang-goyangkan tubuh mereka sambil mengepalkan tangan dan menghunjamkannya
ke belahan paha mereka, berbuat seperti orang sedang merancap.
Tentu saja hal itu semakin menambah riuh suasana. Teriakan-teriakan segera
terdengar di sana sini ditingkahi suara-suara suitan yang melengking tinggi.
"Goyang teruuus! Kibul teruuus...!"
"Tancap terus... sampai
jebooollllll...!"
"Oh. surga! Kau begitu dekat, uuu uhhhhhh...!"
Para penonton yang terdiri dari
kawanan rampok tersebut tak henti-hentinya memberi semangat, sehingga para
penari itu semakin bergairah menari seperti orang kesurupan. Tampak beberapa
orang sudah tak dapat menahan nafsunya lagi, mereka segera menghampiri penari
tersebut dan mulai berbuat usil, diikuti oleh yang lainnya.
Para penari itu pun tak tinggal
diam, dengan lincahnya mereka bergerak menghindar, tetapi sekaligus melakukan
gerakan yang tambah merangsang. Hal tersebut semakin membuat penontonnya
bertambah gemas dan pusing, tetapi mereka tak pernah berhasil merengkuh para
penari tersebut. Akhirnya mereka mencari pelampiasan dengan mencari kembali
budak-budak wanita yang kini tengah bersembunyi
di dapur. Segera terulang kembali kemaksiatan di tempat tersebut. Gembong Kuning
memandangi tingkah laku anak buahnya sambil tertawa-tawa keras. Pesta itu
berlangsung sampai pagi, sampai akhirnya mereka kelelahan sendiri dalam keadaan
tak keruan, bergelimpangan di sana sini, baik para begundal itu maupun wanita
yang menjadi korbannya. Ketiga wanita itu pun sudah menggeletak tak keruan di
beberapa tempat. Gembong Kuning sudah tak terlihat lagi.
6 Memasuki Minggu kedua dalam perjalanannya yang tak menentu itu. Elang Sutawinata dan istrinya tiba di sebuah
dataran luas di kaki Ciremai sambil menggendong
anaknya. Terlihat suatu
pemandangan indah dataran tersebut, di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar
yang rindang. Mereka melangkah gontai dengan pakaian lusuh penuh debu.
Tidak jauh dari tempat mereka
berjalan, di balik semak-semak terdengar suara orang berbisik-bisik.
"Lodra, rasanya tak ada gunanya mereka kita begal! Mereka hanya
pengembara gelandangan yang tak punya
apa-apa," suaranya pelan hampir tak kedengaran.
"Aku tak menghendaki harta benda-nya, aku hanya ingin perempuan di atas kuda
itu," jawab Lodra sambil matanya terus mengawasi calon mangsa di depannya.
Mereka ternyata adalah anggota
kawanan perampok di bawah pimpinan Gembong Kuning. Wajah mereka tampak amat
seram dengan mata yang bersinar jalang.
"Sudah satu Minggu lebih aku tak melihat perempuan. Bantar, kau hajar lelakinya
sementara aku mengerjai perempuan itu!" kata Lodra pada temannya yang segera


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menganggukkan kepala tanda setuju.
Sementara itu Elang Sutawinata dan istrinya terus berjalan menelusuri tanah
berbatu-batu kerikil, sehingga langkah mereka menjadi sangat lambat apalagi harus menuntun seekor kuda yang
ditunggangi oleh anak mereka yang masih kecil itu.
"Kangmas, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku takut, Kangmas," ujar istrinya
dengan sinar mata ketakutan.
"Tenanglah, Diajeng. Berdoalah semoga tak terjadi apa-apa dengan diri kita."
kala Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati istrinya.
"Tapi, Kangmas, aku takut."
"Tenanglah. Diajeng," Memang hati
Elang Sutawinata pun merasakan akan datangnya bahaya. Telinganya lapat-lapat
menangkap suara daun-daun yang tergeser oleh benda bergerak dengan cepat.
"Apa boleh buat! Barangkali mereka hendak membegalku. Rawe-Rawe rantas, malang-
malang putung!" desah Elang Sutawinata pada dirinya sendiri. Bersamaan dengan
itu berkelebatlah dua sosok bayangan dari semak-semak belukar yang langsung
menghadang langkah Elang Sutawinata.
"Heyaaaah... Berhenti!" bentak Lodra keras, sementara Bantar telah siap siaga
dengan golok di tangan kanannya.
"Oh, awas Kangmas! Mau apa orang-orang ini?" tanya istrinya dengan perasaan
terkejut dan khawatir.
"Hai, apa yang kalian kehendaki!"
tanya Elang Sutawinata tegas sambil menatap kedua orang itu dengan tatapan penuh
selidik. "Ha ha ha... Perempuan itu cantik dan manis, persis seperti buah yang ranum.
Agaknya keturunan orang keraton,"
kata Lodra sambil melangkah menghampiri Ajeng Purnamasari.
Berbarengan dengan selesainya Lodra bicara, Bantar pun segera menerjang Elang
Sutawinata tanpa banyak bicara. Goloknya membabat keki Elang Sutawinata, tetapi
dengan gerakan cepat Elang Sutawinata
melompat ke belakang untuk menghindar.
"Yeeaahh...!" Elang Sutawinata bersalto beberapa kali sehingga tali kuda yang
dipegangnya terlepas dan kuda itu pun meringkik sambil mengangkat kedua kaki
depannya ke atas. Hal tersebut mengakibatkan anaknya, Parmin yang baru berumur
dua tahun menangis ketakutan.
"He he he... Mari manis. Mari sayangku...!" kata Lodra sambil berusaha memeluk
Ajeng Purnamasari yang membelalak ketakutan melihat kejadian di depan matanya
itu. "Tolong! Jangan sentuh aku,
bajingan!" teriak Ajeng Purnamasari meronta-ronta dari pegangan tangan Lodra
yang tengah memeluk tubuhnya dengan pegangan yang kuat dan kokoh.
"Binatang kau! Jahanam, lepaskan aku...!" jerit Ajeng Purnamasari mengumpat
begundal itu, ia terus berusaha melepaskan diri dari pelukan Lodra. Suatu ketika
tangannya berhasil mencakar wajah Lodra sehingga pelukan penjahat itu sempat
terlepas beberapa saat. Lodra memegangi wajahnya yang berdarah.
"Adddaaauuuww...! Galak betul kau!"
teriak Lodra berusaha menahan sakit.
Tetapi luka di wajahnya itu tak
membuatnya surut, ia malah semakin bernafsu mengejar Ajeng Purnamasari yang saat
itu telah berlari menjauhinya.
Pada saat yang sama tampak Elang
Sutawinata sedang sibuk bertarung dengan Bantar yang terus saja mencecarnya
dengan golok di tangan. Ia memberikan perlawanan dengan gigih terhadap lawan,
sekalipun tangannya sama sekali tak bersenjata.
"Ciaaattt...!"
"Moddiaarrrr kau...!" maki Bantar sambil mengayunkan goloknya dengan keras ke
arah Elang Sutawinata.
"Haaaiiit...!" Elang Sutawinata tak menjadi gugup karenanya. Ia bungkukkan tubuh
sedikit ke depan, kemudian kakinya bergerak mengirim tendangan keras mengarah ke
dada Bantar yang tak terjaga.
Buk ..! Kaki Elang Sutawinata mendarat
tepat di dada Bantar. Seketika itu juga Bantar terpental beberapa langkah ke
belakang sementara dari mulutnya menetes darah segar.
Beberapa detik lamanya Bantar
berkonsentrasi untuk membersihkan darah yang masih meleleh di bibirnya akibat
tendangan Elang Sutawinata tadi. Bantar lalu memandang musuhnya dengan sorot
mata tajam, ia kembali menyerang dengan sabetan-sabetan goloknya yang disertai
nafsu membunuh yang sangat besar.
"Mampus kau, monyet!" bentak Bantar dan goloknya membabat pinggang serta kaki
Elang Sutawinata yang terus menghindar
dengan lompat-lompatan dan sekali-sekali membalas dengan tendangan-tendangan
maut. Setiap kali Bantar membabatkan
goloknya yang terkena hanyalah dahan dan ranting pohon di sekitarnya saja.
karena Elang Sutawinata mampu menghindar dengan cepat.
Dengan bernafsu Bantar
terus menyerang Elang Sutawinata dengan keinginan membunuh yang sangat besar.
Serangan yang gencar itu menimbulkan suara berkesiulan yang nyaring ditingkahi
teriakan dan bentakan Bantar. Hal itu mampu membuat Elang Sutawinata bergidik
diam-diam. Elang Sutawinata kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilontarkan Bantar
secara bertubi-tubi, sementara konsentrasinya pun harus terpecah mendengar
teriakan-teriakan istrinya yang berteriak minta tolong karena perbuatan Lodra
yang benar-benar tak
berperikemanusiaan.
Saat itu Lodra sedang bergumul
untuk melampiaskan nafsu setannya, sementara Ajeng Purnamasari berusaha untuk
mempertahankan dan melepaskan diri.
Dengan nafsu yang telah merasuki jiwanya, Lodra berhasil menyibak kain Ajeng
Purnamasari dan hampir berhasil
melampiaskan nafsu iblisnya.
Namun sedetik lebih cepat dari
tindakannya, tiba-tiba tubuh Lodra terpental sambil mengeluarkan suara rintihan.
Ia terus menggelepar, menggeliat dibarengi darah yang menyembur dengan deras
dari batok kepalanya yang retak.
"Ehhk...! Eechk.. Ehhkkk...!" terdengar suara Lodra tertahan-tahan dalam keadaan
sekarat. Sejenak kemudian tampak ia memegangi kepalanya sendiri, untuk kemudian
terpaksa melepaskan nyawanya pergi begitu saja.
Bersamaan dengan itu sesosok
bayangan tampak melayang seakan-akan turun dari langit. Bayangan itu begitu
ringan menjejakkan kakinya ke tanah tanpa mengeluarkan suara apa pun. Bahkan tak
ada bekas debu beterbangan karena kedatangannya saking ringannya ia turun.
Sementara itu Elang Sutawinata
masih sibuk melayani Bantar yang terus menyerang dengan membabi buta. Suatu
ketika, karena berulangkali didesak tanpa kesempatan membalas, apalagi ia tak
bersenjata. Elang Sutawinata terpojok.
Keadaannya sungguh kritis, ia tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menghindar,
nyawanya sudah berada di ujung golok Bantar. Tepat pada saat itu bayangan tadi
kembali berkelebat dengan disusul jeritan tertahan dari Bantar.
"Akkh...!" Tubuh Bantar pun ambruk
ke tanah dengan balok kepala retak.
Tubuhnya kaku tak bernyawa setelah itu, menyusul temannya yang telah mati lebih
dulu. "Oh, siapakah yang telah menolong jiwaku?" gumam Elang Sutawinata menyadari
bahwa nyawanya lelah diselamatkan oleh orang lain.
Bayangan itu kembali menjejakkan
kakinya setelah bersalto beberapa kali di udara, ia kini telah berada di hadapan
Elang Sutawinata yang masih berdiri keheranan.
"Kangmas kau tidak apa-apa?" sapa Ajeng Purnamasari yang telah membereskan
pakaiannya dan menurunkan anaknya dari atas punggung kuda yang membawanya.
"Tidak, Diajeng. Bagaimana dengan kau, tidak apa-apakah kalian?" tanya Elang
Sutawinata dengan nada khawatir sekali pun ia melihat sendiri bahwa istri dan
anaknya memang tak kurang suatu apapun. Ia kembali menengok kepada sang penolong
yang masih berdiri tegak di hadapannya.
Orang itu bertelanjang dada, dengan demikian tampaklah dadanya yang bidang, ia
hanya mengenakan celana pangsi berwarna hitam sebatas betis dengan kaki
beralaskan terompah tipis. Sehelai kain sarung berwarna hitam dengan garis-garis
putih melilit di lehernya. Rambutnya
terurai sebatas bahu dengan kumis tipis yang terawat rapi, menyatu dengan
jenggot yang sudah memutih pula.
Rambutnya yang dibiarkan terurai
serta kain sarung yang melilit di lehernya itu berkibar-kibar tertiup angin.
Sekalipun kulitnya telah menunjukkan keriput ketuaan, namun jalur-jalur otot di
lengannya masih kukuh menampakkan diri. Sorot matanya tajam menatap Elang
Sutawinata dan istrinya, tetapi di balik ketajaman pandangan itu terselip
keramahan dan kebajikan yang tersembunyi.
"Terima kasihku yang tak terhingga, tuan pendekar. Kalau tak karena
pertolongan tuan, tentunya kami sudah jadi korban keganasan para perampok itu,"
ujar Elang Sutawinata memberi hormat.
"Ah, anda terlalu berlebihan,"
jawabnya merendah. "Berbahaya sekali menempuh perjalanan di tempat seperti ini,"
sambungnya mengingatkan. Elang Sutawinata bersikap sangat hormat sambil
membungkukkan badan seperti layaknya adat dan tata cara orang Keraton.
"Terima kasih, pendekar. Kami memang sedang berkelana tanpa tujuan.
Lantas dengan apa kami dapat membalas budi baik yang telah tuan pendekar berikan
pada kami. Kami sungguh tidak tahu, nama saya Elang Sutawinata dan ini istri
serta anak saya."
"Hmmm, jika anda berkenan, bolehkah kami tahu siapa gerangan tuan pendekar ini?"
tanya Elang Sutawinata lagi.
"Hmm. orang biasa memanggilku Ki Sapu Angin." jawabnya singkat. Kalimat berikut
yang diucapkannya sungguh mengejutkan suami istri itu.
"Ah, sejak tadi aku tertarik pada si kecil ini! Sangat berbahaya menempuh
perjalanan di gunung bersama dengan seorang anak seusia dia. Oleh karena itu,
lebih baik berikanlah dia padaku. Aku akan mendidiknya menjadi seorang pendekar
pilih tanding kelak."
"Oh...!" seru Ajeng Purnamasari terkejut.
Beberapa saat lamanya kedua suami istri itu saling memandang seakan-akan mereka
sedang berunding untuk mengambil satu keputusan. Ajeng Purnamasari hanya terdiam
saja memandang suaminya, pertanda bahwa ia menyerahkan segala keputusan di
tangan suaminya.
Akhirnya dengan berat hati sekali suami istri itu melepaskan anaknya dan
menyerahkannya pada Ki Sapu Angin dengan rasa percaya yang besar bahwa anak
mereka akan tumbuh selamat dan aman di tangan pendekar tersebut. Ki Sapu Angin
terus berlalu seperti angin, sesuai dengan nama kependekarannya. Apa boleh buat!
Barangkali memang sudah suratan takdir
bahwa mereka harus berpisah dengan anaknya.
Belajarlah berpisah dengan kecin-
taanmu, karena suatu ketika ini pasti terjadi di dalam hidupmu, bertemu dan
berpisah. Itulah roda kehidupan yang akan terus berputar.
Elang Sutawinata meneruskan ceritanya. Parmin, Sri Ayu dan Kaswita tetap
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kemudian kami terus mengembara sampai ke puncak Ciremai ini. Selama dua puluh
tiga tahun kami mengasingkan diri dari dunia ramai dan segala urusan duniawi.
Kami pun tak pernah lagi mendengar kabar tentang keadaan keraton Kanoman.
Kemudian di puncak Ciremai ini kami kembali dikaruniai dua orang putra dan
putri, yaitu Sri Ayu dan Kaswita."
"Sayang istriku telah berpulang ke Rahmatullah ketika anak-anak menginjak usia
remaja. Tetapi hari ini adalah saat penuh kegembiraan melihat kembalinya anakku
yang pertama," Elang Sutawinata berhenti sesaat sambil memandangi Parmin.
"Dia... dia kini telah menjadi seorang pendekar perkasa dan shaleh sesuai dengan
janji Ki Sapu Angin dulu.
Aku sangat berterima kasih terhadap
pendekar tersebut. Dia telah menggembleng anakku, anakku yang berusia dua tahun
itu kini telah dewasa dan kembali kepadaku.
Dia adalah... Parmin Sutawinata. Sayang istriku tidak dapat melihat kembalinya
anak yang selama dua puluh tiga tahun dirindukannya. Hmmm, sayang sekali.
Tetapi aku bersyukur ke hadirat Ilahi dengan pertemuan ini, aku bangga
melihatnya." ucap Elang Sutawinata mengakhiri cerita masa silamnya.
"Jadi... jadi bapak adalah...?"
sergah Parmin dengan terputus-putus menahan rasa gembira, haru, dan juga bangga
bercampur menjadi satu.
"Parmin, anakku!" seru Elang Sutawinata tak tahan lagi menahan kerinduannya.
"Ayaah...!" seru Parmin menubruk kaki Elang Sutawinata memberi hormat, memberi
sembah sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orangtua nya.
Air mata keharuan tertumpah seakanakan berhasrat menyaingi tumpahnya air hujan,
suasana di rumah itu menjadi haru dan penuh kegembiraan. Parmin pun segera
memeluk adik-adiknya dengan kegembiraan dan keharuan yang meluap-luap. Tangis
keharuan yang bercampur kegembiraan terdengar membahana mewarnai suasana yang
tercipta dalam pertemuan anak beranak dan saudara itu.
"Ohh, kakang... Maafkanlah kelakuan kami tadi terhadapmu," kata Sri Ayu dan
Kaswita hampir berbarengan di antara isak
tangis kegembiraan mereka.
"Ah, tak apa-apa, adikku. Kakang malah bangga punya adik-adik tangkas dan gesit
seperti kalian. Apalagi kalian punya sifat saling membela," sahut Parmin sambil
memeluk erat-erat kedua adiknya.
Malam pun merambat semakin kelam, tetapi gelak tawa yang terdengar dari pondok
tersebut terus saja membahana.
Agaknya mereka menyelingi pertemuan tersebut dengan cerita-cerita lucu.
Keesokan harinya di tepi kepundan Ciremai yang sangat indah berdiri tafakur
ketiga orang kakak beradik yang tengah menekuri sebuah nisan.
"Ibu, semoga ibu dapat beristirahat dengan tenang. Anakmu datang mengunjungi
dengan panjatan doa ke hadirat Ilahi.
Semoga Allah menerima ibu di sisiNya dan memberi pula rahmat bagi yang
ditinggalkan... Amien!" Parmin menunduk-kan kepalanya di makam ibunya, ia lalu
berdiri menghampiri adik-adiknya.
"Adik-adikku, kalian lebih beruntung dapat melihat wajah ibu sampai akhir
hayatnya. Aku hanya bisa membayangkan samar-samar wajah ibu dua puluh tiga tahun
yang lalu."
Setelah seminggu lamanya Parmin
menetap bersama ayah dan adik-adiknya yang baru saja ia ketemukan, Parmin merasa
sudah tiba saatnya baginya untuk
meneruskan perjalanan menyelesaikan tugas mulia dari Ki Sapu Angin. Ia pun
segera minta diri dari hadapan orang tua dan adik adiknya.
"Tugasmu itu sungguh mulia, anakku.
Berangkatlah dan jangan merasa berat hati meninggalkan kami karena tugas ini
menyangkut kepentingan bangsa. Ayahmu pun dulu pergi dari keraton Kanoman karena
tak setuju dengan penjajahan itu!" Elang Sutawinata menghapus keraguan Parmin
dengan ucapannya yang mengandung semangat patriot itu.
"Ananda pamit, ayah," ujar Parmin sambil berdiri mencium tangan ayahnya.
"Doaku selalu mengiringi perjalanan mu, anakku!" sahut Elang Sutawinata penuh
haru. Parmin meninggalkan ayah dan adik-adiknya dengan langkah mantap diiringi
pandangan bangga dari mereka.
Sri Ayuningrum dan Kaswita
mengamati Jaka Sembung sampai ke lereng kepundan Ciremai, di mana terlihat jauh
di bawah sana daerah Kuningan, daerah yang paling dekat dengan tempat itu.
"Sudahlah adik-adikku, kurasa kalian cukup mengantar sampai di sini saja.
Selamat tinggal, adik-adikku.
Patuhilah segala nasehat ayahanda. Jika tiba waktunya kalian berdua tentu
diizinkan turun gunung pula."
"Adikku, Sri Ayu. Kau adalah
pengganti ibu kita, rawatlah ayahanda baik-baik. Kita beruntung masih memiliki
seorang ayah," ucap Parmin memberi pesan kepada adik-adiknya, ia lalu mencium
kening Sri Ayuningrum yang tampak menangis sedih.
"Selamat tinggal, adik-adikku.
Sampai bertemu lagi, sayang."
"Selamat jalan, Kakang Parmin.
Berhati-hatilah di jalan! Jaga diri baik-baik," kata kedua adiknya.


Jaka Sembung 7 Lagu Rindu Dari Puncak Ciremai di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Parmin lalu melangkah meninggalkan adik-adiknya yang memandangi dengan perasaan
bangga, haru dan juga sedih karena harus berpisah dengan kakak yang baru saja
mereka ketemukan lagi setelah sekian tahun mereka tak tahu bahwa mereka masih
memiliki kakak Betapa bangganya mereka memiliki
kakak seperti Parmin alias Jaka Sembung yang merupakan seorang pendekar gagah
dan shaleh, yang saat ini tengah memper-juangkan kemerdekaan bangsanya yang
sedang terjajah oleh bangsa asing.
Jaka Sembung terus melanjutkan
perjalanannya menuruni lereng Gunung Ciremai sebelah Selatan untuk menuju tanah
Pasundan. Peristiwa apa lagi yang akan
dialaminya"
Keganasan gerombolan pendekar sesat siap menghadang perjalanannya, mampukah
ia menghadapinya"!
Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: MENUMPAS
GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG
T A M A T Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Tapak Tapak Jejak Gajahmada 2 Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin Keng Pat Karya Rajakelana Perjodohan Busur Kumala 12
^