Pencarian

Liang Maut Di Bukit Kalingga 3

Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga Bagian 3


"Aku ingat.... Dengan terdengarnya suara bersinan, ti-ba-tiba aku bisa bergerak
dan buka mulut serta buka
mata!" Murid Pendeta Sinting cepat gerakkan kepala ke
arah suara orang bersin. Di bawah sebatang pohon,
tampak duduk berlutut seorang laki-laki berusia lanjut dengan tangan berpegangan
pada satu tongkat butut
yang ditancapkan di sampingnya. Sementara tangan
kirinya diletakkan di atas paha. Kepala orang ini bergerak pulang balik ke depan
ke belakang dengan mimik
meringis. Jelas kalau gerakan orang tua ini menunjukkan kalau dia hendak bersin.
Namun sejauh ini dia tidak perdengarkan bersinan lagi.
"Datuk Wahing!" desis Joko mengenali siapa adanya
orang tua di seberang sana. Namun Joko hanya sekilas memandang ke arah si kakek.
Dia teringat kembali pa-da Putri Kayangan. Dia kembali gerakkan kepala den-
gan mata mengedar berkeliling. Karena tak menemu-
kan orang yang dicari, Joko segera bergerak bangkit.
Namun buru-buru Joko tahan gerakannya dan kemba-
li jatuhkan diri duduk di atas tanah dengan mengomel.
"Busyet! Siapa yang melepas tali celana ku"!" ujar
Joko seraya mengikat tali celananya. Saat itulah dia baru sadar. Matanya
mendelik mengedar ke sekeliling-nya.
"Pedang Tumpul 131 lenyap!" gumam Joko. Lalu
meraba-raba sampai lututnya. Tapi dia benar-benar tidak menemukan pedang itu.
"Apakah Putri Kayan-
gan...." Joko cepat bergerak bangkit. Lalu berkelebat mengitari tempat lereng
bukit. Tapi sejauh ini dia tidak melihat sosok Putri Kayangan!
"Aku harus bertanya padanya!" Joko akhirnya me-
mutuskan dan melangkah ke arah orang tua yang du-
duk di bawah pohon dan bukan lain adalah Datuk
Wahing adanya. "Kek! Kau melihat seseorang di sini tadi"!"
Datuk Wahing hentikan gerakan pulang balik kepa-
lanya. Sepasang matanya menatap Joko sekilas. Lalu
kembali kepalanya telah bergerak pulang balik malah kali ini seraya perdengarkan
bersinan tiga kali.
"Bruss! Bruss! Bruss! Yang kau tanyakan laki-laki
apa perempuan"!" kata Datuk Wahing.
"Seorang perempuan, Keki"
"Gadis atau nenek-nenek"!"
"Gadis muda, Kek...!"
"Cantik atau jelek"!"
"Luar biasa cantik, Kek...!"
"Apa pakaian yang dikenakannya. Hijau, putih,
kuning, atau hitam"!"
"Dia memakai baju warna merah...."
"Terlambat, Anak Muda! Dia telah pergi...."
"Celaka! Ke mana dia pergi, Kek..."!"
"Sayang.... Dia tidak mengatakannya padaku....
Bruss! Bruss! Bruss!"
"Tapi kau bisa menunjukkan arahnya!"
"Pada mulanya dia pergi ke arah selatan! Tapi aku
tak yakin dia akan terus ke satu arah! Ada apa sebenarnya, Anak Muda"! Wajahmu
tampak berubah! Dari
celana mu tadi kurasa kau baru saja bersenang-
senang.... Mengapa kini jadi berbalik"!"
Tampang Joko merah padam. Dia cepat balikkan
tubuh. Dan tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat.
"Bruss! Bruss! Bruuss! Percuma, Anak Muda! Aku
yakin kau tidak akan bisa menemukannya!"
Murid Pendeta Sinting tahan gerakannya. Tanpa
berpaling pada Datuk Wahing dia berkata. 'Kau boleh merasa yakin, tapi aku juga
yakin bisa menemukannya!"
"Bruss! Kau salah menilai orang, Anak Muda! Pan-
danganmu masih kurang jeli! Dan kau harus siap me-
nerima kenyataan!"
Joko balikkan tubuh. "Kau mengenal gadis itu"!"
"Kau jangan heran. Aku tidak mengenalnya! Tapi
aku tahu siapa dia! Dan kuharap kau tidak merasa heran pula kalau aku tanya
adakah sesuatu yang hilang darimu"!"
"Pedangku lenyap! Aku hampir yakin gadis itu telah
mengambilnya! Aku harus segera mengejar!"
Joko balikkan tubuh lagi, lalu berkelebat. Namun
bersamaan itu satu benda tiba-tiba melayang dan me-
nancap tepat di hadapan Joko. Tongkat butut Datuk
Wahing! "Bruss! Bruss! Aku yakin kau berilmu tinggi! Tapi
adalah mengherankan kalau kau berhasil mengejar
gadis itu!"
Joko terpaksa urungkan niat berkelebat karena ge-
rakannya terhalang oleh tongkat Datuk Wahing. Joko
putar diri dan memandang lekat-lekat pada Datuk
Wahing. Sebelum dia berkata, Datuk Wahing sudah
mendahului. "Agar nantinya kau tidak lebih heran, ada sesuatu
yang harus kau ketahui, Anak Muda!"
Mungkin sudah merasa agak jengkel, Joko segera
sambuti ucapan Datuk Wahing.
"Untuk saat ini aku tidak perlu tahu apa-apa! Aku
memerlukan pedang itu!"
"Bruss! Bruss! Pedang bisa dicari! Tapi pengetahuan sukar diperoleh! Kalau kau
sia-siakan pengetahuan
ini, jangan heran kalau nantinya kau tertipu untuk
kedua kalinya!"
"Apa maksudmu, Kek..."!"
"Bruss! Bruss! Kalau mulutku yang berucap, aku
takut nanti kau tidak percaya dan heran! Lebih baik kau tunggu sebentar...."
Habis berkata begitu, Datuk Wahing gerakkan ke-
dua tangannya merangkap di depan dada. Saat bersa-
maan, sepasang matanya terpejam. Anehnya, orang
tua ini masih gerakkan kepalanya pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik
seolah hendak bersin!
Karena merasa yakin orang tua itu berniat baik,
malah sebelum ini memberi keterangan pada murid
Pendeta Sinting, meski sedikit merasa jengkel, Joko akhirnya putuskan hati untuk
turuti ucapan si kakek.
Tapi setelah agak lama menunggu dan dilihatnya
Datuk Wahing tetap bersikap seperti semula, kesaba-
ran Joko habis. Dia memandang berkeliling lalu angkat bicara.
"Kek! Rasanya aku tak bisa menunggu!"
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya. Namun
matanya tetap memejam. Murid Pendeta Sinting me-
nunggu sejenak berharap si kakek akan buka mulut.
Namun ternyata Datuk Wahing tidak juga perdengar-
kan suara. Hingga tanpa berkata lagi, Joko melangkah tinggalkan tempat itu.
"Bruss! Bruss! Anak muda! Tidak sabar adalah
pangkal terjerumusnya orang!"
"Tapi kurasa aku sudah sabar menunggu! Hanya
saja kalau aku tidak tahu pasti apa yang kutunggu,
apa gunanya"! Malah dengan penantian ini aku kehi-
langan jejak!"
"Bruss! Penantian mu tidak sia-sia, Anak Muda!
Namun kuharap kau jangan heran!"
Habis berkata begitu, Datuk Wahing angkat tan-
gannya menunjuk ke satu arah. Murid Pendeta Sinting putar diri setengah
lingkaran mengikuti arah tangan Datuk Wahing.
Memandang ke depan, sepasang mata murid Pende-
ta Sinting mementang besar tak berkesip. Malah sak-
ing terkejutnya, kedua kakinya melangkah mundur sa-
tu tindak! "Aku tidak percaya...!" desis Joko.
"Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau jangan he-
ran! Dan kau jangan heran juga kalau kukatakan ini
adalah kenyataan!"
Belum sampai ucapan Datuk Wahing selesai, Joko
telah berkelebat ke depan dan tegak di depan sana
dengan mata semakin membelalak tak percaya!
*** SEMBILAN Aku tak percaya! Aku tak percaya!" Berkali-kali
Pendekar 131 mendesis dengan mata dikedipkan lalu
dipentang besar-besar. "Keempatnya sudah jadi mayat ketika ku tinggalkan! Aku
tahu pasti mereka terhan-tam Sapu Tangan Iblis milik nenek itu! Bagaimana
mungkin mereka bisa hidup lagi"!"
Hanya sejarak tujuh langkah dari tempat murid
Pendeta Sinting berada, tampak empat orang laki-laki bertelanjang dada. Kepala
mereka plontos. Paras wajah keempatnya hampir sama dan sangat angker. Karena
sepasang mata mereka berempat tidak membentuk ke
samping melainkan ke bawah. Demikian juga mulut
masing-masing orang. Tidak membujur ke samping ta-
pi ke bawah mengikuti bentuk wajahnya yang lonjong!
Mereka bertelanjang dada dan hanya mengenakan ce-
lana kolor. Di sebelah depan bagian kanan mengena-
kan celana kolor warna merah. Di samping orang ini
memakai celana kolor warna hitam. Di belakang si celana kolor warna merah tampak
laki-laki yang menge-
nakan celana kolor warna kuning. Sementara di sebe-
lahnya tampak memakai celana kolor warna hijau! Da-
ri ciri dan tampang masing-masing orang, siapa pun
yang melihatnya pasti mengatakan mereka adalah To-
koh-tokoh Penghela Tandu! Karena di pundak masing-
masing orang ini terlihat melintang dua bambu besar yang di tengahnya terdapat
sebuah tandu tertutup
kain berwarna merah!
"Siapa kalian"!" Murid Pendeta Sinting langsung
bertanya dengan mata terus memandang tak berkesip
pada masing-masing orang di hadapannya.
Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat tan-
gan kirinya seolah memberi isyarat pada ketiga orang lainnya. Ini juga
membuktikan kalau si celana kolor warna merah adalah yang menjadi pimpinan.
"Kau bertanya," kata si celana kolor warna merah
buka mulutnya yang membujur ke bawah. "Kami akan
menjawab! Kami adalah Tokoh-tokoh Penghela Tandu!"
"Urusan gila apa lagi yang kuhadapi saat ini"!" gu-
mam murid Pendeta Sinting begitu mendengar jawa-
ban orang. Matanya kini beralih pada tandu di atas lintangan bambu yang tertutup
kain merah. Joko coba
tembusi kain penutup seolah ingin melihat orang di
dalamnya. Namun dia gagal mengetahuinya, hingga dia kembali arahkan pandangannya
pada satu persatu
orang di hadapannya seraya berucap.
"Bukankah kalian telah jadi mayat"! Bagaimana
mungkin kalian bisa hidup lagi"!"
"Setiap manusia hanya punya satu nyawa! Tidak
mungkin kami hidup lagi setelah jadi mayat!" Yang
berkata adalah si celana kolor warna merah.
"Tapi aku melihatnya sendiri! Kalian bertempur me-
lawan nenek bernama Ratu Pewaris Iblis!"
"Kami baru saja mengadakan perjalanan jauh! Se-
lama ini kami belum pernah terlibat sengketa dengan siapa pun!" Kembali si
celana kolor warna merah menyahut membuat murid Pendeta Sinting tambah ke-
bingungan. "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi"! Apa pengli-
hatanku yang salah"! Atau apa yang ku alami hanya
mimpi"!"
Berpikir sampai di situ Joko ingat bahwa sejenak
tadi dia mengalami keanehan. Dia seolah tidak bisa
buka mata dan mulutnya, bahkan dia merasakan se-
kujur tubuhnya lemas tak bisa digerakkan. "Apa dalam Keadaan begitu itu aku
bermimpi"!"
Joko ingat pada pedangnya. Dia meraba ke balik
pakaiannya. Dia kembali tersentak ketika menda-
patkan Pedang Tumpul 131 tidak ada di balik pa-
kaiannya. "Berarti aku tidak mimpi! Pedangku tidak
ada!" "Siapa yang ada di dalam tandu"!" Joko akhirnya
ajukan tanya. Keempat laki-laki yang baru saja sebutkan diri se-
bagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu sama gerakkan ke-
pala masing-masing saling pandang. Belum sampai
ada yang buka suara, mendadak tirai kain penutup
tandu bergerak membuka.
Murid Pendeta Sinting jerengkan mata besar-besar.
Yang terlihat pertama kali adalah sebuah tangan mulus yang baru saja bergerak
singkapkan kain penutup tandu.
"Putri Kayangan!" desis Joko mengenali siapa
adanya pemilik tangan yang baru saja membuka kain
penutup tandu. Murid Pendeta Sinting segera melompat ke depan.
Dia lupa akan keheranannya melihat keempat laki-laki yang dilihatnya sudah tewas
di tangan Ratu Pewaris
Iblis. Dadanya sudah bergemuruh mendapati pedang-
nya lenyap dan dia sudah dapat menduga siapa geran-
gan yang mengambilnya. Maka seraya melompat, dia
berseru. "Putri Kayangan! Harap kau kembalikan pedangku!"
Orang di dalam tandu sesaat terkejut. Dia adalah
seorang gadis muda berparas luar biasa cantik menge-
nakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang
dengan mata bulat.
"Jangan lancang bicara!" Tiba-tiba laki-laki bercela-na kolor warna merah
membentak. Tangan kirinya di-
angkat siap hendak lepas pukulan. Sementara ketiga
lainnya serentak pula angkat tangan satu masing-
masing. "Putri Kayangan! Kau dengar ucapanku! Kembali-
kan pedang itu!" Joko kembali berteriak tanpa pedulikan keempat laki-laki yang
sudah siap lepas pukulan.
Gadis di dalam tandu sesaat pandangi Joko dari
bawah ke atas. Bibirnya sunggingkan senyum. Tangan
kanannya bergerak. Terdengar ketukan halus tiga kali.
Bersamaan dengan itu keempat laki-laki pemanggul
tandu luruhkan tangan masing-masing.
"Boleh aku tahu siapa kau adanya"!" Gadis di da-
lam tandu buka mulut.
"Kau telah tahu siapa aku! Jangan berlagak tidak
kenal!" "Baiklah! Aku tidak memaksamu untuk mengata-
kan siapa kau.... Boleh aku tahu pedang apa yang kau suruh kembalikan"!"


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau masih juga berpura-pura!"
"Jaga mulutmu, Anak Muda! Jangan menuduh
sembarangan!" Laki-laki bercelana kolor warna merah angkat bicara lagi.
Mendengar sahutan orang, dada Joko jadi panas.
Dia arahkan matanya pada keempat laki-laki di hada-
pannya. "Kalian boleh memiliki nyawa rangkap tiga! Tapi
jangan kau kira aku tak bisa memutus ketiga rangka-
pan nyawa kalian!" Seraya berkata, murid Pendeta
Sinting sudah kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya. Tokoh-tokoh Penghela Tandu saling pandang. Lalu
masing-masing orang gerakkan tangan masing-masing
turunkan lintangan bambu di pundaknya. Begitu lin-
tangan bambu telah di atas tanah, mereka segera te-
gak berjajar. "Kami tidak pernah membuat urusan! Tapi kami ti-
dak akan tinggal diam jika kau berkata yang bukan-
bukan!" kata laki-laki bercelana kolor warna merah.
"Apa kalian kira aku juga suka membuat urusan"!
Justru junjungan mu itu yang bikin ulah! Dia menga-
jakku ke sini, lalu merayu ku. Ujung-ujungnya dia
mengambil pedangku!"
"Sekali lagi kuperingatkan kau! Jangan bicara sem-
barangan!"
Murid Pendeta Sinting tertawa panjang. "Apa kalian
kira lenyapnya pedangku urusan main-main, hah"!"
"Itu urusanmu! Yang jelas kami baru kali ini jumpa
denganmu! Jadi adalah aneh kalau kau tiba-tiba me-
nuduh macam-macam! Jangan-jangan kau hanya pu-
ra-pura!" "Kalian terlalu banyak bicara! Sekarang apa mau
kalian"!" kata Joko seolah tidak sabar.
"Kau telah dengar! Kami tidak suka bikin urusan.
Tapi kalau kau memaksa, kami akan meladeni ke-
mauan mu!"
"Hem.... Begitu"! Aku ingin tahu, apakah kalian
memang punya rangkapan nyawa!"
Murid Pendeta Sinting angkat kedua tangannya dan
langsung siapkan pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Se-
ketika itu kedua tangannya disemburati warna kuning tanda dia telah kerahkan
tenaga dalam. Di depan sana, Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak
tinggal diam. Mereka segera bergerak membentuk barisan. Dua di depan dua lagi
berada di belakang. Tangan masing-masing sudah pula terangkat.
Sesaat Joko pandangi gerakan orang. Di seberang
sana Tokoh-tokoh Penghela Tandu juga memandang
tak berkesip. Saat lain, Joko sudah gerakkan kedua
tangannya. Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera pula
bergerak maju dengan membentuk barisan saling me-
nyilang. Saat bersamaan tangan masing-masing orang
juga bergerak. "Tahan serangan!" Tiba-tiba terdengar seruan dari
dalam tandu. Satu sosok tubuh melesat dan kini tegak menghalangi antara Joko dan
Tokoh-tokoh Penghela
Tandu. Murid Pendeta Sinting menatap tajam pada gadis
yang tegak di hadapannya. Matanya menelurusi seku-
jur tubuh si gadis seolah ingin mengetahui di mana
pedangnya disembunyikan. Namun Joko tidak bisa
menduga-duga, karena matanya tidak menangkap pe-
dang miliknya. "Tidak kusangka sama sekali kalau gadis cantik ini
punya maksud buruk! Tapi aku harus berhati-hati....
Dengan hidupnya keempat manusia itu, berarti mereka dan gadis ini punya ilmu
langka!" Baru saja Joko membatin begitu, gadis di hadapan
murid Pendeta Sinting yang bukan lain adalah Putri Kayangan sudah angkat bicara.
"Kira harus bicara! Ada yang tidak beres dalam uru-
san ini" "Tak ada lagi yang perlu dibicarakan! Dan yang ti-
dak beres adalah kau sendiri! Kalau kau ingin bicara, serahkan dahulu pedangku!"
Putri Kayangan tersenyum. "Kau harus percaya!
Aku dan teman-temanku baru kali ini bertemu den-
ganmu. Maka kita perlu bicara dahulu dan menunda
urusan pedangmu!"
Murid Pendeta Sinting tertawa pendek. "Aku perlu
pedang itu! Aku tidak perlu bicara panjang lebar yang tidak ada gunanya!"
"Pembicaraan kita masih ada hubungannya dengan
pedangmu! Dan dari pembicaraan ini kuharap nan-
tinya urusan bisa selesai!"
"Tak ada yang bisa selesai di sini tanpa kau serah-
kan kembali pedangku!"
"Bruss! Bruss! Bruss! Anak muda.... Jangan tu-
rutkan kekesalan hati! Ucapan gadis itu benar. Jadi beri kesempatan padanya
untuk bicara! Kalau tidak,
kau nanti akan merasa heran dan tambah kesal!" Tiba-tiba Datuk Wahing menyela.
Putri Kayangan arahkan pandangannya pada Datuk
Wahing lalu menjura hormat seraya berkata.
"Gembira sekali hari ini aku bisa berjumpa dengan
tokoh besar. Datuk Wahing terimalah hormatku...."
Pada saat Putri Kayangan menjura hormat, keempat
laki-laki di belakangnya membuat gerakan sama den-
gan Putri Kayangan. Mereka bungkukkan sedikit tu-
buh masing-masing.
Pendekar 131 berpaling pada Datuk Wahing. "Kek!
Kiranya tak ada yang perlu dibicarakan antara aku
dengan dia! Jelas-jelas aku bersamanya di sini sebelum kau datang! Dia yang
mengajakku ke sini! Dia
meminta ku bercerita. Aku turuti permintaannya. Lalu dia merayu ku.... Dan
akhirnya aku terlelap! Ketika kau datang, tiba-tiba aku siuman! Dia sudah tidak
ada di sini! Dan pedangku lenyap! Apa lagi yang perlu dibicarakan"! Semuanya
sudah jelas!"
"Bruss! Bruss! Gadis cantik.... Kau jangan membua-
tku heran dengan ucapan sanjungan yang berlebihan!"
ujar Datuk Wahing sambuti ucapan Putri Kayangan.
Lalu arahkan pandangan matanya pada Pendekar 131.
Dia tersenyum lalu berkata.
"Anak muda.... Kau jangan heran jika kukatakan,
ucapanmu benar menurut pandang matamu! Tapi keli-
ru jika nanti kau telah dengar keterangan gadis cantik
itu! Jadi, tabahkan hati untuk menunda urusan pe-
dang dan bicaralah baik-baik dahulu...."
"Kek! Kau sepertinya membela gadis ini! Apa hu-
bunganmu dengannya"!"
"Brusss! Heran.... Bagaimana kau bisa mengatakan
aku membelanya"! Aku cuma memberi saran! Ini juga
untuk kebaikanmu kelak agar kau tidak lagi merasa
heran jika bertemu dengan urusan yang sama!"
Murid Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Urusan
gila macam apa pula ini"!"
"Ini bukan urusan gila...," ujar Putri Kayangan.
"Kau mau katakan dahulu siapa kau adanya"!"
Joko menoleh pada Putri Kayangan. Dengan enggan
dia akhirnya berucap. "Aku Joko Sableng!"
"Melihat sikapmu tadi, tentu pedang yang kau kira
kuambil adalah senjata sakti...."
"Bukan hanya sakti, tapi aku bisa celaka kalau pe-
dang itu hilang!"
"Bisa sebutkan nama pedang itu"!"
Joko menghela napas sejenak untuk menindih pe-
rasaan. Lalu berkata menjawab.
"Pedang Tumpul 131!"
Tiba-tiba Putri Kayangan membuat gerakan bung-
kukkan sedikit tubuhnya dan berkata. "Jika demikian saat ini aku sedang
berhadapan dengan tokoh rimba
persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131! Terimalah hormatku...."
Kali ini meski Putri Kayangan membuat sikap men-
jura, namun Tokoh-tokoh Penghela Tandu tidak men-
gikuti gerakan Putri Kayangan. Mereka hanya tegak
sambil menatap lekat-lekat pada murid Pendeta Sint-
ing. Pendekar 131 sendiri tidak sambuti gerakan Putri
Kayangan. Dia hanya memandang sambil tertawa. Da-
lam hati dia berkata. "Ulah apa lagi yang hendak dila-
kukan gadis ini"! Tapi jangan kira aku bisa percaya la-gi denganmu...!"
"Pendekar 131! Aku tidak menyalahkanmu kalau
kau menuduhku! Aku...."
"Kau telah mengaku! Serahkan saja pedang itu!"
Joko sudah memotong ucapan Putri Kayangan.
"Ucapanku belum selesai...," ujar Putri Kayangan.
"Kau telah mengenaliku juga teman-temanku padahal
kita baru saja bertemu. Aku bisa menduga jika sebe-
lum ini kau jumpa dengan seorang gadis berbaju me-
rah yang juga bersama empat laki-laki! Betul?"
Pendekar 131 tidak menjawab. Putri Kayangan ti-
dak marah. Malah sunggingkan senyum lalu lanjutkan
ucapannya. "Aku menduga kau baru saja bertemu
dengan Pitaloka dan teman-temannya...."
"Kau jangan mengada-ada! Pandanganku masih
normal! Aku tidak bertemu dengan Pitaloka! Aku ber-
temu denganmu!"
Putri Kayangan masih juga sambuti ucapan murid
Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum. "Pandangan-
mu memang masih normal, Pendekar 131! Namun kau
salah pandang. Yang baru kau jumpai bukan aku, tapi Pitaloka! Dia adalah saudara
kembar ku! Dia juga
punya empat teman laki-laki yang juga saudara keem-
pat temanku itu!"
Pendekar 131 tegak dengan tubuh sedikit bergetar.
Matanya mendelik perhatikan lama-lama sekujur tu-
buh gadis di hadapannya. Lalu beralih pada satu persatu dari empat laki-laki di
belakang Putri Kayangan.
"Sebenarnya aku dan teman-teman tidak ingin terli-
bat dalam dunia persilatan! Namun akhir-akhir ini
kami banyak mendapat tuduhan jelek! Padahal selama
ini kami tidak pernah berbuat macam-macam! Kami
masih coba bersabar, namun tudingan orang nampak-
nya sudah sangat keterlaluan! Akhirnya kami sepakat
untuk menjernihkan masalah ini! Dan kami tahu siapa adanya orang yang
melakukannya! Untuk itulah kami
mengadakan perjalanan!" Putri Kayangan memberi ke-
terangan. "Bruss! Bruss! Anak muda.... Kuharap penjelasan
gadis itu tidak membuatmu heran dan lebih-lebih bisa kau terima!" Datuk Wahing
angkat suara. Mungkin masih kaget, untuk beberapa saat murid
Pendeta Sinting terdiam. Hanya bola matanya yang
bergerak memandang silih berganti pada Putri Kayan-
gan dan keempat laki-laki di belakang si gadis.
*** SEPULUH Gila! Aku benar-benar bisa jadi gila menghadapi
urusan ini!" gumam Pendekar 131 setelah agak lama menatapi Putri Kayangan dan
Tokoh-tokoh Penghela
Tandu. Karena bagaimanapun juga dia menelusuri se-
kujur tubuh orang-orang di hadapannya, dia tetap tidak bisa membedakan dengan
orang-orang yang baru
saja ditemuinya beberapa waktu yang lalu.
"Bruss! Bruss! Kau tak usah jadi gila menghadapi
urusan ini, Anak Muda! Semua adalah kenyataan. Ju-
stru kau harus bersyukur, karena kau tidak akan di-
buat heran di kelak kemudian hari!"
Murid Pendeta Sinting berpaling pada Datuk Wah-
ing. Lalu bertanya.
"Kek! Aku baru saja bertemu dengan gadis yang di-
katakan gadis ini sebagai Pitaloka! Padahal aku tidak bisa membedakan antara
gadis ini dengan Pitaloka!
Sekarang aku tanya. Bagaimana kau bisa membeda-
kan keduanya"!"
"Bruss! Aku sendiri heran bagaimana bisa membe-
dakan. Tapi sebaiknya kau tanyakan saja keheranan
mu itu pada gadis cantik di depanmu!"
Murid Pendeta Sinting hadapkan wajahnya pada
Putri Kayangan. Putri Kayangan sunggingkan senyum
lalu berkata. "Aku dan Pitaloka adalah saudara kembar. Kalau
orang tidak teliti, pasti akan keliru!" Putri Kayangan angkat tangan kirinya
sambil dikembangkan kelima ja-rinya. "Pada ibu jari tangan kiriku ada satu tahi
lalat! Tapi tidak ada tahi lalat pada ibu jari tangan kiri Pitaloka! Itulah yang bisa
membedakan antara kami ber-
dua!" Putri Kayangan tarik pulang tangan kirinya. Lalu
lanjutkan ucapan. "Untuk keempat temanku itu,
mungkin tidak ada gunanya lagi kusebutkan apa tan-
da yang bisa membedakan dengan teman-teman Pita-
loka, karena menurutmu mereka sudah tewas!"
"Hem.... Kau kira-kira dapat menduga ke mana
saudara kembar mu itu pergi"!" tanya Joko.
Putri Kayangan menggeleng. "Sukar ditebak ke ma-
na dia pergi! Tapi kami akan tetap mencarinya!"
"Aku ikut!" sahut Pendekar 131.
"Kami tidak bisa mengajak mu ikut serta!"
"Tapi pedangku dibawanya!"
"Itu urusanmu dengan Pitaloka! Kami hanya ingin
membawa Pitaloka pulang dan menyadarkannya! Dan
kami tidak mau terlibat urusanmu dengannya!"
Habis berkata begitu Putri Kayangan melangkah sa-
tu tindak ke belakang. Lalu balikkan tubuh. Sekali
membuat gerakan, sosoknya melesat masuk ke dalam
tandu. Bersamaan dengan itu terdengar ketukan halus tiga kali dari dalam tandu.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera berkelebat. Saat lain keempat laki-laki ini
telah angkat lintangan bambu di mana tandu berada.
Lalu melintangkannya membujur di pundak masing-
masing orang. "Putri Kayangan! Saat ini kau dan teman-temanmu
boleh pergi. Tapi jangan kira urusan ini selesai! Aku akan buktikan ucapanmu
bahwa kau memang punya
saudara kembar!"


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tirai kain merah penutup tandu terbuka. "Usulmu
baik. Kau masih punya banyak kesempatan untuk
membuktikan! Dan sebelum aku pergi, boleh aku
tanya sesuatu padamu"!"
"Kau mau tanya apa"!"
"Apakah benar berita yang kini tersebar dalam rim-
ba persilatan jika kau telah mendapatkan Kembang
Darah Setan"!"
"Aku tidak pernah melihat barang yang kau tanya-
kan! Jadi kau tentu sudah bisa menduga maksud uca-
panku!" "Terima kasih! Aku cuma ingin kepastian tentang
kabar itu...," ujar Putri Kayangan. Lalu memandang ke arah Datuk Wahing dengan
kepala digerakkan menunduk sedikit. "Kakek Datuk Wahing.... Kami harus per-
gi...." "Bruss! Bruss! Kalau tidak ada hal yang menghe-
rankan lagi, memang lebih baik kalian segera lan-
jutkan perjalanan...."
Putri Kayangan angkat kepalanya. Bola matanya se-
jenak memandang ke arah Pendekar 131 yang saat itu
juga tengah memandangnya. Untuk beberapa saat ke-
dua orang ini saling pandang. Tidak ada yang buka
suara. Namun Putri Kayangan merasakan dadanya
berdebar. Paras wajahnya yang cantik jelita sesaat merona merah. Lalu cepat-
cepat gadis ini gerakkan tangan untuk menutup kain tandu.
Bersamaan dengan tertutupnya kain tandu, Tokoh-
tokoh Penghela Tandu bergerak melangkah tinggalkan
tempat itu. "Rasanya sulit dipercaya! Kedua-duanya sama can-
tik! Dan mungkin aku masih belum bisa membedakan
mana yang sempat ku cium dan mana yang belum!
Sayangnya, salah satu dari mereka telah berani mem-
buat ulah tidak benar! Hm.... Urusan Kembang Darah
Setan belum selesai, kini ditambah lagi dengan urusan ini!"
"Bruss! Ada yang masih membuatmu merasa heran,
Anak Muda"!" Bertanya Datuk Wahing.
Murid Pendeta Sinting balikkan tubuh lalu melang-
kah ke arah Datuk Wahing. Datuk Wahing sendiri
tampak bergerak bangkit lalu melangkah ke arah
tongkatnya yang tadi dilemparkan untuk menghalangi
kepergian Joko Sableng.
"Kek! Kau bisa tunjukkan padaku di mana Kam-
pung Setan berada"!"
"Tidak ada gunanya, Anak Muda! Kau hanya akan
menemui keheranan berlipat ganda! Yang penting ba-
gimu, carilah orang yang selama ini berperan sebagai dirimu! Caranya tentu saja
kau bisa berpikir sendiri bagaimana! Yang pasti kau harus tanggalkan dulu siapa
dirimu!" Datuk Wahing cabut tongkatnya. Setelah bersin dua
kali, kakek ini perlahan-lahan melangkah meninggal-
kan Pendekar 131. Saat itulah Joko baru teringat akan pertemuannya dengan
seorang nenek berusia lanjut
yang sebutkan diri sebagai Nyai Suri Agung.
Joko buru-buru melompat dan menghadang jalan
Datuk Wahing seraya berkata.
"Kek! Kau pernah kenal dengan seorang nenek ber-
nama Nyai Suri Agung"!"
Datuk Wahing yang hendak bersin tiba-tiba di-
urungkan. Sepasang matanya menatap Joko lekat-
lekat. "Kau pernah bertemu dengannya"!" Datuk Wah-
ing balik bertanya.
"Setelah kepergianmu beberapa saat yang lalu, aku
sempat jumpa dengan seorang nenek yang katakan di-
rinya sebagai Nyai Suri Agung!" Lalu Joko katakan pu-la ciri-ciri orang yang
dijumpainya. Raut wajah Datuk Wahing sesaat berubah. Namun
kejap lain kakek ini telah perdengarkan bersinan beberapa kali lalu berucap.
"Aku harus segera pergi, Anak Muda...."
"Kau belum jawab pertanyaanku, Kek! Kulihat wa-
jahmu berubah! Ada yang mengherankan tentang ne-
nek yang kukatakan tadi"!"
"Bruss! Bruss! Terus terang, Anak Muda! Aku me-
mang mengenal nenek itu! Tapi jangan heran kalau
aku tak bisa mengatakan siapa dia adanya!"
"Ah.... Jangan-jangan dia kekasihmu.... Wajahmu
sepertinya mengungkapkan perasaan suka dan rin-
du...!" "Bruss! Kau masih harus belajar banyak untuk
menduga orang dari perubahan wajahnya! Karena itu
jangan merasa heran kalau kukatakan dugaanmu sa-
lah!" "Busyet! Dia tidak bisa dipancing!" kata Joko dalam hati. Lalu berkata.
"Aku tidak mungkin salah duga! Kau yang berpura-
pura! Kau malu padaku!"
Datuk Wahing tertawa bergelak mendengar ucapan
murid Pendeta Sinting. Anehnya di tengah gelakan tawanya, Datuk Wahing masih
menyelanya dengan ber-
sinan beberapa kali!
"Aku tidak pernah berpura-pura apalagi malu! Ka-
laupun aku merasa malu, itu kalau aku tidak heran
dengan sesuatu! Bruss!"
Joko ikut-ikutan tertawa mendengar kata-kata Da-
tuk Wahing. "Bagaimana kau bisa mengatakan begitu
kalau nenek itu mengatakan kau adalah kekasihnya"!"
"Jangan bicara mengherankan, Anak Muda!"
"Aku berkata apa adanya! Dia mengaku sebagai ke-
kasihmu dan kini tengah mencarimu!"
Untuk kedua kalinya murid Pendeta Sinting me-
nangkap perubahan pada wajah si Datuk. Namun se-
jauh ini sebenarnya Joko belum bisa menebak secara
pasti apa hubungan antara Datuk Wahing dengan Nyai
Suri Agung. Dia hanya dapat meraba-raba dengan
menghubungkan keterangan Datuk Wahing pada bebe-
rapa waktu yang lalu. (Soal keterangan Datuk Wahing pada Joko silakan baca
serial Joko Sableng dalam episode: "Rahasia Kampung Setan").
"Anak muda! Aku tahu.... Bicaramu ada yang kau
tambah! Dia mengaku mencariku mungkin bisa kute-
rima! Tapi kalau dia mengaku kekasihku, itu yang
membuatku heran! Dan aku tak sungkan mengatakan
kalau itu adalah tambahan mu sendiri!"
"Kek! Kalau dia mencarimu, apakah kau punya
urusan dengannya"!"
"Kau telah bertemu dengannya. Adalah satu hal
yang mengherankan kalau sekarang kau tanya pada-
ku!" "Aku tidak sempat menanyakannya!"
"Itulah kekeliruan mu! Kalau kau ingin jawabannya,
tanyakan padanya mengapa dia mencariku! Tentu dia
telah mengatakan padamu di mana dia bertempat ting-
gal!" "Aku juga tidak sempat menanyakannya!"
"Bruss!"
"Itu kekeliruan mu yang kedua! Dan itu menunjuk-
kan kalau kalian berdua hanya bicara sebentar!"
"Kau keliru, Kek! Aku...."
"Bruss! Bruss! Sudah kukatakan, kau masih harus
belajar banyak untuk urusan tipu menipu, Anak Mu-
da! Kau tahu.... Aku bisa menebak apa yang dikatakan nenek itu padamu!"
Joko terdiam. Datuk Wahing bersin dua kali lalu
buka mulut. "Dia pasti menanyakan apakah Kembang
Darah Setan berada di tanganmu! Benar atau menghe-
rankan ucapanku ini, Anak Muda"!"
Murid Pendeta Sinting makin terdiam. Datuk Wah-
ing bersin-bersin seraya tertawa ngakak. Kali ini suara bersinan yang ditingkah
suara gelakan tawa laksana
diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Ma-
lah Joko harus angkat kedua tangannya untuk menu-
tupi telinga karena suara bersinan dan gelakan tawa itu menyentak-nyentak
gendang telinga!
Datuk Wahing putuskan suara tawa dan bersinan-
nya. Memandang sejurus pada Joko lalu teruskan
langkah. Hebatnya, suara bersinan dan tawa terus saja terdengar menggema di
tempat itu dan laksana datang dari delapan penjuru!
Murid Pendeta Sinting coba salurkan tenaga untuk
menutup pendengarannya. Begitu berhasil, ternyata
sosok Datuk Wahing sudah tidak kelihatan lagi!
"Aku kena batunya! Tapi satu hal yang pasti aku
sedikit banyak bisa menduga siapa adanya Datuk
Wahing dan siapa pula nenek itu! Dan kalau dugaanku benar, aku sudah bisa
memastikan siapa sebenarnya
Setan Liang Makam!" gumam Joko seraya memandang
berkeliling. 'Turut ucapan orang tua itu, sebaiknya aku seka-
rang memang tanggalkan siapa diriku! Dengan demi-
kian, nantinya hanya ada satu Joko Sableng! Dan aku dengan mudah bisa menangkap
basah!" Joko tengadahkan kepala. Lalu menepuk jidatnya sendiri.
"Heran! Mengapa aku tidak berpikir begitu sejak
dahulu"! Bukankah dengan demikian hanya ada satu
Joko Sableng dan yang pasti itu adalah Joko yang pal-
su!" Sambil senyum-senyum sendiri akhirnya murid
Pendeta Sinting melangkah tinggalkan tempat itu.
*** SEBELAS Matahari sudah melambung jauh hampir mencapai
titik tengahnya. Udara panas menyengat bukan alang
kepalang. Satu sosok tubuh mengenakan topi pandan
lebar tampak melangkah perlahan-lahan melewati se-
buah dataran berumput tebal yang di sebelah ujung
sananya terlihat beberapa jajaran pohon besar. Orang ini adalah seorang laki-
laki yang usianya tidak bisa di-kenali karena wajahnya hampir sebagian tertutup
oleh lebarnya caping pandan di kepalanya yang sengaja dipakai masuk ke dalam.
Rambutnya pun sengaja dige-
raikan ke depan menutupi kanan kiri wajahnya. Ku-
misnya lebat berwarna putih. Dia mengenakan pakaian putih-putih.
Sambil melangkah sesekali orang ini perdengarkan
gumaman tak jelas. Saat lain dia dendangkan nya-
nyian. Dan kadang-kadang tangan kanannya diangkat
ke telinga. Entah apa yang dilakukan, begitu tangannya terangkat sejajar
telinga, langkahnya berubah
menjadi berjingkat-jingkat. Laki-laki ini berjalan dengan kepala selalu menunduk
namun sepasang ma-
tanya tak henti-hentinya memperhatikan dengan sek-
sama setiap tempat yang dilewati.
"Busyet benar! Kepalaku jadi pening terus-terusan
merunduk!" gumam si laki-laki. Kepalanya lalu bergerak ke kiri kanan dengan mata
melirik. Tiba-tiba dia angkat kepalanya tengadah. Lalu kepalanya digerak-
kan teleng ke pundak kiri kanannya.
Kretekk! Kreteekk!
"Hem.... Asyik rasanya bisa menekuk leher!" Laki-
laki ini untuk beberapa lama mendongak sambil
menghirup udara banyak-banyak. Tapi mendadak,
laksana disentak tangan setan, kepalanya disentakkan ke bawah merunduk lagi.
Saat yang sama sepasang
matanya melirik jauh ke depan.
"Ada orang.... Melihat dari bentuk tubuh dan pa-
kaiannya dia adalah laki-laki! Sialan benar! Mengapa yang kutemui laki-laki"!
Bukannya seorang gadis....
Tapi siapa tahu laki-laki itu bisa membantu...." Si laki-laki berkata sendiri
dalam hati lalu lanjutkan langkah dengan kepala menunduk.
Begitu hampir sampai pada jajaran pohon, si laki-
laki bercaping lebar hentikan langkah. Matanya melirik ke depan. Dari tempatnya
tegak, dia melihat satu sosok tubuh sedang bersandar di balik satu batang po-
hon. Laki-laki ini belum bisa melihat raut wajah orang karena orang itu berada
di balik pohon. Dia hanya bisa melihat orang itu mengenakan pakaian hitam-hitam.
Mendadak si laki-laki bercaping lebar tersentak. Telinganya lamat-lamat
mendengar orang terisak.
"Heran.... Sosok tubuhnya seperti laki-laki tapi
mengapa menangis"! Hem.... Kalau laki-laki yang me-
nangis, sebabnya pasti ulah asmara...." Si laki-laki bercaping lebar gelengkan
kepala. Lalu lanjutkan langkah. Dia sengaja melewati pohon di mana orang ber-
sandar seraya menangis terisak. Malah begitu lewat, si laki-laki sengaja
perdengarkan deheman beberapa kali.
Orang yang bersandar sekonyong-konyong pu-
tuskan isakan tangisnya. Secepat kilat dia putar tubuh lalu menghadap ke arah
sumber deheman. Ternyata
dia adalah seorang pemuda berparas sangat tampan
berkulit putih bersih. Rambutnya hitam lebat dengan
sepasang mata bulat. Ketampanannya masih ditingka-
hi dengan kumis tipis di atas bibirnya yang sedikit berwarna merah.
Mungkin karena tenggelam dengan perasaan, pe-
muda berpakaian hitam-hitam ini tidak bisa menyiasa-ti kedatangan si laki-laki
bercaping lebar, kalau saja si laki-laki bercaping tidak perdengarkan deheman.
Malah saking terkejutnya, si pemuda yang baru saja perdengarkan isakan tangis
tidak sempat mengusap air
matanya. Hingga dengan jelas si laki-laki bercaping masih bisa melihat air mata
si pemuda. Untuk beberapa saat si pemuda berkumis tipis me-
mandangi laki-laki bercaping lebar. Namun sejauh ini dia belum buka mulut
berkata. Sebaliknya si laki-laki bercaping lebar mendadak tersentak kaget. Malah
saking kagetnya, kepalanya yang menunduk terangkat.
Sepasang matanya membesar. Namun kejap lain laki-
laki ini tundukkan kepalanya lagi.
"Aku tak salah lihat.... Aku masih mengenalinya....
Dia mengenakan samaran seperti dahulu" kata si laki-laki bercaping lebar. "Tapi
mengapa dia berada di sini"!
Lebih-lebih, apa yang membuatnya menangis terisak"!"
Si laki-laki bercaping menduga-duga dalam hati.
Setelah melirik sejurus dan dilihatnya si pemuda
berkumis tetap memandangnya tanpa buka suara, ak-
hirnya si laki-laki bercaping angkat bicara.
"Maaf kalau kedatanganku membuatmu terkejut....
Aku hanya lewat! Dan tidak sengaja mengejutkan-
mu...." Si pemuda berkumis tipis gelengkan kepala dan co-
ba tersenyum meski jelas dipaksakan. Lalu buka mu-
lut sambuti ucapan si laki-laki bercaping.
"Tidak apa.... Aku juga minta maaf karena kulihat
kau juga kaget...."
"Mudah-mudahan dia tidak...."


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si laki-laki bercaping belum sempat lanjutkan kata
hatinya, si pemuda berkumis sudah angkat suara lagi.
"Orang tua.... Boleh aku tanya padamu"!"
Si laki-laki bercaping lebar tersenyum. Lalu angkat tangannya mengelus kumisnya
yang lebat seraya berkata pelan. "Kau mau tanya apa"!"
"Kau tahu letak Jurang Tlatah Perak..."!"
Yang ditanya melengak kaget. Namun cepat-cepat
tersenyum dan berkata. "Anak muda.... Jurang Tlatah Perak berada jauh dari sini!
Kira-kira perjalanan dua hari satu malam ke jurusan timur...."
"Terima kasih...."
"Anak muda. Sekarang boleh aku tanya padamu"!"
Pemuda berkumis tipis sesaat pandangi orang di
hadapannya lalu anggukkan kepala.
"Mau katakan apa tujuanmu ke Jurang Tlatah Pe-
rak"! Karena kudengar jurang itu sangat angker dan
jarang dikunjungi manusia!"
"Orang tua.... Untuk pertanyaanmu, harap kau ti-
dak menyesal karena aku tidak bisa katakan apa tujuanku ke sana!"
"Ah.... Aku ingat sekarang!" Tiba-tiba laki-laki bercaping lebar berujar seolah
berkata pada dirinya sendiri. "Dari pertanyaanmu, aku bisa menduga kau adalah
dari kalangan persilatan!"
"Orang tua! Bagaimana kau bisa menduga demi-
kian"!"
"Menurut cerita yang pernah kudengar, entah benar
atau salah, Jurang Tlatah Perak dihuni oleh seorang tokoh dunia persilatan yang
pada beberapa puluh tahun silam namanya pernah menggegerkan dunia persi-
latan! Kalau tidak salah dengar, tokoh itu bernama...."
Si laki-laki bercaping tidak lanjutkan ucapan. Dia seolah sedang mengingat-
ingat. Sementara sepasang ma-
tanya melirik tajam pada si pemuda di hadapannya.
"Yang kau maksud Pendeta Sinting"!" kata si pemu-
da berkumis tipis.
"Ah.... Benar! Pendeta Sinting!" ujar si laki-laki bercaping lebar. "Apa kau
hendak menemuinya"!"
Sesaat yang ditanya diam. Namun tak lama kemu-
dian menjawab dengan isyarat anggukan kepalanya.
"Hem.... Ingat akan Pendeta Sinting aku juga jadi
ingat pada cerita orang yang akhir-akhir ini membicarakan tentang seorang pemuda
murid Pendeta Sinting!
Apa kau juga pernah mendengarnya"!"
Tampang si pemuda berkumis tipis mendadak be-
rubah tegang. Sepasang matanya berkilat-kilat. Sambil palingkan wajah, dia
berucap. Suaranya bergetar.
"Aku pernah mendengar! Malah aku mengenalnya!"
"Ah.... Kau beruntung bisa kenal dengannya...."
Si pemuda mendengus. Entah karena tak dapat
menahan perasaan, akhirnya pemuda ini enak saja
berkata. "Kau salah, Orang Tua! Bukannya beruntung
dapat mengenalnya! Justru celaka yang kudapatkan!"
Si laki-laki terkejut lagi. "Bagaimana bisa begitu, Anak Muda"!"
"Ternyata dia bukan pemuda seperti yang selama ini
dibicarakan orang! Orang-orang tidak tahu siapa sebenarnya pemuda murid Pendeta
Sinting itu!"
"Hem.... Lantas siapa dia sebenarnya"!"
"Dia adalah manusia menjijikkan! Manusia yang ti-
dak punya perasaan!"
"Anak muda! Kau bicara soal perasaan. Padahal
yang biasa membicarakan soal perasaan adalah seo-
rang perempuan! Kulihat kau tadi juga sedang terisak, apa sebenarnya yang
terjadi"! Sebab, yang biasanya
menangis terisak juga adalah seorang perempuan...."
Si pemuda berkumis berpaling dengan wajah terke-
jut. Sebelum pemuda ini buka mulut, si laki-laki bercaping telah mendahului.
"Aku tidak pandai menduga. Tapi dari ucapan dan
sikapmu, aku melihat kau menutupi sesuatu...."
Si pemuda berkumis menghela napas panjang dan
dalam. "Orang tua.... Terus terang.... Sebenarnya aku adalah seorang gadis...."
Si laki-laki bercaping tertawa panjang hingga ba-
hunya berguncang-guncang. "Sekarang aku baru bisa
menduga terusannya! Kau tentu baru saja dikecewa-
kan oleh pemuda murid Pendeta Sinting itu. Benar bukan dugaanku"!"
Pelipis kiri kanan si pemuda berkumis yang bukan
lain adalah Saraswati bergerak-gerak. Tubuhnya sedikit bergetar.
"Dia bukan hanya mengecewakanku, tapi perbua-
tannya sudah tidak pantas lagi dilakukan oleh seorang yang bergelar pendekar!"
Si laki-laki bercaping sekali lagi tampak tersentak kaget. "Boleh aku tahu apa
yang dilakukannya terha-dapmu"!"
"Tak pantas untuk diceritakan pada orang lain!
Yang pasti tindakannya sudah di luar batas dan patut diganjar dengan selembar
nyawanya!"
Si laki-laki bercaping tertawa. "Anak muda.... Ah,
maaf. Anak gadis.... Aku tahu.... Biasanya seorang gadis menggunakan perasaan
dalam segala hal. Mungkin
saat ini kau masih tenggelam dalam perasaan! Hingga urusan yang sepele jadi
tampak besar! Dan tindakan yang bisa diselesaikan dengan baik-baik harus dibayar
dengan nyawa.... Hem.... Ada gadis lain yang membuatmu cemburu"!"
"Aku bicara ini bukan karena cemburu!"
"Jadi...."
"Aku tak bisa mengatakan padamu, Orang Tua!
Yang jelas aku akan membalas sakit hati ini!"
"Jadi tujuanmu ke Jurang Tlatah Perak untuk
membalas sakit hatimu"!"
Saraswati gelengkan kepala. "Aku hanya ingin ya-
kinkan apakah benar tempat itu dihuni Pendeta Sint-
ing!" "Kau ini aneh.... Siapa pun kalangan rimba persila-
tan pasti sudah yakin kalau tempat itu dihuni Pendeta Sinting!"
"Kabar perlu pembuktian! Aku baru saja mengalami
kejadian yang tidak beres! Aku perlu bukti apakah
Pendeta Sinting berada di sana!"
"Kau bisa menjelaskan kejadiannya"!"
Saraswati gelengkan kepala. "Aku tidak mau orang
lain terlibat dalam urusan ini! Dan kuharap kau mera-hasiakan apa yang kau
ketahui tentang diriku.... Sekarang aku harus pergi!"
Seperti diketahui, Saraswati sempat bertemu den-
gan ibunya yang saat itu sedang berbincang dengan
Kiai Laras. Ibu Saraswati, yang bukan lain adalah
Lasmini saat itu sedang mencari jejak Pendeta Sinting dan muridnya. Kebetulan
Kiai Laras mengetahui di
mana beradanya orang yang dicari Lasmini. Dengan
diantar Kiai Laras, akhirnya Lasmini sampai ke lereng Bukit Kalingga. Karena
merasa curiga dengan Kiai Laras, diam-diam Saraswati mengikuti ke mana ibunya
dan Kiai Laras mencari Pendeta Sinting dan Pendekar 131.
Di Bukit Kalingga ternyata Lasmini disambut oleh
seorang pemuda yang Lasmini mengenalnya sekali ka-
rena dia bukan lain adalah Pendekar 131. Terjadi perkelahian antara Lasmini dan
Pendekar 131. Akhirnya
Lasmini dapat dikalahkan Pendekar 131. Saraswati
coba membantu dan melerai. Namun baik Lasmini
maupun Pendekar 131 tidak ada yang saling menga-
lah. Hingga pada akhirnya Lasmini dibawa masuk ke
dalam goa oleh Pendekar 131. Saraswati tidak bisa
berkutik karena dia dalam keadaan tertotok.
Pada akhirnya Saraswati dibebaskan oleh Pendekar
131 tapi dengan syarat Saraswati harus segera pergi dari Bukit Kalingga.
Saraswati menolak. Dia baru mau meninggalkan Bukit Kalingga jika bersama ibunya.
Akhirnya terjadi perkelahian. Pendekar 131 sempat
merobek pakaian di bagian dada Saraswati. Saraswati marah. Namun dia sadar, ilmu
yang dimilikinya masih berada di bawah Pendekar 131 hingga seraya membawa rasa
kecewa dan geram, Saraswati tinggalkan Bukit Kalingga.
Saraswati terus berpikir. Dan pada akhirnya dia
memutuskan untuk menuju Jurang Tlatah Perak. Dia
ingin buktikan ucapan Kiai Laras apakah benar Pende-ta Sinting berada di Bukit
Kalingga. Karena dia merasa curiga dengan Kiai Laras.
"Tunggu" tahan laki-laki bercaping lebar. Saraswati hentikan langkah.
"Kau mengatakan kecewa dengan murid Pendeta
Sinting. Itu berarti kau telah bertemu dengannya. Kau mau mengatakan padaku di
mana kau bertemu dengan murid Pendeta Sinting Itu"!"
"Orang tua! Kuharap kau tidak ikut campur urusan
ini...!" "Bukan maksudku ikut campur! Apalagi aku ini
orang tua yang tidak punya kepandaian apa-apa! Tapi sekadar ingin tahu tidak
apa-apa, bukan"! Siapa tahu kelak aku bisa mencegah setiap orang yang akan
menuju tempat yang...."
Belum sampai si laki-laki bercaping lebar lanjutkan ucapan, Saraswati telah
menukas. "Dia berada di kaki Bukit Kalingga!"
"Terima kasih, Anak Gadis.... Dengan keteranganmu
ini aku bisa mencegah orang yang hendak menuju Bu-
kit Kalingga agar tidak mengalami nasib sama den-
ganmu!" "Orang tua! Satu hal yang harus kau ingat baik-
baik! Kuharap kau melupakan apa yang pernah kita
bicarakan ini!"
"Tapi Ku tidak berarti aku harus boleh melupakan-
mu, bukan"!"
Saraswati berpaling. Sepasang matanya sedikit
membelalak. Si laki-laki bercaping lebar tertawa. "Jangan berprasangka buruk
terhadap ucapanku! Aku ta-
hu siapa diriku! Tua bangka bau tanah.... Dan kau
seorang gadis muda berparas cantik jelita! Adalah satu hal aneh dan gila kalau
aku mengharapkan sesuatu
darimu! Kalaupun baru saja aku berkata tidak harus
melupakanmu, itu ungkapan ku sebagai orang tua pa-
da anaknya...."
Saraswati tersenyum. Si laki-laki bercaping lebar
balas tersenyum. Lalu berkata. "Apa kau akan te-
ruskan perjalanan ke Jurang Tlatah Perak"!"
"Aku perlu bukti! Aku harus ke sana!"
"Kenapa kau perlu bukti"!"
"Seseorang mengatakan Pendeta Sinting tidak bera-
da di Jurang Tlatah Perak!"
"Tapi di Bukit Kalingga! Begitu bukan lanjutan uca-
panmu"!"
Saraswati anggukkan kepala. Si laki-laki bercaping
lebar buka mulut lagi.
"Apakah waktu di Bukit Kalingga kau tidak sempat
berjumpa dengan Pendeta Sinting"!"
"Aku tidak jumpa dengannya di sana! Yang kutemui
hanya muridnya yang gila itu!"
Habis berkata begitu, Saraswati berpaling ke depan.
Lalu perlahan-lahan melangkah tinggalkan tempat itu.
Si laki-laki bercaping lebar menghela napas pan-
jang. Dia terus pandangi langkah-langkah si gadis
sampai sosoknya lenyap jauh di depan sana. Begitu
sosok Saraswati tidak kelihatan lagi, si laki-laki bercaping berkelebat cepat
dan berlari laksana setan tinggalkan tempat itu.
*** DUA BELAS Laki-Laki bercaping lebar itu terus berlari laksana dikejar setan. Dia sempat
berhenti beberapa saat untuk bertanya pada orang yang lewat. Saat lain dia telah
lanjutkan berlari.
Ketika saat telah menjelang dini hari, laki-laki bercaping lebar telah sampai
pada kawasan sebuah bukit yang menurut beberapa orang yang sempat ditanyai
adalah Bukit Kalingga.
"Mumpung hari belum terang, aku punya banyak
waktu untuk menyiasati keadaan!" gumam laki-laki
bercaping seraya arahkan pandangannya berkeliling.
Dia harus tajamkan mata karena keadaan di sekitar
tempat dia berada sangat gelap.
Laki-laki bercaping lebar mulai melangkah mengita-
ri lereng bukit. Dia bergerak hati-hati. Malah sesekali menyelinap sembunyi di
balik batangan pohon. Namun
karena keadaan gelap dan tempat itu belum dikenal-
nya, laki-laki ini tidak dapat menemukan apa yang dicari.
"Di mana goa itu"! Apa Saraswati berkata dusta"!
Aku tidak menemukan sebuah lobang goa! Atau jan-
gan-jangan karena keadaan gelap dan mataku tidak
bisa melihatnya..."! Hem.... Terpaksa aku harus me-
nunggu sampai suasana terang...."
Laki-laki bercaping lebar melangkah ke arah sebuah
batangan pohon besar. Lalu duduk bersandar. Sesaat
kemudian laki-laki ini telah pejamkan sepasang ma-
tanya. Ketika sang matahari mulai pancarkan sinar terang
di langit sebelah timur, perlahan-lahan laki-laki bercaping lebar buka kelopak
matanya. Sesaat dia tersentak. Kepalanya berpaling ke kanan kiri dengan mata
liar memandang berkeliling. Saat yang sama dia bergerak bangkit. Lalu berkelebat
mengitari bukit dengan mata terpentang besar.
Pada satu tempat, mendadak laki-laki bercaping le-
bar hentikan kelebatan tubuhnya. Memandang ke de-
pan, sepasang matanya makin mendelik. Sejarak dua
belas langkah dari tempatnya berdiri, dia melihat sebuah lobang goa yang di
sana-sini tertutup oleh rimbun dedaunan. Hingga kalau orang tidak seksama,
pasti tidak akan bisa melihat lobang goa itu.
Laki-laki bercaping lebar memandang ke sekitar lo-
bang goa. Lalu melompat menyelinap. Dia menunggu
beberapa saat. Yakin tak ada orang lain, dia segera melompat. Sosoknya kini
hanya empat langkah dari lo-
bang goa. "Tak ada tanda-tanda adanya orang...," gumam laki-
laki bercaping lebar seraya tak henti-hentinya memandang berkeliling. Saat lain
dia telah membuat satu gerakan dan membuat sosoknya telah berada di bibir lobang
goa. Dia hanya melongok sejenak ke dalam goa.
Kejap lain dia telah melesat masuk.
"Tak ada orang...," ujar laki-laki bercaping lebar begitu edarkan pandangannya
ke ruangan goa. "Jangan-
jangan Saraswati berkata dusta.... Tapi untuk apa dia berkata dusta"!"
Selagi laki-laki bercaping lebar membatin begitu, ti-ba-tiba satu suara
terdengar. "Kuharap kedatanganmu ke tempat ini bukan kare-
na sengaja seperti diriku, sahabat!" Satu sosok bayangan melesat dan tegak di
hadapan laki-laki bercaping
lebar. Laki-laki bercaping lebar terkesiap. Dan lebih terkesiap lagi tatkala mengetahui
siapa adanya orang yang tegak di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Ram-
butnya putih panjang. Kumisnya lebat.
"Kiai Laras!" ujar laki-laki bercaping lebar dalam ha-ti. "Bagaimana dia berada
di sini"! Apakah seperti ucapannya tadi dia tidak sengaja datang ke tempat
ini"!"


Joko Sableng 22 Liang Maut Di Bukit Kalingga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sahabat! Boleh aku tahu siapa kau adanya"!"
Orang di hadapan laki-laki bercaping lebar yang bukan lain adalah Kiai Laras
ajukan tanya dengan tersenyum.
Laki-laki bercaping lebar tundukkan kepala seraya
sedikit berpaling. Lalu buka mulut menyahut.
"Aku hanya orang yang tidak sengaja datang ke
tempat ini...."
"Lalu kau hendak ke mana sebenarnya"!"
"Aku orang tua yang tidak pernah punya tujuan
pasti. Aku hanya selalu mengikuti ke mana kakiku ini bergerak...."
"Hem.... Begitu"! Berarti kita orang tua yang punya nasib sama...."
"Mau katakan siapa kau sebenarnya"!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Sayang, Sahabat! Aku
selalu mengikuti ke mana kakiku melangkah, tapi aku tidak selalu mengikuti apa
permintaan orang! Dan perlu kau tahu, Sahabat! Aku suka menyendiri dan tak
mau diganggu! Kuharap kau mengerti dan segera ting-
galkan tempat ini!" Suara Kiai Laras terdengar meninggi. Laki-laki bercaping
lebar sunggingkan senyum.
"Sahabat! Bukankah kau tadi mengatakan datang ke
tempat ini tanpa sengaja. Adalah aneh kalau sekarang kau menyuruhku meninggalkan
tempat ini!"
"Kau telah dengar ucapanku! Aku suka menyendiri
dan tak mau diganggu! Tidak peduli aku sengaja atau tidak sengaja datang ke
tempat ini!"
"Hem.... Ada keanehan pada orang ini! Apa yang ha-
rus kulakukan sekarang" Menuruti permintaannya"!"
Laki-laki bercaping lebar membatin.
"Sahabat! Aku tidak suka bicara berulang kali! Kau
turuti ucapanku atau tanganku yang akan menyeret
mu keluar dari sini!"
"Sahabat.... Terus terang saja! Sebenarnya kedatan-
ganku ke sini untuk mencari seseorang...."
Dahi Kiai Laras mengernyit. Tapi sebelum orang tua
ini sempat buka mulut, laki-laki bercaping lebar telah angkat bicara lagi.
"Apakah kau pernah melihat seorang kakek di sekitar tempat ini"!"
"Tiap laki-laki berusia lanjut disebut kakek! Kata-
kan siapa nama orang yang kau cari!" hardik Kiai Laras.
"Namanya Pendeta Sinting!"
"Hem.... Orang yang tahu tempat ini hanyalah Sa-
raswati! Pasti manusia ini tahu dari gadis sialan itu!
Aku harus melenyapkan manusia ini! Dia bisa meru-
sak semua rencanaku! Tahu begini akibatnya, me-
nyesal aku membiarkan gadis itu masih bernyawa!"
"Kau pernah melihatnya"! Dari sikapmu aku men-
duga kau adalah orang rimba persilatan. Jadi tak usah kukatakan bagaimana orang
yang kucari! Sebab kau
mungkin sudah tahu!"
"Kau punya silang sengketa dengan Pendeta Sint-
ing"!" tanya Kiai Laras.
"Bukan hanya silang sengketa! Tapi dendam berka-
rat! Kau tahu bukan apa artinya dendam berkarat"!
Dendam yang tidak bisa lenyap sebelum salah satu tewas!"
"Dari mana kau tahu Pendeta Sinting berada di si-
ni"!" kembali Kiai Laras ajukan tanya.
"Aku selalu melangkah ke mana-mana! Sambil me-
langkah tak tentu tujuan, aku selalu mencari tahu!
Karena tujuan hidupku hanyalah tuntaskan dendam
berkarat ini"
"Kau berkata dusta, Sahabat! Kau hanya bertanya
pada satu orang! Dan dia adalah seorang gadis yang menyamar sebagai seorang
pemuda! Benar"!"
Laki-laki bercaping lebar gelengkan kepala. "Selama perjalanan, aku selalu
menghindari bertanya pada perempuan! Karena aku tahu, ucapan seorang perem-
puan tidak dapat dipercaya!"
Kiai Laras tertawa pendek. "Sayang sekali, Sahabat!
Aku tidak berjumpa dengan orang yang kau cari!"
Laki-laki bercaping lebar memandang berkeliling.
"Kau sudah lama berada di sini"!"
"Kuharap kau segera tinggalkan tempat ini!" kata
Kiai Laras tidak sambuti ucapan laki-laki bercaping lebar.
"Baik! Aku akan turuti kemauanmu.... Tapi sebelum
aku pergi, kau mau jawab lagi satu pertanyaanku"!"
"Di sini bukan tempat yang baik untuk bertanya ja-
wab." Laki-laki bercaping lebar angkat bahu, memandang
sekilas pada Kiai Laras lalu putar diri dan perlahan-lahan melangkah menuju ke
mulut goa. Saat laki-laki bercaping lebar langkahkan kaki me-
lewati lobang goa, di belakang sana, mendadak Kiai Laras membuat gerakan.
Sosoknya melesat ke depan.
Kedua tangannya serta-merta bergerak lepaskan satu
pukulan bertenaga dalam tinggi.
SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng
dalam episode: ISTANA SEKAR JAGAT
Scan: Clickers Edit: Aura PandRa
PDF: Abu Keisel
Document Outline
SATU *** DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM TUJUH *** *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** DUA BELAS SELESAI Naga Sasra Dan Sabuk Inten 2 Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Anak Harimau 6
^