Menumpas Gerombolan Lalawa 1
Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung Bagian 1
MENUMPAS GEROMBOLAN LALAWA
HIDEUNG Karya Djair Warni
Judul Asli Gerombolan Lalawa Hideung Alih Cersi A. Zainuddin Fu'ad
Cetakan pertama 1991
Penerbit SARANA KARYA
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
MENUMPAS GEROMBOLAN
LALAWA HIDEUNG Matahari bersinar cerah menerangi alam raya ini. Sinarnya menembus celah-celah
dedaunan dan memberi kehidupan bagi pohon-pohon yang tumbuh di bawah pohon yang
rindang. Air sungai yang mengalir dari kaki gunung Ciremai yang panjang berliku
di bawah tebing, seperti cacing yang berliuk-liuk mencari makanan.
Pohon-pohon di sekitar lereng
Gunung Ciremai sebelah selatan tumbuh dengan lebatnya. Batu-batuan yang ter-
hampar luas membentuk gunduk-gundukan tersusun indah baik hasil tangan Maha
Pengatur. Rumput ilalang tumbuh dengan suburnya serta kerikil-kerikil berserakan
di sepanjang jalan setapak menuruni lereng gunung.
Di sebuah lereng, di sebelah
selatan gunung Ciremai terlihat sesosok tubuh berjalan menuruni lembah dengan
ringannya. Sekali-sekali sosok tubuh itu melompat-lompat di antara batu-batu
besar dan berlumut.
Sosok tubuh itu tidak lain adalah Parmin Sutawinata, Si Jaka Sembung, murid Ki
Sapu Angin! Dengan pakaian celana pangsi serta baju koko berlengan panjang yang
berwarna coklat muda, serta kain
sarung kuning bergaris coklat hitam, dan tongkat besi berani di tangan kanannya,
itu terus melangkah dengan gesit dan mantap.
Parmin telah memasuki daerah
Pasundan. Seperti di ketahui wilayah karesidenan Cirebon terbagi dalam dua
bahasa. Sebelah utara gunung Ciremai penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan di
sebelah selatan gunung Ciremai berbahasa Sunda.
Parmin kembali harus merayap
menuruni tebing-tebing cadas yang men-julang tinggi dengan dinding-dindingnya
yang licin berlumut serta lereng-lerengnya yang terjal sama dengan apa yang ia
tempuh di sebelah utara gunung Ciremai. Dengan keteguhan hati ia terus melangkah
pasti. Setelah melalui sebuah bukit kecil, Parmin tiba di sebuah dataran luas
yang sangat indah di pandang mata.
Tiba-tiba Parmin menghentikan
langkahnya karena mendengar ada suara yang menyapanya.
"Assalammuallaikum...!". Suara itu datang dari arah belakang.
"Waallaikum salam...!". Sahut Parmin segera sambil menoleh kebelakang.
Namun Parmin menjadi heran dan
bingung setelah melihat tidak ada seorang pun di sekitarnya.
Bola mata Parmin mencari-cari
sumber suara itu, namun tidak ada seorang manusia pun, walau pun Parmin sudah
mengerahkan panca indranya untuk memantau ke segala penjuru.
"Bisakah anda menolongku,
musafir"!". Kembali suara itu terdengar menyapa Parmin yang masih kebingungan.
"Hah...!!". Sentak Parmin dengan heran setelah mengetahui datangnya sumber suara
itu. "Seekor burung beo..."!".
"Mimpikah aku...?". Gumam Parmin dalam hati. Tak habis pikir.
Kiranya yang berbicara kepada
Parmin adalah seekor burung beo yang bertengger di sebuah batu yang berada di
hadapan Parmin. Warna bulunya hitam pekat dengan paruh panjang dan runcing
berwarna kuning. Bola matanya bundar, serta di dekat matanya ada warna kuning
memanjang sampai ke leher. Kepalanya berjambul dengan sepasang kaki yang
berwarna kuning dan kuku-kukunya yang tajam.
"Kukira andalah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan majikan ku! Sudah
bertahun-tahun aku menunggu musafir yang lewat!". Ujar burung Beo yang kemudian
mengepakkan sayapnya terbang rendah menuju sebuah goa yang tidak jauh berada di
lereng, meninggalkan Parmin yang masih melongo penuh tanda tanya.
"Ikutilah aku...!". Kata si Beo sambil terbang.
Parmin tersentak mendengar perintah burung Beo itu, lalu Parmin mengikuti dari
belakang dengan berlari-lari kecil dan melompat-lompat dari batu ke batu yang
lain. Burung Beo itu kemudian memasuki sebuah goa dan bertengger dengan tenangnya.
Parmin yang mengikuti dari belakang berhenti di mulut goa yang keadaannya sunyi
senyap. Parmin segera menyapu pandang dengan sorot mata penuh selidik.
Batu-batu yang menjulur ke bawah dengan ujung runcing memagari mulut goa seperti
tombak berjajar. Parmin melangkah masuk dengan tenang. Hawa di dalam goa sangat
sejuk dengan dinding batu berlumut hijau tipis serta batu-batu kerikil yang
berserakkan di lantai goa, tersusun rapi di antara tonjolan-tonjolan batu yang
menyerupai tombak menyembul dari lantai goa tersebut.
Di sebuah sudut terlihat burung Beo itu bertengger pada sebuah kerangka manusia
yang duduk bersila dengan tangan bersedakap, beralas batu berbentuk bundar yang
membelakangi sebuah rongga dinding berbentuk cungkup, seolah-olah seperti kursi
singgasana lengkap dengan tudung yang melingkupinya.
Burung Beo itu dengan tenang
bertengger di pundak sebelah kanan kerangka manusia yang membisu, seperti batu-
batu yang ada di sekitarnya.
"Silahkan duduk, musafir!.
"Silahkan... jangan sungkan-sungkan!". Ucap si Beo mempersilahkan Parmin yang
masih keheranan melihat burung Beo dapat berbicara secerdik itu, sepertinya ia
sedang berhadapan dengan manusia sebagai tuan rumah yang menyambut dengan
ramahnya. "Benar-benar seekor burung Beo yang sangat langka". Gumam Parmin pada dirinya.
Ia duduk pada sebuah batu yang berada di hadapan kerangka manusia tersebut.
Diam-diam Jaka Sembung memperhatikan kerangka yang duduk seperti direkat oleh
perekat yang tak terlihat sehingga sendi-sendi tulangnya tidak jatuh berantakan.
"Lihatlah kerangka ini!". Ujar burung Beo itu.
"Beliau adalah majikanku dan aku telah bertahun-tahun mengikutinya dengan
setia!. Entah mengapa kerangka ini tetap utuh seperti ada perekatnya aku tidak
tahu!. Beliau meninggal beberapa tahun yang lalu dalam keadaan bersemedi!." Si
Beo menunda sesaat bicaranya.
"Ada beberapa pertanyaan yang beliau belum ketemukan jawabannya semasa
hidup!. Arwahnya tidak akan tenang di alam baka, jika pertanyaan-pertanyaan itu
belum terjawab!. Semua pertanyaan itu selalu kuhafalkan setiap hari, sambil
menunggu kalau-kalau lewat orang yang bisa menjawabnya!".
"Pertanyaan-pertanyaan apakah itu?"
Tanya Parmin serius
"Hmmm......baiklah!".
Lanjut burung cerdik itu.
"Yang pertama apakah agama itu dan apa gunanya"!". Suara beo itu mantap, persis
seperti suara manusia.
Parmin terdiam sebentar untuk
berpikir. "Agama adalah suatu ajaran Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar!".
"Jika begitu, manusia tidak perlu memeluk agama jika misalnya ia bisa melakukan
segala sesuatu dengan benar!".
"Benar...!, yang anda sebutkan itu belum tentu benar, menurut ajaran agama atau
pun penilaian orang secara umum!".
"Terima kasih...!, aku puas dengan jawaban anda!."
"Pertanyaan kedua adalah... Mengapa di dunia ini ada beberapa macam agama yang
berlainan ajarannya, sehingga kadang-kadang manusia berperang karena membela
agama masing-masing!". Ujar burung beo.
Parmin tidak langsung menjawab.
Dalam hatinya ia merasa kagum sekali dengan pertanyaan-pertanyaan yang berat
yang dihafal dengan baik oleh burung beo itu.
"Agama di turunkan Tuhan untuk mengubah sifat buruk manusia menurut jaman dan
nabinya masing-masing sehingga sekarang terdapat berbagai macam agama di dunia
ini!. Adapun hasilnya sangat tergantung pada watak dan kemampuan pemeluknya
masing-masing. Watak dan kemampuan ini tidak selalu sama pada setiap manusia.
Jika manusia berperang karena agama, tidak lain disebabkan karena itu masing-
masing pribadi manusia itu sendiri yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu,
bersaing dengan mengatas namakan agama masing-masing, karena sesungguhnya agama
mana pun selalu menganjurkan untuk saling menghormati terhadap agama lain. Pada
dasarnya semua agama adalah baik. Semua agama mengakui adanya kekuasaan yang
tertinggi, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja upacara penyembahan atau
ibadahnya berbeda menurut agama masing-masing!".
"Terima kasih!. Pertanyaan yang ketiga, Apakah ibadah itu dan apa gunanya"!".
Parmin menelan ludah, ia tertegun-tegun keheranan melihat kecerdasan burung
Beo ini seakan-akan seekor hewan dari zaman Nabi Sulaiman.
"Ibadah adalah niat dan perbuatan bakti kepada Tuhan menurut yang di wajibkan
oleh setiap agama!. Gunanya adalah untuk membatasi dan mendisiplinkan diri
manusia sehingga ia selalu berada di jalan yang benar, karena dengan ibadah itu
mereka selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta yang memberikan kehidupan
serta memelihara kehidupan ini!".
"Terima kasih. Pertanyaan ke empat; Apakah hubungan Rasul atau nabi terhadap
kitab-kitab Suci yang dianut oleh manusia"!", sambung si Beo. Ia berhenti lagi
sejenak. "Menurut pendapatku, Nabi tidak berbeda dengan pujangga-pujangga yang
menciptakan karangannya, dan karangannya di anut oleh pengikutnya!. Seperti
halnya pujangga-pujangga kita, Mpu Kanwa, Mpu Panuluh atau juga Jayabaya yang
hasil karyanya masih di anut oleh orang-orang!.
Bagaimana pendapat anda"!". Tanya si Burung Beo.
"Itu adalah penafsiran yang sama sekali tak benar! Hubungan antara Nabi dan
Kitab-kitab Suci adalah Mu'jizat!.
Mu'jizat adalah suatu perbuatan yang tidak bisa dilakukan manusia dan ia
melakukannya bukan dengan kemampuannya!
sendiri!. Lain halnya dengan pujangga-
pujangga, mereka menciptakan karyanya dengan pikiran dan daya cipta mereka
sendiri!. Lagi pula karya seorang pujangga tidak bisa di anut sepanjang zaman."
Parmin berhenti sejenak, kemudian menambahkan.
"Ajarannya tidak bisa dikatakan sempurna!".
"Terima kasih!, anda telah membu-kakan pikiran kami yang picik!. Sekarang
pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah wujud Tuhan?"
Ucap burung Beo sambil menatap
Parmin dalam-dalam seakan-akan seorang hakim yang sedang mengadili sang
terdakwa. Parmin kembali menelan ludahnya
kagumnya tidak habis-habisnya menyaksikan kecerdasan burung Beo tersebut.
"Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu bahan perbandingan! Misalnya kita
membuat sebuah kursi, maka sudah jelas bahwa wujud kursi itu tidak sama dengan
kita sendiri!. Dalam hal kesempurnaan, tentu manusia jauh lebih sempurna dari
kursi!." "Sedangkan si kursi itu sendiri jika ia bisa berpikir sekalipun, pasti tak bisa
membayangkan ujud manusia yang menciptakannya!. Begitupun manusia, dia tidak
akan bisa membayangkan wujud Tuhannya. Alam pikiran manusia tidak akan
sampai ke sana walaupun bagi seorang penghayal yang termasyhur sekali pun!.
Tetapi kita bisa mengambil kesimpulan tentang ujud Tuhan!. Manusia lebih
sempurna dari sebuah kursi, maka Tuhan adalah Maha Sempurna jauh lebih sempurna
dari manusia!."
"Maha adalah tidak terbatas, walau bagaimana
pun manusia tak bisa
membayangkan wujud Tuhan sang Pencipta dengan alam pikirannya yang terbatas
ini!". Jawab Parmin menjelaskan panjang lebar. Burung Beo itu kembali
menggerakkan kepalanya manggut-manggut berkali-kali merasa puas dengan jawaban-
jawaban yang diberikan oleh Parmin.
"Terima kasih... terima kasih!, musafir yang budiman!. Semoga tenanglah arwah
beliau di alam baka, sekarang sudah tiba waktunya untuk mengebumikan jasad
beliau!. Musafir yang budiman dengan apa aku bisa membalas budi anda, aku tidak
tahu!. Tetapi aku ingin mengabdikan diri pada anda jika anda sudi menerimaku dan
aku akan ikut ke mana anda pergi!". Ucap si burung Beo sambil terbang
menghampiri Parmin dan bertengger di pundak kiri Parmin.
Setelah mengebumikan kerangka
manusia tersebut, Parmin bersama teman barunya, burung Beo yang cerdik itu,
segera melanjutkan perjalanan.
Parmin kini tidak lagi sendiri ia telah mendapatkan kawan baru, yaitu seekor
burung yang sangat langka di dunia.
Parmin menuruni lembah dan tebing dengan langkah ceria.
Setelah beberapa hari menempuh
perjalanan sampailah Parmin di sebuah tempat yang sangat indah. Di depan mata
Parmin terbentang sebuah telaga dengan airnya yang jernih sehingga dasarnya
terlihat jelas dan ikan-ikan yang beraneka ragam jenisnya dengan warna yang
indah bergerak kian kemari di sela-sela tumbuhan yang ada di dasar telaga.
Di tengah-tengah telaga itu
tersembul beberapa bebatuan yang membentuk patung-patung abstrak. Angin pun
berhembus sepoi-sepoi basah membuat udara di sekitar telaga menjadi sejuk dan
nyaman. Apabila angin datang berhembus menerpa air telaga, maka airnya
bergelombang kecil-kecil dan hilang seketika.
Di sekitar telaga tumbuh pohon-
pohon yang rindang dengan daun-daunnya yang hijau subur beralas rerumputan yang
menghampar bagaikan permadani yang tebal.
Parmin merasa tubuhnya letih dan ingin beristirahat barang sejenak di telaga
itu. Ia lalu mereguk air telaga
yang jernih itu dengan kedua belah tangannya.
"Alhamdulillah...!. Bukan main segarnya!" Ucap Parmin setelah air telaga itu
memasuki tenggorokkannya dan di ikuti oleh burung Beo yang minum dengan
paruhnya. Kemudian Parmin bersandar pada
sebuah batang pohon besar dengan ranting-rantingnya yang menjuntai ke bawah
serta daun-daun yang tumbuh lebat.
Angin tertiup sejuk semilir membuat mata Parmin menjadi berat dengan kedua belah
telapak tangannya sebagai alas kepala, Parmin memejamkan matanya.
"Lebih baik anda tidur!"
"Biarlah aku yang berjaga-jaga".
Tegur si Beo sambil bersiul kecil berirama perlahan-lahan mengiringi Parmin
tidur. Waktu pun terus berlalu dari detik ke detik, matahari pun bergerak menuju ke
arah barat. Ketik Parmin terbangun, hari telah sore. Suasana di sekitar telaga
terasa menjadi begitu romantis.
Tiba-tiba saja Parmin teringat pada kekasihnya Roijah.
"Mengapa anda melamun, pendekar"!"
Tegur si Beo melihat wajah Parmin murung.
"Aku terkenang kampung, halaman!".
Jawab Parmin tersentak.
Kemudian Parmin meniup serulingnya
dan mengalunkan sebuah lagu kiser
"Dermayon", lagu kesayangan Roijah.
Maka lembah yang indah itu kini lebih terasa semakin indah.
"Wajahmu selalu terbayang.
"Bila engkau pergi aku tetap menanti."
"Cintaku padamu tidak akan melayang."
"Aku tetap setia sampai mati."
"Merdu sekali lagu ini!, apa namanya"!".
"Lagu ini biasa di nyanyikan oleh jejaka-jejaka pada waktu malam jaringan di
desa Kandang Haur!. Jaringan itu adalah suatu upacara adat mencari jodoh yang
hanya terdapat di desa Kandang Haur!". Jawab Parmin menerangkan dengan suara
sendu, membayangkan wajah Roijah dengan cubitan-cubitan mesra di pipi dan
belaian pada rambut hitam panjang gadis itu.
Tatapan mata Jaka Sembung
menerawang jauh, tapi lamunannya itu segera tersentak ketika ia dengar celoteh
si Beo.
Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku jadi teringat kekasihku!. Aku patah hati karena kehilangan dia. Dia cemburu
dan mogok makan, kemudian mati!.
Kami bangsa burung Beo memang suka mogok
makan jika mempunyai perasaan tertekan!".
Ujar si Beo dengan kepala menunduk sedih.
"Aku turut berduka cita atas kemalanganmu, Beo!". Ucap Parmin pelan sambil
membayangkan bagaimana kira-kira bila sepasang burung sedang bercinta.
"Biasanya adat bangsa kami, aku harus ikut mati. Tetapi aku tidak mau mati
karena patah hati!. Banyak jalan untuk hidup berguna, walau pun hatiku tetap
setia padanya!". Suara si Beo bergetar mengenang kekasihnya yang telah tiada.
Dua makhluk yang berlainan jenis dengan akrab terlihat pembicaraan dengan
kenangannya masing-masing. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti, ketika
mendengar ada suara yang datang dan berkelebatnya sosok-sosok tubuh.
Tiga buah bayangan berkelebat entah dari mana datangnya dan dengan cepat mata
Parmin menangkap suatu gelagat yang akan mengusik ketenangan di lembah itu.
Parmin melihat pertempuran yang
seru satu lawan dua. Gerakkan-gerakkan mereka begitu gesit, sehingga cuma
bayang-bayang dan kilatan golok saja yang tampak oleh mata orang biasa.
Parmin terus mengikuti dengan
pandangan mata penuh perhatian, tiga bayangan itu terus bergerak dengan cepat
dan gesit. Terlihat kini orang yang dikeroyok dengan nafsu membunuh menyabetkan goloknya
dengan cepat mengarah titik-titik kematian pada tubuh si pengeroyok.
Dua orang pengeroyok itu berpakaian serba hitam dengan kepala tertutup serta
mulut dan hidung tertutup pula dengan sebuah kain berwarna hitam sehingga yang
terlihat hanyalah dua bola mata yang bersinar-sinar.
"Ciiaat....!"
"Ha... ha... ha... percuma seorang diri menantang Lalawa Hideung!". Teriak
mereka sambil tertawa sinis.
"Ha...ha...ha telah kami katakan percuma!" Bentak salah seorang sambil bersalto
ke udara yang di ikuti oleh temannya.
Parmin tiba-tiba menjadi
tercengang, ketika dua orang yang berpakaian serba hitam itu membuat gerakkan
jungkir balik di udara dan hinggap dengan ke dua kaki menempel di atas dahan
pohon sehingga kepala mereka menjuntai ke bawah, meninggalkan musuhnya di bawah
yang tercengang dan menahan serangannya.
"Beruntung sekali nyawa tikusmu pantang kucabut hari ini!. Kami sedang malas
membunuh orang!", ujar salah seorang dari mereka dengan nada mengejek.
"Turun kalian!!. Aku tak gentar
menghadapi Lalawa Hideung!!. Jangan kira aku menjadi takut menghadapi kalian!!.
Ayo turun jika kalian benar-benar bajingan jantan!!". Sahutnya dengan suara
lantang penuh dendam.
"Sampai bertemu lagi tikus busuk!".
Teriak kawanan itu lalu mereka membuat gerakkan melompat dan bersalto dari dahan
ke dahan dengan cepat, kemudian kedua sosok tubuh itu lenyap entah kemana.
"Manusia-manusia iblis yang keji!. Golokku harus di lumuri darah mereka sebelum
aku mati!". Gerutunya dengan gigi bergetak menahan amarah.
Parmin terus memperhatikan dari
balik sebuah batu besar yang tak jauh dari orang tersebut berada. Orang itu
berwajah bulat dengan dagu panjang yang di tumbuhi oleh bulu-bulu halus dan
kumis tebal tumbuh tidak terurus, bernama Sundata.
Ia segera meninggalkan tempat itu dengan langkah bergegas. Sementara itu Parmin
dengan ilmu berjalan di atas pematang basah mengikuti langkah Sundata kemana ia
pergi. Setelah cukup lama berjalan di
suatu dataran di celah bukit, Parmin menghentikan langkahnya. Parmin
memperhatikannya dari balik sebatang pohon yang tidak jauh dari Sundata.
"Oh... dia berziarah!"
"Makam siapakah gerangan"!". Tanya Parmin dalam hati ambil menghela napas.
Sundata dengan tapakur bersimpuh di sebuah gundukkan tanah bernisan yang
terlindung di bawah sebuah pohon yang rindang.
"Isteriku...., empat tahun sudah kau terbaring di sini!. Luka di hati suamimu
tak kan sembuh, jika kematianmu tidak ku balaskan. Tapi percayalah!, aku akan
terus menuntut ilmu untuk menumpas gerombolan Lalawa Hideung!". Sundata
berbicara sendiri dengan linangan air mata membasahi pipinya, sementara Parmin
terus mendengarkannya.
"Lalawa Hideung keparat!!. Sudah berapa nyawa direnggutnya!. Sudah berapa banyak
harta di rampok!. Sudah berapa banyak kesucian wanita yang mereka rusakkan!.
Keji!, bangsat!, biadab...!!".
Umpat Sundata dengan suara keras.
Mendengar kata-kata itu Parmin
mengepalkan tangannya tanda bahwa naluri kependekarannya tidak terima. Lalu
dekati orang tersebut. "Aku ingin sekali membantu anda, pendekar!". Sapa Parmin
pelan. "Oh., siapakah anda!". Sentak Sundata sambil berdiri penuh selidik.
"Namaku Parmin dan orang menyebutku Parmin!," jawab Parmin dengan pandangan mata
memberikan rasa simpati.
Ketika Sundata mendengar Parmin
menyebutkan nama julukannya, ia menjadi terkejut dan di wajahnya terbayang rona
cerah. "Oh... andakah pendekar dari gunung Sembung itu"! Oh... Tuhan!, nama anda telah
termashur sampai ke tanah Pasundan ini!", sergah Sundata gembira, lalu ia
memperkenalkan dirinya.
"Bisakah anda ceritakan tentang Lalawa Hideung?". Pinta Parmin kepada teman
barunya itu yang di jawab dengan anggukkan kepala.
"Lalawa Hideung adalah gerombolan perampok yang ganas dan kejam! Mereka adalah
momok bagi rakyat daerah Kuningan ini. Gerombolan garong itu terdiri dari orang-
orang yang mempunyai kepandaian silat yang tinggi!. Ilmu mereka yang paling
terkenal adalah 'Ilmu keseimbangan tubuh dan pernapasan' Mereka bisa berjalan
dengan kaki menempel di atas, karena memiliki ilmu itu! Anggota mereka tersebar
luas di pelosok daerah sebagai rakyat biasa. Itulah salah satu kesulitan untuk
memberantas mereka! Kita hanya bisa mengenal mereka pada saat mengenakan pakaian
seragam yang serba hitam, lengkap dengan tutup kepala dan cadar. Banyak sekali
pendekar-pendekar yang hendak menuntut balas, tetapi mereka tak mengetahui di
mana adanya gerombolan
itu!" cerita Sundata bersemangat dan Parmin mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Terima kasih, saudara pendekar!".
Ujar Parmin. Ia meneruskan kata-katanya.
"Nah... jalan satu-satunya adalah anda harus bersatu dengan para pendekar yang
akan untuk mengadakan pembalasan!, anda ku percayakan untuk mengumpulkan mereka,
Sundata!".
"Apa pun akan ku tempuh, dan kami tentu sangat membutuhkan saran-saran anda,
pendekar Gunung Sembung," jawab Sundata penuh semangat.
"Aku berjanji membantu anda sekalian dengan segala daya dan kemampuan yang ada
padaku!, Insya Allah!... Nah...
sampai bertemu lagi, pendekar!," ucap Parmin memberi semangat kepada Sundata,
lalu pergi dari tempat itu.
"Oh., besar terima kasihku, pendekar!. Semoga Tuhan bersama kita,"
ujar Sundata gembira sambil mengacungkan tangan. Ia pun berlalu untuk memulai
tugas yang dibebankan Parmin. Mereka berpisah setelah merencanakan suatu tempat
sebagai pertemuan mereka.
Hari telah gelap, malam menye-
lubungi daerah pegunungan dan seluruh belahan bumi. Udara di sekitar pegunungan
itu terasa dingin dan angin berhembus agak kencang, ketika Parmin sampai di
suatu daerah. "Lihatlah di depan itu Beo!.
Bukankah itu suatu perkampungan, tetapi mengapa begitu sepi". Lihat asap
mengepul, seolah-oleh baru saja terjadi kebakaran", kata Parmin kepada burung
Beo itu sambil terus melangkah memasuki mulut perkampungan.
"Tak salah lagi ini tentu perbuatan Lalawa Hideung," gumam Jaka Sembung pada
dirinya sendiri.
Parmin melihat perkampungan itu
sudah porak poranda dan didepannya terlihat sebuah rumah yang telah terbakar
habis. Setelah beberapa saat ia
menyelusuri kampung itu, ia melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, tumpang
tindih satu dengan yang lainnya dengan luka yang mengerikan.
"Mereka membuat malapetaka di mana-mana," kembali Parmin bergumam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika Parmin memasuki sebuah
rumah, di dalam ia menemukan sesosok tubuh wanita muda dalam keadaan yang sangat
menyedihkan. Wanita itu tergolek disebuah balai-balai yang ambruk. Semua
perabotan yang ada di ruangan itu porak poranda. Wanita muda yang malang itu
mati tanpa selembar benang pun melekat di tubuhnya. Darah keluar dari dadanya
yang tertusuk sebilah golok yang masih
tertancap. Dari celah pahanya yang mulus itu terlihat lelehan darah. Darah
seorang perawan yang baru saja direnggut dengan kejam.
"Nasib sama yang juga di alami oleh istri Sundata yang kujumpai tadi sore,"
desah Parmin menarik napas.
Jaka Sembung mencari-cari kalau ada kain yang bisa di gunakan untuk menutupi
tubuh wanita muda itu.
Matanya segera menemukan apa yang diinginkan.
Baru saja tangannya menjulur hendak menjangkau selembar kain rombeng yang ia
ketemukan, tiba-tiba indra keenamnya memperingatkan adanya sesuatu yang datang
dari arah belakang.
Secepat kilat Jaka Sembung
miringkan tubuhnya sedikit dan loloslah senjata gelap yang berdesing mengancam-
nya. Senjata itu menancap pada dinding bilik yang berada jauh dari sampingnya.
Belum hilang rasa kagetnya, kembali Parmin harus menghindar dengan menggerakkan
tongkat besi beraninya yang di putar untuk melindungi tubuh dari serangan-
serangan senjata gelap berupa anak panah yang di lepaskan secara beruntun dan
bertubi-tubi mengarah ke tubuhnya.
Beberapa anak panah patah dua
terkena sabetan tongkat Parmin.
Yang lain berterbangan ke segala penjuru, tak mampu menembus pertahanan Jaka
Sembung di balik putaran tongkat yang laksana kipas raksasa melindungi tubuhnya.
Parmin merasa tak bisa bergerak
bebas dalam ruangan sempit itu, oleh karena itu bergerak cepat. Dengan sebuah
loncatan tubuhnya menjebol dinding bilik yang kini sudah mulai berkobar dimakan
api. "Ciaaaa.....tt!" teriak Parmin keras sambil menggerahkan tenaga dalamnya untuk
membuyarkan perhatian para penyerang gelap itu.
Brus!. Tubuh Parmin tersembul ke luar dan berguling-guling di tanah lalu segera berdiri
memasang kuda-kuda siap siaga dengan tongkat besi berani menyilang di depan
tubuhnya. "Nah... akhirnya tikus itu keluar juga!"
"Inilah yang aku harapkan.......
kepung!!" ujar salah seorang penyerang gelap itu.
Mereka dengan cepat mengepung
Parmin yang tegak siap-siaga di tengah halaman, dengan sorot mata tajam
mengawasi para pengepung yang berpakaian serba hitam dengan tertutup kepala
serta cadar berwarna hitam pula.
Mereka berjumlah dua puluh orang dengan masing-masing memegang golok yang tajam
dan mengkilap. Mata mereka liar dan nyalang dengan dengus napas ingin membunuh.
"Ha.... ha... ha... Inikah tampang Jaka Sembung yang kesohor itu"! Mari kita
cincang, kawan-kawan!!"
"Kalau tidak dibikin mati, ia akan menjadi kerikil tajam bagi kita!"
"Ayo kawan-kawan, sikaaaaa...tt,"
teriak yang lain memberi komando kepada kawan-kawannya.
"Ciaaaaaaa.....tt!!" Suara mereka serentak memecahkan suasana yang sunyi di
tempat itu. Mereka bergerak menyerang Parmin secara bersamaan dengan golok
terhunus mengarah tubuh Parmin dari kaki hingga ke leher.
Parmin dengan siaga penuh menanti datangnya senjata mereka sampai pada jarak
yang sudah ia perhitungkan.
Begitu senjata-senjata mereka tiba, dengan gerak ilmu tongkat yang dinamakan
"Tongkat Penahan Ombak Menentang Badai"
golok-golok lawan terlepas dari genggaman masing-masing.
"Haaiiiii....ttt" teriak Parmin keras mengerahkan tenaga dalamnya dengan
memutarkan tongkatnya lebih cepat.
Tubuhnya melejit bersalto di udara dan mendarat tanpa mengeluarkan suara di atas
balok bubungan sebuah rumah.
Para pengeroyok itu tercengang
sejenak melihat tubuh Jaka Sembung berkelebat begitu cepat, namun setelah jelas
Parmin berdiri di atas atap, mereka segera mengejarnya ke tempat itu. Mereka
ikut bersalto ke udara dan hinggap di atas atap rumah, lalu kembali mengepung
Parmin. "Ha.... ha... ha...!" Kau kira kami tidak dapat mengejarmu Jaka Sembung"!.
Lalawa Hideung punya seribu mata tersebar di segala pelosok!".
Terjadilah kejar-mengejar yang
tampak menggagumkan di atas atap-atap rumah.
Gerak-gerak mereka sangat cepat
sehingga yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan dan sinar golok yang membentuk
gulungan-gulungan putih menghimpit tubuh Parmin.
Sesuai dengan namanya, gerombolan Lalawa Hideung ini persis seperti kelelawar
yang berterbangan dengan gesitnya. Gerakan mereka sulit untuk diduga oleh
Parmin. Kejar-mengejar itu terus ber-
langsung dari atap ke atap yang lain dengan cepatnya. Parmin terus berusaha
untuk mengimbangi serangan-serangan itu.
Sudah puluhan jurus Parmin mengeluarkan kepandaiannya, namun belum juga dapat
menjatuhkan mereka.
"Mereka ternyata jago-jago silat yang tangguh dan cekatan!" gumam Parmin dalam
hati sambil membuat gerakan salto menghindari serangan mereka dan turun dari
atas atap. Baru saja Parmin menginjakkan kaki kembali, dengan cepat para pengeroyok itu
sudah menghadang di hadapannya. Ia kembali terkepung.
Keringat telah membasahi pakaian Jaka Sembung, namun para pengeroyok itu seakan-
akan bertambah banyak saja. Parmin merasa bahwa kemampuannya belum dapat
menanggulangi mereka untuk saat ini.
Ia segera mengambil keputusan.
Dengan gerakan yang sangat cepat, tubuhnya berkelebat menerobos kepungan itu
disusul dengan gerak salto ke udara untuk menghindar serangan gelap berupa
senjata rahasia yang mereka lontarkan.
"Aku terpaksa melarikan diri!
Perlawananku akan percuma saja." desah Parmin menarik napas sambil menangkis
senjata rahasia yang datang bertubi-tubi kearahnya dengan memutar-mutar tongkat
besi beraninya.
"Ciiaaaa...t!" teriak Parmin sambil melompat ke atap sebuah rumah.
Tap! tap! tap! Beberapa senjata rahasia melekat di tongkat Jaka Sembung yang segera
menghilang di balik semak belukar di belakang rumah tersebut.
"Hah!, tongkatnya terbuat dari besi berani!"
"Kurangajar! kadal buduk!".
"Hmm menghilang kemana tikus itu?"
"Cepat betul! Ayo teman-teman, lekas cari!" seseorang dari mereka bersuara
menyadarkan mereka dari ketersimaannya.
Baru saja mereka hendak bergerak mencari, tiba-tiba terdengar suara di kejauhan
sana. "Ha... ha... ha..,! Aku di sini, kawan! Kejarlah aku!" suara itu keras menggema.
"He! Dia sembunyi di balik semak-semak itu!"
"Kepung! Kejar. Jangan sampai lolos!" teriak yang lain yang diikuti oleh teman-
temannya yang segera mengejar ke arah suara itu.
Mereka berlompatan saling
mendahului dan berlari mengejar suara yang terdengar semakin jauh menghindari
mereka. "Ha....ha....ha.....ha...!" Kalian tidak akan sanggup menyusulku!" Suara itu
kembali terdengar menggema.
Gerombolan Lalawa Hideung
mempercepat lari mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejarnya.
Sementara itu di balik semak-semak di belakang rumah itu terlihat Jaka Sembung
Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri keheran-heranan melihat gerombolan Lalawa Hideung berlari meninggalkan
dirinya. Parmin segera sadar apa yang telah terjadi. Kiranya suara yang bergema itu tak
lain adalah ulah si burung Beo yang cerdik.
"Ha... ha... ha... ha! Kalian adalah kucing-kucing tolol!"
Burung Beo itu terus mengejek
orang-orang gerombolan Lalawa Hideung yang mengejarnya.
Selanjutnya burung yang cerdik itu terbang sampai melewati tebing yang curam dan
menghilang di balik bukit.
"Ha... ha... ha... ha! Pendekar Gunung Sembung dapat lari secepat angin.
Lalawa Hideung bukan apa-apa bagi pendekar Gunung Sembung!".
Suara burung Beo itu terdengar
mengolok-olok dari sebuah tempat yang tinggi dan sangat jauh dari jangkauan
mereka. "Hh... hh... hh.. Bukan main cepatnya dia berlari!"
"Lihatlah!. Ia sudah melewati tebing sana. Melewati jurang dengan cepatnya"
keluh mereka. Pengejaran mereka terhenti sampai di bibir tebing curam itu.
"Stop! Berhenti!" salah seorang berteriak.
"Betul-betul hebat pendekar gembel itu!" gerutu mereka dengan kagum.
"Kita harus segera lapor kepada Pak Ketua!" ujar yang lainnya.
"Hmm... saudara-saudara! Kita semua menjadi pecundang, sungguh memalukan!"
kata mereka dengan bersungut-sungut.
Mereka lalu kembali ke sarangnya.
Sementara itu Parmin masih berdiri tenang menantikan si burung Beo. Selang
beberapa saat lamanya terlihatlah burung itu terbang mendekat ke arah Parmin dan
hinggap di bahu sebelah kirinya dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa.
"Ha...ha...ha...! Kau sungguh cerdik, terima kasih Beo," ucap Parmin dengan
gembira. Tangannya mengusap bulu-bulu burung itu dengan bangga.
"Kita harus mengurus jenazah orang-orang kampung ini dulu, Beo! Setelah itu baru
kita bisa beristirahat" ujar Parmin.
Malam pun merambat terus. Di sisi sungai itu tumbuh pohon-pohon serta batu-batu
yang menonjol. Sungai itu cukup dalam dengan ikan-ikannya yang hilir mudik di
sela bebatuan yang ada di dasarnya.
Udara waktu itu sangat panas. Terik matahari menyengat, menimpa tanah-tanah yang
mulai retak berbongkah-bongkah.
Keringat disekitarnya membanjir. Pada saat itulah mereka merasa bersahabat
dengan air... Air yang segar...
Di tepi sungai terlihat sesosok
manusia sedang jongkok di sebuah mata air. Orang itu berpakaian garis-garis
merah dengan dasar putih. Ikat kepalanya berwarna sama dengan pakaiannya. Di
pinggangnya terselip sebuah golok panjang dengan sarungnya yang berukir.
Tangan kiri orang itu buntung
sebatas siku, sehingga
lengan baju panjangnya melambai-lambai bila tertiup angin. Kain sarungnya diselempangkan di
pundaknya. Kain sarung itu berwarna merah kotak-kotak bergaris hitam.
Celana pangsi panjang sampai
sebatas pergelangan kaki dan tanpa alas kaki melengkapi penampilannya. Orang itu
lalu membersihkan mukanya dengan air itu serta meneguknya.
"Ahh... segar sekali! Ingin rasanya aku mandi di sini," gumamnya sambil
merasakan tenggorokannya dingin setelah meneguk air itu.
Ketika sedang asyik menikmati
tegukan demi tegukan,
tiba-tiba ia tersentak karena ada sesuatu yang menyangkut di belakang tubuhnya.
"Haah...?" Sentaknya kaget sambil memalingkan kepalanya ke belakang, ternyata
kainnya telah tersangkut oleh
suatu benda. "Oh,.... maaf saudara! Aku keliru melempar tali kailku ini!" Suara itu halus
terdengar. "Maafkanlah aku!" Aku betul-betul tidak sengaja" ujarnya sopan. Ia turun dari
tempat di mana ia sedang memancing, di atas sebuah batu besar yang berada di
belakang orang tersebut.
"Ahh, tak mengapa. Tetapi siapakah anda?" Ia bertanya dengan nada suara yang
ramah. Orang yang sedang memancing
tersebut memakai celana dan baju berwarna hijau-hijau dengan kepala dibungkus
kain berwarna hijau membentuk semacam sorban sehingga rambutnya tidak terlihat
selembar pun. Kulitnya halus,
putih, bersih. Bentuk wajahnya bulat dengan bibir yang mungil dan hidung mancung. Tatapan
matanya sahdu dengan bulu mata yang lentik serta alis mata hitam membentuk bulan
sabit. Model bajunya berkerah membungkus lehernya yang jenjang, dengan kancing
berwarna hijau tua serta bajunya berkancing berderet ke bawah sampai pinggul.
Lengan bajunya dilipat sedikit sehingga terlihat jari-jari tangannya yang kecil
dan telapak tangannya halus.
Ia memakai celana pangsi panjang sebatas mata kaki serta beralas terompah
kulit berwarna hijau muda pula. Dengan langkah cekatan ia hampiri orang yang
terkena kailnya.
Kini mereka sudah berhadapan muka dan pandangan mata mereka bertemu sejenak.
"Hmm... aku hanya seorang kelana tanpa tujuan!. Aku menghabiskan masa muda dalam
perjalanan," jawabnya pelahan.
"Kau halus sekali! Sepantasnya kau adalah anak priyayi yang tinggal di gedung
mewah," ujar si Lengan Tunggal memuji teman barunya itu.
"Ah... aku cuma orang biasa. Rakyat jelata. Namaku Tirta! Rupanya anda pun
seorang pengembara
juga," jawabnya
merendah. "Yah... beginilah. Aku baru datang Desa apakah ini namanya?" tanya Lengan
Tunggal. "Desa Kalimanggis" jawabnya Tirta singkat.
"Hm... saudara. Karena kita sama-sama pengembara senang sekali jika kita menjadi
sahabat. Aku sudah hidup sebatang kara!" Ujar Tirta dengan sorot mata sayu.
"Aku sangat senang mendengar kata-kata itu!" ujar Lengan Tunggal dengan wajah
berseri. Mereka terlihat amat akrab walau baru saja bertemu beberapa menit. Mereka lalu
melangkah naik dari tepi sungai itu.
Di sebuah batang pohon besar yang sudah tumbang, mereka kemudian duduk
berdampingan. Si Lengan Tunggal
menyalakan api dari ranting-ranting kering yang sudah terkumpul, sementara itu
Tirta sedang mempersiapkan ikan hasil tangkapannya.
Kedua kenalan baru
itu semakin akrab dan kini mereka sudah terlihat kembali dalam percakapan sambil
menantikan ikan bakar itu masak.
Tirta membalik-balik ikan bakar, sementara Si Lengan Tunggal menambah ranting
kayu kering supaya apinya tidak mati. Bau ikan panggang telah tercium membuat
perut menjadi lapar ingin cepat-cepat diisi.
"Inilah hasil kerjaku sejak pagi.
Lumayan buat ganjal perut" ujar Tirta sambil tersenyum dan mengambil seekor ikan
bakar yang sudah matang.
"Akan lebih enak lagi jika pakai garam," sela Si Lengan Tunggal dengan segera
dan mengambil seekor ikan bakar.
"Hmm... Mari kita mulai pesta gembel ini! Kuharap anda bisa makan ikan tanpa
nasi, soalnya tempat ini jauh dari warung" ujar Tirta mengingatkan temannya
kalau-kalau tidak bisa makan tanpa pakai nasi.
Tak menjawab Si Lengan Tunggal lalu mencicipi ikan bakar itu dengan penuh
selera diikuti oleh lirikan mata Tirta yang diam-diam memperhatikannya.
"Oh.. Ya!, anda lupa menyebutkan nama anda," tegur Tirta lembut dan meneruskan
makan ikannya sambil menatap wajah temannya.
"Namaku Umang! Kampung halamanku jauh di Selatan, yaitu Desa Cibulan. Ayah Ibuku
serta kakak perempuanku mati dibunuh oleh Lalawa Hideung," jawab Umang dengan
nada ditekan pada saat menyebutkan nama gerombolan itu.
"Ha! Lalawa Hideung" Keparat itu lagi!" Sentak Tirta agak terkejut.
Umang kemudian menceritakan semua kejadian-kejadian yang menimpa
kampungnya, dirinya dan keluarganya.
Ceritanya sangat panjang. Itu terjadi ketika aku berumur enam belas tahun!"
Umang mulai bercerita.
"Malam itu gerombolan Lalawa Hideung merampok dan membakar Desa kami, mereka
sangat ganas dan kejam, sehingga siapa saja yang melawan pasti dihabisi
nyawanya. Harta benda kami dirampas hingga habis tak tersisa. Keluarga kami pun
tidak luput dari malapetaka itu.
Ayahku berusaha melawan untuk menyelamatkan kakak perempuanku yang hendak mereka
perkosa, tetapi setan-setan laknat itu lebih cepat bergerak. Dengan sekali
sabetan saja leher ayahku hampir putus
dan mati. Ibuku menjerit-jerit kalap begitu melihat ayahku mati terkapar.
Ibuku berusaha menerjang orang yang membunuh ayahku, namun kembali perampok itu
menghabisi nyawa ibuku dengan sebuah golok yang menebus dadanya. Sementara itu
adikku berusaha melepaskan dirinya dari pelukan setan laknat itu"
"Ibu! Ayah," ratapnya mengiba sambil meronta-ronta.
"Oh... Tidak!" teriakku menjerit keras melihat kejadian itu. Aku menjadi kalap
dan nekat. Dengan golok ayahku, kuserang iblis laknat yang sedang memperkosa
kakak perempuanku itu
"Kubunuh kau, setan jahanam!!"
Tetapi di luar dugaanku tubuh
bajingan itu melesat begitu gesitnya menghindari seranganku, dibarengi sebuah
kilatan putih menyambar tanganku dan sekejap mata aku melihat benda melayang
berlumuran darah... yang ternyata adalah tanganku!.
Aku menjerit kesakitan sambil
mendekap tanganku yang tinggal sebatas siku dengan darah terus mengucur tidak
henti-henti. Aku tak kuat menahan sakit dan
kemudian tak sadarkan diri. Entah mengapa bajingan-bajingan itu tidak menghabisi
nyawaku sekalian.
Setelah aku sadar, keadaan sudah
sunyi sepi. Kudapatkan kakak perempuanku sudah tak bernyawa dengan keadaan
menyedihkan tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.
Kemudian aku ditolong oleh mereka yang masih hidup. Aku dirawat sampai sembuh,
tetapi apa gunanya hidup ini setelah kehilangan segala-galanya.
Kesedihanku kian hari kian menjadi, membeku menjadi segumpal dendam....
dendam yang membara sampai saat ini setelah lukaku sembuh, aku melatih tanganku
yang sebelah dengan tekun sampai bertahun-tahun lamanya, dan aku bersumpah di
depan kuburan keluargaku akan membalas dendam pati ini sampai kapan dan di mana
pun bisa kutemukan gerombolan Lalawa Hideung laknat itu.
"Ibu, ayah, kakak, aku minta diri untuk pergi menyelusuri jejak Lalawa Hideung
dan aku berjanji untuk menumpas mereka!".
Aku terus mengembara mencari
komplotan Lalawa Hideung hingga sampai di sini dan bertemu engkau, Tirta," kata
Umang mengakhiri ceritanya.
"Aku turut bela sungkawa atas kemalanganmu, Umang. Anda senasib dengan diriku!
Kedua orang tuaku juga tewas, karena keganasan mereka! Itulah sebabnya aku
berkelana" ujar Tirta dengan nada sedih. Mereka berdua terdiam sejenak dan
menghabiskan ikan bakar masing-masing.
"Kukira akan sia-sia saja jika kita seorang diri melawan gerombolan iblis itu.
Selain mereka merupakan jago-jago silat yang hebat, juga kita tak bisa mengenal
mereka satu persatu. Kita tidak bisa mengenali musuh kita!, itulah susahnya!"
"Gerombolan itu tak pernah muncul di waktu siang. Di waktu malam hari kita pun
belum tahu kapan mereka muncul dan di kampung mana!. Mereka benar-benar seperti
hantu bayangan! Di siang hari mereka tersebar di mana-mana menjadi orang biasa.
Kita tak bisa sembarangan bicara mengenai mereka, karena mereka berada di
sekitar kita" ujar Tirta mengingatkan Umang.
Sementara mereka berdua sedang
asyik bercakap-cakap, di balik sebatang pohon besar di belakang mereka, ada
seorang dara sedang mengintai. Percakapan mereka itu dapat didengar dengan jelas
oleh dara itu. "Hmm... mereka sedang mempercakap-kan Lalawa Hideung. Aku akan ikuti kemana
mereka pergi" gumam dara itu pada dirinya sendiri.
"Umang... bagaimana jika kita berkawan terus sampai cita-cita kita tercapai?"
ujar Tirta dengan sorot mata penuh arti. "Maksudmu, kita menjadi dua
serangkai?" tanya Umang, Si Lengan Tunggal.
"Oh, itu lebih baik!" Lanjutnya gembira.
"Ternyata anda lebih banyak pengetahuan tentang musuh kita, sedangkan aku buta
sama sekali. Bantuan anda akan sangat berguna untukku," ujar Umang.
"Untuk sementara ini baiklah kita menetap di desa ini. Desa Kalimanggis adalah
desa orang-orang petani kaya tentu suatu saat akan jadi sasaran gerombolan
Lalawa Hideung! Di pinggir desa ini ada sebuah pondok bekas lumbung padi yang
sudah tidak terpakai!. Kita bisa tinggal berdua, untuk cari makan mudah sekali
di sini asal kita mau kerja," ucap Tirta pasti. Tidak terasa oleh mereka yang
sedang asyik bercakap-cakap dengan diselingi tawa ria, Matahari hampir memasuki
peraduannya di ufuk barat.
Mereka pun lalu beranjak mening-
galkan tempat itu menuju suatu tempat yang dikatakan oleh Tirta. Sementara itu
si dara yang mengintai Tirta dan Umang terus membuntuti dengan mengendap-endap.
"Tirta... anda begitu cerdik dalam memecahkan sesuatu," ujar Umang di tengah
perjalanan. "Aku sampai di sini seminggu yang lalu. Seminggu bagiku sudah cukup untuk
mempelajari suasana," jawab Tirta tegas
dan pasti. Mereka berdua terus melangkah
dengan santai dan penuh keakraban. Di lain pihak, si dara mengikuti mereka
dengan langkah teratur tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dara manis yang terus mengikuti
Tirta dan Umang itu bernama Mirah.
Rambutnya panjang sebatas pinggul, di kepang dua dengan pangkal masing-masing
diikat pita berwarna putih.
Bola matanya bundar dengan bulu
mata halus lentik dan alis mata tebal tersusun rapi terawat serta hidungnya
mancung dengan bibir yang tipis seperti dioles pemerah bibir serta dagu yang
panjang dengan gigi-gigi yang tersusun rapi dan leher jenjang berkulit sawo
matang. Mirah memakai baju panjang ketat sehingga pinggangnya terlihat ramping.
Celana panjang pun ketat, memperlihatkan betisnya berbentuk bunting padi dengan
alas kaki sandal kulit yang talinya dililitkan sampai batas betis.
Siang itu matahari masih terik
menggigit ubun-ubun. Di pinggir Desa Kalimanggis terbentang pematang-pematang
sawah dengan padinya yang sedang menguning.
Desa Kalimanggis memang terkenal dengan kesuburan tanahnya, keadaannya
cukup makmur. Di pinggir desa Kalimanggis di
antara pematang sawah terlihat seseorang sedang memasuki desa itu.
Orang itu memakai tudung untuk
menghindari sengatan sinar matahari pada wajahnya. Ia berjalan dengan tenang.
Pandangannya jauh ke depan menatap tajam dengan sorot mata memendam dendam.
Tangan kanan orang bertudung
tersebut memegang sebuah tongkat yang terbuat dari kayu jati dengan pangkal
tongkat yang di buat bercagak. Tongkat itu berfungsi sebagai penyangga tubuhnya
serta penolong kalau ia berjalan karena kaki yang sebelah kanannya tidak
sempurna lagi, kakinya telah buntung sebatas lutut.
Baju dan celana pangsinya sudah
agak lusuh. Kain sarungnya dibiarkan tersilang di dadanya sehingga membungkus
sebagian dari tubuhnya.
Si kaki Tunggal sudah lama sekali menempuh perjalanan. Tudungnyapun telah
menjadi lekang. Kumis serta jenggotnya di biarkan tumbuh tidak terurus,
penampilannya sudah seperti seorang gembel. Ia terus melangkahkan kakinya di
pematang sawah dengan bantuan tongkat tersebut.
"Kemana pun sampai ke ujung bumi akan kutempuh! Kemana angin bertiup, itulah
arah perjalananku! Di mana
persembunyian setan-setan laknat itu, suatu saat pasti ketemukan!!" gumam si
Kaki Tunggal pada dirinya sendiri dengan gigi gemeretak.
Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah melewati pematang sawah, ia tiba di sebuah dataran dengan rumput ilalang
setinggi pinggang. Si Kaki Tunggal melihat sekelompok capung yang sedang terbang
berputar-putar, ia lalu menghampiri capung-capung itu.
"Hm... lihatlah capung-capung yang berterbangan di atas huma itu," gumam si Kaki
Tunggal seperti kepada seseorang.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak,
bertumpu di atas sebelah kaki tunggalnya.
Set! set!. Beberapa kilatan cahaya putih
menyambar di atas kepalanya. Beberapa ekor capung gugur di atas rumput dengan
badan masing-masing terpotong menjadi dua bagian.
Kemudian di balik tudung usang itu terlihat mata yang berapi-api penuh dendam
memandangi bangkai capung yang bertebaran.
"Ha...ha...ha...ha! Inilah nasib Lalawa Hideung keparat itu pada suatu saat!",
desisnya geram.
Kiranya si Kaki Tunggal membabat capung-capung itu dengan tongkat yang berisi
sebilah pedang panjang, runcing dan mengkilap, terbungkus sarung, terbuat
dari kayu jati yang berfungsi sebagai tongkat. Si kaki Tunggal meneruskan
perjalanannya memasuki desa. Matahari pun mulai membuat bayangan-bayangan
memanjang. Malam telah menyelimuti desa
Kalimanggis yang subur makmur itu. Bulan bersinar redup, suasana semakin
mencekam. Desa itu sunyi sepi, penuh oleh
suasana ketakutan. Setiap tarikan nafas penghuninya adalah gambaran dari
kekecutan hati. Siapa tahu"! Malam ini atau besok malam harta benda mereka akan
di rampas oleh momok yang sangat menakut-kan, Lalawa Hideung!.
Di sela-sela bayangan pohon yang memagari kebun liar, menyelinap sesosok tubuh
dengan gerakkan yang gesit. Tidak lama kemudian sosok tubuh itu berhenti
bergerak dan menyelinap di balik sebuah batang pohon besar. Pandangan matanya
tertuju pada sebuah bangunan kecil di depannya. Sosok bayangan tersebut
mendekati bangunan kecil berupa lumbung tua dengan mengendap-ngendap tanpa
bersuara. "Itulah mereka! Sudah tidur apa belum?" coba kuintip," gumam sosok bayangan yang
tak lain adalah Mirah yang terus mengikuti Tirta dan Umang kemana pun mereka
pergi. Mirah kemudian mencari celah dinding lumbung tua itu untuk
melihat keadaan di dalam dengan hati-hati sekali.
Di atas tumpukan jerami tergolek Tirta dan Umang dengan Tirta lelapnya miring.
Posisi tidur dengan alas kepala kedua tangannya, sedangkan Umang telentang
dengan tangannya yang juga dijadikan alas untuk kepalanya. Keadaan di dalam
lumbung padi itu kotor dan bau.
Mendadak Umang terbangun. Ia
bermimpi Tirta berubah jadi perempuan yang cantik dan jatuh cinta kepadanya.
Inderanya yang tajam mengetahui
bahwa Tirta tak bisa tidur, ia mendengar nafas Tirta seperti dengus kuda betina
yang sedang birahi.
"Anda belum tidur, Tirta?" sapa Umang pelan.
"Hmm,... belum!" jawab Tirta lemah.
"Itulah. Apa kataku tadi, anda sepantasnya tinggal di gedung mewah! Di sarang
tikus dan kecoa seperti ini mana bisa anda tidur pulas" Banyak nyamuk lagi!"
ujar Umang sedikit menyindir.
"Napasku sesak, Umang," keluh Tirta. Ia lalu bangun dan duduk sambil berpangku
tangan. "Mungkin anda serang pilek," jawab Umang seenaknya. Saat itu indera Tirta
mengatakan ada sesuatu yang tak beres di sekitarnya. Tangannya lalu mengambil
golok yang berada di sampingnya tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun. Dengan gerakan kilat, di lemparnya golok itu
menuju sebuah sasaran.
"Mampus kaul" bentak Tirta dengan keras
membuat Umang terkejut dan
mengikuti arah lemparan itu. "Siut..."
Tap. Golok panjang itu secepat kilat
melayang menembus dinding papan dan nyaris menembus dada si pengintai.
"Oh!" sentak Mirah sambil melompat menghindar dan berlari menjauhi Lumbung padi
itu. Tirta dan Umang segera berlompatan mengejar bayangan itu.
Selang beberapa saat kemudian Mirah sudah di hadang oleh Tirta dengan sabetan-
sabetan goloknya yang sangat dahsyat.
"Tunggu, saudara! Aku tak bermaksud buruk pada kalian" teriak Mirah sambil
meloncat menghindar.
"Mengapa kau mengintip-ngintip, jika memang tidak bermaksud buruk"!
Pastilah kau mata-mata Lalawa Hideung!"
bentak Tirta geram.
"Bukan! Aku malahan sedang mencari Lalawa Hideung!" jawab Mirah membela diri.
"Bohong!!", suara Tirta keras sambil mengayunkan goloknya yang panjang,
sementara itu Umang menyaksikan saja di
tempat. "Jika anda tak mau mempercayaiku, tak apalah. Sebenarnya aku ingin berkawan
dengan kalian untuk menumpas Lalawa Hideung, tetapi agaknya kalian mencurigai
aku! Sampai berjumpa lagi, kawan!" kata Mirah sambil melompat ke semak belukar
dan menghilang di kegelapan malam.
"Hebat betul ilmunya! Tangkas dan gesit, seharusnya kita menanyai lebih dahulu,
Tirta!" tegur Umang mengingatkan Tirta yang masih penasaran.
"Ah., sebaiknya kita berhati-hati kepada orang yang mengaku-ngaku sebagai kawan!
Siapa tahu dia anggota Lalawa Hideung yang hendak menikam kita dari belakang!"
jawab Tirta dengan nada ditekan dan wajahnya merah seakan-akan memendam rasa
cemburu. "Tapi kukira dia bukan orang Lalawa Hideung! Apakah anda tak salah tebak?"
tanya Umang serius.
"Sudahlah, mari kita beristirahat sambil selalu siap berjaga-jaga dan jangan
sampai kita lengah," jawab Tirta mengingatkan Umang agar berhati-hati.
Mereka kembali menuju tempat semula mereka beristirahat, yaitu bangunan tua
bekas lumbung padi itu.
Matahari pagi memancarkan sinarnya kembali menguap embun dari daun-daun dan
pucuk-pucuk rerumputan sehingga hawa pagi
pun menjadi sejuk.
Saat seperti biasanya para
pendatang makan pagi pada sebuah warung nasi. Di sebuah warung nasi yang berada
di sudut jalan terlihat Tirta dan Umang memasuki warung itu bersama orang-orang
lain yang ingin sarapan. Mereka lalu duduk dan memesan makanan.
"Anda pakai lauk apa, Umang?" tanya Tirta pelan. Umang mengangkat bahu, terserah
apa yang Tirta inginkan.
"Hm... pak, nasi lengko dua.
Minumnya teh saja dua!" ujar Tirta kepada pemilik warung yang diiyakan dengan
anggukan kepala.
"Sambalnya banyakan, pak!" kata Umang cepat.
"Aku tak begitu suka sambal, bisa memendekkan napas!"
"Di pagi dingin seperti ini kita perlu pemanas untuk menjaga tubuh!"
Beberapa saat kemudian pesanan nasi lengko telah berada di hadapan mereka.
Mereka segera menyantapnya.
Di ruangan dalam warung itu
terlihat tiga orang sedang asyik dengan dadu koprok di atas meja. Mata mereka
masih rebekan karena belum cuci muka sama sekali sehabis begadang malamnya.
Wajah mereka beringas dengan
cambang-bauk yang tidak terurus, menambah keangkeran di wajah mereka.
"Sial!, lagi-lagi mata satu!"
gerutu seseorang dari mereka setelah melihat mata dadu yang keluar.
"Ha ha...ha..ha..ha! Mangkanya punya bini tidak usah banyak-banyak, cukup satu
saja. Mari sekarang giliran ku ngoprok!" sela temannya sambil mengejek,
tangannya lalu mengambil dadu itu.
Si codet yang merasa kalah segera membayar semua uang taruhan dengan perasaan
kesal. "Hmm. Nih! Ambil,... ambil!. Duitku ludes semua, tetapi aku masih penasaran jika
belum bisa mengeduk uang kalian sampai tak satu gulden pun bertengger dalam
kantong kalian!" kata si codet penasaran.
"Ha...ha...ha...ha! Hari ini aku menang banyak!" ujar temannya dengan sangat
gembira. Tangannya segera mengeduk uang yang ada di atas meja.
"He, Ujang! Tambahkan lagi tuaknya satu kendi, cepaat!!".
Bentak si codet keras melampiaskan kejengkelannya.
Tidak lama kemudian si pelayan
menyerahkan kendi tuak kepada si codet dengan terbungkuk-bungkuk, dan si codet
segera menenggaknya.
Pada saat itu datang seseorang
menghampiri meja mereka.
Orang yang baru datang itu
mengenakan tudung kepala. Dengan kakinya yang tinggal sebelah ia mendekati
mereka dengan tenang.
"Tak usah gusar dulu kawan!. Aku punya sekantong uang untuk melanjutkan
permainan anda!" ujar si Kaki Tunggal tegas.
Seketika itu ketiga orang yang
sedang asyik berjudi menjadi terkejut mendengar suara dari belakang. Mereka
menoleh ke belakang hampir bersamaan.
"Lihatlah!, aku tak omong kosong!
Sekantong penuh. Boleh anda hitung berapa isinya," lanjut si kaki Tunggal sambil
tangan kirinya memperlihatkan kantong uangnya kepada mereka.
"Dengan syarat apa anda memberikan uang itu kepadaku?" tanya si codet penuh
selidik dengan mata melotot.
"Aku adalah orang yang suka pada hal-hal yang aneh! Lihatlah ke atas pohon
gundul itu!" ujar si Kaki Tunggal dengan jari telunjuk mengarah ke pohon kapuk
randu yang dahan-dahannya gundul di luar kedai itu.
Mereka kemudian keluar mendekati sebuah pohon yang di hinggapi oleh banyak
sekali keluang atau kalong yang sedang tidur, di ikuti pandangan mata Tirta dan
Umang yang sedang makan.
"Tolol!" gumam Tirta dalam hatinya.
"Lihatlah keluang-keluang itu!.
Mereka begitu enaknya mendengkur dengan kaki di atas kepala di bawah. Aku akan
memberikan uang ini cuma-cuma jika anda bisa meniru perbuatan binatang-binatang
itu!" ujar si Kaki tunggal memancing reaksi mereka.
"Jika aku bisa, apakah aku percaya begitu saja bahwa kau mau menyerahkan uang
itu" tanya si codet serius.
"Aku yakin manusia tak bisa berbuat seperti keluang itu. Untuk itulah aku berani
Pendekar Aneh Naga Langit 34 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Perjodohan Busur Kumala 8
MENUMPAS GEROMBOLAN LALAWA
HIDEUNG Karya Djair Warni
Judul Asli Gerombolan Lalawa Hideung Alih Cersi A. Zainuddin Fu'ad
Cetakan pertama 1991
Penerbit SARANA KARYA
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
MENUMPAS GEROMBOLAN
LALAWA HIDEUNG Matahari bersinar cerah menerangi alam raya ini. Sinarnya menembus celah-celah
dedaunan dan memberi kehidupan bagi pohon-pohon yang tumbuh di bawah pohon yang
rindang. Air sungai yang mengalir dari kaki gunung Ciremai yang panjang berliku
di bawah tebing, seperti cacing yang berliuk-liuk mencari makanan.
Pohon-pohon di sekitar lereng
Gunung Ciremai sebelah selatan tumbuh dengan lebatnya. Batu-batuan yang ter-
hampar luas membentuk gunduk-gundukan tersusun indah baik hasil tangan Maha
Pengatur. Rumput ilalang tumbuh dengan suburnya serta kerikil-kerikil berserakan
di sepanjang jalan setapak menuruni lereng gunung.
Di sebuah lereng, di sebelah
selatan gunung Ciremai terlihat sesosok tubuh berjalan menuruni lembah dengan
ringannya. Sekali-sekali sosok tubuh itu melompat-lompat di antara batu-batu
besar dan berlumut.
Sosok tubuh itu tidak lain adalah Parmin Sutawinata, Si Jaka Sembung, murid Ki
Sapu Angin! Dengan pakaian celana pangsi serta baju koko berlengan panjang yang
berwarna coklat muda, serta kain
sarung kuning bergaris coklat hitam, dan tongkat besi berani di tangan kanannya,
itu terus melangkah dengan gesit dan mantap.
Parmin telah memasuki daerah
Pasundan. Seperti di ketahui wilayah karesidenan Cirebon terbagi dalam dua
bahasa. Sebelah utara gunung Ciremai penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan di
sebelah selatan gunung Ciremai berbahasa Sunda.
Parmin kembali harus merayap
menuruni tebing-tebing cadas yang men-julang tinggi dengan dinding-dindingnya
yang licin berlumut serta lereng-lerengnya yang terjal sama dengan apa yang ia
tempuh di sebelah utara gunung Ciremai. Dengan keteguhan hati ia terus melangkah
pasti. Setelah melalui sebuah bukit kecil, Parmin tiba di sebuah dataran luas
yang sangat indah di pandang mata.
Tiba-tiba Parmin menghentikan
langkahnya karena mendengar ada suara yang menyapanya.
"Assalammuallaikum...!". Suara itu datang dari arah belakang.
"Waallaikum salam...!". Sahut Parmin segera sambil menoleh kebelakang.
Namun Parmin menjadi heran dan
bingung setelah melihat tidak ada seorang pun di sekitarnya.
Bola mata Parmin mencari-cari
sumber suara itu, namun tidak ada seorang manusia pun, walau pun Parmin sudah
mengerahkan panca indranya untuk memantau ke segala penjuru.
"Bisakah anda menolongku,
musafir"!". Kembali suara itu terdengar menyapa Parmin yang masih kebingungan.
"Hah...!!". Sentak Parmin dengan heran setelah mengetahui datangnya sumber suara
itu. "Seekor burung beo..."!".
"Mimpikah aku...?". Gumam Parmin dalam hati. Tak habis pikir.
Kiranya yang berbicara kepada
Parmin adalah seekor burung beo yang bertengger di sebuah batu yang berada di
hadapan Parmin. Warna bulunya hitam pekat dengan paruh panjang dan runcing
berwarna kuning. Bola matanya bundar, serta di dekat matanya ada warna kuning
memanjang sampai ke leher. Kepalanya berjambul dengan sepasang kaki yang
berwarna kuning dan kuku-kukunya yang tajam.
"Kukira andalah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan majikan ku! Sudah
bertahun-tahun aku menunggu musafir yang lewat!". Ujar burung Beo yang kemudian
mengepakkan sayapnya terbang rendah menuju sebuah goa yang tidak jauh berada di
lereng, meninggalkan Parmin yang masih melongo penuh tanda tanya.
"Ikutilah aku...!". Kata si Beo sambil terbang.
Parmin tersentak mendengar perintah burung Beo itu, lalu Parmin mengikuti dari
belakang dengan berlari-lari kecil dan melompat-lompat dari batu ke batu yang
lain. Burung Beo itu kemudian memasuki sebuah goa dan bertengger dengan tenangnya.
Parmin yang mengikuti dari belakang berhenti di mulut goa yang keadaannya sunyi
senyap. Parmin segera menyapu pandang dengan sorot mata penuh selidik.
Batu-batu yang menjulur ke bawah dengan ujung runcing memagari mulut goa seperti
tombak berjajar. Parmin melangkah masuk dengan tenang. Hawa di dalam goa sangat
sejuk dengan dinding batu berlumut hijau tipis serta batu-batu kerikil yang
berserakkan di lantai goa, tersusun rapi di antara tonjolan-tonjolan batu yang
menyerupai tombak menyembul dari lantai goa tersebut.
Di sebuah sudut terlihat burung Beo itu bertengger pada sebuah kerangka manusia
yang duduk bersila dengan tangan bersedakap, beralas batu berbentuk bundar yang
membelakangi sebuah rongga dinding berbentuk cungkup, seolah-olah seperti kursi
singgasana lengkap dengan tudung yang melingkupinya.
Burung Beo itu dengan tenang
bertengger di pundak sebelah kanan kerangka manusia yang membisu, seperti batu-
batu yang ada di sekitarnya.
"Silahkan duduk, musafir!.
"Silahkan... jangan sungkan-sungkan!". Ucap si Beo mempersilahkan Parmin yang
masih keheranan melihat burung Beo dapat berbicara secerdik itu, sepertinya ia
sedang berhadapan dengan manusia sebagai tuan rumah yang menyambut dengan
ramahnya. "Benar-benar seekor burung Beo yang sangat langka". Gumam Parmin pada dirinya.
Ia duduk pada sebuah batu yang berada di hadapan kerangka manusia tersebut.
Diam-diam Jaka Sembung memperhatikan kerangka yang duduk seperti direkat oleh
perekat yang tak terlihat sehingga sendi-sendi tulangnya tidak jatuh berantakan.
"Lihatlah kerangka ini!". Ujar burung Beo itu.
"Beliau adalah majikanku dan aku telah bertahun-tahun mengikutinya dengan
setia!. Entah mengapa kerangka ini tetap utuh seperti ada perekatnya aku tidak
tahu!. Beliau meninggal beberapa tahun yang lalu dalam keadaan bersemedi!." Si
Beo menunda sesaat bicaranya.
"Ada beberapa pertanyaan yang beliau belum ketemukan jawabannya semasa
hidup!. Arwahnya tidak akan tenang di alam baka, jika pertanyaan-pertanyaan itu
belum terjawab!. Semua pertanyaan itu selalu kuhafalkan setiap hari, sambil
menunggu kalau-kalau lewat orang yang bisa menjawabnya!".
"Pertanyaan-pertanyaan apakah itu?"
Tanya Parmin serius
"Hmmm......baiklah!".
Lanjut burung cerdik itu.
"Yang pertama apakah agama itu dan apa gunanya"!". Suara beo itu mantap, persis
seperti suara manusia.
Parmin terdiam sebentar untuk
berpikir. "Agama adalah suatu ajaran Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar!".
"Jika begitu, manusia tidak perlu memeluk agama jika misalnya ia bisa melakukan
segala sesuatu dengan benar!".
"Benar...!, yang anda sebutkan itu belum tentu benar, menurut ajaran agama atau
pun penilaian orang secara umum!".
"Terima kasih...!, aku puas dengan jawaban anda!."
"Pertanyaan kedua adalah... Mengapa di dunia ini ada beberapa macam agama yang
berlainan ajarannya, sehingga kadang-kadang manusia berperang karena membela
agama masing-masing!". Ujar burung beo.
Parmin tidak langsung menjawab.
Dalam hatinya ia merasa kagum sekali dengan pertanyaan-pertanyaan yang berat
yang dihafal dengan baik oleh burung beo itu.
"Agama di turunkan Tuhan untuk mengubah sifat buruk manusia menurut jaman dan
nabinya masing-masing sehingga sekarang terdapat berbagai macam agama di dunia
ini!. Adapun hasilnya sangat tergantung pada watak dan kemampuan pemeluknya
masing-masing. Watak dan kemampuan ini tidak selalu sama pada setiap manusia.
Jika manusia berperang karena agama, tidak lain disebabkan karena itu masing-
masing pribadi manusia itu sendiri yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsu,
bersaing dengan mengatas namakan agama masing-masing, karena sesungguhnya agama
mana pun selalu menganjurkan untuk saling menghormati terhadap agama lain. Pada
dasarnya semua agama adalah baik. Semua agama mengakui adanya kekuasaan yang
tertinggi, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja upacara penyembahan atau
ibadahnya berbeda menurut agama masing-masing!".
"Terima kasih!. Pertanyaan yang ketiga, Apakah ibadah itu dan apa gunanya"!".
Parmin menelan ludah, ia tertegun-tegun keheranan melihat kecerdasan burung
Beo ini seakan-akan seekor hewan dari zaman Nabi Sulaiman.
"Ibadah adalah niat dan perbuatan bakti kepada Tuhan menurut yang di wajibkan
oleh setiap agama!. Gunanya adalah untuk membatasi dan mendisiplinkan diri
manusia sehingga ia selalu berada di jalan yang benar, karena dengan ibadah itu
mereka selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta yang memberikan kehidupan
serta memelihara kehidupan ini!".
"Terima kasih. Pertanyaan ke empat; Apakah hubungan Rasul atau nabi terhadap
kitab-kitab Suci yang dianut oleh manusia"!", sambung si Beo. Ia berhenti lagi
sejenak. "Menurut pendapatku, Nabi tidak berbeda dengan pujangga-pujangga yang
menciptakan karangannya, dan karangannya di anut oleh pengikutnya!. Seperti
halnya pujangga-pujangga kita, Mpu Kanwa, Mpu Panuluh atau juga Jayabaya yang
hasil karyanya masih di anut oleh orang-orang!.
Bagaimana pendapat anda"!". Tanya si Burung Beo.
"Itu adalah penafsiran yang sama sekali tak benar! Hubungan antara Nabi dan
Kitab-kitab Suci adalah Mu'jizat!.
Mu'jizat adalah suatu perbuatan yang tidak bisa dilakukan manusia dan ia
melakukannya bukan dengan kemampuannya!
sendiri!. Lain halnya dengan pujangga-
pujangga, mereka menciptakan karyanya dengan pikiran dan daya cipta mereka
sendiri!. Lagi pula karya seorang pujangga tidak bisa di anut sepanjang zaman."
Parmin berhenti sejenak, kemudian menambahkan.
"Ajarannya tidak bisa dikatakan sempurna!".
"Terima kasih!, anda telah membu-kakan pikiran kami yang picik!. Sekarang
pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah wujud Tuhan?"
Ucap burung Beo sambil menatap
Parmin dalam-dalam seakan-akan seorang hakim yang sedang mengadili sang
terdakwa. Parmin kembali menelan ludahnya
kagumnya tidak habis-habisnya menyaksikan kecerdasan burung Beo tersebut.
"Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu bahan perbandingan! Misalnya kita
membuat sebuah kursi, maka sudah jelas bahwa wujud kursi itu tidak sama dengan
kita sendiri!. Dalam hal kesempurnaan, tentu manusia jauh lebih sempurna dari
kursi!." "Sedangkan si kursi itu sendiri jika ia bisa berpikir sekalipun, pasti tak bisa
membayangkan ujud manusia yang menciptakannya!. Begitupun manusia, dia tidak
akan bisa membayangkan wujud Tuhannya. Alam pikiran manusia tidak akan
sampai ke sana walaupun bagi seorang penghayal yang termasyhur sekali pun!.
Tetapi kita bisa mengambil kesimpulan tentang ujud Tuhan!. Manusia lebih
sempurna dari sebuah kursi, maka Tuhan adalah Maha Sempurna jauh lebih sempurna
dari manusia!."
"Maha adalah tidak terbatas, walau bagaimana
pun manusia tak bisa
membayangkan wujud Tuhan sang Pencipta dengan alam pikirannya yang terbatas
ini!". Jawab Parmin menjelaskan panjang lebar. Burung Beo itu kembali
menggerakkan kepalanya manggut-manggut berkali-kali merasa puas dengan jawaban-
jawaban yang diberikan oleh Parmin.
"Terima kasih... terima kasih!, musafir yang budiman!. Semoga tenanglah arwah
beliau di alam baka, sekarang sudah tiba waktunya untuk mengebumikan jasad
beliau!. Musafir yang budiman dengan apa aku bisa membalas budi anda, aku tidak
tahu!. Tetapi aku ingin mengabdikan diri pada anda jika anda sudi menerimaku dan
aku akan ikut ke mana anda pergi!". Ucap si burung Beo sambil terbang
menghampiri Parmin dan bertengger di pundak kiri Parmin.
Setelah mengebumikan kerangka
manusia tersebut, Parmin bersama teman barunya, burung Beo yang cerdik itu,
segera melanjutkan perjalanan.
Parmin kini tidak lagi sendiri ia telah mendapatkan kawan baru, yaitu seekor
burung yang sangat langka di dunia.
Parmin menuruni lembah dan tebing dengan langkah ceria.
Setelah beberapa hari menempuh
perjalanan sampailah Parmin di sebuah tempat yang sangat indah. Di depan mata
Parmin terbentang sebuah telaga dengan airnya yang jernih sehingga dasarnya
terlihat jelas dan ikan-ikan yang beraneka ragam jenisnya dengan warna yang
indah bergerak kian kemari di sela-sela tumbuhan yang ada di dasar telaga.
Di tengah-tengah telaga itu
tersembul beberapa bebatuan yang membentuk patung-patung abstrak. Angin pun
berhembus sepoi-sepoi basah membuat udara di sekitar telaga menjadi sejuk dan
nyaman. Apabila angin datang berhembus menerpa air telaga, maka airnya
bergelombang kecil-kecil dan hilang seketika.
Di sekitar telaga tumbuh pohon-
pohon yang rindang dengan daun-daunnya yang hijau subur beralas rerumputan yang
menghampar bagaikan permadani yang tebal.
Parmin merasa tubuhnya letih dan ingin beristirahat barang sejenak di telaga
itu. Ia lalu mereguk air telaga
yang jernih itu dengan kedua belah tangannya.
"Alhamdulillah...!. Bukan main segarnya!" Ucap Parmin setelah air telaga itu
memasuki tenggorokkannya dan di ikuti oleh burung Beo yang minum dengan
paruhnya. Kemudian Parmin bersandar pada
sebuah batang pohon besar dengan ranting-rantingnya yang menjuntai ke bawah
serta daun-daun yang tumbuh lebat.
Angin tertiup sejuk semilir membuat mata Parmin menjadi berat dengan kedua belah
telapak tangannya sebagai alas kepala, Parmin memejamkan matanya.
"Lebih baik anda tidur!"
"Biarlah aku yang berjaga-jaga".
Tegur si Beo sambil bersiul kecil berirama perlahan-lahan mengiringi Parmin
tidur. Waktu pun terus berlalu dari detik ke detik, matahari pun bergerak menuju ke
arah barat. Ketik Parmin terbangun, hari telah sore. Suasana di sekitar telaga
terasa menjadi begitu romantis.
Tiba-tiba saja Parmin teringat pada kekasihnya Roijah.
"Mengapa anda melamun, pendekar"!"
Tegur si Beo melihat wajah Parmin murung.
"Aku terkenang kampung, halaman!".
Jawab Parmin tersentak.
Kemudian Parmin meniup serulingnya
dan mengalunkan sebuah lagu kiser
"Dermayon", lagu kesayangan Roijah.
Maka lembah yang indah itu kini lebih terasa semakin indah.
"Wajahmu selalu terbayang.
"Bila engkau pergi aku tetap menanti."
"Cintaku padamu tidak akan melayang."
"Aku tetap setia sampai mati."
"Merdu sekali lagu ini!, apa namanya"!".
"Lagu ini biasa di nyanyikan oleh jejaka-jejaka pada waktu malam jaringan di
desa Kandang Haur!. Jaringan itu adalah suatu upacara adat mencari jodoh yang
hanya terdapat di desa Kandang Haur!". Jawab Parmin menerangkan dengan suara
sendu, membayangkan wajah Roijah dengan cubitan-cubitan mesra di pipi dan
belaian pada rambut hitam panjang gadis itu.
Tatapan mata Jaka Sembung
menerawang jauh, tapi lamunannya itu segera tersentak ketika ia dengar celoteh
si Beo.
Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku jadi teringat kekasihku!. Aku patah hati karena kehilangan dia. Dia cemburu
dan mogok makan, kemudian mati!.
Kami bangsa burung Beo memang suka mogok
makan jika mempunyai perasaan tertekan!".
Ujar si Beo dengan kepala menunduk sedih.
"Aku turut berduka cita atas kemalanganmu, Beo!". Ucap Parmin pelan sambil
membayangkan bagaimana kira-kira bila sepasang burung sedang bercinta.
"Biasanya adat bangsa kami, aku harus ikut mati. Tetapi aku tidak mau mati
karena patah hati!. Banyak jalan untuk hidup berguna, walau pun hatiku tetap
setia padanya!". Suara si Beo bergetar mengenang kekasihnya yang telah tiada.
Dua makhluk yang berlainan jenis dengan akrab terlihat pembicaraan dengan
kenangannya masing-masing. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti, ketika
mendengar ada suara yang datang dan berkelebatnya sosok-sosok tubuh.
Tiga buah bayangan berkelebat entah dari mana datangnya dan dengan cepat mata
Parmin menangkap suatu gelagat yang akan mengusik ketenangan di lembah itu.
Parmin melihat pertempuran yang
seru satu lawan dua. Gerakkan-gerakkan mereka begitu gesit, sehingga cuma
bayang-bayang dan kilatan golok saja yang tampak oleh mata orang biasa.
Parmin terus mengikuti dengan
pandangan mata penuh perhatian, tiga bayangan itu terus bergerak dengan cepat
dan gesit. Terlihat kini orang yang dikeroyok dengan nafsu membunuh menyabetkan goloknya
dengan cepat mengarah titik-titik kematian pada tubuh si pengeroyok.
Dua orang pengeroyok itu berpakaian serba hitam dengan kepala tertutup serta
mulut dan hidung tertutup pula dengan sebuah kain berwarna hitam sehingga yang
terlihat hanyalah dua bola mata yang bersinar-sinar.
"Ciiaat....!"
"Ha... ha... ha... percuma seorang diri menantang Lalawa Hideung!". Teriak
mereka sambil tertawa sinis.
"Ha...ha...ha telah kami katakan percuma!" Bentak salah seorang sambil bersalto
ke udara yang di ikuti oleh temannya.
Parmin tiba-tiba menjadi
tercengang, ketika dua orang yang berpakaian serba hitam itu membuat gerakkan
jungkir balik di udara dan hinggap dengan ke dua kaki menempel di atas dahan
pohon sehingga kepala mereka menjuntai ke bawah, meninggalkan musuhnya di bawah
yang tercengang dan menahan serangannya.
"Beruntung sekali nyawa tikusmu pantang kucabut hari ini!. Kami sedang malas
membunuh orang!", ujar salah seorang dari mereka dengan nada mengejek.
"Turun kalian!!. Aku tak gentar
menghadapi Lalawa Hideung!!. Jangan kira aku menjadi takut menghadapi kalian!!.
Ayo turun jika kalian benar-benar bajingan jantan!!". Sahutnya dengan suara
lantang penuh dendam.
"Sampai bertemu lagi tikus busuk!".
Teriak kawanan itu lalu mereka membuat gerakkan melompat dan bersalto dari dahan
ke dahan dengan cepat, kemudian kedua sosok tubuh itu lenyap entah kemana.
"Manusia-manusia iblis yang keji!. Golokku harus di lumuri darah mereka sebelum
aku mati!". Gerutunya dengan gigi bergetak menahan amarah.
Parmin terus memperhatikan dari
balik sebuah batu besar yang tak jauh dari orang tersebut berada. Orang itu
berwajah bulat dengan dagu panjang yang di tumbuhi oleh bulu-bulu halus dan
kumis tebal tumbuh tidak terurus, bernama Sundata.
Ia segera meninggalkan tempat itu dengan langkah bergegas. Sementara itu Parmin
dengan ilmu berjalan di atas pematang basah mengikuti langkah Sundata kemana ia
pergi. Setelah cukup lama berjalan di
suatu dataran di celah bukit, Parmin menghentikan langkahnya. Parmin
memperhatikannya dari balik sebatang pohon yang tidak jauh dari Sundata.
"Oh... dia berziarah!"
"Makam siapakah gerangan"!". Tanya Parmin dalam hati ambil menghela napas.
Sundata dengan tapakur bersimpuh di sebuah gundukkan tanah bernisan yang
terlindung di bawah sebuah pohon yang rindang.
"Isteriku...., empat tahun sudah kau terbaring di sini!. Luka di hati suamimu
tak kan sembuh, jika kematianmu tidak ku balaskan. Tapi percayalah!, aku akan
terus menuntut ilmu untuk menumpas gerombolan Lalawa Hideung!". Sundata
berbicara sendiri dengan linangan air mata membasahi pipinya, sementara Parmin
terus mendengarkannya.
"Lalawa Hideung keparat!!. Sudah berapa nyawa direnggutnya!. Sudah berapa banyak
harta di rampok!. Sudah berapa banyak kesucian wanita yang mereka rusakkan!.
Keji!, bangsat!, biadab...!!".
Umpat Sundata dengan suara keras.
Mendengar kata-kata itu Parmin
mengepalkan tangannya tanda bahwa naluri kependekarannya tidak terima. Lalu
dekati orang tersebut. "Aku ingin sekali membantu anda, pendekar!". Sapa Parmin
pelan. "Oh., siapakah anda!". Sentak Sundata sambil berdiri penuh selidik.
"Namaku Parmin dan orang menyebutku Parmin!," jawab Parmin dengan pandangan mata
memberikan rasa simpati.
Ketika Sundata mendengar Parmin
menyebutkan nama julukannya, ia menjadi terkejut dan di wajahnya terbayang rona
cerah. "Oh... andakah pendekar dari gunung Sembung itu"! Oh... Tuhan!, nama anda telah
termashur sampai ke tanah Pasundan ini!", sergah Sundata gembira, lalu ia
memperkenalkan dirinya.
"Bisakah anda ceritakan tentang Lalawa Hideung?". Pinta Parmin kepada teman
barunya itu yang di jawab dengan anggukkan kepala.
"Lalawa Hideung adalah gerombolan perampok yang ganas dan kejam! Mereka adalah
momok bagi rakyat daerah Kuningan ini. Gerombolan garong itu terdiri dari orang-
orang yang mempunyai kepandaian silat yang tinggi!. Ilmu mereka yang paling
terkenal adalah 'Ilmu keseimbangan tubuh dan pernapasan' Mereka bisa berjalan
dengan kaki menempel di atas, karena memiliki ilmu itu! Anggota mereka tersebar
luas di pelosok daerah sebagai rakyat biasa. Itulah salah satu kesulitan untuk
memberantas mereka! Kita hanya bisa mengenal mereka pada saat mengenakan pakaian
seragam yang serba hitam, lengkap dengan tutup kepala dan cadar. Banyak sekali
pendekar-pendekar yang hendak menuntut balas, tetapi mereka tak mengetahui di
mana adanya gerombolan
itu!" cerita Sundata bersemangat dan Parmin mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Terima kasih, saudara pendekar!".
Ujar Parmin. Ia meneruskan kata-katanya.
"Nah... jalan satu-satunya adalah anda harus bersatu dengan para pendekar yang
akan untuk mengadakan pembalasan!, anda ku percayakan untuk mengumpulkan mereka,
Sundata!".
"Apa pun akan ku tempuh, dan kami tentu sangat membutuhkan saran-saran anda,
pendekar Gunung Sembung," jawab Sundata penuh semangat.
"Aku berjanji membantu anda sekalian dengan segala daya dan kemampuan yang ada
padaku!, Insya Allah!... Nah...
sampai bertemu lagi, pendekar!," ucap Parmin memberi semangat kepada Sundata,
lalu pergi dari tempat itu.
"Oh., besar terima kasihku, pendekar!. Semoga Tuhan bersama kita,"
ujar Sundata gembira sambil mengacungkan tangan. Ia pun berlalu untuk memulai
tugas yang dibebankan Parmin. Mereka berpisah setelah merencanakan suatu tempat
sebagai pertemuan mereka.
Hari telah gelap, malam menye-
lubungi daerah pegunungan dan seluruh belahan bumi. Udara di sekitar pegunungan
itu terasa dingin dan angin berhembus agak kencang, ketika Parmin sampai di
suatu daerah. "Lihatlah di depan itu Beo!.
Bukankah itu suatu perkampungan, tetapi mengapa begitu sepi". Lihat asap
mengepul, seolah-oleh baru saja terjadi kebakaran", kata Parmin kepada burung
Beo itu sambil terus melangkah memasuki mulut perkampungan.
"Tak salah lagi ini tentu perbuatan Lalawa Hideung," gumam Jaka Sembung pada
dirinya sendiri.
Parmin melihat perkampungan itu
sudah porak poranda dan didepannya terlihat sebuah rumah yang telah terbakar
habis. Setelah beberapa saat ia
menyelusuri kampung itu, ia melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, tumpang
tindih satu dengan yang lainnya dengan luka yang mengerikan.
"Mereka membuat malapetaka di mana-mana," kembali Parmin bergumam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika Parmin memasuki sebuah
rumah, di dalam ia menemukan sesosok tubuh wanita muda dalam keadaan yang sangat
menyedihkan. Wanita itu tergolek disebuah balai-balai yang ambruk. Semua
perabotan yang ada di ruangan itu porak poranda. Wanita muda yang malang itu
mati tanpa selembar benang pun melekat di tubuhnya. Darah keluar dari dadanya
yang tertusuk sebilah golok yang masih
tertancap. Dari celah pahanya yang mulus itu terlihat lelehan darah. Darah
seorang perawan yang baru saja direnggut dengan kejam.
"Nasib sama yang juga di alami oleh istri Sundata yang kujumpai tadi sore,"
desah Parmin menarik napas.
Jaka Sembung mencari-cari kalau ada kain yang bisa di gunakan untuk menutupi
tubuh wanita muda itu.
Matanya segera menemukan apa yang diinginkan.
Baru saja tangannya menjulur hendak menjangkau selembar kain rombeng yang ia
ketemukan, tiba-tiba indra keenamnya memperingatkan adanya sesuatu yang datang
dari arah belakang.
Secepat kilat Jaka Sembung
miringkan tubuhnya sedikit dan loloslah senjata gelap yang berdesing mengancam-
nya. Senjata itu menancap pada dinding bilik yang berada jauh dari sampingnya.
Belum hilang rasa kagetnya, kembali Parmin harus menghindar dengan menggerakkan
tongkat besi beraninya yang di putar untuk melindungi tubuh dari serangan-
serangan senjata gelap berupa anak panah yang di lepaskan secara beruntun dan
bertubi-tubi mengarah ke tubuhnya.
Beberapa anak panah patah dua
terkena sabetan tongkat Parmin.
Yang lain berterbangan ke segala penjuru, tak mampu menembus pertahanan Jaka
Sembung di balik putaran tongkat yang laksana kipas raksasa melindungi tubuhnya.
Parmin merasa tak bisa bergerak
bebas dalam ruangan sempit itu, oleh karena itu bergerak cepat. Dengan sebuah
loncatan tubuhnya menjebol dinding bilik yang kini sudah mulai berkobar dimakan
api. "Ciaaaa.....tt!" teriak Parmin keras sambil menggerahkan tenaga dalamnya untuk
membuyarkan perhatian para penyerang gelap itu.
Brus!. Tubuh Parmin tersembul ke luar dan berguling-guling di tanah lalu segera berdiri
memasang kuda-kuda siap siaga dengan tongkat besi berani menyilang di depan
tubuhnya. "Nah... akhirnya tikus itu keluar juga!"
"Inilah yang aku harapkan.......
kepung!!" ujar salah seorang penyerang gelap itu.
Mereka dengan cepat mengepung
Parmin yang tegak siap-siaga di tengah halaman, dengan sorot mata tajam
mengawasi para pengepung yang berpakaian serba hitam dengan tertutup kepala
serta cadar berwarna hitam pula.
Mereka berjumlah dua puluh orang dengan masing-masing memegang golok yang tajam
dan mengkilap. Mata mereka liar dan nyalang dengan dengus napas ingin membunuh.
"Ha.... ha... ha... Inikah tampang Jaka Sembung yang kesohor itu"! Mari kita
cincang, kawan-kawan!!"
"Kalau tidak dibikin mati, ia akan menjadi kerikil tajam bagi kita!"
"Ayo kawan-kawan, sikaaaaa...tt,"
teriak yang lain memberi komando kepada kawan-kawannya.
"Ciaaaaaaa.....tt!!" Suara mereka serentak memecahkan suasana yang sunyi di
tempat itu. Mereka bergerak menyerang Parmin secara bersamaan dengan golok
terhunus mengarah tubuh Parmin dari kaki hingga ke leher.
Parmin dengan siaga penuh menanti datangnya senjata mereka sampai pada jarak
yang sudah ia perhitungkan.
Begitu senjata-senjata mereka tiba, dengan gerak ilmu tongkat yang dinamakan
"Tongkat Penahan Ombak Menentang Badai"
golok-golok lawan terlepas dari genggaman masing-masing.
"Haaiiiii....ttt" teriak Parmin keras mengerahkan tenaga dalamnya dengan
memutarkan tongkatnya lebih cepat.
Tubuhnya melejit bersalto di udara dan mendarat tanpa mengeluarkan suara di atas
balok bubungan sebuah rumah.
Para pengeroyok itu tercengang
sejenak melihat tubuh Jaka Sembung berkelebat begitu cepat, namun setelah jelas
Parmin berdiri di atas atap, mereka segera mengejarnya ke tempat itu. Mereka
ikut bersalto ke udara dan hinggap di atas atap rumah, lalu kembali mengepung
Parmin. "Ha.... ha... ha...!" Kau kira kami tidak dapat mengejarmu Jaka Sembung"!.
Lalawa Hideung punya seribu mata tersebar di segala pelosok!".
Terjadilah kejar-mengejar yang
tampak menggagumkan di atas atap-atap rumah.
Gerak-gerak mereka sangat cepat
sehingga yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan dan sinar golok yang membentuk
gulungan-gulungan putih menghimpit tubuh Parmin.
Sesuai dengan namanya, gerombolan Lalawa Hideung ini persis seperti kelelawar
yang berterbangan dengan gesitnya. Gerakan mereka sulit untuk diduga oleh
Parmin. Kejar-mengejar itu terus ber-
langsung dari atap ke atap yang lain dengan cepatnya. Parmin terus berusaha
untuk mengimbangi serangan-serangan itu.
Sudah puluhan jurus Parmin mengeluarkan kepandaiannya, namun belum juga dapat
menjatuhkan mereka.
"Mereka ternyata jago-jago silat yang tangguh dan cekatan!" gumam Parmin dalam
hati sambil membuat gerakan salto menghindari serangan mereka dan turun dari
atas atap. Baru saja Parmin menginjakkan kaki kembali, dengan cepat para pengeroyok itu
sudah menghadang di hadapannya. Ia kembali terkepung.
Keringat telah membasahi pakaian Jaka Sembung, namun para pengeroyok itu seakan-
akan bertambah banyak saja. Parmin merasa bahwa kemampuannya belum dapat
menanggulangi mereka untuk saat ini.
Ia segera mengambil keputusan.
Dengan gerakan yang sangat cepat, tubuhnya berkelebat menerobos kepungan itu
disusul dengan gerak salto ke udara untuk menghindar serangan gelap berupa
senjata rahasia yang mereka lontarkan.
"Aku terpaksa melarikan diri!
Perlawananku akan percuma saja." desah Parmin menarik napas sambil menangkis
senjata rahasia yang datang bertubi-tubi kearahnya dengan memutar-mutar tongkat
besi beraninya.
"Ciiaaaa...t!" teriak Parmin sambil melompat ke atap sebuah rumah.
Tap! tap! tap! Beberapa senjata rahasia melekat di tongkat Jaka Sembung yang segera
menghilang di balik semak belukar di belakang rumah tersebut.
"Hah!, tongkatnya terbuat dari besi berani!"
"Kurangajar! kadal buduk!".
"Hmm menghilang kemana tikus itu?"
"Cepat betul! Ayo teman-teman, lekas cari!" seseorang dari mereka bersuara
menyadarkan mereka dari ketersimaannya.
Baru saja mereka hendak bergerak mencari, tiba-tiba terdengar suara di kejauhan
sana. "Ha... ha... ha..,! Aku di sini, kawan! Kejarlah aku!" suara itu keras menggema.
"He! Dia sembunyi di balik semak-semak itu!"
"Kepung! Kejar. Jangan sampai lolos!" teriak yang lain yang diikuti oleh teman-
temannya yang segera mengejar ke arah suara itu.
Mereka berlompatan saling
mendahului dan berlari mengejar suara yang terdengar semakin jauh menghindari
mereka. "Ha....ha....ha.....ha...!" Kalian tidak akan sanggup menyusulku!" Suara itu
kembali terdengar menggema.
Gerombolan Lalawa Hideung
mempercepat lari mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejarnya.
Sementara itu di balik semak-semak di belakang rumah itu terlihat Jaka Sembung
Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri keheran-heranan melihat gerombolan Lalawa Hideung berlari meninggalkan
dirinya. Parmin segera sadar apa yang telah terjadi. Kiranya suara yang bergema itu tak
lain adalah ulah si burung Beo yang cerdik.
"Ha... ha... ha... ha! Kalian adalah kucing-kucing tolol!"
Burung Beo itu terus mengejek
orang-orang gerombolan Lalawa Hideung yang mengejarnya.
Selanjutnya burung yang cerdik itu terbang sampai melewati tebing yang curam dan
menghilang di balik bukit.
"Ha... ha... ha... ha! Pendekar Gunung Sembung dapat lari secepat angin.
Lalawa Hideung bukan apa-apa bagi pendekar Gunung Sembung!".
Suara burung Beo itu terdengar
mengolok-olok dari sebuah tempat yang tinggi dan sangat jauh dari jangkauan
mereka. "Hh... hh... hh.. Bukan main cepatnya dia berlari!"
"Lihatlah!. Ia sudah melewati tebing sana. Melewati jurang dengan cepatnya"
keluh mereka. Pengejaran mereka terhenti sampai di bibir tebing curam itu.
"Stop! Berhenti!" salah seorang berteriak.
"Betul-betul hebat pendekar gembel itu!" gerutu mereka dengan kagum.
"Kita harus segera lapor kepada Pak Ketua!" ujar yang lainnya.
"Hmm... saudara-saudara! Kita semua menjadi pecundang, sungguh memalukan!"
kata mereka dengan bersungut-sungut.
Mereka lalu kembali ke sarangnya.
Sementara itu Parmin masih berdiri tenang menantikan si burung Beo. Selang
beberapa saat lamanya terlihatlah burung itu terbang mendekat ke arah Parmin dan
hinggap di bahu sebelah kirinya dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa.
"Ha...ha...ha...! Kau sungguh cerdik, terima kasih Beo," ucap Parmin dengan
gembira. Tangannya mengusap bulu-bulu burung itu dengan bangga.
"Kita harus mengurus jenazah orang-orang kampung ini dulu, Beo! Setelah itu baru
kita bisa beristirahat" ujar Parmin.
Malam pun merambat terus. Di sisi sungai itu tumbuh pohon-pohon serta batu-batu
yang menonjol. Sungai itu cukup dalam dengan ikan-ikannya yang hilir mudik di
sela bebatuan yang ada di dasarnya.
Udara waktu itu sangat panas. Terik matahari menyengat, menimpa tanah-tanah yang
mulai retak berbongkah-bongkah.
Keringat disekitarnya membanjir. Pada saat itulah mereka merasa bersahabat
dengan air... Air yang segar...
Di tepi sungai terlihat sesosok
manusia sedang jongkok di sebuah mata air. Orang itu berpakaian garis-garis
merah dengan dasar putih. Ikat kepalanya berwarna sama dengan pakaiannya. Di
pinggangnya terselip sebuah golok panjang dengan sarungnya yang berukir.
Tangan kiri orang itu buntung
sebatas siku, sehingga
lengan baju panjangnya melambai-lambai bila tertiup angin. Kain sarungnya diselempangkan di
pundaknya. Kain sarung itu berwarna merah kotak-kotak bergaris hitam.
Celana pangsi panjang sampai
sebatas pergelangan kaki dan tanpa alas kaki melengkapi penampilannya. Orang itu
lalu membersihkan mukanya dengan air itu serta meneguknya.
"Ahh... segar sekali! Ingin rasanya aku mandi di sini," gumamnya sambil
merasakan tenggorokannya dingin setelah meneguk air itu.
Ketika sedang asyik menikmati
tegukan demi tegukan,
tiba-tiba ia tersentak karena ada sesuatu yang menyangkut di belakang tubuhnya.
"Haah...?" Sentaknya kaget sambil memalingkan kepalanya ke belakang, ternyata
kainnya telah tersangkut oleh
suatu benda. "Oh,.... maaf saudara! Aku keliru melempar tali kailku ini!" Suara itu halus
terdengar. "Maafkanlah aku!" Aku betul-betul tidak sengaja" ujarnya sopan. Ia turun dari
tempat di mana ia sedang memancing, di atas sebuah batu besar yang berada di
belakang orang tersebut.
"Ahh, tak mengapa. Tetapi siapakah anda?" Ia bertanya dengan nada suara yang
ramah. Orang yang sedang memancing
tersebut memakai celana dan baju berwarna hijau-hijau dengan kepala dibungkus
kain berwarna hijau membentuk semacam sorban sehingga rambutnya tidak terlihat
selembar pun. Kulitnya halus,
putih, bersih. Bentuk wajahnya bulat dengan bibir yang mungil dan hidung mancung. Tatapan
matanya sahdu dengan bulu mata yang lentik serta alis mata hitam membentuk bulan
sabit. Model bajunya berkerah membungkus lehernya yang jenjang, dengan kancing
berwarna hijau tua serta bajunya berkancing berderet ke bawah sampai pinggul.
Lengan bajunya dilipat sedikit sehingga terlihat jari-jari tangannya yang kecil
dan telapak tangannya halus.
Ia memakai celana pangsi panjang sebatas mata kaki serta beralas terompah
kulit berwarna hijau muda pula. Dengan langkah cekatan ia hampiri orang yang
terkena kailnya.
Kini mereka sudah berhadapan muka dan pandangan mata mereka bertemu sejenak.
"Hmm... aku hanya seorang kelana tanpa tujuan!. Aku menghabiskan masa muda dalam
perjalanan," jawabnya pelahan.
"Kau halus sekali! Sepantasnya kau adalah anak priyayi yang tinggal di gedung
mewah," ujar si Lengan Tunggal memuji teman barunya itu.
"Ah... aku cuma orang biasa. Rakyat jelata. Namaku Tirta! Rupanya anda pun
seorang pengembara
juga," jawabnya
merendah. "Yah... beginilah. Aku baru datang Desa apakah ini namanya?" tanya Lengan
Tunggal. "Desa Kalimanggis" jawabnya Tirta singkat.
"Hm... saudara. Karena kita sama-sama pengembara senang sekali jika kita menjadi
sahabat. Aku sudah hidup sebatang kara!" Ujar Tirta dengan sorot mata sayu.
"Aku sangat senang mendengar kata-kata itu!" ujar Lengan Tunggal dengan wajah
berseri. Mereka terlihat amat akrab walau baru saja bertemu beberapa menit. Mereka lalu
melangkah naik dari tepi sungai itu.
Di sebuah batang pohon besar yang sudah tumbang, mereka kemudian duduk
berdampingan. Si Lengan Tunggal
menyalakan api dari ranting-ranting kering yang sudah terkumpul, sementara itu
Tirta sedang mempersiapkan ikan hasil tangkapannya.
Kedua kenalan baru
itu semakin akrab dan kini mereka sudah terlihat kembali dalam percakapan sambil
menantikan ikan bakar itu masak.
Tirta membalik-balik ikan bakar, sementara Si Lengan Tunggal menambah ranting
kayu kering supaya apinya tidak mati. Bau ikan panggang telah tercium membuat
perut menjadi lapar ingin cepat-cepat diisi.
"Inilah hasil kerjaku sejak pagi.
Lumayan buat ganjal perut" ujar Tirta sambil tersenyum dan mengambil seekor ikan
bakar yang sudah matang.
"Akan lebih enak lagi jika pakai garam," sela Si Lengan Tunggal dengan segera
dan mengambil seekor ikan bakar.
"Hmm... Mari kita mulai pesta gembel ini! Kuharap anda bisa makan ikan tanpa
nasi, soalnya tempat ini jauh dari warung" ujar Tirta mengingatkan temannya
kalau-kalau tidak bisa makan tanpa pakai nasi.
Tak menjawab Si Lengan Tunggal lalu mencicipi ikan bakar itu dengan penuh
selera diikuti oleh lirikan mata Tirta yang diam-diam memperhatikannya.
"Oh.. Ya!, anda lupa menyebutkan nama anda," tegur Tirta lembut dan meneruskan
makan ikannya sambil menatap wajah temannya.
"Namaku Umang! Kampung halamanku jauh di Selatan, yaitu Desa Cibulan. Ayah Ibuku
serta kakak perempuanku mati dibunuh oleh Lalawa Hideung," jawab Umang dengan
nada ditekan pada saat menyebutkan nama gerombolan itu.
"Ha! Lalawa Hideung" Keparat itu lagi!" Sentak Tirta agak terkejut.
Umang kemudian menceritakan semua kejadian-kejadian yang menimpa
kampungnya, dirinya dan keluarganya.
Ceritanya sangat panjang. Itu terjadi ketika aku berumur enam belas tahun!"
Umang mulai bercerita.
"Malam itu gerombolan Lalawa Hideung merampok dan membakar Desa kami, mereka
sangat ganas dan kejam, sehingga siapa saja yang melawan pasti dihabisi
nyawanya. Harta benda kami dirampas hingga habis tak tersisa. Keluarga kami pun
tidak luput dari malapetaka itu.
Ayahku berusaha melawan untuk menyelamatkan kakak perempuanku yang hendak mereka
perkosa, tetapi setan-setan laknat itu lebih cepat bergerak. Dengan sekali
sabetan saja leher ayahku hampir putus
dan mati. Ibuku menjerit-jerit kalap begitu melihat ayahku mati terkapar.
Ibuku berusaha menerjang orang yang membunuh ayahku, namun kembali perampok itu
menghabisi nyawa ibuku dengan sebuah golok yang menebus dadanya. Sementara itu
adikku berusaha melepaskan dirinya dari pelukan setan laknat itu"
"Ibu! Ayah," ratapnya mengiba sambil meronta-ronta.
"Oh... Tidak!" teriakku menjerit keras melihat kejadian itu. Aku menjadi kalap
dan nekat. Dengan golok ayahku, kuserang iblis laknat yang sedang memperkosa
kakak perempuanku itu
"Kubunuh kau, setan jahanam!!"
Tetapi di luar dugaanku tubuh
bajingan itu melesat begitu gesitnya menghindari seranganku, dibarengi sebuah
kilatan putih menyambar tanganku dan sekejap mata aku melihat benda melayang
berlumuran darah... yang ternyata adalah tanganku!.
Aku menjerit kesakitan sambil
mendekap tanganku yang tinggal sebatas siku dengan darah terus mengucur tidak
henti-henti. Aku tak kuat menahan sakit dan
kemudian tak sadarkan diri. Entah mengapa bajingan-bajingan itu tidak menghabisi
nyawaku sekalian.
Setelah aku sadar, keadaan sudah
sunyi sepi. Kudapatkan kakak perempuanku sudah tak bernyawa dengan keadaan
menyedihkan tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya.
Kemudian aku ditolong oleh mereka yang masih hidup. Aku dirawat sampai sembuh,
tetapi apa gunanya hidup ini setelah kehilangan segala-galanya.
Kesedihanku kian hari kian menjadi, membeku menjadi segumpal dendam....
dendam yang membara sampai saat ini setelah lukaku sembuh, aku melatih tanganku
yang sebelah dengan tekun sampai bertahun-tahun lamanya, dan aku bersumpah di
depan kuburan keluargaku akan membalas dendam pati ini sampai kapan dan di mana
pun bisa kutemukan gerombolan Lalawa Hideung laknat itu.
"Ibu, ayah, kakak, aku minta diri untuk pergi menyelusuri jejak Lalawa Hideung
dan aku berjanji untuk menumpas mereka!".
Aku terus mengembara mencari
komplotan Lalawa Hideung hingga sampai di sini dan bertemu engkau, Tirta," kata
Umang mengakhiri ceritanya.
"Aku turut bela sungkawa atas kemalanganmu, Umang. Anda senasib dengan diriku!
Kedua orang tuaku juga tewas, karena keganasan mereka! Itulah sebabnya aku
berkelana" ujar Tirta dengan nada sedih. Mereka berdua terdiam sejenak dan
menghabiskan ikan bakar masing-masing.
"Kukira akan sia-sia saja jika kita seorang diri melawan gerombolan iblis itu.
Selain mereka merupakan jago-jago silat yang hebat, juga kita tak bisa mengenal
mereka satu persatu. Kita tidak bisa mengenali musuh kita!, itulah susahnya!"
"Gerombolan itu tak pernah muncul di waktu siang. Di waktu malam hari kita pun
belum tahu kapan mereka muncul dan di kampung mana!. Mereka benar-benar seperti
hantu bayangan! Di siang hari mereka tersebar di mana-mana menjadi orang biasa.
Kita tak bisa sembarangan bicara mengenai mereka, karena mereka berada di
sekitar kita" ujar Tirta mengingatkan Umang.
Sementara mereka berdua sedang
asyik bercakap-cakap, di balik sebatang pohon besar di belakang mereka, ada
seorang dara sedang mengintai. Percakapan mereka itu dapat didengar dengan jelas
oleh dara itu. "Hmm... mereka sedang mempercakap-kan Lalawa Hideung. Aku akan ikuti kemana
mereka pergi" gumam dara itu pada dirinya sendiri.
"Umang... bagaimana jika kita berkawan terus sampai cita-cita kita tercapai?"
ujar Tirta dengan sorot mata penuh arti. "Maksudmu, kita menjadi dua
serangkai?" tanya Umang, Si Lengan Tunggal.
"Oh, itu lebih baik!" Lanjutnya gembira.
"Ternyata anda lebih banyak pengetahuan tentang musuh kita, sedangkan aku buta
sama sekali. Bantuan anda akan sangat berguna untukku," ujar Umang.
"Untuk sementara ini baiklah kita menetap di desa ini. Desa Kalimanggis adalah
desa orang-orang petani kaya tentu suatu saat akan jadi sasaran gerombolan
Lalawa Hideung! Di pinggir desa ini ada sebuah pondok bekas lumbung padi yang
sudah tidak terpakai!. Kita bisa tinggal berdua, untuk cari makan mudah sekali
di sini asal kita mau kerja," ucap Tirta pasti. Tidak terasa oleh mereka yang
sedang asyik bercakap-cakap dengan diselingi tawa ria, Matahari hampir memasuki
peraduannya di ufuk barat.
Mereka pun lalu beranjak mening-
galkan tempat itu menuju suatu tempat yang dikatakan oleh Tirta. Sementara itu
si dara yang mengintai Tirta dan Umang terus membuntuti dengan mengendap-endap.
"Tirta... anda begitu cerdik dalam memecahkan sesuatu," ujar Umang di tengah
perjalanan. "Aku sampai di sini seminggu yang lalu. Seminggu bagiku sudah cukup untuk
mempelajari suasana," jawab Tirta tegas
dan pasti. Mereka berdua terus melangkah
dengan santai dan penuh keakraban. Di lain pihak, si dara mengikuti mereka
dengan langkah teratur tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dara manis yang terus mengikuti
Tirta dan Umang itu bernama Mirah.
Rambutnya panjang sebatas pinggul, di kepang dua dengan pangkal masing-masing
diikat pita berwarna putih.
Bola matanya bundar dengan bulu
mata halus lentik dan alis mata tebal tersusun rapi terawat serta hidungnya
mancung dengan bibir yang tipis seperti dioles pemerah bibir serta dagu yang
panjang dengan gigi-gigi yang tersusun rapi dan leher jenjang berkulit sawo
matang. Mirah memakai baju panjang ketat sehingga pinggangnya terlihat ramping.
Celana panjang pun ketat, memperlihatkan betisnya berbentuk bunting padi dengan
alas kaki sandal kulit yang talinya dililitkan sampai batas betis.
Siang itu matahari masih terik
menggigit ubun-ubun. Di pinggir Desa Kalimanggis terbentang pematang-pematang
sawah dengan padinya yang sedang menguning.
Desa Kalimanggis memang terkenal dengan kesuburan tanahnya, keadaannya
cukup makmur. Di pinggir desa Kalimanggis di
antara pematang sawah terlihat seseorang sedang memasuki desa itu.
Orang itu memakai tudung untuk
menghindari sengatan sinar matahari pada wajahnya. Ia berjalan dengan tenang.
Pandangannya jauh ke depan menatap tajam dengan sorot mata memendam dendam.
Tangan kanan orang bertudung
tersebut memegang sebuah tongkat yang terbuat dari kayu jati dengan pangkal
tongkat yang di buat bercagak. Tongkat itu berfungsi sebagai penyangga tubuhnya
serta penolong kalau ia berjalan karena kaki yang sebelah kanannya tidak
sempurna lagi, kakinya telah buntung sebatas lutut.
Baju dan celana pangsinya sudah
agak lusuh. Kain sarungnya dibiarkan tersilang di dadanya sehingga membungkus
sebagian dari tubuhnya.
Si kaki Tunggal sudah lama sekali menempuh perjalanan. Tudungnyapun telah
menjadi lekang. Kumis serta jenggotnya di biarkan tumbuh tidak terurus,
penampilannya sudah seperti seorang gembel. Ia terus melangkahkan kakinya di
pematang sawah dengan bantuan tongkat tersebut.
"Kemana pun sampai ke ujung bumi akan kutempuh! Kemana angin bertiup, itulah
arah perjalananku! Di mana
persembunyian setan-setan laknat itu, suatu saat pasti ketemukan!!" gumam si
Kaki Tunggal pada dirinya sendiri dengan gigi gemeretak.
Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah melewati pematang sawah, ia tiba di sebuah dataran dengan rumput ilalang
setinggi pinggang. Si Kaki Tunggal melihat sekelompok capung yang sedang terbang
berputar-putar, ia lalu menghampiri capung-capung itu.
"Hm... lihatlah capung-capung yang berterbangan di atas huma itu," gumam si Kaki
Tunggal seperti kepada seseorang.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak,
bertumpu di atas sebelah kaki tunggalnya.
Set! set!. Beberapa kilatan cahaya putih
menyambar di atas kepalanya. Beberapa ekor capung gugur di atas rumput dengan
badan masing-masing terpotong menjadi dua bagian.
Kemudian di balik tudung usang itu terlihat mata yang berapi-api penuh dendam
memandangi bangkai capung yang bertebaran.
"Ha...ha...ha...ha! Inilah nasib Lalawa Hideung keparat itu pada suatu saat!",
desisnya geram.
Kiranya si Kaki Tunggal membabat capung-capung itu dengan tongkat yang berisi
sebilah pedang panjang, runcing dan mengkilap, terbungkus sarung, terbuat
dari kayu jati yang berfungsi sebagai tongkat. Si kaki Tunggal meneruskan
perjalanannya memasuki desa. Matahari pun mulai membuat bayangan-bayangan
memanjang. Malam telah menyelimuti desa
Kalimanggis yang subur makmur itu. Bulan bersinar redup, suasana semakin
mencekam. Desa itu sunyi sepi, penuh oleh
suasana ketakutan. Setiap tarikan nafas penghuninya adalah gambaran dari
kekecutan hati. Siapa tahu"! Malam ini atau besok malam harta benda mereka akan
di rampas oleh momok yang sangat menakut-kan, Lalawa Hideung!.
Di sela-sela bayangan pohon yang memagari kebun liar, menyelinap sesosok tubuh
dengan gerakkan yang gesit. Tidak lama kemudian sosok tubuh itu berhenti
bergerak dan menyelinap di balik sebuah batang pohon besar. Pandangan matanya
tertuju pada sebuah bangunan kecil di depannya. Sosok bayangan tersebut
mendekati bangunan kecil berupa lumbung tua dengan mengendap-ngendap tanpa
bersuara. "Itulah mereka! Sudah tidur apa belum?" coba kuintip," gumam sosok bayangan yang
tak lain adalah Mirah yang terus mengikuti Tirta dan Umang kemana pun mereka
pergi. Mirah kemudian mencari celah dinding lumbung tua itu untuk
melihat keadaan di dalam dengan hati-hati sekali.
Di atas tumpukan jerami tergolek Tirta dan Umang dengan Tirta lelapnya miring.
Posisi tidur dengan alas kepala kedua tangannya, sedangkan Umang telentang
dengan tangannya yang juga dijadikan alas untuk kepalanya. Keadaan di dalam
lumbung padi itu kotor dan bau.
Mendadak Umang terbangun. Ia
bermimpi Tirta berubah jadi perempuan yang cantik dan jatuh cinta kepadanya.
Inderanya yang tajam mengetahui
bahwa Tirta tak bisa tidur, ia mendengar nafas Tirta seperti dengus kuda betina
yang sedang birahi.
"Anda belum tidur, Tirta?" sapa Umang pelan.
"Hmm,... belum!" jawab Tirta lemah.
"Itulah. Apa kataku tadi, anda sepantasnya tinggal di gedung mewah! Di sarang
tikus dan kecoa seperti ini mana bisa anda tidur pulas" Banyak nyamuk lagi!"
ujar Umang sedikit menyindir.
"Napasku sesak, Umang," keluh Tirta. Ia lalu bangun dan duduk sambil berpangku
tangan. "Mungkin anda serang pilek," jawab Umang seenaknya. Saat itu indera Tirta
mengatakan ada sesuatu yang tak beres di sekitarnya. Tangannya lalu mengambil
golok yang berada di sampingnya tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun. Dengan gerakan kilat, di lemparnya golok itu
menuju sebuah sasaran.
"Mampus kaul" bentak Tirta dengan keras
membuat Umang terkejut dan
mengikuti arah lemparan itu. "Siut..."
Tap. Golok panjang itu secepat kilat
melayang menembus dinding papan dan nyaris menembus dada si pengintai.
"Oh!" sentak Mirah sambil melompat menghindar dan berlari menjauhi Lumbung padi
itu. Tirta dan Umang segera berlompatan mengejar bayangan itu.
Selang beberapa saat kemudian Mirah sudah di hadang oleh Tirta dengan sabetan-
sabetan goloknya yang sangat dahsyat.
"Tunggu, saudara! Aku tak bermaksud buruk pada kalian" teriak Mirah sambil
meloncat menghindar.
"Mengapa kau mengintip-ngintip, jika memang tidak bermaksud buruk"!
Pastilah kau mata-mata Lalawa Hideung!"
bentak Tirta geram.
"Bukan! Aku malahan sedang mencari Lalawa Hideung!" jawab Mirah membela diri.
"Bohong!!", suara Tirta keras sambil mengayunkan goloknya yang panjang,
sementara itu Umang menyaksikan saja di
tempat. "Jika anda tak mau mempercayaiku, tak apalah. Sebenarnya aku ingin berkawan
dengan kalian untuk menumpas Lalawa Hideung, tetapi agaknya kalian mencurigai
aku! Sampai berjumpa lagi, kawan!" kata Mirah sambil melompat ke semak belukar
dan menghilang di kegelapan malam.
"Hebat betul ilmunya! Tangkas dan gesit, seharusnya kita menanyai lebih dahulu,
Tirta!" tegur Umang mengingatkan Tirta yang masih penasaran.
"Ah., sebaiknya kita berhati-hati kepada orang yang mengaku-ngaku sebagai kawan!
Siapa tahu dia anggota Lalawa Hideung yang hendak menikam kita dari belakang!"
jawab Tirta dengan nada ditekan dan wajahnya merah seakan-akan memendam rasa
cemburu. "Tapi kukira dia bukan orang Lalawa Hideung! Apakah anda tak salah tebak?"
tanya Umang serius.
"Sudahlah, mari kita beristirahat sambil selalu siap berjaga-jaga dan jangan
sampai kita lengah," jawab Tirta mengingatkan Umang agar berhati-hati.
Mereka kembali menuju tempat semula mereka beristirahat, yaitu bangunan tua
bekas lumbung padi itu.
Matahari pagi memancarkan sinarnya kembali menguap embun dari daun-daun dan
pucuk-pucuk rerumputan sehingga hawa pagi
pun menjadi sejuk.
Saat seperti biasanya para
pendatang makan pagi pada sebuah warung nasi. Di sebuah warung nasi yang berada
di sudut jalan terlihat Tirta dan Umang memasuki warung itu bersama orang-orang
lain yang ingin sarapan. Mereka lalu duduk dan memesan makanan.
"Anda pakai lauk apa, Umang?" tanya Tirta pelan. Umang mengangkat bahu, terserah
apa yang Tirta inginkan.
"Hm... pak, nasi lengko dua.
Minumnya teh saja dua!" ujar Tirta kepada pemilik warung yang diiyakan dengan
anggukan kepala.
"Sambalnya banyakan, pak!" kata Umang cepat.
"Aku tak begitu suka sambal, bisa memendekkan napas!"
"Di pagi dingin seperti ini kita perlu pemanas untuk menjaga tubuh!"
Beberapa saat kemudian pesanan nasi lengko telah berada di hadapan mereka.
Mereka segera menyantapnya.
Di ruangan dalam warung itu
terlihat tiga orang sedang asyik dengan dadu koprok di atas meja. Mata mereka
masih rebekan karena belum cuci muka sama sekali sehabis begadang malamnya.
Wajah mereka beringas dengan
cambang-bauk yang tidak terurus, menambah keangkeran di wajah mereka.
"Sial!, lagi-lagi mata satu!"
gerutu seseorang dari mereka setelah melihat mata dadu yang keluar.
"Ha ha...ha..ha..ha! Mangkanya punya bini tidak usah banyak-banyak, cukup satu
saja. Mari sekarang giliran ku ngoprok!" sela temannya sambil mengejek,
tangannya lalu mengambil dadu itu.
Si codet yang merasa kalah segera membayar semua uang taruhan dengan perasaan
kesal. "Hmm. Nih! Ambil,... ambil!. Duitku ludes semua, tetapi aku masih penasaran jika
belum bisa mengeduk uang kalian sampai tak satu gulden pun bertengger dalam
kantong kalian!" kata si codet penasaran.
"Ha...ha...ha...ha! Hari ini aku menang banyak!" ujar temannya dengan sangat
gembira. Tangannya segera mengeduk uang yang ada di atas meja.
"He, Ujang! Tambahkan lagi tuaknya satu kendi, cepaat!!".
Bentak si codet keras melampiaskan kejengkelannya.
Tidak lama kemudian si pelayan
menyerahkan kendi tuak kepada si codet dengan terbungkuk-bungkuk, dan si codet
segera menenggaknya.
Pada saat itu datang seseorang
menghampiri meja mereka.
Orang yang baru datang itu
mengenakan tudung kepala. Dengan kakinya yang tinggal sebelah ia mendekati
mereka dengan tenang.
"Tak usah gusar dulu kawan!. Aku punya sekantong uang untuk melanjutkan
permainan anda!" ujar si Kaki Tunggal tegas.
Seketika itu ketiga orang yang
sedang asyik berjudi menjadi terkejut mendengar suara dari belakang. Mereka
menoleh ke belakang hampir bersamaan.
"Lihatlah!, aku tak omong kosong!
Sekantong penuh. Boleh anda hitung berapa isinya," lanjut si kaki Tunggal sambil
tangan kirinya memperlihatkan kantong uangnya kepada mereka.
"Dengan syarat apa anda memberikan uang itu kepadaku?" tanya si codet penuh
selidik dengan mata melotot.
"Aku adalah orang yang suka pada hal-hal yang aneh! Lihatlah ke atas pohon
gundul itu!" ujar si Kaki Tunggal dengan jari telunjuk mengarah ke pohon kapuk
randu yang dahan-dahannya gundul di luar kedai itu.
Mereka kemudian keluar mendekati sebuah pohon yang di hinggapi oleh banyak
sekali keluang atau kalong yang sedang tidur, di ikuti pandangan mata Tirta dan
Umang yang sedang makan.
"Tolol!" gumam Tirta dalam hatinya.
"Lihatlah keluang-keluang itu!.
Mereka begitu enaknya mendengkur dengan kaki di atas kepala di bawah. Aku akan
memberikan uang ini cuma-cuma jika anda bisa meniru perbuatan binatang-binatang
itu!" ujar si Kaki tunggal memancing reaksi mereka.
"Jika aku bisa, apakah aku percaya begitu saja bahwa kau mau menyerahkan uang
itu" tanya si codet serius.
"Aku yakin manusia tak bisa berbuat seperti keluang itu. Untuk itulah aku berani
Pendekar Aneh Naga Langit 34 Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Perjodohan Busur Kumala 8